TEKNOLOGI PENANGANAN BENIH DAN BIBIT UNTUK … · Perhutanan Sosial (Direktur Bina ... khususnya...

26
1 TEKNOLOGI PENANGANAN BENIH DAN BIBIT UNTUK MEMENUHI STANDAR BENIH DAN BIBIT BERSERTIFIKAT Oleh : Dede J. Sudrajat, Nurhasybi, dan Yulianti Bramasto Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan Jl. Pakuan Ciheuleut PO BOX. 105 Bogor email: [email protected] ABSTRAK Sertifikasi mutu benih dan bibit merupakan suatu sistem pengendalian mutu benih dan bibit yang bertujuan untuk melindungi produsen/pengada, pengedar dan pengguna benih dan bibit. Sertifikasi mutu benih dan bibit di Indonesia dijalankan dengan menggunakan beberapa standar uji dan standar mutu yang merupakan perangkat/metode uji dan persyaratan lulus uji. Secara operasional, standar pengujian dan mutu benih dan bibit ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial(Direktur Bina Perbenihan Tanaman Hutan). Standar uji dan mutu benih dan bibit untuk beberapa jenis tanaman hutan juga telah menjadi SNI, dan telah menjadi acuan khususnya bagi laboratorium-laboratorium yang telah terakredisasi KAN. Tentunya, teknologi yang tepat sangat diperlukan untuk memenuhi kriteria- kriteria yang telah ditetapkan dalam standar mutu benih dan bibit. Untuk sebagian jenis, teknologi penanganan benih tanaman hutan juga telah menjadi SNI yang dapat dijadikan acuan untuk meningkatkan mutu benih dan bibit dan memenuhi ketentuan dalam standar mutu benih dan bibit. Kata kunci: benih, bibit, penanganan, sertifikasi, standar I. PENDAHULUAN Kegiatan eksploitasi yang berlebihan, kebakaran hutan, dan perambahan hutan telah mengakibatkan semakin terdegradasinya kawasan hutan. Laju degradasi hutan tersebut belum mampu diimbangi dengan regenerasi alami maupun rehabilitasi melalui kegiatan penanaman. Hal ini berdampak pada makin luasnya lahan kritis. Menurut data Depertemen Kehutanan (2014) diperkirakan hingga tahun 2011 luas lahan kritis mencapai ±27,29 juta hektar. Luasan tersebut terdiri dari 5,27 juta ha lahan sangat kritis dan 22,02 juta lahan kritis. Luas lahan kritis ini sebenarnya mengalami penurunan dibandingkan tahun 2005 yang mencapai ±30,19 juta hektar. Hal ini menunjukkan bahwa upaya rehabilitasi lahan kritis tersebut terus dilakukan meskipun hasilnya belum optimal. Kegiatan rehabilitasi dan reboisasi lahan tersebut memerlukan dukungan ketersediaan benih dan bibit yang bermutu. Mutu benih didefinisikan sebagai ukuran karakter-karakter atau atribut-atribut

Transcript of TEKNOLOGI PENANGANAN BENIH DAN BIBIT UNTUK … · Perhutanan Sosial (Direktur Bina ... khususnya...

1

TEKNOLOGI PENANGANAN BENIH DAN BIBIT UNTUK MEMENUHI

STANDAR BENIH DAN BIBIT BERSERTIFIKAT

Oleh :

Dede J. Sudrajat, Nurhasybi, dan Yulianti Bramasto

Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan

Jl. Pakuan Ciheuleut PO BOX. 105 Bogor

email: [email protected]

ABSTRAK

Sertifikasi mutu benih dan bibit merupakan suatu sistem pengendalian mutu benih dan

bibit yang bertujuan untuk melindungi produsen/pengada, pengedar dan pengguna

benih dan bibit. Sertifikasi mutu benih dan bibit di Indonesia dijalankan dengan

menggunakan beberapa standar uji dan standar mutu yang merupakan

perangkat/metode uji dan persyaratan lulus uji. Secara operasional, standar pengujian

dan mutu benih dan bibit ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan

Perhutanan Sosial(Direktur Bina Perbenihan Tanaman Hutan). Standar uji dan mutu

benih dan bibit untuk beberapa jenis tanaman hutan juga telah menjadi SNI, dan telah

menjadi acuan khususnya bagi laboratorium-laboratorium yang telah terakredisasi

KAN. Tentunya, teknologi yang tepat sangat diperlukan untuk memenuhi kriteria-

kriteria yang telah ditetapkan dalam standar mutu benih dan bibit. Untuk sebagian

jenis, teknologi penanganan benih tanaman hutan juga telah menjadi SNI yang dapat

dijadikan acuan untuk meningkatkan mutu benih dan bibit dan memenuhi ketentuan

dalam standar mutu benih dan bibit.

Kata kunci: benih, bibit, penanganan, sertifikasi, standar

I. PENDAHULUAN

Kegiatan eksploitasi yang berlebihan, kebakaran hutan, dan perambahan hutan

telah mengakibatkan semakin terdegradasinya kawasan hutan. Laju degradasi hutan

tersebut belum mampu diimbangi dengan regenerasi alami maupun rehabilitasi melalui

kegiatan penanaman. Hal ini berdampak pada makin luasnya lahan kritis. Menurut data

Depertemen Kehutanan (2014) diperkirakan hingga tahun 2011 luas lahan kritis

mencapai ±27,29 juta hektar. Luasan tersebut terdiri dari 5,27 juta ha lahan sangat kritis

dan 22,02 juta lahan kritis. Luas lahan kritis ini sebenarnya mengalami penurunan

dibandingkan tahun 2005 yang mencapai ±30,19 juta hektar. Hal ini menunjukkan

bahwa upaya rehabilitasi lahan kritis tersebut terus dilakukan meskipun hasilnya belum

optimal. Kegiatan rehabilitasi dan reboisasi lahan tersebut memerlukan dukungan

ketersediaan benih dan bibit yang bermutu.

Mutu benih didefinisikan sebagai ukuran karakter-karakter atau atribut-atribut

2

yang akan menentukan performa benih ketika ditabur atau disimpan. Definisi tersebut

mempunyai multi konsep yang menekankan pada attribut fisik, fisiologi, genetik,

fatologi dan entomologi yang mempengaruhi performa kelompok benih. Dengan kata

lain, mutu benih diartikan sebagai derajat yang mana benih tersebut bisa hidup, aktif

bermetabolisme dan memiliki enzim-enzim yang mampu mengkatalis reaksi-reaksi

metabolime yang diperlukan untuk perkecambahan dan pertumbuhan semai. Mutu

benih juga bisa dicerminkan dari penampilan fisik (kadar air, kemurnian dan berat

benih) dan juga fisiologis (daya berkecambah) yang dijadikan parameter utama

pengujian benih dalam rangka sertifikasi mutu benih di Indonesia (Sudrajat dan

Nurhasybi, 2009).Benih-benih yang bermutu baik secara fisik dan fisiologis akan

mampu tumbuh menjadi bibit yang bermutu.

Mutu bibit merupakan ekspresi yang digunakan untuk menggambarkan

kemampuan bibit untuk beradaptasi dan tumbuh setelah penanaman. Kriteria mutu bibit

sangat terkait dengan jenis dan lingkungan tempat tumbuhnya (ekologi), sehingga

tidak dapat diadopsi secara langsung dari berbagai jenis yang berbeda atau dari

berbagai wilayah yang lain. Bibit bermutu merupakan bibit yang mampu beradaptasi

dan tumbuh baik ketika ditanam pada suatu tapak yang sesuai dengan karakteristik

jenisnya (Mattson, 1996; Wilson dan Jacobs, 2005). Makin banyaknya permintaan bibit

tanaman hutan untuk kegiatan penanaman perlu dukungan standar mutu bibit (nursery

stock standard) sebagai perangkat pengendalian mutu bibit yang beredar (ANLA,

2004; Jacobs et al., 2005).

Di Indonesia dan beberapa negara berkembang lainnya, pengendalian mutu

benih dan bibit dilakukan melalui sistem sertifikasi mutu yang diatur dalam bentuk

peraturan yang dikeluarkan pemerintah (Van der Meer, 2002; Van Gastel et al., 2002;

Louwaars, 2005). Sertifikasi mutu benih dan bibit tersebut memerlukan perangkat

berupa standar uji dan standar mutu benih dan bibit(Tripp, 1997; Louwaars, 2005) yang

secara operasional diatur dalam bentuk Surat Keputusan Direktur Jenderal Rehabilitasi

Lahan dan Perhutanan Sosial dan juga Standar Nasional Indonesia. Untuk memenuhi

kriteria parameter yang ditetapkan dalam standar, tentunya teknologi penanganan benih

dan bibit yang standar sesuai dengan jenisnya sangat diperlukan (Cicero, 1998;

Sudrajat, 2010).Tulisan ini memberikan informasi standar mutu benih dan bibit, serta

teknologi penanganannya untuk memenuhi kriteria dalam standar mutu benih dan bibit

tersebut.

3

II. SISTEM SERTIFIKASI SEBAGAI SISTEM PENGENDALIAN MUTU

BENIH DAN BIBIT

A. Sistem Sertifkasi Mutu Benih Berdasarkan ISTA

Skema sertifikasi benih ISTA bertujuan untuk mengatur pemberian sertifikat

ISTAhasil penguji benih. Sertifikat hanya diberikan oleh laboratorium yang menjadi

anggota ISTA dan telah diakreditasi sesuai dengan peraturan ISTA. Sertifikat ISTA

terdiri dari 2 kategori (ISTA, 2011), yaitu:

1) Sertifikat benih internasional warna oranye diterbitkan ketika pengambilan contoh

dari kelompok benih dan pengujian contoh dilaksanakan di bawah tanggung jawab

suatu laboratorium yang terakreditasi atau ketika pengambilan contoh dari

kelompok benih dan pengujian contoh dilaksanakan di bawah tanggung jawab

laboratorium terakreditasi yang berbeda. Apabila pengambilan contoh dan

pengujian contoh masing-masing dilakukan oleh laboratorium terakreaditasi yang

berbeda, maka harus dinyatakan dalam sertifikat.

2) Sertifikat benih internasional warna biru diterbitkan ketika pengambilan contoh

dari kelompok benih tidak berada di bawah tanggung jawab suatu laboratorium

yang terakreditasi. Laboratorium yang terakreditasi hanya bertanggung jawab

pada pengujian contoh yang dikirimkan. Laboratorium tersebut tidak bertanggung

jawab dalam kaitan dengan contoh benih dan dengan kelompok benih darimana

contoh tersebut berasal. Sertifikat internasional biru menekankan pada laporan

hasil pengujian terbatas pada contoh yang diuji sesuai dengan waktu penerimaan

contoh.

B. Sistem Sertifikasi Mutu Benih Berdasarkan OECD

Salah satu sistem pengendalian mutu yang telah lazim digunakan dibanyak

negara selama puluhan tahun adalah sertifikat benih berdasarkan skema OECD

(Organization for Economic Co-operation and Development) yang didukung oleh

pengujian mutu benih berbasis ISTA Rules (ISTA, 1985). Sejak diterapkannya sistem

sertifikat benih, volume perdagangan benih secarainternasional mengalami

peningkatan. Di negara-negara Eropa, keberhasilan sertifikat memacu komersialisasi

benih rumput, serta mendorong pengembangan sertifikat pada benih-benih sereals dan

tanaman lain. Skema sertifikasi OECD telah diterapkan disemua negara anggota

4

OECD ditambah Yugoslavia, Cyprus, Israel, New Zealand, Polandia dan Afrika

Selatan. Sertifikat benih juga telah diakui memainkan peranan penting dalam

meningkatkan produktifitas pertanian Amerika (Weimortz, 1985). Sistem serifikasi

benih OECD menggunakan beberapa klasifikasi sebagai berikut:

1) Materi berasal dari sumber teridentifikasi (source identified materials):

Persyaratan yang diperlukan meliputi a) wilayah dari provenan dimana materi

dikumpulkan dan asal usul dari materi (indigenous atau non indigenous)

ditentukan dan didaftar oleh institusi yang berwenang, dan b) benih dikumpulkan,

diproses dan disimpan, dan tanaman ditumbuhkan dibawah pengawasan institusi

yang berwenang. Label benih berwarna kuning.

2) Materi terseleksi (selected materials): memiliki persyaratan yang sama seperti

di atas, dan berasal dari materi dasar yang memenuhi persyaratan tertentu,

disetujui dan diregister oleh institusi yang berwenang. Penekanan persyaratan

khususnya untuk kriteria seleksi, keseragaman, kualitas, isolasi dan asal usul.

Label benih berwarna hijau.

3) Materi dari kebun benih yang belum teruji (materials from untested seed

orchards): materi berasal dari benih yang diproduksi dari kebun benih yang uji

keturunannya belum selesai dilakukan. Label benih berwarna pink.

4) Materi teruji (tested materials): materi berasal dari benih yang diproduksi dari

kebun benih yang teruji dari hasil uji keturunan yang telah dilakukan. Label benih

berwarna biru.

C. Sistem Sertifikasi Mutu Benih di Indonesia

Sertifikasi mutu benih telah diatur dalam beberapa peraturan perudang-

undangan, seperti: (1) Undang Undang Nomor 12 tahun 1992 tentang Sistem

Budidaya Tanaman, (2) Peraturan Pemerintah Nomor 44 tahun 1995 tentang

Perbenihan Tanaman, (3) Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P01/Menhut-II/2009

tentang Sistem Perbenihan Tanaman Hutan.Undang-undang, Peraturan Pemerintah,

dan Keputusan Menteri tersebut menunjukkan betapa pentingnya perbenihan dalam

mewujudkan pertanian, kehutanan dan perkebunan yang maju, efisien, dan tangguh.

Ketentuan tentang pengujian mutu diatur dalam pasal 33 dari PP Nomor 44 tahun

1995, yaitu …..untuk memenuhi standar mutu yang ditetapkan….harus melalui… (b)

pengujian laboratorium untuk menguji mutu benih yang meliputi mutu genetis,

5

fisiologis dan fisik. Ketentuan tentang sistem sertifikasi untuk benih-benih tanaman

hutan diatur dalam

Peraturan Menteri Kehutanan No. P01/Menhut-II/2009 pasal 47 yang

menyatakan bahwa “Setiap benih atau bibit yang beredar harus jelas kualitasnya

yang dibuktikan dengan: sertifikat mutu untuk benih atau bibit yang berasal dari

sumber benih bersertifikat; atau surat keterangan pengujian untuk benih dan/atau

bibit yang tidak berasal dari sumber benih bersertifikat”. Berdasarkan pasal 48,

Sertifikat mutu benih dan bibit diterbitkan oleh Dinas Kabupaten/Kota, Dinas

Provinsi, atau Balai, dimana pada pasal 50 dinyatakan bahwa Dinas Kabupaten/Kota

dan Dinas Provinsi yang melaksanakan sertifikasi harus memenuhi kriteria dan

standar pelaksana sertifikasi yang selanjutnya diatur dalam Lampiran 10 Peraturan

Menteri tersebut. Lebih lanjut pada pasal 51, dinyatakan bahwa Dinas

Kabupaten/Kota melakukan sertifikasi terhadap mutu benih dan/atau bibit yang

diproduksi di wilayahnya. Dinas Provinsi melakukan sertifikasi di wilayah

Kabupaten/Kota terhadap Kabupaten/Kota yang belum memiliki Dinas sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 50 atau tidak memilih urusan perbenihan tanaman hutan. Balai

melakukan sertifikasi di wilayah Provinsi terhadap Provinsi dan Kabupaten/Kota yang

belum memiliki Dinas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 atau Kabupaten/Kota

tidak memiliki urusan perbenihan tanaman hutan. Hasil pengujian tersebut

dikategorikan dalam dua jenis, yaitu Sertifikat Mutu Benih dan bibit. Sertifikat ini

diterbitkan apabila benihnya berasal dari sumber benih bersertifikat, dan Surat

Keterangan Hasil Pengujian diterbitkan apabila benihnya tidak jelas asal usulnya.

III. STANDAR PENGUJIAN DAN STANDAR MUTU BENIH DAN BIBIT

A. Standar Pengujian dan Mutu Benih

Metode pengujian yang digunakan harus merupakan metode standar yang

dipublikasikan secara nasional, regional, maupun internasional. Internasional Seed

Testing Association (ISTA) Rules merupakan acuan internasional dalam pengujian

benih. Secara umum, ketentuan ISTA masih didominasi oleh jenis-jenis tanaman

pertanian dan hotikultura, sedangkan jenis-jenis tanaman hutan khususnya jenis tropis

masih sangat terbatas (ISTA, 2013). Padahal peredaran benih tanaman hutan

khususnya di Indonesia telah mulai berkembang dan memerlukan pengaturan dan

6

jaminan mutu baik bagi pada pengada, pengedar maupun pengguna. Kondisi tersebut

harus dapat diatasi dengan melakukan modifikasi terhadap ketentuan ISTA dengan

memasukkan data-data hasil penelitian dan pengujian benih yang memadai untuk

dijadikan dasar bagi penyusunan metode pengujian benih di Indonesia.

Penyusunan standar metode pengujian dan standar mutu benih telah dilakukan

dari mulai tahun 1990-an, namun hingga tahun 2009, jenis yang distandarkan masih

sangat terbatas. Pada tahun 2009, Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan bekerjasama

dengan Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan (BPTPTH) Bogor dan

melibatkan seluruh Balai Perbenihan Tanaman Hutan membentuk Kelompoik Kerja

Pembuatan Standar Mutu Benih dan Bibit. Hingga tahun 2014, sekitar 80 jenis

tanaman hutan telah dibuatkan standar pengujian mutu fisik dan fisiologis dan standar

mutu benihnya. Kegiatan Kelompok Kerja tersebut meliputi pengumpulan data hasil

sertifikasi mutu benih (2003-2014), eksplorasi benih jenis-jenis yang belum pernah

atau belum banyak diuji, tukar menukar benih antar BPTH, pengujian mutu benih,

pengumpulan data hasil sertifikasi dan hasil uji, pengolahan data, penyusunan dan

pembahasan standar pengujian dan mutu benih. Pada tahun 2014, melalui Pusat

Standardisasi dan Lingkungan Hidup dan Badan Standardisasi Nasional, standar mutu

benih tersebut telah ditetapkan menjadi Standar Nasional Indonesia, yaitu SNI

7627:2014,Mutu fisik dan fisiologis benih tanaman hutan (Lampiran 1).

B. Standar Pengujian dan Mutu Bibit

Perdirjen RLPS No. P.05/V-Set/2009 menjadi acuan BPTH dan lembaga

sertifikasi lainnya yang ditunjuk dalam kegiatan sertifikasi mutu bibit tanaman hutan.

Persyaratan mutu bibit dalam standar tersebut di bagi menjadi syarat umum dan syarat

khusus, yaitu :

1. Syarat umum meliputi:

a. bibit berbatang tunggal dan lurus

b. bibit sehat: terbebas dari serangan hama penyakit dan warna daun normal

(tidak menunjukkan kekurangan nutrisi dan tidak mati pucuk)

c. batang bibit berkayu, diukur dari pangkal batang sampai dengan setinggi 50%

dari tinggi bibit.

2. Syarat khusus meliputi:

7

a. tinggi bibit, yang diukur mulai dari pangkal batang sampai pada titik

tumbuh teratas

b. diameter batang bibit, yang diukur pada pangkal batang

c. kekompakan media, yang ditetapkan dengan cara mengangkat satu persatu

dari beberapa jumlah contoh bibit.

d. kekompakan media dibedakan ada 4 yaitu utuh, retak, patah, lepas

e. jumlah daun sesuai dengan jenisnya sedangkan untuk jenis tanaman yang

berdaun banyak seperti Pinus sp., Paraserianthes sp., parameter yang

digunakan adalah Live Crown Ratio (LCR).

f. LCR adalah nilai perbandingan tinggi tajuk dan tinggi bibit dalam persen.

g. umur sesuai dengan jenisnya.

Hingga tahun 2009, standar penujian dan mutu bibit tanaman hutan

berdasarkan Perdirjen RLPS No. P.05/V-Set/2009,baru mencantumkan standar mutu

bibit untuk 13 jenis tanaman hutan. Begitu juga dengan SNI mutu bibit yang baru

memuat 7 jenis (BSN, 2005). Namun bersamaan dengan kegiatan penyusunan standar

mutu benih yang dimulai tahun 2009, hingga tahun 2014, standar mutu bibit telah

disusun untuk 76 jenis tanaman hutan (Lampiran 2). Standar tersebut didasarkan pada

parameter morfologi bibit siap tanam yang diperoleh dari beberapa kegiatan, yaitu: 1).

data hasil sertifikasi mutu bibit (2003-2014), 3). pengujian mutu bibit di BPTH,

Badan Litbang Kehutanan, dan Perguruan Tinggi, dan 3). hasil uji lapang penanaman

berdasarkan klasifikasi morfologi bibit (masih terbatas pada beberapa jenis tanaman

hutan).Standar ini disusun dengan mempertimbangkan kondisi bibit siap tanam yang

beredar di tingkat pengada, pengedar dan pengada sehingga standar ini terjangkau

oleh pengada/pengedar benih, mampu menjamin mutu bibit yang diterima pengguna,

dan akhirnya mampu meningkatkan mutu bibit yang beredar

IV. TEKNOLOGI PENANGANAN BENIH DAN BIBIT UNTUK MEMENUHI

STANDAR YANG BERLAKU

A. Teknologi Penanganan Benih

1. Pengumpulan buah

Pengumpulan buah dilakukan pada areal sumber benih dengan cara perontokan,

pemetikan dan pengumpulan buah di lantai hutan dengan mempertimbangkan kondisi

8

pembuahan dan indikator kemasakan. Apabila sumber benih untuk suatu jenis belum

tersedia, beberapa lokasi lain dapat dipertimbangkan seperti hutan alam, hutan rakyat

dan hutan tanaman lainnya yang dikumpulkan dari minimal 25 pohon induk tidak

berkerabat. Pengumpulan buah harus dilakukan pada saat puncak musim buah.

Indikator kemasakan buah dapat diketahui dengan melihat perubahan warna kulit

buah, bau, kelunakan buah, berat jenis, kadar air benih dan jatuhnya buah secara

alami. Pengumpulan buah dapat dilakukan dengan perontokan, pemetikan buah, dan

pengumpulan buah di lantai hutan.

Perontokan buah dilakukanuntuk kebanyakan buah atau biji yang berukuran

besar dan buah yang mudah rontok serta waktu panen yang singkat. Pemetikan buah

dapat dilakukan secara langsung dan menggunakan alat bantu pada pohon yang

buahnya tidak terjangkau. Cara ini diaplikasikan pada tipe buah kering pecah

(indihischent) seperti buah kapsul (misalnya: eucalyptus, benuang, puspa), buah

polong (misalnya: sengon, jelutung, pulai) dan kerucut (misalnya: agathis,

pinus).Pemetikan pada pohon yang tinggi dilakukan dengan cara pemanjatan.

Pengumpulan buah di lantai hutandigunakan untuk buah/benih yang jatuh di bawah

pohon dan tidak mudah dimakan pemangsa, tidak mudah tersebar/terbang, tidak cepat

berkecambah dan tidak cepat rusak serta berukuran besar. Sebelum pengumpulan

buah terlebih dahulu lantai hutan dibersihkan dan dibentangkan alas berupa

jaring/terpal sebagai penampung.Pengumpulan dilakukan segera setelah buah jatuh

dan sebelum buah terbuka, rusak atau berkecambah (Schmidt, 2002).

Penyimpanan sementara dilakukan jika pengumpulan buah berjangka waktu

panjang serta lokasi pengunduhan yang cukup jauh dari tempat penanganan. Kegiatan

yang dilakukan di lokasi penyimpanan sementara adalah pengurangan campuran

selain buah/benih, pengendalian kemunduran (deteriorasi) misalnya: memisahkan

buah yang telah berjamur, buah yang telah terfermentasi dan yang telah

berkecambah.Lingkungan tempat penyimpanan sementara harus memiliki sirkulasi

udara yang baik, terjaga dari organisme pengganggu, terlindung dari hujan dan sinar

matahari langsung (di bawah naungan/atap).

Pengangkutan buah jenis rekalsitran, harus segera dilakukan setelah

pengumpulan buah. Wadah angkut buah selama pengangkutan menggunakan wadah

yang berpori (misalnya: karung goni atau keranjang). Setiap wadah angkut buah

diberi label yang tidak mudah rusak dan berisi informasi: jenis tanaman, kelas dan

9

lokasi sumber benih (letak geografi dan administrasi), jumlah pohon induk (identitas

pohon induk jika ada), jumlah/berat buah, tanggal pengunduhan, dan nama

pengunduh.

2. Penanganan benih

Penanganan benih dilakukan untuk memperoleh benih bersih dan murni

dengan kualitas fisik fisiologis yang baik. Benih yang belum mencapai tingkat

kemasakan sempurna (kulit buah yang belum matang) diperlukan pemasakan buatan

(pemeraman/curing)(seperti pinus).Benih yang telah masak namun embrionya belum

berkembang perlu dilakukan pemasakan lanjutan (after ripening) hingga embrio

matang sempurna (seperti mahoni, kesambi, jati).Benih yang tidak memerlukan

pemeraman dan pemasakan lanjutan dapat langsung diekstraksi.

a. Ekstraksi benih

Ekstraksi benih dapat dilakukan dengan metode ekstraksi kering dan ekstraksi

basah. Ekstraksi kering dilakukan pada buah yang tidak berdaging, berbentuk polong

atau kerucut/bersisik dengan cara manual atau semi mekanis. Ekstraksi kering

dilakukan dengan cara: 1). penjemuran pada lantai jemur atau menggunakan alas

jemur (terpal), 2). penjemuran di bawah sinar matahari selama 1 – 3 hari, atau dapat

menggunakan alat pengering benih (seed dryer) pada suhu 35-38 ºC selama 12-24

jam, 3). penjemuran/pemanasan dihentikan ketika buah telah merekah, dan benih

mudah untuk dikeluarkan dari buah.

Ekstraksi basah dilakukan pada buah berdaging dengan cara manual atau semi

mekanis. Ekstraksi basah dilakukan dengan cara: 1). perendaman buah dalam bak

berisi air hingga daging buah melunak atau benih mudah dikeluarkan dari buah, 2).

kulit buah dikelupas dan kulit benih dibersihkan dari daging buah dengan

menggunakan pasir halus atau bahan lainnya pada air yang mengalir, 3). pengeringan

permukaan kulit benih dikeringanginkan dalam ruang kamar atau dijemur.

b. Pembersihan, seleksi dan sortasi benih

Pembersihan benih hasil ekstraksi kering dilakukan dengan cara: ditampi,

disaring, direndam-dijemur atau menggunakan penghembus angin (blower).

Pembersihan benih hasil ekstraksi basah dilakukan pencucian dengan air. Seleksi

benih dilakukan untuk memisahkan benih berisi dari benih kosong, kotoran dan benih

jenis lain. Sortasi benih dilakukan berdasarkan ukuran benih (berat dan dimensi).

10

Seleksi dan sortasi dapat menggunakan seed gravity table (SGT), saringan dengan

ukuran tertentu, teknik pengapungan/perendaman dan blower.

c. Pengeringan benih

Pengeringan benih hanya ditujukan untuk benih intermediate dan benih

ortodoks.Pengeringan benih intermediate dikeringanginkan pada suhu kamar sampai

mencapai kadar air aman untuk penyimpanan(8-12%). Pengeringan benih ortodoks

dilakukan secara mekanis atau dijemur sampai mencapai kadar air aman untuk

penyimpanan (4-8%). Selama proses pengeringan, sebelum benih mencapai kondisi

kadar air aman untuk penyimpanan harus diletakkan pada suhu kamar dengan

aerasi/pertukaran udara yang cukup.

d. Pengemasan

Wadah pengemasan benih untuk benih rekalsitran menggunakan wadah

berpori hingga semi permeabel terhadap uap air dan gas (seperti kantong plastik tipis

dengan ketebalan 0,1 - 0,25 mm, karung goni, karung katun, kotak kayu, keranjang).

Untuk benih intermediate dan ortodoks dapat menggunakan wadah kedap terhadap

uap air dan gas (seperti kaleng aluminium atau timah, plastik tebal, drum, botol kaca,

jerigen). Selain itu, bahan pencampur juga digunakan untuk penyimpanan dan

pengiriman benih rekalsitran. Bahan pencampur digunakan untuk menjaga

kelembaban agar kadar air benih tetap terjaga/tidak terjadi penurunan, mengurangi

kerusakan benih, meredam panas serta mengendalikan hama dan penyakit.Bahan

pencampur (seperti serbuk kayu, serbuk arang, serbuk sabut kelapa) harus lembab

dengan kadar air yang sama dengan kadar air benihnya. Perbandingan volume bahan

pencampur dengan benih adalah 2 : 1.

e. Penyimpanan Benih

Penyimpanan benih hanya dapat dilakukan pada benih intermediate dan

ortodoks, sedangkan benih rekalsitran hanya dapat disimpan sementara (maksimal 4

minggu).Wadah simpan yang digunakam umumnya sama dengan wadah untuk

pengemasan pada bagian 4. Ruang simpan benih intermediate dan ruang simpan

sementara benih rekalsitran dapat menggunakan ruang simpan suhu kamar dan ruang

11

simpan kering sejuk/air conditioning. Untuk benih-benih ortodoks, ruang simpan

benih dapat menggunakan (Schmitd, 2002):

- Ruang simpan suhu kamar (suhu 25- 30 oC, kelembaban nisbi 70 - 80%).

- Ruang simpan kering sejuk/air conditioning (suhu 18-20oC, kelembaban nisbi

70%).

- Ruang simpan lembab dingin/cold storage (suhu 4-8oC, kelembaban nisbi 50-60%).

- Ruang simpan kering dingin/drycold storage (suhu 4-8oC, kelembaban nisbi 40-

50%).

- Ruang simpan lemari pendingin/refrigerator (suhu 4-6oC, kelembaban nisbi 40-

50%).

Untuk benih yang disimpan harus disertai label yang berisi informasi

mengenai:jenis tanaman, kelas dan lokasi sumber benih (letak geografi dan

administrasi), jumlah pohon induk (identitas pohon induk jika ada), nomor kelompok

benih, waktu panen, waktu simpan, waktu pengujian, kadar air, daya berkecambah,

dan berat benih.

f. Pengendalian hama dan penyakit

Pengendalian hama dan penyakit benih dimulai sejak pengumpulan buah,

yaitu pengumpulan buah dilakukan di awal musim panen, pengumpulan buah dari

lantai hutan harus menggunakan alas serta menyeleksi kondisi buah serta memisahkan

benih dari benih rusak dan kotoran. Pengendalian hama dan penyakit pada saat

penyimpanan dilakukan dengan mempertahankan kadar air aman benih dan fumigasi

serta pemeriksaan kesehatan benih secara berkala. Fumigasi dilakukan secara berkala

minimal 6 bulan sekali pada wadah dan ruang simpan. Sterilisasi benih dilakukan

sebelum perkecambahan menggunakan antara lain: natrium hipoklorit 1%, ethanol

70% dan pestisida nabati dengan lama perendaman berkisar 5 - 10 menit.

B. Teknologi Penanganan Bibit

1. Penaburan benih

Benih yang memiliki dormansi diperlukan perlakuan pendahuluan.

Benihditaburkan pada media yang steril, berpori, mengikat air misalnya tanah, pasir,

gambut halus, zeolit, serbuk sabut kelapa. Bak tabur untuk benih kecil yang berukuran

halus (seperti jabon, ekaliptus, benuang, kayu putih) ditutup plastik transparan hingga

12

keluar sepasang daun.Benih-benih yang berkarakter rekalsitran seperti mimba, kayu

bawang, shorea, sebaiknya langsung ditanam di bedeng atau bak penaburan.

Kelembaban media perlu dijaga agar tidak terlalu tinggi sehingga bibit aman

dari serangan jamur patogen. Untuk itu pastikan bahwa lingkungan media

perkecambahan memiliki aerasi yang baik dan pastikan untuk menyiram dengan

intensitas yang berlebihan dan secara rutin dilakukan penyemprotan dengan fungisida.

2. Penyapihan

Penyapihan dilakukan ketika semai telah memiliki minimal sepasang daun atau

tinggi semai telah mencapai 3-5 cm. Penyapihan dilakukan pada kondisi teduh misal

pada saat pagi atau sore hari sehingga bibit tidak layu karena panas matahari. Media

tabur dibasahi terlebih dahulu. Ambil bibit dengan cara memasukkan ranting kecil ke

media di bawah akar bibit kemudian mencungkil media pelan-pelan hingga bibit

terangkat. Hindari memegang bibit pada batangnya tetapi peganglah kotiledon atau

daunnya. Usahakan akar tertanam lurus dan tidak rusak.

Kesalahan umum saat penyapihan yang harus dihindari adalah lubang terlalu

dalam (bibit tertanam setengah terkubur), atau lubang terlalu dangkal sehingga

tanaman akan mudah mengalami kekeringan, akar tersingkap, atau akar menjadi

bengkok. Bibit yang disapih dengan tidak tepat maka sistem perakaran akan

terganggu yang mengakibatkan pertumbuhan tanaman yang kurang baik, terutama

ketika tumbuh di lapangan.

3. Penyiraman

Media didalam polibag/wadah yang telah ditumbuhi bibit harus betul-betul

tersiram secara menyeluruh, pastikan air membasahi media sampai ke bagian

dasarnya. Jadi tujuan penyiraman adalah membasahi media bukan untuk sekedar

membasahi daun. Kekuatan semprotan air tidak terlampau keras yang menyebabkan

erosi atau kehilangan permukaan media. Penyiraman dilakukan dua kali sehari

terutama selama musim panas. Untuk bibit muda dari jenis tertentu yang berukuran

kecil, penyiraman dengan menggunakan alat siram yang menghasilkan semprotan air

yang halus. Pemberian air yang terlalu banyak dapat merusak tanaman seperti halnya

kekurangan air, karena air yang menggenang menyebabkan air memenuhi pori-pori

13

udara yang ada di dalam media dan menyebabkan media memadat sehingga akar tidak

bisa bernapas. Penyiraman berlebihan juga mengakibatkan bibit tumbuh cepat namun

lemah dan memacu penyebaran jamur dan bakteri patogen.

4. Wiwil dan penyiangan

Wiwil atau membuang daun-daun tua, kering, busuk, atau berpenyakit,

dilakukan ketika bibit mencapai ketinggian atau umur tertentu misal pada jati ketika

bibit berketinggian ±20 cm. Wiwil berfungsi untuk memperbaiki sirkulasi udara,

mencegah berkembang dan menularnya hama penyakit.Penyiangan atau

pembersihaan gulmaharus rutin dilakukan.Pembersihan gulma sangat penting ketika

bibit masih pada awal pertumbuhan, karena gulma biasanya lebih kuat dan tumbuh

lebih cepat daripada bibit dan menjadi kompetitor bibit dalam memperoleh air, hara

dan ruang tumbuh.

5. Pemangkasan akar dan penjarangan bibit

Pemangkasan akar adalah pemotongan akar untuk mengendalikan

pengembangan sistem akar di luar pot semai. Pemangkasan akar secara rutin perlu

dilakukan karena ketika bibit telah mencapai ukuran tertentu akarnya akan tumbuh

menjadi lebih panjang dari ukuran pot semai dan menembus ke dalam tanah. Untuk

pelaksanaan pemangkasan akar, bibit disiram terlebih dulu, kemudian potong setiap

akar yang tumbuh menembus ke dalam. Pemangkasan hendaknya dilakukan pada pagi

atau sore hari atau pada saat hari berawan. Untuk menghindari kelayuan bibit, siram

kembali bibit setelah pemangkasan. Pertumbuhan akar di bawah semai juga dapat

dihambat dengan meletakkan bibit pada rak, lembaran plastik atau lantai

semen.Seiring dengan pertumbuhan bibit maka daun dan tunas muda akan menjadi

berdesak-desakan sehingga sebagian bibit tidak cukup menerima sinar matahari yang

diperlukan untuk pertumbuhannya. Sebelum hal ini terjadi, bibit-bibit yang berada di

bedeng semai harus dijarangkan. Jarak tidak hanya membantu bibit untuk menerima

sinar matahari yang cukup, tetapi juga memudahkan pemantauan bibit yang terserang

hama dan penyakit.

6. Pencegahan dan pengendalian hama penyakit

14

Pada tingkat bibit, tanaman lebih rentan terhadap serangan hama dan penyakit

(biotik) dan juga kerusakan karena kondisi cuaca (abiotik), sehingga perlu diantisipasi

sedini mungkin.Hama yang sering merusak bibit adalah serangga (belalang, ngengat,

semut) dan ulat, sedangkan penyakit di antaranya adalah jamur, bakteri, virus dan

cacing. Insektisida sistemik atau nabati dapat digunakan untuk mengendalikan

serangan hama. Penyakit yang menyerang bibit antara lain adalah rebah semai

(dumping off), embun tepung (powdery mildew), bercak daun (leaf spot), layu (wilt),

dan mati pucuk (die back). Sterilisasi media, air penyiraman yang bersih, penaburan yang

tidak terlalu padat, pemberian fungisida secara teratur 2 atau 4 minggu sekali, pengaturan

intensitas cahaya,dan menjaga kelembaban media tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah

dapat menghindari serangan jamur seperti lodoh (Departemen Kehutanan, 2004).

7. Pemupukan

Pemupukan dibutuhkan untuk mendukung pertumbuhan bibit secara optimal.

Sebelum dilakukan pemupukan, perlu adanya analisis kesuburan media. Pemupukan

dilakukan secara tepat dan tidak berlebihan. Dosis pupuk yang berlebihan akan

menyebabkan pertumbuhan tidak seimbang (terlalu cepat namun bibit mudah patah,

mudah layu, dan rasio pucuk akar tidak seimbang), pertumbuhan tanaman terganggu

karena pupuk yang berlebihan akan bersifat toksik dan juga mengganggu

pertumbuhan mikroorganisme dalam media yang bermanfaat seperti mikoriza.Pupuk

yang paling umum adalah NPK. Pupuk dapat dilarutkan dalam air dengan

mencampurkan satu sendok pupuk dalam 10 liter air dapat diterapkan untuk

penyiraman.Pemberian pupuk sintetik/kimiawi mungkin tidak diperlukan jika media

persemaian telah berisi nutrisi yang mencukupi untuk mendukung pertumbuhan bibit,

seperti telah mengandung campuran kompos atau pupuk kandang yang memadai

untuk pertumbuhan bibit.

8. Seleksi dan aklimatisasi (hardening off)

Seleksi bibit bertujuan untuk menyortirbibit yang menunjukkan gejala

terserang hama atau penyakit, memiliki pertumbuhan yang tertekan, memiliki batang

utama bercabang, bengkok, mati atau patah, sehingga bibit siap tanam memiliki

penampilan yang relatif seragam. Bibit siap tanam dipisahkan dan dikelompok dan

sebelum didistribusikan ke lapangan, terlebih dahulu dilakukan aklimatisasi (Sudrajat

et al., 2010).

15

Aklimatisasi bertujuan untuk mempersiapkan bibit agar dapat beradaptasi pada

kondisi lapangan penanaman. Aklimatisasi dilakukan dengan cara meningkatkan

cahaya yang diterima oleh bibit, peningkatan jarak antar bibit dan mengurangi

penyiraman (hardening off). Pada saat hardening off, bibit masih berada di bawah

naungan namun intensitas cahaya ditingkatkan dengan membuka sebagian shading

net sehingga cahaya yang diterima bibit meningkat. Dalam kondisi demikian, bibit

mengalami proses pengayuan (lignifikasi) sehingga lebih kuat. Untuk jenis-jenis

toleran yang pertumbuhannya lebih baik bila berada di bawah naungan, bibit yang

dipindahkan langsung ke areal persemaian terbuka kemungkinan pertumbuhannya

kurang optimal, dengan demikian naungan ringan masih diperlukan. Aklimatisasi

bibit dilakukan secara bertahap dengan mengurangi naungan dan frekuensi

penyiraman. Aklimatisasi dilakukan 2 - 3 minggu sebelum waktu tanam.

V. KENDALA APLIKASI STANDAR MUTU BENIH DAN BIBIT

Hingga saat ini belum seluruh stakeholder yang berkaitan dengan kegiatan

perbenihan menggunakan standar mutu benih dan bibit yang telah disusun (Lampiran

1 dan 2). Terdapat beberapa kendala yang cukup sering ditemui dalam penerapan

standar mutu ini, di antaranya karena masih terbatasnya lembaga sertifikasi serta

SDM dan sarana prasarana yang belum memadai. Keberadaan lembaga penguji

sebaiknya ada di setiap kabupaten atau setidaknya pada tingkat provinsi, sehingga

mudah dijangkau oleh produsen/pengada benih yang akan mengujikan sampelnya.

Hal ini terutama menjadi kendala apabila contoh benih yang akan diuji adalah

kelompok benih rekalsitran.

Selain itu adanya kebutuhan lapangan yang belum terakomodir di dalam standar

mutu yang telah disusun. Sebagai contoh saat ini standar mutu bibit siap tanam yang

telah disusun adalah bibit yang akan ditanam pada hutan tanaman yaitu bibit yang

berukuran 30-50 cm, akan tetapi banyak produsen/pengada menyadiakan bibit untuk

kebutuhan lain, misalnya untuk hutan kota yang ukuran bibit yang dibutuhkan lebih

dari 1 m. Oleh karena itu untuk mengakomodir kebutuhan tersebut perlu adanya

perbaikan terhadap standar mutu benih ataupun bibit, atau menyusun standard khusus

untuk bibit yang diperuntukan hutan kota yang umumnya telah berukuran besar.

PENUTUP

16

Standar mutu benih dan bibit merupakan perangkat pengendali yang berupa nilai

parameter mutu benih dan bibit yang menjadi acuan bagi hasil pengujian. Efisiensi

pengendalian ini harus didukung dengan perbaikan sistem produksi dan penanganan

benih dan bibit. Konsekuensinya serangkaian teknologi penanganan benih dan bibit

dan prosedur administrasi (dokumentasi benih dan bibit) harus diadopsi dan tidak ada

kompromi dalam penerapannya sehingga tujuan pengendalian tersebut dapat tercapai.

Selain itu, upaya lain untuk mendukung sistem pengendalian mutu ini dapat ditempuh

dengan meningkatkan sistem manajemen mutu internal pada tingkat produser/pengada

benih dan bibit.

DAFTAR PUSTAKA

ANLA (American Nursery & Landscape Association). 2004. American Standard for

Nursery Stock. American Nursery & Landscape Association, Washington,

USA.

BSN (Badan Standardisasi Nasional). 2005. Mutu Bibit (Mangium, Ampupu,

Gmelina, Sengon, Tusam, Meranti, dan Tengkawang). Badan Standardisasi

Nasional. Jakarta. 13p.

BSN (Badan Standardisasi Nasional). 2014. SNI 7627:2014,Mutu fisik dan fisiologis

benih tanaman hutan. Badan Standardisasi Nasional. Jakarta.

BSN (Badan Standardisasi Nasional). 2014. SNI 7627:2014,Mutu fisik dan fisiologis

benih tanaman hutan. Badan Standardisasi Nasional. Jakarta.

Cicero, S.M. 1998. Establishment of qeed quality control program. Sci. Agric.,

Piracicaba, 55(Número Especial). p.34-38.

Departemen Kehutanan. 2004. Teknik pembibitan dan konservasi tanah. Buku I.

Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Departemen Kehutanan.

Jakarta.

Departemen Kehutanan. 2014. Statistik kehutanan Indonesia 2013. Departemen

Kehutanan. Jakarta

ISTA (International Seed Testing Association). 1985. International Rules for Seed

Testing. Switzerland.

ISTA (International Seed Testing Association). 2011. International Rules for Seed

Testing. Switzerland.

ISTA (International Seed Testing Association). 2013. International Rules for Seed

Testing. Switzerland.

Jacobs, D.F., E.S. Garnider, K.F. Salifu, R.P. Overton, G. Hernandes, M.E. Corbin,

K.E. Wightman, and M.F. Selig. 2005. Seedling quality standards for

17

bottomland hardwood qfforestation in the lower Mississippi River Aluvial

Valley: Preliminary results. USDA Forest Service Proceedings RMRS-P-35.

pp. 9-16.

Louwaars, N. 2005. Biases and bottlenecks, time to reform the south’s and inherited

seed laws? Seedling July 2005. University of Wegeningen. pp 4-9.

Mattson, A. 1996. Predicting Field Performance Using Seedling Quality Assessment.

New Forests. 13:223-248.

Peraturan Direktur Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial No. P.06/V-

Set/2009 tentang Pedoman Pengujian Mutu Fisik-Fisiologis Benih Tanaman

Hutan.

Peraturan Direktur Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial No. P.05/V-

Set/2009 tentang Petunjuk Teknis Penilaian Mutu Bibit Tanaman Hutan

Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia No. 01/Menhut-II/2009 tentang

Penyelenggaraan Perbenihan Tanaman Hutan.

Peraturan Pemerintah Nomor 44 tahun 1995 tentang Perbenihan tanaman

Schmidt, L. 2002. Pedoman penanganan benih tanaman hutan tropis dan sub tropis.

Terjemahan. Kerjasama Direktorat Jenderal Rehabiltasi Lahan dan Perhutanan

Sosial dengan Indonesia Forest Seed Project. Jakarta.

Sudrajat, D.J. 2010. Kajian standar mutu fisik dan fisiologi benih tanaman hutan. Info

Benih Vol. 14 No. 2, Desember 2010, hal. 81-87.

Sudrajat, D.J. dan Nurhasybi, 2009. Penentuan standar mutu fisik dan fisiologis benih

tanaman hutan.Info Benih No. 13 (1):147-158. Balai Penelitian Teknologi

Perbenihan Bogor.

Sudrajat, D.J., Kurniaty, R., Syamsuwida, D., Nurhasybi, dan Budiman, B. 2010.

Kajian standardisasi mutu bibit tanaman hutan di Indonesia. Seri Teknologi

Perbenihan Tanaman Hutan 2010, ISBN 978-979-3539-20-1.

Tripp, R. 1997. New seeds and old laws. Intermediate Technology Publications.

London.

Undang-Undang No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman.

Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Van der Meer, C. 2002. Challenges and limitations of the market. Jurnal of New

Seeds. 4(1/2): 65-75.

Van Gastel, T.J.G., B.R. Gregg, and E.A. Asiedu. 2002. Seed quality control in

developing countries. Jurnal of New Seeds. 4(1/2): 65-75.

Weimortz, E.D., 1985. An international view of seed certification. In: M.B.

Mcdonald, Jr and W.D Pardee (eds.). The Role of seed Certification in the

Seed Industry. CSSA Special Publication No.10:25-28. CSSA Inc., Wisconsin,

USA.

Wilson, B.C. and D.F. Jacobs. 2005. Quality assessment of hardwood seedings.

Hardwood Tree Improvement and Regeneration Center, Purdue University.

Indiana.

18

19

Lampiran 1. Kisaran standar mutu fisik beberapa benih tanaman hutan (SNI 7627:2014,Mutu fisik dan fisiologisbenih tanaman hutan)

Jenis Berat 1000 butir

(gram)

Kemurnian (%) Kadar air

(%)

Daya berkecambah (% atau kecambah per gram) Masa berlaku uji

Mutu P Mutu D Mutu T

Acacia arabica 300 – 375 ≥ 97 ≤ 9 ≥ 80 70 – 79 60 – 69 12

Acacia aulacocarpa 16 – 19 ≥ 96 ≤ 8 ≥ 80 70 – 79 60 – 69 12

Acacia auriculiformis 13 – 18 ≥ 93 ≤ 7 ≥ 80 70 – 79 60 – 69 12

Acacia crassicarpa 17 – 25 ≥ 96 ≤ 9 ≥ 90 75 – 89 60 – 74 12

Acacia mangium 8 – 15 ≥ 97 ≤ 8 ≥ 90 75 – 89 65 – 74 12

Acacia vilosa 14 – 18 ≥ 96 ≤ 8 ≥ 80 70 – 79 60 – 69 12

Adenanthera microsperma 267 – 274 ≥ 99 ≤ 12 ≥ 70 60 – 69 50 – 59 12

Agathis loranthifolia 170 – 220 ≥ 95 30-34 ≥ 90 75 – 89 60 – 74 *

Aleurites moluccana 9837 – 10275 100 ≤ 14 ≥ 60 50 – 59 40 – 49 12

Albizzia procera 26 – 31 ≥ 97 ≤ 10 ≥ 80 60 – 79 50 – 59 12

Alstonia scholaris 1,2 – 3,2 ≥ 98 ≤ 12 ≥ 80 60 – 79 50 – 59 6

Altingia excelsa 5 – 6 ≥ 70 ≤ 12 ≥ 60 50 – 59 40 – 49 6

Anacardium occidentale 3300 – 7700 100 ≤ 15 ≥ 75 60 – 74 50 – 59 3

Anthocephalus cadamba – – ≤ 15 ≥ 1500 kc/g 1000 kc/g- 1499kc/g 500 kc/g-999 kc/g 12

Anthocephalus macrophyllus – – ≤ 15 ≥ 1200 kc/g 800 kc/g-1199 kc/g 400 kc/g-799 kc/g 12

Azadirachta indica 257 – 350 ≥ 98 12 – 35 ≥ 80 60 – 79 40 – 59 *

Baccaurea macrocarpa 500 – 600 ≥ 99 30 – 55 ≥ 80 60 – 79 40 – 59 *

Calliandra calothyrsus 44 – 56 ≥ 95 ≤ 10 ≥ 90 70- 89 60 – 69 12

Calliandra tetragona 44 – 56 ≥ 95 ≤ 10 ≥ 90 70- 89 60 – 69 12

Calophyllum inophyllum 2800 – 3500 100 20 – 40 ≥ 70 60 – 69 45 – 59 6

Canarium indicum 6800 – 9200 100 ≤ 12 ≥ 70 50 – 69 40 – 49 12

Castanopsis argentea 1340 – 1455 ≥ 99 29 – 35 ≥ 70 50 – 69 40 – 49 3

Cassuarina junghuhniana 1,00 – 1,30 ≥ 80 ≤ 12 ≥ 50 40 – 49 30 – 39 3

Cassuarina equisetifolia 1,29 – 1,52 ≥ 90 ≤ 13 ≥ 50 40 – 49 30 – 39 3

Ceiba petandra 22 – 100 ≥ 94 ≤ 12 ≥ 90 80 – 89 60 – 79 12

Cryptocarya cunneata 380 – 540 ≥ 95 30-45 ≥ 60 50 – 59 40 – 49 3

Cryptocarya massoy 2600 – 2900 ≥ 99 30-50 ≥ 60 50 – 59 40 – 49 *

Dalbergia latifolia 40 – 54 ≥ 95 ≤ 10 ≥ 85 75 – 84 60 – 74 12

Delonix regia 500 – 660 ≥ 99 ≤ 12 ≥ 70 50 – 69 40 – 49 12

Diospyros celebica 1200 – 1500 ≥ 99 35 – 47 ≥ 75 60 – 74 50 – 59 *

Duabanga moluccana – – ≤ 12 ≥ 2000 kc/g 1500 kc/g-1999 kc/g 1000 kc/g-1499 kc/g 6

Dyera lowii 50 – 75 ≥ 98 10 – 35 ≥ 75 55 – 74 45 – 54 3

Enterolobium cyclocarpum 660 – 1060 ≥ 99 ≤ 12 ≥ 80 60 – 79 40 – 59 12

20

Jenis Berat 1000 butir

(gram)

Kemurnian (%) Kadar air

(%)

Daya berkecambah (% atau kecambah per gram) Masa berlaku uji

Mutu P Mutu D Mutu T

Eucalyptus camadulensis – – ≤ 9 ≥ 1000 kc/g ≥ 700 kc/g– 999 kc/g 500 kc/g – 699 kc/g 12

Eucalyptus deglupta – – ≤ 9 ≥ 1200 kc/g 1000 kc/g-1199 kc/g 700 kc/g – 999 kc/g 12

Eucalyptus pellita – – ≤ 10 ≥ 1000 kc/g ≥ 700 kc/g- 999 kc/g 500 kc/g – 699 kc/g 12

Eucalyptus urophylla – – ≤ 12 ≥190 kc/g 140 kc/g -189 kc/g 90 kc/g-139 kc/g 12

Fagara rhetsa 54 – 57 ≥ 98 ≤ 15 ≥ 40 30 – 39 20 – 29 3

Fagraea fragrans – – ≤ 10 ≥ 2000 kc/g 1600 kc/g-1999 kc/g 1400 kc/g - 1599 kc/g 12

Falcataria moluccana 18 – 24 ≥ 96 ≤ 10 ≥ 90 75 – 89 65 – 74 12

Ficus variegata – – ≤ 15 ≥ 1500 kc/g 1000 kc/g- 1499kc/g 500 kc/g-999 kc/g 6

Gliricidia sepium 120 – 200 ≥ 95 8-9 ≥ 90 80 – 89 60 – 79 12

Gmelina arborea 500 – 720 ≥ 97 ≤ 13 ≥ 75 60 – 74 50 – 59 6

Gmelina moluccana 1600 – 1800 ≥ 99 ≤ 12 ≥ 70 60 – 69 50 – 59 6

Gyrinops versteegii 80 – 108 ≥ 97 40 – 55 ≥ 60 50 – 59 40 – 49 *

Hibiscus macrophyllus 6 – 8 ≥ 90 ≤ 9 ≥ 80 70 – 79 60 – 69 12

Instia bijuga 2600 – 3100 ≥ 97 ≤ 10 ≥ 90 80 – 89 65 – 79 12

Khaya anthoteca 230 – 290 ≥ 98 ≤ 14 ≥ 80 70 – 79 60 – 69 3

Langerstroemia speciosa 5,00 – 7,32 ≥ 85 ≤ 12 ≥ 50 40 – 49 30 – 39 12

Leucaena glauca 45 – 50 ≥ 95 ≤ 9 ≥ 75 65 – 74 50 – 64 12

Leucaena leucocephala 50 – 60 ≥ 95 ≤ 9 ≥ 70 50 – 69 40 – 50 12

Maesopsis eminii 1150 – 1460 ≥ 99 14 – 30 ≥ 60 50 – 59 40 – 49 6

Manilkara kauki 675 – 895 ≥ 99 14 – 30 ≥ 75 65 -74 50 – 64 3

Magnolia ovalis 26 – 34 ≥ 97 30 – 42 ≥ 75 60 – 74 50 – 59 3

Magnolia blumei 47 – 60 ≥ 99 ≤ 18 ≥ 70 60 – 69 50 – 59 3

Magnolia champaca 55 – 90 ≥ 99 12 – 40 ≥ 70 50 – 69 40 – 49 3

Melaleuca cajuputi – – ≤ 10 ≥ 3750 kc/g 3050 kc/g–3749 kc/g 1600 kc/g–3049 kc/g 12

Melaleuca leucadendron – – ≤ 10 ≥ 6000 kc/g 4000 kc/g-5999 kc/g 3000 kc/g - 3999 kc/g 12

Melia azedarach 820 – 879 ≥ 99 ≤ 10 ≥ 70 60 – 69 45 – 59 6

Mimusops elengi 452 – 562 ≥ 99 12 – 30 ≥ 90 80 – 89 65 – 79 6

Octomeles sumatrana – – ≤ 12 ≥ 1500 kc/g 1000 kc/g - 1499kc/g 500 kc/g - 999 kc/g 6

Palaquium rostratum 1390 – 1550 ≥ 99 35 – 50 ≥ 70 60 – 69 50 – 59 3

Pericopsis mooniana 250 – 300 ≥ 99 ≤ 9 ≥ 75 65 – 74 45 – 64 12

Pinus merkusii 16 – 20 ≥ 94 ≤ 10 ≥ 75 60 – 74 50 – 59 6

Planchonia valida 285 – 500 ≥ 99 30 – 50 ≥ 60 50 – 59 40 – 49 *

Podocarpus nerifolius 2,80 – 3,40 ≥ 95 ≤ 12 ≥ 60 50 – 59 40 – 49 6

Polyalthia longifolia 1035 – 1250 ≥ 70 30 – 50 ≥ 85 75 – 84 60 – 74 *

Pongamia pinnata 1060 – 1600 ≥ 99 ≤ 15 ≥ 90 75 – 89 60 – 74 3

Pterocarpus indicus 500 – 900 ≥ 90 ≤ 14 ≥ 70 50 – 69 40 – 49 6

21

Jenis Berat 1000 butir

(gram)

Kemurnian (%) Kadar air

(%)

Daya berkecambah (% atau kecambah per gram) Masa berlaku uji

Mutu P Mutu D Mutu T

Pterospermum javanicum 70 –73 ≥ 88 ≤8 ≥ 90 80 – 89 65 – 79 12

Santalum album 100 – 150 ≥ 95 ≤ 9 ≥ 60 50 – 59 40 – 49 6

Samanea saman 160 – 210 ≥ 99 ≤10 ≥ 80 60 – 79 50 – 59 12

Sandoricum koetjape 3400 – 3650 ≥ 99 40 – 55 ≥ 85 75 – 84 60 – 74 *

Schleichera oleosa 495 – 630 ≥ 99 12 – 30 ≥ 60 50 – 59 40 – 49 3

Schima wallichii 3,00 – 4,20 ≥ 96 ≤ 12 ≥ 75 60 – 74 50 – 59 6

Senna siamea 22 – 28 ≥ 97 ≤ 9 ≥ 80 70 – 79 60 – 69 12

Sesbania grandiflora 33 – 58 ≥ 96 ≤ 8 ≥ 90 80 – 89 65 – 79 12

Shorea pinanga 25900 – 26400 100 35 – 50 ≥ 90 75 – 89 60 – 74 *

Sterculia foetida 1600 – 2300 ≥ 99 ≤ 12 ≥ 85 75 – 84 60 – 74 6

Styrax benzoin 1600 – 2400 ≥ 99 25 – 50 ≥ 80 70 – 79 50 – 69 3

Swietenia macrophylla 400 – 700 ≥ 96 ≤ 10 ≥ 75 60 – 74 50 – 59 6

Tamarindus indica 717 – 782 ≥ 99 ≤ 18 ≥ 90 75 – 89 60 – 74 12

Tectona grandis 550 – 740 ≥ 99 ≤ 12 ≥ 65 50 – 64 40 – 49 12

Terminalia catappa 5882 – 7188 ≥ 99 7 – 20 ≥ 60 50 – 59 40 – 49 3

Toona sinensis 8 – 11 ≥ 85 ≤ 12 ≥ 75 60 – 74 50 – 59 3

Vitex coffasus 65 – 105 ≥ 98 ≤ 15 ≥ 60 50 – 59 40 – 49 3

Wrightia pubescens 15 – 27 ≥ 99 25 – 50 ≥ 85 70 – 84 60 – 69 *

Keterangan:

kc/g = jumlah kecambah per gram

*= hanya berlaku untuk satu kali pengujian pada benih rekalsitran

Lampiran 2. Standard mutu bibit

Jenis Kriteria

Nama botani Nama lokal Tinggi (cm) Diameter(mm) Kekompakan media Jumlah daun/LCR Umur (bln)

Acacia crassicarpa Karpa ≥25 ≥3,5 utuh ≥6 ≥3

Acacia mangium Mangium ≥25 ≥3 utuh ≥6 ≥3

Adenanthera microsperma Saga pohon ≥30 ≥3 utuh ≥8 ≥4

Agathis sp. Damar ≥30 ≥6 utuh ≥6 ≥15

Alstonia sp. Pulai ≥40 ≥5 utuh ≥9 ≥6

Aleurites moluccana Kemiri ≥45 ≥5 utuh ≥6 ≥4

Anthocephalus cadamba Jabon putih ≥35 ≥4,5 utuh ≥6 ≥3

Antocephalus macrophylla. Jabon merah ≥25 ≥4 utuh ≥5 ≥3

22

Jenis Kriteria

Nama botani Nama lokal Tinggi (cm) Diameter(mm) Kekompakan media Jumlah daun/LCR Umur (bln)

Artocarpus camansi Kluwih ≥35 ≥4,5 utuh ≥4 ≥4

Artocarpus heterophyllus Nangka ≥40 ≥4,5 utuh ≥6 ≥3

Aquilaria malaccensis Gaharu ≥32 ≥3,5 utuh ≥8 ≥5

Avicenia sp. Api-api ≥35 ≥5 utuh ≥6 ≥4

Azadirachta indica Mimba/intaran ≥25 ≥3 utuh ≥8 ≥6

Bruguera sexangula Bakau ≥30 ≥4,5 utuh ≥4 ≥3

Calophyllum inophyllum Nyamplung ≥30 ≥4 utuh ≥6 ≥4

Canarium sp. Kenari ≥30 ≥4 utuh ≥6 ≥6

Casuarina junghuniana Cemara gunung ≥45 ≥2,5 utuh LCR≥50% ≥8

Delonix regia Flamboyan ≥35 ≥3,5 utuh LCR≥40% ≥4

Diospyros sp. Eboni ≥30 ≥3 utuh ≥10 ≥6

Dipterocarpus sp. Keruing ≥40 ≥4 utuh ≥8 ≥5

Duabanga moluccana Benuang laki/takir ≥40 ≥4,5 utuh ≥10 ≥4

Dyera lowii Jelutung rawa ≥35 ≥6 utuh ≥6 ≥6

Dryobalanops sp. Kapur ≥35 ≥3,5 utuh ≥10 ≥5

Enterolobium ciclocarpum Sengon buto ≥40 ≥4 utuh LCR≥80% ≥4

Eucalyptus pellita Pelita >20 > 2 utuh ≥6 ≥3

Eucalyptus urophylla Ampupu >30 > 2,5 utuh ≥8 ≥3

Eusideroxylon zwagery Ulin ≥40 ≥6 utuh ≥6 ≥10

Ficus benyamin Beringin ≥40 ≥5 utuh ≥18 ≥4

Gmelina arborea Jati putih ≥30 ≥4 utuh ≥5 ≥4

Gmelina moluccana Kayu titi ≥30 ≥4 utuh ≥5 ≥4

Gyrinopsis versteegii Ketimunan ≥25 ≥3,5 utuh ≥12 ≥8

Hibiscus macrophyllus Tisuk ≥30 ≥5 utuh ≥10 ≥4

Instia bijuga Merbau ≥30 ≥4,5 utuh ≥4 ≥3

Lagerstoemia speciosa Bungur ≥30 ≥4 utuh ≥6 ≥4

Maesopsis emenii Kayu afrika ≥35 ≥4 utuh ≥8 ≥4

Manilkara kauki Sawo kecik ≥25 ≥3 utuh ≥12 ≥12

Mangifera kasturi Kasturi ≥35 ≥4,5 utuh ≥6 ≥4

Magnolia blumei Manglid ≥35 ≥4,5 utuh ≥8 ≥4

Melia azedarach Mindi ≥35 ≥3,5 utuh ≥8 ≥3

Melia excelsa Kayu yeer/sentang/kayu

bawang

≥40 ≥6 utuh ≥6 ≥8

Magnolia champaca Bambang lanang ≥35 ≥4,5 utuh ≥8 ≥6

Mimosops elengi Tanjung ≥35 ≥5 utuh ≥6 ≥6

23

Jenis Kriteria

Nama botani Nama lokal Tinggi (cm) Diameter(mm) Kekompakan media Jumlah daun/LCR Umur (bln)

Octomeles sp. Benuang bini ≥25 ≥7 utuh ≥6 ≥3

Palaquium alovium Nyatoh ≥28 ≥3 utuh ≥8 ≥4

Palaquium dasyphyllum Nyatoh ≥35 ≥4 utuh ≥8 ≥4

Paraserianthes falcataria Sengon ≥35 ≥4 utuh LCR≥30% ≥4

Pericopsis mooniana Kayu kuku ≥30 ≥4 utuh ≥8 ≥6

Peronema canescens Sungkai ≥30 ≥4 utuh 9 ≥4

Planchonia valida Putat ≥35 ≥6 utuh ≥10 ≥8

Polyalthia longifolia Glodogan tiang ≥45 ≥6 utuh ≥10 ≥6

Pometia pinnata Matoa ≥40 ≥5 utuh ≥6 ≥4

Pterocarpus indicus Angsana ≥35 ≥4 utuh ≥8 ≥4

Pterospermum javanicum Bayur ≥35 ≥4,0 utuh ≥8 ≥6

Rhizophora apiculata Bakau ≥35 ≥5 utuh ≥4 ≥4

Rhizophora mucronata Bakau ≥50 ≥16 utuh ≥4 ≥5

Rhizophora stylosa Bakau ≥40 ≥15 utuh ≥4 ≥5

Pinus merkusii Tusam ≥25 ≥3 utuh ≥8 ≥7

Scheleicera oleosa Kesambi ≥35 ≥4 utuh ≥8 ≥6

Shorea balangeran Balangeran ≥40 ≥4 utuh ≥8 ≥5

Shorea leprosula Meranti ≥40 ≥3,5 utuh ≥7 ≥6

Shorea levis Bangkirai ≥50 ≥4 utuh ≥8 ≥10

Shorea parvifolia Meranti ≥34 ≥3,6 utuh ≥10 ≥6

Shorea stenoptera Tengkawang ≥38 ≥4 utuh LCR≥10 ≥4

Shorea sp. Meranti ≥45 ≥4 utuh ≥8 ≥6

Samanea saman Kihujan/ trembesi ≥50 ≥5 utuh LCR≥40% ≥6

Sterculia foetida Kaput/nitas ≥40 ≥5 utuh ≥6 ≥3

Swietenia macrophylla Mahoni ≥35 ≥3,5 utuh ≥8 ≥4

Tamarindus indica Asam jawa ≥40 ≥4 utuh LCR≥70% ≥6

Tectona grandis Jati ≥30 ≥4 utuh ≥6 ≥4

Terminalia catapa Ketapang ≥40 ≥5 utuh ≥6 ≥5

Toona sp. Suren ≥35 ≥4 utuh ≥6 ≥4

Vitex coffasus Biti ≥25 ≥3 utuh ≥6 ≥4

24

Lampiran 3. Teknologi penangan benih beberapa jenis tanaman hutan

Jenis Karakter

benih

Pengumpulan

buah

Musim

buah

Indikator

kemasakan

Ekstraksi

benih

Seleksi dan

sortasi

Pengeringan

benih

Penyimpanan Perkecambahan/

penaburan

Pemeliharaan bibit

Acacia spp. O PP Jul-Agt WBC EK MT, SGT PJM WK, RAC, DSC MPT, RAP PS, PM, PG, PA, PHP, AK

Adenanthera microsperma O PP, PL Jul-Agt WBC, BM EK MT, SGT PJM WK, RAC, RR MPT, RAP PS, PM, PG, PA, PHP, AK

Agathis loranthifolia R PP Okt WBHC EK, PM MT PSK WP MPT PS, PM, PG, PA, PHP, AK

Aleurites moluccana O PL Jul-Agt WBC EB SPA PJM WK, RAC, RK MPT, PRJ PS, PM, PG, PA, PHP, AK

Albizzia procera O PP Agt-Sep WBC EK MT, SGT PJM WK, RAC, DSC MPT, RAP PS, PM, PG, PA, PHP, AK

Alstonia scholaris O PP Okt-Nop WBHK EK PFP PJM WK, DCS, RR MPT PS, PM, PG, PA, PHP, AK

Altingia excelsa O PP Agt-Okt WBHC EK MT PJM, PSD WK, DCS, RR MPT PS, PM, PG, PA, PHP, AK

Anacardium ocidentale I PP, PL Agt-Sep WBKM EK MN PSK WK, DCS, RR MPT PS, PM, PG, PA, PHP, AK

Anthocephalus cadamba O PL Apr-Jun WBHK EB PY PSK WK, RR MTPK PS, PM, PG, PA, PHP, AK

Anthocephalus macrophyllus O PL Apr-Jun WBHK EB PY PSK WK, RR MTPK PS, PM, PG, PA, PHP, AK

Azadirachta excelsa R PP Okt-Nop WBHK EB MN PSK WP, RAC MPT PS, PM, PG, PA, PHP, AK

Baccaurea macrocarpa R PP, PL Feb-Apr WBHK EB MN PSK WP, RAC MPT PS, PM, PG, PA, PHP, AK

Calliandra calothyrsus O PP Jun-Agt WBC EK MT, SGT PJM, PSD WK, RAC, DSC MPT PS, PM, PG, PA, PHP, AK

Calliandra tetragona O PP Mei-Agt WBC EK MT, SGT PJM, PSD WK, RAC, DSC MPT PS, PM, PG, PA, PHP, AK

Calophyllum inophyllum I PL Mei-Sep WBHC EB MN PSK WK, RAC MPT, KB PS, PM, PG, PA, PHP, AK

Canarium indicum O PP, PL ST WBHT EB MN PJM WK, RAC, DSC MPT, PKB+RAD PS, PM, PG, PA, PHP, AK

Castanopsis argentea R PL Nop-Feb WBKC EB MN PSK WP, RAC MPT PS, PM, PG, PA, PHP, AK

Cassuarina equisetifolia O PP Agt-Sep WBC EK MN PJM WK, RAC, DSC MPT PS, PM, PG, PA, PHP, AK

Cassuarina junghuhniana O PP ST WBKC EK MT, SGT PJM WK, DSC, RR MPT PS, PM, PG, PA, PHP, AK

Ceiba pentandra O PP Apr-Mei WBC EK MT PJM WK, RAC, DSC MPT PS, PM, PG, PA, PHP, AK

Cryptocarya cuneata R PP Jul-Sep WBHT EB MT PSK WP, RAC MPT PS, PM, PG, PA, PHP, AK

Cryptocarya massoy R PP Jul-Sep WBC EB MT PSK WP, RAC MPT PS, PM, PG, PA, PHP, AK

Dalbergia latifolia O PP Jul-Agt WBC EK MT, SGT PJM WK, RAC, DSC MPT, RAD PS, PM, PG, PA, PHP, AK

Delonix regia O PP Jul-Agt WBC EK MT PJM WK, RAC, DSC MPT, RAP PS, PM, PG, PA, PHP, AK

Diospyros celebica R PP Sep-Nop WBC EK MN PSK WP, RAC MPT PS, PM, PG, PA, PHP, AK

Duabanga moluccana I PP Agt-Sep WBC EK MN PSK WK, RAC, RR MTPK PS, PM, PG, PA, PHP, AK

Dyera lowii I PP Mar-Mei WBC EK MN PSK WP, RAC MPT PS, PM, PG, PA, PHP, AK

Enterolobium cyclocarpum O PP Agt-Sep WBC EK MT, SGT PJM WK, RAC, DSC MPT, RPD/AS PS, PM, PG, PA, PHP, AK

Eucalyptus camadulensis O PP Jun-Sep WBC EK PY PJM WK, RR MTPK PS, PM, PG, PA, PHP, AK

Eucalyptus deglupta O PP Jun-Jul WBC EK PY PJM WK, RR MTPK PS, PM, PG, PA, PHP, AK

Eucalyptus pellita O PP Agt-Sep WBC EK PY PJM WK, RR MTPK PS, PM, PG, PA, PHP, AK

25

Jenis Karakter

benih

Pengumpulan

buah

Musim

buah

Indikator

kemasakan

Ekstraksi

benih

Seleksi dan

sortasi

Pengeringan

benih

Penyimpanan Perkecambahan/

penaburan

Pemeliharaan bibit

Eucalyptus urophylla O PP Apr-Mei WBC EK PY PJM WK, RR MTPK PS, PM, PG, PA, PHP, AK

Fagara rhetsa O PP Jan-Feb WBMH EB, EK MN PSK WK, DCS, RR MPT, PRJ PS, PM, PG, PA, PHP, AK

Fagraea fragrans O PP Apr-Mei WBM EB PY PSK WK, RR MPT, RAP PS, PM, PG, PA, PHP, AK

Falcataria moluccana O PP Jul-Agt WBC EK MT, SGT PJM WK, RAC, DSC MPT, RAP PS, PM, PG, PA, PHP, AK

Ficus variegata I PP, PL Mei-Jul WBMH EB PY PSK WK, RR MTPK PS, PM, PG, PA, PHP, AK

Gliricidia sepium O PP Jul-Agt WBC EK MT, SGT PJM WK, RAC, DSC MPT, RAP PS, PM, PG, PA, PHP, AK

Gmelina arborea I PL Agt-Sep WBHK EB MN PSK WK, RAC, DSC MPT PS, PM, PG, PA, PHP, AK

Gmelina moluccana I PL Jul-Sep WBHK EB MN PSK WK, RAC, DSC MPT PS, PM, PG, PA, PHP, AK

Gyrinops versteegii R PP Jan-Mar WBHK EB MN PSK WK, RAC, DSC MPT PS, PM, PG, PA, PHP, AK

Hibiscus macrophyllus O PP Jul-Sep WBC EK MT, SGT PJM WK, RAC, DSC MPT, AS PS, PM, PG, PA, PHP, AK

Intsia bijuga O PP, PL Jun-Sep WBC EK MN PJM WK, RAC, DSC MPT, PKB/AS PS, PM, PG, PA, PHP, AK

Khaya anthotecha O PP Agt-Okt WBC EK MN PSK WK, RAC, DSC MPT PS, PM, PG, PA, PHP, AK

Lagerstroemia speciosa O PP Jul-Okt WBC EK MT PJM WK, RAC, DSC MPT PS, PM, PG, PA, PHP, AK

Leucaena glauca O PP Jul-Agt WBC EK MT, SGT PJM WK, RAC, DSC MPT, RAP PS, PM, PG, PA, PHP, AK

Leucaena leucocephala O PP Jul-Agt WBC EK MT, SGT PJM WK, RAC, DSC MPT, RAP PS, PM, PG, PA, PHP, AK

Maesopsis eminii O PP, PL Jul-Agt WBMH EB MN PSK WK, RAC, DSC MPT, KNO PS, PM, PG, PA, PHP, AK

Manilkara kauki I PP Mei-Agt WBKM EB MN PSK WK, RAC MPT PS, PM, PG, PA, PHP, AK

Magnolia ovalis I PP Apr, Okt WBHC EK MN PSK WK, RAC MPT PS, PM, PG, PA, PHP, AK

Magnolia Blumei R PP Okt-Mar WBHM EK MN PSK WP, RAC MPT PS, PM, PG, PA, PHP, AK

Magnolia champaca I PP Okt-Mar WBC EB MN PSK WK, RAC MPT PS, PM, PG, PA, PHP, AK

Melaleuca cajuputi O PP Sep-Nop WBHC EK PY PJM WK, DSC, RR MTPK PS, PM, PG, PA, PHP, AK

Melaleuca leucadendron O PP Sep-Nop WBHC EK PY PJM WK, DSC, RR MTPK PS, PM, PG, PA, PHP, AK

Melia azedarach I PP Feb-Apr WBHK EB MN PSK WK, RAC MPT PS, PM, PG, PA, PHP, AK

Mimusops elengi O PP Jul-Sep WBMH EB MN PJM WK, RAC, DSC MPT, RAP PS, PM, PG, PA, PHP, AK

Octomeles sumatrana O PP, PL Des, Jun WBHT EK PY PSK WK, RR MTPK PS, PM, PG, PA, PHP, AK

Palaquium rostratum R PP Okt-Nop WBHT EB MN PSK WP, RAC MPT PS, PM, PG, PA, PHP, AK

Pericopsis mooniana O PP Agt-Sep WBC EK MT, SGT PJM WK, RAC, DSC MPT, RAD PS, PM, PG, PA, PHP, AK

Pinus merkusii I PP Sept, Jan WBHC EK MT, SGT PJM WK, RAC, DSC MPTH PS, PM, PG, PA, PHP, AK

Planchonia valida R PP Apr-Mei WBHC EB MN PSK WP, RAC MPT PS, PM, PG, PA, PHP, AK

Podocarpus imbricatus R PP, PL Jan-Apr WBM EK MN PSK WP, RAC MPT PS, PM, PG, PA, PHP, AK

Pongamia pinnata I PP Agt-Des WBHC EK MT PSK WK, RAC, DSC MPT PS, PM, PG, PA, PHP, AK

Pterocarpus indicus O PP Jul-Agt WBC EK MT PSK WK, RAC, DSC MPT PS, PM, PG, PA, PHP, AK

Pterospermum javanicum I PP Okt-Des WBC EK MN PSK WK, RAC, DSC MPT PS, PM, PG, PA, PHP, AK

Santalum album I PP Agt-Nop WBHT EB MN PSK WK, RAC, DSC MPT, TI PS, PM, PG, PA, PHP, AK

Samanea saman O PL Jul-Sep WBC EK MN PJM WK, RAC, DSC MPTH, RAP PS, PM, PG, PA, PHP, AK

Schleichera oleosa I PP Feb-Apr BWHK EB MN PSK WP, RAC MPT, RAD PS, PM, PG, PA, PHP, AK

26

Jenis Karakter

benih

Pengumpulan

buah

Musim

buah

Indikator

kemasakan

Ekstraksi

benih

Seleksi dan

sortasi

Pengeringan

benih

Penyimpanan Perkecambahan/

penaburan

Pemeliharaan bibit

Schima wallichii O PP Agt-sep WBC EK MT PJM WK, RAC, DSC MPT PS, PM, PG, PA, PHP, AK

Senna siamea O PP Agt-Okt WBC EK MT PJM WK, RAC, DSC MPT, RAP PS, PM, PG, PA, PHP, AK

Sesbania grandiflora O PP Jul-Sep WBC EK MT, SGT PJM WK, RAC, DSC MPT PS, PM, PG, PA, PHP, AK

Shorea pinanga R PP Feb-Apr WBC EK, SH MN PSK WP, RAC MPT PS, PM, PG, PA, PHP, AK

Sterculia foetida I PP, PL Jul-Sep WBC EK MN PSK WP, RAC, DCS MPT PS, PM, PG, PA, PHP, AK

Styrax benzoin I PL Mar-Apr WBC EK MT PSK WK, RAC, DSC MPT, PRJ PS, PM, PG, PA, PHP, AK

Swietenia macrophylla I PP Jul-Agt WBC EK MT PSK WK, RAC, DSC MPT PS, PM, PG, PA, PHP, AK

Tamarindus indica O PP, PL Jun-Sep PMR EB, EK MT PJM WK, RAC, DSC MPT, RAP PS, PM, PG, PA, PHP, AK

1) Karakter benih: O=ortodoks, I=intermediate, R=rekasitrans

2) Pengumpulan buah: PP=pemanjatan/pemetikan buah, PL=pengumpulan di lantai hutan

3) Musim buah: Jan=januari, Feb=Februari, Mrt=Maret, Apr=April, Mei=Mei, Jun=Juni, Jul=Juli. Agt=Agustus, Sep=September, Okt=Oktober, Nop=Nopember,

Des=Desember, ST=hampir sepanjang tahun

4) Indikator kemasakan: WBC=warna buah coklat, WBHC=warna buah hijau tua kecoklatan, BWHK=warna buah hijau tua hingga kekuningan, WBKM=warna buah kuning

kemerahan, WBHT=warna buah hijau atau kehitaman, WBKC=warna kulit buah kuning kecoklatan, WBHM=warna buah hijau kemerahan, WBM=warna buah merah,

WBMH=warna buah merah kehitaman, BM=buah merekah, PMR=polong mudah diretakkan

5) Ekstraksi benih: EB=ekstraksi basah, EK=ekstraksi kering, PM=pemerahaman tanpa penjemuran, SH=sayap dihilangkan

6) Seleksi dan sortasi: MN=manual , MT=manual penampian (ditampi), SGT=seed gravity table, SPA=seleksi dengan perendaman di dalam air, PFP=pemisahan benih

dengan sayapnya dengan food processor, PY=penyaringan dengan ukuran mesh

7) Pengeringan benih: PJM=penjemuran di bawah sinar matahari (1-4 hari), PSK=kering angin pada suhu kamar, PSD=pengeringan dengan seed dryier

8) Penyimpanan benih: WK=wadah kedap, WP=wadah poros/berpori, RK=ruang suhu kamar, RAC=ruang AC (air conditioner), RR=refrigerator, CS=cool storage,

DCS=dry cool storage

9) Perkecambahan: MP=media pasar, MPT=media pasi dan tanah (1:1), MTPK=media tanah, pasir, kompos, RAP=perendaman air panas (80°C) dan dibiarkan dingin

selama 24 jam, RAD=rendam air dingin, AS=perendaman asal sulfat (H2SO4) 5-10 menit, PRJ=Perlakuan rendam jemur selama 3-6 hari, PKB=Pengikiran tidak boleh

merusak embrio benih lalu benih direndam air selama 30 menit, KNO= Rendam dalam larutan KNO3 30 menit , KB=kulit benih dibuang, TI= memerlukan tanaman inang

berdaun tipis dan kecil, bertajuk runcing, sistem perakaran sukulen, mudah bertunas setelah dipangkas.

10) Pembibitan: PY=penyiraman, PM=pemupukan, PG=penyiangan gulma, PA=pemangkasan akar, PHP=pengendalian hama penyakit, AK=Aklimatisasi