tehnik tehnik pemotongan bahan makanan hewani (ayam dan ikan)
Tehnik - Tehnik Analgesia Post Operasi
-
Upload
guntur-aryo-puntodewo -
Category
Documents
-
view
474 -
download
9
Transcript of Tehnik - Tehnik Analgesia Post Operasi
TEKNIK – TEKNIK ANALGESIA POST OPERASI
Aunun Rofiq*, Purwito Nugroho**
ABSTRAC
Surgery inevitably results in tissue trauma and release of potent mediators of inflammation
and pain .Substances released from injured tissue evoke stress hormone responses in addition to
activation of cytokines,adhesion molecules and coagulation factors . Activation of this ‘stress
response’ leads to an increase in metabolic rate, water retention and triggering of a ‘fight or
flight’ reaction with autonomic features.1 Pain associated with these responses is unpleasant for
the patient.Surgical morbidity associated with poor postoperative pain control is also
increasingly recognised. Adverse cardiovascular effects including hypertension, tachycardia and
increased cardiac work may result from unrelieved pain.In addition, improved pain control may
lead to shorter hospital stays and fewer unscheduled admissions after day-case surgery.
Methods used in treating postoperative pain including drugs, routes of administration,
patient controlled analgesia (PCA) and epidurals.Many hospitals now unite the different
postoperative analgesic techniques such as epidurals and Patient Controlled Analgesia (PCA)
under the common management of an Acute Pain Team. These multidisciplinary teams are
usually led by an anaesthesiologist and consist of nursing and pharmacy personnel.
Keyword: Techniques, analgesia, drugs, routes of administration,PCA, epidurals
* Residen Anestesiologi FK Undip
**Dokter Spesialis Anestesiologi BLU RSUD Kota Semarang
1
ABSTRAK
Tindakan pembedahan selalu menimbulkan trauma jaringan dan melepaskan mediator
inflamasi dan nyeri yang poten. Substansi yang dilepaskan dari jaringan yang mengalami cedera
memicu respon hormon stres selain aktivasi sitokin, molekul adhesi, dan faktor-faktor koagulasi.
Aktivasi ‘respon sres’ tersebut menimbulkan kenaikan tingkat metabolisme, retensi air, dan
memicu reaksi ‘fight or fight’ dengan gejala-gejala otonom.1 Nyeri yang berhubugan dengan
respon-respon tersebut diatas tidaklah nyaman bagi pasien. Efek-efek buruk terhadap
kardiovaskuler antara lain hipertensi, takikardi, dan peningkatan kerja jantung dapat muncul
akibat nyeri yang tidak tertangani. Selain itu, kontrol nyeri yang buruk dapat memperlambat
pasien keluar dari rumah sakit, dan mengakibatkan pasien dirawat mendadak pasca bedah sehari
sehingga meningkatkan biaya perawatan.
Metode yang digunakan dalam terapi nyeri antara lain obat-obatan, jalur pemberian obat,
patient controlled analgesia (PCA) dan epidural. Banyak rumah sakit yang saat ini menyatukan
tehnik analgesi pasca operasi yang berbeda seperti epidural dan Patient Controlled Analgesia
(PCA) di bawah pengelolaan Acute Pain Teams. Tim-tim multi disiplin tersebut biasanya
dipimpin oleh seorang dokter anestesi dan terdiri dari personel perawat dan farmasi
Kata kunci: tehnik- tehnik, analgesi,obat-obatan,jalur pemberian obat,PCA,epidural
Pendahuluan
Nyeri menggambarkan suatu fungsi biologis. Ini menandakan adanya kerusakan atau
penyakit di dalam tubuh. Tujuan dari manajemen nyeri pascaoperasi adalah untuk mengurangi
atau menghilangkan rasa sakit dan ketidaknyamanan pasien dengan efek samping seminimal
mungkin. Pereda nyeri pascaoperasi haruslah mencerminkan kebutuhan masing-masing pasien
dan hal ini dapat dicapai dengan mempertimbangkan berbagai macam faktor. Faktor-faktor
tersebut dapat dirangkum sebagai faktor klinis, patient-related factors, dan faktor lokal. Pada
analisa akhir, ditemukan bahwa penentu utama kecukupan dari pereda nyeri pascaoperasi adalah
persepsi pasien itu sendiri terhadap rasa sakit.1
Efektivitas dari pereda rasa nyeri pascaoperasi adalah sangat penting untuk menjadi
pertimbangan bagi siapa saja yang sedang mengobati pasien yang menjalani operasi. Hal ini
2
awalnya harus dicapai karena alasan kemanusiaan, tapi kemudian ditemukan bahwa dengan
adanya manajemen nyeri pascaoperasi yang baik, maka keadaan fisiologis pasien pun akan
menjadi lebih baik. Manajemen nyeri yang baik tidak hanya akan membantu penyembuhan
pascaoperasi secara lebih signifikan sehingga pasien dapat pulang lebih cepat, tetapi juga dapat
mengurangi onset terjadinya chronic pain syndrome.
Tinjauan Pustaka ini bertujuan untuk membahas mengenai metode-metode yang dapat
dipakai untuk manajemen nyeri pascaoperasi. Akan didiskusikan bagaimana caranya
menggunakan obat-obat yang bekerja di perifer ( misalnya, Obat Anti Inflamasi Non Steroid),
obat-obat yang bekerja sentral (misalnya, Opioid), dan obat-obat anestesi lokal untuk mencapai
tujuan ini. Selain itu, akan dibahas pula teknik – teknik pemberian obat analgesia.
Manajemen Nyeri pasca Operasi
Kepentingan dari kontrol nyeri pasca operatif yang efektif
Respon stres operasi
Tindakan pembedahan selalu menimbulkan trauma jaringan dan melepaskan mediator inflamasi
dan nyeri yang poten. Substansi yang dilepaskan dari jaringan yang mengalami cedera memicu
respon hormon stres selain aktivasi sitokin, molekul adhesi, dan faktor-faktor koagulasi. Aktivasi
‘respon stres’ tersebut menimbulkan kenaikan tingkat metabolisme, retensi air, dan memicu
reaksi ‘fight or fight’ dengan gejala-gejala otonom. Respon-respon tersebut menimbulkan nyeri
dan morbiditas pembedahan antara lain komplikasi kardiovaskuler dan pernapasan yang dapat
timbul khususnya pada pasien lanjut usia dan pasien-pasien dengan penyakit kardio-respiratorik
sebelumnya.2
Kontrol nyeri pasca operasi yang buruk
Nyeri yang berhubungan dengan respon-respon tersebut diatas tidaklah nyaman bagi pasien.
Berbagai laporan telah diperlihatkan di literatur kedokteran yang menjelaskan mengenai kontrol
nyeri pasca operasi yang teramat buruk di rumah sakit. Sebuah survei menemukan bahwa 77%
orang dewasa yakin bahwa nyeri pasca operasi akan terjadi, dengan hampir 60%
menghubungkannya dengan ketakutan sebelum operasi. Pemberian opioid ‘sesuai kebutuhan’
3
secara umum dan tradisional dikatakan dapat menimbulkan nyeri yang tidak dapat diatasi pada
lebih dari 50% pasien.2
Morbiditas pembedahan
Morbiditas pembedahan yang berhubungan dengan kontrol nyeri pasca operasi yang buruk juga
semakin dikenali. Efek-efek buruk terhadap kardiovaskuler antara lain hipertensi, takikardi, dan
peningkatan kerja jantung dapat muncul akibat nyeri yang tidak tertangani. Nyeri juga dapat
mengakibatkan napas menjadi dangkal dan menekan batuk sehingga meningkatkan risiko
sumbatan sekresi paru dan infeksi di dada.2
Pembiayaan
Selain itu, kontrol nyeri yang buruk dapat memperlambat pasien keluar dari rumah sakit, dan
mengakibatkan pasien dirawat mendadak pasca bedah sehari sehingga meningkatkan biaya
perawatan.
Rehabilitasi pasca operasi
Gambar 1.Bagan rehabilitasi pasca operasi
4
Pembedahan
Keterlambatan pemulihan
NyeriRespon stres/ disfungsi organMual, muntah, ileusHipoksemia, gangguan tidurKelelahanImobilisasi, rasa laparDrainase/ pipa nasogastrik, restriksi
Kontrol nyeri yang efektif hanyalah satu aspek dari pemulihan pasca operasi yang lebih baik.
Saat ini diketahui bahwa aspek lain selain nyeri dapat memperlambat atau mengganggu
pemulihan pasca operasi. Faktor-faktor tersebut antara lain, mual, imobilitas, pemasangan pipa
nasogastrik, selang drainase, dll. Perhatikan diagram berikut.
Dengan memperhatikan faktor-faktor tersebut dengan menggunakan mobilisasi
berkekuatan awal dan nutrisi enteral, dan juga kontrol nyeri yang baik serta reduksi respon stres,
perbaikan morbiditas pasca operasi pasca tindakan bedah mayor telah banyak dilaporkan.
Metode yang digunakan dalam terapi nyeri antara lain obat-obatan, jalur pemberian obat,
patient controlled analgesia (PCA) dan epidural.
Perkembangan Acute Pain Teams
Kepentingan dari kontrol nyeri yang efektif dan pengenalan terhadap terapi yang tidak adekuat
diakui oleh para dokter bedah dan dokter anestesi pada tahun 1980an. Hal ini menimbulkan
beberapa perubahan termasuk perkembangan Acute Pain Teams di rumah sakit untuk memantau
kontrol nyeri pasca operasi yang efektif.3
Banyak rumah sakit yang saat ini menyatukan tehnik analgesi pasca operasi yang berbeda
seperti epidural dan Patient Controlled Analgesia (PCA) di bawah pengelolaan Acute Pain
Teams. Tim-tim multi disiplin tersebut biasanya dipimpin oleh seorang dokter anestesi dan
terdiri dari personel perawat dan farmasi. Tujuan mereka adalah untuk menangani nyeri,
memperkenalkan penilaian nyeri sistematik, memperkenalkan tehnik-tehnik baru seperti PCA
dan epidural, dan untuk mengajari staf medis dan perawat. Selain bertanggung jawab untuk audit
pelayanan, mereka juga bertanggung jawab untuk penelitian.
Pelayanan nyeri akut seperti itu telah menujukkan keberhasilannya dalam memperbaiki
pemulihan nyeri dan hasil0hasil pasca operasi. Terdapat beberapa bukti bahwa ‘low tech’,
pendekatan dengan biaya murah seperti penilaian nyeri reguler, kemudahan akses dalam
mendapatkan obat-obatan opioid kuat, serta edukasi dan pengajaran, sama pentingnya dengan
pendekatan ‘high tech’ seperti PCA dan epidural. Selain itu, kontrol nyeri yang lebih baik dapat
menimbulkan waktu rawat inap yang lebih pendek dan jumlah rawat inap tanpa rencana yang
lebih sedikit pasca bedah sehari.3
5
Tujuan-tujuan pokok dari penanganan nyeri pasca operasi yang efektif:4
Untuk mengurangi insidensi dan keparahan nyeri pasca operasi yang dialami pasien.
Untuk mengedukasi pasien mengenai kepentingan mengkomunikasikan nyeri yang tidak
tertangani sehingga mereka bisa mendapatkan evaluasi segera dan terapi yang efektif.
Untuk meningkatkan rasa nyaman dan kepuasan pasien.
Berkontribusi dalam menurunkan komplikasi pasca operasi dan, pada beberapa kasus, rawat
inap yang lebih singkat pasca tindakan pembedahan.
Untuk memperkenalkan pengukuran yang sesuai pada nyeri pasca operasi.
Untuk memperkenalkan perencanaan kontrol nyeri pasca operasi yang efektif.
Untuk mempromosikan pelatihan dan pendidikan bagi staf medis dan keperawatan.
Memberikan kenyamanan bagi pasien dengan sedasi dan gangguan fungsi pernapasan
minimal.
Penilaian nyeri
Subyek dari nyeri pasca operasi dan kontrolnya harus menjadi bagian dari tinjauan awal yang
dilakukan oleh dokter bedah dari segala aspek yang relevan dari prosedur yang direncanakan
REKOMENDASI
Dokter bedah harus membahas hal ini dengan pasien serta keluarganya. Anamnesis tentang nyeri
yang mendalam harus dilakukan oleh dokter anestesi untuk menyertakan penilaian:
Nyeri preoperatif,
Metode pemakaian analgesik sebelumnya,
Pengetahuan, harapan, dan pemilihan pasien akan metode pengelolaan nyeri.
Ketika penilaian nyeri preoperatif sudah lengkap, rencana pengelolaan nyeri harus diperoleh
dengan kerjasama dari pasien.
Alat pengukuran nyeri harus dipilih, misalnya visual analogue scale atau skala deskriptif,
dan pasien diberitahu bahwa akan sering dilakukan penilaian nyeri.
Penilaian nyeri dengan hati-hati harus segera dikerjakan dan kemudian dilakukan secara
rutin melalui terapi dengan menggunakan tehnik pelaporan mandiri. Nyeri harus dinilai baik saat
6
istirahat dan selama beraktivitas dan pemulihan nyeri dinilai dalam hal kecukupannya untuk
memungkinkan menjalankan fungsi semestinya.
Sistem perawatan pasca operatif menekankan edukasi pada staff dan pasien, penilaian nyeri
berkala, dan memungkinkan pemberian dosis obat-obatan opioid yang lebih sering terlihat efektif
dalam menghilangkan nyeri dan menimbulkan kepuasan pasien.
Intervensi kognisi – perilaku preoperatif
Tujuannya adalah untuk mengurangi nyeri, kecemasan, dan jumlah obat yang diperlukan
dalam kontrol nyeri. Tehnik-tehnik yang digunakan antara lain relaksasi, distraksi, dan
penggambaran. Persiapan sebelum pembedahan dapat mengurangi jumlah obat analgesia yang
diperlukan pasca operasi.3
REKOMENDASI
Obat-obatan harus diberikan menurut farmakokinetik dan farmakodinamiknya.
Perencanaan analgesik seperti jenis, dosis, dan jalur pemberiannya, seharusnya dipertimbangkan
bersama dengan pasien dan didasarkan pada three step ladder WHO (1986, 1996).
Ketika diberikan secara intravena, analgesik seharusnya tidak digunakan bersama tanpa disertai
kontrol flux jalur vena. Biasanya hal ini ditekankan ketika pasien juga mendapatkan opioid.
Obat-obatan analgesik pasca operatif
Obat-obatan anti-inflamasi non-steroid (OAINS)
Obat-obatan analgesik non-opioid yang paling umum digunakan diseluruh dunia adalah
aspirin, paracetamol, dan OAINS, yang merupakan obat-obatan utama untuk nyeri ringan sampai
sedang.
Yang termasuk OAINS antara lain penghambat siklo-oksigenase (COX) non selektif
seperti aspirin, diklofenak, dan ibuprofen dan juga penghabat selektif COX 2 yang baru
rofecoxib dan celecoxib. Obat-obatan tersebut bekerja dengan cara menghambat COX dan
produksi prostaglandin setelahnya. Penghambat COX 2 telah terlihat memiliki efek samping
terhadap lambung seperti pembentukan ulkus dan perdarahan yang lebih sedikit. Keuntungan
utama dari OAINS adalah sifat analgesia tanpa menimbulkan depresi pernapasan dan sedasi.
7
Namun, meskipun efek analgesiknya telah terlihat jelas dalam menangani nyeri pasca operasi,
efek tersebut tidak cukup kuat untuk diberikan secara terpisah pada nyeri kronik. Preparatnya
dapat diberikan secara oral, intravena, atau intramuskuler. OAINS dapat diberikan ‘bila perlu’
atau ‘pada jam tertentu’. 4
Meta analisis terbaru terhadap 3.453 pasien pasca operatif menempatkan OAINS sebagai
analgesik yang sangat efektif. Kombinasi Parasetamol dan kodein merupakan kelompok obat
yang paling manjur berikutnya diikuti dengan parasetamol sendiri dan tramadol. Rekomendasi
OAINS berikut telah didasarkan pada rangkuman informasi yang baru-baru saja dipublikasikan;
OAINS tidak cukup efektif sebagai agen tunggal pasca pembedahan mayor.
OAINS seringkali digunakan sebagai analgesik yang efektif pasca pembedahan minor atau
sedang.
OAINS seringkali menurunkan kebutuhan akan opioid.
Efek buruk dari OAINS cukup serius dan penting untuk memperhatikan
kontraindikasinya. Efek samping utamanya antara lain:
Iritasi lambung, pembentukan ulkus + perdarahan.
Gangguan pada ginjal.
Pemburukan gejala asma.
Inhibisi platelet.
OAINS dapat digunakan pasca intervensi pembedahan mayor dan dikombinasikan
dengan analgesik yang lebih kuat sebagai bagian dari pendekatan analgesik multimodal atau
keseimbangan analgesia. Pasca pembedahan urologi minor, OAINS cukup efektif untuk
digunakan sebagai agen tunggal.
Tiga coxibs – celecoxib, rofecoxib, dan valdecoxib – telah disetujui penggunaannya oleh
Food and Drug Administration (FDA); coxib keempat, etoricoxib, telah disetujui oleh dewan
pengaturan di Eropa. Etoricoxib dan obat kelima, lumiracoxib, saat ini masih berada di bawah
pertimbangan persetujuan dari FDA.
Coxib telah diproduksi besar-besaran secara langsung kepada konsumen dan telah
mendominasi pasaran resep obat OAINS. Rofecoxib kini telah ditarik dari peredaran berdasarkan
penelitian oleh Data and Safety Monitoring Board of the Adenomatous Polyp Prevention on
Vioxx (APPROVe) dikarenakan adanya peningkatan efek buruk berupa tromboembolisme yang
8
serius pada kelompok yang mendapatkan rofecoxib 25 mg per hari dibandingkan sengan
kelompok plasebo.5
Saat ini tidak terdapat indikasi yang jelas dalam pemakaiannya sebagai terapi untuk nyeri
pasca operasi, namun Coxib dikontraindikasikan untuk pasien-pasien dengan kardiopati.
REKOMENDASI
Jadwal pemberian dosis obat antara lain sebagai berikut:
Diklofenak (Voltarol, Voltaren) 50 mg 3 x per hari (maksimal 200 mg per hari), atau 100 mg
per rektal setiap 16 jam.
Ibuprofen (Brufen) 400 mg 3 x per hari per oral.
Ketorolak (Toradol) 10-30 mg per oral atau intravena setiap 6 jam.
Rofecoxib (Vioxx) 25 mg per oral 1 x per hari (maksimal 50 mg per hari).
The World Health Organisation Analgesic Ladder diperkenalkan untuk meningkatkan
penanganan nyeri pada pasien dengan kanker. Namun, formula ini dapat juga dipakai untuk
menangani nyeri akut karena memiliki strategi yang logis untuk mengatasi nyeri. 6
Formulasi ini menunjukkan, pada nyeri akut, yang pertama kali diberikan adalah Obat
Anti- Inflamasi non steroid, Aspirin, atau Paracetamol yang merupakan obat-obatan yang bekerja
di perifer. Apabila dengan obat- obatan ini, nyeri tidak dapat teratasi, maka diberikan obat-
obatan golongan Opioid lemah seperti kodein dan dextropropoxyphene disertai dengan obat –
obat lain untuk meminimalisasi efek samping yang timbul. Apabila regimen ini tidak juga dapat
mencapai kontrol nyeri yang efektif, maka digunakanlah obat-obatan golongan Opioid Kuat,
misalnya Morfin.
9
Gambar 2.Efek obat analgesi oral,injeksi,dan topical
Belakangan, World Federation of Societies of Anaesthesiologists (WFSA) Analgesic Ladder
telah dikembangkan untuk mengobati nyeri akut. Pada awalnya, nyeri dapat dianggap sebagai
keadaan yang berat sehingga perlu dikendalikan dengan analgesik yang kuat. Biasanya, nyeri
pascaoperasi akan berkurang seiring berjalannya waktu dan kebutuhan akan obat yang diberikan
melalui suntikan dapat dihentikan. Anak tangga kedua pada WFSA Analgesic Ladder adalah
pemulihan penggunaan rute oral untuk memberikan analgesia. Opioid kuat tidak lagi diperlukan
dan analgesia yang memadai dapat diperoleh dengan menggunakan kombinasi dari obat-obat
yang berkerja di perifer dan opioid lemah. Langkah terakhir adalah ketika rasa sakit dapat
dikontrol hanya dengan menggunakan obat-obatan yang bekerja di perifer. 6
Aspirin adalah analgesik yang efektif dan tersedia secara luas di seluruh dunia. Obat ini
dikonsumsi per oral dan bekerja cepat karena segera dimetabolisme menjadi asam salisilat yang
memiliki sifat analgesik dan, mungkin, anti-inflamasi. Dalam dosis terapeutik, asam salisilat
10
memiliki waktu paruh hingga 4 jam. Eksresinya tergantung oleh dosis, sehingga dosis tinggi
akan mengakibatkan obat diekskresi lebih lambat. Durasi kerja aspirin dapat berkurang apabila
diberika bersama-sama dengan antasida.7
Aspirin memiliki efek samping yang cukup besar pada saluran pencernaan, menyebabkan
mual, gangguan dan perdarahan gastrointestinal akibat efek antiplateletnya yang irreversibel.
Karena alasan ini, penggunaan aspirin untuk pain relief pascaoperasi harus dihindari apabila
masih tersedia obat-obatan alternatif lainnya. Aspirin juga memiliki keterkaitan epidemiologis
dengan Reye’s Syndrome dan harus dihindari untuk diberikan sebagai analgesia pada anak-anak
usia di bawah 12 tahun.
Dosis berkisar dari minimal 500mg, per oral, setiap 4 jam hingga maksimum 4g, per
oral per hari.
Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS) memiliki dua efek, analgesik dan
antiinflamasi. Mekanisme kerjanya didominasi oleh inhibisi sintesis prostaglandin oleh enzim
cyclo-oxygenase yang mengkatalisa konversi asam arakidonat menjadi prostaglandin yang
merupakan mediator utama peradangan. Semua OAINS bekerja dengan cara yang sama dan
karenanya tidak ada gunanya memberi lebih dari satu OAINS pada satu waktu. OAINS pada
umumnya, lebih berguna bagi rasa sakit yang timbul dari permukaan kulit, mukosa buccal, dan
permukaan sendi tulang.4
Pilihan OAINS harus dibuat berdasarkan ketersediaan, biaya dan lamanya tindakan. Jika
rasa sakit tampaknya akan terus-menerus selama jangka waktu yang panjang maka dipilih obat
dengan waktu paruh yang panjang dan efek klinis yang lama. Namun, obat- obatan kelompok ini
memiliki insiden tinggi untuk efek samping penggunaan jangka panjang dan harus digunakan
dengan hati-hati. Semua OAINS mempunyai aktivitas antiplatelet sehingga mengakibatkan
pemanjangan waktu perdarahan. Obat-obatan ini juga menghambat sintesis prostaglandin dalam
mukosa lambung dan dengan demikian menghasilkan pendarahan lambung sebagai efek
samping.8
Kontraindikasi relatif untuk penggunaan OAINS antara lain adalah : setiap riwayat ulkus
peptikum, perdarahan gastrointestinal; operasi yang berhubungan dengan kehilangan darah yang
11
banyak, asma, gangguan ginjal sedang hingga berat , dehidrasi dan setiap riwayat hipersensitif
untuk OAINS atau aspirin.
Tabel 1.Macam-macam obat analgesi
Ibuprofen merupakan obat pilihan jika rute oral tersedia. Obat ini secara klinis efektif,
murah dan memiliki profil efek samping yang lebih rendah dibandingkan dengan OAINS
lainnya. Alternatif lainnya adalah diclofenak, naproxen, piroxicam, ketorolac, indometasin dan
asam mefenamat. Apabila rute oral tidak tersedia obat dapat diberikan dengan rute lain seperti
supositoria, injeksi atau topikal. Aspirin dan sebagian besar OAINS tersedia sebagai supositoria
dan diserap dengan baik. 8
TERAPI YANG HARUS DIMULAI MELALUI JALUR ORAL
Terapi terhadap nyeri seharusnya didasarkan pada jenis pembedahan yang dikerjakan. Namun,
ketika menilai level nyeri, evaluasi terhadap nyeri yang dialami pasien harus
mempertimbangkan hal berikut
Metamizole / Dypirone
Obat ini dilarang beredar di USA dan UK karena terdapat laporan kasus tunggal berupa
neutropenia agranulositik. Di negara Eropa lain dan Amerika Latin obat tersebut digunakan
sebagai obat analgesik dan antipiretik. Dosis tunggal sebanyak 500 mg sebanding dengan 400
mg ibuprofen.
12
Efek samping yang sering dijumpai antara lain somnolen, gangguan lambung, mual,
hipotensi ringan, reaksi alergi.
REKOMENDASI
Metamizole (Novalgin) 500 mg 1-4 x per hari melalui oral atau 1 g 1-4 x per hari per rektal.
Obat tersebut harus digunakan dengan pengawasan ketat sehubungan dengan indeks
terapetik (dosis yang disarankan harus diperhatikan).
Obat ini diindikasikan untuk nyeri sedang berat pasca operasi.
Paracetamol dan kombinasi paracetamol dengan kodein dan dihidrokodein
Parasetamol (asetaminofen) telah digunakan secara luas sebagai terapi nyeri pasca
operasi. Mekanisme kerja pastinya belum jelas namun dapat bekerja dnegan cara menghambat
COX yang diproduksi sentral.
Parasetamol intravena (Perfalgan) diluncurkan pada bulan April 2004 sebagai terapi
jangka pendek dari nyeri sedang, khususnya pasca pembedahan, dan untuk terapi demam jangka
pendek. Perfalgan mengandung parasetamol terlarut (1g dalam 100 mL).
Propasetamol merupakan pro-drug dari parasetamol dan tersedia dalam bentuk parenteral
selama bertahun-tahun (Pro-Dafalgan). 2g propasetamol dihidrolisis menjadi 1g parasetamol.
Perfalgan 1 g bioekuivalen dengan propasetamol 2g, Perfalgan dapat digunakan dalam
keadaan-keadaan klinik yang sebelumnya telah mendapatkan terapi propasetamol 2g.
Uji klinik yang ada sudah pernah membandingkan popasetamil 2g baik dengan plasebo
ataupun analgesia lain dan terkonsentrasi pada efek sparing morfin pada propasetamol, yakni,
reduksi konsumsi morfin pasca operasi. Para pasien yang terlibat pada sebagian besar penelitian
tersebut memiliki akses untuk mendapatkan alat PCA opioid atau dapat meminta dosis bolus
opioid.9
Reaksi buruk tidak berkurang secara signifikan pada pasien-pasien yang diterapi dengan
propasetamol, jika dibandingkan dengan pasien-pasien yang diterapi dengan morfin saja atau
morfin/OAINS pada uji coba. Satu uji yang pernah dilakukan hanya melihat secara spesifik pada
insidensi efek buruk namun tidak menyimpulkan bahwa propasetamol dapat mengurangi efek-
13
efek samping akibat morfin. Reaksi buruk yang timbul dapat disebabkan oleh prosedur
pembedahan dan/atau anestesi, tidka hanya morfin.
Obat-obatan tersebutseringkali diresepkan pasca tindakan urologi minor ketika pasien
dapat meminum obat lewat oral. Pilihan lainnya adalah preparat rektal.
Kontraindikasi dari obat ini relatif sedikit; beberapa pasien mungkin alergi dengan obat
tersebut atau sensitif dengan efek konstipasi dari kodein. Overdosis dari parasetamol (lebih dari
6g per hari) dapat menimbulkan gangguan pada hepar.
Jadwal pembedrian dosis yang biasa digunakan antara lain sebagai berikut:
Parasetamol 1 g per oral atau rektal per 6 jam.
Co-proxamoib (32,5 mg dekstropropoksifen + 325 mg parasetamol) 2 tablet setiap 6 jam.
Tramadol (Tramal, Zydol)
Tramadol merupakan analgesik opioid lemah yang secara umum digunakan untuk kontrol nyeri
pasca operasi. Preparat ini dapat diberikan secara oral atau intravena. Preparat ini merupakan
agonis opioid pada reseptor µ dan merupakan penghambat bagi ambilan ulang noradrenalin dan
serotonin pada jalur penghambatan nyeri desendens.
Kemanjuran pemakaiannya pada nyeri pasca operasi telah dilaporkan oleh banyak pusat
penelitian. Kemanjuran tramadol dikatakan kurang dibandingkan OAINS.
Kombinasi Tramadol dengan parasetamol menunjukkan kemanjuran yang sama dengan
ibuprofen.
Efek-efek buruk dari tramadol antara lain pusing, mengantuk, dan mual.
Tramadol dapat digunakan sebagai preparat yang berguna dalam pengelolaan nyeri pasca
tindakan bedah urologi minor hingga sedang.
Tramadol 50-100 mg per oral atau intravena, setiap 6 jam atau terus menerus.
Dosis mulai 100 mg + 0,2 mg/kg/jam untuk pengelolaan.
Metode menggunakan obat opioid
Opioid: oral, intravena, subkutan, dan intramuskuler.
Opioid dapat diberikan per oral, intravena, intramuskuler, atau subkutan pasca pembedahan.
Pemberian opioid sistemik dapat dilakukan dengan menggunakan jadwal pemberian dosis
14
tradisional ‘bila perlu’ atau ‘pada jam tertentu’. Opioid merupakan terapi lini pertama pada
nyeri akut yang berat. Prinsip kunci untuk pemakaian aman dan efektif adalah dengan titrasi
dosis yang diinginkan untuk mendapatkan efek penghilang rasa sakit yang diinginkan dan
meminimalkan efek-efek yang tidak diinginkan.10
Jalur pemberian subkutan sebanding dengan pemberian intravena.
Jalur pemberian oral merupakan jalur yang paling dapat dilakukan, mudah, dan manjur.
Efek sampingnya antara lain masalah-masalah yang cukup besar seperti depresi napas, dan
masalah-masalah minor yang lebih banyak seperti hipotensi, mengantuk, mual, dan konstipasi.
REKOMENDASI
Pemantauan ketat pasien-pasien pasca pemberian opioid diperlukan tanpa perlu memperhatikan
jalur pemberiannya.
Jadwal pemberian dosis secara umum:
Jadwal pemberian dosis opioid perlu dibedakan bagi masing-masing orang. Respon-respon
pasien terhadap opioid harus dipastikan sehubungan dengan kemanjuran efek analgesiknya
maupun timbulnya efek samping.
Morfin oral (Sevredol, Oramorph) 5-10 mg setiap 3-4 jam. Jalur ini merupakan jalur pilihan
dalam pemberian obat, namun memerlukan pengembalian motilitas lambung.
Oksikodon oral (Oxynorm) 10 mg setiap 4 jam.
Infus morfin subkutan atau intravena (biasanya dipakai sebagai pengelolaan di wilayah high
dependency) hingga 10 mg per jam, namun dititrasi bagi masing-masing pasien untuk
memantau baik efek analgesiknya maupun efek sampingnya.
Injeksi morfin intermiten intramuskuler atau subkutan 10 mg setiap 3 jam.
Dosis harian dewasa = (20-70 tahun) 100 dikurangi usia pasien.
Dosis harian anak = 0,01-0,04 mg/kg/jam.
Opioid mayor dan minor yang berbeda dapat saling menggantikan.
Tabel penentuan dosis ekuianalgesik dapat membantu dalam konversi pemilihan obat dan jalur
pemberian obat.11
Rute oral adalah yang paling banyak digunakan karena merupakan rute yang paling
dapat diterima oleh pasien. Kekurangan dari rute oral untuk mengobati nyeri akut adalah bahwa
15
penyerapan opioid dapat berkurang akibat keterlambatan pengosongan lambung pascaoperasi.
Mual dan muntah dapat mencegah penyerapan obat-obatan yang diberikan secara oral dan di
samping itu,bioavailabilitas berkurang setelah metabolisme di dinding usus dan hati. Jadi rute
oral mungkin tidak cocok dalam banyak kasus.
Rute sublingual menawarkan beberapa keuntungan teoritis administrasi obat. Penyerapan
terjadi langsung ke sirkulasi sistemik karena tidak melewati metabolisme lintas pertama. Obat
yang telah paling sering digunakan oleh rute ini adalah buprenorfin yang cepat diserap dan
memiliki durasi kerja yang panjang (6 jam).
Rute supositoria. Kebanyakan analgesik opioid bergantung pada metabolisme jika
diberikan melalui mulut. Rute dubur adalah alternatif yang berguna, terutama jika terdapat nyeri
berat yang disertai dengan mual dan muntah. Opioid dapat diberikan dengan efektif melalui
supositoria tetapi tidak ideal untuk terapi segera nyeri akut karena bereaksi lambat dan kadang-
kadang penyerapannya tidak menentu, meskipun secara ideal cocok untuk pemeliharaan
analgesia. Rektal dosis untuk sebagian besar opioid kuat adalah sekitar setengah yang
dibutuhkan oleh rute oral. Ketersediaan opioid untuk penggunaan rektal sangat bervariasi di
seluruh dunia.11
Administrasi intramuskular mewakili teknik yang optimal bagi negara berkembang.
Seperti yang dinyatakan sebelumnya, dengan metode ini efek analgesia akan berhubungan
dengan banyak faktor. Sebuah cara sederhana untuk mengatasi masalah ini adalah dengan
melaksanakan analgesik secara reguler setiap 4 jam. Bahkan, telah dibuktikan bahwa injeksi
intramuskular opioid dapat sebagus yang dari Patient Controlled Analgesia (PCA). Untuk
mencapai tingkat ini diperlukan penilaian anlagesia reguler, pencatatan skor nyeri dan
pengembangan algoritme pemberian analgesia, tergantung dari tingkat nyeri.
Intravena. Selama bertahun-tahun telah menjadi tindakan yang umum untuk memberikan
bolus opioid baik dalam durante operasi dan pemulihan pasca-operasi untuk menghasilkan
analgesia langsung. Rute ini memiliki kelemahan fluktuasi produksi konsentrasi plasma obat
yang disuntikkan, meskipun bila dilakukan dengan hati-hati injeksi intravena dapat meredakan
nyeri dengan lebih cepat dari metode lain. Namun secara umum teknik infus, baik oleh suntikan
16
intermiten atau dengan infus, tidak sesuai kecuali dalam pengawasan ketat dan berada dalam unit
terapi intensif karena secara inheren berbahaya jika pasien dibiarkan tanpa pengawasan bahkan
untuk periode singkat.
Patient Controlled Analgesia (PCA)
Patient Controlled Analgesia (PCA) menjadi populer ketika diketahui bahwa kebutuhan
individu untuk opioid bervariasi. Oleh karena itu disusun suatu sistem di mana pasien dapat
mengelola analgesia intravena mereka sendiri dan mentitrasi dosis titik akhir penghilang rasa
sakit mereka sendiri menggunakan mikroprosesor kecil yang dikontrol dengan sejenis pompa.
Berbagai perangkat komersial sekarang tersedia untuk tujuan ini.. Dengan demikian mereka
dapat menyesuaikan tingkat analgesia yang diperlukan, menurut keparahan rasa sakit. Secara
teori, tingkat plasma dari analgesik akan relatif konstan dan efek samping yang disebabkan oleh
fluktuasi tingkat plasma akan dihilangkan. 12
Untuk mencapai keberhasilan dan keamanan analgesia dengan PCA maka pasien harus
mengerti apa yang perlu dilakukan dan ini harus dijelaskan secara rinci sebelum operasi. Hampir
setiap obat opioid telah digunakan untuk PCA. Secara teori, obat yang ideal harus memiliki onset
yang cepat, durasi kerja sedang, dan memiliki margin keselamatan yang luas antara efektivitas
dan efek samping. Pilihan biasanya tergantung pada ketersediaan, preferensi pribadi dan
pengalaman. Sekali pilihan telah dibuat parameter-parameter lainnya perlu ditentukan termasuk
ukuran bolus dosis, jangka waktu minimum antara dosis (kunci- habis) dan dosis maksimum
yang diperbolehkan.
Morfin adalah obat yang paling populer dan akan digunakan sebagai contoh. Dosis ideal
morfin telah ditemukan yaitu 1mg. Namun, tinjauan ulang diperlukan dalam setiap kasus untuk
memastikan bahwa analgesia telah memadai. Tujuan jangka waktu minimum antar dosis adalah
untuk mencegah terjadinya overdosis. Jangka waktu minimum antar dosis harus cukup lama
untuk dosis sebelumnya memiliki efek. Dalam prakteknya, jangka waktu ini berkisar antara 5
dan 10 menit cukup untuk sebagian besar opioid. Dalam prakteknya, adalah lebih logis untuk
menerima bahwa persyaratan analgesik pasien akan sangat bervariasi dan beberapa pasien
mungkin memerlukan jumlah yang sangat besar untuk mencapai nyeri yang memadai.12
17
Mesin PCA memungkinkan pasien untuk memakai opioid secara mandiri dengan cara
menekan tombol yang akan langsung mengirimkan obat ke dalam aliran darah. Keuntungan
potensial dari cara ini adalah kontrol pasien dan pemberian obat yang cepat. PCA
memungkinkan pasien untuk menyesuaikan derajat pemulihan nyeri sesuai keinginan mereka
yang dapat membuat mereka nyaman dan masih dapat memberikan toleransi pada efek samping.
PCA terlihat dapat memberikan kepuasan yang lebih pada pasien dan ventilasi yang lebih baik
dibandingkan dengan jalur pemberian konvensional. Selain karena PCA dikelola oleh acute pain
team, hanya terdapat insidensi efek samping yang kecil dengan cara pemberian ini.12
Morfin merupakan obat yang biasa digunakan di mesin-mesin PCA, namun opioid
lainnya dapat pula digunakan seperti fentanil atau sufentanil.
Efek buruk dari PCA ini antara lain efek sedasi yang berlebihan, depresi pernapasan, dan
mual.
Jadwal pemberian dosis:
Dosis muat dapat diresepkan, yakni 1-2 mg morfin.
Dosis inkremental (bolus): morfin 1 mg, petidin 10 mg, fentanil 20 µg.
Periode terkunci selama 5-8 menit.
Infus dasar: dapat diresepkan – meskipun diperlukan peantauan ketat.
Batas pemberian infus selama 1 jam: morfin sebanyak 30 mg (atau dosis ekuivalen) dalam 4
jam.
Dosis muat morfin sebanyak 0,05-0,2 mg/kg.
Pasien yang menggunakan PCA biasanya mentitrasi analgesia mereka ke titik di mana
mereka merasa nyaman dan bukannya rasa bebas nyeri. Alasan untuk hal ini adalah tidak jelas
tetapi mungkin berkaitan dengan kekhawatiran akan overdosis, kebutuhan untuk kontak dengan
anggota staf rumah sakit dan harapan setelah operasi.
18
Tabel 2.Macam – macam obat analgesi opioid
ANESTESI REGIONAL
Penggunaan teknik anestesi regional pada pembedahan memiliki efek yang positif
terhadap respirasi dan kardiovaskuler pasien terkait dengan berkurangnya perdarahan dan nyeri
yang teratasi dengan baik. Singkatnya, teknik apapun yang dapat digunakan dalam prosedur
bedah menghasilkan hasil yang nyaris sempurna untuk menghilangkan nyeri pascaoperasi
apabila efeknya diperpanjang hingga melebihi durasi pembedahan. Ada beberapa teknik anestesi
lokal sederhana yang dapat dilanjutkan ke periode pasca-operasi untuk memberikan pain relief
yang efektif. Sebagian besar dapat dilakukan dengan risiko minimal termasuk infiltrasi anestesi
lokal, blokade saraf perifer atau pleksus dan teknik blok perifer atau sentral. Meskipun begitu,
kita tidak boleh mengharapkan anelgesi lokal saja dapat mengatasi nyeri pasca operasi, karena
nyeri pascaoperasi memiliki banyak faktor penyebab. Karena nyeri timbul dari multifaktor, maka
manajemen nyeri pascaoperasi haruslah terdiri dari kombinasi pendekatan untuk mencapai hasil
terbaik. 13
Infiltrasi luka dengan obat anestesi lokal berdurasi panjang seperti Bupivacaine dapat
memberikan analgesia yang efektif selama beberapa jam. Apabila nyeri berlanjut, dapat
19
diberikan suntikan ulang atau dengan menggunakan infus. Blokade pleksus atau saraf perifer
akan memberikan analgesia selektif di bagian-bagian tubuh yang terkait oleh pleksus atau saraf
tersebut. Teknik-teknik ini dapat digunakan untuk memberikan anestesi untuk pembedahan atau
khusus untuk nyeri pasca-operasi. Teknik-teknik ini dapat sangat berguna jika suatu blok
simpatik diperlukan untuk meningkatkan suplai darah pascaoperasi atau apabila blokade pusat
seperti blokade spinal atau epidural merupakan kontraindikasi.
Spinal anestesi memberikan analgesia yang sangat baik untuk operasi di tubuh bagian
bawah dan pain relief bisa berlangsung berjam-jam setelah selesai operasi jika dikombinasikan
dengan obat-obatan yang mengandung vasokonstriktor. Penggunaan teknik epidural
membutuhkan praktisi yang berpengalaman dan pelatihan khusus bagi staf perawat dalam
pengelolaan pasca-operasi pasien. Kateter epidural dapat ditempatkan baik di leher, toraks atau
daerah lumbal tetapi blokade epidural lumbal adalah yang paling umum digunakan.13
Meskipun infus kontinu anestesi lokal dapat menghasilkan analgesia sangat efektif,
teknik ini juga menghasilkan efek samping yang tidak diinginkan seperti hipotensi, blok sensorik
dan motorik, mual dan retensi urin. Kombinasi obat bius lokal dengan opioid yang diberikan
secara sentral dapat mengurangi sebagian dari masalah ini.
EPIDURAL
Pemberian infus obat anestesi lokal (biasanya bupivakain/markain) dan opioid (biasanya
morfin atau diamorfin) melalui jalur epidural terus menerus telah digunakan untuk
menghilangkan nyeri pasca operasi. Epidural telah menunjukkan kemampuannya dalam efek
analgesik yang superior dibandingkan dengan PCA dan tehnik analgesik lainnya seperti opioid
intramuskuler intermiten. Selain efek penurunan respon stres pada pembedahan yang signifikan
pada pemakaian tehnik ini, epidural juga dapat menurunkan morbiditas pembedahan. Terdapat
20
insidensi komplikasi pulmonal , komplikasi kardiak, dan ileus paralitik pasca operasi yang
semakin berkurang. Efek buruk yang potensial antara lain:14
Hipotensi (dapat diterapi dengan adrenalin atau efedrin)
Depresi napas
Insidensi kerusakan neurologis yang sangat rendah (<1:20.000) dan infeksi (<1:10.000).
REKOMENDASI
Jalur pemberian epidural dapat digunakan pada pasien-pasien yang telah menjalani operasi
urologi mayor seperti nefrektomi prostatektomi radikal, dimana analgesik pasca operatifjangka
panjang diperlukan selama 3-4 hari.
Jadwal pemberian dosis secara umum:
Bupivakain epidural 0,125% (dosis maksimal 175-250 mg/pemberian) + 2 µg fentanil/mL
atau sufentanil 0,3-1 µg/mL, diberikan dengan kecepatan 5-15 mL/jam.
Ropivakain 0,1-0,2 % (dosis maksimal 500-700) + 2 µg fentanil/mL atau sufentanil 0,3-1
µg/mL, diberikan dengan kecepatan 5-15 mL/jam.
BLOK EPIDURAL KAUDAL
– Pembedahan dibawah umbilikus mencakup pinggul, pelvis, regio urogenital/perianal, dan
ekstremitas bawah, pengambilan sumsum tulang.
– Mudah dilakukan.
– Injeksi tunggal kaudal → efek analgesia postoperatif lama pada pasien anak.
– Kateter epidural dihubungkan dengan kanul intravena standar (seperti Angiocath) → analgesia
postoperatif dalam waktu lama.
– Conroy dkk membandingkan keefektifan blok epidural kaudal dengan infiltrasi di sekitar luka
bedah pada pemberian analgesia postoperatif setelah herniorafi inguinal pada 35 anak-anak.
– Blok epidural kaudal → waktu emergensi yang lebih pendek saat anestesi, nyeri sedikit saat
bergerak, opioid postoperatif lebih sedikit.
– KI : Koagulopati yang tidak dikoreksi, inf. lokal pd tempat injeksi.
– KI spesifik : mielomeningocele dan kelainan anatomi bagian sacral.
• Komplikasi: injeksi subkutaneus, tusukan duramater, injeksi subarachnoid, injeksi
intravaskuler, injeksi intraosseus, hematom, infeksi dan retensi urin.
21
• Broadman :1154 yang menggunakan blok itu untuk operasi pada anak, tidak ada komplikasi
serius.
• Fisher dkk : waktu untuk miksi postoperatif
• Murah, sederhana, dan tekniknya efektif tidak hanya untuk suplemen analgesia postoperatif
tetapi juga sebagai metode tunggal anestesi.
BLOK EPIDURAL LUMBAL
• Pinggul, pelvis, dan ekstremitas bawah.
• Aternatif : pernah menjalani pembedahan daerah rectum dan sacral atau kelainan anatomi pada
daerah sacral
• Kedalaman ruang epidural dapat diketahui dari modifikasi formula Dohi, sebagai berikut :
Kedalaman (mm) = 18 + (1,5 X umur (tahun)
• Injeksi tunggal atau infus kontinyu anestesi lokal melalui pemakaian kateter epidural.
• Komplikasi : kecelakaan tusukan duramater, trauma langsung medulla spinalis, emboli udara
selama pemasangan jarum epidural, dan kejang akibat infus bupivacain kontinyu.
• Efektif : nyeri lokal yang intens, nyeri somatik, dan nyeri visceral.
• Infus epidural kontinyu dianjurkan pada analgesia epidural pada bayi,anak dan remaja.
• Analgesia epidural kendali pasien (PCEA, Patient-controlled epidural analgesia)
• Tempat insersi
– jalur caudal : pasien kurang dari 12 bulan,
– pendekatan lumbal : pasien berumur lebih dari 12 bulan,
– jalur thorax untuk pasien dengan indikasi spesifik seperti pembedahan thoraks atau abdominal
bagian atas.
• Stimulasi elektrik → memposisikan kateter kedalam regio thoraks melalui ruang caudal.
• Pada bayi yang lebih kecil:bupivacain 0,1% dan hydromrphone 3 µg/mL diberikan 0,2-0,4
ml/kg/hr.
• Pada neonatus : infus epidural kontinyu dengan bupivacain 0,2-0,3 ml/kg/hr.
• Teknik regional kontinyu efektif pada pasien-pasien anak.
Blokade saraf lokal intermiten atau terus-menerus.
22
Blok anestesi lokal dapat digunakan pasca operasi bedah urologi sebagai suplemen analgesik
pasca operasi.
Blok saraf yang biasa digunakan antara lain sebagai berikut:
Infiltrasi daerah luka dengan bupivakain 0,25-0,5% sebanyak 10-20 mL.
Infiltrasi saraf iliohipogastrik atau ilioinguinal pasca reparasi hernia, dengan menggunakan
bupivakain 0,25-0,5% sebanyak 10-20 mL.
Infiltrasi saraf interkosta dengan bupivakain 0,25% sebanyak 5-10 mL.
Pemasangan kateter intrapleura pasca pembedahan intrathoracal, infus bupivakain 0,1% terus
menerus sebanyak 10 mL/jam.
BLOK SARAF PERIFER
• Blok Plexus Brachial Axillaris
– Lengan bawah dan tangan.
– Biasanya anak di sedasi atau di anestesi dahulu
– Arteri axillaris bertindak sebagai penanda sheat axillaris.
– Jarum 23G atau 25G diinsersikan dan dianjurkan untuk pulsasi arteri axillaris secara paralel.
– Anestesi lokal:lidocain, mepivacain, bupivacain dengan dosis 0,5-0,75 mL/Kg atau campuran
lidokain 1% + tetracain 0,1%
– Ivanni dan Tonetty : dosis bolus 0,5-1ml/kg ropivacain 0,2% atau lebobupivacain 0,25%
dengan klonidin 3 µg/kg/24 jam selama 48-72 jam.
– Komplikasi : injeksi intravaskuler, trauma langsung pada nervus/arteri, hematom dan infeksi.
Blok Interscalene
– Clavicula, bahu dan lengan bagian atas.
– Pasien posisi supine, kepala pasien jangan bergerak,
– Tidak mudah dilakukan pada pasien anak yang lebih muda.
– Pada level kartilago krikoidea jarum22-25G diinsersikan ke alur interscalene, diteruskan scr
medial, caudal dan posterior ke processus tansversus C6.
– Lidokain 1% 0,5 mL/kg + tetracain 0,1% atau bupivacain 0,25-0,5% 0,5 mL/kg dapat
digunakan
23
– Teknik kateter kontinyu juga dapat digunakan.50
– Komplikasi : injeksi intravaskuler, hematom, dan infeksi.
– Juga pernah dilaporkan : blok nervus prenicus dengan paralisis diafragmatik unilateral, injeksi
subarachnoid dengan anestesi spinal total dan injeksi arteri basilar.
Blok Nervus Femoral dan Blok 3-in-1 (teknik paravascular inguinal)
– Osteotomi femur, biopsi otot quadriceps dan vastus lateralis, dan pengambilan kulit donor dari
paha anterior.
– Arteri femoralis pada bagian medial nervus femoralis bertindak sebagai penanda anatomi
– Jarum bevel pendek diinsersikan secara perpendicular ke kulit pada level ligamentum inguinal
dan lateral dari pulsasi arteri femoralis.
– Blok nervus femoralis : bupivacain 0,25-0,5% dengan dosis 0,2-0,3mL/Kg.
– Blok 3 in 1 lebih baik dari pada blok nervus femoralis.
– Jarum diinsersikan dengan posisi jarum 30°dari paha anterior. Anestesi lokal diinjeksikan
dengan penekanan pada bagian distal canalis femoralis dari jarum.
– Blok 3-in-1: bupivacain 0,25-0,5% dengan dosis 0,5-0,7 ml/kg (dengan dosis maksimal 2,5
mg/Kg).
– Lamanya analgesia untuk kedua blok ini adalah 3-6 jam.
– Komplikasi : blok nervus simpatetik, trauma pada pembuluh darah dan hematom
Blok Nervus Kutaneus Femoralis Lateral
– Biopsi otot pada bagian paha, skin graft, dan insisi paha bagian lateral.
– Tidak mengganggu fungsi motorik pada ekstremitas bagian bawah.
– Pada daerah ligamentum inguinal, jarum bevel pendek, ukuran 22G, diinsersikan dengan jarak
yang sama dengan 1 atau 2 ruas jari pasien dari bagian medial ke spina iliaca anterior superior.
Blok Kompartemen Fascia Iliaca
– Osteotomi femoral, perbaikan fraktur femur, pembedahan pinggul, artroskopi lutut dan biopsi
otot.
– Pasien ditempatkan pada posisi supine,
– Penandanya : spina iliaca anterior superior, tuberculum pubis, dan ligamentum inguinal.
24
– Jarum diinsersikan secara perpendicular ke kulit.
– Dalens dkk : 60 anak-anak dengan blok kompartemen fascia iliaca dengan 60 anak-anak yang
menerima blok 3-in-1.
– 90% pasien yang menerima blok fascia iliaca mempunyai analgesia yang adekuat
dibandingkan dengan 20% pasien yang menerima blok 3-in-1.
– Blok kompartemen fascia iliaca digunakan selama 12-15 jam.
Blok Nervus Fossa Poplitea
– Anestesi pada nervus sciatic yang terdiri dari 2 cabang yaitu nervus tibia dan nervus perineal.
– Dibawah lutut, seperti pembedahan hallus vagus, pembedahan tendon, sinovektomi pada sendi
metatarsal, amputasi, pengambilan benda asing dan eksisi tumor.
– Pasien pada posisi prone atau posisi lateral dengan posisi lutut sedikit flexi.
Blok Nervus Penile
– Sirkumsisi dan perbaikan hipospadia distal.
– Untuk sirkumsisi → efektifitasnya sama tanpa dihubungkan dengan adanya blokade motorik
seperti pada blok kaudal.
– Larutan yang mengandung epinefrin tidak pernah digunakan.
– Komplikasi : injeksi intravaskuler, hematom, infeksi dan iskemia.
Blok Nervus Ileoinguinal dan Ileohipogastrik
– Hernia inguinalis dan orciopeksi.
– Cross dan Barrett : penggunaan blok nervus ileoinguinal dan ileohipogastrik dengan
bupivacain 0,25% dan epinefrin 1:200.000 dengan anestesi caudal yang menggunakan
bupivacain 0,25% pada anak-anak yang melakukan herniorafi dan ocioplexi.
– Tidak berbeda pada durasi dan kualitas analgesianya, insiden muntah atau waktu untuk
pertama kali miksi.
SUREFUSER
Pemberian obat intravena bisa dilakukan dengan menggunakan infuse continues .Sekarang telah ditemukan alat infuse continues yang mudah digunakan pada pasien,yaitu niprosurefuser yang
25
diproduksi oleh Niprocorporation. Penggunaan alat ini dapat mempermudah bagi kita sebagai tim medis maupun untuk pasien.
Desain yang ringan pada alat ini memungkinkan pasien untuk bias berjalan sambil menggunakan alat ini. Dengan pasien dapat memiliki perangkat mereka sendiri dan tidak memerlukan biaya perawatan.selain itu pasien bisa pulang lebih cepat karena pengurangan rasa sakit yang lebih cepat sehingga dapat meningkatkan mobilitas.
Alat surefuser ini sangat nyaman bagi penggunanya karena: mudah untuk mengisinya, ada kode warna untuk identifikasi, tidak ada alarm, tidak memakai catudaya eksternal, beragam desain dan metode kerja.
Surefuser juga bisa menekan biaya pengobatan pasien, karena: mudah untuk mengatur dan menggunakan, tidak ada manajemen alarm, mengurangi tinggal di rumah sakit, tidak ada penanaman modal dan tidak ada perbaikan maupun pemeliharaan.
Dalam hal keselamatan alat ini aman digunakan, karena: mempunyai pelindung yang kuat,self –ventilasi filter 0,2 mikron,in-line penjepit untuk mencegah kebocoran.
Gambar 3.Niprosurefuser dan travelbag
Surefuser: meningkatkan kualitas hidup penderita melalui pengobatan rawat jalan. Desain ringan sekali pakai dan operasi diam memungkinkan pasien untuk memiliki terapi mereka tanpa mengubah gaya hidup mereka.
26
Gambar 4.cara pemasangan dan pemakaian surefuser
Surfuser dapat digunakan dalam berbagai terapi:
a. Continuous kemoterapi
Surefuser secara luas digunakan untuk administrasi sitotoksik obat untuk perawatan rumah atau di poli pengaturan (seperti 5 FU kanker kolorektal).
b. Thalassemia
Untuk membantu menghilangkan kelebihan besi pasien thalassemia, desferriotamine dapat diberikan terus menerus melalui surefuser.
c. Intermitten antibiotic teraphy.
Surefuser dapat digunakan untuk jangka pendek dan infuse jangka panjang dari antibiotic. Sangat cocok untuk pasien dengan infeksi seperti cystic. Fibrosis atau setiap pasien lainnya yang memerlukan antibiotic IV.
Analgetik
Surefuser sering digunakan untuk memberikan analgetik pasien dan disesuaikan dengan terus infuse obat nyeri. Penyedia layanan kesehatan dapat menyesuaikan terapi manajemen nyeri yang paling sesuai dengan kondisi dan gaya hidup pasien.
Analgesia IV: post operasi pasien trauma Analgesia perineural continuous: blok perifer pada bedah orthopedic Epidural analgesia: dengan kateter epidural
27
Tabel 3.Continuous Infus Surefuser
50 ml Surefuser 100 ml Surefuser Waktu Infus Warna
10 ml/jam 20 ml/jam 5 jam ungu
4,2 ml/jam 8,4 ml/jam 12 jam pink
2,1 ml/jam 4,2 ml/jam 1 hari biru
1 ml/jam 2 ml/jam 2 hari hijau
0,7 ml/jam 1,4 ml/jam 3 hari krem
0,4 ml/jam 0,8 ml/jam 5 hari kuning
0,3 ml/jam 0,6 ml/jam 1 minggu jeruk
Tabel 4.Infus Jangka Pendek Surefuser
Tingkat Infusion Waktu Warna
100 ml 200 ml/jam ½ jam Putih
100 ml/jam 1 jam Pucat kelabu
250 ml 250 ml/jam 1 jam Ungu muda
125 ml/jam 2 jam Pink salmon
62,5 ml/jam 4 jam Drill
28
Pengobatan Efek Samping dan Monitor Postoperatif
• PCA, infus narkotik kontinyu, analgesia epidural dan PCEA ? → efek samping
• Pulse oksimetri selama 24 jam pertama setelah infus dimulai
• Mual dan muntah : metoclopramide 0,1-0,2 mg/kgBB/dosis (maksimal 10 mg) IV setiap 6 jam
bila perlu atau ondansentron 0,1 mg/kg/dosis (maksimal 2 mg) IV setiap 4-8 jam bila perlu.
• Gatal : nalbuphin 0,01-0,02 mg/kgBB/dosis (maksimal 1,5 mg)IV tiap 6 jam bila perlu atau
dipenhidramin 0,25-0,5 mg/Kg/dosis (maksimal 25mg) IV tiap 6 jam bila perlu.
• Depresi pernafasan : nalokson 1 µg/kg (maksimal 80 µg) IV bila perlu.
• Kost byery dkk → infeksi dan kolonisasi bakteri pada penggunaan kateter epidural kontinyu
pada anak-anak.
• Seth dkk → analgesia epidural postoperatif pada 100 pasien anak yang berumur 1 hari -15
tahun.
• Menunjukkan bahwa tanda lokal minor dari inflamasi dan infeksi biasanya sering terjadi pada
pasien anak selama infus epidural kontinyu.
Pendekatan Pengobatan Nyeri Yang Lain
• Nonfarmakologi : hipnosis, relaksasi, Stimulasi elektrik saraf transkutaneus, terapi seni dan
akupuntur
• Dokter anestesi yang mengobati nyeri perioperatif pada pasien anak seharusnya mengetahui
karakteristik khusus dari populasi ini dan seharusnya menggunakan teknik pendekatan
farmakologi dan nonfarmakologi yang tepat.
Pelayanan Pengobatan Nyeri Postoperatif pada Anak
• Idealnya sebuah institusi pelayanan penatalaksanaan nyeri pada anak dilakukan secara integrasi
• Kolaborasi :bagian anak, bedah umum anak, urologi anak, ortopedi anak, bedah plastik anak,
bedah jantung anak, bedah syaraf anak, otolaringologi anak dan dilengkapi dengan pelayanan
medis
• Penanganan nyeri yang optimal untuk pasien anak memerlukan alat dan penilaian nyeri yang
memadai dan penatalaksanaan yang agresif .
• Waktu, luasnya trauma, dan pemberian analgesia merupakan faktor yang penting dari lamanya
anak-anak dan bayi merasakan nyeri perioperatif.
29
Pencegahan nyeri
Penelitian terbaru telah menunjukkan bahwa sistem saraf pusat dapat disensitisasi oleh
stimulus nosiseptif persisten yang menimbulkan eksaserbasi persepsi nyeri. Penghambatan pada
stimulus nosiseptif tersebut agar tidak mencapai sistem saraf pusat, melalui pemberian obat-
obatan analgesik sebelum insisi pembedahan, dapat mengurangi kebutuhan analgesik dan
mengurangi nyeri pasca operatif. Namun penelitian klinis saat ini belum ada yang menunjukkan
suatu keuntungan yang jelas.
Selain hal tersebut, terdapat pertimbangan bahwa terapi nyeri pasca operatif di awal dan
secara agresif sebelum nyeri menjadi jelas dianggap sebagai praktik klinik yang baik. Konsep
tersebut lebih disebut sebagai analgesik ‘pencegahan’ dibandingkan dengan ‘pre-emptive’. 13
Kesetimbangan analgesia
Konsep kesetimbangan analgesi adalah bahwa kontrol nyeri pasca operasi yang efektif
tergantung pada penggunaan sejumlah agen analgesik serta jalur pemberian yang berbeda yang
bekerja secara sinergis dalam menciptakan kontrol nyeri yang baik. Sebagai contoh pemakaian
OAINS sebagai ganti dari opioid, atau mengkombinasikan infiltrasi luka lokal dengan obat-
obatan oral. Secara umum pemakaian anti nyeri kombinasi berupa kelas analgesik yang berbeda
serta tehnik analgesi yang digunakan dapat memperbaiki keefektivan pemulihan nyeri pasca
pembedahan, pengurangan dosis maksimal, serta efek-efek buruk yang dapat terjadi. 14
Kesimpulan
Nyeri merupakan suatu respon biologis yang menggambarkan suatu kerusakan atau
gangguan organ tubuh. Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang
dan ekstensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya (Tamsuri, 2007). Menurut
International Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah sensori subyektif dan emosional
yang tidak menyenangkan yang didapat terkait dengan kerusakan jaringan aktual maupun
potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan. Manajemen nyeri pascaoperasi
haruslah dapat dicapai dengan baik demi alasan kemanusiaan. Manajemen nyeri yang baik tidak
hanya berpengaruh terhadap penyembuhan yang lebih baik tetapi juga pemulangan pasien dari
perawatan yang lebih cepat. Dalam menangani nyeri pascaoperasi, dapat digunakan obat-obatan
seperti opioid, OAINS, dan anestesi lokal. Obat-obatan ini dapat dikombinasi untuk mencapai
30
hasil yang lebih sempurna. Karena kebutuhan masing-masing individu adalah berbeda-beda,
maka penggunaan Patient Controlled Analgesia dirasakan sebagai metode yang paling efektif
dan menguntungkan dalam menangani nyeri pascaoperasi meskipun dengan tidak lupa
mempertimbangkan faktor ketersediaan dan keadaan ekonomi pasien.
DAFTAR PUSTAKA
1. Charlton ED. Posooperative Pain Management. World Federation of Societies of
Anaesthesiologistshttp://www.nda.ox.ac.uk/wfsa/html/u07/u07_009.htm.
2. Gwirtz K. Single-dose intrathecal opioids in the management of acute postoperative pain.
In: Sinatra RS, Hord AH, Ginsberg B, Preble LM, eds. Acute Pain: Mechanisms &
Management. St Louis, Mo: Mosby-Year Book; 1992:253-68
3. Chelly JE, Gebhard R, Coupe K, et al. Local anesthetic delivered via a femoral catheter
by patient-controlled analgesia pump for pain relief after an anterior cruciate ligament
outpatient procedure. Am J Anesthesiol. 2001;28:192-4.
4. Mahajan R, Nathanson M. Anaesthesia. London ; Elsevier Churchill Livingstone. 2006.
5. Kehlet H, Brandt MR, Rem J. Role of neurogenic stimuli in mediating the endocrine-
metabolic response to surgery. Journal of Parenteral & Enteral Nutrition,1980;4(2):152-
156.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/entrez/query.fcgi?
cmd=Retrieve&db=PubMed&list_uids=6995626&dopt=Abstract&itool=iconnoabstr
6. Fong TM, Yu H, Cascieri MA,Underwood D, Swain CJ, Strader CD. Interaction of
glutamine 165 in the
fourth transmembrane segment of the human neurokinin-1 receptor with quinuclidine
1antagonists. J Bio Chem 1994; 269 (21):14957-14961.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/entrez/query.fcgi?
cmd=Retrieve&db=PubMed&list_uids=8195129&dopt=Abstract&itool=iconfft
7. Kehlet H. The endocrine metabolic response to postoperative pain. Acta Anaesthesiol
Scand Suppl 1982;74:173-175.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/entrez/query.fcgi?
cmd=Retrieve&db=PubMed&list_uids=6953731&dopt=Abstract&itool=iconabstr
31
8. Marks RM, Sachar EJ. Undertreatment of medical inpatients with narcotic analgesics. Ann
Intern Med 1973;78(2):173-181.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/entrez/query.fcgi?
cmd=Retrieve&db=PubMed&list_uids=4683747&dopt=Abstract&itool=iconnoabstr
9. Donovan M, Dillon P, McGuire L. Incidence and characteristics of pain in a sample of
medical-surgical inpatients. Pain 1987;30(1):69-78.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/entrez/query.fcgi?
cmd=Retrieve&db=PubMed&list_uids=2886969&dopt=Abstract&itool=iconabstr
10. Warfield CA, Kahn CH. Acute pain management. Programs in U.S. hospitals and
experiences and attitudes among U.S. adults. Anesthesiology 1995;83(5):1090-1094.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/entrez/query.fcgi?
cmd=Retrieve&db=PubMed&list_uids=7486160&dopt=Abstract&itool=iconabstr
11. Oden R. Acute postoperative pain: Incidence, severity and etiology of inadequate
treatment.Anesthesiology Clinics N America 1989;7:1-5.
12. Sydow FW. The influence of anesthesia and postoperative analgesic management of lung
function.Acta Chiur Scand.1989;550 (Suppl):159-165.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/entrez/query.fcgi?
cmd=Retrieve&db=PubMed&list_uids=2652967&dopt=Abstract&itool=iconabstr
13. Partridge AD, Brennan MF, Gray NH. Day Surgery: making it happen: a study conducted
by the NHS Management Executive’s Value for Money Unit. London HMSO,1991.
http://lib.leeds.ac.uk/search/a?a
14. Wilmore DW, Kehlet H. Management of patients in fast track surgery. BMJ
2001;322(7284):473-476.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/entrez/query.fcgi?
cmd=Retrieve&db=PubMed&list_uids=11222424&dopt=Abstract&itool=iconfft
MARCH 2007 53
32