Tbt
-
Upload
wa-ode-nurul-annisa -
Category
Documents
-
view
261 -
download
36
description
Transcript of Tbt
1
BAB I
Keadaan Umum Daerah Pertambangan
A. Lokasi dan Kesampaian Daerah
Secara geologis lokasi pertambangan PT. Ansar Terang Crushindo
berada di Jorong Pauh Anok, Nagari Pangkalan, Kecamatan Pangkalan Koto
Baru, Kabupaten Lima Puluh Kota, Provinsi Sumatera Barat. Titik koordinat
Izin Usaha Pertambangan (IUP) dapat dilihat pada Tabel 1.1 di bawah ini.
Tabel 1.1 Titik Koordinat Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Ansar Terang Crushindo
NOBujur Timur Lintang Selatan
Keteranganº ´ ´´ º ´ ´´
1
2
3
4
5
100
100
100
100
100
44
44
44
44
44
17.6
23.8
23.8
1.5
1.6
00
00
00
00
00
4
4
4
4
4
31.2
31.2
8.9
9.2
32.9
Total Luas
Area
20 Ha
Sumber: PT. Ansar Terang Crushindo, 2015
Untuk mencapai wilayah Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi
PT. Ansar Terang Crushindo dari ibu Kota Provinsi dapat ditempuh dengan
menggunakan jalur transportasi sebagai berikut :
1. Padang – Payakumbuh dengan jalur transportasi darat ditempuh lebih
dari 135 km dalam waktu kurang lebih 3 jam.
2. Payakumbuh – Pangkalan dengan jalur transportasi darat ditempuh lebih
dari 50 km dalam waktu kurang lebih 1 jam.
Peta lokasi dan kesampaian daerah penambangan batu andesit PT.
Ansar Terang Crushindo dapat dilihat pada lampiran B. Batas lokasi kegiatan
penambangan adalah:
1. Sebelah Utara berbatasan dengan perkebunan masyarakat.
2. Sebelah Selatan berbatasan dengan perkebunan masyarakat.1
2
3. Sebelah Barat berbatasan dengan perkebunan masyarakat.
4. Sebelah Timur berbatasan dengan jalan raya lintas Sumbar Riau.
B. Iklim dan Cuaca
Iklim dan cuaca merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh
dalam kegiatan penambangan, karena seluruh aktivitas kerja pada tambang
terbuka berhubungan langsung dengan udara bebas.
Hal ini akan mempengaruhi produktivitas penambangan dan akan
berpengaruh pada target produksi perusahaan. Daerah penambangan PT.
Ansar Terang Crushindo beriklim tropis dengan karakteristik curah hujan
yang dibagi dalam dua musim yaitu:
1. Musim hujan, biasanya terjadi pada bulan Oktober sampai April.
2. Musim kemarau dengan sesekali hujan, biasanya terjadi pada bulan April
sampai Oktober.
C. Topografi
PT. Ansar Terang Crushindo terletak di Nagari Pangkalan, Kecamatan
Pangkalan Koto Baru, Kabupaten Lima Puluh Kota. Topografi daerah ini
bervariasi antara datar dan berbukit-bukit dengan tinggi tempat terendah dari
permukaan laut berada di waduk PLTA di nagari Tanjung Pauh (90 mdpl)
dan daerah tertinggi berada pada Bukit Gadih (1330 mdpl) di nagari Koto
Alam.
Kecamatan ini sangat banyak memiliki sungai yang telah banyak
dimanfaatkan oleh masyarakatnya sebagai sumber air, irigasi, mandi,
mencuci, kakus, memancing ikan, sumber galian C dan sebagai sarana
transportasi yang menggunakan perahu untuk membawa hasil gambir dan
karet. Peta topografi dapat dilihat pada lampiran C.
D. Geologi
Batu andesit berasal dari lelehan lava gunung merapi yang meletus,
terbentuk (membeku) ketika temperature lava yang meleleh turun antara 900
sampai dengan 1.100 derajat Celsius. Batu andesit merupakan jenis batuan
beku luar yang memiliki berat jenis 1,6 – 2.6 gr/cm3 berwarna agak gelap
(abu-abu tua) dengan kuat tekan 600 – 2400 kg/cm2. Density solid dari batu
3
andesit antara 2,5 ton/m3 sampai 2,8 ton/m3. Sehingga PT. Ansar Terang
Crushindo menetapkan density batu andesit dalam bank cubik meter (BCM)
adalah 2,54 ton/m3 dan losse cubik meter (LCM) adalah 2,2 ton/m3.
Geomorfologi daerah Lima Puluh Kota dapat dikenali tiga macam
satuan morfologi yang berbeda yaitu:
1. Satuan morfologi perbukitan terjal yang dicirikan gunung api.
2. Satuan morfologi perbukitan sedang dicirikan dengan adanya bukit-
bukit bergelombang.
3. Satuan morfologi pedataran.
Struktur geologi yang berpengaruh pada kegiatan peledakan adalah
struktur rekahan (kekar) dan struktur pelapisan batuan. Kekar (join)
merupakan rekahan-rekahan dalam batuan yang terjadi kerena tekanan atau
tarikan yang disebabkan oleh gaya-gaya yang bekerja dalam kerak bumi.
Dengan adanya struktur rekahan ini maka energi gelombang tekanan
dari bahan peledak akan mengalami penurunan yang disebabkan oleh adanya
gas-gas hasil reaksi peledakan yang menerobos melalui rekahan, sehingga
mengakibatkan penurunan daya tekan terhadap batuan yang akan diledakkan.
Penurunan daya tekan ini akan berdampak terhadap batuan hasil peledakan
bahkan batuan hanya mengalami retakan.
E. Statigrafi
Susunan stratigrafi daerah dari batuan yang tua ke batuan yang lebih muda
dapat diuraikan, sebagai berikut:
1. Aluvium Sungai, berumur Holosen
Terdiri dari lempung, pasir dan kerikil umumnya terdapat di dataran
rendah setempat kadang-kadang terdapat sisa-sisa tuf batu apung, pada
alur-alur sungai terdapat endapan bongkah-bongkah batuan beku dan
kuarsit.
2. Tuf Batu apung dan Andesit, berumur Pleistosen
4
Tuf batu apung umumnya terdiri dari serabut-serabut gelas dan fragmen-
fragmen batuapung putih 5-80 %, hampir tidak mengandung mineral-
mineral mafik, berukuran garis tengah 1-20 cm, agak kompak. Setempat
terdapat lapisan-lapisan pasir yang kaya akan kuarsa, juga lapisan-lapisan
kerikil yang terdiri dari komponen kuarsa, batuan gunungapi dan
batugamping. Kumpulan batuan bersusunan andesit (basal) terdiri aliran-
aliran yang tak teruraikan, lahar, konglomerat dan endapan koluvium
yang lain, berasal dari gunungapi strato yang berbentuk kerucut dan
kurang mengalami pengikisan, biasanya berwarna kelabu gelap, dengan
tekstur halus-kasar.
3. Andesit/Porfir Dasit, berumur Pleistosen
Umumnya mengandung horenblenda, masa dasar agak gelasan dengan
beberapa mineral mafik (piroksen) yang telah digantikan oleh epidot dan
klorit. Agaknya terjadi sebagai sumbat-sumbat yang berasosiasi dengan
andesit Kuarter dan Kuarter-Tersier.
4. Dasit Gunung Malintang, berumur Pliosen.
Batuannya terdiri dari breksi andesit sampai basal, aglomerat, pecahan
lava berongga, endapan lahar dan lava.
5. Anggota Bawah Formasi Ombilin, berumur Miosen.
Terutama batupasir kuarsa mengandung mika dengan sisipan-sisipan
konglomerat kuarsa, lapisan-lapisan tipis serpih lempung-pasir dan
batupasir glaukonit.
6. Batugamping Miosen.
Batugamping berwarna kelabu muda, berongga dan terkekar,
menunjukkan perlapisan semu, bagian terbawah batuan yang tersingkap
dari satuan ini adalah napal yang berwarna putih sampai ke kuningan.
Tersingkap di sungai Sinamar, daerah Kecamatan Gunung Mas.
Singkapan di daerah Koto Tangah adalah batugamping terumbu.
7. Batuan Granitik Miosen.
Terdiri dari Stok, berkomposisi antara granit dan diorit kuarsa.
8. Formasi Brani, berumur Oligosen.
5
Terdiri dari konglomerat dengan sisipan batupasir, komponen
konglomerat terdiri dari fragmen-fragmen kuarsit, kuarsa, rijang, dan
granit, berwarna kelabu muda kelabu kehijauan.
9. Andesit Basal, berumur Eosen.
Mendasari beberapa bukit-bukit yang rendah, seperti di Bukit Pintuangin,
Bukit Batu. Batuannya terdiri dari lava, breksi, aglomerat dan batuan
hipabisal.
10. Batuan Malihan Karbon.
Batuan malihan karbon biasanya mendasari bukit-bukit dan punggungan-
punggungan yang landai, kemerahan, sedikit sekisan, setempat
menunjukkan laminasi dan lineasi terpilin dari beberapa meter sampai
beberapa puluh meter. Batuan lanauan bergradasi ke batupasir metalunak
yang sebagian besar terdiri dari butir-butir kuarsa dalam matriks
lempungan, kuarsit.
11. Batuan Karbonat Karbon.
Dengan ciri khas membentuk punggungan-punggungan tajam berwarna
putih sampai keabu-abuan pada singkapan yang segar dan kelabu gelap
dan kotor pada yang lapuk. Umumnya batugamping ini pejal dan
berongga, beberapa tempat terdapat kekar. Batuan lainnya yaitu
batusabak, filit, serpih dan kuarsit.
12. Anggota Kuarsit Perm Karbon.
Batuannya terdiri dari kuarsit dan batupasir kuarsa, sisipan filit, serpih,
konglomerat dan rijang.
13. Jam Kerja
Kegiatan penambangan PT. Ansar Terang Crushindo membagi jam kerja
menjadi dua shift yaitu, shif 1 dan shif 2. Adapun jadwal yang diterapkan
pada PT. Ansar Terang Crushindo adalah sebagai berikut:
a. Shift 1 : Mulai 08.00 – 17.00, istirahat (12.00 – 13.00)
b. Shift 2 : Mulai 19.00 – 23.00
Shift 2 dilaksanakan apabila target produksi tidak tercapai sehingga
diperlukan penambahan jam kerja pada malam hari untuk mencapai
target produksi.
6
14. Cadangan Batu Andesit
PT. Ansar Terang Crushindo memulai penambangan batu andesit pada
tahun 2010, dengan luas daerah penambangan seluas 20 Ha yang
berlokasi di Jorong Pauh Anak, Nagari Pangkalan, Kecamatan pangkalan
Koto Baru, Kabupaten Lima Puluh Kota. Dengan jumlah cadangan batu
andesit kurang lebih 15 juta ton.
F. Proses Pelaksanaan Pekerjaan
1. Sistem Penambangan
Kegiatan penambangan batu andesit yang dilakukan di PT. Ansar Terang
Crushindo menggunakan sistem tambang terbuka. Secara garis besar
kegiatan penambangan dibagi kedalam beberapa tahap, yaitu:
a. Pembuatan Akses Jalan
Pembuatan jalan dimaksudkan untuk memberi akses dalam kegiatan
pertambangan. Untuk kegiatan penambangan batu andesit PT. Ansar
Terang Crushindo dibutuhkan jalan masuk (akses road) dan jalan
tambang. Jalan tambang dan jalan masuk berfungsi sebagai jalur
lintasan kendaraan atau peralatan yang dibutuhkan dalam kegiatan
penambangan batu andesit. Jalan ini dibuat dengan lebar ±6 meter.
Jalan ini dibuat dengan konstruksi jalan tanah kemudian diperkeras
melalui proses pemadatan.
b. Pembersihan Lahan (Land Clearing)
Pembersihan lahan (land clearing) merupakan tahap awal dari
kegiatan penambangan. Kegiatan pembersihan lahan ini mutlak
dilakukan sebelum pembongkaran lapisan tanah penutup
(overburden) dilakukan. Tujuan dari pembersihan lahan ini adalah
untuk menyingkirkan pohon-pohon besar maupun kecil, semak
belukar dan bongkahan batuan di area yang akan dibongkar tanah
penutupnya. Pembersihan lahan ini dilakukan menggunakan alat
berat bulldozer, excavator dan juga dilakukan penebangan
menggunakan sinso.
c. Pengupasan Tanah Pucuk (Pre Stripping top soil)
7
Setelah pembukaan dan pembersihan lahan, kegiatan selanjutnya
adalah pengupasan lapisan top soil yang sangat kaya akan unsur
hara. Ketebalan tanah pucuk bervariari berkisar antara 20-30 cm.
Pengupasan tanah pucuk ini dilakukan terlebih dahulu dan
ditempatkan terpisah terhadap batuan penutup (over burden), agar
pada saat pelaksanaan reklamasi dapat dimanfaatkan kembali.
Pengupasan top soil ini dilakukan sampai pada batas lapisan subsoil,
yaitu pada kedalaman dimana telah sampai di lapisan batuan penutup
(tidak mengandung unsur hara). Kegiatan pengupasan tanah pucuk
ini terjadi jika lahan yang digali masih berupa rona awal yang asli
(belum pernah digali/ditambang). Sedangkan untuk lahan yang bekas
“peti (penambangan liar)” biasanya lapisan top soil tersebut telah
tidak ada, sehingga kegiatan tambang diawali langsung dengan
penggalian batuan penutup. Tanah pucuk yang telah terkupas
selanjutnya di timbun dan dikumpulkan pada lokasi tertentu yang
dikenal dengan istilah Top Soil Bank. Untuk selanjutnya tanah pucuk
yang terkumpul di top soil bank pada saatnya nanti akan
dipergunakan sebagai pelapis teratas pada lahan disposal yang telah
berakhir dan memasuki tahapan program reklamasi.
d. Pengupasan Lapisan Tanah Penutup (overburden)
Pengupasan overburden dilakukan setelah kegiatan pembersihan
lahan dan pengupasan tanah bagian atas (top soil). Pengupasan
dilakukan secara bertahap serta dibuat jenjang (bench), hal ini
dilakukan untuk menghindari terjadinya longsoran. Pengupasan
overburden dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:
1) Direct-Digging
Pengupasan tanah penutup dapat dilakukan dengan penggalian
langsung oleh shovel atau excavator. Penggalian langsung ini
hanya untuk material tanah penutup yang sangat lunak sampai
lunak.
2) Riping-Dozing
8
Pengupasan tanah penutup dilakukan dengan ripper untuk
menggali hingga tanah terbongkar dan dozzer untuk mendorong
tanah penutup yang relatif lunak untuk kemudian diangkut oleh
dump truck.
e. Penimbunan Tanah Penutup ke Disposal Area
Sebagai kelanjutan dari pengupasan tanah penutup (overburden),
maka perlu disediakan suatu tempat khusus untuk penumpukan dan
penyimpanan tanah penutup tersebut (yang diambil dari pit), yang
biasa disebut dengan disposal area. Untuk pengangkutan dari pit ke
disposal area digunakan dump truck.
f. Penambangan Batu Andesit
Batu andesit adalah jenis batuan yang kompak dan memiliki tingkat
kekerasan yang tinggi maka untuk melakukan penambangan batu
andesit PT. Ansar Terang Crushindo menggunakan sistem drilling-
blasting. Adapun urutan kegiatan pemboran dan peledakan adalah:
1) Meyiapkan lokasi pemboran dan peledakan
2) Menentukan desain pemboran
3) Melakukan pemboran berdasarkan desain
4) Pengangkutan bahan peledak
5) Kegiatan peledakan
Sumber: Dokumentasi Penulis, 2015Gambar 1.1 Batu Andesit
9
g. Pemuatan (loading)
Setelah proses drilling-blasting dilakukan, maka proses selanjutnya
adalah melakukan pemuatan batu andesit. Pemuatan batu andesit di
lokasi penambangan dilakukan dengan menggunakan alat berat
excavator dan dump truck. Excavator ini melakukan pemuatan ke
dalam dump truck.
Sumber : Dokumentasi Penulis, 2015Gambar 1.2 Proses pemuatan (loading)
h. Pengangkutan (Hauling) ke Stockpile
Pengangkutan bertujuan memindahkan material tanah penutup
(overburden) dari tambang ke lokasi penimbunan (disposal area)
atau memindahkan batu andesit menuju stok pile. bahan galian
diangkut menggunakan dump truck, jarak lokasi penambangan
dengan stockpile adalah 8 kilometer. Pengangkutan ini menggunakan
dump truck berkapasitas 20 ton.
i. Peremukan (Cruhing)
Proses peremukan (crushing) bertujuan untuk memperkecil
fragmentasi hasil peledakan dan untuk menyeragamkan ukuran batu
andesit. Kegiatan crushing menggunakan alat jaw crusher.
Bagian dan fungsi alat crusher:
10
1) Hopper
Hopper merupakan suatu bagian dari instalasi pada rangkaian
peremuk batu Andesit yang berfungsi sebagai tempat
penampungan batu Andesit. Hopper terbuat dari baja agar tidak
mudah aus karena gesekan, hopper berbentuk trapesium.
2) Belt Conveyor
Belt conveyor merupakan alat untuk mengangkut material batu
Andesit ke proses selanjutnya.
3) Vibrating Screen
Vibrating screen merupakan ayakan yang bergoyang untuk
menyaring batu Andesit sesuai ukuran yang diinginkan, dimana
pada pengelompokan ukuran material tergantung pada lubang
ayakan.
4) Panel Listrik
Panel listrik adalah alat yang berfungsi untuk menyediakan aliran
listrik bagi crusher agar dapat beroperasi. Panel listrik juga
berfungsi sebagai sakelar untuk mematikan dan menghidupkan
crusher.
Sumber : Dokumentasi Penulis, 2015Gambar 1.3 Peremukan (Crushing)
11
Cara kerja crusher:
1) Batu Andesit hasil penambangan setelah sampai di stock pile
selanjutnya akan dilakukan proses crushing agar dapat
dipasarkan. Batu andesit yang berukuran maksimal 30 cm
dimasukkan kedalam hopper menggunakan alat berat bulldozer.
2) Dari hopper batu andesit diteruskan ke Jaw cruher, di dalam jaw
inilah terjadi proses peremukan batu andesit menjadi ukuran
yang lebih kecil.
3) Kemudian batu andesit diteruskan ke belt conveyor menuju
screen (ayakan getar), pada screen pertama terdapat 2 ayakan
yaitu ayakan 3x3cm dan 2x2cm sehingga batu andesit dibagi
menjadi 2 split yaitu: split 2-3 cm dan split 1-2 cm.
4) Batu andesit yang tidak lolos ayakan diteruskan lagi ke jaw yang
kedua, di jaw ini dilakukan lagi peremukan, setelah itu belt
conveyor membawa batu andesit ke screen kedua, pada screen
terdapat 3 ayakan yaitu ayakan 2x2cm, 1x1cm dan 0,5x0,5cm
sehingga batu andesit dibagi menjadi 3 split, yaitu: split 1-2 cm,
split 0,5-1 cm, dan split 0-0,5 cm.
5) Jika masih ada batu andesit yang tidak lolos pada ayakan kedua
maka belt conveyor akan membawa batu andesit tersebut kembali
ke jaw untuk dilakukan lagi proses peremukan.
G. Peralatan Penambangan
1. Alat
a. Bulldozer
Bulldozer yang digunakan PT. Ansar Terang Crushindo adalah
Komatsu yang berjumlah 1 unit. Bulldozer Komatsu dapat dilihat
pada gambar. Bulldozer Komatsu mempunyai fungsi sebagai berikut:
1) Membersihkan dan meratakan permukaan kerja jalan operasi.
2) Mengupas permukaan tanah tipis di lapisan batu andesit.
3) Meratakan tumpukan batu andesit.
4) Meratakan permukaan tanah di samping area.
5) Memasukkan batu andesit ke hopper.
12
b. Wheel Loader
Wheel loader juga digunakan untuk pemuatan, pemindahan
tumpukan tanah. Wheel loader yang dipakai PT. Ansar Terang
Crushindo adalah Komatsu WA 350.
c. Excavator
Excavator merupakan alat yang memiliki peranan yang sangat
penting dalam kegiatan penambangan. Dimana fungsinya adalah
sebagai berikut:
1) Melakukan penggalian.
2) Memindahkan tumpukan tanah di lokasi penggalian.
3) Membantu mengupas lapisan tanah penutup yang tipis.
4) Memecahkan batuan yang memiliki bongkahan yang besar.
5) Sebagai alat muat ke daam dump truck.
Excavator yang digunakan PT. Ansar Terang Crushindo adalah
Excavator Komatsu PC 200.
d. Dump Truck
Dump truck yang digunakan PT. Ansar Terang Crushindo adaah
Nissan Jumbo, dump truck berfungsi mengangkut overburden dan
mengangkut batu andesit dari front penambangan ke stockpile.
e. Compactor
Compactor digunakan untuk pembuatan dan perawatan jalan
tambang.
f. Drilling machine
Drilling machine merupakan peralatan yang digunakan untuk
pembuatan lubang ledak sebelum dilakukan peledakan pada areal
penambangan. Drilling machine yang digunakan PT. Ansar Terang
Crushindo adalah Crawler Rock Drill merk Furukawa.
13
BAB II
Teori Dasar
A. Sifat Masa Batuan (Rock Mass Properties)
Bieniawski (1989) batuan selaku material penyusun lahan dalam
geoteknik, khususnya dalam mekanika batuan dianggap sebagai satu kesatuan
massa. Oleh karena itu sifatnya dianggap sebagai sifat massa. Sifat massa ini
berfungsi dan bekerja menyangga beban-beban yang terdapat di atasnya dan
di dalamnya. Sehingga dalam desain dan pembuatan konstruksi harus
memperhatikan kekuatan dan pola dikontinuitas pada massa batuan. Hudson
dan Harrison (1997) batuan sebagai material digunakan untuk membangun
struktur, atau suatu struktur dibangun di atas atau dalam batuan (massa
batuan). Wyllie dan Mah (2004) massa batuan merupakan material-material
batuan yang mengalami proses kerusakan (failure) yang kompleks. West
(2010) sifat massa batuan meliputi semua karakteristik suatu massa batuan
14
yang berhubungan dengan rekayasa konstruksi. Sehingga menurut Hoek
(2006) estimasi kekuatan dan deformasi massa batuan dibutuhkan untuk
estimasi dukungan (support) dan berbagai analisis seperti desain lereng,
fondasi dan penggalian bawah permukaan, West (2010) pekerjaan rekayasa
pemotongan jalan dan bendungan.
Palmstrom (1995) struktur massa batuan yang rumit dengan
kekurangannya aplikasinya yang luas menyebabkan permasalahan dalam
rekayasa batuan dan konstruksi. West (2010) sifat fisik batuan menentukan
sifatnya sebagai material konstruksi dan sebagai struktur fondasi, sehingga
kelas dan pengukurannya dapat berupa sifat material yang diukur
menggunakan percontoh kecil di laboratorium, dan sebagai sifat massa batuan
yang membutuhkan skala besar massa batuan untuk menentukan keseluruhan
sifatnya. Tipikal sifat massa batuan adalah dikontrol oleh bidang-bidang
lemah pada batuan daripada sifat padu materialnya. Sehingga menurut
Goodman (1989) batuan menjadi tidak ideal dalam sejumlah hal, dan batuan
jarang benar-benar kontinyu, karena pori-pori atau celah biasanya hadir,
seperti microfissure merupakan retakan planar kecil terjadi dalam batuan
padu dan fissure sebagai retakan yang lebih luas.
Secara ideal massa batuan tersusun oleh sistem blok batuan dan
fragmen-fragmen yang terpisahkan oleh diskontinuitas membentuk material
dimana semua elemen saling bergantung sebagai suatu satuan (Matula dan
Holer, 1978 dalam Palmstrom, 1995). Material tersebut dikarakteristiki oleh
bentuk dan dimensi blok batuan dan fragmen-fragmen, oleh pengaturan
bersama dalam massa batuan, serta oleh karakter kekar seperti kondisi bidang
kekar dan pengisinya (Palmstrom, 1995). Gambar di bawah ini
menggambarkan skematika komponen-komponen yang membangun massa
batuan di alam, yaitu terdiri dari material batuan berikut keberadaan
diskontinuitas di dalamnya.
14
15
Gambar 2.1. Skematik penyusun massa batuan terdiri dari material batuan beserta diskontinuitas di dalamnya (Palmstrom, 1995).
B. Karakteristik Geomekanika Diskontinuitas
Diskontinuitas dalam mekanika batuan, merupakan istilah umum yang
digunakan sebagai istilah untuk batuan yang mengalami kerusakan (Giani,
1992). Bates (1987) istilah diskontinuitas secara umum dapat berbentuk
diskontinuitas stratigrafi, seismik dan struktur geologi. Hudson dan Harrison
(1997) satu dari banyaknya aspek fundamental kehadiran diskontinuitas
adalah nilai rata-rata dan distribusi spasi antara diskontinuitas, indeks asosiasi
frekuensi diskontinuitas dan Rock Quality Designation (RQD).
Hoek (2006) penerapan analisis mekanika batuan membutuhkan
model dan data geologi berdasarkan definisi tipe-tipe batuan, struktur
diskontinuitas dan sifat material. Wyllie dan Mah (2004) pengumpulan data
diskontinuitas melalui investigasi geologi dengan melakukan pengkategorian
diskontinuitas, termasuk proses terbentuknya. Wyllie dan Mah (2004) parameter-
parameter yang perlu dicatat dalam investigasi geologi diskontinuitas seperti tipe
batuannya, tipe diskontinuitas, skala, orientasi, spasi, persistence, kekasaran,
kekuatan (wall strength), aperture, pengisi, seepage, jumlah set kekar, bentuk dan
ukuran blok, serta tingkat pelapukan tersaji pada gambar 2.2. Palmstrom (1995)
secara umum berkaitan dengan investigasi geologi dari semua hal yang berkaitan
dengan mekanika batuan, rekayasa batuan dan desain adalah kualitas geo-data yang
menjadi dasar perhitungan dan estimasi yang dibuat.
16
Gambar 2.2. Sketsa parameter-parameter untuk mendeskripsikan massa batuan (Wyllie dan Mah, 2004)
1. Tipe Diskontinuitas
Tipe diskontinuitas mulai dari kekar tarik yang terbatas panjangnya, sampai
patahan dengan beberapa meter ketebalan lempung, gauge, dan panjang dalam
kilometer (Wyllie dan Mah, 2004), dan menurut Hoek (2006) semua massa
batuan mengandung diskontinuitas. Berbagai tipe diskontinuitas menurut
Bieniawski (1989) dan Hoek (2006) seperti patahan, bidang perlapisan, foliasi,
kekar, belahan dan schistositas. Lebih lanjut Giani (1992) menggolongkan
bidang perlapisan, belahan dan schitositas sebagai contoh kerusakan kemas
(fabric defact), sedangkan lipatan, patahan dan kekar sebagai kerusakan
struktural (structural defact).
2. Skala Diskontinuitas
Duncan dan Goodman (1968) dalam Giani (1992) membuat klasifikasi
diskontinuitas berdasarkan pada skalanya. Demikian juga Wyllie dan Mah
(2004) serta Hoek (2006) membuat ilustrasi skematik transisi skala berdasarkan
17
peningkatan ukuran percontoh, mulai dari batuan padu sebagai skala terkecil
sampai sebagai massa batuan yang terkekarkan kuat pada skala terbesar. Hoek
(2006) analisis sifat mekanika batuan dilakukan pada setiap skala memiliki
formulasi tertentu yang tepat untuk menganalisa permasalahan diskontinuitas.
West (2010) sifat batuan atau sifat material diukur melalui percontoh kecil di
laboratorium, sedangkan sifat massa batuan ditentukan dari keseluruhan sifat
volume yang besar melalui pengukuran di lapangan.
Tabel 2.1 Deskripsi karakteristik diskontinuitas berdasarkan skala observasi (Duncan dan Goodman, 1968 dalam Giani, 1992)
Nama Skala Obs. Skala Spasi Asal/Genesa
Retakan Makro dan Mikro
Percontohan laboratorium
s < 0,25 cm
Alterasi dan retakan tarikan
Belahan BidangBlok batuan in situ observasi
0,25 cm < s < 5 cm
Rekahan tarikan
Kekar (A) Dike (B)
Penggalian eksplorasi
5 cm < s < 6 m
Rekahan dari tarikan dan tegasan geser
Zona Hancuran Minor, zona rekahan, diakibatkan oleh tegasan shear sesar utama
Penggalian kompleks
6 m < s < 60 m
Rekahan dari tegasan geser
Cincin pegunungan s > 60 m Rekahan dari
tegasan geser
Duncan dan Goodman (1968) dalam Giani (1992) membuat ilustrasi yang
cukup detail dalam pengklasifikasian berbagai karakteristik diskontinuitas
berdasarkan skala observasinya, baik jenis, spasi dan genesa diskontinuitas
(Tabel 2.1). Diskontinuitas terkecil berupa retakan mikro dan makro diamati
melalui percontoh laboratorium. Adapun observasi diskontinuitas berupa bidang
perlapisan, kekar, dike, zona hancuran, zona rekahan dan patahan termasuk
patahan utama dilakukan melalui observasi secara in situ di lapangan
3. Orientasi Diskontinuitas
Mekanisme pada formasi batuan menyebabkan diskontinuitas tidak terbentuk
seluruhnya berorientasi acak (Hudson dan Harrison, 1997). Orientasi
merefleksikan siknifikansi variasi set diskontinuitas pada massa batuan
(Bieniawski, 1989). Bidang diskontinuitas memiliki strike dan dip, Giani (1992)
18
menyatakan strike sebagai azimuth, yang diukur searah jarum jam (Wyllie dan
Mah, 2004) antara sudut utara dan irisan bidang diskontinuitas terhadap bidang
referensi horizontal. Sedangkan dip menurut Hudson dan Harrison (1997)
merupakan sudut tercuram diskontinuitas terhadap horizontal.
Gambar 2.3 Contoh proyeksi stereografis bidang (N–S, 408W)) dan kutup dari bidang: a) pandangan menyamping, b) proyeksi sama luas bawah
hemisfer
Giani (1992) analisis orientasi diskontinuitas dapat dilakukan melalui proyeksi
sperikal, yaitu metode yang menggunakan analisis hubungan tiga dimensi
antara bidang dan garis pada digram dua dimensi. Kelemahan proyeksi ini
adalah kemudahan bergerak dipermukaan, tetapi tidak mampu diputar.
Goodman (1989) dan Wyllie dan Mah (2004) diskontinuitas bisa juga dianalisis
menggunkan metode proyeksi stereografi (gambar 2.3), termasuk analisis
kinematikanya (Goodman, 1989 dan Wyllie dan Mah, 2004).
4. Spasi Diskontinuitas
Bieniawski (1989) dan Giani (1992), spasi merupakan jarak antara
diskontinuitas terdekat yang diukur secara tegak lurus. Diskontinuitas memiliki
frekuensi kemunculan, frekuensi diskontinuitas menunjukkan jumlah jarak
19
setiap unit berbanding terbalik terhadap spasi. Wyllie dan Mah (2004) spasi
dipetakan dari permukaan batuan dan core bor, dan spasi sebenarnya dihitung
dari spasi semu untuk diskontinuitas yang miring terhadap permukaan (Gambar
2.4). Pengukuran spasi set kekar memberikan ukuran dan bentuk blok. Hasilnya
berupa model stabilitas dan kekuatan massa batuan (Wyllie dan Mah, 2004).
Gambar 2.4 Hubungan antara spasi semu (S apparent) dan spasi sebenarnya (S) dalam satu set diskontinuitas (Wyllie dan Mah, 2004)
5. Persistence
Menurut Wyllie dan Mah (2004) persistence merupakan pengukuran panjang
diskontinuitas atau luas diskontinuitas. Parameter ini menetapkan ukuran blok
dan panjang potensi permukaan gelincir. Giani (1992) persistence secara kasar
dapat dikuantifikasi melalui observasi panjang diskontinuitas pada permukaan
batuan. Pahl (1981) dalam Wyllie dan Mah (2004) membuat perhitungan
panjang diskontinuitas, dengan asumsi panjang merupakan distribusi.
Dengan merupakan rata panjang persistence, L1 dan L2 ukuran panjang dan
lebar daerah yang dipetakan (gambar 2.5), Nt dan Nc jumlah diskontinuitas pada
area pemetaan singkapan, N total diskontinuitas
(2)
(3)
(1)
20
Gambar 2.5 Pengukuran spasi dan persistence diskontinuitas (Wyllie dan Mah, 2004). Keterangan : c kekar dalam area, t kekar memotong area,
dip , rata-rata spasi (S)6. Kekasaran (Roughness)
Pada analisis orientasi dan persistence, bidang diskontinuitas dianggap sebagai
bidang planar, tetapi permukaannya bisa saja kasar (Hudson dan Harrison,
1997). Giani (1992) parameter kekasaran menunjukkan indeks tidak rata dan
gelombang pada diskontinuitas batuan. Diskontinuitas bergelombang dicirikan
oleh skala indulasi yang besar, sedangkan diskontinuitas tidak rata ditandai oleh
skala kekasaran kecil. Selain itu menurut Wyllie dan Mah (2004) secara umum
bentuk permukaan diskontinuitas memiliki permukaan yang kasar, jika
berbentuk indulasi akan memiliki permukaan halus dan jika planar maka
bidang permukaannya slickensides.
Giani (1992) profil tingkat kekasaran diskontinuitas dapat diobservasi melalui
sepanjang sumbu, yang diestimasikan sebagai arah potensi pergeseran
diskontinuitasnya. Metode pengukurannya dapat dilakukan melalui berbagai
skala, dari skala singkapan yang dilakukan di lapangan, juga melalui skala
terkecil di laboratorium, seperti ilustrasi pada gambar 2.6. Hudson dan Harrison
(1997) pengukuran kekasaran dapat pula dilakukan dengan mereferensi pada
chart standard dan formulasi matematik, terpapar pada gambar 2.7. Wyllie dan
Mah (2004) pada tahap investigasi pendahuluan biasanya dilakukan penilaian
visual kekasaran, ditetapkan sebagai Joint Rough Coefficient (JRC) dari Barton
(1973). Giani (1992) menyebutkan bahwa nilai kekasaran permukaan
diskontinuitas berguna untuk mengetahui kuat geser, khususnya pada dinding
diskontinuitas yang belum mengalami dislokasi dan belum terisi.
21
Gambar 2.6 Survey tingkat kekasaran pada skala berbeda dengan referensi untuk keperluan tes kuat geser, (Giani, 1992) ; dimana i sebagai sudut gelombang, 1) Ukuran shear test laboratorium, 2) Ukuran volume blok
pada in situ test
Wyllie dan Mah (2004) nilai JRC dapat diestimasikan secara visual dengan
membandingkan kondisi permukaan terhadap profil standard berdasarkan
kombinasi ketidakteraturan permukaan pada skala beberapa sentimeter dan
gelombangan pada skala beberapa meter (gambar 2.8). Palmstorm (1995)
metode JRC dari Barton (1973) nilainya berkisar dari lima untuk bidang kekar
planar sampai dua puluh untuk kekar bergelombang kasar. Nilai tersebut
merupakan perkiraan subyektif dari perbandingan profil kekasaran standar.
22
Gambar 2.7 Metode alternative untuk estimasi nilai JRC dari pengukuran simpangan dari rata-rata air (Barton, 1982)
23
Gambar 2.8 Profil tingkat kekasaran untuk nilai kisaran JRC (Barton dan
Choubey, 1977)
24
7. Kekuatan Dinding (Wall Strength)
Giani (1992) mendefinisikan kekuatan dinding sebagai ekuivalen dengan kuat
kompresi pada dinding batuan berdekatan dari suatu diskontinuitas. Nilainya
merupakan komponen penting dari kuat geser dan deformability, khususnya jika
kekar atau diskontinuitas dapat menunjukkan hubungan dari batu ke batu
kontak atau batu yang berkekar tak terisi. Kekuatan dinding bisa lebih rendah
daripada kekuatan batuan yang disebabkan oleh pelapukan atau alterasi. Wyllie
dan Mah (2004) kekuatan dinding diskontinuitas mempengaruhi kuat geser pada
permukaan kasar. Deskripsi semi kuantitatif dan kuantitatif kekuatan dinding
diperoleh menggunkan palu geologi, pisau dan Schmidt Hammer (Giani, 1992).
Tabel 2.2 Klasifikasi kekuatan batuan berdasarkan nilai uniaxial compressive strengt/UCS (Wyllie dan Mah, 2004)
Grade Deskripsi Identifikasi lapangan UCS (MPa)
R6 Batuan kuat sekali
Percontoh hanya berupa chip menggunakan palu geologi > 250
R5 Batuan sangat kuat
Percontoh membutuhkan banyak pukulan palu geologi untuk memecahkannya 100-250
R4 Batuan kuat Percontoh membutuhkan lebih sekali pukulan palu geologi untuk memecahkannya 50-100
R3 Batuan kuat menengah
Percontoh dapat dipecahkan melalui sekali pukulan palu geologi 25-50
R2 Batuan lemahDapat dikelupas menggunakan pisau secara hati-hati, titik lekukan dangkal menggunakan palu geologi
5,0-25
R1 Batuan sangat lemah
Hancur dipukul menggunakan palu geologi dan dapat dikelupas menggunakan pisau 1,0-5,0
R0 Batuan lemah sekali Dapat ditusuk menggunakan kuku tangan 0,25-1,0
Wyllie dan Mah (2004) mengklasifikasikan kekuatan batuan khususnya menjadi
tujuh tingkatan (lihat tabel 2.2). Pembagiannya berdasarkan nilai kekuatan
uniaxial compressive strength (UCS), mulai dari batuan kuat sekali untuk nilai
UCS lebih besar dari 250 Mpa, sampai batuan sangat lemah dengan nilai UCS
berkisar antara 0,25-1,0 Mpa. Adapun metode pengukuran kekuatan kompresi
bisa melalui point load test untuk cere bor atau bongkahan percontoh, dan
menggunakan Schmidt Hammer pada permukaan diskontinuitas batuan. Giani
25
(1992) uji menggunakan Schmidt Hammer dilakukan untuk mengestimasikan
joint wall Compressive strength (JCS), serta berhubungan terhadap densitas
batuan yang diujikan.
8. Rongga (Aperature)
Wyllie dan Mah (2004) menjelaskan besarnya rongga diskontinuitas diperoleh
dari pengukuran jarak tegak lurus antara dinding batuan berdekatan dari bidang
diskontinuitas yang di dalamnya terisi udara atau air. Dimana kehadiran rongga
pada diskontinuitas akan mempengaruhi nilai kuat massa batuan dan besarnya
hidraulic conductivity air tanah, sehingga berguna untuk memprediksi perilaku
massa batuan.
Gambar 2.9 Blok-blok batuan dengan diskontinuitas di dalamnya (Giani, 1992) : a) tertutup, b) terbuka (rongga), c) terisi
Giani (1992) rongga dibedakan berdasarkan besarnya bukaan diskontinuitas,
seperti pada Gambar 2.9. Secara umum rongga-rongga massa batuan di bawah
permukaan adalah kecil, mungkin kurang dari setengah milimeter. Menurut
Wyllie dan Mah (2004) rongga dengan bukaan (> 1 m) sebagai kategori yang
besar dan jika (< 0,1 mm) dikategorikan sangat rapat. Secara lengkap
pembangian kategori rongga dilakukan oleh Barton (1973) lihat tabel 2.3. Giani
(1992) asal mula terbentuknya rongga dapat merupakan hasil shear
displacement diskontinuitas dengan kekasaran dan gelombangan cukup besar
dari bukaan tarikan, pencucian (outwash), pelarutan dan dari tarikan
diskontinuitas vertikal oleh erosi lembah atau proses glasiasi.
26
Table 2.3 Deskripsi keadaan rongga pada permukaan diskontinuitas (Barton, 1973)
Deskripsi Lebar rongga
Tertutup
Sangat rapat < 0,1 mm
Rapat 0,1 – 0,25 mm
Sedikit terbuka 0,25 – 0,5 mm
Celah (gap)
Terbuka 0,5 – 2,5 mm
Lebar menengah 2,5 – 10 mm
Lebar > 10 mm
Terbuka
Sangat lebar 10 – 100 mm
Lebar sekali 100 – 1000 mm
Besar > 1 m
9. Pengisi (Infilling)
Wyllie dan Mah (2004) mendefinisikan pengisi sebagai material yang
memisahkan dinding batuan yang berdekatan pada suatu diskontinuitas. Giani
(1992) pengisi ini biasanya lebih lemah kekuatannya dari batuan induk. Tipe
pengisi bisa berupa pasir, lanau, lempung, breksi, gauge dan mylonit. Adapun
untuk mineral pengisi seperti kalsit, kuarsa dan pirit memiliki kekuatan yang
tinggi. Sehingga secara mekanika material pengisi ini mempengaruhi kuat geser
diskontinuitas. Lebih lanjut menurut Wyllie dan Mah (2004) material pengisi
dapat dipergunakan untuk memprediksi perilaku diskontinuitas batuan.
Berdasarkan pola pengisi, akan dijumpai dua tipe utama pengisi pada
diskontinuitas, yang sekaligus dapat dipergunakan untuk memprediksi arah
bukaan rekahan dan kecepatannya terbentuk dapat dilihat pada gambar 2.10
(Pluijm dan Marshak, 2004). Pada pekerjaan survey geologi terhadap singkapan
batuan menurut Giani (1992) serta Wyllie dan Mah (2004) berbagai sifat fisik
diskontinuitas berikut harus dicatat seperti : meneralogi, tingkatan dan ukuran
partikel, kandungan air dan permeabilitas, perpindahan geser sebelumnya
(offset), kekasaran dinding, lebar, rekahan dan hancuran dinding batuan dan
rasio over-cosolidation.
27
Gambar 2.10 Tipe urat pengisi (Pluijm dan Marshak, 2004) : (a) blocky vein, (b) fibrous vein, (c) dan (d) arah bukaan diskontinuitas sama dengan sumbu
fiber
Sehingga berdasarkan parameter deskripsi tersebut di atas dipergunakan
untuk memenuhi berbagai hal berikut ini (Giani, 1992):
a. Geometri: Lebar, kekasaran dinding, sketsa lapangan
b. Tipe pengisi: Mineralogi, ukuran partikel, tingkat pelapukan,
parameter indeks batuan dan tanah, potensi pengembangan.
c. Kekuatan pengisi: Indeks manual kekuatan dan kekerasan batuan
dan tanah ditentukan oleh penetrasi, penghancuran, penggoresan
material menggunakan tangan, pisau atau palu geologi, kuat geser,
rasio over-consolidation untuk dinding yang bergeser atau yang
masih tetap.
d. Seepage: Estimasi kandungan air dan permeabilitas menggunakan uji
cepat secara in situ.
10. Seepage
Seepage berhubungan dengan aliran air dan uap bebas pada
diskontinuitas atau massa batuan. Umur diskontinuitas dan asal mula
kejadiannya adalah penting untuk menilai transmisivity air (Giani, 1992),
karena mampu menyediakan informasi keadaan bukaan atau celah tempat
mengalirnya air melalui struktur sekunder. Kategori seepage bervariasi
dari kering sampai mengalir kontinyu, sehingga observasi menunjukkan
posisi muka air tanah dan tinggi-rendah konduktifitas batuan (Wyllie dan
Mah, 2004).
28
Iklim turut mempengaruhi keterdapatan seepage, dan besarnya infiltrasi
air tanah (Wyllie dan Mah, 2004). Infiltrasi air tanah dinilai berdasarkan
faktor-faktor penting yang mempengaruhinya seperti meteorologi,
morfologi dan geologi hidrogeologi (Celico, 1986 dalam Giani, 1992).
11. Jumlah Set Diskontinuitas
Giani (1992) parameter set diskontinuitas mengekspresikan jumlah set-
set yang membentuk sistem diskontinuitas dan saling memotong. Massa
batuan memiliki sejumlah set diskontinuitas yang saling memotong satu
sama lain. Hudson dan Harrison (1997) secara konseptual suatu set terdiri
dari diskontinuitas paralel atau sub-paralel. Sehingga geometri massa
batuan dikarakteristiki oleh jumlah set diskontinuitas. Wyllie dan Mah
(2004) jumlah set diskontinuitas yang saling berpotongan satu sama lain
akan menginformasikan luasan massa batuan yang terdeformasi tanpa
menghancurkan batuan padu. Contohnya peningkatan jumlah set maka
ukuran blok akan berkurang, besarnya kesempatan bongkahan berotasi,
perubahan dan hancuran akibat kerja beban. Jumlah set umumnya fungsi
ukuran wilayah yang dipetakan pemetaannya harus membedakan antara
diskontinuitas sistematik sebagai bagian anggota set dan diskontinuitas
acak, dimana orientasinya tidak terprediksikan.
12. Bentuk dan Ukuran Blok
Giani (1992) massa batuan terkekarkan dapat menjadi sistem blok-blok
yang dipisahkan bidang diskontinuitas sebagai sistem atau diskontinuitas
tunggal. Ukuran blok ditentukan oleh spasi diskoninuitas, jumlah set dan
panjang diskontinuitas. Hudson dan Harrison (1997) menganologikan
ukuran blok dan distribusinya sebagai distribusi in situ ukuran partikel.
Ukuran blok mengindikasikan perilaku massa batuan, karena mampu
mengestimasi performa massa batuan pada kondisi tegasan. Adapun
jumlah set dan orientasi atau pola kekar dapat menentukan bentuk blok
yang dihasilkan, sehingga dapat berupa kubus, rombohedral, tetrahedron
atau lembaran (Giani, 1992) atau berbentuk blocky, shattered, dan
kolumnar (Wyllie dan Mah, 2004).
29
13. Pelapukan (Weathering)
Pelapukan batuan adalah proses yang menyebabkan alterasi batuan,
disebabkan oleh air, karbon dioksida dan oksigen (Giani, 1992), atau
proses eksternal menyebabkan hilang dan berubahnya sifat asal mula
menjadi kondisi yang baru. Prosesnya melibatkan agen-agen fisika,
kimia, biologi (Bates, 1987), atau melalui proses mekanika dan
dipengaruhi oleh keadaan iklim (Giani, 1992). Wyllie dan Mah (2004)
pelapukan berbentuk desintegrasi dan dekomposisi. Desintegrasi adalah
hasil perubahan lingkungan, seperti kelembaban, pembekuan dan
pemanasan. Sedangkan dekomposisi menunjukkan perubahan batuan
oleh agen-agen kimia seperti proses oksidasi pada batuan mengandung
besi, hidrasi seperti perubahan feldspar menjadi kaolinit, dan karbonisasi
seperti pelarutan batugamping.
Giani (1992) dampak pelapukan tidak hanya terbatas di permukaan saja
tetapi lebih dalam, umumnya pada kedalaman yang dangkal, tergantung
kehadiran saluran yang memungkinkan aliran air dan kontak dengan
atmosfer. Wyllie dan Mah (2004) berkurangnya kekuatan batuan oleh
pelapukan akan mengurangi kuat geser diskontinuitas. Sehingga
pelapukan juga akan mengurangi kuat geser massa batuan diakibatkan
pengurangan kekuatan batuan padu. Pelapukan menghasilkan
pengurangan kompetensi batuan dari sudut pandang engineering atau
mekanika batuan (Giani, 1992).
C. Sifat Kekuatan Batuan (Rock Strength Properties)
Dalam menganalisis stabilitas lereng batu, faktor yang paling penting
untuk dipertimbangkan adalah geometri massa batuan dibagian belakang
permukaan lereng. Hubungan antara orientasi diskontinuitas dan permukaan
galian akan menentukan apakah bagian dari massa batuan bebas untuk
meluncur atau roboh, sedangkan faktor yang paling penting yang mengatur
stabilitas adalah kekuatan geser berpotensi permukaan kegagalan (sliding
surface).
30
1. Efek Skala dan Kekuatan Batuan
Wyllie dan Mah (2004) menjelaskan sliding surface pada lereng dapat
terdiri secara kontinu di semua area permukaan atau permukaan komplek
yang terdiri dari dua diskontinuitas dan fraktur melalui batuan utuh.
Penentuan nilai kekuatan geser adalah bagian penting dari disain lereng
karena perubahan sekecil apapun yang terjadi dalam kekuatan geser
dapat mengakibatkan perubahan signifikan dalam kondisi aman terhadap
tinggi atau sudut lereng. Pemilihan nilai-nilai kuat geser yang tepat tidak
hanya tergantung pada ketersediaan data, tetapi juga pada interpretasi
secara cermat terhadap data, mengingat perilaku massa batuan yang
membentuk lereng berskala penuh. Sebagai contoh kemungkinan untuk
menggunakan hasil yang diperoleh dari uji geser pada joint dalam
merancang sebuah lereng dimana kegagalan yang akan terjadi sepanjang
satu joint saja. Namun, Hasil uji geser tidak dapat digunakan secara
langsung dalam merancang sebuah lereng dimana proses kegagalan yang
komplek melibatkan beberapa joint dan beberapa dari batuan utuh.
Pemilihan kekuatan geser yang tepat dari lereng tergantung terhadap
sebagian besar pada skala relatif antara permukaan geser dan struktur
geologi (Hoek, 2006). Misalnya, dalam lereng tambang terbuka
diilustrasikan pada gambar 2.11 dimensi lereng keseluruhan jauh lebih
besar dari panjang diskontinuitas, sehingga setiap sliding surface akan
melewati massa batuan joint dan kekuatan batuan yang tepat untuk
digunakan dalam desain lereng pit adalah massa batuan. Sebaliknya,
tinggi bench adalah sama untuk panjang sendi sehingga kestabilan dapat
dikendalikan oleh satu sendi saja, serta kekuatan batuan yang sesuai
untuk digunakan dalam desain benches adalah joint set yang dari dips
permukaan. Akhirnya, pada skala kurang dari spasi joint, blok batuan
utuh terjadi serta kekuatan batuan yang sesuai digunakan dalam penilaian
pengeboran, dan blasting metode, misalnya akan terutama yang dari
batuan utuh.
31
Berdasarkan hubungan antara ukuran sampel dan karakteristik kekuatan
batuan, Wyllie dan Mah (2004) menjelaskan metode penentuan kekuatan
menjadi tiga kelas batuan sebagai berikut:
a. Diskontinuitas; Bedding tunggal, joints atau faults. Sifat
diskontinuitas yang mempengaruhi kekuatan geser termasuk bentuk
dan kekasaran permukaan, batuan di permukaan yang mungkin fresh
atau weathered (lapuk), dan infillings yang mungkin berkekuatan
rendah atau kohesif.
b. Rock mass (massa batuan); Faktor-faktor yang mempengaruhi
kekuatan geser dari massa batuan jointed meliputi compressive
strength (kuat tekan) dan friction angle (sudut gesekan) dari batuan
utuh (intact rock), dan jarak atau spasi dari diskontinuitas serta
kondisi permukaan lereng.
c. Intact rock (batuan utuh); Faktor yang harus dipertimbangkan dalam
mengukur kekuatan batuan utuh adalah bahwa kekuatan bisa
berkurang seiring umur desain lereng akibat pelapukan (weathering).
Gambar 2.11 Diagram ideal menggambarkan transisi skala dari batuan padu sampai massa batuan terkekarkan kuat melalui peningkatan skala ukuran sampel
(Hoek, 2006)
32
2. Kekuatan Geser dari Diskotinuitas
Wyllie dan Mah (2004) pemetaan geologi atau pengeboran inti
digunakan untuk mengidentifikasi keruntuhan geser yang dapat terjadi
pada diskontinuitas, maka diperlukan pengujian untuk mengetahui sudut
geser dan kohesi dari sliding surface dalam rangka untuk melakukan
analisis stabilitas. Pelaksanaan kigiatan investigasi juga harus
memperoleh informasi mengenai karakteristik sliding surface yang dapat
memodifikasi parameter kekuatan geser. Perlu ditekankan karakteristik
diskontinuitas meliputi janjang lereng secara kontinu, kekerasan
permukaan, ketebalan dan kareakteristik dari infilling, serta efek air pada
sifat-sifat infilling.
Dalam desain lereng batuan, bahan batuan diasumsikan berdasarkan teori
Coulomb dimana kekuatan geser permukaan sliding dinyatakan dalam
hal kohesi (c) dan sudut geser (φ) (Coulomb, 1773 dalam Wyllie dan
Mah, 2004). Untuk planar, diskontinuitas bersih atau tidak ada infilling,
kohesi akan menjadi nol dan kekuatan geser akan ditentukan semata-
mata oleh sudut gesekan. Sudut gesekan dari material batuan berkaitan
dengan ukuran dan bentuk butir terpapar pada permukaan fraktur. Batu
halus dan batuan dengan kandungan mika tinggi akan cenderung
memiliki sudut gesekan rendah, sementara batu kasar seperti granit, akan
memiliki sudut gesekan tinggi (Barton, 1973). Namun, jika diskontinuitas
berisi infilling, sifat kekuatan geser fraktur sering diubah, dengan kohesi
dan sudut geser dari permukaan dipengaruhi oleh ketebalan dan sifat
infilling.
Kehadiran infillings sepanjang permukaan diskontinuitas dapat memiliki
dampak yang signifikan terhadap stabilitas. Sangat penting bahwa
infilling diidentifikasi di dalam kegiatan investigasi, dan parameter
kekuatan yang tepat untuk digunakan dalam desain. Pengaruh infilling
terhadap kekuatan geser akan tergantung pada ketebalan dan sifat
kekuatan material infilling. Sehubungan dengan ketebalan infilling, jika
lebih dari sekitar 25-50% akan ada sedikit atau tidak ada kontak antar
33
batuan, dan sifat kekuatan geser fraktur akan menjadi sifat infilling
(Goodman, 1970).
Prilaku Shear Strength dan displacemen merupakan faktor tambahan
untuk dipertimbangkan mengenai kekuatan geser isian diskontinuitas.
Dalam menganalisis stabilitas lereng, perilaku ini akan menunjukkan
apakah ada kemungkinan menjadi pengurangan kekuatan geser dengan
perpindahan. Dalam kondisi di mana ada penurunan yang signifikan
dalam kekuatan geser dengan perpindahan, kegagalan lereng dapat terjadi
tiba-tiba setelah gerakan dalam jumlah kecil.
Isian diskontinuitas dapat dibagi menjadi dua kategori umum, tergantung
pada apakah telah terjadi perpindahan sebelumnya diskontinuitas
(Barton, 1974). Pertama recently displaced discontinuities, diskontinuitas
ini meliputi faults, shear zones, clay mylonites dan bedding-surface slips.
Kedua undisplaced discontinuities, diskontinuitas pengisi yang tidak
mengalami perpindahan sebelumnya termasuk batuan beku dan metamorf
yang telah lapuk di sepanjang diskontinuitas untuk membentuk lapisan
lempung. Selain isian diskontinuitas pengaruh yang paling penting adalah
keberedaan air dalam diskontinuitas, dimana menyebabkan kekuatan
geser berkurang akibat pengurangan efektif tegangan geser yang normal
yang bekerja pada permukaan (Wyllie dan Mah, 2004).
3. Kelas Kekuatan Batuan
Berdasarkan efek skala dan kondisi geologi dapat dilihat bahwa sliding
surfaes dapat terbentuk sepanjang permukaan diskontinuitas, atau
melalui massa batuan, seperti yang diilustrasikan pada Gambar 2.12.
Pentingnya klasifikasi yang ditunjukkan Wyllie dan Mah (2004) bahwa
dalam dasarnya semua analisis stabilitas lereng perlu menggunakan sifat
kekuatan geser baik diskontinuitas atau massa batuan, dan ada prosedur
yang berbeda untuk menentukan sifat kekuatan sebagai berikut:
a. Discontinuity shear strength (kekuatan geser dari diskontinuitas)
dapat diukur di lapangan dan laboratorium.
34
b. Rock mass shear strength (kekuatan geser massa batuan) ditentukan
oleh metode empiris dengan cara analisis balik dari lereng yang
dipotong dalam kondisi geologi sama, atau melalui perhitungan yang
melibatkan indeks kekuatan batuan.
Berbagai kondisi kekuatan geser yang mungkin ditemui di lereng batu
seperti yang diilustrasikan pada Gambar 2.12 jelas menunjukkan
pentingnya memeriksa baik karakteristik diskontinuitas dan kekuatan
batuan selama site investigation.
35
Gambar 2.12 Hubungan Antara Geologi dan Kelas Kekuatan Batuan (Wyllie dan Mah, 2004)
36
D. Analisis Masa BatuanHoek (2006) mencatat sejarah skema klasifikasi massa batuan telah dikembangkan
lebih dari 100 tahun, dimulai oleh Ritter (1879) mencoba untuk memformulasikan
pendekatan emperis untuk desain terowongan, khususnya untuk menentukan
kebutuhan pendukung (Rai, 2010). Umumnya skema klasifikasi dengan multi-
parameter, dikembangkan atas dasar sejarah rekayasa sipil, dimana semua karakter
rekayasa geologi massa batuan meliputi di dalamnya.
Cukup banyak metode pengklasifikasi kualitas massa batuan yang ada, diantarnya
yang terkenal dan sering digunakan seperti yang dikembangkan oleh Terzaghi
(1946), Lauffer (1958), Deere, dkk. (1967), Wickham, dkk. (1972), Bieniawski
(1973), dan Barton, dkk. (1974). Klasifikasi geomekanika Rock Mass Rating (RMR)
yang dikembangkan oleh Bieniawski (1973 dan 1989), dan Q-System yang
dikembangkan oleh Barton dkk. (1974), Geological Strength Index (GSI) oleh Hoek
(1994) dan Hoek, dkk. (1995). Klasifikasi geomekanika secara umum dikembangkan
untuk rekayasa terowongan, lereng batuan, fondasi, penilaian stabilitas tanah, dan
masalah pertambangan. Metode klasifikasi massa batuan tersebut memainkan peran
penting evaluasi kualitas massa batuan secara komprehensif. Terutama dalam
memprediksi dan memberikan dukungan persyaratan untuk pekerjaan rekayasa pada
massa batuan. Menurut beberapa pihak termasuk Bieniawski (1973), bahwa
klasifikasi massa batuan dibuat untuk memenuhi kepentingan berikut:
a. Untuk mengidentifikasi parameter yang paling mempengaruhi perilaku
massa batuan.
b. Untuk membagi massa batuan kepada kelompok grup yang berperilaku
sama, yaitu kelas massa batuan dengan kualitas berbeda.
c. Untuk melengkapi suatu dasar pengertian karakteristik masing-masing
kelas.
d. Untuk menghubungkan pengalaman atas pengamatan suatu kondisi
massa batuan di satu tempat dengan lainnya.
e. Untuk menghasilkan data kuantitatif untuk desain rekayasa.
f. Untuk melengkapi suatu dasar umum komunikasi.
Hoek (2006) penerapan sistem klasifikasi pada lokasi yang berbeda, maka berbeda
pula variasi parameternya, dan direkomendasikan menggunakan dua metode
klasifikasi sekaligus pada berbagai lokasi pada tahap awal pekerjaan. Klasifikasi
37
geomekanika metode RMR Bieniawski (1973) selain untuk mengetahui kualitas
massa batuan juga diaplikasikan untuk penuntun perkiraan umur terowongan dan
pendukungnya. Q-system oleh Barton, dkk. (1974) dikembangkan untuk aplikasi
konstruksi terowongan modern dan penguatan terowongan. Metode GSI (Hoek,
1994) selain untuk mengetahui kualitas massa batuan, aplikasinya digunakan untuk
mengestimasi modulus deformasi dan kekuatan massa batuan. Khusus untuk metode
GSI dikembangkan untuk mengakomodasi kekurangan metode RMR, untuk
diterapkan pada batuan dengan kualitas buruk dan litologi khusus tertentu.
E. Kinematik Lereng
Analisis kesetabilan lereng merupakan tindakan untuk mengetahui
kondisi suatu lereng dengan tujuan memperkirakan bentuk keruntuhan dan
menentukan tingkat kerawanan lereng terhadap longsoran serta rancangan
lereng yang memenuhi kriteria keamanan. Goodman (1989) menjelaskan
bahwa analisis kinematik lereng mengacu pada gerakan tubuh tanpa mengacu
kepada kekuatan utama yang menyebabkan mereka untuk bergerak. Banyak
pemotongan batuan yang stabil di lereng curam meskipun ada bidang lemah
yang kemiringan curam dengan kekuatan sangat rendah, sehingga kejadian ini
mengakibatkan keruntuhan blok batuan bergerak bebas. Bagian kesepakatan
ini dengan pendekatan untuk membuat desain lereng penggunaan terutama
diarahkan pada massa batuan terputus untuk memastikan bahwa selalu ada
blok batuan yang potensi kegagalan. Hanya referensi minimal dengan
parameter kekuatan batuan untuk pertimbangan utama adalah orientasi dari
bidang lemah dalam kaitannya dengan orientasi penggalian.
Proyeksi stereografik dari elemen garis menjadi pertimbangan yang
relevan dengan analisis lereng batuan. Pembagian tiga elemen garis dasar
massa batuan yaitu dip vektor (D) menunjuk ke kemiringan bidan lemah,
vektor normal (Ni) menunjukkan arah tegak lurus terhadap bidang lemah dan
garis persimpangan atau line intersection (Iij) bidang lemah i dan j seperti
yang terpapar dalam gambar 3.11a. Garis persimpangan Iij dari dua bidang i
dan j dapat ditemukan sebagai titik perpotongan lingkaran besar setiap
bidang, seperti terlihat pada gambar 3.11b. alternatif, Iij ditentukan sebagai
garis tegak lurus terhadap lingkaran besar yang berisi vektor normal Ni dan
38
Nj. Setelah semua elemen garis D, N, dan I diplot untuk massa batuan,
persyaratan kinematik terhadap analisa kegagalan lereng mungkin dapat
diperiksa dari strike dan dip pada lereng batuan.
a) b)
Gambar 2.13 Proyeksi stereografik dari elemen garis yang relevan untuk analisis lereng batuan (Goodman, 1989)
a. Analisis kinematik pada plane sliding atau plane failure
Pertimbangkan pada plane sliding atau plane failure di bawah
gravitasi setiap blok cenderung untuk meluncur di permukaan
apabila bidang tunggal sejajar dengan kemiringan bidang lemah Di.
Jika lereng dipotong pada sudut α, D menunjuk ke free space
penggalian dan plunge pada suatu sudut kurang dari α maka akan
terjadi keruntuhan Gambar 3.12a dan Gambar 3.12b.
39
a) b)
c)
Gambar 2.14 Kinematik tes untuk plane failure (Goodman, 1989)
Menentukan sudut aman pada lereng curam dibuat sesuai dengan
potongan dari strike. Sebagai strike 1 dan sudut α1 masuk kondisi
aman disebabkan dip lingkaran besar yang melewati “Strike 1” dan
Di (Gambar 2.12c). Orientasi pemotongan hampir sejajar dengan
arah bidang lemah akan stabil bahkan hampir vertical.
b. Analisis kinematik pada wedge sliding atau wedge failure
Wedge failure terjadi sepanjang garis persimpangan dari dua bidang,
prosedur analitis yang sama dapat diikuti sebuah sudut maksimum
akan aman untuk lereng yang searah strike tempat dielemen garis D.
Gambar 2.14 memberikan contoh analisis kinematik wedge failure
untuk massa batuan terdiri dari tiga set joint.
1) Jika pemotongan dibuat searah dengan bidang 1 dan 3 atau
bidang 1 dan 2 maka akan berpotensi Wedge failure.
40
2) Jika dipotong pada sudut α, ditentukan oleh kemiringan
lingkaran besar yang melewati I13 dan pemotongan pada arah
strike maka hanya wedge ditentukan oleh bidang 1 dan 2 yang
mampu geser.
3) Selain itu, karena I12 akan terjun pada sudut yang rendah maka
tidak mungkin menyebabkan masalah.
Gambar 2.15 Contoh kinematik tes untuk wedge failure(Goodman, 1989)
c. Analisis kinematik pada topping failure
Interlayer slip atau toppling failure harus terjadi sebelum deformasi
lentur yang besar dapat terjadi. Jika lapisan memiliki sudut gesekan
(𝜙j), kegagalan hanya akan terjadi jika arah kompresi yang
diterapkan membentuk sudut lebih besar dari 𝜙j dengan lapisan
normal. Seperti ditunjukkan dalam gambar 3.14, sebuah prasyarat
untuk interlayer slip yang normal akan memiliki kemiringan lebih
landai daripada garis pada sudut 𝜙j di atas bidang lereng. Toppling
failure bisa terjadi jika berada dalam ketentuan (90 – δ)+𝜙j < α.
Proyeksi stereografik, keruntuhan dapat terjadi hanya jika vektor
normal (N) terletak lebih dari 𝜙j derajat di bawah dipotong lereng.
Toppling dapat terjadi hanya jika strike perlapisan batuan hampir
41
sejajar dengan strike lereng, kondisi ini diproyeksikan dalam
bilangan 30°.
a) b)
Gambar 2.16 Kinematik tes untuk toppling failure (Goodman, 1989)a) (90 – δ) + 𝜙j < α. b) N plot berada di zona berbayang
F. Rock Quality Designation (RQD)
Rock Quality Designation (RQD) yaitu suatu penandaan atau penilaian
kualitas batuan berdasarkan kerapatan kekar. RQD penting untuk digunakan
dalam pembobotan massa batuan (Rock Mass Rating, RMR) dan pembobotan
massa lereng (Slope Mass Rating/SMR). Perhitungan RQD biasa didapat dari
perhitungan langsung dari singkapan batuan yang mengalami retakan-retakan
(baik lapisan batuan maupun kekar atau sesar) berdasarkan rumus Hudson
(1979, dalam Djakamihardja & Soebowo, 1996) sebagai berikut:
RQD = 100 (0.1 + 1) e- 0.1
adalah rasio antara jumlah kekar dengan panjang scan-line (kekar/meter).
Makin besar nilai RQD, maka frekuensi retakannya kecil. Frekuensi
retakannya makin banyak, nilai RQD makin kecil.
Sebagai conto spasi kekar, A = 0.18 m Spasi kekar, B = 0.31 m Spasi
kekar, C = 0.21 m Spasi kekar, D = 0.27 m. Spasi kekar rata-rata sebenarnya
= 0.24 m. Frekuensi kekar, = 1/spasi = 4.17 kekar/m.
Maka:
RQD = 100 e-0,1λ (0,1 + 1) = 93.38%
42
G. Rock Mass Rating (RMR)
Bieniawski (1989) klasifikasi geomekanika Rock Mass Rating (RMR)
dikembangkan oleh Beniawski, yang selanjutnya mengalami modifikasi beberapa
kali. Pada tahap awal dimaksudkan untuk aplikasi pekerjaan terowongan dan
pertambangan, namun kini telah dikembangkan untuk desain galian lereng dan
fondasi. Pada aplikasi sistem klasifikasi ini, massa batuan dibagi menjadi sejumlah
wilayah struktural dan setiap wilayah kurang lebih memiliki ciri yang seragam.
Batas dari wilayah struktural biasanya serupa dengan ciri struktur utama seperti
patahan, dike, zona shear, dan lain sebagainya. Lebih lanjut Hoek (2006)
mengilustrasikan dalam beberapa kondisi, yaitu karena perubahan siknifikan pada
spasi diskontinuitas atau karakter diskontinuitas untuk tipe batuan yang sama,
mungkin mengharuskan pembagian massa batuan ke dalam sejumlah kecil wilayah
struktural pada metode RMR.
Sistem klasifikasi massa batuan dengan RMR dari Bieniawski (1973)
menggunakan enam parameter dasar untuk pengklasifikasian dan evaluasi hasil
uji. Keenam parameter tersebut membantu perkiraan lebih lanjut hasil analisis
stabilitas sampai permasalahan khusus geomekanika batuan. Keenam parameter
yang digunakan untuk menentukan nilai RMR meliputi kuat tekan uniaksial
(uniaxial compressive stress, UCS), rock quality designation (RQD), spasi
diskontinuitas, keadaan diskontinuitas, keadaan air tanah dan orientasi diskontinuitas
(Bieniawski, 1989).
1. Kuat tekan uniaksial (uniaxial compressive strength, UCS)
Kuat tekan uniaksial (UCS) dari material batuan utuh (intact rock
material) dapat ditentukan melalui pengujian secara langsung (in direct
tect) di lapangan menggunakan Schmidt Hammer, maupun uji yang
dilakukan di laboratorium. Pada uji langsung persamaan yang dapat
digunakan dalam penentuan kuat tekan uniaksial adalah UCS = 2HR (Sing
dkk., 1983), dimana HR merupakan nilai hardness reborn dari Schmidt
Hammer. Untuk penentuan peringkat kuat tekan dari meterial batuan padu
dapat menggunakan klasifikasi dari Bieniawski (1979) seperti yang
terdapat pada tabel 2.4.
43
Tabel 2.4 Indeks kekuatan material batuan utuh - UCS (Bieniawski, 1989)Deskripsi Kualitatif
Kuat Tekan (Mpa)
Kuat Beban Titik(Mpa)
Bobot
Kuat sekali >250 8 15Sangat kuat 100-250 4-8 12
Kuat 50-100 2-4 7Menengah 25-50 1-2 4
Lemah 10-25 Lebih baik menggunakan kuat tekan uniaxial 2
Sangat lemah 2-10 Lebih baik menggunakan kuat tekan uniaxial 1
Lemah sekali 1-2 Lebih baik menggunakan kuat tekan uniaxial 0
2. Rock Quality Designation (RQD)
RQD didefinisikan sebagai prosentase panjang core utuh yang lebih dari
10 cm terhadap panjang total core run. Diameter core yang dipakai dalam
pengukuran minimal 54.7 mm. Dan harus dibor dengan double-tube core
barrel. Perhitungan RQD mengabaikan mechanical fracture yaitu
fracture yang dibuat secara sengaja atau tidak selama kegiatan
pengeboran atau pengukuran (Hoek, dkk. 1995). Kondisi air tanah
(Groundwater conditions).
Tabel 2.5 Rock Quality Designation (RQD) (Bieniawski, 1989)RQD (%) Kualitas Batuan Rating
<25 Sangat jelek (very poor) 3
25-50 Jelek (poor) 8
50-75 Sedang (fair) 13
75-90 Baik (good) 17
90-100 Sangat baik (excellent) 20
44
Tabel 2.6 Indeks Rock Designation Quality (RQD) (Bieniawski, 1989)Sifat Kualitatif RQD Bobot
Sangat baik 90-100 20
Baik 75-90 17
Sedang 50-75 13
Buruk 25-50 8
Sangat buruk <25 3
3. Spasi diskontinuitas
Merupakan jarak antara bidang lemah dengan arah tegak lurus terhadap
bidang lemah tersebut. Bentuknya bisa berupa kekar, zona shear, patahan
minor atau permukaan bidang lemah lainnya. Sesuai dengan peringkat
yang dibuat oleh Beniawski (1989) terdapat lima klasifikasi spasi
diskontinuitas seperti termuat pada Tabel 2.7.
Tabel 2.7 Indeks Spasi Diskontinuitas (Bieniawski, 1989)Keadaan diskontinu Spasi (m) Bobot
Sangat lebar > 2 20
Lebar 0,6 - 2 15
Sedang 0,2 - 0,6 10
Rapat 0,06 - 0,2 8
Sangat rapat < 0,06 5
4. Kondisi diskontinuitas
Ada lima karakteristik kekar yang masuk dalam pengertian kondisi
kekar, meliputi kemenerusan (persistence), jarak antar permukaan
kekar atau celah (separation/aperture), kekasaran kekar (roughness),
material pengisi (infilling/gouge), dan tingkat kelapukan (weathering).
karakteristik tersebut adalah sebagai berikut:
1) Roughness
Roughness atau kekasaran permukaan bidang diskontinu
merupakan parameter yang penting untuk menentukan kondisi
bidang diskontinu. Suatu permukaan yang kasar akan dapat
45
mencegah terjadinya pergeseran antara kedua permukaan bidang
diskontinu.
Tabel 2.8 Penggolongan dan pembobotan kekasaran menurut Bienawski (1976)
Kekasaran Permukaan
Deskripsi Pembobotan
Sangat kasar
(very rough)
Apabila diraba permukaan sangat tidak rata, membentuk punggungan dengan sudut terhadap bidang datar mendekati vertical,
6
Kasar (rough) Bergelombang, permukaan tidak rata, butiran pada permukaan terlihat jelas, permukaan kekar terasa kasar.
5
Sedikit kasar
(slightly rough)
Butiran permukaan terlihat jelas, dapat dibedakan, dan dapat dirasakan apabila diraba
3
Halus (smooth) Permukaan rata dan terasa halus bila diraba 1
Licin berlapis
(slikensided)
Permukaan terlihat mengkilap 0
2) Separation
Merupakan jarak antara kedua permukaan bidang diskontinu. Jarak
ini biasanya diisi oleh material lainya (filling material) atau bisa
juga diisi oleh air. Makin besar jarak ini, semakin lemah bidang
diskontinu tersebut.
3) Continuity
Continuity merupakan kemenerusan dari sebuah bidang diskontinu,
atau juga merupakan panjang dari suatu bidang diskontinu.
4) Weathering
Weathering menunjukkan derajat kelapukan permukaan diskontinu.
46
Tabel 2.9 Tingkat pelapukan batuan (Bieniawski, 1976). Klasifikasi Keterangan
Tidak terlapukkan Tidak terlihat tanda-tanda pelapukan, batuan segar, butiran kristal terlihat jelas dan terang.
Sedikit terlapukkan Kekar terlihat berwarna atau kehitaman, biasanya terisi dengan lapisan tipis material pengisi. Tanda kehitaman
biasanya akan nampak mulai dari permukaan sampai ke dalam batuan sejauh 20% dari spasi.
Terlapukkan Tanda kehitaman nampak pada permukaan batuan dan sebagian material batuan terdekomposisi. Tekstur asli batuan masih utuh namun mulai menunjukkan butiran batuan mulai terdekomposisi menjadi tanah.
Sangat terlapukkan Keseluruhan batuan mengalami perubahan warna atau kehitaman. Dilihat secara penampakan menyerupai tanah, namun tekstur batuan masih utuh, namun butiran batuan telah terdekomposisi menjadi tanah.
5) Infilling (gouge)
Filling atau material pengisi antara dua permukaan bidang
diskontinu mempengaruhi stabilitas bidang diskontinu dipengaruhi
oleh ketebalan, konsisten atau tidaknya dan sifat material pengisi
tersebut. Filling yang lebih tebal dan memiliki sifat mengembang
bila terkena air dan berbutir sangat halus akan menyebabkan
bidang diskontinu menjadi lemah.
Dalam perhitungan RMR, parameter-parameter diatas diberi bobot
masing- masing dan kemudian dijumlahkan sebagai bobot total
kondisi kekar. Pemberian bobot berdasarkan pada tabel di bawah
ini.
47
Tabel 2.10 Panduan Klasifikasi Kondisi Kekar (Bieniawski, 1989)Parameter Rating
Panjang kekar Persistence/continuity
< 1 m 1-3 m 3-10 m 10-20 m >20 m
6 4 2 1 0 Jarak antar permukaan kekar
(separation/aperture)
Tidak ada < 0,1 mm 0,1–1,0
mm 1-5 mm > 5 mm
6 5 4 1 0
Kekasaran kekar
(roughness)
Sangat kasar Kasar
Sedikit kasar Halus Slickensided
6 5 3 1 0
Material pengisi Tidak ada Keras Lunak (infilling/gouge) < 5 mm > 5 mm < 5 mm > 5 mm
6 4 2 2 0
Kelapukan (weathering)
Tidak lapuk Sedikit lapuk Lapuk Sangat lapuk Hancur
6 5 3 1 0
5. Kondisi Air Tanah
Debit aliran air tanah atau tekanan air tanah akan mempengaruhi
kekuatan massa batuan. Oleh sebab itu perlu diperhitungkan dalam
klasifikasi massa batuan. Pengamatan terhadap kondisi air tanah ini
dapat dilakukan dengan 3 cara yaitu:
1) Inflow per 10 m tunnel length: menunjukkan banyak aliran air yang
teramati setiap 10 m panjang terowongan. Semakin banyak aliran air
mengalir maka nilai yang dihasilkan untuk RMR akan semakin kecil.
2) Joint Water Pressure: semakin besar nilai tekanan air yang terjebak
dalam kekar (bidang diskontinu) maka nilai yang dihasilkan untuk
RMR akan semakin kecil.
3) General condition: mengamati atap dan dinding terowongan secara
visual sehingga secara umum dapat dinyatakan dengan keadaaan
48
umum dari permukaan seperti kering, lembab, menetes atau
mengalir. Untuk penelitian ini, cara ketiga ini yang digunakan.
Kondisi air tanah yang ditemukan pada pengukuran kekar
diidentifikasikan sebagai salah satu kondisi berikut: kering
(completely dry), lembab (damp), basah (wet), terdapat tetesan air
(dripping), atau terdapat aliran air (flowing). Pada perhitungan nilai
RMR, parameter kondisi air tanah (groundwater conditions) diberi
bobot berdasarkan tabel di bawah ini.
Tabel 2.11 Kondisi air tanah (Bieniawski, 1989)Kondisi umum Kering
(completely dry) Lembab Basah Terdapat
tetesan air
(dripping)
Terdapat aliran air
(flowing)
Debit air tiap 10 m panjang terowongan
(liter/menit)
Tidak ada < 10 10 – 25 25 – 125 > 125
Tekanan air pada kekar / tegangan prinsipal mayor
0 < 0,1 0,1-0,2 0,1-0,2 > 0,5
Rating 15 10 7 4 0
6. Orientasi diskontinuitas
Nilai srike dan dip merepresentasikan orientasi dan kemiringan dari bidang
diskontinuitas, sebagaimana telah dijelaskan pada sub-bab sebelumnya di atas.
Nilai srike dan dip pada pekerjaan rekayasa batuan berhubungan dengan
prediksi stabilitasa massa batuan dan arah penggalian, serta sangat berperan
untuk memberikan penilaian kuantitatif bidang diskontinuitas yang kritis pada
penggalian terowongan dan rekayasa lereng pada batuan. Nilai orientasi bidang
diskontinuitas terhadap lereng memiliki variasi penilaian kualitatif dan
kuantitatif yang sedikit berbeda antara satu dengan lainnya (Tabel 2.12).
49
Tabel 2.12 Kesesuaian bidang lemah atau diskontinuitas (Bieniawski, 1989)Penilaian arah kekar untuk Sangat baik Baik cukup Tidak baik Sangat tidak baik
Terowongan 0 -2 -5 -10 -12
Fondasi 0 -2 -7 -15 -25
Lereng 0 -2 -25 -50 -60
Uraian keenam parameter diatas digabung dalam Tabel 2.14 dan berdasarkan
uraian tersebut nilai RMR yang diperoleh pada perhitungan parameter-
parameter di atas, Bieniawski (1989) membuat klasifikasi massa batuan menjadi
5 (lima) kelas seperti yang ditunjukkan Tabel 2.13 di bawah.
Tabel 2.13 Kualitas massa batuan dari total (Bieniawski, 1989)Parameter Bobot
Nilai RMR 81 - 100 61 - 80 41 - 60 21 – 40 < 20
Nomor Kelas RMR I II III IV V
Nilai GSI 76 - 95 56 - 75 36 - 55 21 - 35 < 20
Kualitas Massa Batuan Sangat baik baik sedang Buruk Sangat buruk
50
Tabel 2.14 Ringkasan Rock Mass Rating System (Bieniawski, 1989)A. CLASSIFICATION PARAMETERS AND THEIR RATINGS
Parameter Range of values
1
Strengthof
intact rock material
Point-loadstrength index >10 MPa 4-10 MPa 2-4 MPa 1-2 MPa
For this low range uniaxial compressive
test is preferred
Uniaxial comp.Strength >250 MPa 100-250 MPa 50-100 MPa 25-50 MPa
5-25MPa
1-5MPa
< 1MPa
Rating 15 12 7 4 2 1 0
2Drill core quality RQD 90%-100% 75%-90% 50%-75% 25%-50% < 25%
Rating 20 17 13 8 3
3Spacing of discontinuities >2 m 0.6-2 m 200-600 mm 60-200mm < 60 mm
Rating 20 15 10 8 5
4Condition of discontinuities
(see E)
Very rough surfacesNot continousNo sparationUnweathered walll rock
Slighty rough surfacesSeparation < 1mmSlighty weathered walls
Slighty rough surfacesSeparation < 1mmHighly weathered walls
Slickenside surfacesor
Gauge < 5mm thickor
Separation 1-5 mm continuous
Split gauge > 5 mm thick
OrSeparation > 5 mm continuous
Rating 30 25 20 10 0
5Ground water
Inflow per 10 mTunnel length (l/m) None < 10 10-25 25-125 > 125
(Joint water press)/(Mayor principal σ) 0 < 0.1 0.1-0.2 0.2-0.5 >0.5
General Conditions Completely dry Damp Wet Dripping FlowingRating 15 10 7 4 0
B. RATING ADJUSTMENT FOR DISCONTINUITY ORIENTATIONS (See F)Strike and dip orientations Very favourable Favourable Fair Unfavourable Very unfavourable
RatingTunnels and mines 0 -2 -5 -10 -12
Foundations 0 -2 -7 -15 -25Slopes 0 -5 -25 -30
C. ROCK MASS CLASSES DETERMINED FROM TOTAL RATINGSRating 100-81 80-61 60-41 40-21 < 21Class number I II III IV VDescription Very good rock Good rock Fair rock Poor rock Very poor rockD. MEANING OF ROCK CLASSESClass number I II III IV VAverage stand-up time 20 yrs for 15 m span I year for 10 span 1 week for 5 m span 10 hrs for 2.5 m span 30 min for 1 m spanCohession of rock mass (kPa) > 400 300-400 200-300 100-200 < 100Friction angle of rock mass (deg) > 45 35-45 23-35 15-25 < 15E. GUIDELINES FOR CLASSIFICATION OF DISCONTINUITY conditionsDiscontinuity length (persistence)Rating
< 1m6
1-3 m4
3-102
10-201
> 20 m0
Separation (aperture)Rating
None5
< 0.1 mm5
0.1-1.0 mm4
1-5 mm1
> 50
RoughnessRating
Very rough6
Rough5
Slighty rough3
Smooth1
Slickensided0
Infilling (gauge)Rating 6 Hard filling<4mm
4Hard filling > 5mm
2Soft filling<5mm
2Soft filling>5mm
0
WeatheringRating Unweathered
6Slightly weathered
5
Moderately weathered
3Highly weathered
1Decomposed
0F. EFFECT OF DISCONTINUITY STRIKE AND DIP ORIENTATION IN TUNNELLING**
Strike perpendicular to tunnel axis None Strike parallel to tunnel axisDrive with dip-Dip 45-90° Drive with dip-Dip 20-45° Dip 45-90° Dip 20-45°
Very favourable Favourable Very unfavourable FairDrive against dip-Dip 45-90° Drive against dip-Dip 20-45° Dip 0-20 – Irrespective of strike°
Fair Unfavourable Fair
51
* Some conditions are mutually exclusive. For example, if infilling is present, the roughness of the surface will be overshadowed by the influence of the gauge. In such causes use A.$ directly.
* Modified after Wickham et al., (1972)
H. Slope Mass Reting (SMR)
Slope Mass Rating (SMR) disajikan sebagai klasifikasi geomekanika untuk
lereng batuan. Romana dkk, (2003) mengusulkan modifikasi pada konsep
penggunanan RMR Bieniawski khususnya untuk kemantapan lereng. SMR yang
didapat dari RMR dengan menambahkan faktor penyesuaian pada orientasi
diskontinutas, kemiringan lereng dan faktor penyesuaian lain, tergantung pada
metode penggalian.
SMR = RMRbasic + (F1 · F2 · F3) + F4
Dimana RMRbasic dievaluasi menurut Bieniawski (1979 dan 1989) dengan
menambahkan nilai rating untuk lima parameter: (i) kekuatan batuan utuh, (ii) RQD,
(iii) jarak diskontinuitas, (iv) kondisi diskontinuitas, dan (v) aliran air melalui
diskontinuitas atau rasio tekanan pori. F1, F2, dan F3 merupakan faktor penyesuaian
yang berkaitan dengan orientasi kekar (joint) sehubungan dengan orientasi
kemiringan atau lereng, dan F4 adalah faktor koreksi untuk metode penggalian.
F1 tergantung pada paralelisme antara joint dan Slope face srike. Nilainya
antara 0,15 – 1,0. Nilai 0,15 digunakan ketika sudut antara critical joint plane dan
slope face lebih dari 30 derajat dan probabilitas kegagalan sangat rendah bernilai 1.0
ketika keduanya mendekati paralel. Nilai-nilai tersebut cocok dengan hubungan
pada rumus (2.11), dimana A menunjukkan sudut antara strikes of slope face dan
joints.
F1 = (1 – Sin A)2
F2 mengacu pada sudut joint dip (Bj) pada longsoran berjenis planar.
Nilainya bervariasi antara 1,00 – 0,15. Nilai 0,15 digunakan ketika kemiringan
critical joint adalah kurang dari 20 derajat dan 1,0 untuk joint dengan dips lebih
besar dari 45 derajat. Untuk longsoran berjenis toppling maka F2 tetap 1,00, dan
nilai tersebut dapat dicari dengan hubungan:
F2 = tan2Bj
F3 mencerminkan hubungan antara slope dan joints dips. Hubungan tersebut
mudah dilihat di longsoran berjenis planar, dimana F3 mengacu pada probabilitas
52
dari joints “day-lighting” dalam slope face. Kondisi ini disebut “fair” ketika slope
face dan joints sejajar. Jika kemiringan dips 10 derajar lebih dari joint, kondisi
tersebut sangat tidak menguntungkan. Untuk longsoran toppling kondisi yang tidak
menguntungkan tergantung pada penjumlahan dips dari joint dan lereng. Nilai F3
juga bisa diambil dari Bieniawski Adjustment Rating For Joint Orientation.
F4 merupakan faktor penyesuaian untuk metode penggalian. Ini mencakup
lereng alam atau kemiringan lereng penggalian sebelum dilakukan penggalian,
smooth blasting, normal blasting, poor blasting dan penggalian mekanik. Faktor
penyesuaian tersebut telah ditetapkan secara empirik sebagai berikut:
1. Lereng alamiah lebih stabil karena terbentuk akibat proses erosi dalam
waktu yang lama dan ada mekanisme penahan (vegetasi, sedikit air)
dengan nilai F4 = +15.
2. Penggunaan teknik peledakan presplitting meningkatkan stabilitas lereng
untuk suatuk las setengah, F4 = +10.
3. Penggunaan teknik peledakan smooth blasting dengan lubang-lubang
yang baik, juga meningkatkan stabilitas lereng, F4 = +8.
4. Teknik peledakan normal. Penggunaan dengan sound method, tidak
mengubah stabilitas lereng, F4 = 0.
5. Peledakan yang tidak efisien, sering terlalu banyak bahan peledak, tidak
menggunakan peledakan beruntun (delay) atau lubang ledak tidak sejajar,
stabilitas buruk, F4 = - 8.
6. Penggalian lereng dengan peralatan gali, selalu dengan ripper, hanya
dapat dilakukan pada batuan lemah dan atau di batuan terkekarkan, dan
sering digabungkan dengan peledakan. Bidang lereng sulit untuk
diakhiri. Metode ini bisa bertambah atau berkurang tingkat kemantapan
lereng, dapat diberi nilai F4 = 0.
Tabel 2.15 Faktor Penyesuaian untuk kekar dan diskripsi dari kelas SMR (Romana, 2003)
Adjusting Factor For Joints (F₁, F₂, F₃)
αj = Dip Direction of Joint
αs = Dip Direction of Slope βj = Dip of Joint βs = Dip of Slope
Very Favourable Favourable Fair Unfavourable Very Unfavourable
Plane Failure |αj - αs| = > 30° 30° - 20° 20° 10° 10° - 5° < 5°
Toppling |αj - αs - 180°| =F₁ Value 0,15 0,40 0,70 0,85 1,00
Relationship F₁ = (1 - Sin |αj - αs|)²|βj| = <20° 20° - 30° 30° - 35° 35° - 45° > 45°
F₂ Value Planar Failure 0,15 0,40 0,70 0,85 1,00Toppling 1,00
Relationship F₂ = tg² βjPlanar Failure βj - βs = >10° 10° - 0° 0° 0° -(-10°) <(-10°)
Toppling βj + βs = <110° 110° - 120° >120° - -F₃ Value 0 -6 -25 -50 -60
Relationship F₃ (Bieniawski Adjustment Rating For Joint Orientation)
F₄ Adjusting Factor for Excavation Method
F₄ = Empirical Values for Method of Excavation
Natural Slope Prespliting Smooth Blasting Blasting or Mechanical Deficient Blasting
F₄ Value 15 10 8 0 -8DESCRIPTION OF SMR CLASSES
Kelas I II III IV VSMR 81-100 61-80 41-60 21-40 0-20
Deskripsi masssa batuan Sangat baik Baik Normal Buruk Sangat buruk
Stabilitas Benar-benar stabil Stabil Sebagian stabil Tidak stabil Benar-benar tidak stabil
Jenis keruntuhan Tidak terjadi Block failurePlanar along some joints atau many wedge failure
Planar atau big wedge failure
Big planar atau soil-like atau circular
54
I. Q-system
Pada cara yang mirip dengan sistem RMR, Q-rating dikembangkan dengan menetapkan nilai enam parameter :
(a) RQD;(b) beberapa diskontinuitas perangkat;(c) kekasaran 'paling tidak' diskontinuitas;(d) tingkat perubahan atau pengisian di sepanjang diskontinuitas yang terlemah;(e) Arus air; dan(f) kondisi tekanan.
Nilai Q dinyatakan sebagai :
Dimana :
RQD = rock quality designation,Jn = joint set number (related to the number of discontinuity sets),Jr = joint roughness number (related to the roughness of the discontinuity surfaces),Ja = joint alteration number (related to the degree of alteration or weathering of the discontinuity surfaces),Jw = joint water reduction number (relates to pressures and inflow rates of water within the discontinuities), and SRF = stress reduction factor (related to the presence of shear zones,
stress concentrations and squeezing and swelling rocks).
Dorongan dalam menyajikan nilai Q dalam bentuk ini adalah untuk
memberikan beberapa metode penafsiran untuk tiga kuosien penyusunnya.
Pertama, RQD, berkaitan dengan geometri massa batuan, Q
meningkat dengan meningkatnya RQD dan penurunan jumlah diskontinuitas
set. RQD meningkat dengan menurunnya jumlah diskontinuitas set, sehingga
pembilang dan penyebut dari hasil bagi saling memperkuat satu sama lain.
Pada dasarnya, semakin tinggi nilai kecerdasan ini, semakin baik 'geometris
yang berkualitas 'dari massa batuan. Selain itu, ada juga masalah (yang, pada
kenyataannya, umum untuk kedua Sistem RMR dan Q-system) bahwa RQD
umumnya menunjukkan anisotropi, namun anisotropi tidak dianggap.
55
Hasil bagi kedua, Jr / Ja, berkaitan dengan 'antar-blok kuat geser' dengan nilai
tinggi dari hasil bagi ini mewakili lebih baik 'kualitas mekanik' dari batu
massa: meningkat hasil bagi dengan meningkatnya diskontinuitas kekasaran
dan mengurangi perubahan permukaan diskontinuitas.
Di hasil bagi ketiga, JJSRF, adalah 'faktor lingkungan yang'
menggabungkan tekanan air dan arus, kehadiran zona geser, menekan dan
pembengkakan batu dan di situ kondisi tekanan.
56
Table 2.16 Classification of individual parameters used in the Tunnelling Quality Index Q (AfterBarton et al 1974)
DESCRIPTION VALUE NOTES
1. ROCK QUALITY DESIGNATION RQD
A. Very poor 0 - 25 1. Where RQD is reported or measured as ≤ 10 (including
0), B. Poor 25 - 50 a nominal value of 10 is used to evaluate Q.
C. Fair 50 - 75
D. Good 75 - 90 2. RQD intervals of 5, i.e. 100, 95, 90 etc. are sufficiently2. JOINT SET NUMBER Jn
A. Massive, no or few joints 0.5 - 1.0
B. One joint set 2
C. One joint set plus random 3
D. Two joint sets 4
E. Two joint sets plus random 6
F. Three joint sets 9 1. For intersections use (3.0xJn)
G. Three joint sets plus random 12
H. Four or more joint sets, random, 15 2. For portals use (2.0xJn)
3. JOINT ROUGHNESS NUMBER
Jr a. Rock wall contact
b. Rock wall contact before 10 cm shear
A. Discontinuous joints 4
B. Rough and irregular, undulating 3
C. Smooth undulating 2
D. Slickensided undulating 1.5 1. Add 1.0 if the mean spacing of the relevant joint set is
E. Rough or irregular, planar 1.5 greater than 3
m. F. Smooth, planar 1.0
G. Slickensided, planar 0.5 2. Jr = 0.5 can be used for planar, slickensided joints having
c. No rock wall contact when sheared lineations, provided that the lineations are oriented for
H. Zones containing clay minerals thick 1.0 minimum strength. 4. JOINT ALTERATION NUMBER Ja r degrees (approx.)
a. Rock wall contact
A. Tightly healed, hard, non-softening, 0.75 1. Values of r, the residual friction
angle, impermeable filling are intended as an approximate
guide
B. Unaltered joint walls, surface staining only 1.0 25 - 35 to the mineralogical properties of the
C. Slightly altered joint walls, non-softening 2.0 25 - 30 alteration products, if
present. mineral coatings, sandy particles, clay-free
disintegrated rock, etc.
D. Silty-, or sandy-clay coatings, small clay- 3.0 20 -
25 fraction (non-softening)
E. Softening or low-friction clay mineral coatings, 4.0 8 -
16 i.e. kaolinite, mica. Also chlorite, talc, gypsum
57
Table 2.17 Classification of individual parameters used in the Tunnelling Quality Index Q (AfterBarton et al 1974)
DESCRIPTION VALUE NOTES
4, JOINT ALTERATION NUMBER Ja r degrees (approx.)
b. Rock wall contact before 10 cm shearF. Sandy particles, clay-free, disintegrating rock etc. 4.0 25 - 30G. Strongly over-consolidated, non-softening 6.0 16 - 24 clay
mineral fillings (continuous < 5 mm thick)H. Medium or low over-consolidation, softening 8.0 12 - 16 clay
mineral fillings (continuous < 5 mm thick)J. Swelling clay fillings, i.e. montmorillonite, 8.0 - 12.0 6 - 12
(continuous < 5 mm thick). Values of Ja depend on percent of swelling clay-sizeparticles, and access to water.
c. No rock wall contact when shearedK. Zones or bands of disintegrated or crushed 6.0L. rock and clay (see G, H and J for clay 8.0
5. JOINT WATER REDUCTION Jw approx. water pressure (kgf/cm2) A. Dry excavation or minor inflow i.e. < 5 l/m locally 1.0 < 1.0B. Medium inflow or pressure, occasional 0.66 1.0 - 2.5
outwash of joint fillingsC. Large inflow or high pressure in competent rock 0.5 2.5 - 10.0 1. Factors C to F are crude estimates;
with unfilled joints increase Jw if drainage installed. D.
Large inflow or high pressure 0.33 2.5 - 10.0E. Exceptionally high inflow or pressure at blasting, 0.2 - 0.1 > 10 2. Special problems caused by ice formation
6. STRESS REDUCTION FACTOR SRFa. Weakness zones intersecting excavation, which may cause
loosening of rock mass when tunnel is excavatedA. Multiple occurrences of weakness zones containing clay or 10.0 1. Reduce these values of SRF by 25 - 50% but
chemically disintegrated rock, very loose surrounding rock any only if the relevant shear zones influence do depth) not intersect the excavation
B. Single weakness zones containing clay, or chemically dis- 5.0 tegrated rock (excavation depth < 50 m)
C. Single weakness zones containing clay, or chemically dis- 2.5 tegrated rock (excavation depth > 50 m)
D. Multiple shear zones in competent rock (clay free), loose 7.5surrounding rock (any depth)
E. Single shear zone in competent rock (clay free). (depth of 5.0 excavation < 50 m)
F. Single shear zone in competent rock (clay free). (depth of 2.5 excavation > 50 m)
G. Loose open joints, heavily jointed or 'sugar cube', (any depth) 5.0
6. STRESS REDUCTION FACTOR b. Competent rock, rock stress problems
c1 t1 2. For strongly anisotropic virgin stress field
H. Low stress, near surface > 200 > 13 2.5 (if measured): when 51/310, reduce cJ. Medium stress 200 - 10 13 - 0.66 1.0 to 0.8c and t to 0.8t. When 1/3 > 10,
K. High stress, very tight structure 10 - 5 0.66 - 0.33 0.5 - 2 reduce c and t to 0.6c and 0.6t, where
(usually favourable to stability, may c = unconfined compressive strength, and
be unfavourable to wall stability) t = tensile strength (point load) and 1 and
L. Mild rockburst (massive rock) 5 - 2.5 0.33 - 0.16 5 - 10 3 are the major and minor principal stresses.
M. Heavy rockburst (massive rock) < 2.5 < 0.16 10 - 20 3. Few case records available where depth of
c. Squeezing rock, plastic flow of incompetent rock under influence of high rock pressure
N. Mild squeezing rock pressure
crown below surface is less than span width. Suggest SRF increase from 2.5 to 5 for such
cases (see H).
O. Heavy squeezing rock pressure 10 - 20d. Swelling rock, chemical swelling activity depending on presence of water
P. Mild swelling rock pressure 5 - 10
R. Heavy swelling rock pressure 10 - 15
58
Tabel 2.18 Kualitas massa batuan berdasarkan Q-system (Barton, 1973)
59
BAB III
Data Survey Pemetaan dan Uji Laboratorium
A. Pengambilan data survey
B. Pengujian Laboratorium
1. Sifat fisik
Alat dan bahan
Prosedur
2. UCS
Alat dan bahan
Prosedur
C. Data Survey
D. Data Uji laboratorium
Dalam tabel
Pengambilan data dilakukan di lereng PT ATC pada hari minggu (8 November 2015). Dalam pengambilan data diperlukan beberapa peralatan, diantaranya :
3. Kompas, digunakan untuk menentukan nilai straight dan dip dari discontinuitas.
4. papan ujian, digunakan sebagai media datar dalam menentukan nilai straight dan dip discontinuitas.
5. tabel nilai JRC, sebagai patokan menentukan nilai JRC discontinuitas.
6. Meteran, digunakan untuk menentukan spai dan persistence discontinuitas.
7. Penggaris, digunakan untuk menentukan lebar rongga antar permukaan discontinuitas.
Adapun tata cara pengambilan data yang dilakukan praktikan, yaitu:
1. Tipe Discontinuitas
Dari hasil pengamatan praktikan karena jenis discontinuitas di lokasi pengambilan data berupa rekahan atau patahan tanpa disertai perubahan posisi maka jenis discontinuitasnya adalah kekar/joint adalah
2. Strike dan Dip Discontinuitas
Nilai strike dan dip discontinuitas diukur menggunakan kompas dengan bantuan papan ujian sebagai media datarnya.
a. Mengukur jurus/strike
1) Letakkan sisi yang bertuliskan E pada bidang yang diukur
60
2) Atur nivo mata lembu sampai gelembungnya berada di tengah
3) Baca jarum utaranya
b. Mengukur kemiringan/dip
1) Letakkan sisi yang bertulis W tegak lurus jurus yang sudah kita ukur
(tanda garis yang sudah kita buat).
2) Atur gelembungnya sampai gelembung pada nivo lonjong berada di
tengah
3) Baca angka yang ditunjukkan pada skala clino.
3. Dip Direction
Nilai dip direction diperoleh dari hasil penjumlahan straight joint + 90o.
4. Spasi
Nilai spasi didapat dari hasil pengukuran jarak antara satu joint ke joint selanjutnya yang dilaui scan-line.
5. Persistence
Nilai persistence didapat dari hasil pengukuran panjang joint.
6. JRC
Nilai JRC didapat dari hasil pengamatan joint dengan berpatokan pada tabel JRC.
7. Pelapukan
Tingkat kelapukan pada praktikum ini diukur dengan menggunakan kuku tangan. Tingkat kelapukan tersebut berupa tidak lapuk, sedikit lapuk, lapuk, atau sangat lapuk.
8. Lebar Rongga
Nilai lebar rongga didapat dari pengukuran jarak antar permukaan joint pada suatu joint. Nilai tersebut berupa 0, <1 mm, 1-5 mm, atau >5mm.
9. Pengisi
Ada dan tidaknya pengisi serta jenis pengisi dilihat pada material yang mengisi rongga joint.
10. Discontinuitas Set
Dari hasil pengamatan arah joint pada lokasi praktikum ada 4 macam, yaitu :
59
61
Gambar 2.17 Jenis-jenis arah joint lokasi praktikum
11. Kondisi air tanah
Kondisi air tanah dilihat pada masing-masing joint yang diukur, dengan tingkat kondisi berupa kering, lembab, atau basah.
62
63
64
65
66
67
68
BAB IV
Pengolahan Data
A. Kinematik
1. Penggunaan software DIPS
Tujuan penggunaan software DIPS adalah untuk mendapatkan nilai
straight dan dip lereng untuk analis kinematic. Adapun proses
pengolahannya sebagai berikut.
Gambar 4.1 Data dalam bentuk pole plot
69
Gambar 4.2 Penyebaran data di setiap kuadran
Gambar 4.3 Schmidt concentration
Dari schmidt concentration diperoleh hasil sebagai berikut :
Tabel 4.1 Set discontiuitas hasil pengolahan DIPSNo. Type Stright Dip
1 Set(Unweighted dan weighted) 29 82
2 Set(Unweighted dan weighted) 66 77
3 Set(Unweighted dan weighted) 349 77
4 Set(Unweighted dan Weighted) 110 78
68
70
2. Analisis Kelongoran dengan SCHMIDT Net
Dari data set discontinuitas hasil pengolaha software DIPS dilakuan
analisis kelongsoran dengan menggunakan metode Goodman (1989).
Dalam analisis metode Goodman, data strike dan dip diplot pada Schmidt
net dengan strike off cut yaitu N236oE Dip 87o. Hasil dari analisisnya
berupa arah kelongsoran plane failure, wedge failure, dan toppling failure.
Arah kelongoran ditunjukkan oleh vector D, I, dan N. Vektor D
yang nilainya kurang dari dip strike off cut menunjukkan wedge failure.
Vektor I yang kurang dari dip strike off cut menunjukkan plane failure.
Dan vektoe N yang kurang dari dip strike off cut menunjukkan toppling
failure.
Hasil analisis dengan metode Goodman didapatkan bahwa jenis
kelongsoran yang terjadi yaitu toppling failure pada titik N1 dengan arah
8o dan N2 dengan arah 13o.
71
72
73
B. Rock Quality Designation (RQD)Perhitungan RQD dilakukan dengan persamaan Priest dan Hudson. Adapun
persamaan Priest dan Hudson yaitu:
RQD = 100 (0.1 + 1) e- 0.1
Dengan = 1/spasi, adalah rasio antara jumlah kekar dengan panjang
scan-line (kekar/meter).
Dari hasil perhitungan menggunakan persamaan di atas diperoleh nilai RQD
per scan-line. Hasil perhitungan ditunjukkan pada tabel 4.2 sehingga
didapatkan nilai rata-rata RQD sebesar 85,010%. Nilai RQD 85,010%
menunjukkan bahwa kualitas batuannya tergolong ke baik (Good).
74
Tabel 4.2 Nilai RQD per meter
No. rata-rata (m) ʎ RQD No. rata-rata (m) ʎ RQD
1 0.217 4.615 92.123 35 0.058 17.333 48.2962 0.243 4.124 93.510 36 0.435 2.299 97.7303 0.186 5.376 89.818 37 0.186 5.376 89.8184 0.174 5.747 88.635 38 0.194 5.155 90.5075 0.237 4.225 93.231 39 0.395 2.532 97.2886 1.180 0.847 99.661 40 0.235 4.255 93.1477 0.217 4.615 92.123 41 0.170 5.882 88.1968 0.330 3.030 96.239 42 0.840 1.190 99.3459 0.325 3.077 96.134 43 0.405 2.469 97.41010 0.305 3.279 95.667 44 0.240 4.167 93.39211 0.083 12.000 66.263 45 0.405 2.469 97.41012 0.293 3.409 95.355 46 0.130 7.692 81.98113 0.320 3.125 96.025 47 0.200 5.000 90.98014 0.126 7.910 81.204 48 0.273 3.659 94.73615 0.308 3.243 95.751 49 0.180 5.556 89.25116 0.146 6.860 84.904 50 0.213 4.706 91.85817 0.245 4.082 93.625 51 0.210 4.762 91.69318 0.148 6.780 85.182 52 0.220 4.545 92.32519 0.075 13.260 61.765 53 0.186 5.376 89.81820 0.041 24.540 29.687 54 0.126 7.955 81.04321 0.180 5.556 89.251 55 0.134 7.447 82.85222 0.240 4.167 93.392 56 0.155 6.452 86.30223 0.157 6.383 86.533 57 0.277 3.614 94.84824 0.317 3.158 95.949 58 0.230 4.348 92.88925 0.136 7.353 83.184 59 0.137 7.292 83.40026 0.540 1.852 98.483 60 0.235 4.255 93.14727 0.110 9.091 76.915 61 0.120 8.333 79.676
75
28 0.074 13.483 60.980 62 0.083 12.121 65.82529 0.166 6.024 87.730 63 0.080 12.500 64.46430 0.125 8.000 80.879 64 0.124 8.081 80.58831 0.100 10.000 73.576 65 0.223 4.494 92.47232 0.079 12.632 63.993 66 0.139 7.216 83.66433 0.052 19.192 42.832 67 0.088 11.340 92.88934 0.064 15.556 53.941 68 0.110 9.091 76.915
C. Rock Mass Rating (RMR)
Nilai RMR adalah penjumlahan total dari bobot kuat tekan uniaksial
(uniaxial compressive stress, UCS dalam praktikum ini digunakan nilai uji
point load), rock quality designation (RQD), spasi diskontinuitas, keadaan
diskontinuitas, keadaan air tanah dan orientasi diskontinuitas. Bobot masing-
masing parameter RMR diperoleh dari table ringkasan rock mass system.
Bobot yang digunakan adalah berdasarkan nilai ataupun kondisi parameter.
Dari hasil pengambilan data disimpulkan bahwa keadaan air tanah
discontinuitasnya adalah kering. Kemudian, hasil pengujian point load test
menunjukkan bahwa nilai kuat tekan batuannya sebesar 25,62 MPa.
Sedangkan nilai parameter lainnya diperoleh dari table perhitungan statistic
berikut. Untuk menentukan nilai parameter-parameter yang akan digunakan
pada perhitungan RMR dilakukan perhitungan statistic sebagai berikut.
Tabel 4.3 Analisa statistik data
Parameter Jumlah rata-rata Maximum minimum Modus Median
ʎ-1 455,553 6,699 24,540 0.847 5,376 5,376RQD (%) 5780,695 85,010 99,661 29.687 89,818 89,818spasi (mm) 14278,000 35,784 20,000 0.000 <60 mm 20,000Persistence(m) 12217,525 30,620 24,5 0.000 >20 m 1,285JRC 2964,000 7,429 20.000 4.00 4.000 6,000Lebar Rongga/Aperture (mm)
- 1-5 mm
Dari hasil data statistik dan analisis data, maka dapat ditentukan bobot
masing-masing parameter RMR berdasarkan kondisi yang ada. Hal ini terlihat
pada tabel 4.4.
Tabel 4.4 Pembobotan parameter RMRParameter Nilai/kondisi Bobot
RQD(%) 85.01 17Point load 25.62 15Kondisi air tanah Kering 15
Kondisi Discontinuitas
Presistence >20 m 0 Lebar Rongga 1-5 mm 1Kekasaran Kekar Sangat Kasar 6Material pengisi Tidak ada 6Kelapukan Tidak lapuk 6
Total 19Spacing <60mm 5
Total Bobot 71
Nilai RMR merupak total jumlah masing-masing parameternya, maka:
RMR = Bobot RQD + Bobot Point Load + Bobot Kondisi Air Tanah + Bobot
Kondisi Discontinuitas + Bobot Spasing
= 17 + 15 + 15 + 0 + 19 + 5
= 71
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa nilai RMR lereng tempat
pengambilan data adalah sebesat 71. Hal ini berarti lereng tersebut tergolong
ke kelas II yaitu lereng dengan b`atuan baik, dengan stand up time 1 th – 10
m span, kohesi 300 – 400 kpa, dan sudut geser dalam (ᵠ) sebesar 350-450.
D. Slope Mass Rating (SMR)
Romana dkk, (2003) mengusulkan modifikasi pada konsep
penggunanan RMR Bieniawski khususnya untuk kemantapan lereng. SMR
yang didapat dari RMR dengan menambahkan faktor penyesuaian pada
orientasi diskontinutas, kemiringan lereng dan faktor penyesuaian lain,
tergantung pada metode penggalian
SMR = RMR + (F1 · F2 · F3) + F4
Dengan:
SMR = Slope Mass Rating
RMRbasic = Nilai RMR Basic
F1,F2,F3 = faktor penyesuaian yang berkaitan dengan orientasi kekar (joint)
sehubungan dengan orientasi kemiringan atau lereng
F4 = koreksi untuk metode penggalian
Hasil analisis dengan kinematic menunjukkan bahwa:
Tabel 4.5 Pembobotan parameter SMR
Parameter
Rumus
αj = Dip direction of joint, βj = Dip joint
αs = Dip rection of slope, βs = Dip slope
Nilai Bobot
F1 |αj - αs - 180°| 387o 0,15
F2 |βj| 82o 1,00
F3 βj + βs 169o -25
Adapun karena teknik peledakan yang dilakukan tergolong tidak
efisien, sering terlalu banyak bahan peledak, tidak menggunakan peledakan
beruntun (delay) atau lubang ledak tidak sejajar, stabilitas buruk, maka
F4= - 8.
Sehingga,
SMR = RMRbasic + (F1 .F2 . F3) + F4
= 71 + ( 0,15. 1. -25 ) + (-8)
= 59,25
Dengan nilai SMR = 59,25 maka disimpulkan bahwa lereng tergolong ke
kelas III yaitu normal dengan stabilitas sebagian stabil.
E. Q-System
Nilai Q-Sytem dirumus kan sebagai berikut:
Dimana:
RQD = rock quality designation,
Jn = joint set number (related to the number of discontinuity sets),
Jr = joint roughness number (related to the roughness of the
discontinuity surfaces),
Ja = joint alteration number (related to the degree of alteration or
weathering of the discontinuity surfaces),
Jw = joint water reduction number (relates to pressures and inflow
rates of water within the discontinuities), and
SRF = stress reduction factor (related to the presence of shear zones,
stress concentrations and squeezing and swelling rocks).
Hasil Analisis data menunukkan bahwa:
Tabel 4.6 Nilai parameter Q-SystemParameter Kondisi Nilai
RQD - 85.01%
Jn Four joint sets/fiddure sets 4,09
Jr Discontinous joint 4,0
Ja
Benar – benar terkonsolidasi berlebihan, tidak ada
pelunakan, mineral pengisi (menerus dengan
ketebalan < 5 mm) 6,0
Jw
Lubang bukaan kering atau aliran air kecil
(<5L/menit) 1,0
SRF 589,26 2,5
Maka :
Q = 5,543
Karena nilai Q = 5,543 maka tergolong kesedang dengan kategori penyangga
17, 18, 19, dan 20.
BAB V Penutup
Dari hasil analisis yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa:
1. Hasil Analisi Kinematik menunjukkan bahwa lerengg di lokasi praktikum
berpotensi terhadap kelongsoran Toppling Failure dengan arah 8o.
2. Nilai Rock Quality Designation (RQD) sampel batuan dari lereng lokasi
praktikum adalah sebesar 85,0105% yang tergolong ke jenis batuan baik
(Good).
3. Nilai Rock Mass Rating lereng dilokasi praktikumm adalah sebesar 71
sehingga tergolong ke kelas II yaitu lereng dengan batuan baik, dengan stand
up time 1 th – 10 m span, kohesi 300 – 400 kpa, dan sudut geser dalam (ᵠ)
sebesar 350-450.
4. Nilai Slope Mass Rating lereng dilokasi praktikum adalah sebesar 59,25 maka
disimpulkan bahwa lereng tergolong ke kelas III yaitu normal dengan
stabilitas sebagian stabil.
5. Nilai Q-System lereng lokasi pengambilan sampel adalah sebesar 5,543
sehingga tergolong ke kelas sedang dengan katagori penyangga 17, 18, 19,
dan 20.
Daftar Pustaka
79
NGI. 2013. Rock Mass Classification and Support Design. Allkopi As: Oslo.
Rai, Made Astawa, dkk. 2012. Mekanika Batuan. ITB: Bandung.
Rusydy, Ibnu. 2015. Q-System and Slope Mass Rating. Teknik Pertambangan Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala.
Wattiwena, K. Ridho. 2015. Klasifikasi Massa Batuan. Intitut Teknologi Bandun: Bandung.
Azzuhry, Yahdi. 2015. Rock Mechanics. Universitas Negeri Padang: Padang.
80
LAMPIRAN
Foto Kegiatan Pengambilan Data