TB kutis referat.docx
-
Upload
alfianwibisono -
Category
Documents
-
view
407 -
download
16
Transcript of TB kutis referat.docx
REFERAT
TUBERKULOSIS KUTIS
Penyusun:
Viva Vianadi
(030.08.254)
Pembimbing:
dr. Nurhasanah, Sp.KK
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN
MASA KEPANITERAAN 15 JULI 2013 - 25 AGUSTUS 2013
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARAWANG
AGUSTUS 2013
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tuberkulosis adalah penyakit infeksi granulomatosa kronis yang disebabkan
oleh basil Mycobacterium tuberculosis. Jalan masuk kedalam tubuh biasanya
melalui inhalasi, atau yang pada umumnya adalah dengan meminum susu sapi yang
tidak dipasteurisasi. Tuberkulosis telah dan masih menjadi masalah kesehatan di
dunia hingga saat ini. Tuberkulosis merupakan suatu penyakit infeksi yang berefek
pada paru – paru, kelenjar getah bening, tulang dan persendian, kulit, usus dan
organ lainnya. Salah satu dari jenis tuberkulosis ini adalah tuberkulosis kutis.
Tuberkulosis kutis, seperti tuberkulosis paru, terutama terdapat di negara
yang sedang berkembang. Insidensi di Indonesia kian menurun sejalan dengan
menurunnya tuberkulosis paru. Hal itu tentu disebabkan oleh kian membaiknya
keadaan ekonomi. Bentuk-bentuk yang dahulu masih terdapat sekarang telah jarang
terlihat, misalnya tuberkulosis kutis papulonekrotika, tuberkulosis kutis gumosa,
dan eritema nodusum.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Tuberkulosis kutis adalah penyakit tuberkulosis pada kulit yang di Indonesia
disebabkan oleh basil Mycbacterium tuberculosis dan mikobakteria atipikal.
2.2 Epidemiologi
Penelitian di Rumah Sakit Dr. Ciptomangunkusumo, skrofuloderma
merupakan bentuk yang tersering terdapat (84%), disusul oleh tuberkulosis kutis
verukosa (13%), bentuk-bentuk yang lain jarang ditemukan. Lupus vulgaris yang
dahulu dikatakan tidak terdapat, ternyata ditemukan, meskipun jarang.
Tuberkulosis kutis pada umumnya ditemukan pada bayi dan orang dewasa
dengan status imunodefisiensi. Tuberkulosis kutis terjadi akibat penjalaran
langsung dari organ dibawahnya yang telah dikenai penyakit tuberkulosis,
hematogen, limfogen, dapat juga autoinokulasi atau melalui kulit yang telah
menurun resistensi lokalnya.
Di negara beriklim dingin seperti di Eropa bentuk yang sering terdapat
adalah Lupus Vulgaris, sedangkan di India bentuk yang tersering dijumpai adalah
Skrofuloderma, disusul oleh Lupus Vulgaris dan Tuberkulosis Kutis Verukosa.
2.3 Etiologi
Penyebab tuberkulosis kutis adalah mikobakterium obligat yang bersifat
patogen terhadap manusia, M. tuberkulosis, M. bovis, dan kadang-kadang bisa juga
disebabkan oleh Bacillus Calmette-Guerin (BCG). Penyebab utama tuberkulosis
kutis di Rumah Sakit Dr. Ciptomangunkusumo (RSCM) ialah Mycobacterium
Tuberkulosis (jenis human) berjumlah 91,5%, sisanya (8,5%) disebabkan oleh M.
atipikal, yang terdiri atas golongan II atau skotokromogen, yakni M. scrofulocaeum
(80%) dan golongan IV atau rapid growers (20%). M. bovis dan M. avium belum
pernah ditemukan, demikian pula M. atipikal golongan lain.
2.4 Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi terjadinya tuberkulosis kutis diantaranya adalah
kemiskinan, gizi kurang, penggunaan obat-obatan secara intravena, dan status
imunodefisiensi. Frekuensi terjadinya penyakit ini pada wanita dan pria adalah
sama. Penyakit ini dapat terjadi di belahan dunia manapun, terutama di Negara –
Negara berkembang dan negara tropis. Di negara berkembang termasuk Indonesia,
tuberculosis kutis sering ditemukan.
Penyebarannya dapat terjadi pada musin hujan dan diakibatkan karena gizi
yang kurang dan sanitasi yang buruk. Prevalensinya tinggi pada anak – anak yang
mengonsumsi susu yang telah terkontaminasi Mycobacterium bovi .Tuberkulosis
kutis dapat ditularkan melalui inhalasi, ingesti, dan inokulasi langsung pada kulit
dari sumber infeksi. Selain manusia, sumber infeksi kuman tuberkulosis ini juga
adalah anjing, kera dan kucing.
Faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya penyakit ini sering terkait
dengan faktor lingkungannya ataupun pekerjaannya. Biasanya penyakit ini sering
ditemukan pada pekerjaan seperti ahli patologi, ahli bedah, orang-orang yang
melakukan autopsi, peternak, juru masak, anatomis, dan pekerja lain yang mungkin
berkontak langsung dengan M. tuberculosis ini, seperti contohnya pekerja
laboratorium. Sekarang, dimasa yang semakin efektifnya pengobatan tuberkulosis
sistemik, tuberkulosis kulit semakin jarang ditemui.
2.5 Bakteriologi
A. M. Tuberculosis
Mikobakterium tuberkulosis mempunyai sifat-sifat yaitu berbentuk batang,
tidak membentuk spora, aerob, tahan asam (1,2), panjang 2-4/µ dan lebar 0,3-1,5/µ,
tidak bergerak dan suhu optimal pertumbuhan pada 37ºC
Pemeriksaan bakteriologik terdiri atas 5 macam, yaitu:
1. Sediaan mikroskopik
Bahan berupa pus, jaringan kulit dan jaringan kelenjar getah bening.
Pada pewarnaan dengan Ziehl Neelsen, atau modifikasinya, jika positif kuman
tampak berwarna merah pada dasar yang biru. Kalau positif belum berarti
kuman tersebut M. tuberkulosis, oleh karena ada kuman lain yang tahan asam,
misalnya M. leprae.
2. Kultur
kultur dilakukan pada media Lowenstein-Jensen, pengeraman pada suhu
37º. Jika positif koloni tumbuh dalam waktu 8 minggu. Kalau hasil kultur
positif, berarti pasti kuman tuberkulosis.
3. Binatang percobaan
Dipakai marmot, percobaan tersebut memerlukan waktu 8 minggu.
4. Tes biokimia
Ada beberapa macam, misalnya tes niasin dipakai untuk membedakan
jenis human dengan yang lain. Jika tes niasin positif berarti jenis human.
5. Percobaan resistensi
B. Mikobakteria atipikal
Mikobakteria atipikal merupakan kuman tahan asam yang agak lain sifatnya
dibandingkan dengan Mycobacterium Tuberkulosis, yakni patogenitasnya rendah.
Pada pembiakan umumnya membentuk pigmen, dan tumbuh pada suhu kamar.
Menurut klasifikasi Runyon (1959) kuman tersebut dibagi menjadi 4 golongan:
1. Golongan I : Fotokromogen
Koloni dapat membentuk pigmen, bila mendapat cahaya, misalnya M. marinum
dan M. kansasii.
2. Golongan II : Skotokromogen
Koloni dapat membentuk pigmen dengan atau tanpa cahaya, misalnya M.
scrofulaceum.
3. Golongan III : Nonfotokromogen
Koloni tidak dapat atau sedikit membentuk pigmen, walaupun mendapat cahay
contohnya M. avium-intracellulare dan M. ulcerans.
4. Golongan IV : Rapid Gowers
Koloni tumbuh dalam beberapa hari, misalnya M. fortuitum dan M. abscessus.
2.6 Klasifikasi
Klasifikasi tuberkulosis kutis bermacam-macam. Berikut ini klasifikasi
menurut PILLSBURRY dengan sedikit perubahan.
1. Tuberkulosis kutis sejati
A. Tuberkulosis kutis primer
Inokulasi tuberkulosis primer (tuberkulosis chancre)
B. Tuberkulosis kutis sekunder
Tuberkulosis kutis miliaris
Skrofuloderma
Tuberkulosis kutis verukosa
Tuberkulosis kutis gumosa
Tuberkulosis kutis orifisialis
Lupus vulgaris
2. Tuberkulid
A. Bentuk papul
Lupus miliaris diseminatus fasiei
Tuberkuloid papulonekrotika
Liken skrofulosorum
B. Bentuk granuloma dan ulseronodulus
Eritema nodusum
Eritema induratum
Ada beberapa klasifikasi dari tuberkulosis kutis ini. Yang paling sering
digunakan adalah klasifikasi menurut ada atau tidaknya bakteri penyebabnya.
Sehingga tuberkulosis kutis ini dibedakan menjadi tuberkulosis kutis sejati dan
tuberkuloid. Pada tuberkulosis sejati, ditemukan basil TB pada lesinya. Sedangkan
pada tuberkuloid tidak ditemukan adanya basil. Tuberkulosis sejati ini dibagi lagi
menjadi dua yaitu primer dan sekunder. Yang dimaksud dengan primer ini adalah
lesi yang terjadi karena infeksi eksogen pada penderita yang belum pernah terpapar
dengan M. Tuberculosis sebelumnya. Pada tuberkulosis sekunder, terjadi reinfeksi
baik itu reinfeksi lokal maupun general pada individu yang pernah terinfeksi
sebelumnya. Yang termasuk dalam kategori tuberkulosis sekunder adalah TB kutis
miliaris, skrofuloderma, TB kutis verukosa, TB kutis gumosa, TB kutis orifisialis,
lupus vulgaris.
Adapun yang dimaksudkan dengan tuberkuloid merupakan reaksi
hipersensitifitas dari individu yang sebelumnya telah sensitif dengan kuman TB.
Bentuk dari tuberkuloid ini sendiri dibagi lagi menjadi 2 bentuk yaitu tuberkuloid
dalam bentuk papul dan tuberkuloid dalam bentuk granuloma dan ulseronodulus.
2.7 Patogenesis
Cara infeksi ada 6 macam
1. Penjalaran langsung ke kulit dari organ di bawah kulit yang telah dikenai
penyakit tuberkulosis, misalnya skrofuloderma.
2. Inokulasi langsung pada kulit sekitar orifisium alat dalam yang dikenai
penyakit tuberkulosis, misalnya tuberkulosis kutis orifisialis.
3. Penjalaran secara hematogen, misalnya tuberkulosis kutis miliaris.
4. Penjalaran secara limfogen, misalnya lupus vulgaris.
5. Penjalaran langsung dari selaput lendir yang sudah diserang penyakit
tuberkulosis, misalnya lupus vulgaris.
6. Kuman langsung masuk ke kulit yang resistensi lokalnya telah menurun atau
jika ada kerusakan kulit, contohnya tuberkulosis kutis verukosa.
2.8 Gambaran Klinik dan Histopatologi
Pada umumnya, gambaran dari TB kutis ini adalah pada epidermisnya
tampak adanya hiperkeratosis dan akantosis. Pada reaksi radang yang akut, sering
dengan gambaran adanya abses di lapisan ini. Pada dermis tampak adanya nekrosis
kaseosa. Gambaran klinis yang khas menurut penyakitnya pada tuberkulosis sejati
adalah sebagai berikut:
1. Tuberkulosis kutis sejati
A. Tuberkulosis kutis primer
Inokulasi TB primer
TB chancre atau kompleks primer TB (TB inokulasi primer)
Bentuk ini merupakan hasil inokulasi primer kuman TB pada kulit orang
yang belum pernah terkena kuman TB sebelumnya atau pada orang-orang yang
tidak mempunyai imunitas terhadap kuman TB. Kompleks lesi primer meliputi
kulit dan nodus limfatikus terutama pada bayi dan anak-anak. Jalan masuk basil
tuberkel adalah paru-paru, luka kecil, kuku yang terbuka, atau luka tusuk.
Gambarannya dapat berbentuk papul, pustul atau ulkus indolen, berdinding
tergaung dan disekitarnya livid. Masa tunas 2-3 minggu, limfangitis dan
limfadenitis timbul beberapa minggu hingga beberapa bulan setelah afek primer,
pada waktu tersebut reaksi tuberkulin menjadi positif. Keseluruhannya merupakan
kompleks primer. Pada ulkus tersebut dapat terjadi indurasi, karena itu disebut
tuberculous chancre. Makin muda usia penderita makin berat gejalanya. Bagian
yang sering terkena adalah wajah dan ekstremitas yang berhubungan dengan
limphadenopaty regional. Biasanya ditemukan pada daerah kulit yang mudah
terkena trauma.
Histopatologinya yaitu pada fase awal menunjukkan gambaran radang
akut dengan nekrosis dan banyak basil tahan asam. Pada stadium lanjut dijumpai
kaseasi bersamaan dengan lenyapnya basil.
B. Tuberkulosis kutis sekunder
1. TB miliar kulit (TB kutis miliaris diseminata)
Tipe ini biasanya terjadi pada bayi dan anak-anak dengan status
imunokompromise. Fokus infeksi terdapat secara khusus pada paru-paru atau
selaput otak. Akan ditemukan adanya lesi primer pada paru dan lesi yang
muncul secara mendadak dan tersebar Terjadi karena penjalaran ke kulit dari
fokus di badan. Reaksi terhadap tuberkulin biasanya negatif (anergi).
Ruam di seluruh badan berupa eritema berbatas tegas, papula, vesikel,
pustule, skuama atau purpura menyeluruh dengan atau tanpa nekrosis diatasnya.
Diagnosis banding dari kelainan ini adalah sifilis sekunder dan erupsi obat. Pada
pemeriksaan histopatologinya menunjukkan adanya beberapa fokal nekrosis dan
abses yang dikelilingi zona makrofag dan banyak basil tahan asam. Pada
umumnya prognosisnya buruk.
2. Skrofuloderma
Definisi
Skrofuloderma adalah tuberculosis kutis murni sekunder yang timbul
akibat penjalaran perkontinuitatum dari jaringan atau organ di bawah kulit yang
telah terserang penyakit tuberculosis misalnya tuberkulosis kelenjar getah
bening, tuberculosis tulang dan keduanya atau tuberculosis epididimis atau
setelah mendapatkan vaksinasi.
Patofisiologi
Pada penyakit ini biasanya menular melalui percikan air ludah dan oleh
karenanya porte d’entrée skrofuloderma di daerah leher adalah pada tonsil atau
paru, jika di ketiak maka kemungkinan porte d’entrée pada apeks pleura, jika di
lipat paha porte d’entrée pada ekstrimitas bawah. Kadang – kadang ketiga
tempat predileksi tersebut terserang sekaligus, yakni pada leher, ketiak dan
lipatan paha.
Skrofuloderma merupakan hasil dari adanya penjalaran jaringan di
bawah kulit yang terserang tuberculosis, biasanya kelenjar getah bening, tetapi
kadang – kadang dapat juga berasal dari tulang, atau kedua – duanya atau
tuberculosis epididimis. Tuberkulosis kelenjar getah bening tersering terjadi dan
yang terkena adalah kelenjar getah bening pada supraklavikula, submandibula,
leher bagian lateral, ketiak, dan lipatan paha (jarang terjadi). Fokus primer
didapatkan pada daerah yang aliran getah beningnya bermuara pada kelenjar
getah bening yang meradang.
Penyebaran penyakit terjadi secara cepat melalui limfatik ke kelenjar
getah bening dari daerah yang sakit dan melalui aliran darah. Granuloma yang
terbentuk pada tempat infeksi paru disebut ghonfocus dan bersamaan kelenjar
getah bening disebut kompleks primer adalah tuberculous chancre. Bila kelenjar
getah bening pecah timbul skrofuloderma. Reinfeksi eksogenous bisa terjadi
meskipun jarang dan reaksinya pada host yang telah tersensitasi oleh infeksi
sebelumnya berbeda dengan mereka yang belum tersensitasi.
Gambaran Klinis
Skrofuloderma biasanya dimulai sebagai infeksi kelenjar getah bening
(limfadenitis tuberculosis) berupa pembesaran kelenjar getah bening. Kelenjar
getah bening ini konsistensinya padat pada perabaan. Mula – mula hanya
beberapa kelenjar yang diserang, lalu makin banyak dan berkonfluensi.
Selanjutnya berkembang menjadi periadenitis yang menyebabkan perlekatan
kelenjar tersebut dengan jaringan sekitarnya. Kemudian kelenjar tersebut
mengalami perlunakan yang tidak serentak, menyebabkan konsistensinya
menjadi bermacam – macam, yaitu didapati kelenjar getah bening melunak dan
membentuk abses yang akan menembus kulit dan pecah, bila tidak disayat dan
dikeluarkan nanahnya, abses ini disebut abses dingin artinya abses tersebut tidak
panas maupun nyeri tekan, melainkan berfluktuasi (bergerak bila ditekan,
menandakan bahwa isinya cair).
Pada stadium selanjutnya terjadi perkejuan dan perlunakan, pecah dan
mencari jalan keluar dengan menembus kulit di atasnya dengan demikian
membentuk fistel. Kemudian fistel meluas hingga mejadi ulkus yang
mempunyai sifat khas yakni bentuknya panjang dan tidak teratur, dan di
sekitarnya berwarna merah kebiruan, dindingnya tergaung, jaringan granulasinya
tertutup oleh pus yang purulen, jika mongering menjadi krusta warna kuning.
Lesi dapat sembuh secara spontan namun memerlukan waktu dalam
beberapa tahun dengan meninggalkan bekas luka (sikatriks) yang memanjang
dan tidak teratur. Jembatan kulit (skin bridge) kadang – kadang terdapat di atas
sikatriks, biasanya berbentuk seperti tali yang kedua ujungnya melekat pada
sikatriks tersebut.
Diagnosis
Diagnosis dibuat berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik dengan
melihat gambaran lesi jika masih dalam bentuk pembesaran kelenjar getah
bening diperlukan pemeriksaaan histopatologi dan pemeriksaan penunjang
lainnya untuk menyingkirkan penyebab lain selain mikrobakterium tuberkulosis.
Pada Skrofuloderma dileher gambaran klinisnya khas, walaupun
demikian aktinomikosis sering dijadikan diagnosis banding terhadap
skrofuloderma di leher. Aktinomikosis biasanya menimbulkan deformitas atau
benjolan dengan beberapa muara fistel produk.
Pada stadium limfadenitis tuberkulosis sukar didiagnosis secara klinis
sulit dibedakan dengan limfadenitis non tuberkulosis lainnya, seperti
limfosarkoma, leukimia, limfoma maligna, pembesaran kelenjar getah bening
post vaksinasi BCG. Jika didaerah ketiak dibedakan dengan hidradenitis
supurativa, yakni infeksi oleh piokokus pada kelenjar apokrin. Penyakit tersebut
bersifat akut dan disertai dengan tanda-tanda radang akut yang jelas, terdapat
gejala konstitusi dan leukositosis. Hidradenitis supurativa, yakni infeksi oleh
piokokus pada kelenjar apokrin. Penyakit tersebut bersifat akut dan disertai
dengan tanda-tanda radang akut yang jelas, terdapat gejala konstitusi dan
lukositosis. Hidradenitis supurativa biasanya menimbulkan sikatriks sehingga
terjadi tarikan-tarikan yang mengakibatkan retraksi ketiak.
Skrofuloderma yang terdapat dilipatan paha kadang-kadang mirip
penyakit venerik yaitu limfogranuloma venerum (LGV). Perbedaan yang penting
adalah pada LGV terdapat riwayat kontak seksual pada anamnesia diertai gejala
konstitusi dan terdapat kelima tanda radang akut. Lokalisasinya juga berbeda-
beda, pada LGV yang diserang adalah kelenjar getah bening inguinal medial,
sedangkan pada skrofuloderma menyerang getah bening inguinal lateral dan
femoral. Pada stadium lanjut LGV terdapat gejala bubo bertingkat yang berarti
pembesaran kelenjar di inguinal medial dan fosa iliaka. Pada LGV tes frei
positif, pada skrofuloderma tes tuberculin positif.
3. TB kutis verukosa (warty tuberculosis verrucanecrogenica)
Definisi
Tuberculosis veruca verrucosa atau yang disebut sebagai Lupus
verrucosus, Prosector's wart, dan Warty tuberculosis merupakan suatu ruam
kecil, berupa nodul papuler kemerahan pada kulit yang dapat muncul 2-4
minggu setelah inokulasi oleh Mycobacterium tuberculosis pada infeksi
sebelumnya dan pada individu yang imunokompeten (Goldman, 2002)
Etiologi
Paling banyak kasus tuberculosis veruca verrucosa disebabkan oleh
reinfeksi dari individu yang ditandai dengan hipersensitif kulit dan imunitas
yang baik, walaupun auto-inokulasi dari sputum dapat menyebabkan lesi.
Karena port de entry biasanya pada sisi tauma, luka, atau tusukan pada kulit,
(luka pada ahli bedah autopsy misalnya), merupakan tempat lesi di tangan.
Tetapi dapat juga terjadi dimanapun di kulit, seperti telapak kaki, anus, dan pada
anak di negara berkembang sering terjadi pada pantat dan lutut. Hal ini karena
anak-anak di negara berkembang dengan resiko tuberkulosis yang tinggi dapat
kontak langsung antara luka dan sputum tuberkulosis saat berjalan tanpa alas
kaki, duduk, atau saat bermain ditanah (Padmavathy, et al., 2007).
Patofisiologi
Ketika terpapar, lesi kulit pada penampakan luar akan menjadi verruca
atau borok, hal ini akan dibingungkan oleh jenis veruka lainnya. Lesi ini akan
berubah menjadi plak anular berwarna merah kecoklatan seiring waktu, dengan
central healing dan ekspansi bertahap ke arah perifer, dimana pada fase ini akan
dipusingkan dengan infeksi jamur seperti blastomycosis dan
chromoblastomycosis. Akan tetapi pada area tengah lesi tuberculosis veruca
verrucosa akan mengeras dan menjadi fisura, dimana pus dan bahan keratin
dapat keluar dari fusura ini. Lesi biasanya soliter, dan nodul regional tidak
terpengaruh kecuali terdapat infeksi sekunder bakteri. Lesi dapat berkembang
dan menetap dalam beberapa tahun. Penyebuhan spontan dapat terjadi dengan
bekas parut (Goldman, 2002).
Diagnosa
Diagnosa ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan fisik ditunjang
dengan pemeriksaan histologi yang dikonfirmasi dengan isolasi M.tuberculosis
pada kultur atau dengan PCR. Pada pemeriksaan fisik didapatkan gambaran
klinis yang khas biasanya berbentuk bulan sabit akibat penjalaran secara
serpiginosa, yang berarti penyakit menjalar ke satu jurusan diikuti penyembuhan
di jurusan yang lain. Ruam terdiri atas papul-papul lentikuler di atas kulit yang
eritematosa. Pada bagian yang cekung terdapat sikatriks. Selain menjalar secara
serpiginosa, juga dapat menjalar ke perifer sehingga terbentuk sikatriks di
tengah.
Pemeriksaan histologi menunjukkan gambaran pseudoepitheliomatous
hyperplasia dengan hyperkeratosis dan infiltrasi neutrofil dan limfosit.
Gambaran abses didapatkan pada epidermis dan dermis bagian atas. Dapat
ditemukan epithelioid giant cells, tuberkel dan BTA jarang ditemukan. Pada
kultur dari lesi tuberculosis kutis verukosa akan didapatkan mikobakterium.
PCR digunakan untuk mengidentifikasi DNA M. tuberculosis dalam specimen
jaringan. Skin test pada tuberkulosa kutis veerukosa akan memberikan hasil
positif.
Gejala klinis
Lesi pada dewasa umumnya terdapat pada tangan terutama bagian
dorsolateral dan jari-jari, sedangkan pada anak-anak biasanya pada ekstremitas
bawah dan lutut. Lesi diawali dengan halo berwarna ungu, berkembang menjadi
plak kutil yang keras dan hyperkeratosis, pus dan material keratin keluar dari
cleft dan fisura yang terbentuk. Papul asimtomatis sering salah didiagnosa
sebagai veruka vulgaris. Pertumbuhannya lambat dan terjadi perluasan ke
perifer. Lesi biasanya soliter dan tidak melibatkan kgb regional kecuali jika
terjadi infeksi sekunder. Lesi dapat berkembang dan menetap selama bertahun-
tahun. Juga bisa terjadi resolusi spontan dengan pembentukan scar.
Bentuk TB kulit yang timbul karena infeksi eksogen pada individu
dengan imunitas baik. Perjalanan kliniknya berlangsung kronik beberapa bulan
hingga tahun. Tempat predileksinya pada tungkai bawah dan kaki. Gambaran
klinis biasanya berbentuk bulan sabit akibat penjalaran secara serpiginosa. Ruam
terdiri atas papul-papul lentikuler di atas kulit yang eritematosa. Pada bagian
yang cekung terdapat sikatriks. Diagnosis bandingnya adalah veruka,
kromomikosis dan sporotrikosis. Gambaran histopatologinya yaitu pada
epidermis dijumpai adanya hiperkeratosis, hipergranulosis, akantosis, dan
papilomatosis diatas sebukan radang akut.
4. Tuberkulosis kutis gumosa
Tuberkulosis ini terjadi akibat penjalaran secara hematogen, biasanya
dari paru. Kelainan kulit berupa infiltrat subkutan, berbatas tegas yang menahun,
kemudian melunak dan bersifat destruktif. Pada awalnya kulit berwarna normal
dan lama-kelamaan menjadi merah kebiruan. Lesi tersebar berbentu makula dan
papul berukuran kecil atau lesi berwarna kemerahan. Kadang-kadang vesikuler
dan terdapat krusta.
5. Tuberkulosis kutis orifisialis
Pada umumnya terjadi pada pasien dengan penyakit tuberkulosa pada
organ-organ dalam. Sesuai dengan namanya maka lokasinya di sekitar orifisium.
Pada tuberkulosis paru dapat terjadi ulkus di mulut, bibir atau di sekitarnya.
Pada tuberkulosis saluran cerna, ulkus dapat ditemukan di sekitar anus. Pada
tuberkulosis saluran kemih, ulkus dapat ditemukan di sekitar orifisium uretra
eksternum. Ulkus berdinding tergaung, kemerahan, hemoragik, purulen dan
sekitarnya livid.
6. Lupus vulgaris
Lupus vulgaris merupakan bentuk yang sering dan mengenai terutama
pada bagian yang sering terpapar misalnya pada wajah dan ekstremitas. Cara
infeksi dapat secara endogen atau eksogen. Gambaran klinis yang umum adalah
kelompok nodus eritematosa yang berubah warna menjadi kuning pada
penekanan (apple jelly colour). Nodus-nodus tersebut berkonfluensi berbentuk
plak, bersifat destruktif, sering terjadi ulkus.
Pada waktu terjadi involusi terbentuk sikatriks. Bila mengenai muka
tulang rawan hidung dapat mengalami kerusakan. Penyembuhan spontan terjadi
perlahan-lahan di suatu tempat, tetapi terjadi perjalanan di tempat lain, yang
dapat ke perifer atau serpiginosa.
2. Tuberkulid
A. Bentuk Papul
1. Lupus milliaris diseminatus fasiei
Mengenai muka, timbulnya secara bergelombang. Ruam berupa papul-
papul bulat, biasanya diameternya tidak melebihi 5 mm, eritematosa kemudian
meninggalkan sikatriks. Pada diaskopi memberi gambaran apple jelly colour
seperti pada lupus vulgaris.
2. Tuberkulosis papulonekrotika
Lesi tipe ini terutama terjadi pada anak-anak dan dewasa yang menderita
TB pada bagian tubuh lain. Keadaan ini terjadi karena adanya reaksi alergi
terhadap basil tuberkel. Basil menyebar secara hematogen pada orang dengan
satus imunitas sedang atau baik, akan tetapi fokus tuberkulosis secara klinis
tidak aktif pada saat terjadinya erupsi, dan pasien sedang berada dalam keadaan
sehat. Selain berbentuk papulonekrotika juga dapat berbentuk papulopustul.
Tempat predileksi pada muka, anggota badan bagian ekstensor, dan
badan. Mula-mula terdapat papul eritematosa yang timbul secara bergelombang,
membesar perlahan-lahan dan kemudian menjadi pustul, lalu memecah menjadi
krusta dan membentuk jaringan nekrotik dalam waktu 8 minggu, lalu
menyembuh dan meninggalkan sikatriks. Kemudian timbul lesi-lesi baru. Lama
penyakit dapat bertahun-tahun.
3. Liken skrofulosorum
Lesi biasanya terjadi di daerah leher pada anak yang menderita
tuberkulosis tulang atau nodus limfatikus. Kelainan kulit terdiri atas beberapa
papul miliar, warna dapat serupa dengan kulit atau eritematosa. Mula-mula
tersusun tersendiri, kemudian berkelompok tersusun sirsinar, kadang-kadang di
sekitarnya terdapat skuama halus. Tempat predileksi pada dada, perut, punggung
dan daerah sacrum. Perjalanan penyakitnya dapat berbulan-bulan dan residif,
jika sembuh tidak meninggalkan sikatriks.
B. Bentuk Granuloma dan ulseronodulus
1. Eritema nodusum
Kelainan kulit berupa nodus-nodus indolen terutama pada ekstremitas
bagian ekstensor. Diatasnya terdapat eritema. Banyak penyakit yang juga dapat
memberi gambaran klinis sebagai E.N., yang sering: lepra sebagai eritema
nodusum leprosum, reaksi id karena Streptococcus B Hemolyticus, alergi obat
secara sistemik, dan demam reumatik.
2. Eritema induratum
Eritema induratum adalah suatu peradangan kronis dari pembuluh darah
arteri dan vena bersifat jinak, dan disertai nekrosis lemak. Kelainan kulit berupa
nodus-nodus indolen. Tempat predileksinya pada daerah fleksor. Terjadi
supurasi sehingga terbentuk ulkus-ulkus. Kadang-kadang tidak mengalami
supurasi, tetapi regresi sehingga terjadi hipotrofi berupa lekukan-lekukan.
Perjalanan penyakit kronik residif.
Tuberkulosis Kutis oleh Mikobakteria Atipikal
1. GOLONGAN I
M.marinum (swimming pool granuloma)
Epidemiologi
Mikobakteria ini pertama kali berhasil diisolasi tahun 1926 oleh Aronson
dari ikan laut dalam akuarium Philadelphia. Habitatnya di kolam renang maupun
akuarium. Air yang bertemperatur sesuai, sungai dan pantai. Vektornya adalah
ikan, lumba-lumba, belut, udang, kepiting dan kutu air.
Faktor resiko terkena infeksi dari mikobakteria ini adalah adanya riwayat
trauma pada saat memancing atau pada saat kaki atau tangan berada di dalam
air. Dari survei yang dilakukan di Perancis dari tahun 1996 sampai tahun 1998
diketahui bahwa lebih dari 84% kasus infeksi berasal dari kolam ikan. Infeksi
didapatkan ketika penderita membersihkan kolam. M. marinum dapat bertahan
di dalam air dan dapat ditemukan pada ikan yang mati, sisi kolam, dan dari
pasir.
M.marinum menimbulkan kelainan nodus verukosa, dapat linear hingga
menyerupai sporotrikosis. Predileksinya ialah tempat yang banyak mendapat
trauma yakni di tangan, lengan, siku, lutut dan kaki. Lesi juga sering timbul pada
daerah lengan, lutut dan kaki dari perenang, dapat juga pada tangan dan jari-jari
dari pemancing ikan. Kasus terbanyak terjadi di Swedia, Inggris, Hawaii, dan
Amerika Serikat.
Manifestasi klinik
Lesi biasanya timbul sekitar tiga minggu setelah terinfeksi. Lesi awal
akan tampak seperti erosi atau veruka dan papul atau dapat juga berbentuk plak.
Lesi primer yang multipel jarang muncul. Biasanya tidak ditemukan adanya
ulserasi maupun nekrosis. Kemudian mulai akan terbentuk ulkus yang dikelilingi
krusta, abses yang supuratif atau nodul yang verukosa. Pada masa inkubasi
kadang disertai penyakit lain seperti synovitis, bursitis, arthritis dan
osteomyelitis. Apabila mengenai tendon maka akan mengurangi ruang gerak
bagian tubuh tersebut. Pada beberapa kasus memerlukan terapi pembedahan.
Perjalanan penyakit ini cenderung lambat, dan lesinya tampak tidak
mengalami perubahan dalam jangka waktu bertahun-tahun. Dari hasil
histopatologi akan tampak adanya campuran reaksi inflamasi yang disertai
dengan adanya hiperkeratosis dan akantosis.
Histopatologi
Lesi akan terlihat seperti inflamasi non spesifik pada beberapa bulan,
sementara lesi yang lebih lama akan mulai terbentuk seperti granuloma dengan
massa yang fibrinoid. Kadang ditemukan Langhans’ giant cell. Basil gram
negatif hanya berhasil ditemukan pada 10% kasus.
Diagnosa dan diferensial diagnosa
Diperlukan riwayat yang jelas, seperti pernah berenang atau memegang
ikan dan adanya tuberkuloid granulomatosis pada pemeriksaan histopatologi.
Penyakit lain berupa adanya granuloma di kulit dapat dipertimbangkan sebagai
differensial diagnosis. Berdasarkan daerah geografisnya, maka infeksi
mikobakterial lain, blastomikosis, coccidiosis, histoplasmosis, dan sporotrichosis
dan juga nocadiosis, sifilis tersier harus dapat disingkirkan.
Pengobatan
M. marinum tidak terlalu memberikan respon dengan pengobatan dengan
obat anti tuberkulosis, tetapi sering terjadi penyembuhan spontan. Minocycline,
200 mg/hari selama satu sampai dua bulan adalah pengobatan pilihan.
Pengobatan lain menggunakan kombinasi dari sulfamethoxazole dan
trimetoprim, minosiklin dengan doksisiklin, rifampisin dengan etambutol, dan
klaritromisin, levofloksasin, atau amikain. Jangka waktu pengobatan yang tepat
belum dapat ditentukan, tetapi dari beberapa penelitian sekitar 14 minggu
dengan durasi lebih lama pada pasien dengan infeksi pada struktur tubuh yang
lebih dalam.Untuk kasus yang kambuh atau berulang, dapat dilakukan tindakan
pembedahan.
M. Kansasii
M. Kansasii dapat menimbulkan kelainan kulit sebagai nodul verukosa
menyerupai sporotrikosis atau krusta dengan ulkus yang dangkal dibawahnya.
Infeksi oleh kuman ini banyak dilaporkan di Amerika Serikat.
Epidemiologi
M. kansasii adalah jenis mikobakteria atipikal yang paling dekat
hubungannya dengan M. tuberculosis. Organisme ini biasanya berada di
lingkungan, pada air yang tergenang dan hewan liar. Penyakit kulit yang
disebabkan oleh mikobakteria jenis ini biasa muncul pada orang dewasa dengan
kondisi yang mendukung seperti sedang dalam terapi menggunakan obat-obat
immunosupresan atau penderita yang immunocompromised. Tempat masuk
kuman ini adalah luka kecil atau lecet pada kulit. Belum ada bukti yang
menunjukkan bahwa penyebaran mikobakteria ini dapat dari orang ke orang.
Manifestasi klinis
Infeksi dari mikobakteria ini dapat muncul dengan beberapa bentuk.
Paling sering terlihat adanya papul-papul disekitar bentukan sporotrikhoid,
kadang nodul subkutan akan terlihat pada struktur yang lebih dalam dan dapat
mengakibatkan terjadinya carpal tunnel syindrome atau penyakit sendi lainnya.
Penyebaran lesinya dapat berupa plak yang mengalami ulserasi. Pasien dengan
selulitis dan abses serta yang sedang dalam keadaan immunosupresif akan lebih
mudah terkena.
Mikobakteria ini dapat membentuk berbagai bentuk lesi, tetapi terbanyak
pada ekstremitas bagian bawah. Tidak hanya sprotrichoid nodul, tapi juga papul
verukosa, papulopustul dengan tengah yang nekrosis, plak eritem, selulitis,
rhinophyma, abses soliter maupun multipel.
Histopatologi
Infeksi dari mikobakteria ini secara histopatologi sangat sulit dipisahkan
dengan tuberkulosis. Tampak adanya plak eritem yang mengalami ulserasi.
Diagnosis dan differensial diagnosis
Diagnosis hanya dapat ditegakkan menggunakan kultur dari M. kansasii.
Differensial diagnosisnya termasuk sporotrikosis, tuberkulosis, dan infeksi
granulomatosis lainnya.
Pengobatan
Mikobakteria ini lebih berespon terhadap obat antituberkulosis
dibandingkan dengan mikobakteria atipikal lainnya terutama terhadap
streptomisin, etambutol, dan rifampisin. Pengobatan menggunakan minosiklin
hidroklorid 200 mg perharinya sudah cukup untuk infeksi ini. Pada daerah kulit
tertentu atau pada limfadenitis servikal, dapat dilakukan eksisi.9
Pengobatan dari kuman ini adalah rifampisin dan etambutol selama 9 bulan
degan kelanjutan terapi selama 15-24 bulan pada pasien yang
immunocompromised. Dapat juga ditambahkan prothionamide dan streptomisin
atau suatu golongan makrolid jika pada pengobatan sebelumnya tidak
memberikan respon.
2. GOLONGAN II
M. scrofulaceum
Infeksi oleh M. scrofulaceum berupa limfadenitis dan skrofuloderma.
Gambaran klinisnya sama dengan yang disebabkan oleh M. tuberculosis.
Epidemiologi
Organisme ini banyak ditemukan di sebelah tenggara Amerika Serikat.
Biasanya terdapat pada susu, keju dan hasil peternakan lainnya. Basil kuman
dapat ditemukan pada lingkungan dengan suhu yang hangat dan pH yang
rendah. Mikobakteria ini juga ditemukan pada kulit orang yang sehat tanpa
menimbulkan suatu gejala klinis dan dapat juga ditemukan pada lesi kulit
penderita lepra.
Manifestasi klinis
Biasanya akan muncul infeksi berupa limfadenitis servikal pada anak
kecil, terutama yang berusia 1 sampai 3 tahun. Nodul di daerah submandibula
dan submaksila juga sering didapatkan dan bersifat unilateral. Tidak ada suatu
gejala khas kecuali nyeri sedang di daerah leher disertai dengan adanya
perbesaran kelenjar limfonodus dalam jangka waktu beberapa minggu dan
kadang berbentuk ulkus maupun fistul. Pada kebanyakan kasus menunjukkan
bahwa adanya infeksi ini tidak selalu disertai dengan gangguan pada paru
maupun organ lain. Penyakit ini jinak dan cenderung self limited.
Histopatologi
Sangat sulit dibedakan dengan tuberkulosis.
Diagnosis dan differensial diagnosis
Limfadenitis servikal unilateral pada anak dengan rontgen dada normal
sudah menunjukkan kemungkinan penyakit ini. Diagnosa pasti hanya bisa
didapat melalui kultur dan biopsi. Differensial diagnosis termasuklah semua
jenis limfopati servikal, baik yang bersifat infeksius maupun neoplasma.
Pengobatan
M. scrofulaceum tidak terlalu sensitif terhadap obat anti tuberkulosis.
Terapi pilihan untuk kasus ini hanyalah eksisi dan pembedahan. Untuk kasus
yang banyak, kombinasi dari obat anti tuberkulosis harus diberikan sampai
didapatkan hasil dari uji sensitifitas. Hasil yang cukup menggembirakan terlihat
saat mengkombinasikan antara isoniazid dan rifampisin.
3. GOLONGAN III
M. avium intracellulare
Epidemiologi
M. avium intracellulare biasanya berada bersama dengan M.
scrofulaceum sehingga sering disebut dengan MAIS (M. avium intracellulare-
scrofulaceum) compleks. Infeksi terbanyak ada di Amerika Serikat.
Mikobakteria ini adalah jenis mikobakteri yang tumbuh lambat dan tumbuh
optimal pada suhu 37oC. Ditemukan di air, tanah, susu, hewan dan rumah.
Traktus respiratorius dan traktus gastrointestinal menjadi tempat masuk kuman
ini sehingga dapat menginfeksi secara sistemik. M. avium intracellulare ini
biasanya menyebabkan tuberculosis paru, osteomielitis, dan limfadenitis, jarang
menyebabkan infeksi pada kulit.
Manifestasi klinis
Penyakit kulit yang disebabkan oleh M. avium intracellulare berupa plak
soliter maupun multipel, tidak terasa nyeri, kekuningan, kadang menyerupai
lupus vulgaris atau nodul subkutan dengan kecenderungan untuk terjadinya
ulserasi, berjalan lambat dan kronis, mirip dengan selulitis. Kadang juga lesi
yang ada muncul sebagai bentuk sekunder M. avium intracellulare. Lesi yang
terbentuk adalah ulkus kutaneus yang generalisata, granuloma kutaneus yang
multipel, lesi infiltratif eritematosa pada ekstremitas, lesi pustuler, dengan
pembengkakan pada jaringan lunak.
Histopatologi
Dari hasil pemeriksaan akan didapatkan granuloma tuberkuloid
nonkaseosa. Basil tahan asam akan ditemukan diantara giant cell di daerah
ekstraseluler.
Diagnosis dan differensial diagnosis
Diagnosa pasti hanya dapat ditegakkan melaui kultur. Diagnosis
ditegakkan melalui kultur darah, biopsi hati atau sumsum tulang. Pada pasien
dengan lesi pada daerah kutaneus, spesimen dari kultur atau biopsi akan
memberikan hasil positif. Differensial diagnosis adalah semua jenis granuloma
kronis pada kulit.
Pengobatan
Respon terhadap obat-obatan sangat rendah. Pembedahan sebagai terapi
kuratif dapat dilakukan jika diperlukan, tetapi bila tempat yang terkena tidak
memungkinkan untuk dilakukan pembedahan maka dapat diberikan terapi obat
kombinasi. Klarithromisin adalah obat anti mikroba yang paling efektif untuk M.
avium intracellulare. Semua obat anti tuberkulosa kecuali isoniazid dan
pirazinamid juga cukup efektif untuk mikobakteria ini.9
M.haemophilum
Epidemiologi
Mikobakteria ini dengan mudah dapat berkembang pada host yang
immunocompromised. Lebih dari setengahnya adalah individu yang terkena
AIDS, tetapi juga bisa mengenai orang yang sedang mendapatkan kemoterapi.
Laporan terbanyak penyakit ini yaitu pada orang yang tinggal didekat Laut
Mediterranean, dan danau Great lakes di Amerika Serikat. Habitat alami dan
rute infeksi masiih belum diketahui sampai sekarang.
Manifestasi klinis
M.haemophilum ini merupakan penyebab terjadinya erupsi subkutan
yang granulomatous pada beberapa penderita HIV. Mikobakteria ini
mengakibatkan timbulnya nodul yang multipel berwarna keunguan, multipel dan
dapat tumbuh menjadi abses atau ulkus dan biasanya muncul sebgai plak yang
annuler atau pannikulitis. Lesi muncul di ekstremitas dan kadang mencapai
sendi. Gangguan ini dapat disertai dengan penurunan berat badan, tenosynovitis,
efusi sendi, osteomielitis atau gangguan pada traktus respiratorius.
Histopatologi
Secara histopatologi terlihat bahwa lesi pada kulit berupa inflamasi
campuran granulomatous dan polimorfonuklear sehingga disebut respon
inflamasi dimorfik. Didapatkan granuloma supurativa yang mengandung basil
gram negatif tetapi kadang granuloma tidak terbentuk dengan sempurna dan
banyak mengandung jaringan yang nekrotik.
Diagnosis dan differensial diagnosis
Diagnosa pasti baru dapat ditegakkan dari hasil kultur basil di jaringan
sinovial. Differensial diagnosis adalah infeksi mikobakteria atipikal lainnya.
Pengobatan
Pengobatannya sangat sulit. Organisme ini sensitif terhadap p-
aminosalisilik dan rifampisin. Tapi bila lesi sangat sulit hilang dan dapat relaps
setelah pengobatan dihentikan maka meningkatkan status imun adalah dasar
keberhasilan dari pengobatan. Direkomendasikan menggunakan tiga obat,
clarithromisin, rifabutin dan siprofloksasin.
M. Ulcerans (Ulkus buruli, Ulkus Bairnsdale, Ulkus Searle’s)
Pertama kali ditemukan oleh Cook di Uganda pada tahun 1897.
Ditemukan pada 32 negara diseluruh dunia. Termasuk mikobakteria ketiga
terbanyak pada manusia setelah tuberkulosis dan lepra.
Epidemiologi
Penyakit ini pertama kali dilaporkan di Australia, kemudian dilaporkan
pula di Meksiko, Kongo, Uganda, dan Malaysia. Cara infeksi belum diketahui,
tetapi kemungkinan berasal dari tanah, air, tanaman atau serangga yang tinggal
di dalam atau dekat air. Infeksi dapat terjadi didahului oleh adanya luka atau
cedera akibat gigitan serangga yang memungkinkan transmisi bakteri ini ke
dalam tubuh. M. ulcerans ini dapat ditemukan pada derah basah dan rawa.
Penyakit ini ditemukan paling banyak pada anak-anak dan dewasa muda, 70%
penderita adalah anak dibawah umur 15 tahun.
Patogenesis dan patologi
Setelah melalui fase laten selama dua bulan atau lebih, infeksi akan
mulai mengakibatkan rusaknya jaringan kulit. M. ulcerans ini menghasilkan
toksin yang dikenal sebagai mycolactone, suatu toksin poliketon, dan C
fosfolipase. Perubahan awal adalah nekrosis akut dari dermis dan jaringan
subkutan.. Jaringan lemak ini kemudian mengalami kalsifikasi. Nekrosis di
daerah dermis ini akan berjalan secara lateral sehingga semakin mendekati
bentukan suatu ulkus. Kuman akan menghancurkan jaringan tubuh. Pada lapisan
dermis yang lebih dalam, timbul vaskulitis pada pembuluh darah yang
ukurannya kecil sampai sedang.
Manifestasi klinik
Toksin yang dihasilkan oleh kuman ini akan menimbulkan nekrosis dan
ulserasi pada kulit. Kelainan kulit pertama-tama tampak sebagai nodul indolen
atau abses yang kemudian menjadi ulkus. Dindingnya menggaung, meluas
disertai jaringan nekrotik, dan gambaran klinisnya mirip ulkus tropikum. Mula-
mula lesi yang timbul soliter, keras, tidak terasa adanya nyeri, nodul
subkutaneus, yang kemudian menjadi ulkus. Predileksi dari ulkus ini adalah di
ekstremitas. Ulkus dapat menjadi sangat luas, mengenai otot dan tendon dan
menganggu gerak sendi. Meskipun ulkusnya luas, tidak disertai gejala umum
dan pembesaran kelenjar getah bening.
Ulkus dapat mencapai ukuran diameter beberapa sentimeter dalam
jangka waktu beberapa minggu. Dasar dari ulkus dibentuk oleh lemak yang
nekrosis, dan discharge berupa cairan mukoid jernih tanpa disertai rasa nyeri.
Ulkus biasanya hanya satu. Lesi yang luas dikelilingi oleh banyak undurasi.
Ulkus dapat tumbuh dengan diameter lebih dari 25 sentimeter. Nekrosis dapat
mencapai otot ataupun tulang. Adanya fibrosis dan kalsifikasi bersamaan dengan
usaha penyembuhan oleh tubuh akan mengakibatkan timbulnya kontraktur dan
deformitas berat. Tapi sayangnya, karena ulkus ini tidak terasa nyeri dan
kebanyakan pasien berada di daerah yang jauh, maka pasien merasa tidak
memerlukan pengobatan sampai kerusakan yang ditimbulkan pada tubuh sangat
besar. Keterlambatan menangani penyakit ini akan mengakibatkan amputasi,
kontraktur sendi dan kematian akibat tetanus dan sepsis.
Histopatologi
Dari histologinya akan terlihat adanya reaksi inflamasi campuran disertai
dengan timbulnya hiperkeratosis. Adanya nekrosis pada bagian sentral, terutama
di daerah septa dari lemak subkutan yang dikelilingi oleh jaringan granulasi
dengan adanya giant cells, tetapi bukan xerosis yang menyerupai tuberkel.
Diagnosis dan differensial diagnosis
Diagnosa.
Pada daerah yang epidemik, maka diagnosis penyakit ini harus dijadikan
prioritas pertama. Bagaimanapun juga biopsi dan kultur dari nodul atau ulkus di
daerah subkutan harus dilakukan untuk menegakkan diagnosis walaupun
dibutuhkan waktu 6-8 minggu untuk pembiakannya.
Differensial diagnosis
Tergantung dari stage penyakitnya. Nodul yang berada di daerah
subkutan harus disingkirkan dengan granuloma karena benda asing,
phykomiksis, panikulitis, vaskulitis noduler, kista sebasea, atau tumor. Untuk
yang telah mencapai stage tumbuhnya ulkus, perlu dipertimbangkan selulitis
nekrostik, blastomikosis, infeksi jamur profunda lainnya, pyoderma
gangrenosum serta pannikulitis supurativa.
Pengobatan
Masa penyembuhannya berkisar antara 6-9 bulan. Terapi pilihan adalah
eksisi dari lesi awal, jika telah timbul ulkus, maka harus dilakukan eksisi luas
disertai dengan skin graft. Terapi panas, oksigen hiperbarik, dan pengobatan
menggunakan rifampisin dan trimetoprin-sulfamethoksazole juga dapat
dilakukan. Vaksinasi BCG pada populasi yang rentan akan menunjukkan
keberhasilan yang sama seperti halnya tuberkulosis dan tuberkuloid leprosy.
Setelah beberapa bulan penyembuhan terjadi disertai dengan reaksi limfositik
atau granulomatosa.
Lesi harus diobati dengan tindakan pembedahan karena antibiotik
kebanyakan tidak memberikan respon terhadap penyakit ini. Beberapa obat
dianggap dapat mencegah rekurensi dan metastase dari kuman ini termasuk
klaritromisin, rifampisin, siprofloksasin, dan sparfloksasin.
4. GOLONGAN IV
M. fortuitum, M. chelonae dan M. abscessus
Epidemiologi
Organisme ini bersidat saprofit dan dapat ditemukan di air, tanah, debu dan
hewan. Pada kulit dapat bersifat komensal. Prevalensi untuk menginfeksi kulit
sangatlah kecil. Infeksi biasa timbul akibat trauma sebelumnya, kontak dengan
hewan, atau kontak dengan alat-alat yang terkontaminasi.
M. fortuitum pernah diisolasikan dari abses karena suntikan. Sejak itu sering
dilaporkan di Amerika sebagai abses subkutan sesudah trauma suntikan. Pernah
pula diisolasikan dari ulkus kronik.
M. fortuitum, M. chelonae dan M. abscessus mempunyai masa pertumbuhan
yang sangat singkat, semua biasanya hidup secara berkelompok dan sifatnya
fakultatif. Kontaminasi bukan hanya pada pada air maupun tanah, tapi dapat juga
pada berbagai macam material, termasuk alat-alat bedah dan tidak selalu
menimbulkan gejala klinis.
Manifestasi klinik
Ketiga organisme ini menimbulkan manifestasi klinis yang sama. Infeksi
biasanya mengikuti letak luka. Pada tempat inokulasi kuman akan terlihat adanya
infiltrat berwarna merah dan sangat nyeri, tidak ditemukan gejala lain. Lesi akan
tampak sebagai suatu nodul infiltratif yang berwarna merah gelap, sering disertai
dengan adanya absess dan keluarnya cairan bening. Bentuk lesi kulit ini cukup
bervariasi mulai dari selulitis, abses dan nodul sampai terbentuk ulkus yang disertai
dengan discharge serosanguineous atau purulenta. Manifestasi lain dari penyakit ini
termasuk pneumonitis atau osteomyelitis, limfadenitis dan endokarditis post
operasi.
Histopatologi
Lesi akan tampak dengan adanya leukosit polimorfonuklear pada
mikroabses dan granuloma dengan sel asing tipe giant cell sehingga disebut dengan
respon inflamasi dimorfik. Akan tampak adanya nekrosis. Basil tahan asam
biasanya ditemukan pada mikroabses.
Dignosa dan pengobatan
Sama seperti kuman lainnya, diagnosa baru didapatkan dari pemeriksaan
laboratorium. Biasanya akan terlihat adanya abses dingin yang “tidak biasa” yang
disertai dengan adanya reaksi benda asing, mikosis dalam, atau berbagai bentuk
osteomielitis.
Pengobatan
M. fortuitum lebih berespon dengan amikasin, sefoksitin, siprofloksasin,
dan imipenem. M. abscessus sensitif terhadap amikasin, sefoksitin, dan
klarithromisin. M. chelonae justru resisten terhadap sefoksitin dan tobramisin lebih
efektif dari amikasin.
BAB III
DIAGNOSIS DAN PENGOBATAN
3.1 Diagnosis
Diagnosis pada tuberculosis kutis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis,
gambaran klinis dan ditunjang oleh pemeriksaan histopatologi dan pemeriksaan
bakteriologik.
1. Pemeriksaan bakteriologik
Pemeriksaan bakteriologik penting untuk mengetahui penyebabnya.
Pemeriksaan bakteriologik menggunakan bahan berupa pus. Pemeriksaan
bakteriologik yang dapat dilakukan antara lain pemeriksaan BTA, kultur dan
PCR. Pemeriksaan BTA dengan menggunakan pewarnaan Ziehl Neelson
mendeteksi kurang lebih 10.000 basil per mL. Pada pemeriksaan PCR
(Polymerase Chain Reaction) dapat juga digunakan untuk mendeteksi M.
tuberculosis. Pemeriksaan kultur menggunakan medium non sekeltif (Lowenstein-
Jensen), tetapi hasilnya memerlukan waktu yang lama karena M. tuberculosis
butuh waktu 3 – 4 minggu untuk berkembang biak.
2. Pemeriksaan Histopatologi
Pemeriksaan histopatologi penting untuk menegakkan diagnosis. Pada
gambaran histopatologi tampak radang kronik dan jaringan nekrotik mulai dari
lapisan dermis sampai subkutis tempat ulkus terbentuk. Jaringan yang mengalami
nekrosis kaseosa oleh sel – sel epitel dan sel – sel Datia Langhan’s.
3. Tes Tuberkulin (Tes Mantoux)
Diagnosis pasti tuberculosis kutis tidak dapat ditegakkan berdasarkan tes
tuberculin yang positif karena tes ini hanya menunjukkan bahwa penderita pernah
terinfeksi tuberculosis tetapi tidak dapat membedakan apakah infeksi tersebut
masih berlangsung aktif atau telah berlalu.
4. LED
Pada tuberkulosis kutis, LED mengalami peningkatan tetapi LED ini lebih
penting untuk pengamatan obat daripada untuk membantu menegakkan diagnosis.
3.2 Pengobatan
Terapi dengan obat antituberkulosis
Prinsip Pengobatan dan tuberkulosis kutis sama dengan pengobatan
tuberkulosis paru. Untuk mencapai hasil yang baik hendakknya diperhatikan syarat
sebagai berikut :
a. Pengobatan harus dilakukan secara teratur tanpa terputus agar tidak terjadi
resistensi.
b. Pengobatan harus dalam kombinasi, dan dalam kombinasi, dan dalam
kombinasi tersebut disertakan INH karena obat tersebut bersifat bakterisidal.
c. Keadaan umum diperbaiki.
Obat antituberkulosis ada 2 macam, bersifat bakterisidal dan bakteriostatik.
Obat yang bakterisidal adalah INH, rifampisin, pirazinamid, dan streptomisin,
sedangkan lainnya bersifat bakteriostatik. Rifampisin dan isoniazid disebut bersifat
bakterisidal lengkap karena obat tersebut dapat memasuki seluruh populasi kuman,
sedangkan pirazinamid dan streptomisin hanya dapat memasuki seluruh populasi
kuman, sedangkan pirazinamid dan streptomisin hanya dapat bekerja dalam
lingkungan tertentu, pirazinamid bekerja dalam lingkungan asam sedangkan
streptomisin hanya bekerja dalam lingkungan basa.
Pada pengobatan tuberkulosis terdapat 2 tahapan yaitu tahapan awal
(intensif) dan tahapan lanjutan. Tujuan tahapan awal adalah untuk membunuh
kuman yang aktif membelah sebanyak-banyaknya dan secepat-cepatnya dengan
obat yang bersifat bakterisidal. Tahapan lanjutan adalah melalui kegiatan
sterilisasai membunuh kuman yang tumbuh lambat.
Selama fase intensif biasanya terdiri dari 4 obat, terjadi pengurangan jumlah
kuman disertai perbaikan klinis. Pasien yang infeksi menjadi noninfeksi dalam
waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien dengan sputum BTA positif akan menjadi
negatif dalam waktu 2 bulan.
Selama fase lanjutan diperlukan lebih sedikit obat, tapi dalam waktu yang
lebih panjang. Efek sterilisasi obat untuk membersikan sisa-sisa kuman dan
kekambuhan. Pada pasien dengan sputum BTA positif ada resiko terjadinya
resistensi selektif. Penggunaan 4 obat selama fase awal dan 2 obat selama fase
lanjutan akan mengurangi resiko terjadinya resistensi selektif karena jumlah bakteri
dalam lesi relatif sedikit. Pengobatan awal dengan 3 obat dan fase lanjutan dengan
2 obat untuk fase lanjutan biasanya sudah memadai. Pada pasien yang sudah diobati
ada resiko terjadinya resistensi.
Panduan pengobatan ulang terdiri dari 5 obat untuk fase awal dan 3 obat
untuk fase lanjutan. Selama fase awal sekurang-kurangnya 2 diantara obat yang
diberikan haruslah yang masih selektif. Pengobatan standar dengan INH,
Rifampisin dan Pirazinamid dapat diberikan pada wanita hamil dan menyusui,
dianjurkan pemberian piridoksin. Streptomisin tidak boleh diberikan.
Pada TBC ekstra paru dapat diberikan pengobatan TBC kategori 1 yaitu (2
HRZE/4 HR). Fase awal diberikan selama 2 bulan yaitu INH 5 mg/kgBB,
Rifampisin 10mg/kgBB, Pirazinamid 35 mg/kgBB dan etambutol 15mg/kgBB.
Diikuti fase lanjutan selama 4 bulan dengan INH dan Rifampisin untuk tuberkulosis
paru dan ektra paru. Etambutol dapat diberikan pada pasien dengan tuberkulosis
paru dan ekstra paru. Etambutol dapat diberikan pada pasien dengan resistensi
terhadap INH.
Beberapa regimen lain dapat diberikan misalnya kombinasi 3 obat INH,
Rifampisin dan pirazinamid. Setelah 2 bulan pirazinamid dihentikan dan obat lain
diteruskan, regimen ini sangat poten. Karena ketiga obat tersebut bersifat
hepatotoksik, maka sebelum pengobatan dimulai diperiksa dulu fungsi hepar
(SGOT,SGPT, dan fosfatase alkali). Dua minggu sesudah terapi diulangi, biasanya
meninggi. Bila tetap atau menurun pengobatan dilanjutkan. Akan tetapi jika
meningkat, pirazinamid dihentikan dan rifampisin diberikan selama 2 kali dengan
dosis 600mg setiap kali pemberian. Regimen lain adalah kombinasi antara INH dan
rifampisin dan etambutol yang diberikan selama 2 bulan, dilanjutkan dengan INH
dan rifampisin.
Untuk mikobakterium atipikal seperti M.Scofuloceum, selain obat-obatan
yang telah disebutkan dapat diberikan inosiklin 2x100mg, tetrasiklin atau
eritromisin 4 atau 3 kali 500mg. Doksisiklin 2x100mg, kotrimoksasol dan
rifampisin digabung dengan INH serta amikasin.
Pengobatan pada anak dapat dibedakan berdasarkan kelompok klinis. Pada
anak dari segala usia yang tidak menunjukkan gejala penyakit dan diketahui telah
mempunyai infeksi tuberkulosis primer, tujuan pengobatan adalah menyingkirkan
penyebaran lesi dan membunuh kuman pada fokus primer serta kelenjar getah
bening yang terkait dengan kompleks primer.
Pengobatan terdiri dari Isoniasid 5mg/kgBB 1x sehari selama minimal 6
bulan. Mungkin dapat juga ditemukan anak tanpa tanda penyakit akan tetapi reaksi
tuberkulin positif kuat kebanyakan anak tersebut terkena infeksi primer dibawah
usia 5 tahun, kebanyakan para ahli berpendapat untuk mengobati dengan INH saja,
sehingga resiko penularan melalui darah lebih kecil.
Anak dengan penyakit paru atau tuberkulosis ekstra pulmonal seperti
tuberkulosis tulang atau sendi diobati dengan memberikan regimen selama 6 bulan
dengan INH, Rifampisin dan Pirazinamid selama 2 bulan pertama. Berikan obat
tersebut dalam doisi tunggal setiap hari sebelum makan.
Terapi Pembedahan
Pengobatan bedah pada tuberculosis kutis adalah terbatas. Lesi
hyperkeratosis dan verrukosa seperti lupus vulgaris dan tuberculosis verukosa kutis
diterapi dengan electrosurgery, cryosurgery, dan kuretase dengan electrodesiccation
sebagai terapi tambahan dan terapi farmakologi sebagai terapi primer.
Pada kasus Scrofuloderma dengan melakukan eksisi kelenjar getah bening
akan tetapi perlu dilakukan pemeriksaan yang teliti sebelumnnya untuk melihat
adanya keganasan. Tindakan eksisi pada keganasan dapat memperburuk penyakit.
Terapi pembedahan pada Scrofuloderma diindikasikan untuk kasus-kasus :
1. Terapi dengan antituberkulosa gagal.
2. Penderita scrofuloderma disertai penurunan kekebalan tubuh.
3. Penderita scrofuloderma berulang.
4. Penderita scrofuloderma disertai dengan penyakit lain yang berat.
5. Penderita scrofuloderma yang mengenai anak-anak
Terapi Non Medika Mentosa
Edukasi yang perlu disampaikan kepada pasien :
1. Bahwa pengobatan penyakit ini dalam jangka waktu lama, dan kemungkinan
efek samping dari pengobatan.
2. Pasien dianjurkan untuk minum obat secara teratur dan kontrol teratur setiap
bulan jika obat habis selama jangka waktu pengobatan
3. Menjaga hygene peroral.
Penatalaksanaan Tuberculosis dengan kondisi penyerta lain
1. Penyakit Hepar
Tidak terdapat perubahan dosis terapi pada pasien dengan penyakit hepar,
kecuali penyakit hepar tersebut disebabkan oleh obat-obatan tuberculosis yang
diberikan. Beberapa penulis menyarankan untuk menghindari pemakaian
pirazinamid pada pasien dengan penyakir hepar, karena pirazinamid menjadi
penyebab tertinggi terhadap kejadian hepatitis yang distimulasi obat. Beberapa
penulis juga menyarankan untuk dilakukan pengetesan fungsi hepar sebagai
monitor pada penatalaksanaannya.
2. Kehamilan
Kehamilan sendiri bukan menjadi factor yang memperberat tuberculosis itu
sendiri. Rifampisin akan membuat fungsi kontrasepsi hormonal lebih rendah, jadi
perlu diberitahukan pada seseorang yang menjalani pengaturan kehamilan selama
terapi obat-obatan tuberculosis.
Tuberculosis dengan kehamilan yang tidak menjalani terapi akan
meningkatkan kejadian abortus dan kejadian fetal abnormality. US guidelines
merekomendasikan batasan pemakaian pirazinamid pada terapi tuberculosis dengan
kehamilan, sedangkan UK guidelines dan WHO tidak ada perekomendasian
terhadap pemakaian pirazinamid. pemakaian pirazinamid pernah dilaporkan
mengenai kejadian toksisitasnya. Pemakaian rifampicin dengan dosis tinggi juga
dapat menyebabkan kejadian defek pada tabes neural pada hewan. Obat-obatan
tersebut juga dapat memicu kejadian hepatitis pada pasien dengan kehamilan dan
pada masa nifas. Hal yang dapat diberitahukan pada pasien adalah sebaiknya
menunda kehamilan hingga terapi tuberculosis telah komplit dilakukan.
3. Penyakit Ginjal
Pasien dengan gangguan ginjal 10-30% akan meningkatkan resiko untuk
mendapatkan tuberculosis. Pasien dengan penyakit ginjal yang mendapat terapi
imunosupresif atau yang akan dilakukan transplantasi harus dipertimbangkan
untuk mendapat terapi untuk tuberculosis laten.
Aminoglikosida (STM, kapreomisin dan amikasin) harus dihindari pada
pasien dengan gangguan ginjal ringan sampai berat karena meningkatkan resiko
kerusakan pada ginjal. Jika penggunaan aminoglikosida tidak bisa dihindari
(misalnya pada pengobatan tb yang resisten obat) maka kadar dalam serum harus
diawasi secara ketat dan pasien diminta untuk melaporkan setiap efek samping
yang terjadi. Pasien dengan gagal ginjal stadium akhir dan ginjal yang tersisa sudah
tidak memiliki fungsi lagi, aminoglikosida bisa digunakan tapi dengan syarat kadar
obat dapat dengan mudah dimonitor (seringkali hanya kadar amikasin yang dapat
diukur).
Jika gangguan ginjal ringan, tidak ada perubahan pada dosis obat-obatan
lain yang digunakan rutin pada terapi tb. Pada insufisiensi ginjal yang berat (GFR
<30), penggunaan terapi EMb diberikan dengan dosis setengahnya (atau dihindari
sekaligus). Dosis PZA 20 mg/kg/hari (rekomendasi di Inggris) atau ¾ dosis normal
(rekomendasi USA), tapi evidence yang ada tidak banyak untuk mendukung data
ini.
Apabila 2HRZ/4HR digunakan pada pasien dengan dialysis, obat harus
diberikan tiap hari selama awal high-intensity phase. Pada fase lanjutan, obat
diberikan pada akhir setiap sesi hemodialisis dan obat tidak diberikan pada hari non
dialysis.
4. HIV
Pada pasien dengan HIV , terapi HIV akan ditunda hingga terapi untuk
Tuberculosis terselesaikan. Panduan penatalaksanaan berdasarkan British
Association adalah :
1. Jika CD +4 lebih dari 200 : terapi HIV ditunda hingga terapi terhadap Tb
terselesaikan (6 Bulan)
2. Jika CD +4 100-200 : terapi HIV ditunda hingga 2 bulan terapi terhadap
tuberculosis terselesaikan.
3. CD +4 < 100 : pada keadaan ini menjadi tidak begitu jelas dan
penatalaksanaan masih menjadi pertanyaan besar.
Jika penatalaksanaan HIV harus segera dilakukan dan pada saat tersebut
pasien masih menjalani terapi terhadap Tuberculosis, secara umum tidak terdapat
terdapat interaksi secara signifikan antara obat untuk terapi HIV dan tuberculosis.
Nevirapin sebaiknya tidak digunakan bersama rifampisin. Efavirenz mungkin dapat
digunakan, tetapi dosis harus berdasarkan berat badan pasien (600 mg perhari jika
berat badan kurang dari 50 kg ; jika berat badan > 50 kg 800 mg/hari).
Level efavirens harus di lakukan pengecekan awal akan dilakukannya terapi.
Protease inhibitor seharusnya dicegah sebisa mungkin, pasien dengan pengobatan
rifampisin dan protease inhibitor dapat meningkatkan resiko kegagalan terapi
ataupun kekambuhan. WHO menghimbau untuk tidak menggunakan Thioacetazone
pada pasien HIV, karena 23% mampu meningkatkan resiko kejadian dermatitis
eksfoliata.
5. Epilepsy
Penggunaan Isoniazid dihubungkan dengan peningkatan resiko terhadap
kejadian kejang. Piridoksin 10 mg/hari harus diberikan terhadap kejadian semua
epilepsy yang sedang mendapatkan terapi isoniazid. Tidak terdapat bukti yang
nyata bahwa isoniazid mampu mengakibatkan kejadian kejang pada pasien.
Terapi terhadap tuberculosis mampu berinteraksi dengan obat-obatan anti
epilepsy dan mampu meningkatkan kadar obat dalam serum. Terdapat suatu
interaksi yang serius antara rifampisin dan carbamazepin, rifampisin dan phenitoin,
dan rifampisin dengan asam valproat.
Prognosis
Pada umumnya selama pengobatan memenuhi syarat seperti yang telah
disebutkan, Prognosisnya baik.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Tuberkulosis kutis adalah penyakit infeksi granulomatosa kronis yang
disebabkan oleh basil Mycobacterium tuberculosis. Sifat dari kuman ini adalah
aerob dan tahan asam. Tuberkulosis kutis ini umumnya menyerang orang-orang
yang mempunyai imunitas rendah. Kuman ini dapat menginfeksi dengan 6 cara
baik itu langsung melalui kulit ataupun penjalaran melalui organ tubuh lainnya.
Klasifikasinya dapat dibedakan menjadi tuberkulosis sejati dan tuberkuloid, dimana
tuberkulosis sejati ada yang primer dan sekunder, sedangkan jenis dari tuberkuloid
ada yang dalam bentuk granuloma dan ulseronodulus. Pada umumnya, gambaran
dari TB kutis ini adalah pada epidermisnya tampak adanya hiperkeratosis dan
akantosis. Diagnosis tuberkulosis kutis ini berdasarkan atas anamnesa riwayat TB,
pemeriksaan klinik umum, dan dermatologi. Diperlukan juga pemeriksaan BTA
dan kultur. Formula untuk pengobatan TB kulit ini adalah 2 HRZE. Prognosis dari
penyakit ini baik apabila pasien bersedia menjalani terapi tanpa putus obat dan
dengan tetap menjaga kebersihan badan dan lingkungan sekitarnya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Djuanda, Adhi, Tuberkulosis kutis, Dalam Djuanda, Adhi., Ilmu Penyakit Kulit
dan Kelamin. FK UI. Jakarta. 2005. Pages: 64-72
2. Kerdel F.A., Jimenez-Acosta A., Dermatology: Just the fact. USA: McGraw-Hill
Inc. 2003. Pages: 85-86
3. Siregar R.S., Atlas berwarna saripati penyakit kulit, edisi kedua. Jakarta: EGC.
2005. Pages: 173-179
4. Arnold, Harry,L., Odom, Richard,B., James, William,D. Andrew’s DiseaseOf
The Skin. Clinical Dermatology 8th ed. Philadelphia. W.B.Saunders Co. 1990.
Pages: 375-384
5. Fitzpatrick, Thomas,B., Johnson,Richard, Alen., Wollf, Klaus., Polano,
Machiel,K., Suurmanol, Dick. Color Atlas Synopsis Of Clinical Dermatology.
Common And Serious Disease 3rd ed. USA. McGraw Hill Co. 1997. Pages:
664-668
6. AN. Mycobacterial Skin Infections Tuberculosis of The Skin.
http://www.drmhijazy.com/english/chapters/chapter07.htm#54
7. Olawunmi A. Fatusi, Olaniyi Onayemi, Kehinde E. Adebiyi, Victor A.
Adetiloye, Foluso J. Owotade, Olumayowa A. Oninla. Tuberkulosis Cutis
Orificialis (TBCO)/Lupus Vulgaris (LV): Simultaneous Occurrence And Review
Of The Literature. The Internet Journal of Infectious Diseases. 2005. Volume 4
Number 2
8. Lebwohl M.G., Heymann W.R., Berth-Jones J., Coulson I., Treatment of Skin
Disease: Comprehensive and Theraupetic Strategis. USA: Mosby Inc. 2002.
Pages: 640-641
9. Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan.,
Informatorium Obat Nasional Indonesia 2000. Jakarta. 2000. Pages: 234-236