Tb Dan DM Dr Andreas

10
PENATALAKSANAAN TUBERCULOSIS PADA PENDERITA DIABETES MELITUS Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit tertua yang menginfeksi manusia. Penyakit ini menjadi masalah kesehatan di seluruh dunia dan menyebabkan angka kematianyang tinggi. Penyakit ini disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis yang berbentuk batang, tidak membentukspora, bersifat aerob dan tahan asam. TB umumnya terjadi pada paru, tetapi dapat pula menyerang organ lain pada sepertiga kasus. Walaupun telah mendapat pengobatan TB yang efektif, penyakit ini tetap menginfeksi hampir sepertiga populasi dunia, dan setiap tahunnya menimbulkan penyakit pada sekitar 8,8 juta orang, serta membunuh 1,6 juta pasiennya. Indonesia masih menempati posisi ke 5 di dunia untuk jumlah kasus TB. 1-3 Di Indonesia penyakit ini adalah pembunuh nomor satu di antara penyakit menular dan merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit jantung dan penyakit pernapasan akut pada seluruh kalangan usia. Diabetes mellitus (DM) merupakan salah satu faktor risiko paling penting dalam terjadinya perburukan TB. Sejak permulaan

Transcript of Tb Dan DM Dr Andreas

Page 1: Tb Dan DM Dr Andreas

PENATALAKSANAAN TUBERCULOSIS PADA PENDERITA DIABETES

MELITUS

Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit tertua yang menginfeksi manusia. Penyakit

ini menjadi masalah kesehatan di seluruh dunia dan menyebabkan angka kematianyang

tinggi. Penyakit ini disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis yang berbentuk batang,

tidak membentukspora, bersifat aerob dan tahan asam. TB umumnya terjadi pada paru, tetapi

dapat pula menyerang organ lain pada sepertiga kasus. Walaupun telah mendapat pengobatan

TB yang efektif, penyakit ini tetap menginfeksi hampir sepertiga populasi dunia, dan setiap

tahunnya menimbulkan penyakit pada sekitar 8,8 juta orang, serta membunuh 1,6 juta

pasiennya. Indonesia masih menempati posisi ke 5 di dunia untuk jumlah kasus TB. 1-3 Di

Indonesia penyakit ini adalah pembunuh nomor satu di antara penyakit menular dan

merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit jantung dan penyakit pernapasan

akut pada seluruh kalangan usia.

Diabetes mellitus (DM) merupakan salah satu faktor risiko paling penting dalam terjadinya

perburukan TB. Sejak permulaan abad ke 20, para klinisi telah mengamati adanya hubungan

antara DM dengan TB, meskipun masih sulit untuk ditentukan apakah DM yang mendahului

TB atau TB yang menimbulkan manifestasi klinis DM.

Prevalensi TB meningkat seiring dengan peningkatan prevalensi DM. Frekuensi DM pada

pasien TB dilaporkan sekitar 10-15% dan prevalensi penyakit infeksi ini 2-5 kali lebih tinggi

pada pasien diabetes dibandingkan dengan kontrol yang non-diabetes. Dalam studi terbaru di

Taiwan disebutkan bahwa diabetes merupakan komorbid dasar tersering pada pasien TB yang

telah dikonfirmasi dengan kultur, terjadi pada sekitar 21,5% pasien. Menurut penelitian yang

Page 2: Tb Dan DM Dr Andreas

dilakukan oleh Alisjahbana et al di Indonesia pada tahun 2001-2005, DM lebih banyak

ditemukan pada pasien baru TB paru dibandingkan dengan non TB.

Pada sebagian besar pasien diabetes, kehadiran penyakit TB sering tidak diketahui atau

terdiagnosis terlalu lambat. Deteksi dini TB pada penyandang diabetes akan meningkatkan

penyembuhan TB dan pengendalian kedua enyakit. Karena itu semua penderita TB harus

dilakukan skrening untuk kemungkinan juga menderita DM, dan sebaiknya skrening terhadap

TB perlu dipertimbangkan pada penyandang diabetes, terutama pada daerah dengan

prevalensi TB tinggi.

Pada masa belum diterapkannya terapi insulin, sebagian besar pasien DM akan meninggal

karena TB paru bila mereka berhasil bertahan dari koma diabetes. Setelah diperkenalkan

terapi insulin pada tahun 1922, TB masih tetap menjadi ancaman yang serius dan mematikan

pada pasien DM. Namun, dengan pengobatan anti-TB yang efektif, prognosisnya akan jauh

lebih baik.

Penatalaksanaan diabetes melitus (DM) menjadi sulit bila disertai penyakit infeksi, termasuk

tuberkulosis (TB). Seseorang dengan imun yang lemah, akibat penyakit kronis seperti

diabetes melitus, akan beresiko tinggi untuk terjadi perubahan dari TB laten menjadi TB

aktif. Penelitian membuktikan bahwa seorang penyandang diabetes akan mempunyai resiko

2-3 kali lebih tinggi terserang TB dibanding seseorang tanpa diabetes. Sekitar 10% kasus TB

seluruh dunia juga menderita diabetes.

Page 3: Tb Dan DM Dr Andreas

Penyandang diabetes yang juga menderita TB mempunyai resiko kematian lebih tinggi baik

pada saat pengobatan maupun kasus kambuh setelah selesai pengobatan. Karena itu sangat

penting menjaga agar seorang penyandang diabetes tidak sakit TB.

Beberapa hal berikut ini perlu diperhatikan pada pasien Tb paru dengan DM:

1. Panduan OAT (obat anti TB) pada prinsipnya sama dengan TB tanpa DM, dengan

syarat kadar gula darah terkontrol.

2. Apabila kadar gula darah tidak terkontrol, maka lama pengobatan dapat diteruskan

sampai 9 bulan.

3. Hati-hati memberikan terapi etambutol sehubungan efek sampingnya pada mata,

karena penyandang DM juga sering terjadi komplikasi pada mata.

4. Penggunaan rifampisin perlu diperhatikan karena akan mengurangi efektifitas Oad

(sulfonilurea) sehingga dosisnya harus dinaikkan.

5. Pengawasan setelah pengobatan selesai perlu dilakukan untuk mendeteksi dini

terjadinya kekambuhan.

Prinsip pengobatan TB paru pada pasien DM serupa dengan yang bukan pasien DM, dengan

syarat kadar gula darah terkontrol. Prinsip pengobatan dengan obat anti tuberkulosis (OAT)

dibagi menjadi dua fase, yaitu fase intensif yang berlangsung selama 2-3 bulan dan

dilanjutkan dengan fase lanjutan selama 4-6 bulan. Terdapat beberapa hal yang perlu

diperhatikan dalam memberikan pengobatan TB paru pada pasien DM, salah satunya adalah

kontrol kadar gula darah dan efek samping OAT. Obat lini pertama yang biasa digunakan

adalah isoniazid, rifampisin, pirazinamid, etambuto,dan streptomicin.

Page 4: Tb Dan DM Dr Andreas

Efek samping berat yang dapat terjadi berupa hepatitis akibat obat yang timbul pada kurang

lebih 0,5% pasien. Bila terjadi hepatitis akibat obat atau ikterik, OAT yang bersifat

hepatotoksik (isoniazid, rifampisin, dan pirazinamid) dihentikan dan pengobatan TB

dilanjutkan sesuai pedoman pengobatan TB pada keadaan khusus. Obat lini pertama

selanjutnya adalah rifampisin dengan dosis hariannya 8-12 mg/kg BB/hari dan dosis

maksimal 600 mg. Efek samping ringan yang didapat berupa sindrom flu (misalnya demam,

menggigil, nyeri tulang), sindrom perut (sakit perut, mual, tidak nafsu makan, muntah, diare),

dan sindrom kulit (gatal-gatal).

Efek samping berat rifampisin dapat berupa hepatitis imbas obat, sesak nafas, dan bila terjadi

salah satu gejala sepeti purpura, anemia hemolitik, syok, gagal ginjal, maka pengobatan

dengan rifampisin harus segera dihentikan dan tidak diberikan lagi walaupun gejala telah

menghilang. Rifampisin dapat menyebabkan warna merah pada urin, keringat, air mata, air

liur. Hal itu terjadi karena metabolit obat dan hal ini tidak berbahaya. Keadaan yang perlu

diperhatikan ialah pemberian rifampisin pada pasien DM yang menggunakan obat oral

antidiabetes, khususnya sulfonilurea karena dapat mengurangi efektivitas obat tersebut

dengan cara meningkatkan metabolisme sulfonilurea. Sehingga pada pasien DM, pemberian

sulfonilurea harus dengan dosis yang ditingkatkan. Sementara itu, pirazinamid sebagai

antituberkulosis dapat diberikan dengan dosis harian: 20-30 mg/kg BB/hari. Efek samping

utama obat ini ialah hepatitis imbas obat. Dapat pula terjadi nyeri akibat serangan arthritis

gout yang disebabkan oleh penimbunan asam urat. Bila hal ini terjadi maka perlu dimonitor

karena bila kadar asam urat terlalu tinggi mungkin obat perlu diganti. Dapat juga terjadi

demam, mual, kemerahan dan reaksi kulit yang lain.

Page 5: Tb Dan DM Dr Andreas

Etambutol diberikan pada pasien TB dengan dosis harian 15-20 mg/kg BB/hari.

Antituberkulosis ini dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa berkurangnya

ketajaman, serta buta warna hijau dan merah. Gangguan penglihatan akan kembali normal

beberapa minggu setelah obat dihentikan. Penggunaan etambutol pada pasien DM harus hati-

hati karena efek sampingnya terhadap mata, padahal pasien DM sering mengalami

komplikasi penyakit berupa kelainan pada mata.

Streptomisin sebagai antituberkulosis diberikan pada dosis harian 15-18 mg/kg BB/hari dan

dengan dosis maksimal: 1000 mg. Efek samping utama adalah kerusakan nervus VIII yang

berkaitan dengan keseimbangan dan pendengaran.Gejalanya adalah telinga mendenging,

vertigo, dan kehilangan keseimbangan. Keadaan ini dapat dipulihkan bila obat segera

dihentikan atau dosisnya dikurangi 25 mg dari dosis total yang diberikan. Jika pengobatan

streptomisin diteruskan maka kerusakan alat keseimbangan makin parah dan akan menetap

(kehilangan keseimbangan dan tuli). Efek samping ringan lainnya yang dapat terjadi demam,

sakit kepala, muntah, eritema pada kulit, dan kesemutan sekitar mulut.

Berbagai bukti yang ada saat ini menunjukkan bahwa efikasi rifampisin tergantung pada

paparan terhadap obat dan konsentrasi maksimum obat yang dapat dicapai. Kadar plasma

rifampisin pada pasien TB dengan DM hanya 50% dari kadar rifampisin pasien TB tanpa

DM. Begitu pula pasien TB dengan DM, konsentrasi plasma maksimal rifampisin di atas

target (8 mg/L) hanya ditemukan pada 6% pasien, sedangkan pada yang bukan DM

ditemukan pada 47% pasien. Hal ini mungkin dapat menjelaskan respon pengobatan yang

lebih rendah pada pasien TB dengan DM. Namun, studi tambahan lain yang menjelaskan

respon pengetahun lebih rendah pada TB dengan DM ini tetap diperlukan. Untuk mengontrol

kadar gula darah dilakukan pengobatan sesuai standar pengobatan DM yang dimulai dengan

Page 6: Tb Dan DM Dr Andreas

terapi gizi medis dan latihan jasmani selama beberapa waktu. Bila kadar glukosa darah belum

mencapai sasaran, dilakukan intervensi farmakologis dengan obat oral anti diabetes dan atau

dengan suntikan insulin. Namun dalam pemberian obat oral anti diabetes pada kasus ini harus

diperhatikan adanya interaksi dengan obat anti tuberkulosis.

Page 7: Tb Dan DM Dr Andreas

DAFTAR PUSTAKA

Cahyadi A.,Venty. 2011. Tuberkulosis Paru pada Pasien Diabetes Mellitus. J Indon Med Assoc,61(4):173-178.

Dooley KE, Tang T, Golub JE, Dorman SE, Cronin W. 2009. Impact of diabetes mellitus on treatment outcomes of patients with active tuberculosis. Am J Trop Med Hyg, 80(4):634-9.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2006. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.

Raviglione MC, O’Brien RJ. Tuberculosis. Dalam: Fauci AS, Braunwald E, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, et al. penyunting. Harrison’s Principles of Internal Medicine. Edisi ke-17. USA: The McGraw-Hill Companies, Inc.; 2008.h.1006-20.

Wang CS, Yang CJ, Chen HC, Chuang SH, Chong IW, Hwang JJ,et al. 2009. Impact of type 2 diabetes on manifestations and treatment outcome of pulmonary tuberculosis. Epidemiol Infect,137:203-10.