Tarekat Sammaniyah
-
Upload
irfan-noor-mhum -
Category
Documents
-
view
2.312 -
download
20
Transcript of Tarekat Sammaniyah
MELACAK VISI TRANSFORMATIFTAREKAT SAMMÂNIYYAH
DI KALIMANTAN SELATAN
Pengantar Redaksi :
Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan (LK-3) bekerja sama dengan Tabloid Serambi Ummah Banjarmasin Post selama tahun 2001 setiap bulannya telah menyelenggarakan kajian intensif tentang fenomena gerakan tarekat Sammâniyyah di Kalimantan Selatan. Kajian ini terbagi kepada beberapa sub-tema yang meliputi: kajian tentang asal-usul, tokoh-tokoh penyebar, Ajaran, dan Pengaruhnya di Masyarakat Banjar. Adapun kajian yang ingin diturunkan dalam laporan rubrik Diskusi Ahli Jurnal Kebudayaan KANDIL edisi 4 ini menyangkut persoalan hubungan tarekat Sammâniyyah dengan transformasi sosial masyarakat Banjar. Ada tiga pembicara yang secara khusus menjadi narasumber utama dalam mendiskusikan masalah ini, yakni : Prof. Dr. HM. Zurkani Jahja, DR. A. Athailah, dan Drs. Wahyudin, M.Si. Berikut laporan intisari diskusi yang diolah oleh Irfan, M.Hum selama berlangsungnya diskusi tersebut.
Istilah tarekat diambil dari bahasa Arab, tharîqah yang berarti “jalan” atau “metode”.
Tarekat, dalam terminologi sufistik, adalah jalan atau metode khusus untuk mencapai tujuan
spiritual. Dalam sejarah tasawuf, konsep ini telah muncul dalam perkembangan tasawuf abad
ke-3 dan 4 H. Namun demikian, konsep ini pada abad tersebut lebih bermakna “seperangkat
etika dan moral yang menjadi pegangan aliran para sufi”. Sementara konsep tarekat yang
digunakan sekarang ini mengacu pada pengertian “tarekat” yang merujuk pada pelbagai
tarekat besar yang muncul pada sekitar abad ke-6 dan 7 H (12 atau 13 M), khususnya sejak
al-Ghazâlî berhasil merumuskan konsep tasawuf-Sunni atau tashawwuf-‘amalî; sebuah antitesis
dari perkembangan sebelumnya, tashawwuf-falsafî.
Sementara istilah Sammâniyyah mengacu pada sebuah nama tarekat yang merupakan
hasil rumusan atau formulasi Syekh Muhammad ‘Abd al-Kârim al-Sammân. Syekh yang
dilahirkan di Madinah pada tahun 1719 ini menggabungkan metode-metode dan bacaan-
bacaan berbagai tarekat, seperti Khalwâtiyyah, Qâdiriyyah, Naqsabandiyyah, ‘Adiliyyah, dan
Syâdziliyyah, dalam paduan yang khas dan berdiri sendiri. Oleh karena itulah, walaupun
tarekat ini secara formal merupakan salah satu cabang dari tarekat Khalwâtiyyah, namun ia
telah menjadi sebuah tarekat tersendiri. Perpaduan ini kemudian dikenal dengan nama tarekat
Sammâniyyah, yang banyak disinyalir oleh para ahli sebagai tarekat pertama yang
memperoleh banyak pengikut di Asia Tenggara
Sammâniyyah, sebagai tarekat, mulai tersebar di Indonesia pada penghujung abad
ke-18 M. Adapun keberadaan tarekat ini di Kalimantan Selatan tidak bisa dilepaskan dari
keberadaan dua ulama besar generasi pertama masyarakat Banjar, yaitu Syekh Muhammad
Arsyad al-Banjârî dan Syekh Muhammad Nafîs al-Banjârî. Ada dua versi pendapat tentang
siapa pembawa tarekat yang tengah marak di masyarakat Banjar saat ini. Versi pertama
menyebutkan Syekh Arsyad-lah yang paling bertanggung jawab atas tersebarnya tarekat ini di
Kalimantan Selatan melalui karyanya Kanz al-Ma’rifah dan Qasidah pujian Syekh Sammân.
Sementara versi kedua menyebutkan Syekh Nafîs-lah sebagai pembawa tarekat ini atas dasar
pengidentifikasian diri kepada tarekat ini dalam karyanya ad-Durr an-Nafîs.
Terlepas dari siapa yang paling bertanggung jawab atas tersebarnya tarekat ini di
Kalimantan Selatan, maraknya kembali tarekat Sammâniyyah ini akhir-akhir ini di daerah ini
memang tidak bisa diragukan lagi berkat jasa dari KH. Muhammad Zaini Abdul Ghanî.
Lewat Mejelis Pengajian ar-Rawdlah yang diselenggarakan tokoh yang dikenal dengan sebutan
Guru Ijai ini di komplek Sekumpul Martapura, tarekat ini bisa dikatakan sebagai tarekat
terbesar di Kalimantan Selatan khususnya, dan Kalimantan umumnya, saat ini. Menariknya,
Guru Ijai ini merupakan keturunan dari Syekh Arsyad yang mendapatkan ajaran tarekat ini
lewat KH. Sarwani Abdan dari Bangil Jawa Timur, yang juga merupakan keturunan Syekh
Arsyad paling terkenal.
Begitu populernya tarekat Sammâniyyah ini di Kalimantan Selatan saat ini hingga
setiap tahunnya, tepatnya 2 Dzul Hijjah, komplek Sekumpul Martapura tempat
dilangsungkannya pengajian Guru Ijai berubah menjadi pusat berkumpulnya ratusan ribu
umat Islam dari berbagai penjuru wilayah untuk mengikuti upacara haul Syekh Muhammad
‘Abd al-Kârim al-Sammân. Begitu juga, ribuan jamâ’ah tarekat Sammâniyyah yang begitu
setia selalu mengahadiri Majelis pengajian yang dipimpin oleh Guru Ijai di komplek tersebut
pada hari Kamis dan Ahad setiap minggu. Bahkan, begitu dipujanya Syekh Sammân di
kalangan tertentu masyarakat Banjar hingga tidak asing lagi bagi masyarakat di daerah ini
untuk menyaksikan seringnya dilangsungkan Upacara Pembacaan Manâqib Syekh Sammân
dalam berbagai kesempatan.
Barangkali, tarekat Sammâniyyah adalah tarekat pertama yang memperoleh banyak
pengikut di kalangan masyarakat awam di Kalimantan Selatan yang benar-benar dapat
dimobilisasi. Oleh karena itu, dengan tersebar dan maraknya tarekat ini di kalangan
masyarakat Banjar, maka sudah barang tentu akan memberikan pengaruh yang cukup berarti
bagi masyarakat di kawasan ini. Salah satu bentuk pengaruh tarekat-tarekat tersebut di
kalangan masyarakat Banjar adalah jasanya dalam membangun “sistem sosial organik” yang
cukup kuat. Dengan demikian, seiring dengan proses kolonisasi kawasan ini pada akhir abad
ke-18 oleh penjajah Belanda, maka sistem sosial organik yang dihasilkan dari penyebaran
tarekat tersebut di kawasan ini mampu berperan sebagai “sistem religio-politik” yang
melahirkan gerakan sosial antikolonialisme di berbagai wilayah di kawasan ini.
Tarekat Sammâniyyah, dalam masa Perang Banjar (1859-1905), diduga diamalkan dan
memiliki pengaruh yang kuat di kalangan tertentu masyarakat Banjar, terutama pejuang-
pejuang Perang Banjar. Beberapa peristiwa penting dalam Perang Banjar memperlihatkan
indikasi adanya pengaruh tarekat Sammâniyyah, seperti gerakan “Beratib Beamal”.Bahkan,
sebagaimana yang banyak disinyalir oleh banyak ahli, Perang Banjar terjadi dan mengalami
kematangan ketika seorang guru mulai mengajarkan amalan yang dinamakan “Beratib Beamal”.
Beratib berasal dari kata Arab râtib (jamak: rawatib), artinya dzikir yang diucapkan
sendiri atau dalam kelompok, baik dengan suara keras (dzikir jahar) atau dalam hati (zikir
khafî) dengan tarikan-tarikan napas dan gerakan-gerakan anggota badan tertentu. Sementara
Beamal berarti berbuat hal-hal yang baik atau berdo’a untuk memohon sesuatu. Beratip beamal,
dalam konteks sejarah Perang Banjar, merupakan suatu ritual keagamaan dalam usaha
memohon kekebalan dan keselamatan dalam melawan kolonialisme Belanda.
Ritual beratip beamal ini biasanya dilakukan di Mesjid, dilakukan secara bersama-sama
dan dipimpin oleh seorang elit religius yang kharismatik, yang biasanya merupakan seorang
Penghulu. Mereka melantunkan bersama-sama kalimat dzikir “Lâ ilâha Illa Allâh” sebanyak
12 kali yang masing-masing kalimat dzikir itu dilengkapi dengan kalimat-kalimat dalam
bahasa Banjar yang isinya adalah pujian-pujian dan doa. Kalimat-kalimat dzikir itu mula-mula
dibaca dengan irama rendah namun lama kelamaan meningkat menjadi tinggi, keras berupa
jeritan-jeritan histeris. Badan yang terus-menerus digerakkan untuk melantunkan kalimat-
kalimat tersebut lama kelamaan kehilangan daya rasanya. Dalam kondisi ekstase yang
demikian inilah, mereka berangkat ke medan perang dengan satu keyakinan bahwa Allâh
telah menjadi bagian dari diri mereka sendiri. Di mata mereka, Belanda diasosiasikan sebagai
“orang kafir”.
Bunyi lengkap kalimat dzikir tersebut adalah sebagai berikut:
La ilaha illa Allah, menadah kepada Tuhan, rizki minta murahkan, bahaya minta jauhkan, berumur minta panjangkan, serta iman.
La ilaha illa Allah, tumat di (dari) Mekkah ka Medinah, di situ tampat Rasul Allah. La ilaha illa Allah, tumat di (dari) Mekkah ka Medinah, di situ tampat Siti Fatimah. La ilaha illa Allah, hati yang siddiq, iya maulana, iya Muhammad Rasul Allah. La ilaha illa Allah, hati yang mu’min beit Allah. La ilaha illa Allah, Nabi Muhammad hamba Allah. La ilaha illa Allah, Nabi Muhammad Pesuruh Allah. La ilaha illa Allah, Muhammad Rasul Allah. La ilaha illa Allah, Muhammad sifat Allah. La ilaha illa Allah, Muhammad Aulia Allah. La ilaha illa Allah, maujud hamba Allah. La ilaha illa Allah.
Oleh beberapa ahli disinyalir bahwa kalimat dzikir di atas merupakan suatu varian
amalan tarekat Sammâniyyah.
Dengan demikian, jelas tentunya, ada hubungan yang signifikan antara tarekat dan
perlawanan terhadap Belanda selama Perang Banjar berlangsung. Melalui gerakan Beratib
Beamal yang sangat popular saat itu, Perang Banjar mendapatkan ekskalasinya yang lebih luas
di masyarakat Banjar. Hal demikian lantaran orang-orang yang terlibat di dalam gerakan
Beratip Beamal ini melihat dirinya sebagai suatu wujud manifestasi Tuhan itu sendiri, sehingga
mendorong pengikut gerakan ini untuk berani mati dalam perang.
Diduga pengaruh tarekat dengan metode dzikir tidak hanya dilakukan dalam gerakan
Beratib Beamal, namun secara umum juga dipraktekkan di dalam perlawanan-perlawanan lain
yang terjadi di hampir semua medan Perang Banjar. Dari data sejarah tentang “amuk massal”
besar-besaran antara tahun 1861 dan 1863 di beberapa daerah di Kalimantan Selatan,
perjuangan gigih Penghulu Abdul Rasyid selama kurang lebih enam tahun (1859-1865) di
Tabalong, amuk dua orang penduduk desa dari Bahungin (Kelua) di kamp militer Amuntai
tahun 1869, dan seterusnya perlawanan kecil antara tahun 1864 dan 1899 telah memberikan
suatu asumsi umum tentang perlawanan ini sebagai gerakan tarekat, yang oleh orang-orang
Belanda dijuluki “kaum fanatik”.
Tarekat, dalam konteks ini, besar kemungkinan menjadi metode baru untuk
membangkitkan kembali semangat perang setelah metode mitos rakyat dalam bentuk
gerakan Muning telah kehilangan popularitas di kalangan masyarakat Banjar. Metode baru ini
menjadi instrumen yang kuat dalam perlawanan yang banyak didasarkan atas ideologi
“Perang Sabil”.
Kecenderungan yang diperlihatkan oleh tarekat ini ke arah rekonstruksi sosio-moral
masyarakat selama masa kolonialisme Belanda di daerah Kalimantan Selatan juga ditunjukkan
oleh tarekat ini di daerah Palembang. Adapun tokoh yang sangat berperan dalam penyebaran
tarekat Sammâniyyah ke daerah Palembang ini adalah ‘Abdussamad al-Falimbani. Dalam
menyebarkan tarekat ini di daerah tersebut, al-Falimbani selain menulis karya tasawuf berupa
kitab Siar as-Salikin dan Hidayat as-Salikin juga menulis risâlah tentang jihad berupa Nasihat
al-Muslimîn wa Tadzkirah al-Mu’minîn fî Fadha’il al-Jihad fî Sabil Allâh. Yang lebih menarik lagi,
ia juga telah menulis surat kepada Sultan Mataram (Hamengkubuwono I) dan Susuhunan
Prabu Jaka (Putra Amangkurat IV) yang dapat dianggap sebagai desakan untuk terus berjihad
melawan orang kafir.
Puncak dari keterlibatan tarekat ini dalam memotivasi masyarakat Palembang untuk
melawan setiap bentuk kolonialisme Belanda di Nusantara adalah tahun 1819, dimana orang-
orang Palembang membaca asmâ’ (al-Mâlik, al-Jabbâr), berdzikir dan berâtib dengan suara
keras sampai “fana”. Dalam keadaan tak sadar (“mabuk dzikir”) mereka menyerang tentara
Belanda. Mereka berani mati, mungkin juga merasa kebal dan sakti lantaran amalan tadi, dan
semangat dan keberanian mereka berhasil mengalahkan pasukan Belanda.
Sesuai dengan konteks sosio-historisnya, keberadaan tarekat Sammâniyyah di
Kalimantan Selatan setelah dihidupkannya kembali tarekat ini oleh Guru Ijai di Martapura,
tarekat ini memang tidak lagi digunakan untuk tujuan-tujuan militansi dan radikal. Namun
demikian, sesuai dengan pola gerakan umumnya tarekat yang cenderung membentuk “sistem
sosial organik” bagi para pengikutnya, maka di masa sekarang “sistem sosial organik”
tersebut sering berubah fungsi menjadi sistem jaringan sosial yang banyak diwarnai nilai-nilai
ekonomis.
Salah satu bukti akan perubahan ke nilai-nilai ekonomis ini adalah apa yang
diperlihatkan oleh jama’ah tarekat Sammâniyyah yang dipimpin Guru Ijai di Martapura
Kalimantan Selatan. Sebagai kota penghasil batu-batu mulia, keberadaan jama’ah tarekat ini
setiap minggunya di komplek Sekumpul Martapura sering dimanfaatkan sebagai media
transaksi perdagangan Intan atau Berlian antar jama’ah tersebut. Di sini keberadaan tarekat
Sammâniyyah beserta jama’ahnya sangat berperan sebagai jaringan komunikasi dan
koordinasi antar pedagang yang terlibat dalam kelompok tarekat tersebut. Boleh jadi,
sekiranya ikatan persaudaran dalam bentuk jaringan jama’ah ini bisa dikembangkan dengan
baik tidak menutup kemungkinan akan muncul bentuk-bentuk usaha ekonomi yang bisa
memberi manfaat kepada banyak orang.
Al-hasil, apa yang telah diperlihatkan di atas tampak bahwa tarekat Sammâniyyah
merupakan tarekat yang memiliki kecenderungan yang tinggi ke arah rekonstruksi sosio-
moral masyarakat, bukannya merupakan tarekat yang anti-sosial apalagi anti-dunia []