TANGGUNG JAWAB PT. LINTAS KUMALA ABADI DALAM …
Embed Size (px)
Transcript of TANGGUNG JAWAB PT. LINTAS KUMALA ABADI DALAM …

TANGGUNG JAWAB PT. LINTAS KUMALA ABADI DALAM
KEGIATAN PENGANGKUTAN LAUT
(PUTUSAN PENGADILAN NEGERI JAKARTA BARAT
NO. 642/PDT.G/2011/PN.JKT.BAR.)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
MUHAMMAD FURQONI RAMADHAN
NIM : 1112048000053
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/2019 M

i
TANGGUNG JAWAB PT. LINTAS KUMALA ABADI DALAM
KEGIATAN PENGANGKUTAN DI LAUT
(PUTUSAN PENGADILAN NEGERI JAKARTA BARAT
NO. 642/PDT.G/2011/PN.JKT.BAR.)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
MUHAMMAD FURQONI RAMADHAN
NIM : 1112048000053
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/2019 M

ii
TANGGUNG JAWAB PT. LINTAS KUMALA ABADI DALAM
KEGIATAN PENGANGKUTAN DI LAUT
(PUTUSAN PENGADILAN NEGERI JAKARTA BARAT
NO. 642/PDT.G/2011/PN.JKT.BAR.)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh :
MUHAMMAD FURQONI RAMADHAN
NIM : 1112048000053
Pembimbing:
M. Yasir, S.H., M.H.
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/2019 M

iii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
Skripsi yang berjudul “TANGGUNG JAWAB PT. LINTAS KUMALA ABADI
DALAM KEGIATAN PENGANKUTAN LAUT (PUTUSAN PENGADILAN
NEGERI Jakarta BARAT No. 642/PDT.G/2011/PN.JKT.BAR.)” telah diajukan
dalam siding munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi Ilmu
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 7 Mei
2019 Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Program Strata satu (S-1) pada Program Studi Ilmu Hukum.
Jakarta, Juli 2019
Mengesahkan
Dekan,
Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A.
NIP. 19760807 200312 1 001
PANITIA UJIAN MUNAQASHAH
1. Ketua : Dr. Asep Sarifuddin Hidayat, S.H., M.H. (…….………)
NIP. 196911211994031001
2. Sekretaris : Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. (…….………)
NIP. 196509081995031001
3. Pembimbing : M. Yasir, SH., MH. (…….………)
NIP. 194407091966041003
4. Penguji I : Indra Rahmatullah, SH.I., M.H. (…….………)
NIDN. 2021088601
5. Penguji II : Dra. Ipah Farihah, M.H. (…….………)
NIP. 195908191994032001

iv
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu syarat memperoleh gelar Strata 1 (S1) di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan telah tercantum sesuai dengan ketentuan
yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa skripsi ini bukan karya asli saya atau
siplakan karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku
di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 17 Juli 2019
Muhammad Furqoni Ramadhan

v
ABSTRAK
Muhammad Furqoni Ramadhan. NIM. 1112048000053. TANGGUNG
JAWAB PT. LINTAS KUMALA ABADI DALAM KEGIATAN
PENGANKUTAN LAUT (PUTUSAN PENGADILAN NEGERI Jakarta BARAT
No. 642/PDT.G/2011/PN.JKT.BAR.). Konsentrasi Hukum Bisnis Program Studi
Ilmu Hukum, Fakultas Syari’ah dan Hukum Universtias Islam Negeri Jakarta.
1440 H/2019 M.
Skripsi ini bertujuan untuk menjelaskan Tanggung Jawab PT. Lintas
Kumala Abadi dan mengetahui pihak-pihak dalam perjanjian angkutan laut yang
ditinjau dari UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran dan Kitab Undang-Undang
Hukum Dagang Pasal 307-747 dalam kaitannya dengan sengketa klaim antara PT.
Lintas Kumala Abadi dan PT. Asuransi Central Asia.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian yuridis normatif dengan
melakukan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan, buku-buku dan
kitab-kitab yang berkaitan dengan skripsi ini. Ada tiga bahan hukum yang
digunakan dalam penelitian ini, yaitu bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder dan bahan non-hukum. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan
putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat No. 642/Pdt.G/2011/PN.Jkt.Bar yaitu
sengketa antara PT. Lintas Kumala Abadi sebagai pengangkut barang milik PT.
Indofood Sukses Makmur (Tergugat) melawan PT. Asuransi Central Asia sebagai
penanggung barang yang diasuransikan milik PT. Indofood Sukses Makmur
(Penggugat).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penanggung yang belum
membayarkan ganti kerugian terhadap kerugian yang dialami tertanggung tidak
dapat menuntut hak subrogasi terhadap pihak ketiga yang dalam hal ini
pengangkut. Hal tersebut disimpulkan dari pertimbangan dan putusan hakim pada
putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat No. 642/Pdt.G/2011/PN.Jkt.Bar.
Kata Kunci : Penanggung, Tertanggung dan Subrogasi.
Pembimbing : M. Yasir, S.H., M.H.
Daftar Pustaka : Tahun 1982 sampai 2017.

vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas limpahan Rahmat dan Karunia-Nya,
sehingga penulis dapat merampungkan skripsi dengan judul:Tanggung Jawab PT.
Lintas Kumala Abadi dalam Kegiatan Pengangkutan di Laut (Putusan Pengadilan
Negeri Jakarta Barat Pdt./G/2011/PN.Jkt.Bar). Ini untuk memenuhi salah satu
syarat menyelesaikan studi serta dalam rangka memperoleh gelar Sarjana Hukum
Strata Satu pada Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penghargaan dan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada pihak yang
telah memberikan peranan secara langsung dan tidak langsung atas pencampaian
yang telah dicapai oleh peneliti, yaitu antara lain kepada yang terhormat:
1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A. Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H. Ketua Program Studi Ilmu Hukum
dan Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3. M. Yasir, SH., MH., Pembimbing Skripsi yang telah membantu penulisan
skripsi ini.
4. Pimpinan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi
kepustakaan, sehingga saya dapat memperoleh bahan referensi untuk
melengkapi hasil penelitian saya.
5. General Manager PT. Lintas Kumala Abadi yang telah memberikan informasi
kepada penulis dalam menyeleseaikan karya tulis ini.
6. Teman-teman seperjuangan yang selalu memberikan informasi dan semangat
untuk menyelesaikan karya tulis ini.
Seluruh kerabat yang selalu mendo’akan dan memotivasi penulis untuk
menyelesaikan skripsi ini.

vii
Akhir kata peneliti menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih
jauh dari kesempurnaan. Karena itu, penulis memohon saran dan kritik yang
sifatnya membangun demi kesempurnaannya dan semoga bermanfaat bagi kita
semua. Amiin.
Bekasi, Juli 2019
Peneliti,
Muhammad Furqoni Ramadhan

viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................. ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI .......................... iii
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................... iv
ABSTRAK ..................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ................................................................................... vi
DAFTAR ISI .................................................................................................. viii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ....................................................... 1
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah ............. 4
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................ 5
D. Metode Penelitian ................................................................ 6
E. Sistematika Penulisan .......................................................... 8
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ASURANSI PENGANGKUTAN
BARANG MELALUI LAUT
A. Kerangka Konseptual ............................................................ 10
B. Pengangkutan Barang Melalui Laut ...................................... 12
1. Pengertian Pengangkutan Laut .......................................... 12
2. Perkembangan Angkutan Laut Indonesia ......................... 12
3. Pengaturan Pengangkutan Laut ........................................ 14
4. Resiko yang Dijamin Pada Auransi Laut ......................... 17
C. Kerangka Teori ..................................................................... 21
1. Teori Keadilan .................................................................. 21
2. Teori Kepastian Hukum ................................................... 22
3. Teori Kemanfaatan ........................................................... 22
D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu .................................... 23
BAB III PROFIL PT. LINTAS KUMALA ABADI, PRINSIP
PERJANJIAN ANGKUTAN LAUT, HAK DAN KEWAJIBAN
PARA PIHAK DALAM KEGIATAN PENGANGKUTAN LAUT
A. Gambaran Umum PT. Lintas Kumala Abadi ........................ 24
B. Perjanjian Pengangkutan Laut ............................................... 26
C. Prinsip-prinsip Perjanjian Pengangkutan Laut ...................... 27
D. Hak dan Kewajiban Para Pihak Dalam Kegiatan
Pengangkutan di Laut ............................................................ 34

ix
BAB IV TANGGUNG JAWAB PT. LINTAS KUMALA ABADI DALAM
KEGIATAN PENGANGKUTAN DI LAUT
A. Tanggung Jawab Pengangkut Dalam Kegiatan Pengangkutan di
Laut ....................................................................................... 36
1. Periode Tanggung Jawab Pengangkut ............................ 36
2. Dasar Tanggung Jawab Pengangkut .............................. 38
3. Pembatasan Tanggung Jawab Pengangkut .................... 48
4. Batas Ganti Kerugian ..................................................... 54
B. Tanggung Jawab PT. Lintas Kumala Abadi sebagai
Pengangkut ............................................................................ 60
C. Posisi Kasus ......................................................................... 62
D. Pertimbangan Hakim ............................................................ 67
E. Analisis Penulis ..................................................................... 68
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................... 70
B. Saran ...................................................................................... 70
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 70

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pengangkutan merupakan kegiatan untuk memindahkan penumpang dan
atau barang dari satu tempat ke tempat lain dengan selamat. Pengangkutan
menurut Purwosutjipto adalah perjanjian timbal balik antara pengangkut dengan
pengirim, di mana pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan
pengangkutan barang dan/atau orang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu
dengan selamat, sedangkan pengirim mengikatkan diri untuk membayar uang
angkutan.1
Pengangkutan bertujuan untuk tiba di tempat tujuan dengan selamat dan
meningkatkan nilai guna bagi penumpang ataupun barang yang diangkut. Tiba di
tempat tujuan artinya proses pemindahan dari suatu tempat ke tempat tujuannya
berlangsung tanpa hambatan dan kemacetan, sesuai dengan waktu yang
direncanakan. Dengan selamat artinya penumpang dalam keadaan sehat, tidak
mengalami bahaya yang mengakibatkan luka, sakit atau meninggal dunia. Jika
yang diangkut itu barang, selamat artinya barang yang diangkut tidak mengalami
kerusakan, kehilangan, kekurangan, atau kemusnahan. Meningkatkan nilai guna
artinya nilai sumber daya manusia dan barang di tempat tujuan menjadi lebih
tinggi bagi kepentingan manusia dan pelaksanaan pembangunan.2
Pengangkutan dapat diklasifikasikan menurut jenisnya yang dapat ditinjau
dari sudut teknis serta alat angkutnya:
1) Pengangkutan jalan raya atau (highway transportation), seperti pengangkutan
dengan menggunakan truk, bus, dan sedan;
2) Pengangkutan rel (rail transportation), yaitu angkutan kereta api, trem listrik,
dan sebagainya;
1 Purwosutjipto, Pengertian pokok Hukum Dagang Indonesia 3, Hukum Pengangkutan,
Djambatan, Jakarta, 1991, h. 2. 2 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Pengangkutan Niaga, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2013, h.
17.
1

2
3) Pengangkutan melalui air di pedalaman (inland transportation), seperti
pengangkutan sungai, kanal, danau, laut, dan sebagainya;
4) Pengangkutan pipa (pipa line transportation), transportasi untuk mengangkut
atau mengalirkan BBM, Gas, dan Air Minum.;
5) Pengangkutan udara (air transportation), yaitu pengangkutan yang
menggunakan kapal terbang dan melalui jalan udara;
6) Pengangkuatan laut atau samudra (ocean transportation), yaitu angkutan
yang menggunakan kapal laut dan mengarungi samudera.3
Dari keenam jenis angkutan, pengangkutan laut atau samudra mempunyai
peran yang sangat besar dalam pengangkutan di Indonesia. Jasa produksi
angkutan laut biasanya mengenai barang-barang besar dan juga dapat menempuh
jarak jauh, lebih jauh jarak yang ditempuh, relatif akan lebih murah ongkosnya,
ruang angkutan laut jika dibandingkan dengan angkutan darat memang lebih besar
dan luas. Kendaraan bermotor truck paling tinggi daya angkutnya 5-8 ton untuk
kelas I, untuk kelas II terbatas pendukungnya jalan 5 ton, sedangkan kapal sampai
ratusan ribu ton, demikian pula jalan di laut tidak perlu pemerintah membuat jalan,
jalan di air tidak perlu banyak perawatan, kecuali di jalur lalu lintas masuk ke
pelabuhan perambuan penerangan pantai, sebagai alur lalu lintas perlu mendapat
perhatian.4
Perkembangan usaha dalam bidang jasa pengangkutan yang mulai
mendapat tanggapan positif dari perusahaan-perusahaan industri yang
membutuhkan jasa tersebut untuk mengirimkan barangnya ke perusahaan lain
atau ke konsumen, ternyata juga mengakibatkan terjadinya kasus-kasus yang pada
dasarnya berkaitan dengan masalah pertanggungjawaban pihak pengangkut.
Perusahaan Pelayaran Perseroan Terbatas Lintas Kumala Abadi (PT LKA),
melakukan pengangkutan barang-barang milik PT. Indofood Sukses Makmur
Boga Sari Flour Mills berupa 42.000 (empat puluh dua ribu) kantong terigu
Segitiga Biru, 42.000 (empat puluh dua ribu) kantong terigu Lencana Merah,
21.000 (dua puluh satu ribu) kantong terigu Cakra Kembar, dan 21.000 (dua puluh
3 Herry Gunawan, Pengantar Transportasi dn Logistik, RajaGrafindo, Jakarta, 2014, h. 2-3.
4 Soegijatna Tjakranegara, Hukum Pengangkutan Barang dan Penumpang, Rineka Cipta, Jakarta,
h. 24-25.

3
satu ribu) kantong terigu Segi Tiga Hijau. Barang-barang yang diangkut PT.
Lintas Kumala abadi sebelumnya telah diasuransikan oleh PT. Indofood Sukses
Makmur Boga Sari Flour Mills kepada Perusahaan Asuransi PT. Asuransi Central
Asia. Hal tersebut karena di dalam pengangkutan laut, PT. Indfood Sukses
Makmur Boga Sari Flour Mills sebagai pemilik barang selalu menghadapi resiko
bahwa barang-barang yang diangkut itu kemungkinan sampai di tempat tujuan
akan dapat berkurang nilai dan barangnya baik karena hilang, karena kerusakan
selama berlangsungnya pengangkutan karena musnah, ataupun karena sebab yang
lain.
Untuk itu dibuatlah perjanjian pertanggungan laut, dimana PT. Asuransi
Central Asia sebagai penanggung, dan PT. Indofood Sukses Makmur Boga Sari
Flour Mills sebagai tertanggung yang dalam hal ini berkewajiban untuk
membayar premi. Apabila terhadap barang-barang yang diasuransikan itu terjadi
kehilangan/kerusakan, maka PT. Indfood Sukses Makmur Boga Sari Flour Mills
dapat menuntut ganti kerugian langsung kepada PT. Auransi Central Asia.
Berhasil atau tidaknya tuntutan yang demikian tentunya bergantung pada polis
asuransi yang telah disetujui dan ditandatangani oleh kedua belah pihak. Apabila
ternyata terhadap tuntutan tersebut telah dibayarkan penggantian kerugian oleh
pihak asuransi kepada penerima sebagai pemilik barang tadi, maka selanjutnya PT.
Asuransi Central Asia dapat bertindak atas nama penerima dan berhak kemudian
menuntut kemungkinan pembayaran ganti kerugian kepada PT. Lintas Kumala
Abadi yang disebut hak subrogasi.
Apabila PT. Asuransi Central Asia telah membayar kerugian-kerugian
yang dialami PT. Indofood, maka PT. Asuransi Central Asia boleh mengajukan
gugatan subrogasi sebagaimana dalam Pasal 284 KUHD, ahwa penanggung telah
membayar kerugian barang tertanggung terhadap pihak ketiga, apabila penggugat
selaku penanggung tidak melakukan pembayaran kepada PT. Indofood atas
kerugiannya, maka terhadap hak sebagaimana diatur dalam Pasal 248 KUHD,
tidaklah dapat dijadikan dasar hak untuk mengajukan gugatan.
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, penulis tertarik untuk
mengadakan penelitian guna mengetahui lebih jelas tentang bagaimana

4
mekanisme tanggung jawab PT. Lintas Kumala Abadi apabila terjadi kerusakan
atau kekurangan barang dalam kegiatan pengangkutan di laut. Dari hasil
penelitian tersebut, penulis tuangkan dalam bentuk skripsi dengan judul
TANGGUNG JAWAB PT. LINTAS KUMALA ABADI DALAM KEGIATAN
PENGANGKUTAN LAUT (PUTUSAN NO. 642/Pdt.G/2011/PN.Jkt.Bar)
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Permasalahan penelitian yang penulis ajukan ini dapat diidentifikasi
permasalahannya sebagai berikut:
a. Terjadi cuaca buruk di laut yang dapat membuat barang yang di
angkut PT. Lintas Kumala Abadi rusak.
b. Terjadi kerusakan mesin kapal.
c. Muatan di Kapal berlebih.
d. Gelomang laut melebihi empat meter.
e. Adanya bajak laut.
f. Barang yang diangkut tidak sampai dengan utuh di Pelabuhan
Bombaru.
g. PT. Asuransi Central Asia menuntut Hak Subrogasi kepada PT.
Lintas Kumala Abadi, padahal belum memberikan penggantian.
h. Risiko kecelakaan kapal.
i. Apabila PT. Asuransi Cental Asia selaku penanggung telah
membayar keugian PT. Indofoord sebagai tertanggung sesuai
perjanjian pengangkutan, maka PT. Asuransi Central Asia dapat
mengajukan gugatan subrogasi kepada pemilik kapal.
j. Apabila PT. Asuransi belom membayar kerugian yang diderita
tertanggung, maka PT. Asuransi Central Asia belum bisa melakukan
Gugatan Subrogasi kepada PT. Lintas Kumala Abadi berdasarkan
KUHD.

5
2. Batasan Masalah
Untuk mempermudah permbahasan agar tidak terlalu luas terarah,
penulis membatasi penelitian yang dilakukan dengan hanya membahas
bagaimana tanggung jawab PT. Lintas Kumala Abadi dalam kegiatan
pengangkutan di laut yang telah diputuskan Pengadilan Negeri Jakarta
Barat dalam putusan Nomor : 642/Pdt.G/2011/PN.Jkt.Bar.
3. Perumusan Masalah
Dalam kegiatan pengangkutan barang, PT. Lintas Kumala Abadi
sebagai perusahaan pelayaran bertanggung jawab terhadap kerusakan
barang, kekurangan barang serta hilangnya barang. Disamping itu, PT.
Lintas Kumala Abadi juga menemui hambatan-hambatan baik yang
bersifat teknis maupun non teknis di dalam melaksanakan tugas dan
tanggung jawabnya sebagai perusahaan pelayaran. Maka dari itu perlu
dijabarkan lagi beberapa penelitian yang ingin dikaji lebih lanjut dan
mendalam, yakni sebagai berikut :
1. Apa pertimbangan hakim sehingga menolak gugatan PT. Asuransi
Central Asia?
2. Apakah PT. Lintas Kumala Abadi harus mengganti sebagian, atau
keseluruhan kerugian yang dialami PT. Indofood Sukses Makmur?
C. Tujuan dan Manfaat Pnelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk menjelskan tanggung jawab PT. Lintas Kumala Abadi.
b. Untuk mengetahui pihak-pihak dalam perjanjian pengangkutan laut.
c. Untuk mengetahui terjadinya pengangkuan laut.
d. Untuk mengetahui akibat dari timbulnya perjanjian laut.
2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan
sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu hukum di Indonesia

6
terutama dalam bidang Hukum Asuransi Pengangkutan Laut dan juga
berkontribusi bagi penelitian lainnya sebagai salah satu sumber data.
b. Manfaat praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi gambaran untuk
tertanggung yang mengasuransikan barangnya maupun perusahaan
pelayaran di Indonesia terkait dengan tanggung jawab apabila
mengalami kerugian akibat kerusakan barang dalam kegiatan
pengangkutan di laut.
D. Metode Pnelitian
Metode Penelitin yang dilakukan dalam penelitian ini adalah penelitian
kualitatif yang tidak memerlukan sampel dan populasi. Penelitian yuridis
normatif yang bersifat kualitatif adalah penelitian yang mengacu pada norma
hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan
pengadilan serta norma-norma yang hidup dan berkembang dalam
masyarakat. Untuk menguraikan penelitian tersebut ada beberapa hal yang
harus diuraikan.
1. Tipe Penelitian
Tipe penelitian dalam skripsi ini adalah yuridis normatif. Pengertian
yuridis dimaksudkan di dalam meninjau dan menganalisa masalah yang
menggunakan prinsip hukum. Sedangkan normatif berarti di dalam
melakukan penelitian menekankan pada langkah-langkah berdasarkan
hukum yang mengatur pola-pola perilaku sosial dan kehidupan manusia
dalam masyarakat akan tetapi juga berhubungan dengan kaidah-kaidah
hukum dengan kenyataan utama mengenai pelaksanaan, tanggung jawab
dan hambatan yang terjadi dalam perjanjian pengangkutan laut.
2. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yang mengungkapkan peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan teori-teori hukum yang
menjadi objek penelitian. Demikian juga hukum dalam pelaksanaan di
dalam masyarakat yang berkenaan dengan objek penelitian.

7
3. Sumber data
Untuk memecahkan isu hukum dan sekaligus memberitakan preskripsi
mengenai apa seyogianya, diperlukan sumber-sumber penelitian. Sumber
penelitian dapat dibedakan menjadi bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder. Bahan hukum primer terdiri dari Putusan Pengadilan
Negeri Jakarta Barat No. 642/Pdt.G/2011/PN.Jkt.Bar) dan perundang-
undangan. Adapun bahan hukum sekunder berupa semua publikasi
tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi.
Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum,
jurnal-jurnal hukum.
4. Metode Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam penelitian, penulis
menggunakan beberapa metode pengumpulan data yaitu sebagai berikut:
a. Dokumentasi
Dokumentasi yaiu mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang
berupa catatan, buku surat kabar, majalah, notulen rapat dan
sebagainya. Metode ini penulis gunakan untuk memperoleh dokumen-
dokumen yang berkaitan dengan Tanggung Jawab PT. Lintas Kumala
Abadi Terhadap Kerusakan Barang Dalam Kegiatan Pengangkutan Di
Laut.
b. Wawancara
Wawancara adalah proses tanya jawab dalam penelitian yang
berlangsung secara lisan yang dimana dua orang atau lebih bertatap
muka mendengarkan secara langsung.
5. Analisis Data
Karena penulis melakukan penelitian normatif terhadap sistem hukum,
maka analisis data yang digunakan oleh penulis adalah analisa data
dengan cara melakukan analisa terhadap pasal-pasal yang isinya
merupakan kaedah hukum, dalam hal ini analisis terhadap pasal-pasal

8
yang terdapatdalam Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dan
Pengadilan Negeri Jakarta Barat No. 642/Pdt.G/2011/PN.Jkt.Bar).5
6. Teknik Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini, mengacu pada buku pedoman
penulisan skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum yang diterbitkan Fakultas
Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Tahun 2017.6
E. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan dalam pembuatan dan gambaran umum skripsi ini,
penulis menyajikan sistematika pembahasan yang dibagi kedalam beberapa
bab sebagai berikut :
BAB I : Bab ini menjelaskan tentang belakang masalah, identifikasi masalah,
pembatasan masalah dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan,
metode penelitian dan sistematika penulisan
BAB II : Bab ini membahas uraian materi hasil penelitian ke pustakaan
yang meliputi : kerangka konseptual, tinjauan review terdahulu, kerangka
teoritis dan teori-teori yang berhubungan dengan hukum pengangkutan laut,
asuransi pengangkutan laut dan hubungan asuransi laut dengan tanggung
jawab pengankutan laut.
BAB III : Bab ini berisi Profil PT. Lintas Kumala Abadi, Tanggung Jawab,
Perjanjian Pengangkutan Laut dan Hak dan Kewajiban Para Pihak Dalam
Pengangkutan Laut.
BAB IV : Tanggung Jawab Pengangkut Dalam Kegiatan Pengangkutan di
Laut, Tanggung Jawab PT. Lintas Kumala Abadi Dalam Kegiatan
Pengangkutan di Laut, Posisi Kasus, Pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri
Jakarta Barat Dalam Memutus Perkara Nomor 642/PDt.G/2011/PN.Jkt.Bar.
Dan analisis penulis.
BAB V : Bab ini merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan dan saran
5 Cholid Narbuko dan Abu Ahmadi, Metodologi Penelitian, Jakarta: Bumi Aksara, 2001,
6 Tim Penyusun FSH, Pedoman Penulisan Skripsi FSH, Jakarta: Pusat Peningkatan dan Mutu,
2017.

BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG ASURANSI PENGANGKUTAN
BARANG MELALUI LAUT
A. Keragka Konseptual
Untuk lebih memahami isi penulisan skripsi ini, maka akan diuraikan
beberapa istilah yang akan digunakan dalam penulisan ini agar tidak
terjadinya interpretasi sebagai berikut:
1. Asuransi atau pertanggungan adalah perbuatan untuk mengalihkan
sebagian atau seluruh risiko antara orang yang mengalihkan risiko
dengan orang yang bersedia menanggung resiko itu berdasarkan
syarat-syarat tertentu yang disepakati para pihak. Pelaksanaan asuransi
merupakan bentuk perjanjian antara pihak penanggung dan
tertanggung untuk mengalihkan risiko yang timbul dari kejadian atau
peristiwa yang tidak dapat diduga sebelumnya.1
2. Ganti rugi adalah penggantian biaya, rugi dan bunga karena tak
dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila si
berutang setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap
melalaikannya atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya
hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah
dilampauinya.2
3. Pengangkutan adalah kegiatan dari transportasi memindahkan barang
dan penumpang dari suatu tempat ke tempat lain atau part of
destination.3
Pengangkutan laut adalah kegiatan pelayaran dengan
menggunakan kapal laut untuk mengangkut penumpang, barang
1 Lasse, Manajemen Muatan: Aktivitas Rantai Pasok di Area Pelabuhan, Jakarta: Raja Grafindo,
2012, h. 241. 2 Pasal 1243 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata .
3 Sogiatna Tjakranegara, Hukum Pengangkutan Barang dan Penumpang, Jakarta: Rineka Cipta,
1995, h. 1.
9

10
dan/atau hewan untuk satu perjalanan atau lebih dari satu pelabuhan ke
pelabuhan lain atau antara beberapa pelabuhan.4
4. Barang adalah sebagian barangbarang atau muatan sebagai obyek
angkutan yang mempunyai nilai tersendiri bagi pemiliknya dan dapat
diserahkan oleh seorang pengirim kepada pihak pengangkut untuk
diangkut guna diserahkan kepada seorang penerima di tempat tujuan.5
5. Polis asuransi merupakan isi dari kontrak asuransi. Di situ antara lain
diperinci hak-hak dan kewajiban dari pihak penanggung dan
tertanggung, syarat-syarat dan prosedur pengajuan klaim jika terjadi
peristiwa yang di asuransikan, prosedur dan cara pembayaran premi
oleh pihak tertanggung, dan hal-hal lain yang dianggap perlu.6
6. Evenement adalah peristiwa yang akan terjadi. Peristiwa (evenement)
itu belum diketahui akan terjadi, atau kapan apa penyebabnya akan
terjadi.
7. Hukum pengangkutan laut adalah segala aturan (kaidah, norma) yang
mengatur lalu lintas mengenai pengangkutan menyebrang laut. Aturan-
aturan ini dapat ditemui dalam KUHD dan di luar KUHD. Yang ada
dalam KUHD, Buku Kedua adalah:
a. Bab V: Tentang percarteran kapal
b. Bab V-A: Tentang pengangkutan barang
c. Bab V-B: Tentang pengangkutan orang.7
8. Subrogasi dalam asuransi adalah subrogasi berdasarkan undang-
undang, oleh karena itu asas subrogasi dapat ditegakkan apabila
memenuhi dua syarat berikut:
a. Apabila tertanggung di samping mempunyai hak terhadap
penanggung masih mempunyai hak-hak terhadap pihak ketiga.
4 Zaeni Asyhadie, Hikum Bisnis: Prinsip dan Pelaksanaannya di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo,
2005, h. 144. 5 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat,
Gramedia Pustaka Utama, 2011, h. 1090. 6 Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2016, h. 259.
7 Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia Cetakan Kelima, Jakarta:
Djambatan, h. 173.

11
b. Hak tersebut timbul, karena terjadinya suatu kerugian.
Menurut Pasal 284 KUHD, bila penanggung telah membayar ganti
rugi kepada tertanggung, maka penanggung akan menggantikan
kedudukan tertanggung akan segala hak yang diperoleh dari pihak
ketiga yang telah menimbulkan kerugian tersebut, dan tertanggung
bertanggung jawab atas perbuatan yang dapat menghilangkan setiap
hak penanggung atas pihak ketiga tersebut. Penggantian semacam ini
disebut subrogasi.8
B. Pengangkutan Barang Melalui Laut
1. Pengertian Pengangkutan Laut
Khusus mengenai pengangkutan laut tidak dijumpai definisinya dalam
KUHD. Namun dalam Pasal 1 Angka 1 PP No. 17 Tahun 1988, dijumpai
pengertian pengangkutan laut, yaitu:
“Setiap kegiatan pelayaran dengan dengan menggunakan kapal laut
untuk mengangkut penumpang, barang dan/atau hewan untuk satu
perjalanan atau lebih dari satu pelabuhan ke pelabuhan lain atau antara
beberapa pelabuhan.”
Berkaitan dengan peraturan pengangkutan laut, pada umumnya hanya
diatur dalam KUHD buku II, Bab V karena KUHD ini merupakan warisan
dari Hindia Belanda, namun kemudian diganti dan disempurnakan pada
tanggal 17 September 1992 tentang Pelayaran. Semua peraturan
pelaksanaan mengenai pelayaran dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan atau belum diganti dengan yang baru berdasarkan Pasal 130
UU No. 21 Tahun 1992.9
3. Perkembangan Angkutan Laut di Indonesia
Dalam mewujudkan kesatuan bangsa Indonesia, peranan angkutan laut
sudah terlihat penting sejak dahulu kala. Kerajaaan besar seperti Sriwijaya
dan Majapahit dapat tumbuh dan jaya, karena memiliki armada laut yang kuat
8 Suharnoko, Endah Hartari, Doktrin Subrogasi, Novasi dan Cessie, Kencana Media Grup, Jakarta,
2005, h. 1. 9 Zaeni Asyhadi, Hukum Bisnis (Prinsip dan Pelaksanannya di Indonesia), Raja Grafindo, Jakarta,
2005, h. 144.

12
dan tangguh. Pada waktu penjajahan Belanda, perusahaan pelayaran dikuasai
oleh KPM 1890 milik Belanda yang bersifat monopoli dan menganut prinsip
capotage. Prinsip ini adalah kegiatan pelayaran yang hanya dilakukan oleh
perusahaan pelayaran dalam negeri, dan perusahaan asing tidak boleh ikut
dalam pelayaran dalam negeri. Akibat Perang Dunia II, kegiatan pelayaran
terhenti karena banyak kapal yang dipergunakan untuk perang dan beberapa
pelabuhan menjadi rusak. Didirikannya PN PELNI pada tahun 1951
mengakibatkan tumbuhnya dualisme pada pelayaran dalam negeri. Keadaan
ini berakhir pada tahun 1957 dengan dinasionalisasikannya kapal KPM
menjadi PELNI. Saat ini pun tumbuh perusahaan pelayaran swasta nasional
lainnya. Keadaan politik yang tidak stabil mengakibatkan terjadinya stagnansi
ekonomi sampai tahun 1967, yang mengakibatkan usaha pelayaran
mengalami kelesuan yang kurang terawat, kemampuan manajemen yang
terbatas, dan lain-lain. Keadaan prasarana juga mengalami penurunan,
sehingga produktivitas kapal bertambah rendah.
Jumlah perusahaan yang banyak, baik dalam pelayaran Nusantara
maupun pelayaran lokal, mengakibatkan terjadinya persaingan yang tidak
sehat dalam memperebutkan muatan, yaitu berupa diskon tarif dan lain
sebagainya. Terlalu banyaknya perusahaan pelayaran menimbulkan kesulitan
dalam pembinaan, karena sebagian besar perusahaan dalam keadaan tidak
sehat. Oleh karena itu, perusahaan tersebut perlu disederhanakan atau
dikurangi jumlahnya untuk pengembangan ke arah yang lebih sehat atau
produktif.
Perkembangan perusahaan pelayaran menunjukkan jumlah perusahaan
pelayaran yang telah memiliki Surat Izin Usaha sebanyak 1.057 perusahaan,
meningkat 94,65% dari tahun 1992. Perusahaan pelayaran rakyat sejumlah
583 perusahaan, dan perusahaan nonpelayaran rakyat yang memiliki SIOPN
sebanyak 399 perusahaan. Di samping itu, terdapat perusahaan penunjang
angkutan laut, seperti;
1. Perusahaan Bongkar Muat (PBM) meningkat dari 432 perusahaan pada
tahun 1993 menjadi 844 perusahan pada tahun 1993 atau naikk 95%.

13
2. Perusahaan ekspedisi muatan kapal laut (EMKL) meningkat dari 395
perusahaan pada tahun 1989 menjadi 826 perusahaan pada tahun 1993
atau naik 103,8%.
3. Perusahaan Jasa Pengurusan Transportasi (JPT) meningkat dari 386
perusahaan pada tahun 1989 menjadi 916 perusahaan pada tahun 1993
atau naik 109,5%.
4. Pembentukan Koperasi Tenaga Kerja Bongkar Muat (KBM) per
Desember 1993 tercatat sebanyak 161 koperasi TKBM dengan jumlah
tenaga kerja bongkar muat (TKBM) sebanyak 49.124 orang.
Keberhasilan pembangunan menyebabkan meningkatnya produksi di
berbagai sektor. Hal ini juga menyebabkan muatan angkutan laut dari tahun
ke tahun mengalami peningkatan.10
5. Pengaturan Hukum Pengangkutan
Peraturan hukum pengangkutan adalah keseluruhan peraturan
hukum yang mengatur tentang jasa pengangkutan. Istilah peraturan hukum
(rule of law) dalam definisi ini meliputi semua ketentuan:
a. Undang-undang pengangkutan;
b. Perjanjian pengangkutan;
c. Konvensi internasional tentang pengangkutan; dan
d. Kebiasaan dalam pengangkutan kereta api, darat, perairan, dan
penerbangan.
Peraturan hukum tersebut meliputi juga asas hukum, norma
hukum, teori hukum, dan praktik hukum pengangkutan. Asas hukum
pengangkutan merupakan landasan filosofis (fundamental norm) yang
menjadi dasar ketentuan-ketentuan pengangkutan yang menyatakan
kebenaran, keadilan, dan kepatutan yang diterima oleh semua pihak.
Kebenaran, keadilan, dan kepatutan juga menjadi tujuan yang diharapkan
oleh phak-pihak. Asas tersebut dijelmakan dalam bentuk ketentuan-
ketentuan (rules) yang mengatur pengangkutan niaga. Asas hukum sebagai
10
Herry Gunawan, Pengantar Transportasi dan Logistik, Rajagrafindo, Jakarta, 2015, h. 100.

14
landasan filosofis ini digolongkan sebagai filsafat hukum (Legal
Philosophy) mengenai pengangkutan.
Norma hukum pengangkutan merupakan rumusan ketentuan-
ketentuan dalam undang-undang, perjanjian, konvensi internasional, dan
kebiasaan yang mengatur tentang pengangkutan. Norma hukum
pengangkutan berfungsi mengatur dan menjadi pedoman perilaku atau
perbuatan pihak-pihak yang berkepentingan dalam pengangkutan. Fungsi
pengaturan ini mengarahkan pihak-pihak yang berkepentingan dalam
pengangkutan untuk mencapai tujuan yang dikehendaki, yaitu tiba di
tempat tujuan dengan selamat, aman, bermanfaat, nilai guna meningkat,
dan menguntungkan semua pihak.
Teori hukum pengangkutan merupakan kajian pengembangan
hukum pengangkutan yang bertujuan untuk memperoleh manfaat yang
sangat berguna bagi masyarakat dalam mewujudkan kesejahteraan. Objek
kajian pengembangan tersebut meliputi ketentuan-ketentuan hukum
pengangkutan dan pengalaman nyata pihak-pihak yang berkepentingan
dengan pengangkutan. Melalui pengkajian tersebut akan diperoleh
penemuan dan pemahaman baru mengenai pengangkutan.
Penemuan dan pengalaman baru tersebut akan dimanfaatkan untuk
meningkatkan mutu pengaturan dan sifat perilaku atau perbuatan teratur
masyarakat dalam pengangkutan. Melalui pengkajian akan diketahui
sejauh mana ketentuan hukum pengangkutan yang berlaku itu (das sollen)
sesuai dengan kebutuhan masyarakat dalam kegiatan pengangkutan (das
sein). Teori hukum pengangkutan adalah serangkaian ketentuan undang-
undang atau perjanjian mengenai pengangkutan yang direkonstruksikan
sedemikian rupa sehingga menggambarkan proses kegiatan pengangkutan.
Teori hukum pengangkutan merupakan gambaran secara jelas
rekonstruksi ketentuan undang-undang atau perjanjian bagaimana
seharusnya para pihak berbuat sehingga tujuan pengangkutan itu tercapai.
Apabila teori hukum pengangkutan ini diterapkan pada
pengangkutan, penerapannya disebut praktik hukum pengangkutan.

15
Praktik hukum pengangkutan merupakan rangkaian peristiwa mengenai
pengangkutan. Rangkaian peristiwa tersebut merupakan proses kegiatan
mulai dari pemuatan kedalam alat pengangkut, pemindahan ke tempat
tujuan yang telah ditentukan, dan penurunan/pembongkaran di tempat
tujuan. Proses rangkaian perbuatan ini dapat diamati secara nyata pada
setiap pelaksanaan pengangkutan. Dengan kata lain, teori hukum
pengangkutan hanyalah mempunyai nilai guna jika dilaksanakan melalui
setiap jenis pengangkutan.
Praktik hukum pengangkutan merupakan rangkaian perilaku atau
perbuatan sebagai pelaksanaan atau realisasi dari ketentuan undang-
undang, perjanjian, konvensi internasional, dan kebiasaan mengenai
pengangkutan. Perilaku atau perbuatan tersebut dapat diketahui melalui
serangkaian tindakan nyata (perbuatan empiris atau melalui instrumen
hukum berupa dokumendokumen pengangkutan yang membuktikan
bahwa perbuatan (action) sudah dilakukan. Kajian praktik hukum
pengangkutan termasuk dalam penelitian hukum terapan (applied law)
bidang hukum pengangkutan. Praktik hukum pengangkutan adalah
serangkaian perbuatan nyata yang masih berlangsung (in action) atau
perbuatann yang sudah selesai dilakukan, seperti keputusan hakim atau
yurisprudensi (judge made law), dokumen hukum (legal documents),
seperti karcis penumpang dan surat muatan barang. Praktik hukum
pengangkutan menyatakan secara empiris peristiwa perbuatan pihakpihak
sehingga tujuan pengangkutan itu tercapai dan ada pula yang tidak
tercapai. Tidak tercapainnya tujuan dapat terjadi karena wanprestasi salah
satu pihak atau karena keadaan memaksa (force majeur).11
Dalam hal ini
peraturan pengangkutan darat diatur terperinci pada Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan serta
Peraturan PerundangUndangan yang ada dibawahnya.
11
Abdulkadir Muhammad, 2013. Hukum Pengangkutan Niaga, Bandung: PT Citra Aditya Bakti,
hal. 7-8.

16
6. Resiko yang Dijamin Pada Asuransi Laut
Pada asuransi laut jenis kerugian yang dapat dipertanggungkan adalah:
a. Kapal serta perlengkapannya (vessel interest)
b. Barang-barang muatan (cargo)
c. Penghasilanipendapatan dari hasil uang tambang (freight) komisi dan
keuntungan yang diharapkan
d. Beban wajib (liability interest) yang menimpa si pemilik kapal.
Contoh beban wajib: Kapal A ditabrak oleh kapal B, dalam hal ini timbul
beban wajib terhadap A, di mana kapal B harus mengganti kerugian yang
terjadi atas kapal A.
Penyelesaiannya melalui asuransi pengangkutan (insurer). Dalam
asuransi laut ada tiga hal yang hams diperhatikan oleh pemilik kapal sebelum
dipertanggungkan yakni:
1. Kapal layar taut (sea worthiness)
Perusahaan Asuransi menghendaki bahwa kapal yang diasuransikan harus
"layak laut" artinya kapal dilengkapi dengan nahkoda, awak kapal,
perlengkapan kapal, yang ditentukan oleh Undang-undang.pelayaran. Di
Indonesia yang rnenentukan kapal layak laut atau tidak layak laut ialah
Biro Klasifikasi Indonesia, Syahbandar dan Direktorat Perkapalan pada
Direktorat Jenderal Perhubungan Laut.
2. Deviasi (Deviation)
Kapal yang diasuransikan harus memenuhi persyaratan trayek/rute yang
telah ditetapkan, tidak boleh mengadakan penyimpangan dari trayek yang
telah ditetapkan sebelumnya dalam melaksanakan pelayaran.
3. Legalitas
Kapal harus memenuhi syarat-syarat legalitas/hukum yang berlaku.
Contoh: Bila sebuah kapal di charter dari Luar Negeri harus menggunakan
bendera Indonesia, termasuk didalamnya kapal yang dibeli dengan cara
"leasing" (sewa beli).

17
4. Kerugian (average)
Sehubungan dengan asuransi laut ada beberapa pengertian yang
menyangkut dengan kerugian (average). Kerugian pada asuransi laut dapat
pula diartikan dengan kerusakan (damage). Pada pertanggungan angkutan
laut kita temui istilah general average (kerugian umum). Kerugian parsial
ialah kerugian sebagian dan tidak seluruh kapal rusak, sebagian lags masih
utuh keadaannya. Di samping itu asuransi laut mengenal pula istilah
franchise yang artinya jumlah minimum persentasi (%) yang dapat diganti
atas kerugian yang terjadi alas kapal tersebut.
5. Klasifikasi Polis Asuransi
Polis asuransi dapat diklasifikasikan atas empat kelompok yakni:
a. Polis mengenai (Hull Policies)
Polis yang menyangkut kapal terdiri atas beberapa jenis bergantung
pada macam-macam resiko; kapal uap, kapal motor, kapal barang,
resiko pelabuhan, dan sebagainya
b. Polis muatan (cargo policies)
Polis muatan (cargo) umumnya dibuat hanya satu resiko (single risk).
Misalnya untuk satu kali pelayaran dari pelabuhan Medan ke Jakarta.
c. Polis bcban wajib (liability policies)
Dalam polis asuransi dinyatakan bahwa di samping polis
pertanggungan di atas disebutkan pula beban wajib (contoh: liability
interest yang telah diuraikan sebelumnya).
d. Polis uang tambang (freight policies)
Dalam polis asuransi ini yang dijamin ialah hilangnya uang yang akan
diterima (profit) serta uang tambang itu sendiri.
6. Perjanjian dalam Asuransi Laut
Untuk uraian selanjutnya kita akan melihat perjanjian pada asuransi laut
(clause):
a. Warehouse to warehouse clause

18
Warehouse to warehouse clause berlaku pada waktu pengiriman
barang yaitu perjanjian asuransi antara pengiriman barang dari satu
gudang pelabuhan ke gudang pelabuhan lainnya.
Umpamanya: mengirim barang dari gudang Belawan sampai ke
gudang Tanjung Priok. Kita mempertanggungkan barang dari Belawan
sampai dimasukkan ke Bea Cukai Tanjong Priok.
b. Free of strike, riot and civil commotions
Kerugian yang disebabkan oleh pemogokan, misalnya barang-barang
telah masuk ke pelabuhan kemudian timbul pemogokan buruh-buruh
yang mengakibatkan kerusakan pada barang-barang atau tidak bisa
dibonkar ke kapal. Keadaan ini bisa diasuransikan.
c. Memorandum clause
Seringkali kerusakan-kerusakan kecil administrasi perusahaan untuk
merealisir pembayarannya. Oleh sebab itu dibuat satu clausule yang
membatasi claim tersebut. Dalam hal ini ditentukan persentase (%)
dari seluruh nilai barang yang di asuransikan, misalnya 3% - 5%, bila
kurang dari persentase di atas perusahaan asuransi tidak akan
mengganti kerugian tersebut.
d. Free of perticular average clause
Bilamana terjadi kerugian kecil ada polis yang menyatakan bahwa
barang-barang tidak diganti oleh perusahaan asuransi seratus persen.
Perusahaan akan mengganti sebagian saja dan ini tergantung kepada
perjanjian antara tertanggung dan perusahaan asuransi.
e. Free of particular average of American clause
Perusahaan akan mengganti kerugian kalau salah satu bencana
disebutkan dalam kontrak tersebut. Misal: Kapal tenggelam, terdampar
dan terbakar.
f. Collision clause
Bentuk collision ialah bilamana 2 (dua) kapal bertabrakan di laut,
masing-masing mengadakan pertanggungan untuk menghadapi resiko
yang mungkin terjadi. Dalam polis asuransi harus dinyatakan bahwa

19
kerugian yang diderita akibat tabrakan kapal akan diganti oleh
perusahaan asuransi. Kapal mana yang bersalah harus dibuktikan
dengan Pengadilan di Indonesia melalui Mahkamah Pelayaran. Under
writer akan mengajukan claim terhadap kapal yang bersalah dan
penggantian kerugian akan dibayarkan terhadap kapal yang ditabrak
(damage). Besarnya jumlah kerugian, harus dinilai terlebih dulu oleh
“claim adjuster” dari perusahaan asuransi yang bersangkutan.
g. Negligence clause
Bagi negara-negara yang sudah maju seperti USA, Inggris, Jerman dan
sebagainya dapat diadakan perjanjian yang disebabkan oleh kelalaian
nakhoda kapal dan ini bisa diasuransikan.
Contoh: kelalaian yang timbul menyebabkan kapal terlambat
berangkat dikarenakan "bahan bakar" belum diisi klam tanki
secukupnya. Lalai di sini adalah dalam hal pengisian bahan bakar dan
tidak mengandung unsur disengaja.
7. Sifat-sifat Kerugian pada Asuransi Laut
Pada Asuransi Laut ada dua macam sifat kerugian yakni:
a. General average, yaitu semua kerugian yang akan didukung oleh
semua pihak dan untuk kepentingan umum. Lazim pula disebut dengan
nama avery gross. Pada general average kits lihat adanya tiga jenis
unsur untuk menetapkan kerugian tersebut, yaitu:
1) Secara sukarela (voluntary)
2) Merupakan keharusan (necessary)
3) Ada hasilnya (successful)
Contoh: Pada waktu kapal sedang berlayar datang angin badai,
hingga menyebabkan patahnya tiang-tiang kapal. Dalam contoh ini
tidak dipenuhi unsur-unsur antara lain unsur voluntary. Jika
nakhoda kapal menyuruh memotong tiang-tiang tersebut, demi
keselamatan kapal dan penumpang, maka dalam hal ini kita lihat
ketiga unsur tadi yaitu voluntary, necessary dan bila ternyata kapal
selamat tindakan Nakhoda berhasil (successful).

20
b. Particular average (avery partikelir)
Ialah kerugian sebagian yang diderita oleh satu pihak dan tidak untuk
kepentingan umum. Umpama: Kerugian yang diderita oleh pemilik
barang saja.12
C. Kerangka Teori
1. Teori Keadilan
Kata keadilan berasal dari „aadilun yang berasal dari bahasa Arab,
dalam bahasa Inggris disebut dengan justice memiliki persamaan
berbagai bahasa memiliki persamaan arti dengan justitia dalam bahasa
latin; juste dalam bahasa Perancis; justo dalam bahasa Spanyol;
gerecht dalam bahasa Jerman. Namun jika kita lihat defenisi yang
diutarakan oleh kamus besar Indonesia, keadilan itu adalah sama berat,
tidak berat sebelah, berpihak kepada yang benar berpegang pada
kebenaran, sepatutnya, tidak sewenang-wenang.13
2. Teori Kepastian Hukum
Menurut Sudikno Mertukusumo, kepastian hukum merupakan jaminan
bahwa hukum tersebut dapat dijalankan dengan baik. Sudah tentu
kepastian hukum sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan hal ini
lebih diutamakan untuk norma hukum tertulis. Karena kepastian
sendiri hakikatnya merupakan tujuan utama dari hukum. kepastian
hukum ini menjadi keteraturan masyarakat berkaitan erat dengan
kepastian itu sendiri karena esensi dari keteraturan akan menyebabkan
seseorag hidup secara berkepastian dalam melakukan kegiatan yang
diperlukan dalam melakukan aktivitas kehidupan masyarakat itu
sendiri.14
12
Abbas Salim, Dasar-dasar Asuransi, Rajawali Pers, Jakarta, 1995, h. 62-66. 13 Henry Campbell Black, Blcak‟s Law Dictionary, Minnesota, USA: West Publishing Co, 1982,
h. 1002. 14
Sudikno Mertukusumo, Penemuan Hukum, Yogyakarta: Liberty , 2009, h. 21.

21
3. Teori Kemanfaatan
Teori kemanfaatan hukum menurut teori utilistis, ingin menjamin
kebahagian yang terkesan bagi manusia dalam jumlah yang
sebanyakbanyaknya. Pada hakekatnya menurut teori ini bertujuan
hukum adalah manfaat dalam menghasilkan kesenangan atau
kebahagian yang terbesar bagi jumlah orang yang banyak. Pengamat
teori ini adalah Jeremy Benthan, teori berat sebelah sehingga Utrecht
dalam menanggapi teori ini mengemukakan tiga hal yaitu: a. Tidak
memberikan tempat untuk mempertimbangkan seadil-adilnya hal-hal
yang kongkret, b. Hanya memperhatikan hal-hal yang berfaedah dan
karena itu isinya bersifat umum, c. Sangat individualistis dan tidak
memberi pada perasaan hukum seorang. Menurut Utrecht, hukum
menjamin adanya kepastian hukum dalam pergaulan manusia.
Anggapan Utrecht ini didasarkan atas anggapan vanikan bahwa hukum
untuk menjaga kepentingan tiap manusia supaya kepentingan itu tidak
dapat diganggu (mengandung pertimbangan kepentingan mana yang
lebih besar dari pada yang lain).15
D. Kajian Studi Terdahulu
Dalam penyusunan skripsi ini penulis melakukan kajian studi terdahulu
untuk mencari literatur yang berhubungan dengan penelitian yang dilakukan.
Kajian studi terdahulu adalah proses umum yang kita lalui untuk
mendapatkan teori terdahulu dan mencari kepustakaan yang terkait dengan
tugas yang segera dilakukan, lalu menyusun secara teratur dan rapi untuk
dipergunakan dalam keperluan penelitian. Adapun kajian studi terdahulu yang
digunakan dalam penelitian ini sebagai beikut:
Skripsi yang berjudul “Tanggung Jawab Pengangkut Atas Keselamatan
Barang Yang Dikirim Melalui Jalur Sungai Dan Perairan Pedalaman (Studi
Kasus Wanprestasi Pengiriman Barang Yang dilakukan Oleh Kapal-Kapal
15
Moh. Erwin, Filsafat Hukum; Refleksi Kritis terhadap Hukum, Jakarta: Rajawali Press, 2011, h.
179.; H. R. Otje Salman, Filsafat Hukum (Perkembangan & Dinamika Masalah), Bandung: Refika
Aditama, 2010, h. 44

22
Yang Beroperasi Di Dermaga Rambang Kota Palangkaraya, Kalimantan
Tengah) oleh Kintasari Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas
Muhamadiyyah Malang. Persamaan skrips ini dengan penelitian yang
dilakukan penulis yaitu sama-sama membahas mengenai tanggung jawab
pengangkutan barang di perairan. Yang menjadi perbedaan yaitu terletak pada
objek penelitian dalam skripsi ini adalah tanggung jawab pengangkut melalui
jalur sungai sangai dan perairan pedalaman Kalimantan.
Buku yang berjudul “Hukum Pengangkutan Laut: Pengertian, Asas-asas,
Hak dan Kewajiban Para Pihak”. Buku ini membahas tentang hukum
perjanjian, perjanjian pengangkutan memlalui laut dan prinsip atau sifatnya
dan hak dan kewajiban para pihak dalam pengangkutan laut. Perbedaannya
dengan skripsi ini adalah buku ini membahas tentang teori hukum
pengangkutan laut, sedangkan skripsi ini menganalisa Tanggung Jawab PT.
Lintas Kumala Abadi dalam kegiatan pengangkutan di laut.

BAB III
PEMBAHASAN
A. Gambaran umum PT. Lintas Kumala Abadi
Didirikan pada tahun 1995, Lintas Kumala Abadi telah tumbuh dan
menjadi sebuah perusahaan pelayaran yang dapat dipercaya terhadap
konsumen. Lintas Kumala Abadi merupakan sebuah pelayaran terkemuka di
Indonesia yang mampu memberikan berbagai macam solusi transportasi dari
suatu daerah asal ke daerah tujuan. Lintas Kumala Abadi memiliki beberapa
fasilitas penunjang yang berguna mendukung operasional kerja dalam proses
Dengan didukung oleh jaringan kantor yang dimiliki di seluruh wilayah
lintas tujuan pengiriman, Lintas Kumala Abadi selalu menempatkan
penekanan yang kuat pada keselamatan kerja para pekerja maupun barang
kiriman, pelayaran yang nyaman terhadap konsumen dan ketepatan baik
dinilai dari segi waktu pengiriman, tujuan pengiriman serta biaya pengiriman
yang relatif terjangkau. Hal tersebut menyebabkan Lintas Kumala Abadi
mampu mendistribusikan barang dari produsen kepada para konsumen di
seluruh Nusantara didukung oleh armada-armada kapal container milik Lintas
Kumala Abadi.
Lintas Kumala Abadi juga menyediakan lapangan container-container
yang digunakan untuk mengemas barang-barang yang ingin didistribusikan.
Lintas Kumala Abadi mengoperasikan ribuan container guna mendukung
kelancaran proses penditribusian barang dari pengirim kepada penerima
dengan aman dan terlindungi dengan baik serta ditangani dengan nyaman.
Lintas Kumala Abadi sangat berpengalaman dalam menangani proses
pengiriman barang. Lintas Kumala Abadi menyediakan berbagai macam
layanan pengiriman barang.
Visi
Ingin dikenal sebagai sebuah perusahaan pelayaran yang prifesional di
bidangnya baik dalam tingkat domestik maupun internasional.
23

24
Misi
Memberikan ketepatan layanan kepada konsumen baik dinilai dari
segi waktu, tujuan dan biaya.
Membangun jaringn-jaringan di seluruh wilayah tujuan pengiriman
barang dengan didukung oleh tenaga kerja profesional dan termotivasi
dengan baik.
Mengembangkan fasilitas-fasilitas guna memberikan layanan yang
maksimal kepada konsumen serta masyarakat.
Selalu memberikan layanan yang ekstra aman dan nyaman bagi
konsumen.
Program Layanan
Sejak didirikan pada tahun 1995, Lintas Kumala Abadi telah mengalami
perkembangan dan kemajuan yang cukup pesat, dimulai pada tahun 2001
sampai sekarang Lintas Kumala Abadi dipercaya untuk mendistribusikan
muatan barang ke berbagai kota besar di Indonesia. Adapun beberapa kota
tujuan tersebut, diantaranya:
Jakarta - Palembang - Jakarta / 7 (tujuh) hari
Jakarta - Pekanbaru - Jakarta / 4 (empat) hari
Jakarta - Samarinda - Jakarta / 6 (enam) hari
Jakarta - Batam - Jakarta / 7 (tujuh) hari
Jakrta - Pontianak - Jakrta / 3 (tiga) hari
Jakarta -Makassar - Jakrta / 4 (empat) hari
Seiring dengan perkembangan perusahaan, Lintas Kumala Abai juga
meningkatkan mutu dan kualitas layanannya dengan memperluas jaringan dan
meningkatkan program layanannya. Lintas Kumala Abadi telah membuka
kantor cabang utama yang akan ditempatkan di beberapa kota besar di Indonesia,
salah satunya di Surabaya. Dengan adanya kantor cabang utama tersebut, Lintas
Kumala abadi membuka jalur layanan distribusi barang yang baru. Adapun jalur
distribusi baru tersebut diantaranya:
Surabaya - Samarinda - Surabaya / 5 (lima) hari

25
Surabaya - Palu - Surabaya / 7 (tujuh) hari1
B. Perjanjian Pengangkutan Laut
Perjanjian menimbulkan perikatan, yaitu perhubungan hukum antara 2
(dua) orang atau 2 (dua) pihak, atas dasar mana pihak yang satu berhak
menuntut sesuatu prestasi dari yang lain, yang lain berkewajiban melaksanakan
dan bertanggung jawab atas suatu prestasi.2
Dari penjelasan itu dapat
disimpulkan bahwa setiap perjanjian pada dasarnya akan meliputi hal-hal
tersebut di bawah ini:
1. Perjanjian selalu menciptakan hubungan hukum.
2. Perjanjian menunjukkan adanya kemampuan atau kewenangan
menuntut menurut undang-undang.
3. Perjanjian mempunyai atau berisikan suatu tujuan, bahwa pihak yang
satu akan memperoleh dari pihak yang lain suatu prestasi yang
mungkin memberikan sesuatu, melakukan sesuatu, atau tidak
melakukan sesuatu.
4. Dalam setiap perjanjian, kreditur berhak atas prestasi dari debitur,
secara sukarela debitur akan memenuhinya.
5. Dalam setiap perjanjian, debitur wajib dan bertanggung jawab
melakukan prestasinya sesuai dengan perjanjian.
Kelima unsur tersebut selalu tergantung pada setiap jenis perjanjian,
termasuk pula pada perjanjian pengangkutan. Jadi, pada perjanjian
pengangkutan, di samping harus mengandung kelima unsur pokok tadi, juga
mengandung ciri-ciri khusus (unsur tertentu) yang akan membedakan
karakteristik suatu perjanjian pengangkutan. Ciri-ciri dan karakteristik perjanjian
pengangkutan inilah yang nantinya akan membedakan dengan jenis perjanjian
pada umumnya atau dengan perjanjian lainnya.
1 Company Profile PT. Lintas Kumala Abadi hlm. 2-5.
2 Subekti, Hukum Perjanjian Jakarta: Intermasa, hal. 1.

26
C. Prinsip-Prinsip Perjanian Pengangkutan Laut
Perjanjian pengangkutan menurut Pasal 1319 KUHPerdata termasuk ke
dalam perjanjian bernama, karena oleh undang-undang, perjanjian tersebut
diberikan nama dan pengaturan secara khusus (benoemde atau
nominaatcontracten), baik di dalam KUHPerdata maupun KUHD, bahkan ada
diatur pula di dalam undang-undang yang tersendiri.
Dalam hal ini, pengertian bernama tidak terbatas hanya pada pengertian
adanya pemberian nama secara khusus terhadap perjanjian yang dimaksud,
misalnya seperti pada jual beli, tetapi dititikberatkan pada apakah perjanjian itu
mendapat pengaturan secara khusus dalam undang-undang, yaitu pada Titel V
sampai dengan Titel XIX Buku III KUHPerdata dan di dalam KUHD. Hal itu
dibedakan dengan perjanjian tidak bernama, meskipun mempunyai nama
tertentu, tetapi karena tidak/belum mendapat pengaturan di dalam undang-
undang, maka perjanjian tersebut tetap disebut sebagai perjanjian tidak bernama.
Dan untuk membedakan kedua perjanjian itu, maka perlu diteliti unsur-unsur
pokok essensialia perjanjian yang bersangkutan, agar dapat diketahui apakah dia
memenuhi unsur-unsur pokok perjanjian bernama atau tidak.
Selain perjanjian bernama dan perjanjian tidak bernama, juga dikenal
adanya perjanjian campuran.3 Undang-undang sendiri tidak mengatur tentang
perjanjian campuran ini. Jadi untuk perjanjian campuran dapat terjadi karena
adanya perjanjian yang tidak diatur secara khusus di dalam undang-undang,
tetapi dalam praktik dia mempunyai nama sendiri yang unsur-unsurnya mirip
atau sama dengan unsur-unsur beberapa perjanjian bernama, yang terjalin
menjadi satu sedemikian rupa, sehingga perjanjian yang demikian tidak dapat
dipisah-pisahkan sebagai perjanjian yang berdiri sendiri-sendiri.
Apabila pembagian macam-macam perjanjian seperti yang telah
dijelaskan di atas dihubungkan dengan perjanjian pengangkutan laut, maka
dapatlah disebutkan bahwa perjanjian pengangkutan laut itu termasuk dalam
kategori perjanjian bernama dan perjanjian campuran:
3 Satrio, op.cit., hal. 11.

27
1. Perjanjian pengangkutan laut merupakan perjanjian bernama, karena
KUHD baik dalam Buku II Bab VA dan VB secara khusus telah
mengatur tentang pengangkut dan persetujuan pengangkutan maupun
segala sesuatu yang berhubungan dengan pengangkutan orang dan
barang. Jadi, meskipun perjanjian pengangkutan pada hakekatnya
harus tunduk pada ketentuan umum perjanjian KUHPerdata, tetapi
oleh undang-undang, perjanjian pengangkutan laut secara khusus
telah diatur sedemikian rupa, yang antara lain menetapkan berbagai
kewajiban khusus kepada pihak si pengangkut yang tidak boleh
disingkirkan dalam perjanjian pengangkutan, yaitu sebagaimana
yang diatur dalam Pasal 470 KUHD, bahwa “Melarang seorang
pengangkut untuk memperjanjikan bahwa ia tidak akan menanggung
atau hanya akan menanggung sebagian saja kerusakan-kerusakan
pada barang yang diangkutnya, yang akan ditimbulkan oleh kurang
baiknya alat pengangkutan atau kurang cakapnya pekerja-pekerja
yang pakainya. Perjanjian yang dibuat dengan melanggar larangan
tersebut, diancam dengan kebatalan. Dengan demikian perjanjian
pengangkutan dapat dikategorikan perjanjian bernama”.
2. Perjanjian pengangkutan termasuk dalam perjanjian campuran,
karena mengandung beberapa prinsip/sifat atau ciri-ciri dari 2 (dua)
atau lebih perjanjian bernama yang masing-masing tidak dapat
dipisahkan. Sesuai teori perjanjian campuran, sebagaimana
dinyatakan oleh Soekardono4
, perjanjian pengangkutan termasuk
perjanjian campuran karena memuat unsur-unsur:
a. Perjanjian penyimpanan/penitipan sebagaimana
yang diatur dalam Pasal 486 KUHD, yaitu bahwa “Perjanjian
pengangkutan mewajibkan pengangkut untuk menjaga
keselamatan barang/penumpang yang diangkut, mulai saat
diterimanya barang hingga saat diserahkannya barang tersebut”.
Dari penjelasan tersebut terlihat adanya unsur perjanjian
4 Soekardono, op.cit., hal. 12.

28
penitipan yang bersifat riel, yang artinya hal itu baru akan
terjadi dengan dilakukannya suatu perbuatan yang nyata, yaitu
dengan diserahkannya barang yang dititipkan sesuai Pasal 1694
dan Pasal 1698 KUHPerdata yang berbunyi: “Perjanjian terjadi,
apabila seorang menerima barang dari seorang lain dengan
syarat bahwa ia akan menyimpannya dan mengembalikannya
dalam wujud asal”, dan “Persetujuan ini tidaklah telah
terlaksana selain dengan penyerahan barangnya secara
sungguh-sungguh atau dipersangkakan”.
b. Prinsip perjanjian pelayanan berkala, yaitu
perjanjian yang tidak terus-menerus, yang merupakan
perjanjian untuk melakukan pekerjaan yang tidak tetap
sebagaimana diatur Pasal 1601 b KUHPerdata.
c. Perjanjian pemberian kuasa, hal ini sebagaimana
yang diatur dalam Pasal 371 ayat (1) KUHD bahwa “Nakhoda
diwajibkan selama perjalanan menjaga kepentingan para
pemilik muatan, mengambil tindakan yang diperlukan untuk itu
dan jika perlu untuk itu menghadap di muka hakim”.
Selanjutnya, pada Pasal 371 ayat (3) KUHD dijelaskan bahwa
“Dalam keadaan yang mendesak ia diperbolehkan menjual
barang muatan atas sebagian dari itu, atau guna membiayai
pengeluaran yang telah dilakukan guna kepentingan muatan
tersebut, meminjam uang dengan mempertaruhkan muatan itu
sebagai jaminan”.
d. Bersifat perjanjian konsensual, menurut ketentuan
undang-undang, perjanjian pengangkutan tidak diwajibkan
tertulis, cukup dengan lisan asalkan ada persetujuan kedua
belah pihak. Hal itu dapat dibaca pada Pasal 454 KUHD.
Masing-masing pihak boleh menuntut dibuatkannya suatu akta
tentang persetujuan charterparty yang merupakan salah satu
bentuk perjanjian pengangkutan. Tanpa dokumen-dokumen

29
pengangkutan, perjanjian pengangkutan tetap dianggap ada.
Dokumen-dokumen tersebut bukanlah merupakan unsur dari
perjanjian, hanya sebagai alat bukti saja, dan dengan sendirinya
dokumen yang ada bisa digantikan dengan alat bukti lainnya,
misalnya kuitansi pembayaran.
Perjanjian pengangkutan yang dikategorikan dalam perjanjian campuran,
sebagaimana dinyatakan oleh Soekardono tersebut, ternyata ada persamaannya
dengan ketentuan Civil Code of Philippines yang juga menggolongkan
perjanjian pengangkutan ke dalam perjanjian sewa pekerjaan dan pelayanan,
sewa jasa rumah tangga, perjanjian perburuhan, dan perjanjian untuk sebagian
pekerjaan.
Namun demikian, ada pula sebagian ahli hukum yang menolak pendapat
bahwa perjanjian pengangkutan termasuk ke dalam kategori perjanjian
campuran. Wirjono Prodjodikoro5 tidak setuju apabila perjanjian pengangkutan
dimasukkan ke dalam persetujuan-persetujuan yang diatur dalam KUHPerdata,
yang antara lain ke dalam persetujuan pemberian kuasa, persetujuan perburuhan,
dan persetujuan pemborongan.
Adapun penolakan Prodjodikoro tersebut ialah karena alasanalasan
sebagai berikut:
1. Perjanjian pemberian kuasa pada hakekatnya mengandung
hubungan erat khusus antara si pemberi kuasa dengan penerima
kuasa, yang biasanya disertai dengan suatu perwakilan, yaitu si
pemberi kuasa diwakili oleh si penerima kuasa dalam suatu
perbuatan, sehingga dengan perbuatan si penerima kuasa atas nama si
pemberi kuasa dapat terbentuk hubungan hukum antara pemberi
kuasa dan pihak ke tiga. Unsur perwakilan ini dapat dikatakan tidak
ada dalam persetujuan pengangkutan, oleh karena, dalam hal orang
diwakili orang lain, perbuatan yang disuruh dilakukan sebenarnya
dapat dilakukan oleh pemberi kuasa sendiri. Dan penyuruhan kepada
orang lain tadi pada hakekatnya hanya diadakan dalam hal si pemberi
5 Wirjono Prodjodikoro, op.cit., hal. 50.

30
kuasa berhalangan atau keberatan untuk melakukan sendiri perbuatan
itu. Jadi, Prodjodikoro mengatakan bahwa tidak tepat memasukkan
perjanjian pengangkutan ke dalam perjanjian pemberian kuasa.
2. Perjanjian perburuhan sangat berbeda dengan perjanjian
pengangkutan, yaitu dalam perjanjian perburuhan terdapat hubungan
antara buruh dengan majikan, yang dapat dikatakan merupakan suatu
bentuk hubungan hirarki antara 2 (dua) pihak. Hal seperti itu tidak
ada di dalam perjanjian pengangkutan, sebab hubungan hukum
antara pengangkut dengan orang yang menyuruh
mengangkut/penumpang ialah sejajar, tidak ada hubungan atasan
bawahan seperti halnya hubungan antara buruh dengan majikan.
Dengan adanya perbedaan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa
perjanjian pengangkutan jelas tidak dapat dikategorikan sebagai
perjanjian perburuhan.
3. Perjanjian pemborongan kerja jelas berbeda dengan perjanjian
pengangkutan. Oleh karena, pemborongan kerja diarahkan pada hasil
dari suatu rangkaian perbuatanperbuatan yang dalam keseluruhannya
menjadi tujuan dari persetujuan itu, seperti pemborongan kerja dalam
pembuatan rumah atau pembuatan jembatan. Sedangkan, yang
menyangkut perjanjian pengangkutan hanya mengenai suatu
perbuatan tertentu, yaitu memindahkan suatu barang atau orang dari
satu tempat ke tempat yang lain. Jadi jelas, menurut Prodjodikoro6,
bahwa perjanjian pengangkutan tidaklah dapat dimasukkan dalam
kategori persetujuan pemborongan sesuai pernyataan Pasal 1617
KUHPerdata.
Kewajiban pengangkut ialah menyelenggarakan pengangkutan barang
dan/atau orang dari satu tempat ke tempat tujuan dengan selamat. Istilah
“menyelenggarakan pengangkutan” berarti pengangkutan dapat dilaksanakan
sendiri oleh pengangkut atau dilakukan oleh orang lain, atas perintah
pengangkut. Istilah “dengan selamat” berarti pengangkutan yang tidak selamat
6 Ibid., hal. 61.

31
akan menjadi tanggung jawab pengangkut, sehingga pengangkut harus
membayar ganti rugi atau membayar santunan terhadap penumpang.
Sehubungan dengan masalah tanggung jawab tersebut, terdapat prinsip-
prinsip pertanggunganjawaban yang diberlakukan dalam bidang pengangkutan,
yaitu:7
1. Fault liability (tanggung jawab atas adanya kesalahan). Prinsip
tanggung jawab ini berdasarkan adanya prinsip kesalahan. Menurut
Atiyah, sebagaimana yang dikutip oleh
Syaifullah Wiroprodjo, secara tradisional prinsip tanggung
jawab atas adanya kesalahan ini memiliki 2 (dua) aspek, yaitu:
a. Adil apabila seseorang yang menyebabkan kerugian atau
kerusakan pada orang lain karena salahnya diwajibkan untuk
memberikan santunan atas kerugian tersebut kepada korban.
b. Adil apabila seseorang yang menyebabkan kerugian atau
kerusakan pada orang lain tanpa kesalahannya tidak usah
memberikan santunan kepada korban.
Selanjutnya yang juga penting dalam prinsip ini adalah masalah
pembagian beban pembuktian. Sebagaimana ketentuan umum yang
berlaku, pihak penggugat (plaintif) ialah pihak yang berkewajiban
untuk membuktikan bahwa pihak tergugat telah melakukan
perbuatan melawan hukum, dan telah melakukan kesalahannya itu,
serta mengakibatkan kerugian pada pihak penggugat. Apabila
penggugat gagal membuktikan salah satu elemen tersebut , maka
tuntutannya juga akan gagal.
Dengan kata lain, peristiwa-peristiwa yang menimbulkan suatu hak,
harus dibuktikan oleh pihak yang menuntut hak tersebut. Untuk
peristiwa yang menghapuskan hak tersebut, harus dibuktikan oleh
pihak yang membantah hak itu. Misalnya, penggugat cukup
menunjukkan adanya kerugian atau kecelakaan untuk menuntut
7 Syaifullah Wirodiprodjo, Tanggung Jawab Pengangkut dalam Hukum Pengangkutan Udara
Internasional dan Nasional (Yogyakarta: Liberty, 1989), hal. 20.

32
pihak tergugat, dan apabila tergugat tidak dapat membuktikan bahwa
kerugian tersebut bukan karena salahnya, maka dia harus membayar
santunan atas kerugian tersebut.
2. Presumption of liability (tanggung jawab berdasarkan atas
praduga). Dalam prinsip ini pengangkut dianggap selalu bertanggung
jawab atas setiap kerugian yang timbul dari pengangkutan yang
diselenggarakannya. Tetapi jika pengangkut dapat membuktikan
bahwa pihaknya tidak bersalah, maka dia dapat dibebaskan dari
tanggung jawab untuk membayar ganti kerugian.
Yang dimaksud dengan “tidak bersalah” adalah tidak melakukan,
atau melakukan kelalaian tetapi telah berupaya melakukan tindakan
yang perlu untuk menghindari kerugian, atau peristiwa yang
menimbulkan kerugian itu tidak mungkin dihindari. Pembebanan
pembuktian ada pada pengangkut, bukan pada pihak yang dirugikan.
Pihak yang dirugikan cukup menunjukkan adanya kerugian yang
diderita dalam pengangkutan yang diselenggarakan oleh pengangkut.
Dengan demikian, hukum pengangkutan di Indonesia ialah
berdasarkan pada prinsip tanggung jawab kesalahan dan tanggung
jawab praduga. Jadi, tanggung jawab karena kesalahan merupakan
asasnya, sedang tanggung jawab praduga merupakan
pengecualiannya.
3. Absolute of liability/strict of liability (tanggung jawab mutlak).
Di dalam tanggung jawab mutlak ini, pengangkut harus bertanggung
jawab atas setiap kerugian yang timbul dalam pengangkutan, di mana
pengangkut tidak harus membuktikan adanya kesalahan. Jadi dalam
hal ini, pengangkut bertanggung jawab atas setiap kerugian yang
timbul karena peristiwa apapun dalam penyelenggaraan
pengangkutan.
Pengangkut yang menyediakan jasa pengangkutan harus memiliki
komitmen dengan apa yang ditawarkan, sesuai dengan ongkos angkut
yang dimintanya, dan tetap memegang asas-asas perjanjian

33
pengangkutan serta tujuan pengangkutan sebagaimana yang diatur dalam
Undang-undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran, yaitu untuk
memperlancar arus perpindahan orang dan barang melalui perairan
dengan selamat, aman, cepat, tertib, teratur, nyaman dan berdaya guna
dengan biaya yang terjangkau oleh masyarakat.
D. Hak dan Kewajiban Para Pihak Dalam Pengangkutan Laut
Para pihak dalam perjanjian pengangkutan barang melalui laut terdiri
dari pihak pengangkut dan pengirim/penerima barang. Secara garis besarnya,
pihak pengangkut mempunyai kewajiban menjaga keselamatan barang yang
diangkutnya sejak dimuat sampai dengan penyerahannya di pelabuhan,
sedangkan pemilik barang/penerima barang berkewajiban untuk membayar
ongkos-ongkos pengangkutan (freight) atas pengangkutan barang yang
diperintahkannya untuk diangkut tersebut.
Pasal 1 ayat (2) dari The Hague Rules 1924 menjelaskan mengenai
perjanjian pengangkutan dengan mengatakan bahwa
“Contract of carriage, applies only the contracts of carriage covered by a bill of
lading or any similar document of title, insofar as such document related to the
carriage of goods by sea, including any bill of lading or any similar document
as aforesaid issued under a pursuant to a charter-party from the moment at
which such bill of lading or similar document of title regulates the relations
between a carrier and a holder of the same”.
Dapat dipahami dari penjelasan di atas, bahwa perjanjian pengangkutan
mewajibkan pihak pengangkut untuk menjaga keselamatan barang yang harus
diangkutnya, mulai saat diterimanya barang hingga saat diserahkannya barang
tersebut. Hal seperti itu sama dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 468
KUHD.
Dalam perjanjian pengangkutan, pihak pengangkut dapat dikatakan
sudah mengakui menerima barang/penumpang dan menyanggupi untuk
membawanya ke tempat yang dituju dan menyerahkannya kepada si alamat yang

34
dituju, dengan dibuktikan oleh diserahkannya surat muatan bagi pengangkutan
barang atau dengan tiket untuk pengangkutan penumpang.
Mengenai kewajiban pengangkut diatur dalam Pasal 468, Pasal 521, dan
Pasal 522 KUHD. Pasal 468 KUHD menyatakan bahwa “Dalam persetujuan
pengangkutan, mewajibkan pengangkut untuk menjaga akan keselamatan barang
yang harus diangkutnya, mulai saat diterimanya hingga saat diserahkannya
barang tersebut”.
Kemudian, Pasal 521 KUHD menjelaskan bahwa
“Pengangkutan dalam arti ini adalah barang siapa yang baik dengan suatu carter
menurut waktu atau carter menurut perjalanan baik dengan sesuatu persetujuan
lain, mengikatkan dirinya untuk menyelenggarakan pengangkutan barang,
seluruhnya atau sebagian melalui lautan”.
Selanjutnya, Pasal 522 KUHD juga menjelaskan bahwa “Persetujuan
pengangkutan mewajibkan pengangkut untuk menjaga keselamatan barang,
sejak dimuat hingga menyerahkannya kepada penerima di pelabuhan tiba”.
Selain hal tersebut di atas, pengangkut juga harus bertanggung jawab,
dalam arti harus mengganti segala yang disebabkan kerugian karena kerusakan
pada barang atau kehilangan barang karena pengangkutan. Kecuali, apabila
dapat dibuktikan bahwa rusaknya barang disebabkan oleh kejadian yang
selayaknya tak dapat dicegah maupun dihindarkan, ataupun karena kesalahan
pengirim sendiri.
Hak pengangkut ialah menerima ongkos pengangkutan sesuai apa yang
diperjanjikan di dalam B/L.

35
BAB IV
TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT DALAM KEGIATAN
PENGANGKUTAN DI LAUT
A. Perjanjian Pengangkutan Laut
Perjanjian pengangkutan merupakan perjanjian timbal balik. Perjanjian
timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan hak dan kewajiban bagi para
pihak yang mengadakan perjanjian tersebut, yang dalam hal ini ialah
pengangkut dan pengirim barang. Di satu pihak, pengangkut ingin memikul
tanggung jawab yang sekecil-kecilnya, sedangkan di lain pihak, pengirim barang
mengharapkan pertanggungjawaban yang besar-besarnya dari pengangkut. Oleh
karena itulah, baik dalam undang-undang nasional maupun konvensi
internasional telah diatur ketentuan-ketentuan mengenai tanggung jawab dalam
proses pengangkutan.
1. Periode Tanggung Jawab Pengangkut
Sebagaimana dinyatakan pada Pasal 468 ayat (2) Kitab UndangUndang
Hukum Dagang (KUHD), bahwa kewajiban pengangkut yang utama ialah
menyelenggarakan pengangkutan dan menjaga keselamatan barang yang
diangkut mulai diterimanya dari pengirim sampai diserahkannya kepada
penerima barang. Hal itu berarti, periode (jangka waktu) mulai dan berakhirnya
tanggung jawab pengangkut tergantung kepada saat penerimaan dan saat
penyerahan barang.
Sehubungan dengan adanya ketentuan di atas, dengan adanya istilah
“saat diterima” dan “saat diserahkannya”, maka hal itu dapat menimbulkan suatu
masalah, yaitu saat kapankah dianggap telah terjadi penerimaan oleh
pengangkut? Dan selanjutnya, kapankah saat terjadinya penyerahan oleh
pengangkut?
Perlu diketahui, bahwa barang-barang yang diangkut dapat diterima
pengangkut melalui gudang, di samping kapal, atau bahkan di suatu tempat lain.
35

36
Oleh karena ketentuan KUHD sebagaimana yang telah disebutkan di atas tidak
memberikan kejelasan yang rinci, maka untuk itu perlu di dalam surat perjanjian
pengangkutan ditegaskan tentang:
1. Cara penerimaan barang dari pengirim barang kepada pengangkut,
serta;
2. Cara penyerahan barang dari pengangkut kepada penerima barang.
Apabila ditentukan penerimaan barang melalui gudang, hal ini berarti
barang-barang yang akan diangkut diserahterimakan oleh pengirim barang
kepada pengangkut di luar gudang pelabuhan pemuatan atau gudang lini I.
Maka, mulai dari pintu luar gudang pemuatan barang-barang tersebut menjadi
tanggung jawab pengangkut sampai barang diangkut serta diserahkan di
pelabuhan tujuan.
Dengan demikian, apabila telah diperjanjikan, bahwa selama barang itu
masih di gudang, maka dia masih menjadi tanggung jawab pengirim barang,
pengangkut barulah mulai bertanggung jawab sejak barang tadi dikeluarkan dari
gudang untuk diangkut.
Demikian pula, jika penyerahan barang melalui gudang, maka
pengangkut bertanggung jawab sampai barang itu diserahkan kepada penerima
di pintu luar gudang pelabuhan atau gudang lini I. Selama berada dalam gudang,
maka pengangkut masih bertanggung jawab atas barang tersebut.
Ketidakjelasan pengaturan oleh KUHD mengenai periode tanggung
jawab ini dalam praktiknya cukup mendapatkan perhatian. Berkaitan dengan hal
itu, maka perlu pula kiranya diperhatikan suatu Peraturan Pemerintah (PP) yang
pada saat ini sudah dinyatakan tidak berlaku lagi, yaitu PP Nomor 2 Tahun 1969
tentang Pengusahaan dan Penyelenggaraan Angkutan Laut, yang di dalam Pasal
14 ayat (1) dan ayat (2)-nya menjelaskan bahwa:
(1) Perusahaan pelayaran bertanggung jawab sebagai pengangkut
barang kepada pemilik barang sejak saat menerima barang dari
pengirim sampai menyerahkan barang yang diangkutnya kepada
penerima sesuai dengan ketentuan perundangundangan yang

37
berlaku atau syarat-syarat perjanjian pengangkutan dan kelaziman
yang berlaku dalam bidang pelayaran.
(2) Dalam suatu perusahaan pelayaran menguasai gudang laut seperti
dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) dan (3), perusahaan pelayaran
yang bersangkutan bertanggung jawab atas kehilangan dan
kerusakan barang selama barang-barang tersebut berada dalam
gudang laut.
Bunyi Pasal 14 ayat (1) tersebut dinyatakan lebih jelas dan tegas dari
bunyi pengaturan pada Pasal 468 ayat (1) KUHD. Masih terkait dengan masalah
penentuan secara pasti periode tanggung jawab, apabila tidak ada pengaturannya
dalam perundang-undangan, tidak diatur secara jelas tentang periode tanggung
jawab pengangkut, maka hal itu dapat dilihat dari syarat perjanjian
pengangkutan dan kelaziman yang berlaku dalam bidang pelayaran.
Jika dalam perjanjian pengangkutan ada mengatur mengenai periode
tersebut secara jelas, maka dengan sendirinya masalah pada saat kapan barang
dianggap telah diterima dan diserahkan oleh pengangkut tidak lagi menjadi
persoalan antara pengangkut dengan pengirim barang.
Pertanggungjawaban yang dipikul oleh pengangkut merupakan suatu
kenyataan (fakta) yang timbul akibat adanya pelaksanaan perjanjian
pengangkutan. Pengangkut dalam perjanjian pengangkutan itu ialah pihak yang
telah mengikatkan dirinya untuk memberikan suatu jasa kepada pihak lain
(pihak pengirim dan penerima barang).
2. Dasar Tanggung Jawab Pengangkut
Dasar tanggung jawab pengangkut ialah kewajiban yang timbul dari
perjanjian pengangkutan. Sehubungan dengan itu perlu diperhatikan ketentuan
Pasal 1 KUHD yang menyatakan bahwa “Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, seberapa jauh dari padanya dalam kitab ini tidak khusus diadakan
penyimpangan-penyimpangan, berlaku juga terhadap hal-hal yang dibicarakan
dalam kitab ini”.

38
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 KUHD tersebut, maka ketentuan umum
mengenai perjanjian yang terdapat dalam Buku III Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (KUHPerdata) berlaku pula bagi perjanjian pengangkutan laut
kecuali ada ketentuan yang bersifat khusus. Untuk itu perlu diperhatikan
(dikutip) Pasal 1235 sampai dengan Pasal 1238 KUHPerdata.
Pasal 1235 ayat (1) KUHPerdata menjelaskan bahwa “Dalam tiap-tiap
perikatan untuk memberikan sesuatu adalah termaktub kewajiban si berhutang
untuk menyerahkan kebendaan yang bersangkutan dan untuk merawatnya
sebagai seorang bapak rumah yang baik, sampai pada saat penyerahan”.
Selanjutnya, Pasal 1236 menjelaskan bahwa “Si berhutang adalah berwajib
memberikan ganti biaya, rugi dan bunga kepada si berpiutang, apabila ia telah
membawa dirinya dalam keadaan tak mampu untuk menyerahkan
kebendaannya, atau telah tidak merawatnya sepatutnya guna
menyelamatkannya”.
Kemudian, Pasal 1237 menjelaskan bahwa “Dalam hal adanya perikatan
untuk memberikan suatu kebendaan tertentu, kebendaan itu semenjak perikatan
dilahirkan, adalah atas tanggungan si berpiutang. Jika si berhutang lalai akan
menyerahkannya, maka semenjak saat kelalaian, kebendaan adalah atas
tanggungannya”.
Dan lebih lanjut Pasal 1238 menjelaskan bahwa “Si berhutang adalah
lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah
dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan,
bahwa si berhutang akan harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang
ditentukan”.
Di samping pasal-pasal tersebut di atas, Pasal 1706 dan Pasal 1707
mengenai penitipan kiranya dapat pula diperlakukan sebagai dasar
pertanggungjawaban pihak pengangkutan. Pasal 1706 KUHPerdata menjelaskan
bahwa “Si penerima titipan diwajibkan mengenai perawatan barang yang
dipercayakan padanya, memeliharanya dengan minat yang sama seperti ia
memelihara barang-barangnya sendiri”.

39
Selanjutnya, Pasal 1707 KUHPerdata menjelaskan bahwa “Ketentuan
pasal yang lalu harus dilakukan lebih keras:
1. Jika si penerima titipan telah menawarkan dirinya untuk
menyimpan barangnya;
2. Jika ia telah meminta diperjanjikannya sesuatu upah yang
menyimpan itu;
3. Jika penitipan telah terjadi sedikit banyak untuk kepentingan si
penerima titipan;
4. Jika telah diperjanjikan bahwa si penerima titipan akan
menanggung segala macam kelalaian”.
Kemudian, menurut Pasal 468 ayat (3) KUHD, tanggung jawab
pengangkut juga meliputi segala perbuatan mereka yang dipekerjakan bagi
kepentingan pengangkutan itu dan segala barang (alat-alat) yang dipakainya
untuk menyelenggarakan pengangkutan itu. Jadi, tanggung jawab pengangkut
meliputi:
1. Perbuatan orang-orang yang dipekerjakan untuk pengangkutan
ini. Hal itu adalah wajar, karena orang-orang tersebut bekerja
untuk kepentingan pengangkut, bukan untuk orang lain. Orang-
orang yang dimaksud tadi termasuk juga nakhoda kapal, anak
buah kapal, serta cabang atau agen-agen dari pengangkut.
Mengenai hal di atas, ialah sesuai dengan ketentuan yang terdapat
dalam Pasal 321 KUHD, yang menjelaskan bahwa “Pengusaha
adalah terikat oleh segala perbuatan hukum yang dilakukan oleh
mereka, yang bekerja tetap atau sementara pada kapalnya, di
dalam jabatan mereka dalam lingkungan kekuasaan mereka. Dia
adalah bertanggung jawab untuk segala kerugian yang diterbitkan
pada pihak ke tiga, oleh sesuatu perbuatan melanggar hukum dari
mereka yang bekerja tetap atau sementara pada kapalnya atau
yang melakukan sesuatu pekerjaan di kapal guna kepentingan
kapal atau muatannya, asal perbuatan melanggar hukum tadi

40
dilakukan dalam jabatan mereka atau pada waktu mereka itu
sedang melakukan pekerjaan mereka”.
Ketentuan tersebut setidaknya memiliki arti bahwa ada 2 (dua)
macam tanggung jawab pengusaha kapal/pengangkut, yaitu:
a. Bertanggung jawab atas perbuatan hukum yang dilakukan
oleh orang-orang pekerja dari kapal dalam lingkungan
kewenangannya.
b. Bertanggung jawab terhadap kerugian yang disebabkan oleh
perbuatan melawan hukum dari mereka yang dalam
melakukan pekerjaan untuk kapal atau muatannya, dengan
syarat perbuatan itu dilakukan dalam lingkungan
pekerjaannya.
Pertanggungjawaban dalam hal yang pertama ialah suatu hakekat
hukum yang sudah termuat dalam Pasal 1792 KUHPerdata mengenai
pemberian kuasa (lastgeving). Hakekat hukum ini menurut Wirjono
Prodjodikoro ialah “Bahwa apabila seseorang memberi kuasa kepada
orang lain guna melakukan sesuatu untuk si pemberi kuasa, maka kini
terselip suatu perwakilan langsung dari si pemberi kuasa seolah-olah
melakukan sendiri perbuatan hukum itu”.1 Oleh karena itu, sudah
semestinya bahwa tanggung jawab pengangkut terhadap orang-orang
yang dia pekerjakan itu dibatasi hanya dalam lingkungan kewenangan
untuk melakukan pekerjaan masingmasing.
2. Penyelenggaraan atas kapalnya (to make the ship sea worthy) dan
penyelenggaraan ruang-ruang muatan, serta penempatan barang
yang untuk selanjutnya diangkut ke pelabuhan tujuan (cargo
worthiness of the ship).
Jadi, dalam hal ini kapal yang digunakan untuk melakukan
pengangkutan itu harus layak melaut. Jika kapal secara teknis
cukup layak melaut, namun ternyata ruangan muatan tidak cukup
1 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Laut bagi Indonesia (Sumur, 1984), hal. 93.

41
wajar untuk barang yang diangkut, maka kapal tersebut menjadi
tidak layak melaut.
Pengangkut yang melaksanakan pengangkutan tidak dengan sewajarnya
sehingga menimbulkan kerusakan atau kehilangan barangbarang, maka
pengangkut itu harus bertanggung jawab untuk mengganti kerugian atas
kerusakan atau kehilangan karena kelalaian atau kesalahannya tadi.
Pasal 468 ayat (2) KUHD mewajibkan kepada pengangkut untuk
mengganti kerugian pengirim apabila barang yang diangkutnya tidak dapat
diserahkannya atau mengalami kerusakan, kecuali jika tidak dapat
diserahkannya atau rusaknya barang itu disebabkan oleh:
1. Suatu melapetaka yang tidak dapat dihindarkan terjadinya.
2. Sifat, keadaan, atau cacat dari barang itu sendiri.
3. Suatu kelalaian atau kesalahan si pengirim sendiri.
Mengenai hal tersebut di atas, maka terlihat adanya kesamaan dengan
Pasal 1244 dan Pasal 1245 KUHPerdata. Perbedaannya hanya terletak dalam
perumusan keadaan memaksa. Untuk itu, sebaiknya perlu disimak isi kedua
pasal tersebut.
Pasal 1244 KUHPerdata menjelaskan bahwa “Jika ada alasan untuk itu,
si berhutang harus dihukum mengganti biaya, rugi dan bunga apabila ia tidak
dapat membuktikan, bahwa hal itu tidak atau tidak pada waktu yang tepat
dilaksanakannya perikatan itu, disebabkan karena suatu hal yang tak terduga,
pun tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya, kesemuanya itupun jika itikad
buruk tidaklah ada pada pihaknya”.
Kemudian, Pasal 1245 KUHPerdata menjelaskan bahwa “Tidaklah biaya
rugi dan bunga, harus digantinya, apabila lantaran keadaan memaksa atau
lantaran suatu kejadian tidak disengaja si berhutang berhalangan memberikan
atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau lantaran hal-hal yang sama telah
melakukan perbuatan yang terlarang”.
Pasal 1244 KUHPerdata menggunakan kata-kata “Suatu hal yang tak
terduga, pun tidak dapat dipertanggungjawabakan”, sedangkan Pasal 1245
KUHPerdata menggunakan “keadaan memaksa atau lantaran suatu kejadian

42
tidak disengaja”, dan Pasal 468 KUHD menggunakan “Suatu melapetaka yang
selayaknya tidak dapat dicegah maupun dihindarkannya”.
Ketentuan Pasal 468 ayat (2) ini dapat memberikan pengertian yang
kabur, karena tidak jelas melapetaka yang mana dan yang berupa apa yang tidak
selayaknya dapat dicegah atau dihindarkan. Hal tersebut tidak juga dijelaskan
dalam pasal-pasal selanjutnya. Dengan adanya ketentuan yang demikian, sering
dalam praktiknya pengangkut berdalih bahwa telah terjadi force majeur untuk
menolak tuntutan ganti kerugian pemilik/penerima barang.
Namun sebenarnya peristiwa yang berupa force majeur tersebut tidaklah
membebaskan sama sekali pengangkut dari kewajiban melakukan dengan
sewajarnya untuk menghindarkan atau memperkecil kehilangan atau kerusakan
barang yang diangkut. Jadi, meskipun dalam konosemen telah ditegaskan
mengenai pembebasan tanggung jawab dari kehilangan atau kerusakan barang
yang disebabkan oleh force majeur, pengangkut harus tetap membuktikan bahwa
dia telah berusaha menghindarkan atau mengurangi akibat dari force majeur itu
secara wajar. Misalnya, dalam hal terjadinya angin topan, maka harus tetap
dibuktikan apakah si pengangkut telah mengikat dengan sebaik-baiknya (dengan
erat) barang-barang yang diangkutnya. Jika pengangkut tidak dapat
membuktikan usahanya untuk mengikat dengan baik itu, maka pengangkut harus
tetap memberi ganti kerugian.
Selain itu, undang-undang memperbolehkan pengangkut untuk tidak
mengganti kerugian atas kerusakan atau kehilangan barang-barang yang
diangkut yang disebabkan oleh sifat dan cacat barang itu sendiri atau karena
kesalahan pengirim. Misalnya, barang rusak karena akibat pembungkusan yang
tidak sempurna, atau apabila barang yang dikirimkannya memang sudah terlalu
matang, sedangkan jarak yang akan ditempuh oleh kapal sangat jauh, sehingga
menurut sifatnya barang itu dapat menjadi busuk sesampainya di tempat
consignee. Maka, jika si pengangkut dapat membuktikan kesalahan si pengirim
dalam pembungkusan barang atau cacat barang tersebut ialah karena faktor
sifatnya, pengangkut dapat dibebaskan dari tanggung jawab mengganti kerugian
itu.

43
Pasal 469 KUHD menjelaskan bahwa “Untuk dicurinya atau hilangnya
emas, perak, permata dan lain-lain barang berharga, uang dan surat-surat
berharga yang mudah mendapat kerusakan, tidaklah si pengangkut bertanggung
jawab, melainkan apabila tentang sifat dan harga barang-barang tersebut,
diberitahukan kepadanya, sebelum atau sewaktu barang-barang tadi
diterimanya”.
Dengan demikian, kalau orang mengirim barang berharga maka dia harus
memberitahukan kepada pengangkut, bahwa barang itu ialah emas dan harus
pula memberitahukan harganya. Apabila si pengirim tidak memberitahukan
sebelum barang itu diserahkannya untuk diangkut, atau pada saat barang itu akan
diangkut, maka jika barang itu hilang atau rusak di dalam perjalanan, ini
merupakan suatu hal yang wajar saja kalau akhirnya si pengangkut tidak mau
bertanggung jawab.
Apabila telah diberitahukan sifat dan harga barang yang menjadi objek
pengangkutan, maka barulah si pengangkut diwajibkan untuk memberi ganti
kerugian jika terjadi kerusakan atau kehilangan atas barang tadi.
Dengan adanya pemberitahuan kepada pengangkut, dia dapat
menentukan suatu tempat yang aman di dalam kapal untuk barangbarang
berharga tersebut. Demikian pula, dia dapat menentukan biaya angkutannya
(uang tambang). Dari sudut tuntutan ganti kerugian, pengirim barang juga
mempunyai kepentingan untuk memberitahukan adanya barang berharga
tersebut. Apabila tidak diberitahukan harganya, jika barang berharga itu hilang,
maka pengangkut hanya mengganti kerugian berdasarkan harga barang-barang
biasa saja. Sebaliknya, jika diberitahukan harganya, maka penggantian kerugian
didasarkan kepada harga yang sebenarnya dari barang-barang berharga tersebut.
Dalam praktik, saat penyerahan barang-barang yang akan diangkut dari
pengirim kepada pengangkut, barang-barang itu telah dikemas dalam koli-koli2
dan diberi tanda merek atau tanda pengenal lainnya. Hal ini dimaksudkan untuk
menghindari terjadinya kerugian karena kerusakan atau kehilangan barang
dalam pengangkutan.
2 Dalam bahasa Belanda, “colli” berarti barang kiriman atau peti kiriman.

44
Merek atau tanda pengenal tersebut sangat penting bagi pengangkut
sebagai pedoman dalam menyelenggarakan pengangkutan barang. Mengenai
kebenaran dari merek atau tanda pengenal sebagaimana telah diberitahukan
kepada pengangkut ialah menjadi tanggung jawab pengirim barang.
Demikian juga tentang isi dan berat koli barang menjadi tanggung jawab
pengirim barang. Pengangkut hanya berpegang pada keterangan dari pengirim
barang, karena barang sudah dikemas dalam koli. Oleh karena itu, pada
konosemen dicantumkan perkataan “said to weight” untuk berat koli dan “said
to contain” untuk isi koli. Hal ini berarti bahwa pengangkut tidak bertanggung
jawab atas isi dan berat koli jika ternyata isi dan berat koli berkurang atau
mengalami kerusakan, asalkan koli barang diserahkan kepada penerima barang
dalam keadaan seperti ketika diterimanya dari pengirim barang.
Sebaliknya, jika pengangkut menerima barang dari pengirim barang
dalam keadaan utuh tetapi ketika menyerahkannya kepada penerima barang
dalam keadaan rusak atau berkurang jumlahnya, maka pengangkut harus
bertanggung jawab untuk mengganti kerugian.
Di samping hal tersebut di atas, dalam Pasal 477 KUHD ditetapkan
bahwa pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang dialami oleh pemilik
barang jika pengangkut terlambat menyerahkan barang-barang kepada penerima,
kecuali pengangkut dapat membuktikan bahwa keterlambatan tadi disebabkan
oleh kejadian yang menurut kepantasan tidak dapat dihindari atau dicegah oleh
pengangkut.
Kejadian yang dapat memperlambat penyerahan barang kepada penerima
yang bisa dianggap sebagai force majeur ialah dalam hal-hal sebagai berikut:3
1. Mesin atau baling-baling rusak sehingga terpaksa pelayaran
ditunda untuk memperbaiki kerusakan tersebut. Bagian-bagian
kapal yang rusak yang dapat diperbaiki sampai kapal berlayar
tidak termasuk dalam kategori ini.
2. Kapal melakukan penyimpangan dari rute yang seharusnya
dilayari untuk menghindari topan.
3 Radiks Purba, Angkutan Muatan Laut, Jilid III (Jakarta: Bharata Karya Ahsna, 1982), hal. 143.

45
3. Kapal menolong orang yang berada dalam keadaan bahaya di
lautan, misalnya penumpang kapal yang tenggelam.
4. Kapal terpaksa memasuki suatu pelabuhan yang bukan pelabuhan
yang akan disinggahi untuk meminta pertolongan dokter atau
untuk menurunkan penumpang atau awal kapal yang perlu segera
mendapatkan pertolongan dari dokter untuk menyelamatkan
jiwanya.
5. Kapal dihadang oleh kapal bajak laut, tetapi berhasil melepaskan
diri melalui perjuangan dan perlawanan yang berat.
Kejadian-kejadian yang dialami kapal seperti yang disebutkan di atas harus
dibuktikan oleh nakhoda agar pengangkut dapat bebas dari tanggung jawab
untuk mengganti kerugian.
Selanjutnya, dalam Pasal 478 dan Pasal 479 KUHD ditetapkan hak
pengangkut atas tuntutan ganti kerugian terhadap pemilik barang dalam hal
pengangkut menderita kerugian:
1. Karena surat-surat yang perlu untuk pengangkutan barangbarang
tidak diberikan kepadanya sebagaimana mestinya. Surat-surat
tersebut ialah surat-surat yang harus disediakan oleh pengirim
barang. Misalnya, tembusan surat pemberitahuan ekspor barang
tidak diberikan, sehingga kapal tertunda meninggalkan pelabuhan
muat yang berarti ada tambahan biaya bagi kapal untuk berlabuh.
2. Karena kepadanya tidak diberitahukan dengan sebenarnya
keadaan wujud dan sifat-sifat barang oleh pemilik barang.
Atas kerugian yang diderita oleh pengangkut, yaitu sebesar tambahan biaya
tersebut, pengangkut berhak memperoleh penggantian dari pengirim barang.
Dalam hal ini pengangkut juga berhak memusnahkan atau membuang
barang-barang yang membahayakan barang-barang lain atau membahayakan
kapal, barang selundupan, tanpa mengganti kerugian kepada pemilik barang.
Barang-barang yang dapat membahayakan kapal dan muatan kapal terdiri dari
barang-barang bahaya seperti dinamit, serta barang-barang yang mudah terbakar,
misalnya korek api, dan mesiu.

46
Pemilik barang harus memberitahukan kepada pengangkut dengan
lengkap dan sebenarnya mengenai keadaan wujud dan sifat-sifat dari barang-
barang tersebut. Jika dia tidak memberitahukan secara lengkap dan sebenarnya
kepada pengangkut, maka apabila pengangkut menderita kerugian disebabkan
barang-barang itu, pemilik barang wajib mengganti kerugian yang diderita oleh
pengangkut.
Pemberitahuan tersebut diperlukan agar pengangkut dapat mengatur
pemadatannya di dalam palka kapalnya sedemikian rupa, sehingga barang-
barang itu dan kapal pengangkutnya sendiri dapat terhindar dari kerusakan. Hal
yang demikian tentunya sesuai dengan prinsip pada proses pengangkutan
barang, yaitu bahwa tujuan terakhir dari pengangkutan barang-barang ialah
penyerahan barang-barang yang diangkut oleh pengangkut kepada penerima
barang di pelabuhan tujuan dapat dilakukan dengan selamat.
Pasal 480 KUHD mengatur cara-cara penyerahan barang-barang oleh
pengangkut kepada penerima di pelabuhan tujuan (pembongkaran) atau di suatu
tempat yang berdekatan dengan pelabuhan tujuan, yaitu tempat di mana kapal
bisa dengan mudah, aman, dan tepat dalam keadaan terapung melakukan
pembongkaran. Jika penerima barang menerima barang-barangnya di samping
kapal, maka dia akan menerimanya di dermaga atau dengan menggunakan
perahu-perahu.
Dengan diserahkannya barang-barang oleh pengangkut kepada penerima
(consignee), maka menurut ketentuan Pasal 468 KUHD, berakhir pula tanggung
jawab pengangkut terhadap barang-barang tersebut. Namun sebenarnya
pengangkut masih belum lepas sama sekali dari tanggung jawabnya. Atas
permintaan penerima barang, maka pengangkut dapat mengadakan pemeriksaan,
pengukuran atau penimbangan barang yang diserahkan oleh pengangkut kepada
penerima barang, atau mengawasi perhitungan, pengukuran atau penimbangan
barang-barang yang diserahkan itu.
Dalam Pasal 481 ayat (2) KUHD, ditetapkan bahwa perhitungan,
pengukuran atau penimbangan mengikat pengangkut dan penerima barang,
kecuali kalau dapat dibuktikan ketidakbenarannya. Hal tersebut dapat terjadi

47
apabila salah satu pihak, baik pihak penerima barang maupun pengangkut
merasa tidak puas dengan hasil survei, maka yang berkeberatan harus dapat
membuktikan ketidakbenarannya. Biaya yang timbul untuk pelaksanaan survei
itu dipikul bersama, artinya oleh pengangkut dan penerima barang. Akan tetapi,
jika pemeriksaan barang itu diminta oleh penerima barang saja, maka biayanya
menjadi beban penerima barang.
Namun demikian, berdasarkan Pasal 482 KUHD, nakhoda dapat
menolak diadakannya survei dengan alasan akan menghambat keberangkatan
kapalnya. Hal ini tentunya merupakan suatu hal yang sangat penting dalam
penyelenggaraan pengangkutan laut, yaitu terkait dengan kecepatan dalam
melakukan pemuatan, pelayaran, dan pembongkaran.
3. Pembatasan Tanggung Jawab Pengangkut
Apabila diperhatikan pasal-pasal di dalam KUHD, maka dapat dibedakan
3 (tiga) macam pertanggungjawaban pengangkut:
1. Pengangkut wajib untuk menjaga keselamatan barang
yang harus diangkutnya, dan menjadi tanggung jawabnya apabila
barang itu seluruhnya atau sebagian tidak dapat diserahkan atau
menjadi rusak (Pasal 468 ayat (1) dan (2) KUHD). Dalam hal ini, ada
beberapa kemungkinan yang dapat terjadi. Kemungkinan tersebut ialah
sebagai berikut:
a. Dia bertanggung jawab apabila barang seluruhnya atau sebagian
tidak dapat diserahkan.
b. Dia bertanggung jawab apabila barang seluruhnya atau sebagian
menjadi rusak.
c. Dia bertanggung jawab apabila dia terlambat menyerahkan
barang yang diangkutnya.
Jika ketiga hal tersebut di atas terjadi berarti si pengangkut diwajibkan
membayar ganti kerugian.

48
2. Pengangkut bertanggung jawab untuk kerugian yang
disebabkan karena terlambat diserahkannya barang yang diangkutnya
(Pasal 477 KUHD).
3. Pengangkut bertanggung jawab untuk perbuatan dari
orangorang yang dipekerjakannya, dan untuk segala benda yang
dipakainya dalam menyelenggarakan pengangkutan.
Periode yang ditetapkan dalam undang-undang kepada pengangkut untuk
bertanggung jawab adalah cukup panjang, yaitu mulai saat penerimaan sampai
pada saat penyerahan barang. Berarti, tanggung jawabnya tidak hanya selama
barang di dalam kapal saja, tetapi juga sebelum dimuat serta sesudah dibongkar
ke dan dari kapal, asal barang itu masih berada dalam kekuasaannya, baik di
lapangan terbuka maupun di dalam gudang, tetapi menjadi tanggung jawabnya.
Segala peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam jangka waktu tersebut yang
menyebabkan dia tidak dapat menyerahkan seluruh atau sebagian barang,
seluruh atau sebagian barang menjadi rusak karenanya, serta yang
mengakibatkan dia terlambat menyerahkan barang yang diangkutnya, ialah
merupakan tanggung jawabnya. Tentu saja hal ini merupakan suatu hal yang
berat bagi si pengangkut. Namun demikian, dalam Pasal 468 ayat (2) KUHD
juga dinyatakan bahwa pengangkut dibebaskan dari kewajiban untuk
memberikan ganti kerugian apabila dia dapat membuktikan bahwa kewajibannya
tidak dapat dilakukan sebagai akibat dari:
1. Suatu peristiwa yang selayaknya tidak dapat dicegah maupun
dihindarkannya, atau;
2. Cacat dari barang itu sendiri, atau; 3. Oleh karena kesalahan dari
pengirim.
Sebagai contoh, misalnya terjadi suatu peristiwa yang menyebabkan
kapal tenggelam, sehingga si pengangkut menderita kerugian yang besar, maka
dia harus tetap mengumpulkan bukti-bukti. Bukti-bukti ini ialah agar dia dapat
membuktikan bahwa dia tidak bersalah, sehingga bisa dibebaskan dari
kewajiban membayar ganti kerugian kepada pengirim barang. Dia (pengangkut)
harus dapat membuktikan bahwa tidak diserahkannya barang atau rusaknya

49
barang tadi ialah karena suatu malapetaka yang selayaknya tidak dapat dicegah
ataupun dihindarkannya.
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, penafsiran terhadap kalimat
“malapetaka yang selayaknya tidak dapat dicegah” dapat bermacam-macam,
sehingga dapat mengundang pengertian yang kabur (menimbulkan keragu-
raguan). Tidak ada satu pasalpun di dalam KUHD yang memberikan kejelasan
tentang kalimat tersebut. Namun, jika kerugian yang timbul itu terjadi sebagai
akibat perbuatan dari orang yang dipekerjakannya (pihak yang disuruh olehnya
untuk melakukan pekerjaan pengangkutan) dan diakibatkan penggunaan
peralatan yang tidak semestinya dalam menyelenggarakan pengangkutan tadi,
maka pengangkut tidaklah bebas dari pertanggungjawaban.
Mengingat beratnya tanggung jawab yang dipikul oleh pengangkut, maka
diadakan pula ketentuan-ketentuan yang memperkenankan pengangkut untuk
membatasi tanggung jawabnya. Hal ini dapat dimengerti, sebab jika pengangkut
sama sekali tidak diperkenankan membatasi tanggung jawabnya, maka ada
kemungkinan akan sangat kecil atau bahkan tidak ada pihak yang mau
menyediakan diri sebagai pengangkut. Akibat ketiadaan pihak pengangkut
dalam pengangkutan laut justru akan menimbulkan dampak yang sangat luas
bagi kehidupan negara pada umumnya, atau pada negara-negara maritim
khususnya.
KUHD mengadakan pembatasan pertanggungjawaban pengangkut dalam
beberapa pasalnya. Pasal 469 KUHD menetapkan bahwa untuk dicurinya atau
hilangnya emas, perak, permata dan lainlain barang berharga, uang dan surat-
surat berharga, begitupun untuk kerusakan pada barang-barang berharga yang
mudah mendapat kerusakan, tidaklah si pengangkut bertanggung jawab,
melainkan apabila tentang sifat dan harga barang-barang tersebut, diberitahukan
kepadanya, sebelum atau sewaktu barang-barang tadi diterimanya.
Kemudian, Pasal 470 ayat (1) KUHD menjelaskan bahwa tidak
diperbolehkan kepada si pengangkut untuk minta diperjanjikan, bahwa dia tidak
bertanggung jawab atau tidak selamanya sampai suatu harga yang terbatas untuk
kerugian yang disebabkan karena kurang diusahakannya akan pemeliharaan,

50
perlengkapan alat pengangkutannya, ataupun kurang diusahakannya
kesanggupan alat pengangkut itu untuk dipakai menyelenggarakan
pengangkutan menurut persetujuan, ataupun yang disebabkan karena salah
memperlakukannya atau kurang penjagaannya terhadap barang yang diangkut.
Janji-janji yang bermaksud demikian ialah batal.
Salah memperlakukan barang dalam Pasal 470 ayat (1) tersebut
maksudnya ialah sebagai perlakuan yang salah atau keliru terhadap barang itu
sendiri, misalnya meletakkan atau menumpukkan berjenisjenis barang dalam
satu tempat, yang menurut sifatnya sebenarnya tidak boleh disatukan.
Contohnya, seperti barang-barang besi yang disatukan serta ditumpukkan pada
barang-barang pecah belah. Demikian juga dengan pemeliharaan yang kurang
baik terhadap mesin pendingin, sehingga menyebabkan buah-buahan yang
diangkut menjadi busuk, hal ini termasuk pula dalam perlakukan yang salah
terhadap barang.
Dari pasal tersebut ditegaskan bahwa segala apa yang terjadi, si
pengangkut tidak dapat melepaskan kewajibannya yang utama, yaitu:
1. Untuk mengusahakan pemeliharaan, perlengkapan atau
peranakbuahan alat pengangkutannya.
2. Untuk mengusahakan kesanggupan atau pengangkutan itu untuk
dipakai menyelenggarakan pengangkutan menurut persetujuan.
3. Untuk memperlakukan dan menjaga barang yang diangkut dengan
baik.
Perjanjian yang bertujuan untuk melepaskan diri dari
kewajibankewajiban tersebut di atas tidaklah diperkenankan. Bahkan ditegaskan
lagi oleh Pasal 517b, bahwa semua konosemen yang isinya bertentangan dengan
ketentuan Pasal 470 KUHD tidak boleh diberikan untuk melakukan
pengangkutan dari pelabuhan-pelabuhan Indonesia.
Selanjutnya, disebutkan pula bahwa pengangkut diperkenankan untuk
menjanjikan bahwa dia untuk suatu potong barang masing-masing yang
diangkut hanya bertanggung jawab untuk mengganti kerugian tidak boleh
ditetapkan kurang dari Rp. 600,- (enam ratus rupiah) kecuali apabila sebelum

51
barang diserahkan kepadanya dia diberitahu tentang sifat dan harga dari barang
tersebut.
Tentang jumlah tertentu yang disebutkan tidak boleh kurang dari Rp.
600,- (enam ratus rupiah) sebenarnya tidaklah tepat, karena kata “rupiah” itu
diterjemahkan dari kata “gulden”, sedangkan nilai gulden tidaklah sama dengan
nilai rupiah. Terlihat bahwa ketentuan tersebut sudah ditinggalkan di dalam
praktik, karena tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman. Demikian pula
ketentuan tersebut sudah tentu tidak berlaku bagi muatan curah, misalnya
minyak atau terigu, yang dimuatkan di kapal tidak dalam unit-unit yang kecil,
seperti kaleng minyak, melainkan seluruh muatan tadi dicurahkan dalam
ruangan muatan kapal.
Kepada pengangkut diperkenankan pula untuk memperjanjikan, bahwa
dia tidak akan memberikan sesuatu ganti kerugian, apabila sifat dan harga
barang dengan sengaja diberitahukan secara keliru. Ketentuan ini ada
hubungannya dengan asas pendaftaran yang mengatakan bahwa apabila
pengangkut telah diberitahu tentang sifat dan harga barang muatan, maka
pengangkut menerima tanggung jawab yang lebih besar terhadap barang muatan
tersebut dan akibatnya dia berhak menuntut uang angkutan lebih tinggi. Dari
pihak pengirim sendiri jika dia memberitahukan secara khusus sifat dan harga
barang muatan berarti dia menginginkan pemeliharaan dan perhatian istimewa
pula dari pengangkut, sehingga dia pun akan merasa berkewajiban untuk
membayar uang angkutan yang lebih tinggi.
Selanjutnya, Pasal 470a KUHD menentukan pula bahwa sejauh manapun
pertanggungjawaban pengangkut dibatasi dalam suatu perjanjian pengangkut,
pengangkut harus selalu membuktikan dia sudah secara cukup agar alat-alat
pengangkutannya dipelihara dan dilengkapi secara baik serta agar alat-alat itu
dapat digunakan sesuai dengan perjanjian pengangkutan, apabila ternyata
kerugian yang timbul itu diakibatkan oleh sesuatu catatan dari alat pengangkut
itu.
Ketentuan tersebut merupakan peraturan mutlak (dwingend recht),
artinya tidak dapat dikesampingkan walaupun dibuat dalam perjanjian

52
pengangkutan. Begitupun dalam Pasal 471, dikatakan bahwa pengangkut selalu
bertanggung jawab apabila dapat dibuktikan, bahwa dari pihak pengangkut atau
dari orang-orang suruhannya ada kesalahan atau kelalaian dalam melakukan
tugas.
Menurut Wirjono Prodjodikoro, istilah “kesalahan dan kelalaian” (schuld
and nalatigheid) ini diartikan dalam tantangan dengan kesengajaan dan
kesalahan yang agak besar, opzet atau culpa (grove schuld). Dengan demikian,
harus disimpulkan, bahwa tidak diperbolehkan pengangkut menjanjikan bebas
dari pertanggungjawaban, apabila dari pihaknya ada kesengajaan atas kelalaian
yang agak besar (culpa).4
4. Batas Ganti Kerugian
Seperti yang telah dijelaskan di atas, KUHD dalam beberapa pasalnya
telah memberikan kesempatan kepada pengangkut untuk membatasi tanggung
jawabnya dengan membuat ketentuan-ketentuan khusus dalam perjanjian
pengangkutan yang diadakan. Di samping pembatasan-pembatasan itu, undang-
undang juga telah memberikan kemungkinan kepada pengangkut untuk
membatasi tanggung jawabnya dalam jumlah uang. Dalam Pasal 472 KUHD
diatur tentang besarnya ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab
pengangkut dalam hal barang yang diangkutnya tidak sampai, baik seluruhnya
ataupun untuk sebagian.
Apabila pengangkut tidak dapat menyerahkan barang seluruhnya atau
sebagian, maka ganti kerugian itu harus dihitung menurut harga barang serta
jenis dan keadaan yang sama di tempat penyerahan, pada saat barang tersebut
seharusnya diserahkan. Jumlah itu kemudian dipotong dengan apa yang telah
ditentukan dalam soal bea, biaya, dan upah pengangkutan.
Sedangkan apabila terjadi kerusakan atas barang, ditetapkan oleh Pasal
473 KUHD, bahwa jumlah yang harus diganti yaitu berdasarkan harga barang
sejenis, seharga dan seperti keadaan pada saat barang itu seharusnya diserahkan,
dikurangi dengan harga barang yang rusak itu, serta selanjutnya dikurangi lagi
4 Wirjono Prodjodikoro, op.cit., hal. 134.

53
dengan biaya lain, yaitu bea, uang angkutan dan lain-lain, yang seharusnya
dikeluarkan oleh penerima, seandainya barang-barang itu telah diterima dengan
utuh.5
Ketentuan tersebut di atas merupakan suatu peraturan yang bersifat
khusus dari peraturan-peraturan umum tentang hukum perjanjian mengenai
wanprestasi yang diatur dalam KUHPerdata, seperti yang ditegaskan dalam
Pasal 1246 KUHPerdata, ba bahwa biaya rugi dan bunga yang oleh si berpiutang
boleh dituntut akan penggantiannya, terdiri pada umumnya atas yang telah
dideritakannya dan untung yang sedianya harus dapat dinikmatinya.
Namun, sesuai dengan sifat yang tidak memaksa dari peraturan mengenai
hukum perjanjian pada umumnya, maka lazim besarnya ganti kerugian terhadap
tidak diserahkannya/kehilangan barang-barang yang diangkut ditentukan
berdasarkan hasil perundingan/negosiasi antara pengangkut dengan
penerima/pemilik barang. Artinya, untuk penentuan jumlah penggantian
kerugian, para pihak dapat membuat ketentuanketentuan yang mereka sepakati
bersama.
Sebelum menetapkan besarnya kerugian tersebut, maka atas permintaan
pengangkut atau penerima dapat menunjuk beberapa orang ahli untuk
menetapkan keadaan barang pada waktu sampai di pelabuhan. Hasil
pemeriksaannya, bagi hakim pada acara pemeriksaan di muka persidangan,
hanya dapat dibantah dengan membuktikan kekeliruannya. Jika tidak diadakan
pemeriksaan yang demikian, maka barang-barang yang diserahkan kepada
penerima dianggap sudah sesuai dengan keadaan pada waktu mulai diangkut.
Apabila ada kekurangan atau cacat yang kelihatan dari luar pada
barangnya, penerima sebelum atau pada saat itu memberitahukan kepada
pengangkut atau wakilnya dan apabila kekurangan atau cacat barang itu tidak
kelihatan dari luar, diberitahukan dalam jangka waktu 3 (tiga) hari sesudah dia
menerima barangnya. Dalam hal ini, penerima ada kemungkinan mendapatkan
ganti kerugian dari pengangkut. Menurut Pasal 487 KUHD, gugatan untuk
5 Sapto Sardjono, Hukum Dagang Laut bagi Indonesia (Jakarta: CV. Simplex, 1985), hal. 86.

54
mendapatkan ganti kerugian tersebut hanya dapat diajukan dalam waktu 1 (satu)
tahun setelah barangnya diserahkan atau seharusnya diserahkan kepada si
penerima.
Dalam Pasal 474 KUHD ditetapkan bahwa tanggung jawab pengangkut
yang sekaligus sebagai pemilik kapal terhadap kerugian yang ditimbulkan pada
barang-barang yang diangkutnya dengan kapal yang bersangkutan terbatas
sejumlah Rp. 50,- (lima puluh rupiah) per meter kubik, isi bersih kapal tersebut
ditambah dengan isi ruangan mesin. Jadi, dalam hal ini dibedakan antara:
1. Pengangkut sebagai pemilik kapal.
2. Pengangkut bukan sebagai pemilik kapal.
Pasal 474 KUHD hanya berlaku jika pengusaha kapal ialah selaku
pengangkut, dan oleh karena itu, dia bertanggung jawab atas semua barang yang
diangkutnya dengan kapal tersebut.
Pengangkut tidak selalu merupakan pemilik kapal. Sebagai pengangkut
dia hanya mengangkut sebagian muatan kapal atau beberapa potong darinya.
Oleh karena itu, pertanggungjawaban pada kemampuan kapal untuk memuat,
tetapi dihubungkan dengan hak tuntutannya kepada pemilik kapal. Dengan
adanya ketentuan pembatasan jumlah ganti kerugian yang demikian, maka
pengangkut yang pemilik kapal itu sejak semula sudah dapat memperhitungkan
risiko yang menjadi bebannya. Pemilik kapal tersebut dapat mengasuransikan
jumlah risiko tadi pada perusahaan asuransi yang cukup bonafide.
Suatu dokumen yang sangat penting dalam pengangkutan barang-barang
melalui laut ialah apa yang dikenal dengan konosemen. Mengenai hal itu, lazim
juga dipergunakan nama lain seperti bill of lading atau surat muatan. KUHD
mengatur konosemen ini mulai dari Pasal 504 sampai dengan Pasal 517d.
Melihat cukup banyaknya pasal yang memuat pengaturan tentang konosemen,
kiranya dapat menunjukkan pentingnya masalah konosemen ini.
Fungsi konosemen mempunyai kaitan dengan masalah tanggung jawab
pengangkut. Pertama-tama perlu diperhatikan ketentuan Pasal 504 KUHD yang
menyatakan bahwa pengirim barang dapat meminta suatu konosemen dengan

55
menukarkannya dengan recu. Hal ini menunjukkan bahwa penerbitan
konosemen oleh pengangkut tidaklah merupakan suatu keharusan.
Namun di dalam praktik pengangkutan laut, tidak dapat disangkal lagi,
konosemen senantiasa dipergunakan. Adapun yang dimaksud dengan
konosemen adalah suatu surat yang bertanggal dalam mana si pengangkut
menerangkan bahwa dia telah menerima barang tersebut untuk diangkutnya ke
suatu tempat tertentu dan menyerahkannya di situ kepada seorang tertentu,
begitu pula menerangkan dengan syarat-syarat apakah barang itu akan
diserahkannya. Orang ini boleh disebutkan namanya, boleh disebutkan sebagai
si yang ditunjuk oleh si pengirim maupun seorang ke tiga, dan boleh pula
disebutkan sebagai pembawa, baik dengan, baik tanpa penyebutan seorang
tertentu di sampingnya.
Perkataan “atas tunjuk” saja harus dianggap sebagai bermaksud atas
penunjukan si pengirim. Apabila konosemen diberikannya setelah barang-barang
dimasukkan ke dalam kapal, maka haruslah di situ atas permintaan pengirim
disebutkan nama kapal tersebut. Apabila konosemen diberikan sebelum barang-
barang dimuat dalam kapal, tanpa penyebutan nama kapal dalam mana barang-
barang tadi akan dimuatkannya, maka bolehlah pengirim meminta supaya dalam
konosemen tadi masih juga oleh pengangkut dituliskan nama kapal itu dan hari
dimuatnya barang-barang, segera setelah itu dilakukan.
Jadi, konosemen tersebut juga dapat memuat penetapan kepada siapa
barang-barang yang disebut dalam konosemen itu harus diserahkan oleh
pengangkut. Hal itu dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu:
1. Atas nama, dalam hal ini nama si penerima (op naam) disebut dengan
jelas dalam konosemen.
2. Kepada pembawa (aan loonder), dalam hal ini nama si penerima tidak
disebut dalam konosemen, atau meskipun disebut satu nama di
belakangnya ditambah dengan kata-kata “atau pembawa”.
3. Kepada pengganti (aan order), artinya merupakan order dari pengirim
barang (orang yang akan ditunjuk oleh pengirim).

56
Berdasarkan Pasal 510 KUHD, setiap pemegang konosemen berhak
menuntut penyerahan barang yang tersebut di dalamnya di tempat tujuan kecuali
jika konosemen itu diperoleh berlawanan dengan hukum. Surat-surat yang oleh
si pemegang konosemen telah diberikannya kepada orang-orang ke tiga untuk
dipakai menerima sebagian dari barang-barang yang tersebut dalam konosemen,
tidak memberikan suatu hak tersendiri kepada para pemegangnya untuk
menuntut penyerahan barang-barangnya dari si pengangkut.
Konosemen tersebut dikeluarkan dalam 2 (dua) lembaran yang dapat
diperdagangkan. Lembaran-lembaran itu berlaku kesemuanya untuk 1 (satu) dan
1 (satu) untuk kesemuanya. Artinya, apabila yang 1 (satu) sudah digunakan
untuk mengambil barang, maka yang lain tidak berlaku lagi. Hal ini mempunyai
hubungan dengan periode tanggung jawab pengangkut, yang berakhir jika
barang tersebut telah diserahkan kepada si penerima.
Pengangkut tidak bertanggung jawab lagi atas apa yang terjadi terhadap
barang-barang yang pernah diangkutnya sejak konosemen itu telah kembali
kepadanya. Dikatakan dalam Pasal 509 KUHD, bahwa penyerahan barang hanya
dilakukan dengan mengembalikan semua lembaran dari konosemen yang dapat
dipergunakan atau apabila tidak dapat dikembalikan seluruhnya, harus dibuat
surat jaminan untuk menanggung kerugian jika timbul akibat karena tidak
diserahkannya konosemen tersebut.
Ditegaskan lagi dalam Pasal 515 KUHD, bahwa setiap pemegang
konosemen yang telah melaporkan diri untuk menerima barang-barang yang
tersebut di dalamnya, apabila barang-barang ini telah diserahkan kepadanya
dalam keadaan baik, wajiblah dia memberikan konosemen tadi setelah dibubuhi
tanda penerimaan.
Selanjutnya, dalam konosemen itu dapat pula dicantumkan halhal yang
membatasi tanggung jawab pengangkut. Misalnya, apabila dalam konosemen
dicantumkan perkataan mengenai isi, keadaan, jumlah atau ukuran tertentu,
maka segala penyebutan tentang isi, keadaan, jumlah atau ukuran barang-barang
yang dituliskan dalam konosemen itu tidak akan mengikat pengangkut. Kecuali,
apabila pengangkut mengetahuinya atau dia mengadakan perhitungan,

57
penimbangan di depan pengangkut. Demikian pula apabila konosemen tidak
menyebutkan keadaan barangnya, maka selama tidak dibuktikan sebaliknya,
dianggap pengangkut telah menerima barang tersebut dalam keadaan baik
sekedar itu nampak dari luar. Dalam praktik hal ini disebut dengan klausula the
apparent order and condition of goods.
Dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan yang telah
diuraikan tersebut di atas, maka terlihat bahwa konosemen itu mempunyai 3
(tiga) fungsi, yaitu:
1. Sebagai tanda bukti penerimaan, baik penerimaan di atas
kapal maupun penerimaan untuk dikapalkan.
2. Sebagai surat persetujuan pengangkutan.
3. Sebagai suatu surat berharga (document of title), yaitu
dapat diperdagangkan dengan cara mengalihkan hak
pengambilan barang orang lain, dengan menandatangani
di bagian belakang dari konosemen (di-endosir).
Ketentuan yang juga penting untuk diperhatikan mengenai konosemen ini
ialah bahwa semua konosemen yang isinya bertentangan dengan ketentuan Pasal
470 tidak boleh diberikan untuk melakukan pengangkutan dari pelabuhan
Indonesia (Pasal 517b). Maksudnya ialah, bahwa si pengangkut tidak boleh
memuat dalam konosemen ketentuanketentuan (klausula) yang menyatakan
bahwa dia sama sekali tidak bertanggung jawab (bebas sepenuhnya dari
tanggung jawab sebagai pengangkut).
B. Tanggung Jawab PT. Lintas Kumala Abadi Sebagai Pengangkut
Menurut Feri Budi Hartono bahwa pada pokoknya tanggung jawab PT.
Lintas Kumala Abadi sebagai pengangkut dimulai sejak dari barang
diserahkanya dalam penguasaan pengangkut di pelabuhan muat, selama
pengangkutan berlangsung dan sampai saat penyerahan dipelabuhan tujuan
kepada penerima barang. Atau tanggung jawab pengangkut mulai pada saat

58
barang ada di pihak penguasaan pengangkut sampai barang diserahkan
kepada penerima barang.
Adapun batasan tanggung jawab tersebut bervariasi tergantung dari
service yang diberikan dimana kedua belah pihak telah saling menyetujui
diantaranya adalah :6
Door to Door
Perusahaan pelayaran atau pengangkut beranggungjawab sejak
barang diterima sampai barang diserahkan di gudang penerima
barang.
FCL/FCL (House to House)
Pelayaran bertanggung jawab sejak dari Container Yard (CY) di
pelabuhan muat sampai dengan Container Yard (CY) di
pelabuhan bongkar.
LCL/LCL (Pier to Pier)
Pelayaran bertanggungjawab sejak barang diterima dari
pengirim di container freight station (CFS) di pelabuhan muat
sampai dengan barang diserahkan ke penerima barang dari CFS
dipelabuhan bongkar.
Menurut Feri Budi Hartono, pemilik barang setelah menyerahkan
barangya di Container Yard (CY) maka pengirim (shipper) akan menerima
tanda terima yang menyatakan bahwa barang tersebut memang benar
adanya sudah masuk ke dalam CY dan bisa diterima untuk stack pengapalan
sesuai kapal yang diminta dan diterima oleh petugas yang bertandatangan
dalam tanda terima tersebut . Kemudian berdasarkan tanda terima tersebut
maka pengangkut / pelayaran (carrier) juga akan mengeluarkan tanda
terima, yaitu bahwa barang tersebut diterima untuk direncanakan dimuat
pada kapal yang telah disepakati. Dalam hal terjadi keterlambatan
penyerahan barang di CY, maka akan terkena closing time yang artinya
6 Feri Budi Hartono, Wawancara dengan General Manager PT. Lintas Kumala Abadi, tanggal 30
Mei 2017.

59
stack untuk kapal yang diminta telah ditutup, maka barang tersebut hanya
dapat diterima untuk stack kapal berikutnya.
Peraturan di CY mengenai open dan closing stact adalah sebagai
berikut7:
Open stack: stack (penumpukan) dinyatakn open adalah lima hari
sebelum kapal sandar.
Closing stack: stack (penumpukan) dinyatakan di tutup adalah 1 hari
sebelum kapal sandar
Jika terjadi barang hilang, rusak, dan keterlambatan penyerahan
barang selama barang tersebut ada dalam penguasaanya PT. Lintas Kumala
Abadi yang mengakibatkan tuntutan ganti rugi, maka PT. Lintas Kumala
Abadi akan bertanggung jawab untuk memenuhi tuntutan ganti rugi tersebut
kecuali jika PT. Lintas Kumala Abadi dapat membuktikan bahwa hilangnya
barang, rusaknya barang dan keterlambatan penyerahan barang itu
bukanlah disebabkan karena kesalahanya.
Dalam hal segala tuntutan pengirim adalah merupakan kesalahan
PT. Lintas Kumala Abadi sebagai pengangkut maka PT. Lintas Kumala
Abadi akan membayar tuntutan ganti rugi tersebut sesuai peraturan yang
berlaku sebagai pertanggungjawabanya.
Di dalam praktek sehari-hari, kadang-kadang masih saja ada pengirim
yang menuntut ganti rugi kepada pengangkut terhadap hal-hal yang
semestinya itu bukanlah menjadi tanggung jawab pengangkut untuk
membayar ganti rugi akibat kerugian yang diderita pengirim barang. Karena
baik pengirim maupun pengangkut masing-masing telah mengetahui hak,
kewajiban dan tanggung jawabnya dalam pengiriman barang .
Misalnya dalam hal terjadi keterlambatan barang sampai di tempat
tujuan dimana pengangkut sendiri telah dapat membuktikan mengenai
keterlambatan itu adalah karena suatu sebab yang tidak bisa ditutut
7 Feri Budi Hartono, Wawancara dengan General Manager PT. Lintas Kumala Abadi, tanggal 30
Mei 2017.

60
misalnya karena rusaknya kapal sehingga sebagian atau bahkan seluruh
muatan harus dipindahkan ke kapal lain, sehingga tindakan ini
mengakibatkan keterlambatan pengiriman.
Keterlambatan pengiriman inilah yang menjadikan dasar bagi
pengirim/penjual maupun pembeli untuk mengajukan klaim. Meskipun
sudah jelas di dalam klausula Bill Of Lading bahwa pengangkut mempunyai
hak untuk memindahkan barang ke kapal lain karena alasan teknis dan atau
karena alasan keselamatan barang dengan tanpa memberitahu pengirim.
Terhadap tuntutan ganti rugi semacam ini maka tidak seharusnya
pengangkut mau membayar ganti rugi, akan tetapi karena pertimbangan
bisnis, loyalitas, maintenance demi kesimabungan bisnis di masa mendatang
carrier mau membayar ganti rugi setelah disepakati nilai yang mereka
setujui. Sehingga atas celah ini, saller amupun buyer yang nakal sering kali
mencoba menggertak carrier dalam hal terjadi kerugian apapun meskipun
mereka tidak dapat membuktikan bahwa kerugian itu disebabkan karena
kesalahan carrier, dengan harapan dia mendapat kemujuran karena
pertimbangan bisnis, loyalitas, maintenance demi kesimabungan bisnis di
masa mendatang, carrier mau membayar tuntutan mereka. Hal seperti ini
kadang menjadikan hal yang dilematis bagi carrier antara kehilangan
pelanggan atau membayar klaim.8
C. Posisi Kasus
Dalam putusan ini merupakan kasus antara PT. Asuransi Central Asia
yang beralamat di Wisma Asia Lantai 10, 12-15 Jl. Letjen S. Parman
Kav.79 Jakarta Barat dengan PT. Lintas Kumala Abadi uang beralamat di
Pekojan Nomor: 88-89, Jakarta Barat. Dalam hal ini PT. Asuransi Central
Asia sebagai penggugat dan PT. Lintas Kumala Abadi sebagai tergugat.
Penggungat bertindak sebagai penanggung dari PT. Indofood Sukses
Makmur Boga Sari Four Mills (tertanggung). PT. Indofood Sukses
8 Feri Budi Hartono, Wawancara dengan General Manager PT. Lintas Kumala Abadi, tanggal 30
Mei 2017.

61
Makmur, yang merupakan perseroan terbatas yang didirikan berdasarkan
hukum Negara Republik Indonesia, yang beralamat di Jln. Raya Cibinong
No. 1 Tanjung Priok, Jakarta Utara, adalah pemilik dari masing-masing
42.000 (empat puluh dua ribu) kantong terigu Segitiga Biru, 42.000 (empat
puluh dua ribu) kantong terigu Lencana Merah-CLC, 21.000 (dua puluh
satu ribu) kantong terigu Cakra Kembar-LLM, dan 21.000 (dua puluh satu
ribu) kantong terigu Segitiga Hijau.
Penggugat dan PT. Indofood Sukses Makmur telah mengikatkan diri
dalam Polis Pengangkutan Barang (selanjutnya disebut “Marine Cargo
Policy’) No. 11-00-10-004255 tertanggal 4 Oktober 2010 (Bukti P-1)
dimana berdasarkan Marine Cargo Poilcy tersebut, penggugat bertindak
sebagai penanggung bagi Tertanggung/PT Indofood Sukses Makmur untuk
mempertanggungkan masing-masing sebanyak 42.000 (empat puluh dua
ribu) kantong terigu Segitiga Biru, 42.000 (empat puluh dua ribu) kantong
terigu Lencana Merah-CLC, 21.000 (dua puluh satu ribu) kantong terigu
Cakra Kembar-LLM, dan 21.000 (dua puluh satu ribu) kantong terigu
Segitiga Hijau.
Berdasarkan Perjanjian Angkutan Laut No. JB-53/ISMBS-
DBLN/HW/VII/10 tertanggal 31 Agustus 2010 (selanjutnya disebut
“Perjanjian Angkutan Laut”). Terugat yang merupakan pemilik Kapal MV.
Lintas Mahakam telah setuju untuk mengangkut Objek Pertanggungan yang
semuanya seberat 3.150 (tiga ribu seratus lima puluh) ton kargo dari
Pelabuhan Tanjung Priuok, Jakarta ke Pelabuhan Boombaru, Palembang,
Propinsi Sumatera Selatan.
Selain dengan Perjanjian Angkutan Laut, pengangkutan Objek
Pertanggungan milik Tertanggung tersebut juga dapat dibuktikan dengan
adanya Konosemen No. 003/JKT tertanggal 9 September 2010 yang
dikeluarkan oleh Tergugat.
Berdasarkan Pasal 1338 Kitab Undang-undang Hukum Perdata,
perjanjian yang dibuat antara Penggugat dan Tertanggung tersebut telah
sesuai dengan undang-undang dan mengikat bagi para pembuatnya

62
(Penggugat dan Tertanggung). Dengan demikian, pihak Tergugat maupun
Tertanggung terikat oleh Perjanjian Angkutan Laut.
Kargo milik Tertanggung dimuat ke dalam kapal MV. Lintas
Mahakam yang dimiliki dan dioperasikan oleh TERGUGAT pada tanggal 6
September 2010, sebagaimana dibuktikan dalam Berita Acara Muat
teratnggal 8 September 2010 (selanjutnya disebut "Berita Acara Muat" yang
dikeluarkan oleh PT Trans Jaya Samudera selaku perusahaan yang
melakukan proses muat (Bukti P-5).

Berdasarkan Cargo Manifest, Kargo milik Tertanggung seberat 3.150
(tiga ribu seratus lima puluh) ton tersebut dikemas dalam 1800 (seribu
delapan ratus) jumbo bag yang terdiri dari :
- 21.000 (dua puluh sate ribu) kantong terigu merk Cakra Kembar LLM
yang terbungkus dalam 300 (tiga ratus) jumbo bag
- 42.000 (empat puluh dua ribu) kantong terigu merk Segitoa Biru yang
terbungkus dalam 600 (enam ratus) jumbo bag
- 42.000 (empat puluh dua ribu) kantong terigu merk Lencana Merah
yang terbungkus dalam 600 (enam ratus) jumbo bag
- 21.000 (dua puluh satu ribu) kantong terigu merk Segitiga Hijau yang
terbungkus dalam 300 (tiga ratus) jumbo bag (vide Bukti P-4)
Bahwa sebelum proses muat, telah dilakukan survei oleh PT Cotetama
Inspindo Carya untuk memastikan ruang muat dalam MV. Lintas Mahakam
dan kondisi Kargo yang akan dimuat.' Hal ini sebagaimana terbukti dalam
Survey Report of Tally Loading No. S-2010097A-09 (selanjutnya disebut
"Survey Report") (Bukti P-6).
Pada tanggal 9 September 2010, MV. Lintas Mahakam bertolak dari
Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta menuju Pelabuhan Boombaru, Palembang.
Pada tanggal 10 September 2010, MV Lintas Mahakam tiba di pelabuhan
tujuan Boombaru, Palembang.
Setelah kapal MV Lintas Mahakam tiba di pelabuhan tujuan Boombaru,
proses pembongkaran Kargo mulai dilakukan pada tanggal 19 September
2010 dan selesai pada tanggal 23 September 2010. Hal ini terbukti dari
Statement of Fact yang dikeluarkan oleh PT Pelabuhan Persero), Cabang
Palembang (selanjutnya disebut “Statement of Fact”) (Bukti P-7).
Selama proses pembongkaran, beberapa kali turun hujan, yaitu pada
(i) tanggal 19 September 2010 pada pukul 15.30 s.d 1(3.30 WIB.
(ii) tanggal 20 September 2010 pukul 24.00 s.d 06.00 WIB. dan
(iii) tanggal 21 September 2010 pukul 11.25 s.d 18.45 WIB.

64
Hal ini sebagaimana tercatat dalam Berita Acara Pembongkaran KM.
Lintas Mahakam tanggal 19 September 2010 sd 23 September 2010 di Depo
Palembang yang ditandatangani oleh perwakilan dari (i) Tertanggung, (ii) PT
Cotetama Inspindo Carya selaku surveyor, (iii) PT Pelabuhan Indonesia II
(Persero), Cabang Palembang (selanjutnya disebut "Pelabuhan Palembang"),
(iv) PT Bahari Sandi Pratama selaku agen dan (v) perwakilan PENGGUGAT
(selanjutnya disebut sebagai "Berita Acara Pembongkaran") (Bukti P-8) dan
Berita Acara Serah Terima Barang tertanggal 19 September 2010 ("Berita
Acara Serah Terima Barang") (Bukti P-9).9
Pada tanggal 19 September 2011, pihak Pelabuhan Boombaru,
Palembang telah meminta TERGUGAT untuk segera menutup palka kapal
dengan ponton dan terpal agar air hujan tidak masuk ke dalarn kapal. Akan
tetapi, hal tersebut tidak dilakukan karena crane yang disewa tidak mampu
untuk mengangkat ponton untuk menutup palka sehingga TERGUGAT hanya
menutup palka dengan terpal tipis.
Pada tanggal 20 September 2010, kembali turun hujan deras.
Sedangkan palka kapal pada saat itu tetap dalam kondisi terbuka sehingga
Anak Buah Kapal (ABK) MV Lintas Mahakam yang dipekerjakan oleh
TERGUGAT harus menimba air yang berada di atas terpal dengan
menggunkan ember. Bahwa berdasarkan pengecekan dari pihak Pelabuhan
Boombaru, Palembang ditemukan tepung terigu yang masih terbungkus
jumbo bag dalam keadaan basah (vide Bukti P-8).
Kemudian pada tanggal 21 September 2010, kembali turun hujan deras
yang menyebabkan terpal tipis yang digunakan untuk menutupi polka robek,
sehingga air hujan langsung mengenai tepung terigu yang berada di dalam
palka. Berdasarkan pengecekan yang dilakukan oleh petugas Pelabuhan
Boombaru, Palembang di dalam palka, ditemukan genangan air settnggi tutut
dan tanguing mengenai tnpung terigu mirrk Tertanggung di claim parka kapal
(vide Bukti P-8).
9 Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat No. 642/PDT.G/2011/PN.JKT.BAR.

65
Berdasarkan hasil survey atas kargo yang dilakukan oleh PT Pandu
Halim Perkasa pada tanggal 11 Oktober 2010 (selanjutnya disebut “Report on
Cargo Survey”) di gudang mirk Tertanggung, diketahui bahwa akibat insiden
yang terjadi selama proses pembongkaran muatan dan MV Lintas Mahakam
tersebut, 13.812 (tiga betas ribu delapan ratus dua betas) kantong terigu
Kargo milik Tertanggung, yang terdiri dari:
- 4.278 (empat ribu dua ratus tujuh puluh delapan) kantong terigu Cakra
Kembar-LLM
- 5.851 (lima ribu delapan ratus lima puluh satu) kantong terigu Segitiga
Biru
- 3.371 (tiga ribu tiga ratus tujuh puluh satu) kantong Lencana Merah-
CLC
- 312 (tiga ratus dua betas) kantong Segitiga Hijau mengalami
kerusakan, yaitu basah, kotor, berbau dan bergumpal (selanjutnya
disebut "Kargo Yang Rusak") (Bukti P-10).
Berdasarkan hasil survey tersebut, Kargo yang Rusak dinyatakan
kerusakan total (total loss) sehingga tidak dapat dikonsumsi lagi (vide Bukti
P-10).
Karena kerusakan yang terjadi, Tertanggung mengalami kerugian
sebesar Rp 1.882.848.550,00 (satu milyar delapan ratus delapan puluh dua
juta delapan ratus empat puluh delapan ribu lima ratus lima puluh rupiah),
dengan rincian kerugian sebagai berikut, sebagaimana terlihat dalam
Proforrna Invoice yang dikeluarkan oleh Tertanggung ("Proforma Invoice")
(Bukti P-11).

66
N Keterangan
Jumlah
Kerusakan
(kantong)
Harga Per Unit
(Rp)
Total Kerugian
(Rp)
1.
Cakra
Kembar-
LLM
4.278 149.050,00 637.635.900,00
2. Segitiga Biru 5.851 143.550,00 839.911.050,00
3. Lencana
Merah-CLC 3.371 110.000,00 370.810.000,00
4. Segitiga
Hijau 312 110.550,00 34.491.600,00
10
Total 1.882.848.550,00
Di samping kerugian yang diderita oleh Tertanggung akibat insiden
tersebut, terdapat pula biaya lain yang harus dikeluarkan oleh Tertanggung
berupa biaya jasa konsultan asuransi sebesar USD 32,010.50 (tiga puluh dua
ribu sepuluh dollar Amerika Serikat dan lima puluh sen).
D. Pertimbangan Hakim
Menimbang bahwa tergugat dalam jawabannya mengajukan eksepsi
yang pada pokoknya sebagai berikut :
1. Bahwa, gugatan Penggugat terdapat kekeliruan pihak/Error Inpersona,
yaitu Penggugat tidak mempunyai hak untuk menggugat, karena
Tergugat tidak mempunyai hubungan hukum dengan Penggugat baik
secara langsung maupun tidak langsung ;
2. Bahwa, gugatan kurang pihak (Plurium KLitis Consorium). Yaiutu dalil
gugatan Penggugat dengan jelas menyebutkan adanya hubungan hukum
antara Penggugat dengan PT. Indofood Sukses Makmur yang disebut
sebagai pihak dalam perkada ini dan gugatan pPenggugat terkait dengan
10
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat No. 642/PDT.G/2011/PN.JKT.BAR

67
hak subrogasi yaitu hak untuk menagih atas kerugianpihak ketiga yaitu
PT. Indofood Sukses Makmur ;
3. Bahwa, gugatan Penggugat Kabur dan tidak jelas, dengan alasan :
4. Bahwa gugatan Penggugat terkait dengan gugatan subrogasi
sebagaimana dalam pasal 284 KUHD namun dalam detail gugatan tidak
Nampak adanya pembayaran yang dilakukan oleh Penggugat kepada
PT. Indofood Sukses Makmur selaku Tertanggung ;
Bahwa gugatan Penggugat terkait dengan wanprestasi, bahwa
sebagaimana dalil gugatan Penggugat dengan Terguagat tidak ada hubungan
hukum, sehingga Tergugat tidak dapat dikatakan telah melakukan wanprestasi.
Megadili:
1. Mengabulkan eksepsi Tergugat;
2. Menyatakan Gugatan Penggugat tidak diterima ;
3. Menghukum Penggugat untuk membayar biaya perkara sebesar Rp.
522.000,- (lima ratus dua puluh dua ribu rupiah).
E. Analisis Penulis
Penulis sangat setuju dengan hasil keputusan Pengadilan Negeri Jakarta
Barat Nomor 642/Pdt.G/2011. Perjanjian Angkutan Laut antara PT. Lintas
Kumala Abadi sebagai Pengangkut dengan PT. Indofood Sukses Makmur
tidak selamanya berjalan sesuai dengan yang direncanakan. Kemungkinan
dapat terjadi hal-hal yang tidak diinginkan oleh pihak-pihak dalam Perjanjian
Angkutan Laut.
Pada saat dilakukan pembongkaran muatan telah terjadi turun hujan
namun, PT. Lintas Kumala Abadi telah berupaya untuk melindungi muatan
dengan menutup muatan agar tidak terkontaminasi dengan air hujan, hal
tersebut dapat teratasi biarpun tidak semua terselamatkan akan tetapi atas
barang yang mengalami kerusakan akibat air hujan bukanlah sebanyak apa
yang disebutkan dalam dalil Penggugat dan atas kerugian yang timbul bukan
sebesar Rp. 1.882.848.550.00 (satu milyar delapan ratus delapan puluh dua
juta delapan ratus empat puluh delapan ribu lima ratus lima puluh rupiah).

68
Tergugat dalam upaya menyelamatkan barang muatan milik PT.
Indofood Sukses Makmur Boga Sari Flour Mills sebagaimana kewajiban
Pengangkut telah dilakukan, namun apabila hal ini ternyata masih ada yang
tidak terselamatkan adalah bukan suatu kesengajaan oleh Tergugat selaku
Pengangkut dan hal mana Tergugat telah mengganti dengan membayar
kepada PT. Indofood Sukses Makmur atas kerugian yang timbul sebesar 2/3
dari Rp. 241.510.500,- (dua ratus empat puluh satu juta lima ratus sepuluh
ribu lima ratus rupiah) yaitu sebesar Rp. 161.007.000,- (seratus enam puluh
satu juta tujuh ribu rupiah). Hal ini telah diakui PT. Indofood Sukses Makmur
sebagaimanaa dalam suratnya No. 029/ISMBS-L&T/LKA/X/11 tanggal 24
Oktober 2011.
Tidak ada alasan PT. Asuransi Central Asia untuk menuntut melalui
gugatan subrogasi berdasarkan Pasal 284 KUHD oleh karena tidak terbukti
dalam dalil guagatan PT. Asuransi Central Asia telah melakukan pembayaran
atas kerugian yang dialami PT. Indofood Sukses Makmur selaku Tertanggung
dan tidak ada dalil berkaitan dengan adanya Hak Subrogasi yang dapat
diambil alih lagi oleh tertanggung untuk diberikan kepada PT. Asuransi
Central Asia, karena terhadap risiko kerugian yang dialami PT. Indofood
Sukses Makmur selaku pemilik barang yang diangkut kapal milik PT. Lintas
Kumala Abadi sudah ada kesepakatan dan penyelesaian pembayaran antara
PT. Lintas Kumala Abadi dengan PT. Indofood Sukses Makmur sebagaimana
dalam Surat Nomor : 029/ISMBS-L7T/LKA/X/11 tanggal 24 Oktober 2011.

BAB V
PENUTUP
Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan dalam bab-bab sebelumnya, dapat
diambil kesimpulan sebagai berikut :
Kesimpulan:
Berdasarkan dari hasil penelitian dan pembahasan mengenai skripsi yang
penulis angkat dengan judul Tanggung Jawab PT. Lintas Kumala Abadi Dalam
Kegiatan Pengangkutan di Laut (Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat No.
642/Pdt.G/2011/PN.Jak.Bar, dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut
1. Pada kasus tersebut diatas, dikaitkan dengan fakta-fakta yang terdapat pada
barang bukti, keterangan-keterangan saksi, keterangan ahli, keterangan
tergugat yaitu PT. Lintas Kumala Abadi, terbukti bahwa gugatan Penggugat
yaitu PT. Asuransi Central Asia tidak dapat diterima. Dan dalam putusan
Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat telah memutuskan untuk menghukum
penggugat untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 522.000,- (lima ratus
dua puluh dua ribu rupiah).
2. Pertimbangan hukum Hakim dalam menjatuhkan putusan berdasarkan
dakwaan penuntut umum didasarkan pada alat-alat bukti berupa keterangan
saksi-saksi, keterangan ahli, keterangan tergugat dan fakta-fakta lengkap di
depan persidangan dan diperkuat dengan keyakinan hakim itu sendiri. Dan
tidak diperolehknya alasan bagi penggugat yaitu PT. Asuransi Central Asia
untuk menuntut hak subrogasi terhadap tergugat yaitu PT. Lintas Kumala
Abadi.
Saran:
1. Kapal yang disediakan oleh pengangkut harus memenuhi syarat keselamatan
(laik laut). Syarat keselamatan kapal ditentukan melalui klasifikasi kapal
untuk dapat menentukan peruntukan dan trayek kapal tertentu, jumlah barang
harus sesuai dengan kapasitas muatan kapal.
2. Sikap disiplin dalam menjalankan aturan baik itu pengangkut dan pemilik
barang agar dapat terciptanya pelayaran yang aman, nyaman, dan tertib.
69

70
Pengangkut harus disiplin dalam menjalankan aturan dan memiliki standar
pelayanan mutu kepada setiap pemilik barang serta memiliki itikad baik
untuk mengarahkan kepada pemilik barang untuk mengetahui apa yang
menjadi hak dan kewajibannya.
3. Untuk meningkatkan mutu pelayaran yang mengedepankan pada
kenyamanan, keamanan, dan ketertiban, semua stake holder terkait dapat
meningkatkan standar kualitas masing-masing. Dari pelabuhan
keberangkatan, kualitas standar keamanan dan ketertiban baik itu pelabuhan
yang dikomersialisasikan maupun tidak sebaiknya ada standarisasi
kepelabuhan. Hal ini pula mengharuskan semua instansi terkait dapat bekerja
dengan optimal dan menaati segala ketentuan peraturan yang berkaitan
dengan pelayaran. Dari standar pelabuhan yang jelas dan optimalisasi setiap
stake holder akan berdampak pada keamanan, kenyamanan, dan ketertiban di
bidang pelayaran.

DAFTAR PUSTAKA
Asyhadi Zaeni, Hukum Bisnis (Prinsip dan Pelaksanannya di Indonesia), Raja
Grafindo, Jakarta, 2005.
Black Campbell Henry, Blcak’s Law Dictionary, Minnesota, USA: West
Publishing Co, 1982.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa
Edisi Keempat, Gramedia Pustaka Utama, 2011.
Feri Budi Hartono, Wawancara dengan General Manager PT. Lintas Kumala
Abadi, tanggal 30 Mei 2017.
Fuady Munir, Pengantar Hukum Bisnis, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2016.
Gunawan Herry, Pengantar Transportasi dan Logistik, Rajagrafindo Persada,
Jakarta, 2014.
pukul 20.130).
Lasse, Manajemen Muatan: Aktivitas Rantai Pasok di Area Pelabuhan, Jakarta:
Raja Grafindo, 2012.
Mertukusumo Sudikno, Penemuan Hukum, Yogyakarta: Liberty , 2009.
Moh. Erwin, Filsafat Hukum; Refleksi Kritis terhadap Hukum, Jakarta: Rajawali
Press, 2011, h. 179.; H. R. Otje Salman, Filsafat Hukum (Perkembangan &
Dinamika Masalah), Bandung: Refika Aditama, 2010.
Muhammad Abdulkadir, Hukum Pengangkutan Niaga, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2013.
Muhammad Kadir Abdul, Hukum Pengangkutan Niaga. Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2013.
Narbuko Cholid dan Ahmadi Abu, Metodologi Penelitian, Jakarta: Bumi Aksara,
2001.
Purwosutjipto, Pengertian pokok Hukum Dagang Indonesia 3, Hukum
Pengangkutan, Djambatan: Yogyakarta, 1991.
Prakoso Djoko, I Ketut Murtika, Hukum Asuransi Indonesia, Bina Aksara, Jakarta,
1987.
71

72
Salim Abbas, Dasar-dasar Asuransi, Rajawali Pers, Jakarta, 1994.Tim Penyusun
FSH, Pedoman Penulisan Skripsi FSH, Jakarta: Pusat Peningkatan dan
Mutu, 2017.
Suharnoko, Hartari Endah, Doktrin Subrogasi, Novasi dan Cessie, Kencana
Media Grup, Jakarta, 2005.
Tjakranegara Soegiatna, Hukum Pengangkutan Barang dan Penumpang, Jakarta:
Rineka Cipta, 1995.
Pasal 1243 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Company Profile PT. Lintas Kumala Abadi.
https://www.aca.co.id/Tentang-Kami (diakses pada 19 Februari 2019, pukul
20.30).
http://nailatulinayati.blogspot.com/p/profil.html (diakses pada 19 Februari 2019,
pukul 20.








