TANGGUNG JAWAB PENYIDIK TERHADAP BARANG BUKTI YANG...
Transcript of TANGGUNG JAWAB PENYIDIK TERHADAP BARANG BUKTI YANG...
i
TANGGUNG JAWAB PENYIDIK TERHADAP BARANG BUKTI YANG
DISITA MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA
PIDANA
SKRIPSI
Diajukan Guna Memperoleh Salah Satu Syarat
Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Program Studi Ilmu Hukum
Oleh :
OKTA PUTRI KARTIKA
Nim : 502015164
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG
2019
ii
iii
iv
ABSTRAK
TANGGUNG JAWAB PENYIDIK TERHADAP BARANG BUKTI YANG
DISITA MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA
PIDANA
Okta Putri Kartika
Dalam proses perkara pidana di Indonesia, barang bukti
memegang peranan yang sangat penting, dimana barang bukti dapat
membuat terang tentang terjadinya suatu tindak pidana dan akhirnya akan
digunakan sebagai bahan pembuktian, untuk menunjang keyakinan hakim
atas kesalahan terdakwa sebagaimana yang di dakwakan oleh jaksa
penuntut umum didalam surat dakwaan di pengadilan.
Adapun permasalahan dalam skripsi ini adalah : Bagaimanakah
tanggung jawab Penyidik terhadap barang bukti yang disita menurut Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana ? dan Apakah sanksi bagi Penyidik
yang menyalahgunakan barang bukti tersebut ?. jenis penelitian hukum
ini adalah “penelitian hukum normatif” yang dimaksudkan objek
kerjanya meliputi data-data sekunder yang ada diperpustakaan. Tipe
penelitian ini adalah bersifat deskriptif, yaitu menggambarkan.
Sesuai dengan judul dan beberapa permasalahan yang telah
dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa : Tanggung jawab
Penyidik terhadap Barang Bukti yang disita menurut Kitab Undang-
undang Hukum Acara Pidana, yaitu : pihak penyidiklah yang
bertanggung jawab sepenuhnya terhadap barang bukti yang disita
tersebut dan dilarang untuk dipergunakan oleh siapapun juga. Dan Sanksi
bagi Penyidik yang menyalahgunakan Barang Bukti dapat dikenakan
hukuman disiplin berupa : teguran tertulis ; penundaan mengikuti
pendidikan paling lama 1 (satu) tahun ; penundaan kenaikan gaji
berkala ; penundaan kenaikan pangkat ppaling lama 1 (satu) tahun ;
mutasi yang bersifat demosi ; pembebasan dari jabatan ; penempatan dalam
tempat khusus paling lama 21 (dua puluh satu) hari.
Kata Kunci : Tanggungjawab, Penyidik, Barang Bukti..
v
vi
vii
DAFTAR ISI
HALAMAN HALAMAN JUDUL................................................................... i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................. ii
PENDAFTARAN UJIAN SKRIPSI .......................................................... iii
SURAT PERNYATAAN ORISINALITAS SKRIPSI .................................. iv
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ......................................... v
ABSTRAK .................................................................................................. vi
KATA PENGANTAR ........................................................................... viii
DAFTAR ISI ....................................................................................................... ix
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .......................................................................... 1
B. Permasalahan ............................................................................. 8
C. Ruang Lingkup dan Tujuan ....................................................... 9
D. Defenisi Konseptual .................................................................. 9
E. Metode Penelitian ...................................................................... 10
F. Sistematika Penulisan ............................................................... 11
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Hukum Acara Pidana . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 13
B. Pengertian Tindak Pidana ........................................................ 17
C. Pengertian Penyelidikan dan Penyidikan ................................. 24
D. Wewenang Penyidik ................................................................ 33
viii
BAB III : PEMBAHASAN
A. Tanggung jawab Penyidik terhadap barang bukti yang disita
menurut Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana . . . . . . . . 42
B. sanksi bagi Penyidik yang menyalahgunakan barang
bukti tersebut ................................................................................... 46
BAB IV : PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................................ 53
B. Saran-saran......................................................................................... 54
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penegakan hukum merupakan salah satu usaha untuk menciptakan tata
tertib, keamanan dan ketentraman di dalam masyarakat, baik itu dalam usaha
pencegahan maupun pemberantasan ataupun penindakan setelah terjadinya
pelangaran hukum atau dengan kata lain dapat dilakukan secara preventif maupun
represif. Dan apabila Undang-undang yang menjadi dasar hukum bagi gerak
langkah serta tindakan dari para penegak hukum itu haruslah sesuai dengan tujuan
dari falsafah Negara dan pandangan hidup bangsa, maka dalam upaya penegakan
hukum akan lebih mencapai sasaran yang dituju. Tujuan dari tindak acara pidana
adalah untuk mencapai dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati
kebenaran-kebenaran materil, yaitu kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari
suatu peristiwa pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara
jujur dan tepat.
Dalam perkembangannya hukum acara pidana di indonesia dari dahulu
sampai sekarang ini tidak terlepas dari apa yang di sebut sebagai pembuktian, apa
saja jenis tindak pidananya pastilah melewati proses pembuktian. Hal ini tidak
terlepas dari sistem pembuktian pidana Indonesia yang ada pada KUHAP yang
masih menganut Sistem Negatif Wettelijk dalam pembuktian pidana. Pembuktian
dalam hal ini bukanlah upaya untuk mencari-cari kesalahan pelaku saja namun
yang menjadi tujuan utamanya adalah untuk mencari kebenaran dan keadilan
materil. hal ini didalam pembuktian pidana di Indonesia kita mengenal dua hal
2
yang sering kita dengar yaitu alat bukti dan barang bukti di samping adanya
proses yang menimbulkan keyakinan hakim dalam pembuktian.
Sehingga dalam hal pembuktian adanya peranan barang bukti khususnya
kasus-kasus pidana yang pada dewasa ini semakin beragam saja, sehingga
perlunya peninjauan khusus dalam hal barang bukti ini. Dalam proses perkara
pidana di Indonesia, barang bukti memegang peranan yang sangat penting,
dimana barang bukti dapat membuat terang tentang terjadinya suatu tindak pidana
dan akhirnya akan digunakan sebagai bahan pembuktian, untuk menunjang
keyakinan hakim atas kesalahan terdakwa sebagaimana yang di dakwakan oleh
jaksa penuntut umum didalam surat dakwaan di pengadilan.
Barang bukti tersebut antara lain meliputi benda yang merupakan objek-
objek dari tindak pidana, hasil dari tindak pidana dan benda-benda lain yang
mempunyai hubungan dengan tindak pidana. Untuk menjaga kemanan dan
keutuhan benda tersebut undang-undang memberikan kewenangan kepada
penyidik untuk melakukan penyitaan. Penyitaan mana harus berdasarkan syarat-
syarat dan tata cara yang telah ditentukan oleh undang-undang.
Bahwa hukum acara pidana menjadi saluran tertentu untuk
menyelesaikan kepentingan apabila terjadi perbuatan melawan hukum pidana.
Bahwa kemudian didalam menyelesaikan kepentingan orang lain, maka seseorang
diwajibkan memberitahukan hal itu kepada pejabat yang berwenang yaitu
Kepolisian Republik Indonesia.
Menurut ketentuan Pasal 4 jo Pasal 1 ayat (4) Undang-undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, yang berwenang melakukan
3
penyelidikan adalah setiap pejabat polisi Negara Republik Indonesia. Seorang
penyelidik mempunyai 4 (empat) tugas kewajiban, sebagai berikut :
1. Menerima laporan orang/pengaduan.
2. Mencari alat bukti .
3. Menyuruh orang supaya tidak meninggalkan tempat.
4. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Tindakan lain disini maksudnya adalah tindakan dari penyelidik untuk
penyelidikan dengan syarat-syarat :
1. Tidak bertentangan dengan aturan hukum.
2. Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan dilakukannya
tindakan jabatan
3. Tindakan itu harus patut dan masuk akal serta termasuk dalam lingkungan
jabatannya.
4. Atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa.
5. Menghormati hak asasi manusia.
Bersama-sama dengan dengan penyidikan, penyelidikan merupakan tahap
pemeriksaan pendahuluan dalam hukum acara pidana sebelum diadakannya
pemeriksaan lanjutan di pengadilan. Jadi penyelidikan dan penyidikan merupakan
rangkaian tindakan yang berkaitan satu sama lain.
Penyelidikan merupakan tindakan tahap pertama sebelum diadakannya
penyidikan karena penyelidikan merupakan tahap persiapan atau permulaan dalam
penyidikan maka dapat dikatakan bahwa lembaga penyelidikan disini mempunyai
4
fungsi sebagai “penyaring” apakah suatu peristiwa dapat dilakukan penyidikan
atau tidak.
Jadi sebelum melangkah ketindakan penyidikan perlu ditentukan terlebih
dahulu berdasarkan data atau keterangan yang didapat dari hasil penyelidikan
bahwa peristiwa yang terjadi dan diduga sebagai tindak pidana itu benar adanya
merupakan tindak pidana, sehingga dapat dilanjutkan dengan tindakan
penyidikan.
Kemudian atas perintah penyidik, penyelidik dapat melakukan :
1. penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan
penyitaan.
2. pemeriksaan dan penyitaan surat.
3. mengambil sidik jari dan memotret seseorang.
4. membawa dan menghadapkan seseorang kepada penyidik.
5. membuat dan menyampaikan laporan hasil penyelidikan pada penyidik.
Dalam hal tertangkap tangan, penyelidik tanpa menunggu perintah dari
penyidik wajib segera melakukan tindakan yang diperlukan dalam rangka
penyelidikan, tetapi tetap dalam batas penyelidikan.
Seorang penyelidik juga wajib membuat berita acara dan melaporkan
kepada penyidik sedaerah hukum (Pasal 111 ayat (1) dan Pasal 1 ayat (19)
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana).
Penyelidikan seperti halnya penyidik melakukan tugasnya jika ada laporan
atau pengaduan dari pihak yang bersangkutan dan yang merasa dirugikan,
rangkaian tindakan penyelidikan juga bisa dilakukan jika atas pengetahuannya
5
sendiri penyelidik menyimpulkan telah terjadi tindak pidana disuatu tempat,
sekalipun belum ada laporan atau pengaduan.
Penegakan hukum menurut R. Atang Ranoemihardja adalah kegiatan
menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabar dalam kaidah-kaidah atau
pandangan-pandangan nilai yang mantap, mengecewakan dan sikap tindak
sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan kedamaian
pergaulan hidup, baik merupakan tindakan pencegahan maupun tindak
pemberantasan.1
Salah satu ketentuan yang mengatur bagaimana caranya agar aparatur
penegak hukum atau hakim melaksanakan tugas dibidang pemberantasan adalah
Hukum Acara Pidana yang mempunyai tujuan untuk mencari dan mendapatkan
kebenaran materiil.
Purnadi Purbacaraka merumuskan bahwa :
Kebenaran materiil adalah kebenaran selengkap-lengkapnya dari
suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang tepat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan apakah terbukti bahwa suatu tindakan pidana telah dilakukan dan
apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan.2
Penyelenggaraan peradilan pidana merupakan mekanisme bekerjanya
aparat penegak hukum pidana seperti mulai dari proses penyelidikan dan
penyidikan yang dilakukan oleh polisi, penangkapan, penutupan yang dilakukan
1
R. Atang Ranoemihardja, 2004, Hukum Acara Pidana, Tarsito Bandung, hlm.
50 2
Purnadi Purbacaraka, 2001, Penegakan Hukum dalam Mensukseskan
Pembangunan, Bina Cipta, Jakarta, hlm. 13
6
oleh Jaksa Penuntut Umum dan pemeriksaan dilakukan oleh hakim di sidang
pengadilan serta pelaksanaan dilakukan oleh hakim di sidang pengadilan serta
pelaksanaan keputusan pengadilan oleh Jaksa dan Lembaga Pemasyarakatan
dengan diawasi oleh Ketua Pengadilan yang bersangkutan. Dengan kata lain
dikemukakan R. Soesilo bahwa peradilan pidana yaitu bekerjanya Polisi, Jaksa,
Hakim dan petugas Lembaga Pemasyarakatan, yang berarti pula berprosesnya
atau bekerjanya hukum acara pidana.
Penanganan suatu perkara pidana mulai dilakukan oleh Penyidik setelah
menerima laporan atau pengaduan dari masyarakat ataupun diketahui sendiri
tentang terjadinya tindak pidana, kemudian dituntut oleh Penuntut Umum dengan
jalan melimpahkan perkara tersebut ke Pengadilan Negeri. Selanjutnya Hakim
melakukan pemeriksaan dakwaan penuntut umum terhadap terdakwa terbukti atau
tidak.
Bagian yang terpenting dari tiap-tiap proses pidana adalah pembuktian, hal
inilah menentukan apakah terdakwa dinyatakan bersalah atau tidak bersalah untuk
kepentingan pembuktian tersebut, maka kehadiran benda-benda yang
bersangkutan dengan suatu tindak pidana, sangat diperlukan. Barang bukti adalah
barang bukti kejahatan meskipun barang bukti itu mempunyai peranan yang
sangat penting dalam proses pidana namun tidak ada satu pasal pun yang
memberikan alasan dengan jelas yang dimaksud dengan barang bukti.
7
Dalam penjelasan KUHP pengertian barang bukti dipergunakan oleh
terdakwa untuk melakukan suatu tindak pidana atau barang sebagai hasil dari
tindak pidana, seperti : tindak pidana korupsi, yang terdapat pada :
a. Pasal 415 KUHP tentang Penggelapan
b. Pasal 416 KUHP tentang Pemalsuan
c. Pasal 418, 419, 420 KUHP tentang Menerima Suap
d. Pasal 423, 425, 435 KUHP tentang Menguntungkan diri sendiri
secara tidak sah.
Pengertian barang bukti menurut Andi Hamzah, yaitu :
Barang bukti dalam perkara pidana yaitu barang mana delik dilakukan (objek delik) dan barang dengan mana delik dilakukan, yaitu alat yang dipakai untuk melakukan delik misalkan pisau yang dipakai untuk menikam orang. Termasuk juga barang bukti ialah hasil dari delik, misalnya uang negara yang dipakai (korupsi) untuk membeli rumah
pribadi, maka rumah itu merupakan barang bukti, atau hasil delik.3
Di samping itu ada pula barang yang bukan merupakan objek, alat atau
hasil delik, tetapi dapat pula dijadikan barang bukti sepanjang barang bukti
tersebut mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana, misalnya pakaian
yang dipakai korban pada saat ia dianiaya atau dibunuh.
Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk melakukan
penulisan skripsi dengan judul : TANGGUNG JAWAB PENYIDIK TERHADAP
BARANG BUKTI YANG DISITA MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG
HUKUM ACARA PIDANA.
B. Permasalahan
3 Andi Hamzah, 2008, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Ghalia Indonesia,
Jakarta, hlm. 100.
8
Adapun permasalahan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah tanggung jawab Penyidik terhadap barang bukti yang
disita menurut Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana ?
2. Apakah sanksi bagi Penyidik yang menyalahgunakan barang bukti
tersebut ?
C. Ruang Lingkup dan Tujuan
Untuk memperoleh pembahasan yang sistematis, sehingga sejalan
dengan permasalahan yang dibahas, maka yang menjadi titik berat pembahasan
dalam penelitian ini yang bersangkut paut dengan Tanggung jawab Penyidik
terhadap barang bukti yang disita menurut Kitab Undang-undang Hukum
Acara Pidana .
Tujuan Penelitian adalah untuk mengetahui dan mendapatkan
pengetahuan yang jelas tentang :
1. Tanggung jawab Penyidik terhadap barang bukti yang disita menurut
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
2. Sanksi bagi Penyidik yang menyalahgunakan barang bukti tersebut.
D. Defenisi Konseptual
1. Tanggung Jawab adalah adalah kesadarab manusia akan tingkah laku atau
perbuatan yang disengaja maupun yang tidak disengaja.4
2. Penyidik Pejabat polisi Negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai
negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang
untuk melakukan penyidikan (Pasal 1 butir ke 1 KUHAP)
4
https://www.zonareferensi.com, diakses 28 Oktober 2018
9
3. Barang bukti dalam perkara pidana yaitu barang mana delik dilakukan (objek delik) dan barang dengan mana delik dilakukan, yaitu alat yang dipakai untuk melakukan delik misalkan pisau yang dipakai untuk menikam orang. Termasuk juga barang bukti ialah hasil dari delik, misalnya uang negara yang dipakai (korupsi) untuk membeli rumah
pribadi, maka rumah itu merupakan barang bukti, atau hasil delik.5
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis Penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah jenis penelitian
hukum yang dipandang dari sudut tujuan penelitian hukum yaitu penelitian
hukum normatif, yang bersifat deskriptif atau menggambarkan.
2. Jenis dan Sumber data
Adapun jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data
sekunder yang terdapat dalam kepustakaan, yang berupa peraturan
perundang-undangan yang terkait, jurnal, hasil penelitian, artikel dan
buku-buku lainnya
Data yang berasal dari bahan-bahan hukum sebagai data utama yang
diperoleh dari pustaka, antara lain :
a. Bahan hukum primer
Bahan hukum yang mempunyai otoritas (authoritatif) yang terdiri dari
peraturan perundang-undangan, antara lain : Kitab Undang-Undang
Hukum pidana dan Kitab Undang-undang hukum Acara Pidana.
b. Bahan Hukum Sekunder
254
5 Andi Hamzah, 2015, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, hlm
10
Yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan
hukum primer, seperti rancangan undang-undang, hasil-hasil
penelitian, hasilnya dari kalangan hukum, dan seterusnya.
3. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian hukum ini teknik pengumpulan data yang digunakan
yaitu melalui studi kepustakaan (library research) yaitu penelitian untuk
mendapatkan data sekunder yang diperoleh dengan mengkaji dan
menelusuri sumber-sumber kepustakaan, seperti literatur, hasil penelitian
serta mempelajari bahan-bahan tertulis yang ada kaitannya dengan
permasalahannya yang akan dibahas, buku-buku ilmiah, surat kabar,
perundang-undangan, serta dokumen-dokumen yang terkait dalam
penulisan skripsi ini.
4. Teknik Analisa Data
Data yang diperoleh dari sumber hukum yang dikumpulkan
diklasifikasikan, baru kemudian dianalisis secara kualitatif, artinya
menguraikan data secara bermutu dalam bentuk kalimat yang teratur,
sistematis, logis, tidak tumpang tindih, dan efektif, sehingga memudahkan
interprestasi data dan pemahaman hasil analisis. Selanjutnya hasil dari
sumber hukum tersebut dikonstruksikan berupa kesimpulan dengan
menggunakan logika berpikir induktif, yakni penalaran yang berlaku
khusus pada masalah tertentu dan konkrit yang dihadapi. Oleh karena itu
hal-hal yang dirumuskan secara khusus diterapkan pada keadaan umum,
11
sehingga hasil analisis tersebut dapat menjawab permasalahan dalam
penelitian.
F. Sistematika Penulisan
Skripsi ini terdiri dari empat bab dengan sistematika sebagai berikut :
Bab I, merupakan pendahuluan yang terdiri dari latar belakang,
Permasalahan, Ruang Lingkup dan Tujuan Penelitian, Defenisi konseptual,
Metode Penelitian, serta Sistematika Penulisan.
Bab II, merupakan tinjauan pustaka yang berisikan landasan teori yang
erat kaitannya dengan obyek penelitian, yaitu : Pengertian Hukum Acara
Pidana, Pengertian Tindak Pidana. Pengertian Penyelidikan dan Penyidikan,
Wewenang Penyidik, Pengertian Barang Bukti.
Bab III, merupakan pembahasan yang berkaitan dengan Tanggung jawab
Penyidik terhadap barang bukti yang disita menurut Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana dan sanksi bagi Penyidik yang menyalahgunakan barang
bukti tersebut.
Bab IV berisikan Kesimpulan dan saran.
12
DAFTAR PUSTAKA
Andi Hamzah, 2008, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Ghalia
Indonesia, Jakarta.
E.Y. Kanter, 2008, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta.
Harun M. Husein, 1994, Surat Dakwaan : Teknik Penyusunan, Fungsi dan Permasalahannya,Rineka Cipta, Jakarta.
Laden Marpaung, 1996, Tindak Pidana Lingkungan Hidup, Sinar Grafika, Jakarta.
Moeljatno, 2002 Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta
M. Yahya Harahap, 2009, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP,
edisi revisi, Sinar Grafika, Jakarta.
Pipin Syarifin, 1993, Hukum Pidana Indonesia, Pustaka Setia, Bandung.
Purnadi Purbacaraka, 1988, Penegakan Hukum dalam Mensukseskan
Pembangunan, Bina Cipta, Jakarta
R. Atang Ranoemihardja, 1983, Hukum Acara Pidana, Tarsito Bandung.
R.Subekti, 1990, Hukum Pembuktian, Pradnya Paramita, Jakarta.
Satochid Kartanegara, 1983, Hukum Pidana, Kumpulan Kuliah Balai lektur Mahasiswa, Jakarta.
Syarifudin Pettanasse dan Ansorie Sabuan, 2000, Hukum Acara Pidana, Unsri,
Palembang.
Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang KitabUndang-Undang Hukum Acara
Pidana
i