TABLOID INSTITUT EDISI 36

16
Edisi XXXVI / April 2015 Email: [email protected] / [email protected] Telepon Redaksi: 08978325188 / 085693706311 LAPORAN UTAMA WAWANCARA Karut-marut Laporan BKD Pionir Setengah Ha Fasilitas Dorong Kinerja Dosen Hal. 3 Hal. 11 LAPORAN KHUSUS Hal. 4 Terbit 16 Halaman LPM INSTITUT - UIN JAKARTA @lpminstitut www.lpminstitut.com Ironi Tunjangan Profesi Nur Hamidah Tunjangan profesi ditahan, sebagian dosen mulai resah dan bertanya-tanya. Pihak LPM hingga keuangan turut angkat suara mengenai penahanan ini. Setelah menunggu selama tiga bulan, dana tunjangan profesi akhirnya turun. Namun, tidak semua dosen tersertifikasi me- nerima tunjangan tersebut. Sebagian dari mereka menanyakan alasan tunjangan profesinya yang belum juga turun. Marhamah Shaleh, dosen Pendidikan Agama Islam (PAI) mengaku belum mendapat tunjangan profesinya selama tiga bulan, terhitung sejak Januari hingga Maret 2015. “Saya kira alasan belum turun itu karena memang pembagiannya ke be- berapa pihak dulu. Ketika dicek ke pihak Lembaga Penjamin Mutu (LPM), katanya sudah dicairkan semuanya,” ujarnya, Selasa (21/4). Sekretaris Jurusan PAI itu menerangkan, awal 2015 lalu In- spektorat Jenderal (Itjen) Kementerian Agama (Kemenag) me- meriksa penilaian Beban Kerja Dosen (BKD) dan dosen yang bermasalah dipanggil untuk memperbaiki kekurangannya. Na- mun, ia tidak turut dipanggil. Setelah kembali meminta klarifi- kasi dari LPM, Marhamah dinyatakan memiliki jabatan tetap di universitas lain sehingga tunjangan profesinya ditahan. Selain Marhamah, Neneng Sunengsih juga belum menerima tunjangan profesinya. Dosen Pendidikan Bahasa Inggris (PBI) ini mengaku, telah menyerahkan berkas-berkas sesuai dengan persyaratan BKD. Namun, ia mendapat laporan bahwa doku- mennya belum lengkap. “Saya langsung koordinasi dengan It- jen, mereka bilang saya sudah aman. Ketika dosen lain sudah cair tunjangannya, tapi kok saya belum menerimanya,” ujarn- ya, Kamis (23/4). Neneng mengaku, ia tidak mengunggah data penelitian ta- hun 2014 yang menjadi salah satu poin penilaian dalam BKD. Neneng tidak dapat mengunggah dokumen melalui sistem on- line karena sudah lewat batas waktu pengunggahan. Akibatnya, data tersebut tidak dapat diunggah. Untuk menilai mutu kerja, dosen diharuskan mengung- gah dokumen-dokumen yang berkaitan dengan BKD mereka melalui sistem online. Penilaian ini merupakan salah satu syarat agar dosen mendapatkan tunjangan profesinya. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) 37 Tahun 2009 pasal 8 ayat 1 mengenai tunjangan profesi, dosen dapat mendapatkan tunjangan profesi jika ia telah memiliki sertifikat pendidik, melaksanakan tridarma perguruan tinggi, dan tidak terikat sebagai tenaga tetap pada satuan kerja lain. Jika terbukti, maka tunjangan profesinya dicabut. Salamah Agung, Kepala Pusat Audit dan Pengendalian Mutu, LPM menjelaskan alasan penahanan tunjangan profesi Bersambung ke hal. 15 kol. 2

description

 

Transcript of TABLOID INSTITUT EDISI 36

Page 1: TABLOID INSTITUT EDISI 36

Edisi XXXVI / April 2015 Email: [email protected] / [email protected] Telepon Redaksi: 08978325188 / 085693706311

LAPORAN UTAMA WAWANCARAKarut-marutLaporan BKD

PionirSetengah Hati

Fasilitas Dorong Kinerja Dosen

Hal. 3 Hal. 11

LAPORAN KHUSUS

Hal. 4

Terbit 16 Halaman LPM INSTITUT - UIN JAKARTA @lpminstitut www.lpminstitut.com

Ironi Tunjangan Profesi

Nur Hamidah

Tunjangan profesi ditahan, sebagian dosen mulai resah dan bertanya-tanya. Pihak LPM hingga keuangan turut angkat suara mengenai penahanan ini.

Setelah menunggu selama tiga bulan, dana tunjangan profesi akhirnya turun. Namun, tidak semua dosen tersertifikasi me-nerima tunjangan tersebut. Sebagian dari mereka menanyakan alasan tunjangan profesinya yang belum juga turun.

Marhamah Shaleh, dosen Pendidikan Agama Islam (PAI) mengaku belum mendapat tunjangan profesinya selama tiga bulan, terhitung sejak Januari hingga Maret 2015. “Saya kira alasan belum turun itu karena memang pembagiannya ke be-berapa pihak dulu. Ketika dicek ke pihak Lembaga Penjamin Mutu (LPM), katanya sudah dicairkan semuanya,” ujarnya, Selasa (21/4).

Sekretaris Jurusan PAI itu menerangkan, awal 2015 lalu In-spektorat Jenderal (Itjen) Kementerian Agama (Kemenag) me-meriksa penilaian Beban Kerja Dosen (BKD) dan dosen yang bermasalah dipanggil untuk memperbaiki kekurangannya. Na-

mun, ia tidak turut dipanggil. Setelah kembali meminta klarifi-kasi dari LPM, Marhamah dinyatakan memiliki jabatan tetap di universitas lain sehingga tunjangan profesinya ditahan.

Selain Marhamah, Neneng Sunengsih juga belum menerima tunjangan profesinya. Dosen Pendidikan Bahasa Inggris (PBI) ini mengaku, telah menyerahkan berkas-berkas sesuai dengan persyaratan BKD. Namun, ia mendapat laporan bahwa doku-mennya belum lengkap. “Saya langsung koordinasi dengan It-jen, mereka bilang saya sudah aman. Ketika dosen lain sudah cair tunjangannya, tapi kok saya belum menerimanya,” ujarn-ya, Kamis (23/4).

Neneng mengaku, ia tidak mengunggah data penelitian ta-hun 2014 yang menjadi salah satu poin penilaian dalam BKD. Neneng tidak dapat mengunggah dokumen melalui sistem on-line karena sudah lewat batas waktu pengunggahan. Akibatnya,

data tersebut tidak dapat diunggah. Untuk menilai mutu kerja, dosen diharuskan mengung-

gah dokumen-dokumen yang berkaitan dengan BKD mereka melalui sistem online. Penilaian ini merupakan salah satu syarat agar dosen mendapatkan tunjangan profesinya.

Sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) 37 Tahun 2009 pasal 8 ayat 1 mengenai tunjangan profesi, dosen dapat mendapatkan tunjangan profesi jika ia telah memiliki sertifikat pendidik, melaksanakan tridarma perguruan tinggi, dan tidak terikat sebagai tenaga tetap pada satuan kerja lain. Jika terbukti, maka tunjangan profesinya dicabut.

Salamah Agung, Kepala Pusat Audit dan Pengendalian Mutu, LPM menjelaskan alasan penahanan tunjangan profesi

Bersambung ke hal. 15 kol. 2

Page 2: TABLOID INSTITUT EDISI 36

Laporan Utama 2Tabloid INSTITUT Edisi XXXVI / April 2015

Pemimpin Umum: Adi Nugroho | Sekretaris & Bendahara Umum: Nur Hamidah | Pemimpin Redaksi: Thohirin | Redaktur Online & Web Master: Syah Rizal | Pemimpin Litbang: Erika Hidayanti | Pemimpin Perusahaan: Maulia Nurul HakimAnggota: Aci Sutanti, Arini Nurfadilah, Ika Puspitasari, Jeannita Kirana, M. Rizky Rakhmansyah, Triana Sugesti, Yasir Arafat

Koordinator Liputan: Maulia Nurul Hakim | Reporter: Erika Hidayanti, Maulia Nurul Hakim, Nur Hamidah, Syah Rizal, Thohirin, Aci Sutanti, Arini Nurfadilah, Ika Puspitasari, Jeannita Kirana, M. Rizky Rakhmansyah, Triana Sugesti, Yasir Arafat | Fotografer & Editor: INSTITUTERS | Desain Visual & Tata Letak:Erika Hidayanti, Syah Rizal, Arini Nurfadilah, Ika Puspitasari | Karikaturis & Ilustrator: Syah Rizal, Ika Puspitasari | Editor Bahasa: INSTITUTERS

Alamat Redaksi: Gedung Student Center Lantai 3 Ruang 307 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jl. Ir. H. Djuanda No.95 Ciputat, Tangerang Selatan 15412Telepon: 08978325188 | Email: [email protected] / [email protected] | Website: www.lpminstitut.com

~~~Setiap reporter INSTITUT dibekali tanda pengenal serta tidak dibenarkan memberikan insentif dalam bentuk apapun kepada reporter INSTITUT yang sedang bertugas~~~

Salam RedaksiSalam Sejahtera, hidup mahasiswa!Tak terasa sudah satu bulan berlalu.

Akhirnya kami menyapa kembali pembaca sekalian. Di tengah kesibukan rutinitas di ruang redaksi dan masa pendidikan Bakal Calon Anggota (Bacang) LPM INSTITUT tahun 2015, kami tetap berusaha meracik tulisan yang terbaik. Kami tetap untuk pembaca sekalian.

Suasana ramai dan padat jadwal sudah menjadi kebiasaan bagi kami. Meski waktu kami banyak tersita untuk mendidik dan menyambut adik-adik baru, kami tak lupa untuk menulis. Kegiatan tahunan yang disebut Training Pers Institut (TPI) tersebut merupakan persiapan kader-kader terbaik kami sebelum siap menjadi reporter yang turun ke lapangan.

Akhirnya, di tengah kesibukan itu kami bisa menghadirkan lagi Tabloid INSTITUT ke tangan pembaca sekalian. Tabloid edisi ke-36 ini merupakan hasil kolaborasi antar pengurus dan anggota LPM INSTITUT. Untuk pertama kalinya anggota LPM INSTITUT yang baru dilantik dua bulan lalu menorehkan karyanya di tabloid.

Kali ini, tiga laporan utama kami mengangkat tema terkait Beban Kerja Dosen (BKD). Dosen sebagai corong pendidikan perguruan tinggi memiliki tugas dan tanggung jawab penting bagi kemajuan kampus. Makanya, demi menjaga kualitas profesi ini, setiap semesternya diadakan penilain BKD. Hasil penilaian BKD pula yang menentukan dosen berhak menerima tunjangan profesi atau tidak.

Pada headline kami menyajikan berita tentang penundaan tunjangan profesi dosen yang disebabkan oleh ketrlambatan penilaian BKD. Tak hanya itu, tunjangan profesi juga tak bisa diberikan bagi dosen yang memiliki jabatan di universitas lain. Sedangkan, laporan utama pertama kami menyajikan berita tentang sistem dokumentasi dan laporan BKD yang kacau. Hal inilah yang membuat kecurigaan saat Inspektorat Jenderal (Itjen) Kementerian Agama (Kemenag) melakukan audit Maret lalu.

Sajian kami pada laporan utama yang berikutnya adalah tentang guru-guru besar yang abai terhadap tugas mengajarnya. Padahal, guru besar memiliki kewajiban untuk mengajar bahkan pada jenjang S1. Di halaman berikutnya, kami menyuguhkan laporan khusus terkait persiapan Pionir ke-7 di Palu yang terkesan terburu-buru. Lalu, kami pun menyampaikan berita terkait penganggaran dana HMJ yang berbeda di tiap fakultas pada rubrik laporan khusus selanjutnya.

Edisi April ini juga menampilkan fenomena mahasiswa dan batu mulia di lingkungan kampus. Berita ini kami kemas dalam rubrik kampusiana. Selain itu, kami pun mempersembahkan resensi film biografi salah satu tokoh negeri ini, Tjokroaminoto. Banyak sekali pelajaran yang bisa kita ambil dari kisah salah satu pejuang keadilan di Indonesia itu.

Selama proses pembuatan tabloid ini, kami tak luput dari kendala. Misalnya, data yang sulit diakses. Namun, hal tersebut tak menjadi alasan kami untuk tak menyajikan hasil yang maksimal. Semoga pembaca sekalian puas dengan apa yang kami suguhkan kali ini. Kami juga berharap tulisan-tulisan dalam tabloid ini dapat bermanfaat bagi pembaca sekalian.

Selamat membaca!

Awal Maret 2015, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta mendadak si-buk dengan kedatangan tim auditor Inspektorat Jenderal (Itjen) Kementerian Agama (Kemenag) RI yang memeriksa hasil penilaian Beban Kerja Dosen (BKD). Banyak ditemukan kasus dosen tak memenuhi BKD. Dokumen yang tak lengkap menjadi salah satu alasannya.

Neneng Sunengsih misalnya. Oleh Itjen, dosen Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris Fakul-tas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) ini din-yatakan belum memenuhi BKD di tahun 2013 dan 2014. “Dokumen saya di bidang pengab-dian masyarakat tahun 2013 dinyatakan kurang. Sedangkan tahun 2014, saya belum mengung-gah dokumen di bidang penelitian,” ujarnya, Jumat (24/4).

Sama halnya Neneng. Burhanudin Milama, dosen Jurusan Pendidikan Kimia, FITK juga dinyatakan tidak memenuhi BKD di tahun 2014 karena laporannya tidak lengkap. Namun, asses-sor tak memberi keterangan jelas dokumen apa yang harus ia lengkapi.

Seperti yang termaktub dalam Peraturan Pe-merintah (PP) No. 37 tahun 2009 ayat 8. Di situ, mengatur bahwa dosen harus memenuhi beban kerjanya minimal 12 SKS dan maksimal 16 SKS di setiap semester. BKD mencakup tiga bidang, yakni pendidikan dan pengajaran, penelitian dan penulisan karya ilmiah, serta pengabdian mas-yarakat.

Oleh karena itu, laporan BKD menuntut dosen untuk selalu mendokumentasikan surat tugas dan laporan kegiatan yang telah dilakukan. Namun, dalam praktiknya, tak sedikit dosen mengabaikan. “Rata-rata dosen lupa di mana menyimpan dokumen yang dibutuhkan,” tutur Kepala Pusat Audit dan Pengendalian Mutu, Lembaga Penjamin Mutu (LPM) UIN Jakarta, Salamah Agung, Jumat (17/4).

Untuk melancarkan proses penilaian, LPM sebenarnya sudah melakukan sosialisasi kepada

dosen terkait pedoman umum laporan BKD on-line. Di situ, mengatur dosen harus mengunggah laporan BKD-nya ke sistem informasi yang nan-tinya akan dinilai assessor. Namun, selama pro-ses sosialisasi, Salamah tak menampik banyak dosen yang tidak hadir. Walhasil, saat audit Itjen pertengahan Maret lalu, banyak dosen yang tak memenuhi BKD.

Neneng misalnya. Saat sosialisasi, Ia me- ngaku tak mengikuti hingga akhir lantaran ada jadwal mengajar. Ia juga mengaku, selama ini dirinya sudah terbiasa bekerja tanpa surat tugas. Sehingga oleh Itjen, dokumen BKD-nya di ta-hun 2013 dinyatakan tidak lengkap. Berangkat dari situ, menurut Neneng, kini dosen mulai ha-rus terbiasa dengan sistem BKD online yang baru diterapkan selama setahun itu.

Lain lagi dengan Burhan. Ia mengaku kesu-litan mengumpulkan surat-surat tugas laporan BKD yang kegiatannya tak didanai kampus. Pasalnya, surat tugas selama ini hanya diberikan kepada dosen yang menjalankan tugas kampus. Sedangkan jika melakukan sendiri tak ada surat tugas yang terbit sehingga perlu mengumpulkan surat keterangan. “Karena selama ini kita belum biasa,” tutur Burhan, Jumat (24/4).

Tak hanya dokumentasi berkas BKD yang ka-cau, menurut Salamah, selama ini UIN Jakarta memang belum menerapkan sistem penilaian BKD secara komprehensif. Tak ada penilaian yang terstruktur, serta jumlah assessor yang cuk-up. “Keterbatasan dana membuat kami tak bisa menggaji assessor yang kompeten dengan jumlah yang cukup,” ujarnya.

Sebelumnya, Salamah menerangkan, assessor hanya menegur dosen lewat email atau sistem informasi BKD jika terdapat dosen yang tidak melengkapi laporan BKD-nya. Dan tak ada tin-dak lanjut. Sehingga tak banyak perkembangan dari teguran itu. Baru setelah kedatangan audit Itjen, Salamah mengaku melakukan penilaian komprehensif. “Bahkan untuk tiga semester se-

belumnya,” katanya.Saat ini, UIN Jakarta memiliki 858 dosen

yang telah tersertifikasi dengan 89 assessor. Satu assessor dibebani 20 dosen yang telah tersertifikasi untuk dinilai setiap satu semester. Padahal, satu dosen saja diaudit oleh dua assessor. “Bahkan, kalau bisa satu assessor 10 dosen saja, jangan ter-lalu banyak,” kata salah satu assessor BKD UIN Jakarta, Abdul Halid, Rabu (15/4).

Selain itu, persepi antarassessor terkait penilain pun berbeda. Burhan misalnya, ia dinyatakan tak memenuhi BKD karena dari kedua assessor yang menilai laporan BKD-nya berbeda pendapat. Salah satu asessor menyatakan Burhan belum memenuhi BKD. Padahal, yang lain sudah melo-loskannya.

Ditemui di ruangannya, Senin (20/4), Wakil Rektor (Warek) Bidang Akademik, Fadhilah Su-ralaga membenarkan adanya kekurangan berkas pada laporan BKD dosen. Menurut Fadhilah, se-lama ini dosen belum terbiasa dengan persoalan administrasi seperti itu. Apalagi sesuai dengan Peraturan Rektor UIN Jakarta tahun 2013 ten-tang Pedoman Pengaturan Beban Kerja Dosen, dosen harus melaporkan dokumen tersebut seti-ap akhir semester.

Ke depan, UIN Jakarta sedikit demi sedikit akan memperbaiki sistem ini. Kampus pun nan-tinya akan berusaha untuk menambah fasilitas dosen untuk penelitian dan pengabdian mas-yarakat. “Kami juga mendorong dosen untuk melakukan penelitian yang bekerja sama dengan mahasiswa atau universitas lain,” jelas Fadhilah.

Sampai saat ini, data resmi mengenai jumlah dosen yang tak memenuh BKD dan dicabut tun-jangan profesi atau yang berkewajiban mengem-balikan tunjangannya pada negara belum ada. “Untuk jumlah saya belum bisa sebutkan, na-mun, jika dilihat dari hasil temuan Itjen kemarin memang ada dosen yang dicabut dan harus mengembalikan tunjangan profesinya,” tutup Fadhilah.

Audit Itjen Kemenag menyatakan sejumlah dosen UIN Jakarta tak memenuhi BKD. Dosen pun kocar-kacir memperbaiki laporan BKD yang tak lengkap.

Karut-marut Laporan BKD

Erika Hidayanti

Foto

: Erik

a/IN

S

Simulasi dan pelatihan kader Jumantik oleh dosen dan mahasiswa Kesehatan Masyarakat, FKIK UIN Jakarta di Kelurahan Rengas, Kamis (19/2). Kegiatan ini termasuk salah satu aspek Beban Kerja Dosen (BKD) yaitu pengabdian masyarakat.

Page 3: TABLOID INSTITUT EDISI 36

Laporan Utama 3Tabloid INSTITUT Edisi XXXVI / April 2015

Hasil audit BKD oleh Itjen Kemenag menyatakan sebagian guru besar UIN Jakarta tidak memenuhi beban kerjanya. Kesibukan di luar kampus banyak jadi alasan.

“Lebih inget nama asisten dosen-nya dari pada guru besarnya,” ujar Dedeh Herlinawati saat ditanya nama guru besar mata kuliahnya di semester satu, dua tahun lalu. “Soalnya yang (banyak) ngajar asisten dosen (asdos). Penentuan materi juga asdos,” lanjut mahasiswi semester empat Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) ini, Sabtu (25/4).

Dedeh ingat betul, kala itu, guru be-sar FITK yang mengampu salah satu mata kuliahnya hanya masuk tiga kali dari total 16 kali pertemuan. “Seingat aku, hari pertama dia masuk. Pas uji-an, masuk. Bagiin soal. Terus ngumpu-lin sama asdosnya,” ingatnya.

Tak berbeda dengan Reki Prasetyo. Mahasiswa semester empat Fakultas Sya-riah dan Hukum (FSH) ini merasa kehad-iran asdos lebih sering ketimbang bebe- rapa guru besar yang menjadi pengampu dosen mata kuliah di kelasnya.

Reki ingat, tak lebih tiga kali, guru besar memberi mata kuliah di kelasnya. Sisanya, asdos yang aktif masuk. “30% lah,” Reki memperkira-kan presentasi kehadiran guru besar yang jarang masuk itu, (Sabtu (25/4).

Mengacu pada Peraturan Rektor ten-tang Pedoman Pengaturan Beban Kerja Dosen (BKD) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta ta-hun 2013 pasal 15 tentang Asistensi, mengatur bahwa asistensi merupakan proses bimbingan mengajar oleh guru besar terhadap dosen-dosen muda. Namun, dalam praktiknya, tak sedikit kehadiran asdos di kelas lebih banyak ketimbang guru besar yang menjadi pengampu utama mata kuliah.

Tak ayal, kehadiran tim audit Ins-

pektorat Jenderal (Itjen) Kementerian Agama (Kemenag) awal Maret lalu, cukup membuat kalang kabut civitas ak-ademika UIN Jakarta. Tak hanya dosen yang jadi incaran, guru besar pun tak luput dari bidikan. Konon, tak sedikit guru besar UIN Jakarta yang tidak me-menuhi beban kerjanya sebagai guru besar.

Ditemui di ruangannya, Kepala Sub Bagian Pengelolaan Hasil Pengawasan Internal, Kamalul Iman Billah berge-ming saat dimintai angka pasti guru besar UIN Jakarta yang bermasalah. “Itu rahasia. Lagipula Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP)nya juga belum selesai,” ujarnya, Selasa (14/4). Na-mun, Kamal membenarkan sebagian guru besar UIN Jakarta bermasalah.

Sementara itu, Kepala Pusat Audit dan Pengendalian Mutu, Lembaga Penjaminan Mutu (LPM) UIN Ja-karta, Salamah Agung menyebutkan, berdasarkan hasil sementara audit Itjen Kemenag yang diterima LPM, dari total 63 guru besar di UIN Ja-karta, hanya satu guru besar yang bermasalah. Namun, angka itu tidak menutup kemungkinan berubah kare-na Itjen Kemenag belum menyerahkan hasil akhir audit.

Minimnya kehadiran guru besar mengajar di S1 hanya satu dari seba-gian kasus guru besar yang mengemu-ka selama proses audit BKD. Selain kasus itu, produktivitas di bidang penu-lisan buku, penelitian, dan penyebarlu-asan gagasan turut jadi perbincangan hangat civitas akademika UIN Jakarta.

Wakil Rektor Bidang Akademik, Fadhilah Suralaga menyadari minimnya produktivitas menulis buku, penelitian,

maupun menyebarluaskan gagasan di kalangan guru besar UIN Jakarta. Pa-dahal, tiga aspek itu menjadi kewajiban bagi guru besar di setiap perguruan ting-gi. Terlebih, UIN Jakarta kini tengah berbenah menuju world class university. “Mungkin (produktivitas) hanya seki-tar 30%,” ujar Fadhilah, saat ditemui di ruangannya, Selasa (22/4).

Beban guru besar mendorong peningkatan akademik memang tak seperti dosen pada umumnya. Dalam buku Pedoman Beban Kerja Dosen dan Evaluasi Pelaksanaan Tridarma Perguruan Tinggi yang diterbitkan Direktorat Perguruan Tinggi Departe-men Pendidikan Nasional tahun 2010, beban guru besar meliputi tiga aspek; menulis buku, menulis karya ilmiah, dan menyebarkanluaskan gagasan un-tuk mencerahkan masyarakat.

Untuk memenuhi tiga tugas itu, setiap guru besar diberi waktu tiga ta-

hun. Karenanya, setiap tiga tahun, tim assessor akan meminta buku, hasil pe-nelitian, atau penyebarluasan gagasan sebagai bukti pemenuhan beban kerja guru besar. Waktu tiga tahun terhitung sejak pengangkatan seorang guru besar.

Sejak diangkat menjadi guru be-sar di Fakultas Adab dan Humaniora (FAH) pada 2002, Fathurrahaman Rauf, hingga kini telah menulis dua buku. Profesor di bidang Sastra Arab ini mengaku tak memiliki waktu ban-yak untuk menulis. “Yang susah itu waktunya,” katanya.

Kini, kesibukan Rauf hanya meng-ajar di Jurusan Bahasa dan Sastra Arab FAH setiap hari Senin, Rabu, Kamis. Rencananya, Rauf akan menulis be-berapa buku lagi sebelum pensiun di umurnya yang ke-70. “Saya enggak tahu berapa (buku),” katanya.

Berbeda dengan Rauf. Sejak diang-kat menjadi guru besar Fakultas Ilmu

Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FIDI-KOM), Yunan Yusuf, telah menulis sembilan buku. Selain itu, di sela-sela kesibukannya mengajar, ia juga menja-di assessor di Badan Akreditasi Nasio- nal Perguruan Tinggi (BAN-PT).

Yunan juga tengah menyelesaikan tafsir Al-quran yang sudah digeluti- nya sejak 2010. Juz 26 tengah digarap. Guru besar bidang pemikiran Islam itu juga tengah menulis tiga buku di bidang filsafat Islam, tasawuf, dan dakwah Ra-sulullah. Dalam menulis, Yunan katan-ya biasa bangun pada pukul 3.00 dini hari sampai subuh. “Menulis kalau ti-dak terbiasa, susah.” Katanya.

Kontribusi guru besar untuk mema-jukan perguruan tinggi memang pen-ting. Untuk itu, Fadhilah menuturkan, saat ini pihak akademik memperban-yak jumlah guru besar di UIN Jakarta. “Paling tidak nambah satulah setiap tahun,” katanya.

INFO GRAFIS

Infografis: Arini, Rizal/INS

Thohirin

Darma yang Tak Tuntas

Rencana Anggaran Operasional Pembinaan MahasiswaUIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2015

Sumber data: Kemahasiswaan UIN Jakarta

Sum

ber:

Inte

rnet

Ilustrasi

Page 4: TABLOID INSTITUT EDISI 36

Laporan KHUSUS 4Tabloid INSTITUT Edisi XXXVI / April 2015

Menilik SusutnyaDana HMPS

Dana yang ditetapkan oleh kampus untuk Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) atau Himpunan Mahasiswa Program Studi (HMPS) lebih sedikit daripada tahun lalu. Beberapa Ketua HMJ/HMPS mem-pertanyakan hak dananya.

Pekan Ilmiah, Olahraga, Seni, dan Riset (Pionir) Perguruan Tinggi Kea-gamaan (PTK) VII 2015 di Palu ting-gal menghitung hari. Alih-alih meng-harumkan nama kampus, perhatian Universitas Islam Negeri (UIN) Sya-rif Hidayatullah Jakarta terhadap se-bagian atlet dinilai tak serius.

Soal keterlambatan dana seleksi contohnya. Uang yang mestinya di-alokasikan untuk keperluan selama proses seleksi dan latihan, baru turun Kamis pekan lalu—hampir satu bulan pasca-penutupan seleksi akhir Maret. Walhasil, tak sedikit peserta Pionir merasa kecewa atas keterlambatan pencairan dana tersebut.

Cabang bulu tangkis salah satu nya. Sejak proses seleksi hingga su-dah menjalani 12 kali latihan, para atlet tepok bulu itu terpaksa merog-oh kocek pribadi lantaran dana yang belum turun. “Kadang saya juga nombokin untuk beli kok,” keluh atlet sekaligus pelatih bulu tangkis UIN Jakarta, Naufal Najmuddin, Selasa (21/4).

Keterlambatan dana seleksi juga dialami Divisi Futsal Federasi Olah-raga Mahasiswa (Forsa) UIN Jakar-ta. Khairul Irsal bersama beberapa rekannya di divisi futsal, juga harus menggunakan uang pribadi untuk keperluan selama proses seleksi dan latihan lantaran uang yang belum cair. Bahkan tak jarang mereka me- ngandalkan uluran tangan senior ba-rang hanya membeli minum saat la-tihan. “Persiapan Pionir yang kurang dari dua bulan itu belum cukup,” kata Irsal, Jumat (23/4) sore.

Bendahara Pengeluaran Pemban-tu Kemahasiswaan UIN Jakarta, Romdani menjelaskan, keterlam-batan pencairan dana disebabkan ada cabang olahraga yang belum menye- rahkan laporan pertanggungjawaban hasil seleksi. Penyerahan proposal pengajuan dana seleksi yang tak se- rentak dari semua cabang, katanya, jadi salah satu faktor terlambatnya pencairan dana.

Belum lagi, tambah Romdani, beberapa proposal yang sudah dia-jukan juga bisa terkena revisi oleh keuangan. Padahal, lanjut Romdo-ni, sebetulnya semua cabang yang sudah menyelesaikan proposal bisa langsung menerima uang selek-si. “Lebih enaknya semua cabang menyelesaikan revisi terlebih dahulu, jadi dana bisa cair semuanya,” jelas Romdoni, Senin (20/4).

Sementara itu, Kepala Sub Bagian Bina Bakat dan Minat Mahasiswa (Kasubag BBMM), Masruri menutur-kan, keterlambatan dana seleksi lan-taran ada salah satu cabang olahraga yang belum menyelesaikan proses administrasi hasil seleksi. “Keuangan meminta kelengkapan data, kami ha-nya mengajukan saja,” ujar Masruri saat ditemui di ruangannya, Kamis, (23/4).

Meski begitu, menurut Ketua Kelom-pok Mahasiswa Pecinta Lingkungan Hidup dan Kemanusiaan (KMPLHK) Kembara Insani Ibnu Batuta (Rani-ta), Nur Hidayat, keterlambatan pen-cairan dana itu tetap berpengaruh pada keuangan organisasi. Karena keterlambatan itu, ia terpaksa memin-

jam uang untuk latihan anggota atlet panjat dindingnya.

Pria yang akrab disapa Bledig ini menilai pihak Kemahasiswaan UIN Jakarta belum siap menghadapai Pi-onir. Menurutnya, persiapan Pionir tahun ini terkesan memaksakan. Pa-dahal, pihak kampus tahu jika Pionir merupakan agenda rutin dua tahu-nan bagi UIN Jakarta.

Terkait Pionir yang terkesan bu-ru-buru, Masruri punya alasan. “Untuk persiapan Pionir yang kurang dari dua bulan saja menghabiskan dana Rp700 juta lebih, apalagi lebih dari dua bulan,” jelas Masruri. Lebih dari itu, menurut-nya, Pionir bukan hanya ajang cari prestasi, namun juga untuk mempererat silaturahmi dengan PTK lainnya.

Menurut Bledig, UIN Jakarta bisa menyelam sambil minum air dalam Pionir yang digelar di IAIN Palu nan-ti. “Walaupun Pionir bukan hanya ajang cari prestasi, tapi UIN Jakarta harus menunjukkan prestasinya agar bisa meningkatkan rating UIN Jakar-ta sendiri,” tegas Mahasiswa Fakultas

Ekonomi dan Bisnis (FEB) ini, Jumat (24/4).

Fasilitas Kurang MemadaiTak hanya waktu persiapan Pionir

yang terkesan mepet, fasilitas untuk para atlet juga belum memadai. Divi-si Olahraga Bulu Tangkis Forsa UIN Jakarta terpaksa menyewa gedung olahraga di daerah Pamulang setiap kali latihan. Padahal menurut Naufal, jika fasilitas memadai, motivasi atlet untuk menang bisa semakin besar.

Serupa Forsa, atlet panjat din-ding KMPLHK Ranita juga terpaksa menumpang di tempat lain setiap kali latihan. “Kita juga mengeluarkan bi-aya lebih untuk ongkos dan makan,” ujar Bledig, salah satu atlet panjat dinding Ranita.

Menanggapi berbagai keluhan itu, Masruri mengaku pihak Kemaha-siswaan UIN Jakarta sudah capek menuruti keinginan mahasiswa. Ka-tanya, kalau untuk Ranita, sebetulnya pengajuan wall climbing telah disetu-jui. Tapi, karena waktu yang mepet

Penyaluran dana kegiatan kemaha-siswaan telah ditetapkan oleh Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan Uni-versitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam surat tersebut, pihak kampus menetapkan anggaran dana untuk lembaga fakul-tas termasuk HMPS atau HMJ. Dana yang dihitung per konsentrasi itu tera-sa kurang oleh beberapa himpunan.

Salah satunya, HMJ Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Rendy Iskandar. Ia mengatakan, porsi dana yang ditetapkan oleh kampus sebesar Rp6.393.177, tersebut masih jauh dari kebutuhan organisasi. HMPS lainnya di FISIP seperti Ilmu Politik dan Sosiologi pun mendapatkan jumlah dana yang sama.

Kerisauan ini juga disampaikan oleh Muhammad Yusuf, Ketua HMPS Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum (FSH). Yusuf menjelaskan, terdapat lima HMPS di FSH, tetapi pendistribusian dananya berbeda satu sama lain. “Jika dibanding empat HMPS di FSH lainnya, HMPS Ilmu Hukum paling sedikit mendapatkan dana,” katanya, Selasa (14/4).

Ia menjelaskan, pihak dekanat dan Bagian Keuangan FSH memberi dana kepada HMPS sesuai jumlah konsen-trasi yang ada di prodi tersebut. Mi- salnya, HMPS Hukum Keluarga yang memiliki tiga konsentrasi, mendapat dana sebesar tiga dikali Rp6.393.177.

Akan tetapi, HMPS yang dipimp-in oleh Yusuf hanya mendapat dana sebesar hitungan satu konsentrasi. Padahal, lanjutnya, Ilmu Hukum se-harusnya mendapatkan dana sebesar dua konsentrasi, yaitu kisaran Rp12 juta lantaran Ilmu Hukum memiliki dua konsentrasi saat mahasiswa akan menempuh semester 6.

Menanggapi hal tersebut, Wakil Dekan Bidang Administrasi Umum FSH, Asmawi mengatakan, Ilmu Hukum tidak memiliki konsentrasi. “Hukum Kelembagaan Negara dan Hukum Bisnis yang akan ditempuh mahasiswa Ilmu Hukum semester 6 hanyalah peminatan,” kata Asmawi,

(17/4). Ia melanjutkan, nomenklatur Ilmu Hukum berbeda. Kedua pemina-tan di Ilmu Hukum tak sama dengan konsentrasi di program studi (prodi)lain.

Sementara itu, Dhian Sukmaning-sih, Kepala Bagian Kepegawaian dan Keuangan FSH menjelaskan, dana yang diberikan kepada HMPS itu su-dah sesuai dengan ketetapan dari rek-torat. “Bagian Keuangan hanya mener-ima data dari rektorat. Kalau pun dana tetap tersebut kurang, kegiatan maha-siswa bisa menggunakan dana rasio yang tersedia,” katanya, Senin (20/4). Dana rasio yang disediakan berjumlah Rp19.635 per kepala mahasiswa.

Terkait pendanaan, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) me- ngambil kebijakan yang berbeda. Hal ini disampaikan oleh Wakil Dekan Bidang Administrasi Umum, Mai-falinda Fatra. Ia mengatakan, dana yang diterima HMPS berasal dari dana tetap dan dana variatif. Dana variatif dihitung dari dana rasio dikali jumlah mahasiswa aktif di program studi.

“Pembagian dana yang diberikan rektorat diserahkan penuh ke fakultas,” ujar Maifalinda, (25/4). Maka, lanjut-nya, prodi yang mahasiswanya sedikit akan mendapat dana yang sedikit pula. Selain untuk HMPS, dana rasio pun digunakan untuk kegiatan mahasiswa

lain, seperti Lembaga Semi Otonom (LSO).

Distribusi dana dari rektorat ke fakultas juga dijelaskan oleh Kepala Sub Bagian Bina Bakat dan Minat Ma-hasiswa, Masruri. Penganggaran dana lembaga fakultas berdasarkan jumlah prodi dan jumlah mahasiswa yang ada di fakultas tersebut. “Fakultas memiliki wewenang untuk mengatur pembagiannya kepada lembaga kema-hasiswaan di fakultas masing-masing,” ujarnya, Kamis (23/4).

Ia menjelaskan, fakultas hendak-nya mengetahui keaktifan kegiatan mahasiswa, supaya dana sampai ke mahasiswa secara optimal. Tahun lalu, ada beberapa HMPS yang aktif berkegiatan namun kekurangan dana. Ada pula HMPS yang pasif dan tidak menggunakan dana yang diberikan. Akibatnya, kelebihan dana tersebut harus dikembalikan.

Di sisi lain, Masruri memaparkan, Bantuan Operasional Perguruan Ting-gi Negeri (BOPTN) yang diterima UIN Jakarta lebih sedikit dibanding tahun lalu. “Tahun 2015, UIN Jakarta menerima Rp1,4 milyar untuk disalur-kan ke seluruh fakultas, sedangkan ta-hun 2014 mencapai Rp2 milyar,” jelas Masruri. Oleh karena itu, dana fakul-tas yang dibagikan ke lembaga kema-hasiswaan juga berkurang.

makanya belum bisa langsung direa- lisasikan.

Tak Belajar dari KesalahanDari Rp700 juta dana yang di-

usulkan, Kemahasiswaan UIN Ja-karta rupanya tak menganggarkan uang protes. Uang protes merupakan uang yang diberikan official dari pi-hak kampus ke panitia Pionir jika sewaktu-waktu ada kecurangan dalam penyelenggaraan Pionir.

Dalam Pionir di Banten 2013 lalu misalnya. Berdasarkan penuturan Ble-dig, kala itu cabang panjat tebing UIN Jakarta sebenarnya bisa menggondol medali emas. Namun, kemenangan itu kandas setelah Bledig yang melihat kecurangan tak bisa berbuat apa-apa.

Masruri membenarkan kejadian itu. Pihak Kemahasiswaan UIN Ja-karta yang saat itu menjadi official memang tak melayangkan protes lan-taran tidak melihat selisih waktu saat lomba. “Tak adanya protes kala itu hanya ketidakpuasan Ranita. Itu bi-asa lah,” tutupnya.

Pionir Setengah HatiUIN Jakarta mengutus 98 atlet dan peserta untuk 45 kategori lomba

dalam Pionir 2015 di Palu. Persiapan para atlet dan peserta terkesan buru-buru.

Syah Rizal

Atlet panjat tebing KMPLHK Ranita sedang mengikuti seleksi panjat tebing di Gelanggang Olahraga Ragunan, Jakarta Selatan, Senin (20/3). Seleksi tersebut merupakan persiapan menghadapi Pionir 2015 di Palu.

Maulia Nurul

Foto: Hamidah/INS

Dok.

Prib

adi

HMJ Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia tengah melaksanakan OPAK di Gedung FITK Agustus 2014 lalu. OPAK merupakan salah satu kegiatan yang rutin diselenggarakan HMJ/HMPS.

Page 5: TABLOID INSTITUT EDISI 36

KAMPUSIANA 5Tabloid INSTITUT Edisi XXXVI / April 2015

Minimnya Antusias Kritik Mahasiswa

Batu Mulia di Mata Mahasiswa

Salah satu pengagum batu mulia, Anisa Khoerunisa, Mahasiswi Fakul-tas Kedokteran dan Ilmu Keperawatan (FKIK) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta ini, sejak kecil sudah akrab dengan batu mulia. Ia biasa memakai batu sebagai

cicin dan liontin. Keluarga Anisa pun mengolek-

si batu mulia, seperti Yaman, Safir, Zamrud, Lumut Aceh, Kalsedon, Panca Warna, dan Kecubung Kali-mantan. Ia pun sangat tertarik dengan Zamrud dan Yaman.

Setiap batu mulia yang ia miliki berasal dari teman-teman ayahnya yang juga kolektor batu mulia. “Kalau enggak beli batu ya tukeran aja sama kolektor lainnya,” ujar Mahasiswi Jurusan Kesehatan Masyarakat ini, Jumat (17/4).

Anisa bercerita, ia paling suka me- nyoroti batu mulia dengan sinar lam-pu yang akan memunculkan bintik cahaya menyerupai bintang. Momen itu membuatnya kagum. “Keindahan batu juga bisa dilihat dari usianya. Semakin tua batu mulia, akan lebih indah dilihat,” tambahnya.

Selain menjadi primadona karena keindahannya, batu mulia juga memi-liki nilai jual tinggi. Tak sedikit maha-siswa melihat fenomena batu mulia sebagai peluang usaha.

Misalnya Gardika Kay Rizka. Sudah hampir setahun Mahasiswa Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Ko-munikasi (FIDIKOM) berkecimpung dalam dunia jual beli batu mulia. Berawal dari sang ayah yang gemar mengoleksi batu mulia, ia pun ikut tertarik.

Selain itu, intensitas pertemuan Gardika yang rutin dengan pengge-mar batu mulia lainnya membuatnya lebih mengenal batu mulia. “Banyak ngobrol dengan penggemar batu lainn-ya juga penting, bisa menambah wa-wasan, dan jaringan pemasaran batu akik,” ungkap pria yang akrab disapa Togar, Rabu (16/4).

Dari segi keindahan, lanjut Togar, batu mulia mampu membuat orang berdecak kagum begitu melihatnya. “Indonesia itu kaya! Akik juga bagian dari kekayaan indonesia, dengan me-makainya kita sudah melestarikan ke-budayaan tanah air,” katanya.

Togar juga memfasilitasi bagi penyuka batu mulia. Ia bersedia men-cari berbagai jenis batu untuk pelang-

gannya dengan harga yang disepakati. “Tidak ada harga pasti, harga itu bia-sa dinilai dari kualitas dan keindahan coraknya,” jelas pria asal Jawa Timur ini.

Lebih lagi, Togar mengatakan, batu mulia juga memiliki nilai jual tinggi sehingga banyak orang yang membu-runya. Togar pun merasakan manfaat penjualan batu akik, dari setiap pen-jualan batu, ia bisa mendapatkan uang berkisar Rp100 ribu hingga Rp1 juta. “Lumayan uangnya bisa buat jajan dan biaya hidup sehari-hari,” ujarnya.

Sama halnya Togar, Risman Sulae-man Mahasiswa Fakultas Ushuludin (FU) juga menjual batu mulia. Batu mulia yang ia jual berjenis Giok Aceh. Untuk satu bongkah giok bisa terjual Rp800 ribu. Giok itu ia dapatkan dari temannya yang berada di Aceh den-gan membelinya langsung. Risman biasa memasarkan gioknya melalui media sosial atau di toko keluarganya.

Salah satu penjual batu mulia di Jalan Pesanggrahan, Ciputat, Tang-erang Selatan, Tirta Wijaya mengiya-kan kalau saat ini mahasiswa juga ikut demam batu mulia. Ia pun beberapa kali mendapati mahasiswa datang ke tempatnya. “Ada yang mau cari batu, cuma ngasah, atau liat-liat saja,” jelas-nya, Jumat (17/4).

Di sisi lain, Risman menyadari batu tak hanya mempunyai nilai jual. Tapi, juga memiliki nilai sejarah yang lekat dengan kebudayaan Indonesia. “Batu mulia kan warisan alam Indo-nesia,” tutup Mahasiswa Jurusan Taf-sir Hadis ini.

Terik matahari siang itu tak menyurutkan niat sekelompok ma-hasiswa untuk berorasi di halte Uni-versitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Mereka yang berjumlah tak lebih dari 10 orang itu menuntut pemerintah mencabut Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Se-men Indonesia di tanah Rembang.

“Jakarta cinta Rembang. Selamat-kan alam, Pulau Jawa dan Rembang, untuk anak dan cucu kita,” demikian tulisan yang tertera di spanduk aksi mahasiswa yang mengatasnamakan Aliansi Mahasiswa Jakarta Menolak Semen, Kamis (16/4). Untuk mena- rik perhatian orang sekitar, sebagian di antara mereka juga berpakaian ala petani. Sementara sisanya memainkan alat musik rebana yang sudah mereka siapkan sejak malam sebelumnya.

Ragam cara dilakukan mahasiswa untuk menyuarakan aspirasi. Salah satunya lewat berunjuk rasa. Seperti yang dilakukan Selamet Widodo dan teman-temannya dalam membela war-ga Rembang yang sedang bersengketa tanah dengan PT Semen Indonesia.

Mahasiswa Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin (FU), Ahmad Bahroin, juga memilih berunjuk rasa sebagai upaya mengkritik kebi-jakan pemerintah yang kerap tidak pro rakyat. Biasanya, Boim—sapaan akrabnya— menggunakan pamflet,

poster, dan leaflet sebagai sarana saat berunjuk rasa. “Tidak jarang pula kita melakukan aksi teaterikal,” ucap Boim, Rabu (15/4).

Menurut Boim, berunjuk rasa ada-lah cara efektif dalam menyampaikan aspirasi ketimbang kampanye lewat media sosial. Dengan berunjuk rasa, aspirasi yang disuarakan bisa lebih mudah tersampaikan. Sayangnya, kata Boim, banyak mahasiswa yang kini memandang negatif aksi unjuk rasa.

Dhorifah, mahasiswi Jurusan Baha-sa dan Sastra Inggris, Fakultas Adab dan Humaniora (FAH) menilai, selain berunjuk rasa, diskusi publik atau me-manfaatkan media sosial bisa jadi cara lain mahasiswa menyampaikan aspi-rasi. “Jika itu dikembangkan mungkin efeknya lebih bagus,” tukas Ifa, Kamis (16/4).

Senada dengan Ifa. Muhammad Akbar Thariq, Mahasiswa Jurusan Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) menyesalkan tindak anarkis yang kerap terjadi saat un-juk rasa. Menurutnya, itulah sebab banyak mahasiswa enggan berunjuk rasa. “Untuk apa melakukan aksi jika banyak dampak buruk terjadi,” kata Thariq, Jumat (17/4).

Seperti yang dilakukan Boim misal-nya. Saat berunjuk rasa, ia dan massa aksi memang tidak jarang memblokir

jalan. Katanya, itu dilakukan massa aksi sebagai bentuk tekanan untuk pemerintah. “Sayangnya, media leb-ih menyoroti dampak aksi dibanding tuntutan aksi,” ucap Boim.

Boim juga mengeluhkan menurun-nya animo mahasiswa dalam berunjuk rasa. Hal itu ia rasakan dari sedikitnya massa saat ia berunjuk rasa. “Paling, hanya sekitar 20 orang,” ujar Boim. Bahkan tak jarang, aksi yang dilaku-

kan Boim juga menuai kritik ma-hasiswa lain. Padahal, lanjut Boim, sebelum sistem organisasi kampus berganti pada 2010 silam, antusiasme mahasiswa berunjuk rasa cukup ting-gi.

Hal tersebut diamini oleh Renal Rinoza. Aktivis Lingkar Studi Aksi Demokrasi Indonesia (LS-ADI) ini menuturkan, pasca pergantian sistem organisasi kampus, mahasiswa mulai

kehilangan antusias dalam melaku-kan unjuk rasa. Padahal, sebelumnya mahasiswa sangat berpengaruh dalam menggerakkan aksi.

Renal juga menyayangkan gaya hidup mahasiswa saat ini yang cend-erung hedonis. Menurutnya, gejolak mahasiswa dalam menanggapi isu mulai berkurang. “Kini, mahasiswa cuek terhadap situasi yang ada,” ung-kap Renal, Senin (13/4).

Unjuk rasa yang mahasiswa lakukan kerap menuai respons miring. Ti-dak heran, partisipasi mahasiswa dengan tujuan menyuarakan aspirasi masyarakat itu semakin berkurang.

M. Rizky Rakhmansyah

Foto

: Rizk

y/IN

S

Demam batu mulia kini melanda berbagai kalangan di Indonesia, mulai dari masyarakat hingga mahasiswa. Biasanya, mereka membuat batu mulia jadi beragam perhiasan laiknya cincin, gelang, serta liontin dengan berbagai jenis batu seperti Bacan, Kalimaya, Yaman, dan Giok Aceh.

Mahasiswa FIDIKOM UIN Jakarta sedang membincang tentang batu mulia di lantai dasar FIDIKOM, Kamis (21/4). Mereka membicarakan corak dan keindahan batu mulia.

Yasir Arafat

Mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Jakarta Menolak Semen berunjuk rasa di Halte UIN Jakarta, Kamis (16/4). Dalam aksinya, mereka menuntut pemerintah mencabut Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Semen Indonesia di Rembang.

Foto

: Yas

ir/IN

S

Page 6: TABLOID INSTITUT EDISI 36

SURVEI 6Tabloid INSTITUT Edisi XXXVI / April 2015

Kinerja Dosendi Mata Mahasiswa

Desa

in V

isual

: Erik

a/IN

S

Peran, tugas, dan tanggung jawab dosen sangat penting dalam menentukan arah dan kualitas perguruan tinggi. Saat ini, UIN Jakarta memiliki 923 dosen yang menjadi corong pendidikan kampus. Divisi Litbang INSTITUT melakukan survei terhadap 352 mahasiswa UIN Jakarta untuk mengetahui gambaran kinerja dosen. Sampel diambil dengan metode non-probability sampling dan teknik pengambilan sampel dengan inci-dental.

Berdasarkan hasil survei yang menanyakan apakah sering ada dosen yang tak ha-dir, sebanyak 56,4% menyatakan kadang-kadang, 27,6% lainnya menyatakan ya, dan 16% menyatakan tidak. Selain itu, Sebanyak 66,2% responden menyatakan dosen ser-ing tidak hadir tepat waktu dan 33,2% lainnya menyatakan dosen selalu hadir tepat waktu.

Tak hanya itu, sebanyak 68,8% responden menyatakan rata-rata dosen sudah me- nyampaikan materi dengan baik, sedangkan 30,4% berpendapat rata-rata dosen yang mengajar tidak menyampaikan materi dengan baik. Survei ini pun menyatakan seban-yak 50,4% responden tahu beban kerja dosen yang lain selain mengajar, sedangkan 49,6% menyatakan tahu jika dosen memiliki beban kerja lain selain mengajar.

Namun, dari responden yang menjawab tahu dosen memiliki pekerjaan lain, ra-ta-rata jawabannya adalah mengajar dan bekerja di tempat lain, studi lanjut, dan melakukan penelitian. Padahal beban kerja dosen terdiri dari pendidikan dan peng- ajaran, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Tapi, hanya sedikit responden yang menjawab dosen memiliki beban untuk pengabdian masyarakat.

Dalam survei ini, INSTITUT juga mencoba menghimpun saran dari responden untuk kinerja dosen ke depannya. Rata-rata responden menjawab ingin dosen yang mengajar untuk lebih disiplin dengan jadwal kuliah serta meningkatkan kualitas peng- ajarannya di kelas.

*Survei ini dilakukan dengan menyebarkan kuesioner ke setiap fakultas di UIN Jakarta. Sampel dihitung berdasarkan perbandingan jumlah mahasiswa di tiap fakultas. Survei ini tidak bermaksud untuk mengevaluasi kinerja dosen secara keseluruhan, namun hanya sebagai gambaran kinerja dosen di mata mahasiswa.

Menerima:Tulisan berupa opini, puisi, dan cerpen.

Opini dan cerpen: 3500 karakter. Puisi 2000 karakter. Kami berhak men-gedit tulisan yang dimuat tanpa mengurangi maksudnya.

Tulisan dikirim melalui email:[email protected]

Kirimkan juga keluhan Anda terkait Kampus UIN Jakarta ke nomor085693706311

Pesan singkat Anda akan dimuat dalam Surat PembacaTabloid INSTITUT berikutnya.

Redaksi LPM Institut

“Guru bukan Dewa dan selalu benar, dan murid bukan kerbau”

Page 7: TABLOID INSTITUT EDISI 36

berita foto 7Tabloid INSTITUT Edisi XXXVI / April 2015

Salah satu massa aksi yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Jakarta Melawan Semen memegang poster tangan sembari menyanyikan lagu Lir-Ilir di depan Halte UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Kamis (16/4).

Foto

: Fak

hri/K

ALAC

ITRA

Foto

: Aci/

INS

Foto

: Ban

gke/

KALA

CITR

A

Penampilan Marjinal dalam acara Emperan Budaya dengan tema Jakarta Lawan Semen di Basement Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Senin (13/4).

Pengendara sepeda melintas Banjir Kanal Timur (BKT), Jakarta, Minggu (18/4). Kurangnya Ruang Terbuka Hijau menyebabkan polusi udara jadi masalah yang belum teratasi hingga saat ini.

Nasib GedungPerpustakaan dan Parkir UIN Darurat Parkir

Pembangunan perpustakaan dan tempat parkir Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta baru mencapai 60%. Padahal, sesuai masterplan, bangunan tersebut akan rampung di akhir 2015.

Menurut Kepala Bagian (Kabag) Umum, Muhammad Ali Meha, saat ini, pembangunan tersebut ditunda karena harus mengulang pelelangan proyek pada Maret lalu. Pasalnya, setiap bangunan yang biaya bangunan umum di atas Rp20 miliar, harus dilelang terbuka melalui Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE).

Jadi, terkait biaya dan proyeknya, UIN tidak memiliki dana untuk pembangunan proyek tersebut. Jika mengacu pada perencaan keuangan, bangunan tersebut memerlukan dana kisaran Rp50-60 miliar. Sedangkan, saat ini, UIN baru memiliki dana Rp46 miliar.

Antrian kendaraan bermotor sebelum loket masuk menjadi pemandangan berbeda setiap pagi di UIN Jakarta akhir-akhir ini. Sejak diberlakukannya area parkir di luar kampus (lapangan belakangan SMK Triguna), mahasiswa yang enggan memarkirkan motornya di luar, lebih memilih menunggu berjam-jam, antara pukul 9 sampai 10 pagi hingga petugas parkir membuka area parkir di dalam kampus.

Melihat itu, dalam rapat terbuka yang dihadiri perwakilan organisasi kemahasiswaan, Kepala bagian Umum, dan Kordinator satuan pengamanan (satpam) Student Center, Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan, Senin (13/4) Yusron Razak, menjanjikan Gedung parkir baru dapat digunakan awal 2016.

Untuk sementara, kata Yusron, area parkir akan dipindahkan ke tujuh titik sekitar area kampus: lahan samping Aula Madya depan UKM MENWA, depan UKM KPA Arkadia, samping Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FIDIKOM), depan Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB), depan Pusat lab. Terpadu, samping Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (FITK) dan depan lab FITK. “Kami janji maksimal tiga bulan untuk penggunaan lahan parkir itu.”

Arini Nurfadilah Triana Sugesti

Visit www.lpminstitut.comUPDATE TERUS BERITA KAMPUS

Page 8: TABLOID INSTITUT EDISI 36

opini 8Tabloid INSTITUT Edisi XXXVI / April 2015

Menghadapi Dosen Korup

Salah Kaprahdalam Bahasa Indonesia

Dulu sekali, ada seorang anak muda yang punya daya kritis tinggi. Pada masa sekolah, anak ini sem-pat dipaksa tinggal kelas lantaran mengkritik seorang guru mata pelaja-ran sastra. Merasa tak senang dengan kritik muridnya, sang guru memberi pilihan pada anak itu, meminta maaf padanya atau tidak naik kelas.

Anak muda ini kemudian memi-lih untuk pindah sekolah. Ia merasa memiliki pemahaman yang cukup da-lam mata pelajaran sang guru untuk sekadar naik kelas. Kejadian ini kemu-dian ia tulis pada buku harian priba-dinya, yang kelak diterbitkan sebagai sebuah buku yang cukup fenomenal. Salah satu kutipan yang paling dikenal dari buku itu adalah, “Guru yang tak tahan kritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan dewa dan sela-lu benar, dan murid bukan kerbau”. Nama anak itu adalah Soe Hok Gie.

Di bangku kuliah, kelakuan ‘nakal’ Gie tidak berubah. Ia masih saja kritis, bahkan semakin menggila. Gie terus melakukan protes-protes terhadap sesuatu yang ia anggap tidak benar. Karena menurutnya, “mendiamkan kesalahan adalah sebuah kejahatan”. Dia bukan anak kesayangan orde baru yang dengan mudah bilang “asal ba-pak senang” layaknya mengiyakan apa mau dosen hanya demi nilai.

Pernah saat ia menjabat sebagai pimpinan eksekutif mahasiswa di fakultasnya, Gie pernah membuat ge-ger pihak dekanat dengan memajang daftar nama dosen yang bermasalah. Nama-nama ini Ia peroleh lewat sur-

vei yang ia lakukan terhadap mahasiswa dengan bahasan, ki- nerja dosen di Fakultas Sastra Universitas In-donesia (UI).

Bagi Gie, “Hanya mereka yang berani menuntut haknya, pan-tas diberikan keadilan. Kalau mahasiswa In-donesia tidak berani menuntut haknya, bi-arlah mereka ditindas sampai akhir zaman oleh dosen-dosen ko-rup mereka.”

Bahkan, saat men-jadi dosen di fakultas tersebut, Gie secara blak-blakan mengung-kap dosen yang mem-bolos 50% dari jatah jam kuliahnya. Bahkan ada dosen menugaskan mahasiswa mener-jemahkan buku. Oleh dosen itu, hasil ter-jemahan mahasiswa- nya digunakan sebagai bahan pengajaran. Karena sang dosen rupanya tak cakap berbahasa Inggris. Sungguh mati mahasiswa yang tak be-rani melawan.

***

Kini, banyak yang bilang zaman sudah berbeda. Ini bukan tahun 60-an, zaman Gie hidup. Internet sudah

mengubah kondisi dunia begitu rupa. Menjadi aktivis pun sudah tak lagi di-gandrungi karena orang-orang lebih suka JKT48. Biaya kuliah semakin mahal. Namun dari semua peruba- han itu, masih banyak juga yang tidak berubah. Para pengajar yang korup salah satunya.

Di masa-masa awal semester, bi-asanya perkuliahan dimulai dengan

Penggunaan bahasa Indonesia de-ngan benar cermin sikap positif yang menimbulkan rasa kebanggaan terha-dap bahasa Indonesia. Selain itu, ber-bahasa Indonesia yang benar merupa-kan cermin pikiran yang jernih, jelas, logis, dan teratur. Apabila seseorang menggunakan bahasa dengan kacau balau, sudah tentu menggambarkan jalan pikiran yang kacau balau pula.

Namun, nyatanya masih banyak kesalahan berbahasa Indonesia yang kerap dilakukan secara sistematis dan konsisten sehingga mencapai tahap salah kaprah. Kamus Umum Bahasa Indonesia menyebutkan salah kaprah: kesalahan yang umum sehingga orang tidak bisa merasakan sebagai kesala-han, atau dengan kata lain kesalahan yang tidak disadari pemakai bahasa karena pemakai mengikuti kebiasaan yang salah dan kebisaan itu tidak per-nah diperbaiki.

Hal ini tentu mengkhawatirkan karena yang benar menjadi salah, dan yang salah menjadi benar. Apabila menjadi karakter bangsa, maka bukan tidak mungkin kita menjadi bangsa yang bukan hanya “salah melulu,” tetapi menjadi bangsa yang “kalah melulu”.

Berikut kesalahkaprahan penggu-naan bahasa Indonesia yang terjadi dalam berbagai aspek kehidupan bang-sa Indonesia. Penegak hukum yang memiliki satuan atau unit perempuan adalah kepolisian. Satuan tersebut

dikenal Polisi Wanita (Polwan). Peng-gunaan istilah tersebut merupakan bentuk kesalahkaprahan.

Kenapa? Jika beranalogi pada isti-lah lain yang menggunakan wanita, seperti pengusaha wanita dan wanita pengusaha, Polisi Wanita berarti polisi yang mengurusi wanita seperti halnya Polisi Lalu lintas, Polisi Udara, dan Polisi Militer. Oleh karena itu, henda-knya dipakai Wanita Polisi (Wanpol).

Bentuk kesalahan lainnya ialah dikotomi bank di Indonesia. Selain ada bank Syariah, juga dikenal bank konvensional. Bank syariah adalah lembaga kuangan yang sifatnya Islami atau bank yang melakukan transak-si dengan sistem syariah. Kalau mau konsisten, bukankah kata syariah itu harusnya dihadapkan dengan istilah tidak syariah atau nonsyariah, sedang-kan konvesional dengan modern.

Konsep Islami yang dipakai bank Syariah justru konsep yang lebih awal datang dibandingkan konsep bank yang tidak Islami. Karena itu, bank syariah lebih tepat disebut bank kon-vensional.

Kesalahan berlanjut pada penamaan PDAM, kependekan Perusahaan Daerah Air Minum. Di Indonesia, yang dikenal air minum adalah air setelah direbus masak. Bukan langsung dari keran lalu diminum. Di beberapa negara maju, definisi air minum ada-lah yang langsung dapat dikonsumsi karena telah memenuhi air sehat.

Orang Indonesia menggunakan air dari PDAM untuk mandi, mencuci pa-kaian, mencuci mobil dan sebagainya. Air PDAM harus direbus dahulu agar dapat diminum. Oleh karena itu, agar tidak salah kaprah mungkin lebih tepat diganti PDAB kependekan Perusa-haan Daerah Air Bersih.

Salah satu upaya mengatasi kema-cetan, Pemda DKI Jakarta mengada-kan bus khusus yang menggunakan jalan khusus. Namun, sepanjang jalan bus atau busway tersebut terdapat be-berapa tulisan kecuali busway; lintasan busway, hanya untuk busway, dan khu-sus busway. Kata busway pada frase di atas salah kaprah karena busway berar-ti jalan bus. Frase tersebut harusnya diganti dengan nama bus angkutan penumpang untuk busway. Misalnya, bus transjakarta atau bus batavia.

Kesalahkaprahan lainnya yang ber-kaitan dengan kata bus ialah sering kita lihat di media cetak dan elektronik, misalnya “Pemerintah menyediakan 1000 armada bus untuk masyarakat yang akan mudik”. Kalau bus seba- nyak 1000 armada berapa jumlahnya? Tentu banyak sekali.

Kata armada dalam KBBI berarti 1. rombongan (pasukan) kapal perang; 2. rombongan kapal-kapal dagang; 3. rombongan satu kesatuan. Informasi pada media cetak atau elektronik terse-but terdapat kerancuan berpikir dalam jumlah karena 1000 armada bus berar-ti terdapat 1000 rombongan atau se-

kumpulan bus. Salah kaprah lagi kalau seseorang minta dikirim satu armada taksi, padahal yang dimaksud hanya satu.

Bentuk terikat yang banyak di-gunakan ialah “poli” yang berar-ti banyak. Bentuk tersebut melekat pada kata poliklinik yang berarti balai pengobatan umum. Beberapa rumah sakit sering menulis polianak, po-li-THT, poli penyakit, dan sebagainya. Dengan demikian berarti banyak anak, banyak THT, banyak penyakit dalam. Mungkin lebih tepat menggunakan klinik anak, klinik THT, dan klinik penyakit dalam.

Bentuk poli juga mengandung kesalahparahan pada penggunaan poligami. Selama ini masyakakat mengartikan poligami sebagai sistem pernikahan yang membolehkan se-orang pria menikahi beberapa wanita secara bersamaan. Padahal, poligami dalam KBBI bermakna sistem per-kawinan yang salah satu pihak memi-liki atau mengawini beberapa lawan jenisnya di saat bersamaan. Dengan demikian poligami dapat dilakukan pria atau wanita. Kalau wanita dise-but poliandri, sedangkan pria disebut poligini.

Salah satu lagu yang mempopul-erkan Once berjudul “Aku Mau”. Bait pertama lagu itu terdapat kesala-hankaprahan, kau boleh acuhkan di-riku/menganggapku tak ada/tapi tak-kan merubah/perasaanku kepadamu.

*Oleh Aditia Purnomo

Oleh: Ahmad Bahtiar, M. Hum.*

*Penulis adalah mahasiswa akhir yang tak kunjung lulus

*Penulis adalah DosenFakultas Syariah dan Hukum

kontrak belajar. Di situ, dibahas indikator-ind-ikator yang menentu-kan kelulusan. Di situ juga dibahas berapa kali mahasiswa diperboleh-kan tidak hadir perkuli-ahan, jika lebih tentu tidak diizinkan untuk melanjutkan perkuliah-an. Semuanya dibahas. “Lebih dari tiga kali tidak hadir, anda tidak boleh ikut UAS.”

Namun dari semua kontrak itu, jarang seka-li dibahas hal-hal yang harus dosen lakukan. Tidak pernah ada dalam kontrak misalnya, jika dosen tidak hadir le-bih dari tiga kali, maka dosen tidak boleh me- ngadakan UAS. Atau, jika dosen terlambat leb-ih 15 menit, maka dosen tidak boleh memberi perkuliahan. Hal-hal seperti itu, biasanya ja-rang terjadi.

Bukan cuma dosen yang jarang ma-suk dan sering telat, ada juga dosen yang sepanjang mata kuliah cuma membebankan tugas, menyuruh ma-hasiswnya hanya berdiskusi, kemu-dian memberi mereka nilai. Belum lagi dosen-dosen yang mengganti jad-wal kuliah dengan alasan sibuk. Me- mangnya cuma dosen saja yang punya aktivitas lain.

Memang, tidak semua dosen ber-laku seperti itu. Ada juga dosen yang taat mengajar. Tapi jangan lupakan keberadaan dosen-dosen korup ma-cam tadi. Ingat, karena nila setitik, rusak susu sebelangga. Jadi, jangan salahkan mahasiswa menggosip di belakang jika masih ada dosen yang korup.

Permasalahannya, pihak kampus masih saja alpa dengan hal-hal seperti ini. Ketimbang memperbaiki kualitas dosen, kampus lebih suka menggenjot International Organization for Standard-ization (ISO) kampus agar masuk jaja-ran kampus kelas dunia.

Ya, zaman memang sudah berubah. Sudah sangat jarang —atau bahkan tak ada— mahasiswa macam Gie yang be-rani menentang dosen. Kebanya-kan mahasiswa lebih suka manut agar bisa lulus ketimbang mengomentari pendapat dosen dan tidak lagi diper-bolehkan masuk kelas. Ingat, sekarang kuliah cuma dibatasi 5 tahun, Soe Hok Gie enak boleh lulus 7 tahun.

Jadi, bagi mahasiswa yang lebih suka manut sama dosen, ada baiknya tidak banyak bisik-bisik di belakang dosen. Selain karena ngegosipin orang itu tidak diperbolehkan Nabi Mu-hammad, bergunjing juga tidak akan menyelesaikan masalah. Yang ada dapat dosa. Ingatlah, hanya orang yang berani menyatakan perasaan yang bisa jadian. Dan hanya mere-ka yang berani menuntut haknyalah, yang pantas diberikan keadilan.

KOLOM BAHASA

Kata acuh selama ini digunakan untuk maksud tidak memperhatikan; tidak peduli. Padahal dalam KBBI be-rarti peduli; mengindahkan. Larik kau boleh acuhkan diriku berarti kau boleh peduli atau mengindahkan diriku. Padahal maksudnya lagu tersebut ha-rusnya, kau boleh tak acuhkan diriku. Penghilangan kata tak pada kata acuh untuk maksud tidak memperhatikan; tidak peduli dikarenakan pengaruh dialek bahasa Betawi.

Orang Betawi cenderung hemat berbahasa sehingga sering disingkat khususnya dalam percakapan se-hari-hari. Kalau mereka bicara “tahu’ atau “tau” maksudnya (bukan artinya) tidak tahu, atau “ngerti” maksudnya tidak ”ngerti”.

Demikian beberapa kesalahkapra-han bahasa Indonesia yang harus segera diperbaiki atau tidak dipergu-nakan lagi agar kesalahan tersebut ti-dak menjadi kekal. Penggunaan Indo-nesia yang benar akan menambah rasa kesetiaan dan kebanggaan terhadap bahasa Indoneisa.

Penggunaan bahasa Indonesia yang baik juga menunjukkan kecendekiaan pemakainya. Bukankah bahasa itu menggambarkan identitas seseorang, sehingga ada ungkapan bahasa itu menunjukkan apakah seseorang itu beradab atau biadad.

Sumber: Internet

Page 9: TABLOID INSTITUT EDISI 36

opini 9Tabloid INSTITUT Edisi XXXVI / April 2015

Dalam beberapa bulan ini, reali-tas politik negeri kian ramai. Hal itu terlihat dari adanya demo di berbagai daerah dan munculnya surat terbuka untuk presiden. Ini semua tidak luput dari tumpang tindihnya kebijakan pe-merintah. Sungguh miris menyaksikan karut marut kondisi ini. Padahal, bangsa ini mempunyai potensi besar untuk menjadi negeri adidaya. Dengan semua kekayaan alam yang kita miliki, meminjam istilah Mustofa Bisri bahwa Indonesia sebagai miniatur surga.

Pada saat yang sama, friksi antar kubu politik yang tak kunjung padam, tumpulnya hukum, dan instabilitas

perekonomian membuat kita semakin yakin bahwa bangsa ini kini tengah dirundung krisis multidimesional. Karena itu, diperlukan upaya untuk meredesain negeri ini sesuai dengan ci-ta-cita the founding fathers, yaitu mewu-judkan kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Kewajiban ini menjadi tugas pokok presiden dalam menciptakan tatanan bangsa agar sesuai dengan acuan dasar yaitu Pancasila. Karena jika mengacu penggunaan sistem yang berlaku —presidensial— hubungan antara badan eksekutif dan legislatif mempunyai kedudukan yang independen. Presiden

juga mempunyai kekuatan yang relat-if kuat dan tidak dapat dijatuh-

kan oleh kekuatan parpol manapun.

Dalam sistem p r e s i d e n s i a l ,

presiden memi-liki hak pre-

rogatif yang tidak dipu-nyai oleh k e k u a -s a a n p o l i t i k lain, yang bisa digu-nakan un-tuk men-

j a l a n k a n kekuasaan

negara. Da-lam konteks

ini, presiden ti-dak hanya sebagai

pusat kekuasaan eksekutif tetapi juga pu-

sat kekuasaan negara. Dan presiden memiliki banyak andil untuk mengatur keteraturan negeri melalui kekuasaan-nya.

Pemimpin PancasilaisNamun, sistem ini tidak efektif bila

pemimpinnya non-integritas, non-kua-litas dan destruktif. Karena imp-likasinya terhadap tatanan penegakan hukum, perekomonian, dan lain se-bagainya. Untuk itu, kita harus memi-liki pemimpin yang mampu bertindak logis dan etis dalam menjalankan ke-wajibannya.

Tujuan dari dipilihnya pimpinan negara agar bisa mengembalikan keten-teraman, kesejahteraan, dan ketertiban yang ada dalam masyarakat. Dan hal ini bisa terwujud bila pemimpin tidak bertindak konspiratif dengan pihak asing manapun. Dengan tetap teguh pada pendirian dan janji-janji awal se-belum terpilihnya yaitu untuk memba-ngun Indonesia hebat. Menyetir titah Tuhan Surat Ash-Shaf ayat 2-3 yang intinya kemurkaan Allah kepada orang yang hanya pandai bersilat lidah na-mun tidak ada pengamalannya.

Dan jika mengacu dari kacamata hukum, maka tujuan dari negara hu-kum (rechtstaat) itu bisa terwujud salah satunya bila disertai dengan kepemim-pinan yang adil. Sebagaimana tertera pada pembukaan UUD 1945 alinea keempat “mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Untuk mendapat keadilan itu, kita ha-rus memiliki sebuah pemimpin panca- silais tersebut.

Pernyataan yang dilontarkan oleh Prof. Soerjono Soekanto bahwa kutub

citra keadilan ada dua yaitu neminem laedere atau equality (jangan merugikan orang lain) dan Suum Cuique Tribuere atau Equaity (bertindak sebanding). Dari dua kutub keadilan ini bisa kita analisa bahwa pada bagian equali-ty lebih pada tatanan pergaulan hi- up. Sedangkan di bagian kedua lebih mengarah penyamaan apa yang tidak berbeda dan membedakan apa yang tidak sama ataupun hal-hal yang lebih konkret dan khusus.

Hubungan konsepsi di atas bila kita hubungkan dengan pemimpin pan-casilais tampak jelas bahwa salah satu jalan untuk mendapat tujuan itu mela-laui torotoar ini. Karena keadilan me- rupakan bagian asas negara yang harus diejawantahkan dalam menjalankan pemerintahan itu sendiri. Tanpa hal ini, seolah-olah keberadaan negara se-dang pincang tidak memiliki pegangan. Yang ada hanya ketidakadilan dalam memutus perkara kenegaraan.

Oleh karena itu, sudah saatnya kita sadar realitas bahwa negara sedang berada dalam keadaaan karut-marut. Apakah ini sebuah kutukan atau-pun sedang kekosongan kekuasaan yang diakibatkan instabilitas kepe-mimpinan. Atau bisa dikatakan juga ini implikasi dari kita memiliki presi-den sialan, hal ini tergantung dari pe-nilaian masyarakat. Sebutan ini cocok untuk digunakan ataupun malah seba-liknya. Hal ini bukan untuk mempro-vokasi tapi hanya sebagai perenungan hidup bernegara saat ini.

Mempelajari kepemimpinan ala Rasulullah Waba’duh; sebuah pemer-intahan dan kepemimpinan yang pal-ing ideal yaitu pada masa Rasulullah.

Pada masa inilah kita menyaksikan kesejahteraan, ketertiban, dan keten-teraman dalam sebuah negara. Karena konsep yang digunakan ala kepemim-pinan Rasul yaitu Sidiq, Amanah, Ta-blig, dan Fatonah (baca:kepemimpinan Rasulullah). Dengan empat kriteria ini pemimpin pancasilais juga dapat terbentuk dan terwujudkan.

Dalam konsep kepemimpinan pan-casilais dan ala Rasulullah memiliki sebuah kemiripan baik dari segi aga-mis dan nasionalis. Karena dua kon-sep model kepemimpinan ini selalu mendahulukan kepentingan umat dari pada pribadi. Dan seorang pemimpin harus memiliki dua kutub konsep tersebut.

Meminjam istilah Prof. Oeman Se-noadji yaitu penafsiran futuristik atau menafsirakan sesuai deng-an masa de-pan. Di sini pemimpin pun juga harus mempunyai kemampuan membaca realitas dengan penafsiran futuristik, agar dalam menentukan kebijakan dan memutuskan suatu perkara tidak asal-asalan. Harus ada pertimbang matang dalam menyelesaikan perkara kenegaraan tersebut baik melaui mu- syawarah dan lain sebagainya.

Karena itu, dari berbagai konsepsi di atas berharap pemimpin pancasilais terwujud. Dengan tetap berpegang teguh pada nilai-nilai pancasila dan dasar-dasar hukum negara. Pemimpin bukanlah boneka siapa pun. Pemim-pin adalah tangan panjang rakyat yang akan mewujudkan negara lebih baik.

Bang Peka

Redesain Kepemimpinan Oleh : Muhammad Shofwan Nidhami*

*Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum

Editorial Ajang Silaturahmi

“Sebenarnya ajang silaturahmi saja.” Penggalan statement kemahasiswaan UIN Jakarta untuk Pionir tahun ini. Kalimat tersebut juga termaktub dalam buku pe-doman Pionir VII yang akan dilaksanakan dalam 18-24 Mei 2015 nantinya. Bab 1, Pasal 1 dalam Dasar Pemikiran tertulis “Memperkuat silaturahmi dan kerukunan an-tar mahasiswa Perguruan Tinggi Keagamaan di lingkungan Kementerian Agama RI.”

Statement tersebut mungkin hanya seka-dar retoris. Pada dasarnya Pionir merupa-kan ajang kompetisi yang bergengsi antar Perguruan Tinggi Keagamaan (PTK). Di- ikuti oleh 55 PTK, dan Pionir merupakan ajang di mana PTK bisa menunjukkan taring. Silaturahmi pada dasarnya merupa-kan bonus ketika seluruh PTK berkumpul untuk berkompetisi, sudah tentu akan ter-jalin silaturahmi di antara perserta yang bertanding.

“Pionir merupakan ajang penyelengga-raan kompetisi keilmuan, olahraga, seni, dan riset” kalimat tersebutlah yang berada di barisan pertama dalam bab 1, pasal 1. Keberhasilan dalam menyabet gelar Pionir bisa jadi indikator keberhasilan dari hasil ejawantah integrasi keilmuan yang selama ini dilakukan UIN Jakarta.

Sudah seharusnya Pionir ditempatkan bukan hanya sebagai ajang silaturahmi. Lebih dari itu, persiapan UIN Jakarta da-lam menghadapi kompetisi tersebut harus lebih bersunguh-sungguh. Minimal dari alasan yang digunakan bukan hanya alasan retoris. Jadi, sangat wajar jika atlet yang diikutsertakan dalam Pionir selalu men-galami kendala dalam pendanaan, sarana dan prasarana, dan pendaftaran atlet.

“Wajar hanya silaturahmi.”

Seleksi udah kelar duitnya baru cair

Sumber: Internet

Page 10: TABLOID INSTITUT EDISI 36

TUSTEL 10Tabloid INSTITUT Edisi XXXVI / April 2015

Saat ini, kesetaraan gender digaungkan di mana-mana. Pria dan wanita sudah seharus-nya diperlakukan adil. Sebagai mahkluk yang sering dipandang sebelah mata, wanita ba-nyak membuktikan ketangguhannya dengan melakukan pekerjaan yang lazim dilakukan pria. Kekuatan itu kadang ia sembunyikan di balik kelembutan yang ditunjukkannya.

Tak jarang wanita adalah sosok di balik kesuksesan orang-orang besar di dunia. Ia adalah pendidik dan pengajar pertama bagi anak-anaknya. Pelindung dan payung paling teduh bagi keluarganya. Serta penyayang no-mor satu orang-orang yang dicintainya.

Namun, wanita tetap wanita. Bagai tulang yang membentuk tubuh, tak berarti jika tak ada daging. Setangguh apa pun kaum hawa ia tetap butuh untuk kembali dilindungi dan disayangi. Meski, tak akan pernah ragu untuk berjuang sampai darah penghabisan demi orang ter-kasihnya.

Kartini Masa KiniFoto dan Teks: LPM INSTITUT dan KMF KALACITRA

Berorasi

Melamun Ratapan

Memikul Air

Foto

: Ban

gke/

KALA

CITR

A

Foto

: Hus

ni/K

ALAC

ITRA

Foto

: Tho

hirin

/INS

Foto

: Yas

ir/IN

S

Page 11: TABLOID INSTITUT EDISI 36

WAWANCARA 11Tabloid INSTITUT Edisi XXXVI / April 2015

REKOMENDASI

Fasilitas Dorong Kinerja Dosen

Kongkow Murah di Merlion Cafe

Dosen yang berkualitas akan menghasilkan mahasiswa yang berkuali-tas pula. Untuk itu peningkatan kinerja dosen diperlukan.

Lantas bagaimana UIN Jakarta menjalankan program dalam rang-ka meningkatkan mutu dan kinerja dosen? Berikut petikan wawancara reporter LPM INSTITUT, Jeannita Kirana dengan Wakil Rektor Bidang Akademik UIN Jakarta, Fadhilah Su-ralaga, Selasa (22/4).

Sejauh ini, apa saja upaya yang UIN Jakarta lakukan untuk mening-katkan mutu dan kinerja dosen?

Ada tiga kemampuan yang harus dikuasai dosen yaitu melaksanakan pendidikan dan pengajaran, meneli-ti dan menulis karya ilmiah, serta melakukan pengabdian kepada mas-yarakat. Dari ketiga aspek terse-but, melaksanakan pendidikan dan pengajaran, serta meneliti dan menu-lis karya ilmiah masih harus ditingkat-kan lagi.

Salah satu program peningkatan ki-nerja dosen dalam bidang pendidikan dan pengajaran adalah diskusi antar dosen di fakultas masing-masing. Se-lain itu, dosen juga diberi kesempatan untuk menjadi narasumber dalam acara seminar.

Lalu, kegiatan workshop baha-sa dan pengembangan kurikulum juga dilakukan demi meningkatkan kualitas mengajar dosen. Ke depan, UIN Jakarta ingin semua dosen yang mengajar minimal merupakan lulusan S3. Oleh karena itu, kami akan me-wajibkan dosen untuk melanjutkan studinya.

Sedangkan demi meningkatkan penelitian dan penulisan karya ilmi-ah, dosen didorong untuk melakukan penelitian yang berkolaborasi dengan universitas-universitas lain seperti Universitas Indonesia (UI), Univer-sitas Negeri Jakarta (UNJ), dan Uni-

Lagi nyari tempat makan yang enak tapi murah? Mau nongkrong di kafetaria tapi takut enggak sesuai dengan isi dompet? Atau mau internetan sambil ngobrol dan makan-makan sama teman? Anda bisa menjawab semua pertanyaan tadi dengan datang ke Merlion Cafe.

Merlion Cafe berlokasi strategis sehingga memudahkan pengunjung menemukan tempat makan ini. Terletak di Jl. W.R. Supratman Gg. Mangga No. 1, Kampung Utan, Ciputat Tangerang Selatan (dekat dengan pom bensin).

Merlion Cafe menyediakan berbagai makanan dan minuman dengan harga yang relatif terjangkau. Pengunjung juga bisa menikmati fasilitas Wireless Fidelity (Wi-Fi) secara cuma-cuma. Itulah yang membuat pengunjung betah berlama-lama menghabiskan waktu di tempat makan ini.

Menu makanan utama di Merlion Cafe, antara lain mi Aceh, nasi goreng Aceh, roti cane, dan martabak Aceh. Makanan-makanan berat ini selain harganya yang relatif murah, juga disajikan dengan beraneka pilihan.

Lalu, ada juga camilan yang ditawarkan, seperti nugget, kentang goreng, dan sosis. Sedangkan untuk minuman, Merlion Cafe menyediakan

aneka jus, milkshake, dan hot drink seperti kopi Aceh, cappuccino, tea-O, teh tarik Singapore, serta Milo Singapore.

Tak kalah menarik, ada juga makanan pencuci mulut, misalnya sop buah, pancake, banana split, dan sop duren yang disajikan dengan biskuit cokelat dan potongan buah stroberi. Bahkan, di Merlion Cafe juga ada daging duren Medan yang dijual per kilogram.

Selain menyajikan makanan dan minuman, kafetaria yang didirikan oleh pria asli Singapura ini menyediakan Shisha dengan berbagai pilihan rasa beraroma buah-buahan. Shisha adalah gaya merokok asal Timur Tengah menggunakan tabung berisi tembakau yang dipanaskan.

Merlion Cafe melayani pengunjung mulai dari jam 10 pagi sampai 2 dini hari. Untuk menghibur dan lebih akrab dengan pengunjung, Merlion Cafe memberikan fasilitas karaoke dan nonton bareng.

Jadi, tak perlu ragu dan menunggu lama, langsung saja datang ke Merlion Cafe. Tempat makan enak yang memberikan berbagai variasi menu dengan harga terjangkau. Bagi anda yang memiliki pertanyaan bisa langsung menghubungi Iwan (081285481618).

versitas Gajah Mada (UGM) baik itu penelitian berbasis publikasi nasional maupun internasional.

Apakah tantangan terbesar bagi UIN Jakarta dalam meningkatkan kinerja dosen?

Tantangan utamanya yaitu kemau-an dan koordinasi dosen terkait pe-nelitian dan penulisan jurnal ilmiah. Sementara itu, kemampuan menga-jar dan kepribadian sebagai pendidik pun patut dipertanyakan. Kalau pen-guasaan materi, saya sudah tidak me- ragukan lagi. Seharusnya ada sema-cam workshop atau pelatihan untuk meningkatkan kompetensi-kompeten-si tersebut. Saya belum cek di tingkat fakultas, masih adakah kegiatan-ke-giatan seperti itu.

Kalau dalam bidang pengabdian masyarakat, saya pikir dosen UIN Ja-karta sudah banyak melakukan peng-abdian kepada masyarakat. Tetapi selama ini kebanyakan masih secara individual. Nah, yang perlu ditingkat-kan selanjutnya adalah pengabdian masyarakat yang dilakukan oleh prog-ram studi (prodi) dan fakultas.

Sehingga nantinya, para dosen akan berkoordinasi untuk melakukan peng-abdian secara bersama-sama. Sampai saat ini, sudah ada beberapa prodi yang melaksanakan desa binaan. Ada yang membantu pembangunan desa dan ada juga yang melakukan pen-dampingan atau mentoring.

Lantas, adakah tantangan lain da-lam pelaksanaan program peningka-tan kinerja dosen?

Keterbatasan dana juga menjadi tantangan bagi UIN Jakarta. Untuk mewujudkan program-program pen-ingkatan kinerja dosen yang sudah

direncanakan, membutuhkan dana yang tidak sedikit. Maka dari itu, un-tuk mengatasinya UIN Jakarta beker-jasama dalam bidang penelitian deng-an berbagai universitas baik dalam maupun luar negeri.

Fasilitas atau sarana dan prasara-na apa saja yang UIN Jakarta beri-kan untuk menunjang peningkatan kinerja dosen?

Sarana dan prasarana tentunya akan UIN Ja-karta sediakan sesuai dengan kebutuhan dosen masing-mas-ing. Misalnya, jika dosen membutuhkan ruang labora-torium maka akan dise-diakan dan dilengkapi peralatan pendukun-gnya se- perti kom-puter.

Kemudi-an fasilitas lain yang akan diupa- yakan yakni ruang dosen. Selama ini, hampir seluruh fakultas di UIN Ja-karta belum menye-diakan ruang dosen yang memadai. Biasanya di gedung fakultas, ruang dosen hanya satu dan dipakai bersama. Idealnya, setiap dosen ha-rus mempunyai ruang dosen sendiri.

Ada fakultas yang sudah me-menuhi kriteria, contohnya Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), satu dosen menempati satu ruangan. Sedangkan di Fakultas Psikologi juga

sedang diupayakan, satu ruangan besar diberi sekat-sekat untuk ruang dosen.

Sekiranya fakultas tak lagi memungkinkan untuk membangun ruang dosen, maka pihak kampus akan menanganinya. Seperti rencana

dalam Master Plan, UIN Ja-karta akan membangun

gedung khusus un-tuk ruang dosen.

Foto

: Jea

nni/I

NS

Foto

: Jea

nnita

/IN

S

Page 12: TABLOID INSTITUT EDISI 36

RESENSI 12Tabloid INSTITUT Edisi XXXVI / April 2015

Dari celah pagar, lelaki muda de-ngan belangkon dan kain batik me-nyaksikan seorang buruh disiksa oleh orang Belanda. Kolonialis itu men-cambuk kakinya sampai berdarah. Menyaksikan kejadian tersebut, jiwa pemuda itu bergejolak dan ingin mel-awan.

Oemar Said Tjokroaminoto (Reza Rahadian) lahir dari bangsawan Jawa melakukan pergerakan untuk meng-

hapuskan penindasan yang dilakukan Belanda. Pemerintah kolonial Belan-da menguasai Indonesia serta meram-pas hak pribumi pada 1900-an. Kala itu, banyak rakyat yang belum men-genal pendidikan dan hidup miskin sehingga mudah dipengaruhi.

Tjokro kemudian bergabung den-gan organisasi Serikat Islam (SI) yang pada tahun 1911 bernama Serikat Da-gang Islam (SDI) dan dipimpin oleh

Hadji Samanhoedi di Solo. SI mer-upakan salah satu organisasi yang ber-juang melawan penindasan terhadap bumiputra. Pada 1916, SI memiliki 700.000 anggota dengan 181 cabang yang tersebar di seluruh Indonesia.

Perjuangan Tjokro menjadi awal lahirnya berbagai tokoh nasional di Indonesia seperti Semaoen (Tanta Ginting) dan Soekarno (Deva Mahen-dra). Tjokro tinggal bersama istrinya,

Soeharsikin (Putri Ayudya) dan bebe- rapa muridnya di Peneleh, Surabaya. Di rumah itu, Tjokro mengajar mu-rid-muridnya ilmu politik dan agama.

“Sama rasa, sama rata,” kata Tjokro dalam salah satu pidatonya di depan anggota SI. Hal itu kemudian membuat mereka merasa memiliki hak dan kewajiban yang sama sebagai manusia. Mereka pun berani melawan penindasan yang dilakukan oleh ko-lonialis.

Kian lama, rakyat yang ber-gabung dengan SI bertambah. Kema-juan itu membuat Pemerintah Hin-dia Belanda was-was. Menghindari adanya kemungk-inan buruk, Pe-merintah Belanda meminta Tjokro untuk menjadi anggota Volksraad atau Dewan Rakyat.

Beberapa anggota SI tak setuju Tjokro bergabung dengan Volksraad. Terlebih setelah Kongres SI memutus-kan Tjokro bergabung dengan Volks-raad. Salah seorang yang menentang keras keputusan tersebut ialah Semao-en, ia tak ragu untuk melawan Tjokro yang pernah menjadi gurunya.

Begitu juga dengan Semaoen dan Darsono yang berpendapat, untuk mencapai tujuan, SI harus melepas-kan semua bentuk kerja sama dengan pemerintah. Namun, banyak anggota SI lain yang beranggapan, salah satu

cara untuk mencapai cita-cita SI ialah bergabung dengan Volksraad.

Pada Kongres SI ketiga tahun 1918 di Surabaya, perwakilan SI dari berbagai daerah bekerja sama untuk menambah jumlah anggota SI. Hal tersebut membuat SI semakin berkem-bang namun, muncul beragam ideolo-gi baru antar anggota yang membuat SI terpecah-belah.

Setelah terpecah-be-lah, SI menjadi dua organisasi, yaitu SI Putih dan SI Merah yang dipimpin oleh Semaoen. Keretakan ini pun menimbul-kan kerusuhan. Pada 1921, Pemerintah Belanda menangkap Tjokro yang dituduh menjadi sebab terja- dinya kerusuhan.

Garin Nugroho menyajikan kisah to-koh pergerakan nasi-onal Tjokroaminoto

dalam 160 menit. Salah satu sineas Indonesia ini mengenalkan kita pada tokoh-tokoh yang mempunyai peran penting dalam kemerdekaan Indone-sia.

Film dengan judul Guru Bangsa Tjokroaminoto itu dirilis pada 9 April 2015. Dalam film ini tokoh Semaoen mengajarkan kepada kita untuk be-rani mengkritik dan menyampaikan pendapat. Meski film ini menceri-takan sejarah perjuangan, kita juga dapat melihat beragam kebudayaan Indonesia seperti batik dan pertunju-kan wayang.

Salah satu kecamatan di Jawa Tengah ini kental dengan budaya sinkretis, sebuah sistem budaya yang menggambarkan pencampuran antara budaya Islam pendatang dengan budaya lokal. Sebagai contoh, budaya sinkretis nampak dalam bentuk tradisi selamatan, tahlilan, yasinan, ziarah, sesajen, dan lain sebagainya.

Senjakarta yang berkultur agraris ini terletak di antara dua pusat kebu-dayaan Jawa, yaitu Keraton Surakar-ta dan Yogyakarta. Masyarakat yang mayoritas bekerja sebagai petani terse-but rutin mengadakan upacara tradisi yang dianggap mengandung takhayul, bidah, dan khufarat (TBK) bagi kelom-pok gerakan Islam yang dikenal de-ngan sebutan puritan.

Puritan memiliki sistem budaya yang menginginkan kembalinya ke-hidupan beragama Islam serba auten-tik (asli). Gerakan Islam puritan yang berpedoman pada Al-quran dan sunah tersebut pertama kali dipelopori oleh pembaru Muhammadiyah sekitar ta-hun 1930-an. Islam puritan sangat me-nentang adanya tradisi selamatan kare-na dianggap tidak sesuai dengan ajaran Muhammadiyah.

Gerakan Islam puritan bertujuan mempersatukan Islam atas dasar penyeragaman konsep teologis guna memurnikan keyakinan bertuhan. Oleh karenanya, di dalam sistem budaya pu-ritan secara keras berusaha menjauhkan tradisi sinkretis yang mengandung TBK seperti pembakaran kemenyan dan pe-manggilan roh-roh leluhur. Hal ini ter-lihat jelas oleh upacara-upacara Jawa

yang bersifat Hinduisme. Meski begitu, Islam sinkretis ber-

pegang teguh pada keharmonisan an-tar masyarakat. Namun, hal itu tak ter-lihat dari kelompok Islam puritan yang dibawa oleh Muhammadiyah karena kelompok tersebut menunjukkan sikap nontoleran dengan tidak menghadiri undangan masyarakat setempat seper-ti selamatan. Bahkan, gerakan puritan menghancurkan tempat-tempat kera-mat Islam sinkretis secara radikal.

Perseteruan antara kelompok sink-retis dan puritan di Senjakarta ini merupakan benturan budaya yang mendapat perhatian seorang peneliti asal Inggris, Clifford Geertz. Ia datang ke Klaten dan meneliti ritual mas-yarakat Senjakarta. Dalam tulisannya, Geertz menggambarkan praktik keag-amaan di Jawa sebagai suatu budaya yang kompleks.

Selain itu, pertentangan dalam me-mercayai Tuhan juga menyebabkan konflik muncul sebagai akibat perbe-daan tipe kebudayaan atau golongan sosial. Geertz juga menyebutkan, pola radikal seperti itulah yang menyebab-kan rendahnya partisipasi masyarakat sinkretis untuk menerima pembaruan kaum puritan.

Namun, hal tersebut dibantah oleh Sutiyono. Penulis buku kelahiran Blora ini mengatakan, hampir seluruh mas-yarakat Islam sinkretis di Senjakarta justru terpengaruh oleh paham Islam puritan Muhammadiyah. Setelah be-berapa tahun meneliti, akhirnya Suti-yono pun memaparkan hasil peneliti-annya, bahwa sebanyak 11 ribu orang

menganut Islam puritan. Pula, telah berdiri 24 Pimpinan Ranting Muham-madiyah (PRM) di wilayah Kecamatan Senjakarta.

Masyarakat Senjakarta kemudian terbagi dalam dua golongan, kaum puritan yang bertekad untuk mengem-balikan ajaran Islam secara murni dengan radikal dan kelompok puritan moderat. Namun, mayoritas dari mas-yarakat Islam puritan Senjakarta terke-nal dengan golongan radikal lantaran sering menyebabkan konflik dengan kelompok sinkretis.

Benturan budaya yang diakibatkan oleh tindakan radikal puritan melawan tradisi sinkretis masih berlangsung sampai saat ini, seperti halnya tradisi ngalap berkah di tempat keramat demi melariskan dagangan. Itu menjadi salah satu pertentangan di Senjakarta yang belum ada penyelesaiannya.

Jika dalam agama, fanatisme ter-lalu kuat sementara toleransi rendah, maka sistem budaya seperti apa yang menjadi penguat? Sebaliknya, jika da-lam agama, fanatisme terlalu lemah se-mentara toleransi tinggi, maka apakah mereka memiliki rasa bangga dengan agama yang dianutnya?

Secara keseluruhan, buku setebal 362 halaman ini membahas proses perubahan dari sinkretis ke puritan kalangan masyarakat petani di daerah pedesaan Senjakarta, Klaten. Meski gaya bahasa yang digunakan penulis kurang mudah dipahami oleh pemba-ca, buku ini tetap menarik untuk diba-ca karena pemaparan sejarah bersum-ber pada data hasil penelitian.

Triana Sugesti

Setelah Islam masuk ke Indonesia, percampuran antara budaya lokal dan agama Islam pun tak dapat dihindari. Adanya pencampuran tersebut terlihat dari tindakan dan interpretasi yang berdampak pada pertentangan dalam kehidupan sosial di masyarakat Jawa, khususnya di Senjakarta, Klaten.

Gesekan Budaya Islamdan Lokal di Jawa

Sumber: Internet

Kiprah Tjokroaminoto menghapus penindasan pribumi telah tergores dalam sejarah Indonesia. Melalui kerja keras, ia mengobarkan semangat juang masyarakat Indonesia.

Ika Puspitasari

Judul : G

uru Bangsa

Tjokroaminoto

Sutradara : Garin Nugroho

Tahun : 2015

Durasi : 160 menit

Genre : Drama Biografi Sejarah

Judul : Benturan Budaya Islam: Puritan dan SinkretisPenulis : SutiyonoPenerbit : Kompas Media NusantaraCetakan : PertamaTebal : 362 halamamISBN : 978-979-709-534-5

PerlawananTjokroaminotoHapusPenindasan

Sum

ber:

Inte

rnet

Page 13: TABLOID INSTITUT EDISI 36

SOSOK 13Tabloid INSTITUT Edisi XXXVI / April 2015

KOMUNITAS

Tepat pada 31 Juli 1963 di Kau-man, Yogyakarta, tapak suci lahir dan berkembang di seluruh Nusantara. Mempelajari seni beladiri berarti ikut melestarikan budaya Indonesia. De-mikian tergambar dalam keseharian laki-laki kelahiran Bandung, 21 tahun silam, Muhammad Ali Ibrahim. Kese-tiaannya pada olahraga beladiri mem-buat Ali, panggilannya, tetap menjaga dan melestarikan olahraga asal Indo-nesia ini.

Sejak tercatat sebagai atlet beladiri Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta di tahun 2012, Ali selalu meluangkan waktu untuk meningkatkan kemampuannya de-ngan berlatih. Selain itu, ia pun men-jalankan rutinitasnya dengan men-gajarkan beladiri di dalam dan luar kampus.

Kegiatan tapak suci di UIN Jakarta, cerita Ali, sempat vakum selama dua tahun. Seiring berjalannya waktu, Ali merintis kembali tapak suci di kampus ini juga membimbing anggota-anggo-ta baru untuk menjadi Tim Silat UIN Jakarta.

Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sas-tra Inggris ini mengaku, keahliannya dalam bersilat berawal dari kegiatan ekstrakurikuler beladiri yang ia ikuti di Pondok Pesantren Darun Najah. Siapa sangka, konsistensinya menuai hasil. Terbukti hingga kini, Ali berha-

sil menjuarai berbagai event bergengsi, salah satunya peringkat pertama dalam Pekan Olahraga Mahasiswa Daerah Keistimewaan Indonesia (DKI) Jakar-ta cabang beladiri 2012 lalu.

Pengalaman pertama Ali di ajang beladiri terekam dalam perlombaan silat antar pelajar se-Jakarta Selatan (Jaksel) tahun 2007. Dalam acara itu, ia berhasil dinobatkan sebagai pe-menang pertama. Dari situ pula Ali mendapat banyak kesempatan untuk mengikuti beragam event.

Tahun 2011 menjadi tahun kebang-gaan bagi kader muda tapak suci ini karena ia terpilih sebagai pesilat ter-baik DKI Jakarta kategori dewasa. Pa-dahal, kala itu, usianya baru mengin-jak 16 tahun. “Itu adalah momen paling berkesan, karena seorang rema-ja bisa menang di kejuaraan dewasa,” kenang Ali sambil tersenyum, Selasa (14/4).

Kemenangan Ali kali ini menguran-gi beban orang tuanya, karena tropi yang ia terima dari ajang pemilihan pesilat terbaik DKI Jakarta. Setelah berprestasi di tingkat nasional, Ali berhasil menjuarai International Open tahun 2012 di Malang, Jawa Timur.

Sebenarnya, bukan hanya tapak suci olahraga yang pernah ia geluti, saat duduk di bangku Sekolah Dasar (SD), Ali sempat mengikuti taekwondo. Namun, ketidakyakinan membuatn-

ya berhenti melanjutkan beladiri asal Korea tersebut.

Beladiri, bagi Ali, sudah menyatu da-lam jiwanya. Sejak duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP), dia sudah belajar teknik olahraga tan-gan kosong ini. Passion beladiri dalam tubuh Ali mengalir saat ia berusia 10 tahun.

Sejauh ini, Ali tidak merasa kesuli-tan memahami tapak suci. Ia yakin, keseriusannya dalam belajar sejak kecil hingga berguru pada para pelatih tidak akan sia-sia. Saiful Anwar dan Anwar Hasan merupakan dua di antara pela-tih-pelatih silat terbaik bagi Ali, khu-susnya untuk bidang tapak suci.

Kepiawaian Ali dalam memainkan teknik-teknik beladiri membuatnya seringkali terpilih menjadi perwakilan Tim Silat UIN Jakarta, seperti pada Pe-kan Ilmiah Olahraga, Seni, dan Riset (Pionir) dan Epicentrum. Tak jarang pula pihak sekolah memintanya untuk menjadi pelatih bagi murid SD hingga Sekolah Menengah Atas (SMA).

Menurut Ali, atlet beladiri bisa lihai menggunakan teknik-teknik seni tan-gan kosong meskipun tidak memiliki darah keturunan beladiri. Keseriusan seseorang dalam mempelajari beladi-ri menjadi kuncinya. “Bakat bukan segalanya, tapi semangat dan niat untuk belajar menjadi yang utama,” tutupnya.

Usaha yang keras pasti akan membuahkan hasil yang manis. Prinsip itu disimbolkan dalam olahraga beladiri, tapak suci.

Arini Nurfadilah

Delapan pemuda memukul batang dari ruas-ruas tabung bam-bu yang tersusun sesuai tangga nada, susunan bambu tersebut bernama calung. Diiringi lan-tunan calung, mereka memain- kan lagu Lir-ilir dari Jawa Tengah. Kegiatan ini menjadi rutinitas Ko-munitas HCS saban Sabtu malam di Sekretariat Himpunan Maha-siswa Tasikmalaya (Himalaya) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.Walau berada di bawah naungan

Himalaya, komunitas ini meneri-ma siapa saja yang minat belajar calung. Tak hanya mahasiswa,

masyarakat sekitar pun bisa ber-gabung dalam Komunitas HCS. Terhitung sampai saat ini ada 20 anggota yang tergabung dalam komunitas ini.Berdirinya Komunitas HCS be-

rawal dari kegelisahan anggota Himalaya lantaran melihat ha-nya sedikit pemuda yang minat memainkan calung. Kemudian September 2013 silam, Divisi Ke-budayaan Himalaya membentuk Komunitas HCS. Ketua Umum Himalaya, Irfan Sanusi menga-takan, komunitas yang berada di bawah naungan Himalaya ini ber-tujuan melestarikan budaya Indo-

nesia. Saat ini, lanjut Irfan, pemuda

lebih menyukai budaya barat dibandingkan budaya Indonesia. “Sebagian besar, pemain calung di Tasikmalaya adalah orang tua. Biasanya, mereka memainkan calung hanya di acara-acara ter-tentu seperti hari kemerdekaan Indonesia,” kata Irfan seusai mempraktikkan cara bermain calung kepada INSTITUT, Ming-gu (19/4).Komunitas yang bergerak di

bidang kebudayaan ini tak hanya tampil di dalam kampus, kerap kali mereka juga tampil di luar

kampus. Semisal dalam Acara Charta Peduli Awards di Radio Republik Indonesia (RRI) dan dalam Friday Class Pengembangan Diri di kediaman Seto Mulyadi, pada Desember 2014 lalu.Di sisi lain, salah satu anggota

Komunitas HCS, Agung Arabi-an menuturkan, demi menjaga eksistensi alat musik tradisional, calung bisa dipadukan dengan alat musik modern semisal pi- ano atau gitar. “Perpaduan calung dengan alat musik modern mem-buat calung lebih menarik dan mengajak pemuda untuk mempe-lajari calung,” ujar Agung, Ming-gu (19/4).Salah satu upaya agar penonton

tidak jenuh dalam menyaksikan pementasan calung, Komunitas HCS juga membawakan lagu-lagu yang telah mereka aransemen di setiap penampilannya. Mereka juga menciptakan lagu sendiri seperti lagu Perkenalan Himalaya dan Sambal Lada.Pemuda asal Cilacap ini menam-

bahkan, pemuda yang tergabung dalam komunitas HCS nantinya mampu meregenerasi dan men-jaga calung agar tetap dikenal masyarakat. “Alhasil, generasi muda ke depan dapat menikmati serta mengenal calung,” ungkap Agung.Agung menilai, banyak ma-

syarakat kurang mengenal calung terlihat dari mereka yang tak

dapat membedakan antara musik tradisional calung dan angklung. Kebanyakan masyarakat hanya tahu dua alat musik tradisional tersebut sama-sama terbuat dari bambu. Pelatih Komunitas HCS, Asep

Ashly Nugraha menjelaskan, perbedaan calung dan angklung terlihat dari cara memainkann-ya. Calung dimainkan dengan memukul ruas tabung bambu dan angklung dimainkan dengan menggoyangkan tabung bambu. Perbedaan lainnya terletak pada jenis tangga nada. Calung meng-gunakan tangga nada pentatonik, sedangkan angklung menggu-nakan tangga nada mayor. Asep berharap, masyarakat In-

donesia dapat menjaga budaya se-bagai kearifan lokal dengan cara mengenali budaya dari daerah masing-masing. Pasalnya, sam-bung Asep, saat ini tidak banyak warga yang mengenal calung. “Bahkan hanya sedikit warga Ta-sikmalaya yang mengenal calung. Padahal, calung merupakan alat musik tradisional dari Tasikmala-ya,” kata Asep.Komunitas yang memainkan je-

nis calung jinjing ini berencana mengadakan acara dengan meli-batkan komunitas di sekitar Cipu-tat. “Akhir Mei mendatang, kami akan mengadakan acara dengan tema melestarikan budaya Indo-nesia,” pungkasnya.

Di tengah era globalisasi, budaya asing bebas keluar dan masuk ke Indonesia. Demi menjaga budaya Tanah Air, Komunitas Himalaya Calung Simfoni (HCS) mengajak masyarakat lestarikan calung sebagai kebudayaan asli Indonesia.

Menjaga Calung Indonesia

Ika Puspitasari

Dok.

Prib

adi

Penampilan Komunitas Himalaya Calung Simfoni (HCS) dalam acara Charta Peduli Awards di Radio Republik Indonesia (RII). Mereka membawakan lagu Ondel-ondel dari Betawi, Minggu (14/12).

Nama : Muhammad Ali IbrahimPanggilan : AliTempat, Tanggal Lahir: Bandung, 22 September 1994Alamat : Jalan Pondok Cabe Indah nomor 58 C Ci payung, Ciputat-Tangerang SelatanJurusan : Bahasa dan Sastra Inggris, konsentrasi Litera tureSemester : 6 (enam)Fakultas : Adab dan HumanioraRiwayat Pendidikan : SD Madrasah Pembangunan UIN Jakarta : MTs Pondok Pesantren Darun Najah : MA Pondok Pesantren Darun Najah

Buah Manis‘Atlet Tangan Kosong’

Dok.

Prib

adi

Dok.

Prib

adi

Page 14: TABLOID INSTITUT EDISI 36

SASTRA 14Tabloid INSTITUT Edisi XXXVI / April 2015

Buku

Ia menatap saya. Sorot matanya begitu tajam. Sema-kin menajam. Saya hanya terdiam. Hening memang pal-ing pandai menyelinap, ia merasuki setiap pori-pori kulit kami, saya dan dia. Tak ada kata bertautan.Tak ada kata. Diam. Hanya Diam dan terdiam, selalu saja kami men-diam dalam nuansa hening denting jam di perpustakaan.

Saya diam. Juga dia. Tapi saya selalu lebih setia men-diam dibanding ia. Ia tak mengerti kenapa saya terdiam. Tak pernah. Yang pasti, walau saya bicara. Walau saya berkata. Walau saya bercanda. Walau saya tertawa. Tetap saja saya diam. Tetap saja di mata ia saya hanya pendiam.

Saya terdiam. Bukan membisu. Tapi saya bisu. Dan semakin pilu acap kali mata itu, yang mulai memerah, marah. Saya tahu ia marah kepada saya. Dan saya sangat tahu Ia bakal marah ketika lelah, Ketika masalahnya tak kunjung terpecah. Kalau ia marah, saya hanya bisa me-masrah. Bersalah atau tidak saya di matanya, sama saja. Ia akan tetap mencampakkan saya. Ia akan pergi begitu saja. Sial!

***

Mata itu, di balik lensa tebal, selalu menyetia. Saya suka pemilik matanya.

Cantik. Saya mengenalnya. Pemilik mata cantik itu bernama cantik. Mata dan pemiliknya sama-sama can-tik. Nama dan matanya cantik. Sama sama. Ia begitu se-tia. Hanya Ia yang mau mengenal saya sebegitu intim. Ia memang tak lazim dari yang lain, tapi istimewa.

Saya mengenalnya sedari dulu, ketika cantik baru duduk di bangku kuliah. Ia yang pertama kali mendekati saya. Ia yang pertama kali menyapa saya. Ia yang perta-ma kali mengajak saya bercengkrama. Tentang apa saja. Terkadang, ia suka membicarakan cinta. Tapi seringnya ihwal materi perkuliahannya. Sebagai remaja, ia memang suka sekali cerita romansa. Tak terhitung jumlah cerita yang sudah saya bacakan untuknya, teramat banyak. Saking tergila-gilanya Ia dengan cerita, ia bisa melupakan se-galanya, kecuali saya. Ia akan selalu kembali memeluk saya.

Entah kenapa, sejak semula, mata cantik itu seolah suka menatap saya berlama-lama. Di manapun kami berjumpa. Di taman, di jalan, di kantin, di malam, di siang, di pagi, di sore, dan di di yang lainnya. Pokokn-ya dimana-mana. Saya jatuh cinta. Atau ia yang jatuh cinta. Entah.

Ketika Ia dahaga, Haus akan cerita. Tak segan Ia memaksa saya untuk keluar singgasana. Di taman atau dimana saja, asal Ia suka. Ia memaksa saya untuk me- nemaninya.

Ia selalu menjemput saya usai jam kuliah. Saya bia-sa menunggunya di perpustakaan. Tak ada alasan untuk kata menolak. Karena memang saya tak punya alasan. Saya hanya bisa memendam diam dalam-dalam. Itu cu-kup membuat Ia senang.

Barang satu sampai tiga malam saya akan menemanin-ya, untuk sekedar membacakan cerita-cerita romansa atau menjawab tugas-tugas dari dosennya. Kemudian ia me- ngantar kembali saya ke singgasana. Walau tak jarang, selang sehari setelah kembali dari menemaninya, ia akan menyeret saya lagi. ‘cerita kamu belum kelar’ begitu ala-sannya, selalu saja.

Lewat pertemuan-pertemuan sederhana itulah saya mengenalnya. Dari pertanyaan-pertanyaan yang pula se-derhana, dari cerita-cerita romansa, dan dari tugas-tugas perkuliahannya. Saya mengenal cantik dengan baik. Dan ia mengenal saya teramat baik. Kami saling mengenal sangat baik.

Sampai detik-detik akhir ia kuliah. Wisuda di depan mata. Hubungan kami semakin bertambah intim saja. Kami merubah pertemuan-pertemuan sederhana itu menjadi lebih istimewa. Perpustakaan jadi tempat favorit kami berjumpa. Di sana kami nyaman berdua. Tak ada suara-suara gaduh yang merobek telinga. Tak ada ma-ta-mata yang bergerilya merazia. Di sana kami merdeka, tak ada sekat pemisah antara saya dan ia. Tak ada. Kami leluasa bersenggama.

Perpustakaan kami pilih sebagai tempat bersua. Untuk membebaskan semua beban kepala, mencairkan seluruh pertanyaan yang mengendap di dasar kepala, lalu temu-kan jawabnya. Walau semua itu, semua pertanyaan itu. kesemuanya akan ia tumpahkan semaunya kepada saya, semua pertanyaan dan soal-soal itu ia tujukkan kepada saya. tak apa, saya rela. Sungguh.

“Kamu hebat. Kamu tahu segalanya. Dunia ada pada-mu.” Ia memuji. Saya hanya diam.

Kalau ia sudah mulai merayu, kalau tanya sudah me- nyilet otaknya bagai sembilu, maka ia tak segan lagi untuk segera membuka baju saya. Dan tatap mata cantiknya, dengan rona yang begitu menggoda, perlahan tapi pasti mulai bergerilya, menjajah seluruh tubuh saya. tatapnya begitu detail melumat huruf per huruf dari setiap lekuk sudut tubuh saya. Ia begitu gagah dalam memecah ma-salah. Tak kenal kata menyerah. Walau mata cantiknya akan tampak memerah selepasnya.

***

Cantik, gadis dengan paras cantik si pemilik rona mata cantik. Ia tak ingin banyak membuang waktu untuk wisuda. Skripsi adalah momok menyeramkan. Banyak diantara temannya yang tumbang menghadapinya. “Itu karena merekanya saja yang tak mau mengenal kamu” katanya kepada saya.

Ia mencintai saya seperti saya mencintainya. Atas nama cinta, saya membantunya, merampungkan tugas akhir kuliah.

Skripsi selesai. Sidang lancar. Tinggah menanti wak-tu wisuda. Tapi ia sudah jarang menginjakan kakinya di kampus. Sedih. Karena tak ada lagi kata jumpa, yang sederhana terlebih yang istimewa. Tak ada lagi ceri-ta romansa. Tak ada lagi cinta. Dan tak lagi bisa kami bersenggama.

Saya terlunta. Dalam hening yang tak mengirama. Dengan rindu tatap matanya yang manja. Pada rak di perpustakaan yang dipenuhi debu asmara, ia mencampa-kkan dan meninggalkan saya begitu saja. Ia melupakan saya.

Ciputat, 06-05-2015 : 23:32 WIB

Oleh: Uus Mustar*

Maafkan atas terpilihnya dia, BuKatanya dia itu dari kalangan kami

golongan miskin, menengah ke bawahrahimnya mungkin benar di sana

tapi ibu dan bapak asuhnyaadalah gaya megah dan serakah

Tampilannya lusuh, kurus, dan lugudibalut logat yang medok

katanya Jawa adalah kuncikatanya Solo adalah jiwa

nyatanya hanya budak adikuasapartainya demokrasi

tapi kuasa rakyat seperti dihukum mati

Ini nusantara, peristirahatan Ibu PertiwiJangan lagi Ibu bersusah hati

Jangan bersusah hati, tapimalah seperti jajakan raga pada duniadiperkosa bergilir negara-negara kayaPresiden lusuh ini kupersembahkan

jadikan geremo atau waria saja

Belenggu hampa tiraniMerebak sebuah aplikasiDalam sebuah pertikaianYang terjadi dalam negeri

Siapakah tirani itu?Ia yang meracuni otak manusia

Merobohkan jiwa sosialisasiJuga menghancurkan sistem yang ada

Ya, ia adalah uangDapat membantu dan dapat pula mengekang

Bersama hilangnya sebuah kepercayaanDi dalam satu pemerintahan

Presiden Lusuh untuk Ibu Pertiwi

Negeri

Oleh: Muhamad Adhi Kurnia*

Oleh: Iladiena Zulfa*

*Penulis adalah mahasiswa Semester 8, Bahasa dan Sastra Inggris, Fakultas Adab dan Humaniora

*Penulis adalah mahasiswi Semester 4, Konsentrasi Jurnalistik, Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi

CerpenPuisi

Ku coba mendekap rindu Menyatukan kening dengan lantai di atas hamparan saja-

dah biruMelepas beban sang waktu

Mencoba menterjemahkan semua inginkuMempersamakan perilaku hidup dengan titahMu

Ku baca asmaMu dengan KhusyukKala ku bangkit

Bangun kembali menatap langit Membusungkan dada yang sempat terhimpit

Meneriakkan kalimat tahmid Mengucap syukur karna aku keluar dari musibah dunia

yang sempit Ingin ku menerjang ombak sang waktu

Merangkai tulisan dan sajak-sajak syahdu Mencoba meneriakkan lantunan lagu

Bernyanyi dengan ritmik sunyi khas alunanku Ku tatap kembali langit

Kembali ku tatap dengan sengit Menatap shubuh di bagian ufuk timur langit

Sebingkai cahaya terpendar tanpa sempit Indah terurai, perlahan, melebur, melesat, terbang dan

melejitAku duduk, diam, merenung tak memunculkan kata Menikmati hembusan angin sepi di pinggiran kota

Mencoba berucap, berkalam, berkata lewat doaKarena keyakinan doaku menembus batas cakrawalaBertahmid, bersyukur meneriakkan kalimat Tauhid.

Tahmid-SyukurOleh: Indah Khoiril Bariyyah*

*Penulis adalah mahasiswi Fakultas Dirasat Islamiyah

*Penulis adalah mahasiswi Jurusan Bahasa Sastra dan Arab, Fakultas

Sum

ber:

Inte

rnet

Page 15: TABLOID INSTITUT EDISI 36

SENI BUDAYA 15Tabloid INSTITUT Edisi XXXVI / April 2015

Asap putih tebal mengepul tinggi dari Gunung Merapi disertai alunan suara gamelan khas musik Jawa Tengah. Tiba-tiba, kain putih dengan panjang enam meter menutupi hampir seluruh panggung, diikuti su-ara gemuruh Gunung Merapi yang sedang mengeluarkan lahar. Entakkan tujuh pasang kaki menambah keriuhan suasana di atas panggung saat itu.

Seketika, suasana menjadi sunyi. Hanya terdengar uyon-uyon (tem-bang Jawa) yang diiringi alunan su-ara gamelan. Kain putih pun tak lagi menutupi panggung. Lampu yang se-dari tadi menyorot ke arah panggung, mulai meredup.

Satu per satu lampu mulai menyala kembali. Tak lama, muncul laki-laki berkumis mengenakan baju adat khas Jawa Tengah, seorang Raja Mataram bernama Panembahan Senopati. Ser-ta wanita yang mengenakan kebaya berwarna merah, berambut cepol, dan berwajah sedikit keriput. Dialah istri Senopati, Nyi Adisara.

Kala itu, Senopati menyampaikan keresahan hatinya kepada istrinya. Ia resah karena Mataram belum mam-pu menaklukkan wilayah Perdikan Mangir yang subur, makmur, dan gemah ripah loh jinawi. Rakyatnya juga sangat menjunjung tinggi sikap demokratis. Terbukti, mereka sangat menyukai kegiatan rembuk desa se-bagai cerminan komunikasi antar Ki Ageng Mangir Wanabaya (pemimpin Perdikan Mangir) dengan rakyatnya.

Banyak faktor yang menyebabkan Senopati sulit menaklukkan Perdikan Mangir. Salah satunya, kekuatan Perdikan Mangir terletak di tangan Nyi Sepuh (ibunda Wanabaya), Baru Klinthing (paman Wanabaya), dan Inten Prawesti (adik angkat Wanaba-ya sekaligus panglima perang Mang-ir). Mereka adalah keluarga yang menguasai olah kanuragan dan san-gat pandai bersiasat.

Di tengah perbincangan, Nyi Adis-ara yang sedang mengandung anak pertama, merasakan sakit di perutnya. Ia merasa, bayi dalam rahimnya in-gin segera keluar. Tak lama, lahirlah putri pertama yang diberi nama Rara Pembayun. Keduanya berharap, Pem-bayun akan menjadi panutan putri Mataram yang tangguh dan cerdik.

Pembayun tumbuh menjadi putri yang cantik. Melihat kecantikan yang dimiliki putrinya, Senopati memerin-tahkan Nyi Adisara dan Pembayun menyamar sebagai ledek untuk me-mikat Wanabaya dan menaklukkan Perdikan Mangir. Tak lupa, rombongan ledek lebih dahulu mampir ke Sendang

Kasihan milik Rara Kidul agar Wa-nabaya tertarik dengan paras Pem-bayun.

Selama menyamar menjadi ledek, Nyi Adisara dan Pembayun mengu-bah namanya agar penyamarannya berhasil. Nyi Adisara sebagai Nyi Pinjung, sedangkan Rara Pembayun sebagai Ni Mas Madusari.

Rombongan ledek berhasil meng-hibur warga Perdikan Mangir. Ter-lebih, Madusari sukses membuat Wanabaya jatuh hati padanya. Tak lama, Wanabaya melamar Madusari sebagai istrinya. Merasa tujuannya hampir berhasil, Pembayun member-ikan syarat kepada Wanabaya jika se-rius ingin menikahinya.

“Jika kau serius ingin menikahi-ku, hanya satu pintaku. Setelah me-nikah dan memiliki momongan, ber-janjilah untuk mengantar ke tanah kelahiranku,” pinta Madusari yang langsung disanggupi oleh Wanabaya. Wanabaya merasa permintaan Mad-usari sangat mudah dan dia berjanji tidak akan mengingkari perkataann-ya.

Pernikahan pun dilangsungkan. Berkat kesaktian Inten, penyamaran Pembayun terbongkar. Wanabaya yang mendapatkan informasi penyama-ran tersebut, naik pitam dan langsung mengusir Pembayun dari Mangir. Namun Pembayun menolaknya, ia ingin menagih janji Wanabaya untuk mengantarnya pulang ke Mataram dan menghadap Panembahan Se-nopati.

Keduanya bertengkar hebat. Berkat Nyi Sepuh dan Baru Klin-thing, tak terjadi baku hantam antar keduanya. Nyi Sepuh yang ahli da-lam berstrategi, memutuskan agar Wanabaya menyamar sebagai Baru Klinthing, begitu pun sebaliknya.

Ketika rombongan Mangir sam-pai di Mataram, Senopati langsung membenturkan kepala Wanabaya ke singgasana. Tiba-tiba, Baru Klinthing yang menyamar sebagai Wanabaya berubah ke wujud asalnya. Terjadilah perlawanan antar keduanya yang di-menangkan oleh Senopati.

Senopati sadar, anaknya (Baru Klin-thing) yang harus menuntaskan konflik

tersebut karena penyatuan Mataram dan Mangir membutuhkan tumbal. Lantas, Pembayun yang memang mencintai Wanabaya dengan tulus, lebih memilih pergi bersama Wanaba-ya untuk memulai kehidupan baru.

Menghilangnya Wanabaya, men-jadi penutup dalam pentas bertajuk “Pilihan Pembayun” yang dimainkan oleh Lembaga Teater Perempuan Yo-gyakarta di Hall Student Center (SC) UIN Jakarta, Senin (20/4). Dalam pertunjukkan yang disutradarai oleh Yudiaryani itu, ia mencoba meng- ungkap kejadian Perang Babad yang sebenarnya menurut dokumen yang dipelajari sebelumnya.

Dalam kebanyakan buku sejarah, akhir dari Perang Babad adalah ter-bunuhnya Wanabaya oleh Panem-bahan Senopati. Hal itu bertolak belakang dengan kisah yang dipen-taskan. “Perbedaan tersebut dikare-nakan kisah Perang Babad ada di era kolonial Belanda yang ingin menga-du domba Perdikan Mangir dan Ke- rajaan Mataram saat itu,” ujar Yudi-aryani, Senin (20/4).

Aci Sutanti

Foto

: Ika

/IN

S

Tapak Tilas Perang Babad

dosen. “Ba-nyak kasus dosen yang tel-ah menye- rahkan dokumen-dokumen mereka, namun setelah diperiksa Itjen ternyata banyak data yang kurang,” ujarnya, Jumat (17/4).

Salamah menerangkan, kekura- ngan itu membuat beberapa dosen ha-rus mengembalikan tunjangan profe-si- nya yang telah diterima semester lalu. Pemberian tunjangan berdasar-kan pada hasil audit internal tahun 2014. “Namun, saat ini kita belum mendapatkan data pasti mengenai jumlah dosen yang harus mengemba-likan dana tersebut,” katanya.

Pihak keuangan angkat suara menanggapi keluhan dosen-dosen yang belum mendapatkan tunja- ngan profesinya. Sulamah Susilawa-ti, Kepala Bagian Keuangan UIN Jakarta menerangkan, alur pencairan tunjangan profesi belum dilaksanakan dengan baik.

Sambungan Ironi Tunjangan Profesi

BACA, TULIS, LAWAN!

Lembaga Teater Perempuan Yogyakarta menampilkan drama Perang Babat bertajuk Pilihan Pembayun di Hall Student Center, Senin (20/4). Dalam teater tersebut, menceritakan Panembahan Senopati dalam menaklukkan

Ki Ageng Mangir Wanabaya sebagai tledek untuk memikat hati Wanabaya.

Awalnya, pihak keuangan mengaju-kan dana ke Kantor Pelayanan Perbenda-haraan Negara (KPPN) setiap bulannya. Lalu, KPPN akan langsung mencairkan dana ke rekening setiap dosen.

“Jika ada kesalahan atau kekura- ngan dokumen, pihak KPPN harus-nya memberikan retur atau pengem-balian dokumen yang nantinya akan diperbaiki,” ujar Sulamah, Jumat (24/4). Namun, jumlah tunjangan yang diterima dosen tidak sesuai de-ngan permintaan. Padahal, saat itu pihak keuangan tidak mendapatkan retur apapun.

Rektor UIN Jakarta, Dede Rosyada menerangkan, penahanan tunjangan sertifikasi disebabkan oleh telatnya penilaian BKD. “Begitu saya diminta untuk mengajukan tunjangan untuk bulan Februari lalu, saya minta LPM untuk melakukan penilaian dosen ter-lebih dulu,” ujarnya, Jumat (25/4).

Selaku Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), Dede menegaskan dosen-dosen harus dinilai dulu sebelum me-nerima tunjangan profesinya.

43 dosen, ungkap Dede, belum mendapatkan tunjangan profesi kare-na mereka memiliki jabatan di univer-sitas lain, sebagai rektor, wakil rektor, atau jabatan lain. Itjen menyimpulkan dosen-dosen tersebut harus menghen-tikan kegiatan di universitas lain ke- cuali telah memenuhi tugas mereka di UIN Jakarta, yakni hadir di kampus selama lima hari dalam seminggu dari pukul 07.00-16.00.

“Saya tidak mengabaikan hak dosen. Jangan sampai saya membe- rikan hak-hak dosen tapi mahasiswa- nya tidak diurus. Saya bukan sedang mengurus dosen, tapi mengurus ma-hasiswa,” pungkasnya.

Surat PembacaSaya mahasiswa Fakultas Ilmu Dakwah dan Komunikasi (FIDIKOM). Meminta

kepada pengelola Student Center (SC) agar lebih memperhatikan kebersihan dan kelayakan fasilitas kamar mandi SC. Sebab saya merasakan terutama di kamar mandi pria tempat pembuangan urine (urinal) banyak yang rusak , dari tujuh urinal hanya dua yang berfungsi itu pun sepertinya sudah agak mampet.

08981316XXX

Saya mahasiswi Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) meminta agar lampu toilet wanita diperbaiki. Lampu yang berkedap-kedip membuat pusing. Padahal, tak jarang mahasiswi yang ke toilet saat hari sudah gelap. Tak hanya itu, pintu toiletnya rusak semua. Wastafelnya pun mampet sehingga tak jarang banyak air yang menggenang.

085773011xxx

Saya mahasiswi Fakultas Adab dan Humaniora (FAH). Saya mengeluh kuran-gnya bangku yang ada di beberapa kelas di lantai 4 FAH. Soalnya saya harus mengangkat bangku dari kelas lain karena kelas yang saya tempati kekurangan bangku.

085812348XXX

Page 16: TABLOID INSTITUT EDISI 36

CP: Maulia NurulNo HP: 08567231682

Pasang Iklan

Sejak didirikan 30 tahun silam, LPM INSTITUT selalu konsisten mengembangkanperwajahan pada produk-produknya, semisal Tabloid INSTITUT, Majalah

INSTITUT, dan beberapa tahun ini secara continue mempercantik portal www.lpminstitut.com.

Space iklan menjadi salah satu yang terus dikembangkan LPM INSTITUT. Olehsebab itu, yuk beriklan di ketiga produk kami! Kenapa? Ini alasannya:

Tabloid INSTITUTTerbit 4000 eksemplar setiap bulan

Pendistribusian Tabloid INSTITUT ke seluruh universitas besar se-Indonesia dan instansipemerintahan (Kemenpora, Kemenag dan Kemendikbud)

INSTITUT OnlineMemiliki portal online dengan sajian berita seputar kampus dan nasional terbaru dengan

kunjungan 800-1000 per hari

Majalah INSTITUTSajian berita bercorak investigatif dan terbit per semester.

Iklan layanan mahasiswa ini dipersembahkan LPM INSTITUT

AVAILABLE SPACE

MAU TUNJANGAN PROFESIKOK GAK MAU NGAJAR