Ta'aruf dalam Islam
Transcript of Ta'aruf dalam Islam
TA’ARUF SEBELUM NIKAH
Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah
BAHASA INDONESIA
Disusun Oleh:
NISYARA RATNA FURI (210112039)
Dosen Pengampu:
REGENA DEVI
KELAS: SA.B
JURUSAN SYARIAH
PRODI AHWAL SYAKHSIYYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PONOROGO
TAHUN AJARAN 2012/2013
BAB I
PENDAHULUAN
I. Latar belakang
Sesungguhnya Islam telah memberikan tuntunan kepada pemeluknya yang
akan memasuki jenjang pernikahan, lengkap dengan tata cara atau aturan-
aturan Allah swt. sehingga mereka yang tergolong ahli ibadah, tidak akan
memilih tata cara yang lain. Namun dimasyarakat, hal ini tidak banyak
diketahui orang.
Mata kita mungkin saja digelapkan oleh gemerlap dunia, keindahan
syahwat, atau hiburan nafsu. Tapi persoalannya, kita masih punya iman.
Nurani kita amat mengetahui adanya kecenderungan nafsu yang mulai
merambati jiwa kita. Naluri jahat bisa saja membungkus dosa dan maksiat
dengan jubah kebenaran. Tapi fitrah dan nurani yang sehat, yang masih berisi
iman selalu saja mengetahui tipu daya itu.
Seperti halnya dalam proses ta’aruf, godaan setan itu akan lebih banyak
menimpa diri individu baik pihak ikhwan ataupun akhwat. Bila kita mudah
tergoda oleh bujuk rayu setan maka ta’aruf yang kita anggap syar’i menjadi
batal. Sehingga, untuk menghindari hal itu maka kita harus sudah mengetahui
batasan yang ada. Kita harus tahu adab dan etika dalam berta’aruf, etika dan
aturan Islam terhadap lawan jenis yang bukan mahram, yang baru saja hendak
kita ajak berkenalan sebagai calon pasangan kita.
II. Rumusan Masalah
A. Apa pengertian ta’aruf ?
B. Bagaimana aturan berta’aruf menurut Islam?
C. Bagaimana tata cara berta’aruf dalam Islam ?
D. Apa tujuan dan manfaat dari berta’aruf ?
1
BAB II
PEMBAHASAN
I. Pengertian Ta’aruf
Islam sebenarnya telah memberikan batasan-batasan dalam pergaulan
antara laki-laki dengan perempuan. Misalnya, kita dilarang untuk mendekati
zina. Seperti tersebut dalam surat Al-Isra’ ayat 32:
�يال ) ب اء�س� ة�و�س� �ف�اح�ش� �ان �ه�ك �ن �اإ ن �واالز� ب �ق�ر� (٣٢و�الت“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu
perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra’[17]: 32)
Dalam Al-Qur’an, Allah swt. telah memberikan petunjuk, bahwa
Allah menciptakan manusia terdiri dari laki-laki dan perempuan dan bersuku-
suku serta berbangsa-bangsa adalah agar mereka dapat berinteraksi
(berhubungan) dan saling kenal-mengenal. Hal ini sebagaimana disebutkan
dalam surat Al-Hujurat ayat 13:
��م اك �ن''� ع�ل �ى و� ج� �ث �ن ر/ و�أ �م� م�ن� ذ�ك''� اك �ق�ن''� ل �ا خ� �ن �اس� إ 5ه�ا الن ي� �ا أ ي
ه� د� الل''� �ن'' �م� ع� م�ك ر� ��ك'' �ن� أ ف�وا إ ار� �ع''� �ت ل� ل �ائ''� �ا و� ق�ب ع�وب ش''�
( Bير� ب �يمB خ� �ه� ع�ل �ن� الل �م�إ �ق�اك �ت (١٣أ“Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki
dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang
paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di
antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
(QS. Al-Hujurat [49]: 13)1
Dari ayat di atas maka dapat diketahui bahwa kalimat ta’aruf itu asal
katanya dari bahasa arab “ta’arofu”(artinya: saling mengenal) dan secara
1 M.A. Tihami, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap (Jakarta: Rajawali Pres, 2009) hlm. 22-23.
2
istilah ta’aruf adalah proses saling mengenal antara seseorang dengan orang
lain dengan maksud untuk saling mengerti dan memahami. Sedangkan dalam
Konteks Pernikahan, maka ta’aruf dimaknai sebagai “Aktivitas saling
mengeal, mengerti dan memahami untuk tujuan meminang atau menikah.”2
Dengan demikian, islam memiliki etika dalam pergaulan dan
mengadakan perkenalan antara pria dan wanita sebelum menuju jenjang
pernikahan, dimana tahapan awal pada umumnya melalui proses ta’aruf.
Setelah bertemu dan tertarik satu sama lain, dianjurkan untuk dapat mengenal
kepribadian, latar belakang sosial, budaya, pendidikan, keluarga, maupun
agama kedua belah pihak. Dengan tetap menjaga martabat sebagai manusia
yang dimuliakan Allah, artinya tidak terjerumus pada perilaku tak senonoh,
bila di antara mereka berdua terdapat kecocokan, maka bisa diteruskan
dengan saling mengenal kondisi keluarga masing-masing, misalnya dengan
jalan bersilaturahmi ke orang tua keduannya.3Ta’aruf bisa juga dilakukan
jika kedua belah pihak keluarga setuju dan tinggal menunggu keputusan anak
untuk bersedia atau tidak untuk dilanjutkan ke jenjang khithbah – ta’aruf
dengan mempertemukan yang hendak dijodohkan dengan maksud agar saling
mengenal.
Sebagai sarana yang objektif dalam melakukan pengenalan dan
pendekatan. Ta’aruf sangat berbeda dengan pacaran. Ta’aruf secara syar’i
memang diperintahkan oleh Rasulullah saw. bagi pasangan yang ingin nikah.
II. Aturan serta’aruf dalam Islam
Rumah tangga yang bahagia, harmonis, sejahtera dan penuh
ketenangan memang menjadi sebuah harapan setiap orang yang belum
menikah, sehingga dilakukan beberapa usaha pendahuluan agar semuanya
bisa terwujud, ini tidak lain agar di kemudian hari tidak menemui penyesalan.
Bentuk usaha tersebut adalah dengan memilih calon pasangan yang
kemudian dilanjutkan dengan Nadzru (melihat kepada calon) ini tidak khusus
2http://saif1924.wordpress.com/2008/01/02/penjelasan-seputar-ta%E2%80%99aruf-dan-walimah/ diakses pada tanggal 01 Juni 2013
3M.A. Tihami, Op.Cit., hlm. 23.
3
pada laki-laki saja perempuan pun disunnahkan untuk melihat kepada laki-
laki yang hendak meminangnya. Nadzru dalam Islam merupakan salah satu
kesunnahan sebelum melangkah ke Khitbah (peminangan), ini dilakukan agar
diketahui keadaan jasmani dan rohani si wanita, apakah benar-benar normal,
memiliki cacat atau bahkan gangguan jiwa, sebagaimana sabda Rasulullah
saw. kepada Sahabat Mughirah ketika ia akan meminang pada salah satu
wanita:
ه� ال� ل''� �ة� ف�ق''� أ ر� �ه� خ�ط�ب� ام'' �ن''� �ة/ أ ع�ب ة� بن� ش''� ر� ��م�غ�ي'' ع�ن� ال
ا ؟ �ه'� �ي ل ت� �ر �ظ'� �ن : أ �م� ل ه� و�س'� ��ي' س�ول� الله� ص�ل�ى الل'ه� ع�ل ٳ�ر�
ا. �م''� �ك �ن �ي ؤ�د�م� ب �ن� ي''� ى أ ر� ��ح'' ه� أ ن''� �ه�ا �ي ل ��نظ�ر : أ �. ق�ال� : ال ٳ�ق�ال� ٳ�
)رواه النسائ وابن ماجه والترمذى(Dari Mughirah bin Syu’bah, ia pernah meminang pada seorang wanita, lalu
Rasulullah bertanya kepadanya: “Sudahkan kamu melihat dia?” Mughirah
menjawab: belum, kemudian beliau bersabda: “Lihatlah dia terlebih dahulu,
agar kamu nanti bisa bersamanya lebih abadi (dalam keharmonisan rumah
tangga)”. (HR. al-Nasai, Ibnu Majah dan al-Turmudzi )
Dalam hadits lain:
�م�ا )رواه الترمذى( �ك �ن �ي �ؤ�د�م� ب �ن� ي ى أ �ح�ر� �ه� ا ن �ه�ا ف� �ي ل ��نظ�ر ٳ�ا ٳ�Dan hadits yang diriwayatkan Abi Dawud wa ghairih ini, oleh beberapa
‘ulama dijadikan landasan hukum diperbolehkannya laki-laki melihat kepada
calon pinangannya, bahkan merupakan suatu kesunnahan:
��ن س� أ� أ �ة/ ف�ال� ب''� أ ر� �ة� ام'' ر�ئ/ خ�ط�ب''� ��ق�ي� ف�ي ق�ل�ب� ام'' �ل ٳ�ذ�ا ا
�ه�ا )رواه ابو داود و غيره( �ي �ل �ظ�ر� ا �ن ي“Apabila dalam hati seseorang sudah mantap akan meminang wanita maka
tidak ada bahaya baginya untuk melihat terlebih dahulu wanita yang akan
dipinang.” (HR. Abi Dawud wa ghairih)
4
Disunnahkannya Nadzru (melihat) ini sebelum adanya peminangan,
karena apabila dilaksanakan setelahnya, dikhawatirkan salah satu dari kedua
calon pasangan tidak berkehendak melanjutkan kejenjang pernikahan, bisa
jadi karena adanya cacat, gangguan jiwa atau yang lain setelah melihatnya,
padahal yang demikian ini termasuk Idza’ (menyakitkan) orang lain dan jelas-
jelas dilarang oleh syari’at Islam.
Tidak pula disyaratkan adanya izin dari kedua atau salah satu pihak,
karena sudah ada izin syar’i secara langsung, walaupun dikhawatirkan
menimbulkan fitnah dan bahkan disertai syahwat, ini karena sudah menjadi
kebutuhan bagi seseorang yang akan menikah, sehingga pelaksanaan
perkawinan nanti berdasarkan pandangan dan penilaian yang jelas. Namun
apabila seseorang yang hendak meminang tidak bisa atau tidak menginginkan
untuk melihat kepada calon pinangannya, disunnahkan mengutus wanita lain
(lebih utama adalah mahram dari laki-laki yang hendak meminang) agar ia
melihat wanita yang akan dipinang dan nantinya bisa menjelaskan tentang
keadaan sang calon.
Dalam melihat tidaklah lepas dari kekhawatiran atas Fitnah dan
Syahwat, maka seseorang melihat kepada calonnya tidak mutlak pada anggota
tubuh yang dikehendak, seperti yang biasa terjadi saat ini di sebagian daerah.
Hukum boleh ini hanya sebatas melihat anggota tubuh selain aurat dalam
shalat, artinya seorang laki-laki boleh melihat yang akan dipinang/
dipersunting hanya pada wajah dan kedua telapak tangan (bagian dalam dan
luar) saja, sebab dalam literatur agama dikatakan bahwa wajah bisa
menunjukan kecantikannya sedangkan telapak tangan bisa mewakili
kehalusan kulit serta keseluruhan budi pekerti dan wataknya. Begitu juga bagi
wanita yang akan dipinang boleh-boleh saja melihat anggota tubuh, selain
anggota tubuh antara lutut sampai pusar pria yang akan meminangnya.
Selain ketentuan di atas, seorang laki-laki yang hendak meminang
disyaratkan pula mengetahui dan yakin bahwa wanita tersebut tidak bersuami
dan tidak dalam keadaan ‘Iddah Raj’iyyah, serta memiliki prasangka bahwa
lamarannya pasti diterima. Kemudian diperbolehkan pula Tikrar
5
(mengulangi) dalam melihat walaupun lebih dari tiga kali sampai jelas
keberadaannya agar nanti tidak ada penyesalan setelah menyatu dalam
pernikahan, akan tetapi apabila dengan melihat satu kali saja sudah cukup,
maka diharamkan untuk mengulanginya kembali, karena hukum
diperbolehkannya nadzru ini semata-mata karena Dlarurat, jadi walaupun
diperbolehkan tetap sebatas yang diperlukan saja. Sebagaimana dalam satu
Qo’idah:
�ق�د�ر�ه�ا �ق�د�ر� ب ة� ي ور� �لض�ر� �يح� ل �ب و�م�ا ا“Yang diperbolehkan karena dharurat, diukur menurut kadar keperluannya.”4
III. Tata Cara Ta’arufMenurutSyari’at Islam
Ketika melakukan ta'aruf, seseorang baik pihak laki-laki atau
perempuan berhak untuk bertanya yang mendetail, seperti tentang penyakit,
kebiasaan buruk dan baik, sifat dan lainnya. Kedua belah pihak harus jujur
dalam menyampaikannya. Karena bila tidak jujur, bisa berakibat fatal
nantinya.5Pihak yang ditipu akan merasa dizhalimi dan dicurangi, sehingga
mendendam pihak yang menipunya. Dapat dipastikan, pihak yang ditipu itu
akan merasa kecewa dan tidak puas dengan pernikahan tersebut, memandang
rendah pasangannya, dan tidak mempercayai pasangan yang pernah menipu,
mencurangi dan menutup-nutupi kebenaran darinya.6Dalam upaya ta’aruf
dengan calon pasangan, pihak laki-laki dan perempuan dipersilahkan
menanyakan apa saja yang kira-kira terkait dengan kepentingan masing-
masing nanti selama mengarungi kehidupan. Tapi tentu saja semua itu harus
dilakukan dengan adab dan etikanya. Tidak boleh dilakukan hanya berdua
saja, tetapi harus ada yang mendampinginya dan yang utama adalah wali atau
keluarganya. Jadi ta’aruf bukanlah bermesraan berdua, tapi lebih kepada
pembicaraan yang bersifat realistis untuk mempersiapkan sebuah perjalanan
4Yusuf Chudlori, Baity Jannaty: Membangun Keluarga Sakinah (Surabaya: Khalista, 2009) cet ke-I, hlm. 32-35.
5http://tugaskuliahtia.blogspot.com/2011/06/makalah-beda-taaruf-dengan- pacaran.htmldiakses pada tanggal 31 Mei 2013
6Syaikh Fuad Shalih, Untukmu Yang Akan Menikah & Telah Menikah(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005) cet ke-I, hlm. 130.
6
panjang berdua. Sisi yang dijadikan pengenalan tidak hanya terkait dengan
data global, melainkan juga termasuk hal-hal kecil yang menurut masing-
masing pihak cukup penting.
Misalnya masalah kecantikan calon istri, dibolehkan untuk melihat
langsung wajahnya dengan cara yang seksama, bukan hanya sekedar curi-curi
pandang atau mengintip fotonya. Justru Islam telah memerintahkan seorang
calon suami untuk mendatangi calon istrinya secara langsung face to face,
bukan melalui media foto, lukisan atau video.
Karena pada hakikatnya wajah seorang wanita itu bukan aurat, jadi
tidak ada salahnya untuk dilihat. Dan khusus dalam kasus ta`aruf, yang
namanya melihat wajah itu bukan cuma melirik-melirik sekilas, tapi kalau
perlu dipelototi dengan seksama. Periksalah apakah ada jerawat numpang
tumbuh disana. Begitu juga dia boleh meminta diperlihatkan kedua tapak
tangan calon istrinya. Juga bukan melihat sekilas, tapi melihat dengan
seksama. Karena tapak tangan wanita pun bukan termasuk aurat.
Selain urusan melihat fisik, ta’aruf juga harus menghasilkan data yang
berkaitan dengan sikap, perilaku, pengalaman, cara kehidupan dan lain-
lainnya. Hanya saja, semua itu harus dilakukan dengan cara yang benar dan
sesuai dengan koridor Syariat Islam. Minimal harus ditemani orang lain baik
dari keluarga calon istri atau dari calon suami. Sehingga tidak dibenarkan
untuk pergi jalan-jalan berdua, nonton, boncengan, kencan, dan sebagainya
dengan menggunakan alasan ta’aruf. Janganlah ta’aruf menjadi pacaran.
Sehingga tidak terjadi khalwat dan ikhtilat antara pasangan yang belum resmi
menjadi suami istri.
Bila kita cermati ayat atau hadits tentang pernikahan, maka kita akan
menemukan bahwa kita di anjurkan untuk menikah dengan orang yang kita
sukai. Dalam hal ini, suka menjadi “Hal” atau Syarat untuk menikah. Nabi
Muhammad saw. bersabda dalam sebuah hadits yang di riwayatkan oleh
imam Ahmad dengan sanad hasan dari Jabir Bin Abdillah Al-Anshari yang
menuturkan bahwa dia mendengar Rasulullah saw. bersabda “Jika salah
seorang di antara kalian hendak melamar seorang wanita dan mampu
7
melihat (tanpa sepengetahuan wanita tersebut), bagian dan anggota tubuh
wanita tersebut, sehingga bisa mendorongnya untuk menikahinya, maka
lakukanlah”.
Juga hadits yang dikeluarkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari
Sahl bin Sa’ad As-Saidi. Dia menceritakan bahwa ada seorang wanita yang
mendatangi Rasulullah saw. dan mengatakan “Wahai Rasulullah aku datang
untuk menghadiahkan diriku padamu”. Rasulullah saw. lantas
memandangnya dari atas sampai bawah, setelah itu menundukkan kepala.
Allah swt. berfirman dalam surat Al-Ahzab ayat 52 :
“Tidak Halal bagi kamu mengawini perempuan-perempuan sesudah itu,
tidak boleh pula mengganti mereka dengan istri-istri yang lain, meskipun
kecantikannya menarik hatimu”. (Al-Ahzab:52).
Juga Firman Allah swt. dalam surat An-Nisa ayat 3 :
“Maka nikahilah oleh kalian wanita yang kalian sukai”. Dari penjelasan ini
jelas bahwa Ta’aruf berfungsi untuk mengetahui hal-hal yang bisa membuat
kita tertarik / suka dan yakin akan menikahi orang tersebut.7
IV. Tujuan Dan Manfaat dari Berta’aruf
Perbedaan hakiki antara pacaran dengan ta’aruf adalah dari segi
tujuan dan manfaat. Jika tujuan pacaran lebih kepada kenikmatan sesaat, zina,
dan maksiat. Ta’aruf jelas sekali tujuannya yaitu untuk mengetahui kriteria
calon pasangan. Disamping itu manfaat berta’aruf yaitu agar kita tidak
terjebak pada ghurur. Ta’aruf bukan sekedar formalitas saja namun benar-
benar dilaksanakan untuk saling mengenal, mencari informasi akhlak, kondisi
keluarga, saling menimbang, dsb.8 Disamping itu terdapat tujuan dan manfaat
lain juga yang dapat diambil dari ta’aruf, yaitu:
Pertama, Ta'aruf itu sebenarnya hanya untuk penjagaan sebelum menikah.
Jadi kalau salah satu atau keduanya tidak merasa cocok bisa menyudahi
7http://tugaskuliahtia.blogspot.com/2011/06/makalah-beda-taaruf-dengan-pacaran.html diakses pada tanggal 31 Mei 2013
8http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Taaruf&oldid=6035957 diakses pada tanggal 01 Juni 2013
8
ta'arufnya. Ini lebih baik daripada orang yang pacaran lalu putus. Biasanya
orang yang pacaran hatinya sudah bertaut sehingga kalau tidak cocok sulit
putus dan terasa menyakitkan. Tapi ta'aruf, yang Insya’ Allah niatnya untuk
menikah Lillahi Ta'ala, kalau tidak cocok bertawakal saja, mungkin memang
bukan jodoh. Tidak ada pihak yang dirugikan maupun merugikan.
Kedua, ta'aruf itu lebih fair. Masa penjajakan diisi dengan saling tukar
informasi mengenai diri masing-masing baik kebaikan maupun
keburukannya. Bahkan kalau kita tidurnya sering ngorok, misalnya,
sebaiknya diberitahukan kepada calon kita agar tidak menimbukan
kekecewaan di kemudian hari. Begitu pula dengan kekurangan-kekurangan
lainnya, seperti mengidap penyakit tertentu, enggak bisa masak, atau yang
lainnya. Informasi bukan cuma dari si calon langsung, tapi juga dari orang-
orang yang mengenalnya (sahabat, guru ngaji, orang tua si calon). Jadi si
calon enggak bisa ngaku-ngaku dirinya baik. Ini berbeda dengan orang
pacaran yang biasanya semu dan penuh kepura-puraan. Yang perempuan
akan dandan habis-habisan dan malu-malu (sampai makan pun jadi sedikit
gara-gara takut dibilang rakus). Yang laki-laki biarpun lagi bokek tetap
berlagak kaya, traktir ini dan itu (padahal dapat duit dari minjem teman atau
hasil ngerengek ke orang tua).
Ketiga. Dengan ta'aruf kita bisa berusaha mengenal calon dan
mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya dalam waktu yang sesingkat-
singkatnya. Hal ini bisa terjadi karena kedua belah pihak telah siap menikah
dan siap membuka diri baik kelebihan maupun kekurangan. Ini akan
menghemat waktu yang cukup besar. Coba bandingkan dengan orang pacaran
yang sudah lama pacarannya, tetapi sering merasa belum bisa mengenal
pasangannya. Bukankah sia-sia belaka?
Keempat. Melalui ta’aruf kita boleh mengajukan criteria calon yang kita
inginkan. Kalau ada hal-hal yang cocok Alhamdulillah, tetapi bila ada yang
9
kurang cocok bisa dipertimbangkan dengan memakai hati dan pikiran yang
sehat. Keputusan akhirpun tetap berdasarkan dialog dengan Allah melalui
shalat istikharah. Berbeda dengan orang yang mabuk cinta dan pacaran.
Kadang hal buruk pacarnya, misalnya suka memukul, suka mabuk, tetap
diterimanya padahal hati kecilnya tidak menyukainya. Tapi karena cinta (atau
sebenarnya nafsu) terpaksa menerimanya.
Kelima. Kalau memang ada kecocokan, biasanya jangka waktu ta'aruf ke
khitbah (lamaran) dan ke akad nikah tidak terlalu lama. Ini bisa
menghindarkan kita dari berbagai macam zina termasuk zina hati. Selain itu
tidak ada perasaan "digantung" pada pihak perempuan. Karena semuanya
sudah jelas tujuannya adalah untuk memenuhi sunah Rasulullah yaitu
menikah.
Keenam. Dalam ta’aruf tetap dijaga adab berhubungan antara laki-laki dan
perempuan. Biasanya ada pihak ketiga yang memperkenalkan. Jadi
kemungkinan berkhalwat (berdua-duaan) menjadi semakin kecil, yang artinya
kita terhindar dari zina.9
BAB III
PENUTUP
9http://tugaskuliahtia.blogspot.com/2011/06/makalah-beda-taaruf-dengan-
pacaran.htmldiakses pada tanggal 31 Mei 2013
10
I. Kesimpulan
Ta’aruf secara syar`i memang diperintahkan oleh Rasulullah SAW
bagi pasangan yang ingin nikah. Perbedaan hakiki antara pacaran dengan
ta’aruf adalah dari segi tujuan dan manfaat. Jika tujuan pacaran lebih
kepada kenikmatan sesaat, zina, dan maksiat. Ta’aruf jelas sekali tujuannya
yaitu untuk mengetahui kriteria calon pasangan.“Bedanya dengan pacaran,
dalam ta’aruf disadari betul belum ada ikatan hukum. Bahkan, ikatan emosi
pun minim, sehingga tidak melahirkan “kewajiban,” seperti dalam pacaran,
harus mengantar, harus apel, dan lain sebagainya.”Salah satu dasar dari
ta’aruf adalah Al-Qur’an surat Al Hujurat ayat 13 yang berbunyi, “Hai
manusia sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-
suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia
di antara kamu di sisi Allah ialah orang paling bertakwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha mengenal.”Proses ta’aruf
diperbolehkan jika sesuai syariat yang telah ditentukan. Intinya taaruf
bertujuan mengenali pasangan sebelum menuju jenjang pernikahan.
II. Saran
Ta’aruf sangat penting bagi ikhwan dan akhwat yang akan menuju
jenjang pernikahan, karna:
A. Menjaga pandangan mata dan hati dari hal-hal yang diharamkan. (QS.
An-Nuur:30-31)
B. Materi pembicaraan tidak mengandung dosa dan tidak bermuatan
birahi. (QS. An-Nisa’: 114)
C. Menghindari khalwat/ berdua-duaan. “Barang siapa beriman kepada
Allah dan hari akhir, maka jangan sekali-sekali berkhalwat (berduaan)
dengan seorang wanita ditempat sunyi, sesungguhnya setan akan
menjadi orang ketiganya.” (HR. Ahmad)
11
D. Mengindari persentuhan fisik. Sabda Rasulullah saw. “sesungguhnya
aku tidak pernah bersalaman dengan wanita (bukan muhrim).” (HR.
Bukhari)
E. Menjaga aurat masing-masing sesuai aturan syar’i atau islam (batasan
aurat tubuh wanita adalah seluruh tubuhnya wajib ditutup kecuali muka,
telapak dan punggung tangan, sedang laki-laki batasan aurat dari lutut
hingga pusar). (QS. An-Nuur: 31)
DAFTAR PUSTAKA
12
M.A. Tihami, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap (Jakarta: Rajawali Pres, 2009).
Syaikh Fuad Shalih, Untukmu Yang Akan Menikah & Telah Menikah (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005) cet ke-I, hlm. 130.
Yusuf Chudlori, Baity Jannaty: Membangun Keluarga Sakinah (Surabaya: Khalista, 2009) cet ke-I, hlm. 32-35.
http://tugaskuliahtia.blogspot.com/2011/06/makalah-beda-taaruf-dengan-pacaran.html diakses pada tanggal 31 Mei 2013
http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Taaruf&oldid=6035957 diakses pada tanggal 01 Juni 2013
http://saif1924.wordpress.com/2008/01/02/penjelasan-seputar-ta%E2%80%99aruf-dan-walimah/ diakses pada tanggal 01 Juni 2013
13
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah swt. yang telah senantiasa memberikan rahmat dan
hidayah-Nya kepada kita semua, umat manusia. Shalawat serta salam tak lupa kita
ucapkan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad saw.
Atas berkat rahmat Allah swt. penulis dapat menyelesaikan makalah yang
membahas tentang ta’aruf sebelum nikah. Makalah ini merupakan tugas
terstruktur dari mata kuliah Bahasa Indonesia. Di dalamnya akan dibahas
mengenai permasalahan-permasalahan hubungan antara Akhwat dan Ikhwan,
serta penjabarannya dalam syariat islam.
Penulis berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi diri penulis
maupun para pembaca. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini
masih jauh dari kesempurnaan, maka penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari pembaca agar makalah menjadi lebih baik dan sempurna untuk
kedepannya.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan dapat sedikit
mewujudkan pengetahuan didalam lembaran ini, amin.
Ponorogo, 31 Mei 2013
Penyusun
14ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................ii
DAFTAR ISI...........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
A. Latar Belakang.......................................................................................1
B. Rumusan Masalah..................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................2
A. Pengertian ta’aruf...................................................................................2
B. Aturan ta’aruf dalam Islam....................................................................3
C. Tata cara berta’aruf menurut Syari’at Islam..........................................6
D. Tujuan dan manfaat berta’aruf menurut Islam.......................................8
BAB III PENUTUP................................................................................................11
A. Kesimpulan..........................................................................................11
B. Saran ....................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................14
15iii