syarat essai

27
3. Peserta wajib menyertakan pindaian (scan) kartu pelajar (untuk SMA), kartu tanda mahasiswa (untuk Mahasiswa), kartu tanda penduduk (untuk Umum) yang masih berlaku, dimuat di Lembar Pernyataan Originalitas naskah yang dikirimkan. C. Penulisan Esai 1. Judul bebas, sesuai tema kompetisi. 2. Format tulisan adalah esai, ditulis menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar. 3. Naskah ditulis menggunakan MS Word 97–2004, disimpan menjadi file *.doc (bukan file *.docx). 4. Cara Penamaan file: “Nama depan penulis-Judul Esai, 5. Contoh: Rhesya-Refleksi Kaum Muda Atas Tragedi 1965.doc 6. Format dokumen naskah: a. Ukuran kertas: A4 b. Margin atas: 2 cm c. Margin bawah: 2,5 cm d. Margin kiri: 3 cm e. Margin kanan: 2 cm f. Huruf: Times New Roman; ukuran 12 poin; rata kiri-kanan (justify); spasi 1,5 7. Urutan halaman naskah (Lembar Judul, Naskah Esai, dan Lembar Biodata) adalah sebagai berikut: a. Lembar Judul, 1 (satu) halaman, memuat: i. Tema Posisi tulisan: Di bagian paling atas halaman Huruf (Font): Times New Roman, 12 poin, Bold Italic, Align Center ii. Judul Esai Posisi tulisan: Beberapa spasi di bawah Subtema Huruf (Font): Times New Roman, 16 poin, Bold, Align Center iii. Ringkasan Esai Satu paragraf rangkuman tulisan, memaparkan persoalan yang dibahas penulis dan gagasan yang ditawarkannya. Posisi tulisan : Beberapa spasi di bawah Judul Esai Huruf (Font) : Times New Roman; 12 poin; Regular; Spasi 1,5; Justify Lihat contoh (Lampiran 1: Contoh Lampiran ). b. Naskah Esai, 5000-7000 karakter. Jika ada: gambar penjelas dan catatan kaki, catatan akhir (end note), atau daftar pustaka. c. Lembar Pernyataan Orisinalitas Karya, 1 (satu) halaman, memuat: i. Judul Naskah Esai ii. Nama Penulis/Peserta iii. Tempat & Tanggal Lahir iv. Pekerjaan

Transcript of syarat essai

3. Peserta wajib menyertakan pindaian (scan) kartu pelajar (untuk SMA), kartu tanda mahasiswa (untuk Mahasiswa), kartu tanda penduduk (untuk Umum) yang masih berlaku, dimuat di Lembar Pernyataan Originalitas naskah yang dikirimkan.

C. Penulisan Esai1. Judul bebas, sesuai tema kompetisi.

2. Format tulisan adalah esai, ditulis menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar.

3. Naskah ditulis menggunakan MS Word 97–2004, disimpan menjadi file *.doc (bukan file *.docx).

4. Cara Penamaan file: “Nama depan penulis-Judul Esai“,

5. Contoh: Rhesya-Refleksi Kaum Muda Atas Tragedi 1965.doc

6. Format dokumen naskah:

a. Ukuran kertas: A4

b. Margin atas: 2 cm

c. Margin bawah: 2,5 cm

d. Margin kiri: 3 cm

e. Margin kanan: 2 cm

f. Huruf: Times New Roman; ukuran 12 poin; rata kiri-kanan (justify); spasi 1,5

7. Urutan halaman naskah (Lembar Judul, Naskah Esai, dan Lembar Biodata) adalah sebagai berikut:

a. Lembar Judul, 1 (satu) halaman, memuat:

i. TemaPosisi tulisan: Di bagian paling atas halamanHuruf (Font): Times New Roman, 12 poin, Bold Italic, Align Center

ii. Judul EsaiPosisi tulisan: Beberapa spasi di bawah SubtemaHuruf (Font): Times New Roman, 16 poin, Bold, Align Center

iii. Ringkasan EsaiSatu paragraf rangkuman tulisan, memaparkan persoalan yang dibahas penulis dan gagasan yang ditawarkannya.Posisi tulisan : Beberapa spasi di bawah Judul EsaiHuruf (Font) : Times New Roman; 12 poin; Regular; Spasi 1,5; JustifyLihat contoh (Lampiran 1: Contoh Lampiran).

b. Naskah Esai, 5000-7000 karakter. Jika ada: gambar penjelas dan catatan kaki, catatan akhir (end note), atau daftar pustaka.

c. Lembar Pernyataan Orisinalitas Karya, 1 (satu) halaman, memuat:

i. Judul Naskah Esai

ii. Nama Penulis/Peserta

iii. Tempat & Tanggal Lahir

iv. Pekerjaan

v. Domisili (Alamat Surat)

vi. Alamat Email

vii. Telepon, Ponsel

viii. Pindaian (scan) kartu pelajar (untuk SMA), kartu tanda mahasiswa (untuk Mahasiswa), kartu tanda penduduk (untuk Umum) yang masih berlakuLihat contoh (Lampiran 2: Contoh Lampiran).

D. Pengiriman Karya (Naskah)1. Naskah disimpan dalam dua format:a. MS Word 97–2004 (file *.doc; bukan

*.docx) dan,b. Portable document format (file *.pdf).

2. Naskah (format *.doc dan *.pdf) dikirim sebagai lampiran (attachment) ke [email protected] Pada kolom subject email, tulis: “Nama depan penulis-Judul Esai”, contoh: "Rhesya-Refleksi Kaum Muda Atas Tragedi 1965"

3. Daftar naskah dipampang di: http://kompetisiesai.blogspot.com

4. Batas akhir pengiriman naskah: Selasa, 30 November 2010, pukul 24.00 WIB.

E. Seleksi Naskah dan Penjurian

1. Tahap penilaian terdiri dari:

a. Seleksi naskah oleh Panitia; Naskah yang tidak lolos seleksi karena

kesalahan administratif bisa dikirim ulang sebelum tenggat, 30 November

2010.

b. Penjurian oleh Dewan Juri.

2. Keputusan Dewan Juri adalah mutlak, tidak dapat diganggu-gugat.

3. Aspek yang dinilai (bobot penjurian):

No. ASPEK PENILAIAN URAIAN BOBOT

1.Gagasan: Orisinal, Kreatif, Aktual

Orisinal: gagasan baru, belum pernah dipublikasikan sebelumnyaKreatif: gagasan menunjukkan pemahaman baru penulis atas persoalan yang dibahasAktual: gagasan sesuai kekinian (ada fakta dan data)

35%

2.Kesesuaian dengan Tema/Subtema

Esai selaras dengan dan tidak menyalahi tema atau subtema kompetisi yang ditentukan.

10%

3. Tuturan/Penulisan

Esai ditulis dengan gaya bahasa yang komunikatif, relatif mudah dipahami. Cara bertuturnya menunjukkan pemahaman penulis yang mendalam terhadap pokok bahasan.

20%

4. ArgumentasiAlur berpikir penulisnya tertib dan jelas (mudah dirunut).

35%

Dongeng G 30 S

“Untung ada Soeharto!” ucap Adi suatu siang di lapangan sekolah.

“Kok Soeharto? Untung ada Untung yang benar!” bantah Rudi.

“Nggak, Soeharto yang benar. Buktinya dia yang jadi presiden.”

“Ah, dia licik. Kalau nggak dibunuh, Untung yang benar. Dia yang susah payah menyelamatkan Presiden Sukarno. Sukarno yang benar.”

“Soeharto. Sukarno diktator.”

“Sukarno. Soeharto licik, antek asing. Makanya dia gulingkan Sukarno karena kalau ada Sukarno investasi asing nggak bisa masuk. Indonesia nggak bisa maju.”

“Soeharto, titik!”

“Sukarno!”

Adi dan Rudi yang sama-sama ngotot pun tak menemui kata sepakat. Mereka berdua lalu mencari cara. Mendatangi Histo –teman sekelas yang jago sejarah– menjadi pilihan mereka untuk memecah kebuntuan, akhirnya.

“Oke, ntar sore jam lima kita ketemu di rumah Histo. Kita lihat siapa yang benar di antara dua tokoh itu,” ujar Adi.

“Sip. Siapa takut,” balas Rudi.

Jam 04.30 sore di rumah Histo. Adi dan Rudi hampir bersamaan datang. Mereka berdua disambut pembantu rumah dengan ramah. Setelah memberitahu perihal kedatangan mereka, Adi dan Rudi dipersilakan masuk. Histo lalu menemui mereka dan mengajak ke kamarnya. Pemaparan pun dimulai.

“Begini,” kata Histo perlahan, sembari duduk di kursi sandarnya, “apa yang kalian perdebatkan itu (baca: G 30 S) tidak sesederhana yang kalian pikirkan. Peristiwanya sangat kompleks. Banyak kepentingan, orang yang terlibat, motif dan lain sebagainya yang ikut berperan di dalamnya. Dan kesemuanya itu, kalau tidak terjadi secara simultan, ya hampir bersamaan.”

“Kompleks bagaimana, Hist maksudnya?” tanya Adi.

“Iya, kompleks. Sangat kompleks. Benang kusut pun kalah ruwet-nya. Peristiwa G 30 S ini bukan peristiwa yang berdiri sendiri, melainkan akumulasi dari banyak peristiwa dan lain sebagainya yang jadi faktor pemicunya,” jawab Histo.

“Oke kalau begitu teruskan, Hist. Kau Adi, jangan menyela saja,” pinta Rudi.

Wajah Adi merah akibat omongan Rudi. Sedangkan Histo mesti sempat kaget, cukup dingin. Dia lalu melanjutkan penjelasannya sembari menawarkan suguhan minuman dingin kepada kedua kawannya itu.

“Baik, saya akan teruskan. Tapi perlu kalian ingat sebelumnya, penjelasan yang saya sampaikan hanya berdasarkan fakta-fakta yang saya dapat dari bahan bacaan dan film-film yang pernah saya tonton. Penelusuran lebih jauh, semisal wawancara kepada orang yang paham atau para saksi hidup, belum pernah saya lakukan. Jadi jangan berharap saya bisa memberi jawaban komprehensif dan absolut kebenarannya. Jangankan saya, para ahli pun tidak ada yang bisa menemukan jawabannya secara komprehensif. Apalagi saya yang hanya pelajar SMU. Dan karena G 30 S ini begitu rumit, penjelasan akan saya persingkat saja. Poin-poin pentingnya yang saya tekankan. Biar kalian tidak makin bingung dibuatnya. Konsekuensinya, tentu saja jawaban kian tidak komprehensif.”

“Sejak kabar sakitnya Presiden Sukarno makin santer terdengar, para politisi dan pihak-pihak yang berkepentingan terhadap Indonesia saat itu jadi kian gelisah. Mereka bertanya-tanya, siapa yang bakal menggantikan Sukarno. Spekulasi pun banyak bermunculan. Hal itu makin menambah kekisruhan keadaan.”

Jeda sesaat, Histo melanjutkan lagi: Waktu itu Demokrasi Terpimpin sudah hampir lima tahun berjalan. Salah satu ciri paling mencolok dari Demokrasi Terpimpin adalah adanya tiga pilar yang menopangnya. Pertama, Sukarno; kedua, Angkatan Darat (AD); dan ketiga, PKI. Dua pilar selain Sukarno sejak lama saling bermusuhan. Maka itu ketika kabar sakitnya Sukarno kian banter, keduanya rebutan pengaruh untuk mendapatkan simpati presiden. Masing-masing mengklaim sebagai “penjaga” sah presiden.

Dari luar, banyak pihak yang berkepentingan terhadap negeri kita. Waktu itu dunia sedang terpolar pada dua kutub, Barat dan Timur. Perang Dingin. Di pihak Barat, Amerika (AS) sangat menaruh perhatian karena kekayaan sumber daya alam dan letak strategis negeri kita sangat penting bagi kepentingan politik luar negeri dan ekonominya. Sedangkan Inggris menaruh perhatian lebih kepada faktor regional di mana dua negara persemakmurannya, Malaya dan Singapura, berada tak jauh dari Indonesia. Inggris takut kedua negara persemakmurannya itu "ketularan" komunis, sebab Indonesia waktu itu sudah cenderung ke kiri. Dari blok Timur, Uni Soviet dan China menganggap penting mempertahankan Indonesia. Kedua negara itu merasa sejalan dengan paham politik Presiden Sukarno. Mereka berupaya keras menjaga Indonesia dari pengaruh kapitalisme Barat.

Baik blok Barat maupun blok Timur, keduanya terus aktif menjaga kontak dengan orang-orangnya yang ada di Indonesia. Orang mereka ataupun orang lokal yang berafiliasi kepada mereka.

Di dalam negeri sendiri perpecahan tetap tak terelakkan. Selain perbedaan politik dua pilar di samping Sukarno tadi, masing-masing pilar itupun tak bebas dari perpecahan di dalam. Di tubuh AD sendiri ada perpecahan antara mereka yang bergaya hidup glamor dengan mereka yang tidak –umumnya mereka perwira menengah progresif. Para perwira menengah progresif ini umumnya

bersahaja dari sisi ekonomi. Meski termasuk perwira tinggi senior, Soeharto masuk ke dalam golongan ini.

Nah, dalam hubungan sama sakitnya Sukarno yang makin parah dan makin santernya isu Dewan Jenderal, para perwira progresif tadi lalu berinisiatif mengambil tindakan. Alasan mereka, untuk menyelamatkan presiden dari kudeta para jenderal di Dewan Jenderal. Dewan Jenderal yang mereka maksud adalah sebuah dewan yang terdiri dari jenderal-jenderal kontra revolusioner, yang  dengan bantuan nekolim (neo kolonialisme) seperti AS, Inggris dan lain sebagainya akan menggulingkan kekuasaan Sukarno. Isu Dewan Jenderal berawal dari ditemukannya Dokumen Gilchrist (Andrew Gilchrist), staf di Kedubes Inggris di Jakarta. Dalam dokumen itu dikatakan mengenai rencana sebuah gerakan penggulingan Sukarno dengan bantuan, "our local army." 

Para perwira progresif tadi pun mereka terus mematangkan rencana. Mereka membentuk kelompok yang mereka  namakan Gerakan 30 September (G 30 S). Nama itu mereka ambil berdasarkan tanggal gerakan yang akan mereka lakukan. Gerakan yang dimaksud adalah gerakan menghadapkan para jenderal yang mereka duga kontra-revolusioner, ke hadapan Bung Karno. Soeharto tidak termasuk ke dalam nama-nama jenderal yang bakal mereka culik. Di kemudian hari, hal ini jadi tanda tanya besar salah satunya karena Soeharto termasuk dalam perwira senior AD. G 30 S terdiri dari perwira-perwira Angkatan Darat, Angkatan Udara, dan sedikit Angkatan Laut serta Angkatan Kepolisian.

“Hmmm...seru juga ya ternyata. Oke, lanjutkan lagi, Hist!” ujar Adi.

“Baik. Tapi itu minuman dan jajanannya sambil disantap lho,” balas Histo sambil agak bercanda.

“Gerakan 30 September ini sendiri sangat "lucu". Paling tidak bisa dilihat dari hierarki kepemimpinannya, terlihat jelas kejanggalannya. Pemimpin gerakan, Untung, berpangkat Letnan Kolonel. Sedangkan wakilnya, A. Latief, berpangkat Kolonel dan Soepardjo berpangkat Brigadir Jenderal. Dalam tubuh militer, hal itu sangat tak masuk akal. Untung dan Latief ini merupakan orang yang sangat dekat dengan Soeharto sejak masa revolusi fisik di Jogja.”

Histo melanjutkan lagi: Gerakan itu akhirnya mencapai mufakat:  menghadapkan para jenderal kontra revolusioner ke presiden Sukarno pada 1 Oktober. Beberapa jam sebelum operasi berjalan (30/9/65), Kolonel Latief sempat memberitahu Soeharto di rumah sakit bahwa akan diadakan gerakan penculikan beberapa saat lagi. Soeharto cuma diam. Sewaktu Hari H, G 30 S  bergerak dari markasnya di Desa Lubang Buaya, Jakarta Timur yang tak jauh dari Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma. Mereka dibagi dalam tiga kelompok dan bergerak ke sasaran masing-masing.

Di kemudian hari, nama Desa Lubang Buaya ini mencoreng nama baik Angkatan Udara (AURI). AURI dianggap mendukung gerakan itu. Sebab, Lubang Buaya dikatakan merupakan zona milik AURI. Padahal, Lubang Buaya yang dijadikan markas G 30 S sebenarnya berada di luar Lanud Halim Perdanakusuma. Lubang Buaya yang ada di Lanud Halim adalah nama dropping zone, tempat untuk latihan terjun payung. Dua hal berbeda yang kebetulan sama nama.

Dalam aksi G 30 S itu, tiga jenderal – yakni Menteri/Panglima Angkatan Darat A. Yani, Mayjen MT Haryono, dan Brigjen DI Pandjaitan– tewas di rumahnya masing-masing. Empat target yang masih hidup lalu dibawa ke markas mereka dan dihabisi di sana. Satu jenderal paling senior, AH

Nasution, berhasil luput dari penangkapan itu meski anak bungsunya tewas terkena peluru pasukan penculik. Perintah bunuh itu datang secara spontan, artinya tak direncanakan sejak semula.

Pasukan G 30 S lalu menduduki Medan Merdeka Selatan dan Barat serta RRI. Pukul 07.00 Letkol Untung  melakukan siaran radio di RRI, memberitahu bahwa komplotannya telah melakukan gerakan penyelamatan presiden. Dia mengumumkan beberapa nama -yang asal catut- penting yang mendukung gerakan itu selain juga mereformasi militer dengan menjadikan Letnan Kolonel sebagai pangkat tertinggi. Dia menyeru agar di daerah-daerah segera dibentuk badan yang mendukung gerakan. Hingga siang hari, pasukan di sekitar lapangan Monas itu tetap tinggal diam menunggu perintah. Pasukan itu merupakan batalyon-batalyon dari Kodam Diponegoro dan Brawijaya yang sebetulnya akan menghadiri upacara HUT TNI 5 Oktober. Baik kedua pasukan itu maupun orang awam, semua dibuat bingung oleh keadaan. Mereka tidak tahu mana kawan mana lawan.

Di Merdeka Timur, di markas Kostrad, Soeharto menyusun gerakan untuk menghancurkan G 30 S. Pasukan yang mengepung lapangan Monas itu akhirnya berhasil dia jinakkan sore harinya tanpa satu peluru pun yang keluar. Soeharto lalu memerintahkan pasukan elit RPKAD menggempur markas G 30 S di Lubang Buaya. Mulai saat itu secara de facto Soeharto menjadi panglima Angkatan Darat. Dari segi aturan, tindakan itu tidak bisa dibenarkan. Soeharto beberapa kali  melakukan insubordinasi –sebuah tindakan pembangkangan dalam dunia militer. Dia tak patuh perintah atasan, yakni Presiden Sukarno selaku panglima tertinggi Angkatan Bersenjata).

Peran Soeharto kian tampak dibandingkan masa-masa sebelumnya yang hanya sebagai panglima Kostrad. Dia bukan saja berhasil menjinakkan pasukan-pasukan yang menjadi musuhnya, manuver-manuver politiknya pun turut membuatnya kian kuat dan diperhitungkan dalam pentas perpolitikan nasional. 

Momen menentukan kemudian dia dapatkan ketika dirinya berhasil memaksa Presiden Sukarno mengeluarkan Surat Perintah 11 Maret (Supersemar). Dengan Supersemar yang berhasil dia dapatkan melalui perantara tiga jenderalnya (Mayjen Basuki Rachmat, Brigjen M. Jusuf, dan Brigjen Amir Machmud) itu, Soeharto lalu melakukan banyak tindakan politik. Sehari setelah keluarnya surat perintah itu, Soeharto membubarkan PKI –saingan terkuat AD- pada 12 Maret. Meski Sukarno murka dan lalu mengeluarkan surat perintah 13 Maret untuk mengoreksi tindakan Soeharto, dia tetap tak peduli. Dia lalu membasmi PKI sampai ke akar-akarnya. Pembunuhan terhadap para anggota dan mereka yang diduga PKI terjadi di berbagai daerah, terutama di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Bali. Soeharto juga terus menggerogoti kekuasaan presiden Sukarno. Orang-orang yang pro Sukarno dia singkirkan. DPRS dan MPRS dia isi dengan orang-orangnya. Militer juga dia konsolidasikan dengan menaruh orang-orang yang pro kepadanya pada posisi-posisi penting. Melalui MPRS Soeharto meningkatkan status hukum Supersemar. Puncaknya terjadi ketika Soeharto –yang sebelumnya mendudukkan Nasution ke kursi ketua MPRS sebagai upaya untuk menghilangkan saingan dalam menuju kursi RI 1– berhasil meng-impeach Sukarno. Tak lama setelah itu Soeharto lalu ditetapkan sebagai Pejabat Presiden dan setahun kemudian dia menjadi presiden.

Di kemudian hari, Supersemar menjadi masalah besar. Terutama menyangkut legalitas pemerintahan Orde Baru pimpinan Soeharto. Sebab, sebetulnya Supersemar hanya surat perintah pengamanan keadaan, bukan surat penyerahan kekuasaan politik. Soeharto wajib melaporkan tiap tindakan pengamanan yang diambilnya kepada Presiden Sukarno. Tapi itu tidak Soeharto lakukan dan bahkan menyalahgunakan surat perintah itu jauh melampaui batas kewenangan. Lucunya, waktu Soeharto berkuasa, Supersemar dinyatakan hilang. Yang ada hanya kopiannya saja. Itu pun ada beragam versi. Suatu keanehan yang hampir tak mungkin terjadi secara kebetulan tentunya.

Setelah menjadi presiden, nasib orang-orang yang tak sejalan dengan dengan Soeharto menjadi nahas. Presiden Sukarno pun tak terkecuali. Dia menjadi tahanan rumah yang mengenaskan hingga wafatnya pada 1970. Orang-orang PKI dan orang-orang yang dituduh PKI serta orang kiri lainnya dibuang ke Pulau Buru di samping banyak yang dibunuh. Mereka dihukum tanpa melalui proses pengadilan terlebih dulu. Penulisan sejarah dimonoversikan. Banyak manipulasi di dalamnya dan itu dipaksakan jadi konsumsi masyarakat dari tingkat sekolah dasar hingga para pejabat. Propaganda bahwa PKI jahat terus disiarkan melalui film, peraturan perundang-undangan dan lain sebagainya. Selama tiga dasawarsa lebih berkuasa, Soeharto berhasil mencuci otak rakyat Indonesia. 

Versi sejarah buatan Soeharto inilah yang hingga kini masih paling banyak diterima. Mereka yang menerima umumnya karena tidak tahu. Ketika Soeharto terguling oleh reformasi pada 1998, banyak orang yang selama 30 tahun dibungkam pun angkat bicara. Pertanyaan demi pertanyaan mengenai keabsahan kekuasaan Soeharto pun terus mengalir deras.

“Ooo..begitu tho ceritanya,” ucap Adi.

“Tuh kan, apa ku bilang, Soeharto jahat,” sahut Rudi.

“Lepas dari terlibat atau tidaknya dia dalam G 30 S, kudeta merangkak dan lain sebagainya, Soeharto tetap penjahat kemanusiaan,” tutup Histo.

 

Pelaku Sejarah Tak Bisa Lupakan Tragedi 1965Sabtu, 29 September 2007 10:36 WIB | Peristiwa | | Dibaca 4368 kali

Kediri (ANTARA News) - Para pelaku sejarah tak bisa melupakan tragedi berdarah di Desa Kanigoro, Kecamatan Kras, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, yang terjadi pada tahun 1965.

"Kami sudah berusaha mencoba melupakannya, tapi tragedi itu tetap saja tak bisa sirna dari ingatan masa lalu yang kelam itu," kata Akhyar, salah seorang saksi mata Tragedi Kanigoro saat ditemui di MTs Negeri Kanigoro, Sabtu.

Pria berusia 59 tahun yang sehari-sehari bekerja sebagai tenaga pesuruh di Madrasah Tsanawiyah Negeri tertua di Kediri itu menuturkan, tragedi yang terjadi pada 19 Januari 1965 masih terekam jelas dalam ingatannya.

"Saat itu ada sekitar 100 orang PII (Pelajar Islam Indonesia) dari seluruh daerah di Jawa Timur yang sedang mengikuti rapat bersama di Masjid At Taqwa usai salat subuh. Tiba-tiba datang segerombolan orang berpakaian hitam-hitam menyerang mereka," kata Akhyar yang saat itu bertugas mengamankan kegiatan tersebut.

Ia dan beberapa panitia keamanan acara tersebut tak berdaya menghadapi aktivis dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) berpakaian hitam-hitam dengan jumlah mencapai 10.000 orang, pimpinan Suryadi yang langsung menyeruak ke dalam masjid membubarkan acara PII itu.

"Saya dan beberapa teman langsung digelandang ke kantor kecamatan dan kantor polisi yang ada di Kras. Kalau saat itu kami melawan, sudah barang tentu banyak jatuh korban jiwa di pihak kami," kata pria delapan anak dan tujuh cucu itu mengenang.

Karena masih tetangga dekat dengan Suryadi, Akhyar mengaku lebih beruntung dibandingkan dengan rekan-rekannya yang mengalami penyiksaan hebat. Bahkan ada diantaranya tewas dalam peristiwa berdarah yang terjadi 42 tahun silam itu.

Ia menyebutkan, saat peristiwa itu terjadi, PKI telah menguasai seluruh pelosok Kediri, bahkan pejabat pemerintahan, kepolisian, dan tentara dikuasai oleh orang-orang dari partai pimpinan DN Aidit itu. Di Desa Kanigoro sendiri, perbandingan kalangan santri seperti Akhyar dengan orang komunis adalah 1:25.

"Sedangkan saat Tragedi Kanigoro itu terjadi, memang PKI sedang giat-giatnya memberangus orang-orang Masyumi. Mereka ini melihat PII sebagai underbouw dari Masyumi," katanya menuturkan.

Belakangan dia menyesalkan, hasil penelitian yang dilakukan para mahasiswa dan ahli sejarah yang 

mengaburkan fakta terjadinya tragedi berdarah di Kanigoro itu.

Oleh sebab itu, para saksi hidup, termasuk Akhyar, sebelumnya sempat menolak ketika diwawancarai mengenai tragedi itu.

"Mohon maaf kalau tadi saya sempat menolak, lantaran di tengah kami berusaha melupakan peristiwa itu ada penelitian yang seakan-akan kami bersalah," katanya kepada ANTARA News di tengah-tengah wawancara.

Ia mengakui, setelah meletus Gerakan 30 September 1965 atau G-30S/PKI, warga masyarakat Kediri berhasil melakukan serangan balik dengan melucuti para pengikut PKI.

Desa Kanigoro dijadikan ajang pembantaian orang-orang PKI, dan mayat mereka dimasukkan ke dalam sebuah tanah galian besar yang saat ini dikenal oleh warga masyarakat sekitar dengan sebutan Makam Parik.

Demikian dengan Moningah (60) yang juga masih teringat dengan peristiwa pembantaian 1965 di Desa Kanigoro. "Kami ini sebenarnya orang kecil yang tidak tahu apa-apa dengan peristiwa itu," kata istri Sukani (63), salah satu pengurus PKI di Desa Kanigoro itu.

Ia mengaku, telah kehilangan sejumlah kerabatnya dalam peristiwa berdarah yang terjadi dalam rentang September hingga Oktober 1965. "Tentu saya masih ingat peristiwa berdarah itu," kata perempuan dengan pandangan menerawang mengingat peristiwa yang terjadi saat dia masih berusia 18 tahun itu.

Tidak hanya kerabat dan anggota keluarganya yang menjadi korban, namun haknya sebagai warga negara diberangus.

Sampai-sampai, anak semata wayangnya tak mendapatkan kesempatan mengenyam pendidikan yang lebih tinggi, sehingga sehari-hari kerjanya hanya membantu Sukani mencetak gorong-gorong di rumahnya di Desa Kanigoro.(*)

COPYRIGHT © 2007

Ikuti berita terkini di handphone anda http://m.antaranews.com

http://www.antaranews.com/view/?i=1191036971&c=NAS&s=

ICTJ in the News

January 10, 2010

Negara Jangan Cuci Tangan atas Tragedi 1965 (Indonesian only)

Kabar Indonesia

By Yoseph Tugio Taher

Dalam rangka Memperingati 61 tahun Hari Hak Asasi Manusia Sedunia, 10 Desember 2009 yang lalu, Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966 (YPKP 65) telah menyelenggarakan diskusi publik sehari di Jakarta, dengan tema "Penggungkapan Kebenaran Peristiwa 1965 untuk Keadilan Bagi Korban"

Ruth Indiah Rahayu, yang bertindak selaku moderator, memberikan pandangannya dengan mengatakan bahwa "Peristiwa 1965 diawali dengan pembunuhan para perwira Angkatan Darat (AD) pada 1 Oktober 1965. Produk sejarah Orde Baru menyalahkan Partai Komunis Indonesia (PKI) atas peristiwa itu. Namun, saat ini banyak bukti sejarah dan kajiannya mengerucut pada keterlibatan AD pimpinan Mayor Jenderal Soeharto yang didukung Amerika, Inggris, CIA, dan sekutunya. Pembunuhan para perwira AD mengantarkan Soeharto berkuasa di puncak pemerintahan secara fasis. Pembunuhan yang ditimpakan kepada PKI itu pula menjadi dalih pembunuhan jutaan simpatisan dan anggota PKI. Lebih dari itu, peristiwa 1965 merupakan batas jaman dari arus maju kebangkitan nasional di bawah panji revolusi menuju kondisi negara bangsa yang terpuruk dalam berbagai dimensi dan level. Atas dasar itu, penuntasan peristiwa pembunuhan massal 1965 merupakan kunci kotak pandora dari berbagai persoalan yang sedang kita hadapi. Terbukanya kotak pandora itu menjadi refleksi yang dapat mengarah pada bola salju gerakan revolusioner rakyat untuk perubahan"

Rapat di hari pertama dengan mengambil tempat di Aula Wisma Kinasih, Cimanggis, Depok, Jawa Barat, dibuka secara resmi oleh Ketua Panitia Temu Nasional saudara Heru Suprapto pada pukul 20.00 WIB tanggal 8 Desember 2009. Sedang di hari kedua 9 Desember 2009, rangkaian acara Temu Nasional Korban 65 YPKP 65 dilanjutkan dengan Diskusi Publik bertempat di Auditorium Pusat Studi Jepang Universitas Indonesia Depok, dengan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya sebagai pembukaan.

Pada Diskusi Publik Sesi Pertama, tampil sebagai nara sumber: Heru Atmodjo, mantan perwira AURI tahun 1965, yang menjadi saksi mata dan telinga yang mengetahui detik-detik Tragedi Kemanusiaan 1965/1966, Samsul Hilal seorang anggota DPRD dari Sumatera Utara yang ketika pada tahun 1965 mengetahui perjuangan rakyat Indonesia dalam semangat anti imperialisme dan kolonialisme. Juga Ibu Manismar, seorang aktivis perempuan, mantan anggota GERWANI (Gerakan Wanita Indonesia) Sumatra Barat yang gigih memperjuangkan emansipasi kaum wanita dan Anti Poligami. Beliau pernah ditahan pada masa PRRI/Permesta dan juga ketika tragedi 1965.

Diskusi publik juga menghadirkan ibu Galuh Wandita dari ICTJ yang mengupas peluang perjuangan dalam konteks masa transisi dari kekuasaan otoritarian Suharto ke demokrasi. Diskusi Publik ini dipandu oleh mbak Iyut, seorang aktivis perjuangan kaum perempuan dan kini aktif di PRP (Perhimpunan Rakyat Pekerja). Sesi pertama ini ditutup dengan paparan sejarawan Baskara T. Wardaya dari Universitas Gajah Mada Yogyakarta Sesi berikutnya mendengarkan paparan dari Komnas Perempuan dan dosen ilmu politik dari Universitas Indonesia Depok Bapak Iwan Gandono. Pak Siswoyo dari Pati, Jawa Tengah Ibu Nadiani S. dari Bukittinggi Sumatra Barat, Ibu Veronica Sumini Martono dan Ibu Manismar.

Di hari ketiga 10 Desember 2009 pukul 10.00, rangkaian Temu Nasional Korban 65 yang diselenggarakan oleh YPKP 65 diisi dengan Aksi Solidaritas memperingati Hari Hak Asasi Manusia Internasional. Setelah mengadakan Aksi di Bundaran Hotel Indonesia, kemudian massa aksi Korban 65 YPKP 65 menuju ke istana RI di jalan Medan Merdeka Utara untuk bergabung dengan massa aksi yang dikoordinasikan oleh Aliansi NGO: Kontras, IKOHI, UPC, Petani Batang, Jawa Tengah dan Rakyat Miskin, Kaum Buruh, Mahasiswa dan Pemuda..

Diperkirakan 2000 massa aksi berkumpul dan menyuarakan tuntutan-tuntutannya, diantaranya lebih kurang 150 peserta Temu Nasional yang umumnya adalah mantan tahanan politik semasa rejim Suharto yang usianya di antara 60 tahun - 76 tahun dengan bersemangat berjalan berdemonstrasi di bawah spanduk berukuran 3 X 1 meter bertuliskan "Negara Jangan Cuci Tangan atas Tragedi 65", diusung oleh massa aksi Korban 65 YPKP 65 di depan Istana Merdeka RI, untuk mengingatkan pemerintah bahwa selama ini Pemerintah cenderung kepada "cuci tangan" dan tidak ambil peduli dengan pembantaian massal 1965 dan derita para korban dan sanak keluarganya.

Tragedi Kemanusiaan 1965/1966 adalah nyata-nyata Kejahatan Kemanusiaan, karena Genosida (Pembunuhan massal) itu bersifat meluas, massal dan sistematis, pemusnahan secara sistematis terhadap kelompok orang, karenanya Pemerintah Indonesia tidak bisa begitu saja melupakan atau pun cuci tangan. Pengabaian atas tindak pelanggaran HAM dapat dikategorikan sebagai tindak kejahatan kemanusiaan

Bedjo Untung Ketua YPKP 65 dalam orasinya mengatakan: "Pemerintah /Negara RI harus bertanggung jawab atas pembunuhan massal 1965/1966. Jutaan manusia telah menjadi korban sia-sia. Keluarga yang ditinggalkan harus menanggung stigmatisasi dan diskriminasi. Pengadilan HAM ad hoc, menurut amanat UU No. 26/Tahun 2000, harus segera digelar untuk mengadili para pelaku penjahat HAM. Pulihkan kembali hak-hak ekonomi, politik dan budaya para korban yang dirampas secara tidak sah. Hukum harus ditegakkan. Barang siapa yang bersalah harus dihukum. Tidak ada impunitas. "Kami orang-orang yang sudah tua renta ingin kedamaian; kami cinta damai tetapi lebih cinta keadilan dan kebenaran" demikian Bedjo Untung.

Untuk menghindari orang-orang yang tidak bertanggung jawab yang dimungkinkan sengaja akan menyusup dan mengacaukan jalannya aksi, dipasanglah tali pembatas diluar aksi demontrasi. Aksi ini dikawal oleh aparat polisi yang bekerja secara professional dan bersahabat sampai berakhirnya Aksi. Semuanya berjalan lancar.

Aksi berlangsung tertib, mengundang simpati para pengguna jalan. Pesan yang disampaikan cukup mengena sasaran, yaitu fokus pada Tragedi Kemanusiaan 1965/1966 yang oleh pemerintah sengaja dilupakan. Aksi diliput oleh media elektronik/pers antara lain Indosiar, Metro TV dan TV One, Kompas dan Cameraman Lexy dari Off Stream (yang membuat film Shadow Play, penggalian kuburan massal di Wonosobo, Jawa Tengah).

Demikian berita yang kuterima dari Bedjo Untung, Ketua YPKP 1965 di Jakarta, yang menceritakan sekitar "diskusi publik dan demonstrasi menyambut Hari Peringatan HAM Se dunia" pada 10 Desember 09 yang lalu dengan disertai gambar-gambar (foto) yang memperlihatkan bagaimana bapak/ibu yang telah lansia dan jompo dan tubuh yang rapuh disebabkan derita paksaan yang ditimpakan oleh rezim Orba/Suharo atas mereka, berjalan dengan semangat membawa spanduk untuk menggugah hati dan pikiran pemerintah.

Melihat gambar-gambar yang dikirim kepadaku tersebut, hati ini merasa pilu dan trenyuh, dan tanpa disadari sesuatu menggenang di pelupuk mata. Kulihat betapa tubuh-tubuh tua renta dengan jiwa yang masih penuh semangat berbicara, berorasi dan demonstrasi menuntut keadilan kemanusiaan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang mengakui HAM seperti yang tercakup dalam Tap MPR No.XVII/MPR/1998.

Kulihat dalam gambar wajah-wajah Bedjo Untung dan Kumpul Ginting dari Medan.yang mengapit Ir. Sasmaya, dalam kapasitasnya sebagai seorang insinyur yang menamatkan sekolahnya di ITB kemudian melanjutkan ke Australia. Berhasil membangun jalan lintas Kalimantan di jaman pemerintahan Presiden Sukarno. Namun kemudian ditahan oleh rejim Suharto selama puluhan tahun di Samarinda tanpa alasan yang jelas dan tanpa melalui proses hukum.

Bung Yoyo dari Banyuwangi, Bapak Haji Satar Baskara dari Gresik Jawa Timur, Supardi dari Pati, Bapak Rahman dari Bandung, Ibu Nadiani dari Bukittinggi, Ibu Veronica Sumini Martono dari Tangerang serta Ibu Manismar dari Sumatera Barat serta Victor da Costa dari Kontras. Bung Amir Suripno dari Wonogiri Bapak Datuk Putih dari Sumatera Barat, Bapak A. Muaz Korban 65 dari Pesisir Selatan Sumatra Barat. Bapak Slamet dari perwakilan YPKP 65 Lampung Bapak Sanuar dari Sumatera Barat, Bapak Samin dari Kepulaua Riau dan banyak lainnya lagi. Bapak Susiswo Ketua YPKP 65 Cabang Tegal dalam menyampaikan laporan kerjanya, menyatakan bahwa "Sangat sulit untuk mencari kader penerus di jajaran Korban 65, karena umumnya masih takut, dan trauma berat. Aparat militer masih menakut-nakuti dan tidak jarang sering memanggil mantan tapol mirip dengan interogasi. Lagi pula, keadaan ekonomi yang serba sulit menjadikan para mantan tapol lebih baik mencari makan untuk bertahan hidup. Pemerintah tidak pernah memikirkan kita. Kitalah yang harus berjuang".

Pak Kris yang berjenggot panjang dari Sumatera Barat, meski jarak jauh harus ditempuh untuk ke Jakarta, 3 hari 2 malam dengan menggunakan bus, merasa keinginannya terkabul untuk meneriakkan kebenaran, "Kita ini salah apa, kita ini yang paling konsekwen membela UUD 1945 dan Pancasila, konsekwen mempertahankan NKRI, tidak berontak, kenapa harus ditahan, dibuang ke Nusakambangan, Pulau Buru tanpa melalui proses hukum? Di mana keadilan?"

Sedang Ibu Nadiani, mantan seorang guru, korban tragedi kemanusiaan 1965 dari Bukittinggi, Sumatera Barat, membacakan puisinya, "Kami putra putri Sumatera Barat, yang berjuang demi tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia tercinta, yang menjadi Korban keganasan PRRI/PERMESTA, ibarat belum kering airmata kini datang malapetaka tragedi 1965. Kami diburu, dikejar, dibunuh, ditahan, disiksa. Inikah Pancasila? Di manakah peradaban?"

A Rahman sebagai anggota Dewan Pembina YPKP 65 dalam kesempatan bicaranya, menyatakan, "Saya sungguh merasa prihatin kalau sesama Korban 65 terjadi fragmentasi. Tidak mungkin perjuangan akan mencapai hasil maksimal apabila di antara kita terjadi saling perpecahan, saling gontok-gontokan. Ingat, perjuangan kita masih panjang. Karena itu YPKP 65 harus proaktif memfasilitasi adanya persatuan di antara Korban dan menggalang front persatuan rakyat Indonesia ".

Hal ini memang ada benarnya. Karena kendatipun Suharto dan Orba sudah tumbang, namun orang-orang yang berjiwa Orba dan pengikut fasis Suharto, yang selama 32 tahun mendapat didikannya, masih banyak duduk dalam Pemerintahan. Namun, sedikit berbeda dengan Suharto, yang menggunakan taktik "bedil dan bayonet, tangkap dan tahan dulu, alasan cari belakangan", maka pihak elit politik dan pemerintahan yang masih berpikiran dan berkiblatkan Orba/Suharto, menggunakan cara-cara halus dan licik dan lemah lembut dengan ucapan-ucapan manis namun penuh racun yang mematikan. Untuk inilah, para Korban 65 dan semua organisasinya mesti waspada dan bersatu agar bisa mencapai hasil yang maksimal.

Kembali mataku menatap gambar foto wajah-wajah tua itu. Pikiranku menerawang, hatiku berkata dan bertanya: Semua bapak/ibu dalam gambar itu masih bisa melihat dan menikmati hari akhir diktator Suharto dan bisa menilai bagaimana dengan rezim sekarang yang nampaknya hampit tak berbeda. Namun, bagaimana dengan mereka yang bahkan tak sempat melihat dunia ini karena kekejaman dan kebiadaban fasis Suharto? Bagaimana dengan mereka yang dibantai tanpa proses hukum, ditahan bertahun-tahun hingga banyak yang meninggal karena sakit dan kurang makan bahkan diambil malam hari dari tempat tahanan hanya untuk dibunuh, seperti ayam-ayam yang sudah dikandangkan untuk disembelih? Kenanganku jauh mengelana kemasa lalu, ke akhir tahun 1965, di tempat di mana aku lahir dan dibesarkan...

"Negara Jangan Cuci Tangan atas Tragedi 1965" originally appeared in Kabar Indonesia.

http://www.ictj.org/en/news/coverage/article/3376.html

Tentang Tragedi 1965

Lihat    What links here   

Tahun 2005 merupakan tahun peringatan 40 tahun salah satu lembaran paling hitam dalam sejarah Indonesia, yakni Tragedi 1965. Dalam

tragedi itu ada tujuh orang perwira tinggi Angkatan Darat ditangkap dan dibunuh sebagai akibat operasi militer yang diadakan oleh Letkol Untung dan kawan-kawan. Selanjutnya ada ratusan ribu rakyat Indonesia yang kemudian dalam tempo beberapa bulan tewas dibantai oleh sesama warga negara. Lebih lanjut, selama beberapa dekade berikut, ingatan akan Tragedi ‘65 terus diproduksi dan dikemas sedemikian rupa hingga menjadi alat efektif untuk melayani berbagai macam kepentingan kelompok. Oleh karena itu dalam berbicara mengenai Tragedi ‘65 kita perlu memerinci dan menyoroti tiga unsur penting yang tampaknya tak terpisahkan namun sebenarnya berbeda. Ketiganya adalah: (a) operasi militer Letkol Untung dkk; (b) pembunu-han massal; (c) produksi ingatan atas tragedi tersebut.1. Operasi militer Letkol Untung dkkKetika orang berbicara mengenai peristiwa G30S tahun 1965 biasanya narasi yang berlaku adalah sebagai berikut. Pada tanggal 30 September 1965 melalui Pasukan Cakrabirawa, PKI telah melancarkan kudeta dengan jalan membunuh tokoh-tokoh tertinggi militer Indonesia di Jakarta. Begitu kejamnya orang-orang PKI itu sehingga enam orang Jendral plus seorang Kapten telah menjadi korban. [Dalam salah satu operasi penangkapan, seorang Jenderal berhasil lolos dari upaya itu, namun putrinya tewas secara mengenaskan di tangan PKI.] Kekeja-man PKI berlanjut di Lubang Buaya, dengan jalan menyayat-nyayat tubuh para Jendral. Sekelompok perempuan yang tergabung dalam organisasi Gerwani bahkan memotong alat-alat vital para Jendral itu sambil menari-nari di tengah orgi yang disebut “pesta harum bunga”. Mata dari sebagian korban juga dicungkil dengan alat khusus. Karena PKI dipandang sebagai satu-satunya “dalang” dari peristiwa keji tersebut, maka sudah selayaknya bahwa ratusan ribu anggota PKI di manapun mereka berada dibunuh secara beramai-ramai. Pantas pula peristiwa yang terjadi pada tanggal 30 September 1965 itu disebut “G30S/PKI”  dengan tekanan pada “PKI”-nya karena PKI merupakan pelaku utama. Juga, pantas kalau istilah yang dipakai adalah istilah “Gestapu” (Gerakan September Tigapuluh). PKI juga layak ditumpas karena sebelumnya mereka telah dua kali memberontak (tahun 1926/27 dan 1948), dan ingin mengganti ideologi Pancasila dengan ideologi komunis yang ateis.Selanjutnya, siapapun yang telah berhasil “menyelamatkan” negara dan bangsa ini dari kaum komunis dengan jalan memimpin operasi pembantaian dan pemenjaraan massal atas mereka “berhak” menjadi pemimpin tertinggi Republik Indonesia. Tanpa kepemimpinannya (dan orang-orang dekatnya) negeri ini akan terus-menerus berada di bawah rong-rongan kaum komunis yang licik.Lepas dari apakah setuju atau tidak dengan narasi tersebut, kalau diteliti lebih lanjut akan muncul sejumlah “misteri” yang belum terjawab. Misalnya saja, PKI adalah organisasi sipil, tetapi mengapa tokoh-tokoh kunci dalam Gerakan Tigapuluh September (G30S) itu, yakni Letkol Untung, Kolonel Abdul Latief dan Brigjen Soepardjo, justru adalah para personil militer, khususnya TNI-Angkatan Darat? Perlu diingat, Angkatan Darat sendiri sejak Pemilu 1955 telah sengit berlawawan dengan PKI antara lain karena kemenangan PKI dan kekalahan IPKI dalam pemilu tersebut. [IPKI /Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia adalah partai politik yang dipelopori oleh Angkatan Darat].Dalam pledoinya, Kolonel Abdul Latief mengatakan bahwa sebelum dilaksana-kannya operasi militer itu ia telah melapor ke Pangkostrad Mayor Jendral Soeharto (Latief: 2000, 157-158; 277-282). Pertanyaanya, mengapa Mayjen Soeharto tidak melaporkan rencana operasi militer itu ke atasannya, yakni Jendral Ahmad Yani sebagai Panglima Angkatan Darat, atau ke Presiden Sukarno sebagai Panglima Tertinggi? Padahal ia tahu bahwa operasi militer itu adalah operasi

besar dan akan segera berlangsung di Ibukota negara.Sejauh mana sebenarnya keterlibatan pihak-pihak asing dalam peristiwa itu? Dalam konteks Perang Dingin tentu ada banyak negara yang senang atau khawatir dengan perkembangan politik di Indonesia waktu itu, terutama berkaitan dengan kecenderungan politik Presiden Sukarno, perkembangan PKI, serta dinamika militer (khususnya Angkatan Darat). Sangat mungkin bahwa sejumlah negara, entah itu dari blok kapitalis pimpinan AS atau dari blok komunis pimpinan Uni Soviet dan Cina, ikut berkepentingan atas terjadinya perubahan drastis dalam perpolitikan di Indonesia.Satu-satunya link yang menghubungkan Gerakan 30 September  dengan PKI adalah Ketua Biro Khusus PKI, yakni Sjam Kamaruzzaman alias Sjamsul Qamar Mubaidah. Oleh PKI ia ditugasi untuk "membina" sejumlah anggota TNI-AD agar mendukung PKI. Akan tetapi bagaimana dengan dugaan bahwa sebenarnya ia adalah sekaligus bertindak sebagai agen ganda yang juga bertugas memata-matai gerak PKI demi kepentingan militer?  Kalau dugaan itu benar, bagaimana mungkin posisi Sjam yang masih meragukan itu bisa dijadikan bukti bahwa PKI merupakan satu-satunya "dalang" dari operasi militer G30S?Selanjutnya, benarkah dalang dari operasi militer itu tunggal? Tidakkah mungkin bahwa dalang dari peristiwa itu bukan satu melainkan beberapa? Bisa jadi, operasi militer yang dilakukan oleh kelompok G30S itu merupakan muara dari berbagai kelompok kepentingan yang mengharapkan ada perubahan fundamental dalam perpolitikan Indonesia saat itu. Kelompok kepentingan itu bisa datang dari dalam maupun dari luar negeri.Benarkah apa yang terjadi pada malam 30 September -1 Oktober 1965 itu merupakan “pemberontakan” sebagaimana selama ini dipahami? Penggunaan istilah ini perlu dicermati, karena secara etimologis istilah tersebut memiliki makna yang berbeda. Istilah pemberontakan dalam bahasa Inggris adalah rebellion, yang berarti “open defiance of or resistance to an established government” atau suatu tindakan menentang/resistensi secara terbuka terhadap pemerintah yang ada. Istilah itu perlu dibedakan dengan istilah coup d’etat (kudeta), yang berarti perebutan kekuasaan yang dilakukan oleh tentara bersama sipil; dengan istilah  pronounciamento yang berarti perebutan kekuasaan yang semua pelakunya adalah  tentara; dan dengan istilah  putsch yang pengertiannya adalah perebutan kekuasaan yang dilakukan oleh sekelompok tentara (Asvi: 2005). Dari definisi-definisi itu kelihatan bahwa operasi militer yang dilakukan oleh Letkol Untung dan kawan-kawan itu lebih dekat dengan pengertian putsch daripada pemberontakan, karena tidak dimaksudkan untuk menggulingkan pemerintahan Presiden Sukarno dan hanya dilakukan oleh sekelompok tentara. Tetapi mengapa istilah yang dipakai selalu saja istilah “pemberontakan” dan bukan putsch? Itupun selalu dikaitkan dengan "pemberontakan-pemberontakan PKI" yang terjadi pada tahun 1926/27 dan 1948.2. Pembunuhan MassalApapun jawab atas pertanyaan-pertanyaan di atas, telah diketahui bahwa dalam beberapa hari operasi militer yang diprakarsai oleh Letkol Untung dan kawan-kawan itu menjadi publik dan dalam waktu singkat, yakni tanggal 2 Oktober, dinyatakan abortive atau gagal. Koran PKI Harian Rakjat menyatakan dukungan kepada operasi militer Untung, tetapi siapa sebenarnya yang membuat pernyataan itu kini banyak diragukan. Letkol Untungpun melarikan diri ke luar Jakarta. Sejak itu berlangsung masa tenang, dalam arti tak terjadi pergolakan sosial yang berarti di masayarakat, meskipun suasana tegang muncul akibat pembunuhan para Jendral di Jakarta.  Pergolakan sosial baru terjadi sekitar tanggal 20-21 Oktober ditandai dengan pembunuhan massal yang berlangsung di Jawa Tengah, khususnya di daerah Klaten dan Boyolali. Dengan kata lain, pembunuhan massal itu baru terjadi sekitar tiga minggu setelah berlangsungnya operasi

militer yang dilakukan oleh Letkol Untung beserta G30S-nya. Dan pembunuhan massal itupun terjadi secara bergelombang. Pada bulan Oktober pembunuhan terjadi di Jawa Tengah, selanjutnya pada bulan November di Jawa Timur, dan baru pada bulan Desem-ber terjadi di Pulau Bali.Pembunuhan itu sendiri berlangsung secara sungguh keji dan sungguh massal. Pada dinihari tanggal 23 Oktober 1965, misalnya, di Boyolali ada sekitar 250 orang yang dibunuh secara beramai-ramai, termasuk seorang guru SD dan istrinya yang dilempar ke sumur dalam keadaan hidup-hidup (Dommen: 1966, 8). Dalam keadaan kaotik, banyak warga keturunan Cina di Semarang, Yogyakarta dan Surakarta juga menjadi korban amuk massa. Tindakan kejam serupa terjadi di berbagai tempat lain di Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali dan sejumlah lokasi di luar Jawa. Jumlah pasti tentang berapa korban yang tewas sulit ditentukan, tetapi umumnya berkisar antara setengah juta sampai satu juta jiwa (Crib 1990:8; Fein 1993:8). Dengan demikian secara umum dapat dikatakan bahwa dari segi skala kekejaman dan jumlahnya, pembantaian massal 1965 di Indonesia merupakan salah satu kekejian kemanusiaan di luar perang yang paling mengerikan.Di sinilah terletak aspek tragedi dari apa yang terjadi pada tahun 1965 itu. Yakni bahwa tujuh perwira tinggi telah tewas dan dikorbankan oleh sesama warga negaranya, dan pembunuhan atas para perwira itu disusul oleh pembantaian ratusan ribu (kalau tak mau dikatakan jutaan) warga bangsa ini, juga oleh sesama wara bangsanya. Tak hanya berhenti di situ, pembantaian warga sipil dan militer itu dilanjutkan dengan pemenjaraan massal tanpa proses pengadilan. Hak-hak mereka sebagai warga negara dicabut oleh rekan-rekan sebangsa mereka. Hak-hak asasi mereka sebagai manusia terus dilanggar.Berkaitan dengan pembunuhan massal itu tentu ada banyak hal yang bisa dipertanyakan. Antara lain adalah, mengapa pembunuhan massal itu tidak berlangsung secara serempak, melainkan bergelombang atau bergiliran? Adakah faktor-faktor tertentu yang menjadi pemicu bagi mulainya pembunuhan massal itu di masing-masing daerah? Bahwa sejak diberlakukannya Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) dan UUBH (Undang-undang Bagi Hasil) pada tahun 1964 terjadi ketegangan antara PKI dan para tuan tanah memang betul; tetapi mengapa pembantaian di masing-masing daerah itu baru mulai terjadi pada tahun 1965 dan itupun pada bulan-bulan terakhir tahun tersebut? 3. Produksi dan Reproduksi Ingatan Guna menjawab pertanyaan di atas, tak dapat dipungkiri bahwa tampaknya memang terdapat kesengajaan untuk mengarahkan atau bahkan memproduksi ingatan (memory) akan apa yang terjadi pada tahun 1965 itu menurut versi tertentu, untuk tujuan-tujuan tertentu pula. Misalnya saja penggunaan istilah "G30S/PKI". Meskipun sebenarnya dalang yang sebenarnya dari pembunuhan para Jendral itu belum jelas — bahkan  ketika diketahui bahwa tokoh-tokoh kunci dari operasi militer itu adalah anggota militer — tetap saja digunakan istilah tersebut dengan maksud untuk memojokkan PKI. Bahkan penggunaan istilah "Gestapu" tampak sekali disengaja untuk mengasosiasikan operasi militer yang konon didalangi oleh PKI  itu dengan tentara rahasia Jerman Gestapo yang terkenal kejamnya.Produksi ingatan akan apa yang terjadi pada tahun 1965 itu sudah dimulai ketika pada dua pekan pertama bulan Oktober hampir semua koran disensor, dan hanya koran-koran tertentu yang boleh terbit, khususnya harian Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha. Melalui koran-koran ini, dan melalui berbagai cerita yang beredar di masyarakat, dikisahkan mengenai berbagai kekejaman PKI di Halim Perdana Kusuma, seperti kisah "pesta harum bunga", kisah pemotongan alat-alat vital, serta kisah pencungkilan mata yang sampai sekarang belum terbukti itu. [Brigjen TNI dr

Rubiono Kertapati yang mengetuai tim dokter yang melakukan autopsi atas para korban menyatakan dalam laporan visum et repertum-nya bahwa tak ada penyiksaan atas tubuh para korban]. Lepas dari apakah orang setuju dengan PKI atau tidak, faktanya adalah bahwa hanya kisah-kisah versi militer yang memojokkannya yang boleh beredar pada waktu itu. Akibatnya, rakyat menjadi mudah disulut dalam tindakan massal untuk menghabisi para anggota PKI. Slogan yang beredar di masyarakat adalah “membunuh atau dibunuh”— persis slogan militer dalam perang. Pembunuhan massalpun terjadi, dan bagaikan Perang Baratayudha, bangsa Indonesia mandi darah saudara sendiri. Kemudian pembunuhan itu diikuti dengan pemenjaraan massal di Jawa maupun di luar Jawa, dan hampir semua tanpa didahului oleh proses pengadilan yang memadai.Selanjutnya, ingatan akan apa yang terjadi pada tahun 1965 menurut versi tertentu itu tidak hanya diproduksi melainkan juga terus direproduksi, karena produksi dan reproduksi macam itu menguntungkan sejumlah pihak, baik dari kalangan militer maupun sipil. Pembuatan, pemutaran dan pemaksaan untuk menonton film yang berjudul Pengkhianatan G30S/PKI  pada tahun 1980-an hingga 1990-an hanyalah salah satu contoh. Dalam film yang berat sebelah dan bernada propaganda itu ditunjukkan kekejaman yang terjadi pada dinihari 1 Oktober 1965 yang menurut film itu dilakukan oleh PKI. Bahkan ketika pada tahun 1998 pemutaran film itu dihentikan, penggantinya adalah film Bukan Sekedar Kenangan, yang isinya juga tetap secara berat sebelah mengingatkan orang akan kekejaman PKI di masa lalu, dan akan hadirnya "bahaya laten" PKI dalam kehidupan sehari-hari (Schreiner: 2002). Oleh kelompok kepentingan tertentu produksi dan reproduksi ingatan menurut versi tertentu atas tragedi  ’65 itu penting, karena hal itu dapat digunakan untuk menakut-nakuti masyarakat sehingga mudah dikontrol. Ia menjadi semacam menara panoptik-nya Foucault yang berfungsi sebagai sistem pengawasan yang dominan tapi tak mudah diduga. Pembubuhan kode “ET” (Eks Tapol) pada KTP milik orang-orang yang melawan kebijakan penguasa, misalnya, membuat orang-orang itu ketakutan dan berpikir dua kali kalau tak mau tunduk pada pemerintah. 4. Konsekuensi  lebih jauh Lebih daripada sekedar membuat takutnya orang-orang yang KTP-nya dicap “ET”, produksi dan reproduksi ingatan oleh penguasa yang bersifat sepihak juga memiliki konsekuensi lebih jauh bagi kehidupan bersama sebagai bangsa. Salah satunya ialah bahwa ingatan masyarakat akan apa yang terjadi pada tahun 1965 itu menjadi kabur dan campur aduk. Masyarakat bahkan sulit membedakan antara (a) operasi militer yang dilakukan oleh Letkol Untung dan kawan-kawan dengan (b) pembunuhan massal terhadap rakyat Indonesia oleh rakyat Indonesia, serta (c) berbagai upaya produksi dan reproduksi ingatan akan tahun 1965 yang dimanipulasi.Kebiasaan memusatkan peringatan Tragedi ’65 pada bulan September adalah contoh bagaimana masyarakat mengira bahwa “puncak” tragedi itu ada pada bulan September. Seakan-akan pada bulan tersebutlah tragedi itu terjadi. Padahal pembunuhan para Jendral itu terjadi pada bulan Oktober, dan pada bulan Oktober pula mulai terjadi pembantaian massal di Jawa Tengah, yang kemudian terus berlangsung pada bulan November, Desember, dst. [Sudah saatnya peringatan Tragedi ’65 digeser ke bulan Oktober atau setelahnya, supaya kita bisa belajar untuk tidak saling membunuh].Tidak lengkapnya ingatan masyarakat akan apa yang terjadi pada tahun 1965 itu juga membuat tidak adanya upaya hukum untuk secara serius mengadili para pemberi komando maupun para pelaku lapangan pembantaian massal itu. Mahmilub yang diadakan pada waktu itu terkesan lebih dimaksudkan untuk memposisikan tokoh-tokoh PKI dan para pelaku G30S sedemikian rupa agar mudah dijatuhi hukuman (mati). Selain itu juga dimaksudkan untuk menciptakan ketakutan

terhadap mereka yang punya afiliasi dengan komunisme atau terhadap setiap gerakan kiri di negeri ini. Konsekuensi praktisnya ialah, kalau membunuh ratusan ribu orang saja dibiarkan, orang akan merasa tidak apa-apa ketika melakukan tindakan-tindakan lain yang sebenarnya jahat, tetapi ia pandang “lebih ringan” daripada apa yang terjadi pada tahun 1965 itu. Misalnya tindakan melakukan penculikan dan pembunuhan atas beberapa mahasiswa, mencuri beberapa milyar rupiah uang negara, menjual sumber-sumber daya alam ke negara lain, atau memprovokasi konflik-konflik horisontal yang korbannya “hanya” beberapa ribu orang, dsb. Akibat selanjutnya adalah begitu banyaknya kasus pelanggaran hak-hak asasi manusia (HAM) berat yang tak pernah diselesaikan secara tuntas di pengadilan, entah itu berkaitan dengan masalah Maluku, Aceh, Poso, Tanjung Priok, Timor Leste, atau yang lain. Situasi demikian tentu tak dapat dibiarkan terus berlang-sung. Untuk itu perlu segera dicarikan jalan keluarnya. Jika tidak, keadaan akan terus memburuk dan masa depan Indonesia sebagai sebuah negara-bangsa yang adil dan demokratis akan semakin dipertanyakan.5. Belajar dari SejarahPeringatan 40 tahun Tragedi ‘65 adalah momentum yang amat berharga. Peringatan ini bisa menjadi kesempatan bagi semua pihak, baik para sejarawan maupun masyarakat pada umumnya, untuk secara kritis meninjau kembali apa yang terjadi pada pertengahan 1960-an dengan segala kompleksitasnya. Lebih dari itu, kita diundang untuk belajar dari tragedi yang terjadi pada tahun 1965 itu, yang kekejamannya nyaris tak tertandingi dalam sejarah Indonesia dan yang dampaknya masih tetap mengganggu kehidupan bersama kita sebagai bangsa sampai sekarang. Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak takut untuk belajar dari sejarahnya sendiri.

Baskara T. Wardaya SJ, dosen Sejarah di USD, Yogyakarta.

Trackback URL for this post:http://www.syarikat.org/trackback/303

http://www.syarikat.org/article/tentang-tragedi-1965