Survey Bangunan Jawa

8
Seluruh paparan yang akan diberikan tentang rumah jawa berikut ini adalah hasil survey lapangan yang dilakukan pada tanggal 25 Maret 2015 di rumah Jawa bekas kediaman GPH Suryo Hamijoyo yang masih berdiri kokoh dengan dipandu oleh Bapak RT setempat. GPH Suryo Hamijoyo merupakan putra kandung Susuhunan Pakubuwana X. Setelah kematian beliau, rumah tinggalnya sempat diwariskan ke anak kandungnya sebelum akhirnya dibeli oleh yayasan yang berniat mendirikan kantor cabang di Surakarta, namun pembangunan kantor cabang yayasan ini tidak dilanjutkan sehingga membuat bangunan menjadi terbengkalai. Rumah ini dibangun pada masa kepemimpinan Susuhunan Pakubuwana IV hingga Susuhunan Pakubuwana V antara tahun 1788 sampai sekitar tahun 1830 dan masih berdiri sampai sekarang. Dengan luas tanah hampir 1 hektar, rumah ini memiliki banyak sekali ruang yang menyebar hingga bagian belakang lahan, di antaranya Topengan, Pendhopo Ageng, Pringgitan, Dalem Ageng hingga kamar-kamar selir, lapangan memanah dan garasi kereta kencana. Rumah tinggal tradisional Jawa lazim dimaknai sebagai miniatur kosmos penghuninya, di mana bobot ekspresinya terkandung pada struktur tata ruang beserta ornamennya, sementara bobot maknanya terdapat pada makna fisik rumah tradisional Jawa yang cenderung berkarakter feminin. (dikutip dari kuliah Arsitektur Jawa oleh Pak Titis, 2015) Pada bangunan rumah GPH Suryo Hamijoyo, bagian pertama yang dapat dilihat ketika memasuki area bangunan adalah Topengan dan Pendhopo Ageng dengan atap yang besar dan tinggi.

description

survey bangunan jawa

Transcript of Survey Bangunan Jawa

Seluruh paparan yang akan diberikan tentang rumah jawa berikut ini adalah hasil survey lapangan yang dilakukan pada tanggal 25 Maret 2015 di rumah Jawa bekas kediaman GPH Suryo Hamijoyo yang masih berdiri kokoh dengan dipandu oleh Bapak RT setempat.

GPH Suryo Hamijoyo merupakan putra kandung Susuhunan Pakubuwana X. Setelah kematian beliau, rumah tinggalnya sempat diwariskan ke anak kandungnya sebelum akhirnya dibeli oleh yayasan yang berniat mendirikan kantor cabang di Surakarta, namun pembangunan kantor cabang yayasan ini tidak dilanjutkan sehingga membuat bangunan menjadi terbengkalai. Rumah ini dibangun pada masa kepemimpinan Susuhunan Pakubuwana IV hingga Susuhunan Pakubuwana V antara tahun 1788 sampai sekitar tahun 1830 dan masih berdiri sampai sekarang.Dengan luas tanah hampir 1 hektar, rumah ini memiliki banyak sekali ruang yang menyebar hingga bagian belakang lahan, di antaranya Topengan, Pendhopo Ageng, Pringgitan, Dalem Ageng hingga kamar-kamar selir, lapangan memanah dan garasi kereta kencana.Rumah tinggal tradisional Jawa lazim dimaknai sebagai miniatur kosmos penghuninya, di mana bobot ekspresinya terkandung pada struktur tata ruang beserta ornamennya, sementara bobot maknanya terdapat pada makna fisik rumah tradisional Jawa yang cenderung berkarakter feminin. (dikutip dari kuliah Arsitektur Jawa oleh Pak Titis, 2015)Pada bangunan rumah GPH Suryo Hamijoyo, bagian pertama yang dapat dilihat ketika memasuki area bangunan adalah Topengan dan Pendhopo Ageng dengan atap yang besar dan tinggi.

Gambar 1. Topengan dan Pendhopo Ageng Rumah GPH Suryo HamijoyoSumber: Dokumentasi PribadiBagian Topengan digunakan untuk drop-off atau tempat tamu yang datang berkunjung turun dari kendaraannya. Topengan merupakan area publik yang diletakkan di bagian depan rumah. Topengan bernama demikian karena pada rumah Jawa tradisional, sebagaimana dikutip dari Pak Titis, 2015, Topengan diibaratkan sebagai topeng, yang menutupi wajah sebenarnya dari penghuni.Setelah turun dari kendaraannya, tamu masuk ke dalam Pendhopo Ageng. Pendhopo Ageng dianalogikan sebagai wajah asli penghuninya dengan dicerminkan oleh keramahan penghuni yang menyambut tamu yang datang. Pendhopo Ageng pada rumah GPH Suryo Hamijoyo memiliki bentang atap yang besar dan pada bagian tengah ditopang oleh 4 struktur kolom utama yang disebut Saka Guru. Berdasarkan tuturan Pak RT yang memandu kami, pada saat pembangunan di bawah Saka Guru ditanam emas seberat sekitar 10 Kg. Menurut beliau hal ini dilakukan sebagai jaga-jaga apabila suatu hari nanti Saka Guru sudah tidak kuat menopang lagi. Emas ini tetap terpendam dan diwariskan selama beberapa generasi. Pada bagian atas Saka Guru terdapat susunan kayu-kayu yang saling menyilang dan disebut sebagai Tumpang Sari. Bagian ini menopang puncak atap Pendhopo Ageng.

Gambar 2. Atap Pendhopo Ageng Rumah GPH Suryo HamijoyoBagian yang dilingkari merupakan Saka Guru dan Tumpang Sari yang saling menumpukSumber: Dokumentasi Pribadi

Jika tamu yang datang hanya merupakan rakyat biasa, maka ia hanya diperbolehkan masuk hingga Pendhopo Ageng dan tidak diperkenankan melangkah lebih jauh ke dalam rumah, kecuali jika sang pemilik rumah, dalam hal ini GPH Suryo Hamijoyo, memberi izin. Sedangkan jika tamu yang datang merupakan kerabat dekat GPH Suryo Hamijoyo, setelah disambut biasanya tamu akan diajak memasuki rumah. Saat memasuki rumah, setelah melewati Pendhopo Ageng tamu akan melewati Pringgitan.

Gambar 3. Pringgitan Rumah GPH Suryo Hamijoyo dan Gamelan-gamelan yang Masih TerawatSumber: Dokumentasi Pribadi

Pringgitan merupakan area semi publik. Dalam analogi femininnya, Pringgitan merupakan bagian leher dari wanita. Semakin mahal dan bagus perhiasan yang digunakan pada leher maka status sosialnya akan semakin naik. Karena itu pada Pringgitan sering dibuat tempat pertunjukan wayang. Pada Pringgitan rumah ini, terdapat satu set gamelan yang masih aktif digunakan selama 5 kali dalam seminggu untuk pertunjukan yang digelar di sini.Pada Pringgitan rumah ini terdapat 3 buah pintu. Satu pintu dengan 6 buah daun pintu berdiri di tengah dan dua pintu kecil di sisi kanan dan kirinya yang langsung memberikan akses ke Dalem Ageng.

Gambar 4. Dalem Ageng Rumah GPH Suryo Hamijoyo Beserta Sinthong Kiwa, Krobongan dan Sinthong TengenSumber: Dokumentasi PribadiDalem Ageng merupakan area privat. Bagian ini hanya bisa diakses oleh pemilik rumah dan orang-orang yang telah diberi izin olehnya. Pada rumah modern masa kini, Dalem Ageng bisa dianggap sebagai ruang tamu. Dalam analogi femininnya, Dalem Ageng merupakan bagian tubuh dari seorang wanita, karena itu bagian ini merupakan bagian sakral yang privat dan harus tertutup rapat. Di dalam bagian tubuh ini, terdapat area yang lebih sakral dan privat lagi, yaitu Sinthong Kiwa, Krobongan dan Sinthong Tengen.Area yang lebih sakral di dalam rumah ini terdiri atas 2 buah kamar tidur dan satu ruangan yang berada diantaranya. Kamar tidur di sebelah kiri disebut Sinthong Kiwa, kamar tidur di sebelah kanan disebut Sinthong Tengen dan ruangan yang diapitnya disebut Krobongan. Sinthong Kiwa dan Sinthong Tengen tertutup rapat dan hanya dapat diakses dengan melalui pintu, sedangkan pada Krobongan hanya tertutup tirai, tanpa pintu. Namun pada rumah GPH Suryo Hamijoyo kini tidak terdapat lagi tirai penutup Krobongan dan beberapa pintu Sinthong Kiwa dan Sinthong Tengen sudah rusak. Pada analogi femininnya, Sinthong Kiwa dan Sinthong Tengen yang berjajar simetris diibaratkan sebagai paha dari seorang wanita, di mana area yang semestinya kokoh ini menjaga ruang di antaranya, yaitu Krobongan yang hanya tertutup tirai putih yang tipis.

Gambar 5. Krobongan Rumah GPH Suryo HamijoyoSumber: Dokumentasi Pribadi

Di bagian kanan bangunan utama terdapat kamar selir pertama, di sebelah kiri terdapat banyak ruang yang saling terhubung, termasuk di dalamnya ruang keluarga, ruang makan, dapur darurat, kamar mandi dan sebuah mini bar. Pada bagian massa yang terpisah dari bangunan utama, terdapat sebuah bangunan kecil bernama paviliun, yang digunakan untuk tamu yang datang menginap. Di sebelah kiri bangunan terdapat garasi berisi kereta kencana. Di sebelah bangunan garasi terdapat kamar-kamar selir, pembantu dan supir yang mengelilingi sisa lahan yang masih kosong. Di belakang bangunan terdapat sebuah halaman yang cukup luas, sebuah arena memanah dan tempat membatik.REFERENSIKuliah Arsitektur Jawa, Februari-Maret 2015, Prodi Arsitektur Universitas Sebelas MaretMakalah Arsitektur Nusantara: Arsitektur Hasil Percintaan Sakral Manusia dengan Alam oleh Dr. Titis Srimuda Pitana, S.T., M.Trop.Arch., 2015

IDENTIFIKASI BANGUNAN JAWARUMAH TINGGAL GPH SURYO HAMIJOYO

Dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Arsitektur JawaKompetensi Dasar 1Dosen Pengampu: Dr. Titis Srimuda Pitana, S.T., M.Trop.Arch.

Program Studi ArsitekturJurusan ArsitekturFakultas TeknikUniversitas Sebelas MaretSurakarta2015

PANDU KARTIKOI0213069