Surut Berladang - ftp.unpad.ac.id · peralatan keselamatan yang sudah kami sediakan. Kalau kita...

1
22 F OKUS NU RABU, 16 MARET 2011 | MEDIA INDONESIA Surut Berladang U SIANYA baru enam tahun. Namun, Ela sudah cekatan menggali tanah. Dari gumpalan di kedua tangan kecil itu, sejumput demi sejumput mangan dikumpulkan. Kebanyakan anak seusia Ela masih diawasi orang tua di rumah, belajar, bermain, atau menonton televisi. Sebaliknya, gadis kecil itu justru berbaur bersama penambang mangan di lereng gunung di Dusun Oefenu, Desa Supul, Kecamatan Kuatnana, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur. Ela baru duduk di bangku kelas 2 Sekolah Dasar (SD) Inpres Lakat, tidak jauh dari tempat tinggalnya di Desa Lakat. Sepulang sekolah, ia harus menempuh perjalanan jauh dengan naik truk bersama warga lain ke Supul demi mangan. Dari hasil mengumpulkan mangan di lokasi tambang PT Soe Makmur Resorces itu, ia bisa membeli buku, baju baru, sepatu baru, bahkan telepon seluler. Mangan jadi harapan baru. Orang yang lebih dewasa daripada Ela punya keinginan lebih besar. Mereka ingin kehidupan berubah, bisa membeli sepeda motor atau membangun rumah dari hasil penjualan mangan. Ela tampak malu-malu ketika ditanyai mengapa ia memilih menambang dan tidak belajar di rumah. “Dia ingin punya uang dari hasil kerjanya sendiri,” tutur penambang lain yang duduk di dekatnya. Ela masih duduk bersimpuh di tanah. Tangannya memisahkan mangan dari tanah. Mangan terpilih kemudian dimasukkan ke karung. Hari itu, Ela datang sendiri sebab orang tuanya berhalangan. Kerja yang dimulai setelah kembali dari sekolah itu baru berakhir menjelang magrib, saat ia harus pulang ke rumah. Memang, Ela bukan pekerja terampil. Mangan yang ia kumpulkan tidak mencapai setengah kilogram. “Ya, besok gali mangan lagi supaya genap 1 kilogram, baru dijual sebesar Rp10 ribu,” ujarnya sedikit bersuara. Ela sudah memisahkan diri dari dunia anak-anaknya, bermain, bukan memeras keringat, seusai belajar. Di sudut lain Desa Oefenu, sejumlah penambang tua dan muda tengah beristirahat sambil berdiskusi. Ada pula yang tetap mengumpulkan mangan tanpa peduli dengan keadaan di sekitar mereka. Pelan-pelan dengan bantuan kayu atau potongan besi, mereka memecah gundukan tanah yang sebelumnya sudah digali alat berat milik perusahaan. Satu hal yang membuat Ely dan beberapa orang dewasa lain memiliki kesamaan adalah tidak adanya pelindung dalam bentuk apa pun yang menempel di tubuh para penambang itu. Tidak ada masker untuk menutup mulut dan hidung, atau kacamata hitam yang bisa melindungi mata, tidak juga sepatu dan helm. Padahal, peralatan itu sudah dibagikan cuma-cuma oleh perusahaan. “Mereka menolak mengenakan peralatan keselamatan yang sudah kami sediakan. Kalau kita beri kacamata, mereka membawanya, tapi hanya terpasang di leher atau di kepala,” kata Kepala Teknik PT Soe Makmur Resources Syahruddin Haris. Antonius Nomleni salah satunya. Ia enggan mengenakan kacamata karena beralasan mengganggu penglihatan saat bekerja. Apalagi sarung tangan. Pada tangan pria itu melekat abu mangan yang cukup tebal. Abu di tangannya baru akan dibersihkan setelah selesai bekerja pada hari tersebut. “Selama menggali mangan, saya tidak pernah mengalami masalah kesehatan,” aku Antonius. Ela, Antonius, dan penambang mangan lain belum menyadari kesehatan mereka bisa terganggu akibat tidak mengenakan perangkat pengamanan. Mereka juga tidak mau tahu bahwa mangan yang terlalu banyak diserap tubuh akan merusak organ dalam. Penyakit lainnya yang mungkin timbul antara lain gangguan metabolisme akut akibat pencemaran melalui udara, air, tanah, dan makanan yang dikonsumsi. Ela adalah satu sisi yang memprihatinkan, saat anak harus terlibat dalam pekerjaan orang dewasa. Sisi lain adalah kesehatan yang diabaikan kala nafsu untuk hidup lebih sejahtera harus terus diburu. (Palce Amalo/N-2) Keuntungan menambang lebih men Untuk sesaat, warga m Penambang Kecil asal Lakat Mereka menolak mengenakan peralatan keselamatan yang sudah kami sediakan. Kalau kita beri kacamata, mereka membawanya, tapi hanya terpasang di leher atau di kepala.” TEMA: Tertib Berkendara Hindari Bahaya OTOMOTIF KAMIS (17/03/2011) FOKUS TEMA: Tertib Berkendara Hindari Bahaya OTOMOTIF KAMIS (17/03/2011) FOKUS PALCE AMALO S EBELUM 2008, Desa Supul di Kecamatan Kuatnana, Kabupaten Timor Tengah Sela- tan, Nusa Tenggara Timur, bukan apa-apa. Sebanyak 183 keluarga dari total 427 ke- luarga menyandang predikat miskin. Pendapatan mereka hanya mencapai Rp200 ribu per bulan. Namun, kedatangan investor mengubah Supul dan warga- nya. Investor berkata di bawah ladang garapan warga ada kekayaan alam yang sangat berharga. Bumi Desa Supul me- nyimpan jutaan ton mangan. Mangan adalah bahan tam- bang bersifat logam berwarna putih keabu-abuan. Keras dan getas mirip besi, tetapi tidak magnetis. Lambang kimia ba- han ini adalah Mn. Antara percaya dan tidak, beberapa warga bersedia me- nerima penawaran investor. Mereka merelakan ladang untuk ditambang. Salah seorang di antara mereka adalah Milka Faot, 49. Perempuan itu dulunya pela- dang yang menanam kacang tanah dan ja- gung. Ia memiliki la- han seluas 1 hektare. Selama hidupnya, ladang-ladang Milka yang tersebar di lereng gunung di desa itu tidak memberikan keuntungan besar. Pemerintah pun belum membangun sarana jalan raya yang menghubung- kan desa ini dengan ibu kota kecamatan. Saban hari, warga yang ingin menjual hasil ladang ke pasar tradisional di ibu kota keca- matan, harus berjalan kaki 5-10 kilometer sebelum tiba di jalan umum. Jalanan setapak menuju Dusun Oefenu, misalnya, memiliki kemiringan sampai 40 derajat, berbatu, dan ber- lumpur pada musim hujan. Adapun sungai yang mem- belah desa selalu banjir pada musim hujan. Jika begitu, niat warga berjualan ke pasar ter- paksa ditunda. Peluang meretas keterisolasi- an Supul datang dari PT Soe Makmur Resources. Perusa- haan asal Jakarta itu sudah hampir tiga tahun menambang mangan di Supul. Perusahaan itu membuat kesepakatan yang tidak lazim dengan pemilik la- han yang akan ditambang. Caranya lahan tidak dibe- baskan. Perusahaan memberi royalti sebesar Rp200 ribu dari setiap ton mangan yang dikelu- arkan dari lahan warga. Langkah itu ternyata meng- untungkan warga karena se- lama aktivitas tambang ber- langsung, pemilik lahan tetap menerima royalti. Lantaran praktik itu, banyak petani ladang beralih profesi menjadi penambang. Petani pun diorganisasi para pemilik lahan. Seperti Milka, yang meng organisasi 200 pekerja berusia 6-70 tahun. Mereka bekerja mengumpulkan ma- ngan di bekas kebun Milka. Tugas pekerja adalah memisahkan mangan dari tanah yang sebelumnya sudah digali alat berat. Mangan dikumpulkan ke dalam karung plastik berukuran 50 kilogram untuk diangkut ke lokasi penampungan. PENGHASIL MANGAN: Puluhan ton mangan yang ditambang para petani dikumpulkan sebelum dibawa ke gudang di Desa Supul, Kecamatan Kua IKUT MENAMBANG: Ela, 6, murid kelas 2 Sekolah Dasar Inpres Lakat, ikut mengumpulkan mangan di areal tambang di Kuatnana, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur.

Transcript of Surut Berladang - ftp.unpad.ac.id · peralatan keselamatan yang sudah kami sediakan. Kalau kita...

Page 1: Surut Berladang - ftp.unpad.ac.id · peralatan keselamatan yang sudah kami sediakan. Kalau kita beri kacamata, mereka membawanya, tapi hanya terpasang di leher atau di kepala.”

22 FOKUS NURABU, 16 MARET 2011 | MEDIA INDONESIA

Surut Berladang

USIANYA baru enam tahun. Namun, Ela sudah

cekatan menggali tanah. Dari gumpalan di kedua tangan kecil itu, sejumput demi sejumput mangan dikumpulkan.

Kebanyakan anak seusia Ela masih diawasi orang tua di rumah, belajar, bermain, atau menonton televisi. Sebaliknya, gadis kecil itu justru berbaur bersama penambang mangan di lereng gunung di Dusun Oefenu, Desa Supul, Kecamatan Kuatnana, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur.

Ela baru duduk di bangku kelas 2 Sekolah Dasar (SD) Inpres Lakat, tidak jauh dari tempat tinggalnya di Desa Lakat. Sepulang sekolah, ia harus menempuh perjalanan jauh dengan naik truk bersama warga lain ke Supul demi mangan.

Dari hasil mengumpulkan mangan di lokasi tambang PT Soe Makmur Resorces itu, ia bisa membeli buku, baju baru, sepatu baru, bahkan telepon seluler.

Mangan jadi harapan baru. Orang yang lebih dewasa daripada Ela punya keinginan lebih besar. Mereka ingin kehidupan berubah, bisa membeli sepeda motor atau membangun rumah dari hasil penjualan mangan. Ela tampak malu-malu ketika ditanyai mengapa ia memilih menambang dan tidak belajar di rumah.

“Dia ingin punya uang dari hasil kerjanya sendiri,” tutur penambang lain yang duduk di dekatnya.

Ela masih duduk bersimpuh di tanah. Tangannya memisahkan mangan dari tanah. Mangan terpilih kemudian dimasukkan ke karung.

Hari itu, Ela datang sendiri sebab orang tuanya berhalangan. Kerja yang dimulai setelah kembali dari sekolah itu baru berakhir menjelang magrib, saat ia harus pulang ke rumah.

Memang, Ela bukan pekerja terampil. Mangan yang ia kumpulkan tidak mencapai setengah kilogram.

“Ya, besok gali mangan lagi supaya genap 1 kilogram, baru dijual sebesar Rp10 ribu,” ujarnya sedikit bersuara. Ela sudah memisahkan diri dari dunia anak-anaknya, bermain, bukan memeras keringat, seusai belajar.

Di sudut lain Desa Oefenu, sejumlah penambang tua dan muda tengah beristirahat sambil berdiskusi. Ada pula yang tetap mengumpulkan mangan tanpa peduli dengan keadaan di sekitar mereka. Pelan-pelan dengan bantuan kayu atau potongan besi, mereka memecah gundukan tanah yang sebelumnya sudah digali alat berat milik perusahaan.

Satu hal yang membuat Ely dan beberapa orang dewasa lain memiliki kesamaan adalah tidak adanya pelindung dalam bentuk apa pun yang menempel di tubuh para penambang itu. Tidak ada masker untuk menutup

mulut dan hidung, atau kacamata hitam yang bisa melindungi mata, tidak juga sepatu dan helm.

Padahal, peralatan itu sudah dibagikan cuma-cuma oleh perusahaan.

“Mereka menolak mengenakan peralatan keselamatan yang sudah kami sediakan. Kalau kita beri kacamata, mereka membawanya, tapi hanya terpasang di leher atau di kepala,” kata Kepala Teknik PT Soe Makmur Resources Syahruddin Haris.

Antonius Nomleni salah satunya. Ia enggan mengenakan kacamata karena beralasan mengganggu penglihatan saat bekerja. Apalagi sarung tangan. Pada tangan pria itu melekat abu mangan yang cukup tebal. Abu di tangannya baru akan dibersihkan setelah selesai bekerja pada hari tersebut.

“Selama menggali mangan, saya tidak pernah mengalami masalah kesehatan,” aku Antonius.

Ela, Antonius, dan penambang mangan lain belum menyadari kesehatan mereka bisa terganggu akibat tidak mengenakan perangkat pengamanan.

Mereka juga tidak mau tahu bahwa mangan yang terlalu banyak diserap tubuh akan merusak organ dalam. Penyakit lainnya yang mungkin timbul antara lain gangguan metabolisme akut akibat pencemaran melalui udara, air, tanah, dan makanan yang dikonsumsi.

Ela adalah satu sisi yang memprihatinkan, saat anak harus terlibat dalam pekerjaan orang dewasa. Sisi lain adalah kesehatan yang diabaikan kala nafsu untuk hidup lebih sejahtera harus terus diburu. (Palce Amalo/N-2)

Keuntungan menambang lebih menUntuk sesaat, warga m

Penambang Kecil asal Lakat

Mereka menolak mengenakan

peralatan keselamatan yang sudah kami sediakan. Kalau kita beri kacamata, mereka membawanya, tapi hanya terpasang di leher atau di kepala.”

TEMA:Tertib Berkendara

Hindari Bahaya

OTOMOTIFKAMIS (17/03/2011)

FOKUS

TEMA:Tertib Berkendara

Hindari Bahaya

OTOMOTIFKAMIS (17/03/2011)

FOKUS

PALCE AMALO

SEBELUM 2008, Desa Supul di Kecamatan Kuatnana, Kabupaten Timor Tengah Sela-

tan, Nusa Tenggara Timur, bukan apa-apa. Sebanyak 183 keluarga dari total 427 ke-luarga menyandang predikat miskin. Pendapatan mereka hanya mencapai Rp200 ribu per bulan.

Namun, kedatangan investor mengubah Supul dan warga-nya. Investor berkata di bawah ladang garapan warga ada

kekayaan alam yang sangat berharga. Bumi Desa Supul me-nyimpan jutaan ton mangan.

Mangan adalah bahan tam-bang bersifat logam berwarna putih keabu-abuan. Keras dan getas mirip besi, tetapi tidak magnetis. Lambang kimia ba-han ini adalah Mn.

Antara percaya dan tidak, beberapa warga bersedia me-nerima penawaran investor. Mereka merelakan ladang untuk ditambang.

Salah seorang di antara mere ka adalah Milka Faot, 49. Perempuan itu dulunya pela-

dang yang menanam kacang tanah dan ja-gung. Ia memiliki la-han seluas 1 hektare.

Selama hidupnya,

ladang-ladang Milka yang tersebar di lereng gunung di desa itu tidak memberikan keuntungan besar. Pemerintah pun belum membangun sarana jalan raya yang menghubung-kan desa ini dengan ibu kota kecamatan.

Saban hari, warga yang ingin menjual hasil ladang ke pasar tradisional di ibu kota keca-matan, harus berjalan kaki 5-10 kilometer sebelum tiba di jalan umum.

Jalanan setapak menuju Dusun Oefenu, misalnya, memiliki kemiringan sampai 40 derajat, berbatu, dan ber-lumpur pada musim hujan. Adapun sungai yang mem-belah desa selalu banjir pada musim hujan. Jika begitu, niat warga berjualan ke pasar ter-paksa ditunda.

Peluang meretas keterisolasi-an Supul datang dari PT Soe

Makmur Resources. Perusa-haan asal Jakarta itu sudah hampir tiga tahun menambang mangan di Supul. Perusahaan itu membuat kesepakatan yang tidak lazim dengan pemilik la-han yang akan ditambang.

Caranya lahan tidak dibe-baskan. Perusahaan memberi royalti sebesar Rp200 ribu dari setiap ton mangan yang dikelu-arkan dari lahan warga.

Langkah itu ternyata meng-untungkan warga karena se-lama aktivitas tambang ber-langsung, pemilik lahan tetap menerima royalti.

Lantaran praktik itu, banyak petani ladang beralih profesi menjadi penambang. Petani pun diorganisasi para pemilik lahan. Seperti Milka, yang meng organisasi 200 pekerja berusia 6-70 tahun. Mereka bekerja mengumpulkan ma-ngan di bekas kebun Milka.

Tugas pekerja adalah me misah kan mangan dari tanah yang sebelumnya sudah digali alat berat. Mangan dikumpulkan ke dalam karung plastik berukuran 50 kilogram untuk diangkut ke lokasi penampungan.

PENGHASIL MANGAN: Puluhan ton mangan yang ditambang para petani dikumpulkan sebelum dibawa ke gudang di Desa Supul, Kecamatan Kua

IKUT MENAMBANG: Ela, 6, murid kelas 2 Sekolah Dasar Inpres Lakat, ikut mengumpulkan mangan di areal tambang di Kuatnana, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur.