Suprastruktur hukum pendidikan
-
Upload
dwina-rani-amalia -
Category
Documents
-
view
658 -
download
0
Transcript of Suprastruktur hukum pendidikan
KAJIAN TENTANG SUPRASTRUKTUR HUKUM PENDIDIKAN DI INDONESIA
MAKALAH
Disusun untuk memenuhi Tugas IndividualMatakuliah Pendidikan Politik Generasi Muda
Yang dibina oleh:Prof. Dr. H. Endang Sumantri, M.Ed
Dr. Sunatra, SH., MS
OlehYUSNAWAN LUBIS
0705318
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KEWARGANEGARAANSEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA2009
KAJIAN TENTANG SUPRASTRUKTUR
HUKUM PENDIDIKAN DI INDONESIA
Oleh: Yusnawan Lubis
Abstrak
Makalah ini mencoba mengeksplorasi konsep dan oprasionalisasi hukum pendidikan di Indonesia. Penulisan makalah ini pada dasarnya dilatarbelakangi oleh suatu realitas yang menunjukkan bahwa sistem pendidikan Indonesia tengah mengalami suatu gejala yang disebut wan-edukasi. Gejala wan-edukasi terjadi salah satunya disebabkan oleh belum normatifnya hukum pendidikan. Dengan kata lain, hukum pendidikan di Indonesia baru sekedar dalam tataran idealis saja, belum diimplementasikan sepenuhnya dalam praktik pendidikan, sehingga hukum pendidikan belum bernilai normatif. Di dalam makalah ini ditemukan beberapa hal sebagai berikut: 1) Pendidikan Indonesia mempunyai ideologi dan filosofi tersendiri, yaitu Pancasila dan UUD NRI 1945. Konsepsi ideologi dan filosofi sistem pendidikan Indonesia tersebut diopersionalisasikan dalam UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional; 2) Landasan konstitusional sistem pendidikan nasional Negara Republik Indonesia mengalami beberapa kali perubahan. Hal ini dikarenakan adanya perubahan konstitusi yang berlaku di Republik Indonesia.; 3) Tujuan pendidikan nasional Indonesia sejak proklamasi kemerdekaan sampai sekarang secara formal bersifat dinamis, walaupun pada hakekatnya sama yaitu untuk mencapai kecerdasan bangsa. Hal tersebut tersebut terjadi sejalan dengan dinamika peraturan perundang-undangan yang secara eksplisit berkedudukan sebagai hukum pendidikan; 4) Upaya pendidikan yang paling penting dalam sebuah bangsa dan negara adalah melalui sekolah, yang menjadi upaya pendidikan formal yang massif. Ini tentu tanpa mengabaikan pendidikan oleh keluarga dan masyarakat (pendidikan nonformal dan informal). Tanggung jawab pengadaan dan penyelenggaraan pendidikan menjadi tugas semua komponen, baik pribadi, keluarga, masyarakat, dan terutama negara; 5) Desentralisasi (otonomi) pendidikan mempunyai makna bahwa daerah otonom memiliki kewenangan dan keleluasaan untuk mengelola pendidikan sesuai dengan potensi dan kebutuhan daerah bersangkutan. Keleluasaan pengelolaan tersebut ternyata bukan hanya dimiliki tingkat pemerintahan daerah, tetapi juga berimbas kepada sekolah dengan adanya konsep Manajemen Berbasis Sekolah (school based management); 6) Upaya untuk menjadikan pendidikan sebagai norma bagi kehidupan
1
masyarakat Indonesia harus diawali oleh adanya kemauan politik (political will) pemerintah di bidang pendidikan.
A. Pendahuluan
Pendidikan pada hakikatnya adalah usaha sadar dan terencana
untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar
peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Pendidikan
merupakan keseluruhan aktifitas manusia dan masyarakat yang
ditujukan untuk meningkatkan, memperbaiki, memulihkan kualitas
kehidupan manusia dan masyarakat. Parameter kualitas manusia
terletak pada aspek kesadaran, pengetahuan, dan keterampilan yang
ketiganya harus seimbang, saling menopang, dan berkesinambungan.
Keseluruhan dari keseimbangan ketiga aspek di atas akan mencipta
karakter manusia, yakni sifat yang dimiliki dan menjadi ciri yang
membedakan dengan manusia lain.
Mengatakan bahwa agenda kebangsaan terakbar terletak pada
pendidikan, bukanlah sesuatu yang tanpa alasan atau mengada-ada,
melainkan didasarkan pada fakta bahwa seluruh sektor kehidupan
bangsa merupakan concern sumber daya manusia (human resource)
yang dihasilkan dari output dunia pendidikan. Oleh karenanya,
semenjak negara Indonesian berdiri, founding fathers bangsa ini
sudah menanamkan semangat dan tekad untuk memperjuangkan
keadilan bagi seluruh warganegara, termasuk di dalamnya untuk
memperoleh hak pendidikan yang layak dan mumpuni. Cita-cita luhur
tersebut kemudian dituangkan ke dalam rumusan Pembukaan UUD
1945 sebagai salah satu tujuan didirikannya Negara Kesatuan
Republik Indonesia, yaitu untuk “mencerdaskan kehidupan bangsa”.
Namun demikian, opersionalisasi fungsi pendidikan sebagai
wahana untuk mencerdaskan kehidupan bangsa seringkali
dihadapkan pada tindakan-tindakan penyelewengan baik yang
dilakukan oleh pemerintah selaku regulator, para praktisi pendidikan
2
maupun yang dilakukan oleh warga negara pada umumnya selaku
subjek dan objek pendidikan. Adapun penyelewengan yang sampai
sekarang masih terasa paling rawan diantaranta adalah:
1. Penekanan nilai prestasi peserta didik yang lebih terfokus pada
aspek kognitif saja.
2. Masih merebaknya “pungutan liar” yang dilakukan oleh oknum-
oknum pemerintahan maupun para praktisi pendidikan sendiri.
Misalnya dalam hal pemberian bantuan dana pendidikan. Dana
yang seharusnya diterima oleh yang berhak seringkali jumlahnya
berkurang dari jumlah semula sebagai akibat dari berbagai
pungutan yang tidak jelas.
3. Lemahnya perlindungan hak cipta atas suatu karya ilmiah yang
mengakibatkan merebaknya tindakan pembajakan.
4. Lemahnya perlindungan profesi guru, sehingga guru seringka
menjadi pihak yang disalahkan ketika terjadi suatu persoalan
dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya sebagai guru.
Hal-hal di atas menunjukkan bahwa system pendidikan
Indonesia tengah mengalami suatu gejala yang disebut wan-edukasi,
yaitu pelaksanaan sistem pendidikan yang tidak memenuhi syarat-
syarat seharusnya yang dalam hal ini bisa berarti pendidikan diwarnai
dengan berbagai penyimpangan (Halim, 1985:69). Gejala wan-edukasi
terjadi salah satunya disebabkan oleh belum normatifnya hukum
pendidikan. Dengan kata lain, hukum pendidikan di Indonesia baru
sekedar dalam tataran idealis saja, belum diimplementasikan
sepenuhnya dalam praktik pendidikan, sehingga hukum pendidikan
belum bernilai normatif.
Kondisi tersebut di atas salah satunya disebabkan masih
rendahnya kesadaran hukum pemerintah, praktisi pendidikan maupun
masyarakat pada umumnya dalam melaksanakan hukum pendidikan di
Indonesia. Oleh karena itu harus dilakukan upaya penyadaran, salah
satunya melalui penyebarluasan pengetahuan dan pemahaman
tentang hukum pendidikan. Hal ini dikarenakan kesadaran hukum
3
akan tumbuh jika aspek pengetahuan dan pemahaman dimiliki oleh
para subjek hukum penddikan.
Sekaitan dengan masalah di atas, penulis melalui makalah ini
akan menyajikan sebuah kajian tentang suprastruktur hukum
pendidikan sebagai sebuah kerangka yang dibutuhkan bagi
terselenggaranya pendidikan yang berkualitas yang bermuara pada
penciptaan karakter manusia Indonesia sebagaimana amanat
Pancasila dan UUD 1945. Kajian ini diharapkan dapat menjadi sarana
penyebarluasan pengetahuan dan pemahaman tentang hukum
pendidikan di Indonesia.
B. Ideologi dan Filosofi Pendidikan
Dalam bagian ini penulis tidak akan memaparkan definisi
konseptual dari ideologi dan filsafat, tetapi akan mengupas konsep
pendidikan secara ideologis atau filosofis. Berbicara mengenai
pendidikan dalam sudut padangan ideologis dan filosofis berarti akan
dibicarakan landasan suatu sistem pendidikan yang dilakukan oleh
suatu negara. Dalam makalah ini aspek yang kaji adalah mengenai
konsep dan peranan pendidikan.
Kata pendidikan berasal dari bahasa Yunani, yaitu
"Paedagogus" berdasar pada pangkal kata "pais", yang berarti
perkataan yang berhubungan dengan anak. kata Dalam
perkembangan sejarah dan sejalan dengan keadaan masyarakat dan
kebudayaan, arti pendidikan terus berubah-ubah (Azis, 2008; O’neil,
2008). Supeno (2002:12) menyebutkan bahwa pendidikan adalah
bimbingan atau pertolongan yang diberikan dengan sengaja oleh
orang dewasa untuk mencapai tujuan pendidikan. Dengan demikian,
pendidikan berarti usaha untuk melanggengkan budaya yang ada,
kepada generasi penerus serta upaya mempertahankan status quo,
yakni tetap bertahannya nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.
Pendapat ini kemudian diargumentasikan sendiri oleh Supeno.
Ia memberikan gambaran bahwa pendidikan sebenarnya harus
mampu menolong atau membantu proses peserta didik dalam
4
menemukan jati dirinya. Pendidikan harus mampu menemukan ke-
berdikari-an baik sebagai makhluk individu maupun sebagai makhluk
sosial. Dari sini diharapkan pendidikan tidak lagi sebagai sebuah
proses penyadaran setengah hati. Pendidikan tidak lagi asal-asalan,
melainkan pendidikan melainkan suatu usaha yang dilakukan secara
sadar oleh pendidik melalui bimbingan, pengajaran, dan latihan untuk
membantu peserta didik mengalami proses pemanusiaan diri kearah
terciptanya pribadi yang dewasa susila.
Berbeda dengan Supeno, Muhaimin (2003:15) memberikan
cakupan yang lebih luas tentang pengertian pendidikan yaitu sebagai
aktivitas dan fenomena. Pendidikan sebagai aktivitas merupakan
upaya yang secara sadar dirancang untuk membentuk seseorang atau
sekelompok orang dalam mengembangkan pandangan hidup, sikap
hidup, dan ketrampilan hidup baik yang bersifat mental maupun
sosial. Sedangkan pendidikan sebagai fenomena adalah sebuah
peristiwa perjumpaan antara dua orang atau lebih yang dampaknya
adalah berkembangnya suatu pandangan hidup, sikap hidup dan
ketrampilan hidup pada salah satu ataupun beberapa pihak.
Disisi lain pendidikan juga sering diidentikkan perannya dengan
memasyarakatkan ideologi dan nilai-nilai sosio-kultural suatu bangsa
(Bock, 1992). Lebih lanjut dijelaskan bahwa pendidikan juga
mengambil peran strategis guna menyiapkan tenaga kerja untuk
memerangi kemiskinan, kebodohan dan mendorong perubahan sosial
serta untuk memeratakan kesempatan dan pendapatan. Peran
pertama merupakan fungsi politik pendidikan sedangkan dua peran
yang lainnya merupakan fungsi ekonomi (Bock, 1992).
Berkaitan dengan peranan pendidikan dalam pembangunan
nasional muncul dua paradigma yang menjadi kiblat pendidikan, yakni
paradigma fungsional dan paradigma sosialisasi. Paradigma
fungsional melihat bahwa keterbelakangan dan kemiskinan
disebabkan karena masyarakat tidak mempunyai cukup pendidikan
yang memiliki pengetahuan, kemampuan serta sikap modern.
Menurut pengalaman masyarakat di barat, lembaga pendidikan
5
dengan sistem persekolahan merupakn lembaga utama dalam
mengembangkan ilmu pengetahuan, melatih kemampuan dan
keahlian, dan menanamkan sikap modern pada individu yang
diperlukan dalam proses pembangunan. Perkembangan lebih lanjut
muncul sebuah tesis human investment, yang menyebutkan bahwa
investasi dalam diri manusia lebih menguntungkan, memiliki
economic rate of system yang lebih tinggi dibandingkan investasi
dalam bidang fisik (Bock, 1992; O’neil, 2008).
Sejalan dengan paradigma fungsional, paradigma sosialisasi
melihat peranan pendidikan dalam pembangunan adalah, pertama,
mengembangkan kompetensi individu. kedua, kompetensi yang tinggi
tersebut diperlukan untuk meningkatkan produktifitas. Ketiga,
meningkatkan kemampuan warga masyarakat. Dengan semakin
banyaknya warga masyarakat yang memiliki kemampuan, akan
meningkatkan kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Oleh
karena itu, berdasarkan paradigma sosialisasi ini, pendidikan harus
diperluas secara besar-besaran dan menyeluruh kalau suatu bangsa
menginginkan kemajuan (Bock, 1992; O’neil, 2008).
Bagi kaum liberalis pendidikan diartikan sebagai usaha untuk
melestarikan dan meningkatkan mutu tatanan sosial yang ada dengan
cara mengajarkan pada setiap anak-anak bagaimana cara mengatasi
masalah-masalah kehidupannya sendiri secara efektif. Dalam arti rinci
pendidikan harus berupaya untuk menyedikan informasi dan
ketrampilan yang diperlukan siswa untuk belajar sendiri secara
efektif. Disamping itu, pendidikan harus mengajarkan bagaimana
memecahkan persoalan-persoalan praktis melalui penerapan proses-
proses penyelesaian masalah secara individual maupun kolektif,
dengan berdasarkan pada tata cara ilmiah-rasional bagi pengujian dan
pembuktian gagasan (Bock, 1992; O’neil, 2008).
Max Rafferty (Aziz, 2008) menyebutkan bahwa pendidikan yang
sesungguhnya adalah upaya penumpukan pengetahuan yang besar
yang ditambahkan ke dalam warisan para pemikir dan praktisi dari
generasi ke generasi. Pendidikan menuntut keapaadaan penyampaian.
6
Seorang guru bahasa inggris, misalkan, harus mengenal tatabahasa
luar dalam, dan jangan mengajarkan omong kosong tentang
bagaimana cara bersulang yang baik dengan menggunakan bahasa
inggris.
Dari pengertian diatas dapatlah diidentifikasi bahwa pemikiran-
pemikiran filosofis tersebut lantas memberikan sumbangn yang cukup
signifikan bagi perkembangn metodologi pendidikan. Dikarenakan
tarikan metodologi selalu berlatar empiris yang berbeda, dus, berbeda
pula simpulannya. Dengan demikian sah, jika muncul banyak aliran-
alitan baik dalam dunia filsafat maupun lebih khusus lagi yang
berkembang dalam dunia pendidikan. Berikut adalah beberapa aliran
yang berkembang dalam dunia pendidikan plus dengan thesa-sinthesa
dan antithesa yang melatarbelakanginya sebagai dikutif oleh Azis
(2008).
1. Fundamentalisme
Fundmentalisme adalah posisi etis yang menganggap bahwa
kehidupan yang baik terwujud dalam ketaatan terhadap tolok ukur
keyakinan dan perilaku yang bersifat intuitif dan atau yang
diwahyukan. Pada umumnya fundamentalisme menerima jalur
penalaran yang dapat diikhtisarkan menjadi lima titik dasar.
Pertama, ada jawaban otoritatif terhadap seluruh problem
kehidupan yang memiliki arti penting. Kedua, jawaban-jawaban itu
pada dasarnya bersandar pada kewenangan dari luar (eksternal);
entah itu dalam wahyu keagamaan yang diterima oleh para nabi atau
orang suci. Ketiga, jawaban itu bukan saja otoritatif, melainkan
langsung mengena pada persoalan, tidak mengandung makna ganda,
tidak mendua dan bisa langsung dimengerti oleh orang awam, tidak
membutuhkan tafsiran khusus ataupun campur tangan pakar.
Keempat, jawaban-jawaban yang disediakan oleh intuisi/iman sudah
cukup bagi siapapun yang berhasrat hidup secara baik. Sedangkan
yang kelima, bahwa untuk kehidupan yang baik, orang tidak hanya
perlu kembali pada kepastian-kepastian kebijaksanaan umum, atau
7
pada agama, lebih dari itu, yakni dengan mengamini segala macam
bentuk pewahyuan .
Dengan demikian pendidikan bagi kaum fundamentalis
bertujuan untuk membangkitkan kembali dan meneguhkan kembali
cara-cara lama yang lebih baik dibanding sekarang. Sedangkan tujuan
institusional pendidikannya antara lain untuk membangun kembali
masyarakat dengan cara mendorong agar kembali ke tujuan-tujuan
yang semula, yakni memberikan informasi dan ketrampilan-
ketrampilan yang diperlukan untuk mencapai keberhasilan dalam
tatanan sosial.
2. Intelektualisme
Kaum intelektualisme meyakini bahwa ada kebenaran-
kebenaran tertentu yang sifatnya mutlak dan kekal, yang melampaui
ruang dan waktu tertentu. Bahwa kebenaran-kebenaran itu selalu ada.
Kebenaran-kebenaran itu berlaku bagi ummat manusia pada
umumnya dan tidak merupakan milik yang unik dari individu maupun
kelompok manusia tertentu saja.
Secara umum tujuan yang ingin dicapai oleh intelektualisme
pendidikan adalah bahwa menganalisa, meneruskan dan melestarikan
kebenaran, mengajarkan pada terdidik bagaimana cara menalar,
meneruskan dan menyalurkan kebijaksanaan-kebijaksanaan dari masa
silam yang bertahan mutlak dilakukan. Adapun ciri umumnya adalah
bahwa pengetahuan adalah sebuah tujuan akhir yang ada dalam diri
manusia. Bahwa kebenaran adalah intrinsik. Manusia adalah kodrat
atau hakekt yang sifatnya universal, yang melampaui keadaan-
keadaan tertentu yang telah ada.
3. Konservativisme
Bagi kaum konservatif, tujuan atau asaran pendidikan adalah
sebagai sarana pelestarian dan penerusan pola-pola kemapanan sosial
serta tradisi-tradisi. Berciri "orientasi ke masa kini", para pendidik
8
konservatif sangat menghargai masa silam, namun terutama
memusatkan perhatiannya pada kegunaan dan pola-pola belajar
mengajar didalam konteks sosial yang ada sekarang ini, ia ingin
mempromosikan perkembangan masyarakat kontemporer yang
seutuhnya dengan cara memastikan terjadinya perubahan yang
perlahan-lahan dan bersifat organis yang sesuai dengan keperluan-
keperluan legal intitusional suatu kemapanan.
Selain itu konservatisme juga bertujuan untuk mendorong
pemapanan dan penghargaan bagi lembaga-lembaga, tradisi-tradisi
dan proses-proses budaya yang sudah teruji oleh waktu, termasuk
rasa hormat yang tinggi. Dengan demikian, kaum konservatif
menganggap bahwa meneruskan informasi dan ketrampilan yang
sesuai, supaya berhasil dalam tatanan soial yang ada, adalah
merupakan tujuan lembaga pendidikannya.
4. Liberalisme
Prinsip kaum liberalisme pendidikan adalah mengangkat
perilaku personal yang efektif. Dalam hal ini, tak lebih hanya sebagai
sarana untuk pembelajaran bagi siswa tentang bagaimana cara
menyelesaikan persoalan praktis melalui penerapan tatacara-tatacara
pemecahan masalah secara personal maupun kelompok, dengan
berdasar pada metode ilmiah-rasional. Adapun ciri-ciri umum dari
liberalisme pendidikan antara lain;
a. Pengetahuan adalah alat yang digunakan untuk memecahkan
masalah praktis.
b. Individu adalah pribadi yang unik, yang mampu menemukan
kepuasan terbesar dalam mengungkapkan dirinya menanggapi
kondisi yang berubah; pemikiran efektif (kecerdasan praktis)-
kemampuan menyelesaikan problema-problema personal secara
efektif-adalah perangkat yang mesti digunakan.
c. Pendidikan adalah pengembangan efektifitas personal, yang
berpusat pada tatacara-tatacara pemecahan masalah perseorangan
maupun kelompok dengan menekankan pada situasi dan masa
9
depan yang dekat sehubungan dengan kebutuhan-kebutuhan dan
persoalan-persoalan individu sekarang.
5. Konstruktivisme
Dalam dunia pendidikan konstruktivisme beranggapan bahwa
pengetahuan adalah hasil dari konstruksi manusia. Manusia
mengkonstruksi pengetahuan mereka melalui interaksi mereka
dengan objek, fenomena dan lingkungan sekitar. Suatu pengetahuan
dianggap benar bila pengetahuan itu dapat berguna untuk
menghadapi dan memecahkan persoalan atau fenomena. Bagi kaum
konstruktifisme, pengetahuan tidak bisa begitu saja ditransfer dari
seseorang kepada seseorang lainnya, tetapi harus diinterpretasikan
sendiri oleh masing-masing orang. Tiap orang harus mengkonstruksi
pengetahuan sendiri, karena pengetahuan bukan sesuatu yang sudah
jadi, melainkan suatu proses yang berkembang terus menerus. Dalam
proses ini keaktifan seseorang yang ingin tahu amat berperan dalam
perkembangan pengetahuannya.
6. Progressivisme
Progressivisme mempunyai konsep yang didasari oleh
kepercayaan bahwa manusia itu mempunyai kemampuan-kemampuan
yang wajar dan dapat menghadapi serta mengatasi masalah-masalah
yang bersifat menekan atau mengancam keberlangsungan manusia itu
sendiri. sehubungan dengan hal itu, progressifisme kurang menyetujui
adanya pendidikan yang bercorak otoriter.
Pendidikan yang bercorak otoriter ini dapat diperkirakan
mempunyai kesulitan untuk mencapai tujuan-tujuan (yang baik),
karena kurang menghargai dan memberikan tempat yang semestinya
kepada kemampuan-kemampuan dalam proses pendidikan. Padahal
semua itu adalah ibarat motor penggerak manusia dalam usahanya
untuk mengalami kemajuan (progress).
Oleh karena itu, kemajuan (progress) ini menjadi perhatian
kaum progressifisme, maka beberapa ilmu pengetahuan yang mampu
10
menumbuhkan kemajuan dipandang oleh progressifisme merupakan
bagian-bagian utama dari kemapanan sebuah peradaban.
7. Essensialisme
Essensialisme mempunyai tinjauan mengenai pendidikan yang
berbeda dengan progressifisme. Kalau progressifisme menganggap
bahwa banyak hal yang mempunyai sifat yang serba fleksibel dan
nilai-nilai yang dapat berubah serta berkembang, essensialisme
menganggap bahwa dasar pijak semacam ini kurang tepat. Dalam
pendidikan, fleksibilitas dalam segala bentuk dapat menjadikan
timbulnya pandangan yang berubah-ubah, pelaksanaan yang kurang
stabil dan tidak menentu.
Pendidikan yang bersendikan tata nilai-nilai yang bersifat
demikian ini dapat menjadikan pendidikan itu sendiri kehilangan arah.
Dengan demikian, pendidikan haruslah bersendikan pada nilai-nilai
yang dapat mendatangkan stabilitas. Agar dapat terpenuhi maksud
tersebut nilai-nilai itu perlu dipilih agar mempunyai tata yang jelas
dan yang telah teruji oleh wktu. Dengan demikian, prinsip
essensialisme menghendaki agar landasan-landasan pendidikan
adalah nilai-nilai yang essensial dan bersifat menuntun.
8. Perennialisme
Perennialisme memandang bahwa keadaan sekarang adalah
zaman yang mempunyai kebudayaan yang terganggu oleh kekacauan,
kebingungan, dan kesimpangsiuran. Ibarat kapal yang akan berlayar,
zaman memerlukan pangkalan dan arah tujuan yang jelas.
Perennialisme berpendapat bahwa mencari dan menemukan
pangkalan yang demikian ini merupakan tugas yang pertama-tama
dari filsafat dan filsafat pendidikan.
Perennialisme mengambil jalan regresif, karena mempunyai
pandangan bahwa tidak ada jalan lain kecuali kembali kepada prinsip
umum yang telah menjadi dasar tingkah laku dan perbuatan manusia.
Motif perennialisme dengan mengambil jalan regresif tersebut, bukan
11
hanya nostalgia pada nilai-nilai lama untuk diingat atau dipuja,
melainkan bagaimana agar nilai-nilai tersebut mempunyai kedudukan
vital bagi pembangunan kebudayaan.
Belajar menurut perennialisme adalah latihan mental dan
disiplin jiwa. Dengan demikian pandangan tentang belajar hendaklah
berdasarkan atas faham bahwa manusia pada hakekatnya adalah
rasionalistis. Maka, belajar tidak lain adalah mengembangkan metode
berpikir logis, deduktif dan induktif sekaligus.
Kemudian bagaimana ideologi dan filosofi sistem pendidikan
Indonesia? Pendidikan Indonesia mempunyai ideologi dan filosofi
tersendiri, yaitu Pancasila dan UUD NRI 1945. Secara umum
pendidikan Indonesia merupakan sarana untuk mengimplementasikan
serta menginternalisasikan nilai-nilai Pancasila yang terdiri atas nilai
Ketuhanan Yang Maha Esa; Kemanusian yang adil dan beradab;
Persatuan Indonesia; Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan; dan Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Konsepsi ideologi dan filosofi
sistem pendidikan Indonesia tersebut diopersionalisasikan dalam UU
RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam
undang-undang tersebut dirumuskan bahwa pada hakikatnya
pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat,
bangsa dan negara.
C. Dinamika Sistem Pendidikan Nasional Negara Republik
Indonesia
1. Dinamika Landasan Konstitusional Pelaksanaan Sistem
Pendidikan Nasional Negara Republik Indonesia
Landasan konstitusional sistem pendidikan nasional Negara
Republik Indonesia mengalami beberapa kali perubahan. Hal ini
12
dikarenakan adanya perubahan konstitusi yang berlaku di Republik
Indonesia. Negara kita telah mengalami lima periodesasi konstitusi,
yaitu pada masa berlakunya UUD 1945 (UUD proklamasi), Konstitusi
Republik Indonesia Serikat 1949, UUD Sementera Tahun 1950, UUD
1945 (jilid 2) dan UUD NRI 1945 pasca amandemen. Dengan demikian
sistem pendidikan nasional Republik Indonesia telah mengalami
perubahan landasan konstitusional sebanyak lima kali.
Pada masa berlakunya UUD 1945 jilid pertama atau yang sering
disebut sebagai UUD proklamasi, landasan konstitusional sistem
pendidikan nasional adalah Bab XIII Pasal 31 ayat (1) dan (2) yang
berbunyi:
(1) Tiap-tiap warga negara berhak mendapa pengajaran(2) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem
pengajaran nasional yang diatur dengan undang-undangUUD 1945 jilid pertama berakhir masa berlakunya ketika
bentuk negara Indonesia berubah dari negara kesatuan menjadi
negara serikat. Perubahan tersebut berimplikasi pada dicabutnya
UUD 1945 dan diganti oleh Konstitusi Republik Indonesia Serikat
Tahun 1949. Dengan demikian landasan konstitusional sistem
pendidikan pun kembali berubah. Adapun yang menjadi landasan
konstitusional sistem pendidikan nasional dalam Konstitusi RIS
terdapat dalam pasal 39 ayat (1), (2) dan (4) yang berbunyi:
(1) Penguasa wajib memajukan sedapat-dapatnya perkembangan rakyat baik ruhani maupun jasmani dan dalam hal ini selekas-lekasnya menghapuskan buta huruf.
(2) Di mana perlu, penguasa memenuhi kebutuhan akan pengajaran umum yang diberikan atas dasar memperdalam keinsyafan kebangsaan, mempererat persatuan Indonesia, membangun dan memperdalam perasaan peri kemanusian, kesabaran dan penghormatan yang sama terhadap keyakinan agama setiap orang dengan memberikan kesempatan dalam jam pelajaran agama sesuai dengan keinginan orang tua murid-murid.
(4) Terhadap pengajaran rendah, maka penguasa senantiasa berusaha melaksanakan dengan lekas kewajiban belajar yang umum.Ketentuan dalam konstitusi RIS tersebut diopersionalisasikan
dalam UU No. 4 tahun 1950 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan
Pengajaran di Sekolah. Akan tetapi ketentuan dalam Konstitusi RIS
13
1949 belum sepenuhnya dapat diimplmentasikan. Hal ini dikarenakan
masa belakunya Konstitusi RIS berakhir dan diganti oleh Undang-
Undang Dasar Sementara Tahun 1950 (UUDS 1950). Dalam UUDS
1950, secara konstitusional sistem pendidikan nasional berdasar pada
ketentuan Pasal 30 ayat (1), (2), dan (3) yang berbunyi:
(1) Tiap-tiap warga-negara berhak mendapat pengajaran.(2) Memilih pengadjaran jang diikuti, adalah bebas.(3) Mengajar adalah bebas, dengan tidak mengurangi pengawasan
penguasa jang dilakukan terhadap itu menurut peraturan undang-undang.
Ketentuan pasal 30 tersebut dioperasionalisasikan dalam UU No. 12
tahun 1954 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di
Sekolah.
Pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan
sebuah keputusan yang dikenal dengan sebutan Dekrit Presiden 5 Juli
1959 yang isinya antara lain membubarkan Konstiotuante dan
menetapkan berlakunya kembali Undang-Undang Dasar 1945 menjadi
hukum dasar tertulis Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Maka sejak tahun 1959 sampai masa Orde Baru konstitusi yang
berlaku adalah Undang-Undang Dasar 1945. Hal tersebut
berimplikasi pada kembali berubahnya landasan konstitusional sistem
pendidikan nasional dari UUDS 1950 ke UUD 1945. Sama halnya pada
saat pertama kali diberlakukan, pada pemberlakuan yang kedua juga
yang manjadi dasar sistem pendidikan nasional adalah Bab XIII Pasal
31 ayat (1) dan (2) UUD 1945. Akan tetapi pada masa Orde Baru,
ketentuan pasal 31 tersebut dioperasionalisasikan oleh beberapa
perundang-undangan yaitu:
a. Ketetapan MPRS RI No. XXVII/MPRS/1966 tentang Agama,
Pendidikan dan Kebudayaan
b. Ketetapan MPR RI No. IV/MPR/1973 tentang Garis-garis Besar
Haluan Negara (GBHN)
c. Ketetapan MPR No. IV/MPR/1978 tentang Garis-garis Besar
Haluan Negara (GBHN)
d. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1989 Tentang
Sistem Pendidikan Nasional
14
Kekuasaan Orde Baru berakhir pada tahun 1998. Jatuhnya Orde
Baru berimplikasi pada munculnya gagasan untuk mengamandemen
UUD 1945. Gagasan tersebut mulai dilakukan pada tahun 1999 dan
berakhir pada tahun 2002. Hal ini juga mengubah landasan
konstitusional sistem pendidikan nasional Indonesia, meskipun
perubahannya tidak seperti periode-periode sebelumnya yang ditandai
dengan perubahan konstitusi negara, Pada masa ini landasan sistem
pendidikan nasional adalah adalah pasal 28 E ayat (1) dan Pasal 31
ayat (1) sampai (5) yang berbunyi:
Pasal 28 E
(1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal diwilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.
Pasal 31
(1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.(2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan
pemerintah wajib membiayainya. (3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem
pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.
(4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari aggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
(5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan tekhnologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.
Ketentuan dalam pasal-pasal tersebut diopersionalisasikan dalam UU
RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
2. Dinamika Tujuan Pendidikan Nasional Negara Republik
Indonesia
Berbicara mengenai tujuan pendidikan nasional tidak bisa
dilepaskan dari cita-cita pencerdasan kehidupan bangsa yang secara
formal termaktub dalam Pembukaan UUD NRI 1945 alinea keempat.
Hal ini dikarenakan cita-cita tersebut hanya dapat diwujudkan melalui
15
pendidikan. Oleh karena itu pendidikan dapat dikatakan sebagai akar
dari peradaban. Pendidikan menentukan tingkat kesejahteraan
sebagai bagian dari capaian peradaban sebuah bangsa. Manusia
sebagai makhluk yang memiliki kelebihan berupa akal dan pikiran,
hanya dapat mencapai kemanusiaannya dalam kondisinya sebagai
makhluk sosial melalui proses pendidikan. Tanpa pendidikan
peradaban seseorang tidak akan mampu menyesuaikan diri dengan
dunianya, dan akan terpinggirkan bahkan menjadi korban peradaban.
Tujuan pendidikan nasional Indonesia sejak proklamasi
kemerdekaan sampai sekarang secara formal bersifat dinamis,
walaupun pada hakekatnya sama yaitu untuk mencapai kecerdasan
bangsa. Hal tersebut tersebut terjadi sejalan dengan dinamika
peraturan perundang-undangan yang secara eksplisit berkedudukan
sebagai hukum pendidikan. Untuk mengkaji hal ini tentu saja kita
tidak melepaskan aspek historis dari berbagai peraturan tentang
pendidikan nasional. Oleh karena itu berikut ini penulis paparkan
dinamika tujuan pendidikan nasional dalam peraturan perundang-
undangan tentang sistem pendidikan nasional.
Badan Pekerja KNIP mengusulkan pokok-pokok usaha
pendidikan dan pengajaran kepada Kementrian Pendidikan,
Pengajaran dan Kebudayaan (29 Desember 1945): (1) Perlu ada
perubahan pedoman pendidikan dan pengajaran. Yang paling
mendasar adalah mengubah faham individualisme menjadi faham
kesusilaan dan peri kemanusiaan yang tinggi. (2) Demi persatuan dan
keadilan sosial, sekolah harus dibuka untuk segala lapisan masyarakat
baik laki-laki maupun perempuan. (3) Sistem pendidikan perlu
berorientasi vokasi, leadership dan pemberantasan buta huruf. (4)
Pendidikan agama perlu diberi perhatian seksama dengan asas
kemerdekaan beragama. Adapun madrasah dan pesantren sangat
perlu mendapat perhatian dan bantuan nyata dari pemerintah. (5)
Pengembangan optimal pendidikan tinggi termasuk memanfaatkan
bantuan guru besar asing dan pengiriman mahasiswa untuk studi ke
luar negeri. (6) Wajib belajar 6 tahun yang diharapkan telah merata
16
dalam jangka waktu satu dekade (10 tahun). (7) Pendidikan teknik dan
ekonomi khususnya pertanian, industri, pelayaran dan perikanan
perlu mendapat perhatian istimewa. (8) Pendidikan kesehatan dan
olahraga hendaknya dilaksanakan secara teratur. (9) Pendidikan
gratis bagi siswa Sekolah Rakyat. Sedangkan bagi siswa Sekolah
Menengah dan Perguruan Tinggi diupayakan pengaturan pembiayaan
dan tunjangan yang luas agar dapat membantu akses bagi mereka
yang kurang mampu.
Usulan ini kemudian ditindaklanjuti oleh Menteri Pendidikan
dan Pengajaran/Mendikjar (Dr. Mr. T.S.G. Mulia) dengan membentuk
Panitia Penyelidik Pengajaran di bawah pimpinan Ki Hajar Dewantara
dengan penulis Soegarda Poerbakawatja. Salah satu hasil Panitia
Penyelidik Pengajaran ini adalah rumusan tujuan pendidikan sebagai
berikut: “Mendidik warga negara yang sejati, sedia menyumbangkan
tenaga dan pikiran untuk warga negara dan masyarakat.” Pengertian
“warga yang sejati” itu kemudian dijabarkan sifat-sifatnya dalam
pedoman bagi guru-guru yang dikeluarkan oleh Kementerian PP dan K
pada tahun 1946, yaitu: (1) Berbakti kepada Tuhan YME. (2) Cinta
kepada alam. (3) Cinta kepada negara. (4) Cinta dan hormat kepada
ibu-bapak. (5) Cinta kepada bangsa dan kebudayaan. (6)
Keterpanggilan untuk memajukan negara sesuai kemampuannya. (7)
Memiliki kesadaran sebagai bagian integral dari keluarga dan
masyarakat. (8) Patuh pada peraturan dan ketertiban. (9)
Mengembangkan kepercayaan diri dan sikap saling hormati atas
dasar keadilan. (10) Rajin bekerja, kompeten dan jujur baik dalam
pikiran maupun tindakan. Dengan demikian dapat dikatakan formulasi
tujuan pendidikan ini menunjukkan bahwa pendidikan ketika itu lebih
menekankan pada aspek penanaman semangat patriotisme.
Pada bulan Desember 1949, terjadi perubahan ketatanegaraan
dimana UUD 1945 diganti dengan Konstitusi Sementara Republik
Indonesia Serikat. Meski landasan idiil (yaitu Pancasila) tidak
berubah, tetapi formulasi tujuan pendidikan mengalami perubahan.
Hal ini tampak dalam UU No. 4 tahun 1950 tentang Dasar-dasar
17
Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah yang disahkan oleh Presiden RI
(Mr. Assaat) dan Mendikjar RI (S. Mangunsarkoro), yaitu:
“Membentuk manusia susila yang cakap dan warga negara yang
demokratis, serta bertanggung jawab tentang kesejahteraan
masyarakat dan tanah air.” Rumusan tujuan pendidikan ini kemudian
dituangkan kembali dalam UU No. 12 tahun 1954 tentang Dasar-dasar
Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah yang sesungguhnya merupakan
pemberlakuan kembali UU No. 4 tahun 1950 untuk seluruh wilayah
RI. Formulasi cita-cita ini menunjukkan bahwa pendidikan ketika itu
telah mengadaptasi pemikiran demokrasi yang tengah berkembang
sehingga sifat-sifat ini pula yang ditanamkan kepada generasi
mudanya.
Tujuan pendidikan nasional kembali mengalami perubahan
ketika politik negara dikendalikan faham Manipol-Usdek di bawah
pimpinan Bung Karno sejak 1959. Dalam Kepres RI No. 145 tahun
1965 tentang Pokok-Pokok Sistem Pendidikan Nasional Pancasila
disebutkan bahwa: “Tujuan Pendidikan Nasional kita baik yang
diselenggarakan oleh pihak Pemerintah maupun oleh pihak Swasta,
dari Pendidikan Prasekolah sampai Pendidikan Tinggi, supaya
melahirkan warga negara Sosialis Indonesia yang susila, yang
bertanggung jawab atas terselenggaranya Masyarakat Sosialis
Indonesia, adil dan makmur baik spiritual maupun materiil dan yang
berjiwa Pancasila, yaitu: (a) Ke-Tuhan-an Yang Maha Esa, (b)
Perikemanusiaan yang adil dan beradab, (c) Kebangsaan, (d)
Kerakyatan, (e) Keadilan Sosial, seperti dijelaskan dalam
Manipol/Usdek.” Formulasi ini ternyata tidak bertahan lama karena
peristiwa G 30 S/PKI tahun 1965 yang menyadarkan rakyat tentang
motif politik PKI di balik cita-cita pendidikan tersebut. Selanjutnya,
pada masa Orde Baru melalui Ketetapan MPRS RI No.
XXVII/MPRS/1966 tentang Agama, Pendidikan dan Kebudayaan
disebutkan bahwa tujuan pendidikan adalah: “Membentuk manusia
Pancasilais sejati berdasarkan ketentuan-ketentuan seperti yang
dikehendaki oleh Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.”
18
Pada tahun 1973, MPR hasil pemilu mengeluarkan Ketetapan
MPR RI No. IV/MPR/1973 yang dikenal dengan Garis-garis Besar
Haluan Negara (GBHN) yang di dalamnya menyebutkan rumusan
tujuan pendidikan sebagai berikut: “Pendidikan pada hakikatnya
adalah usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan
kemampuan di dalam dan di luar sekolah dan berlangsung seumur
hidup.” Tujuan ini kemudian mengalami reformulasi kembali dalam
Ketetapan MPR No. IV/MPR/1978 yang berbunyi: “Pendidikan
nasional berdasarkan atas Pancasila dan bertujuan untuk
meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa,
kecerdasan, keterampilan, mempertinggi budi pekerti, memperkuat
kepribadian, dan mempertebal semangat kebangsaan agar dapat
menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang dapat
membangun dirinya sendiri serta bersama-sama bertanggung jawab
atas pembangunan bangsa.”
Kemudian, pada tahun 1989 pemerintah menetapkan UU RI No.
2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam undang-
undang tersebut dirumuskan tujuan pendidikan nasional sebagai
berikut: ” Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan
bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu
manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa
dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan ,
kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri
serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan”.
Pada tahun 2003, pemerintah mengamandemen UU RI No. 2
Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Sebagai
perubahannnya, pemerintah menetapkan UU RI No. 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional. Hal ini berakibat kembali
berubahnya tujuan pendidikan. Dalam undang-undang sistem
pendidikan nasional yang baru dirumuskan bahwa pendidikan
nasional ini berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
19
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Demikianlah, melalui beberapa ilustrasi formulasi tujuan
pendidikan dalam sejarah Indonesia dapat dipahami bahwa dinamika
yang terjadi di dunia pendidikan nasional kita sangat erat terkait
dengan dinamika politik, ekonomi, serta sosio-kultural masyarakat.
Pendidikan memang diakui sebagai wahana pencerdasan dan
pembudayaan masyarakat, tetapi bagaimanapun juga, di samping
faktor perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, kepentingan-
kepentingan politik maupun ekonomi senantiasa saja menjadi
pertimbangan yang memberi warna dan corak bagi perkembangan
pendidikan yang ada.
3. Implementasi Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia
Cita-cita pencerdasan kehidupan bangsa secara formal dalam
Pembukaan UUD 1945 alinea keempat sebagai cita-cita bangsa
Indonesia. Cita-cita yang diwujudkan melalui pendidikan. Oleh karena
itu pendidikan dapat dikatakan sebagai akar dari peradaban.
Pendidikan menentukan tingkat kesejahteraan sebagai bagian dari
capaian peradaban sebuah bangsa. Manusia sebagai makhluk yang
memiliki kelebihan berupa akal dan pikiran, hanya dapat mencapai
kemanusiaannya dalam kondisinya sebagai makhluk sosial melalui
proses pendidikan. Tanpa pendidikan peradaban seseorang tidak akan
mampu menyesuaikan diri dengan dunianya, dan akan terpinggirkan
bahkan menjadi korban peradaban.
Begitu pentingnya pendidikan, sehingga menjadi salah satu hak
atas martabat kemanusiaan yang melekat dan tidak dapat dicabut.
Pendidikan adalah hak asasi manusia yang telah diakui sejak
munculnya konsepsi HAM generasi pertama. Dalam konteks untuk
mencapai tujuan pendidikan, pemerintah telah menyelenggarakan
sebuah sistem pendidikan nasional, yaitu keseluruhan komponen
20
pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan
pendidikan nasional (pasal 1 angka 1). Pendidikan nasional ini
berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak
serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab (Pasal 3 UU No. 20 Tahun 2003).
Meski demikian, hingga saat ini, pendidikan kita masih
dihadapkan pada rendahnya kualitas sumber daya manusia Indonesia
yang disebabkan oleh karena rendahnya mutu pendidikan nasional.
Mutu pendidikan ditentukan oleh layak atau tidaknya sarana,
prasarana, dan pelayanan pendidikan nasional. Dengan sendirinya,
input dan proses yang buruk akan mencipta output yang buruk juga.
Dari data yang diberikan oleh GOI-UNICEF yang berjudul
Situation of Children and Woman in Indonesia 2000 menunjukkan
data yang demikian memprihatinkan. Di antaranya pada tingkat
sekolah dasar (SD): 1,6 juta anak berusia 7-12 tahun berada di luar
sekolah, setiap tahunnya sekitar 836.000 atau 2,9% mengalami drop
out khususnya pada kelas 4, 5, dan 6. 20% dari murid baru tidak
dapat menyelesaikan SD. Sekitar 2 juta murid SD (7,3%) tidak naik
kelas setiap tahunnya.
Pada tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP): 4,8 juta (24%)
anak berusia 13-15 tahun berada di luar sekolah, setiap tahunnya
900.000 murid SMP (9,5%) mengalami drop out, dan 49.000 murid
(0,5%) tidak naik kelas setiap tahunnya. Sebagian besar murid SMP
memperoleh pendidikan yang kurang memadai, diperlihatkan oleh
nilai ujian akhir yang sangat rendah.
Dari indikator lain, yaitu indikator makro seperti pencapaian
Human Develompement Index (HDI) dan indikator mikro seperti
misalnya kemampuan membaca, dapat digambarkan bahwa
berdasarkan laporan yang dikeluarkan oleh UNDP pada Human
21
Development Report 2005, ternyata Indonesia menduduki peringkat
110 dari 177 negara di dunia. Bahkan yang lebih mencemaskan,
peringkat tersebut justru sebenarnya semakin menurun dari tahun-
tahun sebelumnya, di mana pada tahun 1997 HDI Indonesia berada
pada peringkat 99, lalu menjadi peringkat 102 pada tahun 2002, dan
kemudian merosot kembali menjadi peringkat 111 pada tahun 2004.
Menurut IMD (2000), dalam hal daya saing, Indonesia
menduduki peringkat ke-45 dari 47 negara. Sedangkan, Singapura
berada pada peringkat 2 dan Malaysia serta Thailand masing-masing
pada urutan ke-25 dan ke-23. Terkait masalah produktivitas,
terungkap bahwa produktivitas SDM Indonesia sangatlah rendah, hal
tersebut setidaknya dikarenakan kurangnya kepercayaan diri, kurang
kompetitif, kurang kreatif, dan sulit berprakarsa sendiri (selfstarter).
Itu semua disebabkan oleh sistem pendidikan yang top down dan tidak
mengembangkan inovasi dan kreativitas (N. Idrus - CITD 1999).
Begitu pula dari berbagai data perbandingan antar negara
dalam hal anggaran pendidikan yang diterbitkan oleh UNESCO dan
Bank Dunia dalam “The World Bank (2004): Education in Indonesia:
Managing the Transition to Decentralization (Indonesia Education
Sector Review), Volume 2, hal. 2-4”, Indonesia adalah negara yang
terendah dalam hal pembiayaan pendidikan. Pada tahun 1992,
menurut UNESCO, pada saat Pemerintah India menanggung
pembiayaan pendidikan 89% dari keperluan, Indonesia hanya
menyediakan 62,8% dari keperluan dana bagi penyelenggaraan
pendidikan nasionalnya. Sementara itu, dibandingkan dengan negara
lain, persentase anggaran yang disediakan oleh pemerintah Indonesia
masih merupakan yang terendah, termasuk apabila dibandingkan
dengan Srilanka sebagai salah satu negara yang terbelakang.
Hasil studi penelitian yang dilakukan oleh Vincent Greanery
dalam “Literacy Standards in Indonesia” dapat disimpulkan bahwa
kemampuan pendidikan membaca anak-anak Indonesia adalah paling
rendah dibandingkan dengan anak-anak Asia Tenggara pada
umumnya. Padahal, mempertimbangkan pendidikan anak sama saja
22
dengan mempersiapkan generasi yang akan datang. Hati seorang
anak bagaikan sebuah plat fotografik yang tidak bergambar apa-apa
dan akan merefleksikan semua yang ditampakkan padanya.
Terhadap kondisi pendidikan yang semakin terpuruk tersebut,
C.E. Beeby mencatat ada dua hambatan utama dalam upaya
meningkatkan bidang pendidikan di Indonesia. Pertama, kurangnya
biaya dan perlengkapan yang bisa dibeli dengan uang; dan kedua,
hambatan-hambatan yang bukan material sifatnya, di mana
penambahan uang tidak akan segera memperlihatkan efeknya. Hal
tersebut sejalan dengan salah satu temuan penting dari studi empiris
terhadap referensi pencapaian Human Development Index versi
UNDP, yaitu pembiayaan pendidikan di suatu negara terbukti
memberikan pengaruh sangat positif dan signifikan terhadap kinerja
pendidikan nasional di negara-negara bersangkutan.
Satu dari sekian masalah utama namun klasik yang selalu
membelit sistem pendidikan di Indonesia adalah rendahnya anggaran
pendidikan yang disediakan oleh negara. Rendahnya anggaran
pendidikan itu diyakini sebagian kalangan sebagai akar utama
buruknya pendidikan nasional. Alokasi dana yang rendah untuk
pendidikan, di mana penganggaran selalu dialokasikan dibawah 11%
dari APBN, dinilai sebagai cermin tidak adanya political will
pemerintah terhadap dunia pendidikan. Padahal dalam Pasal 31 ayat
(4) UUD 1945, secara jelas pemerintah mempunyai suatu kewajiban
konstitusi (constitutional obligation) untuk memprioritaskan anggaran
pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD guna
memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
Demikian pula ditegaskan kembali dalam UU organiknya yaitu UU No.
20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS bahwa dana pendidikan selain
gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan harus dialokasikan
minimal 20% dari APBN pada sektor pendidikan dan minimal 20%
dari APBD.
Masyarakat yang skeptis memandang nasib pendidikan saat ini,
baik itu berasal dari pihak perorangan maupun institusi pendidikan
23
seperti PGRI dan ISPI, sebenarnya telah berupaya menembus tembok
kemandegan penganggaran bagi pendidikan yang tidak sejalan
dengan amanah Pasal 31 UUD 1945. Hal itu mereka tempuh dengan
upaya melakukan proses permohonan pengujian undang-undang
terhadap UUD 1945 (judicial review) sebanyak dua kali kepada
Mahkamah Konstitusi (MK) selaku Lembaga Negara pengawal
konstitusi, yaitu UU APBN 2005 dan UU APBN 2006. Terjadinya
permohonan Judicial Review atas pemenuhan hak-hak asasi manusia
yang bersifat fundamental tersebut dapat kita katakan sebagai
pertanda bahwa telah terjadi suatu permasalahan yang sangat krusial,
bahkan Mark Elliot dalam bukunya “The Constitutional Foundations of
Judicial Review” memaknai pengujian undang-undang sebagai
tindakan warga negara dalam mencari keadilan yang hakiki yang
tidak boleh dianggap biasa oleh siapa pun.
Alhasil, pendapat MK terhadap kebijakan pemerintah yang
hanya mengalokasikan anggaran pendidikan dalam APBN sebesar 8,1
% pada tahun 2005 dan 9,1 % pada tahun 2006 dianggap
bertentangan dengan UUD 1945 (inkonstitusional) karena tidak sesuai
(unvereibar) dengan amanat Pasal 31 ayat (4) UUD 1945. Ketentuan
tersebut dikuatkan lewat putusannya No. 012/PUU-III/2005
bertanggal 5 Oktober 2005 dan No. 026/PUU-III/2005 bertanggal 22
Maret 2006 yang pada intinya menyatakan bahwa keberadaan Pasal
31 UUD 1945 mempunyai sifat imperatif (dwingend recht) yang tidak
dapat dielakkan selama masih tercantum dalam UUD 1945.
Putusan tersebut sangat tepat tatkala kita melakukan
penafsiran konstitusi (constitutional interpretation) terhadap rumusan
Pasal 31 ayat (4) UUD 1945 yang berbunyi, “Negara memprioritaskan
anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran
pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan
belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan
pendidikan nasional”, maka tidak akan membuka adanya
kemungkinan penafsiran lain selain bahwa negara wajib
memprioritaskan anggaran pendidikan dalam APBN dan APBD dengan
24
prioritas dimaksud haruslah sekurang-kurangnya 20% (duapuluh
persen) dari APBN serta dari APBD.
Begitu pula dalam Putusannya Nomor 011/PUU-III/2005,
Mahkamah menegaskan bahwa pada hakikatnya pelaksanaan
Konstitusi tidak boleh ditunda-tunda. Ketentuan anggaran minimal 20
persen dari APBN/APBD itu sudah dinyatakan secara express verbis,
sehingga tidak boleh direduksi oleh peraturan perundang-undangan di
bawahnya. Itu pula sebabnya, MK menyatakan Penjelasan Pasal 49
ayat (1) Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang membuat
norma baru dengan menyatakan bahwa pemenuhan anggaran
pendidikan dapat dilakukan secara bertahap tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat. Jikapun pemerintah diperbolehkan, quot
non, melakukan pemenuhan anggaran pendidikan secara bertahap,
faktanya pun sudah melenceng jauh dari skenario progresif
pemenuhan anggaran pendidikan yang disepakati bersama oleh DPR
dan Pemerintah pada tanggal 4 Juli 2005 yang lalu. Padahal, skenario
itu hanya menetapkan kenaikan bertahap 2,7 persen per tahun hingga
2009, dengan rincian kenaikan 6,6 % (2004), 9,29 % (2005), 12,01 %
(2006), 14,68 % (2007), 17,40 % (2008), dan 20,10 % (2009).
Bandingkan dengan anggaran yang ternyata hanya dialokasikan
sebesar 8,1 % pada tahun 2005 dan 9,1 % pada tahun 2006.
D. Institusi Pendidikan
Pendidikan adalah tanggung jawab semua pihak, mulai dari
pemerintah pusat, pemerintah daerah dan masyarakat. Mengacu pada
amanat Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, tercantum bahwa Pemerintah dan Pemerintah
Daerah berhak mengarahkan, membimbing, membantu, dan
mengawasi penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Pendidikan diselenggarakan
dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran
serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan
pendidikan.
25
Secara institusional, penyelenggara pendidikan dapat
dikemukakan sebagai berikut (pasal 50 UU No. 20 Tahun 2003)
(1) Pengelolaan sistem pendidikan nasional merupakan tanggung jawab Menteri.
(2) Pemerintah menentukan kebijakan nasional dan standar nasional pendidikan untuk menjamin mutu pendidikan nasional.
(3) Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional.
(4) Pemerintah Daerah Propinsi melakukan koordinasi atas penyelenggaraan pendidikan, pengembangan tenaga kependidikan, dan penyediaan fasilitas penyelenggaraan pendidikan lintas daerah Kabupaten/Kota untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah.
(5) Pemerintah Kabupaten/Kota mengelola pendidikan dasar dan pendidikan menengah, serta satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal.
(6) Perguruan tinggi menentukan kebijakan dan memiliki otonomi dalam mengelola pendidikan di lembaganya.
Upaya pendidikan yang paling penting dalam sebuah bangsa
dan negara adalah melalui sekolah, yang menjadi upaya pendidikan
formal yang massif. Ini tentu tanpa mengabaikan pendidikan oleh
keluarga dan masyarakat (pendidikan nonformal dan informal).
Tanggung jawab pengadaan dan penyelenggaraan pendidikan menjadi
tugas semua komponen, baik pribadi, keluarga, masyarakat, dan
terutama negara.
E. Prinsip Hukum Pendidikan dan Kedaulatan Pendidikan
Begitu pentingnya pendidikan sehingga menjadi salah satu hak
atas martabat kemanusiaan yang melekat dan tidak dapat dicabut.
Pendidikan adalah hak asasi manusia yang telah diakui sejak
munculnya konsepsi HAM. Berbagai instrumen hukum di tingkat
internasional telah diciptakan untuk memperkuat pemenuhan hak
masyarakat guna memperoleh pendidikan sebagai hak dasar yang
melekat pada diri setiap manusia. Beberapa instrumen internasional
yang cukup penting tersebut, diantaranya yaitu: Pembukaan dan Pasal
26
26 dari Universal Declaration of Human Right (1948), Pasal 3
Convention Concerning Discrimination in Respect of Employment and
Occupation (1953), Pasal 13 International Covenant on Economic,
Social and Cultural Rights (1966), Pasal 10 Convention on the
Elimination of all forms of Discrimination Against Women (1979),
serta Convention Against Discrimination in Education (1960).
Selain memainkan peranan penting dalam pengembangan
individu, pemenuhan pendidikan juga akan memberikan kontribusi
bagi pertumbuhan peradaban suatu bangsa. Pendidikan sangat
penting bagi perkembangan sumber daya manusia serta pertumbuhan
sosial dan ekonomi dari suatu negara. Oleh karenanya, pasca
terjadinya reformasi, kini Indonesia telah memastikan adanya jaminan
pemenuhan hak dasar atas pendidikan bagi warga negaranya yang
secara tegas tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 pada BAB
XA mengenai Hak Asasi Manusia, khususnya Pasal 28C, dan Pasal 31
BAB XIII mengenai Pendidikan dan Kebudayaan. Adapun Pasal 31 ayat
(1) UUD 1945 berbunyi, “Setiap warga negara berhak mendapat
pendidikan”, serta ayat (2)-nya mengatakan, “Setiap warga negara
wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib
membiayainya”.
Tidak hanya sampai sebatas ketentuan konstitusi saja,
Pemerintah Indonesia juga memberikan jaminan atas pemenuhan
pendidikan melalui perangkat-perangkat hukum di bawahnya,
misalnya seperti Undang-undang tentang Sistem Pendidikan Nasional
dan berbagi Peraturan lainnya yang terkait dengan masalah
pendidikan. Ketentuan legislasi nasional Indonesia di bidang
Pendidikan dapat dikatakan sudah sejalan dengan berbagai instrumen
hukum di tingkat internasional. Kini yang menjadi pertanyaannya
adalah apakah ketentuan tersebut telah mampu dijalankan secara
sungguh-sungguh oleh pemerintah kita selama ini.
27
Selanjutnya berkaitan dengan prinsip dasar penyelenggaraan
pendidikan, Pasal 4 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional menggariskan bahwa:
(1) Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.
(2) Pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna.
(3) Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat.
(4) Pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran.
(5) Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat.
(6) Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.
F. Prinsip Otonomi Pendidikan dan Moralitas (Legal Moralism)
Dalam UU RI Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program
Pembangunan Nasional (PROPENAS), dinyatakan bahwa ada tiga
tantangan besar dalam bidang pendidikan di Indonesia. Pertama,
mempertahankan hasil-hasil pembangunan pendidikan yang telah
dicapai. Kedua, mempersiapkan sumber daya manusia yang kompeten
dan mampu bersaing dalam pasar kerja global. Ketiga, sejalan dengan
diberlakukannnya otonomi daerah, sistem pendidikan nasional
dituntut untuk melakukan perubahan dan penyesuaian, sehingga
dapat mewujudkan proses pendidikan yang lebih demokratis,
memeperhatikan keberagaman, memperhatikan kebutuhan daerah
dan peserta didik, serta mendorong peningkatan partsisipai
masyarakat.
Dalam konsteks pelaksanaan otonomi daerah ditegaskan bahwa
sistem pendidikan nasional yang bersifat sentralistis selama ini
kurang mendorong terjadinya demokratisasi dan desentralisasi
penyelenggaraan pendidikan (Hasbullah, 2007:1). Hal tersebut
28
berdampak pada lemahnya rasa memiliki (sense of belonging) dari
masyarakat terhadap institusi pendidikan yang kemudian berakibat
berkurangnya rasa tanggung jawab (sense of responsibility) dan
partisipasi (sense of participation) masyarakat dalam mengelola
pendidikan (Rahmat, 2005:383).
Peluang untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam
pengelolaan pendidikan diawali oleh lahirnya UU No. 22 dan 25 tahun
1999 yang kemudian diubah masing-masing oleh UU No. 32 tahun
2004 tentang pemerintahan daerah dan UU No. 33 tahun 2004
tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah.
Berdasarkan rumusan pasal 10 ayat (3) UU No. 32 tahun 2004
ditegaskan pembagian urusan pemerintahan yang menjadi urusan
pemerintah pusat yang meliputi politik luar negeri, pertahanan,
keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan agama. Urusan
selain keenam kewenangan tersebut merupakan kewenangan
pemerintahan daerah yang bersifat otonom. Dengan demikian, bidang
pendidikan yang semula dikelola secara sentralistik berubah menjadi
kewenangan daerah yang dikelola secara desentralistik.
Desentralisasi (otonomi) pendidikan mempunyai makna bahwa
daerah otonom memiliki kewenangan dan keleluasaan untuk
mengelola pendidikan sesuai dengan potensi dan kebutuhan daerah
bersangkutan. Keleluasaan pengelolaan tersebut ternyata bukan
hanya dimiliki tingkat pemerintahan daerah, tetapi juga berimbas
kepada sekolah dengan adanya konsep Manajemen Berbasis Sekolah
(school based management).
Desentralisasi pendidikan merupakan sebuah sistem
manejemen untuk mewujudkan pembanguanan pendidikan yang
menekankan pada kebhinekaan. Hamijoyo (1993:3) menyatakan
bahwa dalam pelaksanaan desentralisasi pendidikan terdapat
beberapa prinsip yang harus dipenuhi, yaitu: 1) pola dan pelaksanaan
manajemen harus demokratis; 2) pemberdayaan masyarakat harus
menjadi tujuan utama; 3) peran serta masyarakat bukan hanya pada
stakeholders, tetapi harus menjadi bagian mutlak sistem
29
pengelolalaan; 4) pelayanan harus lebih cepat, efisien dan efektif; 5)
keanekaragaman aspirasi dan nilai serta norma lokal harus dihargai
dalam kerangka dan demi penguatan sistem pendidikan nasional; dan
6) pelaksanaan desentralisasi pendidikan tidak berhenti di tingkat
kabupaten/kota, tetapi harus sampai pada tingkat sekolah.
Dalam UU RI Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, setidaknya ada 33 kewenangan di tingkat daerah sebagai
wujud otonomi. Kewenangan tersebut merupakan peluang yang
demikian besar untuk benar-benar membangun bidang pendidikan
secara konstektual. Hasbullah (2007:3) menyatakan bahwa di
Indonesia pada saat ini paling tidak ada lima persoalan pokok bidang
pendidikan yang harus dipikirkan secara konstektual di setiap daerah,
yaitu mutu pendidikan, efisiensi pengelolaan, pemerataan, peran serta
masyarakat, dan akuntabilitas pendidikan. Otonomi dalam konteks ini
tidak ditafsirkan sebagai pengentalan warna kedaerahan yang
primordialistis, tetapi dipahami dari sisi positif yang mengembangkan
semua potensi yang dimiliki.
Sekaitan dengan hal di atas, dalam UU RI Nomor 20 tentang
Sistem Pendidikan Nasional terdapat 19 pasal yang
menggandengkan kata pemerintah dan pemerintah daerah, yang
konotasinya adalah berbagai kebijakan dalam pembangunan
pendidikan hendaknya selalu mengawinkan kepentingan nasional dan
kepentingan lokal (daerah) sehingga kualitas pendidikan yang
diharapkan dapat meningkatkan daya saing peserta didik,
dilaksanakan secara efisien dan efektif. Mulai dari hak dan kewajiban
pemerintah dan pemerintah daerah untuk menjamin terselenggaranya
pendidikan yang berkualitas, sampai kepada hak regulasi dalam
mengatur sistem pendidikan nasional.
Secara singkat dapat disebutkan, misalnya dalam Undang-
Undang Sisdiknas Pasal 10 disebutkan bahwa pemerintah dan
pemerintah daerah mengatur dan mengawasi penyelenggaraan
pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Pada Pasal 34 ayat (2) disebutkan bahwa pemerintah dan
30
pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal
jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya. Pada Pasal 44 ayat
(1) disebutkan pemerintah dan pemerintah daerah wajib membina dan
mengembangkan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan yang
diselenggarakan oleh pemerintah dan pemerintah daerah. Ayat (3)
pemerintah dan pemerintah daerah wajib membantu pembinaan dan
pengembangan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan yang
diselenggarkan oleh masyarakat.
Selanjutnya pada Pasal 49 ayat (1) disebutkan dana pendidikan
selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan
minimal 20 persen dari APBN pada sektor pendidikan dan minimal 20
persen dari APBD. Ayat (4) dana pendidikan dari pemerintah kepada
pemerintah provinsi/kabupaten/kota diberikan dalam bentuk hibah
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sebenarnya masih banyak pasal yang menjelaskan peranan
pemerintah dan pemerintah daerah, namun dari beberapa pasal yang
dijelaskan di atas, kiranya cukup menggambarkan hak dan kewajiban
pemerintah maupun pemerintah daerah dalam sistem pendidikan
nasional.
Pemberian aksentuasi kepada pemerintah daerah dalam
Undang-Undang Sisdiknas, diharapkan nantinya pengembangan
pendidikan di tingkat lokal akan lebih efektif jika dikembangkan oleh
pemerintah daerah bersama kelompok masyarakat. Sebab jenis
kompetensi yang dibutuhkan oleh masing-masing daerah, berbeda
satu sama lain. Itulah sebabnya pada Pasal 50 ayat (4) disebutkan
bahwa pemerintah kabupaten/kota berkewajiban mengelola satuan
pendidikan yang berbasis keunggulan lokal.
Jika setiap pasal dalam Undang-Undang Sisdiknas tersebut
dapat dilaksanakan secara baik dan konsekuen, maka lambat laun
kemelut-kemelut yang mengitari dunia pendidikan kita selama ini
dapat diatasi dan diantisipasi. Oleh karena itu, untuk merealisasikan
semua itu memerlukan dukungan dan kerjasama dari semua pihak,
baik yang terlibat langsung maupun tidak.
31
G. Pelembagaan Pendidikan Sebagai Norma
Pendidikan merupakan kebutuhan sepanjang hayat. Sampai
kapan pun dan di manapun ia berada, setiap manusia membutuhkan
pendidikan. Pendidikan sangat penting artinya, sebab tanpa
pendidikan manusia akan sulit berkembang dan bahkan akan
terbelakang. Dengan demikian pendidikan harus betul-betul
diarahkan untuk menghasilkan manusia yang berkualitas dan mampu
bersaing serta memiliki budi pekerti yang luhur dan moral yang baik.
Parameter “kualitas” manusia menurut Sochib (2006:35) terletak pada
aspek kesadaran, pengetahuan, saling menopang, dan
berkesinambungan. Keseluruhan dari keseimbangan ketiga aspek di
atas akan mencipta “karakter” manusia, yakni sifat yang dimiliki dan
menjadi ciri yang membedakan dengan manusia lain.
Upaya untuk menjadikan pendidikan sebagai norma bagi
kehidupan masyarakat Indonesia harus diawali oleh adanya kemauan
politik (political will) pemerintah di bidang pendidikan. Ada baiknya
dikemukakan sebuah refleksi bagaimana perjalanan dunia pendidikan
dari awal kemerdekaan. Pada masa perjuangan kemerdekaan, dapat
dilihat atau setidaknya mendengarkan kesaksian dari para sesepuh
kita bagaimana proses pendidikan dijalankan oleh pemerintah.
Periode tahun 1908-1945 ditandai dengan kehadiran para pemimpin
politik yang penuh dedikasi dan gigih dalam perjuangan di bidang
pendidikan, sehingga mereka dapat dipandang sebagai tokoh
sekaligus pemimpin politik yang pantas ditiru. Dokter Wahidin
Sudirohusodo kala itu begitu yakin bahwa pendidikan merupakan
solusi utama guna mengentaskan bangsa dari keterbelakangan dan
kemelaratan. Demikian pula dengan Ki Hajar Dewantara yang
mengemas pemikirannya tentang pendidikan dalam sebuah konsep
sederhana namun begitu dalam filosofinya: Ing Ngarso sung Tulodho,
Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani, yang artinya “di
depan memberi contoh, di tengah membangun semangat, dan di
belakang mengawasi”.
32
Begitu pula di awal masa kemerdekaan, masalah pendidikan
nasional telah memperoleh cukup banyak perhatian dari elite politik
yang ada. Jika kita membuka kembali lembaran sejarah, proklamator
Bung Hatta merupakan salah satu tokoh yang gencar menyuarakan
pentingnya pendidikan nasional bagi kemajuan bangsa sejak zaman
kolonialisme.
Namun sebaliknya, pada periode 1959-1998 muncul pemimpin-
pemimpin dan pelaku-pelaku politik yang tidak lagi berjalan dengan
idealisme yang nasionalistik dan patriotik. Terlebih lagi pada masa
pemerintahan Soeharto yang dianggap sebagian besar kalangan mulai
mengenyampingkan isu tentang pendidikan. Pada saat itu kita lebih
melihat pendidikan digunakan sebagai kendaraan politik bagi
pemerintah untuk melakukan indoktrinasi terhadap rakyat. Hal
tersebut ditempuh terkait dengan kekhawatiran akan timbulnya
gejolak apabila pendidikan benar-benar diperkenalkan sepenuhnya.
Mereka lebih banyak berasyik-masyuk dengan kepentingan kelompok,
karena bagi mereka kekuasaan bukan lagi amanah namun
kesempatan untuk memakmurkan diri, keluarga, dan teman-teman
dekatnya. Sejak saat itulah pandangan terhadap dunia pendidikan
dianggap tidak lagi menjanjikan segi finansial apapun, non issue,
sesuatu hal yang mudah, sesuatu yang dapat ditangani siapa saja,
sehingga wajar bila kemudian diketepikan dan digeser pada prioritas
yang kesekian.
Perjalanan bangsa Indonesia setelah reformasi, bahkan jauh
sebelumnya, tidak pernah terasa memiliki arah yang jelas. Para ahli
mengeluh bahwa pendidikan dan kebudayaan tidak pernah menjadi
panglima di negeri ini, sementara negara-negara berkembang lainnya
melesat maju karena pendidikan diberikan tempat yang teramat
penting di negara-negara tersebut. Sulit untuk disangkal, India
dengan Indian Vision 2020-nya secara perlahan tapi pasti telah
menjadi negara berkembang terbesar di Asia setelah Jepang dan
China, sedangkan Malaysia banyak bergerak maju karena didorong
Vision 2020 Mahathir Mohammad untuk menjadi negara industri dan
33
pariwisata yang diperhitungkan di dunia. Pembangunan pendidikan
Indonesia yang sungguh-sungguh dan berkelanjutan tidak bisa harus
dimulai dari sebuah visi dan tekad yang bulat yang bisa dijadikan
pedoman oleh perancang pembangunan dan masyarakat luas.
Oleh karena itu, issue mengenai anggaran pendidikan
merupakan salah satu elemen penting untuk meningkatkan kualitas
pendidikan nasional. Jauhnya persentase anggaran pendidikan yang
disetujui Panitia Anggaran DPR dengan persentase yang diwajibkan
konstitusi dinilai banyak pihak sebagai bentuk rendahnya komitmen
Pemerintah terhadap dunia pendidikan. Padahal bila kita pahami
bersama, kemajuan pendidikan nasional memerlukan biaya yang tidak
sedikit. Bukan hanya untuk peningkatan kualitas sarana seperti media
pembelajaran, laboratorium, ruang keterampilan, perlengkapan
belajar, dan berbagai peranti keras lainnya, akan tetapi juga pada
aspek peningkatan kesejahteraan guru yang cukup penting dan tidak
bisa diabaikan. Semua itu akan bersinergi dan berbanding lurus
dengan peningkatan kualitas pendidikan. Namun, masih ada di antara
kita yang kesadarannya untuk memenuhi tuntutan yuridis formal
terbentur oleh berbagai dalih dan menomorduakan anggaran
pendidikan. Kalau memang ada komitmen dan political will,
Pemerintah dan DPR dengan otoritas yang dimilikinya seharusnya
dapat memenuhi anggaran pendidikan sebesar 20 persen dan
kemudian menjalankan prioritas program perbaikan mutu pendidikan
nasional.
Di samping itu, konsistensi tinggi dari seluruh jajaran birokrat
yang terlibat dalam jalur pendidikan akan dapat menyelamatkan
keuangan negara, sehingga hal tersebut akan sampai kepada pihak
yang berhak menikmatinya. Bila tidak, bagaimana mungkin
pendidikan akan membaik kalau masih ada satu atau dua pelaku
pendidikan yang bermain di luar ambang batas toleransi nilai
normatif. Sebab, berdasarkan laporan-laporan hasil audit yang
dilakukan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan), setiap tahun selalu
menunjukkan terjadinya sisa anggaran yang mencapai ratusan miliar
34
rupiah, inefisiensi dalam penggunaan dana, serta korupsi dan kolusi
yang total mencapai triliunan rupiah. Sehingga dapat kita katakan
bahwa masalahnya bukan hanya terletak pada pemenuhan kewajiban
20 persen anggaran pendidikan, akan tetapi juga harus difokuskan
pada kemampuan manajerial dana di Departemen Pendidikan
Nasional. Kalaupun misalnya DPR dan Pemerintah telah memenuhi
persentase minimum itu, sementara manajemen internal Depdiknas
dalam pengelolaan dana belum beres, maka dikhawatirkan dana besar
itu justru akan membuka lumbung korupsi yang lebih besar.
H. Kesimpulan dan Rekomendasi
Dari uraian di atas, penulis dapat menarik beberapa kesimpulan
sebagai berikut:
1. Sistem pendidikan Indonesia tengah mengalami suatu gejala yang
disebut wan-edukasi. Gejala wan-edukasi terjadi salah satunya
disebabkan oleh belum normatifnya hukum pendidikan. Dengan
kata lain, hukum pendidikan di Indonesia baru sekedar dalam
tataran idealis saja, belum diimplementasikan sepenuhnya dalam
praktik pendidikan, sehingga hukum pendidikan belum bernilai
normatif.
2. Pendidikan Indonesia mempunyai ideologi dan filosofi tersendiri,
yaitu Pancasila dan UUD NRI 1945. Secara umum pendidikan
Indonesia merupakan sarana untuk mengimplementasikan serta
menginternalisasikan nilai-nilai Pancasila yang terdiri atas nilai
Ketuhanan Yang Maha Esa; Kemanusian yang adil dan beradab;
Persatuan Indonesia; Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan; dan Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Konsepsi ideologi dan filosofi
sistem pendidikan Indonesia tersebut diopersionalisasikan dalam
UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
3. Landasan konstitusional sistem pendidikan nasional Negara
Republik Indonesia mengalami beberapa kali perubahan. Hal ini
dikarenakan adanya perubahan konstitusi yang berlaku di Republik
35
Indonesia. Negara kita telah mengalami lima periodesasi
konstitusi, yaitu pada masa berlakunya UUD 1945 (UUD
proklamasi), Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949, UUD
Sementera Tahun 1950, UUD 1945 (jilid 2) dan UUD NRI 1945
pasca amandemen. Dengan demikian sistem pendidikan nasional
Republik Indonesia telah mengalami perubahan landasan
konstitusional sebanyak lima kali.
4. Tujuan pendidikan nasional Indonesia sejak proklamasi
kemerdekaan sampai sekarang secara formal bersifat dinamis,
walaupun pada hakekatnya sama yaitu untuk mencapai kecerdasan
bangsa. Hal tersebut tersebut terjadi sejalan dengan dinamika
peraturan perundang-undangan yang secara eksplisit
berkedudukan sebagai hukum pendidikan.
5. Upaya pendidikan yang paling penting dalam sebuah bangsa dan
negara adalah melalui sekolah, yang menjadi upaya pendidikan
formal yang massif. Ini tentu tanpa mengabaikan pendidikan oleh
keluarga dan masyarakat (pendidikan nonformal dan informal).
Tanggung jawab pengadaan dan penyelenggaraan pendidikan
menjadi tugas semua komponen, baik pribadi, keluarga,
masyarakat, dan terutama negara.
6. Desentralisasi (otonomi) pendidikan mempunyai makna bahwa
daerah otonom memiliki kewenangan dan keleluasaan untuk
mengelola pendidikan sesuai dengan potensi dan kebutuhan
daerah bersangkutan. Keleluasaan pengelolaan tersebut ternyata
bukan hanya dimiliki tingkat pemerintahan daerah, tetapi juga
berimbas kepada sekolah dengan adanya konsep Manajemen
Berbasis Sekolah (school based management).
7. Upaya untuk menjadikan pendidikan sebagai norma bagi
kehidupan masyarakat Indonesia harus diawali oleh adanya
kemauan politik (political will) pemerintah di bidang pendidikan.
Berdasarkan kesimpulan di atas, penulis merekomendasikan
beberapa hal berikut ini:
36
1. Normativisasi hukum pendidikan harus dilakukan secara murni
dan konesekuen, supaya implementasi sistem pendidikan nasional
menjadi terarah dan dapat mewujudkan tujuan pendidikan yang
dicita-citakan sesuai dengan amanat konstitusi yaitu mencerdaskan
kehidupan bangsa.
2. Semua stakeholders pendidikan khendaknya selalu berpegang
teguh pada aturan-aturan normatif dalam mengimplementasikan
sistem pendidikan nasional.
3. Dinamisasi tujuan pendidikan harus diikuti oleh perubahan
paradigma berpikir dari para stakeholders pendidikan, supaya
tujuan pendidikan yang disepakati dapat diwujudkan.
4. Kebijakan otonomi pendidikan seyogyanya disikapi secara arif
untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan menciptakan
kemandirian dari setiap penyelenggara ataupun praktisi
pendidikan dengan tidak meninggalkan aturan-aturan normatif
tentang pendidikan.
Daftar Pustaka
Aziz, A. (2008). Ideologi Pendidikan; Sebuah Pengantar. [Online]. Tersedia: http://www.ahmadaziez.blogspot.com. Html (2 Novembar 2008).
Bock, J.C. (1992). Education and Development : A Conflic Meaning. Newyork. Longman.
Convention Againts Discrimination in Education, 1960.
Convention on the Rights of the Child, 1989.
Hasbullah. (2007). Otonomi Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers.
International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, 1966.
Keputusan Presiden RI No. 145 tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Sistem Pendidikan Nasional Pancasila.
Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat tahun 1949.
37
Muhaimin. (2003). Paradigma Pendidikan Agama Islam. Bandung: Mizan
O’neil, W.F. (2008). Ideologi-ideologi Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Plank, David N. and William Lowe Boyd. (2004). Antipolitics, Education, and Institutional Choice: the Flight from Democracy.
Rahmat. (2005). “Desentralisasi Pendidikan: Peluang untuk Meningkatkan Partisipasi Masyarakat dalam Mengelola Pendidikan” Jurnal Civicus Vol. 1 No.5, Juni 2005 hal. 383-392.
Sochib, Mohammad. (2006). “Mengembalikan Pendidikan sebagai Hak Asasi Manusia”. Jurnal Konstitusi Vol. 3 No. 1, Februari 2006 hal 35-54.
Supeno, H. (2002). Pendidikan dalam Belenggu Kekuasaan. Bandung: Alfabeta.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang Undang No. 4 tahun 1950 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah.
Undang-Undang No. 12 tahun 1954 tentang Dasar-dasar Pendidikan
dan Pengajaran di Sekolah.
Undang-Undang Republik Serikat No. 7 Tahun 1950 tentang Perubahan Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat Mendjadi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Universal Declaration of Human Right, 1948.
38