SUMBER MATERI.docx

23
http://ppalanwar.com/index.php/news/122/15/Tiga-Kelompok-dalam- Islam-Liberal-Moderat-dan-Radikal.html diakses pada 11 MEI 2014 8.32 Dalam konteks ke-Indonesia-an, umat Islam mengalami berbagai evolusi. Menurut sejarah Indonesia, Islam masuk ke Indonesia dibawa oleh para ulama dari negeri Gujarat India lewat jalur perdagangan. Jika diteliti lebih lanjut dan ditarik ke atas, maka akan ditemukan bahwa para perintis penyebaran Islam di Indonesia ini adalah keturunan dari toloh- tokoh ulama dari negeri Yaman, tepatnya di tanah Hadramaut, terbukti bahwa pemahaman Islam yang mereka sebarkan di Indonesia adalah bermadzhab Sunni Syafi'i. Sesuai dengan madzhab nenek moyang mereka yang berada di Hadramaut Yaman. Belum lagi banyaknya warga Hadramaut yang hingga kini mendominasi keberadaan etnis Arab yang tersebar di negeri ini. Terjadinya evolusi dalam tubuh umat Islam Indonesia, ditengarai sejak datangnya penjajah Belanda yang ikut menyebarkan agama Nasrani, serta memberi kontribusi prilaku yang tidak sesuai dengan prilaku budaya Indonesia, terutama kalangan umat Islamnya. ? Ringkasnya, pengaruh penjajah Belanda yang mencapai 350 tahun mencaplok bumi Indonesia, inilah yang menjadi salah satu faktor utama mengapa umat Islam Indonesia tidak lagi menjadi utuh dalam pemahaman keagamaannya sebagaimana yang diajarkan oleh para penyebar Islam pertama kali di Indonesia, terutama Wali Songo dan para koleganya. ? Kini umat Islam Indonesia telah menganut berbagai madzhab pemikiran, serta prilaku keagamaan yang semakin hari semakin bermunculan hal-hal yang sebelumnya tidak dikenal masyarakat Indonesia. Sebut saja misalnya munculnya faham Nasionalis Religius, yang mana keberadan kelompok pemaham ini tiada lain karena terinspirasi dari sikap kelompok tokoh beragama Islam, namun tetap ingin mempertahankan eksistensinya sebagai orang-orang yang selalu berkiprah dalam perebutan kekuasaan kebangsaan negeri ini, yang mana dalam menjalani kehidupan sosial kemasyarakatannya tidak bersedia diatur oleh hukum Syariat Islam. ? Dewasa ini ada tiga kelompok besar dalam tubuh umat Islam Indonesia. ? •1. KAUM LIBERAL ?

Transcript of SUMBER MATERI.docx

http://ppalanwar.com/index.php/news/122/15/Tiga-Kelompok-dalam-Islam-Liberal-Moderat-dan-Radikal.html diakses pada 11 MEI 2014 8.32

Dalam konteks ke-Indonesia-an, umat Islam mengalami berbagai evolusi. Menurut sejarah Indonesia, Islam masuk ke Indonesia dibawa oleh para ulama dari negeri Gujarat India lewat jalur perdagangan. Jika diteliti lebih lanjut dan ditarik ke atas, maka akan ditemukan bahwa para perintis penyebaran Islam di Indonesia ini adalah keturunan dari toloh-tokoh ulama dari negeri Yaman, tepatnya di tanah Hadramaut, terbukti bahwa pemahaman Islam yang mereka sebarkan di Indonesia adalah bermadzhab Sunni Syafi'i. Sesuai dengan madzhab nenek moyang mereka yang berada di Hadramaut Yaman. Belum lagi banyaknya warga Hadramaut yang hingga kini mendominasi keberadaan etnis Arab yang tersebar di negeri ini. Terjadinya evolusi dalam tubuh umat Islam Indonesia, ditengarai sejak datangnya penjajah Belanda yang ikut menyebarkan agama Nasrani, serta memberi kontribusi prilaku yang tidak sesuai dengan prilaku budaya Indonesia, terutama kalangan umat Islamnya.

Ringkasnya, pengaruh penjajah Belanda yang mencapai 350 tahun mencaplok bumi Indonesia, inilah yang menjadi salah satu faktor utama mengapa umat Islam Indonesia tidak lagi menjadi utuh dalam pemahaman keagamaannya sebagaimana yang diajarkan oleh para penyebar Islam pertama kali di Indonesia, terutama Wali Songo dan para koleganya.

Kini umat Islam Indonesia telah menganut berbagai madzhab pemikiran, serta prilaku keagamaan yang semakin hari semakin bermunculan hal-hal yang sebelumnya tidak dikenal masyarakat Indonesia. Sebut saja misalnya munculnya faham Nasionalis Religius, yang mana keberadan kelompok pemaham ini tiada lain karena terinspirasi dari sikap kelompok tokoh beragama Islam, namun tetap ingin mempertahankan eksistensinya sebagai orang-orang yang selalu berkiprah dalam perebutan kekuasaan kebangsaan negeri ini, yang mana dalam menjalani kehidupan sosial kemasyarakatannya tidak bersedia diatur oleh hukum Syariat Islam.

Dewasa ini ada tiga kelompok besar dalam tubuh umat Islam Indonesia.

•1. KAUM LIBERAL

Yaitu K. Kelompok Liberal ini dalam status penolakannya terhadap syari'at Islam bertingkat-tingkat. Adapun yang tergolong kelompok ini antara lain adalah kaum Sekularis, Nasionalis, Pluralis, dan Liberalis.

Kelompok ini, pada dasarnya adalah lebih menuhankan akal fikiran dan hawa nafsunya dibanding ketaatan dan ketundukannya kepada syari'at Islam secara utuh.

•2. KAUM MODERAT

Namun penulis lebih senang mengistilahkan dengan kelompok konsisten sebagai terjemahan dari istilah istiqomah, ini jika yang dimaksud adalah umat Islam yang masih konsisten berpegang teguh terhadap ajaran syari'at Islam dalam pemahaman ulama salaf Ahlus Sunnah wal Jamaah. Karena jika disebut dengan istilah kaum Moderat (meminjam istilah panitia KULJUM Sarang) dewasa ini, maka akan dipahami oleh masyarakat awam lebih berorientasi kepada kelompok Liberal. Karena arti moderat, kini bergeser kepada arti lelompok yang dapat menerima hal-hal di luar konteks syari'at, termasuk dapat menerima segala macam aliran pemikiran bahkan menerima prilaku dan ritual non Muslim. Jadi, dalam pembahasan kelompok Moderat ini, penulis akan memfokuskan pada istilah kelompok konsisten.

Kelompok konsisten ini adalah mayoritas umat Islam yang masih mengikuti ajaran syari'at yang telah diterima secara estafet dengan panduan kitab yang standar yang diterima secara estafet pula dari para ulama dan orang tua, dari generasi pendahulunya yang lebih tua lagi hingga sampai kepada para pembawa dan penyebar agama Islam yang pertama kali datang ke Indonesia, yaitu para para Wali Songo dan Ulama sejamannya.

Kelompok konsisten ini selalu berupaya untuk menerapkan syari'at Islam secara utuh, namun tetap disesuaikan dengan kondisi masyarakat yang secara riil dihadapi. Di saat bergaul dengan masyarakat yang belum mampu menerapkan syari'at Islam secara utuh, maka kelompok ini mengambil kebijakan yang sedikit lentur namun tetap mengarahkan masyarakat untuk dapat melaksanakan syari'at Islam dengan sempurna.

Sebagai ilustrasi, Wali Songo dapat berdakwah melalui jalur budaya asli tanah jawa yang secara kasat mata tidak ada korelasinya dengan pelaksanaan syari'at. Namun pada kesempatan yang lain wali songo tak segan-segan nenghukum mati Syekh Siti Jenar, yang secara ilmu dzahir atau kasat mata dinilai telah melakukan tindak pidana perbuatan kemurtadan di depan khalayak dengan pengakuannya, semisal aku adalah Allah.

Para Wali Songo ini hanyalah melaksanakan kaidah syari'at

?†????’?†?? ?†????’?ƒ???…?? ?¨???§?„?¸?‘???ˆ???§?‡???±?? ?ˆ???§?„?„?‡?? ?????¹?’?„???…?? ?§?„?³?‘???±???§?¦???±??

serta mengkiaskan hadits

?…???†?’ ?¨???¯?‘???„?? ?¯?????’?†???‡?? ?????§?‚?’?????„???ˆ?’?‡??

Keputusan Wali Songo dalam menghukum mati Syekh Siti Jenar adalah upaya melaksanakan syari'at Islam secara utuh tatkala mereka mendapatkan kesempatan yang memungkinkan terhadap pelaku kemurtadan, tentunya sesuai dengan dzahir kaidah syari'at.

Kelompok konsisten di masa kini sudah seharusnya meneladani sikap dan prilaku serta ajaran Wali Songo ini, yaitu saat menghadapi situasi yang belum memungkinkan melaksanakan syari'at, semisal terhadap tindak pidana, maka selayaknya dapat menyesuaikan diri dengan keadaan di sekitarnya. Namun jika ada kesempatan dan ada kemampuan untuk melaksanakan amar ma'ruf nahi munkar dengan arti yang sesungguhnya dan dirasakan dapat membawa kemaslahatan umat, maka sudah sepatutnya kelompok konsisten ini menjalankan kewajiban tersebut, tanpa harus merasa khawatir atau takut dijuluki masyarakat sebagai kelompok garis keras, atau kelompok ekstrim dan lain-lain.

Sebab, jika benar orang yang melakukan syari'at nahi munkar dengan memerangi prilaku tindak pidana dikategorikan sebagai kelompok garis keras atau ekstrim, para Wali Songolah yang palimg tepat mendapat julukan kelompok garis keras atau

ekstrim. Jadi mengelompokkan kaum konsisten ke dalam kelompok garis keras atau ekstrim atau bahkan radikal yang akan dibahas pada sesi berikut, menjadi tidak logis dan tidak tepat.

•3. KAUM RADIKAL

Dalam hal ini penulis membagi kaum radikal menjadi dua :

Pertama, kaum radikal dalam pemikiran dan pemahaman. Maksudnya, setiap kelompok Islam yang tidak dapat bertoleransi dengan kelompok Islam lainnya, hanya beda organisasi, atau hanya beda pemahaman yang bersifat furu'iyah, bukan perbedaan yang menyangkut aqidah atau Ushuluddin atau ketauhidan, maka kaum ini dinamakan radikal. Seperti adanya kelompok Wahabi/Salafi yang senang mengkafirkan kaum muslimin, karena dianggap melakukan bid'ah dhalalah. Padahal, yang dilakukan masyarakat hanya sekedar mengundang warga untuk membaca Al-Qur'an, shalawat nabi, dzikir, mendengar ceramah agama, dan memberi sedekah makan, hanya saja dilakukan dalam rangka sebuah acara yang disebut tahlilan. Jadi kelompok yang mengkafirkan jamaah tahlilan inilah yang disebut sebagai kelompok radikal dalam pemikiran dan pemahaman.

Kedua, kaum radikal dalam prilaku. Kelompok ini adalah mereka yang melakukan perusakan fisik maupun pembantaian terhadap nyawa orang lain, tanpa mempertimbangkan syarat-syarat yang ditetapkan oleh syari'at perang.

Ada istilah yang memudahkan umat untuk mengenal kelompok ini, yaitu adanya bom bunuh diri dan bom syahid. Bom bunuh diri yaitu bom yang dilakukan di negeri Darul Amaan, dengan sasaran yang membabi buta, menghancurkan fasilitas umum yang diperkenankan oleh syari'at, semisal halte bus, membunuh wanita dan anak-anak, serta orang-orang tua renta, menumbangkan pepohonan dan lain sebagainya.

Bom bunuh diri ini hukumnya haram dan pelakunya dianggap fasik, namun tidak sampai murtad, karena telah melanggar tata cara syari'at peperangan melawan kekafiran.

Sedangkan bom syahid di Negara konflik antar umat Islam melawan orang-orang kafir, dengan adanya perkembangan teknologi, maka salah satu strategi untuk dapat membalas serangan musuh, yang dewasa ini memiliki peralatan perang yang lebih canggih dari peralatan perang milik umat Islam, maka menurut sebagian yang hidup di wilayah konflik telah menfatwakan dengan bolehnya melakukan bom syahid, yang dalam bahasa jepangnya dikenal dengan istilah kamikaze.

Kelompok bom syahid tidak dinamakan sebagai kelompok radikal, namun tergolong kelompok konsisten dalam membela agama Islam.

http://teguhtimur.com/2006/11/10/islam-moderat-penentu-peradaban-dunia/#more-653 8.38

Islam Moderat Penentu Peradaban Dunia

10FridayNOV 2006

POSTED BY TEGUHTIMUR IN ISLAM MODERAT, WAWANCARA≈ LEAVE A COMMENT

Sebagai komunitas Muslim terbesar di dunia, Indonesia terus menjadi perhatian masyarakat internasional. Dalam konteks kehidupan beragama, harus diakui bahwa pasang-surut selalu mengiringi model kehidupan beragama. Umat Islam sendiri tidak lepas dari hal tersebut. NU dan Muhammadiyah sebagai mainstream dari gerakan Islam moderat, menjadi harapan bagi terwujudnya pembumian nilai-nilai dan wajah Islam moderat di Indonesia.Tapi, tak dipungkiri bahwa usaha itu tidaklah mudah. Ada sebagian kecil masyarakat yang menempuh jalannya sendiri, secara sempit dan hitam-putih. Membahas hal itu, At-Tanwir mewawancarai mantan Menag, Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia (DMI), dan penulis buku Berislam Secara Moderat, KH Dr dr Tarmizi Taher, M.D. Petikannya:

Menurut Anda, bagaimana sebenarnya konsep moderatisme Islam itu?Dalam pandangan saya, istilah moderat itu istilah modern, masa kini. Kalau dalam konsep Islam disebut wasathan, atau umat pertengahan. Allah telah menyatakan peran yang harus dimainkan Islam, yaitu sebagai ummatan wasathan (umat yang serasi dan seimbang), adalah menjadi saksi atas kebenaran dan keagungan ajaran Allah. Hal itu dengan jelas terdapat dalam QS. Al-Baqarah ayat 143: “Wa kadzalika ja’alnaakum ummatan washatan litakuunu syuhadaa’a ‘alannasi wayakuna ar-rasululu ‘alaikum syahiidan,” artinya: Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam),

umat yang adil dan pilihan, agar kamu menjadi saksi atas perbuatan manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Penegasan Allah bahwa umat Islam harus menjadi ummatan wasathan selayaknya mendapatkan perhatian yang sungguh-sungguh dari kita semua. Terutama di saat menghadapi perubahan yang sangat cepat akibat dari kemajuan teknologi, ilmu pengetahuan, dan besarnya gelombang globalisasi.

Faktanya, apakah umat Islam sudah serius memperhatikan atau mempraktekkan konsep Islam tersebut?Ya, memang harus diakui, bahwa ada sebagian kecil umat Islam yang menempuh jalannya sendiri secara sempit dalam mempraktekkan ajaran Islam, sehingga bagi kita atau kebanyakan umat Islam lainnya, jalan seperti itu dinilai telah keluar dari jalur moderatisme Islam. Model keberagamaan yang demikian menjadikan pola pikir dan tindakan orang bersangkutan secara hitam-putih, tidak memperhatikan kemaslahatan yang lebih besar. Padahal Islam diturunkan untuk menjadi agama yang rahmatan lil ‘alamin.

Bisa dijelaskan, moderat dalam beragama itu riilnya seperti apa?Kita mengamalkan ajaran Islam secara rasional, cerdas, dan membawa dampak positif bagi kehidupan orang lain. Dalam bahasa dakwah, itulah ajaran amar makruf nahi munkar tanpa menyakiti pihak lain. Yang utama, hemat saya, bisa dikatakan moderat kalau telah mengamalkan Islam sesuai petunjuk Al-Quran dan Sunnah Nabi Saw. Kedua, moderat dalam bertindak. Berlebih-lebihan sehingga menimbulkan kezaliman, itu bukan moderat, tapi itu adalah pengrusakan moral dan sosial. Nafsu, kita baru saja melaksanakan puasa Ramadhan, adalah bagian dari jihad besar kita menaklukkan kemauan ragawi dan duniawi. Kalau kita gagal menaklukkan nafsu, terjadilah petaka, seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme. Berarti kita gagal beragama karena beragama secara kebablasan, bukan secara moderat. Karena segala hal yang menimbulkan mudharat, berarti orang itu tidak moderat, bahkan beragamanya patut dipertanyakan.

Dalam kondisi seperti itu, apa yang harus dilakukan umat Islam?Yang terpenting adalah menyadari, bahwa hadirnya Islam adalah sebagai rahmat bagi semesta, bukan cuma untuk umat Islam saja. Konsekuensinya, menuntut segenap sikap dan tindakan kaum Muslimin yang moderat, baik dalam beragama maupun dalam bermasyarakat dan bernegara. Memahami secara benar dan menyeluruh ajaran Islam akan dapat membantu mewujudkan pembumian nilai-nilai moderat Islam. Kedepan, Islam moderat akan menjadi penentu peradaban dunia.

http://teguhtimur.com/2006/11/10/menegakkan-islam-moderat/#more-652 10.16

Menegakkan Islam Moderat

10FridayNOV 2006

POSTED BY TEGUHTIMUR IN ISLAM MODERAT≈ LEAVE A COMMENT

Ketika fenomena terorisme timbul di Indonesia, banyak tokoh dari dalam dan luar negeri yang berharap agar Islam moderat tampil dan memberikan andil dalam meredam gejolak teror berlabel agama. Menteri Senior Singapura Lee Kuan Yew misalnya, menyerukan agar kelompok Islam moderat di Asia Tenggara mengambil sikap untuk memerangi ekstrimis Islam yang ia sebut telah membuat teror di dunia.Dalam wawancaranya di BBC East Asia Today, Lee mengatakan berdiamnya kelompok Islam Umat Islam di Asia Tenggara, membuat Islam ekstrimis leluasa meledakan bom seperti di Bali dan Jakarta. Merespon maraknya terorisme berlabel agama, konferensi yang bermaksud meng-counter berkembangnya pengaruh Islam radikal di kalangan umat Islam pun seringkali digelar. Intisari konferensi-konferensi yang digelar itu adalah Islam merupakan agama moderat yang cinta damai, antikekerasan, dan tidak antikemajuan.

Menurut Ketua PBNU Said Aqil Siradj, dalam Islam terdapat istilah al-hanifiyyah samhah, yang dikenal sebagai ajaran toleransi karena di dalamnya mengajarkan konsep ummatan wasathan (umat yang moderat). “Dengan begitu, umat Islam mampu menerjemahkan nilai-nilai universal Islam yang moderat, saling menghargai dan menghormati satu sama lainnya. Inilah Islam sebagai agama yang toleran,” ujarnya.

Said yang menyelesaikan studinya selama 15 tahun di Arab Saudi ini, menceritakan dengan baik peranan orang Yahudi dan Nasrani dalam kehidupan Nabi Muhammad SAW. “Seperti halnya Bukhairo, seorang pendeta Kristen yang berpesan kepada Abu Tholib agar menjaga keponakannya (Muhammad), karena di hari nanti akan menjadi pemimpin umat dan utusan Tuhan,” jelasnya.

Kemudian contoh lain, kata Said, adalah Waroqoh bin Naufal, seorang Nasrani yang memprediksi bahwa Muhammad akan menjadi Nabi masa depan, dan mengatakan bahwa yang datang kepadanya adalah Malaikat Jibril.

Lebih lanjut, dengan menyitir Surat al-Hajj ayat 41, Said menjelaskan bahwa Allah mengizinkan gereja, sinagog, kelenteng dan masjid untuk berdiri di muka bumi ini. Bahkan di negara-negara Arab tidak pernah ada gereja yang diganggu atau dirusak. “Memang ada beberapa kejadian yang bernuansa agama tetapi tidak sampai membakar dan merusak tempat ibadah orang lain,” ujarnya.

Pakar Islam asal Mesir, Muhammad Imarah mengungkapkan, moderatisme Islam terbentuk dengan landasan yang jelas dan pasti. “Doktrin moderatisme Islam perpaduan antara akal dan wahyu, jasmani dan rohani, keadilan dan kesejahteraan. Dengan demikian, moderatisme Islam sangat spesifik yang tidak dimiliki agama lain,” kata Imarah.

Anggota Dewan Riset Ulama Al-Azhar ini menjelaskan, bahwa moderatisme dalam dunia Barat tidak sama dengan di Islam. Dunia Barat, ungkapnya, maju namun lebih mengunggulkan rasionalitas atau akal. Karena itu, kemajuan Barat tinggal menunggu waktu kehancuran karena landasannya yang tidak kuat. “Berbeda dengan Islam yang memadukan akal dan wahyu. Islam dapat maju kalau kedua hal itu diberdayakan secara maksimal,” papar intelektual yang telah menulis lebih dari 170 buku.

Imarah memberi contoh moderatisme Islam, khususnya di bidang ekonomi. Menurutnya, Muslim yang tidak mengakui solidaritas sosial dalam Islam, maka dia terlepas dari agamanya. Dunia Islam memiliki kemampuan dan potensi sumber daya alam luar biasa. Ada minyak, gas bumi, biji besi, potasium, ada mineral, dan lainnya. Dalam setiap harta benda itu terdapat zakat yang harus dikeluarkan.

“Kalau dalam Islam yang moderat, kita bisa membuat dana sosial yang bersifat abadi yang bisa digunakan untuk pembangunan dan bisa membebaskan kita dari jeratan IMF dan Bank Dunia. Ini adalah konsep moderatisme Islam tentang harta,” ujar pemikir yang puluhan bukunya telah diindonesiakan ini.

http://teguhtimur.com/2006/06/30/membumikan-wajah-islam-moderat/ 11.08

Membumikan Wajah Islam Moderat

30 Friday JUN 2006

POSTED BY TEGUHTIMUR  IN ISLAM MODERAT ≈ LEAVE A COMMENT

Islam moderat merupakan pandangan keagamaan yang mempunyai akar historis sejak deklarasi kemerdekaan Republik Indonesia. Kelapangdadaan dan keterbukaan sejumlah tokoh Muslim untuk menerima Pancasila sebagai dasar bernegara dan berbangsa merupakan ijtihad politik yang paling bermakna bagi perjalanan Islam di kemudian hari.Pada tahapan ini, Islam dikontekstualisasikan dan diharapkan dapat memberi dorongan moral bagi perubahan sosial. Pandangan seperti ini, bukan pandangan yang serta-merta, tetapi hasil refleksi teologis dari hadist Nabi SAW, “Mencintai Tanah Air adalah salah satu keimanan”.

Islam moderat berpandangan, keterlibatan agama secara praktis ke dalam negara hanya akan memandulkan nilai luhur yang terkandung dalam agama, karena agama akan menjadi ajang politisasi dan kontestasi. Karena itu, fungsi agama yang tepat adalah kontrol dan pendorong perubahan sosial, bukan formalisasi yang bersifat kaku.

Namun yang menjadi tantangan Islam moderat di masa mendatang adalah situasi global yang kian tidak menentu serta menampakkan hegemoni yang memungkinkan munculnya resistensi kultural yang bersifat radikal dan anarkis, selain kebijakan politik nasional yang tidak memihak kaum lemah. Hal-hal seperti ini akan turut menghambat kampanye Islam moderat di Tanah Air.

Ketua Umum PBNU, Hasyim Muzadi, menyatakan kekuatan moderat diyakini merupakan kekuatan yang berada di tengah untuk meredam terjadinya radikalisme dan terorisme atas nama agama. “Kekuatan moderat diyakini akan mampu meredam kedua masalah tersebut,” ujarnya di sela-sela Konferensi Internasional Cendekiawan Islam (ICIS) II di Jakarta, akhir Juni 2006.

Hasyim meyakini sikap ini kelak akan menjadi alternatif yang akan ditempuh setiap kalangan, baik tingkat lokal maupun global. Sebab, kata dia, kini telah terlihat pihak-pihak yang terlibat konflik yang tentu mengusung radikalisme mulai kelelahan.

Baik Barat maupun Timur, ujar Hasyim, kini juga telah memiliki kesadaran untuk segera menyudahi konflik yang selama ini terjadi. Kecenderungan itu juga terlihat dari kalangan umat beragama yang tak mau lagi simbol agama atau agama itu sendiri digunakan untuk memperkuat hegemoni politik maupun ekonomi. “Ini merupakan perkembangan

yang menarik di mana kalangan umat Islam, Hindu, Kristen, Budha, dan agama lainnya tak ingin lagi ajaran agamanya dicemari oleh kehendak politik suatu kelompok. Ataupun, digunakan untuk melakukan kegiatan radikal,” lanjutnya.

Bahkan dalam sebuah pertemuan lintas agama beberapa waktu silam, jelas Hasyim, Dewan Gereja Protestan Dunia, secara terbuka meminta maaf atas ketidakmampuan mereka mencegah pemerintahan sejumlah negara untuk melakukan agresi terhadap negara lain.

Hasyim menambahkan, radikalisme yang terjadi baik di tingkat lokal maupun global tak hanya bersifat secara fisik. Tetapi, juga bersifat pemikiran. Bahkan, kerusakan yang ditimbulkan radikalisme secara fisik lebih kecil nilainya dibandingkan dengan radikalisme lainnya. “Bayangkan saja kerusakan yang harus diterima oleh masyarakat ketika ada sekelompok orang yang melakukan pembongkaran paradigma agama. Bandingkan dengan sebuah radikalisme yang hanya memecahkan kaca, misalnya,” ingatnya.

Guru Besar Sosiologi Agama Universitas Andalas Padang, Bustanuddin Agus, menambahkan, Islam moderat secara institusional lahir untuk menjawab agenda kampanye antiterorisme dan radikalisme yang menyudutkan Islam. “Sebagai lawan atau pasangan kata moderat adalah radikal atau garis keras,” ujarnya.

Sementara itu, Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Din Syamsuddin, menyatakan radikalisme dan terorisme memang tak dibenarkan oleh ajaran agama. Islam, kata dia, tak membenarkan tindakan kekerasan tersebut yang kerap memakan korban orang-orang yang tak berdosa.

Untuk menyelesaikan masalah ini, kata Din, memang harus dilakukan dengan cara dialog. Namun, ingat dia, dialog yang dilakukan harus dalam posisi yang sepadan. Tak ada pihak yang dianggap superior maupun inferior. Di sisi lain, dalam menghadapi tantangan yang ada yaitu meredam radikalisme dan terorisme, umat Islam memang harus melihat ke dalam dirinya sendiri. “Umat Islam harus menciptakan sebuah strategi peradaban untuk menghadapi semua tantangan,” tegasnya.

http://teguhtimur.com/2011/06/18/negara-nyaris-gagal-ulama-tidak-boleh-cuma-jadi-penonton/#more-8156 10.08

Negara Nyaris Gagal, Ulama Tidak Boleh Cuma Jadi Penonton!

18SaturdayJUN 2011

POSTED BY TEGUHTIMUR IN BERITA, ISLAM MODERAT≈ LEAVE A COMMENT

Karut-marutnya Indonesia yang oleh berbagai kalangan ditengarai sudah sangat membahayakan, karena berpotensi membawa negeri ini menuju negara gagal, membuat KH Abdullah Faqih bersedih.

Kiai khos pengasuh Pondok Pesantren Langitan ini, sebagaimana diungkapkan Adhie M Massardi, yang menemui beliau di Langitan, Tuban, Jawa Timur, melihat apa yang terjadi sekarang sesungguhnya akibat negeri ini dikuasai kalangan elit saja, tanpa adanya kepemimpinan. Sehingga para penyelenggara pemerintahan menganggap negara dan seluruh kekayaannya yang sangat besar ini milik mereka.“Situasi seperti ini tidak boleh dibiarkan terlalu lama. Para ulama harus menyikapi keadaan ini secara tegas. Harus ada keberpihakan yang jelas kepada umat yang nasibnya semakin tidak menentu,” tutur kiai sepuh yang di kalangan Nahdliyin akrab disapa Mbah Faqih ini.

Mbah Faqih merasakan keadaan sekarang seperti situasi awal 1998 yang juga mengalami krisis kepemimpinan.

“Tapi karena waktu itu masih muda, saya bisa undang teman-teman kumpul di Langitan sini untuk menyikapi keadaan dan keberpihakan kepada umat,” kenang beliau.

Sejarah kemudian mencatat pertemuan itu sebagai Forum Kiai Langitan, yang memberikan dukungan moral yang besar bagi gerakan mahasiswa pada 1998.

“Tapi sekarang saya sudah tua dan sakit-sakitan. Terus siapa yang bisa menyikapi keadaan ini ya? Tidak bisa kita hanya jadi penonton,” ungkap beliau gundah.

Kegundahan KH Abdullah Faqih tampaknya tak akan berlarut-larut. Sebab kiai-kiai muda di kawasan Jawa Tengah sudah menangkap “pesan dari langit” itu.

Menurut rencana, Sabtu (18/6) ini, “para Gus” ahli waris pesantren-pesantren besar di Jateng ini, akan menggelar pertemuan di Pondok Pesantren Raudlatut Thaliben pimpinan KH Mustofa Bisri (Gus Mus), Rembang, Jawa Tengah. Mereka akan membahas dan menyikapi kondisi negeri ini.

http://teguhtimur.com/2011/07/23/andai-saja-semua-pemuka-agama-belajar-pluralisme-sejak-dini/#more-8255 10.09

Andai Saja Semua Pemuka Agama Belajar Pluralisme Sejak Dini

23SaturdayJUL 2011

POSTED BY TEGUHTIMUR IN BERITA, CATATAN, ISLAM MODERAT≈ LEAVE A COMMENT

Pendidikan pluralisme dibutuhkan para calon pemimpin umat untuk menumbuhkan sikap toleransi, saling pengertian, dan pembangunan karakter bangsa. Selain tentu saja dibutuhkan untuk memperkuat pondasi kebangsaan Indonesia.Langkah ini disadari sebagai cara yang bijak dan tepat untuk membentuk masyarakat yang berbhinneka, berbudaya dengan tetap menjunjung perbedaan yang ada.

Demikian hasil kesimpulan seminar kebangsaan dengan tema “Penghayatan Panggilan Imamat dengan Semangat Pluralis” di Seminari St. Petrus Canisius Mertoyudan, Magelang. Hadir sebagai pembicara adalah Zuhaeri Misrawi (Cendekiawan NU dan Chairman Moderate Muslim Society), Teguh Santosa (Pemred Rakyat Merdeka Online dan Wasekjen PP Pemuda Muhammadiyah), Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok (Anggota Komisi II DPR RI), Markus Kurniawan Hidayat (Tokoh Masyarakat, GKI Taman Yasmin, Bogor) dan Trias Kuncahyono (Wapemred Harian Kompas). Sementara Rektor Universitas Atmajaya Yogyakarta, Maryatmo bertindak sebagai moderator.

Dalam penjelasannya, Rektor Seminari Menengah Mertoyudan, Sumarya SJ, seminar ini diadakan dalam rangka 100 tahun Seminari St. Petrus Canisius Mertoyudan Magelang yang jatuh pada tahun 2012. Sebagai sekolah yang mengkhususkan diri mendidik para calon romo, pemuka agama Katolik, dipandang perlu untuk mempersiapkan anak didik berwawasan pluralisme.

Ini dianggap penting untuk menghadapi era baru dimana pluralisme adalah suatu value yang harus dipelihara dan dijaga.

Dengan demikian, Sumarya SJ menjelaskan, para calon pastor masa depan dapat membawa umatnya ke suatu sikap toleransi, saling pengertian di antara agama-agama dan kepercayaan yang ada di Indonesia. Sikap saling memahami, toleransi tentu akan menjaga kebhinekaan, keberanekaragaman yang merupakan nilai luhur Indonesia, sebagaimana ditanamkan oleh para pendiri negara ini.

Sumarya SJ yang sebelumnya adalah rektor SMA Kolese Kanisius, Jakarta ini, melihat bahwa jika seluruh calon pemuka agama-agama di Indonesia mendapatkan pendidikan pluralisme sejak dini, konflik horisontal yang berlatarbelakang agama dapat dihindari.

Masa depan Indonesia, demikian Sumarya, yang damai, tentram dan bersatu akan menjadi harapan kita semua dengan tumbuhnya nilai pluralisme dalam diri para pemuka agama, yang sekarang dalam masa pengkaderan.

http://teguhtimur.com/2011/07/23/kekerasan-atas-nama-agama-karena-negara-lemah/#more-8257 10.10

Kekerasan atas Nama Agama Karena Negara Lemah

23SaturdayJUL 2011

POSTED BY TEGUHTIMUR IN BERITA, CATATAN, ISLAM MODERAT≈ LEAVE A COMMENT

Keberagaman atau pluralisme bukan barang baru di Republik Indonesia. Belakangan ini kekerasan dengan menggunakan agama dan keyakinan sebagai alasan memang terlihat lebih sering terjadi dibandingkan pada masa sebelumnya. Namun, hal itu bukan karena keberagaman. Melainkan karena negara dan pemerintah tidak hadir dan gagal melindungi warga negara dan menegakkan hukum yang berwibawa.Demikian antara lain disampaikan Pemimpin Redaksi Rakyat Merdeka Online, Teguh Santosa, yang menjadi salah satu pembicara dalam seminar bertema Penghayatan Panggilan Imamat dengan Semangat Pluralisme di Seminari St. Petrus Canisius Mertoyudan, Magelang, Jawa Tengah, Sabtu pagi (23/7).

Seminar tersebut digelar untuk memperingati ulangtahun ke 100 Seminari Mertoyudan. Turut hadir sebagai pembicara intelektual Nahdlatul Ulama Zuhairi Misrawi, tokoh masyarakat GKI Taman Yasmin Bogor, Markus K. Hidayat, Wapemred Kompas Trias Kuncahyono, dan anggota Komisi II DPR RI Basuki Tjahja Utama alias Ahok.

“Kekerasan atas nama agama dan keyakinan hanya bisa dihentikan bila pemerintah memiliki kemampuan menampilkan wajah negara yang kuat,” kata Teguh yang juga Wakil Sekjen Pemuda Muhammadiyah.

Dengan mengatakan negara harus kuat, sambung Teguh, dirinya tidak bermaksud mengatakan bahwa Indonesia membutuhkan pemerintahan otoriter dan diktatoriat seperti di masa lalu. Negara kuat, sebutnya lagi, adalah negara yang mampu menjalankan fungsi untuk melindungi dan mensejahterakan rakyat. Negar yang fungsional adalah negara yang peduli dan pemerintah bisa membuktikan keperdulian itu.

“Gap dan ketimpangan ekonomi yang sedemikian rupa akibat dari hasil pembangunan ynag tidak merata adalah bibit kekerasan atas nama apapun. Sayangnya, agama menjadi faktor yang paling mudah digunakan untuk melakukan kekerasan, sekaligus faktor yang paling mudah dipolitisasi,” demikian Teguh.

http://teguhtimur.com/2011/07/26/keberagaman-masyarakat-indonesia-bukan-hanya-ada-di-buku-cerita/#more-8275 10.10

Keberagaman Masyarakat Indonesia

Bukan Hanya Ada di Buku Cerita

26TuesdayJUL 2011

POSTED BY TEGUHTIMUR IN BERITA, ISLAM MODERAT≈ 2 COMMENTS

Pluralisme, kebhinnekaan dan keberagaman di Indonesia sedang menghadapi ancaman. Kekerasan terhadap penganut keyakinan dan kepercayaan yang berbeda seakan menjadi hal yang biasa dalam pembicaraan juga pemberitaan sehari-hari.

Dikutip dari Rakyat Merdeka Online.Menurut penelitian yang dilakukan Moderate Moslem Society (MMS) yang dipimpin oleh intelektual NU Zuhairi Misrawi, misalnya, ditemukan bahwa kekerasan yang berlatar belakang perbedaan agama dan keyakinan meningkat di tahun 2010 dari tahun sebelumnya. Juga diperoleh kesan kuat betapa kekerasan itu terjadi karena ketidakmampuan pemerintah, baik dalam hal peradilan, maupun pengamanan dan perlindungan terhadap warga negara.

Hasil penelitian MMS itu dipaparkan Zuhairi dalam seminar di Seminari Mertoyudan, Magelang, Jawa Tengah, hari Sabtu kemarin (23/7). Seminar itu diselenggarakan untuk menyambut seabad Seminari Mertoyudan yang merupakan sekolah pastur pertama di Indonesia.

Dua jurnalis yang ikut menjadi pembicara dalam seminar itu juga menyampaikan keprihatinan serupa. Wakil Pimred Kompas, Trias Kuncahyono, mengatakan bahwa bukan tidak mungkin Indonesia akan dihadapkan pada situasi sulit seperti yang dialami Yugoslavia di akhir era 1990an.

Di sisi lain, dia juga mengatakan bahwa fenomena kekerasan berlatar belakang perbedaan keyakinan dan kepercayaan tidak hanya terjadi di Indonesia, melainkan juga terjadi di beberapa negara lain, termasuk Rusia dan Yunani.

Sementara Pemred Rakyat Merdeka Online, Teguh Santosa, berpendapat bahwa keberagaman bukan barang baru di Indonesia. Ia adalah keniscayaan yang ada dan hidup jauh sebelum Republik Indonesia merdeka.

“Keberagaman masyarakat kita dan jalinan di antaranya bukan hanya ada di dalam buku cerita dan buku yang diajarkan di sekolah-sekolah. Keberagaman itu nyata. Tidak ada satu keluarga pun yang tunggal, dari buyut sampai cicit, baik dalam hal agama maupun suku. Di tengah perjalanan pasti ada perkawinan silang dan bentuk pertemuan kekerabatan lainnya,” urai Teguh yang juga dosen mata kuliah konflik di Jurusan Hubungan Internasional Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, itu.

Dia mengingatkan bahwa pluralisme seakan menjadi persoalan manakala bersentuhan dengan dua faktor lain yang saling berkaitan, yakni ekonomi dan politik.

Dan, ketika terjadi ketimpangan dalam dua medan ini, medan ekonomi dan medan politik, maka semua aktor yang berkepentingan dapat dengan mudah menggunakan isu identitas untuk memperlihatkan ketidaksukaan dan perlawanan.

“Ini juga membuktikan bahwa identitas is socially constructed. Untuk mencegah hal seperti ini berulang, dibutuhkan otoritas yang kuat, berwibawa dan dapat dipercaya oleh semua stake holders,” ujarnya lagi.

Secara terpisah, salah seorang staf khusus Presiden SBY, Andi Arief, terlihat antusias mengikuti diskusi ini dari jarak jauh.

Sebelum berkantor di Istana Negara, Andi Arief dikenal sebagai aktivis. Di era 1997-1998 ia dikenal sebagai aktivis mahasiswa dan ketua Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID). Ia juga menjadi salah seorang motor penggerak kelompok pro kemerdekaan Timor Leste. Dengan catatan seperti itu dapat disimpulkan Andi Arief pun memiliki komitmen yang kuat pada isu pluralisme.

Dalam pernyataan yang disampaikan kepada Rakyat Merdeka Online, Sabtu malam, Andi Arief tampaknya khawatir bila pembicaraan mengenai pluralisme belakangan ini akan berujung pada salah persepsi mengenai peranan Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia.

“Bila kita mempelajari kembali sejarah Islam, khususnya di Indonesia, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa Balkanisasi mustahil terjadi di Indonesia. Muslim adalah masyarakat yang mengagungkan stabilitas,” katanya.

Bahkan sampai ada semacam adagium yang mengatakan lebih baik dipimpin penguasa kuat daripada kacau balau.

Adapun berbagai kekerasan yang terjadi di Indonesia belakangan ini sesungguhnya tidak dikarenakan perbedaan agama dan keyakinan, melainkan karena persoalan kesenjangan. Dan dalam keadaan seperti itu, umat Muslim Indonesia yang merupakan mayoritas memainkan peranan penting untuk mempersatukan semua anak bangsa.

Bagaimanapun, sambungnya, seperti salah satu kesimpulan sejarawan George McTurnan Kahin, Islam adalah salah satu pondasi Indonesia Raya. Begitu juga kesimpulan studi yang dilakukan sejarawan Daniel S. Lev.

“Sikap politik mainstream Muslim adalah Belanda ikut, Jepang ikut, RI ikut, Soeharto oke, Mega cihui aja, SBY idem juga. Tapi secara serius itulah gambaran stabilitas yang dipuja. Rezim boleh siapa saja, boleh ganti tiap bulan, tapi umat segalanya,” ujar Andi.

Dia juga sepakat, salah satu faktor penting yang harus dimiliki untuk tetap menjaga ikatan kebangsaan ini adalah kepastian hukum yang dapat menjamin kesejahteraan kepada masyarakat umumnya.

http://teguhtimur.com/2006/12/08/%E2%80%9Cporos-islam-beralih-ke-asia-tenggar/#more-662 10.11

“Poros Islam Beralih ke Asia Tenggara

08FridayDEC 2006

POSTED BY TEGUHTIMUR IN ISLAM MODERAT, WAWANCARA≈ LEAVE A COMMENT

Gagasan tentang ajaran Islam yang moderat dan santun diakui tidak mudah untuk dibumikan. Kalangan intelektual, dai, dan ulama yang nyaris sehari-hari berurusan dengan dakwah Islam pun mengakui hal tersebut. Sebagai cerminan dari ajaran Islam yang rahmatan lil ‘alamin, doktrin moderatisme Islam sesungguhnya diharapkan dapat terus mewarnai kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara.

Dalam hal ini, perkembangan dakwah Islam yang moderat di kawasan Asia Tenggara, harapan ke arah itu tetap cerah dan terbuka lebar, meski tantanganpun tak kecil. Memperdalam masalah ini, At-Tanwir mewawancarai Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia (DMI), Direktur CMM, dan mantan Menag, KH Dr dr Tarmizi Taher, yang beberapa waktu lalu menjadi pembicara seminar “Dakwah Islam Moderat di Asia Tenggara: Masa Depan dan Tantangannya”, di Manila, Filipina. Petikannya:

Bagaimana Anda melihat prospek dakwah Islam di Asia Tenggara?

Saya kira cukup bagus, dari waktu ke waktu terusmeningkat. Kalau kita lihat di Malaysia misalnya, karena di sana Kerajaan, semua dakwah Islam disokong oleh pemerintah. Keuntungannya, gerak dakwah akan lebih kondusif dan cepat berkembang karena dukungan yang besar dari kerajaan. Di Indonesia yang mayoritas Muslim dunia, juga terus membaik. Dakwah di sini kian menunjukkan peningkatan kualitas, meski di sana-sini masih ada yang memprihatinkan. Di Singapura, Thailand, khususnya bagian selatan, juga Filipina, nyaris semua negeri yang Muslimnya minoritas pun seperti tak mau ketinggalan. Mereka melakukan dakwah lewat televisi, radio, media cetak, dan media lain, selain ceramah publik. Semua itu membuktikan dakwah Islam tetap cerah. Justru hambatan dan kekurangan yang ada harus dijadikan tantangan bagi perbaikan dan peningkatan dakwah Islam di masa mendatang.Sebenarnya, arahnya kemana, dakwah Islam yang anggun, moderat, atau dakwah yang sifatnya sempalan, politis, dan primordial-kelompok?Kalau saya amati, sudah jelas arahnya adalah Islam moderat. Karena itu, tepat jika seminar tentang dakwah Islam moderat di Filipina itu digelar oleh CMM Cabang Manila. Saya akui, peran lembaga ini (CMM—red), meski baru, tapi sangat diperhitungkan di Filipina. Ini tidak lepas dari sosok ketuanya, Prof Thaha Basman, tokoh Islam yang sangat disegani masyarakat dan pemerintah Filipina. Mereka giat berdakwah melalui media, penerbitan, dengan mengusung konsep dan ajaran Islam moderat.

Kalau di tempat lain?Tak jauh beda. Kecuali Malaysia dan Indonesia, seperti di Thailand selatan, mereka juga terus melakukan terobosan dakwah yang bisa diterima masyarakat. Saya berkeyakinan, karena landasan Islam yang anggun dan ajaran moderat itu jelas, yakni Surat Al-Baqarah ayat 143: “Wa kadzalika ja’alnaakum ummatan washatan litakuunu syuhadaa’a ‘alannasi wayakuna ar-rasululu ‘alaikum syahiidan,” artinya: Demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat pertengahan, agar kamu menjadi saksi atas perbuatan manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu,” maka kedepan perjuangan menegakkan risalah Islam yang santun, ramah, sehingga dapat menjadi rahmat bagi semesta alam, dapat tercapai.

Anda demikian optimis, bukankah tantangan radikalisme dan terorisme di Asia Tenggara terus menghantui?Memang, radikalisme dan terorisme dapat menjadi ancaman. Tapi, saya yakin kalau Islam yang moderat dan anggun akan tetap mewarnai dan mendominasi peradaban global. Radikalisme dan terorisme terjadi karena salah paham terhadap ajaran Islam yang benar. Itupun hanya sekelompok kecil. Mainstream utama kita kan tetap moderat, yakni NU dan Muhammadiyah. Yang lainnya, kecil-kecil meski radikal seperti FPI, MMI, HTI, dan sebagainya, tidak berpengaruh. Anggap saja itu bumbu demokrasi. Juga di Malaysia, Islam Hadhary (Islam moderat) menjadi mayoritas dan penentu kebijakan, relatif lebih aman dan makmur ketimbang Indonesia.

Kedepan, apa harapan Anda agar proses pembumian ajaran Islam moderat tercapai dengan baik?Saya menyitir pernyataan intelektual terkenal Mesir, Muhammad Imarah. Dalam seminar beberapa waktu lalu, Imarah mengatakan bahwa Islam di Indonesia dan Asia Tenggara umumnya akan mewarnai peradaban global. Poros Islam beralih ke kawasan ini. Mengapa? Karena Islam di kawasan ini memiliki ciri khas, ramah dan saling menghargai. Berbeda dengan Islam di Arab yang suka marah-marah dan kurang menghargai manusia. Jadi, kedepan, akan semakin banyak dibutuhkan dai-dai yang berkualitas, seiring perkembangan zaman dan teknologi. Karena itu, kemampuan ulama dan dai dalam berbahasa Inggris pun sangat dibutuhkan. Banyak negara-negara di Asia yang butuh dai. Di Korea Selatan perkembangan Islam cukup pesat. Yang lainnya juga demikian. Tugas dakwah ini hanya dapat dilayani oleh para dai yang dapat beradaptasi dengan kemajuan dan mampu berbahasa Inggris dan Arab. Karena itu, harapan saya, saling menghargai dan terus meningkatkan kualitas diri, menjadi kata kunci bagi dakwah Islam masa depan.

http://teguhtimur.com/2006/10/27/radikalisme-beragama-merusak-peradaban/#more-649 10.33

Radikalisme Beragama Merusak Peradaban

27FridayOCT 2006

POSTED BY TEGUHTIMUR IN WAWANCARA, ISLAM MODERAT≈ 1 COMMENT

Munculnya sikap keberagamaan yang berlebihan dan memandang ajaran agama secara hitam-putih, hanya akan menimbulkan dampak negatif dan citra buruk bagi agama tersebut. Selain itu, sikap berlebihan itu juga akan menumbuh-suburkan radikalisme beragama. Islam sendiri menolak keras sikap-sikap berlebihan tersebut.Sebagai agama yang wasatha atau tengah-tengah, Islam sangat menjunjung moderatisme dalam bersikap dan beragama. Membahas lebih lanjut hal tersebut, At-Tanwir berbincang dengan Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi. Petikannya:

Bagaimana Anda memandang munculnya radikalisme beragama?Tentu kita prihatin dengan kenyatan seperti itu. Dalam bahasa Arab, istilah radikalisme itu biasa disebut tathorruf, menjadi muthothorrifin. Kemudian juga diartikan dengan istilah teror atau menciptakan bencana-bencana. Radikalisme beragama, hemat saya, hanya akan berdampak negatif bagi agama itu sendiri dan tidak produktif bagi upaya membangun kehidupan yang damai, sejahtera dan aman. Memang diakui, bahwa radikalisme beragama itu bukan saja monopoli Islam, dalam agama lainnya pun radikalisme beragama juga ada.

Sejauh yang Anda amati, apa penyebab munculnya radikalisme dalam Islam?Ada beberapa faktor yang berakumulasi atau bertemu satu dan lain yang pada akhirnya melahirkan radikalisme dan terorisme. Nah, munculnya paham radikalisme dalam agama Islam disebabkan oleh: Pertama, faktor pengertian seseorang terhadap Islam dan penyalahgunaan Islam untuk perorangan. Pengertian ini biasanya lahir karena ekslusivisme Islam. Mereka hanya membenarkan kelompoknya sendiri, tidak bisa memegang teguh pendirian, dan tidak dapat memahami kelompok lain dalam ber-Islam. Sehingga ia merasa mewakili Islam dan Islam adalah dia. Kalau bukan dia tidak seberapa Islamnya. Dominasi ini melahirkan berbagai macam fanatisme, mulai yang paling lunak sampai yang paling berat. Paham yang paling berat adalah Hizbul Takfiriyyah, yaitu kelompok yang selalu mengatakan di luar dirinya adalah kafir. Dominasi Islam ada pada dirinya.

Kedua, adalah lakum dinukum waliyadin, yang diartikan sebagai pembenaran Islam saja tanpa pengakuan terhadap eksistensi agama yang lain. Padahal seharusnya adalah kita tidak mengikuti mereka tetapi kita juga tidak ribut dengan mereka itu. Seterusnya mereka juga tidak boleh mengganggu apa yang kita punya. Dalam perkembangannya, waliyadin ini yang lebih mendominasi dari pada lakum dinukum. Inilah yang pada akhirnya juga menjurus kepada radikalisme agama, sebagaimana juga terjadi pada agama-agama yang lainnya. Namun, orang-orang di luar Islam yang juga sering membawa radikalisme atas agama dengan lihai membungkus diri sedemikian rupa dengan menggunakan tema-tema yang universal, bukan tema agama. Sementara kita telanjang, seperti Amrozi yang menggunakan yel-yel Allahu Akbar. Ketika saya

mengatakan bahwa Islam bukan agama kekerasan, maka orang-orang Eropa bertanya, bagaimana bapak bisa mengatakan bahwa Islam bukan agama kekerasan, sementara pelaku kekerasan sendiri mengaku sebagai Islam.

Kalau pengaruh dari luar, seperti pemikiran yang dibawa pihak asing, sejauhmana berdampak bagi kemunculan radikalisme itu sendiri?Ya, itu memang ada, meski intensitasnya tak begitu besar. Bahwa orang yang membawa Islam dari luar, dimana cara-cara berislam mereka belum di-Indonesiakan. Saya tidak mengatakan bahwa syariat itu harus di Indonesiakan tidak, tetapi pandangan dan gagasan tentang metode penerapan syariat Islam itu pada masing-masing tokoh berbeda. Sehingga bayangan mereka Jakarta itu seperti Riyadh, Surabaya seperti Jeddah, dan seterusnya. Sementara konflik-konflik kepentingan di Timur Tengah sangat akut dan berat. Oleh karena itu, NU dan Muhammadiyah berharap kembali pada tawassut (keseimbangan) dan I’tidal (tengah-tengah), bukan tathorruf (kekerasan) dan irhab (teror). Ini didukung oleh proses Islamisasi di Indonesia. Pertanyaan besar adalah kenapa Islam menjadi 90% di Indonesia, apakah ada perang besar di Indonesia. Hindu, Budha, dan Kejawen, bagaimana ia diproses menjadi Islam 100% tanpa melalui perang agama. Ini yang harus dipelajari, bagaimana metodologinya.

Untuk membendung arus radikalisme, apa yang mesti dilakukan?

Perlu adanya upaya meluruskan kembali pemahaman Islam dan menjaga Islam supaya tidak disalahgunakan di dalam legal organisasi adalah dalam NU dan Muhammadiyah bisa mengambil peran. Baik melalui ulama, cendikiawan, mubaligh, untuk meluruskan kembali tatacara berislam dalam kondisi Indonesia saat ini. Selain itu, pemerintah juga mesti memberi perhatian lebih besar lagi, terutama ikut menjaga faktor-faktor sosial-politik agar tidak terbuka pintu bagi kemunculan radikalisme-radikalisme dalam bentuk yang lain.

http://yusufeff84.wordpress.com/2010/04/21/radikalisme-islam-di-indonesia/ 19.10

http://pcinu-mesir.tripod.com/ilmiah/jurnal/isjurnal/nuansa/Jan03/Menelusuri%20Sejarah%20dan%20Makna%20Fundamentalisme%20(kajian).htm 19.25