SUMAH, GIBAH , FITNAH
-
Upload
aidatul-fitri -
Category
Education
-
view
352 -
download
0
Transcript of SUMAH, GIBAH , FITNAH
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam pandangan islam sikap dan ahlak seseorang sangat penting. Tidak terlepas
dari itu maka, islam sebagai agama yang paling mulia memberikan beberapa petunjuk,
aturan dan kedamaian kepada penganutnya melalui al-quran, al-hadis dan lain-lain.
Dalam pergaulan antar manusia ada diantaranya yang berahlak mazmumah dan sebagian
lagi berahlak mahmudah. Dalam makalah ini, kami dari penulis akan membahas tentang
ahlak mazmumah.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalah yang dapat dibuat
adalah :
1. Apa yang dimaksud dengan Sum’ah ?
2. Apa yang dimaksud dengan Gibah ?
3. Apa yang dimaksud dengan Fitnah ?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan kami dari penulisan makalah ini agar kita mengetahui beberapa
ahlak mazmumah yang sering kita lihat dalam kehidupan sehari-hari baik itu yang
disadari atau tidak.
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sum’ah
1. Pengertian Sum’ah
Secara bahasa sum’ah adalah diperdengarkan kepada orang lain, adapun
secara istilah yaitu beribadah dengan benar dan ikhlas karena Allah, kemudian
menceritakan amal perbuatannya kepada orang lain, Perbedaan antara riya’ dan
sum’ah menurut Al-Hafizh yaitu riya’, adalah memperlihatkan amal dan
perbuatan dengan maksud mendapatkan pujian seperti shalat, adapun sum’ah
merupakan amalan yang diperdengarkan kemudian menceritakan perbuatannya
(sudah dikerjakan dengan penuh keikhlasan, namun pada akhirnya mengharapkan
pujian yang sifatnya duniawi). Perbedaan riya’dan sum’ah ialah: Riya’ berarti
beramal karena diperlihatkan kepada orang lain, sedangkan sum’ah beramal
supaya diperdengarkan kepada orang lain, Riya’ berkaitan dengan indra mata,
sedangkan sum’ah berkaitan dengan indra telinga. Kata sum’ah berasal dari kata
samma’a (memperdengarkan). Kalimat samma’an naasa bi ‘amalihi digunakan
jika seseorang menampakkan amalnya kepada manusia yang semula tidak
mengetahuinya.
2. Definisi Sum’ah secara Terminologi
Pengertian sum’ah secara istilah adalah sikap seorang muslim yang
membicarakan atau memberitahukan amal shalihnya, yang sebelumnya tidak
diketahui atau tersembunyi kepada orang lain, supaya dirinya mendapatkan
kedudukan, penghargaan, atau mengharapkan keuntungan materi. Syeikh Ahmad
Rifa’I dalam kitabnya Ri’ayah Himmah, Juz 2 menjelaskan:
كا الفضلة تظهر ال والطاعة لعلم
Artinya: “Janganlah kalian menunjukkan keutamaan (kepandaianmu), seperti
ilmu dan ketaatan karena banyak melaksanakan amal sholih kepada orang lain
supaya mereka memuliakanmu”.
2
Dalam makalahnya, beliau menjelaskan bahwa adakalanya kita menunjukkan
ketaatan kita pada orang lain, tetapi dalam hal-hal tertentu, seperti :
ا إظهارها ليقتدى به ولير غب الناس فى الخير فهو أفضل من وأمياء إسرارها ان أمن شوائب الر
Artinya: “Adapun menunjukkan ketaatan kita kepada orang lain dengan tujuan
supaya orang meniru perbuatan kita (mengajak kepada kebaikan), itu lebih baik
(tidak berdosa) daripada kita menyembunyikannya, tetapi jika dalam hati kita
merasa hebat maka akan menjadi riya’(sombong)”.
ا على بالنعمة فحسناإلعترافأم
Artinya: “Dan sekiranya kita memperlihatkan kemuliaan kita (nikmat), sebagai
pertanda rasa syukur pada-Nya maka lebih bagus dan tidak termasuk ke dalam
perkara ‘ujub, karena kemuliaan yang kita dapatkan adalah anugerah Allah”.
Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT:
ا بنعمة ربك فحدثوأم
Artinya: “Dan terhadap nikmat Tuhan-Mu, hendaklah engkau nyatakan (dengan
bersyukur)”.(Q.S. Dhuha: 11).
Ibnu Hajar Al-Asqalani mengetengahkan pendapat Izzudin bin
Abdussalam yang membedakan antara riya dan sum’ah. Riya’ adalah sikap
seseorang yang beramal bukan untuk Allah), sedangkan sum’ah adalah sikap
seseorang yang menyembunyikan amalnya untuk Allah, namun kemudian ia
bicarakan hal tersebut kepada manusia. Dengan demikian, dalam pandangannya
bahwa semua riya’ tercela, sedangkan sum’ah adalah amal terpuji jika ia
melakukannya karena Allah dan untuk memperoleh ridha-Nya, namun jadi tercela
jika dia bicarakan amalnya di hadapan manusia. Dalam Al-Qur’an Allah telah
mengingatkan kepada kita mengenai sifat sum’ah dan riya’ ini :
3
آمنوا ال تبطلوا صدقاتكم بالمن واالذى كالذى ينفق اأيها الذيني… ماله رئاء الناس
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan
(pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si
penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada
manusia…” (QS. Al-Baqarah : 264).
Di dunia ini, ada banyak hamba pilihan yang di takdirkan oleh Allah
sebagai golongan orang-orang yang luhur budi pekertinya, bagus dalam bertutur
kata dan dijauhkan dari sifat riya’ dan sum’ah, salah satu diantaranya adalah nabi
Muhammad SAW yang dijelaskan dalam salah satu hadisnya:
لين واألخرين ال فخر لناق ال النبي إنا أكرم األو
Rasul SAW bersabda: “Sesungguhnya aku (Muhammad) adalah yang paling
mulia diantara nabi-nabi yang terdahulu ataupun yang terakhir, dan tidak
berdosa (takabbur) bagiku, karena Allah SWT telah memberikan jaminan sebagai
seorang utusan untuk mengajak kepada jalan kebenaran”.
Kita sebagai umatnya, tidak menutup kemungkinan bisa sampai dalam
tahap kesempurnaan (di jauhkan dari sifat-sifat madzmumah: penyakit hati),
sebagaimana di jelaskan para ulama:
ريعة ويغسل باطنه قال العلماء ومن تحلى ظاهره بحلي الشبمياه الطريقة فقد حصل بالحقيقة
Artinya: “Barangsiapa yang secara lahirnya (tingkah laku dan perbuatan)
memakai perhiasan syari’at (menebarkan pesona kebaikan), kemudian
membasuh kotoran batinnya dengan air tarikat (hanya kepada Allah ia
memohon), maka ia telah sampai kepada tahap kesempurnaan (meyakini bahwa
hakikatnya segala sesuatu yang ia lakukan mengharap keridhoan-Nya saja)”.
3. Faktor-Faktor Penyebab Riya dan Sum’ah.
a. Latar Belakang Kehidupan
4
Jika seorang anak yang tumbuh dalam asuhan sebuah keluarga yang memiliki
suasana atau adat perilaku riya’ dan sum’ah, maka sangat besar kemungkinan
dirinya akan dapat terpengaruhi perilaku semacam itu. Jika penyakit itu telah
bercokol dan lama berurat akar dan mengkristal dalam jiwa, maka akan sangat
sulit untuk mengikisnya. Karena itu, rasulullah selalu menekankan pentingnya
faktor agama sebagai landasan utama dalam memilih calon pasangan hidup
kita.
b. Persahabatan yang Buruk
Persahabatan yang buruk hanya akan mengakibatkan sikap riya dan sum’ah,
terutama bagi orang yang lemah pribadi dan mentalnya dan mudah
terpengaruhi orang lain, dengan mengikuti dan meniru teman-temannya, lama
kelamaan berakar umbi dalam jiwanya. Sehubungan dengan hal ini, sebagai
muslim, kita dituntut agar selektif dalam menjalin persahabatan dengan
mereka yang baik, menghormati, dan menjalankan syariah Allah.
c. Tidak Memiliki Hakikat Ma’rifah kepada Allah
Karena tidak mengenal Allah secara hakiki maka dapat menimbulkan sikap
riya’ dan sum’ah, sebab orang yang jahil tidak mampu bersikap yang benar
terhadap Allah. Karena itu, berkembanglah dalam pikirannya bahwa ada
sebagian manusia yang mampu menolak bahaya dan memberi manfaat. Ia
bersikap riya dan sum’ah dalam setiap amalnya dihadapan sekelompok
manusia dan yang menurutnya berkuasa dalam menentukan nasib mereka.
Islam selalu menegaskan pentingnya mengenal Allah sebagai langkah
pertama yang harus ditempuh sebelum melakukan segala sesuatu. Sifat ini
lahir karena dalam dirinya merasa paling hebat dan suci, maka Allah SWT
mengingatkan kepada kita dalam surat Al-Najm ayat 32:
كم TTفال تزكوا أنفس Artinya: “Maka Janganlah kamu menganggap
dirimu suci,”
Penafsiran ayat diatas diartikan seperti yang diuraikan oleh Syeikh Ahmad
Rifa’i:
5
Artinya: “Jangan memuji أى ال تمدحوها على سبيل اإلعجاب
karena merasa lebih dari segalanya ( yang mengarah kepada perasaan
‘ujub)”
d. Ambisi Memperoleh Kedudukan dan Kemimpinan
Inilah salah satu diantara faktor yang dapat memotivasi timbulnya sikap riya’
dan sum’ah. Islam menekankan untuk menyeleksi dan menguji seseorang
sebelum ia dilimpahi suatu kepercayaan atau dukungan. Sebagaimana Firman-
Nya:
نهم رشدا فادفعوا وابتلوا اليتامى حتى إذا بلغوا النكاح فإن آنستم مإليهم أموالهم
Artinya: “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin.
Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara
harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya.” (QS. an-Nisaa’ :6)
e. Tamak Terhadap yang Dimiliki Orang Lain
Sikap rakus terhadap apa yang dimiliki orang lain serta ambisi terhadap harta
duniawi dapat menyebabkan riya atau sum’ah. Sebagaimana diriwayatkan
dari Abu Musa bahwa pada suatu hari rasul SAW ditanya, “Ya Rasulullah,
ada seorang yang berperang untuk memperoleh ghanimah, ada yang ingin
disebut-sebut, dan ada yang ingin posisinya dilihat oleh manusia, yang
manakah diantara mereka yang berperang di jalan Allah?” Rasul SAW
bersabda:“Barangsiapa berperang dengan tujuan meninggikan kalimat Allah,
maka dialah yang berperang di jalan Allah.” (HR. Bukhari)
f. Lalai Terhadap Dampak Buruk Riya dan Sum’ah
Ketidaktahuan dan kelalaian seseorang terhadap pengaruh buruk yang
ditimbulkan oleh riya dan sum’ah dapat menjerumuskan seseorang kepada
riya atau sum’ah. Imam Bukhori dalam shahihnya dalam bab Ar- Riya’ was
Sum’ah dengan membawakan hadits Rasulullah SAW:“Barangsiapa
memperdengarkan (menyiarkan) amalnya, maka Allah akan menyiarkan
6
aibnya, dan barangsiapa beramal karena riya’, maka Allah akan membuka
niatnya (dihadapan manusia pada hari kiamat kelak)”.
B. Gibah
1. Pengertian Gibah
Secara bahasa ghibah bisa diartikan sebagai mengatakan sesuatu yang
benar tentang seseorang di belakangnya tetapi hal itu tidak disukai oleh orang
yang dibicarakan. Dalam islam perihal gosip di masukan ke dalam ghibah karena
dalam prakteknya sama dengan berghibah yakni sama-sama membicarakan orang
lain dibelakangnya dan umumnya pembicaraan itu menyangkut aib atau
keburukan objek yang dibicarakan. Jadi ghibah adalah membicarakan kejelekan
atau aib orang lain atau menyebut masalah orang lain yang tidak disukainya,
sekalipun hal tersebut benar-benar terjadi. Para alim ulama sepakat bahwa ghibah
termasuk dosa besar sebagaimana dijelaskan dalam surat Al-Hujurat ayat 12 :
"Hai orang yang beriman jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya
sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan
orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain.
sukakah salah satu diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah
mati? maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada
Allah sesungguhnya Allah Maha penerima tobat lagi Maha Penyayang".
Pada umumnya orang berghibah ketika ia sedang marah atau kesal pada
seseorang yang ia benci atau pun ketika ia merasa cemburu atau iri hati pada
orang lain. Namun pada saat ini yang paling mengherankan adalah dengan
bergosip seolah-olah kita mampu membuat orang lain tertawa dan bahagia meski
yang dibicarakan adalah aib atau keburukan orang lain dan terkadang gosip tidak
dianggap sebagai dosa dan parahnya pada saat ini banyak orang-orang yang
mencari nafkah dengan cara bergosip, sebagaimana maraknya acara infotainment
seputar gosip kehidupan artis di televisi.
Untuk menghalau gosip atau ghibah caranya sadarilah bahwa hal itu dosa
besar dan hindarilah ucapan-ucapan yang akan mendekati ghibah dengan cara
meluruskan dan menyelaraskan antara hati ucapan dan tindakan. karena setiap
orang yang beriman yang berfikir dengan hati nuraninya akan mengakui bahwa
7
tidak ada manfaatnya menggosipkan seseorang apalagi berusaha membuka aib
atau keburukan orang lain.
Nawawi rahimahullah mengatakan, “Ghibah berarti seseorang menyebut-nyebut
sesuatu yang dibenci saudaranya baik tentang tubuhnya, agamanya, duniannya,
jiwanya, akhlaknya, hartanya, anak-anaknya, istri-istrinya, pembantunya,
gerakannya, mimik bicaranya atau kemuraman wajahnya dan yang lainnya yang
bersifat mengejek baik dengan ucapan maupun isyarat.”
2. Gibah Yang Diperbolehkan
Ucapan Imam Nawawi رحمه الله Dalam kitab tersebut , beliau الله رحمه
berkata: “Ketahuilah bahwa ghibah diperbolehkan untuk tujuan yang benar sesuai
dengan syariat, yang hal itu tidak mungkin ditempuh kecuali dengan ghibah. Yang
demikian terjadi dengan enam sebab yaitu:
a. Kedzoliman, diperbolehkan bagi orang yang terdzolimi menngadukan
kedzoliman kepada penguasa atau hakim yang berkuasa yang memiliki
kekuatan untuk mengadili perbuatan tersebut. Sehingga diperbolehkan
mengatakan,”Si Fulan telah mendzalimi diriku”atau “Dia telah berbuat
demikian kepadaku.”
b. Meminta bantuan untuk menghilangkan kemungkaran dan
mengembalikan pelaku maksiat kepada kebenaran. Maka seseorang
diperbolehkan mengatakan, “Fulan telah berbuat demikian maka cegahlah
dia!”
c. Meminta fatwa kepada mufti (pemberi fatwa,pen) dengan mengatakan:”Si
Fulan telah mendzolimi diriku atau bapakku telah mendzalimi diriku atau
saudaraku atau suamiku, apa yang pantas ia peroleh? Dan apa yang harus
saya perbuat agar terbebas darinya dan mampu mencegah perbuatan
buruknya kepadaku?”Atau ungkapan semisalnya.
Hal ini diperbolehkan karena ada kebutuhan. Dan yang lebih baik
hendaknya pertanyaan tersebut diungkapkan dengan ungkapan global,
contohnya :
“Seseorang telah berbuat demikian kepadaku” atau “Seorang suami telah
berbuat dzalim kepaada istrinya” atau “Seorang anak telah berbuat
8
demikian” dan sebagainya. Meskipun demkian menyebut nama person
tertentu diperbolehkan, sebagaimana hadits Hindun ketika beliau
mengadukan (suaminya)kepada Rasulullah shalallahu’alaihi wassalam,
“Sesungguhnya Abu Sufyan adalah orang yang sangat pelit.”
d. Memperingatkan kaum muslimin dari kejelekan, contohnya
memperingatkan kaum muslimin dari perowi-perowi cacat supaya tidak
diambil hadits ataupun persaksian darinya, memperingatkan dari para
penulis buku (yang penuh syubhat). Menyebutkan kejelekan mereka
diperbolehkan secara ijma’ bahkan terkadang hukumnya menjadi wajib
demi menjaga kemurnian syari’at.
e. Ghibah terhadap orang yang melakukan kefasikan atau bid’ah secara
terang-terangnan seperti menggunjing orang yang suka minum minuman
keras, melakukan perdagangan manusia, menarik pajak dan perbuatan
maksiat lainnya. Diperbolehkan menyebutkannya dalam rangka
menghindarkan masyarakat dari kejelekannya.
f. Menyebut identitas seseorang yaitu ketika seseorang telah kondang
dengan gelar tersebut. Seperti si buta, si pincang, si buta lagi pendek, si
buta sebelah, si buntung maka diperbolehkan menyebutkan nama-nama
tersebut sebagai identitas diri seseorang. Hukumnya haram jika digunakan
untuk mencela dan menyebut kekurangan orang lain. Namun lebih baik
jika tetap menggunakan kata yang baik sebagai panggilan, Allahu A’lam.
(Syarhun Nawawi ‘ala Muslim, Hal.400).
3. Penyebab dan Bahaya Gibah
Ada beberapa penyebab dari ghibah itu sendiri. Diantara penyebab
ghibah adalah :
a. Hasad (Dengki). Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
"Hati-hati kalian terhadap perbuatan hasad! karena hasad itu memakan
(merusak) kebaikan sebagaimana api memakan kayu bakar." (HR.Abu
Dawud dan Ibnu Majah)
b. Balas Dendam. Sifat dendam menyebabkan seorang pendendam
menggunjing saudaranya dalam berbagai kesempatan. Wal'iyaadzu
billah !
9
c. Menjilat dan mencari muka. Seorang yang suka menjilat dan mencari
muka teman-temannya akan selalu menyelaraskan perkataannya dengan
teman-temannya. Meskipun terkadang teman-temannya terlibat dalam
pergunjingan. Maka biasanya si penjilat dan si pencari muka
membiarkannya. Alasannya takut teman-temannya lari
meninggalkannya.
d. Sombong dan meremehkan orang lain. Mengenai sombong ini maka
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :"Sombong adalah
menolak kebenaran dan meremehkan orang lain" (HR.Muslim). Lalu
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Orang-orang yang
sombong itu akan dikumpulkan pada hari kiamat seperti semut kecil
yang terinjak-injak telapak kaki orang-orang." (HR.Tirmidzi dan Nasa)
e. Memperolok-olokan orang lain, sebagian orang menggunjingkan
saudaranya dengan jalan memperolok-olokan. Perbuatan ini haram.
Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman :"Janganlah suatu kaum
memperolok-olokkan kaum yang lain, boleh jadi mereka (yang
diperolok-olokkan) itu lebih baik dari mereka." (QS.Al Hujurat 49: 11)
Sesungguhnya ghibah merupakan penyakit berbahaya dan
menimbulkan kemudharatan yang lebih besar di dunia maupun di akhirat
kelak. Diantara bahaya ghibah yaitu :
a. Ghibah menjadikan pelakunya terbuka aibnya di dunia maupun di
akhirat.
b. Ghibah menyakiti hamba-hamba Allah Subhanahu wa ta'ala. Allah
Subhanahu wa ta'ala berfirman : "Dan orang-orang yang menyakiti
orang-orang yang mukmin laki-laki dan mukmin perempuan tanpa
kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah
memikul kebohongan dan dosa yang nyata."(QS.Al Ahzab 33:58)
c. Ghibah termasuk kedzoliman dan melampaui batas terhadap orang
lain. Di dalam hadits Qudsi yang shahih riwayat Imam Muslim,
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam meriwayatkan dari Rabb-
nya Subhanahu wa ta'ala:"Wahai hamba-hamba-Ku sesungguhnya
Aku telah mengharamkan kedzoliman atas diri-Ku dan Aku telah
10
menjadikan kedzoliman diantara kalian sebagai sesuatu yang
diharamkan, maka janganlah kalian saling mendzolimi."
d. Ghibah berakibat terkena azab pada hari kiamat. Allah Subhanahu
wa ta'ala berfirman: "Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi
pencela"(QS.Al Humazah 104:1)
e. Ghibah memporak-porandakkan masyarakat, menebarkan fitnah,
menimbulkan permusuhan diantara manusia dan menimbulkan
dendam.
f. Ghibah menunjukkan atas gugur dan hancurnya perbekalan
pelakunya, kotor niatnya dan jelek lidahnya.
4. Prilaku menghindari Gibah
Setiap muslimin dan muslimat harus berusaha menghindari gibah dengan
sungguh-sungguh adapun cara menghindari prilakugibah antara lain :
a. Menyadari sepenuhnya bahwa setiap orang memiliki kekurangan dan
kelebihan
b. Membiasakan untuk mawas diri, melihat kesalahan sendiri di masa lalu
c. Mengingat-ingat kebaikan yang telah dilakukan oleh orang lain
d. Memperbanyak pergaulan dengan sesamanya sehingga gossip dapat dikurangi
e. Tidak mudah mempercayai berita yang tidak jelas sumber kebenarannya
f. Memperbanyak bergaul dengan orang-orang saleh dan taat beribadah
g. Berusaha menghentikan atau mengalihkan pembicaraan yang menjurus gibah.
C. Fitnah
1. Pengetian Fitnah Dari Segi Bahasa Dan Istilah
Kalimah Fitnah (الفتنة) dalam bahasa Arab berarti ujian dan cobaan. Imam
Ibnu Hajar berkata Asal kata fitnah adalah (اإلختبار) (ujian) dan (اإلمتحان) ujian)
Ibnu Manzur berkata Al-Azhari dan lainnya berkata “Asal makna fitnah adalah (
,(cobaan) (اإلبتالء (Ujian) (اإلمتحان) dan Adapun ”.(ujian) (اإلختبار) dari segi
istilah ulama adalah seperti yang didefinasikan oleh Jurjani:“Perkara yang
dilakukan untuk mengetahui kebaikan atau keburukan sesuatu.”
2. Hukum Fitnah
11
Memfitnah hukumannya lebih berat dari ketidaktaatan. Fitnah akan
menyebabkan hukuman yang lebih berat dari Allah. Allah swt menghukum lebih
berat orang yang membuat fitnah daripada orang yang membuat dosa besar.
Karena fitnah akan menciptakan kebingungan. Fitnah akan menciptakan situasi
dimana banyak orang akan terjatuh dalam dosa fitnah itu tanpa mengetahui
bahwa mereka telah jatuh kedalam perangkap setan, dan tidak ada jalan keluar
bagi orang yang membuat fitnah. Tidak ada pengampunan bagi orang yang
membuat fitnah. Itulah sebabnya Allah swt tidak suka dengan orang yang suka
memfitnah. Firman Allah ;
نوا أن تصيبوا قوما . فتبي ذين آمنوا إن جاءكم فاسق بنبإ ها ال يا أي بجهالة. فتصبحوا على ما فعلتم نادمين
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik
membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak
menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya
yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. (QS. al-Hujurat: 6)
Kata-kata ini sebuah kebenaran, sebuah perintah untuk semua orang untuk
digunakan, untuk memeriksa setiap berita buruk yang datang. Jika terjadi
kebingungan dalam masyarakat karena berita buruk yang kalian dengar, dari
orang yang korup, maka jangan membuat fitnah dan menyebarkan fitnah itu.
Wahai manusia jika seseorang yang buruk (korup) datang kepadamu dengan
berita yang buruk dan palsu yang dia bawa dan menuduh seseorang terhadap
sesuatu yang tidak mereka lakukan, maka periksalah berita itu terlebih dahulu,
karena dengan begitu maka kalian tidak akan terjatuh ke dalam dosa besar
(fitnah), yaitu dosa fitnah karena kalian percaya terhadap berita buruk yang kalian
dengar dari orang yang buruk itu dan turut menyebarkannya.
Firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah (2) : 191
د EEة أشEE واقتلوهم حيث ثقفتموهم وأخرجوهم من حيث أخرجوكم والفتنى جد الحEEرام حت EEد المسEEاتلوهم عنEEل وال تقEE من القت
12
EEذلك جEEزاء يقEEاتلوكم فيEEه فEEإن قEEاتلوكم فEEاقتلوهم كالكافرين
Artinya : Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah
mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah); dan fitnah itu lebih
besar bahayanya dari pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi mereka di
Masjidil Haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. Jika mereka
memerangi kamu (di tempat itu), maka bunuhlah mereka. Demikanlah balasan
bagi orang-orang.
Kata-kata ini sebuah kebenaran, sebuah perintah untuk semua orang untuk
digunakan, untuk memeriksa setiap berita buruk yang datang. Jika terjadi
kebingungan dalam masyarakat karena berita buruk yang kalian dengar, dari
orang yang korup, maka jangan membuat fitnah dan menyebarkan fitnah itu.
Wahai manusia jika seseorang yang buruk (korup) datang kepadamu dengan
berita yang buruk dan palsu yang dia bawa dan menuduh seseorang terhadap
sesuatu yang tidak mereka lakukan, maka periksalah berita itu terlebih dahulu,
karena dengan begitu maka kalian tidak akan terjatuh ke dalam dosa besar
(fitnah), yaitu dosa fitnah karena kalian percaya terhadap berita buruk yang kalian
dengar dari orang yang buruk itu dan turut menyebarkannya.
3. Dampak Fitnah terhadap seseorang
Fitnah merupakan salah satu perbuatan yang jelas-jelas dibenci oleh Allah
SWT. Orang yang mempunyai hobi memfitnah dia tidak akan nyaman hidupnya
di dunia. Sebab di sedang dihantui dengan kebohongan yang besar, jika sudah
terbongkar semua kebohongannya maka dia harus menerima imbalannya yakni
kepercayaan orang-orang terhadap dirinya telah hilang. Mereka yang suka
memfitnah orang ataupun menuduh orang dengan sebuah tuduhan yang salah,
maka mereka akan mendapatkan ganjarannya langsung dari Allah SWT.
Sedangkan bagi orang yang difitnah Biasanya orang yang difitnah tidak
menerima perlakuan atas pencemaran nama baiknya. Oleh karna itu tidak sedikit
dari banyak orang yang difitnah membalas perlakuan itu dengan sebuah balas
dendam yang lebih kejam. Entah apa saja yang mereka lakuakan yang terpenting
13
mereka dapat membalas perlakuan orang yang memfitnahnya. Akan tetapi dalam
surah An-Nur Allah SWT. Telah menjanjikan kepada hambanya yang sabar dan
tidak membalas perlakuan orang yang memfitnahnya. Isi janji Allah SWT
tersebut adalah sebagai berikut :
1. Ya’jurukumullah yakni mendapatkan balasan ( pahala ) dari Allah
SWT.
2. Yazaharul Barooah yakni mendapatkan kesucian dari Allah SWT. Atas
segala kekotoran yang ada di dalam dirinya.
Oleh karna itu untuk para korban fitnah maka janganlah takut sebab Allah
itu selalu berada di sisi hamba-Nya yang benar. Adapun larangan bagi orang yang
di fitnah adalah :
1. Apabila di fitnah janganlah membalasnya dengan fitnah juga.
2. Berita bohong atau gossip dari orang-orang awwam janganlah
didengarkan.
3. Dan jika yang menyampaikannya orang alim pun tetap janganlah
dihiraukan.
4. Sikap menghadapi Fitnah
Zaman sekarang tidak sedikit dari banyak orang yang hobinya
membicarakan orang lain. Baik itu dalam sisi positifnya apalagi sisi negatifnya.
Bahkan kita pribadi yang awalnya tidak berniat untuk ikut turut andil dalam
mendengarkan berita bohong itupun akhirnya terbawa arus untuk
mendengarkannya karena penasaran terhadap berita yang disampaikan dan alhasil
kita pun menjadi pendengar setia pembawa berita bohong itu. Kini berita-berita
yang belum jelas keabsahannya banyak beredar, seperti gosip-gosip di televisi.
Maka untuk menghindarinya berikut adalah cara-caranya sesuai dengan perintah
Allah dalam surah An-Nur ayat 12 dan 16 : Jika yang memfitnah itu adalah orang
yang awwam Apabila ada teman kita ataupun orang-orang di sekitar kita yang
menyampaikan berita bohong , atau orang yang menyampaikan berita itu pun
belum yakin akan kebenaran berita yang dia sendiri edarkan kan. Maka kita
langsung saja keluarkan dua kartu mati yakni berbicara kepadanya dengan
kalimat :
1. Dzhonnal Mu’minuuna wal Mu’minaatu bi Anfusihim
2. Hadza Ifkum Mubiin
14
Setelah kita berkata kalimat itu maka hendaklah kita menajuhi orang yang
menyampaikan berita itu. Jika yang memfitnah itu adalah orang yang berilmu
Apabila yang menyebarluaskan berita bohong itu adalah orang-orang yang
berilmu maka langsung saja keluarkan tiga kartu mati. Artinya jika ada orang
yang berilmu ( berpendidikan ) ketika menyampaikan berita dia selalu berkata “
kata si A seperti ini, kata si B seperti ini, dan kata si C seperti itu” belum jelas
kebenarannya. Maka cukup saja katakan subhanallah, Ma Yanbagi Lana an
Natakallama bihadza, Hadza Buhtaanun ‘Adzhim. Tapi setelah berkata itu pun
kita juga harus segera meninggalkan orang yang mengedarkan berita bohong itu.
Jangan mentang-mentang sudah mengatakan kalimat kata kunci atau mati itu kita
malah asyik mendengarkan berita bohong itu.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Dapat kita simpulkan bahwa ketiga sifat tersebut adalah sifat tercela yang tidak
disukai oleh Allah SWT, Karena dapat merugikan diri sendiri dan orang lain, Semoga
kita di jauhkan dari sifat sum’ah, Ghibah, dan Fitnah, Dan yang paling utamanya adalah
kita harus menjauhi sifat memfitnah karena fitnah itu lebih kejam dari pada
pembunuhan.
B. Saran
Semoga makalah yang kami susun ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan
apabila ada kesalahan atau kekeliruan didalam penulisan makalah ini kami harap
permaklumannya karena kami adalah manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan
dan kekeliruan.
15
DAFTAR PUSTAKA
http://tanbihun.com/tasawwuf/sumah-pura-pura-ikhlas-dalam-beribadah/ (diakses
tanggal 7 Juni 2013)
http://learningfromlives.wordpress.com/2012/01/10/ujub-sumah-dan-riya/ (diakses
tanggal 7 Juni 2013
http://indonesian.iloveallaah.com/gibah-haram-tapi-diminati/#sthash.888pZ28d.dpuf
(diakses tanggal 7 Juni 2013
16