Subjec ve Well-being Measurement for Public Policy in...

9
EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014 | 63 Abstract A lthough potential roles of subjective well-being measurement in public policy are already globally recognized by policy makers and academics, there are substantial challenges to the signicant utilization of it in public policy area. These challenges can be overcome if the supporting institutional capital enhanced with full efforts. The measurement can be a substantial input especially in three policy context, which are monitoring progress, informing policy design, and policy appraisal. With the existing institutional arrangements and institutional capital condition in Indonesia, it is not clear whether subjective well-being measurement will play these roles or otherwise. Many policy makers in Indonesia are not fully aware on the concept of subjective well-being. For some who are aware, the idea of applying subjective well-being for public policy still remains doubtful and cynical. Hence, this article will describe some ideas to raise awareness of policy makers, especially national government of Indonesia, regarding the existence and potential roles of subjective well-being measurements for public policy with understanding the institutional capital that is required to support it as well. This will be done by analyzing the existing institutional arrangements in Indonesia compare to international experiences, especially the UK. Next, the institutional capital of national level main stakeholders which linked with national economic and societal progress measurement will be assessed based on the three types of institutional capital and the policy context. These results will lead to recommendations construction on how to design institutional arrangements for subjective well-being measurement considering the policy context and the institutional capital. Keywords: subjective well-being, measurement, public policy, institutional arrangement, institutional capital SubjecƟve Well-being Measurement for Public Policy in Indonesia Dwi RaƟh S. EsƟ Perencana Pertama di Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/BAPPENAS, Jalan Taman Suropati 2, Jakarta 10310. Tel. (021) 3926248, Email: [email protected]. INTRODUCTION M any efforts have been made during the last decades to shift the assumptions away from the idea that material well-being primarily determines a prosperous life and towards positioning well-being as the ultimate goal for policy intervention (Stiglitz, Sen, & Fitoussi, 2010; Thompson & Marks, 2008). Consequently, it is necessary to conduct measurements of societal progress which comprehensively evaluate well-being of people in order to formulate better policies. Therefore, deeper understanding of well-being is important. This will essentially cover what describes well-being, method to measure well-being and the usage of well-being for formulating public policy. According to Stiglitz et al. (2010), there are two key dimensions of well-being known as the objective and the subjective well-being which should be incorporated in statistical ofces survey. It is the interaction of both of these dimensions, objective (reecting on individual situations) and subjective (highlights their opinions and views) which develops well-being. Feelings of happiness and derived satisfaction are integral components of subjective well- being. Careful consideration on the subjective well-being will assist in obtaining detailed and thorough appreciation of people’s lives. Thus, information on subjective well- being proves to be benecial in terms of offering balance with other indicators which are utilized for directing the

Transcript of Subjec ve Well-being Measurement for Public Policy in...

Page 1: Subjec ve Well-being Measurement for Public Policy in ...perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/139172-[_Konten_... · capital condition in Indonesia, it is not clear

34 | EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014

(perduli) dengan perilaku dan gejolak ak vitas perekonomian, maka hal terbaik yang dapat dilakukan adalah tetap menjaga infl asi yang stabil, dak perduli apakah ekonomi berada dalam kondisi chaos; terjadi shock ekonomi yang menyebabkan preferensi konsumen berubah; terjadi perubahan teknologi; ataupun terjadi kenaikan harga minyak dunia. Tetap saja tujuan utama bagi pembuat kebijakan ekonomi makro adalah menjaga infl asi agar tetap terkendali.

Namun demikian, dalam prakteknya retorika mengendalikan infl asi dak sejalan dengan realitas. Hanya beberapa bank sentral yang mampu mengendalikan infl asi. Dalam implementasinya, kebanyakan bank sentral melakukan (i) kebijakan “fl exible infl a on targe ng”, ar nya tetap menjaga infl asi untuk stabil, namun dalam ngkat yang rela f dak rendah (ii) membiarkan headline

infl a on untuk berubah, namun core infl a on tetap dijaga stabil, dengan demikian harga lainnya dapat mengalami kenaikan, contoh administrated price (kenaikan harga minyak) dan kenaikan harga aset (sektor perumahan dan saham).

Terdapat konsensus kuat bahwa infl asi dak hanya stabil tetapi harus juga rendah (sebagian besar bank sentral mentargetkan sekitar 2 persen). Rendahnya infl asi menggiring kepada sebuah diskusi mengenai dampak rendahnya infl asi terhadap kemungkinan terjadinya posisi liquidity trap,3 ar nya sejalan dengan rendahnya infl asi adalah rendahnya suku bunga nominal, sehingga mengakibatkan upaya untuk menurunkan suku bunga nominal menjadi sulit, dengan kata lain ruang untuk melakukan ekspansi kebijakan moneter dalam masa krisis menjadi terbatas.

Namun, kekhawa ran terjadinya posisi liquidity trap karena rendahnya infl asi mendapatkan bantahan/kri kan. Alasannya adalah: semasa bank sentral dapat menjaga komitmennya untuk menaikkan pertumbuhan jumlah uang beredar maka diperkirakan infl asi akan tetap nggi.

3 Liquidity trap adalah situasi dimana ngkat bunga adalah sedemikian rendahnya sehingga masyarakat lebih suka memegang uang, dalam kondisi ini se ap usaha yang dilakukan melalui kebijakan moneter untuk menekan ngkat bunga ke ngkat lebih rendah dalam rangka mendorong investasi yang lebih besar akan sia sia, dan justru akan mengakibatkan bertambahnya jumlah uang dipegang.

Dengan demikian, bank sentral diharapkan akan dapat menggiring masyarakat mempunyai ekspektasi: (i) infl asi akan naik (ii) suku bunga akan turun; dan pada gilirannya (iii) pertumbuhan ekonomi akan nggi. Selanjutnya, bila terjadi shock terhadap perekonomian dalam skala kecil, maka 2 persen infl asi bisa menyediakan bantalan yang cukup bagi bank sentral untuk melakukan ekspansi moneter. Kesimpulannya, fokus kebijakan moneter adalah pen ngnya menjaga komitmen dan kemampuan bank sentral untuk mempengaruhi ekspektasi infl asi dan suku bunga pada masa mendatang.

Sebagai contoh, peris wa terjadinya kondisi liquidity trap pada masa depresi besar (great depression) tahun 1930an, yang diiringi dengan terjadinya defl asi sangat signifi kan dan suku bunga sangat rendah, hanyalah merefl eksikan terjadinya salah dalam pengambilan kebijakan (policy error) yang seharusnya dapat dihindari, yaitu bank sentral dak mampu mempengaruhi ekspektasi masyarakat terkait dengan infl asi dan suku bunga.

Contoh lain terjadi pasa saat masa krisis ekonomi di Japang tahun 1990an, saat itu terjadi defl asi, suku bunga nominal mendeka nol, dan terus menurunnya ak vitas ekonomi. Namun, BOJ dak berkomitmen untuk menaikkan pertumbuhan jumlah uang beredar dan menaikkan ekspektasi infl asi, dan sebagai akibatnya yang terjadi adalah perlambatan ak vitas ekonomi di Jepang.4

Kebijakan moneter hanya berfokus pada satu instrumen, yaitu pengendalian suku bunga, yang dimaksud adalah suku bunga jangka pendek dimana bank sentral secara langsung dapat mengendalikan operasi pasar terbuka (open market opera on). Alasan pemilihan kebijakan suku bunga ini dilandasi oleh dua asumsi. Pertama, dampak riil kebijakan moneter terjadi melalui suku bunga dan harga aset, bukannya melalui kebijakan secara langsung mempengaruhi jumlah uang beredar.5

4 Sebagai catatan, peris wa krisis di Jepang tahun 1990an ini mendapat perha an signifi kan dari Federal Reserve ke ka mengama kemungkinan akan terjadinya defl asi pada tahun 2000an.

5 Kekecualian terjadi pada kebijakan moneter yang dilakukan oleh European Central Bank (ECB), yang dikenal dengan sebutan two pillar policy, dimana ECB juga menggunakan instrumen jumlah uang beredar, namun demikian kebijakan ini sering dikri si karena dak dilandasi fondasi teori yang kuat.

EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014 | 63

Abstract

Although potential roles of subjective well-being measurement in public policy are already globally recognized by policy makers and academics, there are substantial challenges to the signifi cant utilization of it in public

policy area. These challenges can be overcome if the supporting institutional capital enhanced with full efforts. The measurement can be a substantial input especially in three policy context, which are monitoring progress, informing policy design, and policy appraisal. With the existing institutional arrangements and institutional capital condition in Indonesia, it is not clear whether subjective well-being measurement will play these roles or otherwise. Many policy makers in Indonesia are not fully aware on the concept of subjective well-being. For some who are aware, the idea of applying subjective well-being for public policy still remains doubtful and cynical. Hence, this article will describe some ideas to raise awareness of policy makers, especially national government of Indonesia, regarding the existence and potential roles of subjective well-being measurements for public policy with understanding the institutional capital that is required to support it as well. This will be done by analyzing the existing institutional arrangements in Indonesia compare to international experiences, especially the UK. Next, the institutional capital of national level main stakeholders which linked with national economic and societal progress measurement will be assessed based on the three types of institutional capital and the policy context. These results will lead to recommendations construction on how to design institutional arrangements for subjective well-being measurement considering the policy context and the institutional capital.

Keywords: subjective well-being, measurement, public policy, institutional arrangement, institutional capital

Subjec ve Well-being Measurement for Public Policy in Indonesia

Dwi Ra h S. Es Perencana Pertama di Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/BAPPENAS,

Jalan Taman Suropati 2, Jakarta 10310. Tel. (021) 3926248, Email: [email protected].

INTRODUCTION

Many efforts have been made during the last decades to shift the assumptions away from the

idea that material well-being primarily determines a prosperous life and towards positioning well-being as the ultimate goal for policy intervention (Stiglitz, Sen, & Fitoussi, 2010; Thompson & Marks, 2008). Consequently, it is necessary to conduct measurements of societal progress which comprehensively evaluate well-being of people in order to formulate better policies. Therefore, deeper understanding of well-being is important. This will essentially cover what describes well-being, method to measure well-being and the usage of well-being for formulating public policy.

According to Stiglitz et al. (2010), there are two key dimensions of well-being known as the objective and the subjective well-being which should be incorporated in statistical offi ces survey. It is the interaction of both of these dimensions, objective (refl ecting on individual situations) and subjective (highlights their opinions and views) which develops well-being. Feelings of happiness and derived satisfaction are integral components of subjective well-being. Careful consideration on the subjective well-being will assist in obtaining detailed and thorough appreciation of people’s lives. Thus, information on subjective well-being proves to be benefi cial in terms of offering balance with other indicators which are utilized for directing the

Page 2: Subjec ve Well-being Measurement for Public Policy in ...perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/139172-[_Konten_... · capital condition in Indonesia, it is not clear

64 | EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014

preference of people, for benchmarking and monitoring, and for designing and providing policy strategies (OECD, 2013).

The area of subjective well-being measurements is quite novel and requires further learning. Amongst the key aspect is the role of it for public policy. Helliwell, Layard, and Sachs (2013) pointed out that there is now an increasing worldwide demand to be more strongly aligned policy with what really matters to people as they themselves characterize their lives. In spite of this increasing demand coupled with excessive progress in literature work on subjective well-being during the past few years, the role of subjective well-being for public policy is still doubted by many policy makers. These policy makers, especially in several countries of Europe, are greatly concerned about the consistency of data and carry this opinion that it does not adjust itself with changing times. The main reason is that what people say might be not the same from what they do or that people may not understand what they are saying (Bertrand & Mullainathan, 2001). In addition, they also appear apprehensive on the adequate place for subjective well-being in politics and policy. As mentioned by Abdallah and Mahony (2012), policy makers were concerned that subjective well-being applied in public policy will be viewed as ‘utopian’.

INDONESIAN CONTEXT

The Government of Indonesia has been trying to improve the measurement of their citizens’ societal progress with constructing ‘IKraR’ (People’s Welfare Index) since 2010. One of the main goals of IKraR construction is to enhance the understanding on the condition (well-being) of the people because the current measurements are considered to only focus on macro and economic perspectives. Three dimensions, the economic justice, social justice and democracy and governance are used to calculate the index. Percentage of households that own their own home, percentage of poor people, and percentage of residents who are victims of crime in the last year are some of the indicators used in IKraR measurements (Coordinating Ministry for People’s Welfare of Indonesia, 2012).

Certain well-being measurements which are adopted in other countries of the world have been taken into account for developing the IKraR. These include the Gross National Happiness in Bhutan, Quality of Life Index in Canada, Prosperity Index in the UK, and The Better Life Index in the OECD countries (Coordinating Ministry for People’s Welfare of Indonesia, 2012). Yet, the measurement of IKraR still has not incorporated subjective well-being as a vital characteristic of well-being and concentrates only on objective/material features. In a democratic country like Indonesia, individuals prefer to live their lives with the assurance that their needs will be fulfi lled according to the assessment of their circumstances rather than just being evaluated by experts, leaders or policy makers. This is one reason why subjective well-being should be measured due importance in Indonesia. Every individual perceives differently of what constitutes well-being which might actually be different from an objective perspective.

In an effort to complete the well-being picture of Indonesian citizens, since April 2013 the Central Statistics Agency of Indonesia (BPS) has been conducting a new survey to gather the subjective well-being data. It is known as ‘Studi Pengukuran Tingkat Kebahagiaan – SPTK 2013’ (Level of Happiness Measurement Study). The survey collected data from 11,000 households spread over 176 regencies / cities in all provinces. The data generated from this survey can be served at the national level. Specifi c details from households was collected which included the level of life satisfaction related to health, education and skills, employment and income, environment and security in the region of residence, social and family relationships, housing, as well as the assessment of the level of happiness and life satisfaction in general.

SPTK 2013 can be categorized as a subjective well-being measurement that can provide valuable data for formulating public policies. Then again, the users of the data and the benefi ts of this data have not been clearly identifi ed. Many policy makers in Indonesia are not fully aware on the concept of subjective well-being. For some who are aware, the idea of applying subjective well-being for public policy still remains doubtful and cynical, much similar to European policy makers. Hence, this article will

EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014 | 33

bunga dak memperha kan apakah bank telah mematuhi regulasi dan supervisi terkait dengan aturan memberikan pinjaman kepada masyarakat (perusahaan) untuk sektor beresiko nggi ataupun dak, karena bila terjadi kenaikan suku bunga secara mendadak dan sangat nggi (melakukan penyesuaian ekonomi untuk mengerem terjadi depresiasi tajam bilai tukar) akan menyebabkan harga aset (sektor beresiko nggi, misalnya proper ) menjadi turun tajam.

Sejalan dengan semakin seringnya krisis ekonomi global sejak awal tahun 1990an, paradigma kebijakan ekonomi makro bergeser. Pertama, kebijakan moneter yang dilakukan masa krisis dianggap dak efek f mendorong perekonomian saat perekonomian berada dalam kondisi liquidity trap, seper yang terjadi di Jepang sejak awal 1990an. Suku bunga nominal yang ditetapkan Bank of Japan (BOJ) sangat rendah, sehingga BOJ dak mempunyai ruang untuk mengefek an kebijakan moneter.

Kedua, krisis ekonomi 1997/98 yang dialami negara-negara di Asia Timur (termasuk Indonesia) memperlihatkan bahwa kebijakan uang ketat yang bertujuan meredakan depresiasi rupiah belum memperhitungkan kondisi perbankan dan perusahaan domes k. Kenaikan suku bunga nggi, yang diiku oleh depresiasi mata uang domes k, memperburuk neraca keuangan perbankan dan perusahaan, yang disebabkan oleh (i) turunnya harga apartemen yang digunakan sebagai kolateral pada masa stabil (ii) perusahaan mengalami kesulitan membayar utang (non performing loan membengkak).

Ke ga, krisis global 2008 telah menyebabkan hampir sebagian besar negara (termasuk negara maju maupun berkembang) bertumpu kepada kebijakan fi skal untuk melakukan s mulus ekonomi. Alasan prak snya adalah, (i) krisis dak dapat diselesaikan hanya dalam waktu kurang dari satu tahun, sehingga pada tahun berikutnya pemerintah dapat melakukan s mulus ekonomi; dan (ii) kebijakan fi skal dapat lebih mudah mendorong sektor riil dan mengurangi dampak krisis untuk masyarakat miskin (pro poor) dengan cepat, dan secara langsung dapat mendorong konsumsi masyarakat, sehingga pada gilirannya pertumbuhan ekonomi didorong tetap nggi.

Berdasarkan kondisi diatas, tulisan ini mempunyai argumen bahwa kebijakan ekonomi makro masa krisis,

yang juga diiringi oleh gejolak dinamika perekonomian yang semakin dak pas (uncertain), telah mengalami pergeseran paradigma baik dalam pemikiran maupun implementasinya.

Tulisan singkat ini dibagi beberapa pokok bahasan: (i) paradigma kebijakan ekonomi makro masa stabil sejak sebelum awal 1980an (ii) implementasi kebijakan ekonomi makro sejak terus berulangnya krisis sejak awal 1990an (iii) formulasi kebijakan ekonomi makro yang lebih tepat, sejalan dengan perubahan dinamika ekonomi pada masa mendatang yang dilipu oleh ke dakpas an, dan semakin seringnya krisis ekonomi (iv) merupakan kesimpulan dan penutup.

KEBIJAKAN EKONOMI MAKRO MASA STABIL

Secara garis besar kebijakan ekonomi makro pada masa ekonomi stabil (normal) dilandasi pemikiran antara lain sebagai berikut:

Infl asi yang stabil merupakan target utama yang ditujukan kepada bank sentral,1 target ini dilandasi oleh dua premis. Pertama, reputasi gubernur bank sentral sangat dipertaruhkan apakah mampu mengendalikan infl asi atau dak. Kedua, dukungan intelektual yang diberikan oleh mahzab New Keynesian, dalam mahzab ini dikatakan bahwa infl asi yang konstan dan stabil merupakan kebijakan op mal untuk mendorong terjadinya zero output gap.2

Kedua alasan tersebut dapat diar kan bahwa sekalipun pembuat kebijakan sangat memperha kan

1 Walaupun secara eksklusif bukannya bank sentral saja yang dapat membantu mengurangi infl asi, pemerintah juga dapat mengendalikan infl asi, terutama infl asi yang berasal dari sisi penawaran

2 Output Gap atau Produk Domes k Bruto (PDB) Gap adalah selisih antara PDB potensial dan PDB aktual. Perhitungan PDB Gap adalah Y-Y*, dimana Y adalah PDB aktual, dan Y* adalah PDB potensial. Bila hasil perhitungannya posi p maka dikenal dengan infl asi gap, yang mengindikasikan bahwa pertumbuhan PDB dari sisi permintaan melebih sisi penawaran, yang pada akhirnya akan mendorong infl asi; sebaliknya bila hasilnya nega f maka dikenal dengan is lah resesi gap, yang memungkinkan akan mendorong terjadinya defl asi.

Page 3: Subjec ve Well-being Measurement for Public Policy in ...perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/139172-[_Konten_... · capital condition in Indonesia, it is not clear

32 | EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014

KEBIJAKAN EKONOMI MAKRO KEBIJAKAN EKONOMI MAKRO MASA KRISISMASA KRISIS

YuliusKepala Sub Direktorat Perencanaan Ekonomi Makro Bappenas.

PENDAHULUAN

Sejak dimulainya krisis ekonomi global yang terus berlanjut hingga saat ini—paling dak sejak dari krisis

ekonomi Jepang awal tahun 1990an, krisis Asia Timur tahun 1997/98, krisis keuangan global 2008, dan krisis utang pemerintah di kawasan eropa tahun 2012/13—paradigma pemikiran kebijakan ekonomi makro mulai mengalami pergeseran.

Sampai dengan awal tahun 1980an, secara umum kebijakan ekonomi makro berlandaskan pada pemikiran sebagai berikut. Pertama, kebijakan moneter hanya satu target, yaitu menjaga infl asi yang stabil, dengan satu instrumen: pengendalian suku bunga bank sentral. Premis yang mendasari adalah selama ngkat infl asi dapat dijaga stabil, dan output gap dapat dipertahankan rendah, maka kebijakan moneter telah melakukan tugasnya dengan baik.

RINGKASAN

Tujuan tulisan ini adalah menguraikan njauan teori s kebijakan makro masa krisis, dibagi dalam beberapa pokok bahasan: (i) paradigma kebijakan ekonomi makro masa stabil sejak sebelum awal 1980an (ii) implementasi kebijakan

ekonomi makro sejak terus berulangnya krisis ekonomi sejak awal 1990an (iii) formulasi kebijakan ekonomi makro yang lebih tepat, sejalan dengan perubahan dinamika ekonomi pada masa mendatang yang dilipu ke dakpas an, dan semakin seringnya krisis ekonomi. Kesimpulan yang diperoleh adalah: (i) krisis memperjelas bahwa police maker harus memperha kan banyak target, termasuk komposisi dari output; perilaku harga aset; dan leverage dari berbagai lembaga keuangan (ii) krisis juga memperjelas bahwa banyak instrumen potensial yang dak digunakan secara maksimal oleh police maker pada saat ekonomi stabil. Rekomendasi kebijakan kedepan adalah (i) mengop malkan instrumen-instrumen kebijakan ekonomi makro pada masa krisis melalui kombinasi kebijakan moneter konvensional dan regulasi lembaga keuangan yang op mal; (ii) dan upaya menggunakan automa c stabilizer kebijakan fi scal.

Kedua, peran kebijakan fi skal berada pada posisi dibelakang setelah kebijakan moneter, alasan utamanya adalah: selama kebijakan moneter telah dianggap mampu untuk memperkecil output gap, maka kebijakan lainnya kurang diperlukan. Pemikiran yang menjadi per mbangan adalah: (i) argumen skep s terhadap kebijakan fi skal dilandasi oleh pemikiran Ricardian Equivalence dan (ii) eksekusi kebijakan fi skal membutuhkan keputusan poli k yang lama.

Ke ga, seringkali kebijakan moneter dilakukan dak memperha kan implikasinya terhadap lembaga

keuangan, demikian juga sebaliknya, sehingga dak terdapat sinkronisasi antara kebijakan ekonomi makro dan regulasi & supervisi yang dilakukan pada lembaga keuangan. Misalnya, kebijakan moneter menaikkan suku

EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014 | 65

focus on the feasible institutional arrangements to use subjective well-being measurements for public policy in Indonesia and the institutional capital to support it. At the same time, experiences from different countries of the world will also be considerations, more specifi cally the UK. The emphasis will be placed on UK since they have substantial research literature on the concept of subjective well-being and have managed to progress their interest in public policy during the past 10 years.

This article is based on a research with the same author and title: “Subjective Well-being Measurement for Public Policy in Indonesia” (Esti, 2013). The objective of this article is to raise awareness of national governments, especially Government of Indonesia, regarding the existence and potential roles of subjective well-being measurements for public policy with understanding the institutional capital that is required to support it as well. Specifi cally, this article will give recommendations to Indonesian policy makers on how to design their institutional arrangements considering the policy context and the institutional capital. This recommendations could be transferred as considerations to other national governments globally. For academics, this article is expectedly to contribute to the development of the existing literatures about arranging initial national measurements of subjective well-being for public policy.

Sources of data in the research included primary data and secondary data. Primary data obtained from semi-structured in-depth interviews and questionnaire whereas secondary data obtained from literature review and collecting then analyzing supporting documents. • Literature review

The literature review conducted with the aim of collecting information on the defi nition of subjective well-being, type of subjective well-being measures, importance of subjective well-being measurement, well-being and contexts of policy, and institutional capital based on academic / organizational books and journal articles.

• InterviewsInterviews conducted with the aim of obtaining more in-depth information about subjective well-being measurements from practitioners and policy makers in Indonesia.

Interview questions for practitioners in the Central Statistics Agency, especially team members of SPTK 2013, were structured to inquire more in-depth information on the current institutional arrangements of subjective well-being measurements in Indonesia. Likewise, interview questions for policy makers were structured to collect information about the institutional capital and views to ascertain if the UK experiences and the available literature are applicable to Indonesia. These policy makers are government offi cers which are strongly related with measuring national societal progress in the Ministry of National Development Planning.

• QuestionnaireData were collected by a questionnaire, consist of mainly open-ended questions. The questionnaire was fi lled in by policy makers in the Ministry of National Development Planning and the Coordinating Ministry for People’s Welfare to complete the information collected by interviews.

• Document analysisDocument analysis was used in this thesis as a part of secondary data collection. Document analysis conducted with the aim to gather contextual data with collecting information on the institutional arrangements of subjective well-being measurements in Indonesia and utilization of subjective well-being measurements in international experiences based on books, reports and other relevant reliable publications. Supporting documents collected from Central Statistic Agency of Indonesia (BPS), Coordinating Ministry of People’s Welfare of Indonesia, OECD, Offi ce for National Statistics (in the UK), nef Centre for Well-being (in the UK), and other related organizations. List of documents analyzed in this research could be found in the appendix (Appendix 3).

FINDINGS

Subjective well-being is a relative newcomer in terms of its relevance politically and its robustness empirically. Its conceptual framework dates as far back as to Bentham (1789) discussed in Dolan and Metcalfe

Page 4: Subjec ve Well-being Measurement for Public Policy in ...perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/139172-[_Konten_... · capital condition in Indonesia, it is not clear

66 | EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014

(2012) who offered a concept of well-being based on pleasure and pain; it also provided the background of utilitarianism. In general, subjective well-being measurement is carried out by simply asking people about their well-being. As such, it bends more toward democratic aspect of preference satisfaction, as it lets people choose the level of well-being in their lives, without anyone else deciding for them (Graham, 2010).

Encyclopedia of Quality of Life Research described the subjective well-being as “The personal perception and experience of positive and negative emotional responses and global and specifi c cognitive evaluations of satisfaction with life. Simply, subjective well-being is the individual evaluation of quality of life (QOL)” (Abdallah & Mahony, 2012). Similarly, the OECD Guidelines explain subjective well-being as “all of the various evaluations, positive and negative, that people make of their lives and the affective reactions of people to their experiences” (OECD, 2013). McGillivray (2007), likewise, informs that “subjective well-being involves a multidimensional evaluation of life, including cognitive judgments of life satisfaction and affective evaluations of emotions and moods.” Put simply, subjective well-being can be taken as the way people comprehend their lives to be going (Abdallah & Mahony, 2012).

Undoubtedly, the importance of the need to measure subjective well-being cannot be denied. Subjective well-being actually has a wide infl uence across a broad range of behavioural traits and life outcomes, as indicated by existing scientifi c evidence. The most preeminent fact is that it is extremely signifi cant that the economic measurements of societal progress are balanced with measurements of subjective well-being. The reason behind this is to ensure that economic prosperity leads to huge improvements across various domains of life, and not just a wider economic capability. A call to ‘shift emphasis from measuring economic production to measuring people’s well-being’ was a central message of the Stiglitz Commission report (Stiglitz et al., 2010). Actually, the government can determine if the overall net progress is positive regarding the improvement of human well-being through the assessment of subjective well-being along with economic variables (Helliwell et al., 2013).

How can subjective well-being measurement be a substantial input for public policy?

Findings from literature review confi rmed that there are three major approaches, evaluative approach, hedonic/experience approach, and eudaimonic approach which facilitate subjective well-being measurement as a useful input for public policy. There are three policy contexts also present in this regard which are monitoring progress, informing policy design, and policy appraisal (Dolan, Layard, & Metcalfe, 2011). Evaluative approach asks individuals to step back and refl ect on their life and make a cognitive assessment of how their life is going overall, or on certain aspects of their life. Four major types of evaluative approaches that focus on subjective well-being in present-day practices are life satisfaction & satisfaction scales, ladder of life approach, overall happiness, and domain satisfaction. Hedonic/experience approach seeks to measure people’s positive and negative experiences over a short timeframe to capture people’s well-being on a day-to-day basis through two major approach, which are “experience sampling and day reconstruction” and affect measurements. Eudaimonic approach draws on self-determination theory and tends to measure such things as people’s sense of meaning and purpose in life, connections with family and friends, a sense of control and whether they feel part of something bigger than themselves. Three main types of this approach are psychological/fl ourishing, capabilities approach, and having, loving, being approach (Abdallah & Mahony, 2012).

Interview, questionnaire, and document analysis confi rmed as well that subjective well-being measurement has potential roles for each policy context used in the framework of the research. In monitoring progress context, the role of subjective well-being measurement is to complement rather than to replace existing objective measurement of well-being. Subjective well-being measurement should be done, published, and placed alongside objective well-being measurement in order to provide fuller picture of progress in a country. Some policy-makers asserted that cross-regional comparisons using subjective well-being measurement will be important when they are related to evaluation of regional development in Indonesia. A comprehensive

EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014 | 31

Regenerasi menjadi kebutuhan untuk memfasilitasi produk vitas SDM pelaku usahatani. SDM usahatani yang dak memiliki daya saing atau kompetensi dalam mengupayakan usahatani dan agribisnis pada hakekatnya adalah ancaman seja terhadap kedaulatan pangan. Perlu upaya serius dalam menata dan membuat roadmaph regenerasi SDM petani dan kemampuan memproduksi pangan. Kedaulatan pangan menjadi terminology fi nal untuk memberdayakan Indonesia sebagai bangsa. Kondisi tersebut memberikan alasan logis keperluan regenerasi pertanian. Regenerasi pelaku usaha tani adalah keberlanjutan usahatani untuk menyediakan pangan bagi bangsa. Bangsa yang dak dapat menyediakan pangan, adalah bangsa yang lemah. Regenerasi menjadi kewajiban bersama untuk merespon kondisi kebutuhan pangan dalam negeri, dan merespon persaingan di lingkungan global.

Mewujudkan upaya regenerasi yang tepat, menjadi keharusan semua pihak. Pihak-pihak dimaksud adalah pemerintah, swasta, maupun masyarakat. Ke ga komponen bangsa ini seharusnya melakukan upaya sistema s untuk memfasilitasi terintegrasinya rencana, implementasi, dan evaluasi dalam memberdayakan SDM pertanian khususnya pola regenerasi yang dikembangkan. Kebutuhan mendesak terhadap regenerasi, kebutuhan terhadap peningkatan kompetensi petani berikutnya seharusnya sudah menjadi salahsatu blueprint yang diketahui oleh semua pihak atau komponen bangsa.

DAFTAR PUSTAKABappenas, 2009. Grand Strategi Keamanan Nasional. Bppenas, Jakarta.

BPS. 2003a. Sta s k Pemuda Indonesia 2003. BPS, Jakarta

____. 2003b. Sensus Pertanian 2003 Angka Nasional hasil Penda aran Rumah Tangga (Angka Sementara). BPS, Jakarta.

____. 2003c. Sensus Pertanian 2003 Hasil Penda aran Rumah Tangga Propinsi Jawa Timur. BPS, Jakarta.

Luckey, AN., TP. Murphrey, RL. Cummins. 2013. Assessing Youth Percep ons and Knowledge of Agriculture: The Impact of Par cipa ng in an AgVenture Program. Journal of Exten on (JoE). Volume 51, Number 3: 2. Diakses pada 2 Maret 2014) dari www.joe.org

Milburn, LS., SJ. Mulley, and C. Kline, 2010. The End of the Beginning and the Beginning of the End: The Decline of Public Agricultural Extension in Ontario. Journal of Exten on (JoE). Volume 48, Number 6: 5-6. (Diakses pada 2 Maret 2014) dari www.joe.org

Muksin. 2007. Kompetensi Pemuda Tani yang Perlu dikembangkan di Jawa Timur. IPB, Bogor, Hal 154-161.

.2014. Implikasi Minat Dan Kompetensi Agribisnis Pemuda Pedesaan Terhadap Kedaulatan Pangan. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional UNS, 24 April 2014.

Rosset P., 2011. Food Sovereignty and Alterna ve Paradigms to Confront Land Grabbing and the Food and Climate Crises. Development. Volume 54, Number 1: 21-30. (Diakses pada 7 Maret 2014) dari www.search.proquest.com

Suswono. 2014. Kebijakan Pembangunan Pertanian Untuk Mewujudkan Kedaulatan Pangan dan Energi dalam Menyongsong Era Asia. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional UNS, 24 April 2014

Wibowo, R., 2014. Masalah Tantangan Indonesia dalam Meningkatkan Ketahanan Pangan. Seminar Nasional Ketahanan Pangan (15 Maret 2014). Polije, Jember, Hal 5-6.

Page 5: Subjec ve Well-being Measurement for Public Policy in ...perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/139172-[_Konten_... · capital condition in Indonesia, it is not clear

30 | EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014

penyelenggaran penyuluhan, dan kesulitan menghitung secara kuan ta f kontribusi atau keuntungan secara ekonomis atas penyelenggaraan (Milburn et al., 2010).

Petani adalah manajer dari usahataninya. Petani adalah SDM yang dengan segala keterbatasan atau kelebihannya akan melaksanakan usaha tani. Petani sebagai pengelola adalah Sumber Daya Manusia (SDM) yang menyelenggarakan proses usaha. SDM dalam usahatani akan menentukan bagaimana produk vitas usahatani melalui kemampuan menjalankan usaha dan proses pengambilan keputusan. Kemampuan yang dimaksud adalah bagaimana petani melaksanakan teknis budidaya, pemanenan, pengelolaan pasca panen, dan pemasaran, serta kemampuan merespon dinamika lingkungan yang terkait dengan usahatani. Kemampuan merespon adalah kemampuan petani dalam menerjemahkan kebutuhan dalam menjalankan usahataninya, menyikapi dan menerjemahkan tantangan-tantangan termasuk ancaman-ancaman terhadap usaha taninya. Kemampuan petani akan mengarahkan petani dalam menjalankan usahataninya secara efi sien dan efek f dalam mencapai tujuan.

Secara faktual ngkat kemampuan kemampuan petani yang menopang produk vitas usahatani masih dinilai rendah. Indikator lemahnya kemampuan petani antara lain jumlah petani yang semakin berkurang. Indikator lainnya adalah melemahnya kemampuan fi sik dan non fi sik yang terkait langsung dengan umur petani, dan melemahnya mo vasi petani dalam menjalankan usaha tani (Muksin, 2014).

Kesimpulan dan Implikasi

Kemampuan menghasilkan produk pertanian dipengaruhi oleh luas lahan, mutu lahan, dinamika lingkungan dan iklim, input teknologi dan jumlah maupun mutu dari SDM petani. Apabila lahan dan dinamika iklim adalah sesuatu yang memerlukan kebijakan eksternal dan kolabora f seluruh pelaku pertanian di dunia, maka SDM petani dalam konteks ini akan lebih banyak bertumpu pada kemampuan petani dan kebjujakan internal dari Negara masing-masing. Ke dakmampuan SDM petani atau rendahnya SDM petani dari suatu Negara, dak akan

lantas merugikan Negara bersangkutan, akan tetapi lebih banyak kepada Negara tersebut.

Berdasarkan uraian sebelumnya bahwa produk vitas SDM petani yang menurun berkaitan dengan jumlahnya, umur, kemampuan, dan mo vasi melaksanakan usaha. Kondisi produk vitas petani yang menurun, mengindikasikan adanya kebutuhan regenerasi dari pelaku usahatani. Apabila kondisi rendahnya SDM tak tergan kan, maka krisis pangan dan kedaulatan bangsa ini tentu dipertaruhkan.

Regenerasi akan diharapkan memebrikan “energi’ baru baik yang bersifat fi sik maupun non fi sik. Bersifat fi sik terkait dengan kebutuhan umur produk f yang secara jasmaniah mampu menopang kerja-kerja fi sik dalam usahatani. Bersifat non fi sik terkait dengan kemampuan belajar untuk selanjutnya melakukan adopsi inovasi dalam menjalankan usaha tani. Kemampuan belajar terus-menerus dan penguasaan terhadap teknologi khususnya dalam pemanfaatan teknologi informasi akan berdampak posi f bagai peningkatan daya saing petani.

Regenerasi adalah pergan an SDM baik dalam makna sebagai pelaku pertanian maupun sebagai pergan an paradigma berpikir tentang pertanian. Regenerasi adalah pergan an pelaku usahatani yang memiliki kemampuan memadai dalam menjalankan usahatani untuk merespon dinamika lingkungan. Pergan an dan keberlanjutan generasi dalam melanjutkan usahatani, bermakna melanjutkan kon nyuitas proses produksi pertanian dan menjaga kesinambungan ketersediaan pangan, serta keberlanjutan pertanian dalam jangka panjang. Dengan potensi yang besar pada SDM pemuda, maka adanya permasalahan usahatani di Indonesia amat mungkin diatasi.

Pergan an paradigma berpikir adalah konsekuensi logis yang diharapkan terbentuk bagi penggan pelaku dalam usahatani dalam memandang usahatani. Pergan an paradigma dalam hal ini termasuk cara memandang usahatani, pemanfaatan teknologi, pemasaran hasil pertanian, amupun pengorganisasian usahatani. Perubahan paradigma diharapkan dapat memberikan kekuatan baru bagi bangsa ini untuk menciptakan dan menguatkan daya saing pertanian di kancah internasional.

EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014 | 67

societal progress measurement is proved to be needed in every country, including in Indonesia, in order to support their citizens to achieve a prosperous life. In informing policy design, the drivers of community’s well-being can be clearly understood by using subjective well-being measurement (Hicks, Tinkler, & Allin, 2013). It is signifi cantly required especially in the populations which highly affected by domains of policy which have a non-market consequence. Local government can formulate policies according to the needs of the people of their specifi c region if the sample of subjective well-being measurement is able to provide data on a local level as it is large enough. In policy appraisal, the role of subjective well-being is substantial in making decisions on which government spending would bring highest increase in the subjective well-being in respect to their cost (Fujiwara & Campbell, 2011).

What are the institutional arrangements of subjective well-being measurements in the UK and in Indonesia?

Some signifi cant institutional arrangement elements can be seen in Table-1.

Table-1. Institutional Arrangement Elements of Subjective Well-being Measurements in the UK and in Indonesia

Elements the UK Indonesia

Actors Multi actors Single actor

Role of key agents Clear, multi agents

Clear but limited to one agent

PlatformsNational Debate (online and offl ine platforms) None

Networks

Intra-organizational and inter-organizational (Advisory Forum, Technical Group, the Social Impact Task Force) Intra-organizational

Regulations

Terms of Reference: National Debate, Advisory Forum, & Technical Group None

Type of measurements

Evaluative, experience, and eudaimonic

Evaluative and eudaimonic

Source: Analysis, 2013

As pointed out by Esti, Woltjer, and Hasanov (2013), attention to institutional arrangement/design is required, especially in evaluation activities. However, it was observed that Indonesia has yet not been able

to incorporate several good practices or institutional arrangement elements that are already present in the UK. These elements are stated in Table 1 and include the inter-organizational networks (advisory forum and technical group), key agents and their specifi c roles (ONS and Cabinet Offi ce); platform (national debate) and regulations that control the actors’ role and are highly correlated with actors involvement. The key areas which matter the most to the people can be identifi es with the help of the national debate. It is also able to make sure that measurements being used by the statistical offi ce are relevant to the wider public rather than just being limited to the government. The advisory forum and technical group consist of policy makers, business leaders, and a range of experts including from the OECD, Eurostat, other government departments, think tanks, academics, and related market research experts. They are required to choose, identify and analyze the subjective well-being measurement related issues along with presenting the statistical offi ce with recommendations to enhance the situation (ONS, 2010). In addition, there is also the Social Impacts Task Force which comprises of analysts from across government and has been sharing subjective well-being analysis results and approaches mainly in the policy appraisal context (Fujiwara & Campbell, 2011).

All of the three types of subjective well-being approach already being applied in the UK through several surveys. However, most of them are vulnerable to small sample sizes and it is not clear which have committed to continue asking subjective well-being questions in the future. Recognizing this limitations of existing data on subjective well-being in the UK and in response to Stiglitz recommendation, since 2011 the ONS made an approach to refl ect different aspects of subjective well-being through the IHS and complemented by the OPN as part of the Measuring National Well-being Program. There are four overall monitoring questions that were included in the IHS which using all of the three approach (evaluative, experience, and eudaimonic approach). The overall monitoring questions were asked each month in the OPN as well. In addition, some additional questions drawing from the evaluative or experience or eudaimonic approach were asked in OPN monthly survey (ONS, 2011).

Page 6: Subjec ve Well-being Measurement for Public Policy in ...perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/139172-[_Konten_... · capital condition in Indonesia, it is not clear

68 | EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014

In Indonesia, national subjective well-being is began to be measured since April 2013 through SPTK 2013. Statistics generated from SPTK 2013 were indicators of life satisfaction and happiness that planned to be analyzed based on demographic characteristics of the population, education, health, economic, housing and others. The type of measurements used are evaluative approach (life satisfaction, overall happiness, and domain satisfaction) and also eudaimonic approach (psychological/ fl ourishing, capabilities, and ‘having, loving being’ approach).

To what extent the existing and potential institutional capital supports the utilization of subjective well-being measurement to be a substantial input for public policy in Indonesia?

Literature review and document analysis argued that potential roles of subjective well-being measurement can only be applied and carried out effectively and effi ciently if supported by a high level of institutional capital. There are three types of institutional capital, which are intellectual capital, social capital and political capital (Khakee, 2002). Intellectual capital can be recognized by knowing the range of knowledge resources, degree of understanding, use and diffusion of knowledge and values, and openness to accept and learn new things. To recognize and assess social capital, there are three criteria, which are the extent of stakeholder involvement, density of network linkages, and access to networks. Meanwhile, political capital is achieved from the commitment and willingness of different parties associated with the action for thinking policy and mobilizing resources, and the agenda formation which can be assessed from the selection and identifi cation of issues, consensus-building practices, and role of key agents. However, as can be seen in Figure 1 and Figure 2, the institutional capital evaluation results illustrated that subjective well-being measurement in Indonesia both for monitoring progress and informing policy design contexts are categorically in the initial stage.

Figure-1. Institutional Capital Evaluation Results for “Monitoring Progress” Policy Context

Source: Analysis, 2013

Figure-2. Institutional Capital Evaluation Results for “Informing Policy Design” Policy Context

Source: Analysis, 2013

EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014 | 29

terjadi penurunan ditandai dengan menyempitnya lahan pertanian. Kepemilikan lahan oleh petani semakin rendah secara signifi kan.

Beberapa masalah lain yang terkait dengan sumberdaya alam dan lingkungan adalah masalah lain iklim yang dak menentu, rusak atau adanya jaringan irigasi sebagai akibat langsung dari adanya konversi lahan, kecenderungan rusaknya lahan pertanian sebagai akibat laju peningkatan pelaksanaan intensifi kasi pertanian, indikasi meningkatnya serangan organisme pengganggu tanaman (OPT) sebagai akibat ke dakseimbangan ekologis (muksin, 2002), meningkatnya persaingan produk pertanian khususnya tanaman pangan dan hor kultura yang berasal dari luar negeri, dan produk vitas Sumberdaya Manusia (Wibowo, 2014). Faktor sumberdaya manusia bahkan dianggap yang paling menonjol apabila dilihat dari karakteris k petani dan potensi persaingan yang akan dihadapi oleh bangsa Indonesia.

Secara sta s k karakteris k petani Indonesia kurang menggembirakan. Masih berdasarkan hasil sensus tahun 2003 jumlah petani gurem (keluarga petani yang menguasai lahan kurang dari 0,5 ha) sekitar 31,17 juta. Jumlah tersebut menurun bila dibandingkan hasil sensus tahun 2013 sebesar 26,13 juta. Kondisi tersebut menunukkan terjadi penyusutan sebasar 5,04 juta petani guem yang umumnya adalah petani tanaman pangan atau hampir berjumlah 75 persen.

Kehilangan atau adanya jumlah petani sebanyak 5 juta orang adalah jumlah yang signifi kan apabila dikornversi sebagai sumberdaya yang menghasilkan output pangan. Semakin menurunnya jumlah petani tentu berkorelasi langsung dengan jumlah output pangan yang dihasilkan, dengan sumsi bahwa petani yang hilang tersebut adalah sebagian besar adalah petani tanaman pangan.

Berdasarkan peneli an hilangnya 5,04 juta petani tersebut diindikasikan sebagai meningkatnya jumlah petani yang kehilangan lahan. Ar nya petani gurem melepaskan kepemilikan lahan kepada orang lain. Petani gurem tersebut dimungkinkan berpindah profesi sebagai tenaga kasar dan buruh tani sebagai pekerja informal. Selain itu regenerasi petani berjalan sangat lambat.

Ar nya petani baru yang masuk menjadi petani jumlahnya sangat dak signifi kan dibanding dengan yang keluar dari profesi sebagai petani.

Selain jumlah secara kuan tas, faktor umur petani juga kurang menggembirakan. Apabila dilihat dari umur produk f, saat ini mayoritas petani adalah kelompok menjeleng usia senja yang masih bekerja. Berdasarkan SP 2013 sebagian besar petani berumur diatas 45 tahun atau 50-an tahun. Kategori umur tersebut mengindikasikan fase memasuki masa pensiun dalam pelaksanaan pekerjannya. Apabila dianggap umur produk f sampai 55 tahun, maka kelompok petani yang ada saat ini adalah kelompok yang hanya menyisakan beberapa tahun saja untuk pensiuan. Ar nya pada tahap ini, petani kurang memiliki kemampuan secara fi sik untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan usaha tani.

Pada aspek ngkat pendidikan, mayoritas petani juga memperiha nkan. Para generasi tua petani berpendidikan Sekolah dasar (SD). Petani yang berpendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) sederajat jumlahnya cukup kecil yaitu sekitar 5 persen. Tingkat pendidikan formal memiliki pengaruh langsung dalam kemampuan berpikir dan ketanggapan merespon dinamikan lingkungan usahatani dan penguasaan teknologi. Penguasaan teknologi petani digolongkan hanya mengaplikasikan teknologi tradisional. Selain itu kemampuan petani dalam menerjemahkan tantangan dinamika lingkungan saat ini juga belum memenuhi harapan yang diinginkan (Muksin, 2007).

Selain faktor tersebut, factor mo vasi para petani umumnya rendah. Indikasi dari hal tersebut adalah adanya alasan bertani. Sebagian besar alasan menjalankan usaha karena dak memiliki kemampuan lain. Para petani menganggap sebenarnya usahatani dinilai dak menguntungkan secara signifi kan (Muksin, 2007). Apabila dijumpai petani yang saat ini mengusahakan lahannya, umumnya karena dak ada yang melanjutkan pekerjaan sebagai petani. Selain itu persepsi yang nega v terhadap pertanian dikaitkan dengan belum op malnya peran penyuluhan dan kebijakan pemerintah dalam memfasilitasi peran pemuda dalam pertanian (Muksin, 2007). Sementara penyuluhan semakin kehilangan perannya karena lemahnya anggapan ngkat kepen ngannya, lemahnya dukungan poli k terhadap

Page 7: Subjec ve Well-being Measurement for Public Policy in ...perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/139172-[_Konten_... · capital condition in Indonesia, it is not clear

28 | EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014

terus menuruan. Data beberapa peneli an menyebutkan bahwa secara ideal angka pasokan pangan atas kebutuhan jumlah penduduk, saat ini dinilai berada pada angka ketersediaan 30-40persen dari jumlah keseluruhan. Kondisi tersebut secara factual tentu mempriha nkan dan banyak memunculkan banyak kekhawa ran.

Semakin meningkatnya permintaan pangan, sementara pasokan terhadap pangan dak sebanding mengakibatkan terjadinya kecenderungan peningkatan harga terhadap pangan. Kecenderungan harga pangan tersebut misalnya terjadi pada gandum, padi, dan jagung serta beberapa komodi lainnya khususnya komodi yang dapat digunakan sebagai bahan pangan dan bahan baku energi. Kelangkaan pangan selain factor-faktor tersebut, juga dipicu oleh “alih fungsi” beberapa komodi pertanian yang pada awalnya dimanfaatkan untuk bahan baku pangan, pada saat ini juga diupayakan sebagai bahan baku untuk menghasilkan energy.

Beberapa materi dan tanaman, seper kelapa sawit, jagung, ubi kayu, tebu, tanaman jarak, kemiri sunan dan kotoran ternak dapat diolah menjadi sumber energi. Permintaan energi fi nal masa mendatang akan naik hampir ga kali lipat tahun 2030, dan BBM masih mendominasi dengan porsi sebesar 31,1 persen. “Perebutan” peruntukan bahan baku tersebut berimbas terhadap ketersediaan pangan (Kementan, 2014).

Indonesia sampai saat ini adalah Negara pengimpor bahan pangan seper gandum, beras, dan kedelai dan beberapa komoditas lainnya. Jumlah impor tersebut memiliki konsekuensi ketergantungan Indonesia terhadap beberapa Negara untuk memenuhi kebtuhan pangan. Semakin besar jumlah kebutuhan pangan, semakin besar ketergantungan Indonesia terhadap Negara-negara penyedia pangan. Bila kondisi tersebut berlanjut maka krisis pangan akan benar-benar terjadi. Kecenderungan semakin meningkatnya impor beberapa komoditas oleh Indonesia, dinilai sebagai kondisi yang membahayakan. Indonesia dinilai sudah masuk dalam jebakan pangan (food trap) (Wibowo, 2014).

Terdapat penilaian yang dikemukakan oleh ahli sosiopoli k bahwa dinamika ketersediaan pangan bagi penyuplai dan bagi Negara-negara yang membutuhkan

dapat dijadika sebagai alat tukar. Negara-negra yang memiliki kecukupan atas pangan sangat mungkin akan dapat “mendikte” atau bahkan mengontrol terhadap Negara-negara yang membutuhkan pangan. Dalam konteks ini maka interaksi dalam perdagangan pangan dapat menjadi alat tukar poli k atas suatu kepen ngan tertentu dari suatu Negara.

Produksi pangan berasal dari proses produksi pertanian. Sementara produksi dan perdagangan yang terkait langsung dengan sarana produksi hanya dikuasai atau dikontrol oleh hanya lima Mul na onal Corpora on (MNC), sehingga petani hanya memiliki peran kecil dalam kontribusi terhadap perdagangan. Dengan demikian krisis pangan dan ancaman terhadap ketersediaan pangan disejajarkan dengan konsepsi ancaman tradisional dan non tradisional pada keamanan nasional. Krisis terhadap keberlanjutan pertanian adalah konsekuensi logis dari kondisi saat ini. Sebagaimana tela diuraikan bahwa produk vitas pertanian terus mengalami penurunan. Produk vitas yang menurun memberikan ancaman serius terhadap kedaulatan pangan. Bahkan ancaman terhadap krisis pangan dimasukkan sebagai ancaman serius terhadap ketahanan dan kemanan Negara (Bappenas, 2009).

Karakteris k Petani

Sebagaimana data Badan Pusat Sta s k (BPS) bahwa hampir 67 persen angkatan kerja menggantungkan hidupnya di sektor pertanian. Kondisi ini memberikan gambaran bahwa peran pertanian cukup ngggi. Sektor pertanian dengan demikian masih menjadi salah satu media dalam menutupi potensi pengangguran terbuka.

Apabila dilihat dari penguasaan lahan pertanian, petani memiliki lahan pertanian yang semakin menurun dari tahun ke tahun. Sebagaimana ditunjukkan dalam hasil sensus pertanian tahun 1993 menunjukkan penguasaan lahan oleh keluarga petani adalah sekitar 0,48 ha. Selanjutnya pada hasil sensus pertanian tahun 2003 penguasaan lahan pertanian oleh petani sekitar 0,3 ha per keluarga, sementara hasil sensus pertahian tahun 2013 menunjukkan penguasaan lahan yang dikelola keluarga petani sekitar 0,2 ha. Kondisi tersebut menunjukkan

EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014 | 69

CONCLUSION

From this article, we can identifi ed several signifi cant institutional arrangement elements of subjective well-being measurements, the type of measurements and the potential roles of subjective well-being measurement, and institutional capital evaluation related to subjective well-being measurement in Indonesia. In Indonesia, the subjective well-being measurement limited to one actor, intra-organizational network, and no platforms established until recently. The type of subjective well-being measurement used are the evaluative and eudaimonic approach. For the institutional capital evaluation, as can be seen in Figure 10 and Figure 11, illustrated that subjective well-being measurement in Indonesia both for monitoring progress and informing policy design contexts are categorically in the initial stage. Therefore, thorough effort must be applied to enhance the institutional capital in order to support the utilization of subjective well-being measurement for public policy.

RECOMMENDATION

A relevant and suitable institutional arrangement must be designed with taking into account the institutional capital and policy context for those countries that are initializing the national subjective well-being measurement or are in the start-up phase like Indonesia. Considering that potential roles of subjective well-being measurement can only be applied and carried out effectively and effi ciently if supported by a high level of institutional capital, enhancement of institutional capital level is required. International experiences consist of various good practices or institutional arrangement elements that can help to enhance the level of institutional capital. This is mostly for the case of the UK where they already have the platform (national debate) and the inter-organizational network (advisory forum and technical group). Establishment of an offi cial platform such as national debate and inter-organizational networks such as advisory forum and technical group are expectedly increase the level of institutional capital. For the intellectual capital component, the national debate, advisory forum, and technical advisory group

can act as knowledge resources which could be used to diffuse the knowledge and values to increase the degree of understanding of concerned stakeholders. The three elements would defi nitely improve the social and political capital component as well through higher stakeholder involvement, density of networks, access to networks, selection & identifi cation of issues, and consensus-building practices. In addition, role of key agents would be further facilitated through the existence of advisory forum and technical group.

In Indonesia, the institutional capital level for monitoring progress and informing policy design context can be improved by the establishment of the advisory forum and technical group. Keeping in mind the existing fi nancial and other capital, national debate is not considered feasible in Indonesia. The concerned stakeholders in subjective well-being measurement for monitoring progress and informing policy design, are relatively similar with stakeholders in the development of IKraR due to the same policy contexts. BAPPENAS and the Coordinating Ministry of People’s Welfare can be considered to be the most appropriate to be partners of BPS in developing the subjective well-being measurement. This is according to the status, duties, and functions of these two ministries. They should join BPS as the “advisory forum” and “technical group”. Furthermore, they should also play the role as the coordinator as practiced by Cabinet Offi ce in the UK. In the UK, Cabinet Offi ce coordinate across departments for ensuring that subjective well-being data are used effectively. The key role as data collector, BPS certainly is the right organization to play the role. Academic institutions should also play a key role to explore the knowledge and afterward can conduct related and constructive small research about this topic to be input for developing the instrument and so forth. Together with local NGOs, they can also be the stakeholder to diffuse the knowledge and values on subjective well-being to civil society. In Indonesia, there are also some signifi cant research centres such as LIPI, SEMERU, and other institution that could also conduct some research on this concept so that its measurement and the measurement results can be more applicable in Indonesia and contribute signifi cantly in improving the well-being of the people of Indonesia.

Page 8: Subjec ve Well-being Measurement for Public Policy in ...perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/139172-[_Konten_... · capital condition in Indonesia, it is not clear

70 | EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 20147070707070707707070707070707070707070707070707070707070707070707077070707070707770707077077707070707070707070770707070770707077707077070707007707070700707070070700707077070707000770770770707007770077777777707777000000770070 EEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEDIDDIDDDDIDIDIDIDIDIDIDDDDDDIDDDIDIDIDIDIDIIDIDIDIDDIIIIDDIDDIDDDDIDDDIDDDIDDDDDIIDIDDDDDIDDIDDDDDIIDIIDDIIIDD SISISISISISISISISSISSSSISSISSISSISISISSSSISSSSSSSSISISISSSIIIISISSSISISSSISIS 00000000000000000000000000000000000000000000000000000000001 11111111111111111111 1111111111111111111 11111111111111111111111111111111 •••••••••••••••••••••••••••••••••••• TATATATATATATATATATATATATATATATATATATAAATATATATTATATATATTTATTATATTTTAAAATTATAAT HUHUHUHUHUHUHUHUHUHHUHUHUHUHUHUHHUHUHHHHHUHUHHHHHHUHUHHHHHHUHHHHHUH NNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNN XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX ••••••••••••••••• MMMMMMMMMMMMMMMMMMMMMMMMMMMMEIEIEIEIEIEIEIEEIEIEIEIEIEEIIEIEIEIEEEEIEIIIEEEE 222222222222222222222222222222201010101010101010101010100101001010100100010144444444444444444444444444444

Specifi cally to enhance the institutional capital level for informing policy design, the involvement of technical ministries in Indonesia is required. As practiced in the UK, various UK government departments even included targets in their Public Service Agreements (PSA) that could benefi t from subjective well-being data. Therefore, the statistical offi ce is informed by emerging policy requirements and policy makers are informed or aware of the subjective well-being data. In addition, specifi cally for policy appraisal context, some customized subjective well-being measurements by related departments or ministries or research centres or any other concerned stakeholders are needed while keeping within the overall agreed framework, which absolutely depends on the scope of the appraised policy.

Some further steps recommendation for Indonesian context are as follows:o SPTK 2013 results is published by the Central

Statistics Agency and shared to the concerned stakeholders, especially BAPPENAS, the Coordinating Ministry of People’s Welfare, and other technical ministries in Indonesia

o Together with BAPPENAS and the Coordinating Ministry of People’s Welfare, the Central Statistics Agency establish an advisory forum and technical group

o The advisory forum invite academics and research centers such as SEMERU and Lembaga Demografi UI to join and discuss subjective well-being measurements framework in Indonesia

o The advisory forum publish subjective well-being measurements framework in Indonesia and guidance for using subjective well-being measurement

o The advisory forum with wider stakeholders, key user stakeholders such as technical ministries or departments in Indonesia, discuss further the potential use of subjective well-being measurement and “need assessment” of this measurement from the key user stakeholders

o The technical group conduct public consultations as practiced in the IKraR development to diffuse and develop the knowledge on subjective well-being measurement in Indonesia

o The advisory forum discuss the improvement of subjective well-being indicators for the next survey.

70 | EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014 EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014 | 27

Berdasarkan latar belakang tersebut maka menilai kembali bagaimana SDM pertanian dan peran yang dapat dimainkan adalah upaya vital yang sangat secara potensial dan actual akan memberikan jawaban terhadap persoalan-persolan pertanian, produksi, maupun daya saing serta kedaulatan pangan. Kedaulantan pangan telah menjadi suatu tahapan sangat vital dalam keberlanjutan kehidupan berbangsa dan bernegara. Berfokus pada pemikiran tersebut maka tujuan dari penulisan ar kel ini adalah: (a) menguraikan kondisi tantangan global terhadap ketersediaan pangan dan dinamikanya, (b) menguraikan karakteris k SDM pertanian saat ini, dan (c) menganalisis implikasi karakteris k SDM terhadap Kedaulatan pangan.

METODE PENELITIAN

Metode pengkajian terhadap relevansi regenerasi SDM untuk pencapaian kedaulatan pangan menggunakan penelusuran pustaka (studi pustaka) khususnya yang terkait dengan SDM pertanian terkini. Penelusuran sumber pustaka memanfaatkan hasil peneli an terdahulu baik dari publikasi on line maupun referensi dalam bentuk buku, berkala maupun sumber ilmiah lainnya. Kajian terhadap hasil peneli an diharapkan dapat memberikan informasi terkini yang relevan dengan kondidi SDM petani.

Untuk menghasilkan analisis yang relevan, maka pengamatan terhadap data utama dilakukan terhadap hasil data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Sta s (BPS) dan data bersumber dari peneli an lainnya atau peneli an terdahulu. Peneli an terdahulu yang dimaksud adalah peneli an yang dilakukan oleh peneli maupun karya peneli lainnya. Peneli berupaya unutk melakukan proses pembandingan terhadap data dari hasil penelusuran pustaka, dan melakukan analisi untuk keperluan menjawab pertanyaan peneli an.

Selanjutnya dari hasil komparasi dan analisis data tersebut tersebut peneli melakukan review terhadap kajian-kajian yang memiliki substansi dan ruang lingkup masalah yang relevan. Berdasarkan review tersebut peneli melakukan sintesa untuk memberikan pemahaman dan pemaknaan atas informasi yang

diperoleh. Berdasarkan keseluruhan ak vitas tersebut peneli melakukan sintesa untuk melakukan pemaknaan dan menyusun implikasi maupun penarikan kesimpulan dari kajian tersebut. Sintesa memberikan gambaran terhadap informasi faktual di lapngan khususnya dalam kehidupan dan dinamika SDM pertanian.

HASIL DAN PEMBAHAANTantangan Produksi Pertanian

Kedaulatan pangan berhubungan erat dengan produk vitas pertanian. Produk fi tas pertanian memberi gambaran tentang kinerja pertanian dalam penyelenggaraan usahatani. Kinerja usahatani adalah hasil yang dicapai dalam bentuk ouput proses produksi. Produk vitas pertanian berhubungan erat secara langsung dengan dengan faktor-faktor sumberdaya. Faktor-faktor sumberdaya adalah sumberdaya alam termasuk lahan, air, iklim, sumberdaya sarana produksi dan sumberdaya manusia sebagai pelaku usahatani. Faktor-faktor sumberdaya tersebut saling berinteraksi dalam menentukan dinamika produk vitas pertanian (Muksin, 2014).

Salah satu ukuran produk vitas pertanian dapat dikaitkan dengan kondisi ketersediaan pangan nasional dan dinamika untuk memenuhi kebutuhan pangan tersebut. Kebutuhan dari pangan nasional cukuop besar dapat diama dari nilai rupiah yang dibelanjakan dari APBN untuk kebutuhan pangan tersebut. Sebagaimana hasil kajian beberapa peneli an bahwa pada tahun 2009 sekitar 5 persen dari APBN atau sekitar 50 triliun digelontorkan untuk menyediakan atau membeli enam komoditas pangan, yaitu kedelai, gandum, daging, sapi, susu dan gula, termasuk garam. Kondisi ini menunjukkan betapa besarnya ketergantungan pangan kita kepada negara lain.

Bersamaan dengan hal tersebut di banyak belahan dunia yang lain kondisi kekurangan ketersediaan pangan juga terjadi. Selain persoalan iklim yang dak menentu sebagai akibat kehidupan modern yang “ dak terkendali” dan dak ramah terhadap lingkungan, maka pesoalan pertumbuhan jumlah penduduk yang terus meningkat menjadi penyebab utama akan ketersediaan pangan yang

Page 9: Subjec ve Well-being Measurement for Public Policy in ...perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/139172-[_Konten_... · capital condition in Indonesia, it is not clear

26 | EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014

Apabila dilihat dari perspek f kepen ngannya pada jumlah tenaga kerja, maka pertanian menyerap sekiar 33,32% total tenaga kerja. Kondisi lainnya adalah bahwa pada rumah tangga pedesaan bergantung sekitar 70% dari sector pertanian sebagai sumber utama pendapatan. Dalam konteks ketenagakerjaan, maka pertanian memiliki peran vital dalam menutup lubang pengangguran terbuka yang semakin besar. Kondisi tersebut memberikan klarifi kasi bahwa pertanian menjadi factor penutup bagi potensi pengangguran yang besar. Terdapat fakta bahwa pertanian adalah suatu keniscayaan bagi keberlanjutan kehidupan manusia, dalam konteks penyediaan pangan (Luckey, et al: 2013)

Sisi lain dari pertanian adalah sektor ini memiliki peran yang dak ringan dari upaya mencegah atau menyelesaikan masalah lingkungan. Sebagai “organisasi” yang bersandar dari proses alamiah, maka pertanian memiliki peran dalam upaya penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 8 juta ton (Kementerian pertanian, 2014). Peran terhadap upaya menjaga kelestarian amat vital di tengah semakin meningkatnya persoalan-persoalan lingkungan dewasa ini.

Peran strategis pertanian memberikan sinyal bahwa peran-peran pen ng tersebut dak dapat digan kan oleh sector lainnya. Ketetapan peran-peran strategis tersebut, tentu dapat diupayakan apabila kondisi atau factor-faktor penyokong tersebut antara lain adalah SDM pertanian sebagai kelompok pengelola dari “organisasi” pertanian.

Peran strategis juga secara linear akan berdampak terhadap kemampuan menerjemahkan tantangan-tantangan dari luar. Tantangan dari luar dalam hal ini adalah lingkungan global yang memberikan potensi untuk memperbesar peran pertanian dalam mensejahterakan bangsa ataukah sebaliknya. Ar nya peran pertanian yang lemah tentu akan memberikan dampak yang kurang menguntungkan pada kondisi ketersediaan pangan bangsa dan juga implikasi ketergantungan terhadap Negara lainnya.

Isu-isu terkait pangan pada masa depan akan menjadi isu pen ng dan masuk dalam ranah atau kawasan yang berpotensi menjadi sumber konfl ik.

Kondisi ini didasarkan pada fakta bahwa ketersediaan pangan dan jumlah kebutuhan terhadap pangan daklah sebanding. Dalam konteks ketersediaan pangan aspek-aspek terhadap kemampuan produksi dianggap lemah, sedangkan kebutuhan pasokan atau permintaan dari waktu ke waktu terus meningkat.

Beberapa kondisi yang kurang menguntungkan memberikan kontribusi signifi kan dalam konteks kemampuan produksi pertanian. Semakin mengecilnya lahan pertanian, konversi lahan pertanian yang terus berlanjut, kerusakan lingkungan, dan mutu kelembagaan petani yang dinilai rendah adalah kondisi-kondisi yang kurang menguntungkan tersebut. Bila terus berlanjut kondisi ini tentu berdampak nega ve terhadap kemampuan produksi dalam negeri sekaligus menurunnya daya saing.

Daya saing yang lemah tentu akan merugikan Indonesia mengingat pasar terpadu ASEAN sudah di depan mata. Sebagaiman kita kitehui bahwa implementasi The ASEAN Economic Community (AEC) akan berlaku pada tahun 2015. Integrasi pasar dan pintu masuk pasar global yang dak dian sipasi, tentu akan sangat merugikan bangsa Indonesia.

Salah satu faktor pen ng bagi upaya melakukan proses produksi yang tepat, adalah dengan menyiapkan SDM yang memenuhi standar kebutuhan sector pertanian. SDM yang tepat yang dibutuhkan adalah sesuai dengan kebutuhan dalam rangka memenuhi upaya-upaya yan dapat dilakukan dalam memenuhi ekspektasi daya saing yang tepat. Dalam konteks ini para pelaku atau SDM yang tepat sangat diharapkan dapat melaksanakan kegiatan pertanian yang sesuai.

SDM pertanian yang tangguh, akan memberikan peran yang sesuai dengan kondisi persaiangan saat ini. SDM yang memliki kompetensi tentu memberikan kontribusi pada kemajuan usaha tani. Kesiapan, kualifi kasi dan kompetensi yang memadai sebagai SDM usahatani akan berontribusi dalam produk vitas, daya adaptasi dan keberlanjutan usahatani. Apabila kondisi atau situasi peran SDM pertanian dapat diselenggarakan, maka berdampak pada signifi kan dalam memfasilitasi upaya mewujudkan kedaulatan pangan.

EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014 | 71

REFERENCESA bdallah, S., & Mahony, S. (2012). Stock-taking of Subjective Well-Being Retrieved from http://www.

eframeproject.eu/fi leadmin/Deliverables/Deliverable2.1.pdf

B ertrand, M., & Mullainathan, S. (2001). Do People Mean What They Say? Implications for Subjective Survey Data. American Economic Review, 91(2), 67-72.

C oordinating Ministry for People’s Welfare of Indonesia. (2012). Indeks Kesejahteraan Rakyat (IKraR). Jakarta: Coordinating Ministry for People’s Welfare of Indonesia.

D olan, P., Layard, R., & Metcalfe, R. (2011). Measuring Subjective Wellbeing for Public Policy Retrieved from http://eprints.lse.ac.uk/35420/1/measuring-subjective-wellbeing-for-public-policy.pdf

D olan, P., & Metcalfe, R. (2012). Measuring Subjective Wellbeing: Recommendations on Measures for Use by National Governments. Journal of Social Policy, 41(02), 409-427.

E sti, D. R. S. (2013). Subjective Well-being Measurement for Public Policy in Indonesia. Master, University of Groningen, Groningen.

E sti, D. R. S., Woltjer, J., & Hasanov, M. (2013). Evaluation in Integrated Land-Use Management: Towards an Area-Oriented and Place-Based Evaluation for Infrastructure and Spatial Projects. [Workshop Report]. Town Planning Review, 84(5), 671-677. doi: 10.3828/tpr.2013.34

F ujiwara, D., & Campbell, R. (2011). Valuation Techniques for Social Cost-Benefi t Analysis: Stated Preference, Revealed Preference and Subjective Well-being Approaches. A Discussion of the Current Issues. London: HM Treasury and DWP.

G raham, C. (2010). The Challenges of Incorporating Empowerment into the HDI: Some Lessons from Happiness Economics and Quality of Life Research. Paper presented at the Human Development Research Paper 2010/13.

H elliwell, J., Layard, R., & Sachs, J. (2013). World Happiness Report 2013. New York: UN Sustainable Development Solutions Network.

H icks, S., Tinkler, L., & Allin, P. (2013). Measuring Subjective Well-being and its Potential Role in Policy: Perspective from the UK Offi ce for National Statisticcs. Social Indicators Research, 114(1), 73-86.

K hakee, A. (2002). Assessing Institutional Capital Building in a Local Agenda 21 Process in Go¨teborg. Planning Theory & Practice, 3(1), 53-68.

M cGillivray, M. (2007). Human Well-being: Issues, Concepts and Measures. Houndmills, New Hampshire, USA: Palgrave Macmillan.

O ECD. (2013). OECD Guidelines on Measuring Subjective Well-being Retrieved from http://dx.doi.org/10.1787/9789264191655-en

O NS. (2010). Measuring Subjective Wellbeing in the UK S. Waldron (Ed.) Retrieved from http://www.ons.gov.uk/ons/guide-method/user-guidance/well-being/publications/measuring-subjective-well-being-in-the-uk.pdf

O NS. (2011). Initial investigation into Subjective Wellbeing from the Opinions Survey Retrieved from http://www.ons.gov.uk/ons/dcp171776_244488.pdf

S tiglitz, J. E., Sen, A., & Fitoussi, J.-P. (2010). Mismeasuring Our Lives: Why GDP Doesn’t Add Up. New York: New Press.

T hompson, S., & Marks, N. (2008). Measuring well-being in policy: issues and applications Retrieved from http://dnwssx4l7gl7s.cloudfront.net/nefoundation/default/page/-/fi les/Measuring_well-being_in_policy.pdf