Studi Vegetasi Mangrove Pulau Dua
-
Upload
ridlo-iqbal -
Category
Documents
-
view
8.669 -
download
9
Transcript of Studi Vegetasi Mangrove Pulau Dua
STUDY VEGETASI MANROVE DI PULAU DUA, TELUK BANTEN-
KABUPATEN SERANG PROVINSI BANTEN
Oleh : RIDLO IQBAL
(Taruna Sekolah Tinggi Perikanan Jurusan Teknologi Pengelolaan
Sumberdaya Perairan Semester 6)
Email : [email protected]/ [email protected]
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia adalah negara kepulauan yang terdiri atas 17.508 pulau-pulau
besar dan kecil dengan panjang garis pantainya 95.181 km. Luas daratan
Indonesia sekitar 1,93 juta km2 sementara luas laut Indonesia sekitar 3,1 juta
km2. Salah satu ekosistem yang sangat erat kaitannya dengan perairan Pantai
adalah Mangrove. Hutan mangrove merupakan suatu ekosistem kompleks terdiri
atas flora dan fauna daerah pantai, yang terletak di antara batas air pasang dan air
surut. Ekosistem ini berperan dalam melindungi pantai dari erosi, gelombang laut
dan angin topan. Hutan mangrove berperan juga sebagai buffer (perisai alam)
untuk menstabilkan tanah dan memerangkap bahan endapan dari darat yang
terbawa arus sungai. Hutan mangrove tumbuh subur di aliran sungai yang besar
dengan muara yang lebar. Pantai yang tidak ada sungainya, daerah mangrovenya
sempit. Hutan mangrove mempunyai toleransi yang tinggi terhadap kadar garam
dan karenanya dapat berkembang di daratan yang bersalinitas tinggi di mana
tanaman lainnya tidak dapat tumbuh. Hutan mangrove sebagai salah satu
ekosistem yang sangat unik, merupakan sumber daya alam yang sangat potensial.
1
Di Indonesia, hutan mangrove yang luasnya sekitar 4.25 juta ha (Departemen
Kehutanan, 1982), atau kurang lebih 25% luas hutan mangrove di dunia, dan
terbesar di seluruh wilayah Indonesia, berperan penting bagi kelangsungan hidup
manusia, baik dari segi ekonomis, sosial maupun lingkungan. Disamping
mendukung keanekaeagaman flora dan fauna dari komunitas terestis akuatik, dan
berfungsi lindung bagi keberlangsungannya berbagai proses ekologis, hutan
mangrove telah dimanfaatkan dalam skala komersial terutama untuk gelondongan
sebagai bahan baku"pulp/kertas, rayon dan arang.
Saat ini, kerusakan dan degradasi hutan mangrove merupakan penomena
umum di berbagai negara, terutama di negara-negara yang sedang berkembang.
Kerusakan hutan ini terutama disebabkan oleh konversi mangrove untuk
kegiatan-kegiatan produksi lainnya (industri, pertambangan dan lain-lain) yang
tidak berlandaskan asas kelestarian serta oleh kegiatan eksploitasi yang tidak
terkendali. Adanya konversi hutan mangrove ini telah menyebabkan semakin
menyusutnya luas hutan mangrove Indonesia Indonesia yaitu tinggal sekitar 4.25
juta ha (Departemen Kehutanan, 1982). Bahkan menurut PHPA dan AWB (1987)
diperkirakan luas hutan mangrove tinggal sekitar 3.24 juta ha.
Permasalahan mengenai kelestarian hutan mangrove adalah adanya
kegiatan masyarakat sekitar yang memanfaatkan hutan mangrove baik kayunya
yang digunakan untuk kayu bakar maupun konversi lahan mangrove yang
dijadikan untuk lahan pertanian, pertambakan dan permukiman. Maka dari itu,
diperlukan pengelolaan yang terpadu sehingga dapat dimanfaatkan oleh
masyarakat secara berkelanjutan. Melihat pentingnya ekosistem mangrove baik
bagi manusia maupun makhluk hidup lainnya maka penulis tertarik untuk
2
mengambil judul “Studi Vegetasi Mangrove di Pulau Dua, Teluk Banten-
Kabupaten Serang, Provinsi Banten.
1.2 Tujuan
Tujuan dari Praktek Keahlian ini adalah untuk mengetahui struktur
komunitas vegetasi Mangrove serta identifikasi jenis dan penghitungan jenis
jumlah dari vegetasi mangrove yang ada di Pulau Dua Teluk Banten Kabupaten
Serang Provinsi Banten.
1.3 Batasan Masalah
Pada Praktek Keahlian ini penulis membatasi kepada Vegetasi mangrove
yang terdapat di Pulau Dua, Teluk Banten Kabupaten Serang Provinsi Banten
dengan melakukan analisa tentang Kerapatan Relatif Jenis, Frekuensi Relatif
Jenis, Penutupan Relatif Jenis dan Nilai Penting Jenis vegetasi mangrove baik
jenis pohon, anakan, dan semai.
3
2. Tinjauan Pustaka
2.1 Pengertian Mangrove
Istilah ‘mangrove’ tidak diketahui secara pasti asal usulnya. Ada yang
mengatakan bahwa istilah tersebut kemungkinan merupakan kombinasi dari
bahasa Portugis dan Inggris. Bangsa Portugis menyebut salah satu jenis pohon
mangrove sebagai ‘mangue’ dan istilah Inggris ‘grove’, bila disatukan akan
menjadi ‘mangrove’ atau ‘mangrave’. Ada kemungkinan pula berasal dari bahasa
Malay, yang menyebut jenis tanaman ini dengan ‘mangi-mangi’ atau ‘mangin’.
Mangrove adalah tanaman pepohonan atau komunitas tanaman yang hidup di
antara laut dan daratan yang dipengaruhi oleh pasang surut. Habitat mangrove
seringkali ditemukan di tempat pertemuan antara muara sungai dan air laut yang
kemudian menjadi pelindung daratan dari gelombang laut yang besar. Sungai
mengalirkan air tawar untuk mangrove dan pada saat pasang, pohon mangrove
dikelilingi oleh air garam atau air payau, (Irwanto, 2006).
Mangrove adalah jenis tanaman dikotil yang hidup di habitat payau.
Tanaman dikotil adalah tumbuhan yang buahnya berbiji berbelah dua. Pohon
mangga adalah contoh pohon dikotil dan contoh tanaman monokotil adalah
pohon kelapa. Kelompok pohon di daerah mangrove bisa terdiri atas suatu jenis
pohon tertentu saja atau sekumpulan komunitas pepohonan yang dapat hidup di
air asin. Hutan mangrove biasa ditemukan di sepanjang pantai daerah tropis dan
subtropis, antara 32° Lintang Utara dan 38° Lintang Selatan.
4
Gambar. 1. Penyebaran Mangrove di daerah Tropis, Irwanto,1999.
Istilah mangrove tidak selalu diperuntukkan bagi kelompok spesies
dengan klasifikasi taksonomi tertentu saja, tetapi dideskripsikan mencakup semua
tanaman tropis yang bersifat halophytic atau toleran terhadap garam. Tanaman
yang mampu tumbuh di tanah basah lunak, habitat air laut dan terkena fluktuasi
pasang surut. Sebagai tambahan, tanaman tersebut mempunyai cara reproduksi
dengan mengembangkan buah vivipar yang bertunas (seed germination) semasa
masih berada pada pohon induknya. Istilah “bakau” adalah sebutan bagi jenis
utama pohon Rhizophora sp. yang dominan hidup di habitat pantai. Walaupun
tidak sama dengan istilah mangrove banyak orang atau penduduk awam
menyebut hutan mangrove sebagai hutan bakau atau secara singkat disebut bakau
(Irwanto. 2006).
2.2 Tipe Vegetasi Mangrove
Komunitas mangrove di Indonesia pada dasarnya terdiri atas paling
sedikit 47 jenis pohon, 5 jenis semak, 9 jenis herba/rumput, 9 jenis liana, 29 jenis
epifit dan 2 jenis parasit (Yayasan Mangrove, 1993). Menurut Sukardjo (1996),
di Indonesia terdapat 75 jenis tumbuhan mangrove, sehingga Indonesia termasuk
pula sebagai wakil pusat geografi beberapa marga mangrove, Rhizophora,
Bruguiera, Avicennia, Ceriops, dan Lumnitzera. Meskipun demikian tidak semua
5
jenis mangrove tersebut ada pada setiap tipe komunitas mangrove, menyatakan
bahwa mangrove di Indonesia dikenal mempunyai keragaman jenis yang tinggi,
seluruhnya tercatat sebanyak 89 jenis tumbuhan , 35 jenis diantaranya berupa
pohon dan selebihnya berupa terna (5 jenis), perdu (9 jenis), liana (9 jenis), epifit
(29 jenis) dan parasit (2 jenis).
Menurut Noor et al., (1999), tipe vegetasi mangrove terbagi atas empat
bagian antara lain :
a) Mangrove terbuka, mangrove berada pada bagian yang berhadapan
dengan laut.
b) Mangrove tengah, mangrove yang berada di belakang mangrove zona
terbuka.
c) Mangrove payau, mangrove yang berada disepanjang sungai berair payau
hingga air tawar.
d) Mangrove daratan, mangrove berada di zona perairan payau atau hampir
tawar di belakang jalur hijau mangrove yang sebenarnya.
2.3 Zonasi Penyebaran Mangrove
Jika diperhatikan di daerah yang makin mengarah ke darat dari laut
terdapat zonasi penguasaan oleh jenis-jenis mangrove yang berbeda. Dari arah
laut menuju ke daratan terdapat pergantian jenis mangrove yang secara dominan
menguasai masing-masing habitat zonasinya. Mangrove yang kondisinya buruk
karena terganggu, atau berada pada derah pantai yang sempit, tidak menunjukkan
keteraturan dalam pembagian jenis pohon dan zonasi di sepanjang pantai.
Fenomena zonasi ini belum sepenuhnya difahami dengan jelas. Faktor-faktor
yang mempengaruhi pembagian zonasi terkait dengan respons jenis tanaman
6
terhadap salinitas, pasang-surut dan keadaan tanah. Kondisi tanah mempunyai
kontribusi besar dalam membentuk zonasi penyebaran tanaman dan hewan
seperti perbedaan spesies kepiting pada kondisi tanah yang berbeda. Api-api dan
pedada tumbuh sesuai di zona berpasir, mangrove cocok di tanah lembek
berlumpur dan kaya humus sedangkan jenis tancang menyukai tanah lempung
dengan sedikit bahan organik. Keadaan morfologi tanaman, daya apung dan cara
penyebaran bibitnya serta persaingan antar spesies, merupakan faktor lain dalam
penentuan zonasi ini. Formasi hutan mangrove yang terbentuk di kawasan
mangrove biasanya didahului oleh jenis pohon pedada dan api-api sebagai pionir
yang memagari daratan dari kondisi laut dan angin. Jenis-jenis ini mampu hidup
di tempat yang biasa terendam air waktu pasang karena mempunyai akar pasak.
Pada daerah berikutnya yang lebih mengarah ke daratan banyak ditumbuhi jenis
bakau (Rhizophora spp.). Daerah ini tidak selalu terendam air, hanya kedang-
kadang saja terendam air. Pohon tancang tumbuh di daerah berikutnya makin
menjauhi laut, ke arah daratan. Daerah ini tanahnya agak keras karena hanya
sesekali terendam air yaitu pada saat pasang yang besar dan permukaan laut lebih
tinggi dari biasanya.
Gambar.2. Zonasi penyebaran jenis pohon mangrove. Onrizal, 2007.
7
2.4 Fungsi dan Manfaat Mangrove
Hutan mangrove mempunyai keterkaitan dalam pemenuhan kebutuhan
hidup manusia sebagai penyedia bahan pangan, papan dan kesehatan. Fungsi
mangrove dibedakan menjadi 5 golongan yaitu:
2.4.1 Fungsi Fisik
a. Menjaga garis pantai agar tetap stabil dan kokoh dari abrasi air laut
b. Melindungi pantai dan tebing sungai dari proses erosi atau abrasi serta
menahan atau menyerap tiupan angin kencang dari laut ke darat pada malam
hari
c. Menahan sedimen secara periodik sampai terbentuk lahan baru
d. Sebagai kawasan penyangga proses intrusi atau rembesan air laut ke danau,
atau sebagai filter air asin menjadi air tawar.
2.4.2 Fungsi Kimia
a. Sebagai tempat terjadinya proses daur ulang yang menghasilkan oksigen
b. Sebagai penyerap karbondioksida
c. Sebagai pengolah bahan-bahan limbah hasil pencemaran industri dan kapal di
laut.
2.4.3 Fungsi Biologi
a. Sebagai kawasan untuk berlindung, bersarang serta berkembangbiak bagi
burung dan satwa lain
b. Sebagai sumber plasma nutfah dan sumber genetika
c. Sebagai habitat alami bagi berbagai jenis biota darat dan laut
d. Sebagai penghasil bahan pelapukan yang merupakan sumber makanan penting
bagi invertebrata kecil pemakan bahan pelapukan (detritus) yang kemudian
8
berperan sebagai sumber makanan bagi hewan yang lebih besar
e. Sebagai kawasan pemijahan (spawning ground) dan daerah asuhan (nursery
ground) bagi udang
f. Sebagai daerah mencari makanan (feeding ground) bagi plankton
2.4.4 Fungsi Ekonomi
a. Penghasil bahan baku industri, misalnya pulp, tekstil, makanan ringan
b. Penghasil bibit ikan, udang, kerang dan kepiting, telur burung serta madu
c. Penghasil kayu bakar, arang serta kayu untuk bangunan dan perabot rumah
tangga.
2.4.5 Fungsi Wisata
a. Sebagai kawasan wisata alam pantai untuk membuat trail mangrove
b. Sebagai sumber belajar bagi pelajar
c. Sebagai lahan konservasi dan lahan penelitian
Manfaat Hutan Mangrove Menurut Dixon, 1989 dalam Bengen, 2001
digambarkan pada ilustrasi gambar dibawah ini:
Gambar 3. Manfaat hutan mangrove (Dixon, 1989 dalam Bengen, 2001).
9
2.5 Jenis – Jenis Mangrove
Di dunia dikenal banyak jenis mangrove yang berbeda-beda. Tercatat
telah dikenali sebanyak sampai dengan 24 famili dan antara 54 sampai dengan 75
spesies, tentunya tergantung kepada pakar mangrove yang mana pertanyaan kita
tujukan.
Ada yang menyatakan bahwa Asia merupakan daerah yang paling tinggi
keanekaragaman dan jenis mangrovenya. Di Thailand terdapat sebanyak 27 jenis
mangrove, di Ceylon ada 32 jenis, dan terdapat sebanyak 41 jenis di Filipina. Di
benua Amerika hanya memiliki sekitar 12 spesies mangrove, sedangkan
Indonesiadisebutkan memiliki sebanyak tidak kurang dari 89 jenis pohon
mangrove, atau paling tidak menurut FAO terdapat sebanyak 37 jenis. Dari
berbagai jenis mangrovetersebut, yang hidup di daerah pasang surut, tahan air
garam dan berbuah vivipar terdapat sekitar 12 famili.Dari sekian banyak jenis
mangrove di Indonesia, jenis mangrove yang banyak ditemukan antara lain
adalah jenis api-api (Avicennia sp.), bakau (Rhizophora sp.), tancang (Bruguiera
sp.), dan bogem atau pedada (Sonneratia sp.), merupakan tumbuhan mangrove
utama yang banyak dijumpai. Jenis-jenis mangrove tersebut adalah kelompok
mangrove yang menangkap, menahan endapan dan menstabilkan tanah
habitatnya.
2.5.1 Bakau (Rhizopora sp.)
Pohon ini disebut juga dengan bakau besar, bakau genjah, tinjang, slindur,
bakau merah, bakau akik atau bakau kurap, tergantung spesiesnya. Di dunia
terkenal secara umum sebagai red mangrove. Kulit batangnya berwarna
10
kemerahan terutama bila basah. Pohon ini dapat tumbuh hingga 25 m. Termasuk
dalam famili Rhizophoraceae. Pohon ini banyak terlihat sebagai pohon kecil yang
tumbuh di air laut. Dapat tumbuh dengan toleransi yang cukup terhadap kadar
garam mulai dari yang tawar sampai kadar yang tinggi. Disebut sebagai pohon
yang facultative halophyte yang artinya dapat tumbuh di air asin tetapi tidak
terbatas hanya di habitat yang demikian saja. Pohon kecil yang dapat dijumpai
tumbuh sendiri di tempat dangkal berair seringkali adalah jenis bakau ini. Spesies
bakau jenis ini antara lain adalah Rhizopora mucronata, Rhizopora stylosa, dan
Rhizopora apiculata (Noor et al, 1999).
Deskripsi umum : Pohon dengan ketinggian mencapai 30 m dengan diameter
batang mencapai 50 cm. Memiliki perakaran yang khas hingga mencapai
ketinggian 5 m dan kadang-kadang memiliki akar udara yang keluar dari cabang.
Kulit kayu berwarna abu-abu tua dan berubah-ubah (Murdiyanto, 2003).
Gambar 4. Rhizophora sp, Onrizal, 2007.
11
2.5.2 Api-api (Avicennia sp.)
Termasuk famili Avicenniaceae. Disebut juga sia-sia. Dikenal secara umum
sebagai black mangrove. Pohon jenis ini mempunyai toleransi yang tinggi
terhadap kadar garam. Dapat tumbuh mencapai ketinggian 25 – 30 m. Pohon ini
tidak mengeluarkan garam di bagian akarnya, tetapi mengeluarkan kelebihan
garam melalui pori-pori daunnya yang akan terbawa oleh hujan dan angin.
Seringkali garam terlihat sebagai lapisan kristal putih di bagian permukaan atas
daun.
Karena spesies Avicennia mudah menumbuhkan cabangnya, memungkinkan
untuk diambil cabang dan rantingnya tanpa mengganggu batang pohonnya.
Pohon jenis juga bersifat toleran terhadap air berkadar garam tinggi, dapat juga
menahan lumpur dari pasir dan hempasan ombak. Oleh karenanya merupakan
juga jenis bakau yang dapat menstabilkan pantai, mencegah erosi, dan memberi
kesempatan pohon lain untuk tumbuh.
Deskripsi umum : Belukar atau pohon yang tumbuh menyebar dengan
ketinggian mencapai 25 m. Kumpulan pohon membentuk sistem perakaran
horizontal dan akar nafas yang rumit. Akar nafas biasanya tipis, berbentuk jari
(atau seperti asparagus) yang ditutupi oleh lentisel. Kulit kayu luar berwarna
keabu-abuan atau gelap kecoklatan, beberapa ditumbuhi tonjolan kecil, sementara
yang lain kadang-kadang memiliki permukaan yang halus. Pada bagian batang
yang tua, kadang-kadang ditemukan serbuk tipis (Noor, 1999).
12
Gambar 5. Avicennia sp, Onrizal, 2007.
2.5.3 Tancang (Bruguiera sp.)
Jenis pohon ini disebut juga lindur. Tancang termasuk juga dalam famili
Rhizoporaceae. Tumbuh subur di lokasi yang kering, pada tanah yang dialiri air
tawar, tetapi dapat tumbuh pula di tanah lumpur. Tingginya sekitar 15 m, tetapi
bisa mencapai 36 m walaupun jarang yang mencapai ukuran tersebut. Jenis
tancang termasuk yang usianya panjang diantara jenis-jenis bakau yang lainnya.
Warna kulit pohon ini abu-abu, gelap, dan permukaannya kasar. Kulit batang
pohonnya mengeluarkan bau khas yang tidak disukai ikan, sehingga bisa dipakai
untuk mengusir ikan. Jenis ini mulai jarang ditemukan. Beberapa jenis ini adalah
Bruguiera cylindrica, Bruguiera gymnorhiza, dan Bruguiera parviflora.
Deskripsi umum : Berupa semai atau pohon kecil yang selalu hijau, tinggi
(meskipun jarang) dapat mencapai 20 m. Kulit kayu burik, berwarna abu-abu
hingga coklat tua, bercelah, dan agak membengkak di bagian pangkal pohon.
Akar lutut dapat mencapai 30 cm tingginya (Noor et al, 1999).
13
Gambar 6. Bruguiera sp, Onrizal, 2007.
2.5.4 Pedada (Sonneratia sp.)
Dalam bahasa lokal jenis bakau ini disebut juga bogem atau prapat.
Termasuk dalam famili Sonneratiaceae. Pohon dapat mencapai ketinggian 20 m.
Menempati bagian pantai paling depan di sisi laut. Tumbuh di tanah berlumpur
dan berpasir. Kulit batang berwarna abu-abu atau kecoklatan, permukaan kulit
kasar, dan retak-retak. Pada pohon muda, kulit batangnya dilapisi semacam
lapisan lilin untuk mengurangi penguapan air dari jaringannya. Bila dipangkas
rantingnya mudah beregenerasi. Dahan dan rantingnya dapat dipanen asal
dibatasi. Pohon pedada ini disukai bekantan yang memakan daunnya. Beberapa
spesies jenis pohon ini antara lain adalah : Sonneratia alba, Sonneratia
caseolaris, Sonneratia ovata.
Definisi umum : Pohon selalu hijau, tumbuh tersebar, ketinggian kadang-
kadang hingga 15 m. Kulit kayu berwarna putih tua hingga coklat, dengan celah
longitudinal yang halus. Akar berbentuk kabel di bawah tanah dan muncul ke
14
permukaan sebagai akar nafas yang berbentuk kerucut tumpul dan tingginya
mencapai 25 cm (Noor et al, 1999).
Gambar 7. Sonneratia sp, Onrizal, 2007.
2.5.5 Nyirih (Xilocarpus sp.)
Termasuk dalam family Meliaceae, nyirih dapat tumbuh mencapai
ketinggian 5 - 20 m, memiliki akar nafas mengerucut berbentuk cawan. Kulit
kayu halus, daunnya berwarna hijau gelap berbentuk elips dengan pangkal daun
menyatu dengan batang, bunga berukuran kecil dan berwarna putih susu hingga
putih kehijauan. Buahnya berbentuk bulat sangat besar dengan kisaran diameter
antara 8 - 15 cm berwarna kekuningan. Kulit batang licin dan berwarna merah-
coklat, mempunyai akar papan berbentuk seperti pita yang memanjang dan
menopang pohon (Noor et al, 1999).
15
Gambar 8. Xilocarpus sp, Onrizal, 2007.
2.5.6 Tengar (Ceriops sp.)
Dalam bahasa lokal jenis bakau ini disebut dengan Tengar. Termasuk dalam
famili Rhizophoraceae, Pohon ini dapat tumbuh mencapai 25 m. Kulit kayu
berwarna abu-abu, kadang-kadang coklat halus dan pangkalnya mengelembung.
Pohon seringkali memiliki akar tunjang yang kecil, daunnya berwarna hijau
mengkilap dan sering memiliki pinggiran yang melingkar ke dalam. Bunga
mengelompok di ujung tandan, buah panjangnya 1,5 - 2 cm, dengan tabung
kelopak yang melengkung. Membentuk belukar yang rapat pada pinggir daratan
dari hutan pasang surut atau pada areal yang tergenang oleh pasang tinggi dengan
tanah memiliki pengeringan yang baik. Juga terdapat di sepanjang tambak,
menyukai substrat tanah liat (Noor et al, 1999).
16
Gambar 9. Ceriops sp, Onrizal, 2007.
2.6 Faktor Pembatas
2.6.1 Suhu
Menurut Kolehmainen et al., (1973) dalam Supriharyono (2000), Suhu
yang baik untuk kehidupan mangrove tidak kurang dari 20 ºC, sedangkan kisaran
musiman suhu tidak melebihi 5 ºC. Suhu yang tinggi (>40 ºC) cenderung tidak
mempengaruhi petumbuhan dan kehidupan mangrove.
2.6.2 Salinitas
Bengen (1999), menyebutkan mangrove dapat hidup pada air bersalinitas
payau (20-22 ‰) hingga asin (mencapai 38 ‰).
2.6.3 Derajat Keasaman (pH)
Sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan
menyukai nilai pH sekitar 7-8,5. Nilai pH sangat mempengaruhi proses
17
biokimiawi perairan, misalnya proses nitrifikasi akan berakhir jika pH rendah
Effendi (2003).
2.6.4 Tipe Substrat
Menurut Kint (1934) dalam Noor et al.,(1999), di Indonesia substrat
berlumpur ini sangat baik untuk tegakan Rhizopora mucronata dan Avicennia
marina. Menurut Bengen (1999), daerah yang paling dekat dengan substrat agak
berpasir, sering ditumbuhi oleh Avicennia sp. Pada zona ini biasa berasosiasi
Sonneratia spp, yang dominan tumbuh pada lumpur dalam yang kaya bahan
organik. Meskipun demikian, Sonneratia akan berasosiasi dengan Avicennia jika
tanah lumpurnya kaya akan bahan organik (KMNLH, 1993).
2.7 Dampak Kegiatan Manusia pada Ekosistem Mangrove
Dampak dari aktivitas manusia terhadap ekosistem mangrove,
menyebabkan luasan hutan mangrove turun cukup menghawatirkan. Luas hutan
mangrove di Indonesia turun dari 5,21 juta hektar antara tahun 1982 – 1987,
menjadi 3,24 hektar, dan makin menyusut menjadi 2,5 juta hektar pada tahun
1993 (Widigdo, 2000). Bergantung cara pengukurannya, memang angka-angka di
atas tidak sama antar peneliti. Khazali (1999), menyebut angka 3,5 juta hektar,
sedangkan Lawrence (1998), menyebut kisaran antara 3,24 – 3,73 juta hektar.
Tabel 1 : Beberapa Dampak Kegiatan Manusia Terhadap Ekosistem Mangrove
Kegiatan Dampak Potensial
Tebang habis • • Berubahnya komposisi tumbuhan; pohon-pohon
mangrove akan digantikan oleh spesies-spesies yang
nilai ekonominya rendah dan hutan mangrove yang
18
ditebang ini tidak lagi berfungsi sebagai daerah
mencari makan (feeding ground) dan daerah
pengasuhan (nursery ground) yang optimal bagi
bermacam ikan dan udang stadium muda
yang penting secara ekonomi
Pengalihan
aliran air tawar,
misalnya pada
pembangunan
irigasi
• • Peningkatan salinitas hutan (rawa) mangrove
menyebabkan dominasi dari spesies-spesies yang
lebih toleran terhadap air yang menjadi lebih asin;
ikan dan udang dalam stadium larva dan juvenil
mungkin tak dapat mentoleransi peningkatan
salinitas, karena mereka lebih sensitif
terhadap perubahan lingkungan.
• • Menurunnya tingkat kesuburan hutan mangrove
karena pasokan zatzat
hara melalui aliran air tawar berkurang.
Konversi
menjadi lahan
pertanian,
perikanan
• • Mengancam regenerasi stok-stok ikan dan udang
di perairan lepas pantai yang memerlukan hutan
(rawa) mangrove sebagai nursery ground larva
dan/atau stadium muda ikan dan udang.
• • Pencemaran laut oleh bahan-bahan pencemar
yang sebelum hutanmangrove dikonversi dapat diikat
oleh substrat hutan mangrove.
• • Pendangkalan peraian pantai karena pengendapan
sedimen yang sebelum hutan mangrove dikonversi
19
mengendap di hutan mangrove.
• • Intrusi garam melalui saluran-saluran alam yang
bertahankan
keberadaannya atau melalui saluran-saluran buatan
manusia yang bermuara di laut.
• Erosi garis pantai yang sebelumnya ditumbuhi
mangrove
Pembuangan
sampah cair
(Sewage)
• • Penurunan kandungan oksigen terlarut dalah air
air, bahkan dapat terjadi keadaan anoksik dalam air
sehingga bahan organik yang terdapat dalam sampah
cair mengalami dekomposisi anaerobik yang antara
lain menghasilkan hidrogen sulfida (H2S) dan aminia
(NH3) yang keduanya merupakan racun bagi
organisme hewani dalam air. Bau H2S seperti telur
busuk yang dapat dijadikan indikasi berl angsungnya
dekomposisi anaerobik.
Pembuangan
sampah padat
• • Kemungkinan terlapisnya pneumatofora dengan
sampah padat yang akan mengakibatkan kematian
pohon-pohon mangrove.
• • Perembesan bahan-bahan pencemar dalam
sampah padat yang
kemudian larut dalam air ke perairan di sekitar
pembuangan sampah.
• • Pencemaran • • Kematian pohon-pohon mangrove akibat
20
minyak akibat
terjadinya
tumpahan
minyak dalam
jumlah besar.
• • Penambangan
dan ekstraksi mineral
terlapisnya pneumatofora oleh lapisan minyak.
• • Kerusakan total di lokasi penambangan dan
ekstraksi mineral yang dapat mengakibatkan
musnahnya daerah asuhan (nursery ground) bagi
larva dan bentuk-bentuk juvenil ikan dan udang yang
bernilai ekonomi penting di lepas pantai, dan dengan
demikian mengancam regenerasi ikan danudang
tersebut.
Sumber : Berwick, 1983 dalam Dahuri, et al., 1996.
2.8 Rehabilitasi Hutan Mangrove
Kegiatan penghijauan yang dilakukan terhadap hutan-hutan yang telah
gundul, merupakan salah satu upaya rehabilitasi yang bertujuan bukan saja untuk
menembalikan nilai estetika, namun yang paling utama adalah untuk
mengembalikan fungsi ekologis kawasan hutan mangrove tersebut. Kegiatan
seperti ini menjadi salah satu andalan kegiatan rehabilitasi di beberapa kawasan
hutan mangrove yang telah ditebas dan di alihkan fungsinya kepada kegiatan lain.
Kegiatan rehabilitasi hutan mangrove ini telah di rintis sejak tahun 1960 di
kawasan pantai utara Pulau Jawa. Sekitar 20.000 ha hutan mangrove yang rusak
dipantai utara Pulau Jawa di laporkan telah berhasil di rehabilitasi dengan
menggunakan tanaman utama Rhizopora spp dan Avicenia spp. Dengan persen
tumbuh hasil penanaman berkisar antara 60% - 70% (Soemodihardjo dan
Soerianegara, 1989). Hal serupa juga dilakukan pada sekitar 105ha hutan
21
mangrove yang rusak di Cilacap, di mana telah berhasil di rehabilitasi dengan
menggunakan tanaman pokok Rhizopora spp dan Bruguiera spp.
2.9 Strategi Pelestarian Hutan Mangrove
Pelestarian hutan mangrove merupakan salah satu usaha yang sangat
kompleks untuk dilaksanakan, karena kegiatan tersebut sangat membutuhkan
sifat akomodatif terhadap segenap pihak baik berada disekitar kawasan maupun
di luar kawasan. Pada dasarnya kegiatan ini dilakukan demi memenuhi kebutuhan
dari berbagai kepentingan. Namun demikian, sifat akomodatif ini akan lebih
dirasakan manfaatnya bilamana keberpihakan kepada masyarakat yang sangat
rentan terhadap sumberdaya mangrove, diberikan porsi yang lebih besar.
Dengan demikian yang perlu diperhatikan adalah menjadikan masyarakat
sebagai komponen utama penggerak pelestarian hutan mangrove. Oleh karena itu,
persepsi masyarakat terhadap keberadaan hutan mangrove perlu untuk di arahkan
kepada cara pandang masyarakat akan pentingnya sumberdaya hutan mangrove.
Dalam konteks di atas, pemahaman masyarakat pesisir akan pentingnya
ekosistem hutan mangrove sangat menarik untuk di kemukakan. Sebagai contoh
dapat dikemukakan pengalaman di Segara Anakan , Cilacap, dimana
pemanfaatan hutan mangrove oleh masyarakat tergantung dari kebutuhan dan
jenis maka pencaharian yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Pemanfaatan
untuk kayu bakar, misalnya, apabila dipakai sendiri berkisar antara 0,5 m3- 1,5m3
perhari. Tetapi apabila kayu mangrove tersebut akan di jual, maka masyarakat
akan mengambil lebih banyak lagi, yaitu sekitar 5-12 m3 perhari (LPPM, 1998).
22
Sementara itu, dalam konteks pelestarian hutan mangrove sebagian masyarakat
tidak melakukan penanaman hutan mangrove dengan alasan :
1. Tidak tahu cara penanaman mangrove.
2. Lokasi hutan mangrove yang jauh.
3. Tidak punya bibit mangrove.
4. Masyarakat lebih senang menanam tanaman pangan daripada
menanam tumbuhan mangrove.
Berdasarkan kenyataan empiris tersebut, paling tidak sudah dapat
ditarik suatu kesimpulan sementara bahwa masalah penegelolaan hutan mangrove
secara lestari adalah bagaimana menggabungkan antara kepentingan ekologis
(konservasi hutan mangrove) dengan kepentingan sosial ekonomi masyarakat
disekitar hutan mangrove.
23
3. Metodologi
3.1. Waktu dan Tempat
Praktek Keahlian dilakukan mulai tanggal 01 Maret sampai dengan 15
April 2009, di Bagian Adminstrasi Pelatihan Perikanan Lapangan (BAPPL) STP
Serang, pengamatan Mangrove dilaksanakan di Pulau dua daerah perairan teluk
Banten
3.2. Alat dan Bahan
A. Alat
Alat dan bahan yang digunakan selama melakukan praktek keahlian dapat
di lihat pada tabel 2.
Tabel 2. Alat-alat yang digunakan pada pelaksanaan Praktek Keahlian
No
1
Nama alat
2
Kegunaan
3
Spesifikasi
4
1. Tali Tambang Pembuatan Transek line Panjang 100 m
ketelitian 1 m
2. Meteran Pengukuran luas areal mangrove Panjang 100 cm
Ketelitian 0,5 cm
3. Patok Kayu Pengikat Transek line -
4. Kantong plastic Tempat sampel -
5. Digital camera Dokumentasi gambar Spectra 5
megapixel
6. Scientific calculator Menghitung analisa data vegetasi
mangrove
fx 3600
24
1 2 3 4
7. Gunting, pisau Memotong ranting mangrove Contoh daun,
batang, dan buah
8. Alat tulis Pencatatan data Data-data di
lokasi
9. Buku Identifikasi Identifikasi jenis mangrove Mangrove yang
ada
10 Refraktometer Pengukuran salinitas Ketelitian 1o /oo
11. Termometer Pengukuran suhu air dari tiap plot Ketelitian 1o C
12. Kertas lakmus Pengukuran derajat keasaman Ketelitian 1
B. Bahan
Bahan dari kegiatan praktek ini yaitu komunitas mangrove yang ada di
Pulau Dua
3.3. Metode
3.3.1. Metode Praktek
1. Survey
Metode yang digunakan adalah metode survey yaitu pengamatan
langsung terhadap vegetasi mangrove di Pulau Dua, Teluk Banten
2. Studi Literatur
Studi literatur digunakan sebagai bahan perbandingan terhadap data-
data yang telah diperoleh melalui teori-teori yang mendasari yang terdapat
dalam buku-buku literatur tersebut dan yang terkait dengan topik dan
tujuan praktek.
25
3.3.2 Metode Kerja
3.3.2.1 . Metode Pengumpulan Data
Lokasi yang ditentukan untuk pengamatan mangrove harus mewakili
wilayah kajian, dan juga harus dapat mengindikasikan atau mewakili setiap zona
hutan mangrove yang terdapat di wilayah kajian. Pada setiap lokasi ditentukan
transek pengamatan secara konseptual berdasarkan keterwakilan lokasi kajian,
pada setiap stasiun pengamatan.
3.3.2.2 . Menentukan Jalur Transek yang akan dibuat.
Jalur dibuat dengan menarik jalur transek dengan tali tambang/ plastik
dengan arah tegak lurus dari arah laut ke arah darat sepanjang adanya mangrove.
Jalur transek yang dibuat harus mewakili wilayah kajian, dan juga harus dapat
mengindikasikan atau mewakili setiap zona hutan mangrove yang terdapat
wilayah kajian.
3.3.2 3. Menentukan Letak Petak/ Plot Sampel di Lapangan.
Letak petak/ plot di sepanjang jalur di tentukan dengan menentukan jalur
terlebih dahulu, setelah jalur dibuat, maka tentukan petak/ plot 2 x 2 m untuk
mengidentifikasi tumbuhan mangrove tingkat semai, petak/ plot ukuran 5 x 5 m
untuk mengidentifikasi tumbuhan mangrove sapihan, petak/ plot ukuran 10 x 10
m untuk mengidentifikasi tumbuhan mangrove tingkat tiang. Dan petak/ plot
ukuran 20 x 20 m untuk mengidentifikasi tumbuhan mangrove tingkat pohon.
26
3.3.2.4 . Menentukan Tingkat Ukuran Tumbuh Mangrove
Semai : Permudaan mulai dari kecambah sampai dengan tinggi < 1,5 m, dihitung
Jumlahnya untuk setiap jenis pada petak ukuran 2 x 2 m.
Sepihan/ Pancang : Permudaan dengan tinggi ≥ 1,5 m sampai dengan diameter <
5 cm, dihitung jumlahnya untuk setiap jenis pada petak ukuran 5 x 5 m.
Tiang : Pohon- pohon muda yang mempunyai diameter 5- 10 cm. Pohon muda
pada tingkat. Ini dihitung jumlah dan diameternya pada petak ukuran 10 x 10 m.
Pohon : Pohon dengan diameter ≥ 10 cm. Pohon pada tingkat ini diukur jumlah
dan diameternya untuk setiap jenis pada petak ukur dengan ukuran 20 x 20 m.
3.3.2.5 Mengukur Diameter Tumbuhan
Diameter adalah panjang titik tunas yang melalui titik pusat lingkaran dan
menghubungkan dua titik lingkaran pada batang lingkaran. Diameter pohon
dimaksud adalah diameter setinggi 1,3 m atau 20 cm diatas perakaran.
Rumus dari diameter tersebut, yaitu :
Diameter (D) = K/ π
Keterangan : π = 3,14
K = Keliling Pohon
27
Pada setiap petak contoh yang ditentukan, determinasi setiap tumbuhan
mangrove yang ada, hitung jumlah individu tiap jenis, dan ukuran lingkaran
batang setiap pohon, mangrove pada setinggi dada 1,3 m (Saraswati, 2003).
3.3.3 Metode Analisis Data
Metode yang digunakan dalam praktek akhir ini adalah dengan
metode deskriptif. Menjelaskan data mengenai jenis, jumlah tegakan, dan
diameter pohon yang telah dicatat pada table “Tally Sheet Mangrove”, diolah
lebih lanjut untuk memperoleh data kerapatan jenis, frekuensi jenis, luas area
penutupan, dan nilai penting masing-masing jenis. Melakukan tabulasi data dan
sortasi data sesuai dengan judul praktek akhir dan disajikan dalam bentuk gambar
dan grafik. Selanjutnya perhitungan dilakukan dengan menggunakan rumus-
rumus untuk perhitungan yang dikemukakan (Bengen, 2001) sebagai berikut:
1. Kerapatan Jenis (Di) adalah jumlah tegakan jenis i dalam satu unit area:
Di = ni / A
Dimana :
Di = Kerapatan Jenis i
ni = Jumlah total tegakan dari jenis i
A = Luas total areal pengambilan sampel (luas total petak
contoh/plot).
28
2. Kerapatan Relatif Jenis (RDi) adalah perbandingan antara jumlah tegakan
jenis i (ni) dan jumlah tegakan total seluruh jenis (∑n):
RDi = ( ni / ∑n) x 100
Dimana :
RDi = Frekuensi relatif suatu jenis i
ni = jumlah total tegakan dari jenis i
∑n = Jumlah total tegakan seluruh jenis
3. Frekuensi Jenis (Fi) adalah peluang ditemukannya jenis i dalam petak/contoh
yang diamati:
Fi = pi /∑p
Dimana :
Fi = Frekuensi Jenis i
pi = Jumlah petak contoh/plot dimana ditemukan jenis i
∑p = Jumlah total petak contoh/plot yang diamati
4. Frekuensi Relatif Jenis (RFi) adalah perbandingan antara frekuensi jenis i (Fi)
dan jumlah frekuensi untuk seluruh jenis (∑F):
RFi = (Fi/∑F) x 100
Dimana :
29
RFi = Frekuensi relatif jenis i
Fi = Frekuensi jenis i
∑F = Jumlah total frekuensi untuk seluruh jenis
5. Penutupan Jenis (Ci) adalah luas penutupan jenis i dalam suatu unit area:
Ci = ∑BA/A
Dimana :
Ci = Luas penutupan Jenis i
BA = π DBH2/4 (dalam cm2), π (3,1416) adalah suatu konstanta dan
DBH adalah diameter pohon dari jenis i, DBH = CBH/π (dalam
cm), CBH adalah lingkaran pohon setinggi dada.
A = Luas total areal pengambilan contoh/plot
6. Penutupan Relatif Jenis (RCi) adalah perbandingan antara luas area penutupan
jenis i (Ci) dan luas total area penutupan untuk seluruh jenis (∑C):
RCi = (Ci/∑C) x 100
Dimana :
RCi = Penutupan Relatif Jenis
Ci = Luas areal penutupan jenis i
30
∑C = Luas total areal penutupan untuk seluruh jenis
7. Nilai Penting Jenis (IVi ) :
IVi = RDi + RFi + RCi
Nilai Penting suatu jenis berkisar antara 0 - 300. Nilai penting jenis ini
memberikan suatu gambaran mengenai pengaruh atau peranan suatu jenis
tumbuhan mangrove dalam komunitas mangrove.
8. Indek Keanekaragaman
Indek Keanekaragaman adalah suatu pernyataan atau penggambaran
matematika yang melukiskan struktur komunitas mangrove dan dapat
memberikan informasi tentang jenis dan jumlah vegetasi tersebut.
Perhitungan Indek Keanekaragaman dilakukan dengan menggunakan
Indeks Shanon Weiner dalam Cahyo (2007) yang rumusnya sebagai
berikut:
Dimana :
H' = Indek keanekaragaman
Pi = ni/ N
ni = Jumlah jenis
31
H' = - ∑ pi log pi
N = Jumlah total perjenis.
Tabel 3. Kriteria Penilaian Pembobotan Kualitas Lingkungan Vegetasi
(Sumber
: Cahyo, 2007).
9. Indek keseragaman
Indek keseragaman digunakan untuk mengetahui penyebaran jumlah individu
tiap jenis yang mendominasi populasi, yaitu dengan cara membandingkan Indeks
Keanekaragaman (H') dengan nilai maksimum (H maks), dimana (H maks = log
S), dimana S adalah jumlah spesies.
Indeks Keseragaman, dengan rumus menurut Brower dan Zar (1989) dalam
Riski (2007) adalah sebagai berikut :
Dimana :
32
Keanekaragaman
Jenis (H’)
Sebutan Kategori Skala
>3,5
2,5-3,5
1,6-2,4
1,1-1,5
< 1,0
Sangat mantap
Mantap
Cukup mantap
Kurang mantap
Tidak mantap
Sangat baik
Baik
Sedang
Buruk
Sangat buruk
5
4
3
2
1
E = Indek keseragaman
H = Log x
X = Jumlah jenis mangrove
H maks = indek keanekaragaman maksimum
Tabel 4. Indek Keseragaman Shanon- Weiner.
no Indek Keseragaman Kondisi Mangrove
1 E < 0,4 Keseragaman rendah
2 0,4 < E < 0,6 Keseragaman sedang
3 E > 0,6 Keseragaman tinggi
33
4. Keadaan Umum Lokasi Praktek
A.Keadaan Geografis
Propinsi Banten merupakan salah satu propinsi termuda yang lahir
melalui Undang – Undang No. 33 Tahun 2000. Banten merupakan wilayah yang
sangat strategis mengingat letak daerahnya berbatasan dengan Ibu kota negara
dan juga sebagai jembatan gerbang antara Jawa dan Sumatera. Luas wilayah
Banten hanya 8.561 km2, namun memiliki potensi sumberdaya yang cukup besar
untuk pembangunan di bidang industri, pariwisata, pertanian, dan perikanan.
Sejumlah 7,8 juta jiwa penduduk mendiami wilayah di Banten, yang merupakan
sumberdaya manusia yang cukup potensial yang diharapkan akan mampu
mengoptimalkan pemanfaatkan potensi sumberdaya yang ada.
Propinsi Banten mempunyai garis pantai sepanjang 816,99 km (sudah
termasuk pulau – pulau kecil yang terdapat di Banten) yang membentang dari
mulai kecamatan Teluk Naga di Kabupaten Tanggerang sampai Kecamatan
Bayah di Kabupaten Lebak. Namun demikian, Perkembangan kegiatan
penangkapan ikan di propinsi Banten belumlah dapat menyamai kegiatan serupa
di Propinsi – propinsi lainnnya yang ada di pulau jawa, hal ini dapat dilihat dari
jumlah dan kapasitas TPI yang ada terdapat sekarang. Secara geografis
Kabupaten Serang berada pada kordinat 106˚ 03' 20" - 106˚ 11' 00" Bujur Timur
dan 05˚ 49' 45" - 06˚ 02' 00" Lintang Selatan. Wilayah perairan suatu daerah
34
merupakan suatu aset sumberdaya yang dapat dimanfaatkan bagi sumber
pendapatan penduduk, pendapatan daerah maupun pendapatan negara (sumber
devisa). Sumberdaya perikanan yang ada di wilayah Banten dapat dikategorikan
ke dalam sumberdaya perikanan tangkap yang meliputi budidaya perairan payau,
tawar, dan laut. Menurut catatan statistik perikanan tingkat nasional propinsi
Banten mempunyai hasil produksi dari perikanan sekitar 4,58 juta ton, dimana
sekitar 78,9 % berasal dari sektor penangkapan di laut, 6,6 % dari perairan
umum, 8,1 %dari budidaya air payau, 0,6 % dari karamba, dan 5,8 % dari
budidaya air tawar. Dari data statistik tersebut tampak bahwa potensi perikanan
yang berasal dari budidaya air laut tampak masih relatif kecil.
Gambar 10. Peta Pulau Dua
( Sumber : www.googleearth.com )
35
Keterangan :
O : Daerah pengamatan
Lokasi praktek ini bertempat di Pulau Dua (Pulau Burung) di Teluk
Banten yang ditetapkan sebagai cagar alam tahun 1931 oleh pemerintah
Hindia Belanda. Pulau Dua terlentang di desa Sawah Luhur, Kecamatan
Kasemen, Kabupaten Serang, Provinsi Banten. Memiliki luas 9,38 Ha.
Menurut masyarakat setempat, dahulu Pulau Dua tidak menyatu dengan pulau
Jawa yang disebabkan sedimentasi, pulau tersebut saat ini telah menyatu
dengan Pulau Jawa, Pulau ini berbatasan dengan,
Utara : Teluk Banten
Selatan : Kawasan Tambak Masyarakat
Timur : Teluk Banten
Barat : Teluk Banten
Letak geografis : 106º11’26”-106º 11’ 44” BT dan 06º 00’ 23”-06º01’ 07” LS
Tofografi : Relatif datar 0-4 m diatas permukaan laut.
36
5. Hasil dan Pembahasan
5.1 Kondisi Ekosistem Mangrove
Berdasarkan dari hasil pengamatan mangrove di lokasi praktek telah
ditemukan 6 (enam) jenis vegetasi mangrove di Pulau Dua, Teluk Banten. Jenis
vegetasi mangrove yang ditemukan dalam pengamatan yaitu jenis Avicennia
lanata, Rhizophora apiculata, Bruguiera excaristata, Rhizopora mucronata,
Avicenia marina, Rhizopora stylosa.
Gambar 11. Kondisi Ekosistem Mangrove, Pulau Dua
5.2 Analisa Jenis Vegetasi Mangrove
5.2.1. Analisa Jenis Vegetasi Mangrove Pada Tingkat Pohon
Dari hasil pengamatan yang telah dilaksanakan di Pulau Dua Teluk Banten
terdapat 3 (tiga) jenis mangrove yaitu, Avicenia lanata,, Rhizophora apiculata, ,
Bruguiera excaristata dari jenis mangrove yang tumbuh di pulau dua yang paling
dominan adalah Avicennia lanata dan Rizophora apiculata. Selain itu terdapat
37
keberadaan mangrove ikutan yang terdapat dalam plot antara lain adalah jenis
Pohon Waru Laut (Thespesia popunema).
.Tabel 5. Jumlah Tegakan Mangrove pada tingkat Pohon
No Jenis Mangrove Jumlah Tegakan (batang)
1 Avicenia lanata 24
2 Avicenia marina 1
3 Rhizopora apiculata 10
4 Rhizopora mucronata 4
5 Bruguiera excaristata 2
Dari tabel di atas menunjukan bahwa jenis vegetasi mangrove pada
tingkat pohon yaitu jenis Avicenia lanata dengan jumlah sebanyak 24 tegakan
pohon, jenis vegetasi mangrove Avicennia marina dengan jumlah sebanyak 1
tegakan pohon, jenis Rhizopora apiculata dengan jumlah sebanyak 10 tegakan
pohon, Rhizopora mucronata dengan jumlah sebanayak 4 tegakan pohon dan
Bruguirea excaristata dengan jumlah sebanayak 2 tegakan pohon. Berdasarkan
dari hasil pengamatan untuk jenis vegetasi mangrove pada tingkat pohon yang
paling banyak di temukan adalah jenis Avicenia lanata dan Rhizophora
apiculata.
Hasil analisa untuk kerapatan relatif jenis (RDi) dapat dilihat pada
lampiran, terlihat bahwa Persentase kerapatan relatif dari vegetasi mangrove
tersebut, yaitu Avicennia lanata 58,50 %, Avicenia marina 2,40 %, dan
38
Rhizophora apiculata 24,38 %, Rhizopora mucronata 9,75% dan Bruguirea
excaristata 4,87%
Diagram 1. Persentase Kerapatan Relatif Jenis (RDi) Tingkat Pohon
Untuk hasil analisa frekuensi relatif jenis (RFi) pada tingkat pohon
Persentase frekuensi relatif jenis (RFi) yang dapat dilihat pada Gambar 6, yaitu
sebagai berikut, untuk jenis Avicennia lanata adalah 60,25 %, Avicenia marina
3,04%, Rhizopora apiculata 24,45 %, Rhizophora mucronata 6,81 %. Dan
Burguera excrasta 5,45%
Diagram 2. Diagram Persentase Frekuensi Relatif Jenis (RFi) Tingkat Pohon
Hasil analisa Penutupan jenis (Ci) pada tingkat pohon dari keseluruhan
plot dapat dilihat pada Lampiran, diketahui luas tutupan vegetasi mangrove di
39
lokasi pengamatan yaitu untuk Avicennia lanata dengan luas tutupan 430,97
m²/ha, Avicenia marina dengan luas tutupan 13,73 m²/ha, Rhizopora apiculata
dengan luas tutupan 118,7 m²/ha, Bruguiera excaristata dengan luas tutupan
66,77 m²/ha dan Rhizopora mucronata 96,53 m²/ha dengan luas tutupan.
Diagram 3. Persentase Penutupan Relatif Jenis (RCi) Tingkat Pohon
Berdasarkan Gambar diatas, menunjukkan bahwa jenis yang paling besar
persentasenya adalah Avicenia lanata sebesar 59,31 % atau 430,97 m²/ha. Jenis
mangrove Avicenia marina merupakan jenis yang paling kecil dengan persentase
hanya sebesar 1,89 % atau 13,73 m²/ha.
5.2.2. Analisa Jenis Vegetasi Mangrove Pada Tingkat Tiang
Hasil analisa jenis vegetasi mangrove pada tingkat tiang yang terdapat di
Pulau Dua, Teluk Banten dapat diketahui dari pengamatan dengan jumlah dari
keseluruhan plot yang berjumlah 30 plot.
Tabel 6. Jumlah tegakan jenis mangrove pada tingkat Tiang
No Jenis Mangrove Jumlah Tegakan (batang)
1 Avicennia lanata 61 pohon
2 Rhizophora apiculata 34 pohon
3 Rhizopora muncronata 3 pohon
40
4 Combretaceae lumnitzera racemosa 1 pohon
5 Avicenia marina 33 pohon
Dari Tabel di atas menunjukan bahwa jenis mangrove pada tingkat tiang
yaitu jenis mangrove Avicenia lanata dengan jumlah 61 tegakan tiang, jenis
mangrove Rhizopora apiculata dengan jumlah sebanyak 34 tegakan tiang, jenis
mangrove Avicennia marina dengan jumlah 33 tegakan tiang, jenis mangrove
Rhizophora mucronata dengan jumlah sebanyak 3 tegakan tiang. Selain itu
terdapat pula jenis mangrove ikutan yaitu Combretaceae lumnitzera racemosa
sebanyak 1 tegakan tiang.
Hasil analisa kerapatan relatif jenis (RDi) pada tingkat tiang dapat dilihat
pada Lampiran, dan Gambar terlihat bahwa yang paling dominan adalah
Avicenia lanata sebesar 41,78 %, Rhizopora apiculata sebesar 23,29 %,
Combretacea lumnitzera racemosa sebesar 0,68 %, Avicenia marina sebesar
22,60 % Rhizopora Styllosa sebesar 9,59 %, Rhizopora mucronata 2,05 %
Diagram 4. Persentase Kerapatan Relatif Jenis (RDi) Tingkat Tiang
41
Untuk hasil analisa frekuensi relatif jenis (RFi) pada tingkat pohon
Persentase frekuensi relatif jenis (RFi) yang dapat dilihat pada Gambar , yaitu
sebagai berikut, untuk jenis Avicennia lanata adalah 41,77 %, Avicenia marina
3,04%, Rhizopora apiculata 23,25 %, Rhizophora mucronata 2,06%, Rhizopora
Styllosa 9,67 % dan Combretaceae lumnitzera racemosa 0,62 %
Diagram 5. Diagram Persentase Frekuensi Relatif Jenis (RFi) Tingkat Tiang
Berdasarkan dari hasil analisa vegetasi mangrove tentang penutupan jenis
(Ci) pada tingkat anakan dapat dilihat pada Lampiran, yaitu diketahui untuk
Rhizophora mucronata dengan luas tutupan 25,10 m²/ha, Rhizopora stylosa
dengan luas tutupan 84,47 m²/ha, Rhizophora apiculata dengan luas tutupan
227,23m²/ha, Avicennia lanata dengan luas tutupan 381,37m²/ha Avicennia
marina dengan luas tutupan 207,97m²/ha dan Combretaceae lumnitzera
racemosa dengan luas tutupan 6,63 m²/ha.
Diagram 6. Diagram Persentase Penutupan Relatif Jenis Tingkat Tiang.
42
5.2.3. Analisa Jenis mangrove Pada Tingkat Pancang
Hasil analisa mengenai jenis vegetasi mangrove pada tingkat Pancang yang
terdapat di lokasi pengamatan dari keseluruhan plot yang berjumlah sebanyak 30
plot dapat dilihat pada Tabel 7 di bawah ini :
No JenisJumlah tegakan (pancang)
1 Avicennia lanata 30 pohon
2 Rhizopora apiculata 7 pohon
3 Bruguiera. Excaristata 3 pohon
4 Rhizopora muncronata 4 pohon
5 Rumbiaceae seghipora hylrophyllaceae 5 pohon
Pada Tabel 6 diatas menunjukkan jenis vegetasi mangrove pada tingkat
pancang adalah Avicenia lanata sebanyak 30 tegakan pancang, Rhizopora
apiculata sebanyak 7 tegakan pancang, Bruguiera excaristata sebanyak 3
tegakan pancang Rhizopora mucronata sebanyak 4 tegakan pancang dan
Rumbiaceae seghipora hylrophyllaceae sebanyak 5 tegakan pancang. Jenis
vegetasi mangrove pada tingkat pancang yang paling banyak ditemukan pada
keseluruhan plot pada tingkat pancang adalah Avicenia lanata.
43
Diagram 7. Diagram Kerapatan Relatif Jenis (RDi) Tingkat Pancang
Dari Gambar 7 di atas bahwa hasil analisa kerapatan relatif jenis (RDi)
tingkat pancang dapat diihat pada Lampiran, dapat diperoleh persentase
kerapatan relatif dari jenis vegetasi mangrove tersebut yaitu untuk Rhizophora
Mucronata 8,16 %, Avicennia lanata 61,22 %, Rhizopora apiculata 14,28 %,
Bruguiera excaristata 6,12 % dan Rumbiaceae seghipora hylrophyllaceae 10,21
% , Sehingga yang paling dominan adalah jenis Avicenia lanata dengan jumlah
61,22 % dan yang paling kecil persentasenya adalah jenis Bruguiera excaristata
dengan jumlah 6,12 % dari jumlah Keseluruhan kerapatan relatif jenis yaitu 100
%.
Untuk hasil analisa frekuensi relatif jenis mangrove (RFi) pada tingkat
pancang dapat dilihat pada Lampiran, dan diperoleh hasil persentasenya yaitu
untuk jenis vegetasi mangrove Rhizophora mucronata adalah sebesar 7,98 %,
Avicenia lanata sebesar 61,35 %, Bruguiera excaristata sebesar 6,13 %
Rhizopora apiculata sebesar 14,11 %, dan untuk jenis Rumbiaceae seghipora
hylrophyllaceae sebesar 10,23 %
44
Diagram 8. Diagram Persentase Frekuensi Relatif Jenis (RFi) Tingkat pancang
Berdasarkan dari hasil analisa vegetasi mangrove tentang penutupan jenis
(Ci) pada tingkat anakan dapat dilihat pada Lampiran, yaitu diketahui untuk
Avicenia lanata dengan luas tutupan 35,43 m²/ha, Rhizopora mucronata dengan
luas tutupan 2,23 m²/ha, Rhizophora apiculata dengan luas tutupan 9,23 m²/ha,
Bruguiera excaristata dengan luas tutupan 3,53 m2/ha dan Rumbiaceae seghipora
hylrophyllaceae dengan luas tutupan 4,23 m²/ha
Diagram 9. Diagram Persentase Penutupan Relatif Jenis Tingkat Pancang
5.2.4. Analisa Jenis mangrove Pada Tingkat Semai
Hasil analisa mengenai jenis vegetasi mangrove pada tingkat semai yang
terdapat di lokasi pengamatan dari keseluruhan plot yang berjumlah sebanyak 30
plot dapat dilihat pada Tabel 8 di bawah ini
45
No Jenis Jumlah Tegakan Semai
1 Avicennia lanata 231 pohon
2 Rhizopora apiculata 73 pohon
3 Bruguiera. Excaristata 2 pohon
4 Rhizopora muncronata 5 pohon
Pada Tabel 7 diatas menunjukkan jenis vegetasi mangrove pada
tingkat semai adalah Rhizophora mucronata sebanyak 5 tegakan semai,
Rhizopora apiculata sebanyak 73 tegakan semai, Avicenia lanata sebanyak 231
tegakan semai dan Bruguiera excaristat sebanyak 2 tegakan semai. Jenis vegetasi
mangrove pada tingkat semai yang paling banyak ditemukan pada keseluruhan
plot pada tingkat semai adalah Avicenia lanata.
Diagram 10.. Diagram Kerapatan Relatif Jenis (RDi) Tingkat Semai
Dari Gambar di atas bahwa hasil analisa kerapatan relatif jenis (RDi)
tingkat semai dapat diihat pada Lampiran, dapat diperoleh persentase kerapatan
relatif dari jenis vegetasi mangrove tersebut yaitu untuk Avicenia lanata 74,28 %,
Rhizopora apiculata 23,47 %, Rhizopora mucronata 18,33 % dan jenis Bruguiera
excaristata 0,64 %, Sehingga yang paling dominan adalah jenis Avicenia lanata
dengan jumlah 74,28 % dan yang paling kecil persentasenya adalah jenis
46
Bruguiera excaristata 0,64 % dari jumlah Keseluruhan kerapatan relatif jenis
yaitu 100 %.
Untuk hasil analisa frekuensi relatif jenis mangrove (RFi) pada tingkat
semai dapat dilihat pada Lampiran, dan diperoleh hasil persentasenya yaitu untuk
jenis vegetasi mangrove Avicenia lanata adalah sebesar 74,25 %, Rhizopora
apiculata sebesar 23,43 %, Rhizopora mucronata sebesar 1,64 % dan untuk jenis
Bruguiera excaristata sebesar 0,68.
Diagram 11.Persentase Frekuensi Relatif Jenis (RFi) Tingkat Semai
5.2.5. Perhitungan Indeks nilai penting jenis (IVi)
5.2.5.1 Indeks Nilai Penting Jenis (IVi) Tingkat Pohon
Hasil analisa tentang kerapatan relative jenis (RDi), frekuensi relative
jenis (RFi) dan penutupan relative jenis (RCi) diperoleh nilai penting suatu jenis
mangrove yang terdapat di Pulau Dua, Teluk Banten Pada tingkat pohon untuk
jenis vegetasi mangrove yang di temukan paling penting peranannya di lokasi
pengamatan adalah Avicenia lanata dengan Indeks nilai penting (IVi) yaitu
sebesar 164,65 %, untuk Rhizopora apiculata dengan indeks nilai penting (IVi)
yaitu sebesar 38,59 %, Indeks nilai penting pada Bruguiera excaristata yaitu
sebesar 22,35 % , Indeks nilai penting pada Avicenia marina yaitu sebesar
47
22,34%, dan indeks nilai penting pada Rhizopora mucronata yaitu sebesar 30,63
% . Dengan demikian Jenis vegetasi mangrove pada tingkat pohon dengan Indeks
nilai penting (IVi) yang paling besar peranannya adalah Avicenia lanata
sedangkan nilai penting yang paling sedikit adalah Avicennia marina.
5.2.5.2 Indeks Nilai Penting Jenis (IVi) Tingkat Tiang
Hasil analisa tentang kerapatan relative jenis, frekuensi relative jenis dan
penutupan relatif jenis diperoleh nilai penting suatu jenis mangrove yang terdapat
di lokasi pengamatan menunjukan bahwa jenis Avicenia lanata dengan nilai
penting (IVi) sebesar 124,43 %, jenis Rhizopora apiculata dengan nilai penting
(IVi) sebesar 70,9 %, jenis Rhizophora mucronata dengan nilai penting (IVi)
sebesar 6,8 %, jenis Combretaceae lumnitzera racemosa dengan nilai penting
(IVi) Sebesar 2,01 % %, jenis avicenia marina dengan nilai penting (IVi) sebesar
67,52 %, jenis Rhizopora stylossa dengan nilai penting (IVi) sebesar 28,32 % dan
oleh karena itu jenis vegetasi mangrove yang paling besar persentasenya pada
Indeks nilai penting (IVi) adalah Avicenia lanata sedangkan Indeks nilai penting
(IVi) yang paling kecil jumlah persentasenya adalah jenis Combretaceae
lumnitzera racemosa.
5.2.5.3 Indeks Nilai Penting Jenis (IVi) Tingkat Pancang
Hasil analisa tentang kerapatan relative jenis, frekuensi relative jenis dan
penutupan relatif jenis diperoleh nilai penting suatu jenis mangrove yang terdapat
di lokasi pengamatan menunjukan bahwa jenis Avicenia lanata dengan nilai
penting (IVi) sebesar 187,35 %, jenis Rhizopora apiculata dengan nilai penting
48
(IVi) sebesar 45,27 %, jenis Rhizophora mucronata dengan nilai penting (IVi)
sebesar 20,22 %, jenis Rumbiaceae seghipora hylrophyllaceae dengan nilai
penting (IVi) Sebesar 28,45 %, dan jenis Bruguiera excaristata dengan nilai
penting (IVi) sebesar 18,07 % oleh karena itu jenis vegetasi mangrove yang
paling besar persentasenya pada Indeks nilai penting (IVi) adalah Avicenia lanata
sedangkan Indeks nilai penting (IVi) yang paling kecil jumlah persentasenya
adalah jenis Bruguiera excaristata.
5.2.5.4 Analisa Tentang Indek Keragaman dan Keseragaman
Pengamatan mangrove di pulau dua memberikan gamabran nilai dari indek
keragaman dan keseragaman, seperti pada Tabel 6 di bawah ini :
a. Keragaman
Tabel 9 . Indek Keragaman
No Jenis Batang Pi Pi² log Pi PilogPi
1 Avicennia lanata 346 0.637 0.405769 -0.196 -0.124852
2 Rhizophora apiculata 51 0.092 0.008464 -1.036 -0.095312
3 Rhizopora muncronata 8 0.014 0.000196 -1.854 -0.025956
4 Combretaceae lumnitzera racemosa 1 0.001 0.000001 -3 -0.003
5 Rumbiaceae seghipora hylrophyllaceae 5 0.009 0.000081 -2.046 -0.018414
6 Bruguiera. Exacirstata 8 0.014 0.000196 -1.854 -0.025956
7 Avicenia marina 34 0.062 0.003844 -1.208 -0.074896
8 Rhizopora styllosa 95 0.175 0.030625 -0.757 -0.132475
Jumlah 548 -0.500861
a. Indeks Keragaman
Nilai indek keragaman adalah 0.500861, angka
ini dapat mengambarkan bahwa keanekaragaman
49
H' = -∑Pi log Pi
= 0.500861
dari komunitas mangrove di pulau Dua tidak stabil dengan sebutan tidak mantap
atau sangat buruk. Hal ini dapat diartikan bahwa jenis mangrove di Pulau Dua
tidak sebanyak jumlah komunitas yang ada di pulau tersebut. Keragaman jenis
mangrove masih sangat rendah sehingga jumlah setiap individu cukup tinggi.
b. Keseragaman
H max = Log x
log 10 =1
= 0,500861
0,903
= 0,55466
Nilai indek keseragaman untuk analisa ini adalah 0.55466,
menggambarkan bahwa keseragaman komunitas tinggi. Nilai dari indek
keseragaman ini memiliki arti bahwa individu menyebar secara merata, dalam
komunitas ada dominasi spesies dan tekanan ekologis pada ekosistem.
6. Kesimpulan dan Saran
6.1 Kesimpulan
50
1. Vegetasi mangrove di Pulau Dua (Pulau Burung) terdapat 6 (enam)
jenis yaitu Avicennia marina, A. Lanata, Rhizophora apiculata, R.
Sytolosa, R. mucronata dan, Bruguiera excaristata, sedangkan jenis
mangrove ikutan adalah Combretacea lumnitzera racemosa dan
Rumbiacea seghipora hylrhopillaceae
2. Vegetasi mangrove di amati didominasi oleh Avicennia lanata
dengan persentase Indek Nilai Penting (INP) untuk kategori pohon
adalah sebesar 164,65% untuk kategori tiang adalah sebesar 124,43 %
dan untuk kategori pancang adalah sebesar 187,35 %
3. Hasil perhitungan Indek Keragaman di peroleh sebesar 0,500861,
angka tersebut menunjukan angka indek bernilai rendah.
4. Indek Keseragaman di peroleh sebesar 0,55466, angka tersebut
menunjukan angka indek bernilai tinggi.
6.2 Saran
1. Penyuluhan kepada masyarakat sekitar Pulau Dua agar dapat
memberikan informasi tentang pentingnya ekosistem mangrove bagi
kehidupan masyarakat.
2. Pengawasan oleh Pemerintah Daerah setempat terhadap Pulau Dua
agar tidak terjadi pemanfaatan yang berlebihan pada ekosistem
mangrove.
7. Daftar Pustaka
51
Abdullah Achmad, 1990. Rasionalisasi Pemanfaatan Ekosistem Mangrove Dipandang Dari Sudut Konservasi. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam. Bogor.
Arief Ahmad J, Soehardjono, 1990. Usaha Konservasi Hutan Bakau Di Batu Ampar, Kalimantan Barat : Suatu Tinjauan Ekologis. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam. Bogor.
Bratamihardja Muljadi, 1990. Pengelolaan Hutan Payau Di Pantai Utara Pulau Jawa. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam. Bogor.
Bengen Dietriech G, DEA, 2001. Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL). Bogor.
Effendi Hefni, 2003. Telaah Kualitas Air. Kanisius. Jakarta.
Effendi Riskan, 1990. Suatu Pemikiran Pemeliharaan Permudaan Alam Hutan Mangrove Untuk Meningkatkan Mutu Areal Bekas Tebangan. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam. Bogor.
I Yuliarsana Nyoman, 2002. Mengenal Karakteristik Beberapa Jenis Mangrove Kelompok Utama. Departemen Kehutanan Jakarta. Jakarta.
Indiarto Yun, Suhardjono, Mulyadi, 1990. Pola Variasi Produksi Serasah Hutan Mangrove Pulau Dua, Jawa Barat. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam. Bogor.
Irawan Bambang, 1990. Prospek Pengembangan Hutan Mangrove Dengan Azas Pelestarian Di Provinsi Lampung. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam. Bogor.
Irwanto, 2006. Keanekaragaman Fauna pada Habitat Mangrove. Yogyakarta
Kabinawa I Nyoman K, 1990. Struktur Dan Kelimpahan Perifiton Perairan Mangrove Ciparage. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam. Bogor.
52
Khairijon, 1990. Produksi Dan Laju Dekomposisi Serahan Di Hutan Bakau Hasil Reboisasi Yang Berbeda Kelas Umurnya. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam. Bogor.
K. M. Grufran H Kordi, 2005. Pengelolaan Kualitas Air. Rineka Cipta. Jakarta.
Murdiyanto Bambang, 2004. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Pantai. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. Jakarta.
Naamin Nurzali, 1990. Penggunaan lahan Mangrove Untuk Budidaya Tambak. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam. Bogor.
Noor Alfian, 1990. Pemulihan Ekosistem Mangrove Sesudah Pencemaran Minyak Bumi : Eksperimen In Situ. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam. Bogor.
Noor Yus Rusila, M. Khazali, I N. N. Suryadiputra, 1999. Panduan Pengenalan Mangrove Di Indonesia. Wetlands Internasional. Bogor.
Nugroho Sutopo Ghani,1990. “ Coupled Ecosystem Silvo-Fishery” Bentuk Pengelolaan Hutan Mangrove-Tambak Yang Saling Mendukung dan Melindungi. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam. Bogor.
Onrizal, 2007. Pengenalan Vegetasi Mangrove. Departemen Kehutanan. Universitas Sumatera Utara.
Prosiding, 2006. Lokakarya Pengembangan Kelembagaan Mangrove. Departemen Kehutanan, Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial. Jakarta.
Rachmad Basuki, 2009. Jenis dan Komposisi Mangrove Serta Pengamatan Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhannya. Sekolah Tinggi Perikanan. Jakarta.
Setiadi Agus, 1990. Pengaruh Hutan Bakau Terhadap Sedimentasi Di Pantai Teluk Jakarta. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam. Bogor.
53
Simbolon Marham, 1990. Sumber Daya Hutan Mangrove Menjelang Tahun 2000. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam. Bogor.
Siswanto W,1997. Buku Petunjuk Kawasan Konservasi Di DKI Kehutanan Kantor Wilayah Jakarta. Jakarta.
Soedharma Dedi, Safwan Hadi, Bambang Widyanto, 1990. Pola Dinamika Massa Air dan Kaitannya Dengan Pengelolaan Mangrove Di teluk Lampung. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam. Bogor.
Soerojo, Sukristijono Sukardjo, 1990. Struktur Dan Komposisi Hutan Mangrove Di Grajagan, Banyuwangi. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam. Bogor.
Soeroyo, S. Soemodihardjo, 1990. Tumbuhan Gulma dan Semai Alami Di Hutan Mangrove Segera Anakan, Cilacap. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam. Bogor.
Suko Oliva, Atsuo Ida, Hideki Hachinohe, 1999. Manual Persemaian Mangrove di Bali. Departemen Kehutanan dan Perkebunan Republik Indonesia and Japan International Cooperation Agency. Kuta, bali.
Taniguchi Keisuke, Shinji Takashima, Oliva Suka, 1999. Manual Silvikultur Mangrove. Departemen Kehutanan dan Perkebunan Republik Indonesia. Jakarta.
Warta Konservasi Lahan Basah, 2005. Hutan Mangrove Selamatkan Masyarakat Pesisir Utara Nias Dari Tsunami. Wetlands Internasional. Bogor.
Wartaputra Sutisna, 1990. Kebijakan Pengelolaan Mangrove Ditinjau Dari Sudut Konservasi. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam. Bogor.
, 2000. Inventarisasi dan Pengkajian Potensi Mangrove Menggunakan Teknologi Pengindraan Jauh. Proyek Pengembangan dan Penerapan Iptek Kelautan P30 LIPI. Jakarta.
54
, ….... Modul Pendidikan Lingkungan Mangrove. JICA LPP Mangrove Indonesia. Jakarta.
55