Studi Pendidikan Agama Kristen terhadap Pendidikan Pemuda ......bagian yaitu bagian pertama teori...
Transcript of Studi Pendidikan Agama Kristen terhadap Pendidikan Pemuda ......bagian yaitu bagian pertama teori...
STUDI PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN TERHADAP PENDIDIKAN PEMUDA DI
JEMAAT GKI SALATIGA
Oleh,
Denny Irawan
NIM: 712011005
TUGAS AKHIR
Diajukan kepada Program Studi Ilmu Teologi, Fakultas Teologi guna memenuhi sebagian
dari persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Sains Teologi
(S.Si Teol)
PROGRAM STUDI ILMU TEOLOGI
FAKULTAS TEOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2016
1
STUDI PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN TERHADAP PENDIDIKAN PEMUDA DI
JEMAAT GKI SALATIGA
Abstrak
Pendidikan Agama Kristen pada pemuda di GKI Salatiga mengalami fakum atau tidak berjalan selama
kurang lebih 4 tahun dan kembali berjalan adanya komisi pemuda dua tahun belakangan ini. Oleh karena
itu, dengan melihat adanya permasalahan ini maka, tujuan dari penelitian ini untuk mengkaji bagaimana
pendidikan pemuda di GKI Salatiga, terutama peran gereja dalam menyikapi masalah ini dengan
mengedepankan pemuda sebagai bagian yang intergral dari jemaat. Metode penelitian yang digunakan
yakni deskriptif dengan pendekatan kualitatif dengan menggali dan menggambarkan Pendidikan
Agama Kristen di gereja khususnya pemuda di GKI Salatiga. Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa gereja dalam hal Pendidikan Agama Kristen masih kurang memberikan perhatian yang khusus
kepada para pemuda. Gereja GKI Salatiga hanya mengontrol dan memberikan dana. Karena pendidikan
pemuda sepenuhnya dipercayakan dan diserahkan tanggungjawabnya kepada pengurus komisi pemuda
saja. Kata Kunci: Pemuda, GKI Salatiga, Pendidikan Agama Kristen.
1. PENDAHULUAN
Istilah Gereja berasal dari kata Yunani ekklesia yang berarti “mereka yang dipanggil,” yang
pertama kali dipanggil oleh Yesus adalah para murid.1 Setelah Yesus naik ke sorga melalui
peristiwa pencurahan Roh kudus pada hari Pentakosta para murid menjadi rasul artinya mereka
yang diutus mengabarkan berita kesukaan.2 Wujud Gereja adalah persekutuan dengan Kristus,
persekutuan itu berarti juga persekutuan dengan manusia lain. Paulus mengumpamakan
hubungan Kristus dan seorang dengan yang lainya sebagai Tubuh Kristus (1 Korintus 12 : 12,
Efesus 4: 15, Kolose 1 : 18).3
Berkaitan dengan Tubuh Kristus sebagai satu anggota, gereja dipandang secara organisme
berfungsi sebagai tempat jemaat berkumpul dan beribadah guna mengekspresikan persekutuan
bersama dengan Kristus. Persekutuan dalam Kristus dalam hal ini mampu melihat persekutuan
dengan manusia–manusia lain. Gereja menjadi tempat utama bagi orang–orang yang dipanggil
berhimpun oleh Allah. Gereja bukannya suatu organisasi orang–orang yang hendak mendirikan
1 Thomas van Den End, Harta dalam Bejana, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2007), 1-2.
2 Van Den End, Harta dalam Bejana, 1-2.
3 H. Berkhof. & I.H. Enklaar, Sejarah Gereja, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1985), vii – viii.
2
suatu perkumpulan guna suatu tujuan tertentu, melainkan orang–orang itu dipanggil berkumpul
oleh Allah sendiri (Roma 9 : 24; Efesus 4 :1; 2 Timotius 1 : 9).4
Sebuah gereja didalamnya terdapat Majelis jemaat. Majelis dibagi menjadi pendeta, penatua
dan diaken, Gereja juga memiliki bidang–bidang kategorial yang merupakan bagian dari
organisasi gereja yang dibagi dalam beberapa aspek pelayanan. Hal ini bertujuan agar
memberikan pelayanan yang dapat menjangkau setiap umat berdasarkan usia dan pergumulan
imannya melalui peran dan fungsi yang dijalankan tiap–tiap orang yang merupakan bagian dari
gereja itu sendiri dan hal ini berlaku umum juga dalam gereja-gereja besar di Indonesia seperti
GKI Salatiga.5
Secara lebih khusus pembagian bidang kategorial di GKI Salatiga adalah sebagai berikut:
sekolah minggu (anak), Komisi Remaja, Komisi Muda (Soda Gembira), Komisi Dewasa, Komisi
Lansia (Lanjut Usia). Pelayanan yang gereja berikan telah terprogram dalam semua bidang
kategorial tersebut, dan bukan hanya dilaksanakan oleh Majelis Jemaat saja tapi juga oleh warga
jemaat secara langsung maupun tidak langsung. Peranan jemaat terhadap gereja sangatlah
penting. Selain membantu pendeta, jemaat juga melayani sesama dalam pelayanan di dalam
Gereja. Oleh karena itu pemuda dalam gereja juga merupakan salah satu bagian yang berperan
didalam kehidupan berjemaat di GKI Salatiga.
Pemuda dianggap sebagai bagian integral gereja karena mereka mempunyai peran yakni
dengan memperbaharui bagian–bagian dianggap sudah tidak berlaku di dalam gereja.6 Meskipun
peran pemuda penting dalam kelangsungan GKI Salatiga, namun yang terjadi Pendidikan Agama
Kristen bagi pemuda secara khusus masih kurang diperhatikan. Contohnya, persekutuan
(koinonia) yang kurang efektif.7 Hal ini disebabkan karena kegiatan beribadah pemuda GKI
Salatiga yang hanya monoton dengan setiap tema-tema ibadah yang diberikan setiap minggunya.
Sehingga pemuda tidak bisa mengembangkan pemahaman maupun pendalaman tentang Alkitab
yang berdasarkan pengalaman atau refleksi pribadi mereka dan kurang mendalami aspek kognitif
(nalar) dan aspek afektif (perasaan). Jadi sangat dibutuhkan Pendidikan Agama Kristen
4 Harun Hadiwijono,Iman Kristen,(Jakarta:BPK Gunung Mulia,1984), 371.
5 Suharto Prodjowijono, Manajemen Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008), 9. Bandingkan juga,
Edgar Walz, Bagaimana Mengelola Gereja Anda?, (Jakarta: BPK Gununga Mulia,2001), 7. 6 Homrighausen E. G & I.H Enklaar, Pendidikan agama Kristen, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1984),155.
7 Berdasarkan Wawancara dan diskusi dengan pengurus pemuda GKI Salatiga, Juli 2015.
3
khususnya bagi pemuda di gereja guna mengembangkan karakter maupun pemahaman-
pemahaman iman yang kompherensif guna menunjang pelayanan kategorial pemuda.
Pendidikan Agama Kristen bagi pemuda mempunyai tujuan untuk membimbing individu–
individu pada semua tingkat perkembanganya dengan cara pendidikan yang kontemporer menuju
pengalaman akan tujuan serta rencana Allah dalam Kristus melalui setiap aspek kehidupan.8
dengan tujuan membimbing individu pada semua tingkat perkembangan maka pendidikan agama
kristen dibutuhkan. Apalagi dari segi kuantitas, jumlah pemuda di GKI Salatiga cukup banyak.
Data dari gereja menunjukkan bahwa para pemuda berjumlah 430 orang yang terdiri dari berbagi
etnis.9 Hal ini kemudian menjadi tanggungjawab gereja dalam menjalankan fungsi
pembimbingan karena secara konkrit kelangsungan GKI Salatiga ke depannya berkaitan erat
dengan peran dan tanggung jawab pemuda10
dalam menghidupi tritugas panggilan gereja dalam
pelayanan kategorial pemuda saat ini maupun kedepannya11
dan dalam pelayanan dibidang
kategorial lainya.
Berdasarkan permasalahan tersebut maka rumusan masalahnya adalah bagaimana pendidikan
pemuda di jemaat GKI Salatiga ditinjau dari perspektif Pendidikan Agama Kristen?. 12
Karena
ternyata pelayanan kategorial khususnya komisi pemuda GKI Salatiga belum memiliki
kurikulum yang kontekstual, sedangkan peran gereja dalam hal ini Majelis jemaat hanya sebatas
memberi dana, dan sepenuhnya memberikan tanggungjawab kepada pengurus komisi pemuda.
Karena kurikulum gereja yang kontekstual adalah kebutuhan yang mendesak.13
Tujuan
penelitiannya, untuk mendeskripsikan pendidikan kategorial pemuda di jemaat GKI Salatiga,
ditinjau dari perspektif Pendidikan Agama Kristen. Manfaatnya Secara khusus bagi gereja yakni
pertama, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran terhadap GKI
Salatiga dalam menyikapi masalah gereja dengan mengedepankan pemuda sebagai tulang
punggung generasi di masa yang akan datang. Serta penelitian ini dapat memberikan kontribusi
8 Daniel Nuhamara, Pembimbing PAK Pendidikan Agama Kristen,(Bandung : Jurnal Info Media,2007), 31.
9 Data Jemaat Pemuda GKI Salatiga berdasarkan buku kehidupan GKI Salatiga 2011.
10 Ridwan Max Sijabat, Psikologi Perekembangan, (Jakarta: Erlangga,1980), 246.
11 Nuhamara, Pembimbing PAK, 31.
12 Nuhamara, Pembimbing PAK, 31.
13Junihot M. Simanjuntak, "Implikasi Konsep Dan Desain Kurikulum Dalam Tugas Pembinaan Warga
Jemaat." Jurnal Jaffray 12.2 (2014): 251-272.
4
tentang Pendidikan Agama Kristen untuk pemuda, terutama metode-metode Pendidikan Agama
Kristen yang sesuai dengan pemuda. Kedua, hasil penelitian ini akan bermanfaat bagi mata
kuliah yang berhubungan dengan Pendidikan Agama Kristen, sehingga mahasiswa dapat
memahami pendidikan untuk pemuda dalam mempersiapkan pemuda sebagai generasi penerus
gereja. Ketiga, bagi penulis, hasil penelitian ini akan menjadi tambahan pengetahuan dan bekal
bagi penulis sebagai calon pemimpin gereja.
2. METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan yaitu Deskriptif kualitatif, metode deskriptif kualitatif
adalah metode yang meneliti status kelompok manusia, suatu objek, suatu keadaan, suatu
pemikiran atau kelas peristiwa pada masa sekarang.14
Khususnya perkembangan pemuda di GKI
Salatiga. Metode ini bertujuan untuk menggambarkan secara tepat sifat–sifat suatu individu,
keadaan, gejala, kelompok tertentu, menentukkan frekuensi atau hubungan tertentu antara relasi
pemuda dalam gereja yang terkait dengan Pendidikan Agama Kristen.15
Jenis pendekatan adalah
pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif adalah suatu pendekatan yang berupaya untuk
menggali dan menggambarkan Pendidikan Agama Kristen di gereja khususnya pemuda di GKI
Salatiga.
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini terbagi dalam dua bagian
pertama wawancara. Wawancara dilakukan untuk mendapatkan data primer secara mendalam
dan langsung dengan orang atau pihak yang dapat memberikan informasi. Informan, terdiri dari
Pendeta, Majelis Pendamping, Pengurus Komisi Muda, dan Jemaat (pemuda) GKI Salatiga yang
berjumlah semuanya 12 orang (1 orang pendeta, 1 orang majelis pendamping dan 10 orang dari
komisi pemuda GKI Salatiga. Kedua observasi. Observasi atau pengamatan dan pencatatan yang
sistematis terhadap gejala–gejala yang diteliti khususnya suasana atau keadaan peribadahan dan
kegiatan pemuda di GKI Salatiga. Lebih lanjut Observasi partisipasi juga mendukung
pengambilan data ini yang mana pihak yang melaksanakan observasi yakni observer atau peneliti
terlibat langsung secara aktif dalam dalam kegiatan pemuda di GKI Salatiga.
14
Mohamad Nazir, Metode penelitian (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988), 63. 15
Koentjaraningrat, Metode–Metode penelitian Masyarakat.( Jakarta : Gramedia, 1977), 42.
5
Ketiga dengan menggunakan FGD (Focus Group Discussion). FGD secara sederhana dapat
didefinisikan sebagai suatu diskusi yang dilakukan secara sistematis dan terarah mengenai suatu
isu atau masalah tertentu. FGD sebagai metode penelitian sekunder umumnya digunakan untuk
melengkapi riset yang bersifat kualitatif dan atau sebagai salah satu teknik triangulasi. Dalam
kaitan ini, baik berkedudukan sebagai metode primer atau sekunder, data yang diperoleh dari
FGD adalah data kualitatif.16
Pertimbangannya FGD ini berfokus kepada pemuda GKI Salatiga
berjumlah 10 orang pemuda untuk mendapatkan informasi yang akurat dalam kelompok
peribadahan dan kegiatan pemuda yang dilakukan selama ini berdasarkan hasil diskusi mereka.
Agar dapat memaham dari mereka secara langsung model ibadah pemuda yang relevan dan
kontekstual.
3. SUSUNAN PENULISAN
Agar penulisan ini terarah dan sesuai dengan tujuan yang ditetapkan maka disusunlah
sistematika penulisan yang menjadi rangkaian penulisan dari bagian pertama sampai keempat
yang mempunyai pokok masing–masing, tetapi menjadi satu bagian untuk saling melengkapi.
Bagian pertama, penulis menjelaskan latar belakang permasalahan, rumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, sistematika penulisan. Bagian kedua penulis
akan memaparkan teori-teori yang berkaitan dengan permasalahan ini yang dibagi dalam dua
bagian yaitu bagian pertama teori Pendidikan Agama Kristen dari Thomas Groome, Hope
Antone yang kedua adalah teori Pendidikan Agama Kristen Kategorial Pemuda dari E.G.
Homrighausen dan I.H Enklaar. Bagian ketiga adalah menganalisa dan mengolah data yang
merupakan hasil penelitian. Bagian keempat adalah penutup yang berupa kesimpulan dan saran.
4. PEMUDA DAN PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN
Pada penelitian ini penulis menggunakan teori pemuda dan pendidikan kristen agama kristen
dari E.G Homrigausen dan I.H Ennklaar, karena teori tentang pendidikan agama kristen
kategorial pemuda yang diungkapkan sesuai dengan permalasalahan dan juga digunakan sebagai
16
Irwanto. Focused Group Discussion (FGD): Sebuah Pengantar Praktis. (Jakarta : Yayasan Obor
Indonesia 2006), 1–2.
6
acuan utama untuk menganalisis masalah yang diteliti khususnya dalam memahami Pendidikan
Agama Kristen pemuda di GKI Salatiga dilihat dari sisi Pendidikan Agama Kristen. Pada bagian
ini akan diuraikan pemahaman tentang pemuda dan Pendidikan Agama Kristen dari pemikiran
beberapa tokoh untuk memperkaya penjelasan mengenai pemuda dan Pendidikan Agama Kristen
menurut Homrigausen dan Enklaar.
4.1 Pemuda
Istilah pemuda dalam bahasa Inggrisnya adalah adult kata ini berasal dari bentuk lampau
kata kerja Latin yaitu adultus yang berarti telah tumbuh menjadi kekuatan dan ukuran yang
sempurna atau telah menjadi dewasa.17
Adult sama seperti adolescne–adolescere yang berarti
telah tumbuh menjadi kedewasaan akan tetapi kata adult sampai adultus yang berarti “telah
tumbuh menjadi kekuatan dan ukuran yang sempurna atau telah menjadi dewasa adalah individu
yang telah menyelesaikan pertumbuhanya dan siap menerima kedudukan dalam masyarakat
bersama dengan orang dewasa dini yang lainya”.18
Pada masa ini, pemuda juga mengalami masa
perkembangan, yaitu masa dimana pemuda mempunyai kecenderungan untuk mencoba berbagai
pola kehidupan sesuai dengan perkembangan mereka atau dikenal dengan masa coba-coba.19
Dengan kriteria tersebut maka dapat diklarifikasi bahwa usia pemuda berkisar 19-30 Tahun.
Lebih lanjut sejalan dengan kriteria tersebut, Singgih Gunarsa mengemukakan bahwa
seseorang termasuk atau disebut kaum muda yaitu apabila ia sudah berumur 19-30 tahun. Ia juga
mengemukakan beberapa ciri-ciri perkembangan kaum muda dilihat dari tugas
perkembangannya yaitu:20
pertama,mampu menerima fisiknya, kedua,Memperoleh kebebasan
emosional artinya, ia mampu mengungkapkan pendapat dan perasaannya dengan sikap yang
sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku dalam lingkungan. Ketiga,mampu bergaul artinya, kaum
muda sudah mampu menempatkan diri dalam situasi apapun, baik dengan orang yang sudah tua,
pemuda sebayanya, dan juga kepada anak-anak. Kata lain ia mampu menyesuaikan dalam
memperlihatkan kemampuan bersosialisasi dengan norma yang ada. Keempat,menemukan model
atau identifikasi artinya, menjadikan seseorang tokoh sebagai contoh bagi dirinya. Apa yang
17
Gould R, Adult Life Stages: Growth Toward Self-tolerance, (Psychology Today, 1975), 24. 18
Elizabeth B.Hurlcok, Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan,
(Jakarta: Erlangga,1980), 246. 19
Ridwan Max Sijabat, Psikologi Perkembangan (Jakarta: Erlangga,1980), 246. 20
Singgih Gunarsa, Psikologi Pemuda dan Keluarga (Jakarta: BPK GM, 2002), 126.
7
berkenan baik bagi dirinya ataupun di hatinya tentang sikap dan tindakan tokoh tersebut akan
ditiru.21
Perkembangan yang dialami oleh pemuda dari sisi psikologi dapat dipahami dari
perkembangan segi moral mereka. Oleh karenanya secara ringkas Kohlberg yang diungkapkan
dalam karyanya Atmadja Hadinoto didalam bukunya dialog dan edukasi membaginya dalam tiga
tahap perkembangan moral manusia;22
a. Tahap pre-konvensional
Tahap ini disebut juga dengan tahap ketaatan dan hukuman artinya, sesuatu tindakan menurut
aturan dianggap baik dan tidak menimbulkan kesakitan.
b. Tahap konvensional
Pada tahap konvensional ini, anak akan semakin sadar akan tuntutan pihak luar seperti
keluarga, masyarakat, dan juga pemerintah. Kesadaran akan adanya orang lain yang
mendorong mereka menyesuaikan diri dengan orang-orang disekitarnya.
c. Tahap pasca-konvensional
Seseorang yang telah mencapai puncak ini, mulai menghargai nilai-nilai yang ada. Pada
tahap ini prinsip moral seorang berpusat pada nilai-nilai yang lebih tinggi.
Dengan demikian berdasarkan 3 kategori tersebut pemuda dapat dikategorikan masuk dalam
tahap pasca konvesional, yakni mulai menghargai nilai-nilai yang ada. Pada tahap ini prinsip
moral seorang berpusat pada nilai-nilai yang lebih tinggi dan pemuda telah melakukan hal itu.
Selain perkembangan moral yang telah dipaparkan di atas, perkembangan iman pemuda
sangat penting untuk dilihat. Atmadja Hadinoto mengemukakan beberapa tahap-tahap
perkembangan iman yakni:23
a. Tahap iman umur 18-23 tahun
Ciri-ciri yang tampak pada tahap ini adalah bahwa kaum muda itu sudah mampu membangun
pelayanannya sendiri.
b. Tahap iman 23-28 tahun
Tahap ini merupakan tahap moderat, tidak emosional. Artinya individu seseorang muncul
sebagai pribadi yang bertanggung-jawab.
21 Gunarsa, Psikologi Pemuda dan Keluarga, 126. 22
N.K. Atmadja Hadinoto, Dialog dan Edukasi (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001), 223. 23
Hadinoto, Dialog dan Edukasi, 234.
8
c. Tahap iman 28-35 tahun
Pada tahap ini seseorang telah berpikir positif, ia tidak mau lagi berperang karena agama
maupun dogma.
Pada fase ini terjadi proses pematangan fungsi-fungsi psikis dan fisik, yang berlangsung
terjadi secara berangsur-angsur dan teratur. Masa ini merupakan kunci penutup dari
perkembangan anak. Pada periode ini, anak muda banyak melakukan introspeksi diri dan
merenung diri sendiri. Akhirnya anak bisa menemukan aku-nya dalam artian dia mampu
menemukan keseimbangan dan harmoni atau keselarasan baru di antara sikap kedalam diri
dengan sikap keluar.24
Menurut para ahli ilmu jiwa terdapat perbedaan karakteristik diantara tiga fase pra pubertas,
yaitu pra pubertas, pubertas awal, pubertas. Berikut ini merupakan penjelasanya:25
a. Pada masa pra pubertas (masa negatif) anak sering merasakan bingung, cemas takut, gelisah,
gelap hati, bimbang, ragu, risau, sedih hati, minder, rasa–rasa “besar dewasa super”, dan lain-
lain. Anak tidak tahu bagaimana itu bisa terjadi dari macam-macam perasaan yang
menimbulkan kerisauan.
b. Pada masa pubertas: anak muda menginginkan sesuatu dan mencari sesuatu. Namun apa
sebenarnya sesuatu yang diharpakan dan dicari itu, dia sendiri tidak tahu. Anak muda merasa
sunyi hati, dan merasa tidak bisa di mengerti dan tidak mengerti.
c. Pada masa akhir anak muda mulai merasa mantap stabil, dia mulai mengenal akunya dan
ingin hidup dengan itikad keberanian. Dia mulai memhami arahan hidupnya, dan menyadari
tujuan hidupnya. Sehingga mendapatkan pola hidup yang jelas.
Oleh karena itu, maka dapat dikatakan bahwa perkembangan pemuda itu, dipengaruhi
banyak faktor, yaitu psikologis, biologis, dan perkembangan moral. Faktor – faktor tersebut yang
kemudian menyebabkan pendidikan agama menjadi salah satu bentuk upaya untuk mendampingi
pemuda. Karena pada tahapan ini mereka mengalami perkembangan sehingga perlu
mendapatkan bimbingan dan Pendidikan Agama Kristen. Untuk mendampingi dan mendidik
mereka dalam perkembangan moral, iman, psikologis, dan biologis mereka.
24
Abu Ahmadi dan Munawar Sholeh, Psikologi Perkembangan,(Jakarta, Rineka Cipta,2005). 127. 25
Ibid, 127.
9
4.2 Pendidikan Agama Kristen
Pada bagian ini penulis membagi Pendidikan Agama Kristen kedalam dua bagian yaitu
Pendidikan Agama Kristen secara umum menurut Thomas Groome, dan Pendidikan Agama
Kristen kategorial pemuda menurut E.G Homrigausen dan I.H Enklaar.
Secara etimologis istilah pendidikan dalam bahasa Indonesia merupakan terjemahan dari
“education” dalam bahasa inggris. Kata “education” berasal dari bahasa latin “ducere” yang
berarti membimbing (to lead), di tambah awalan “e” yang berarti keluar (out). Jadi arti dasar
pendidikan adalah suatu tindakan untuk membimbing keluar.26
Thomas Groome, dalam bukunya
Christian religious education (1980) seperti yang dikutip oleh Daniel Nuhamara,
mengungkapkan bahwa dalam konsep pendidikan terkandung beberapa dimensi penekanan,
asumsi, dan perhatian yang terkandung dalam konsep pendidikan sebagaimana yang ditunjukkan
oleh arti etimologisnya. Menurutnya ada tiga penekanan dimensi waktu, yakni dimensi waktu
masa lampau, masa kini dan masa yang akan datang. Dimensi waktu masa lampau adalah dari
mana aktivitas (membimbing) itu dibawa, serta apa yang telah dimiiki (misalnya pengetahuan)
baik oleh pendidik maupun peserta didik untuk mengambil sesuatu bagi dirinya sendiri secara
sadar. Dimensi waktu masa kini adalah, proses atau aktivitas yang sedang berlangsung untuk
menemukan sesuatu. Dimensi masa yang akan datang adalah tujuan kearah mana usaha tersebut
dibawa atau dapat juga disebut masa depan yang hendak dituju karena ketiga dimensi ini harus
dipahami dengan baik karena merupakan pedoman bagi pendidik maupun peserta didik.27
Lebih lanjut Thomas Groome mendefenisikan bahwa pendidikan itu dilakukan secara
sengaja, sistematis, terus–menerus untuk menyampaikan, menimbulkan, atau memperoleh
pengetahuan, sikap–sikap, nilai-nilai, keahlian–keahlian, atau kepekaan–kepekaan, juga setiap
akibat dari usaha itu.28
Maka hakikat pendidikan yang diungkapkan oleh Thomas Groome adalah
sebagai kegiatan yang politis bersama para peziarah dalam waktu, pendidikan harus
26
Daniel Nuhamara, Pembimbing Pendidikan Agama Kristen, (Direktorat Jendral bimbingan Masyarakat
(Kristen) Protestan dan Universitas Terbuka,1994). 4. 27
Nuhamara, Pembimbing Pendidikan Agama Kristen, 9. 28
Thomas H. Groome, Christian Religious Education Berbagi Cerita dan Visi Kita, (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2011), 29.
10
memberdayakan mereka untuk kritis memanfaatkan masa lampau mereka agar mereka dapat
bekerja secara kreatif melewati masa kini dan menuju masa depan mereka.29
Oleh karena itu pada hakikatnya dapat dimunculkan pengertian Pendidikan Agama adalah
memperhatikan secara sengaja dimensi kehidupan yang Transenden yang melaluinya hubungan
yang sadar dengan asal keberadaan yang paling pokok dipromosikan dan diekspresikan.
Pendidikan agama memusatkan perhatian khususnya pada pemberdayaan orang dalam pencarian
mereka pada hal–hal yang Transenden dan dasar keberadaan yang paling pokok. Pendidikan
agama menuntun orang–orang untuk menyadari apa yang telah ditemukan, berhubungan dengan
apa yang telah ditemukan itu, dan mengeskpresikan hubungan itu.30
Jadi Pendidikan Agama Kristen sangat dibutuhkan dalam hal ibadah, pendalaman alkitab,
pembuatan tema – tema dalam setiap ibadah, dan kegiatan – kegiatan pemuda. Tujuannya untuk
menjawab kebutuhan iman spritualnya. Pendidikan Agama Kristen adalah kegiatan politis
bersama para peziarah dalam waktu yang secara sengaja bersama dengan mereka memberi
perhatian pada kegiatan Allah di masa kini terutama dalam cerita komunitas iman Kristen, yang
membawa visi kerajaan Allah, benih–benih yang telah hadir diantara kita. Dengan demikian
dikatakan bahwa pendidikan agama kristen berasal dari cerita komunitas–komunitas kristen,
dengan ekspresinya yang paling awal dalam Yesus Kristus dan Visi kerajaan Allah paling
sempurna yang ditimbulkan oleh cerita. Akan tetapi pengakuan paling penting adalah Pendidikan
Agama Kristen turut ikut ambil bagian dalam hakikat pendidikan yang bersifat politis.31
Sebagai
proses seumur hidup dalam menghayati proses iman Kristen.
Setelah mengetahui bagaimana dan apa Pendidikan Agama Kristen tersebut maka dapat
ditentukan juga apa tujuan yang berada dalam Pendidikan Agama Kristen tersebut. Tujuan
Pendidikan Agama Kristen adalah untuk memampukan pemuda Kristen, supaya hidup sesuai
dengan iman Kristen. Hal ini merupakan tujuan Pendidikan Agama Kristen sejak komunitas
Kristen mulai mendidik. Iman kristen yang hidup semacam ini menjadi tujuan pendidikan agama
kristen sejak orang–orang kristen merespon perintah Yesus.32
29
Ibid, 30-31. 30
Ibid,32-33. 31
Ibid,36 – 37. 32
Thomas H. Groome, Christian Religious Education Berbagi Cerita dan Visi Kita, 47- 48.
11
Jadi dapat dipahami bahwa pendidikan adalah sebuah usaha dalam rangka mendidik,
menemukan sesuatu, untuk mempersiapkan masa depan. Berkaitan dengan pemuda, maka
mereka sedang dalam perkembangan menuju kearah masa depan. Perkembangan pemuda kearah
masa depan tersebut meliputi perkembangan moral, psikologis, biologis. Sehingga pendidikan
terutama Pendidikan Agama Kristen bisa digunakan untuk mendampingi jemaat khususnya
pemuda dalam hal perkembangan imannya.
4.3 Pendidikan Agama Kristen Untuk Kategorial Pemuda
Banyak istilah yang dipakai dalam menyebutkan pendidikan agama Kristen, sesuai dengan
budaya dan lingkungan sosial yang dihadapi oleh para penulis. Ada yang menyebut dengan
istilah Christian Education (Pendidikan Kristen), Religious Education (Pendidikan Agama),
Christian Nurture (Asuhan Kristen). Isitilah–istilah tersebut lahir dengan latar belakang masing–
masing dengan arti yang khas. Meskipun artinya agak bervariasi namun setidaknya semuanya
menunjuk pada satu maksud yakni tugas gereja sebagai persekutuan iman untuk tugas
pelayanan.33
Enklaar dan Homrighausen menjelaskan kaum pemuda memiliki sifat dinamis dan mau
berjuang untuk mewujudkan cita–citanya. Mereka juga sering di pengaruhi oleh suasana orang-
orang disekelilingnya. Maka dari itu pemuda ini sangat penting untuk masa depan sebuah
gereja.34
Karena sifat dinamis dan mau berjuang untuk masa depan gereja.
Dengan demikian penekananya terletak pada mempelajari kembali sifat dan keadaan kaum
pemuda itu, serta mempertimbangkan kembali suasana dan metode Pendidikan Agama Kristen
yang sesuai bagi golongan ini mengingat peran pentingnya dalam kehidupan jemaat.35
Pendidikan Agama Kristen pemuda sangat penting dalam kehidupan bergereja. Menurut
Homrighausen dan Enklaar, pertama ada tujuan dan yang kedua cara bekerja didalam Pemuda36
maupun pelayanan lainya di gereja.
33
Nuhamara, Pembimbing Pendidikan Agama Kristen, 5. 34
Homrighausen & Enklaar, Pendidikan Agama Kristen,138. 35
Ibid,139. 36
Homrighausen & Enklaar, Pendidikan agama Kristen,161.
12
Tujuan pekerjaan Pendidikan Agama Kristen menurut Homrigauhsen dan Enklaar adalah
sebagai berikut, pertama, adalah kita harus menolong mereka mendapati dan mengenali maksud
Tuhan bagi kehidupan mereka sendiri, supaya mereka tetap hidup dalam kehendak Tuhan.
Kedua, harus memberikan kesempatan supaya mereka dapat mengalami persekutuan dengan
orang muda lain, inilah hak mereka. Disamping itu haruslah kita menanamkan sikap dalam batin
mereka bahwa persekutuan itu tidak boleh dibatasi pada gerejanya sendiri saja dan juga harus
bersifat oukumenis. Ketiga, sangat penting membuka mata mereka bagi arti gereja dalam hidup
mereka sendiri, supaya mereka mempunyai keinginan dan dapat mengambil bagian dalam
kebaktian jemaat dan segala aktivitasnya yang lain. Keempat, hendaknya kita juga memberi
kesempatan kepada pemuda untuk melayani sesamanya. Karena dalam berbagai usaha pelayanan
gereja, mereka mampu diberdayakan untuk menolong pendeta dan pemimpin lainnya, misalnya
sekolah minggu, kebatian pemuda, dan berbagai pelayanan yang ada.37
Selanjutnya adalah cara bekerja, kita dapat mengetahui cara bekerja diantara pemuda ;38
Pertama, hendaknya gereja menerima mereka sebagaimana mereka ada, dengan menunjukkan
pengertian dan minat sungguh-sungguh terhadap masalah-masalah dan pergumulan mereka.
Kedua, hendaknya pemimpin-pemimpin gereja atau jemaat memberi tempat kepada kaum muda
itu dalam program-program kerja, dengan jalan menyediakan pengajaran agama, kursus-kursus,
kelompok-kelompok, perkumpulan dan lain. Ketiga, perlu diperhatikan bahwa pimpinan gereja
pada pemuda tidak boleh terbatas pada pengajaran secara teori saja melainkan supaya mereka
belajar mempraktekkan segala pelajaran yang diberikan dalam berbagai aktivitas yang
mendatangkan manfaat bagi umum. Keempat, dalam merencanakan pengajaran agama kepada
kaum pemuda ada baiknya jika mencari tahu apa yang benar-benar dibutuhkan kaum muda ini.
Dengan melihat apa yang dibutuhkan maka diperlukanlah sebuah rancangan pendidikan untuk
mencapai tujuan tertentu secara sistematis dan terarah.
Berhubungan dengan merencanakan pengajaran maka didalam Pendidikan Agama Kristen
diperlukan sebuah kurikulum. Kurikulum harus membuat pemuda memperoleh pengalaman
bukan hanya berupa informasi, data, atau fakta–fakta yang harus mereka hafal, ataupun tingkah
37
Ibid,161–162. 38
Ibid,162.
13
laku yang harus mereka tiru. Definisi ini jelas lebih luas karena tidak sekedar matapelajaran,
tetapi segala usaha pendidikan untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Perkembangan ini hanya
dicapai melalui pengalaman belajar yang diperoleh. Kurikulum seharusnya bermuara pada
pemberian pengalaman untuk peserta didik yang didesain secara baik dan dilaksanakan dengan
benar sehingga dapat tercapai tujuan secara umum dan secara khusus melalui pembelajaran atau
pendidikan yang dilakukan.39
Sehingga dalam pembuatan tema-tema untuk berbagai kegiatan
mampu menjawab kebutuhan pemuda secara konkrit.
Minimal dalam kurikulum tersebut didalamnya terdapat 10 aspek kurikulum yang harus
diputuskan oleh seorang pendidik. Kesepuluh aspek tersebut merupakan garis besar atau outline.
Tujuannya yang terutama adalah supaya dalam mengajar, pendidik dapat melakukannya dengan
tujuan yang jelas. Aspek–aspek dalam kurikulum tersebut adalah Apa yang akan diajarkan?,
Kompetensi apa yang dipelajari peserta didik?, Kegiatan pengajaran apa dan bagaimana yang
perlu direncanakan?, Sumber-sumber belajar apa yang dipakai dan dapat dipakai oleh peserta
didik?, Strategi apa yang akan dipakai untuk memotivasi peserta didik agar mereka mau
terlibat?, Bagaimana ruangan harus diatur?, Pertanyaan apa yang akan diberikan?, Pilihan–
pilihan yang bagaimana yang dipertimbangkan oleh peserta didik?, Bagaimana seharusnya
arahan-arahan yang diberikan kepada peserta didik?, Bagaimana menanggapi peserta sesudah
mereka mengucapkan atau melakukan sesuatu?. Pertanyaan–pertanyaan tersebut dapat
membantu dalam pembuatan sebuah kurikulum terutama untuk pemuda sehingga terciptalah
kurikulum untuk pemuda.40
Berdasarkan penjelasan diatas, Thomas Groome kemudian mendefinisikan bahwa
Pendidikan Agama Kristen adalah “usaha yang sadar, sistematis, berkesinambungan untuk
mewariskan, membangkitkan, memperoleh baik pengetahuan, sikap, nilai, ketrampilan dan
kepekaan, maupun hasil apapun dari usaha tersebut.41
Sedangkan terkait dengan itu secara
khusus, Enklaar dan Homrighausen menjelaskan tentang bagiamana sifat dan kemampuan
pemuda42
maka penekanan ini secara langsung menghubungkan dan menekaankan tentang
39
Dien Sumiyatiningsih, Mengajar dengan Kreatif dan Menarik, (Yogyakarta: ANDI, 2012), 54–55. 40
Sumiyatiningsih, Mengajar dengan Kreatif dan Menarik, 55. 41
Nuhamara, Pembimbing Pendidikan Agama Kristen,18. 42
Homrighausen & Enklaar, Pendidikan Agama Kristen,138.
14
pentingnya mempelajari kembali sifat dan keadaan kaum pemuda itu, serta mempertimbangkan
kembali suasana dan metode Pendidikan Agama Kristen kepada golongan ini yang begitu
penting bagi jemaat Kristen. Secara sadar dan sistematis dalam konteks gereja.43
Dengan demikian dapat dipahami bahwa yang berbicara secara khusus terutama Pendidikan
Agama Kristen bagi pemuda adalah Homrigausen dan Enklaar, karena penekananya pada
bagaimana peran pemuda di gereja dan apa yang mempengaruhi pergumulan mereka.
Pertimbanganya gereja sudah membuat kurikulum yang sistematis namun isi kurukikulum dan
dalam pelaksanaanya yang masih belum sesuai. Terutama seperti yang di tekankan oleh Enklaar
dan Homrigausen.
Keseluruhan rangkaian penjelasan diatas kemudian secara langsung membawa pada suatu
pemahaman bahwa Pendidikan Agama Kristen kategorial pemuda itu bukan hanya berkaitan
dengan pendidikan saja. Namun juga terkait dengan program-program gereja yang mendukung
bagaimana pemuda itu dididik dalam konteks pergumulanya. Selain itu cara-cara lain yang
mendukung dalam mendidik pemuda yaitu dapat melalui konseling, kunjungan, dan lewat
berbagai aktivitas kerohanian lainnya. Sehingga dengan cara-cara tersebut diharapkan dapat
membantu dan berguna untuk mendidik pemuda baik secara iman, psikologis dan perkembangan
moralnya berdasarkan iman Kristen. Sebab hal inilah yang akan menunjukkan peran gereja
secara langsung dalam membina dan menumbuhkembangkan iman pemuda dalam konteks
setting PAK di gereja terkhususnya pada lingkup pelayanan kategorial pemuda yang relevan.
5. GKI SALATIGA
Pada bagian ini membahas mengenai hasil temuan penelitian yang sekaligus dianalisa
menggunakan teori yang terdapat pada bagian kedua khususnya perspektif Enklaar dan
Homrighausen.
a. Sejarah GKI Salatiga
Awal 1900 telah berkumpul sejumlah orang Tionghoa di rumah pekabar Injil Jasper, Jl.
Kotapraja (kini Jl. Sukowati). Memang ada juga pekabar Injil Kamp yang melayani orang Jawa
di Jl. Beringin (kini Jl. Patimura). Kedua kelompok murid itu bergabung sepeninggal kedua
43
Ibid, 139.
15
pekabar Injil di atas, yang kemudian dilayani oleh pekabar Injil van der Veen. Karena beliau
pindah ke Ungaran untuk mengajar di Sekolah Teologi di sana, maka kelompok itu dilayani oleh
pekabar Injil H. Bax. Hal itu terjadi sekitar, tahun 1930-an, bahkan pada tahun 1932 mereka
berhasil membangun gedung gereja, yang kemudian dipergunakan oleh Gereja Kristen Jawa
Tengah Utara (GKJTU).44
Pada tahun 1938, pekabar Injil H. Bax wafat dan pelayanan kepada mereka digantikan oleh
Pdt. Liem Siok Hie bersama Sdr. Liem Yok Sien, salah seorang anggota jemaat. Berikutnya,
Guru Injil Tjoa Tjin Touw (Basile Maruta) yang berperan, disusul Guru Injil Tan Ik Hay (Iskak
Gunawan), yang kemudian ditahbiskan menjadi pendeta yang pertama. Pada masa itu, jemaat
memakai nama `Tiong Hoa Kie Tok Kauw Hwee' Salatiga. Pdt. Tan Ik Hay bersama Pdt.
Basoeki Probowinoto mencetuskan berdirinya Perguruan Tinggi Pendidikan Guru (PTPG) pada
tahun 1956, yang memiliki sarana yang amat sederhana, diantaranya menggunakan rumah yang
berdinding bambu. PTPG inilah yang merupakan cikal bakal Universitas Kristen Satya Wacana,
Salatiga.45
Menjelang kepindahan beliau ke GKI Ngupasan Yogyakarta, jumlah anggota GKI Salatiga
sudah mencapai 400 orang. Kepindahan itu terjadi pada tanggal 3 Maret 1959. Pengganti beliau
adalah Pdt. Go Eng Tjoe (Paulus Sudirgo) yang semula melayani GKI Purwokerto. Pada masa
pelayanan Pdt. Go Eng Tjoe, jemaat berhasil membeli sebidang tanah di Jl. Jenderal Sudirman
111. Di atas tanah inilah dibangun gedung gereja yang sekarang. Selanjutnya perkembangan
jumlah anggota bertambah pesat dengan kehadiran para mahasiswa UKSW dan para buruh dari
PT. Damatex. Dengan demikian, cukup beragamlah kehadiran pelbagai etnis di tengah jemaat
GKI Salatiga. Berikutnya, Pdt. Go Eng Tjoe pada tahun 1965 memenuhi panggilan GKI
Pengampon Cirebon dan beliau digantikan oleh Pdt. Tan Tjioe Gwan (Paulus Widihandojo) yang
semula melayani GKI Blora. Kemudian, jemaat juga memanggil Sdr. The Koen Bik meninggal
dunia dalam sebuah kecelakaan di Amerika Serikat pada tanggal 1 Oktober 1989, sehingga
jemaat memanggil calon pendeta atas diri Sdr. Yahya Wijaya, yang kemudian ditahbiskan pada
tanggal 19 September 1991. Karena kepergian Pdt. Yahya Wijaya ke Inggris dalam rangka
44
Majelis GKI Salatiga, Buku Kehidupan Jemaat tahun 2013-2014,Salatiga.2-3. 45
YK, Salatiga, Wawancara pada tanggal 29 Oktober 2015,pukul 09.00 WIB.
16
proyeksi selaku calon dosen Fakultas Teologi `Duta Wacana' Yogyakarta, maka dipanggilah Pdt.
Iman Santoso, yang semula melayani GKI Parakan dan diteguhkan pada tanggal 26 Mei 1998.
Tercatat pada tahun 2000 ini jumlah anggota jemaat GKI Salatiga sekitar 2000 orang.46
Secara geografis Gereja GKI Salatiga,t erletak di Kecamatan Tingkir, Kotamadya Salatiga.
GKI Salatiga di sebelah timur berbatasan dengan SMP Kristen 2 Ebenhaezer, sebelah selatan
berbatasan dengan TK Kristen Ebenhaezer Salatiga, sebelah barat berbatasan dengan Jalan
Jendral Sudirman Salatiga dan Masjid Pandawa, sedangkan sebelah utara dengan SD Kristen
Ebenhaezer Salatiga.47
b. Profil GKI Salatiga
GKI Salatiga berada di Jalan Jendral Sudirman No 111 B, Kecamatan Tingkir, Kotamadya
Salatiga, Jawa Tengah. Di dalam GKI Salatiga terdapat badan–Badan Pelayanan. Badan–Badan
pelayanan GKI Salatiga terbagi dalam 3 Bidang, Bidang Persekutuan, Bidang Kesaksian dan
Pelayanan, Bidang Organisasi dan Kepemimpinan. Bidang persekutuan terdiri dari; Komisi
Pengajaran dan Pekabaran Injil (KPPI), Komisi Hubungan Intrenasional, Komisi Musik dan
Liturgi. Bidang Kesaksian dan Pelayanan, Komisi Kesejahteraan, Komisi Diakonia, Komisi
Perkunjungan dan Pelayanan Kematian, Tim Warung Tiberias,Komisi Pengembangan Anak,
Yayasan Pendidikan Ebenhaezer. Bidang Organisasi dan Kepemimpinan; Komisi Multimedia
dan Sarana Prasarana.
Jumlah Anggota
Jumlah Anggota Jemaat GKI Salatiga 1679 Anggota, yang terdiri dari dari 13 Wilayah. Dibawah
ini merupakan Jumlah Anggota berdasarkan kategori umur dan berdasarkan profesi. 48
46
Majelis GKI Salatiga, buku kehidupan jemaat, 2-3. 47
YK, Salatiga, Wawancara pada tanggal 29 Oktober 2015,pukul 09.00 wib. 48
Majelis GKI Salatiga, Buku Kehidupan, 28.
17
Tabel 1. Jumlah Anggota GKI Salatiga
Tabel 2. Pelayanan dalam Jemaat
1. Ibadah Rutin49
No Kegiatan Hari Waktu Peserta
1. Kebaktian Minggu Minggu 07.00,
09.30,16.30
Jemaat
2. Kebatian Sekolah
Minggu
Minggu 07.00 Anak
3. Kebaktian Remaja Minggu 07.00 Remaja
4. Pemahaman Selasa 18.00 Jemaat
49
Majelis GKI Salatiga, Buku Kehidupan, 28.
Jumlah Anggota Jemaat Berdasarkan Kategori Umur
1. Komisi Sekolah Minggu 110 orang
2. Komisi Remaja 96 orang
3. Komisi Pemuda (Soda Gembira) 403 orang
4. Komisi Dewasa 904 orang
5. Komisi Usia Lanjut 139 orang
Jumlah 1.679 orang
Jumlah Anggota Jemaat Berdasarkan Profesi
1. Pendeta 5 orang
2. Dosen 51 orang
3. Guru 33 orang
4. Karyawan 520 orang
5. Wiraswasta 153 orang
6. TNI 5 orang
7. Seniman 2 orang
8. Dokter 15 orang
9. Pengacara 1 orang
10. Pensiunan 57 orang
11. PNS 30 Orang
12. Pelajar dan Mahasiswa 807 orang
Jumlah 1.679 Orang
18
Alkitab di 12
wilayah
5. Persekutuan doa
pagi
Rabu 05.30 Jemaat
6. Persekutuan Rabu Rabu 09.00 Jemaat
7. Kambium Rabu 18.00 Jemaat
8. Persektuan Jumat Jumat 10.00 Komisi
Usia Lanjut
(KUL)
9. Persekutuan
Remaja
Sabtu 18.00 Remaja
10. Soda Gembira Sabtu 16.30 Pemuda
2. Ibadah Khusus
Ibadah Khusus terdiri 4 bagian yakni; 50
Ibadah syukuran (rumah, kenaikan pangkat, ulang
tahun dan lain-lain), Ibadah pemberkatan pernikahan,Ibadah pemakaman dan penghiburan,
Ibadah perayaan gerejawi (Natal, Paskah dan Pentakosta).
c. Komisi Pemuda GKI Salatiga dan Permasalahannya
Persekutuan pemuda GKI Salatiga tidak pasti berdirinya kapan, namun yang pasti mengalami
tanda–tanda penurunan aktiftas pemuda sekitar 4 tahun lalu atau sekitar tahun 2009an.51
Pemuda
di GKI Salatiga, 2 tahun lalu mengalami fakum atau mati. Melihat hal tersebut maka Gereja
membuat sebuah komisi Pemuda untuk bisa mewadahi menghidupkan kembali pemuda yang
tidak aktif tersebut. Gereja menyadari hal itu karena mereka dalam tahap perkembangan iman,
moral,dan psikologis mereka, sehingga gereja membuat sebuah program yang khusus untuk
pemuda, yang bertujuan bisa mendampingi pemuda dalam perkembangan mereka.52
Komisi pemuda terbentuk karena keprihatinan GKI Salatiga terhadap pemuda, yang dimana
dalam setiap ibadah pemuda yang hadir dalam kebaktian umum itu banyak, tetapi yang
mengikuti ibadah pemuda sangatlah sedikit.53
Karena keprihatinannya itulah mereka mencari
seorang part timer. Seorang part timer atau seseorang yang bersedia melayani di jemaat GKI
50
Majelis GKI Salatiga, Buku Kehidupan, 28. 51
YK, Salatiga, Wawancara pada tanggal 29 Oktober 2015,pukul 09.00 wib. 52
YK, Salatiga, Wawancara pada tanggal 29 Oktober 2015,pukul 09.00 wib. 53
YK, Salatiga, Wawancara pada tanggal 29 Oktober 2015,pukul 09.00 wib.
19
salatiga. Pelayan ini kemudian ditempatkan di Komisi pemuda karena sebelumnya aktif di
komisi remaja yang kemudian dipindahkan untuk mengatasi komisi pemuda ini.54
Komisi ini
bentuk bukan hanya mewadahi pemuda jemaat GKI Salatiga namun juga pemuda di luar jemaat
GKI Salatiga.55
Kemudian komisi muda dikenal dengan nama Soda Gembira atau yang dikenal
dengan sebutan Sore MuDa Gembira. Soda Gembira sendiri merupakan persekutuan pemuda
berbeda dari yang lain. Perbedaan ini karena pemudanya berasal dari berbagai daerah, berbagai
suku, berbagai golongan dan etnis.
d. Pendidikan Pemuda di GKI Salatiga
Pendidikan adalah suatu usaha untuk membimbing keluar. 56
Berdasarakan pengertian
pendidikan tersebut maka dapat ditentukan bagaimana pendidikan terkhususnya Pendidikan
Agama Kristen untuk pemuda. Pendidikan Agama Kristen Pemuda merupakan sebuah usaha
untuk bisa mendidik, membimbing, dan menemukan sesuatu, untuk pemuda secara sistematis
dan terus menerus,57
dengan memperhatikan konteks di kehidupan pemuda. Penekananya
terletak pada mempelajari kembali sifat dan keadaan kaum pemuda itu, serta mempertimbangkan
kembali suasana dan metode itu. 58
Berkaitan dengan pengertian Pendidikan Agama Kristen Pemuda, maka GKI Salatiga dalam
melakukan pendidikan tersebut dilakukan melalui beberapa aspek kegiatan yakni:
a. Ibadah Soda Gembira.
Ibadah pemuda diwujudkan dalam ibadah soda gembira (sore Muda gembira) yang
dilakukan pada setiap hari Sabtu jam 16.30–18.30 wib. Ibadah yang dilakukan di
pemuda GKI salatiga, sangat berbeda dengan yang lain.59
Mengapa, karena dalam
setiap kegiatan ibadahnya dibuat dalam setiap konsep yang berbeda. Konsep-konsep
yang ditawarkan sangat berbeda dengan yang lain, yaitu tercermin melalui tema-tema
54
YK, Salatiga, Wawancara pada tanggal 29 Oktober, 2015, pukul 09.00 wib. 55
DP,Salatiga, Wawancara pada tanggal 29 Oktober, 2015, pukul 13.00 wib. 56
Nuhamara, Pembimbing Pendidikan Agama Kristen, 4. 57
Groome, Christian Religious Education Berbagi Cerita dan Visi Kita, 29. 58
Homrighausen & Enklaar, Pendidikan Agama Kristen, 138-139. 59
AA, Salatiga, Wawancara pada tanggal 31 Oktober 2015,pukul 19.00 wib.
20
yang disajikan kepada pemuda melalui ibadah soda gembira tersebut. Ibadah tersebut
diberikan nuansa yang berbeda dengan pembawa firman dan metode yang dibawakan
berbeda setiap minggunya. Ibadah tersebut selain firman juga membawakan puji-
pujian, yang menjadi ciri khas adalah puji–pujian tersebut tidak semua merupakan
pujian yang modern saja namun juga dipadukan dengan NKB (Nyanyikanlah Kidung
Baru), Kidung Jemaat, dan Kidung Pujian dengan mengadopsi liturgi yang biasanya
dipakai waktu ibadah umum hari minggu GKI Salatiga. Selain ibadah itu, diadakan
ibadah padang dengan konsep yang hampir sama dengan ibadah biasa namun dengan
konteks diluar ruangan. Sehingga diharapkan bisa menyatu dengan alam. Konsep
ibadah padang tersebut menitikberatkan pada kecerdasan naturalis. Kecerdasan
naturalis yang merupakan 1 dari salah satu konsep kecerdasan majemuk atau
mengembangkan kemampuan diri selain didalam ruangan. Sehingga dengan begitu
bisa dekat dengan alam dan meningkatkan kepekaan terhadap lingkungan sekitar.60
b. PA (pendalaman Alkitab)
Pendalaman Alkitab, Komisi Pemuda juga melakukan pendalaman alkitab.
Kegiatan itu juga digunakan juga untuk mendidik para pemuda untuk bisa mendalami
alkitab yang kemudian diterapkan dalam konteks kehidupan mereka. Pendalaman
alkitab ini dilakukan satu bulan sekali dan kegiatan ini dilaksanakan pada sabtu sore
hari pukul 17.00 wib yang merupakan bagian dari ibadah soda gembira.61
c. Olahraga.
Upaya selanjutnya adalah melalui olahraga. Olahraga dilakukan 2 Minggu sekali.
Dengan olahraga yang berbeda-beda setiap minggunya. Olaharga suka ria ini
merupakan kegiatan yang dimana mempunyai tujuan bukan hanya dalam iman saja
yang sehat tetapi jasmani juga sehat.62
Olahraga ini diharapkan bisa mendidik para
pemuda. Banyak nilai yang terkandung didalam sebuah olahraga sehingga para
60
Sumiyatiningsih, Mengajar dengan Kreatif dan Menarik, 145. 61
ST Wawancara pada tanggal 30 Oktober 2015,pukul 14.00 wib. 62
TD Wawancara pada tanggal 31 Oktober 2015,pukul 16.00 wib.
21
pemuda bisa mengambangkan iman dan jasmani mereka didalam olahraga tersebut.63
Tujuanya adalah membentuk suasana persekutuan yang solid antar pemuda.
Melihat kegiatan–kegiatan yang dilakukan dan dibuat oleh pengurus pemuda, maka kegiatan-
kegiatan itu sudah baik dan sudah mendidik karena dilakukan secara terus menerus, dan sesuai
konteks kehidupan mereka. Dengan melihat kegiatan – kegiatan ini sesuai dengan pendapat
Kohlberg untuk mengikuti perkembangan moral para pemuda.64
Perkembangan moral ini juga
diikuti dengan perkembangan iman sesuai iman mereka yang sejalan dengan pemikiran Atmadja
Hadinoto.65
Namun kegiatan–kegiatan itu perlunya dibuat sebuah kurikulum. Kurikulum tersebut
berguna untuk mencapai tujuan yang ingin dicapai66
dalam setiap proses kegiatan tersebut.
Sehingga GKI Salatiga khususnya pemuda membutuhkan kurikulum untuk mencapai tujuan apa
yang diinginkan. Selain kurikulum juga dibutuhkan Pendamping pemuda, walaupun sudah ada
pendamping pemuda baik pendamping kategorial maupun majelis pendamping namun
diperlukan pendamping yang benar–benar fokus di pemuda. Pendamping ini mempunyai fungsi
untuk bisa mengontrol, dan melihat bagaimana pendidikan pemuda yang sedang berlangsung.
e. Kurikulum
Berhubungan dengan kegiatan – kegiatan yang dimiliki oleh komisi pemuda maka
pengurus komisi muda GKI Salatiga membuat sebuah kurikulum. Kurikulum yang dibuat ini
disesuaikan dengan konteks pemuda di GKI Salatiga. Mereka membuat sendiri kuriukulum yang
dipakai untuk kegiatan–kegiatan yang ada terutama dalam menentukkan tema–tema setiap
minggu dalam kegiatan ibadah. GKI Salatiga telah memberikan sepenuhnya terhadap pengurus
yang ada dengan tetap diawasi dalam pembuatan kurikulum tersebut oleh majelis pendamping.67
GKI Salatiga belum mempunyai kurikulum yang khusus dibuat oleh untuk komisi pemuda yang
berasal dari gereja.68
GKI Salatiga pada waktu itu menawarkan sebuah kurikulum namun karena
63
JN Wawancara pada tanggal 31 Oktober 2010, pukul 18.00 wib. 64
Atmadja Hadinoto,Dialog dan Edukasi, 223. 65
Atmadja Hadinoto,Dialog dan Edukasi, 223. 66
Iris V. Cully, The Bible in Christian Education (Augsburg: Fortrees Publisher, 2006), 16–17. 67
ST Wawancara pada tanggal 30 Oktober 2015,pukul 14.00 wib. 68
YK, Salatiga, Wawancara pada tanggal 29 Oktober 2015,pukul 09.00 wib.
22
tidak cocok dengan konteks yang ada sehingga kurikulum dari sinode GKI SW Jateng tidak
dipakai. 69
Kurikulum yang tidak sesuai tersebut tidak dipakai karena tidak sesuai konteks
kebutuhan pemuda GKI Salatiga. Padahal kurikulum yang kontekstual merupakan kebutuhan
yang mendesak bagi seluruh gereja termasuk GKI Salatiga. Oleh karena itu di gereja, para
pengerja dan pemimpinnya harus belajar merencanakan dan mengembangkan kurikulum
pelayanan berbagai kategori dan kelompok warga gereja70
termasuk pelayanan kategorial komisi
pemuda. Selain itu tidak hanya kurikulum yang dibuat memuat tema, isi dan tujuan, namun
kurikulum juga harus bisa membina jemaatnya, terutama jemaat pemuda di GKI Salatiga. Dilihat
dari fungsinya71
kurikulum yang dapat membina jemaat akan dapat meningkatkan potensi, dan
dapat mengevaluasi apa yang tidak sesuai di masyarakat,72
dan juga kurikulum yang dibuat
berdasarkan tujuan dan komponen kurikulum yang kontekstual.73
Sehingga dapat dijadikan
pedoman utama untuk membina warga jemaat khususnya pemuda. Maksudnya agar pemuda bisa
mengembangkan kemampuan berpikir dari apa yang mereka dapatkan, dan juga bisa digunakan
sebagai pemelihara pengajaran.74
Sehingga terlihat dari atas walaupun sudah ada kurikulum
tersebut diperlukan pendamping dari gereja yang mengontrol kualitas pelayanan.
Lebih lanjut kurikulum yang dapat menjawab kebutuhan yakni seperti tema yang dapat
menarik minat pemuda misalnya tema tentang kehidupan pemuda dalam kegiatan sehari-hari,
cinta, jodoh, karakter pemuda, tema-tema alkitab, yang kemudian dikemas secara menarik oleh
pembicara sehingga menimbulkan kesan yang mendalam bagi pemuda. Tema–tema tersebut
yang nantinya akan mengembangkan iman, perkembangan moral pemuda dalam hal membangun
relasi dengan sesama. Dengan kurikulum yang sesuai konteks tersebut maka ini sejalan dengan
69
ST Wawancara pada tanggal 30 Oktober 2015,pukul 14.00 wib. 70
Junihot M. Simanjuntak, "Implikasi Konsep Dan Desain Kurikulum Dalam Tugas Pembinaan Warga
Jemaat." Jurnal Jaffray 12.2 (2014): 251-272. 71
Sanjaya Oemar Hamalik, Proses Belajar Mengajar, (Jakarta: Bumi Aksara,2008), 10 -11. 72
Bandingkan dengan Sukiswa Iwam, Dasar-Dasar Umum Manajemen Pendidikan, (Bandung: Tarsito
1986),16-17. 73
S. Nasution, Kurikulum dan Pengajaran, (Jakarta: Bumi Aksara,1989), 9-10. 74
Hamalik, Proses Belajar Mengajar, 10-11.
23
pemikiran Homrighausen dan Enklaar yang mengungkapkan bahwa kurikulum75
yang sesuai
dapat mencapai tujuan yang diinginkan dalam pendidikan tersebut khususnya untuk pemuda.
Selanjutnya dalam proses juga di berikan gambaran-gambaran umum tentang opsi
kegiatan yang kira-kira dapat dilakukan seperti, perkunjungan, serta dapat membangun relasi
dengan beberapa lembaga sosial yang ada. Dengan kegiatan-kegiatan itu bisa mengembangkan
iman mereka serta menambah wawasan mereka. Pertimbangannya rata-rata pemuda adalah
mahasiswa jadi gambaran ini dapat relevan dengan kegiatan-kegiatan itu sesuai dengan konteks
kehidupan pemuda.Selain itu, untuk pelaksanaannya maka dibutuhkan pendamping yang dibagi
perannya dengan jelas dan terstruktur, namun bersifat fleksibel sehingga pendamping dapat
mengetahui apa yang akan dilakukannya. Dalam setiap kegiatan yang dilaksanakan.
f. Pendamping Pemuda
Pendamping pemuda di GKI Salatiga terdiri dari 2 orang yaitu Majelis pendamping dan
pendamping kategorial pemuda. Majelis pendamping di Komisi pemuda ini mendapatkan tugas
selain melihat perkembangan pemuda di GKI Salatiga juga dalam rangka melihat dan mengawasi
pembuatan kurikulum itu apakah melenceng dari visi–misi gereja yang sudah ditetapkan oleh
GKI Salatiga, serta mengawasi dan mengontrol dalam pemakaian dana Gereja.76
Selanjutnya
secara umum tugas dari pendamping kategorial adalah mendampingi Komisi Muda dalam setiap
kegiatan serta membantu majelis jemaat dalam bidang pelayanan kategorial. Kemudian menjadi
perantara antara komisi muda dengan majelis pendamping. Tugas selanjutnya adalah
pendamping kategorial ini juga ikut terlibat dalam penyusunan program komisi muda GKI
Salatiga.77
Sebagai pendamping kategorial, tidak termasuk dalam struktur kepengurusan komisi
muda karena hanya menjalankan fungsi kontrol dan pendampingan guna membantu Majelis
dalam pelayanan kategorial.78
Pendampingan tersebut mempunyai fungsi, yaitu fungsi kontrol dan pendampingan.
Fungsi ini diberikan oleh gereja kurang maksimal, karena hanya memberikan 2 pendamping
75
Homrighausen & Enklaar, Pendidikan Agama Kristen, 138-139 dan Sumiyatiningsih, Mengajar dengan
Kreatif dan Menarik, 54-55. 76
DP Wawancara pada tanggal 29 Oktober 2015,pukul 13.00 wib. 77
AS, Salatiga, Wawancara pada tanggal 30 Oktober 2015, pukul 14.45 wib. 78
AS, Salatiga, Wawancara pada tanggal 30 Oktober 2015,14.45 wib.
24
yaitu pendamping kategorial dan Majelis pendamping. Dalam hal ini dilihat dari teori
Homrigaushen dan Enklaar yang memberikan pemikiran bagaimana cara bekerja didalam
pemuda.79
Cara bekerja di pemuda adalah dengan memberikan pengertian dan perhatian kepada
pemuda.80
Terlihat dari sini Pendamping yang gereja berikan hanya memberikan kontrol dan
pendampingan saja guna membantu gereja. Sehingga pengertian dan perhatian yang seharusnya
gereja berikan tidak tersalurkan dengan baik.
Dengan tidak tersalurkan dengan baik maka pembinaan warga gereja dan Pendidikan
Agama Kristen yang dilakukan tidak dapat mencapai tujuan akhirnya secara maksimal, terutama
di pemuda. Selain itu Gereja juga hanya memberikan dana saja untuk mendukung kegiatan
pemuda. Dengan hanya menerima pemberian dana saja, Gereja seolah-olah tidak memberikan
perhatian kepada pemuda khususnya di bagian Pendidikan Agama Kristen. Karena Pendidikan
Agama Kristen yang diterima oleh jemaat (pemuda) hanya berdasarakan apa yang direncanakan
dan dibuat oleh pengurus komisi pemuda dan gereja disini tidak memberikan Pendidikan Agama
tersebut. Dilihat dari pembimbingan iman sehingga tidak sesuai dengan teori yang diberikan oleh
Homrigaushen dan Enklaar yang menekankan memberikan perhatian, pengertian, dan
pendidikan terutama Pendidikan Agama Kristen.81
Jika hal ini tidak dilakukan maka meskipun
kurikulumnya ada itu hanya tertulis dan tidak dapat terlaksana dengan baik.
Lebih lanjut seharusnya, koordinasi yang dilakukan dalam pendampingan seharusnya di
bangun dalam perannya sebagai pendamping terutama untuk memberikan perhatian kepada
pemuda, agar dapat sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Homrigausen dan Enklaar
mengenai pendampingan itu82
yaitu dengan gereja menerima mereka sebagaimana mereka ada,
dengan menunjukkan pengertian dan minat sungguh-sungguh terhadap masalah-masalah dan
pergumulan mereka. Sehingga tercapai apa yang ingin dituju antara gereja dan komisi pemuda
dalam melaksankan dan mendidik para pemuda, terkhusus pemuda di GKI Salatiga.
79
Homrighausen & Enklaar, Pendidikan Agama Kristen, 138. 80
Ibid, 138. 81
Homrighausen E. G & I.H Enklaar, Pendidikan Agama Kristen, 139. 82
Homrighausen E. G & I.H Enklaar, Pendidikan Agama Kristen, 139.
25
6. ANALISA
Dalam analisa ini ditemukan bahwa ada dua permasalahan yaitu tentang kurikulum dan
pendamping pemuda.
a. Kurikulum
Kurikulum yang diberikan kepada GKI Salatiga diperoleh dari Sinode GKI SW Jateng
sehingga tidak sesuai konteks kehidupan pemuda di GKI Salatiga. Secara Khusus GKI Salatiga
dalam hal ini mempunyai kurikulum untuk pemuda. Kurikulum diserahkan kepada pengurus
sehingga ini sangatlah tidak bagus bagi perkembangan iman pemuda itu sendiri. Dengan
diserahkan kepada pengurus pemuda saja ini kurang sesuai dengan teori yang diungkapkan oleh
Thomas Groome bahwa haruslah sengaja, sistematis, terus–menerus untuk menyampaikan,
menimbulkan, atau memperoleh pengetahuan, sikap–sikap, nilai-nilai, keahlian–keahlian, atau
kepekaan–kepekaan, juga setiap akibat dari usaha itu.83
Sehingga diharapkan dengan adanya
kurikulum hal itu bisa dapat terwujud tujuan dalam memberikan Pendidikan Agama Kristen
khususnya kepada pemuda sehingga bukan pengurus komisi pemuda saja melainkan juga gereja
juga ikut terlibat dalam pemberian Pendidikan Agama Kristen tersebut.
Kurikulum untuk pemuda di GKI tidak ada, ini tidak sesuai teori yang diungkapkan oleh
Dien dan Homrighausen dan Enklaar Kurikulum seharusnya bermuara pada pemberian
pengalaman untuk peserta didik yang didesain secara baik dan dilaksanakan dengan benar
sehingga dapat tercapai tujuan secara umum dan secara khusus melalui pembelajaran atau
pendidikan yang dilakukan.84
Sehingga dalam pembuatan tema-tema untuk berbagai kegiatan
mampu menjawab kebutuhan pemuda secara konkrit. Sehingga jika tidak ada kurikulum tersebut
maka tujuan secara umum dan secara khusus yang gereja dan pengurus inginkan tidak tercapai.
Kurikulum yang dibuat untuk pemuda hrauslah bermuatan setidakanya 10 dasar yang sesuai
diungkapkan oleh Dien, namun dalam kurikulum di GKI itu tidak ada sehingga ini tidak sesuai.
Maka dapat ditambahkan ketika membuat kurikulum khusunya untuk pemuda berisi muatan 10
dasar kurikulum tersebut sesuai yang diungkapkan oleh Dien. Tujuannya yang terutama adalah
83
Groome, Christian Religious Education Berbagi Cerita dan Visi Kita, 29. 84
Sumiyatiningsih, Mengajar dengan Kreatif dan Menarik, 54–55.
26
supaya dalam mengajar, pendidik dapat melakukannya dengan tujuan yang jelas didalam aspek–
aspek dalam kurikulum dibuat tersebut.85
b. Pendamping Pemuda
Pendamping Pemuda di GKI Salatiga seperti yang sudah dijelaskan berisikan 2 orang dari
majelis pendamping dan pendamping kategorial. Mereka mempunyai tugas hanya sebagai
pengontrol pembuatan kurikulum itu apakah melenceng dari visi–misi gereja yang sudah
ditetapkan oleh GKI Salatiga, serta mengawasi dan mengontrol dalam pemakaian dana Gereja.86
Fungsi yang hanya memberikan,mengontrol dana,dan juga hanya memberikan pengawasan
terhadap aktivitas pengurus dan pemuda supaya tidak melenceng dari visi misi GKI Salatiga. Ini
kurang sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Homrigauhsen dan Enklaar cara bekerja di
dalam pemuda. Beberapa hal yang diungkapkan oleh Homrighausen dan Enklaar adalah dengan
menunjukkan pengertian dan minat sungguh-sungguh terhadap masalah-masalah dan
pergumulan mereka.87
Selain itu juga para pendamping pemuda juga memperhatikan pengajaran
tidak hanya terbatas pada pengajaran secara teori saja melainkan supaya mereka belajar
mempraktekkan segala pelajaran yang diberikan dalam berbagai aktivitas yang mendatangkan
manfaat bagi umum.88
Terlihat dari teori ini maka gereja yang diwakili oleh pendamping majelis dan pendamping
kategorial pemuda tidak sejalan dengan teori tersebut. Sehingga bekerja di dalam pemuda tidak
dapat terlaksana dan Pendidikan Agama Kristen khususnya untuk yang seharusnya dapat
tersalurkan menjadi terhambat. Pembentukan iman juga tidak sepenuhnya dapat dijalankan
dengan baik. Karena dalam Pendidikan Agama Kristen mempunyai tujuan pekerjaan yang
diungkapkan oleh Homrighausen dan Enklaar untuk menolong mereka mendapati dan mengenali
maksud Tuhan bagi kehidupan mereka sendiri, supaya mereka memandang hidup mereka dalam
kehendak Tuhan.89
Dengan pendampingan seperti itu maka dapat diharapkan dapat terarah dan
Pendidikan Agama Kristen dapat mereka gunakan bukan hanya teori saja melainkan juga
dilakukan dalam kehidupan mereka.
85
Sumiyatiningsih, Mengajar dengan Kreatif dan Menarik, 55. 86
DP Wawancara pada tanggal 29 Oktober 2015,pukul 13.00 wib. 87
Homrighausen & Enklaar, Pendidikan agama Kristen,161. 88
Homrighausen & Enklaar, Pendidikan agama Kristen,161. 89
Homrighausen & Enklaar, Pendidikan agama Kristen,161.
27
7. PENUTUP
Pada bagian ini berisi kesimpulan secara keseluruhan terkait masalah dan pembahasan
yang telah diteliti dan dianalisis beserta dengan saran.
a. Kesimpulan
Melihat permasalahan yang diangkat mengenai bagaimana pendidikan pemuda di
GKI Salatiga ditinjau dari perspektif Pendidikan Agama Kristen. Melalui proses
penelitian, analisa, dan hasil penelitian sehingga dapat diketahui bagaimana pendidikan
pemuda di GKI Salatiga ditinjau dari perspektif Pendidikan Agama Kristen. Dalam hal
ini gereja kurang memberikan perhatian yang khusus untuk pemuda. Gereja GKI Salatiga
hanya mengontrol dan memberikan dana. Sedangkan hal memberikan pendidikan
pemuda diberikan sepenuhnya tanggungjawab kepada pengurus komisi pemuda.
b. Saran
Saran, dalam hal ini penulis ingin memberikan saran kepada pihak-pihak yang
terkait.
Pihak pertama; diberikan kepada fakultas Teologi UKSW yang
merupakan pusat dalam membagi ilmu terutama ilmu Pendidikan Agama
Kristen. Melalui mata kuliah Pendidikan Agama Kristen dan Pendidikan
Agama Kristen kategorial (pemuda) maka pendeta atau pelayan dapat
mengembangkan ilmu tersebut kedalam pelayanannya di kategorial,
terkhusus di pemuda.
Pihak kedua ; Saran penulis kepada GKI Salatiga. GKI Salatiga sebagai
gereja yang mewadahi komisi pemuda. adalah gereja harus bisa membuka
pikiran mereka bahwa komisi pemuda penting dalam kehidupan bergereja.
Sehingga Gereja sebagai wadah komisi ini harus bisa lebih fokus terhadap
perkembangan dan pendidikan agama kristen yang mereka terima. Selain
itu gereja harus bisa menjalin kerjasama dengan komisi pemuda lebih dari
memberikan seorang Majelis pendamping. Namun juga gereja harus
memperhatikan perhatian kepada mereka. Selain itu pendidikan yang
diterima bukan hanya melalui pengurus komisi, namun gereja juga bisa
28
memberikan sumbangan kepada pemuda dengan membuat kurikulum
yang sesuai dengan konteks pemuda di GKI Salatiga.
Pihak ketiga; saran penulis kepada pengurus komisi muda GKI Salatiga.
Kepada pengurus komisi muda, melihat bahwa upaya–upaya dilakukan
mendidik pemuda GKI Salatiga sangat baik sehingga perlu pengembangan
lebih lanjut dalam program dan kegiatan. Pendidikan juga bisa melalui
kegiatan lain yaitu perkunjungan. Dengan perkunjungan maka pendidikan
agama kristen juga dapat diperoleh. Sehingga memasukkan program atau
kegiatan perkunjungan bisa dilakukan
29
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah,T. pemuda dan perubahan sosial, LP3ES, Jakarta, 1974.
Abu, A. dan Munawar, S. Psikologi Perkembangan, Jakarta: Rineka Cipta, 2005.
Atmadja, H. N. K, Dialog dan Edukasi, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001.
Elizabeth, B. H. Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan sepanjang rentang kehidupan,
Jakarta : Erlangga,1980.
Groome, T. H. Christian Religious Education Berbagi Cerita dan Visi Kita,
Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011.
Gunarsa, S. Psikologi Pemuda dan Keluarga,Jakarta: BPK GM, 2002.
Gould, R. Adult Life Stages: Growth Toward Self-tolerance, Psychology Today, 1975.
Hardi, B. Dasar–dasar Pendidikan Agama Kristen, Yogyakarta: ANDI Offset, 2011.
Harun, H. Iman Kristen, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1984.
H. Berkhof. & I.H. Enklaar, Sejarah Gereja,Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1985.
Homrighausen, E. G & I.H Enklaar, Pendidikan Agama Kristen,Jakarta : BPK
Gunung Mulia, 1984.
Irwanto. Focused Group Discussion (FGD): Sebuah Pengantar Praktis,Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia 2006.
Iwam, S. Dasar-Dasar Umum Manajemen Pendidikan, Bandung: Tarsito 1986.
Koentjaraningrat. Metode –Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: Gramedia,
1977.
Laporan Hasil Lokakarya Perencanaan Pembinaan Pemuda Gereja di Indonesia, Supaya kami
Tahan Uji,Departemen Pembinaan dan pendidikan Dewan Gereja-gereja di Indonesia, 1981.
Max, S. R. Psikologi Perekembangan, Jakarta: Erlangga,1980.
Majelis GKI Salatiga, Buku Kehidupan Jemaat Tahun 2013-2014.
Nuhamara, D. Pemimbing PAK,Bandung: Jurnal Info Media, 2007.
Nazir, M. Metode penelitian,Jakarta : Ghalia Indonesia, 1988.
Prodjowijono, S. Manajemen Gereja, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008.
Sumiyatiningsih, D. Mengajar dengan Kreatif dan Menarik, Yogyakarta: ANDI, 2012.
30
Van, D. E. T. Harta dalam Bejana, Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2007.
Simanjuntak, Junihot M. "Implikasi Konsep Dan Desain Kurikulum Dalam Tugas Pembinaan
Warga Jemaat." Jurnal Jaffray 12.2 (2014): 251-272.