Studi Kasus Gunung Tangkuban Perahu
-
Upload
wildan-nur-hamzah -
Category
Documents
-
view
628 -
download
23
Transcript of Studi Kasus Gunung Tangkuban Perahu
BAB I
PENDAHULUAN
Gambar. Sketsa jika Tangkuban Perahu meletus oleh Brahmantyo (Geomagz,
2011)
Gunung Tangkubanparahu merupakan gunungapi yang berjarak 30
kilometer sebelah utara kota Bandung. Pada gunung berapi ini dapat dijumpai
hasil pembentukan gunungapi dan aktivitasnya berupa kawah, gejala mata air
panas, endapan belerang, dan lainnya. Tinggi gunung Tangkubanparahu adalah
2084 mdpl dengan 13 kawah yang tersebar di puncak. Bila dilihat dari Bandung,
gunung Tangkubanparahu memiliki bentuk khusus, seperti perahu yang terbalik.
Bentuk khusus tersebut mendorong fantasi orang Sunda dari awal dinyatakan
dalam bagian legenda Sangkuriang. Gunung Tangkubanparahu merupakan salah
satu gunung api tipe-A yang beberapa tahun ke belakang menjadi pembicaraan
hangat di beberapa media massa terkait peningkatan aktivitas vulkaniknya.
Gunung yang terkenal dengan legenda Sangkuriangnya itu merupakan salah satu
bentuk bentang alam vulkanik yang menarik untuk dipelajari.
1 | P a g e
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Geografi
G.Tangkubanparahu secara administrasi masuk kedalam wilayah
kabupaten bandung dan sebagian masuk kedalam kabupaten subang, provinsi
jawa barat, dan secara geografi terletak pada 6o46’ LS dan 107o36’BT. Puncak
G.Tangkubanparahu dapat dicapai dengan kendaraan bermotor beroda 2 maupun
roda 4 dari arah kota Bandung dan Lembang di sebelah selatan dan kota Subang
dan Jalan Cagak di sebelah utara Timur Laut melewati jalan aspal yang baik.
Untuk perjalanan dengan jalan kaki bisa melewati jalan setapak dari Jayagiri.
2.2 Geomorfologi
Gunung Tangkubanparahu memiliki bentuk kerucut dengan sisi-sisi
yang terjal. Puncaknya berbentuk cekung seperti panci. Kawah-kawah Gunung
Tangkubanparahu juga mengeluarkan material-material berupa lava dan sulfur.
Pada kawah yang sudah mati, tersingkap batuan yang beraliterasi hidrotermal
yang membentuk mineral sulfida. Kegiatan vulkanisme Gunung
Tangkubanparahu telah membentuk morfologi berupa depresi vulkanik di
sekitarnya. Depresi vulkanik adalah bentuk morfologi berupa cekungan hasil dari
kegiatan vulkanisme. Depresi vulkanik dapat berupa danau vulkanik, kawah dan
kaldera. Dalam hal ini, aktivitas vulkanisme Gunung Tangkubanparahu telah
membentuk banyak kawah yang sampai sekarang masih terus mengeluarkan
material vulkanik berupa lava dalam jumlah kecil dan uap sulfur. Kawah-kawah
terbentuk sebagai akibat dari pusat erupsi yang berpindah dari arah timur ke
barat. Kawah-kawah tersebut adalah Kawas Ratu, Kawah Domas, dan Kawah
Upas.
2 | P a g e
Gambar 2. Kawah Ratu dilihat dari sebelah timur
Morfologi gunungapi ini dapat dibagi menjadi tiga satuan morfologi utama yaitu:
Kerucut strato aktif.
Kerucut strato aktif menempati bagian tengah kaldera Sunda. Kawah-
kawah gunungapi ini membentang dengan arah barat-timur. Beberapa kawah
terletak di daerah puncak dan beberapa lainnya terletak di lereng timur. Kerucut
strato aktif ini tersusun dari selang-seling lava dan piroklastik, dan di bagian
puncak endapan freatik. Pola radier dengan bentuk lembah V, beberapa air terjun
yang sangat umum ditemukan pada satuan morfologi ini.
Lereng tengah.
Morfologi lereng tengah meliputi lereng timurlaut, selatan dan tenggara
gunungapi ini. Batuannya terdiri atas endapan piroklastik yang sangat tebal dan
lava yang biasanya tersingkap di lembah-lembah sungai yang dalam dengan pola
aliran sungai paralel dan semi memancar (semi radier). Lereng selatan dan
tenggara terpotong oleh sesar Lembang, yang berarah timur-barat.
3 | P a g e
Kaki.
Kaki selatan menempati bagian lereng tenggara dan selatan, yang
terletak pada ketinggian antara 1200 m hingga 800 m dan antara 1000 hingga
600 m di atas permukaan laut. Lereng timurlaut mempunyai pusat-pusat erupsi
parasit seperti G. Malang, G. Cinta dan G. Palasari. Aliran-aliran lava dan skoria
berwarna kemerahan yang menempati sebagian besar daerah kaki ini adalah
berasal dari pusat-pusat erupsi ini. Pola aliran sungai yang berkembang di daerah
ini adalah paralel dengan bentuk lembah U yang melewati batuan keras.
Lereng selatan terletak antara sesar Lembang dan dataran tinggi
Bandung di selatan. Bagian terbesar daerah ini dibentuk oleh batuan piroklastik
dan endapan lahar, sedangkan lava ditemukan di dasar sungai. Pola aliran sungai
yang berkembang di dalam satuan morfologi ini adalah paralel.
Berdasarkan Klasifikasi Brahmantyo dan Bandono (2006) yang
mengklasifikasikan bentang alam berdasarkan proses, morfologi yang terdapat
pada G.Tangkubanparahu dan sekitarnya terdiri dari punggungan dinding
kaldera (Kaldera sunda), dataran kaldera (Situ Lembang), Kerucut gunungapi
(G.Sunda, G. Burangrang,dll) , Kawah gunungapi (terbuka ke utara) dan
punggungan Block sesar (sesar lembang).
4 | P a g e
G. tangkubanparahu G.Sunda
sesar Lembang
Situ lembang
G. Burangrang Jayagiri
W E
Gambar klasifikasi bentang alam pegunungan Gunungapi (Brahmantyo dan
Bandono, 2006)
2.3 Litologi dan Stratigrafi
Secara umum, Gunung Tangkubanparahu tersusun dari perselingan antara
aliran lava dan breksi piroklastik. Litologi lava dan breksi piroklastik tersebut
terbentuk karena lava Gunung api Tangkubanparahu yang berjenis intermediet
sehingga tipe erupsinya berupa campuran antara aliran lava dan ledakan
(explosion). Oleh karena itu, Gunung Tangkubanparahu dimasukkan ke dalam
golongan gunung api strato (stratovolcano). Secara petrografi, lava
Tangkubanperahu terbagi atas lava andesit basalt augit hipersten, lava basalt
pigeonit enstatif dan andesit augit hipersten. Penghabluran plagioklas, piroksen
augit, hipersten dan olivin serta oksida bijih dalam wujud fenokris mikra dan
makro sebagai masa dasar berbutir agak kasar bersama-sama dalam masa dasar
kaca gunungapi. Beberapa fenokris plagioklas menunjukkan lubang korosi tak
teratur diduga bertindak sebagai mineral bawaan (senokris) (Syarifudin, 1984).
5 | P a g e
Gambar Peta Geologi lembar Bandung (Silitonga, 1973)
Qc KOLUVIUM berasal dari reruntuhan gunungapi tua, berupa bongah-
bongkah batuan beku andesit-basal ,breksi, batupasir, tufa, dan lempung
tufa.
Qyd TUFA PASIR berasal dari G. Dano dan G. Tangkubanparahu (erupsi “C”
Van Bemmelen, 1934). Tufa Pasir Cokelat sangat sarang, mengandung
kristal-kristal hornblenda yang kasar, lahar lapuk kemerah-merahan,
lapisan-lapisan lapili dan breksi.
Qyl LAVA berupa aliran Lava muda, terutama dari G. Tangkubanparahu, dan
G. Tampomas, umumnya bersifat basaldan mengandung lobang-lobang
gas (erupsi”B”), Van Bemmelen, 1934)
Qyt TUFA BERBATUAPUNG berupa pasir tufaan, lapili, bom-bom, lava
berongga, dan kepingan-kepingan andesit-basal padat yang bersudut
dengan banyak bongkah-bongkah dan pecaahan-pecahan batuapung.
6 | P a g e
Qyl
Qyd
Qob
Qc
Qyt
Qvu
Berasal dari G. Tangkubanparahu (Erupsi “A”, van Bemmelen 1934) dan
G. Tampomas.
Qvu HASIL GUNUNG API TUA TAK TERURAIKAN berupa breksi
gunungapi. Lahar dan lava berseling-seling
Qob HASIL GUNUNGAPI LEBIH TUA, berupa breksi dan pasir tufa
berlapis-lapis dengan kemiringan yang kecil
2.4 Struktur Geologi
Sesar Lembang adalah sebuah sesar terbesar di daerah ini, yang
melintang darti barat ke timur. Sesar ini terletak atau melalui Lembang dari mana
nama sesar ini berasal yang kira-kira 10 km sebelah utara Bandung. Ini adalah
sebuah sesar aktif dengan gawir sesar sangat jelas yang menghadap ke utara.
Sesar ini yang panjang seluruhnya kira-kira 22 km dapat diamati sebagai suatu
garis lurus dari G. Palasari di timur ke barat dekat Cisarua. Penyelidikan-
penyelidikan terdahulu telah menghubungkan bahwa sesar Lembang yang
dominannya adalah sesar normal terjadi setelah letusan besar G. Sunda yang
berlangsung pada zaman Kuarter Tua.
Gambar . Sesar Lembang dilihat dari Citra SRTM Global Mapper
7 | P a g e
W ELembang
2.5 Geokimia
Penyelidikan geokimia di gunungapi dimaksudkan untuk mengetahui
perubahan tingkat kegiatan gunungapi, bahkan hingga pada perkiraan letusan.
adanya peningkatah suhu jauh di bawah permukaan akan mempengaruhi
komposisi serta konsentrasi gas yang dikeluarkan melalui lubang kepundan.
Dengan menggunakan teknik tertentu diambilah contoh-contoh gas yang
kemudian di analisis di laboratorium dengan beberapa metode, maka diperoleh
kakndungan unsur-unsur kimia gas. Pengambilan contoh gas dilakukan di Kawah
Ratu, Kawah Upas, Kawah Baru dan Kawah Domas.Secara umum gas vulkanik
Gunung Tangkubanparahu yang dikeluarkan dari setiap lubang solfatara
dicirikan oleh besarnya kandungan belerang dan uap air. Kadar uap air
ditentukan dengan perhitungan berat menggunakan P205 kering sebagai
penyerapnya. Hasil analisis contoh-contoh tersebut menunjukkan kandungan
unsur-unsur kalsium, magnesium, silikat, besi, sulfat, klorida, natrium, kalium
dan lithium relatif tinggi, sedangkan unsur kalsium, magnesium, natrium dan
kalium dipergunakan untuk menghitung besarnya suhu bawah permukaan dengan
beberapa grafik standar (sriwana, 1985). Pemeriksaan petrokimia aliran lava
Gunung Sunda dan Gunung Tangkubanperahu, menunjukkan bahwa gunungapi
Sunda bersumber pada kegiatan erupsi magmatis dari kelompok dioritik gabro
dan dioritik termasuk seri alkali kapur kaya akan alumina tinggi berasosiasi
dengan magma toleitik.
Penyebaran lava selama kegiatan erupsi cenderung bersusunan andesit
augit hipersten dan andesit basalt augit hipersten (Syarifudin, 1984).
Penerapan metode petrokimia melalui diagram Hutchison (1973) dapat
menjelaskan bahwa proses magmatis gunungapi Sunda dan alkali kapur sangat
kaya alkali terutama K2O dan Na2O, sedangkan magma seri toleitik sangat
miskin alkali tersebut di atas (Syarifudin, 1984). Seri alkali kapur ini
menunjukkan semakin meningkatnya kadar oksida besi dan oksida MgO relatif
tinggi dibandingkan dengan magma seri toleitik, erat hubungannya dengan
8 | P a g e
terbawanya mineral magnetit, piroksen dan olivin dalam bentuk asosiasi dengan
magma toleitik. Proses magmatis Gunungapi TangkubanPerahu bersumber pada
seri alkali kapur alumina tinggi dan seri alkali kapur K-tinggi. Magma seri alkali
kapur alumina tinggi kaya akan CaO dan Al2O3. Seri alkali kapur K-tingi
cenderung relatif kaya akan Na2O dan K2O dibandingkan dengan magma seri
alkali kapur alumina tinggi. Ciri lain yang dapat dijelaskan adalah bahwa seri
alkali kapur alumina tinggi relatif kaya akan oksida MgO sedangkan seri alkali
kapur K-tinggi relatif meningkatnya oksida besi FeO. Secara kimia, keaktifan
Gunungapi Tangkubanperahu bersumber pada magma:
a. alkali kapur alumina tinggi dari andesit basaltis sampai basalt dan
b. alkali kapur K-tinggi dan andesit basaltis sampai basalt
Gunungapi Tangkubanperahu mempunyai ciri petrokimia cenderung
pada kelompok (a) magma dioritik gabro dan (b) magma dioritik (syarifudin,
1984). Gunungapi Tangkubanperahu mempunyai sumber keaktifan magma pada
kedalaman zona dalam (Syarifudin, 1984) mempunyai temperatur magma antara
1010 derajat celcius - 1220 derajat celcius.
Tabel. Komposisi Kimia Gas Vulkanik Kawah Ratu
9 | P a g e
2.6 Geofisika (penyelidikan geomagnet)
Penyelidikan geomagnet di G. Tangkubanparahu dilakukan dengan
maksud untuk membuat peta anomali magnet dengan tujuan mengetahui pola
sebaran batuan dan kondisi geologi serta stuktur daerah tersebut berdasarkan pola
anomalinya.
Berdasarkan beberapa parameter seperti gaya magnet, kuat medan
magnet, momen magnet, intensitas magnetisasi dan suseptibilitas magnet, maka
peta anomali kemagnetan di G. Tangkubanparahu dapat diperoleh dan
diinterpretasikan baik untuk penyebaran batuan, kondisi geologi maupun struktur
geologi yang ada di daerah tersebut. Berdasarkan interpretasi hasil penyelidikan
geomagnet oleh S. Palgunadi & Y. Hidayat, 2000 maka dapat disimpulkan
sebagai berikut :
Pola anomali magnet G. Tangkubanparahu memberi gambaran
prakiraan kaldera Sunda dengan bentuk elips relatif berarah tenggara-baratlaut.
Sebaran anomali magnet tinggi dengan membentuk kelurusan bulatan-bulatan
kontur di dalam kaldera Sunda, dapat diasosiasikan dengan terdapatnya batuan
terobosan (dyke?) melalui sesar barat-timur melewati puncak, dimana hal ini
didukung oleh terdapatnya harga positif dari anomali gaya berat.
G. Tangkubanparahu muncul pada jalur sesar berarah barat-timur, dimana
sebagian intrusi magma telah membeku membentuk suatu dike. Zona lemah yang
terdapat di dagian selatan dan barat, memungkinkan berlangsungnya aktifitas G.
Tangkubanparahu saat ini. Perpindahan titik-titik aktivitas (kawah) G.
Tangkubanparahu mempunyai trend arah sesar yaitu barat-timur. Struktur sesar
sangat menonjol ditampilkan oleh pola anomali sisa magnet (Contoh: Sesar
Lembang). Sumber air panas di Ciater, dimungkinkan akibat adanya pemanasan
air bawah permukaan yang berasal dari G. Tangkubanparahu yang mengalir
melalui bidang sesar.
10 | P a g e
2.7 Pembentukan Gunung
Proses pembentukan Gunung Tangkubanparahu masih menyisakan
tanda tanya bagi para ahli. Dugaan sementara proses pembentukan Gunung
Tangkubanparahu dan wilayah Bandung saling berhubungan satu sama lain.
Salah satu teori menyebutkan bahwa Gunung Tangkubanparahu dan wilayah
Bandung merupakan sisa-sisa dari aktivitas gunung api purba di masa lalu.
Gunung Tangkubanparahu berasal dari sebuah gunung api purba yang
bernama Gunung Sunda. Gunung Tangkubanparahu diyakini sebagai sisa dari
letusan Gunung Sunda tersebut. Topografi Bandung yang berupa cekungan
dengan bukit dan gunung di sekitarnya semakin menguatkan teori bahwa
Bandung merupakan hasil depresi vulkanik berupa kawah Gunung Sunda.
Fenomena seperti ini dapat dilihat pada Gunung Krakatau di Selat Sunda dan
kawasan Ngorongro di Tanzania, Afrika Stehn (1929) meneliti tentang urutan
pembentukan tiap kawah di gunung ini. Dia menyimpulkan bahwa kawah tertua
(I) adalah kawah Pangguyangan Badak, telah hancur karena letusan
pembentukan kawah kedua atau kawah Upas (II), sehingga yang tampak
sekarang dari Kawah Pangguyangan Badak hanyalah pinggiran kawahnya saja.
Secara periodik letusan terjadi kembali, yang akhirnya menghancurkan
Kawah Upas menjadi Kawah Upas yang selanjutnya (III). Setelah itu, pusat
letusan bergerak menghancurkan kawah I, kawah II, kawah III di bagian timur
sehingga terbentuklah Kawah Ratu (IV). Letusan berikutnya terjadi di dasar
kawah III dan menghasilkan Kawah Upas (V).Kemudian terjadi lagi perpindahan
pusat letusan dari arah barat ke timur dan terbentuklah Kawah Ratu (VI). Letusan
berikutnya terjadi di lereng sebelah timur, sebagai letusan lereng menghasilkan
Kawah Jurig (X), Kawah Domas, Kawah Badak, Kawah Jarian (XI), dan Kawah
Siluman (XII). Aktivitas letusan kemudian bergerak ke arah barat di tahun 1896
terjadi letusan di bagian bawah Kawah Upas (II) membentuk Kawah Baru (VII).
Di tahun 1910 aktivitas berikutnya ke arah timur. Di bagian bawah Kawah Ratu
(VIII). Pada tahun 1926 terjadi hal yang sama, menghasilkan kawah yang lebih
11 | P a g e
kecil ukuranya, dinamakan Kawah Ecoma (IX). Pada tangaal 1 Mei 1960
aktivitas letusan membentuk lubang di dasar Kawah Ratu, Kawah (XIII). Pusat
letusan yang selalu berpindah sepanjang 1100 m mengakibatkan proses
penghancuran pada kawah terdahulu hanya berupa pinggiran kawah saja.
Akhirnya pergerakan pusat letusan dari Kawah Pangguyangan Badak ke Kawah
Ratu menghasilkan bentuk puncak gunung Tangkubanparahu menjadi tidak
lancip melainkan berbentuk seperti perahu terbalik.
Van Bemmelen, 1935, meneliti sejarah geologi Bandung. Pengamatan
dilakukan terhadap singkapan batuan dan bentuk morfologi dari gunung api-
gunung api di sekitar Bandung. Penelitian yang dilakukan berhasil mengetahui
bahwa danau Bandung terbentuk karena pembendungan Sungai Citarum purba.
Pembendungan ini disebabkan oleh pengaliran debu gunung api masal dari
letusan dasyat Gunung Tangkuban Parahu yang didahului oleh runtuhnya
Gunung Sunda Purba di sebelah baratlaut Bandung dan pembentukan kaldera di
mana di dalamnya Gunung Tangkuban Parahu tumbuh. Van Bemmelen secara
rinci menjelaskan, sejarah geologi Bandung dimulai pada zaman Miosen (sekitar
20 juta tahun yang lalu).
Saat zaman Miosen daerah Bandung utara merupakan laut, terbukti
dengan banyaknya fosil koral yang membentuk terumbu karang sepanjang
punggungan bukit Rajamandala. Kondisi sekarang, terumbu tersebut menjadi
batukapur dan ditambang sebagai marmer yang berpolakan fauna purba.
Pegunungan api diyakini masih berada di daerah sekitar Pegunungan
Selatan Jawa. Sekitar 14 juta sampai 2 juta tahun yang lalu, laut diangkat secara
tektonik dan menjadi daerah pegunungan yang kemudian 4 juta tahun yang lalu
dilanda dengan aktivitas gunung api yang menghasilkan bukit-bukit yang
menjurus utara selatan antara Bandung dan Cimahi, antara lain Pasir Selacau.
Pada 2 juta tahun yang lalu aktivitas vulkanik ini bergeser ke utara dan
membentuk gunung api purba yang dinamai Gunung Sunda, yang diperkirakan
mencapai ketinggian sekitar 3000 m di atas permukaaan air laut. Sisa gunung
purba raksasa ini sekarang adalah punggung Gunung.
12 | P a g e
Sekitar Situ Lembang (salah satu kerucut sampingan sekarang disebut
Gunung Sunda) dan Gunung Burangrang diyakini sebagai salah satu kerucut
sampingan dari Gunung Sunda Purba ini. Sisa lain dari lereng Gunung Sunda
Purba ini terdapat di sebelah utara Bandung, khususnya sebelah timur Sungai
Cikapundung sampai Gunung Malangyang, yang oleh van Bemmelen (1935,
1949) disebut sebagai Blok Pulasari. Pada lereng ini terutama ditemukan situs-
situs artefak, yang diteliti lebih lanjut oleh Rothpletz pada zaman Jepang dan
pendudukan Belanda di Masa Perang Kemerdekaaan. Sisa lain dari Gunung
Sunda Purba ini adalah G.Putri di sebelah timur laut Lembang (Koesoemadinata,
2001).
Gunung Sunda Purba itu kemudian runtuh, dan membentuk suatu
kaldera (kawah besar yang berukuran 5-10 km) yang ditengahnya lahir Gunung
Tangkuban Parahu, yang disebutnya dari Erupsi A dari Tangkuban Parahu,
bersamaan pula dengan terjadinya patahan Lembang sampai Gunung
Malangyang, dan memisahkan dataran tinggi Lembang dari dataran tinggi
Bandung. Kejadian ini diperkirakan van Bemmelen (1949) terjadi sekitar 11.000
tahun yang lalu.
Suatu erupsi cataclysmic kedua terjadi sekitar 6000 tahun yang lalu
berupa suatu banjir abu panas yang melanda bagian utara Bandung (lereng
Gunung Sunda Purba) sebelah barat Sungai Cikapundung sampai sekitar
Padalarang di mana Sungai Citarum Purba mengalir ke luar dataran tinggi
Bandung. Banjir abu vulkanik ini menyebabkan terbendungnya Sungai Citarum
Purba, dan terbentuklah Danau Bandung.
Tahun 90-an, Dam dan Suparan (1992) dari Direktorat Tata Lingkungan
Departemen Pertambangan mengungkapkan sejarah geologi dataran tinggi
Bandung. Penelitian ini menggunakan teknologi canggih seperti metoda
penanggalan pentarikhan radiometri dengan isotop C-14 dan metode U/Th
disequilibirum. Pengamatan terhadap perlapisan endapan sedimen Danau
Bandung dari 2 lubang bor masing-masing sedalam 60 m di Bojongsoang
(Kabupaten Bandung) dan sedalam 104 m di Sukamanah (Kabupaten Bandung);
13 | P a g e
melakukan pentarikhan dengan metoda isotop C-14 dan 1 metoda U/Th
disequilibirum; dan pengamatan singkap dan bentuk morfologi di sekitar
Bandung.
Berbeda dengan Sunardi (1997) yang mendasarkan penelitiannnya atas
pengamatan paleomagnetisme dan pentarikhan radiometri dengan metode K-Ar.
Simpulan penting adalah bahwa pentarikhan kejadian-kejadian ini jauh lebih tua
daripada diperkirakan oleh van Bemmelen (1949), kecuali periode
pembentukanGunung Sunda Purba serta kejadian-kejadian sebelumnya.
Keberadaan danau purba Bandung dapat dipastikan, bahkan turun naiknya muka
air danau, pergantian iklim serta jenis floranya dapat direkam lebih baik (van der
Krass dan Dam, 1994).
Hasil yang diperoleh, pembentukan danau Bandung bukan disebabkan
oleh suatu peristiwa ledakan Gunung Sunda atau Tangkuban Parahu, tetapi
mungkin karena penurunan tektonik dan peristiwa denudasi dan terjadi pada 125
KA (kilo-annum/ribu tahun) yang lalu (Dam et al, 1996).
Keberadaan Gunung Sunda Purba dipastikan antara 2 juta sampai 100
juta tahun yang lalu berdasarkan pentarikhan batuan beku aliran lava, antara lain
di Batunyusun timur laut Dago Pakar di Pulasari Schol (1200 juta tahun),
Batugantung Lembang 506 kA (ribu tahun) dan di Maribaya (182 dan 222 kA).
Memang suatu erupsi besar kataklismik (cataclysmic) terjadi pada 105 ribu tahun
yang lalu, berupa erupsi Plinian yang menghasilkan aliran besar dari debu panas
yang melanda bagian baratlaut Bandung dan membentuk penghalang topografi
yang baru di Padalarang (Kabupaten Bandung Barat), yang mempertajam
pembentukan danau Bandung. Erupsi besar ini diikuti dengan pembentukan
kaldera atau runtuhnya Gunung Sunda yang diikuti lahirnya Gunung Tangkuban
Parahu beberapa ratus atau ribu kemudian, yang menghasilkan aliran lava di
Curug Panganten (Kota CImahi) 62 ribu tahun yang lalu, sedangkan sedimentasi
di danau Bandung berjalan terus. Suatu ledakan gunung api cataclysmic kedua
terjadi antara 55 dan 50 ribu tahun yang lalu, juga berupa erupsi Plinian dan
melanda Bandung barat laut, sedangkan aliran-aliran lava di Curug Dago dan
14 | P a g e
Kasomalang (Subang), terjadi masing-masing 41 dan 39 ribu tahun yang lalu.
Sementara itu, sedimentasi di Danau Bandung berjalan terus, antara lain
pembentukan suatu kipas delta purba yang kini ditempati oleh Kota Bandung
pada permukaan danau tertinggi. Akhir dari Danau Bandung pun dapat
ditentukan pentarikhannya yaitu 16 ribu tahun yang lalu.
Pendapat lain mengatakan Gunung Sunda (1.854 m. dpl.) yang terdapat
dalam peta, itu hanyalah kerucut kecil dalam rangkaian panjang kaldera Gunung
Sunda. Gunung Sunda yang sebenarnya dibangun dengan dasar gunung selebar
lebih dari 20 km lebih, dengan ketinggian ± 4.000 m dpl. Sangat mungkin tinggi
sesungguhnya lebih dari taksiran itu, sebab, pada umumnya sebuah gunung yang
meletus hingga membentuk kaldera, menghancurkan dua per tiga tubuh
gunungnya. Kalau saat ini titik tertinggi dari kaldera Gunung Sunda adalah 2.080
m dpl., artinya, tinggi gunung tersebut hanyalah satu per tiga bagian dari Gunung
Sunda.
Sebelum Gunung Sunda terbangun, di sana terdapat Gunung Jayagiri.
Letusan-letusan pertamanya mengalirkan lava yang terjadi dalam rentang waktu
antara 560.000-500.000 tahun yang lalu. Kemudian letusan-letusan besar
mengambrukkan badan gunung ini hingga membentuk kaldera.
Tiga ribu abad kemudian, dari dalam kaldera itu terjadi aktivitas yang
membangun gunung baru, yaitu Gunung Sunda. Letusan dahsyat Gunung Sunda
oleh MNK dibagi menjadi tiga episode letusan utama. Episode pertama berupa
letusan-letusan yang mengalirkan lava, terjadi antara 210.000-128.000 tahun
yang lalu. Episode kedua, terjadi 13 unit letusan, dalam satu unit letusan dapat
terjadi lebih dari satu kali letusan besar. Episode ketiga berupa letusan-letusan
yang mengambrukkan badan gunung ini hingga membentuk kaldera, yang terjadi
±105.000 tahun yang lalu.
Episode ketiga letusan Gunung Sunda dibagi lagi menjadi tiga fase
letusan. Pertama fase plinian, letusan dengan tekanan gas yang sangat tinggi,
melontarkan material sebanyak 1,96 km kubik ke angkasa, membentuk tiang
15 | P a g e
letusan setinggi 20 km dengan payung letusan sepanjang 17,5 km dan lebarnya 7
km.
Kedua fase freatomagmatik, letusan yang melontarkan awan debu dengan
butiran-butiran kerikil gunung api, volumenya 1,71 km kubik. Ketiga fase
ignimbrit, yang terjadi ±105.000 tahun yang lalu, yang menurut penelitian Rudy
Dalimin Hadisantono (1988), volume yang dilontarkannya sebanyak 66 km
kubik, yang mengarah ke baratlaut, selatan, dan timurlaut dari pusat letusan,
menutupi kawasan seluas 200 km persegi dengan rata-rata ketebalan 40 meter,
seperti dapat dilihat di Ciseupan, Campaka, Cisarua, Kampung Manglayang,
Cipeusing, dan Taman hutan raya Ir. H. Djuanda. Belum terhitung 40% dari total
material gunung api yang melayang-layang di angkasa dan jatuh di belahan bumi
yang sangat jauh. Akibat banyaknya material yang dikeluarkan, sebagian besar
dari tubuh Gunung Sunda ambruk dan membentuk kaldera seluas 6,5 x 7,5 km2.
Pada letusan dahsyat fase ketiga inilah material letusan Gunung Sunda
dengan seketika mengubur apa saja yang ditimpanya. Hutan belantara terkubur
bersamaan dengan makhluk hidup yang ada di dalamnya seperti badak, rusa, dan
kijang yang sedang berada di lembah Ci Tarum, berjarak ± 35 km dari pusat
letusan (Umbgrove dan Stehn: 1929, R.W. van Bemmelen: 1936, Th. H.F.
Klompe: 1956). Arang kayu seukuran drum yang melintang searah datangnya
awan panas ditemukan di penggalian pasir Ciseupan, Cibeber, Kota Cimahi.
Letusan Gunung Sunda fase yang telah mengurug Ci Tarum Purba di
utara Padalarang, kemudian membentuk danau raksasa, Danau Bandung Purba.
Bagian sungai ke arah hilir yang tidak tertimbun kini dinamai Ci Meta, sungai
kecil dalam lembah besar Ci Tarum Purba. Dari kaldera Gunung Sunda
kemudian lahir Gunung Tangkubanparahu.
Letusan-letusannya dibagi ke dalam dua kategori letusan seperti ditulis
MNK, yaitu letusan Gunung Tangkubanparahu tua, antara 90.000-10.000 tahun
yang lalu, yang pernah meletus sebanyak 30 unit letusan, dan letusan Gunung
Tangkubanparahu muda, antara 10.000 – 50 tahun yang lalu, yang meletus 12
unit letusan.
16 | P a g e
Setelah letusan gunungapi Sunda, terjadilah gerak naik-turun dalam kerak
bumi. Oleh gerakan ini, maka terbentuklah patahan atau sesar Lembang. Bagian
sebelah utara turun sekitar 450 m dibandingkan bagian selatan. Contoh yang jelas
dari patahan ini adalah pada bukit Batu dan Batu Gantung. Bukit-bukit ini yang
dahulu merupakan satu arus lava, terpotong dan seakan-akan tergantung. Setelah
pembentukan patahan Lembang, gunung Tangkubanparahu mulai terbetuk pada
jaman Kwarter muda.
2.8 Sejarah Letusan
Menurut penelitian seorang ahli geologi Belanda, Van Bammelen, di
tahun 1934, riwayat letusan gunungapi Tangkubanparahu dapat di bagi menjadi
tiga periode berdasarkan coraknya, yaitu :
1. Tahap A, tahap explosive. Selama tahap ini dikeluarkan berbagai bahan
letusan yang terdiri atas segala ukuran, sehingga menutupi permukaan sekitarnya
dan dihanyutkan sebagai lahar atau lumpur gunungapi. Saat itu di duga bahan
letusanya menutupi aliran Sungai Citarum Purba sehingga airnya menggenangi
cekungan Bandung dan terjadilah Danau Bandung Purba.
2. Tahap B, tahap effusive. Pada tahap ini bahan letusan terdiri dari aliran lava.
3. Tahap C, tahap pembentukan gunung yang sekarang.17 | P a g e
Erupsi Tangkubanparahu dewasa ini tergolong fasa C, berupa erupsi
esplosif yang kecil-kecil saja dan kadang-kadang diselingi oleh erupsi
freatik. Secara nyata ikhtisar erupsinya dapat diuraikan sebagai berikut:
1829erupsi abu dan batu dari kawah Ratu dan Domas
terjadi erupsi, peningkatan kegiatan
1846terbentuk fumarol baru di sebelah utara kawah Badak
1896erupsi uap dari kawah Ratu
1900kolom asap membubung setinggi 2 km di atas dinding
1910kawah, erupsi berasal dari kawah Ratu
1926erupsi freatik di kawah Ratu membentuk lubang Ecoma
1935lapangan fumarol baru disebut Badak terjadi, 150 m ke
arah selatan baratdaya dari kawah Ratu
1952erupsi abu didahului oleh erupsi hidrothermal (freatik)
1957erupsi freatik di kawah Ratu, terbentuk lubang kawah baru
1961,1965,1967erupsi freatik
1969erupsi freatik didahului oleh erupsi lemah menghasilkan
abu
1971erupsi freatik
1983awan abu membubung setinggi 159 m di atas Kawah ratu
1992peningkatan kegiatan kuat dengan gempa seismik dangkal
dengan erupsi freatik kecil
1994erupsi freatik di kawah Baru
1999 Peningkatan kegiatan
2002 Peningkatan kegiatan
2005 Peningkatan kegiatan
2.9 Tata Guna Lahan
18 | P a g e
Tata guna lahan merupakan sebuah pemanfaatan dan penataan lahan
yang di lakukan sesuai dengan kondisi bentukan muka bumi. Dalam hal ini tata
guna lahan di sekitar G.Tangkubanparahu.
G. Tangkubanparahu merupakan salah satu gunung api yang mudah
untuk diakses. Kawasan di sekitar G. Tangkubanparahu merupakan daerah
wisata alam yang menarik, baik dari hayati ataupun geologi. Mayoritas
komoditas utama masyrakat di sekitar G. Tangkubanparahu adalah bertani,
berkebun, beternak, sama seperti di tempat-tempat lainnya yang ada di Indonesia.
Selain dari aktivitas mata pencaharian, kebutuhan untuk hidup seperti
ketersediaan air bersih untuk memenuhi aktivitas hidup itu di butuhkan oleh
masyarakat sekitar kawasan G.Tangkubanparahu.
Dari data distribusi penggunaan lahan di kawasan bandung utara arahan
penggunaan lahan KBU di peruntukan bagi hutan 68,69%, dan peruntukan aneka
pertanian tanaman keras dan hortikultura 20,73%, dan untuk penggunaan lahan
lainnya seperti permukiman perkotaan maupun pedesaan serta peruntukan
lainnya 10,58 % (dari luas 38.548,35 ha). Berdasarkan arahan penggunaan lahan,
di KBU dapat di gunakan juga dalam hal kegiatan pariwisata, rekreasi dan
ilmiah.
2.10 Ancaman Bencana Dan Mitigasi
19 | P a g e
Bahaya Letusan Gunung Api di bagi menjadi dua berdasarkan waktu
kejadiannya, yaitu :
Bahaya Utama (Primer)
Awan Panas, merupakan campuran material letusan antara gas dan
bebatuan (segala ukuran) terdorong ke bawah akibat densitas yang tinggi dan
merupakan adonan yang jenuh menggulung secara turbulensi bagaikan gunung
awan yang menyusuri lereng.
Selain suhunya sangat tinggi, antara 300 – 700 ° Celcius, kecepatan
lumpurnya pun sangat tinggi, > 70 km/jam (tergantung kemiringan lereng).
Lontaran Material (pijar),terjadi ketika letusan (magmatik) berlangsung. Jauh
lontarannya sangat tergantung dari besarnya energi letusan, bisa mencapai
ratusan meter jauhnya. Selain suhunya tinggi (>200?C), ukuran materialnya pun
besar dengan diameter > 10 cm sehingga mampu membakar sekaligus melukai,
bahkan mematikan mahluk hidup. Lazim juga disebut sebagai "bom vulkanik".
Hujan Abu lebat, terjadi ketika letusan gunung api sedang berlangsung.
Material yang berukuran halus (abu dan pasir halus) yang diterbangkan angin
dan jatuh sebagai hujan abu dan arahnya tergantung dari arah angin. Karena
ukurannya yang halus, material ini akan sangat berbahaya bagi pernafasan,
mata, pencemaran air tanah, pengrusakan tumbuh-tumbuhan dan mengandung
unsur-unsur kimia yang bersifat asam sehingga mampu mengakibatkan korosi
terhadap seng dan mesin pesawat.
Lava, merupakan magma yang mencapai permukaan, sifatnya liquid
(cairan kental dan bersuhu tinggi, antara 700 - 1200?C. Karena cair, maka lava
umumnya mengalir mengikuti lereng dan membakar apa saja yang dilaluinya.
Bila lava sudah dingin, maka wujudnya menjadi batu (batuan beku) dan daerah
yang dilaluinya akan menjadi ladang batu.
Gas Racun, muncul tidak selalu didahului oleh letusan gunung api sebab
gas ini dapat keluar melalui rongga-rongga ataupun rekahan-rekahan yang
terdapat di daerah gunung api. Gas utama yang biasanya muncul adalah CO2,
20 | P a g e
H2S, HCl, SO2, dan CO. Yang kerap menyebabkan kematian adalah gas CO2.
Beberapa gunung yang memiliki karakteristik letusan gas beracun adalah
Gunung Api Tangkubanparahu, Gunung Api Dieng, Gunung Ciremai, dan
Gunung Api Papandayan.
Tsunami, umumnya dapat terjadi pada gunung api pulau, dimana saat
letusan terjadi material-material akan memberikan energi yang besar untuk
mendorong air laut ke arah pantai sehingga terjadi gelombang tsunami.
Bahaya Ikutan (Sekunder)
Bahaya ikutan letusan gunung api adalah bahaya yang terjadi setelah
proses peletusan berlangsung. Bila suatu gunung api meletus akan terjadi
penumpukan material dalam berbagai ukuran di puncak dan lereng bagian atas.
Pada saat musim hujan tiba, sebagian material tersebut akan terbawa oleh air
hujan dan tercipta adonan lumpur turun ke lembah sebagai banjir bebatuan,
banjir tersebut disebut lahar.
Letusan G. Tangkubanparahu dapat digolongkan sebagai letusan kecil..
Menurut Klompe (1954),Bandung hanya akan terlanda letusan bila erupsi terjadi
di kawah Badak. Berdasarkan pengalaman sejak abad ke 19, gunungapi ini tidak
pernah menunjukkan erupsi magmatik besar kecuali erupsi kecil-kecil yang
menghasilkan abu tanpa diikuti oleh leleran lava, awan panas ataupun lontaran
batu pijar. Erupsi freatik umumnya dominan dan biasanya diikuti oleh
penigkatan suhu solfatara dan fumarola di beberapa kawah yang aktif yaitu
Kawah Ratu, Kawah Baru, dan Kawah Domas.
Material vulkanik yang dilontarkan umumnya abu yang sebarannya
terbatas di sekitar daerah puncak hingga beberapa kilometer. Semburan lumpur
hanya terbatas di daerah sekitar kawah. Pada waktu peningkatan kegiatan, asap
putih fumarola/solfatara kadang-kadang diikuti oleh peningkatan gas-gas
vulkanik seperti gas racun CO dan CO2. Bila akumulasi gas-gas racun di sekitar
kawah aktif semakin tinggi, daerahnya dapat diklasifikasikan ke dalam daerah
21 | P a g e
bahaya primer terbatas. Bahaya sekunder seperti banjir lahar tidak pernah terjadi
dalam waktu sejarah.
Longsoran lokal terjadi di dalam kawah dan lereng atas yang terjal.
Berdasarkan sejarah kegiatannya, sifat erupsi, komposisi kimia dan frekwensi
letusannya yang tergolong jarang, kawasan rawan bencana G. Tangkubanparahu
dapat dibagi dua tingkatan yaitu Kawasan Rawan Bencana II dan Kawasan
Rawan Bencana I.
A. Kawasan Rawan Bencana II
Secara umum yang disebut kawasan rawan bencana II adalah kawasan yang
berpotensi terlanda oleh awan panas, aliran lava, lontaran atau guguran batu
(pijar), hujan abu lebat, hujan lumpur (panas), aliran lahar dan gas beracun).
Kawasan ini dibagi menjadi dua, yaitu:
Kawasan rawan bencana terhadap aliran massa berupa awan panas, aliran
lava, guguran batu (pijar), aliran lahar dan gas beracun.
Untuk Tangkubanparahu, bahaya aliran massa yang mungkin terjadi
adalah lava, gas beracun dan kemungkinan base surge, sedangkan awan panas
dan lahar kemungkinannya kecil. Aliran lava juga diperkirakan hanya terbatas di
daerah kawah dan sekitarnya, kecuali terjadi erupsi/letusan samping. Bila terjadi
peningkatan kegiatan atau letusan masyarakat yang tinggal di dalam Kawasan
Rawan Bencana II diharuskan mengungsi sesuai dengan saran Direktorat
Vulkanologi.
Kawasan rawan bencana terhadap material lontaran dan jatuhan seperti
lontaran batu (pijar), aliran lahar dan gas beracun.
Bencana terhadap lontaran batu (pijar), hujan abu lebat dan hujan lumpur
(panas) kemungkinan dapat melanda daerah sekitar puncak hingga radius 3 km
dari pusat letusan (berdasarkan sejarah kegiatan masa lalu dan data geologi yang
ada).
22 | P a g e
B. Kawasan Rawan Bencana I
Kawasan Rawan Bencana I adalah kawasan yang berpotensi terlanda
lahar/banjir dan tidak menutup kemungkinan dapat terkena perluasan awan panas
dan aliran lava. Kawasan ini terletak di sepanjang sungai/ di dekat lembah sungai
atau bagian hilir sungai yang berhulu di daerah puncak. Selama letusan
membesar, kawasan ini berpotensi tertimpa material jatuhan berupa hujan abu
lebat dan lontaran batu (pijar).
Kawasan rawan bencana I juga terbagi menjadi dua, yaitu :
Kawasan rawan bencana terhadap aliran massa berupa lahar/banjir, dan
kemungkinan perluasan awan panas dan aliran lava. Telah disebutkan pada
paragraf di atas bahwa awan panas kemungkinannya kecil terjadi, sedangkan
sebagian besar material lahar terdiri atas endapan awan panas. Oleh karena
itu, lahar juga termasuk bahaya yang kemungkinannya kecil terjadi kecuali
yang berupa banjir biasa. Adapun aliran lava diperkirakan hanya terbatas di
daerah kawah dan sekitarnya, kecuali terjadi erupsi samping. Namun
demikian, data geologi gunungapi Tangkubanparahu menunjukkan bahwa di
lereng utara ditemukan aliran lava cukup luas diantaranya hasil erupsi
samping pada masa pra sejarah seperti di daerah Jalan Cagak, Kasomalang,
Ciceuri (Sagala Herang). Ke arah selatan aliran lava mencapai Cikole
(daerah) Lembang dan Bandung seperti di Cikapundung (Curug Dago),
Gunungbatu dan beberapa sungai lain di lereng selatan dan barat seperti
Cimahi, Cihideung dan Cibodas yang cukup jauh ±10-15 km dari pusat
erupsi.
Kawasan rawan bencana terhadap jatuhan berupa hujan abu tanpa
memperhatikan arah tiupan angin dan kemungkinan dapat terkena lontaran
batu (pijar). Berdasarkan data geologi, daerah yang dapat terkena hujan abu
Daerah di Kawasan Rawan Bencana I yang berpotensi dilanda bahaya
kemungkunan lontaran batu mencapai radius 3 km dari pusat erupsi.
23 | P a g e
Sedangkan kawasan yang berpotensi dilanda jatuhan piroklastik (hujan abu)
dapat mencapai radius 5 km dari pusat erupsi.
Peta Kawasan Rawan Bencana G. Tangkubanparahu
24 | P a g e
BAB III
KESIMPULAN
25 | P a g e
Daftar Pustaka
Bachtiar, T., 2011, “Danau Bandung Purba: Kedahsyatan Cinta Sang Kuriang
Dan Letusan Gunung Sunda”, “Geomagz”, Vol.I. No. I Maret 2011, Hal.
38-47, Badan Geologi Kementerian ESDM.
Brahmantyo, Budi, dan Bandono, 2006, “Klasifikasi Bentuk Muka Bumi
(Landform) Untuk Pemetaan Geomorfologi Skala 1:25.000 Dan
Aplikasinya Untuk Penataan Ruang”, “Jurnal Geoaplika” Vol. 1 No. 2:
071-078
Bronto, Sutikno, 2006,”Fasies Gunung Api dan Aplikasinya”, “Jurnal Geologi Indonesia”, Vol. 1 No. 2:59-71, Pusat Survei Geologi, Bandung.
Bronto, Sutikno, dan Udi Hartono, “Potensi sumber daya geologi di daerah Cekungan Bandung dan sekitarnya”, “jurnal Geologi Indonesia”, Vol. 1. No.1:9-18, Pusat Survei Geologi, Bandung.
Darmawan, Alwin, 2009, ”Identifikasi Proses Terjadinya Gerakan Tanah di
Kawasan bandung Utara Melalui Pendekatan Fasies Gunung Api”,
“Buletin Geologi”, Vol. 19 No. I:9-19, Pusat Lingkungan Geologi Badan
Geologi, Bandung.
Dirk, Mesker H.J., 2008,”Petrologi-Geokimia Batuan Gunung Api Tampomas”, “Jurnal geologi Indonesia”Vol. 3 No.1 : 23-25, Pusat Survei Geologi, Bandung.
Gunadi, Dwi Shanty Apriliani,2009, “Analisis Hubungan Antara Penggunaan
Lahan Dan Bentuk Lahan Di Wilayah Bandung Utara Dan Kajian Resiko
Bencana Alam Vulkanik”,Tugas Akhir, Fakultas Pertanian IPB, Bogor.
Hadisantono, R.D., A.D. Sumpena, P.Warsito dan A. Martono, 2005,”Peta
Kawasan Rawan Bencana Gunungapi Tangkubanparahu Provinsi Jawa
barat”, Direktorat Volkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, skala
1:50.000.
http://www.bnpb.go.id/website/asp/benc.asp?p=8
http://era90.blogspot.com/2010/03/berwisata-di-cekungan-bandung.html
http://gea.itb.ac.id/tangkuban-parahu%E2%80%9Cpesona-di-balik-cinta-
terlarang%E2%80%9D/
26 | P a g e
http://iqbalputra.wordpress.com/2010/02/19/menembus-jayagiri-menuju-
tangkuban-parahu/
http://volcanoindonesia.blogspot.com/2010/10/tangkuban-parahu.html
http://www.wisatalembang.com/
(sumber: forumkami.com & Pikiran Rakyat 21 Maret 2004)
27 | P a g e