Studi Historis Kebudayaan Candi Borobudur Merupakan Tempat Wisata Di Indonesia
-
Upload
mandiri4ever -
Category
Documents
-
view
909 -
download
6
Transcript of Studi Historis Kebudayaan Candi Borobudur Merupakan Tempat Wisata Di Indonesia
BAB II
ISI
2.1 Melacak Sejarah Candi Borobudur
2.2.1 Pendiri Candi Borobudur
Kehadiran candi-candi yang terbuat baik dari batu andesit, batu padas
maupun batu bata, bentuknya sangat unik dan mirip bangunan kuil Hindu di India,
telah menarik perhatian banyak pihak, termasuk para peneliti arkeologi. Dari hasil
penelitian tersebut dapat ditelusuri kembali jejak-jejak historisitas keberadaan
candi yang selama ini masih menjadi misteri.
Berdasarkan hasil penelitian Santiko (2007) diketahui bahwa hubungan
antara India dan Asia Tenggara, termasuk Indonesia, telah lama terjalin dalam
bentuk jalinan ekonomi. Hubungan yang bermotif komersial ini kemudian
berkembang ke arah hubungan yang bersifat keagamaan. Hal itu dimungkinkan
karena awal hubungan dagang India – Indonesia waktunya hampir bersamaan
dengan perkembangan agama Budha, yang mewajibkan para pendetanya untuk
menyebarkan agama tersebut.
Salah satu usaha para biksu itu dilakukan dengan cara ikut kapal-kapal
dagang India. Kehadiran para biksu ini dibuktikan dengan penemuan arca-arca
Budha di situs-situs yang dekat dengan alur perdagangan, misalnya arca Budha
dari Sempaga di pantai Sulawesi Selatan yang berasal dari abad ke-2 Masehi. Di
Kota Bangun (Kutai) ditemukan pula arca-arca Budha gaya Gandhara yang
diperkirakan dari abad ke-2 atau abad ke-3 Masehi. Demikian pula sebuah arca
6
7
Budha ditemukan di Bukit Siguntang, Palembang, dari masa yang sama dengan
kedua arca tersebut.
Berbeda dengan pendeta Budha, pendeta agama non-Budha, yakni agama
Veda dan Hindu, tidak menyebarkan agamanya seperti halnya para biksu, tetapi
mereka datang atas undangan para raja yang memerlukan pertolongan untuk
melaksanakan suatu upacara agama. Salah satu contohnya terdapat pada prastasi
yang disebut Yupa dari tepi Sungai Muarakaman. Para wipra (pendeta ahli Veda)
pernah diundang oleh raja-raja Kutai untuk menjalankan upacara agama di
lapangan suci (ksetra) yang disebut Vaprakesvara.
Di samping pendeta-pendeta India secara aktif menyebarkan agamanya di
Indonesia, terdapat orang-orang Indonesia yang pergi ke India untuk belajar
agama. Hal ini juga disebutkan minimal oleh dua buah prasasti. Bahkan, menurut
salah satu prasasti itu, seorang raja Sriwijaya telah meminta kepada raja dari
Dinasti Pala untuk membuatkan tempat tinggal para pelajar Indonesia tersebut di
Nalanda. Para pelajar inilah yang memegang peranan penting dalam pendirian
candi-candi di Jawa.
Para pelajar tersebut belajar membuat kuil dan kelengkapannya seperti
arca dan relief dari kitab Vastusastra. Selain itu, mereka juga mengunjungi pusat-
pusat kesenian agama dan berbagai kuil di India. Dari situlah mereka kemudian
membuat replika bangunan suci, dan hasilnya sangat terpengaruh oleh
pengetahuan serta kemahiran si pembuat. Replika-replika tersebut kemudian
dibawa pulang untuk dijadikan contoh candi yang akan didirikan di Indonesia
(Santiko, 2007). Oleh karena itu, para peneliti candi hingga sekarang belum
8
pernah menemukan naskah Vastusastra baik di Jawa maupun di tempat-tempat
lain di Indonesia (bdk. Sukatno C.R., 2004).
Asumsi bahwa pembuatan Candi Borobudur dilakukan oleh para seniman
(siplin) Indonesia diperkuat dengan adanya beberapa bukti, seperti: pertama,
adegan pada relief-relief Candi Borobudur menggambarkan kehidupan sehari-hari
di Jawa. Misalnya, orang-orang yang berjualan di pasar, orang menanam padi di
sawah, memanen dan memikul padi, dukun menolong kelahiran bayi, dan
sebagainya. Kedua, Panil di atas relief Mahakarmawibhanga yang dipahat di kaki
Candi Borobudur yang tertutup, terdapat tulisan (inskripsi) yang berupa kata-kata
petunjuk bagi para seniman pemahat adegan pada panil-panil tersebut. Petunjuk
itu ditulis dengan aksara Jawa Kuno (bukan Deva-Nagari).
Kalaupun ada kata-kata Sanskerta, itu tidak ditulis secara benar,
maksudnya tidak diberi akhiran kasus tertentu. Misalnya, untuk pemahatan surga
hanya ditulis “swargga” tanpa disertai akhiran (ber-)kasus. Sebab, bila isnkripsi
itu ditulis oleh orang India, maka kalau yang digambarkan di surga harus diberi
akhiran kasus lokatif, yakni menjadi “swargge” ; atau makhluk surga, maka kata
swargga harus diberi akhiran kasus genetif, dan sebagainya. Petunjuk tanpa
akhiran kasus, bagi seniman Jawa Kuno tidak masalah, demikian pula aksara Jawa
Kuno adalah aksara mereka. Berbeda bagi para siplin atau seniman India,
petunjuk tanpa akhiran kasus akan membuat mereka kesulitan untuk memahatkan
adegan pada panil candi.
Terlebih lagi aksara Jawa Kuno bukanlah aksara yang mereka kenal.
Ketiga, ketika para arkelog melakukan penelitian di sekitar candi-candi, mereka
9
tidak pernah menemukan sisa-sisa “kampoeng keling”. Apabila benar orang-orang
India yang mendirikan candi-candi di Indonesia, tentunya hal itu akan memakan
waktu lama dan dengan sendirinya mereka akan menetap di sekitar candi yang
sedang dibangunnya (Santiko, 2007).
2.2.2 Wangsasanjaya dan Wangsasailendra
Berdasarkan keterangan dalam naskah Pustaka Rajyawarnana i Bhumi
Nusantara yang merupakan parwa kedua dari Pustaka Rajyarajya i Bhumi
Nusantara susunan “Panitia Wangsakerta” dari Cirebon yang keseluruhannya
berjumlah 26 jilid diketahui bahwa mula-mula di Jawa Tengah hanya ada satu
wangsa, yaitu Kelingwangsa. Setelah wangsa itu “menyingkir” ke Jawa Timur,
muncul Sanjayawangsa yang masih ada tautan keluarga dengan Kelingwangsa,
karena istri Sanjaya yang bernama Dewi Sudhiwara berasal dari keluarga tersebut.
Melalui perkawinan Yasodhara dengan Dharaindra, keluarga Sailendra sebagai
menantu mulai memperoleh wilayah kekuasaan di bagian Selatan.
Pemisahan kekuasaan itu berlangsung selama 91 tahun (755 – 846), yaitu
sejak Dharaindra berkuasa sebagai raja daerah selatan, yaitu di Bhumisambara
(755 – 782), kemudian selama 19 tahun berikutnya (782 – 801), ia menjadi
maharaja Dharaindra, kemudian ia digantikan oleh anaknya, Samaratungga atau
Samaragrawira yang memerintah selama 45 tahun (801 – 846). Karya besar
kedua orang itu adalah memprakarsai pembangunan stupa Bhahadur yang
digambarkan “bagaikan gunung di pulau Jawa”.
Pada waktu yang bersamaan Rakai Panunggalan yang nama gelarnya
Dyah Panunggalan Bhimaparakrama Linggapawitra Jawabhumandala berkuasa
10
di bagian utara, yaitu di daerah Mamratipura (=Medang) selama 18 tahun (782 –
800). Jika wangsa Sailendra di bagian selatan beragama Budha, wangsa Sanjaya
yang berkuasa di bagian utara beragama Shiwa. Panunggalan mempunyai dua
orang anak, yaitu Rakai Warak Dyah Watukura Lingganarottama Satyajayabhumi
dan Rakai Garung Dang Rakarayan Pu Palar. Rakai Warak yang menggantikan
ayahnya menjadi raja selama 19 tahun (800 – 819) tidak mempunyai anak
sehingga kemudian ia digantikan oleh adiknya, Rakai Garung, yang berkuasa
selama 21 tahun.
Samaragrawira mempunyai dua orang istri, seorang di antaranya menjadi
permaisuri. Dari permaisuri itulah lahir anak perempuan bernama
Pramordyawardhani yang juga dikenal sebagai Sri Kahulunan sedangkan dari
istrinya yang lain lahir anak laki-laki bernama Balaputradewa. Rakai Garung
yang tidak disebutkan nama istrinya mempunyai anak laki-laki, Rakai Pikatan
Dyah Kamulyan Sang Prabhu Linggeswara Sakabhumandala yang kemudian
menjadi raja selama 16 tahun (840 – 856).
Perkawinan antarwangsa kemudian terjadi lagi. Kali ini antara Rakai
Pikatan dan Pramodyawardhani. Dengan perkawinan itu, wilayah yang semula
terbagi ke dalam dua wangsa, bersatu kembali ke dalam keluarga Sanjayawangsa,
karena Pikatan berasal dari keluarga Sanjaya (Ayatrohaedi, 2005: 115 – 118; bdk.
Lombard,1996; Siagian, 2002; Sukatno C.R., 2004). Informasi naskah tersebut
juga menjelaskan bahwa wangsa Sailendra itu berasal dari Hujungmedini
(Semenanjung Melayu), sekaligus pula meluruskan pendapat Purbatjaraka dan
11
Buchari yang selama ini berasumsi bahwa wangsa Sailendra berasal dari
Indonesia (Ayatrohaedi, 2005: 117).
2.2 Kebudayaan yang Berkembang di Candi Borobudur
Sebagai salah satu dari tujuh keajaiban dunia, Candi Borobudur dibangun
dengan menggunakan +/- 55.000 m3 batu. Tinggi bangunan ini sampai kepuncak
adalah 42m, dengan lebar dasar 123 m. Tegak dan kokoh menjulang keangkasa
dan merupakan bagian dari sejarah yang telah berumur 12 abad. Kapan pastinya
candi ini didirikan tidak diketahui dengan pasti. Tidak adanya bukti-bukti tertulis
menyebabkan Borobudur penuh kegelapan. Penentuan umur dilakukan dengan
memperhatikan dasar corak bangunan candi dan ukir-ukirannya yang
menunjukkan corak Jawa tengah abad 8 masehi.
Sejak dibangun pada abad ke 8, sejarah borobudur timbul tenggelam.
Setelah selesai dibangun, borobudur menjadi pusat penelitian dan
pemngembangan agama budha. Para pemeluk agama ini, mengunjungi Borobudur
untuk mempelajari agama budha. Seluruh rangkaian relief borobudur berisi
ajaran-ajaran agama budha. Pada jaman itu bangunan borobudur menjadi pusat
perhatian dan dipuja sebagai bangunan yang suci. Namun itu tidak berlangsung
lama. Bersamaan dengan surutnya agama budha, borobudur ditinggal para
pemeluknya. Setelah dinasti Cailendra (Caila=gunung, Indra=raja) lenyap,
borobudur tak ada kabar beritanya. Berabad-abad borobudur tertutup kegelapan.
Tidak ada tulisan ataupun berita tentang Borobudur.
Seiring dengan berpindahnya pusat kerajaan jawa ke Jawa Timur, praktis
borobudur menjadi tak terurus lagi. Bekas abu letusan gunung berapi yang
12
menyelimuti borobudur menjadi media tumbuh bagi rumput dan semak belukar.
Pohon-pohon kecil mulai bertumbuhan menjadikan borobudur beralih rupa
menjadi gundukan batu yang tertutup semak belukar dan nampak angker sehingga
membuat orang takut untuk mendekat.
Pada awal abad ke 18, Gubernur Jendral Inggris bernama Sir Thomas
Stamford Raffles, menerima laporan tentang keberadaan candi besar yang tertutp
oleh semak belukar. Raffles kemudian mengutus perwiranya, H.C. Cornelius
untuk mengunjungi candi besar tersebut, yang ternyata adalah borobudur. Semak
belukar dibersihkan, sehinga nampaklahsebuah candi dengan patung-patung
budha yang banyak sekali jumlahnya. Keadaan candi memang menyedihkan,
karena banyak sekali bagian-bagian yang sudah runtuh. Banyak patung yang
rusak, kepalanya patah dan lengannya buntung. Sayang pemerintahan Inggirs
tidak berlangsung lama. Penelitian dan usaha memperbaiki borobudur menjadi
terbengkalai lagi. Namun sejak itu borobudur mulai diperhatikan. Dengan
dibukanya oleh raffles itu, banyak orang mengunjungi borobudur.
Pemerintah Belanda yang mulai berkuasa lagi, mulai tertarik. Sayangnya
tidak semua orang bermaksud baik. Patung dan bagian-bagian candi yang indah
banyak diambil orang atau pejabat pemerintah. Salah satu contoh adalah pada
tahun 1896, pemerintah Hindia Belanda, melalui Residen Kedu, mengambil
delapan gerobak penuh patung dan bagian borobudur yang indah untuk
dihadiahkan kepada Raja Siam. Raja Chulalangkon memang mengunjungi
Borobudur dan sangat tertarik akan patung-patung budha dari candi tersebut.
13
Maka diangkutlah hadiah dari Belanda itu ke negaranya. Sampai sekarang benda
berharga dari borobudur itu tersimpan di Museum Bangkok, Thailand.
Pada tahun 1907 sampai 1911 borobudur direstorasi besar-besaran.
Pimpinan restorasi adalah Ir. Th. Van Erp, seorang insinyur belanda yang
berbakat dan memiliki perhatian besar akan nasib borobudur. Biaya yang sangat
besar telah tersedia, borobudur yang hampir runtuh dibongkar satu persatu.
Kemudian batu-batu yang tercecer dikumpulkan. Rangkaian-rangkaian yang
terpisah dicari dan disatukan. Percobaan menyusun rangkaian yang sama itu
sangat sukar dan lama. Perlu ketelitian dan kesabaran untuk melakukannya dan
tidak boleh terjadi kesalahan dalam proses tersebut agar bisa diperoleh bentuk
candi seperti semula saat dibangun.
Hasil kerja Van Erp akhirnya memuaskan, meskipun banyak bagian yang
sudah hilang, namun borobudur tampak luar biasa. Sayangnya proses alam tak
bisa dicegah. Hujan dan kotoran selalu menimpa borobudur, menjadikan lumut
tumbuh subur dan beberapa bagian candi mulai miring, renggang dan amblas.
Akhirnya pada tanggal 10 Agustus 1973 pemerintah Indonesia, dengan dibantu
dana dan tenaga-tenaga ahli dari berbagai penjuru dunia melakukan proses
pemugaran besar-besaran terhadap candi borobudur. Pemugaran tersebut
berlangsung hampir sempurna, dan hasilnya bisa dinikmati hingga sekarang.
Arsitektur candi Borobudur memang sangat menarik, terdiri dari tiga
bagian utama yakni kaki, badan dan kepala candi. Pada dinding-dinding
borobudur terpahat relief-relief. Relief merupakan rangkaian cerita yang
dilukiskan dalam satu bingkai (panel) untuk satu adegan. Terdapat ribuan bingkai
14
pada candi ini ditambah dengan ratusan patung budha yang terdapat dalam stupa-
stupa maupun relung-relung yang ada pada bagian dinding candi.
Suatu hal yang unik, bahwa candi ini ternyata memiliki arsitektur
dengan format menarik atau terstruktur secara matematika. setiap bagain kaki,
badan dan kepala candi selalu memiliki perbandingan 4:6:9.
Penempatan-penempatan stupanya juga memiliki makna tersendiri,
ditambah lagi adanya bagian relief yang diperkirakan berkatian dengan astronomi
menjadikan borobudur memang merupakan bukti sejarah yang menarik untuk di
amati. Salah satu hasil pengkajian mengenai hal ini bisa dibaca pada situs.
2.3 Pembangunan Pariwisata di Candi Borobudur
Tidak ditetapkannya Candi Borobudur sebagai salah satu keajaiban dunia
dan penetapan larangan terbang bagi 51 maskapai Penerbangan Indonesia di
Wilayah Uni Eropa, sebenarnya merupakan sentimen negatif politik pasar
kapitalis yang memang cukup menyulitkan untuk pengembangan pariwisata di
Indonesia pada umumnya dan Jawa Tengah pada khususnya.
Bila dicermati dengan seksama, kedua hal itu sangat terkait dengan
gencarnya pemberitaan isu terorisme yang menurut sinyalemen Barat “bersarang”
di Indonesia. Dengan adanya sinyalemen tersebut banyak kedutaan besar negara-
negara Uni Eropa yang menjadi sekutu Amerika segera mengeluarkan travel
warning bagi seluruh warganya agar tidak berkunjung ke Indonesia.
Terbitnya larangan penerbangan dan travel warning Uni Eropa ini juga
tentu saja telah berakibat pada melonjaknya angka pembatalan kunjungan turis ke
Indonesia. Selain itu, bisa jadi negara lain seperti Cina, Jepang, Korea juga akan
15
menerapkan ketentuan serupa. Potensi pembatalan kunjungan turis Jepang, Korea
serta negara Asia Pasifik lainnya jelas akan berdampak kepada penurunan jumlah
wisatawan asing selama beberapa tahun ke depan. Saat ini beberapa operator tur
di Jepang telah membatalkan kunjungan turisnya ke Bali dan beberapa daerah
tujuan wisata di kawasan timur Indonesia.
Hal ini semakin mempersulit posisi Indonesia karena dampak buruk
publikasi tentang masuknya maskapai penerbangan Indonesia dalam daftar hitam
penerbangan tidak aman di dunia. Bahkan, Uni Eropa bukan hanya mengeluarkan
daftar hitam penerbangan tidak aman, tapi juga mengeluarkan imbauan agar
wisman dari kawasan tersebut tidak menggunakan penerbangan domestik di
Indonesia.
Bahkan baru-baru ini Otoritas penerbangan Arab Saudi juga meminta
klarifikasi pemerintah Indonesia terkait dengan kondisi penerbangan nasional.
Padahal berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Aviation Safety Network (2007)
diketahui bahwa maskapai penerbangan Indonesia bukan pemegang rekor
kecelakaan transportasi udara Internasional.
Hal ini memang menjadi semacam “batu ujian” bagi seluruh stakeholder
pariwisata pada umumnya dan Jawa Tengah pada khususnya. Lihat saja,
pengelolaan objek-objek wisata Jawa Tengah, seperti Candi Borobudur memang
belum optimal. Banyak hal yang harus dibenahi dan mulai ditangani secara
profesional, seperti ulah para pedagang asongan yang cenderung memaksa
pengunjung, terkadang membuat wisatawan risih, belum lagi masalah kebersihan
yang kurang, sarana transportasi yang belum memadai, kenyamanan, kelengkapan
16
hotel, dan berbagai paket hiburan yang menarik lainnya. Belum lagi jika bicara
masalah promosi wisata, Indonesia masih jauh tertinggal, bahkan dengan negara
tetangga Malaysia yang gencar dengan promosinya serta perbaikan sarana dan
prasarana lainnya.
Namun, orang juga paham bahwa dalam peta politik bisnis tingkat global,
segala “derita” yang dialami dunia pariwisata Indonesia tidak terlepas dari
permainan bisnis tingkat tinggi. Sudah bukan rahasia lagi para investor bisnis
(pariwisata) sangat “ganas” dalam mengeruk kekayaan dan sumber daya negara
lain yang lemah dan baru berkembang.
Hal ini setidaknya pernah digambarkan dengan baik oleh Dennison Nash
dalam Tourism as a form of imperialism (1989). Nash menegaskan bahwa “…It is
this power over touristic and related development abroad that makes
metropolitan center imperialistic and tourism as a from imperialism…” (lihat pula
Gunawan, 1994).
Pertama, hotel-hotel bintang lima di Jakarta, Yogyakarta dan Bali—
tempat tujuan wisata bisnis internasional, seperti: Hyatt, Hilton, J.W. Marriot, dan
sebagainya—dikuasai oleh asing. Kedua, pembelian atau penyewaan pulau-pulau
di beberapa tempat di Indonesia juga dilakukan oleh investor asing dengan
menyulapnya sebagai surga dunia, ada hotel, area menyelam, area bermain jet sky,
wisata alam, dan sebagainya. Ketiga, berbagai paket kebijakan politik nasional,
misalnya perjanjian utang yang dibarengi dengan syarat-syarat penggunaan tenaga
kerja asing dan alat-alat asing juga menjadi sebab lain bisnis pariwisata di negeri
ini dikendalikan oleh bisnis internasional yang sangat kuat. Keempat, promosi
17
yang dilakukan para investor dan pengusaha kelas internasional juga sangat kuat
karena mereka mampu menciptakan dan mempermainkan “citra” sebuah negara
atau tempat wisata. Seperti maraknya bom di Bali, Jakarta, dan Borobudur (Jawa
Tengah) beberapa tahun yang lalu, dapat dimanfaatkan untuk menurunkan citra
tempat-tempat tersebut. Kelima, agen-agen perjalanan internasional dapat
menentukan kapan dan di mana akan datang ke Indonesia dengan cara
meneriakkan travel warning seperti yang sering dilakukan oleh pemerintah
Amerika dan Australia.
Untuk itulah, pemerintah dan seluruh stakeholder pariwisata nasional
perlu mengubah strategi dan paradigma pengelolaan bisnis pariwisata. Bahwa
tidak melulu wisatawan asing yang dijadikan ujung tombak pemasaran bisnis
pariwisata, karena wisatawan domestik pun perlu digarap dengan baik. Padahal
bila dilihat dari segi pendapatan, ternyata wisatawan domestik pun memainkan
peran yang cukup signifikan. Terbukti pada tanggal 1—8 Juli 2007, dari 113.909
pengunjung Candi Borobudur, wisatawAan asing hanya 2.207 orang (1,94 %).
Selain itu, pemerintah pusat pun perlu berperan aktif membenahi situasi politik
dan melakukan lobi-lobi tingkat tinggi sehingga citra pariwisata negeri ini tidak
semakin buruk.
Dalam upaya pengembangan strategi pengelolaan pariwisata di Indonesia
agaknya para stakeholder perlu belajar dari negara tetangga, misalnya saja India,
pada lingkup pengelolaan Taj Mahal (Hadi, 2009). Pertama, sejak awal
pemerintah India sudah melakukan pencitraan bahwa Taj Mahal adalah
Monument to Love dengan sederet cerita tentang keagungan cinta. Bahkan secara
18
eksplisit, buku panduan turis di sana menyebutkan tentang “kewajiban”
berkunjung ke Taj Mahal kalau ke India dengan slogan “No visit India is
completed without an expedition to this shrine of mystique and love”. (Kunjungan
ke India belumlah lengkap tanpa berekspedisi ke tempat suci mistis dan cinta ini).
Kedua, pemerintah India pun benar-benar peduli dan melindungi Taj
Mahal agar tidak dibuat replika detil atas bangunan tersebut. Karena membuat
replika monumen bersejarah dipandang sebagai pelanggaran hak cipta. Selain itu,
upaya pencitraan sebagai negara yang aman juga perlu ditingkatkan.
Ketiga, manajemen pengelolaan pun dibuat sangat profesional dan sejalan
dengan prinsip-prinsip konservasi. Dengan demikian, tidak akan ada lagi
pengelolaan bisnis pariwisata malah justru hanya mementingkan aspek
komersialnya saja tanpa mengedepankan aspek-aspek konservasi. Terbukti di Taj
Mahal, pemberhentian kendaraan pengunjung dilakukan pada 1,5 km sebelum
lokasi. Setelah itu, harus berganti bus bertenaga batere yang tidak menimbulkan
kebisingan dan polusi udara yang berlebihan. Selain bis, pengunjung juga
disediakan pilihan moda transportasi: dokar, becak atau berjalan kaki.
Memasuki kawasan Taj Mahal, pengunjung harus melepas alas kaki atau
membungkusnya dengan kantung kain berwarna putih yang disediakan petugas
setelah membeli tiket masuk. Hal ini dilakukan dengan maksud agar batuan dan
ornamen lantai tidak kotor. Begitu pula, telapak sepatu ribuan atau bahkan ratusan
ribu pengunjung dikhawatirkan akan melampaui daya dukung struktur batuan Taj
Mahal. Perlu diketahui bahwa arsitek Taj Mahal, yaitu seorang berkebangsaan
Iran bernama Ustad Ahmad Lahauri telah merancang bangunan tersebut dengan
19
visi konservasi. Taj Mahal yang berdiri pada keluasan 35 hektare itu dikitari ruang
terbuka hijau dan taman yang sangat luas. Dengan kondisi seperti itu, pusat
perhatian pengunjung bisa terpencar. Di samping itu, masjid di sebelah timurnya
dan replika masjid pada sisi barat juga menjadi daya tarik tersendiri bagi
pengunjung. Demikian juga Sungai Yamuna di sisi selatannya yang memiliki
aliran air yang tenang dapat menjadi pusat keterpesonaan pengunjung. Akhirnya,
aktivitas pengunjung tidak terpusat pada bangunan utama dalam waktu yang
bersamaan. Lebih-lebih lagi, bentuk bangunan Taj Mahal yang simetris, membuat
semua sisinya tampak sama ketika dipandang. Jadi, pengunjung dapat
memandanginya dari berbagai penjuru secara terpencar.
Selain dikonservasi, keagungan Taj Mahal juga sangat berdaya untuk
kepentingan bisnis. Konon para tenaga yang membangun Taj Mahal berasal dari
suatu daerah yang disebut Makrana, tempat asal batuan marmer yang ada di situ.
Anak keturunan ahli pahat batu itu sekarang berjumlah 17 orang dan tinggal di
sekitar Taj Mahal. Merekalah yang diizinkan untuk menggunakan masjid di sisi
timur untuk bersembahyang Jumat.
Keahlian memahat orang-orang Makrana itu didayagunakan oleh
perusahaan marmer untuk mendongkrak nilai jual produknya. Pengunjung yang
datang melalui biro perjalanan pasti dibawa singgah danmelihat kepiawaian
pemahat ini mengasah batu menjadi berbagai komoditas seperti meja dan hiasan
dinding yang sangat artistik. Harganya mulai dari 300 sampai 1.500 dolar AS.
Kalau orang berkantung tebal dan membayangkan bisa memiliki meja marmer
20
dan hiasan dinding mirip pahatan sekaliber Taj Mahal tentu akan tergiur
membelinya.
Komersialisasi seperti itu mengingatkan kita pada nasib Candi Borobudur
yang tidak kalah agung dengan Taj Mahal. Pada bangunan untuk Ratu Mumtaz
itu, komersialisasi tidak sampai mengorbankan nilai bangunan bersejarahnya,
tetapi tidak demikian dengan Borobudur. Upaya-upaya pemerintah untuk
meningkatkan nilai jual agar wisatawan betah lama tinggal di sekitar lokasi itu
pernah membuat candi kebanggaan bangsa Indonesia pernah beberapa kali
diancam bakal dicabut dari daftar warisan budaya dunia oleh UNESCO.
Beberapa hal yang pernah ditegur UNESCO adalah pembangunan sarana
dan prasarana pertunjukan cahaya dan suara atau multimedia show (MMS) dengan
teknologi canggih dari Perancis pada sekitar 1997. Pertunjukan malam hari itu
berusaha menggambarkan kehidupan masa lalu di sekitar candi. Namun,
UNESCO mengkhawatirkan pertunjukan itu akan mempercepat pelapukan batuan
candi. Selain itu, getaran yang ditimbulkan oleh suara MMS akan mengganggu
struktur batuan candi.
Begitu pula pada 2002 dan 2003, Borobudur kembali heboh dengan
rencana pemerintah yang menata pedagang asongan dengan konsep Jagad Jawa
atau shopping street di zona 2. Padahal area itu merupakan zona penyangga dan
hanya diperuntukkan bagi kegiatan-kegiatan yang menunjang pelestarian candi
saja. Dengan demikian, kegiatan komersial seperti hotel dan kereta mini bermesin
seharusnya memang tidak berada di zona penyangga itu (Hadi, 2009).