Struktur Tradisional Kajang

42
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Arsitektur tradisional merupakan salah satu unsur yang wajib untuk dilestarikan oleh calon-calon arsitek muda kedepannya. Karena arsitek muda dituntut untuk menciptakan suatu karya seni yang menarik tetapi tidak meninggalakn aspek tradisional dan mempunyai wawasan mengenai arsitektur tradisional suatu daerah atau suku tertentu. Arsitektur di zaman sekarang sangatlah berkembang dengan pesat. Seperti yang kita ketahui sekarang banyaknya bangunan- bangunan yang memiliki nilai arsitektur yang menarik, hal ini menjadi salah satu pusat perhatian bagi sebagian orang. Adapun beberapa bangunan yang menggabungkan unsur arsitektur tradisional dengan arsitektur modern dan adapun yang masih mempertahankan unsur arsitektur tradisionalnya. Dengan demikian pengaruh arsitektur tradisional pada suatu bangunan sangatlah mempunyai nilai dan aspek tertentu karena pada dasarnya arsitektur tradisional mengutamakan unsur budaya pada suatu desain dan memiliki filosofi tersendiri. Seperti halnya pada suku Ammatoa di Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba Sulawesi Selatan, yang masih mempertahankan unsur arsitektur tradisionalnya. Karena 1 Rumah Adat Tradisional Suku Ammatoa, Kec. Kajang

description

Struktur Tradisional Kajang, Bulukumba

Transcript of Struktur Tradisional Kajang

Page 1: Struktur Tradisional Kajang

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Arsitektur tradisional merupakan salah satu unsur yang wajib untuk dilestarikan oleh

calon-calon arsitek muda kedepannya. Karena arsitek muda dituntut untuk menciptakan

suatu karya seni yang menarik tetapi tidak meninggalakn aspek tradisional dan mempunyai

wawasan mengenai arsitektur tradisional suatu daerah atau suku tertentu.

Arsitektur di zaman sekarang sangatlah berkembang dengan pesat. Seperti yang kita

ketahui sekarang banyaknya bangunan-bangunan yang memiliki nilai arsitektur yang

menarik, hal ini menjadi salah satu pusat perhatian bagi sebagian orang. Adapun beberapa

bangunan yang menggabungkan unsur arsitektur tradisional dengan arsitektur modern dan

adapun yang masih mempertahankan unsur arsitektur tradisionalnya. Dengan demikian

pengaruh arsitektur tradisional pada suatu bangunan sangatlah mempunyai nilai dan aspek

tertentu karena pada dasarnya arsitektur tradisional mengutamakan unsur budaya pada

suatu desain dan memiliki filosofi tersendiri.

Seperti halnya pada suku Ammatoa di Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba

Sulawesi Selatan, yang masih mempertahankan unsur arsitektur tradisionalnya. Karena

berdasarkan adat turun temurun dari nenek moyang suku Kajang, menolak adanya

kemajuan teknologi yang dinilai dapat merusak atau mengusik kelestarian budaya mereka,

tetapi sekarang sudah ada sebagian daerah yang terpengaruh aspek dari luar yaitu kajang

bagian luar. Sangat terlihat nilai dari arsitektur vernakular suku Ammatoa di kampung

kajang dengan bentuk dan gaya bangunan sangat sederhana dengan tujuan utama sebagai

tempat tinggal dan perlindungan dari binatang buas.

B. Rumusan Masalah

1. Mencari tahu struktur dan konstruksi rumah adat Suku Ammatoa?

2. Mengidentifikasi pengaruh struktur terhadap arsitektur tradisional suku Ammatoa?

1 Rumah Adat Tradisional Suku Ammatoa, Kec. Kajang

Page 2: Struktur Tradisional Kajang

C. Tujuan Masalah

1. Mengetahui struktur dan konstruksi rumah adat Suku Ammatoa.

2. Mengetahui pengaruh struktur yang terdapat pada arsitektur tradisional suku

Kajang Ammatoa.

D. Manfaat

1. Kita dapat mengetahui struktur dan konstruksi rumah adat Suku Ammatoa.

2. Dapat mengetahui pengaruh struktur yang terdapat pada arsitektur tradisional suku

Kajang Ammatoa.

2 Rumah Adat Tradisional Suku Ammatoa, Kec. Kajang

Page 3: Struktur Tradisional Kajang

BAB II

PEMBAHASAN

A. LOKASI

Gambar 2.1 Peta Kabupaten Bulukumba

Sumber: http://wirda-utsukushi.blogspot.com

Etnis Ammatoa berada di kecamatan kajang kabupaten bulukumba. Provinsi

Sulawesi Selatan, Indonesia. Letaknya kurang lebih 40 km sebelah timur kota bulukumba

dengan luas wilayah Kajang 7,1 km2. Kabupaten Bulukumba terletak diantara 05°20°-05°40°

LS dan 199°58°-120°28° BT. Adapun batas-batas wilayah diantaranya :

Sebelah Utara : Kabupaten Sinjai

3 Rumah Adat Tradisional Suku Ammatoa, Kec. Kajang

Page 4: Struktur Tradisional Kajang

Sebelah Barat : Kabupaten Bantaeng

Sebelah Selatan : Laut Flores

Sebelah Timur : Teluk Bone dan Plau Selayar.

Gambar 2.2 Peta Kecamatan Kajang

Sumber: http://wirda-utsukushi.blogspot.com

Secara geografis,luas wilayah Desa Tana Toa sekitar 331,17 ha dengan jumlah

penduduk : 45.393 jiwa, 182.551 jiwa laki-laki dan 201.319 jiwa perempuan. Mempunyai

kondisi hutan yang sangat lebat. Jika diamati dengan teliti, hampir seluruh dusun yang

berada di dalamnya di kelilingi hutan. Sama sekali tidak ada jalan beraspal di dalam kawasan

ini. Hanya berupa jalan setapak yang terbuat dari batu-batu yang disusun secara teratur

sebagai penanda jalan.

Secara administratif, masyarakat adat Kajang terbagi atas Kajang Dalam dan Kajang

Luar. Masyarakat Adat Kajang Dalam tersebar di beberapa desa, antara lain Desa Tana Toa,

Bonto Baji, Malleleng, Pattiroang, Batu Nilamung dan sebagian wilayah Desa Tambangan.

4 Rumah Adat Tradisional Suku Ammatoa, Kec. Kajang

Page 5: Struktur Tradisional Kajang

Kawasan Masyarakat Adat Kajang Dalam secara keseluruhan berbatasan dengan Tuli di

sebelah Utara, dengan Limba di sebelah Timur, dengan Seppa di sebelah Selatan, dan

dengan Doro di sebelah Barat. Sedangkan Kajang Luar tersebar di hampir seluruh

Kecamatan Kajang dan beberapa desa di wilayah Kecamatan Bulukumba, di antaranya Desa

Jojolo, Desa Tibona, Desa Bonto Minasa dan Desa Batu Lohe

B. Suku Ammatoa

Gambar 2.3 Gerbang Kawasan Adat Ammatoa

Sumber: Dokumentasi Pribadi

Tana-toa adalah nama salah satu desa yang mendiami mayoritas kecamatan Kajang

Kabupten Bulukumba Sulawesi Selatan. Jarak dari ibukota kecamatan, ibukota kabupaten

dan ibukota propinsi ke lokasi kawasan adat berturut-urut adalah: 25 km, 57 km, dan 270

km. Masyarakatnya lebih dikenal dengan nama masyarakat Ammatoa Kajang. Ammatoa

5 Rumah Adat Tradisional Suku Ammatoa, Kec. Kajang

Page 6: Struktur Tradisional Kajang

adalah sebutan bagi peimimpin adat mereka yang diperoleh secara turun temurun. Amma

artinya Bapak, sedangkan Toa berarti yang dituakan.

Masyarakat ammatoa Kajang dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu Rilalang

Embayya (Tanah Kamase-masea) lebih dikenal dengan nama Kajang Dalam selanjutnya

diidentifikasi sebagai Kawasan Adat Ammatoa (KAA) dan Ipantarang Embayya (Tanah

Kausayya) atau lebih dikenal dengan nama Kajang Luar.

Pembagian tersebut selain karena perbedaan letak permukimannya dan pengaruh

ajaran Islam, kesadaran untuk membagi diri sudah terlihat di tengah sejarahnya yang cukup

panjang, ditengah dinamika dan fenomena yang melingkupi keberadaannya.

Bagi masyarakat Kajang Dalam yang menginginkan perubahan diperkenankan untuk

bermukim di Luar Kawasan Adat. Ini memperlihatkan bahwa masyarakat Ammatoa Kajang

disatu pihak masih kuat memegang adat dan tradisi nenek moyangnya, dipihak lain mereka

tidak sama sekali mengisolasikan diri dari pergaulan dengan masyarakat luar di luar adat

mereka. Secara fisik masyarakat Kajang Dalam dan Kajang Luar dibatasi oleh pagar sehingga

variasi perubahan akan terlihat dari jaraknya dari kawasan adat utamanya pada tempat

bermukim. Sementara nilai-nilai budaya yang sifatnya non fisik masih tetap dipertahankan.

Pada masyarakat Kajang Dalam sejak berabad-abad yang lampau hingga saat ini,

mereka tetap hidup dan bertahan dengan cara yang tradisional dan bersahaja (Kajang:

Kamase-masea) sebagaimana mereka yakini bahwa cara hidup semacam itulah yang pernah

dilakukan dan dipesankan oleh leluhur mereka (Kajang: Boheta) untuk dilaksanakan

generasi penerusnya, sehingga mentradisi secara turun temurun seperti apa yang dapat

disaksikan di dalam Kawasan Adat Ammatoa saat ini. konsistensi terhadap nilai-nilai adat

dan tradisi masih sangat terasa mempengaruhi permukimannya (rumah dan lingkungan).

Bagi masyarakat ammatoa khususnya yang bermukim di dalam kawasan adat,

konsep hidup kamase-masea adalah bentuk kehidupan yang ideal dan “cukup” (Kajang:

Ganna). Meraka ikhlas dan pasrah hidup secara sederhana sebagai hidup yang telah

6 Rumah Adat Tradisional Suku Ammatoa, Kec. Kajang

Page 7: Struktur Tradisional Kajang

ditakdirkan-Nya, dan senantiasa bermohon agar hidup seperti ini dilakukan oleh keturunan

mereka.

Dalam kehidupan sehari-hari, konsep kesederhanaan nampak dalam wujud pakaian

adat dan sehari-hari yang berwarna hitam. Hitam merupakan sebuah warna adat yang

kental akan kesakralan dan mempunyai makna bagi masyarakat Ammatoa sebagai bentuk

persamaan dalam segala hal, termasuk kesamaan dalam kesederhanaan. Warna hitam

menunjukkan kekuatan, kesederhanaan, dan kesamaan derajat bagi setiap orang di depan

sang pencipta.

Gaya hidup komunitas ammatoa adalah sederhana (kamase-masea) sebagaimana

aturan-aturan yang terdapat dalam Pasang ri Kajang, yang menjadi persepsi, kognisi dan

attiitudes mereka. Sehingga tingkah laku mereka pada akhirnya adalah tingkah yang sesuai

dengan ajaran Pasang ri Kajang, yang mendasari gaya hidup komunitas ammatoa Kajang.

Mereka menganggap tidak perlu hidup berlebihan karena hidup berlebihan akan

menimbulkan konflik-konflik diantara masyarakat yang pada akhirnya menghasilkan

ketidakharmonisan dalam masyarakat tersebut. Gaya hidup sederhana ini tercermin mulai

dari cara berpakaian, cara berkomunikasi, cara menyambut tamu dan sampai pada bentuk

dan tatanan ruang/hunian mereka.

C. Agama dan Kepercayaan

Menurut data statistik di Kantor kecamatan Kajang, masyarakat Ammatoa

seluruhnya beragama Islam. Meskipun Islam diakui masyarakat Ammatoa sebagai agama

satu-satunya dalam kawasan adat, akan tetapi dalam kehidupan bergama mereka masih

mencampurbaurkan dengan ajaran-ajaran leluhur (kepercayaan) yang masih mereka pegang

teguh.

7 Rumah Adat Tradisional Suku Ammatoa, Kec. Kajang

Page 8: Struktur Tradisional Kajang

Patuntung adalah nama kepercayaan yang dianut oleh Komunitas Ammatoa Kajang.

Kata Patuntung dialek Konjo, berasal dari kata “Tuntung” yang mendapat awalan Pa sama

dengan awalan “Pe” dalam bahasa Indonesia yang berarti “Penuntut” atau “Pelajar”.

Jadi Patuntung maksudnya seorang yang sedang mempelajari “Panggisengang” (ilmu

pengetahuan) yang bersumber dari “Pasang ri Kajang” yang mengandung pesan-pesan,

petuah-petuah, pedoman atau petunjuk yang ditaati, dan dituruti serta diamalkan demi

kebahagian akhirat. Amma-Toa adalah pemimpin dari kepercayaan patuntung di Kajang,

(“Amma” berarti bapak, dan “Toa berarti yang dituakan). Kepadanya diadukan suka duka,

didengar dan dipatuhi karena mempunyai kelebihan-kelebihan dibanding manusia biasa,

tetapi walaupun demikian Amma-Toa tidak dipandang sebagai dewa yang harus dipuji dan

disembah, karena pada hakekatnya Komunitas Ammatoa Kajang percaya pada Sang

Pencipta yang meraka sebut Turie A’ra’na disingkat “TRA”.

Padanya manusia memohon dan a’pisona (pasrah/tawakkal) Turie A‟ra‟na yang

menentukan. Bentuk isyarat/lambang tuntutan Tuhan ada di dalam “pasang”. Kepercayaan

ini pada intinya bertolak dari keyakinan tentang keberadaan manusia dibumi/kajang yang

hanya semata-mata untuk mempersiapkan diri menuju kebahagian akhirat, tempat para

leluhur mendapat kemuliaannya, dan menanti turunan mereka yang “shaleh” (Hermina,

1985). Sehingga berdasarkan hal tersebut kepentingan-kepentingan keduniaan menjadi

sesuatu yang tidak penting atau menentukan.

D. Kosmologi

Sebagaimana kepercayaan kelompok masyarakat tradisional Toraja yang dikenal

dengan Allu’ Todolo dan di daerah Bugis dengan Attau Riolong, komunitas ammatoa Kajang

8 Rumah Adat Tradisional Suku Ammatoa, Kec. Kajang

Page 9: Struktur Tradisional Kajang

dalam kesehariannya, maupun dalam berarsitektur dalam banyak hal masih berpedoman

pada kepercayaan leluhur mereka (Kajang Tomariolo).

Mereka percaya bahwa sumber kekuatan utama yang mengendalikan alam semesta

dan kehidupaan manusia ada pada Tau Rie A’rana (disingkat TRA) yang tidak lain adalah

Tuhan Yang Maha Esa (Bugis: Dewata Seuwae). TRA dalam Bahasa Kajang artinya Yang Maha

Berkehendak, sebagaimana terdapat dalam Pasang (aturan-aturan adat) bahwa: “Tra

ammantangi ri panga’rakanna”, yang maknanya bahwa Tuhan berkehendak menurut apa

yang dikehendakinya, akan tetapi dimana ada dan ketidakadaannya, manusia tidak ada yang

mengetahui (Kajang: Anre nissei rie’na cinre’na). Meskipun demikian mereka percaya bahwa

tempat bersemayam TRA ada “di atas” .

Hal ini tercermin dari sebuah ungkapan dalam pasang “Nai riboting langi” ketika

menggambarkan proses kembalinya leluhur mereka yang I (Kajang: Bohe Tomme) ke TRA

yang telah mengutusnya ke bumi.

Kata Nai’ (naik), secara tidak langsung menunjuk pada sesuatu yang ada “di atas”

yang dalam hal ini tempat “Tra” bersemayam, dimana setiap orang akan berserah diri dan

mempertanggungjawabkan segala amal kebajikannya di bumi.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa dalam tinjauan secara vertikal

menempatkan “atas” sebagai tempat yang sacred dan berbersifat pribadi. Sebaliknya bahwa

semakin ke bawah sesuatu semakin dekat sifat dan nilainya pada hal-hal yang bersifat

profane dan umum .

Konsep tersebut di atas merupakan pencerminan dari konsep kosmologis yang

mengenal 3 pelapisan jagad raya. Alam atas dinamakan botinglangi, alam tengah ale kawa

dan alam bawah sebagai uri liyu, yang dalam perwujudan arsitektur tradisional Kajang

terlihat dalam 3 tingkatan secara vertikal, yakni: para (atap), kale balla (badan rumah) dan

siring (kolong).

E. Pelapisan Sosial

9 Rumah Adat Tradisional Suku Ammatoa, Kec. Kajang

Page 10: Struktur Tradisional Kajang

Bagi masyarakat Ammatoa Kajang (KAK), sekalipun dikenal adanya pelapisan sosial,

tetapi dalam kehidupan sehari-hari, secara fisik tidak terlihat adanya tanda-tanda pelapisan

sosial misalnya dalam hal desain dan dimensi rumah, semua relatif seragam. Hal ini sangat

berbeda dengan sistem kerajaan yang selalu memberi fasilitas lebih kepada kelompok

masyarakat yang berada pada lapisan atas. Sebagaimana contoh terlihat pada masyarakat

bugis, keluarga raja/bangsawan rumahnya minimal bertiang 21 buah sedangkan pada

lapisan masyarakat umum maksimal setiap rumah hanya diizinkan bertiang 16 buah.

Sistem pelapisan sosial bagi masyarakat sangat ditentukan oleh tingkat “kesholehan”

yang bersangkutan yang telah menguasai penuntun yakni berupa pesan-pesan leluhur yang

berintikan pada prinsip “Kamase-masea” (kebarsahajaan), baik dalam pemahaman substansi

maupun dalam wujud kehidupan sehari-hari, termasuk dalam pembentukan rumah,

sehingga rumah bagi mereka adalah yang sederhana saja, (Kajang: Balla situju-tuju) dan

dalam bentuk yang seragam, guna menghindari adanya perasaan lebih atau kurang diantara

warga Komunitas Ammatoa Kajang. Bagi Komunitas Ammatoa Kajang rumah bukanlah

merupakan “kebutuhan” karena yang menjadi kebutuhan mereka justru bagaimana

menjalankan hidup sebaik-baiknya sehingga selamat di akhirat.

Hubungan kekeluargaan diantara sesama warga masih sangat kuat utamanya yang

berada di dalam kawasan adat ammatoa, sehingga antara satu dengan lainnya saling kenal

dalam satu kawasan adat. Masyarakat masih mengetahui nama depan dan nama panggilan

masing-masing, pekerjaan masing-masing, dan jumlah keluarga (anak dan pengikut). Dengan

keadaan ini maka interaksi sosial sangat sering dan berlanjut antara individu satu dengan

lainnya serta keluarga satu dengan lainnya. Kolong rumah berperan besar dalam menjalin

hubungan sosial antara tetangga (keluarga majemuk) dan sesama keluarga inti.

F. Pola Mukim Masyarakat Kajang

10 Rumah Adat Tradisional Suku Ammatoa, Kec. Kajang

Page 11: Struktur Tradisional Kajang

Rumah bagi masyarakat adat kajang merupakan kebutuhan dasar (basic atau

primary need), selain kebutuhan-kebutuhan lainnya.

Di kawasan adat kajang dalam, tepatnya di dusun Benteng pola pekampungan

tampak berkelompok dan menghadap ke arah barat (gunung Bawakaraeng dan Gunung

Lompobattang). Kelompok-kelompok rumah tersebut berdasarkan pada sistem kekerabatan

terdekat (keluarga inti atau batih). Setiap kelompok rumah dibatasi pagar hidup (benteng

tinanang) atau pagar batu (benteng batu) di dalamnya terdiri atas tiga rumah batu atau

lebih. Salah satu dari ketiga rumah tersebut (biasanya yang paling depan sebelah kanan )

dari satu rumah keluarga, rumah lainnya dijadikan tempat tinggal sementara atau mukim

alternatif, ketika ada tamu bertandang kerumah orang tua mereka.

Posisi rumah umumnya menghadap ke arah barat berkaitan dengan ciri dan orientasi

kepercayaan yang mereka anut. Tempat persemayaman Annuntungi diyakini berada

diantara Bawakaraeng dan Lompobattang. Hadapan ruma (panda-ilekkang bola) tersebut

juga terkait dengan keberadaan hutan adat Tanatowa, tempat Bone Amma ( Ammatoa II )

turun kedunia ini. Tempat tersebut dinamakan pa’rasangang Iraja atau barang Iraja

(kediaman sebelah barat atau hutan adat bagian barat sebagaikebalikan dari pa’rasangang

Ilau atau Borong Ilau (Kediaman sebelah Timur atau hutan ada sebelah Timur). Pemberian

nama ini dikaitkan dengasn posisi hutan berada dibagian Barat pusat perkampungan yaitu

Behteng.

Selain itu secara politis, hadapan rumah (pandallekkang bola) yang cenderung

menyamping dari hutan keramat (borong keramat) juga terkait dengan strategi pelestarian

hutan yang diterapkan oleh ammatowa, khususnya untuk menghindari terjadinya

perambahan hutan. Rumah-rumah yang menghadap langsung kehutan sangat

dikhawatirkan dapat menimbulkan perubahan perilaku masyarakat adat kajang untuk

mengubah atau merusak hutan, karena tergiur nilai-nilai ekonomi dan sumber daya alam

yan terkandung didalam hutan adat tersebut.

Bentuk rumah yang seragam, seragam bahannya, seragam besarnya, dan sedapat

mungkin seragam arah bangunannya. Rumah berdinding papan dan beratap rumbia,

11 Rumah Adat Tradisional Suku Ammatoa, Kec. Kajang

Page 12: Struktur Tradisional Kajang

terkecuali rumah Ammatoa yang berdinding bambu. Keseragaman itu bermaksud

menghindari saling iri di kalangan mereka, yang dapat berakibat pada keinginan

memperoleh hasil lebih banyak dengan cara merusak hutan.

Larangan membangun rumah dengan bahan bakunya batu-bata. Menurut pasang,

hal ini adalah pantangan, karena hanya orang mati yang telah berada di dalam liang lahat

yang diapit oleh tanah. Rumah yang bahan bakunya berasal dari batu-bata, meskipun

penghuninya masih hidup namun secara prinsip mereka dianggap sudah mati, karena sudah

dikelilingi oleh tanah. Apabila diperhatikan hal tersebut lebih jauh, maka sebenarnya

pantangan yang demikian bersangkut-paut dengan pelestarian hutan. Bukankah untuk

membuat batu-bata, diperlukan bahan bakar kayu, karena proses pembakaran batu-bata

memerlukan kayu bakar yang cukup banyak. Dengan pantangan itu sebenarnya memberikan

perlindungan pada bahan bakar kayu yang sumber utamanya berasal dari hutan.

G. Bentuk Rumah

Rumah tradisional ammatoa Kajang berbentuk rumah panggung sama dengan rumah

tradisional Sul-sel pada umumnya. Perbedaannya rumah tinggal ammatoa Kajang

menunjukkan suatu kesamaan (homogenity) baik dalam bentuk, (sederhana, tanpa

ornamen dan dimensinya agak kecil), konstruksi, pernyataan ruang dan penggunaan bahan,

sehingga tidak terlihat tanda-tanda pelapisan social.

Di Tana Toa, arah rumah semua menghadap barat. Barat adalah sebuah arah dimana

symbol dari nenek moyang pertama Tana Toa (Pakrasangan Iraya). Di Tana Toa, semua

rumah warga dibangun dengan bentuk yang sama. Konsep ini menunjukkan kesederhanaan

dan sebagai symbol keseragaman.

H. Bagian Rumah Adat Ammatoa

12 Rumah Adat Tradisional Suku Ammatoa, Kec. Kajang

Page 13: Struktur Tradisional Kajang

Berdasarkan konsep kosmologisnya terbagi dalam 3 tingkat. Bagian atas disebut Para

(3); merupakan tempat yang dianggap suci biasanya dipakai untuk menyimpan bahan

makanan, bagian tengah disebut Kale Balla (2); sebagai tempat manusia menetap atau

bertempat tinggal, bagian bawah disebut Siring (1); sebagai tempat menenun kain atau

sarung hitam (topeh le’leng) merupakan pakaian khas masyarakat Ammatoa. Konsep ini

sekaligus merupakan pengejewantahan dari wujud fisik manusia yang terdiri dari kepala,

badan, dan kaki.

Gambar 2.4 Tampak Depan Rumah Adat Kajang Ammatoa

Sumber: Dokumentasi Pribadi

13 Rumah Adat Tradisional Suku Ammatoa, Kec. Kajang

Page 14: Struktur Tradisional Kajang

Gambar 2.4 Morfologi Rumah Adat Kajang Ammatoa

Sumber: http://repository.ung.ac.id

Pada bagian badan (Kale balla) terdapat bagian yang dianalogikan dengan bahu pada

bagian badan manusia yakni berupa rak-rak selebar 60 cm yang berada di bagian luar

dinding tepat di bawah atap yang menjorok keluar dan memanjang sepanjang bangunan.

Bagian ini disebut Para-para. Ketinggan para-para setinggi telinga/mata pemilik rumah, yang

dimaksudkan agar si pemilik rumah bisa melihat/mendengar jika ada yang bermaksud jahat.

Para-para ini difungsikan sebagai tempat menyimpan peralatan dapur (gambar 3). Sedang

langit-langit rumah (Kajang: para) difungsikan sebagai lumbung tempat menyimpan bahan

makanan seperti padi dan juga sebagai tempat menyimpan benda pusaka.

14 Rumah Adat Tradisional Suku Ammatoa, Kec. Kajang

Page 15: Struktur Tradisional Kajang

Gambar 2.5 Interior Rumah Adat Ammatoa

Sumber: Dokumentasi Pribadi

Bagian paling atas adalah merupakan penutup para/atap (Ata’). Pada bagian muka

dan belakang dari atap (ata‟) ini terdapat timpa laja yakni atap pada bagian muka dan

belakang berbentuk segitiga sama kaki selain sebagai penutup para untuk melindungi bahan

makanan dari tempiasan air hujan juga terdapat lubang kecil sebagai.

15 Rumah Adat Tradisional Suku Ammatoa, Kec. Kajang

Page 16: Struktur Tradisional Kajang

Gambar 2.6 Timpak laja. Atap 2 susun (a) salah satu ciri khas rumah masyarakat ammatoa, Atap 3 sampai 5 susun

terletak di luar kawasan adat Ammatoa (b) .

Sumber: http://wirda-utsukushi.blogspot.com

Timpa laja ini terdiri atas 2 susun dan terdapat hanya pada Bola/Balla Hanggang

(rumah yang tiangnya ditanam) dan ini merupakan ciri khas yang menunjukkan

keseragaman dan memberikan indikasi keturunan Ammatoa yang tidak melihat strata sosial

dari bentuk dan model rumah. Untuk rumah yang sudah mengalami perubahan (Bola/Balla

paleha), tiang tidak lagi ditanam, susunan timpak laja.

Bagian lain adalah tiang pusat (pocci balla) yang merupakan analogi dari Pusar pada

tubuh manusia dimana nutrisi ditransfer ke embrio dan tempat yang ditujukan untuk

perlindungan. Oleh karena itu Pocci Balla ini dianggap sebagai pusat yang membentuk

keseimbangan, selain itu secara mistik mempunyai nilai religius, dianggap keramat (suci).

Pada tiang ini mendapat perhatian yang paling penting diikuti dengan syarat-syarat

termasuk bahan/jenis kayu dan tata cara mendirikannya.

Tiang rumah ditanam ke dalam tanah dan tingginya diukur sesuai dengan aktivitas

yang dapat dilakukan dibawahnya. Tangga dan pintu masuk hanya ada di depan bagian

tengah agak ke kanan atau kekiri dari lebar rumah. Sistem konstruksinya masih sangat

sederhana berupa sistem ikat dan pasak. Begitupula dengan desain pintu dan jendala yang

16 Rumah Adat Tradisional Suku Ammatoa, Kec. Kajang

Page 17: Struktur Tradisional Kajang

masih sangat sederhana dengan sistem konstruksi menggunakan sistem geser (sliding doorl

window).

Di rumah ini tidak ada perabotan rumah tangga, seperti kursi, tempat tidur, dsb,

yang ada hanya lemari, isi rumah juga kosong, karena biasanya mereka tidur dan berkumpul

di sana. Sekalipun listrik sudah masuk di wilayah perbatasan kampung ammatoa, tapi

mereka tidak menggunakan listrik. Pintu kamar hanya dari kain

I. Bentuk Denah

Secara horisontal pembagian ruang sebagai berikut:

1). Latta’ Riolo /Bugis: Lontang Ri saliweng berada pada bagian depan rumah yang

mempunyai fungsi seperti; pada bagian depan sebelah kiri berfungsi sebagai dapur (Kajang:

pa‟paluang). Philosopi kenapa dapur ada di muka rumah adalah karena mereka harus

berbagi dengan sesamanya, keramahan mereka dinilai dari kesenangannya dalam berbagi

apa yang mereka miliki di dapur dan disantap bersama-sama. Pada bagian tengah sebagai

tempat menerima tamu khusus dan pada bagian depan kanan selain sebagai tempat

menerima tamu juga sebagai ruang tidur laki-laki bujang. Latta’ riolo ini dibatasi oleh tiang

tengah (possi bola) dan balok melintang yang disebut “pa’pahentulang”.

2). Latta’ Tangnga merupakan ruang bagian tengah mempunyai fungsi sebagai ruang ruang

perjamuan untuk tamu yang dihormati (panggada’kang), ruang makan (pa’nganreang) dan

juga sebagai tempat tidur laki-laki yang sudah dewasa atau remaja. Untuk tamu wanita

dilarang duduk di Latta tangnga kecuali ada tuan rumah perempuan di ruang tersebut.

17 Rumah Adat Tradisional Suku Ammatoa, Kec. Kajang

Page 18: Struktur Tradisional Kajang

Gambar 2.7 Latta’ Tangnga

Sumber: Dokumentasi Pribadi

3). Latta’ riboko (tala-tala) merupakan bagian belakang badan rumah. Bagian ini biasanya

ditinggikan 1-2 genggam(18-20 cm) dan dibatasi oleh dinding. Lantai bilik ini lebih tinggi

sekitar 30cm (3 latta = genggam pemilik rumah) dari lantai ruang tengah dan dapur. Ruang

ini berfungsi sebagai tempat tidur suami-istri pemilik rumah dan anak gadisnya. Tidak

diperkenankan bagi laki-laki dewasa/remaja yang belum berkeluarga.

J. Komponen-Komponen Rumah Adat Ammatoa

18 Rumah Adat Tradisional Suku Ammatoa, Kec. Kajang

Page 19: Struktur Tradisional Kajang

Komponen-komponen rumah tinggal adat Ammatoa, Suku Kajang yaitu dengan

menggunakan bahan-bahan dan material seluruhnya dari alam, yaitu kayu bitti yang

menjadi bahan utama untuk membuat rumah Adat Ammatoa.

Adapun komponen-komponennya adalah sebagai berikut:

1. Benteng Bigasa’

Komponen struktur pendukung dari rumah adat Ammatoa sebagai tiang yang

menerus keatas sampai atap dan menjadi rangka dari rumah, dimana dinding diikat dan

tempat tumpuan kuda-kuda atap.

Tiang-tiangnya ditanam kedalam tanah dan kayunya hanya dapat bertahan kurang

lebih 10 tahun. Kayu ini biasanya disebut Na’nasayya dan istimewanya bila ada yang lapuk

bias langsung diganti tanpa perlu membongkar rumah. Tinggi tiang ke lantai kurang lebih 4m

dan tiang di tanam di dalam tanah sedalam 1m, sehingga dibagian bawah rumah

dimungkinkan melakukan kegiatan, seperti: menenun, menumbuk padi atau jagung, tempat

ternak, dan sebagainya.

19 Rumah Adat Tradisional Suku Ammatoa, Kec. Kajang

Page 20: Struktur Tradisional Kajang

Gambar 2.8 Tiang Rumah Adat Kajang Ammatoa

Sumber: Dokumentasi Pribadi

Jumlah tiang 16 buah (4x4) dengan jarak antar tiang 2m. Pada tiang tengah, benteng

tangngaya biasanya digantungkan tanduk kerbau yang pernah dipotong untuk upacara,

misalnya: upacara perkawinan.

Tiang yang di tanam di dalam tanah membuat tiang tidak dapat bergerak sehingga

jika terjadi gempa, rumah tidak akan roboh.

Gambar 2.9 Tiang Tangngaya

Sumber: Dokumentasi Pribadi

2. Benteng Polong

Benteng polong ini terbagi lagi atas:

20 Rumah Adat Tradisional Suku Ammatoa, Kec. Kajang

Page 21: Struktur Tradisional Kajang

Panjakkala’ Ulu Benteng

Yaitu balok panjang yang mengikat tiang ke arah belakang rumah.

Kalang

Yaitu balok yang mengikat tiang dari kiri ke kanan rumah.

Penyuluru’

Yaitu balok yang mengikat tiang sejajar dengan passikko’ rawa dan letaknya diatas passikko’

rawa

Panjakkala’

Yaitu balok pengikat tiang bagian atas sejajar dengan arateng/Para.

Pamarasa’

Yaitu tulang punggung rumah sebagai tempat melekatnya bubungan atap.

Balok Para

Yaitu balok kecil yang menjadi dasar lantai para, panjangnya sama dengan panjang rumah.

Bulusu’

Yaitu balok kecil sebagai dasar lantai rumah, jumlah selalu ganjil.

Lilikang

Yaitu balok yang menjadi tempat melekatnya kasau pada konstruksi atap.

Nahoang

Balok tempat bertumpunya kuda-kuda pada atap rumah.

K. Komponen Atap

21 Rumah Adat Tradisional Suku Ammatoa, Kec. Kajang

Page 22: Struktur Tradisional Kajang

Adapun komponen-komponen atap rumah adat Ammatoa adalah sebagai

berikut:

Anjong yang menyerupai ekor ayam jantan

Bangkeng Ata’ : berguna untuk meluruskan ujung atap

Tau-tau : tiang penyangga pamarasa

Gali’ giri’ : tempat balik mengikat kasau

Gambar 2.10 Gambar Atap dan Anjong

Sumber: http://wirda-utsukushi.blogspot.com

Atap terbuat dari daun rumbia dan lembaran-lembaran kurang lebih 1,5m. pada

bubungan atas depan dan belakang dipasang hiasan kayu (anjong) berupa ekor ayam.

22 Rumah Adat Tradisional Suku Ammatoa, Kec. Kajang

Page 23: Struktur Tradisional Kajang

a. Komponen Pelengkap Rumah Adat Ammatoa

1. Tuka’ ( Tangga)

Biasanya terbuat dari kayu yang diambil dari hutan yang ada didekat permukiman

warga suku Ammatoa. Anak tangganya harus selalu ganjil. Misalnya 7 anak tangga

melambangkan 7 kerajaan di gowa, jika 9 anak tangga melambangkan 9 kerajaan di Luwu.

Gambar 2.11 Tangga

Sumber: Dokumentasi Pribadi

2. Lapara’ (Lantai)

Lantai yang terbuat dari kayu yang juga diambil dari dalam hutan, cara pemasangan

kayu/papan pada lantai rumah yaitu dengan mendekatkan satu sama lain dan memberikan

sedikit celah agar udara dapat masuk dari bawah rumah/kolong.

23 Rumah Adat Tradisional Suku Ammatoa, Kec. Kajang

Page 24: Struktur Tradisional Kajang

3. Rinring (Dinding)

Dinding terbuat dari papan yang di pasang melintang. Jendela-jendela kecil yang

berukuran 40x60cm yang diletakkan sedikit lebih tinggi dari lantai. Pintu keluar hanya ada

satu buah, yaitu yang diletakkan pada bagian tengah muka bangunan. Cat sama sekali tidak

mereka gunakan. Mereka banyak menggunakan pasak dan tali sembilu bambu.

4. Anna’ (Pintu)

Rumah adat Ammatoa hanya memiliki satu pintu saja yaitu terletak pada bagian

depan rumah/dinding depan rumah. Tinggi pintu rumah adat Ammatoa lebih rendah

daripada tinggi manusia pada umumnya, dimana agar supaya setiap orang yang dating

bertamu, senantiasa menundukkan kepalanya sebagai bentuk penghormatan kepada sang

pemilik rumah.

5. Tontongang ( Jendela)

Jendela-jendela kecil yang berukuran 40x60 yang diletakkan sedikit lebih tinggi dari

lantai. Jendela pada rumah suku Ammatoa juga terbuat dari kayu yang berasal dari hutan.

Penutup jendela ini hanya di geser-geser.

24 Rumah Adat Tradisional Suku Ammatoa, Kec. Kajang

Page 25: Struktur Tradisional Kajang

Gambar 2.12 Jendela

Sumber: Dokumentasi Pribadi

L. Dimensi/Ukuran Rumah Adat Ammatoa

Ukuran-ukuran rumah adat Ammatoa adalah sebagai berikut:

1. Lebar Rumah

Lebar rumah adat Ammatoa yaitu sekitar 6m dimana terdiri dari 4 tiang rumah

dengan jarak masing-masing 2m pada lebar rumahnya

2. Panjang Rumah

Panjang rumah adat Ammatoa yaitu sekitar 9m dimana terdiri dari 4 tiang rumah

dengan jarak 3m pada panjang rumahnya.

3. Tinggi Dinding Rumah

25 Rumah Adat Tradisional Suku Ammatoa, Kec. Kajang

Page 26: Struktur Tradisional Kajang

Tinggi dinding rumah hingga bagian atas/Para sekitar 2.5m dari dasar lantai hingga

Para’.

4. Tinggi Kolong/Kaki Rumah

Kaki rumah baiasanya harus lebih tinggi karena bagian bawah ini berfungsi sebagi

pusat aktifitas suku Ammatoa. Tinggi tiang rumah dari permukaan tanah hingga dasar lantai

4m.

Gambar: 2.13 Masyarakat Menenun

Sumber: http://wirda-utsukushi.blogspot.com

5. Tinggi Atap Rumah

Tinggi atap rumah adat ammatoa lebih tinggi dari tinggi dindingnya, dimana karena

bagian ini terdapat para yang juga sebagai tempat penyimpanan bahan makanan dan hasil

panen suku Ammatoa, tingginya sekitar 2,5-3m.

26 Rumah Adat Tradisional Suku Ammatoa, Kec. Kajang

Page 27: Struktur Tradisional Kajang

M. Struktur dan Konstruksi Rumah Adat Ammatoa

Dlihat dari struktur dan konstruksi rumah tradisional Ammatoa Kajang dibedakan

atas Bola Hanggang dan Bola Paleha. Bola Hanggang adalah rumah yang tiangnya ditanam

kedalam tanah 100 cm dan tidak mempunyai pattoddo (balok yang menghubungkan tiang-

tiang pada arah lebar bangunan bagian bawah lantai). Sementara balok yang

menghubungkan deretan tiang pada arah lebar yang terletak pada bagian atas di bawah

lantai para (padongko), disalah satu sisinya tidak boleh melewati tiang (rata dengan tiang

tempatnya bertumpu) yakni pada sisi kanan rumah, sisi dimana terletak dapur (gambar 15 a)

.Sedangkan Bola Paleha adalah merupakan rumah yang tiangnya tidak ditanam tetapi

berdiri diatas umpak (Kajang: Pallangga Bola) dan deretan tiang dihubungkan oleh patoddo

sebagaimana konstruksi rumah tradisional Bugis-Makassar.

Konstruksi rumah di kawasan adat kajang dalam ramah lingkungan karena lebih

banyak menggunakan bahan-bahan alami: daun nipa dan alang-alang sebagai atap, ijuk dan

rotan sebagai pengikat dan bambu sebagai lantai dan dinding. Rumsh masyarakat adat

kajang umumnya tidsak terlalu banyak menggunakan kayu sebagai ramuannya . Untuk

membangun sebuah rumah , misalnya , hanya diperlukan tiga balok pasak atau sulur bawah

(padongko) yang melintang dari sisi kiri ke sisi kanan rumah. Untuk mengikat kesatuan tiang

dalam satu jejeran (latta’) pada bagian atas rumah diletakkkan balok besar yang melintang

dari sisi kiri ke kanan. Rumah bagi masyarakat adat kajang merupakan mikrokosmos dari

hutan adat. Dengan demikian, pemakaian balok (padongko dan lilikang) tersebut

merupakan simbolisasi dari tngkai-tangkai kayu pada sebatang pohon, yang diasosiasikan

dengan tiang-tiang rumah . Untuk menjaga pergeseran tiang-tiang tersebut dinamakan

kedalam tanah dengan kedalaman sekitar setengah depah (sihalirappa atau paling dangkal

satu siku (sisingkulu).

27 Rumah Adat Tradisional Suku Ammatoa, Kec. Kajang

Page 28: Struktur Tradisional Kajang

Pembagian wilayah didalam rumah menjadi tiga ruang yaitu: bagian atas (parabola),

bagian tengah (kalebola) dan bagian bawah (siring) juga terkait dengan pandangan hidup

atau kosmologi masyarakat adat kajang pada khususnya. Pembagian kosmos hutan: bagian

atas pohon memilik daun (raung kaju) san menghasilkan buah-buahan, sekaligus

mendatangkan hujan (angngotaki bosiya), bagian tengah pohon (poko’ kaju) sebagai tempat

dan atau rumah satwa-satwa (burung, monyet dan reptil lainnya) dan bagian lantai hutan

(aka’ kajua) sebagia tempat berlindung satwa-satwa (babi hutan, kerbau liar, babi rusa dan

sebagainya). Sekaligus sebagai penampungan air tanah (appakalompo timbusu).

Atap dan ramuan rumah lainnya hampir seturuhnya diambil dari alam sekitar.

Pemakaian bahan besi atau jenis logam lainnya, khususnya rumah adat ammatowa sangat

dilarang (kasipalli, talama’ ring atau karrasa). Atap rumah umumnya terbuat dari daun nipa

yang dirajut pada sebilah bambu kecil (pannara) dan diikat belahan rotan (paninting).

Pemakain atap daun nipa dan alang-alang berkaitan dengan presepsi masyarakat adat

kajang tentang tiang rumah sebagai batang pohon dan sulur sebagai tangkai dan dahan

pohon. Daun nipa dan alang-alang tersebut dianggap representatif dedaunan pepohonan

(tiang) yang membentuk hutan ( rumah keseluruhan). Sementara lantai dan dindingnya

terbuat dri pilihan bambu (pairing) dianyam dalam sebuah bingkai dasar.

Tangga rumah umumnya menjulur keluar dan berada pad posisi kanan rumah.

Ambang pintu (anna) berada persis di depan dapur dan tempat buang air kecil pada waktu

malam. Penempatan tangga pada sisi kanan rumah berkaitan dengan posisi seseorang

sewaktu bebaring atau tidur di dalam rumah. Posisi kepala harus berada di sebelah Timur,

Utara dan Barat. Posisi tidur tersebut berkaitan dengan letak hutan keramat yaitu disebelah

Timur Barat perkampungan. Hutan tersebut harusdijunjung tinggi dan pantang sekali diinjak

(nilisa) dengan posisi kepala di sebelah utara, dibelakangi (nibokang) dan dan dipeluk

(niraka’ barambang) dengan kaki berada disebelah timur atau Barat. Seandainya ppintu

rumah berada pad posisi sebelah kiri rumah, misalnya, orang yang sedang tidur diruang

tamu akan terganggu . Setiap tamu yang hendak memasuki rumah dipastikan menginjak

kepala yang sedang tidur.

28 Rumah Adat Tradisional Suku Ammatoa, Kec. Kajang

Page 29: Struktur Tradisional Kajang

Kaki tangga (pa’langga tuka) umumya adaa geraba atau gumbang kecil berisi air

untuk berwhuduh (a’jenne) dengan mencuci kaki, mencuci tangan, dan membasuh muka,

dan berkumur bagi tamu.

Rumah-rumah dikawasan adat kajang umumnya memiliki aksesoris : anjungan

(anjoang) berbentuk tanduk kerbau atau menggunakan ukiran kayu. Anjong tersebut

merupakan simbol atau representatif dari dunia atas. Anjong-anjong tersebut umumnya

berbentuk naga,yang menurut kosmologi beberapa suku dan masyrarkat adat kajang,

sebagai binatang raksasa penjaga langit.

Bubungan rumah (timba laja) bagi masyarakat kajang tidak menyimbolkan apa-apa,

kecuali struktur dewan adat kajang yaitu: Ammatowa ri kajang (satu orang), karaeng Tallua

(tigs orang) dan ada’ limiyya ri Tanah loheya dan Tanah kekeya (adat lima di Tanah keke dan

Tanah lohe).

Gambar 2.13 Struktur dan Konstruksi Rumah Adat Ammatoa

Sumber: http://wirda-utsukushi.blogspot.com

29 Rumah Adat Tradisional Suku Ammatoa, Kec. Kajang

Page 30: Struktur Tradisional Kajang

Gambar 2.14 Konstruksi Tiang

Sumber: Dokumentasi Pribadi

Gambar 2.15 Konstruksi balok padongko

Sumber: Dokumentasi Pribadi

N. Ornamen

Ornamen/ragam hias pada rumah tinggal tradisional hanya terdapat pada bagian

puncak atap (buhungan). Ornamen ini umumnya berbentuk ekor ayam hanya sebagai

30 Rumah Adat Tradisional Suku Ammatoa, Kec. Kajang

Page 31: Struktur Tradisional Kajang

penghias belaka tanpa mempunyai makna tertentu, kecuali untuk membedakan antara

komunitas Ammatoa yang lebih menonjolkan kesederhanaan dibanding dengan suku Bugis-

Makassar yang dapat membedakan status sosial dilihat dari ornamen yang digunakan.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Perwujudan sikap kebersamaan masyarakat terhadap kepatuhan pada

aturan-aturan/nilai-nilai tradisi dalam Pasang yang dianut komunitas Ammatoa kajang tercermin

pada pola permukiman dan rumah tinggal masyrakatnya. Mulai dari pola pemukiman, orientasi

bangunan yang semua menghadap ke Barat sampai pada pola tata ruang, bentuk, dan struktur

kontruksi rumah memperlihatkan keseragaman (homogeneity).

Dari segi tampak bangunan sangat sederhana, tanpa ornamen dan tidak dicat. Ini

merupakan cermin hidup masyarakat Ammatoa yang selalu hidup sederhana dan selalu

berorientasi pada lingkungan sebagaimana yang tercantum dalam aturan/pasang mereka.

B. Saran

31 Rumah Adat Tradisional Suku Ammatoa, Kec. Kajang

Page 32: Struktur Tradisional Kajang

Adapun saran yang ingin kami sampaikan kepada para pembaca khususnya bagi

mahasiswa bahwa janganlah kita melihat ilmu arsitektur itu hanya sebagai sebuah ilmu

tunggal yang tidak didukung oleh pengetahuan-pengetahuan lain. Sebaiknya kita sebagai

mahasiswa harus lebih lincah lagi dalam menelaah sifat dari ilmu arsitektur yang sangat

dipengaruhi oleh pengetahuan lain baik itu arsitektur tradisional ataupun arsitektur

modern dan post modern.

DAFTAR PUSTAKA

Survei langsung ke lokasi permukiman Suku Ammatoa, Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan.

Yusufrina. 2013. Suku Kajang Ammatoa Bulukumba. http://yusufrina.wordpress.com/2013/10/08/suku-kajang-amma-toa-bulukumba-sulawesi-selatan/. Di Akses pada tanggal 21 April 2014

Wirda. 2011. Arsitektur Vernakular. http://wirda-utsukushi.blogspot.com/2011/02/arsitektur-vernakular-studi-bentuk.html. Di Akses pada tanggal 21 April 2014

Anonim. 2010. Menguak Tradisi Rumah Ammatoa. http://repository.ung.ac.id/.../ menguak - nilai -

nilai - tradisi -pada-rumah-tinggal-masyarakat-ammatoa-kajang.html . Di Akses pada tanggal 21 April

2014

32 Rumah Adat Tradisional Suku Ammatoa, Kec. Kajang