Struktur Tradisional Kajang
-
Upload
adella-adelisa -
Category
Documents
-
view
59 -
download
4
description
Transcript of Struktur Tradisional Kajang
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Arsitektur tradisional merupakan salah satu unsur yang wajib untuk dilestarikan oleh
calon-calon arsitek muda kedepannya. Karena arsitek muda dituntut untuk menciptakan
suatu karya seni yang menarik tetapi tidak meninggalakn aspek tradisional dan mempunyai
wawasan mengenai arsitektur tradisional suatu daerah atau suku tertentu.
Arsitektur di zaman sekarang sangatlah berkembang dengan pesat. Seperti yang kita
ketahui sekarang banyaknya bangunan-bangunan yang memiliki nilai arsitektur yang
menarik, hal ini menjadi salah satu pusat perhatian bagi sebagian orang. Adapun beberapa
bangunan yang menggabungkan unsur arsitektur tradisional dengan arsitektur modern dan
adapun yang masih mempertahankan unsur arsitektur tradisionalnya. Dengan demikian
pengaruh arsitektur tradisional pada suatu bangunan sangatlah mempunyai nilai dan aspek
tertentu karena pada dasarnya arsitektur tradisional mengutamakan unsur budaya pada
suatu desain dan memiliki filosofi tersendiri.
Seperti halnya pada suku Ammatoa di Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba
Sulawesi Selatan, yang masih mempertahankan unsur arsitektur tradisionalnya. Karena
berdasarkan adat turun temurun dari nenek moyang suku Kajang, menolak adanya
kemajuan teknologi yang dinilai dapat merusak atau mengusik kelestarian budaya mereka,
tetapi sekarang sudah ada sebagian daerah yang terpengaruh aspek dari luar yaitu kajang
bagian luar. Sangat terlihat nilai dari arsitektur vernakular suku Ammatoa di kampung
kajang dengan bentuk dan gaya bangunan sangat sederhana dengan tujuan utama sebagai
tempat tinggal dan perlindungan dari binatang buas.
B. Rumusan Masalah
1. Mencari tahu struktur dan konstruksi rumah adat Suku Ammatoa?
2. Mengidentifikasi pengaruh struktur terhadap arsitektur tradisional suku Ammatoa?
1 Rumah Adat Tradisional Suku Ammatoa, Kec. Kajang
C. Tujuan Masalah
1. Mengetahui struktur dan konstruksi rumah adat Suku Ammatoa.
2. Mengetahui pengaruh struktur yang terdapat pada arsitektur tradisional suku
Kajang Ammatoa.
D. Manfaat
1. Kita dapat mengetahui struktur dan konstruksi rumah adat Suku Ammatoa.
2. Dapat mengetahui pengaruh struktur yang terdapat pada arsitektur tradisional suku
Kajang Ammatoa.
2 Rumah Adat Tradisional Suku Ammatoa, Kec. Kajang
BAB II
PEMBAHASAN
A. LOKASI
Gambar 2.1 Peta Kabupaten Bulukumba
Sumber: http://wirda-utsukushi.blogspot.com
Etnis Ammatoa berada di kecamatan kajang kabupaten bulukumba. Provinsi
Sulawesi Selatan, Indonesia. Letaknya kurang lebih 40 km sebelah timur kota bulukumba
dengan luas wilayah Kajang 7,1 km2. Kabupaten Bulukumba terletak diantara 05°20°-05°40°
LS dan 199°58°-120°28° BT. Adapun batas-batas wilayah diantaranya :
Sebelah Utara : Kabupaten Sinjai
3 Rumah Adat Tradisional Suku Ammatoa, Kec. Kajang
Sebelah Barat : Kabupaten Bantaeng
Sebelah Selatan : Laut Flores
Sebelah Timur : Teluk Bone dan Plau Selayar.
Gambar 2.2 Peta Kecamatan Kajang
Sumber: http://wirda-utsukushi.blogspot.com
Secara geografis,luas wilayah Desa Tana Toa sekitar 331,17 ha dengan jumlah
penduduk : 45.393 jiwa, 182.551 jiwa laki-laki dan 201.319 jiwa perempuan. Mempunyai
kondisi hutan yang sangat lebat. Jika diamati dengan teliti, hampir seluruh dusun yang
berada di dalamnya di kelilingi hutan. Sama sekali tidak ada jalan beraspal di dalam kawasan
ini. Hanya berupa jalan setapak yang terbuat dari batu-batu yang disusun secara teratur
sebagai penanda jalan.
Secara administratif, masyarakat adat Kajang terbagi atas Kajang Dalam dan Kajang
Luar. Masyarakat Adat Kajang Dalam tersebar di beberapa desa, antara lain Desa Tana Toa,
Bonto Baji, Malleleng, Pattiroang, Batu Nilamung dan sebagian wilayah Desa Tambangan.
4 Rumah Adat Tradisional Suku Ammatoa, Kec. Kajang
Kawasan Masyarakat Adat Kajang Dalam secara keseluruhan berbatasan dengan Tuli di
sebelah Utara, dengan Limba di sebelah Timur, dengan Seppa di sebelah Selatan, dan
dengan Doro di sebelah Barat. Sedangkan Kajang Luar tersebar di hampir seluruh
Kecamatan Kajang dan beberapa desa di wilayah Kecamatan Bulukumba, di antaranya Desa
Jojolo, Desa Tibona, Desa Bonto Minasa dan Desa Batu Lohe
B. Suku Ammatoa
Gambar 2.3 Gerbang Kawasan Adat Ammatoa
Sumber: Dokumentasi Pribadi
Tana-toa adalah nama salah satu desa yang mendiami mayoritas kecamatan Kajang
Kabupten Bulukumba Sulawesi Selatan. Jarak dari ibukota kecamatan, ibukota kabupaten
dan ibukota propinsi ke lokasi kawasan adat berturut-urut adalah: 25 km, 57 km, dan 270
km. Masyarakatnya lebih dikenal dengan nama masyarakat Ammatoa Kajang. Ammatoa
5 Rumah Adat Tradisional Suku Ammatoa, Kec. Kajang
adalah sebutan bagi peimimpin adat mereka yang diperoleh secara turun temurun. Amma
artinya Bapak, sedangkan Toa berarti yang dituakan.
Masyarakat ammatoa Kajang dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu Rilalang
Embayya (Tanah Kamase-masea) lebih dikenal dengan nama Kajang Dalam selanjutnya
diidentifikasi sebagai Kawasan Adat Ammatoa (KAA) dan Ipantarang Embayya (Tanah
Kausayya) atau lebih dikenal dengan nama Kajang Luar.
Pembagian tersebut selain karena perbedaan letak permukimannya dan pengaruh
ajaran Islam, kesadaran untuk membagi diri sudah terlihat di tengah sejarahnya yang cukup
panjang, ditengah dinamika dan fenomena yang melingkupi keberadaannya.
Bagi masyarakat Kajang Dalam yang menginginkan perubahan diperkenankan untuk
bermukim di Luar Kawasan Adat. Ini memperlihatkan bahwa masyarakat Ammatoa Kajang
disatu pihak masih kuat memegang adat dan tradisi nenek moyangnya, dipihak lain mereka
tidak sama sekali mengisolasikan diri dari pergaulan dengan masyarakat luar di luar adat
mereka. Secara fisik masyarakat Kajang Dalam dan Kajang Luar dibatasi oleh pagar sehingga
variasi perubahan akan terlihat dari jaraknya dari kawasan adat utamanya pada tempat
bermukim. Sementara nilai-nilai budaya yang sifatnya non fisik masih tetap dipertahankan.
Pada masyarakat Kajang Dalam sejak berabad-abad yang lampau hingga saat ini,
mereka tetap hidup dan bertahan dengan cara yang tradisional dan bersahaja (Kajang:
Kamase-masea) sebagaimana mereka yakini bahwa cara hidup semacam itulah yang pernah
dilakukan dan dipesankan oleh leluhur mereka (Kajang: Boheta) untuk dilaksanakan
generasi penerusnya, sehingga mentradisi secara turun temurun seperti apa yang dapat
disaksikan di dalam Kawasan Adat Ammatoa saat ini. konsistensi terhadap nilai-nilai adat
dan tradisi masih sangat terasa mempengaruhi permukimannya (rumah dan lingkungan).
Bagi masyarakat ammatoa khususnya yang bermukim di dalam kawasan adat,
konsep hidup kamase-masea adalah bentuk kehidupan yang ideal dan “cukup” (Kajang:
Ganna). Meraka ikhlas dan pasrah hidup secara sederhana sebagai hidup yang telah
6 Rumah Adat Tradisional Suku Ammatoa, Kec. Kajang
ditakdirkan-Nya, dan senantiasa bermohon agar hidup seperti ini dilakukan oleh keturunan
mereka.
Dalam kehidupan sehari-hari, konsep kesederhanaan nampak dalam wujud pakaian
adat dan sehari-hari yang berwarna hitam. Hitam merupakan sebuah warna adat yang
kental akan kesakralan dan mempunyai makna bagi masyarakat Ammatoa sebagai bentuk
persamaan dalam segala hal, termasuk kesamaan dalam kesederhanaan. Warna hitam
menunjukkan kekuatan, kesederhanaan, dan kesamaan derajat bagi setiap orang di depan
sang pencipta.
Gaya hidup komunitas ammatoa adalah sederhana (kamase-masea) sebagaimana
aturan-aturan yang terdapat dalam Pasang ri Kajang, yang menjadi persepsi, kognisi dan
attiitudes mereka. Sehingga tingkah laku mereka pada akhirnya adalah tingkah yang sesuai
dengan ajaran Pasang ri Kajang, yang mendasari gaya hidup komunitas ammatoa Kajang.
Mereka menganggap tidak perlu hidup berlebihan karena hidup berlebihan akan
menimbulkan konflik-konflik diantara masyarakat yang pada akhirnya menghasilkan
ketidakharmonisan dalam masyarakat tersebut. Gaya hidup sederhana ini tercermin mulai
dari cara berpakaian, cara berkomunikasi, cara menyambut tamu dan sampai pada bentuk
dan tatanan ruang/hunian mereka.
C. Agama dan Kepercayaan
Menurut data statistik di Kantor kecamatan Kajang, masyarakat Ammatoa
seluruhnya beragama Islam. Meskipun Islam diakui masyarakat Ammatoa sebagai agama
satu-satunya dalam kawasan adat, akan tetapi dalam kehidupan bergama mereka masih
mencampurbaurkan dengan ajaran-ajaran leluhur (kepercayaan) yang masih mereka pegang
teguh.
7 Rumah Adat Tradisional Suku Ammatoa, Kec. Kajang
Patuntung adalah nama kepercayaan yang dianut oleh Komunitas Ammatoa Kajang.
Kata Patuntung dialek Konjo, berasal dari kata “Tuntung” yang mendapat awalan Pa sama
dengan awalan “Pe” dalam bahasa Indonesia yang berarti “Penuntut” atau “Pelajar”.
Jadi Patuntung maksudnya seorang yang sedang mempelajari “Panggisengang” (ilmu
pengetahuan) yang bersumber dari “Pasang ri Kajang” yang mengandung pesan-pesan,
petuah-petuah, pedoman atau petunjuk yang ditaati, dan dituruti serta diamalkan demi
kebahagian akhirat. Amma-Toa adalah pemimpin dari kepercayaan patuntung di Kajang,
(“Amma” berarti bapak, dan “Toa berarti yang dituakan). Kepadanya diadukan suka duka,
didengar dan dipatuhi karena mempunyai kelebihan-kelebihan dibanding manusia biasa,
tetapi walaupun demikian Amma-Toa tidak dipandang sebagai dewa yang harus dipuji dan
disembah, karena pada hakekatnya Komunitas Ammatoa Kajang percaya pada Sang
Pencipta yang meraka sebut Turie A’ra’na disingkat “TRA”.
Padanya manusia memohon dan a’pisona (pasrah/tawakkal) Turie A‟ra‟na yang
menentukan. Bentuk isyarat/lambang tuntutan Tuhan ada di dalam “pasang”. Kepercayaan
ini pada intinya bertolak dari keyakinan tentang keberadaan manusia dibumi/kajang yang
hanya semata-mata untuk mempersiapkan diri menuju kebahagian akhirat, tempat para
leluhur mendapat kemuliaannya, dan menanti turunan mereka yang “shaleh” (Hermina,
1985). Sehingga berdasarkan hal tersebut kepentingan-kepentingan keduniaan menjadi
sesuatu yang tidak penting atau menentukan.
D. Kosmologi
Sebagaimana kepercayaan kelompok masyarakat tradisional Toraja yang dikenal
dengan Allu’ Todolo dan di daerah Bugis dengan Attau Riolong, komunitas ammatoa Kajang
8 Rumah Adat Tradisional Suku Ammatoa, Kec. Kajang
dalam kesehariannya, maupun dalam berarsitektur dalam banyak hal masih berpedoman
pada kepercayaan leluhur mereka (Kajang Tomariolo).
Mereka percaya bahwa sumber kekuatan utama yang mengendalikan alam semesta
dan kehidupaan manusia ada pada Tau Rie A’rana (disingkat TRA) yang tidak lain adalah
Tuhan Yang Maha Esa (Bugis: Dewata Seuwae). TRA dalam Bahasa Kajang artinya Yang Maha
Berkehendak, sebagaimana terdapat dalam Pasang (aturan-aturan adat) bahwa: “Tra
ammantangi ri panga’rakanna”, yang maknanya bahwa Tuhan berkehendak menurut apa
yang dikehendakinya, akan tetapi dimana ada dan ketidakadaannya, manusia tidak ada yang
mengetahui (Kajang: Anre nissei rie’na cinre’na). Meskipun demikian mereka percaya bahwa
tempat bersemayam TRA ada “di atas” .
Hal ini tercermin dari sebuah ungkapan dalam pasang “Nai riboting langi” ketika
menggambarkan proses kembalinya leluhur mereka yang I (Kajang: Bohe Tomme) ke TRA
yang telah mengutusnya ke bumi.
Kata Nai’ (naik), secara tidak langsung menunjuk pada sesuatu yang ada “di atas”
yang dalam hal ini tempat “Tra” bersemayam, dimana setiap orang akan berserah diri dan
mempertanggungjawabkan segala amal kebajikannya di bumi.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa dalam tinjauan secara vertikal
menempatkan “atas” sebagai tempat yang sacred dan berbersifat pribadi. Sebaliknya bahwa
semakin ke bawah sesuatu semakin dekat sifat dan nilainya pada hal-hal yang bersifat
profane dan umum .
Konsep tersebut di atas merupakan pencerminan dari konsep kosmologis yang
mengenal 3 pelapisan jagad raya. Alam atas dinamakan botinglangi, alam tengah ale kawa
dan alam bawah sebagai uri liyu, yang dalam perwujudan arsitektur tradisional Kajang
terlihat dalam 3 tingkatan secara vertikal, yakni: para (atap), kale balla (badan rumah) dan
siring (kolong).
E. Pelapisan Sosial
9 Rumah Adat Tradisional Suku Ammatoa, Kec. Kajang
Bagi masyarakat Ammatoa Kajang (KAK), sekalipun dikenal adanya pelapisan sosial,
tetapi dalam kehidupan sehari-hari, secara fisik tidak terlihat adanya tanda-tanda pelapisan
sosial misalnya dalam hal desain dan dimensi rumah, semua relatif seragam. Hal ini sangat
berbeda dengan sistem kerajaan yang selalu memberi fasilitas lebih kepada kelompok
masyarakat yang berada pada lapisan atas. Sebagaimana contoh terlihat pada masyarakat
bugis, keluarga raja/bangsawan rumahnya minimal bertiang 21 buah sedangkan pada
lapisan masyarakat umum maksimal setiap rumah hanya diizinkan bertiang 16 buah.
Sistem pelapisan sosial bagi masyarakat sangat ditentukan oleh tingkat “kesholehan”
yang bersangkutan yang telah menguasai penuntun yakni berupa pesan-pesan leluhur yang
berintikan pada prinsip “Kamase-masea” (kebarsahajaan), baik dalam pemahaman substansi
maupun dalam wujud kehidupan sehari-hari, termasuk dalam pembentukan rumah,
sehingga rumah bagi mereka adalah yang sederhana saja, (Kajang: Balla situju-tuju) dan
dalam bentuk yang seragam, guna menghindari adanya perasaan lebih atau kurang diantara
warga Komunitas Ammatoa Kajang. Bagi Komunitas Ammatoa Kajang rumah bukanlah
merupakan “kebutuhan” karena yang menjadi kebutuhan mereka justru bagaimana
menjalankan hidup sebaik-baiknya sehingga selamat di akhirat.
Hubungan kekeluargaan diantara sesama warga masih sangat kuat utamanya yang
berada di dalam kawasan adat ammatoa, sehingga antara satu dengan lainnya saling kenal
dalam satu kawasan adat. Masyarakat masih mengetahui nama depan dan nama panggilan
masing-masing, pekerjaan masing-masing, dan jumlah keluarga (anak dan pengikut). Dengan
keadaan ini maka interaksi sosial sangat sering dan berlanjut antara individu satu dengan
lainnya serta keluarga satu dengan lainnya. Kolong rumah berperan besar dalam menjalin
hubungan sosial antara tetangga (keluarga majemuk) dan sesama keluarga inti.
F. Pola Mukim Masyarakat Kajang
10 Rumah Adat Tradisional Suku Ammatoa, Kec. Kajang
Rumah bagi masyarakat adat kajang merupakan kebutuhan dasar (basic atau
primary need), selain kebutuhan-kebutuhan lainnya.
Di kawasan adat kajang dalam, tepatnya di dusun Benteng pola pekampungan
tampak berkelompok dan menghadap ke arah barat (gunung Bawakaraeng dan Gunung
Lompobattang). Kelompok-kelompok rumah tersebut berdasarkan pada sistem kekerabatan
terdekat (keluarga inti atau batih). Setiap kelompok rumah dibatasi pagar hidup (benteng
tinanang) atau pagar batu (benteng batu) di dalamnya terdiri atas tiga rumah batu atau
lebih. Salah satu dari ketiga rumah tersebut (biasanya yang paling depan sebelah kanan )
dari satu rumah keluarga, rumah lainnya dijadikan tempat tinggal sementara atau mukim
alternatif, ketika ada tamu bertandang kerumah orang tua mereka.
Posisi rumah umumnya menghadap ke arah barat berkaitan dengan ciri dan orientasi
kepercayaan yang mereka anut. Tempat persemayaman Annuntungi diyakini berada
diantara Bawakaraeng dan Lompobattang. Hadapan ruma (panda-ilekkang bola) tersebut
juga terkait dengan keberadaan hutan adat Tanatowa, tempat Bone Amma ( Ammatoa II )
turun kedunia ini. Tempat tersebut dinamakan pa’rasangang Iraja atau barang Iraja
(kediaman sebelah barat atau hutan adat bagian barat sebagaikebalikan dari pa’rasangang
Ilau atau Borong Ilau (Kediaman sebelah Timur atau hutan ada sebelah Timur). Pemberian
nama ini dikaitkan dengasn posisi hutan berada dibagian Barat pusat perkampungan yaitu
Behteng.
Selain itu secara politis, hadapan rumah (pandallekkang bola) yang cenderung
menyamping dari hutan keramat (borong keramat) juga terkait dengan strategi pelestarian
hutan yang diterapkan oleh ammatowa, khususnya untuk menghindari terjadinya
perambahan hutan. Rumah-rumah yang menghadap langsung kehutan sangat
dikhawatirkan dapat menimbulkan perubahan perilaku masyarakat adat kajang untuk
mengubah atau merusak hutan, karena tergiur nilai-nilai ekonomi dan sumber daya alam
yan terkandung didalam hutan adat tersebut.
Bentuk rumah yang seragam, seragam bahannya, seragam besarnya, dan sedapat
mungkin seragam arah bangunannya. Rumah berdinding papan dan beratap rumbia,
11 Rumah Adat Tradisional Suku Ammatoa, Kec. Kajang
terkecuali rumah Ammatoa yang berdinding bambu. Keseragaman itu bermaksud
menghindari saling iri di kalangan mereka, yang dapat berakibat pada keinginan
memperoleh hasil lebih banyak dengan cara merusak hutan.
Larangan membangun rumah dengan bahan bakunya batu-bata. Menurut pasang,
hal ini adalah pantangan, karena hanya orang mati yang telah berada di dalam liang lahat
yang diapit oleh tanah. Rumah yang bahan bakunya berasal dari batu-bata, meskipun
penghuninya masih hidup namun secara prinsip mereka dianggap sudah mati, karena sudah
dikelilingi oleh tanah. Apabila diperhatikan hal tersebut lebih jauh, maka sebenarnya
pantangan yang demikian bersangkut-paut dengan pelestarian hutan. Bukankah untuk
membuat batu-bata, diperlukan bahan bakar kayu, karena proses pembakaran batu-bata
memerlukan kayu bakar yang cukup banyak. Dengan pantangan itu sebenarnya memberikan
perlindungan pada bahan bakar kayu yang sumber utamanya berasal dari hutan.
G. Bentuk Rumah
Rumah tradisional ammatoa Kajang berbentuk rumah panggung sama dengan rumah
tradisional Sul-sel pada umumnya. Perbedaannya rumah tinggal ammatoa Kajang
menunjukkan suatu kesamaan (homogenity) baik dalam bentuk, (sederhana, tanpa
ornamen dan dimensinya agak kecil), konstruksi, pernyataan ruang dan penggunaan bahan,
sehingga tidak terlihat tanda-tanda pelapisan social.
Di Tana Toa, arah rumah semua menghadap barat. Barat adalah sebuah arah dimana
symbol dari nenek moyang pertama Tana Toa (Pakrasangan Iraya). Di Tana Toa, semua
rumah warga dibangun dengan bentuk yang sama. Konsep ini menunjukkan kesederhanaan
dan sebagai symbol keseragaman.
H. Bagian Rumah Adat Ammatoa
12 Rumah Adat Tradisional Suku Ammatoa, Kec. Kajang
Berdasarkan konsep kosmologisnya terbagi dalam 3 tingkat. Bagian atas disebut Para
(3); merupakan tempat yang dianggap suci biasanya dipakai untuk menyimpan bahan
makanan, bagian tengah disebut Kale Balla (2); sebagai tempat manusia menetap atau
bertempat tinggal, bagian bawah disebut Siring (1); sebagai tempat menenun kain atau
sarung hitam (topeh le’leng) merupakan pakaian khas masyarakat Ammatoa. Konsep ini
sekaligus merupakan pengejewantahan dari wujud fisik manusia yang terdiri dari kepala,
badan, dan kaki.
Gambar 2.4 Tampak Depan Rumah Adat Kajang Ammatoa
Sumber: Dokumentasi Pribadi
13 Rumah Adat Tradisional Suku Ammatoa, Kec. Kajang
Gambar 2.4 Morfologi Rumah Adat Kajang Ammatoa
Sumber: http://repository.ung.ac.id
Pada bagian badan (Kale balla) terdapat bagian yang dianalogikan dengan bahu pada
bagian badan manusia yakni berupa rak-rak selebar 60 cm yang berada di bagian luar
dinding tepat di bawah atap yang menjorok keluar dan memanjang sepanjang bangunan.
Bagian ini disebut Para-para. Ketinggan para-para setinggi telinga/mata pemilik rumah, yang
dimaksudkan agar si pemilik rumah bisa melihat/mendengar jika ada yang bermaksud jahat.
Para-para ini difungsikan sebagai tempat menyimpan peralatan dapur (gambar 3). Sedang
langit-langit rumah (Kajang: para) difungsikan sebagai lumbung tempat menyimpan bahan
makanan seperti padi dan juga sebagai tempat menyimpan benda pusaka.
14 Rumah Adat Tradisional Suku Ammatoa, Kec. Kajang
Gambar 2.5 Interior Rumah Adat Ammatoa
Sumber: Dokumentasi Pribadi
Bagian paling atas adalah merupakan penutup para/atap (Ata’). Pada bagian muka
dan belakang dari atap (ata‟) ini terdapat timpa laja yakni atap pada bagian muka dan
belakang berbentuk segitiga sama kaki selain sebagai penutup para untuk melindungi bahan
makanan dari tempiasan air hujan juga terdapat lubang kecil sebagai.
15 Rumah Adat Tradisional Suku Ammatoa, Kec. Kajang
Gambar 2.6 Timpak laja. Atap 2 susun (a) salah satu ciri khas rumah masyarakat ammatoa, Atap 3 sampai 5 susun
terletak di luar kawasan adat Ammatoa (b) .
Sumber: http://wirda-utsukushi.blogspot.com
Timpa laja ini terdiri atas 2 susun dan terdapat hanya pada Bola/Balla Hanggang
(rumah yang tiangnya ditanam) dan ini merupakan ciri khas yang menunjukkan
keseragaman dan memberikan indikasi keturunan Ammatoa yang tidak melihat strata sosial
dari bentuk dan model rumah. Untuk rumah yang sudah mengalami perubahan (Bola/Balla
paleha), tiang tidak lagi ditanam, susunan timpak laja.
Bagian lain adalah tiang pusat (pocci balla) yang merupakan analogi dari Pusar pada
tubuh manusia dimana nutrisi ditransfer ke embrio dan tempat yang ditujukan untuk
perlindungan. Oleh karena itu Pocci Balla ini dianggap sebagai pusat yang membentuk
keseimbangan, selain itu secara mistik mempunyai nilai religius, dianggap keramat (suci).
Pada tiang ini mendapat perhatian yang paling penting diikuti dengan syarat-syarat
termasuk bahan/jenis kayu dan tata cara mendirikannya.
Tiang rumah ditanam ke dalam tanah dan tingginya diukur sesuai dengan aktivitas
yang dapat dilakukan dibawahnya. Tangga dan pintu masuk hanya ada di depan bagian
tengah agak ke kanan atau kekiri dari lebar rumah. Sistem konstruksinya masih sangat
sederhana berupa sistem ikat dan pasak. Begitupula dengan desain pintu dan jendala yang
16 Rumah Adat Tradisional Suku Ammatoa, Kec. Kajang
masih sangat sederhana dengan sistem konstruksi menggunakan sistem geser (sliding doorl
window).
Di rumah ini tidak ada perabotan rumah tangga, seperti kursi, tempat tidur, dsb,
yang ada hanya lemari, isi rumah juga kosong, karena biasanya mereka tidur dan berkumpul
di sana. Sekalipun listrik sudah masuk di wilayah perbatasan kampung ammatoa, tapi
mereka tidak menggunakan listrik. Pintu kamar hanya dari kain
I. Bentuk Denah
Secara horisontal pembagian ruang sebagai berikut:
1). Latta’ Riolo /Bugis: Lontang Ri saliweng berada pada bagian depan rumah yang
mempunyai fungsi seperti; pada bagian depan sebelah kiri berfungsi sebagai dapur (Kajang:
pa‟paluang). Philosopi kenapa dapur ada di muka rumah adalah karena mereka harus
berbagi dengan sesamanya, keramahan mereka dinilai dari kesenangannya dalam berbagi
apa yang mereka miliki di dapur dan disantap bersama-sama. Pada bagian tengah sebagai
tempat menerima tamu khusus dan pada bagian depan kanan selain sebagai tempat
menerima tamu juga sebagai ruang tidur laki-laki bujang. Latta’ riolo ini dibatasi oleh tiang
tengah (possi bola) dan balok melintang yang disebut “pa’pahentulang”.
2). Latta’ Tangnga merupakan ruang bagian tengah mempunyai fungsi sebagai ruang ruang
perjamuan untuk tamu yang dihormati (panggada’kang), ruang makan (pa’nganreang) dan
juga sebagai tempat tidur laki-laki yang sudah dewasa atau remaja. Untuk tamu wanita
dilarang duduk di Latta tangnga kecuali ada tuan rumah perempuan di ruang tersebut.
17 Rumah Adat Tradisional Suku Ammatoa, Kec. Kajang
Gambar 2.7 Latta’ Tangnga
Sumber: Dokumentasi Pribadi
3). Latta’ riboko (tala-tala) merupakan bagian belakang badan rumah. Bagian ini biasanya
ditinggikan 1-2 genggam(18-20 cm) dan dibatasi oleh dinding. Lantai bilik ini lebih tinggi
sekitar 30cm (3 latta = genggam pemilik rumah) dari lantai ruang tengah dan dapur. Ruang
ini berfungsi sebagai tempat tidur suami-istri pemilik rumah dan anak gadisnya. Tidak
diperkenankan bagi laki-laki dewasa/remaja yang belum berkeluarga.
J. Komponen-Komponen Rumah Adat Ammatoa
18 Rumah Adat Tradisional Suku Ammatoa, Kec. Kajang
Komponen-komponen rumah tinggal adat Ammatoa, Suku Kajang yaitu dengan
menggunakan bahan-bahan dan material seluruhnya dari alam, yaitu kayu bitti yang
menjadi bahan utama untuk membuat rumah Adat Ammatoa.
Adapun komponen-komponennya adalah sebagai berikut:
1. Benteng Bigasa’
Komponen struktur pendukung dari rumah adat Ammatoa sebagai tiang yang
menerus keatas sampai atap dan menjadi rangka dari rumah, dimana dinding diikat dan
tempat tumpuan kuda-kuda atap.
Tiang-tiangnya ditanam kedalam tanah dan kayunya hanya dapat bertahan kurang
lebih 10 tahun. Kayu ini biasanya disebut Na’nasayya dan istimewanya bila ada yang lapuk
bias langsung diganti tanpa perlu membongkar rumah. Tinggi tiang ke lantai kurang lebih 4m
dan tiang di tanam di dalam tanah sedalam 1m, sehingga dibagian bawah rumah
dimungkinkan melakukan kegiatan, seperti: menenun, menumbuk padi atau jagung, tempat
ternak, dan sebagainya.
19 Rumah Adat Tradisional Suku Ammatoa, Kec. Kajang
Gambar 2.8 Tiang Rumah Adat Kajang Ammatoa
Sumber: Dokumentasi Pribadi
Jumlah tiang 16 buah (4x4) dengan jarak antar tiang 2m. Pada tiang tengah, benteng
tangngaya biasanya digantungkan tanduk kerbau yang pernah dipotong untuk upacara,
misalnya: upacara perkawinan.
Tiang yang di tanam di dalam tanah membuat tiang tidak dapat bergerak sehingga
jika terjadi gempa, rumah tidak akan roboh.
Gambar 2.9 Tiang Tangngaya
Sumber: Dokumentasi Pribadi
2. Benteng Polong
Benteng polong ini terbagi lagi atas:
20 Rumah Adat Tradisional Suku Ammatoa, Kec. Kajang
Panjakkala’ Ulu Benteng
Yaitu balok panjang yang mengikat tiang ke arah belakang rumah.
Kalang
Yaitu balok yang mengikat tiang dari kiri ke kanan rumah.
Penyuluru’
Yaitu balok yang mengikat tiang sejajar dengan passikko’ rawa dan letaknya diatas passikko’
rawa
Panjakkala’
Yaitu balok pengikat tiang bagian atas sejajar dengan arateng/Para.
Pamarasa’
Yaitu tulang punggung rumah sebagai tempat melekatnya bubungan atap.
Balok Para
Yaitu balok kecil yang menjadi dasar lantai para, panjangnya sama dengan panjang rumah.
Bulusu’
Yaitu balok kecil sebagai dasar lantai rumah, jumlah selalu ganjil.
Lilikang
Yaitu balok yang menjadi tempat melekatnya kasau pada konstruksi atap.
Nahoang
Balok tempat bertumpunya kuda-kuda pada atap rumah.
K. Komponen Atap
21 Rumah Adat Tradisional Suku Ammatoa, Kec. Kajang
Adapun komponen-komponen atap rumah adat Ammatoa adalah sebagai
berikut:
Anjong yang menyerupai ekor ayam jantan
Bangkeng Ata’ : berguna untuk meluruskan ujung atap
Tau-tau : tiang penyangga pamarasa
Gali’ giri’ : tempat balik mengikat kasau
Gambar 2.10 Gambar Atap dan Anjong
Sumber: http://wirda-utsukushi.blogspot.com
Atap terbuat dari daun rumbia dan lembaran-lembaran kurang lebih 1,5m. pada
bubungan atas depan dan belakang dipasang hiasan kayu (anjong) berupa ekor ayam.
22 Rumah Adat Tradisional Suku Ammatoa, Kec. Kajang
a. Komponen Pelengkap Rumah Adat Ammatoa
1. Tuka’ ( Tangga)
Biasanya terbuat dari kayu yang diambil dari hutan yang ada didekat permukiman
warga suku Ammatoa. Anak tangganya harus selalu ganjil. Misalnya 7 anak tangga
melambangkan 7 kerajaan di gowa, jika 9 anak tangga melambangkan 9 kerajaan di Luwu.
Gambar 2.11 Tangga
Sumber: Dokumentasi Pribadi
2. Lapara’ (Lantai)
Lantai yang terbuat dari kayu yang juga diambil dari dalam hutan, cara pemasangan
kayu/papan pada lantai rumah yaitu dengan mendekatkan satu sama lain dan memberikan
sedikit celah agar udara dapat masuk dari bawah rumah/kolong.
23 Rumah Adat Tradisional Suku Ammatoa, Kec. Kajang
3. Rinring (Dinding)
Dinding terbuat dari papan yang di pasang melintang. Jendela-jendela kecil yang
berukuran 40x60cm yang diletakkan sedikit lebih tinggi dari lantai. Pintu keluar hanya ada
satu buah, yaitu yang diletakkan pada bagian tengah muka bangunan. Cat sama sekali tidak
mereka gunakan. Mereka banyak menggunakan pasak dan tali sembilu bambu.
4. Anna’ (Pintu)
Rumah adat Ammatoa hanya memiliki satu pintu saja yaitu terletak pada bagian
depan rumah/dinding depan rumah. Tinggi pintu rumah adat Ammatoa lebih rendah
daripada tinggi manusia pada umumnya, dimana agar supaya setiap orang yang dating
bertamu, senantiasa menundukkan kepalanya sebagai bentuk penghormatan kepada sang
pemilik rumah.
5. Tontongang ( Jendela)
Jendela-jendela kecil yang berukuran 40x60 yang diletakkan sedikit lebih tinggi dari
lantai. Jendela pada rumah suku Ammatoa juga terbuat dari kayu yang berasal dari hutan.
Penutup jendela ini hanya di geser-geser.
24 Rumah Adat Tradisional Suku Ammatoa, Kec. Kajang
Gambar 2.12 Jendela
Sumber: Dokumentasi Pribadi
L. Dimensi/Ukuran Rumah Adat Ammatoa
Ukuran-ukuran rumah adat Ammatoa adalah sebagai berikut:
1. Lebar Rumah
Lebar rumah adat Ammatoa yaitu sekitar 6m dimana terdiri dari 4 tiang rumah
dengan jarak masing-masing 2m pada lebar rumahnya
2. Panjang Rumah
Panjang rumah adat Ammatoa yaitu sekitar 9m dimana terdiri dari 4 tiang rumah
dengan jarak 3m pada panjang rumahnya.
3. Tinggi Dinding Rumah
25 Rumah Adat Tradisional Suku Ammatoa, Kec. Kajang
Tinggi dinding rumah hingga bagian atas/Para sekitar 2.5m dari dasar lantai hingga
Para’.
4. Tinggi Kolong/Kaki Rumah
Kaki rumah baiasanya harus lebih tinggi karena bagian bawah ini berfungsi sebagi
pusat aktifitas suku Ammatoa. Tinggi tiang rumah dari permukaan tanah hingga dasar lantai
4m.
Gambar: 2.13 Masyarakat Menenun
Sumber: http://wirda-utsukushi.blogspot.com
5. Tinggi Atap Rumah
Tinggi atap rumah adat ammatoa lebih tinggi dari tinggi dindingnya, dimana karena
bagian ini terdapat para yang juga sebagai tempat penyimpanan bahan makanan dan hasil
panen suku Ammatoa, tingginya sekitar 2,5-3m.
26 Rumah Adat Tradisional Suku Ammatoa, Kec. Kajang
M. Struktur dan Konstruksi Rumah Adat Ammatoa
Dlihat dari struktur dan konstruksi rumah tradisional Ammatoa Kajang dibedakan
atas Bola Hanggang dan Bola Paleha. Bola Hanggang adalah rumah yang tiangnya ditanam
kedalam tanah 100 cm dan tidak mempunyai pattoddo (balok yang menghubungkan tiang-
tiang pada arah lebar bangunan bagian bawah lantai). Sementara balok yang
menghubungkan deretan tiang pada arah lebar yang terletak pada bagian atas di bawah
lantai para (padongko), disalah satu sisinya tidak boleh melewati tiang (rata dengan tiang
tempatnya bertumpu) yakni pada sisi kanan rumah, sisi dimana terletak dapur (gambar 15 a)
.Sedangkan Bola Paleha adalah merupakan rumah yang tiangnya tidak ditanam tetapi
berdiri diatas umpak (Kajang: Pallangga Bola) dan deretan tiang dihubungkan oleh patoddo
sebagaimana konstruksi rumah tradisional Bugis-Makassar.
Konstruksi rumah di kawasan adat kajang dalam ramah lingkungan karena lebih
banyak menggunakan bahan-bahan alami: daun nipa dan alang-alang sebagai atap, ijuk dan
rotan sebagai pengikat dan bambu sebagai lantai dan dinding. Rumsh masyarakat adat
kajang umumnya tidsak terlalu banyak menggunakan kayu sebagai ramuannya . Untuk
membangun sebuah rumah , misalnya , hanya diperlukan tiga balok pasak atau sulur bawah
(padongko) yang melintang dari sisi kiri ke sisi kanan rumah. Untuk mengikat kesatuan tiang
dalam satu jejeran (latta’) pada bagian atas rumah diletakkkan balok besar yang melintang
dari sisi kiri ke kanan. Rumah bagi masyarakat adat kajang merupakan mikrokosmos dari
hutan adat. Dengan demikian, pemakaian balok (padongko dan lilikang) tersebut
merupakan simbolisasi dari tngkai-tangkai kayu pada sebatang pohon, yang diasosiasikan
dengan tiang-tiang rumah . Untuk menjaga pergeseran tiang-tiang tersebut dinamakan
kedalam tanah dengan kedalaman sekitar setengah depah (sihalirappa atau paling dangkal
satu siku (sisingkulu).
27 Rumah Adat Tradisional Suku Ammatoa, Kec. Kajang
Pembagian wilayah didalam rumah menjadi tiga ruang yaitu: bagian atas (parabola),
bagian tengah (kalebola) dan bagian bawah (siring) juga terkait dengan pandangan hidup
atau kosmologi masyarakat adat kajang pada khususnya. Pembagian kosmos hutan: bagian
atas pohon memilik daun (raung kaju) san menghasilkan buah-buahan, sekaligus
mendatangkan hujan (angngotaki bosiya), bagian tengah pohon (poko’ kaju) sebagai tempat
dan atau rumah satwa-satwa (burung, monyet dan reptil lainnya) dan bagian lantai hutan
(aka’ kajua) sebagia tempat berlindung satwa-satwa (babi hutan, kerbau liar, babi rusa dan
sebagainya). Sekaligus sebagai penampungan air tanah (appakalompo timbusu).
Atap dan ramuan rumah lainnya hampir seturuhnya diambil dari alam sekitar.
Pemakaian bahan besi atau jenis logam lainnya, khususnya rumah adat ammatowa sangat
dilarang (kasipalli, talama’ ring atau karrasa). Atap rumah umumnya terbuat dari daun nipa
yang dirajut pada sebilah bambu kecil (pannara) dan diikat belahan rotan (paninting).
Pemakain atap daun nipa dan alang-alang berkaitan dengan presepsi masyarakat adat
kajang tentang tiang rumah sebagai batang pohon dan sulur sebagai tangkai dan dahan
pohon. Daun nipa dan alang-alang tersebut dianggap representatif dedaunan pepohonan
(tiang) yang membentuk hutan ( rumah keseluruhan). Sementara lantai dan dindingnya
terbuat dri pilihan bambu (pairing) dianyam dalam sebuah bingkai dasar.
Tangga rumah umumnya menjulur keluar dan berada pad posisi kanan rumah.
Ambang pintu (anna) berada persis di depan dapur dan tempat buang air kecil pada waktu
malam. Penempatan tangga pada sisi kanan rumah berkaitan dengan posisi seseorang
sewaktu bebaring atau tidur di dalam rumah. Posisi kepala harus berada di sebelah Timur,
Utara dan Barat. Posisi tidur tersebut berkaitan dengan letak hutan keramat yaitu disebelah
Timur Barat perkampungan. Hutan tersebut harusdijunjung tinggi dan pantang sekali diinjak
(nilisa) dengan posisi kepala di sebelah utara, dibelakangi (nibokang) dan dan dipeluk
(niraka’ barambang) dengan kaki berada disebelah timur atau Barat. Seandainya ppintu
rumah berada pad posisi sebelah kiri rumah, misalnya, orang yang sedang tidur diruang
tamu akan terganggu . Setiap tamu yang hendak memasuki rumah dipastikan menginjak
kepala yang sedang tidur.
28 Rumah Adat Tradisional Suku Ammatoa, Kec. Kajang
Kaki tangga (pa’langga tuka) umumya adaa geraba atau gumbang kecil berisi air
untuk berwhuduh (a’jenne) dengan mencuci kaki, mencuci tangan, dan membasuh muka,
dan berkumur bagi tamu.
Rumah-rumah dikawasan adat kajang umumnya memiliki aksesoris : anjungan
(anjoang) berbentuk tanduk kerbau atau menggunakan ukiran kayu. Anjong tersebut
merupakan simbol atau representatif dari dunia atas. Anjong-anjong tersebut umumnya
berbentuk naga,yang menurut kosmologi beberapa suku dan masyrarkat adat kajang,
sebagai binatang raksasa penjaga langit.
Bubungan rumah (timba laja) bagi masyarakat kajang tidak menyimbolkan apa-apa,
kecuali struktur dewan adat kajang yaitu: Ammatowa ri kajang (satu orang), karaeng Tallua
(tigs orang) dan ada’ limiyya ri Tanah loheya dan Tanah kekeya (adat lima di Tanah keke dan
Tanah lohe).
Gambar 2.13 Struktur dan Konstruksi Rumah Adat Ammatoa
Sumber: http://wirda-utsukushi.blogspot.com
29 Rumah Adat Tradisional Suku Ammatoa, Kec. Kajang
Gambar 2.14 Konstruksi Tiang
Sumber: Dokumentasi Pribadi
Gambar 2.15 Konstruksi balok padongko
Sumber: Dokumentasi Pribadi
N. Ornamen
Ornamen/ragam hias pada rumah tinggal tradisional hanya terdapat pada bagian
puncak atap (buhungan). Ornamen ini umumnya berbentuk ekor ayam hanya sebagai
30 Rumah Adat Tradisional Suku Ammatoa, Kec. Kajang
penghias belaka tanpa mempunyai makna tertentu, kecuali untuk membedakan antara
komunitas Ammatoa yang lebih menonjolkan kesederhanaan dibanding dengan suku Bugis-
Makassar yang dapat membedakan status sosial dilihat dari ornamen yang digunakan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perwujudan sikap kebersamaan masyarakat terhadap kepatuhan pada
aturan-aturan/nilai-nilai tradisi dalam Pasang yang dianut komunitas Ammatoa kajang tercermin
pada pola permukiman dan rumah tinggal masyrakatnya. Mulai dari pola pemukiman, orientasi
bangunan yang semua menghadap ke Barat sampai pada pola tata ruang, bentuk, dan struktur
kontruksi rumah memperlihatkan keseragaman (homogeneity).
Dari segi tampak bangunan sangat sederhana, tanpa ornamen dan tidak dicat. Ini
merupakan cermin hidup masyarakat Ammatoa yang selalu hidup sederhana dan selalu
berorientasi pada lingkungan sebagaimana yang tercantum dalam aturan/pasang mereka.
B. Saran
31 Rumah Adat Tradisional Suku Ammatoa, Kec. Kajang
Adapun saran yang ingin kami sampaikan kepada para pembaca khususnya bagi
mahasiswa bahwa janganlah kita melihat ilmu arsitektur itu hanya sebagai sebuah ilmu
tunggal yang tidak didukung oleh pengetahuan-pengetahuan lain. Sebaiknya kita sebagai
mahasiswa harus lebih lincah lagi dalam menelaah sifat dari ilmu arsitektur yang sangat
dipengaruhi oleh pengetahuan lain baik itu arsitektur tradisional ataupun arsitektur
modern dan post modern.
DAFTAR PUSTAKA
Survei langsung ke lokasi permukiman Suku Ammatoa, Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan.
Yusufrina. 2013. Suku Kajang Ammatoa Bulukumba. http://yusufrina.wordpress.com/2013/10/08/suku-kajang-amma-toa-bulukumba-sulawesi-selatan/. Di Akses pada tanggal 21 April 2014
Wirda. 2011. Arsitektur Vernakular. http://wirda-utsukushi.blogspot.com/2011/02/arsitektur-vernakular-studi-bentuk.html. Di Akses pada tanggal 21 April 2014
Anonim. 2010. Menguak Tradisi Rumah Ammatoa. http://repository.ung.ac.id/.../ menguak - nilai -
nilai - tradisi -pada-rumah-tinggal-masyarakat-ammatoa-kajang.html . Di Akses pada tanggal 21 April
2014
32 Rumah Adat Tradisional Suku Ammatoa, Kec. Kajang