Stres dan Keselamatan Kerja
-
Upload
lunahasyim -
Category
Education
-
view
523 -
download
9
description
Transcript of Stres dan Keselamatan Kerja
STRES DAN KESELAMATAN KERJA
PSIKOLOGI INDUSTRI DAN ORGANISASI
(Dosen: Laila Meiliyandrie I Wardani, PhD)
Disusun Oleh:Ellenoor Tasya 46113310009Lubna Fadhilah 46113310019
Fakultas Psikologi
UNIVERSITAS MERCU BUANA
BEKASI
2014
1
Stres dan Keselamatan Kerja
A. Pengantar
Perusahaan sebagai sistem memperoleh berbagai bahan baku yang
diperlukan, yang diolah oleh tenaga kerja dengan menggunakan mesin dan
peralatan lainnya, sehingga dapat menghasilkan barang atau jasa sebagai
produknya.
Selama pengolahan bahan bakunya, tenaga kerja bekerja.interaksi
antar tenaga kerja dengan pekerjaan dan lingkungan kerjanya
menghasilkan barang atau jasa. Berdasarkan kinerjanya, tenaga kerja
mendapatkan imbalannya, intrinsik dan/atau ekstrinsik, yang berdampak
pada motivasi dan kepuasan kerjanya. Sebagai hasil atau akibat lain dari
proses bekerja, tenaga kerja dapat mengalami stress, yang dapat
berkembang menjadikan tenaga kerja sakit (fisik dan mental), sehingga
tidak dapat bekerja lagi secara optimal.
Manusia merupakan anggota lebih dari satu kelompok sosial.
Dalam melakukan kegiatan di setiap kelompok, manusia dapat mengalami
stress. Stress yang dialami sebagai hasil kegiatannya di setiap kelompok
saling menunjang, saling menguatkan.
Dalam makalah ini akan kami jelaskan dulu pengertian dari stress,
kemudian faktor yang dapat menimbulkan stress yang berkaitan dengan
kepuasan kerja, dan manajemen dari stress.
B. Pengertian
“Stres adalah satu abstraksi. Orang tidak dapat melihat
pembangkit stress. Yang dapat dilihat adalah akibat dari pembangkit
stress.” Menurut Dr. Hans Selye, guru besar emeritus (purnawirawan) dari
Universitas Montreal dan “penemu” stres. Sebagai seorang ahli faal, ia
terutama tertarik pada bagaimana cara stress mempengaruhi badan. Ia
mengamatai serangkaian perubahan biokimia dalam sejumlah organisme
2
yang beradaptasi terhadap berbagai macam tuntutan lingkungan (general
adaptation syndrome) yang terdiri dari tiga tahap. Yaitu :
1. Tahap alarm (tanda bahaya) → organisme berorientasi terhadap
tuntutan yang diberikan oleh lingkungannya dan mulai menghayatinya
sebagai ancaman. → Tahap ini tidak dapat tahan lama.
2. Tahap resistence (perlawanan) → organisme memobilisasi sumber-
sumbernya supaya mampu menghadapi tuntutan. Jika tuntutan
berlangsung terlalu lama, maka sumber-sumber penyesuaian ini mulai
habis.
3. Tahap exhaustion → organisme kehabisan tenaga.
Jika diterapkan pada orang, maka sindrom adaptasi umum dari
selye dapat diuraikan secara singkat sebagai berikut:
Jika seseorang untuk pertama kali mengalami situasi penuh stress, maka
mekanisme pertahanan dalam badan diaktifkan: kelenjar-kelenjar
mengeluarkan/melepaskan adrenalin, cortisone dan hormon-hormon lain
dalam jumlah yang besar, dan perubahan-perubahan yang terkoordinasi
berlangsung pada sistem saraf pusat (tahap alarm). Jika parparan
terhadap pembangkit stress bersinambungan dan badan mampu
menyesuaikan, maka terjadi perlawanan terhadap sakit. Reaksi badaniah
yang khas terjadi untuk menahan akibat-akibat dari pembangkit stress
(tahap resistence). Tetapi jika paparan terhadap stress berlanjut, maka
mekanisme pertahanan badan secara perlahan-lahan menurun sampai
terjadi ketidaksesuaian, dan satu dari organ-organ gagal untuk berfungsi
sebagaimana mestinya. Proses pemunduran ini dapat mengarah ke
penyakit dari hampir semua bagian dari badan (tahap exhaustion).
Menurut Selye jika reaksi badan tidak cukup, berlebihan, atau
salah, maka reaksi badan itu sendiri dapat menimbulkan penyakit, hal ini
dinamakan diseases of adaptation (penyakit dari adaptasi), karena
penyakit-penyakittersebut lebih disebabkan oleh reaksi adaptif yang kacau
dari badan kita daripada oleh hasil yang merusak langsung dari penimbul
stress.
3
Syndrome adaptasi umum ini dapat beroperasi pada tingkat yang
berbeda-bedia, dari subsystem sampai ke keseluruhan organism.
Pandangan Selye ini mendapat kritik dari sejumlah peneliti lain.
Stress menurut mereka tidak dapat dipandang hanya sebagai suatu
jawaban. Stress harus dilihat sebagai fungsi dari individu yang
menafsirkan situasi. Reaksi orang tidak sama terhadap situasi stress yang
sama.
Penelitian sekarang tentang stress didasarkan pada asumsi bahwa
stress, yang disimpulkan dari gejala-gejala dan tanda-tanda faal, perilaku,
psikologikal dan somatic, adalah hasil dari tidak/kurang adanya kecocokan
antara orang (dalam arti kepribadiannya, bakatnya, dan kecakapannya) dan
lingkungannya, yang mengakibatkan ketidakmampuannya untuk
menghadapi berbagai tuntutan terhadap dirinya secara efektif.
Pada umumnya kita merasakan bahwa stress merupakan suatu
kondisi yang negatif, tetapi ternyata stress juga diperlukan untuk
menghasilkan prestasi yang tinggi. Seperti pada suatu penelitian yang
membuktikan bahwa semakin tinggi dorongan untuk berprestasi, makin
tinggi tingkat stresnya dan makin tinggi juga produktivitas dan
efiesiensinya. Stres dalam jumlah tertentu dapat mengarah ke gagasan-
gagasan yang inovatif dan keluaran yang konstruktif.
Unjuk Kerja
Rendah
Rendah Stres Tinggi
Gambar B.1. Hubungan antara Stress dan Unjuk-Kerja Pekerjaan.
Stres yang meningkat sampai unjuk-kerja mencapai titik
optimalnya merupakan stress yang baik, yang menyenangkan, eustress.
4
Dekat, sebelum mencapai titik optimalnya, situasinya dialami sebagai
tantangan yang merangsang. Melewati titik optimal stres menjadi distress.
Peristiwanya atau situasinya dialami sebagai ancaman yang mencemaskan.
Tanda-tanda distress-nya adalah sebagai berikut:
1. Tanda-tanda suasana hati (mood):
- Menjadi overexcited
- Cemas
- Merasa tidak pasti
- Sulit tidur pada malam hari (somnabulisme)
- Menjadi mudah bingung dan lupa
- Menjadi sangat tidak-enak (uncomfortable) dan gelisah (ill at ease)
- Menjadi gugup (nervous)
2. Tanda-tanda otot kerangka (musculoskeletal)
- Jari-jari dan tangan gemetar
- Tidak dapat duduk diam atau berdiri di tempat
- Mengembangkan tic (gerakan tidak sengaja)
- Kepala mulai sakit
- Merasa otot menjadi tegang atau kaku
- Gagap saat berbicara
- Leher menjadi kaku
3. Tanda-tanda organ-organ dalam badan (visceral)
- Perut terganggu
- Merasa jantung berdebar
- Banyak berkeringat
- Tangan berkeringat
- Merasa kepala ringan atau akan pingsan
- Mengalami kedinginan (cold chills)
- Wajah menjadi ‘panas’
- Mulut menjadi kering
- Mendengar bunyi bordering dalam kuping
- Mengalami ‘rasa akan tenggelam’ dalam perut (sinking feeling)
5
C. Faktor Stres
1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepuasan dan Stress Kerja
Lima faktor yang dapat mempengaruhi kepuasan kerja yang dapat
menimbulkan stres kerja (White, 1983), yaitu:
1. Sikap terhadap pekerjaan
Jika individu menganggap bahwa pekerjaannya adalah sesuatu
yang “kurang bermakna dan mempunyai nilai” bagi dirinya,
maka dia akan mengalami perasaan tidak puas. Perasaan
ketidakpuasan tersebut jika terus-mernerus menguasai
pikirannya, maka dia akan mengalami kegelisahan dan tidak
dapat konsentrasi dalam bekerja, tertekan, dan stres.
2. Keadaan lingkungan kerja
Keadaan lingkungan kerja yang kurang kondusif, dapat
membuat individu kurang bersemangat bahkan individu dapat
mengalami perasaan jenuh dan bosan. Hal tersebut dapat
menimbulkan rasa tidak puas yang akhirnya dapat membuat
individu murung, mudah marah, dan cepat lelah, tertekan dan
stres.
3. Sikap terhadap organisasi tempat kerja
Sikap individu yang menganggap bahwa dirinya bukan bagian
dalam organisasi dapat membuat dirinya merasa tidak puas
karena merasa ditolak, disisihkan, dan kurang dianggap
menjadi bagian dari organisasi. Situasi semacam ini membuat
individu dapat mengalami perasaan tertekan, pusing, gelisah,
dan stres.
4. Manfaat dan jumlah gaji yang diperoleh
Jika individu merasa bahwa dirinya tidak memperoleh manfaat
dalam pekerjaan yang dikerjakan dan ditambah dengan jumlah
gaji yang diperoleh dirasakan kurang memadai, maka ia akan
merasa tidak bisa rileks, sulit berkonsentrasi, kehilangan
semangat, dan tertekan atau stres.
6
5. Sikap terhadap penyelia atau kepenyeliaan
Faktor lain yang turut memberi pengaruh terhadap kepuasa
kerja dan stres kerja ialah nilai pekerjaan yang bersifat intrinsik
dan ekstrinsik. Nilai tersebut merupakan suatu bentuk yang
mempunyai hubungan dengan sesuatu aktivitas atau objek.
Nilai pekerjaan yang bersifat intrinsik (Wallace et al, 1971)
yang terdiri atas tiga subskala, yaitu:
Kebanggaan dalam pekerjaan
Jika individu mengalami perasaan bangga terhadap
pekerjaannya, maka dia akan merasa puas dan stresnya
cenderung rendah. Tetapi, jika individu merasa kecewa
dan tidak mempunyai nilai lebih bagi dirinya, maka dia
merasa tidak puas. Perasaan ketidakpuasan ini bisa
membuatnya kurang dapat berkonsentrasi dalam
bekerja, murung, gelisah, tertekan bahkan stres.
Keterlibatan kerja
Apabila individu menganggap bahwa dirinya menjadi
bagian dalam anggota kelompok kerjanya, maka
keterlibatan kerjanya menjadi optimal, sehingga dia
merasa puas dan bangga karena menjadi bagian dalam
kelompok kerjanya. Tetapi, sebaliknya jika dia
menganggap dirinya bukan merupakan dalam anggota
kelopok kerjanya, maka dia menganggap kurang
mempunyai kepentingan untuk dapat melakukan
keterlibatan kerja. Situasi semacam ini, membuat dia
merasa tidak puas. Perasaan ketidakpuasan ini dapat
menganggu cara kerjanya, seperti sering membuat
kesalahan, ceroboh, tidak mudah konsentrasi, tertekan,
dan stres.
7
Prioritas kegiatan
Seandainya individu dalam bekerja mempunyai
prioritas kegiatan, maka dia dapat memfokuskan
kegiatannya berdasarkan kebutuhan dan
kepentingannya untuk mencapai tujuan lebih jelas.
Sehingga dia merasa puas dan menjadi senang dan
bangga. Sebaliknya, jika individu dalam bekerja tidak
mempunyai prioritas tentang apa yang seharusnya
dilakukan sebagai sesuatu yang paling penting, maka
kegiatannya menjadi tidak terarah bahkan mengalami
kegagalan. Hal tersebut dapat memicu individu
mengalami ketidakpuasan dalam bekerja akhirnya
merasa kecewa, tertekan, stres.
Nilai pekerjaan ekstrinsik juga merupakan imbalan (reward)
yang diperoleh oleh individu atas dasar keterlibatannya dalam
suatu pekerjaan. Artinya sebagai pelaku atau bertindak untuk
melaksanakan tugas tersebut amat tergantung dari imbalan
yang akan diterimanya (Wallace et al, 1971). Imbalan ini
termasuk penghasilan tambahan dan asuransi kerja serta
hubungan baik yang terbentuk dalam hubungan antar-rekan
kerja yang dapat mempengaruhi kepuasan kerja dan stres kerja
terdiri atas dua subskala, yaitu:
Status sosial dalam bekerja
Pada waktu individu bekerja di suatu organisasi, dia
tentu akan mencoba untuk menentukan tujuan yang
hendak dicapainya. Jika dia bekerja untuk
meningkatkan status sosialnya, maka dia akan berusaha
untuk meraihnya. Namun, jika dalam mencapai
tujuannya tersebut dia merasa banyak rintangan dan
dirinya merasa gagal, maka dia akan kecewa dan tidak
8
puas sehingga dia dapat mengalami perasaan putus asa,
sulit konsentrasi, tertekan, dan stres.
Sikap terhadap penghasilan
Dalam setiap organisasi mempunyai peraturan kerja
masing-masing termasuk bagaimana organisasi
mengatur penghasilan setiap pegawai. Namun, setiap
invidu mempunyai sikap yang berbeda terhadap
penghasilan yang mereka terima. Adakalanya individu
bersikap menerima apa adanya tetapi ada juga yang
suka protes karena dirinya menganggap diperlukan
kurang adil atau tidak sesuai dengan hasil kerja yang
sudah diberikan olehnya kepada organisasi, sehingga
dia merasa tidak puas. Situasi ini dapat membuat
individu merasa kecewa, tidak bisa konsentrasi, dan
tertekan bahkan stres.
Para peneliti di sini telah berupaya untuk mencoba semua
faktor stres, yang ada di rumah sakit sektor publik dan
berpengaruh negatif terhadap kepuasan kerja perawat
perempuan. Pemberantasan stres ini akan mengakibatkan
peningkatan kepuasan kerja. Perawat wanita telah melaporkan
bahwa beban kerja yang berlebihan (97,1%), tidak sehat dan
berbahaya lingkungan kerja (94,3%), sumber daya yang
memadai (87,3%), cs orang menderita (85,1%), bertentangan
permintaan (67,3%), kurangnya rasa hormat profesional
(85,7%), kurangnya kesempatan promosi (87,3%), gaji yang
tidak memadai dan manfaat (90,8%), masalah dalam negeri
(47,9%) dan masalah perkawinan (46,7%) merupakan faktor
kuat yang menyebabkan mereka stres kerja dan mengakibatkan
penurunan kepuasan kerja (Jehangir, Kareem, Khan, Jan, &
Soherwardi, 2011).
9
2. Faktor Pemicu Terjadinya Stres di Tempat Kerja.
Ada tiga kelompok utama pemicu stres (biasa disebut stressor) di
tempat kerja, yaitu:
Kelompok pertama adalah faktor pribadi, seperti: keluarga,
ekonomi rumahtangga, dan karakteristik kepribadian. Adanya
persoalan pada kehidupan pernikahan, perceraian serta anak-anak yang
tidak disiplin dan sulit diatur; penghasilan yang kurang mencukupi
pemenuhan kebutuhan rumahtangga dan gaya hidup; serta kepribadian
yang tertutup, mudah tersinggung, perfeksionis, sangat berorientasi
pada waktu dan hasil, merupakan beberapa contoh faktor pribadi yang
dapat menjadi pemicu terjadinya stres di tempat kerja.
Kelompok kedua adalah faktor organisasi, seperti: pekerjaan,
peran, dan dinamika hubungan atau interaksi antar karyawan.
Pekerjaan yang bersifat rutin, monoton, membutuhkan kecepatan
dalam pengerjaan, dengan ruang atau lokasi kerja yang bising dan
panas; tuntutan peran yang tidak jelas atau bertentangan dengan sistem
nilai yang dianut; serta hubungan kerja antar rekan yang tidak cocok,
apalagi bila diwarnai dengan adanya konflik mental maupun fisik,
merupakan beberapa contoh faktor organisasi yang dapat menjadi
pemicu terjadinya stres di tempat kerja. Selain itu juga budaya
perusahaan yang sangat menekankan individualisme dan persaingan,
struktur organisasi dengan kontrol dan komando yang ketat, kurangnya
penguasaan terhadap teknologi yang digunakan, serta perubahan-
perubahan yang terjadi secara cepat di dalam perusahaan.
Sedangkan kelompok ketiga adalah faktor lingkungan, seperti:
ekonomi, politik, dan teknologi. Ketidakpastian kondisi politik, krisis
ekonomi negara yang berkepanjangan, serta perkembangan teknologi
yang mengancam kelangsungan kerja merupakan beberapa contoh
faktor lingkungan yang dapat menjadi pemicu terjadinya stres di
tempat kerja.
10
Dalam hal dukungan sosial yang berhubungan dengan pekerjaan ,
dukungan emosional yang diberikan oleh rekan kerja seseorang
diperiksa dalam penelitian ini. Jenis dukungan ditandai dengan
memiliki rekan kerja yang mendengarkan dan berempati dengan
tuntutan pekerjaan seseorang dan yang menunjukkan kepedulian dan
memberikan dukungan dan dorongan kepada individu (Thomas dan
Ganster, 1995) . 'Selain itu, dukungan organisasi adalah jenis kedua
dukungan yang berhubungan dengan pekerjaan yang diusulkan dalam
tulisan ini. Beberapa peneliti telah meneliti peran faktor organisasi
dalam mengurangi efek negatif dari stres karyawan (Stamper dan
Johlke, 2003). Dukungan organisasi mengacu pada sejauh mana
budaya workfamily organisasi mempekerjakan mendukung karyawan
yang mengambil keuntungan dari manfaat keluarga mereka tawarkan.
Sebuah organisasi yang mendukung nilai-nilai integrasi pekerjaan dan
kehidupan keluarga karyawan (Thompson, Beauvais dan Lyness ,
1999) dan tidak menghukum karyawan yang menggunakan manfaat
kerja - keluarga atau mencurahkan waktu untuk keluarga (Bailyn ,
1997; Clark, 2001). Sumber dukungan ini diharapkan akan relevan
dengan pengacara karena berkaitan dengan norma-norma waktu dan
tekanan yang berhubungan dengan praktek hukum (Wallace, 2005).
D. Manajemen Stres
Stres dalam pekerjaan dapat dicegah timbulnya dan dapat dihadapi
tanpa memperoleh dampaknya yang negatif. Memanajemeni stres berarti
berusaha mencegah timbulnya stres, meningkatkan ambang stres dari
individu dan menapung akibat fisiologi dari stres.
Memanajemeni stres bertujuan untuk mencegah berkembangnya
stres jangka pendek atau stres yang kronis. Reaksi yang dikenal selama ini
dalam menghadap stres ialah ‘flight or fight’ yang secara fisik maupun
psikis dari situasi yang penuh stres atau melawan stres.
11
Pandangan interaktif mengatakan bahwa stres ditentukan oleh
faktor-faktor di lingkungan dan faktor-faktor dari individunya. Dalam
memanajemeni stres dapat diusahakan untuk:
1. Mengubah faktor-faktor di lingkungan agar tidak merupakan
pembangkit stres
2. Mengubah faktor-faktor dalam individu agar:
a) Ambang stres meningkat, tidak cepat merasakan situasi yang
dihadapi sebagai penuh stres
b) Toleransi terhadap stres meningkat, dapat lebih lama bertahan
dalam situasi yang penuh stres, tidak cepat menunjukkan akibat
yang merusak dari stres pada tubuh sehingga dapat
mempertahankan kesehatannya.
Teknik-teknik yang dapat digunakan ialah:
1. Kerekayasaan organisasi
Teknik ini berusaha untuk mengubah lingkungan kerja agar tidak dapat
dirasakan sebagai lingkungan yang penuh stres. Yang perlu diubah
ialah faktor-faktor yang dapat menjadi pembangkit stres yang dibahas
sebagai faktor-faktor dari kategori; faktor-faktor intrinsik pekerjaan,
faktor-faktor peran dalam organisasi, faktor-faktor pengambangan
karier, dan faktor-faktor struktur dan iklim organisasi.
Dapat dilakukan strategii yang diajukan oleh Everly & Guidano, yaitu
sasaran berdasarkan kerja dan manajemen waktu, yang khusu berlaku
untuk para manajer menengah keatas. Sasaran berdasarkan kerja (SbK)
ini merupakan salah satu teknik yang termasuk dalam jenis manajemen
berdasarkan sasaran yang terdiri dari 4 langkah yaitu:
i. Menetapkan sasaran realistik bagi satuan kerjanya, yang dapat
dicapai dalam waktu yang dimiliki
ii. Merancang perangkat perencanaan, tindakan atau metode untuk
dapat mencapai sasaran
iii. Menciptakan strategi untuk dapat mengukur keberhasilan
mencapai sasaran pada akhir suatu periode tertentu
12
iv. Pada akhir waktu yang sudah ditentukan mengukur
keberhasilanmencapai sasarannya.
Manajemen waktu (MW) memiliki tiga tahap, yaitu:
i. Analisis waktu
ii. Strategi untuk mngorganisasi
iii. Strategi untuk follow up
SbK dan MW khususnya dapat dilakukan untuk pekerjaan-pekerjaan
yang dirasakan memilliki beban berlebihan.
2. Kerekayasaan kepribadian
Strategi yang digunakan dalam kerekayasaan kepribadian ialah
upaya untuk menimbulkan perubahan-perubahan dalam kepribadian
individu agar dapat dicegah timbulnya stres dan agar ambang stres
dapat ditingkatkan. Perubahan-perubahan yang dituju oleh perubahan
dalam hal pengetahuan, kecakapan, ketrampilan, dan nilai-nilai yang
mempengaruhi persepsi dan sikap tenaga kerja terhadap pekerjaannya.
Team building dan teknik-teknik pengembangan organisasi yang
laindapat mencegah atau mengatasi stres yang timbul karena adanya
konflik peran, ketaksaan peran, hubungan interpersonal yang tidak
baik, serta struktur dan iklim organisasi.
Strategi berikutnya adalah pemberian penyuluhan jabatan jabatan
kepada tenaga kerja. Melalui penyuluhan jabatan dapat diketahui
kelemahan dan kekuatan tenaga kerja dan kesesuaiannya untuk
berbagai macam pekerjaan, sehingga direncanakan pengembangan
kariernya dalam perusahaan.
3. Teknik penenangan pikiran
Tujuan teknik-teknik penenangan pikiran ialah untuk mengurangi
kegiatan pikiran, yaitu proses berpikir dalam bentuk merencana,
mengingat, berkhayal, menalar yang secara bersinambung kita lakukan
dalam keadaan bangun, dalam sadar. Teknik-teknik penenangan
pikiran meliputi:
13
a. Meditasi
Meditasi dapat dianggap sebagai teknik, dapat pula dianggap
sbagai suatu keadaan pikiran (mind), keadaan mental. Berbagai
teknik, seperti yoga, berdoa, relaksasi progresif, dapat menuju ke
tercapainya keadaan mental tersebut. Penelitian menunjukan bahwa
selama meditasi aktivitas dari kebanyakan sistem fisik berkurang.
Meditasi menyebabkan adanya relaksasi fisik. Pada saat yang sama
mediator mengendalikan emosi, perasaan dan ingatan. Pikiran
menjadi tenang, badan berada dalam keseimbangan.
b. Pelatihan relaksasi autogenic
Relaksasi autogenik adalah relaksasi yang ditimbulkan sendiri.
Teknik ini berpusat pada gambaran-gambaran berperasaan tertentu
yang dihayati bersama dengan terjadinya peristiwa akan
menimbulkan pula penghayatan dari gambaran perasaan yang
sama. Pelatihan relaaksasi autogenetik berusaha mengkaitkan
penghayatan yang menenangkan dengan peristiwa menegangkan,
sehingga badan kita terkondisi untuk memberikan penghayatan
yanng tetap menenangkan meskipun menghadapi peristiwa yang
sebelumnya menimbulkan ketegangan.
c. Pelatihan relaksasi neuromuscuklar
Pelatihan neuromuscular adalah satu program yang terdiri darri
latihan-latihan sistematis yang melatih otot dan komponen-
komponen sistem saraf yang mengendalikan aktivitas otot. Karena
otot merupakan bagian yang begitu besar dari badan kita, maka
pengurangan ketegangan pada otot berarti pengurangan ketegangan
yang nyata dari seluruh badan kita.
Individu diajari untuk secara sadar mampu merilekskan otot sesuai
dengan kemauannya setiap saat. Untuk itu perlu mula-mula
dikembangkan kesadaran perasaan pikiran tentang bagaimana
14
rasanya kalau rileks dan bagaimana perbedaanya dengan kalau
merasa tegang.
4. Teknik penenangan melalui aktifitas fisik
Tujuan utama penggunaan teknik penenangan melalui aktifitas
fisik ialah untuk menghamburkan atau menggunakan sampai habis
hasil-hasil stres yang diproduksi oleh ketakutan dan ancaman, atau
yang mengubah sistem hormon dan saraf kita ke dalam sikap
mempertahankan. Manfaat yang kedua dari aktifitas ini adalah ia
menurunkan reaktivitas kita terhadapr stres di masa mendatang dengan
cara mengkondisikan relaksasi. Sumbangan kerja diungkapkan dalam
rasa sehat, tenang, dan ringan yang timbul sesudah latihan-latihan
fisik.
Aktifitas fisik bisa juga dilakukan sebelum stres timbul. Aktifitas
fisik memiliki sifat preventif (penghindaran). Selama melakukan
aktifitas fisik seluruh sistem badan dirangsang untuk beraksi, bergerak.
Setelah kegiatan, sistem-sistemnya memantul dengan cara makin
melambat dengan demikian makin mendorong ke relaksasi dan
ketenangan. Kurang lebih 90menit setelah latihan fisik yang baik,
timbul rasa dari relaksasi yang mendalam. Keaadaan ini membuat
orang lebih sulit untuk merasa jengkel.
15
E. Kesimpulan
Stres merupakan suatu abstraksi yang mana orang tidak dapat
melihat penyebabnya tetapi dapat melihat akibatnya. Stress tidak selalu
sesuatu yang negative, apabila ditinjau melalui porsinya stress yang berada
sebelum titik optimal sampai titik optimal adalah stress yang baik, dan
menyenangkan, lebih dari itu barulah stress yang negatif.
Stres berkaitan dengan kepuasan kerja, maka dari itu selain
membahas mengenai faktor stress yang dapat timbul di tempat kerja, perlu
juga mengetahui faktor stress yang berkaitan dengan kepuasan kerja.
Stres dalam pekerjaan dapat dicegah timbulnya dan dapat dihadapi
tanpa memperoleh dampaknya yang negatif. Memanajemeni stres berarti
berusaha mencegah timbulnya stres, meningkatkan ambang stres dari
individu dan menapung akibat fisiologi dari stres. Memanajemeni stres
bertujuan untuk mencegah berkembangnya stres jangka pendek atau stres
yang kronis.
16
F. Ringkasan
Peta Ingatan
17
1. Mood2. Muskuloskeletal3. Organ-organ dalam
badan
Hubungan stress dengan prestasi
Dr. Hans SelyeSindrom Adaptasi Umum
Tanda-tanda distress
1. Tahap Alarm2. Tahap Resistence3. Tahap Exhaustion
2. Pengertian
1. Pengantar
Stres dan Keselamatan Kerja
Manajemen Stres
3. Kerekayasaan Organisasi4. Kerekayasaan Kepribadian5. Teknik penenangan pikiran
a. Meditasib. Relaksasi Autogenikc. Relaksasi Neuromuscular
6. Teknik penenangan melalui aktivitas fisik
Faktor Stres
1. Faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja dan stress kerja
2. Faktor pemicu terjadinya stress di tempat kerja
G. Jurnal
1. Jurnal I
Abstrak (Ringkasan)
In this paper, the Job Demand-Control (JDC) model is used to predict
depression and work-to-family conflict for married lawyers working
full-time. The objectives of this paper are: (1) to determine whether the
JDC model applies to work-to-family conflict; (2) to incorporate
domain-specific job demand and job control variables; and (3) to
examine a wider array of different forms of social support. First, the
JDC model also helps explain work-to-family conflict. Second,
domain-specificity does not appear key to documenting the buffering
effect for job control. Third, spouse's support of one's career has the
strongest main effect on both depression and work-to-family conflict,
whereas coworker support functions as a moderator
of lawyers' job demands and has both buffering and amplifying effects.
This paper closes by discussing the possible conditions under which
members of support systems may transfer or exacerbate stress effects
rather than alleviate them. [PUBLICATION ABSTRACT]
Headnote
In this paper, the Job Demand-Control (JDC) model is used to predict
depression and work-to-family conflictfor married lawyers working
full-time. The objectives of this paper are: (1) to determine whether the
JDC model applies to work-to-family conflict; (2) to incorporate
domain-specific job demand and job control variables; and (3) to
examine a wider array of different forms of social support. First, the
JDC model also helps explain work-to-family conflict. Second,
domain-specificity does not appear key to documenting the
buffering effectsfor job control. Third, spouse's support of one's career
has the strongest main effect on both depression and work-to-family
conflict, whereas coworker support functions as a
18
moderator of lawyers' job demands and has both buffering and
amplifying effects. This paper closes by discussing the possible
conditions under which members of support systems may transfer or
exacerbate stress effects rather than alleviate them.
Social Support
As mentioned above, social support may be received from different
sources (e.g., coworkers, family, friends). Four different
forms of support are examined in this paper: two are work-based and
two are spousebased.
In terms of work-related social support, emotional support provided by
one's coworkers is examined in this study. This type of support is
characterized by having coworkers who listen to and empathize with
the demands of one's job and who show concern and offer support and
encouragement to the individual (Thomas and Ganster, 1995).' In
addition, organizational support is a second type of work-related
support which is proposed in this paper. Few researchers have
examined the role of organizational factors in alleviating the
negative effects of employee stress (Stamper and Johlke, 2003).
Organizational support refers to the extent to which the workfamily
culture of the employing organization supports employees who take
advantage of thefamily benefits they offer. A supportive organization
values the integration of employees' work and familylives (Thompson,
Beauvais and Lyness, 1999) and does not penalize employees who use
work-family benefits or devote time to family (Bailyn, 1997; Clark,
2001). This source of support is expected to be relevant to lawyers
because it relates to the time norms and pressures associated with
practicing law.
Research on work-family dynamics has also demonstrated the
importance of support from one's spouse and how this contributes to an
individual's well-being (Frone, Russell and Cooper, 1992;
Parasuraman, Greenhaus and Granrose, 1992). An emotionally
19
supportive spouse listens to and empathizes with the stresses of their
partner's job and offers support, encouragement and concern to their
spouse (Thomas and Ganster, 1995). A second type of spouse support
is spousal career support, which focuses on the extent to which the
spouse respects and encourages the respondent's career. It is argued to
be important for individuals in highly demanding professional jobs to
have a spouse who supports their career, both in terms of the stress it
incurs and the rewards it offers. Career support has been found to be
important in reducing depression and work-to-family conflict for
samples of working women (e.g., Suchet and Barling, 1986; Beatty,
1996). This type ofsupport has not been examined widely in
the stress literature and will be examined for both men and women
practicing law.
2. Jurnal II
Abstrak (Ringkasan)
Job stress is increasingly becoming an epidemic in the work
environment. Female Nursing staff is constantly encountering trouble,
crisis and conflict in the work environment prevailing in the public
sector hospitals that require them to cope with. The central theme of
this research study is focused on digging out the fundamental causes
of job stress of female nurses. Further, how job stress affects
their job performance and job satisfaction. The study generated
quantitative data which will open doors for further research in this
area. This research study adopts quantitative approach using
questionnaire methods. Several procedures were applied to carry out
rigorous quantitative analysis. Organizations can help reduce the
overall effects of job stress by developing and implementing
prevention and intervention methods to help employees manage and
cope with job stress. To reduce job stress of female nurses, this study
suggests several measures along with employee's assistance programe
20
(EAP). This programme is focused on the employee's total mental and
physical condition. It was found that public sector hospitals are
factories to manufacture stress. Female nurses experience
more stress than male counterpart in the public sector hospitals. The
findings of this paper revealed that job stress has negative co relation
with job performance and job satisfaction. [PUBLICATION
ABSTRACT]
Headnote
Job stress is one of the popular phrases we see and hear with increasing
frequency. Unfortunately, though it is used so often, and in so many
different contexts that it is difficult to pin down an agreed meaning.
Hans selye, the pioneer of study on stress initiated focusing on this
vital issue of great concern. Stress has been a topic of interest to the
researchers since the Second World War (Newton 1995). Only
recently, job stress has received increased significance among
researchers, especially in the social sciences. Organizations are finally
waking up to the fact that a lot of human potentials are being drained
away due to job stress. Most of the employees say they are under
extreme stress at work environment.
Job stress is one big problem in this global world. Most of the
employees often or very often feel stress due to work. The human
resource managers in some organizations have mentioned stress to be
great impediment in the effective performance of employees.
Job stress has become an increasingly common negative outcome of
today's dynamic life. Masses experiencestress due to overload,
overwork, job insecurity and increasing pace of life. (American
Psychological Association, 1997). In recent times, many research
studies have measured and determined the effects of job stress on
health and well being of nurses in the hospital settings and
elsewhere. Job stress detracts nurses from qualitative working lives,
enhances psychiatric morbidity and contributes towards physical
21
illness, such as musculoskeletal problems and depression. (ILO, 2001).
International council of nurses (ICN) has reported that if we want to
develop an optimum environment for the production of stress, a lot of
stressors, we would include, would be obviously recognized by female
nurses as events in the hospital settings which they confront on routine
basis. The stressors are long hours, unpleasant noises, sights, undue
quiet, sudden shift from intense to mundane tasks, time pressure, no
second chance, and enclosed environment etc. (NIOSH, 2001).
JOB STRESS AND JOB SATISFACTION:
The researchers here have strived to workout all those factors/stressors,
which exist in the public sector hospitals and have negative effect
on job satisfaction of the female nurses. Eradication of these stressors
will result in the enhancment of job satisfaction. Female nurses have
reported that the excessive workload (97.1%), unhealthy and
dangerous work enviroment (94.3%), insufficient resources (87.3%),
people cs suffering (85.1%), conflicting demand (67.3%), lack of
professional respect (85.7%), lack of promotion chances (87.3%),
inadequate pay and benefits (90.8%), domestic problems (47.9%) and
marital problems (46.7%) are the potent factors which cause them job
stress and result in the decline of job satisfaction.
22
Daftar Pustaka
1. Jehangir, M., Kareem, N., Khan, A., Jan, M. T., & Soherwardi, S., PhD.
(2011). EFFECTS OF JOB STRESS ON JOB PERFORMANCE & JOB
SATISFACTION. Interdisciplinary Journal of Contemporary Research in
Business, 3(7), 453-465.
2. Munandar, A. S. (2008). Psikologi Industri dan Organisasi. Jakarta:
Penerbit Universitas Indonesia.
3. Wallace, J. E. (2005). Job stress, depression and work-to-family conflict:
A test of the strain and buffer hypotheses.Relations Industrielles, 60(3),
510-537.
4. Wijono, Sutarto. (2010). Psikologi Industri dan Organisasi: Dalam Suatu
Bidang Gerak Psikologi Sumber Daya Manusia. Jakarta: Prenada Media
Group.
23