Strategi Pemberdayaan Wilayah Perbatasan

9

Click here to load reader

Transcript of Strategi Pemberdayaan Wilayah Perbatasan

Page 1: Strategi Pemberdayaan Wilayah Perbatasan

AAU Journal of Defense Science and Technology, Volume 1, Number 2, 5 October 2010, 52 – 60

Manuscript received 9 February 2010, revised 6 September 2010, accepted for publication 18 September 2010

Abstrak—Masalah batas wilayah dan perbatasan Indonesia

dengan negara-negara lain, semakin menjadi perhatian belakangan ini sejalan dengan terjadinya perubahan yang cepat di kawasan akibat pengaruh situasi global. Persoalan batas wilayah tidak semata-mata terkait adanya ancaman yang datang dari luar wilayah suatu negara, tetapi juga tidak dapat dipisahkan dari masalah kedaulatan wilayah dan hak setiap negara untuk mengeksploitasi kekayaan alamnya. Dengan kondisi sumber daya alam yang semakin terbatas dan meningkatnya kompetisi di tingkat kawasan dan global, masalah-masalah terkait batas wilayah atau perbatasan antar negara menjadi hal yang sensitif dan memudahkan terjadinya perselisihan (disputes) dan konflik (conflict). Kondisi Ketahanan Nasional di wilayah perbatasan yang belum kuat akan menjadi kendala dalam menghadapi dan mengatasi Tantangan, Ancaman, Hambatan dan Gangguan (TAHG). Ketahanan Nasional di wilayah perbatasan dilaksanakan dengan mengedepankan peran daerah dalam membangun daerahnya, sehingga dapat menjamin stabilitas keamanan yang pada gilirannya dapat meningkatkan kesejahteraan dan keamanan masyarakat perbatasan dan mendukung kelancaran pelaksanaan pembangunan nasional

Kata Kunci—Perbatasan, Pertahanan Keamanan dan Ketahanan Nasional, TAHG

I. PENDAHULUAN ilayah perbatasan Indonesia dan pulau-pulau kecil terluar merupakan wilayah Negara Kesatuan Republik

Indonesia (NKRI) yang bernilai strategis bagi kepentingan nasional Indonesia. Nilai strategis tersebut mencakup aspek ekonomi, politik, pertahanan dan keamanan, yang secara mendasar berkaitan erat dengan kelangsungan hidup bangsa dan negara Indonesia. Pembangunan wilayah perbatasan pada hakekatnya merupakan bagian integral dari pembangunan nasional. Wilayah perbatasan mempunyai nilai strategis dalam mendukung keberhasilan pembangunan nasional, hal tersebut ditunjukkan oleh karakteristik kegiatan antara lain : mempunyai dampak penting bagi kedaulatan negara, merupakan faktor pendorong bagi peningkatan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat sekitarnya, mempunyai keterkaitan yang saling mempengaruhi dengan kegiatan yang dilaksanakan di wilayah lainnya yang berbatasan dengan wilayah maupun antar negara serta mempunyai dampak

terhadap kondisi pertahanan dan keamanan, baik skala regional maupun nasional.

Sebagai negara yang berdaulat, Indonesia berkepentingan untuk membangun wilayah perbatasannya dalam rangka menjamin eksistensi NKRI. Ancaman disintegrasi bangsa dan campur tangan asing di daerah perbatasan harus ditiadakan seminimal mungkin. Perkembangan infrastruktur, suprastruktur dan substruktur akan menentukan daya dukung wilayah perbatasan terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat dan keamanan wilayah bagi Stabilitas Nasional. Wilayah perbatasan mempunyai ciri-ciri geografi, demografi maupun kondisi sosial budaya yang khas, namun disisi lain pembangunan di wilayah tersebut masih jauh tertinggal dibanding wilayah lainnya, hal ini disebabkan kurangnya perhatian dari pemerintah untuk membangun dan mendayagunakan potensi yang ada di wilayah perbatasan. Keamanan wilayah perbatasan mulai menjadi concern setiap pemerintah yang wilayah negaranya berbatasan langsung dengan negara lain.

Kesadaran akan adanya persepsi wilayah perbatasan antar negara telah mendorong para birokrat dan perumus kebijakan untuk mengembangkan suatu kajian tentang penataan wilayah perbatasan yang dilengkapi dengan perumusan sistem keamanannya. Hal ini menjadi isu strategis karena penataan kawasan perbatasan terkait dengan proses nation state building terhadap kemunculan potensi konflik internal di suatu negara dan bahkan pula dengan negara lainnya (neighborhood countries). Penanganan perbatasan negara, pada hakekatnya merupakan bagian dari upaya perwujudan ruang wilayah nusantara sebagai satu kesatuan geografi, politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan [1].

Untuk meningkatkan Ketahanan Nasional (Tannas) khususnya di wilayah perbatasan diperlukan pembangunan nasional dengan pemberdayaan seluruh potensi yang terkandung di dalamnya secara optimal baik pusat maupun daerah dan tetap memperhatikan nuansa otonomi daerah guna mendorong pembangunan daerah perbatasaan secara terencana, terarah, menyeluruh dan terpadu yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat di wilayah perbatasan. Adapun konsepsi ini dilaksanakan melalui berbagai upaya diantaranya : menetapkan peraturan perundang-undangan tentang batas negara, menyinergikan

Strategi Pemberdayaan Potensi Wilayah Perbatasan untuk Menunjang Pertahanan

dan Keamanan NKRI Letkol Sus Drs. Sunaryadi, M.Si

Kasidiktipdagri Subdis Iptek Dinas Pendidikan Markas Besar Angkatan Udara [email protected]

W

Page 2: Strategi Pemberdayaan Wilayah Perbatasan

Strategi Pemberdayaan Potensi Wilayah Perbatasan untuk Menunjang Pertahanan dan Keamanan NKRI

53

pengelolaan wilayah perbatasan, mengintensifkan pembangunan masyarakat wilayah perbatasan, meningkatkan kemampuan pertahanan dan keamanan di wilayah perbatasan serta meningkatkan pemahaman ketahanan nasional. Dengan upaya-upaya tersebut diharapkan pada masa mendatang masyarakat di wilayah perbatasan memiliki kemauan dan kemampuan untuk mencegah dan menangkal setiap hakekat Tantangan, Ancaman, Hambatan dan Gangguan (TAHG) yang datang ke wilayah perbatasan, sehingga dapat meningkatkan Tannas di wilayah perbatasan yang pada gilirannya akan meningkatkan Stabilitas Nasional.

Makalah ini dimulai dari Bab I yang membahas latar belakang masalah dilanjutkan Bab II tentang teori yang berkaitan dengan wilayah suatu negara. Pada Bab III membahas Kondisi Wilayah Perbatasan Indonesia saat ini dan permasalahan yang dihadapi. Sementara Strategi dan Konsepsi pemberdayaan potensi wilayah perbatasan disajikan di Bab IV, sedangkan pada Bab V yang merupakan akhir dari naskah ini berisi kesimpulan.

II. LANDASAN TEORI Landasan teori yang digunakan sebagai dasar pemikiran

penulisan naskah ini meliputi teori yang berkaitan tentang wilayah suatu negara, yang terdiri dari :

A. Wilayah Secara konseptual wilayah dapat diartikan sebagai suatu

ruang dimana orang yang menjadi warga negara atau penduduk negara yang bersangkutan hidup serta menjalankan segala aktivitasnya. Dalam konteks sistem internasional, wilayah menjadi salah satu karakteristik penting suatu negara. Argumentasinya sangat jelas bahwa untuk dapat diakui secara internasional eksistensi suatu negara harus memiliki batas-batas fisik, dimana negara yang bersangkutan menjalankan kedaulatan dan segala kewenangan yang melekat terhadapnya. Wilayah dapat diartikan sebagai ruang atau tempat, sebuah entitas politik dan hukum yang namanya negara. Dalam perkembangannya, konsepsi tentang arti pentingnya sebuah wilayah bagi sebuah negara dimulai sejak berlakunya sebuah sistem negara bangsa modern atau yang lebih dikenal sebagai sistem teritorial, Westphalia pada pertengahan abad ke-17.

Namun demikian, secara akademis, bila ditinjau secara lebih dalam, meskipun hampir setiap negara dalam sistem internasional modern seperti saat ini memiliki wilayah yang diakui secara internasional, masalah yang terkait dengan wilayah tetap mengundang berbagai kompleksitas, yaitu : berbagai sengketa; batas-batas teritorial suatu negara dapat meluas, menyusut atau berubah secara dramatis; dan bahkan masih ada sebuah negara yang tidak memiliki wilayah. Demikian pula, dalam kasus Palestina, banyak negara mengakui rakyat Palestina sebagai saudara mereka yang berdaulat, tetapi bangsa itu masih tercecer di Libanon dan Yordania. Konsekuensinya, di satu sisi, mungkin banyak pengamat melihat bahwa rakyat Palestina mungkin baik tidak memiliki wilayah atau telah terusir dari wilayahnya yang sekarang diduduki Israel. Tetapi, dalam bahasa yang tidak terlalu berbeda, juga bisa dikatakan bahwa bangsa Palestina

tidak dapat dikatakan sebagai negara sama sekali. Sekelompok yang pro terhadap absolutisme kedaulatan suatu negara atau terhadap arti pentingnya wilayah dapat mengkalim, bahwa meskipun perkembangan teknologi informasi dan komunikasi modern dapat mengurangi arti penting batas-batas wilayah, tetapi tetap perkembangan teknologi tersebut tidak dapat mengeliminasi arti pentingnya wilayah. Hal ini dapat dijustifikasi, karena dalam perspektif sistem negara modern, wilayah suatu negara sifatnya statis, sebagai sebuah demarkasi liniear yang diilhami oleh status hukum internasional.

Ada satu hal yang tetap harus diingat, bahwa apa yang oleh Ackleson disebut sebagai bentuk pemetaan politik modern yang sifatnya khusus ini, harus dilihat sebagai sesuatu yang secara historis terjadi secara kebetulan dan unik. Artinya, apa yang dipahami selama ini sebagai sistem negara modern dan hukum internasional, yang sifatnya tidak dapat dihindarkan dan final. Segenap langkah untuk merubah kondisi tersebut adalah sebuah pertanda bagi terselenggaranya sebuah evaluasi atas beberapa perumpamaan politik alternatif.

Arti pentingnya wilayah, terutama dari sisi penciptaan

potensi kekuatan ekonomi dan politik, juga dapat ditinjau dalam konteks lokasi dan ukuran. Seperti telah menjadi salah satu referensi umum tentang lokasi geografi atau wilayah suatu negara bahwa negara-negara yang maju secara geografis strategis. Sejarah juga mencatat bahwa wilayah dan keberhasilan suatu negara dalam mengembangkan sumber-sumber daya yang ada untuk menciptakan kekuatan militer dan ekonomi, telah menjadi sebuah kunci bagi pengaruh dan kekuasaan suatu negara terhadap negara-negara lainnya. Memang, diakui bahwa, pengaruh dan kekuatan politik suatu negara dapat dilakukan dari jarak jauh, tetapi hal ini tetap akan berlaku jika satu asumsi terpenuhi, yaitu terselenggaranya sarana komunikasi dan transportasi. Juga, harus diakui bahwa, sebuah negara yang berpenduduk kecil dengan sumber alamnya yang terbatas, yang bernama Vietnam Utara, bisa mengalahkan Vietnam selatan dan Amerika Serikat (AS), untuk sebagian besar memang karena faktor kekuatan ide-ide dan ideologinya. Tetapi, dalam pengertian yang lebih komprehensif, perang itu juga mengindikasikan bagi kita untuk melihat secara mendalam akan arti pentingnya faktor-faktor objektif, yaitu geografi, sumber-sumber lain dan penduduk-termasuk di dalamnya faktor-faktor turunan seperti kekuatan militer dan ekonomi.

Atas dasar pemikiran seperti inilah, banyak analis politik internasional juga menganggapnya sebagai sesuatu yang semestinya terjadi atas sebuah pemahaman umum, bahwa faktor geografi akan sangat berperan dalam percaturan politik internasional. Posisi geografi Eropa, misalnya, dapat menjadi suatu ilustrasi yang baik. Geografi Eropa memiliki pengaruh yang besar terhadap isu-isu internasional. Inggris, dengan mudah aksesnya ke laut, mengembangkan sebuah ketergantungan terhadap perdagangan asing dan sebuah empirum kolonial sebelum Perang Dunia I. Perniagaan dan perdagangan samudera dipandang, baik sebagai sebab, maupun akibat terciptanya revolusi industri yang menjadikan Inggris sebagai kekuatan dunia utama sebelum Perang Dunia I. Hal yang sama juga berlaku ketika kita menilai faktor

Page 3: Strategi Pemberdayaan Wilayah Perbatasan

Letkol Sus Drs. Sunaryadi, M.Si 54

geografi AS, sebuah negara yang berbatasan dengan dua samudera besar, yang menentukan posisi negara itu di dunia. Diakui, bahwa pentingnya faktor ini bagi posisi AS tentu tidak sepenting misalnya pada masa George Washington ratusan tahun yang lalu. Tetapi, tampaknya sangatlah naif untuk mengatakan bahwa perkembangan teknis dalam transportasi, komunikasi, dan peperangan telah melenyapkan sama sekali faktor samudera yang memisahkan. Sebab, pada saat yang sama faktor geografis lainnya justru menjadi sumber kelemahan posisi internasional, misalnya, untuk kasus di bekas negara Uni Sovyet. Gunung yang tinggi dan sungai yang lebar tidak memisahkan negara itu dari tetangganya, dan juga tanah datar Polandia dan bekas Jerman Timur merupakan kelanjutan alami dari daratan Rusia. Kondisi seperti ini dalam sejarahnya, sejak lama telah menjadikan tidak adanya rintangan alam atas kasus-kasus penyerbuan di sepanjang perbatasan barat Rusia, apakah oleh bekas Uni Sovyet maupun negara tetangganya dari Barat.

Untuk tujuan analitis, ditinjau dari sisi pemahaman faktor politik global, faktor posisi dan ukuran wilayah atau geografis, setidak-tidaknya juga turut memberikan daya tawar (leverage) yang berbeda atas posisi suatu negara tertentu dalam percaturan politik internasional. Sebagaimana diketahui, dalam khasanah ilmu hubungan internasional, ada perbedaan peran dan posisi untuk masing-masing negara dalam sistem internasional. Boyd dan Pentland [2], misalnya, menggunakan beberapa konsep untuk membedakan posisi kekuatan dan peran suatu negara, yakni superpower, major powers, critical state dan universal actors sebagai aktor-aktor yang dapat dikualifikasikan sebagai aktor global.

Namun mereka juga membedakan posisi kekuatan dan peran bagi kira-kira seratus lima puluh negara di dunia, yang dapat dibagi lagi ke dalam kekuatan berskala menengah dan kecil (middle powers and small powers/ministates). Masing-masing posisi dan peran itu ditentukan oleh faktor-faktor penduduk, luas, dan posisi wilayah, kepemilikan sumber alam, perannya dalam perdagangan internasional, potensi teknologi, kekuatan militer, kemampuan diplomasi politis, ataupun kombinasi di antara faktor-faktor tersebut. Meskipun mereka tidak dapat dikategorikan sebagai global, tetapi untuk kekuatan menengah. Posisi mereka tetap dianggap penting, karena eksistensi mereka dalam menyumbang bagi terciptanya stabilitas, atau sebaliknya, apakah itu dibidang ekonomi dan politik, dan militer dalam suatu kawasan tertentu (region).

B. Kedaulatan Dalam khasanah politik internasional, arti pentingnya

wilayah atau teritori suatu negara dapat juga dilihat dalam konteks keterkaitannya dengan konsep kedaulatan, menjadi sebuah karakteristik politik utama sebuah negara. Konsep ini secara kuat mengimplikasikan kebebasan atau tepatnya kemerdekaan politik dari otoritas yang lebih tinggi. Dalam perkembangannya, kedaulatan juga mencakup gagasan tentang persamaan hukum diantara deretan bangsa-bangsa di dunia. Dalam perkembangannya kemudian, sejarah hukum internasional dan pemikiran politik barat telah mengakomodasikan pemikiran bahwa kemerdekaan menjadi

tema sentral dari kedaulatan suatu negara. Sebuah negara dikatakan merdeka hanya jika ia dapat menjalankan apa yang disebut sebagai otoritas tertinggi dalam batas-batas wilayah dan atas seluruh warga negaranya. Kuatnya pemikiran seperti inilah, yakni kepemilikan wilayah, menjadi salah satu syarat bagi berdirinya suatu negara yang secara konvensional diterima menjadi norma dalam interaksi politik antar bangsa.

Dilihat dari konsepsi negara kepulauan atau maritim, urgensi penetapan garis-garis batas wilayah kedaulatan sebuah negara pun memiliki kaitan sangat erat dengan konsep kepentingan nasional. Terlihat jelas bahwa, dengan tidak atau belum adanya landasan hukum penetapan batas-batas terluar wilayah atau batas yuridis wilayah, hal tersebut secara pasti akan berdampak bagi upaya pemenuhan kepentingan nasional. Dalam hal ini, setidaknya ada dua hal penting sebagai alasan pendukung. Pertama, munculnya resiko tidak terjamin tegaknya kedaulatan dan yuridiksi negara atas seluruh wilayah negara, dan kedua tidak atau belum kuatnya pengakuan internasional atas batas wilayah negara dan yuridiksi. Hal kedua ini pada gilirannya juga dapat berdampak pada munculnya beberapa skenario yang dapat muncul seperti adanya potensi konflik atau sengketa wilayah dan pemanfaatannya; dan sulitnya negosiasi garis batas wilayah dan yuridiksi negara di laut bagi negara kepulauan dengan negara-negara tetangga yang berbatasan langsung.

C. Integrasi Nasional Urgensi penetapan wilayah suatu negara juga dapat ditilik

dari sisi teori integrasi bangsa sebagai faktor terpenting dalam proses modernisasi. Secara konvensional, teori ini mengasumsikan bahwa proses integrasi bangsa berarti upaya menyatukan bagian yang berbeda-beda dari suatu masyarakat sebagai suatu keseluruhan yang lebih utuh, atau memadukan masyarakat-masyarakat kecil yang banyak jumlahnya menjadi suatu bangsa. Ada berbagai cara yang bisa di tempuh oleh setiap negara untuk melaksanakan integritas bangsa. Untuk kasus negara baru, misalnya, orang-orang tidak mengarahkan kesetiaan dan rasa kesatuan kepada bangsanya sebagai suatu keseluruhan, tetapi pada kelompok-kelompok etnis, agama, atau linguistik mereka masing-masing. Sehingga, integeritas bangsa akan mengarah pada penggabungan unsur-unsur yang saling berbeda itu menjadi sesuatu yang lebih terpadu, dan bagian-bagiannya saling dihubungkan dengan lebih erat.

Secara eksplisit, bisa dikatakan bahwa urgensi kesatuan wilayah, yang dalam bahasa yang lebih nasionalistis biasa disebut sebagai ”integritas wilayah bagi sebuah negara,” menjadi salah satu syarat utama untuk menciptakan keamanan dan melaksanakan pembangunan bagi kesejahteraan warga negaranya. Kondisi seperti ini tidak hanya telah menjadi sebuah tesis yang sifatnya universal, tetapi juga telah mengakar bagi setiap pengambil keputusan politik yang menyangkut kesatuan wilayah, apalagi bila dikaitkan dengan konflik teritorial tertentu. Adanya tuntutan politis atas urgensi integritas wilayah dalam khasanah perpolitikan jawa pada masa lampau, ada ungkapan ”sedumuk bathuk, senyari bumi,” untuk sebagian mencerminkan hal ini.

Terkait langsung dengan aspek kesatuan ruang dengan

Page 4: Strategi Pemberdayaan Wilayah Perbatasan

Strategi Pemberdayaan Potensi Wilayah Perbatasan untuk Menunjang Pertahanan dan Keamanan NKRI

55

manusianya, atau lebih khusus lagi pada aspek identifikasi seluruh unsur masyarakat terhadap perasaan kebangsaan, integrasi bangsa memiliki arti lain. Dalam banyak negara baru atau berkembang, pemerintah eksekutifnya hampir tidak dapat menerapkan kekuasaanya di seluruh wilayah negara. Sering terdapat daerah-daerah yang tidak terjangkau atau sengaja tidak terjangkau oleh pemerimtah pusat. Daerah tersebut adalah daerah terpencil di perbatasan dan daerah-daerah yang secara teknis sulit di jangkau oleh para pejabat pemerintah dalam kehidupan ekonomi nasional, sementara fasilitas pendidikan dan kehidupan kemasyarakatan sulit menjangkau kesana. Lama kelamaan, sejalan dengan modernisasi alat komunikasi dan transportasi, upaya pemerintah menemukan akses masuk kedaerah-daerah tapal-batas yang bahkan lebih jauh, semakin berpeluang untuk berkembang. Oleh karena itu, integritas bangsa dapat berarti kemampuan pemerintah yang semakin meningkat untuk menerapkan kekuasaanya di seluruh wilayahnya. Pendekatan seperti ini didasarkan pada satu asumsi bahwa lembaga-lembaga politik dan administratif tertentu dapat memegang peran penting, terutama birokrasi dan tentara, dalam upayanya untuk sejauh mungkin meluaskan jaringan praktek-praktek dan prosedur-prosedur administratif secara seragam di seluruh wilayah negara.

Dipandang dari segi proses state-building, integrasi wilayah terutama di daerah-daerah perbatasan, juga menjadi salah satu kebutuhan dasar bagi sebuah proses modernisasi sebuah negara baru. Seperti kita ketahui bahwa, sebuah negara yang merupakan negara bekas koloni, dalam sejarahnya, pihak penguasa kolonial tidak pernah membina kekuasaan pusat di seluruh wilayah de-jure-nya, karena yang dibutuhkan bukanlah sebuah kesetiaan nasional, tetapi lebih kepada upaya penciptaan kelas-kelas sosial tertentu yang setia terhadap kekuasaan kolonialnya. Konsekuensinya, rezim-rezim baru tertentu yang baru merdeka dan yang masih dalam proses pembangunan negara, akan menghadapi sebuah akumulasi jurang pemisah yang dalam, antara kekuasaan de jure dan de facto. Maka, integrasi wilayah yang akan menjadi tantangan serius bagi rezim yang baru merdeka merupakan kebutuhan untuk menguasai secara efektif daerah-daerah perbatasan yang pada saat di bawah pemerintahan kolonial tidak pernah diurus. Secara alamiah, rezim-rezim baru tidak akan memberikan perhatian terhadap masalah-masalah kontrol mereka terhadap para penguasa di berbagai daerah, karena kapasitasnya untuk melakukan hal tersebut, sangatlah terbatas.

Seiring dengan proses pembangunan dan modernisasi, serta kepentingan untuk menjaga kedaulatan wilayahnya dari rongrongan negara lain, tidak ada pemerintahan modern yang toleran terhadap terus-menerus munculnya ketidak patuhan daerah terhadap pusat. Maka, ketika sebuah rezim baru memperluas fungsi-fungsinya, maka kebutuhan untuk mengontrolnya akan semakin meningkat. Dengan kata lain, begitu sebuah pusat bisnis dan kegiatan ekonomi rakyat dibangun, akan muncul kebutuhan akan sebuah hukum atau aturan main yang seragam, yang bisa dipaksakan berlakunya oleh aparat hukum. Dengan demikian, ketika pengeluaran negara bertambah, maka harus dipastikan tidak ada sebuah daerah yang bebas dari pajak. Dalam bahasa yang lain dapat

dikatakan, dengan berkembangnya transportasi dan komunikasi, akan bertambah sebuah kebutuhan bagi aparat pusat dan daerah untuk melayani kepentingan rakyat dalam upaya menggunakan fasilitas komunikasi dan transportasi tersebut. Akhirnya, hal ini juga akan menyentuh masalah kebanggaan nasional. Dalam konteks ini, berarti akan lahir penilaian bahwa rezim tersebut lemah dan akan mengundang negara-negara yang lebih kuat untuk memasuki pemerintahannya.

III. KONDISI WILAYAH PERBATASAN SAAT INI Pada umumnya wilayah atau daerah perbatasan belum

mendapat perhatian secara proporsional. Kondisi ini terbukti dari penanganan perbatasan oleh pemerintah pusat maupun daerah masih bersifat sektoral, pembinaan masyarakat perbatasan termarjinalkan dan perbatasan wilayah antar negara belum seluruhnya ditetapkan. Selain itu pemahaman masyarakat tentang wawasan kebangsaan dan Tannas masih kurang dan jumlah aparat keamanan yang ditugaskan di daerah perbatasan berikut sarana dan prasarananya sangat terbatas. Hal ini telah mengakibatkan timbulnya berbagai bentuk kegiatan ilegal di daerah perbatasan seperti, perubahan batas-batas wilayah, penyelundupan barang dan jasa serta kejahatan transnasional (transnational crimes) yang dikhawatirkan dalam jangka panjang dapat menimbulkan berbagai kerawanan sosial dan mengancam kelancaran pelaksanaan pembangunan nasional serta keutuhan NKRI.

A. Kondisi Umum Daerah Perbatasan Kondisi umum wilayah perbatasan saat ini dapat dilihat dari

aspek Pancagatra, yaitu : 1) Aspek Ideologi - Kurangnya akses pemerintah baik

pusat maupun daerah ke kawasan perbatasan dapat menyebabkan masuknya pemahaman ideologi lain seperti paham komunis dan liberal kapitalis, yang mengancam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dari rakyat Indonesia. Pancasila pada era reformasi ini bukan lagi sebagai azas tunggal, namun dalam aplikasinya pengamalan nilai-nilai Pancasila cenderung diabaikan. Masyarakat mulai enggan untuk membicarakan Pancasila, dengan ditandai dihapuskannya Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) dan digesernya Pancasila dalam mata pelajaran pokok di sekolah [3]. Dihadapkan dengan ideologi besar dunia dan kemajuan teknologi perlu diwaspadai penganut liberalisasi dan kapitalisme yang cenderung menciptakan situasi yang menginginkan dirubahnya ideologi Pancasila. Pada saat ini penghayatan dan pengamalan Pancasila sebagai ideologi negara dan falsafah hidup bangsa tidak disosialisasikan dengan gencar seperti dulu lagi, karena tidak seiramanya antara kata dan perbuatan dari penyelenggara negara. Oleh karena itu perlu adanya suatu metoda pembinaan ideologi Pancasila yang terus-menerus, tetapi tidak bersifat indoktrinasi dan yang paling penting adanya keteladanan dari para pemimpin bangsa.

2) Aspek Politik - Perkembangan situasi politik di era reformasi masih diwarnai oleh isu demokratisasi serta pelanggaran hak azasi manusia. Sistim pemerintahan yang sentralistik dan otoriter di era orde baru, berubah menjadi

Page 5: Strategi Pemberdayaan Wilayah Perbatasan

Letkol Sus Drs. Sunaryadi, M.Si 56

sistem desentralistik demokratis dan terbuka di era reformasi serta menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM). Namun perkembangan yang ada cenderung menjurus ke anarkis dan memaksakan kehendak. Pelaksanaan otonomi daerah yang dipahami oleh daerah cenderung kebablasan dengan terjadi banyak penyalah-gunaan wewenang yang diwarnai oleh Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) dan penyimpangan dari hakekat otonomi. Pemekaran wilayah di daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten sering menimbulkan permasalahan yang meliputi konflik perebutan aset daerah, jabatan dan sumberdaya manusia, hal tersebut dapat memicu terjadinya konflik horizontal maupun vertikal yang berdampak terhadap disintegrasi bangsa. Selain itu, terjadinya krisis kepercayaan terhadap pemerintah juga menyebabkan lemah dan kurang berwibawanya pemerintah terhadap masyarakat. Para politikus memiliki kecenderungan berpikir dan berperilaku dalam kerangka kepentingan golongan atau partai. Wawasan kebangsaan dan jiwa nasionalisme semakin berkurang, hal ini ditandai dengan pola pikir yang lebih mengutamakan kepentingan kelompoknya daripada kepentingan nasional.

Kehidupan masyarakat (sosial ekonomi) di daerah perbatasan umumnya dipengaruhi oleh kegiatan di negara tetangga. Kondisi tersebut berpotensi untuk mengundang kerawanan di bidang politik, karena meskipun orientasi masyarakat masih terbatas pada bidang ekonomi dan sosial, terutama apabila kehidupan ekonomi masyarakat daerah perbatasan mempunyai ketergantungan kepada perekonomian negara tetangga, maka hal inipun selain dapat menimbulkan kerawanan di bidang politik juga dapat menurunkan harkat dan martabat bangsa. Situasi politik yang terjadi di negara tetangga seperti Malaysia (Serawak & Sabah) dan Philipina Selatan akan turut mempengaruhi situasi keamanan daerah di sepanjang daerah perbatasan Kalimantan – Malaysia.

3) Aspek Ekonomi - Pembangunan ekonomi yang dilaksanakan pada masa orde baru menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan tetapi tidak memiliki ketahanan ekonomi yang tahan guncangan. Hutang nasional (swasta dan pemerintah) relatif sangat besar dan tingkat kepercayaan dunia usaha untuk melaksanakan investasi langsung belum sepenuhnya pulih. Kondisi tersebut merupakan kendala bagi tercapainya stabilitas ekonomi Indonesia, sehingga menjadi lebih tergantung pada negara-negara yang memiliki ekonomi yang besar. Sementara itu, di wilayah perbatasan kegiatan perekonomian lebih banyak dilakukan dengan cara yang illegal seperti penyelundupan.

Daerah perbatasan pada umumnya merupakan daerah tertinggal (terbelakang), hal ini bisa terjadi karena : 1) Lokasinya yang relatif terisolir (terpencil) dengan tingkat aksesibilitas yang rendah; 2) Rendahnya tingkat pendidikan dan kesehatan masyarakat; 3) Rendahnya tingkat kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat daerah perbatasan (jumlah penduduk miskin dan desa tertinggal); 4) Langkanya informasi tentang pemerintah dan pembangunan masyarakat di daerah perbatasan (blank spot). Kesenjangan sosial ekonomi masyarakat daerah perbatasan dengan masyarakat negara tetangga mempengaruhi watak dan pola hidup masyarakat setempat dan berdampak negatif bagi pengamanan daerah perbatasan dan rasa nasionalisme. Oleh karena itu tidak jarang

daerah perbatasan sering dijadikan sebagai pintu masuk atau tempat transit pelaku kejahatan dan teroris.

4) Aspek Sosial Budaya - Akibat globalisasi dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu pesat, teknologi informasi dan komunikasi terutama internet, dapat mempercepat masuk dan berkembangnya budaya asing ke dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Pengaruh budaya asing tersebut banyak yang tidak sesuai dengan kebudayaan kita, dan dapat merusak ketahanan nasional, karena mempercepat dekulturisasi yang bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Masyarakat daerah perbatasan cenderung lebih cepat terpengaruh oleh budaya asing, dikarenakan intensitas hubungan lebih besar dan kehidupan ekonominya sangat tergantung dengan negara tetangga. Pada aspek sosial budaya yang lain, masyarakat yang tinggal di sekitar wilayah perbatasan belum mengenyam pendidikan karena tiadanya sekolah dan belum tersedianya sarana kesehatan dan terbatasnya sarana dan prasarana transportasi serta komunikasi. Situasi yang demikian dapat menghambat terwujudnya Stabilitas Nasional dan Pertahanan Keamanan Negara.

5) Aspek Pertahanan dan Keamanan - Daerah perbatasan merupakan wilayah pembinaan yang luas dengan pola penyebaran penduduk yang tidak merata, sehingga menyebabkan rentang kendali pemerintah, pengawasan dan pembinaan teritorial sulit dilaksanakan dengan mantap dan efisien. Seluruh bentuk kegiatan atau aktifitas yang ada di daerah perbatasan apabila tidak dikelola dengan baik akan mempunyai dampak terhadap kondisi pertahanan dan keamanan, di tingkat regional maupun internasional baik secara langsung maupun tidak langsung. Pada aspek pertahanan dan keamanan yang lain, daerah perbatasan rawan akan persembunyian kelompok Gerakan Pengacau Keamanan (GPK), penyelundupan dan kriminal lainnya termasuk terorisme, sehingga perlu adanya kerjasama yang terpadu antara instansi terkait dalam penanganannya. Selain itu, di daerah perbatasan darat sepanjang perbatasan Kalimantan dan Malaysia telah terjadi pergeseran patok-patok perbatasan yang dilakukan oleh cukong kayu dari Malaysia guna mengambil kayu di wilayah perbatasan. Hal ini disebabkan oleh minimnya pos keamanan yang tidak sebanding dengan panjangnya daerah perbatasan.

B. Permasalahan Yang Dihadapi Penanganan perbatasan selama ini memang belum dapat

dilakukan secara optimal dan kurang terpadu, serta seringkali terjadi tarik-menarik kepentingan antara berbagai pihak baik secara horizontal, sektoral maupun vertikal. Lebih memprihatinkan lagi keadaan masyarakat sekitar daerah perbatasan negara, seperti lepas dari perhatian dimana penanganan masalah daerah batas negara menjadi domain pemerintah pusat saja, pemerintah daerahpun menyampaikan keluhannya, karena merasa tidak pernah diajak serta masyarakatnya tidak mendapat perhatian. Merekapun bertanya siapa yang bertanggung jawab dalam membina masyarakat di perbatasan ? Siapa yang harus menyediakan, memelihara infrastruktur di daerah perbatasan, terutama daerah yang sulit dijangkau, sementara mereka tidak tahu dimana batas-batas fisik negaranya ?

Page 6: Strategi Pemberdayaan Wilayah Perbatasan

Strategi Pemberdayaan Potensi Wilayah Perbatasan untuk Menunjang Pertahanan dan Keamanan NKRI

57

Dalam upaya meningkatkan Ketahanan Nasional di daerah perbatasan dengan fokus pembahasan dari aspek Pertahanan dan Keamanan ditemui beberapa permasalahan sebagai berikut :

1) Perbatasan Wilayah dengan Negara Tetangga Belum Seluruhnya Ditetapkan - Masalah perbatasan darat relatif tidak terlalu sulit untuk menentukan batas wilayah NKRI dengan negara tetangga, karena adanya tanda-tanda alam yang dapat dijadikan patokan. Namun masalah perbatasan wilayah laut lebih sulit dilakukan, karena di laut mengenal berbagai rejim hukum yang berbeda, sehingga perlu perundingan yang intensif dengan negara tetangga di kawasan yang telah disepakati antara pemerintah Indonesia dengan negara tetangga di kawasan. Hingga tahun 2008 tercatat 16 perjanjian batas maritim yang mencakup batas laut wilayah, landas kontinen dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Dari 10 negara yang berbatasan dengan NKRI, hanya 7 negara yang relatif sudah menentukan batas wilayahnya yaitu : India, Thailand, Vietnam, Malaysia, Singapura, Australia dan Papua New Guinea (PNG).

Negara yang belum memiliki perjanjian batas maritim adalah Philipina, Palau dan Timor Leste. Indonesia telah melakukan serangkaian perundingan dengan Philipina namun belum tercapai kesepakatan karena adanya perbedaan persepsi dan keinginan tentang penarikan garis batas imaginer. Dengan Timor Leste telah disepakati bahwa perundingan akan dilakukan setelah selesainya penetapan batas darat kedua negara. Perjanjian dengan negara Palau masih dalam penjajakan untuk merundingkan batas wilayah kedua negara, hal ini disebabkan Indonesia dan Palau tidak memiliki hubungan diplomatik.

2) Pengelolaan Wilayah Perbatasan Masih Bersifat Sektoral - Pembangunan dan pengelolaan wilayah perbatasan belum dilaksanakan secara sinergis antar Pemerintah Pusat dan Daerah serta antar departemen/instansi terkait. Pembangunan dan pengelolaan wilayah perbatasan yang dilaksanakan saat ini masih bersifat sektoral dan kedaerahan. Program dari pemerintah pusat tidak sejalan dengan keinginan pemerintah daerah, dimana daerah memiliki program eksplorasi sumber daya alam yang ada di wilayahnya tanpa mengindahkan kebijaksanaan yang telah digariskan oleh pemerintah pusat. Hal ini disebabkan karena semangat otonomi daerah seperti yang telah tercantum dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Implementasi dari Undang-undang tersebut setiap daerah Propinsi, Kabupaten dan Kota lebih mengedepankan kedaerahannya dalam membangun wilayahnya dan berakibat pada kurang terjaminnya keutuhan NKRI.

Sementara itu, mantan Menteri Pertahanan RI Joewono Soedarsono mengatakan [4] penanganan masalah perbatasan tidaklah mudah. Hal itu akan terkait banyak persoalan dan tidak cukup sekedar dengan menggunakan pendekatan keamanan atau hanya menghadirkan aparat negara seperti Tentara Nasional Indonesia (TNI), Kepolisian Republik Indonesia (Polri), dan Pemerintah Daerah (Pemda) secara fisik. Pada prinsipnya yang perlu adalah menghadirkan kegiatan ekonomi di ujung pulau maupun di daerah perbatasan. Hal itu karena bentuk pendudukan nyata terhadap masyarakat di daerah perbatasan. Praktek perambahan hutan

di kawasan perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan terjadi karena tidak ada perlawanan secara ekonomi dalam bentuk kehadiran kegiatan ekonomi Indonesia di sana. Dengan demikian, para perambah ilegal asal Malaysia dengan mudah menyusup dan mempengaruhi masyarakat di sana. Sekarang tinggal bagaimana menyinkronkan antara kehadiran kegiatan keamanan dan perekonomian di seluruh kawasan perbatasan dan pulau-pulau terluar. Hal itu tidak mudah dan sayangnya seringkali masih harus menghadapi ketidak konsistenan koordinasi antar instansi.

3) Pembinaan Masyarakat Perbatasan Termarjinalkan - Rendahnya tingkat sumber daya manusia, pendidikan dan kemiskinan masyarakat di wilayah perbatasan menjadi hambatan dalam meningkatkan peran masyarakat dalam pembangunan wilayah perbatasan. Masyarakat di wilayah perbatasan merasa termarjinalkan karena wilayah perbatasan kurang mendapat perhatian dari pemerintah baik aspek kesejahteraan maupun keamanannya. Dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, maka pemerintah daerah memiliki kewenangan yang luas untuk melaksanakan pembinaan masyarakat di wilayah perbatasan, namun dengan keterbatasan alokasi anggaran di daerah yang terbatas mengakibatkan pembinaan masyarakat di wilayah pulau-pulau terpencil/di wilayah perbatasan belum mendapatkan prioritas termasuk sulitnya menyediakan sarana transportasi laut untuk menjangkau wilayah tersebut. Kesulitan transportasi laut termasuk pemenuhan kebutuhan sandang pangan masyarakat menjadi salah satu penghambat dalam melaksanakan pembinaan masyarakat di perbatasan. Program pembangunan nasional yang tidak merata pada masa lalu telah menyebabkan masyarakat di perbatasan menjadi tertinggal secara ekonomi, sosial, politik dan informasi. Hal ini disadari bahwa secara langsung pada dasarnya telah berimplikasi pada terpuruknya jiwa nasionalisme, meningkatnya angka kemiskinan, meningkatnya tindak kekerasan saat terjadi kesenjangan ekonomi dan sosial yang cukup jauh antara masyarakat yang berada di dekat ibukota dan di perbatasan. Keterbelakangan, kemiskinan, dan perhatian yang kurang terhadap masyarakat di wilayah perbatasan ini juga berefek secara menyeluruh terhadap integritas nasional.

4) Kurangnya Jumlah Aparat Keamanan yang Ditugaskan Di Daerah Perbatasan serta Terbatasnya Sarana dan Prasarana - Dalam konteks pertahanan negara, wilayah perbatasan merupakan ujung tombak pertahanan nasional. Oleh karenanya kondisi keamanan di wilayah yang letak geografisnya berbatasan langsung dengan negara-negara lain tersebut, seyogyanya dapat menjadi prioritas utama guna mengawal keutuhan wilayah NKRI secara keseluruhan. Seringnya terjadi penyelundupan, illegal logging dan illegal fishing merupakan contoh permasalahan yang muncul akibat dari kurangnya kemampuan pengawasan aparat pemerintahan dalam mengamankan wilayah perbatasan ini. Dengan demikian masalah-masalah pelanggaran hukum, penciptaan ketertiban dan penegakkan hukum di perbatasan perlu diantisipasi dan ditangani secara seksama. Luasnya wilayah, serta minimnya prasarana dan sarana telah menyebabkan belum optimalnya aktivitas aparat keamanan dan kepolisian. Pertahanan dan keamanan negara di kawasan perbatasan saat

Page 7: Strategi Pemberdayaan Wilayah Perbatasan

Letkol Sus Drs. Sunaryadi, M.Si 58

ini perlu ditangani melalui penyediaan jumlah personel aparat keamanan dan kepolisian yang memadai serta sarana pertahanan dan keamanan yang optimal. Sebagai konsekuensi terbatasnya prasarana, sarana dan sumberdaya manusia di bidang pertahanan dan keamanan, misalnya aparat Polri dan TNI Angkatan Laut (AL) beserta kapal patrolinya, telah menyebabkan lemahnya pengawasan di sepanjang garis perbatasan di darat maupun perairan di sekitar pulau-pulau terluar. Di samping itu, lemahnya penegakkan hukum akibat adanya kolusi antara aparat dengan para pelanggar hukum, telah menyebabkan semakin maraknya pelanggaran hukum di kawasan perbatasan. Sebagai contoh, di kawasan perbatasan darat, berbagai praktek pelanggaran hukum seperti aktivitas pencurian kayu (illegal logging), penyelundupan barang dan penjualan manusia (human trafficiking), serta permasalahan identitas kewarganegaraan ganda masih sering terjadi.

5) Kurangnya pemahaman masyarakat tentang wawasan kebangsaan dan Ketahanan Nasional - Daerah perbatasan darat maupun laut di wilayah Indonesia pada umumnya merupakan daerah yang terisolir, terbatas sarana dan prasarananya, sulitnya komunikasi dan rendahnya kualitas pendidikan. Penyebab dari kurangnya pemahaman Ketahanan Nasional, antara lain :

• Wawasan kebangsaan menurun seperti rasa gotong royong, berpikir sektoral, kelompok, suku, ras, agama dan kepedulian terhadap sesama.

• Konstelasi geografis Indonesia yang merupakan ribuan pulau, jarak jauh dari pemerintah pusat, memiliki daerah terbuka untuk disusupi pengaruh dari luar yang bertentangan dengan ideologi dan budaya bangsa.

Berkaitan dengan kondisi tersebut, maka munculnya keberadaan unsur kekuatan bersenjata negara lain dalam wilayah NKRI sangat mungkin terjadi. Kehadiran alat utama sistem persenjataan (alutsista) Malaysia di perairan Blok Ambalat [5], penggelaran Divisi Tank, radar-radar surveillance dan pengerahan Brigade-Brigade Infantri serta Brigade Asykar Wataniah sepanjang perbatasan Kaltim, Kalbar maupun di sekitar Pulau Gosong Niger merupakan bentuk provokasi. Demikian pula adanya isu perekrutan WNI menjadi milisi paramiliter Malaysia, Asykar Wataniah dimana salah satu penyebabnya adalah masalah kesenjangan ekonomi [6]. Di satu sisi rata-rata Warga Negara Indonesia (WNI) di perbatasan tingkat ekonominya rendah dan dihadapkan sulitnya mencari pekerjaan, disisi lain negara tetangga mengiming-imingi pekerjaan dengan gaji yang menjanjikan. Tentu saja mereka akan berbondong-bondong menyeberang dengan alasan mencari nafkah untuk menghidupi keluarganya. Dengan demikian harus dipahami jika masalah “perut” adalah segala-galanya dan merupakan hal yang harus diprioritaskan.

Rendahnya sikap nasionalisme WNI di perbatasan selama ini juga dituding menjadi penyebab mudahnya mereka direkrut menjadi milisi asing. Keberadaan mereka yang hidup di daerah terpencil memang sangat rentan dibina oleh orang lain. Sementara bangsa kita sendiri relatif masih kurang dalam membina mereka, termasuk memupuk rasa cinta tanah air Indonesia. Kalau kita tidak mampu membina mereka, maka tidak bisa disalahkan kalau mereka kemudian dibina orang lain. Tentu saja dengan motif membantu kepentingan sang pembina yang notabene adalah negara tetangga. Dengan

demikian untuk kepentingan pertahanan dan keamanan di wilayah perbatasan, seperti telah diungkapkan sebelumnya, tidak hanya terpenuhi dengan pendekatan keamanan semata. Bahkan saat ini, pendekatan yang lebih penting, dalam arti memberi manfaat dalam mewujudkan daya tangkal kekuatan pertahanan, adalah pendekatan kesejahteraan.

IV. STRATEGI PEMBERDAYAAN POTENSI DAERAH PERBATASAN

Wilayah Indonesia yang berbatasan dengan negara-negara tetangga pada dasarnya mempunyai karakteristik yang unik dan beragam serta memiliki kondisi yang tidak sama antar daerah. Oleh karena itu pemberdayaan wilayah perbatasan tidak bisa dilaksanakan dengan serta merta atau dengan model pemberdayaan yang sama. Karena tidak mungkin menyeragamkan proses pemberdayaan masyarakat misalnya yang ada di wilayah Riau Kepulauan yang relatif maju dengan masyarakat yang ada di wilayah kepulauan Sangihe Talaud. Demikian pula membandingkan antara wilayah perbatasan yang berpenduduk dengan yang tidak ada penduduknya atau daerah yang mungkin dihuni dengan yang tidak mungkin dihuni manusia. Namun demikian ada gambaran umum yang dapat digunakan sebagai dasar Kebijakan dan Strategi yang harus dilakukan dalam melaksanakan pemberdayaan terhadap potensi yang ada di wilayah perbatasan, diantaranya :

1) Meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang ada di wilayah perbatasan melalui pendidikan dan pelatihan yang terencana serta melaksanakan pengendalian dan penataan penjabaran penduduk, pembinaan masyarakat melalui pola transmigrasi yang berbasis kelautan dan perikanan agar SDM yang ada terlibat langsung dalam aktivitas pengelolaan potensi wilayahnya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan.

2) Meningkatkan ketersediaan sarana dan prasarana pengembangan wilayah perbatasan, dengan melaksanakan investasi oleh pemerintah dan swasta sesuai dengan daya dukung lingkungan, agar wilayah perbatasan menjadi lebih terbuka untuk dapat mengembangkan potensi ekonomi yang ada di wilayah perbatasan, agar kualitas kesejahteraan masyarakat yang ada di wilayah perbatasan dapat semakin meningkat. Perbatasan darat seyogyanya dibangun sarana jalan sebagai batas nyata antar negara baik dengan Malaysia di Kalimantan atau PNG di Papua. Sarana jalan dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pertumbuhan ekonomi maupun pertahanan dan keamanan.

3) Memperkuat potensi wilayah perbatasan sebagai bagian dari sistem pertahanan dengan memanfaatkan fasilitas yang dapat dimanfaatkan untuk melaksanakan kegiatan pertahanan di wilayah perbatasan, baik yang berpenghuni maupun tidak. Menetapkan batas-batas wilayah perbatasan. Meningkatkan pengawasan dan pengamanan, agar terjamin keutuhan wilayah NKRI.

4) Menetapkan peraturan perundangan-undangan tentang batas negara dengan mengoptimalkan sarana satelit, data digital serta melaksanakan survei, membuat kajian akademis dan naskah akademis melalui forum diskusi melibatkan para pakar. Sampai saat ini Indonesia belum memiliki garis batas wilayah dengan negara tetangga secara menyeluruh. Dengan

Page 8: Strategi Pemberdayaan Wilayah Perbatasan

Strategi Pemberdayaan Potensi Wilayah Perbatasan untuk Menunjang Pertahanan dan Keamanan NKRI

59

belum ditetapkannya Undang-Undang (UU) batas wilayah NKRI dengan negara di kawasan baik dalam bentuk perjanjian bilateral maupun multilateral mengakibatkan pemanfaatan dan pendayagunaan wilayah perbatasan tidak dapat dilaksanakan secara optimal. Oleh karena itu diharapkan pemerintah segera menetapkan batas wilayah negara dengan negara tetangga dalam bentuk UU. Penetapan batas wilayah dengan UU tentang batas wilayah negara adalah sebagai payung hukum secara yuridis. Untuk itu, perguruan tinggi dan instansi terkait didorong untuk meningkatkan kajian, penelitian, pengumpulan data secara manual dan digital guna menyiapkan kajian akademik dan naskah akademik tentang batas wilayah NKRI.

5) Mendorong Pemerintah dalam hal ini Departemen Luar Negeri untuk melaksanakan langkah-langkah diplomasi guna memperjuangkan diterimanya konsep Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) oleh beberapa negara maritim besar dalam forum diplomasi baik pada Sidang International Matitime Organization (IMO) maupun dengan memanfaatkan forum-forum dialog yang bersifat regional seperi Forum ASEAN, ASEAN Regional Forum (ARF) dan ASEAN Summit. Perjuangan bangsa Indonesia di forum IMO untuk memperjuangkan ALKI bagi para pengguna laut akan berdampak pada pengakuan integritas NKRI sebagai Negara Kepulauan oleh bangsa -bangsa di dunia.

6) Pemerintah secepatnya mendirikan sekolah-sekolah (pendidikan, kesehatan, ketrampilan) di daerah perbatasan dengan didukung tenaga guru (SDM) yang memadai untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, dilaksanakan secara merata antar wilayah guna mencapai kesejahteraan masyarakat yang memadai dengan memperhatikan nilai sosial budaya setempat yang tangguh terhadap penetrasi budaya asing.

7) Membangun sarana pemantau perbatasan yang dapat mengawasi seluruh wilayah perbatasan, seperti : 1) Membangun fasilitas dan sarana pertahanan, misalnya pangkalan AL dan Angkatan Udara (AU), radar untuk deteksi dini, khususnya di daerah yang tidak dilindungi oleh radar-radar yang ada saat ini untuk mencegah terjadinya penerbangan gelap dan menjamin keamanan penerbangan sipil maupun militer; 2) Peningkatan pengawasan wilayah perbatasan dengan mendirikan pos-pos keamanan dengan jarak yang tidak terlalu jauh di sepanjang perbatasan dan mendirikan pos-pos angkatan laut di pulau-pulau luar dan terpencil. Selain untuk kepentingan pertahanan, pos-pos tersebut juga untuk memberikan rasa aman masyarakat serta mencegah dan mengurangi timbulnya kejahatan; 3) Membuat pos-pos keamanan bersama secara terpadu untuk aparat keamanan, imigrasi, bea cukai, kehutanan dan perdagangan; 4) Departemen Pertahanan selaku perencana pertahanan, menyediakan dan menyiapkan sarana berupa alut sista seperti pesawat–pesawat pengintai yang dapat memantau wilayah perbatasan, baik berupa pesawat berawak maupun pesawat tak berawak serta sarana telekomonikasi kepada TNI untuk menjaga daerah perbatasan.

8) Meningkatkan pemahaman masyarakat wilayah perbatasan tentang nasionalisme dan wawasan kebangsaan, melalui pelatihan bela negara yang disesuaikan dengan kondisi daerah dan budaya masyarakat setempat, sehingga rasa kebangsaan dan kebanggaan sebagai bagian dari bangsa

Indonesia tetap bisa terjaga dan ditumbuh kembangkan ditengah-tengah masyarakat yang ada di wilayah perbatasan

9) Meningkatkan peran serta masyarakat di sepanjang daerah perbatasan atau daerah frontier dengan cara antara lain : 1) membentuk Forum Persaudaraan Masyarakat di kawasan perbatasan guna memberikan saling pengertian dan saling menghargai antar kelompok etnis, sehingga memudahkan penyelesaian masalah perbatasan yang menyangkut sosial budaya; 2) Meningkatan kemampuan dan pendidikan masyarakat di kawasan perbatasan, melalui pendidikan formal dan informal maupun sosialisasi, sehingga mereka dapat memahami dan mematuhi segala peraturan lintas batas yang berlaku; 3) Memberikan pendidikan dan menanamkan rasa nasionalisme dan pemahaman politik masyarakat wilayah perbatasan melalui implementasi demokrasi, distribusi pendapatan yang adil serta mengembangkan budaya lokal untuk kepentingan persatuan dan kesatuan.

Langkah-langkah strategis tersebut pada dasarnya telah dimulai diantaranya oleh TNI (Angkatan Laut) sejak lama. Hal tersebut dapat dilihat dari dispersi Pangkalan (Lantamal, Lanal, Lanudal, Sional, Posal) yang tersebar diseluruh wilayah NKRI, dan sebagian besar berada di wilayah perbatasan, terutama perbatasan laut [7]. Keberadaannya diharapkan akan mampu menumbuh kembangkan kekuatan masyarakat atau potensi setempat untuk dapat mendukung operasi TNI AL di wilayah tersebut. Namun harus disadari bahwa pendekatan yang digunakan oleh TNI AL dalam melaksanakan dispersi semata-mata memperhitungkan faktor-faktor atau kepentingan pertahanan. Saat ini langkah yang telah diambil oleh TNI AL tersebut sudah dilakukan bersama-sama dengan kepentingan pihak lainnya (pemerintah pusat, daerah, swasta) agar pemberdayaan potensi yang ada di wilayah perbatasan dapat dilaksanakan secara sinergis agar keberhasilannya lebih optimal.

Di sisi lain, pengelolaan dan pertahanan wilayah udara yang belum maksimal [8] hendaknya juga menjadi prioritas proyeksi strategis kedepan terkait rencana pembangunan dan pemanfaatan sumber daya alam untuk kesejahteraan bangsa Indonesia. Diharapkan juga konsepsi pengelolaan dan pertahanan wilayah perbatasan udara merupakan konsepsi yang integral dengan penanganan wilayah darat dan laut serta menjadi bagian dari agenda pembangunan lainnya seperti pengentasan wilayah tertinggal dan pemanfaatan sumber daya yang tersedia untuk pembangunan nasional.

Untuk dapat melaksanakan kebijakan tersebut, tentunya diperlukan rumusan strategi yang lebih terperinci dan diikuti dengan upaya-upaya strategik dalam rangka melaksanakan Rencana Strategis yang telah ditetapkan. Tanpa langkah konkret, maka cita-cita luhur untuk mengamankan dan mengelola seluruh wilayah perbatasan darat, laut dan udara kita hanya akan menjadi konsep dan segala upaya yang dilakukan berjalan di tempat.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan Dari pembahasan mengenai strategi pemberdayaan potensi

wilayah perbatasan Indonesia untuk menunjang pertahanan dan keamanan NKRI, dapat ditarik kesimpulan berikut :

Page 9: Strategi Pemberdayaan Wilayah Perbatasan

Letkol Sus Drs. Sunaryadi, M.Si 60

(a) Peran penting pemberdayaan wilayah perbatasan negara Indonesia adalah untuk memantapkan ketahanan nasional dan terwujudnya wawasan nusantara dengan mengurangi sumber-sumber kerawanan yang ada di wilayah perbatasan yang mengancam kesejahteraan dan keamanan. Pada umumnya kondisi kesejahteraan dan kemanan di wilayah perbatasan masih rendah, hal ini merupakan akibat dari belum meratanya pembangunan dan ekonomi di wilayah perbatasan. Sedangkan dari sisi keamanan, wilayah perbatasan masih rawan dari kegiatan illegal logging, illegal entry, illegal mining, perdagangan manusia dan penyelundupan yang termasuk dalam kejahatan lintas negara (transnational crime) serta illegal fishing, dimana kondisi tersebut dapat dimanfaatkan oleh negara asing untuk mencapai/memenuhi kepentingannya.

(b) Walaupun sudah ada desentralisasi melalui UU otonomi daerah, namun pembangunan dan pengelolaan wilayah perbatasan itu belum dilaksanakan secara sinergis antara pemerintah pusat dan daerah serta departemen terkait, dimana pada umumnya masih berpikir sektoral. Akibatnya, pembangunan di perbatasan tidak merata dan terjadi perbedaan ekonomi yang menyolok dengan negara tetangga. Selain itu masyarakat di wilayah pulau-pulau terluar juga masih tertinggal dan termarjinal karena kurangnya sarana dan prasarana. Oleh karena itu, pembentukan lembaga khusus yang menangani masalah perbatasan sangat penting mengingat dewasa ini penanganan masalah perbatasan negara masih ditangani oleh lembaga-lembaga yang bersifat ad hoc.

(c) Kebijakan di bidang pertahanan dan keamanan masih mengutamakan wilayah perkotaan yang padat penduduknya, sedangkan untuk di daerah perbatasan belum optimal. Hal ini disebabkan keterbatasan alutsista, jumlah personil dan sulitnya sarana prasarana di daerah perbatasan serta transportasi untuk mencapai daerah perbatasan itu sendiri. Lokasi yang jauh dengan tingkat aksesibilitas yang rendah dan sulit dijangkau, menyebabkan daerah perbatasan memiliki keterisolasian yang tinggi dan keterbelakangan pembangunan. Sementara itu, perhatian pemerintah baik di pusat maupun daerah masih sangat rendah. Keterbelakangan dan kemiskinan akibat keterisolasian, menjadi pemicu tingginya keinginan masyarakat setempat menjadi pelintas batas, guna memperbaiki perekonomiannya. Kesenjangan sarana dan prasarana wilayah antar kedua negara menjadi pemicu orientasi perekonomian masyarakat ke negara tetangga. Oleh karena itu, kondisi geografis Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau yang terpisah membutuhkan kekuatan yang cukup besar dibidang pertahanan dan keamanan untuk mengamankannya.

(d) Strategi pemberdayaan potensi wilayah perbatasan Indonesia yang diupayakan adalah : ditetapkannya batas wilayah antara NKRI dengan negara tetangga di kawasan secara menyeluruh, sinergisnya pengelolaan wilayah perbatasan dan intensifnya pembangunan/pembinaan masyarakat di wilayah perbatasan, terpenuhinya jumlah personel aparat keamanan yang bertugas di daerah perbatasan dan tersedianya sarana prasarana yang memadai serta meningkatnya pemahaman masyarakat tentang wawasan kebangsaan dan Tannas. Konsep-konsep yang tertuang dalam kebijakan tersebut selanjutnya perlu dijabarkan dalam strategi dan ditindak lanjuti dengan upaya-upaya konkret.

B. Saran Dalam rangka menjaga keutuhan NKRI, perlu dilakukan

langkah-langkah strategis untuk menyelesaikan persoalan-persoalan perbatasan negara baik nasional maupun regional, dengan perioritas kebijakan sebagai berikut :

(a) Mendorong terealisasinya pembentukan Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) dalam rangka meningkatkan pengamanan wilayah perbatasan dan pulau-pulau kecil terluar, pembangunan infrastruktur perbatasan dan peningkatan sosial ekonomi masyarakat di perbatasan untuk kepentingan pertahanan negara.

(b) Mengefektifkan upaya-upaya diplomasi dengan mengedepankan penyelesaian perbatasan secara damai.

REFERENSI [1] E.M.T. Sianturi, Strategi pengembangan batas wilayah, Buletin

Balitbang Dephan, Jakarta, 2003. [2] P.P. Nainggolan, Batas Wilayah dan Situasi Perbatasan Indonesia :

Ancaman terhadap Integritas Teritorial, Jakarta, 2004. [3] Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006. [4] http://www.strahan.dephan.go.id (April 2008) [5] Markas Besar TNI, Pokok-Pokok Kebijakan Panglima TNI Tahun 2008

dan Arah Kebijakan Program dan Anggaran Tahun 2009. [6] Patriot, Edisi No.38, Tahun IX, Maret-2008. [7] Markas Besar Angkatan Laut – Staf Ahli Kasal, Pemberdayaan Potensi

Wilayah Perbatasan Indonesia dalam Perspektif Pembangunan Negara Kepulauan, Jakarta, Agustus 2007.

[8] M. Makarim, Strategi Pengelolaan dan Pertahanan Wilayah Perbatasan Udara Republik Indonesia : Tantangan Aspek Politik, Yuridis dan Operasional, Institute for Defense Security and Peace Studies, Jakarta, 2008.

[9] A. Batara dan B. Sukadis, Reformasi Manajemen Perbatasan Di Negara-Negara Transisi Demokrasi, Lesperssi, Jakarta, 2007.

[10] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Kawasan Perbatasan Antarnegara di Indonesia, Jakarta, 2005.

Letkol Sus Drs. Sunaryadi M.Si, lahir di Kebumen, 2 Juli 1968, saat ini bertugas di Subdis Iptek Dinas Pendidikan Markas Besar Angkatan Udara sebagai Kepala Seksi Pendidikan Dalam Negeri. Memasuki dinas kemiliteran melalui program Sepamilwa ABRI Gelombang II pada tahun 1991/1992. Sejak awal penugasan hingga Maret 2010, ditempatkan di Akademi Angkatan Udara, dengan jabatan struktural dan fungsional. Pendidikan formal yang telah dilalui adalah S-1 Fisipol Jurusan Ilmu Politik dan Pemerintahan (1991) sedangkan S-2

program Magister Administrasi Publik (MAP tahun 2005), keduanya ditempuh di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Penelitian yang diminati/pernah dilakukan adalah di bidang Public Policy dan Studi Pertahanan.