STRATEGI PEMBELAJARAN AFEKTIF DALAM KISAH...
Transcript of STRATEGI PEMBELAJARAN AFEKTIF DALAM KISAH...
STRATEGI PEMBELAJARAN AFEKTIF
DALAM KISAH NABI MUSA AS DAN NABI KHIDIR AS
(Telaah Tafsir Surat Al-Kahfi ayat 60-82)
Skripsi
Diajuakan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi
Salah Satu Syarat mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I.)
Oleh:
MUHAMMAD IQBAL SHIDDIQ
NIM 109011000115
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1436 H/2015 M
ABSTRAK
Nama : Muhammmad Iqbal Shiddiq
NIM : 109011000115
Judul : Strategi Pembelajaran Afektif Dalam Kisah Nabi Musa AS dan
Nabi Khidir AS (Telaah Tafsir Surat Al-Kahfi ayat 60-82)
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui strategi pembelajaran afektif yang
dilakukan oleh nabi Khidir kepada nabi Musa yang terdapat dalam Al-Qur‟an surat
Al-Kahfi ayat 60-82.
Subjek penelitian ini ialah kisah perjalanan nabi musa dan khidir dan objek
penelitianya adalah ayat Al-Qur‟an surat Al-Kahfi yang didalam proses perjalanannya
terkandung strategi pembelajaran afektif. Sedangkan untuk metode pengumpulan
data, peneliti menggunakan penelitian kepustakaan (library research) dan metode
Tahlily (analisis) untuk menafsirkan ayat Al-Qur‟an.
Hasil penelitian menunjukan bahwa, nabi Khidir mempunyai strategi pembelajaran
dengan memberikan syarat, yaitu jangan mempertanyakan sesuatupun sebelum Khidir
sendiri menjelaskannya. Strategi Khidir tersebut mengantarkan keberhasilan
pembelajaran afektif pada nabi Musa hal itu dibuktikan dengan tercapainya langkah-
langkah dari ranah afektif. receiving, Musa peka terhadap apa yang disaksikannya
selama perjalanan dalam bentuk penolakan dan tidak setuju atas perbuatan Khidir.
Kedua responding, reaksi spontan adalah proses afektif yang terjadi dalam diri Musa
hal tersebut jelas merupakan suatu respon dalam rangka mengetahui sesuatu hal lebih
mendalam. Ketiga valuing, Selama perjalanan Musa menilai atau menanggapi semua
peristiwa dengan nilai atau keyakinan yang dipercayainya, walaupun penilaian
berubah setelah penjelasan dari Khidir. Keempat organization, Musa
mengorganisasikan nilai yang diyakininya dengan nilai dari Khidir sehingga tercipta
nilai baru. Kelima Characterization by a Value or Value Complex, nilai baru yang
didapat oleh Musa tersebut adalah hasil dari proses pembelajaran afektif yaitu Musa
memiliki sebuah kebulatan sikap (karakter) yang mapan.
Kata kunci : Strategi Pembelajaran, Afektif.
i
KATA PENGANTAR
Assalamu‟alaikum Wr. Wb
Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
limpahan rahmat dan nikmat-Nya, sehingga pada akhirnya penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan judul “STRATEGI PEMBELAJARAN AFEKTIF
DALAM KISAH NABI MUSA AS DAN NABI KHIDIR AS (Telaah Tafsir Surat
Al-Kahfi ayat 60-82)” ini merupakan salah satu syarat guna memperoleh gelar
Sarjana Hukum (S.Pd.I.) pada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK)
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dalam proses penulisan skripsi ini, penulis banyak sekali mendapat bimbingan,
bantuan dan dorongan dari berbagai pihak. Oleh sebab itu, pada kesempatan ini
penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Kedua orang tua (Drs. H. Agus Salim, M.Si, dan Hj. Unong Solilah, M.Si,),
kakak-kakak (Yohana Solihati G, S.Sos dan Fahmi Firman G), serta adik (Rijal
Nurul Haq) saya tercinta yang telah memberikan segenap kasih sayang yang
tiada henti dan memberikan dorongan baik materil maupun moril serta do‟a
kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi.
2. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
ii
3. Ketua, Sekretaris, serta seluruh staf Jurusan dan Laboratorium Pendidikan
Agama Islam, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Prof. Dr. H. Salman Harun, selaku dosen pembimbing skripsi yang senantiasa
sabar dalam membimbing dan mengarahkan akan proses penulisan skripsi ini.
5. Bapak Drs. Abdul Haris, M.Ag, selaku dosen penasihat akademik.
6. Segenap Dosen dan Karyawan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
7. Teman teristimewa, Putri Mentari yang selalu menemani di saat suka maupun
duka beserta Keluarga terima kasih banyak atas motivasi, dedikasi dan do'a
selama ini.
8. Teman-teman Prodi Pendidikan Agama Islam yang baik hati, khususnya prodi
Pendidikan Agama Islam angkatan 2009 kelas C (Agus, Eka, Heru, Miftah,
Rasid, Sukri Gojali, Chairul, Sihab dan teman-teman lainnya yang tidak dapat
disebutkan satu persatu). Terimakasih banyak atas tawa-duka, suka duka,
kebersamaan, motivasi, dan bertukar pikiran selama ini.
9. Baraya, dulur, akang, teteh, Keluarga Besar Himpunan Mahasiswa Tasikmalaya
(HIMALAYA) Jakarta, terimakasih atas kebersamaan dan pengabdiannya
selama ini. Semoga HIMALAYA Jakarta dapat terus konsisten dan
memberikan manfaat atas kehadirannya kepada orang lain, masyarakat, daerah,
nusa dan bangsa.
10. Kepada keluarga besar alumni Persatuan Islam 109 Kujang, terimakasih atas
kesempatan, dedikasi serta pengalamannya.
iii
11. Kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini, yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu persatu. Semoga
Allah SWT memberikan berkah dan karunia-Nya serta membalas kebaikan
mereka semua, amien.
Penulis menyadari bahwa Skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu
kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan demi penyempurnaan
skripsi ini. Penulis berharap semoga skripsi ini memberikan manfaat bagi penulis
khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya.
Wassalamu‟alaikum Wr, Wb.
Jakarta, 5 Oktober 2015
Muhammad Iqbal S
iv
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI
LEMBAR PERNYATAAN KARYA SENDIRI
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
ABSTRAK ............................................................................................................. i
KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ..................................................................... 1
B. Pembatasan Masalah .......................................................................... 6
C. Rumusan Masalah .............................................................................. 6
D. Tujuan Penelitian ................................................................................ 6
E. Manfaat Penelitian .............................................................................. 7
BAB II LANDASAN TEORI
A. Strategi Pembelajaran ......................................................................... 8
1. Strategi…………………………………………………………….8
2. Pembelajaran ................................................................................. 13
B. Strategi Pembelajaran Afektif ............................................................ 19
C. Pengertian Nilai, Moral dan Sikap ..................................................... 23
v
D. Nabi Musa dan Khidir ....................................................................... 25
1. Nabi Musa AS ................................................................................ 25
2. Khidir AS ...................................................................................... 28
E. Kajian yang Relevan ........................................................................... 30
BAB III METODE PENELITIAN
A. Objek dan Waktu Penelitian ............................................................... 31
B. Metode Penelitian ............................................................................... 31
C. Fokus Penelitian ................................................................................. 33
BAB IV STRATEGI PEMBELAJARAN AFEKTIF DALAM KISAH NABI
MUSA AS DAN KHIDIR AS
A. Tafsir Ayat Surah Al-Kahfi ................................................................ 34
Tafsir Ayat 60-61 ............................................................................... 34
Tafsir Ayat 62-64 ............................................................................... 37
Tafsir Ayat 65-70 ............................................................................... 38
Tafsir Ayat 71-73 ............................................................................... 42
Tafsir Ayat 74-76 ............................................................................... 43
Tafsir Ayat 77-78 ............................................................................... 45
Tafsir Ayat 79-81 ............................................................................... 47
Tafsir Ayat 82 ..................................................................................... 49
vi
B. Ikhtisar Kisah Nabi Musa dan Khidir ................................................ 50
C. Strategi Pembelajaran Afektif dalam Kisah Nabi Musa AS dan Khidir
AS ...................................................................................................... 51
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ......................................................................................... 61
B. Saran ................................................................................................... 62
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 63
vii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Memperhatikan pendidikan di Indonesia pemikiran kita akan tertuju pada
pengertian pendidikan dan tujuan pendidikan itu tersendiri. Bagaimana pendidikan
dan mau dibawa kemana arah pendidikan di Indonesia itu tergantung pada perumusan
yang dibuat. Dengan mengetahui apa itu pendidikan dan tujuan pendidikan tersebut
maka suatu bangsa tertentu akan dapat menentukan pendidikan seperti apa yang
diinginkan.
Didalam Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional Bab II Pasal 3 adalah bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi
warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.1
Ada penggalan kalimat pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Bab II
Pasal 3 yang dapat ditarik benang merah yaitu “berkembangnya potensi peserta
didik” adalah tujuan inti dari proses pembelajaran. Setelah mengetahui hal tersebut
barulah mencari formulasi yang tepat untuk mencapai tujuan itu.
Adapun teori yang dipakai dan masih relevan dalam kurikulum di Indonesia
yaitu teori taksonomi bloom. Dengan mengadaptasi teori bloom tentang tujuan-tujuan
pendidikan, maka dapat diklasifikasi berbagai kompetensi yang hendak dicapai guru
melalui proses pembelajaran pada setiap unit. Bloom, membagi tujuan pembelajaran
menjadi tiga, kognitif, afektif dan psikomotorik.2
Tidak hanya tumbuh kembang potensi peserta didik saja dengan teori yang
disempurnakan bloom ini, menurut Abdul Majid dalam bukunya Pendidikan Agama
1
1 Redaksi Sinar Grafika, UU Sistem Pendidikan Nasional (UU RI No. 20 Tahun 2003),
(Jakarta: Sinar Grafika, 2009), Cet 2, hal. 7 2 Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan Demokratis, (Jakarta: Kencana, 2004), Cet. 1, hal. 69
2
Islam Berbasis Kompetensi bahwa gabungan dari tiga jenis kompetensi yaitu
kognitif, afektif dan psikomotor ini akan melahirkan life skills (keterampilan hidup).3
Dalam pendidikan ada sebuah proses dan transformasi pengetahuan dari
pendidik terhadap peserta didik. Sehingga terjadi suatu perubahan ke arah yang
positif pada peserta didik, baik dalam aspek kognitif, afektif, maupun psikomotorik.4
Betapa pentingnya peserta didik memiliki ketiga komponen tersebut. Tapi
pada kenyataannya pembelajaran yang dilakukan kebanyakan bertumpu pada satu
kompetensi yaitu kognitif saja. Bagaimana tidak, banyak orang sekarang hanya
menilai seseorang itu hanya dari segi intelektual saja.
Hal tersebut tidak di sengaja karena dalam peraktiknya diantara ketiga
komponen tersebut yang paling mudah dilakukan adalah pendekatan kognitif. Karena
untuk mengevalusi hasil dari pembelajaran kognitif tersebut dapat dilihat dengan
mudah tidak sesulit melihat hasil dari pembelajaran afektif. Karena itulah yang sering
menjadi bahan diskusi pendidikan sekarang ini adalah bagaimana menerapkan
pendekatan afektif yang memang terasa sulit dibandingkan dengan pendekatan
kognitif.
Padahal pendidikan bukan hanya berfungsi mengembangkan aspek kognitif
(pengetahuan atau penalaran), tetapi juga pendidikan berfungsi mengembangkan
aspek afektif (sikap, kelakukan atau akhlak atau budi perkerti) dan aspek
psikomotorik (keterampilan).5
Tidak berbeda jauh dengan pendidikan islam, karena pendidikan islam juga
bertujuan untuk membentuk pribadi muslim seutuhnya, mengembangkan seluruh
potensi manusia baik yang berbentuk jasmaniah maupun rohaniah,
menumbuhsuburkan hubungan harmonis setiap pribadi dengan Allah, manusia dan
alam semesta.6
3 Abdul Majid, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2006), cet. 3, hlm. 13. 4 Abdul Majid, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya), cet 3, hal. 130 5 Arifin Anwar, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), cet. 1,
hal. 24 6 Haidar Putra D, Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2004), hal. 153
3
Hakikat pendidikan itu adalah pembentukan manusia ke arah yang dicita-
citakan. Dengan demikian pendidikan Islam adalah proses pembentukan manusia
kearah yang dicita-citakan Islam.7
Menurut Haidar Putra Daulay dalam bukunya Pendidikan Islam, pendidikan
itu setidaknya memiliki tiga aspek sasaran. Pertama, sasaran pengisian otak (transfer
of knowledge). Kedua, mengisi hati, melahirkan sikap positif (transfer of value).
Ketiga, perbuatan (transfer of activity).
Seperti yang telah disebutkan atas dalam pendidikan islam terdapat dua
potensi, yaitu, potensi jasmaniah manusia adalah yang berkenaan dengan seluruh
organ-organ fisik manusia. Sedangkan potensi ruhaniah manusia itu meliputi
kekuatan yang terdapat di dalam batin manusia, yakni akal, kalbu, nafsu, roh, dan
fitrah.8
Kompetensi peserta didik yang harus dikembangkan dalam pembelajaran
adalah aspek kognitif, afektif dan psikomotor. Begitu juga dalam pendidikan islam
potensi yang harus dikembangkan dalam diri peserta didik yaitu akal, kalbu, nafsu,
ruh, fitrah dan organ-organ fisik. Dalam hal tersebut terdapat kesamaan antara akal
(Pengetahuan/kognitif), nafsu (sikap/afektif) dan organ-organ fisik (psikomotorik).
Hanya saja cabang pengembangan dalam pendidikan islam lebih komplek dan
banyak.
Akan tetapi, karena agama banyak menyentuh qaib (hati) manusia, maka
pendekatan terhadap agama tidak selamanya efektif jika hanya didekati lewat
pendekatan kognitif, karena itu pendekatan afektif dan psikomotorik merupakan suatu
keniscayaan di samping pendekatan kognitif.9
Setiap proses pembalajaran yang dilakukan hendaknya didasarkan pada
kompetensi atau penguasaan yang diarahkan untuk memberikan pengetahuan
(kognitif), sikap (afektif) dan keterampilan (psikomotorik). Maka dari itu pada
langkah ini ditentukan strategi dan metode yang akan digunakan untuk mencapai
tujuan kompetensi tersebut.
7 Haidar Putra D, Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2004), hal. 3 8 Haidar Putra D, Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2004), hal. 31 9 Haidar Putra D, Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2004), hal. 39
4
Proses belajar mengajar pada hakikatnya adalah proses komunikasi, yakni
guru berperan sebagai pengantar pesan, siswa sebagai penerima pesan, dan pesan
yang dikirimkan oleh guru berupa materi pelajaran. Tidak selamanya pesan yang
disampaikan dapat diterima dengan baik oleh siswa, bahkan terkadang pesan yang
diterima tidak sesuai dengan apa yang dimaksudkan oleh guru. Hal ini dikarenakan
lemahnya kemampuan guru dalam mengkomunikasikan informasi sehingga materi
yang disampaikan tidak jelas atau mungkin salah ketika menyampaikan, dan juga
lemahnya kemampuan siswa dalam menangkap materi yang disampaikan sehingga
ada kesalahan dalam menginterpretasi materi tersebut.10
Hal tersebut bisa diakibatkan oleh pembelajaran yang membosankan dan
pembelajaran yang hanya berkisar pada ceramah saja. Pembelajaran yang kurang
efektif dan efisien, menyebabkan kurang seimbangnya kemampuan kognitif, afektif
dan psikomotor. Proeses pembelajaran yang dilakukan saat ini masih banyak yang
menitik beratkan pada unsur kognitif saja.
Oleh karena itu diperlukan suatu cara untuk memudahkan siswa dalam
menerima materi dan guru menuangkan kemampuan serta ide kreatifnya dalam
mengemas materi tersebut sedemikian rupa sehingga dapat dicerna oleh siswa dengan
baik, sesuai dengan apa yang diharapkan.
Tentu banyak sekali objek yang bisa dijadikan bahan kajian untuk
menghasilkan strategi pembelajaran, baik yang berasal dari akal pikiran manusia
maupun dari sumber lain. Dan salah satu sumber yang utama itu adalah al-Qur‟an,
kitab suci pedoman umat Islam.
Al-Qur‟an merupakan kitab suci yang berisi petunjuk untuk kehidupan umat
manusia di dunia ini. Dengan petunjuk al-Qur'an, kehidupan manusia akan berjalan
dengan baik. Manakala mereka memiliki problem, maka problem itu dapat
terpecahkan sehingga jika diibarat dengan penyakit, akan ditemukan obatnya dengan
al-Qur'an. Oleh karena itu, menjadi sangat penting bagi kita sebagai umat Islam untuk
memahami al-Qur'an dengan sebaik-baiknya sehingga bisa kita gunakan sebagai
pedoman hidup di dunia ini dengan sebenar-benarnya, Allah berfirman:
10
Wina Sanjaya, Perencanaan dan Desain Sistem Pembelajaran, (Jakarta: Kencana, 2010),
Cet. III, h. 205.
5
“Sesungguhnya Al Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih Lurus”
(QS. al-Isra‟ ayat 9)
“Dan Kami turunkan kepadamu Al kitab (al-Quran) untuk menjelaskan segala
sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang
berserah diri.” (QS. an-Nahl ayat 89)
Adalah amat jelas bahwa dalam al-Qur‟an terdapat ayat-ayat yang
berhubungan dengan dunia pendidikan. Tidak hanya itu dalam al-Qur‟an juga
terdapat kisah-kisah yang mana banyak menceritakan kisah orang-orang dahulu dari
para nabi dan selain nabi.
Al-Qur‟an telah membicarakan kisah-kisah yang disebutkannya. Ia
menjelaskan hikmah dari penyebutannya, manfaat apa yang dapat kita ambil darinya,
episode-episode yang memuat pelajaran hidup, konsep memahaminya, dan
bagaimana cara berinteraksi dengannya.11
Kisah-kisah dalam Al-Qur‟an mempunyai keistimewaan dalam hal cita-
citanya yang luhur, tujuannya yang mulia dan maksudnya yang agung. Kisah-kisah
ini mencakup bagian-bagian tentang akhlak yang dapat menyucikan jiwa,
memperindah tingkah laku, menyebarkan sifat bijak dan adab serta berbagai metode
mendidik.
Banyak kisah teladan dan kisah-kisah yang berhubungan dengan pendidikan
salah satunya adalah kisah nabi Musa yang diperintahkan oleh Allah secara langsung
untuk belajar kepada sang guru pilihan Allah, yaitu nabi Khidhir.
Dalam kisah perjalanan nabi Musa dan nabi Khidir tersebut tidak hanya ilmu
pengetahuan karena lebih dari pada itu kisah tersebut lebih menyinggung masalah
sikap dan nilai yang berbeda antara nabi Khidir dan nabi Musa dan bagaimana cara
penyampaian (strategi) nabi Khidir kepada nabi Musa.
11 Shalah Al-Khalidy, Kisah-kisah Al-Qur‟an, (Jakarta: Gema Insani, 1999), hal.. 21
6
Banyak peneliti yang mengkaji kisah Nabi Musa dan Khidir yang terdapat
dalam surat Al-Kahfi ayat 60-82 karena banyak hikmah yang terkandung didalamnya.
Penulis sendiri tertarik untuk meneliti atau mengkaji surat dalam al-Qur‟an yang
berhubungan dengan pendidikan.
Dari pemaparan di atas, penulis sangat tertarik untuk menggali makna-makna
tersirat yang terkandung di dalam ayat Al-Qur‟an dengan sebuah penulisan berjudul
“STRATEGI PEMBELAJARAN AFEKTIF DALAM KISAH NABI MUSA AS
DAN NABI KHIDIR AS (Analisis Tafsir Surat Al-Kahfi Ayat 60-82)”.
B. Pembatasan Masalah
Agar pembatasan skripsi ini terfokus, maka penulis membatasi kajian skripsi
ini pada kisah perjalanan nabi Musa AS bersama nabi Khidir AS yang tercantum pada
surat al-Kahfi ayat 60-82 sebagaimana dijelaskan dalam kitab Tafsir al-Misbah dan
Tafsir al-Maraghi.
C. Perumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang masalah di atas, maka penulis mengajukan
rumusan masalahnya apakah strategi pembelajaran yang diterapkan nabi Khidir AS
kepada nabi Musa AS pada surat al-Kahfi ayat 60-82.
D. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui penafsiran ahli tafsir terhadap kisah nabi Musa AS dan nabi
Khidir AS dalam surat al-Kahfi ayat 60-82.
2. Untuk mengetahui strategi pembelajaran afektif dalam kisah Nabi Musa AS dan
Nabi Khidir AS dalam surat al-Kahfi ayat 60-82.
E. Manfaat Penelitian
Sedangkan manfaat yang hendak dicapai adalah sebagai berikut:
1. Menjadi sumbangan pemikiran bagi mereka yang membutuhkannya. Penulis
yakin bahwa penulisan skripsi ini akan memberikan sumbangan pemikiran yang
sangat berharga.
7
2. Untuk mengembangkan kreativitas potensi diri penulis dalam mencurahkan
pemikiran ilmiah lebih lanjut, dan untuk menambah wawasan penulis tentang
strategi pembelajaran.
3. Sebagai bahan untuk menambah khazanah bacaan Islam pada perguruan tinggi,
khususnya pada perguruan tinggi Islam dan perguruan-perguruan tinggi lain yang
intens dengan studi pendidikan Islam.
4. Menambah perbendaharaan referensi di perpustakaan Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Strategi Pembelajaran
1. Strategi
Pada mulanya istilah strategi digunakan dalam dunia militer dan diartikan
sebagai cara penggunaan seluruh kekuatan militer untuk memenangkan suatu
peperangan.12
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia strategi berarti ilmu dan seni memimpin
bala tentara untuk menghadapi musuh di perang. Dalam arti lain strategi berarti
rencana yang cermat mengenai kegiatan untuk mencapai sasaran khusus.13
Sebelum membahas pengertian strategi pembelajaran secara lebih mendalam,
penulis akan menerangkan istilah lain yang terkadang sulit dibedakan, antara lain
a. Model
Arends dalam bukunya Iif Khoiru menyatakan bahwa istilah model
pembelajaran mengarah pada suatu pendekatan pembelajaran tertentu
termasuk tujuannya, lingkungannya, dan sistem pengelolaannya.14
b. Pendekatan
Pendekatan merupakan suatu upaya yang dilakukan oleh guru yang
dimulai dengan perencanaan pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran,
dan diakhiri dengan penilaian hasil belajar berdasarkan suatau konsep
tertentu.
Menurut Wina Sanjaya pendekatan dapat diartikan sebagai titik tolak atau
sudut pandang seseorang terhadap suatu proses tertentu. Istilah pendekatan
merujuk kepada pandangan tentang terjadinya suatu proses yang sifatnya
masih sangat umum.15
8
12
Iif Khoiru dkk, Strategi Pembelajaran Sekolah Terpadu, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2011),
cet. 1, hal. 10. 13
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasonal, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Balai Pustaka, 2001), eds. 3, hal.. 1092 14
Iif Khoiru dkk, Strategi Pembelajaran Sekolah Terpadu, (jakarta: Prestasi Pustaka, 2011),
cet. 1, hal. 13-14. 15
Wina Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran, (Jakarta: Kencana, 2008) cet. 1, hal. 77.
9
Roy Killen menuturkan juga penjelasanya dalam bukunya Iif Khoiru
Ahmadi terdapat dua pendekatan dalam pembelajaran, yaitu pendekatan yang
berpusat pada guru (teacher centred approaches) dan pendekatan yang
berpusat pada siswa (student centred approaches).16
Proses interaksi yang terjadi dalam pembelajaran banyak bergantung pada
pendekatan yang digunakan. Pendekatan yang dapat digunakan secara garis
besar meliputi:
1) Pendekatan imposisi
2) Pendekatan teknologis
3) Pendekatan personalisasi
4) Pendekatan intreraksional
5) Pendekatan konstruktivis
6) Pendekatan pengelolaan informasi
7) Pendekatan inquiry
8) Pendekatan pemecahan masalah 17
c. Metode
Menurut Faturrahman Pupuh dalam bukunya Iif Khoiru metode secara
harfiah berarti cara. Dalam pemakaian yang umum, metode diartikan sebagai
suatu cara atau prosedur yang dipakai untuk mencapai tujuan tertentu.18
Metode pembelajaran menekankan pada proses belajar siswa secara aktif
dalam upaya memperoleh kemampuan hasil belajar.19
Metode pembelajaran adalah cara mengajarnya itu sendiri
Jadi dapat dipahami, bahwa metode pendidikan adalah jalan atau cara
yang harus dilalui untuk mencapai tujuan pendidikan atau menguasai
kompentensi tertentu. Agar kemudian tujuan pendidikan tercapai seperti apa
yang sudah direncanakan.
16
Iif Khoiru dkk, Strategi Pembelajaran Sekolah Terpadu, (jakarta: Prestasi Pustaka, 2011),
cet. 1, hal. 14-15. 17
Lukmanul Hakim, Perencanaan Pembelajara, (Bandung: Wacana Prima, 2009), hal. 43. 18
Iif Khoiru dkk, Strategi Pembelajaran Sekolah Terpadu, (jakarta: Prestasi Pustaka, 2011),
cet. 1, hal. 15. 19
Lukmanul Hakim, Perencanaan Pembelajara, (Bandung: Wacana Prima, 2009), hal. 155.
11
d. Teknik dan Taktik
Sebenarnya teknik dan taktik mengajar adalah bentuk dari penjabaran
metode pembelajaran. Teknik adalah cara yang dilakukan orang dalam rangka
mengimplementasikan suatu metode, yaitu cara yang harus dilakukan agar
metode yang dilakukan berjalan efektif dan efisien.20
Senada dengan
Lukmanul Hakim yang memberikan contoh dari teknik tersebut, seperti teknik
bertanya dan teknik menjelaskan.21
Sedangkan taktik adalah gaya seseorang dalam melaksanakan suatu
teknik tertentu. 22
Karena istilah-istilah tersebut sering digunakan dan mempunyai pengertian
yang sepintas sama akan tetapi sebenarnya berbeda.
Secara umum strategi mempunyai pengertian suatu garis-garis besar haluan
untuk bertindak dalam usaha mencapai sasaran yang telah ditentukan.
Dihubungkan dengan belajar mengajar, strategi bisa diartikan sebagai pola-pola
umum kegiatan guru anak didik dalam perwujudan kegiatan belajar mengajar
untuk mencapai tujuan yang telah digariskan.23
Menurut J.R. David dalam buku Wina Sanjaya strategi dalam dunia
pendidikan diartikan sebagai “a plan, methhod, or series of activities designed to
achieves a particular educational goal”. Jadi dengan demikian strategi
pembelajaran dapat di artikkan sebagai suatu perencanaan yang berisi tentang
rangkaian kegiatan yang didesain untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.24
Dari rumusan tersebut ada dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama, strategi
pembelajaran merupakan rencana tindakan termasuk metode dan pemanfaatan
20
Iif Khoiru dkk, Strategi Pembelajaran Sekolah Terpadu, (jakarta: Prestasi Pustaka, 2011),
cet. 1, hal. 16. 21
Lukmanul Hakim, Perencanaan Pembelajara, (Bandung: Wacana Prima, 2009), hal. 154. 22
Iif Khoiru dkk, Strategi Pembelajaran Sekolah Terpadu, (jakarta: Prestasi Pustaka, 2011),
cet. 1, hal. 16. 23
Abuddin Nata, Perspektif Islam Tentang Strategi Pembelajaran, (Jakarta: Kencana 2009),
cet.. 1, hal.. 206. 24
Wina Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran, (Jakarta: Kencana, 2008) cet. 1, hal. 294.
12
berbagai sumber daya dalam pembelajaran. Kedua, strategi disusun untuk
mencapai tujuan tertentu.25
Strategi adalah siasat melakukan kegiatan-kegiatan dalam pembelajaran yang
mencakup metode dan teknik pembelajaran.26
Strategi pembelajaran merupakan cara pengorganisasian isi pelajaran,
penyampaian pelajaran dan pengelolaan kegiatan belajar dengan menggunakan
berbagai sumber belajar yang dapat dilakukan guru untuk mendukung terciptanya
efektifitas dan efisiensi proses pembelajaran.27
Menurut Romiszowski dalam buku Strategi Pembelajaran Menyenangkan
dengan Humor menyatakan bahwa strategi adalah sebagai titik pandang dan arah
berbuat yang diambil dalam rangka memilih metode pembelajaran yang tepat,
yang selanjutnya mengarah pada yang lebih khusus, yaitu rencana, taktik, dan
latihan.28
Sedang menurut Slameto dalam buku Paradigma Baru Pembelajaran strategi
adalah suatu rencana tentang pendayagunaan dan penggunaan potensi dan sarana
yang ada untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pengajaran.29
Perencanaan strategi pembelajaran merupakan bagian penting dari proses
desain pembelajaran. Hal ini sangat jelas bahwa pengajaran yang paling baik
akan menunjukan pengetahuan tentang siswa, tugas yang mengambarkan tujuan,
dan efektivitas strategi mengajar.30
Jadi dalam konteks pengajaran, strategi dimaksudkan sebagai daya upaya guru
dalam menciptakan suatu sistem lingkungan yang memungkinkan terjadinya
25
Sutarjo Adisusilo, Pembelajaran Nilai – Karakter, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2012),
cet. 1, hal. 85 26
Lukmanul Hakim, Perencanaan Pembelajaran, (Bandung: Wacana Prima, 2009), hal. 43. 27
Darmasyah, Strategi Pembelajaran Menyenangkan dengan Humor, (Jakarta: Bumi Aksara,
2010), cet. 1, hal. 17. 28
Darmasyah, Strategi Pembelajaran Menyenangkan dengan Humor, (Jakarta: Bumi Aksara,
2010), cet. 1, hal. 18. 29
Yatim Riyanto, Paradigma Baru Pembelajaran, (Jakarta: Kencana, 2009), cet. 1, Hal. 131. 30
Abdul Majid, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2006), cet. 3, hal. 38.
13
proses mengajar, agar tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan dapat tercapai
dan berhasil guna.31
2. Pembelajaran
a. Mengajar
Dalam dunia pendidikan istilah mendidik dan mengajar dapat dibedakan,
pada hakikatnya kedua istilah tersebut tidak dapat dipisahkan secara
dikotomis. Sebab pada kenyataannya antara pendidikan dan pengajaran ada
suatu proses yang tidak dapat dipisahkan. Seorang pendidik dalam proses
belajar mengajar selalu terlibat dalam kegiatan (pengajaran) mengajar,
demikian juga pengajar pada saat melakukan kegiatan mengajar ia juga harus
menjaga moral dan teladan terhadap anak didiknya.32
Sebagian para ahli mengatakan bahwa mengajar adalah menanamkan
pengetahuan sebanyak-banyaknya dalam diri anak peserta didik. Dalam hal ini
guru memegang peranan utama, sedangkan siswa tinggal menerima, bersifat
pasif. Ilmu pengetahuan yang diberikan kepada siswa kebanyakan hanya
diambil dari buku-buku pelajaran, tanpa dikaitkan dengan realitas kehidupan
sehari-hari siswa. Pelajaran serupa ini disebut intelaktualistis.33
Mengajar pada dasarnya merupakan suatu usaha untuk menciptakan
kondisi atau sistem lingkungan yang mendukung dan memungkinkan untuk
berlangsungnya proses belajar mengajar.34
b. Belajar
Dalam Kamus Besar bahasa Indonesia, secara etimologis belajar memiliki
arti berusaha memperoleh kepandaian atau ilmu.35
Belajar menurut Cronbach
31
Ahmad Sabri, Strategi Belajar Mengajar Micro Teaching, (Jakarta: PT Ciputat Press,
2005), cet. 1, hal. 1. 32
Moh. Roqib, Ilmu Pendidikan Islam Pengembangan Pendidikan Integratif, di Sekolah,
Keluarga dan Masyarakat, (Yogyakarta: LKIS, 2009), cet 1, hal. 37. 33
http://raflengerungan.wordpress.com/korupsi-dan-pendidikan/pengertian-mengajar-
didaktik. diakses tanggal 24 Februari 2015 34
Sardiman, Interuksi dan Motivasi Belajar Mengajar, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2004), hal.
45 35
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasonal, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Balai Pustaka, 2001), eds. 3, hal.. 17
14
adalah belajar menurut pengalaman, dengan pengalaman tersebut pelajar
menggunakan seluruh panca indranya.36
Anthony Robbins mendefinisikan belajar sebagai proses menciptakan
hubungan antara sesuatu pengetahuan yang sudah dipahami dengan
pengetahuan yang baru.37
Belajar secara umum dapat diartikan sebagai perubahan pada individu
kearah yang lebih baik atau positif meliputi aspek keterampilan, sikap,
kebiasaan, pengetahuan dan kecakapan yang terjadi melalui pengalaman dan
bukan karena perubahan atau pertumbuhan tubuh atau karakter seorang sejak
lahir.
c. Pembelajaran
Dalam proses pendidikan di sekolah tugas utama guru adalah mengajar
sedangkan tugas utama siswa adalah belajar. Selanjutnya berkaitan antara
belajar dan mengajar itulah yang disebut dengan pembelajaran.38
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, pembelajaran berasal dari kata
dasar “ajar” yang berarti petunjuk yang diberikan kepada orang supaya
diketahui ditambah dengan awalan “pe” dan akhiran “an” menjadi
“pembelajaran” yang berarti proses, cara, perbuatan menjadikan orang atau
makhluk hidup belajar. 39
Pembelajaran merupakan aspek kegiatan manusia yang komplek, yang
tidak sepenuhnya dapat dijelaskan. Secara sederhana pembelajaran adalah
produk interaksi berkelanjutan antara pengembangan dan pengalaman hidup.
Dalam bahasa yang lebih komplek, pembelajaran hakikatnya adalah usaha
36
Baharudin dan Nurwahyuni, Teori Belajar dan Pembelajaran, (Jogjakarta: Arruzz Media,
2008), cet. 3, hal. 13. 37
Trianto, Mendisain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif, (Jakarta: Prenada Media
Group, 2010), cet. 2, hal 15. 38
Wina Sanjaya, Pembelajaran dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi,
(Jakarta: Kencana, 2008), cet.3, hal 87. 39
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasonal, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Balai Pustaka, 2001), eds. 3, hal.. 17.
15
sadar dari seorang guru untuk membelajarkan siswanya (mengarahkan sumber
belajar siswa dengan sumber lainya) dalam rangka tujuan yang diharapkan.40
Secara singkat Muhaimin dalam buku Paradigma Baru Pembelajaran
mendefinisikan pembelajaran adalah upaya membelajarkan siswa untuk
belajar. Kegiatan pembelajaran akan melibatkan siswa mempelajari sesuatu
dengan cara efektif dan efisien.41
Pembelajaran atau pengajaran pada dasarnya merupakan kegiatan
guru/dosen menciptakan situasi agar siswa/mahasiswa belajar. Tujuan utama
dari pembelajaran atau pengajaran adalah agar siswa/mahasiswa belajar.42
Pembelajaran adalah suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur
manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan, dan prosedur yang saling
mempengaruhi mencapai tujuan pembelajaran.43
Dengan demikian dari pengertian yang disebutkan diatas penulis dapat
mengambil kesimpulan, pada dasarnya pembelajaran adalah suatu proses atau
cara menjadikan makhluk hidup belajar dengan mengkombinasikan unsur
manusia, materi, fasilitas, perlengkapan dan prosedur.
Dalam ilmu Psikologi Pendidikan pula di jelaskan definsisi pembelajaran
dari perspektif yang berbeda. Seperti yang di jelaskan Jeanne Ellis Ormrod,
mendefinisikan pembelajaran sebagai perubahan jangka panjang dalam
representasi atau asosiasi mental sebagai hasil dari pengalaman. Dan dia
membagi definisi tersebut membaginya dalam tiga bagian. Pertama,
pembelajaran adalah perubahana jangka panjang, yaitu lebih dari sekedar
menggunakan informasi secara singkat, namun tidak selalu tersimpan
selamanya. Kedua, pembelajaran melibatkan representasi atau asosiasi
mental- entitas dan interkoneksi internal yang menyimpan pengetahuan dan
40
Trianto, Mendisain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif, (Jakarta: Prenada Media
Group, 2010), cet. 2, hal 17. 41
Yatim Riyanto, Paradigma Baru Pembelajaran, (Jakarta: Kencana, 2009), cet. 1, hal. 131. 42
Nana Syaodih, Kurikulum dan Pembelajaran Kompetensi, (Bandung: Refika Aditama,
2012), cet. 1, hal. 103. 43
Oemar Hamalik, Kurikulum dan Pembelajaran, (Bandung, Pakar Raya, 1993), hal. 70.
16
keterampilan baru yang diperoleh. Ketiga, pembelajaran adalah perubahan
yang di hasilakan dari pengalaman. 44
Ada empat strategi dasar dalam belajar mengajar yang meliputi hal-hal
berikut:45
1. Mengidentifikasi serta menetapkan spesifikasi perubahan tingkah laku dan
kepribadian anak didik sebagaimana yang diharapkan.
2. Memilih sistem pendekatan belajar mengajar berdasarkan aspirasi dan
pandangan hidup masyarakat.
3. Memilih dan menetapkan prosedur, metode, dan teknik belajar mengajar
yang di anggap paling tepat dan efektif sehingga dapat di jadikan
pegangan oleh guru dalam menunaikan kegiatan mengajarnya.
4. Menetapkan norma-norma dan batas minimal keberhasilan atau kriteria
serta standar keberhasilan sehingga dapat dijadikan pedoman oleh guru
dalam melakukan evaluasi.
Setelah mengetahui definisi dan pengertian dari pembelajaran secara
umum ada kiranya kita mengetahui prinsip-prinsip dari pembelajaran itu
sendiri utamanya menurut pandangan Islam. Munzir Haitami dalam bukunya
Menggagas Kembali Pendidikan Islam, mengulas tentang prinsip-prinsip
pembelajaran islam diantaranya:46
Pertama, Prinsip Integritas, suatu prinsip yang seharusnya dianut adalah
bahwa dunia ini merupakan jembatan menuju kampung akhirat. Karena itu,
mempersiapkan diri secara utuh merupakan hal yang tidak dapat dielakan agar
masa kehidupan di dunia ini benar-benar bermanfaat untuk bekal yang akan
dibawa ke akhirat. Perilaku yang terdidik dan nikmat Tuhan apapun yang
didapat dalam kehidupan harus diabdikan untuk mencapai kelayakan-
44
Jeanne Ellis Ormrod, Psikologi Pendidikan Membantu Siswa Tumbuh dan Berkembang,
(Jakarta: PT Gelora Aksara Pratama, 2008), Ed. 6, hal. 269. 45
Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain, Strategi Belajar Mengajar, (Jakarta: Rieneka
Cipta, 2006), cet. 3, hal. 5-6. 46
Munzir Haitami, Menggagas Kembali Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Infinite Press, 2004),
hal. 25-30
17
kelayakan itu terutama dengan mematuhi keinginan Tuhan.47
Allah Swt
berfirman:
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu
dari (kenikmatan) duniawi…” (QS. Al Qashash [28] : 77)
Ayat ini menunjukan kepada prinsip integritas dimana diri dan segala
yang ada padanya dikembangkan pada satu arah, yakni kebajikan dalam
rangka pengabdian kepada Tuhan.
Kedua, prinsip keseimbangan, karena ada prinsip integritas, prinsip
keseimbangan merupakan kemestian, sehingga dalam pengembangan dan
pembinaan manusia tidak ada kesenjangan. Keseimbangan antara material dan
spiritual, unsur jasmani dan rohani. Banyak ayat Al-Qur‟an Allah
menyebutkan iman dan amal secara bersamaan, secara implisit hal ini
mengambarkan kesatuan yang tidak terpisahkan.48
“Demi masa, Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian,
kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat
menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya
menetapi kesabaran.” (QS. Al-„Ashr [103] : 77)
Ketiga, prinsip persamaan. Prinsip ini berakar dari konsep dasar tentang
manusia yang mempunyai kesatuan asal yang tidak membedakan derajat, baik
47
Munzir Haitami, Menggagas Kembali Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Infinite Press, 2004),
hal. 25 48
Munzir Haitami, Menggagas Kembali Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Infinite Press, 2004),
hal. 26-27
18
antara jenis kelamin, kedudukan sosial, bangsa, maupun suku, ras, atau warna
kulit. Sehingga budak sekalipun mendapatkan hak yang sama dalam
pendidikan.49
Keempat, prinsip pendidikan seumur hidup. Prinsip ini bersumber dari
pandangan mengenai kebutuhan dasar manusia dalam kaitannya keterbatasan
manusia, di mana manusia dalam sepanjang hidupnya dihadapkan pada
berbagai tantangan dan godaan yang dapat menjerumuskan dirinya sendiri ke
jurang kehinaan. Dalam hal ini dituntut kedewasaan manusia berupa
kemampuan untuk mengakui dan menyesali kesalahan dan kejahatan yang
dilakukan, di samping selalu memperbaiki kualitas dirinya. 50
sebagaimana
firman Allah Swt
“Maka Barangsiapa bertaubat (di antara pencuri-pencuri itu) sesudah
melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, Maka Sesungguhnya Allah
menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” (QS. Al-Maidah [5] : 39)
Kelima, prinsip keutamaan. Dengan prinsip ini ditegaskan bahwa
pendidikan bukanlah hanya proses mekanik melainkan merupakan proses
yang mempunyai ruh yang segala kegiatannya diwarnai dan ditujukan kepada
keutamaan-keutamaan tersebut terdiri dari nilai-nilai moral. Dengan prinsip
keutamaan ini, pendidik bukan hanya bertugas menyediakan kondisi belajar
bagi subjek didik, tetapi lebih dari itu turut membentuk kepribadiannya
dengan perlakuan dan teladan yang ditunjukan oleh pendidik tersebut.51
49
Munzir Haitami, Menggagas Kembali Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Infinite Press, 2004),
hal. 28 50
Munzir Haitami, Menggagas Kembali Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Infinite Press, 2004),
hal. 29 51
Munzir Haitami, Menggagas Kembali Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Infinite Press, 2004),
hal. 30
19
B. Strategi Pembelajaran Afektif
Dari pembahasan yang lalu mengenai strategi pembelajaran, pada dasarnya
strategi pembelajaran (mengajar) adalah tindakan nyata dari guru atau merupakan
praktek guru melakukan pengajaran melalui cara tertentu yang dinilai lebih efektif
dan efisien. Dengan kata lain, strategi mengajar adalah politik atau taktik yang
digunakan guru dalam proses pembelajaran di kelas.52
Kata afektif berasal dari bahasa Inggris affective. Wagnalls menyebutkan
bahwa affective is pertaining to or exciting affection.53
Kata affective sendiri
terbentuk dari kata kerja affect. Affect berarti kasih sayang, kesanyangan, cinta,
perasaan, emosi, suasana hati dan tempramen.54
Dalam istilah Psikologi, kata affect
yang berasal dari bahsa Inggris tersebut kemudian di Indonesiakan menjadi afek.55
Kata afek mendapatkan akhiran –if sehingga berubah menjadi afektif. Dalam
Kamus Umum Bahasa Indonesia menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan afektif
adalah: 1) Berkenaan dengan perasaan, 2) keadaan perasaan yang memengaruhi
keadaan penyakit (penyakit jiwa), 3) gaya atau makna yang menunjukan perasaan.56
Berdasarkan pengertian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa afektif itu
adalah masalah yang berkenaan adengan emosi (kejiwaan), kerkenaan dengan ini
terkait dengan suka, benci, simpati, antipasti, dan lain sebagainya. Dengan demikian
afektif adalah sikap batin seseorang.
Dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 pasal 3 dijelaskan bahwa
Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak
serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik, agar menjadi manusia
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
52
Ahmad Sabri, Strategi Belajar Mengajar Micro Teaching, (Jakarta: PT Ciputat Press,
2005), cet. 1, hal. 2. 53
Wagnalls, New College Dictionary, (New York: De Funk Company, 1956), hal. 20. 54
JP. Chaplin, Kamus Lengkap Psikologi, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006), hal. 13. 55
Effendi, S. Daftar Istilah Psikologi (Jakarta Pusat: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1978), hal. 1. 56
Haidar Putra D, Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia,
(Jakarta: Kencana, 2004), hal. 41
20
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
tanggung jawab.57
Dari rumusan tujuan pendidikan di atas, sarat dengan pembentukan sikap.
Dengan demikian, proses pendidikan yang dilakukan tidak hanya berfokus pada
memperoleh pengetahuan melainkan juga pembentukan sikap dan nilai.
Hal tersebut juga diperkuat Zakiah Daradjat dalam bukunya Metodik Khusus
Pengajaran Agama Islam, aspek yang bersangkut-paut dengan sikap mental, perasaan
dan kesadaran. Hasil belajar dalam aspek ini diperoleh memalui proses internalisasi,
yaitu pertumbuhan batiniah. Pertumbuhan itu terjadi ketika menyadari suatu nilai,
sehingga menuntun segenap pernyataan sikap, tingkah laku dan perbuatan.58
Pendidikan afektif berusaha mengembangkan aspek emosi atau perasaan
peserta didik agar menjadi seimbang, stabil dan matang.59
Sikap atau afektif erat
hubungannya dengan nilai yang dimiliki seseorang. Oleh karenannya, pendidikan
sikap pada dasarnya adalah pendidikan nilai.
Strategi pembelajaran afektif merupakan suatu metode dalam proses
pembelajaran yang menekankan pada nilai dan sikap yang diukur, oleh karena itu
menyangkut kesadaran seorang yang tumbuh dari dalam.60
Hasil belajar afektif tidak dapat dilihat bahkan diukur seperti halnya dengan
bidang kognitif. Guru tidak dapat langsung mengetahui apa yang begejolak dalam
hati anak, apa yang dirasakanya atau dipercayainya.61
Ranah Afektif ini oleh Krathwohl dan kawan-kawan di rinci ke dalam lima
jenjang yaitu :62
1. Receiving (Penerimaan) adalah kepekaan seseorang dalam menerima
rangsangan (stimulus) dari luar yang datang pada dirinya dalam bentuk
57
Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses pendidikan, (Jakarta:
Kencana 2008), cet. 5, hal. 273 58
Zakiah Daradjat, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008),
cet. 4, hal 201 59
Sutarjo Adisusilo, Pembelajaran Nilai – Karakter, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2012),
cet. 1, hal. 69. 60
Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran, (Jakarta: Kencana 2007), hal. 272. 61
S Nasution, Kurikulum dan Pengajaran, (Bandung: Bina Aksara, 1989), hal. 69. 62 Anas Sudijono, Pengantar Evaluasi Pendidikan, (Jakarta: RajaGrafindo, 2011), cet. 11, hal.
54-56
21
masalah, situasi, gejala dan lain-lain. Receiving juga sering diberi
pengertian sebagai kemauan untuk memperhatikan suatu kegiatan atau
suatu objek. Pada jenjang ini peserta didik dibina agar mereka bersedia
menerima nilai atau nilai-nilai yang diajarkan kepada mereka, dan mereka
mau menggabungkan diri ke dalam nilai itu atau mengidentikkan diri
dengan nilai itu. Contoh hasil belajar ini, peserta didik menyadari bahwa
disiplin wajib ditegakan, sifat malas dan tidak disiplin harus disingkirkan.
2. Responding (Menanggapi) mengandung arti “adanya partisipasi aktif”.
Jadi kemampuan menanggapi adalah kemampuan yang dimiliki oleh
seseorang untuk mengikutsertakan dirinya secara aktif dalam fenomena
tertentu dan membuat reaksi terhadapnya dengan salah satu cara. Contoh
hasil belajar ranah afektif jenjang responding adalah peserta didik tumbuh
hasratnya untuk mempelajari lebih jauh atau menggali lebih dalam tentang
kedisiplinan.
3. Valuing (Menilai = menanggapi). Menilai atau menghargai artinya
memberikan nilai atau memberikan penghargaan terhadap suatu kegiatan
atau objek, sehingga apabila kegiatan itu tidak dikerjakan, dirasakan akan
membawa kerugian atau penyesalan. Dalam kaitannya dengan proses
belajar mengajar, peserta didik di sini tidak hanya mau menerima nilai
yang diajarkan tetapi mereka telah berkemampuan untuk menilai konsep
atau fenomena, yaitu baik buruk. Bila sesuatu ajaran yang telah mampu
mereka nilai dan telah mampu untuk mengatakan “itu adalah baik”, maka
ini berarti bahwa peserta didik telah menjalani proses penilaian. Contoh
hasil belajar jenjang Valuing adalah tumbuhnya kemauan yang kuat pada
diri peserta didik untuk berlaku disiplin, baik di sekolah, di rumah maupun
di tengah-tengah kehidupan masyarakat.
4. Organization (mengatur atau mengorganisasikan) artinya mem-
pertemukan perbedaan nilai sehingga terbentuk nilai baru yang lebih
universal, yang membawa kepada perbaikan umum. Contoh hasil belajar
afektif jenjang organization adalah peserta didik mendukung penegakkan
22
disiplin nasional yang telah dicanangkan oleh Presiden Soeharto pada
Peringatan Hari Kebangkitan Nasional Tahun 1995.
5. Characterization by a Value or Value Complex (Karakterisasi dengan
suatu nilai atau kompleks nilai), yakni keterpaduan semua nilai yang telah
dimiliki seseorang, yang memepengaruhi pola kepribadian dan tingkah
lakunya. Nilai ini telah tertanam secara konsisten pada sistemnya dan telah
mempengaruhi emosinya. Ini adalah merupakan tingkatan afektif
tertinggi, karena sikap batin telah benar-benar bijaksana. Ia telah memiliki
philosophy of life yang mapan. Contoh hasil belajar afektif pada jenjang
ini adalah siswa telah memiliki kebulatan sikap wujud peserta didik
menjadikan perintah Allah swt yang tertera dalam al-Qur‟an pada surat al-
„Ashr sebagai pegangan hidupnya dalam hal yang menyangkut
kedisiplinan, baik di sekolah, di rumah maupun di tengah-tengah
kehidupan masyarakat.
Setelah proses dari jenjang di atas maka akan mendapati ciri-ciri hasil belajar
afektif yang dapat terlihat pada tingkah laku peserta didik seperti, perhatiannya
terhadap mata pelajaran tertentu, kedisiplinannya dalam mengikuti pelajaran
motivasinya yang tinggi untuk tahu lebih banyak mengenai pelajaran tertentu,
penghargaan atau rasa hormatnya terhadap guru dan lain sebagainya.63
Inilah berbagai gambaran tentang kompetensi yang harus dikembangkan
melalui proses pembelajaran dalam kelas, yang untuk aspek afektif tersebut tidak
cukup hanya dengan proses pembelajaran yang lebih melibatkan mereka dalam
pembahasannya, tetapi juga contoh-contoh nyata sehingga mereka dapat
memperlihatkan respon yang terukur.64
Tingkah laku afektif adalah tingkah laku yang menyangkut keanekaragaman
perasaan, seperti takut, marah, sedih, gembira, kecewa, senang, benci, dan
63
Anas Sudijono, Pengantar Evaluasi Pendidikan, (Jakarta: RajaGrafindo, 2011), cet. 11, hal.
54 64
Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan Demokratis, (Jakarta: Kencana, 2004), Cet. 1, hal.
72
23
sebagainya. Tingkah laku seperti ini tidak terlepas dari pengaruh pengalaman belajar.
Oleh karenanya, ia juga dapat dianggap sebagai perwujudan perilaku belajar.
Seorang siswa misalnya, dapat dianggap sukses secara afektif dalam belajar
agama apabila ia telah menyenangi dan menyadari dengan ikhlas kebenaran ajaran
agama yang ia pelajari, lalu menjadikannya sebagai “sistem nilai diri”. Kemudian,
pada gilirannya ia menjadikan sistem nilai ini sebagai penuntun hidup, baik dikala
suka maupun duka.65
Seperti yang telah di singgung di atas, pembahasan tentang sikap atau afektif
erat hubungannya dengan dengan nilai yang dimiliki seseorang. Oleh karenannya,
pendidikan sikap atau afektif pada dasarnya adalah pendidikan nilai.
C. Pengertian Nilai, Moral dan Sikap
Sudah diterangkan dalam pembahasan sebelumnya bahwa strategi
pembelajaran yang berfokus pada ranah afektif siswa erat hubungannya dengan
dengan nilai, emosi dan sikap. Untuk itu agar memudahkan dan dapat dipahami lebih
mendalam apa yang ingin dicapai oleh penulis alangkah baiknya penulis
menerangkan tentang pengertian nilai, emosi dan sikap.
Nilai berasal dari bahasa Latin vale‟re yang artinya berguna, mampu akan,
berdaya, berlaku, sehingga nilai diartikan sebagai sesuatu yang dipandang baik,
bermanfaat dan paling benar menurut kenyakinan seseorang atau sekelompok
orang.66
Nilai (value) adalah suatu norma atau standar yang telah diyakinni atau
secara psikologis telah menyatu dalam diri individu.67
Nilai adalah suatu konsep yang berada dalam pikiran manusia yang sifatnya
tersembunyi, tidak berada didalam dunia yang empiris, nilai tersebut berhubungan
langsung dengan pandangan seseorang yang tidak bisa dilihat, diraba tapi bisa
dirasakan langsung oleh orang yang bersangkutan.68
65
Muhibbin Syah, Psikologi Belajar, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), hal. 125 66
Sutarjo Adisusilo, Pembelajaran Nilai – Karakter, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2012),
cet. 1, hal. 56 67
Abdul Majid, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2006), cet. 3, hal. 51. 68
Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses pendidikan, (Jakarta:
Kencana 2008), cet. 5, hal. 274
24
Nilai adalah ukuran baik-buruk, benar-salah, boleh-tidak boleh, indah-tidak
indah, suatu perilaku atau pernyataan yang berlaku dalam kehidupan suatu
masyarakat. Oleh karena itu, nilai mendasari sikap dan perilaku seseorang dalam
kehidupannya di masyarakat.69
Moral adalah ajaran tentang baik buruk perbuatan dan kelakuan, akhlak,
kewajiban, dan sebagainya. Dalam moral diatur segala perbuatan yang dinilai tidak
baik dan perlu dihindari. Moral berkaitan dengan kemampuan untuk membedakan
antara perbuatan yang benar dan yang salah. Dengan demikian, moral merupakan
kendali dalam bertingkah laku.
Sedangkan sikap secara umum diartikan sebagai kesediaan bereaksi individu
terhadap sesuatu hal. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan
tetapi berupa kecenderungan (predisposisi) tingkah laku. Jadi sikap merupakan
kesiapan untuk bereaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu
penghayatan terhadap objek tersebut.70
Menurut Muhubbin Syah dalam bukunya Psikologi Belajar, menjelaskan
sikap adalah gejala internal yang berdimensi afektif berupa kecenderungan untuk
mereaksi atau merespons (response tendency) dengan cara yang relatif tetap terhadap
objek orang, barang, dan sebagainya, baik secara positif maupun negatif.71
Sama halnya seperti yang diungkapkan W.S. Winkel dalam bukunya
Psikologi Pengajaran mengenai sikap, orang yang bersikap tertentu cenderung
menerima atau menolak suatu obyek berdasarkan penilain terhadap obyek itu,
berguna/berharga baginya atau tidak.72
Dalam sikap dapat dibedakan tiga aspek, yaitu aspek kognitif, aspek afektif
dan aspek konatif. Misalnya, seorang mengetahui bahwa mobil yang berukuran besar
membutuhkan bahan bakar banyak dan, karena itu, biaya operasi menjadi tinggi
(aspek kognitif). Dia tidak suka mengeluarkan uang banyak untuk mengoperasikan
mobil besar, hanya demi menjaga gengsi (aspek afektif). Maka, dia tidak hendak
69
Enung Fatimah, Psikologi Perkembangan (Perkembangan Peserta Didik), (Bandung:
Pustaka Setia, 2006), hal. 120. 70
Enung Fatimah, Psikologi Perkembangan (Perkembangan Peserta Didik), (Bandung:
Pustaka Setia, 2006), hal. 121. 71
Muhibbin Syah, Psikologi Belajar, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), hal. 150 72
W.S. Winkel, Psikologi PengajaranI, (Jakarta: Grasindo, 1996), Cet. 4, hal . 104
25
membeli mobil besar dan hasrat membeli mobil yang lebih kecil (aspek konatif).
Aspek terakhir inilah yang paling berperan dalam mengambil tindakan atau
menentukan pilihan berdasarkan sikap tertentu.73
Sikap dan nilai (Value) kerap disamakan meskipun ada ahli yang memandang
nilai sebagai sikap sosial, yaitu sikap masyarakat luas terhadap sesuatu, orang-
perorangan dapat mengambil oper sikap sosial itu dan menjadikannya sikap pribadi,
atau menolaknya dan memutuskan sikap sendiri.74
D. Nabi Musa dan Nabi Khidir
1. Nabi Musa AS
Nabi Musa as adalah nabi yang diutus di daerah Mesir para ahli sejarah
menyebutkan bahwa Musa as dilahirkan sekitar tahun 1285 SM atau bertepatan
dengan tahun ke-7 pemerintahan Ramses II. Peristiwa kelahiran Musa as terjadi saat
kekalahan pertempuran yang diderita Fir‟aun dan bala tentara Mesir di Kadesh
Barnea melawan bala tentara Kerajaan Het yang berakibat pada penderitaan dan
penindasan orang-orang Israel di Mesir semakin besar. Di tengah penindasan inilah,
istri Imran (atau Amram), anak Yafet putra Lewi, melahirkan seorang bayi laki-laki.
Taurat menyebut bahwa Amram, ayah Musa as, menikah dengan bibinya, konon
bernama Yokhebed, saudara ayahnya, dan melahirkan Harun dan Musa.75
Adapun geneologi dari Nabi Musa adalah Musa bin Imran bin Fahis bin „Azir
bin Lawi bin Ya‟qub bin Ishaq bin Ibrahim bin Azara bin Nahur bin Suruj bin Ra‟u
bin Falij bin „Abir bin Syalih bin Arfahsad bin Syam bin Nuh.76
Menurut ahli nujum kerajaan Fir‟aun, memberitahu bahwa ada seorang bayi
laki-laki dari kalangan Bani Israil yang akan menjadi musuh dan bahkan
membinasakan Fir‟aun.
Serentak raja Fir‟aun mengeluarkan perintah agar membunuh semua bayi laki-
laki yang lahir di lingkungan kerajaannya, tanpa terkecuali. Yokhebed, ibu yang saat
itu melahirkan Nabi Musa juga tak luput dari rasa cemas dan takut akan keselamatan
73
W.S. Winkel, Psikologi PengajaranI, (Jakarta: Grasindo, 1996), Cet. 4, hal . 105 74
W.S. Winkel, Psikologi PengajaranI, (Jakarta: Grasindo, 1996), Cet. 4, hal . 104 75
Amanullah Halim, Musa Versus Fir‟aun, (Jakarta: Lentera Hati, 2011), cet. 1, hal. 39. 76
http://biografi-tokoh-ternama.blogspot.com/2014/0/kisah-nabi-laihissalam.html?m=1,
online tanggal 24 Februari 2015.
26
bayi laki-lakinya. Atas petunjuk dari Allah, bayi laki-laki tersebut (Musa) dimasukan
kedalam peti dan dilepaskan ke sungai Nil. Dan atas kehendak Allah, bayi tersebut
mengalir menuju arah istana, yang kemudian ditemukan dan diambil oleh istri
Fir‟aun. Demikianlah, akhirnya Nabi Musa as diasuh dan di besarkan di keluarga
kerajaan Fir‟aun.
Hingga ketika Musa telah mencapai usia dewasa, Allah mengaruniakannya
hikmah dan pengetahuan sebagai persiapan tugas kenabian dan risalah yang
diwahyukan kepadanya. Ketika itu Musa mengetahui dan sadar bahwa sebenarnya ia
hanyalah anak pungut di istana dan tidak setitik darah Fir‟aun pun mengalir di dalam
tubuhnya.
Dalam salah satu kisahnya, musa pernah membunuh salah satu kaum Fir‟aun
yang bernama Fatun. Karena tindakannya tersebut, pihak kerajaan memutuskan untuk
menangkap Musa. Namun Musa dapat lolos dan ia meninggalkan Mesir menuju
Madyan. Disana ia bertemu Shafura puteri Nabi Syu‟aib dan akhirnya menikah
dengannya.
Sepuluh tahun lebih ia pergi meninggalkan Mesir tanah kelahirannya, sebelum
ia memutuskan kembali pulang ke Mesir. Di tengah perjalannya, tepatnya di Thur
Sina, ia tersesat dan kehilangan arah. Dalam keadaan demikian, terlihatlah olehnya
sinar api yang menyala di atas lereng sebuah bukit. Di sinilah Nabi Musa mendapat
wahyu yang pertama yang diterimanya langsung dari Allah swt, sebagai tanda
kenabian.
Apabila kita membaca dan menyimak kisah sejarah Nabi Musa, niscaya kita
akan mendapati beliau adalah seorang nabi yang memiliki keistimewaan,
diantaranya:77
1. Nabi Musa di beri mukjizat oleh Allah berupa tongkat yang bisa berubah
menjadi ular besar, bisa membelah lautan, bisa memancarkan air, dan
sebagainya. Selain itu, beliau terkenal sebagai nabi yang punya kekuatan
fisik yang tangguh, sehingga apabila memukul seorang dengan satu kali
pukulan saja niscaya orang tersebut mati.
77
Mahmud asy-Syafrowi, Khidir as Nabi Misterius, Penguasa Samudra yang Berjalan
Secepat Kilat, (Yogyakarta: Mutiara Media, 2013), cet. 1, hal. 72-73.
27
2. Nabi Musa mendapat kitab Taurat, yang namanya tercantum dalam al-
Qur‟an, dan termasuk salah satu kitab yang wajib kita ketahui.
3. Nabi Musa termasuk dalam golongan nabi dan rasul yang digelari Ulul
„Azmi. Yakni para rasul yang memiliki kedudukan tinggi atau istimewa
karena ketabahan dan kesabaran dalam menyebarkan agama Allah.
4. Beliau adalah satu-satunya nabi yang diberi kehormatan biasa berbicara
langsung dengan Allah swt, yang mana kemudian digelari sebagai
Kalamullah.
Apakah telah sampai kepadamu kisah Musa?. Ketika ia melihat api, lalu
berkatalah ia kepada keluarganya: "Tinggallah kamu (di sini), Sesungguhnya aku
melihat api, Mudah-mudahan aku dapat membawa sedikit daripadanya kepadamu
atau aku akan mendapat petunjuk di tempat api itu". Maka ketika ia datang ke tempat
api itu ia dipanggil: "Hai Musa. Sesungguhnya aku Inilah Tuhanmu, Maka
tanggalkanlah kedua terompahmu; Sesungguhnya kamu berada dilembah yang Suci,
Thuwa. Dan aku telah memilih kamu, Maka dengarkanlah apa yang akan
diwahyukan (kepadamu).
Dikisahkan, suatu hari Nabi Musa berkhutbah di hadapan Bani Israil. Pada
saat itu ada salah satu dari kaumnya melontarkan sebuah pertanyaan kepadanya.
“Siapa manusia yang paling dalam ilmunya?” Musa menjawab, “Saya”. Allah Swt
mencela Musa yang tidak mengembalikan ilmu keada Allah. Kemudian Allah
28
mewahyukan kepada Musa bahwasannya seorang hamba-Ku berada ditempat
bertemunya dua laut dia lebih pintar daripadamu. Kemudian Musa bertanya,
“Bagaimana aku dapat bertemu dengannya?”. Allah berfirman, “Ambillah seekor
ikan lalu tempatkan ia di wadah. Maka, dimana engkau kehilangan ikan itu, disanalah
dia.78
2. Khidir AS
Khidir seorang misterius yang dituturkan oleh Allah dalam Al-Qur‟an pada
surah Al-Kahfi ayat 65-82. Selain kisah tentang Khidir yang mengajarkan tentang
ilmu dan kebijaksanaan kepada nabi Musa asal usul dan kisah lainnya tentang Khidir
tidak banyak disebutkan.
Selain dalam Al-Qur‟an pada surah Al-Kahfi ayat 65-82 terdapat juga dalam
hadis shahih yang di riwayatkan oleh Abi Hurairah ra:
سلم قال : اوما سمي الخضر علي , عه الىبي صل الل عى ريرة رضي الل عه أبي
خضراء )راي البخار( تز مه خلف ي ت ة بيضاء, فإذا جلس عل فر أو
Dari Abi Hurairah ra, dari Rasulallah saw, bersabda: “Sesungguhnya ia
dinamakan Khidir karena ia duduk di atas bulu yang berwarna putih sehingga
bekasnya menjadi hijau. (HR Bukhari).79
Khidir secara harfiah berarti „seseorang yang hijau‟ melambangkan kesegaran
jiwa, warna hijau melambangakan kesegaran akan pengetahuan. Qurais Shihab
menambahkan, agaknya penamaan serta warna itu sebagai simbol keberkatan yang
menyertai hamba Allah yang istimewa itu.80
Dalam kisah literatur Islam, satu orang bisa bermacam-macam sebutan nama
dan julukan yang disandang oleh Khidir. Beberapa mengatakan Khidir adalah
gelarnya dan yang lain menganggapnya sebagai nama julukan.81
Al-Maraghi
78
Muhammmad bin Ismail Abu Abdillah al-Bukhori, Jami‟ Shahih al-Mukhtashor min Umri
Rasulallah wa Sunaninhi wa Ayyamih, (Beirut: Daar Ibnu Katsir, 1987), cet. 3, hal 1757. Hadis no
4450. 79
Imam Bukhari, Shahih al-Bukhari Kitab Tafsir al-Qur‟an no. 3221. 80
M Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an, jilid VIII ,
(Jakarta: Lentera Hati, 2002), cet. 1, hal 94. 81
http://id.m.wikipedia.org/wiki/khidir, online tanggal 1 april 2015
29
menyebutkan bahwa nama khidir adalah laqab untuk teman Musa yang bernama
Balwan bin Mulkan.82
Dalam bukunya Khidir as yang ditulis oleh Mahmud ash-syafrowi, selain
Balwan bin Mulkan ada beberapa nama yang diperselisihkan sebagai nama asli dari
Khidir, diantaranya:83
1. Talia bin Malik
2. Yasa‟
3. „Amir
4. Al-Mu‟ammar
5. Urmiya
6. Khadrun
Sosok nabi Khidir yang menurut jumhurul mufasirin sebagai nabi yang
dijadikan oleh nabi Musa sebagai gurunya.
Alasan lain kenapa Khidir disebut sebagai guru bagi Musa adalah karena
beliau di karuniai ilmu Laduni. Sebagai mana yang disebutkan dalam Firman Allah
swt:
…
“…dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.” (QS. Al-
Kahfi: 65)
Menurut para ahli tafsir, yang dimaksud “ilmu” pada ayat di atas adalah ilmu
yang berkaitan dengan hal-hal yang gaib, atau ilmu khusus yang langsung dari Allah
atau ilmu laduni. Laduni adalah suatu ilmu yang diberikan langsung oleh Allah
kepada hamba-Nya tanpa melalui proses belajar, tanpa guru, bahkan tanpa melalui
perantara atau sebab apa pun.84
82
Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, jilid XV, (Mesir: Maktabah Mustafa al-
Babi al-Halabi wa awladih, , 1946), hal 175. 83
Mahmud asy-Syafrowi, Khidir as Nabi Misterius, Penguasa Samudra yang Berjalan
Secepat Kilat, (Yogyakarta: Mutiara Media, 2013), cet. 1, hal. 12. 84
Mahmud asy-Syafrowi, Khidir as Nabi Misterius, Penguasa Samudra yang Berjalan
Secepat Kilat, (Yogyakarta: Mutiara Media, 2013), cet. 1, hal. 18.
30
Demikianlah keduanya dikisahkan dan diabadikan dalam Al-Qur‟an surat al-
Kahfi ayat 60-82 yang mana kisah tersebut banyak sekali ibrah yang dapat dipetik
dan diambil pelajaran terlebih dalam segi pendidikan.
E. Kajian yang Relevan
Dalam penelitian skripsi ini penulis mendapatkan kajian yang relevan selama
proses penelitian dan penulisan, yang membahas Qur‟an surat al-Kahfi ayat 60-82.
Terdapat dalam beberapa skripsi yang disusun oleh mahasiswa UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, diantaranya skripsi yang di tulis oleh Ahmad Syaikhu yang
berjudul “Proses Pembelajaran Dalam Al-Qur‟an (telaah Kisah Nabi Musa dan Nabi
Khidir dalam QS Al-Kahfi [18];60-82)”, dengan kesimpulan proses pembelajaran
merupakan serangkaian kegiatan yang mengantarkan peserta didik menuju sasaran
pembelajaran yang diinginkan. Proses pembelajaran Musa menunjukan betapa Musa
adalah seorang peserta didik yang masih awam tentang ilmu yang diberikan gurunya.
Hal ini mengisyaratkan kepada Musa untuk mengakui bahwa di atas bumi ini masih
ada yang lebih pintar darinya. Selain itu, pembelajaran yang baik adalah ketika guru
dan murid sama aktif dalam proses pembelajaran.
Dan skripsi yang di tulis oleh Abdul Yasir dengan judul “Nilai-nilai Motivasi
Belajar Yang Terkandung Dalam Kisah Nabi Musa dan Khidir (kajian Tafsir Al-
Qur‟an Surat Al-Kahfi Ayat 60-82)”, dengan kesimpulan bahwa terdapat nilai
motivasi belajar nabi Musa kepada Khidir yang dibuktikan salah satunya dengan
perjalan yang dilakukan musa untuk bertemu dengan Khidir.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Objek dan Waktu Penelitian
Karena penelitian ini adalah bersifat kajian pustaka, maka yang menjadi objek
penelitian pada skripsi ini adalah buku-buku referensi dan literatur yang dapat
dipertanggung jawabkan yang terkait dengan pembahasan skripsi dengan judul
“Strategi Pembelajaran Afektif dalam Kisah Nabi Musa AS dan Nabi Khidir AS
(Analisis Tafsir Surat Al-Kahfi ayat 60-82)”.
Dalam penulisan skripsi ini penulis melakukan penelitian pada bulan Januari
2015 hingga Februari 2015.
B. Metode Penelitian
Dalam penelitian skripsi ini peneliti menggunakan metode studi pustaka atau
penelitian kepustakaan (library research) dimana peneliti menggunakan metode
penelitian analisis deskriptif-kualitatif. Metode kualitatif adalah metode yang
bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis fenomena, peristiwa, aktivitas
sosial, sikap, kepercayaan, persepsi, dan pemikiran orang secara individu maupun
kelompok.85
Penelitian ini lebih menekankan pada kekuatan analisis data pada sumber-
sumber data yang ada, yang didapatkan dari literatur berupa kitab-kitab, buku-buku
dan tulisan-tulisan lainnya serta dengan mengandalkan teori-teori yang ada, untuk
kemudian dianalisis dan diinterpretasikan secara luas dan mendalam. Untuk itu,
peneliti menggunakan pendekatan deskriptif kepustakaan dengan berdasarkan tulisan
yang mengarah pada pembahasan skripsi yang sedang peneliti kerjakan.
Adapun sumber pokoknya (primer) adalah
1. Al-Qur‟an.
31
85
Nana Syaodih Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: PT. Remaja
Remaja Rosdakarya, 2005), h. 60.
32
2. Tafsir Al-Mishbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur'an, karya M. Quraish
Shihab. Tafsir Al-Maraghi, karya Ahmad Mustafa Al-Maraghi.
Di samping hal tersebut, juga merujuk pada buku-buku pendukung (sekunder)
baik yang ada hubungan langsung maupun tidak langsung. Sumber-sumber
pendukung ini antara lain adalah:
1. Buku-buku Tafsir yang dianggap memadai dan mewakili.
2. Buku-buku yang berisikan ilmu-ilmu tentang al-Qur`an, atau yang dikenal dengan
„Ulum al-Qur‟an.
3. Kamus-kamus yang memuat daftar kata-kata al-Qur`an, yang mana isinya
merupakan petunjuk praktis untuk menemukan ayat-ayat. Dan dipakai pula
kamus-kamus lain yang relevan dengan pembahasan.
4. Sumber-sumber lain yang relevan dengan pembahasan.
Adapun metode yang digunakan dalam menafsirkan ayat yang dibahas dalam
skripsi ini, peneliti menggunakan metode Tahlily (analisis). metode ini berusaha
menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur‟an dari berbagai seginya, sesuai dengan
pandangan, kecenderungan, dan keinginan mufasirnya yang dihidangkannya secara
runtut sesuai dengan perurutan ayat-ayat dalam mushaf.86
Adapun aspek-aspek penting yang diperhatikan oleh mufassir dalam
menggunakan metode ini adalah:87
1. Menjelaskan arti kata-kata (mufradat) yang terkandung di dalam suatu
ayat yang ditafsirkan.
2. Menjelaskan asbab al-nuzul, baik secara sababi atau ibtida‟i.
3. Menyebutkan kaitan antara ayat yang satu dengan ayat yang lain (musaba
al-ayat) dan hubungan atara surat dengan surat yang lain baik sebelum
atau sesudahnya (musabah al-surah).
4. Menjelaskan hal-hal yang bisa disimpulkan dari ayat tersebut, baik yang
berkaitan dengan hukum, tauhid, akhlak, atau yang lainnya.
86
Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, (Tangerang: Lentera Hati, 2013) hlm, 378 87
Anshori LAL, Tafsir bil Ra‟yi, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2010), cet. 1, hlm. 77
33
Adapun teknik penulisan skripsi ini berpedoman pada buku “Pedoman
Penulisan Skripsi” yang telah distandarkan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
C. Fokus Penelitian
Dalam pembahasan skripsi ini, penulis hanya fokus pada kisah nabi Musa AS
dan Nabi Khidir As yang dijelaskan dalam al-Qur‟an surat al-Kahfi ayat 60-82,
dengan melihat penafsirannya serta menganalisa dengan merujuk kepada penafsiran
para ulama.
BAB IV
STRATEGI PEMBELAJARAN AFEKTIF
DALAM KISAH NABI MUSA AS DAN KHIDIR AS
A. Tafsir Ayat Surah Al-Kahfi
Surah ini, sebagaimana halnya surah-surah yang turun sebelum hijrah Nabi ke
madinah, berbicara tentang tauhid dan keniscayaan kebangkitan. Hanya saja berbeda
dengan banyak surah lainnya, uraian tersebut ditampilkan dalam bentuk kisah-kisah
yang menyentuh. 88
Dalam surat ini dikisahkan juga pengalaman ruhani yang dialami oleh nabi
Musa bersama salah seorang hamba pilihan Allah guna membuktikan bahwa dalam
hidup ini akal saja tidak cukup, tetapi harus disertai dengan keimanan kepada Yang
Maha Kuasa.89
Tafsir Ayat 60-61
60. Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada muridnya: "Aku tidak akan
berhenti (berjalan) sebelum sampai ke Pertemuan dua buah lautan; atau aku akan
berjalan sampai bertahun-tahun".
61. Maka tatkala mereka sampai ke Pertemuan dua buah laut itu, mereka
lalai akan ikannya, lalu ikan itu melompat mengambil jalannya ke laut itu.
34
88
M Quraish Shihab, Al-Lubâb Makna, Tujuan, dan Pelajaran daru Surah-Surah al-Qur‟an,
(Tangerang: Lentera Hati, 2012), cet. 1, hal. 278. 89
M Quraish Shihab, Al-Lubâb Makna, Tujuan, dan Pelajaran daru Surah-Surah al-Qur‟an,
(Tangerang: Lentera Hati, 2012), cet. 1, hal. 278.
35
Menurut al-Maraghi, mayoritas ulama berpendapat bahwa Musa yang
dimaksud di sini adalah Musa bin „Imran, nabi bagi Bani Israil yang mempunyai
mukjijat nyata dan Syari‟at yang terang, adapun pendapat ini didasarkan pada:90
1. Sesungguhnya Allah tidak menyebutkan nama Musa dalam kitab-Nya,
kecuali Musa yang dituruni Kitab Taurat itu. Maka, dengan disebutkannya
nama ini secara mutlak, maka bisa dipastikan bahwa yang dimaksud
adalah Musa pemilik Taurat. Dan sekiranya yang dimaksud adalah orang
lain yang mempunyai nama itu, tentulah dikenalkan dengan suatu sifat
yang bisa memastikan bahwa yang dimaksud adalah bukan Nabi Musa
pemilik Taurat, sehingga hilang keraguan.
2. Suatu riwayat yang dikeluarkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Sa‟id
bin Jabir. Bahwasanya saya pernah berkata kepada Ibnu abbas ra,
sesungguhnya Nauf Al-Bikaly bin Fudhalah, anak dari istri Ka‟ab salah
seorang sahabat Ali ra, menyangka bahwa Musa sahabat Khidir itu
bukanlah Musa Bani Israil, maka Ibnu Abbas Berkata, “Berdustalah
Musuh Allah itu”.91
Nama Musa telah di ulangi penyebutannya dalam al-Qur‟an sebanyak 136
kali, yang semuanya merujuk pada Nabi Musa, sang pemilik keteguhan hati (ulul
azmi).92
Kisah yang dipaparkan oleh al-Qur‟an tentang nabi Musa ini tidak disebutkan
bagaimana awalnya. Ibnu Abbas mendengar Ubai bin Ka‟ab berkata bahwa ia
mendengar Rasulallah Saw bersabda, Musa berdiri khutbah di hadapan Bani Israil,
kemudian ia ditanya, “Siapa manusia yang paling dalam ilmunya?” Musa menjawab,
“Saya”. Allah Swt mencela Musa yang tidak mengembalikan ilmu kepada Allah.
Kemudian Allah mewahyukan kepada Musa bahwasannya seorang hamba-Ku berada
ditempat bertemunya dua laut dia lebih pintar dari padamu. Kemudian Musa
bertanya, “Bagaimana aku dapat bertemu dengannya?”. Allah berfirman, “Ambillah
90
Ahmad Musthafa al-Maraghi, Terjemah Tafsir al-Maraghi, jilid XV, (Semarang: CV. Toha
Putra, 1988), cet . 1, hal 330. 91
Imam Bukhari, Shahih al-Bukhari Kitab Tafsir al-Qur‟an no. 4448 92
Allamah kamal FI, Tafsir Nurul Quran, (jakarta: Al-Huda, 2005), cet. 1, hlm. 119-120
36
seekor ikan lalu tempatkan ia di wadah. Maka, dimana engkau kehilangan ikan itu,
disanalah dia.93
Setelah nabi Musa mengetahui hal tersebut,dia bertekad untuk menemui
hamba Allah yang shalih tersebut untuk menimba ilmu darinya. Quraish shihab
menyebutkan, kata huquban (حقبا) yang menunjukan waktu yang lama ada yang
berpendapat setahun, tujuh puluh tahun, delapan puluh tahun atau lebih, atau
sepanjang masa.94
Pada pengembaraan nabi Musa mencari hamba Allah yang shalih itu, Musa
berjalan dengan seorang yang disebut dalam al-Qur‟an dengan istilah fata, pemuda
Mayoritas para ulama berpendapat bahwa pemuda yang dimaksud pada ayat .(الفثي)
tersebut adalah Yusya‟ bin Nun bin Afratsim bin Yusuf. Dia menjadi pelayan Musa
dan belajar pada beliau.95
Penggunaan kata fata dalam ayat ini, yang berarti pemuda
dan gagah berani, digunakan dalam pengertian anak muda dan pelayan, dan ia adalah
tanda kesopanan, kebaikan budi dan nama baik.96
Ayat ini tidak menjelaskan di mana (مجمع البحريه) majma‟al-bahrain/
pertemuan dua laut itu. Sementara ulama berpendapat bahwa ia di Afrika (Tunisia
sekarang). Syayid Quthub sebagaimana dikutip Quraish Shihab menguatkan pendapat
bahwa ia adalah laut Merah dan laut Putih. Sedang tempat pertemuan itu adalah di
Danau at-Timsah dan Danau al-Murrah, yang kini menjadi wilayah mesir atau pada
pertemuan antara Teluk Aqabah dan Suez di laut Merah.97
Ketika nabi Musa dan Yusya mulai melakukan perjalanan, dan ketika
keduanya sampai ditempat pertemuan dua laut, yaitu tempat yang Allah janjkan
kepada Musa akan bertemu dengan hamba shalih yang dituju, keduanya lupa akan
93
Muhammmad bin Ismail Abu Abdillah al-Bukhori, Jami‟ Shahih al-Mukhtashor min Umri
Rasulallah wa Sunaninhi wa Ayyamih, (Beirut: Daar Ibnu Katsir, 1987), cet. 3, hal 1757. Hadis no
4450. 94
M Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an, jilid VIII,
(Jakarta: Lentera Hati, 2002), cet. 1, hal 91. 95
Ahmad Musthafa al-Maraghi, Terjemah Tafsir al-Maraghi, jilid XV, (Semarang: CV. Toha
Putra, 1988), cet . 1, hal 331. 96
Allamah kamal FI, Tafsir Nurul Quran, (jakarta: Al-Huda, 2005), cet. 1, hlm. 119-120 97
M Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an, jilid VIII ,
(Jakarta: Lentera Hati, 2002), cet. 1, hal 91.
37
ikan mereka. Sehingga ikan itu menuju ke laut, dan air laut menjadi sebuah jembatan
yang menuangi ikan tersebut. dengan demikian, ikan itu mendapatkan lubang.98
Tafsir Ayat 62-64
62. Maka tatkala mereka berjalan lebih jauh, berkatalah Musa kepada
muridnya: "Bawalah kemari makanan kita; Sesungguhnya kita telah merasa letih
karena perjalanan kita ini".
63. Muridnya menjawab: "Tahukah kamu tatkala kita mecari tempat
berlindung di batu tadi, Maka Sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan
itu dan tidak adalah yang melupakan aku untuk menceritakannya kecuali syaitan dan
ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali".
64. Musa berkata: "Itulah (tempat) yang kita cari". lalu keduanya kembali,
mengikuti jejak mereka semula.
Ketika Musa dan muridnya telah melampaui tempat yang dituju di sekitar
pertemuan antara dua laut itu, dan terus berjalan pada sisa hari itu sampai malam,
sehingga Musa merasa lapar. Pada saat itulah Musa berkata kepada muridnya itu,
“Bawalah kemari makanan kita; sungguh kita telah merasakan kelatihan akibat
perjalanan ini”.
Ada hikmah terjadinya lapar dan letih yang menimpa nabi Musa ketika ia
telah melewati tempat tersebut adalah ia kemudian meminta makan, lalu teringat akan
98
Ahmad Musthafa al-Maraghi, Terjemah Tafsir al-Maraghi, jilid XV, (Semarang: CV. Toha
Putra, 1988), cet . 1, hal 337.
38
ikan bawaannya, sehingga ia kembali lagi ke tempat ia bertemu orang alim (khidir)
yang ia cari.99
Murid Musa berkata dengan menggambarkan keheranannya, “Tahukan
engkau wahai guru yang mulia bahwa ketika kita mencari tempat berlindung di batu
tadi, maka sesungguhnya aku lupa ikan itu dan tidaklah yang menjadikan aku
melupakannya kecuali syetan, dan aku lupa menceritakan kepada tuan, apa yang
terjadi pada ikan itu. Sesungguhnya ikan itu hidup lagi dan bergerak-gerak masuk ke
laut dengan menempuh jalannya yang aneh di laut itu. Yaitu, bahwa tempat
perjalannya seperti lengkungan dan liang. Dan tidak ada yang menjadikan aku lupa
untuk menyebutkan hal itu kecuali syetan.
Kemudian Musa berkata, “Apa yang terjadi pada ikan yang telah kamu
sebutkan itulah tempat atau tanda yang kita cari, karena hal itu tanda bahwa kita
akan memperoleh apa yang kita tuju sebenarnya.” Lalu keduanya kembali,
mengikuti jejak mereka semula, sehingga sampailah mereka ke batu besar itu.100
Tafsir Ayat 65-70
99
Ahmad Musthafa al-Maraghi, Terjemah Tafsir al-Maraghi, jilid XV, (Semarang: CV. Toha
Putra, 1988), cet . 1, hal 338. 100
Ahmad Musthafa al-Maraghi, Terjemah Tafsir al-Maraghi, jilid XV, (Semarang: CV.
Toha Putra, 1988), cet . 1, hal 339.
39
65. lalu mereka bertemu dengan seorang hamba diantara hamba-hamba
Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah
Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.
66. Musa berkata kepada Khidhr: "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu
mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan
kepadamu?"
67. Dia menjawab: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup
sabar bersama aku.
68. dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum
mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?"
69. Musa berkata: "Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai orang
yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusanpun".
70. Dia berkata: "Jika kamu mengikutiku, Maka janganlah kamu menanyakan
kepadaku tentang sesuatu apapun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu".
Banyak ulama yang berpendapat bahwa kata „abdan (عبدا) , hamba dalam ayat
ini adalah Nabi Khidir. Quraish Shihab menjelaskan, penafsiran kata „abdan beragam
dan bersifat irasional. Khidir sendiri bermakna hijau. Qurais Shihab menambahkan,
agaknya penamaan serta warna itu sebagai simbol keberkatan yang menyertai hamba
Allah yang istimewa itu.101
Al-Maraghi menyebutkan bahwa nama Khidir adalah laqab untuk teman Musa
yang bernama Balwan bin Mulkan. Sementara kebanyakan para ulama menyatakan
bahwa Khidir adalah nabi dengan alasan beberapa dalil. Pertama, firman Allah Swt,
“Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami” rahmat disini adalah nubuwwah
101
M Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an, jilid VIII ,
(Jakarta: Lentera Hati, 2002), cet. 1, hal 94.
40
berdasarkan firman Allah yang berbunyi, “ Apakah mereka membagikan rahmat dari
Tuhan-Mu”
Kedua, firman Allah Swt, “Telah Kami ajarakan kepadanya ilmu dari sisi
Kami” potongan ayat ini menunjukan bahwa Khidir telah diberi ilmu tanpa perantara
dan petunjuk tanpa seorang mursyil. Hal ini hanya didapati oleh para nabi.
Ketiga, Musa berbicara kepada Khidir, “Bolehkah aku mengikutimu supaya
kamu mengajarkan kepadaku ilmu” ayat ini menunjukan bahwa Musa ingin belajar
pada Khidir. Dan nabi tidak belajar kecuali kepada nabi. Keempat, Allah “dan
bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri” maksudnya, aku
mengerjakannya berdasarkan wahyu dari Allah. Dan ini menunjukan dalil
nubuwwah.102
Pada ayat 65 ini mengisyaratkan bahwa Khidir dianugrahi rahmat dan ilmu.
Penganugrahan rahmat dilukiskan dengan kata (مه عىدوا) sedang pengaugrahan ilmu
dengan kata )مه لدوا(, yang keduanya bermakna dari sisi Kami. Al-Biqa‟i menulis
bahwa menurut pandangan Abu al-Hasan al-Harrali, sebagaimana dikutip Quraish
Shihab, bahwa kata )عىد( „inda dalam bahasa Arab adalah menyangkut hal yang jelas
dan nampak, sedang kata )لد ن( ladun untuk sesuatu yang tidak tampak. Dengan
demikian yang dimaksud dengan rahmat oleh ayat diatas adalah “Apa yang nampak
dari kerahmatan hamba Allah yang saleh itu,” sedang yang dimaksud dengan ilmu
adalah “ilmu batin yang tersembunyi, yang pasti hal tersebut adalah milik dan berada
di sisi Allah semata.”103
Di sisi batu besar itulah, ketika Musa dan muridnya kembali lagi ke tempat
semula, mereka bertemu dengan seorang hamba Alllah, yaitu Khidir yang
mengenakan baju putih . maka Musa menyampaikan salam kepadanya, Khidir
berkata, “benarkah ada kedamaian di negeri ini”. Musa berkata, “Aku ini Musa”.
102
Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, jilid XV, (Mesir: Maktabah Mustafa al-
Babi al-Halabi wa awladih, , 1946), hal 175. 103
M Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an, jilid VIII ,
(Jakarta: Lentera Hati, 2002), cet. 1, hal 95.
41
“Musa dari Bani Israil?”, tanya Khidir. “Ya”, kata Musa. “Bolehkah aku
mengikutimu supaya mengajarkan kepadaku sesuatu dari apa yang telah diajarkan
Allah kepadamu untuk saya jadikan pedoman dalam urusanku ini, yaitu ilmu yang
bermanfaat dan amal saleh?”.
Khidir menjawab, “Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar
bersamaku, hai Musa. Karena sesungguhnya aku ini mempunyai ilmu-ilmu dari Allah
yang telah diajarkan kepadaku, yang tidak kamu ketahui, dan kamu juga mempunyai
ilmu dari Allah yang telah Dia ajarkan kepadamu, yang aku tidak ketahui.”
Hal itu kemudian dikuatkan dengan menunjukan alasan, kenapa Musa tidak
akan mampu bersabar. Khidir melanjutkan perkataannya, “Dan bagaimana kamu
akan bersabar, padahal kamu seorang Nabi yang akan menyaksikan hal-hal yang
akan saya lakukan, yang pada lainnya merupakan kemungkaran, sedang hakikatnya
belum diketahui, sedang orang yang saleh tidak akan mampu bersabar apabila
menyaksikan hal seperti itu, bahkan ia akan segera mengingkarinya.”
Musa berkata, “Insya Allah kamu akan mendapatiku sebagai seorang yang
sabar dalam menyertaimu tanpa mengingkari kamu. Dan aku tidak akan menentang
dalam sesuatu urusan yang kamu perintahkan kepadaku, yang tidak bertentangan
dengan zahir perintah Allah.”104
Khidir melanjutkan perkataannya kepada nabi Musa, “Bila kamu berjalan
bersamaku, janganlah kamu bertanya tentang sesuatu yang tidak kamu setujui
terhadapku. Sehingga, aku mulai menyebutkannya, lalu aku terangkan kepadamu
segi kebenarannya, karena sesungguhnya aku tidak akan melakukan sesuatu, kecuali
yang benar dan dibolehkan, sekalipun ada lahirnya tidak diperbolehkan.”
104
Ahmad Musthafa al-Maraghi, Terjemah Tafsir al-Maraghi, jilid XV, (Semarang: CV.
Toha Putra, 1988), cet . 1, hal 341.
42
Tafsir Ayat 71-73
71. Maka berjalanlah keduanya, hingga tatkala keduanya menaiki perahu
lalu Khidhr melobanginya. Musa berkata: "Mengapa kamu melobangi perahu itu
akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya?" Sesungguhnya kamu telah
berbuat sesuatu kesalahan yang besar.
72. Dia (Khidhr) berkata: "Bukankah aku telah berkata: "Sesungguhnya
kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan aku".
73. Musa berkata: "Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku dan
janganlah kamu membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku".
Setelah usai pembicaraan pendahuluan sebagaimana dilukisakan ayat-ayat di
atas, dan masing-masing telah menyampaikan serta menyepakati kondisi dan syarat
yang dikehendaki,105
maka keduanya berjalan mencari sebuah kapal, setibanya
mereka di tepi laut, mereka melihat sebuah kapal berlabuh. Pemilik kapal itu telah
mengenal Khidir diantara ketiga orang itu, kemudian Khidir meminta kepada pemilik
kapal agar mereka dapat ikut menumpang di atas kapalnya, maka ikutlah keduanya
tanpa di pungut upah.106
Quraish Shihab berpendapat bahwa kata inthalaqa (إوطلق) dipahami dalam
arti „berjalan dan berangkat dengan penuh semangat‟. Lalu penggunaan bentuk dual
105
M Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an, jilid VIII ,
(Jakarta: Lentera Hati, 2002), cet. 1, hal 102. 106
Ahmad Musthafa al-Maraghi, Terjemah Tafsir al-Maraghi, jilid XV, (Semarang: CV.
Toha Putra, 1988), cet . 1, hal 342.
43
dalam kata ini menunjukan bahwa dalam perjalanan hanya terdapat dua orang, yaitu
hamba saleh dan nabi Musa. Hal ini disebabkan karena maqam yakni derajat
keilmuan dan ma‟rifat pembantunya itu belum sampai pada tingkat yang
memungkinkannya ikut dalam pengembaraan ma‟rifat itu.107
Ketika mereka berada di atas kapal, dan sampailah mereka di tengah laut,
Musa melihat tiba-tiba Khidir mengambil kapak, lalu Khidir melubangi salah satu
papan dari kapal itu. Maka ditegurnya oleh Musa sebagai pertanda tidak setuju karena
tidak sesuai dengan syari‟at, Musa berkata, “Mengapa engkau melubangi kapal yang
akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya? Sungguh kamu telah berbuat
sesuatu kesalahan yang besar.”108
Kemudian Khidir menjawab, “Bukankah aku telah berkata, Sesungguhnya
kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama denganku”. Nabi Musa teringat janji yang
telah di sepakatinya dengan Khidir sebelum memulai pengembaraannya meminta
maaf atas kelalainya, “Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku dan
janganlah kamu membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku”.
Tafsir Ayat 74-76
74. Maka berjalanlah keduanya; hingga tatkala keduanya berjumpa dengan
seorang anak, Maka Khidhr membunuhnya. Musa berkata: "Mengapa kamu
107
M Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an, jilid VIII ,
(Jakarta: Lentera Hati, 2002), cet. 1, hal 102. 108
Ahmad Musthafa al-Maraghi, Terjemah Tafsir al-Maraghi, jilid XV, (Semarang: CV.
Toha Putra, 1988), cet . 1, hal 342.
44
membunuh jiwa yang bersih, bukan karena Dia membunuh orang lain?
Sesungguhnya kamu telah melakukan suatu yang mungkar".
75. Khidhr berkata: "Bukankah sudah kukatakan kepadamu, bahwa
Sesungguhnya kamu tidak akan dapat sabar bersamaku?"
76. Musa berkata: "Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah
(kali) ini, Maka janganlah kamu memperbolehkan aku menyertaimu, Sesungguhnya
kamu sudah cukup memberikan uzur padaku".
Setelah kedunya sampai dan melanjutkan perjalannya, mereka sampai pada
tempat dimana ada seorang anak yang sedang bermain dengan kawannya. Pada saat
itu, Khidir membunuh anak itu. Dalam Qur‟an tidak di jelaskan perihal bagaimana
cara Khidir membunuh anak tersebut.
Sebagaimana yang dikutip Quraish dari Sayyid Qutub, nabi Musa melihat hal
itu dengan penuh kesadaran dan ia tidak lupa karena besarnya peristiwa tersebut.109
Musa berkata, “mengapa kamu membunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia
membunuh orang lain? sesungguhnya kamu telah melakukan suatu kemungkaran.”
Pada ayat 74, Musa mengucapkan kata (وكرا) nukran, sedang pada ayat 71
mengucapkan (امرا) imran, karena membunuh anak adalah lebih buruk daripada
melubangi kapal. Sebab, melubangi kapal itu tidak mesti membinasakan suatu jiwa,
sebab boleh jadi tidak akan terjadi tenggelam. Sedangkan pada peristiwa ini,
merupakan pembinasaan terhadap jiwa, yang karenanya lebih Musa ingkari.110
Di sisi lain, peneguran Khidir yang kedua kalinya juga disertai penekanan. Ini
tampak pada penggunaan kata laka (لك), kepadamu. Adapun jika kita perhatikan
peneguran Khidir yang pertama tidak disertai kata laka. Hal ini menegaskan bahwa
109
M Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an, jilid VIII ,
(Jakarta: Lentera Hati, 2002), cet. 1, hal 104. 110
Ahmad Musthafa al-Maraghi, Terjemah Tafsir al-Maraghi, jilid XV, (Semarang: CV.
Toha Putra, 1988), cet . 1, hal 343.
45
kata itu memilikidaya tekan tersendiri. Demikian dijelaskan Quraish Shihab dan al-
Maraghi.
Musa berkata kepada Khidir, “Jika sesudahnya itu aku bertanya lagi
kepadamu tentang sesuatu diantara keajaiban perbuatanmu yang aku saksikan, dan
meminta kepadamu untuk menjelaskan hikmahnya, apalagi mendebat dan
menentangnya, maka engkau jangan lagi menjadikan aku sebagai temanmu.
Sesungguhnya kamu telah cukup memberukan uzur kepadaku untuk memisahkanku,
karena aku telah berkali-kali mengingkarinya.” Ini adalah perkataan orang yang
benar-benar menyesal, sehingga membuatnya mengaku secara jujur.111
Tafsir Ayat 77-78
77. Maka keduanya berjalan; hingga tatkala keduanya sampai kepada
penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu, tetapi
penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan
dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, Maka Khidhr menegakkan
dinding itu. Musa berkata: "Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk
itu".
78. Khidhr berkata: "Inilah perpisahan antara aku dengan kamu; kelak akan
kuberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar
terhadapnya.
111
Ahmad Musthafa al-Maraghi, Terjemah Tafsir al-Maraghi, jilid XVI, (Semarang: CV.
Toha Putra, 1988), cet . 1, hal 4.
46
Setelah peristiwa pembunuhan itu, Khidir dan Musa melanjutkan perajalanan
hingga sampailah pada suatu negaeri, yang mana keduanya meminta agar penduduk
memberi makan kepada mereka, tetapi penduduk itu tidak mau menjamu mereka.
Firman Allah Swt: (فابا ان يضيفما) fa‟abau an yudayyifuhuma/mereka
enggan mempersilahkan keduanya untuk singgah sebagai tamu mereka, tidak dengan
fa‟abau an yut‟imuhuma/mereka enggan memberi makan kepada (فاب ان يطعم ما)
keduanya, dengan maksud ungkapan itu lebih dapat memburukan mereka, mensifati
mereka dengan kehinaan dan kekikiran. Sebab, seorang yang mulia tentu hanya
menolak seorang yang meminta diberi makan, bukan menghinanya. Sebaliknya orang
yang mulia tidak akan mengusir tamu asing. Al-Maraghi menambahkan.112
Quraish Shihab menyebutkan, penyebutan penduduk negeri pada ayat 77
menunjukan betapa buruknya sifat penduduk negeri itu lantaran pada ayat-ayat lain
al-Qur‟an hanya menyebutkan negeri untuk menunjukan penduduknya. Terlebih,
pemintaan Musa dan Khidir bukanlah permintaan sekunder melainkan makanan
untuk dimakan.113
Kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu sebuah dinding yang
miring dan hampir roboh. Lalu Khidir mengusap dinding itu dengan tangannya,
sehingga dinding itu kembali tegak lurus. Hal tersebut menunjukan salah satu
mukjizat Khidir. Sontak saja musa berkata, “jika engkau mau, niscaya kamu
mengambil upah itu.” Musa berkata seperti itu untuk memberikan dorongan kepada
Khidir agar mengambil upah dari perbuatannya itu sehingga bisa membeli makan,
minuman, dan kepentingan hidup lainnya.114
Sebenarnya kali ini Nabi Musa tidak secara tegas bertanya, melainkan
memberi saran. Kendati demikian, karena dalam saran tersebut terdapat semacam
112
Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, jilid 16, (Mesir: Maktabah Mustafa al-
Babi al-Halabi wa awladih, , 1946), hal 5. 113
M Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an, jilid VIII ,
(Jakarta: Lentera Hati, 2002), cet. 1, hal 106. 114
Ahmad Musthafa al-Maraghi, Terjemah Tafsir al-Maraghi, jilid XVI, (Semarang: CV.
Toha Putra, 1988), cet . 1, hal 5.
47
unsur pertanyaan diterima atau tidak, maka ini pun telah dinilai sebagai pelanggaran
oleh Khidir. Saran Musa itu lahir setelah beliau melihat dua kenyataan yang bertolak
belakang. Penduduk negeri enggan menjamu, kendati demikian Khidir itu
memperbaiki salah satu dinding di negeri itu.115
Setelah tiga kali nabi Musa melakukan pelanggaran. Kini cukup sudah alaan
bagi hamba Allah itu untuk menyatakan perpisahan. Karena itu dia berkata, “inilah
masa atau pelanggaran yang menjadikan perpisahan antara aku denganmu wahai
Musa, apalagi engkau sendiri telah menyatakan kesediaanmu kutinggal jika engkau
melanggar sekali lagi.116
Mengapa kasus kali ini menjadi penyebab perpisahan, tidak kedua kasus
pertama, karena secara lahir yang pertama adalahperbuatan munkar, sehingga musa
mendapat uzur. Berbeda dengan sekarang, berbuat baik kepada orang yang berbuat
buruk itu bukan perbuatan munkar, melaikan perbuatan terpuji.117
Namun demikian sekalipun nabi Musa telah berbuat kesalahan karena
menyalahi perjanjian, sebelum perpisahan terlebih dahulu Khidir menberitahu
informasi atau kebenaran di balik peristiwa yang telah Musa alami selama
perjalannya.
Tafsir Ayat 79-81
115
M Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an, (Jakarta:
Lentera Hati, 2002), cet. 1, hal 106. 116
M Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an, (Jakarta:
Lentera Hati, 2002), cet. 1, hal 106. 117
Ahmad Musthafa al-Maraghi, Terjemah Tafsir al-Maraghi, jilid XVI, (Semarang: CV.
Toha Putra, 1988), cet . 1, hal 5.
48
79. Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja
di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada
seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera.
80. dan Adapun anak muda itu, Maka keduanya adalah orang-orang mukmin,
dan Kami khawatir bahwa Dia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada
kesesatan dan kekafiran.
81. dan Kami menghendaki, supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka
dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam
kasih sayangnya (kepada ibu bapaknya).
Khidir menjelaskan kepada Musa kebenaran dibalik peristiwa yang pertama
dialami yaitu ketika Khidir melubangi sebuah kapal yang ditumapanginya. Khidir
berkata, “Adapun apa yang telah aku perbuat terhadap bahtera /perahu, karena ia
milik kaum yang lemah, tidak mampu menolak kezaliman, sedang mereka
menggunakan bahtera/perahu itu untuk mencari nafkah, maka aku bermaksud
mencari dengan lubang yang aku buat, karena dihadapan mereka menunggu seorang
raja yang akan merampas setiap bahtera/perahu yang layak untuk dipakai dan
meninggalkan setiap bahtera/perahu yang mempunyai cacat.118
Hamba Allah yang saleh itu seakan-akan melanjutkan dengan berkata,
“dengan demikian apa yang kubocorkan itu bukanlah bertujuan menenggelamkan
penumpangnya, tetapi justru menjadi sebab terpeliharanya hak-hak orang miskin.”
Memang, melakukan kemadharatan yang kecil dapat dibenarkan guna menghindari
kemadharatan yang lebih besar.119
Selanjutnya hamba Allah yang saleh itu menjelaskan tentang latar belakang
peristiwa kedua. Dia berkata, “Dan adapun si anak yang aku bunuh itu, maka kedua
orang tuanya adalah dua orang mukmin yang mantap keimanannya, dan kami
118
Ahmad Musthafa al-Maraghi, Terjemah Tafsir al-Maraghi, jilid XVI, (Semarang: CV.
Toha Putra, 1988), cet . 1, hal 10. 119
M Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an, jilid VIII ,
(Jakarta: Lentera Hati, 2002), cet. 1, hal 107.
49
khawatir bahkan tahu, jika anak itu hidup dan tumbuh dewasa dia akan membebani
mereka berdua orang tuanya beban yang sangat berat terdorong oleh cinta
kepadanya, atau akibat keberanian dan kekejaman sang anak sehingga keduanya
melakukan kedurhakaan dan kekufuran. Maka, dengan membunuhnya kami yakni
aku dengan niat di dalam dada dan Allah swt, dengan kuasa-Nya menghendaki,
kiranya tuhan mereka berdua yakni Allah yang disembah oleh ibu bapak anak itu
mengganti bagi mereka berdua dengan anak lain yang lebih baik darinya lebih baik
dalam hal kesucian yakni sikap keberagamaannya dan lebih dekat yakni lebih mantap
dalam hal kasih sayang dan baktinya kepada kedua orang tuanya.120
Tafsir Ayat 82
82. Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota
itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang
Ayahnya adalah seorang yang saleh, Maka Tuhanmu menghendaki agar supaya
mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai
rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku
sendiri. demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat
sabar terhadapnya".
Ayat ini menjelaskan peristiwa terakhir, Khidir menjelaskan peristiwa ini
dengan menyatakan, “Sesungguhnya, faktor yang mendorong aku untuk menegakan
dinding ialah, karena dibawahnya terdapat harta benda simpanan milik dua orang
anak yatim yang berada di kota, sedang bapak mereka adalah seorang yang saleh.
120
M Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an, jilid VIII ,
(Jakarta: Lentera Hati, 2002), cet. 1, hal 108.
50
Allah berkehendak agar harta simpanan itu tetap berada dalam kekuasaan kepada
anak yatim itu, untuk memelihara hak mereka dan karena kesalehan bapak mereka.
Maka Allah memerintahkan kepadaku agar mendirikan kembali dinding itu, karena
kemaslahatan-kemaslahatan tersebut. Sebab, jika dinding itu roboh niscaya harta
simpanan itu hilang.121
Selanjutnya hamba Allah menegaskan, “Dan aku tidaklah melakukannya
yakni apa yang telah kulakukan sejak pembocoran perahu, sampai penegakan tembok
berdasar kemauanku sendiri. Tetapi semua adalah atas perintah Allah berkat ilmu
yang diajarka-Nya kepadaku. Ilmu itu pun kuperoleh bukan atas usahaku, tetapi
semata-mata anugerah-Nya. Demikian itu makna dan penjelasan apa yakni peristiwa-
peristiwa yang engkau tidak dapat sabar menhadapinya.”122
B. Ikhtisar Kisah Nabi Musa dan Khidir
Kisah ini bermula ketika Nabi Musa berkhutbah di depan Bani Israil, ada
salah seorang dari mereka kertanya kepada Musa, “siapakah orang yang paling
ilmunya?” saat itu Musa menjawab, “saya”. Dari jawaban Musa tersebut Allah
mengecam dan memberitahu bahwa ada seseorang yang Allah berikan kepadanya
ilmu yang Musa tidak ketahui. Kemudian, Allah menurunkan wahyu kepadanya agar
Musa menemui Khidir, dan membawa ikan dalam sebuah keranjang. Lalu di mana
ikan itu hilang, maka di situ Khidir berada.123
Allah memerintahkan kepada Musa
untuk menemuinya di pertemuan dua laut dan berguru kepadanya.
Nabi Musa berangkat untuk menemui gurunya bersama muridnya. Ketika
Musa beristirahat di suatu tempat, ikan yang dia bawa melompat menuju laut. Musa
melanjutkan perjalanan tanpa mengetahui bahwa ikannya telah hilang. Saat
perjalanan Musa merasa lapar dan meminta kepada muridnya untuk mengambil
makanan. Saat muridnya mengambil makanan, dia baru tersadar bahwa ikan yang
121
Ahmad Musthafa al-Maraghi, Terjemah Tafsir al-Maraghi, jilid XVI, (Semarang: CV.
Toha Putra, 1988), cet . 1, hal 12. 122
M Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an, jilid VIII ,
(Jakarta: Lentera Hati, 2002), cet. 1, hal 109. 123
Imam Bukhari, Shahih al-Bukhari, Kitab Tafsir al-Qur‟an no. 4725.
51
dibawa itu telah hilang. Maka dari itu Musa dan muridnya kembali ke tempat tadi
mereka istirahat.
Setelah sampai ke tempat ikan itu menghilang, Musa bertemu dengan
seseorang yang memakai pakaian putih yang bernama Khidir. Kemudian Musa
menyampaikan salam kepadanya dan memberitahukan maksud menemuinya. Musa
menyampaikan bahwa dia diperintahkan Allah untuk menemui dan berguru kepada
Khidir. Musa juga meminta agar Khidir mengizinkannya mengikuti perjalannya.
Mendengar maksud Musa, Khidir menyampaikan penilaiannya bahwa Musa
tidak akan bersabar mengikutinya. Khidir memberi syarat agar Musa tidak bertanya
sampai Khidir sendiri yang menjelaskanya.
Setelah menyaksikan peristiwa-peristiwa yang dilalui Musa ketika menyertai
Khidir, dan pertentangan yang dilakukan oleh Musa padahal Khidir telah
memberitahukan bahwa dia tidak akan bersabar bersamanya, sehingga akibatnya
adalah Khidir memisahkannya dan tidak menyertainya.
C. Strategi Pembelajaran Afektif dalam Kisah Nabi Musa AS dan Khidir AS
Pada pembahasan yang telah lalu telah dijelaskan bahwa guna menciptakan
pembelajran yang efektif, maka guru hendaknya menentukan terlebih dahulu strategi
pembelajran yang akan diterapkan di lapangan. Strategi pembelajaran sendiri adalah
suatu garis-garis besar haluan untuk bertindak guna mencapai sasaran yang telah
tentukan. Jika dihubungkan dengan belajar mengajar adalah pola-pola umum kegiatan
guru anak didik yang telah digariskan.124
Ada empat strategi dasar dalam belajar mengajar yang meliputi hal-hal
berikut:125
124
Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain, Strategi Belajar Mengajar, (Jakarta: Rieneka
Cipta, 2006), cet. 3, hal. 5. 125
Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain, Strategi Belajar Mengajar, (Jakarta: Rieneka
Cipta, 2006), cet. 3, hal. 5-6.
52
1. Mengidentifikasi serta menetapkan spesifikasi perubahan tingkah laku dan
kepribadian anak didik sebagaimana yang diharapkan.
2. Memilih sistem pendekatan belajar mengajar berdasarkan aspirasi dan
pandangan hidup masyarakat.
3. Memilih dan menetapkan prosedur, metode, dan teknik belajar mengajar
yang di anggap paling tepat dan efektif sehingga dapat di jadikan
pegangan oleh guru dalam menunaikan kegiatan mengajarnya.
4. Menetapkan norma-norma dan batas minimal keberhasilan atau kriteria
serta standar keberhasilan sehingga dapat dijadikan pedoman oleh guru
dalam melakukan evaluasi.
Begitu pula pada strategi pembelajar yang terjadi pada Musa dan Khidir dapat
dilihat pada dua sisi.
Yang pertama adalah ketika Musa mengajukan permintaannya kepada Khidir
untuk dapat mengikuti perjalanannya agar mendapat ilmu yang Allah ajarkan kepada
Khidir dan tidak kepadanya. Pengajuan ini merupakan bentuk etika seorang murid,
yaitu sebelum belajar hendaknya meminta izin kepada guru terlebih dahulu.
Musa berkata kepada Khidhr: "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu
mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan
kepadamu?"
Ibnu Katsir menjelaskan, bahwa pertanyaan tersebut bukanlah pertanyaan
dengan nada yang mewajibkan atau memaksa. Dan, contoh inilah yang menurut Ibnu
Katsir hendaknya pula diikuti oleh para pembelajar (murid) kepada pengajar
(guru).126
Kedua, Khidir memberikan syarat kepada Musa. Khidir sebagai guru
menetapkan strategi pembelajaran. Sebagai guru yang mengetahui maka terlebih
126
Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur‟an al-Adzim, jilid V, (Riyad: Daaru Thaibah, 1999), hal. 181.
53
dahulu memberikan penilaian kepada muridnya. Khidir pula mengetahui, bahwa
Musa akan mengingkari atas apa yang dia dalihkan. Dan dikarenakan pula Musa tidak
mampu menelaah hikmah dan kemaslahatan bathiniah yang Khidir dapat telaah.127
Dalam kisah perjalanan Nabi Musa bersama Khidir yang diabadikan dalam
surat Al-Kahfi ayat 60-82 ini terjadi proses pembelajaran. Yang mana disana Khidir
sebagai guru dan Musa sebagai murid. Peristiwa yang terjadi dalam perjalanan itu
adalah rencana mengajar dengan kehendak Allah. Bisa dikatakan bahwa keadaan atau
situasi yang dilalui tersebut sudah diseting sedemikian rupa agar proses pembelajaran
dan tujuan perjalanan tersebut tercapai.
Yang dilakukan Khidir yaitu pertimbangan memilih strategi pembelajaran
untuk mencapai pembelajaran yang efektif dan efisien adalah pertimbangan yang
berhubungan dengan tujuan yang ingin dicapai, pertimbangan yang berhubungan
dengan bahan atau materi pembelajaran, dan pertimbangan dari sudut siswa.128
Pada ayat 70-82 adalah merupakan inti pembahasan dari strategi pembelajaran
afektif, karena pada ayat itu terdapat proses pembelajaran nabi Musa kepada Khidir.
Sebelum memasuki kisah perjalanan tersebut, latarbelakang nabi Musa bertemu
Khidir adalah karena Musa tidak mengembalikan “ilmu” kepada Allah ketika ada
seseorang yang bertanya siapa manusia yang paling dalam ilmu. Maka dari itu Allah
mencela dan mewahyukan kepada Musa bahwasannya ada seorang hamba-Nya
berada ditempat bertemunya dua laut dia lebih pintar dari pada Nabi Musa. Kemudian
Musa bertanya, “Bagaimana aku dapat bertemu dengannya?”.
Dari keterangan di atas ada unsur pembentukan yang mengacu pada ranah
afektif utamanya jenjang receiving (menerima). Receiving (Penerimaan) adalah
kepekaan seseorang dalam menerima rangsangan (stimulus) dari luar yang datang
127
Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur‟an al-Adzim, jilid V, (Riyad: Daaru Thaibah, 1999), hal. 181. 128
Wina Sanjaya, Strategi pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, (Jakarta:
Prenada Media Group, 2009), cet. 6, hal. 130
54
pada dirinya dalam bentuk masalah, situasi, gejala dan lain-lain.129
Hal tersebut di
buktikan dengan nabi Musa menerima perintah Allah atas kekhilafan yang diperbuat
dan menerima adanya orang lain (hamba Allah) di luar sana yang lebih berilmu
dibandingkan Musa meskipun Musa telah mendapatkan karunia yang banyak dari
Allah.
Setelah Musa menerima perintah dari Allah untuk menemui hamba tersebut,
kemudian Allah berfirman, “Ambillah seekor ikan lalu tempatkan ia di wadah. Maka,
dimana engkau kehilangan ikan itu, di sanalah dia.130
Nabi Musa pun merespon
(menanggapi) perintah tersebut dan berpartisifasi untuk mengikut sertakan dirinya
secara aktif dalam fenomena tertentu dan membuat reaksi terhadap hal tersebut.131
Pada ayat 70 Khidir memberikan syarat kepada nabi Musa, yaitu jangan
bertanya hingga Khidir sendiri yang menjelaskannya. Hal ini menjelaskan bahwa
guru harus menjelaskan kepada murid persyaratan atau tata tertib sebelum memulai
proses pembelajaran.
Syarat yang di berikan Khidir kepada nabi Musa jugalah yang menjadi awal
dari strategi pembelajaran yang mana nantinya akan menyinggung ranah afektif.
Bahkan boleh jadi jika Khidir tidak memberikan syarat kepada nabi Musa bahwa nabi
Musa jangan mempertanyakan sesuatupun sebelum Khidir sendiri menjelaskannya
maka hal tersebut akan mengakibatkan tidak akan terjadinya proses pembelajaran
afektif.
Salah satu ciri belajar afektif menurut A. De Block ialah belajar menghayati
nilai dari obyek-obyek yang dihadapi melalui alam perasaan, entah obyek itu berupa
129
Anas Sudijono, Pengantar Evaluasi Pendidikan, (Jakarta: RajaGrafindo, 2011), cet. 11,
hal. 54. 130
Muhammmad bin Ismail Abu Abdillah al-Bukhori, Jami‟ Shahih al-Mukhtashor min Umri
Rasulallah wa Sunaninhi wa Ayyamih, (Beirut: Daar Ibnu Katsir, 1987), cet. 3, hal 1757. Hadis no
4450. 131 Anas Sudijono, Pengantar Evaluasi Pendidikan, (Jakarta: RajaGrafindo, 2011), cet. 11,
hal. 55
55
orang, benda atau kejadian/peristiwa; ciri yang lain terletak dalam belajar
mengungkapkan perasaan dalam bentuk ekspresi yang wajar.132
Tiga peristiwa yang dialami nabi Musa saat bersama Khidir, adalah titik inti
proses pembelajaran. Yaitu saat Khidir melubangi kapal yang mereka tumpangi,
ketika Khidir membunuh anak kecil yang sedang bermain bersama temannya dan
menegakan dinding rumah yang hampir roboh. Yang di alami oleh nabi Musa saat
proses pembelajaran tersebut nabi Musa menghayati dan mencermati peristiwa yang
janggal bersama Khidir adalah temasuk dari salah satu ciri belajar afektif karena
kejadian tersebut hanya dapat di nilai oleh alam perasaan
Dalam kisah ini kita dapat melihat sikap dari Musa yang cenderung menolak
semua yang dia lihat tehadap perbuatan yang dilakukan Khidir. Sama halnya seperti
yang diungkapkan W.S. Winkel dalam bukunya Psikologi Pengajaran mengenai
sikap, orang yang bersikap tertentu cenderung menarima atau menolak suatu obyek
berdasarkan penilain terhadap obyek itu, berguna/berharga baginya atau tidak.133
Menurut Raths sebagai mana yang dikutip Sutarjo dalam bukunya
Pembelajaran Nilai-Karakter, bahwa nilai mengarahkan seseorang untuk bertingkah
laku (attitudes), atau bersikap.134
Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa apa yang
dilakukan oleh Musa dilatar belakangi oleh nilai yang dipegang dan diyakini oleh
Musa.
Di dalam merasa, orang langsung menghayati apakah suatu objek baginya
berharga/bernilai atau tidak. Bila objek itu dihayati sebagai sesuatu yang berharga,
maka timbulah perasaan senang. Bila objek itu dihayati sebagai sesuatu yang tidak
berharga, maka timbulah perasaan tidak senang. Maka terjadilah suatu penilaian
secara spontan, mengenai apa yang bermakna positif atau bermakna negatif.135
132
W.S. Winkel, Psikologi PengajaranI, (Jakarta: Grasindo, 1996), Cet. 4, hal . 63 133
W.S. Winkel, Psikologi PengajaranI, (Jakarta: Grasindo, 1996), Cet. 4, hal . 104 134 Sutarjo Adisusilo, Pembelajaran Nilai – Karakter, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2012),
cet. 1, hlm. 56 135
W.S. Winkel, Psikologi PengajaranI, (Jakarta: Grasindo, 1996), Cet. 4, hal . 63
56
Tindakan yang dilakukan Khidir selama perjalanannya, mencerminkan bahwa
dia merancang rencana atau strategi yang disiapkan untuk Nabi Musa. Menurut Nana
Sudjana sebagaimana dikutip oleh Ahmad Sabri, mengatakan bahwa strategi
mengajar merupakan tindakan guru dalam melaksanakan rencana mengajar, artinya
usaha guru dalam menggunakan beberapa variabel pengajaran seperti tujuan, bahan,
metode dan alat serta evaluasi, agar dapat mempengaruhi siswa mencapai tujuan yang
telah ditentukan.136
Perbuatan yang dilakukan Khidir atas perintah Allah tersebut menggoyahkan
apa yang menurut Musa benar. Respon Musa terhadap pelubangan kapal yang
dilakukan Khidir adalah menolaknya dan menggap hal tersebut adalah kesalahan.
Penolakan tersebut dikatakan oleh Nabi Musa dengan pertanyaan “Mengapa engkau
melubangi kapal yang akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya? Sungguh
kamu telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar.”
Sama halnya dengan perbuatan Khidir ketika membunuh seorang anak kecil
yang sedang bermain. Menurut pandangan dan keyakinan Nabi Musa bahwa
membunuh itu adalah sebuah dosa, apalagi sesorang yang dibunuh itu adalah anak
kecil yang boleh jadi masih bersih dari dosa. Musa berkata, “mengapa kamu
membunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain? sesungguhnya
kamu telah melakukan suatu kemungkaran.” Respons yang dilakukan Nabi Musa
menunjukan kearah negatif artinya Nabi Musa merasa tidak senang atau tidak setuju
dengan perbuatan itu.
Selanjutnya ketika Khidir mendirikan atau memperbaiki dinding yang hampir
roboh. Menurut Quraish Shihab, memang benar Nabi Musa hanya memberikan saran
kepada Khidir. Kendati demikian, karena dalam saran tersebut terdapat semacam
unsur pertanyaan diterima atau tidak, maka ini pun telah dinilai sebagai pelanggaran
136 Ahmad Sabri, Strategi Belajar Mengajar Micro Teaching, (Jakarta: PT Ciputat Press,
2005), cet. 1, hlm. 2.
57
oleh Khidir. Saran Musa itu lahir setelah beliau melihat dua kenyataan yang bertolak
belakang.137
Bisa dikatakan saran yang mengandung unsur pertanyaan tersebut adalah
bentuk dari nilai yang di yakini oleh Musa berbenturan dengan apa yang dia lihat dari
sang guru yaitu Khidir yang mengakibatkan batalnya perjanjian yang di sepakati oleh
Musa dan Khidir.
Pada pembahasan sebelumnya ranah afektif yang dirinci pada lima jenjang
oleh Krathwohl yaitu receiving, responding, valuing, organization, dan
characterization by a value or value complex. 138
Kelima jenjang tersebut dialami dan
terdapat pada proses pembelajaran nabi Musa kepada Khidir. Berikut penjelasan
bahwa strategi pembelajaran afektif yang dilakukan Khidir kepada nabi Musa.
1. Receiving (Penerimaan) adalah kepekaan seseorang dalam menerima
rangsangan (stimulus) dari luar yang datang pada dirinya dalam bentuk
masalah, situasi, gejala dan lain-lain. Dalam hal ini bentuk kepekaan nabi
Musa terhadap perbuatan yang dilakukan Khidir adalah menolaknya. Pada
mulanya Nabi Musa tidak menerima keadaan diluar dirinya sehingga
membuatnya mengingkari janjinya untuk tidak bertanya atas apa yang
dilakukan Khidir. Receiving juga sering diberi pengertian sebagai
kemauan untuk memperhatikan suatu kegiatan atau suatu objek.
Keingintahuan Nabi Musa terhadap apa yang dilakukan Khidir sehingga
dia bertanya, hal itu membuktikan bahwa kemauan untuk memperhatikan
sangat besar. Pada jenjang ini peserta didik dibina agar mereka bersedia
menerima nilai atau nilai-nilai yang diajarkan kepada mereka, dan mereka
mau menggabungkan diri ke dalam nilai itu atau mengidentikkan diri
dengan nilai itu. Pada tahap ini nabi Musa dibina agar mampu menerima
apa yang diperbuat oleh Khidir. Apa yang diyakini oleh nabi Musa adalah
137
M Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an, (Jakarta:
Lentera Hati, 2002), cet. 1, hal 106. 138 Anas Sudijono, Pengantar Evaluasi Pendidikan, (Jakarta: RajaGrafindo, 2011), cet. 11,
hal. 54-56
58
suatu kesalahan tapi hal tersebut dilakukan oleh Khidir. Dan hal itu pula
yang membuatnya harus menyadari kalau Musa tidak dapat bersabar atas
apa yang dilakukan oleh Khidir.
2. Responding (Menanggapi) mengandung arti “adanya partisipasi aktif”.
Jadi kemampuan menanggapi adalah kemampuan yang dimiliki oleh
seseorang untuk mengikutsertakan dirinya secara aktif dalam fenomena
tertentu dan membuat reaksi terhadapnya dengan salah satu cara.
Sebenarnya nabi Musa mencerminkan seorang peserta didik yang aktif
saat proses pembelajaran berlangsung. Musa menanggapi atas apa yang
dilihatnya itu, sekalipun bertanya adalah suatu kesalahan yang tidak boleh
dilakukannya karena sebelumnya telah membuat perjanjian. Reaksi
spontan yaitu bertanya atas apa yang dilakukan Khidir membuat Musa
penasaran, jelas merupakan suatu respon dalam rangka mengetahui
sesuatu hal lebih mendalam.
3. Valuing (Menilai = menanggapi). Menilai atau menghargai artinya
memberikan nilai atau memberikan penghargaan terhadap suatu kegiatan
atau objek, sehingga apabila kegiatan itu tidak dikerjakan, dirasakan akan
membawa kerugian atau penyesalan. Dalam kaitannya dengan proses
belajar mengajar, peserta didik di sini tidak hanya mau menerima nilai
yang diajarkan tetapi mereka telah berkemampuan untuk menilai konsep
atau fenomena, yaitu baik buruk. Bila ssesuatu ajaran yang telah mampu
mereka nilai dan telah mampu untuk mengatakan “itu adalah baik”, maka
ini berarti bahwa peserta didik telah menjalani proses penilaian.
Sebelum perjalanan dimulai Khidir sudah mengetahui bahwa nabi Musa
tidak dapat bersabar maka dari itu Khidir memberi syarat agar tidak
bertanya sesuatu pun sampai Khidir sendiri menjelaskan sesuatu hal
tersebut. Saat nabi Musa dihadapkan pada peristiwa yang membuatnya
tidak dapat bersabar, waktu itu pula Musa menilai apa yang dilihatnya.
Selama perjalanan Musa menilai atau menanggapi semua peristiwa itu
dengan nilai atau keyakinan yang dipercayainya. Musa menilai bahwa hal
yang dilakukan Khidir itu adalah sesuatu yang buruk. Tetapi hal tersebut
59
berubah setelah di akhir perjalanan Khidir menjelaskan apa hikmah atau
alasan dibalik perbuatan yang dilakukan Khidir selama perjalanan.
4. Organization (mengatur atau mengorganisasikan) artinya mem-
pertemukan perbedaan nilai sehingga terbentuk nilai baru yang lebih
universal, yang membawa kepada perbaikan umum. Selama perjalanan
Musa mendapati sebuah peristiwa yang janggal menurut penilaian
pribadinya. Musa tidak dapat bersabar atas apa yang dilakukan Khidir
selama diperjalanan. Setelah mendapatkan penjelasan dari Khidir, Musa
mempertemukan perbedaan nilai tersebut sehingga terbentuk sebuah nilai
yang baru. Musa menerima nilai baru yang didapatnya dari Khidir yaitu
kesabaran dan hikmah (kebijaksaan).
5. Characterization by a Value or Value Complex (Karakterisasi dengan
suatu nilai atau kompleks nilai), yakni keterpaduan semua nilai yang telah
dimiliki seseorang, yang memepengaruhi pola kepribadian dan tingkah
lakunya. Nilai ini telah tertanam secara konsisten pada sistemnya dan telah
mempengaruhi emosinya. Ini adalah merupakan tingkatan afektif
tertinggi, karena sikap batin telah benar-benar bijaksana. Ia telah memiliki
philosophy of life yang mapan. Setelah mengetahui alasan apa yang
dilakukan Khidir selama perjalanan, Musa menerima sebuah pelajaran
yang sangat berarti. Bahwa apa yang menurut penilaian atau pandangan
seseorang itu baik belum tentu baik begitu pula sebaliknya apa merurut
penilaian seseorang itu buruk belum tentu buruk. Nilai dan keyakinan
Musa pada saat perjalanan tidaklah salah, tetapi Khidir lebih mengetahui
latarbelakang apa yang diperbuatnya atas izin Allah. Keterpaduan nilai
yang telah dimiliki oleh Musa setelah mendapatkan nilai baru dari Khidir
yaitu kesabaran dan kebijaksanaan telah mempengaruhi pola
kepribadiannya. Teguran dari Allah lewat pembelajaran dari Khidir telah
tertanam pada diri Musa sehingga mempengaruhi emosinya. Pembelajaran
yang diberikan Khidir telah menjadikan sikap batin Musa yang bijaksana,
ia telah memiliki philosophy of life sebagaimana tujuan atau tingkat akhir
dari pembelajaran afektif.
60
Dalam hal ini saat proses pembelajaran nabi Musa bersama Khidir untuk
mencapai tujuan pembelajaran dapat dikatakan berhasil. Sebagaimana pada
pembahasan sebelumnya lima jenjang atau tingkatan ranah afektif untuk menunjukan
keberhasilan pembelajaran afektif yaitu receiving, responding, valuing, organization,
dan characterization by a value or value complex, terdapat pada setiap langkah
pembelajaran Khidir pada nabi Musa.
Dengan ini sudah cukup bagi nabi Musa untuk menerapkan apa yang
dapatkannya dari Khidir sehingga dapat membuat Musa memiliki kebulatan sikap
atau kesabaran itu sudah menjadi karakter nabi Musa. Dalam jenjang ranah afektif hal
tersebut adalah merupakan tingkatan afektif tertinggi. Dengan demikian strategi
pembelajran afektif yang dilakukan Khidir kepada nabi Musa berhasil dan memberi
dampak yang baik bagi nabi Musa.
Strategi dan rencana yang digunakan Khidir untuk memberikan ilmu
(kebijaksanaan/kesabaran) kepada Musa sangat efektif dan efisien. Khidir
memanfaatkan pengetahuan atau ilmu laduni yang Allah karuniakan kepadanya.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan tentang “Strategi Pembelajaran Afektif dalam Kisah
Nabi Musa as dan Nabi Khidir as (Telaah Tafsir Surat Al-Kahfi Ayat 60-82)”, maka
penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berukut:
Dalam rangkaian kisah perjalanan nabi Musa dan Khidir tersebut terjadi
proses pembelajaran. Dalam proses pembelajaran tersebut pula Khidir menggunakan
strategi pembelajaran afektif. Strategi tersebut adalah dengan syarat yang diberikan
Khidir kepada nabi Musa. Yaitu jangan mempertanyakan sesuatupun sebelum Khidir
sendiri menjelaskannya. Karena jika saat awal syarat ini tidak ada maka tidak akan
terjadi proses pembelajaran. Dalam kisah Nabi Musa dan Khidir ini terdapat strategi
pembelajaran afektif, strategi yang dilakukan yaitu dengan cara Khidir memberi
syarat kepada Nabi Musa sebelum memulai perjalanan mereka. Syarat tersebut akan
sangat berpengaruh pada proses pembelajaran Nabi Musa kelak saat dalam
perjalanan. Ranah afektif yang menyentuh diri nabi Musa yaitu pertama receiving,
Musa peka terhadap apa yang disaksikannya selama perjalanan dalam bentuk
penolakan dan tidak setuju atas perbuatan Khidir. Kedua Responding, reaksi spontan
adalah proses afektif yang terjadi dalam diri Musa hal tersebut jelas merupakan suatu
respon dalam rangka mengetahui sesuatu hal lebih mendalam. Ketiga valuing, Selama
perjalanan Musa menilai atau menanggapi semua peristiwa dengan nilai atau
keyakinan yang dipercayainya, walaupun penilaian berubah setelah penjelasan dari
Khidir. Keempat organization, Musa mengorganisasikan nilai yang diyakininya
dengan nilai dari Khidir sehingga tercipta nilai baru. Kelima Characterization by a
Value or Value Complex, nilai baru yang didapat oleh Musa tersebut adalah hasil dari
proses pembelajaran afektif yaitu Musa memiliki sebuah kebulatan sikap (karakter)
yang mapan.
61
62
B. Saran
1. Sebaiknya strategi pembelajaran yang dilakukan haruslah fleksibel dengan
lingkungan dan kondisi peserta didik.
2. Merancang strategi pembelajaran hendaknya disiapakan sebelum
pembelajaran.
3. Alangkah baiknya guru dapat mengetahui potensi yang dimiliki oleh
peserta didiknya, sehingga guru dapat memilih sttategi pembelajaran yang
tidak menyulitkan.
4. Sebaiknya guru tidak hanya mengacu pada pembelajaran yang mengarah
pada ranah intelektual (kognitif) saja, akan tetapi harus juga
mengembangankan tingkah laku atau sikap (afektif) yang nantinya akan
menjadi bekal atau kontrol pada dirinya.
DAFTAR PUSTAKA
Adisusilo, Sutarjo, Pembelajaran Nilai – Karakter. Jakarta: RajaGrafindo Persada,
Cet. I, 2012
Al-Bukhari. Muhammmad bin Ismail Abu Abdillah, Jami‟ Shahih al-Mukhtashor min
Umri Rasulallah wa Sunaninhi wa Ayyamih, Beirut: Daar Ibnu Katsir, Cet. 3,
Hadis no 4450. 1987
Al-Khalidy, Shalah, Kisah-kisah Al-Qur‟an. Jakarta: Gema Insani, 1999.
Al-Maraghi. Ahmad Musthafa, Terjemah Tafsir al-Maraghi, jilid XV, Semarang: CV
Toha Putra, cet. 1, 1998
Anshori, Tafsir bil Ra‟yi. Jakarta: Gaung Persada Press, Cet. I, 2010.
Anwar, Arifin, Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta: Balai Pustaka, Cet. I,
2005.
Asy-Syafrowi. Mahmud, Khidir as Nabi Misterius, Penguasa Samudra yang Berjalan
Secepat Kilat, Yogyakarta: Mutiara Media, cet. 1, 2013
Baharudin, Teori Belajar dan Pembelajaran. Jogjakarta: Arruzz Media, Cet. III,
2008.
Bukhari. Imam, Shahih al-Bukhari Kitab Tafsir al-Qur‟an no. 3221.
Chaplin, JP. Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006.
Daradjat, Zakiah. Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam. Jakarta: Bumi Aksara,
Cet. 4, 2008.
Darmasyah, Strategi Pembelajaran Menyenangkan dengan Humor. Jakarta: Bumi
Aksara, cet. 1, 2010.
Daulay, Haidar Putra, Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional di
Indonesia. Jakarta: Kencana, 2004.
Djamarah. Syaiful Bahri dan Aswan Zain, Strategi Belajar Mengajar, Jakarta: Rieneka Cipta, cet. 3, 2006
63
64
Fatimah, Enung, Psikologi Perkembangan (Perkembangan Peserta Didik). Bandung:
Pustaka Setia, 2006.
Haitami, Munzir, Menggagas Kembali Pendidikan Islam. Yogyakarta: Infinite Press,
2004.
Hakim, Lukmanul, Perencanaan Pembelajara. Bandung: Wacana Prima, 2009.
Halim. Amanullah, Musa Versus Fir‟aun, Jakarta: Lentera Hati, cet. 1, 2011
Hamalik, Oemar, Kurikulum dan Pembelajaran. Bandung, Pakar Raya, 1993.
Kamal, Allamah FI, Tafsir Nurul Quran, Jakarta: Al-Huda, Cet. 1, 2005.
Katsir. Ibnu, Tafsir al-Qur‟an al-Adzim, jilid V, Riyad: Daaru Thaibah, 1999
Khoiru, Iif, Strategi Pembelajaran Sekolah Terpadu. Jakarta: Prestasi Pustaka, Cet.
II, 2011.
Majid, Abdul, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, Cet III, 2006.
Nasution, S, Kurikulum dan Pengajaran, Bandung: Bina Aksara, 1989.
Nata, Abuddin, Perspektif Islam Tentang Strategi Pembelajaran. Jakarta: Kencana,
Cet. 1, 2009.
Ormrod, Jeanne Ellis. Psikologi Pendidikan Membantu Siswa Tumbuh dan
Berkembang, Jakarta: PT Gelora Aksara Pratama, Ed. 6, 2008
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasonal, Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka, Eds. 3, 2001.
Redaksi Sinar Grafika. UU Sistem Pendidikan Nasional (UU RI No. 20 2003).
Jakarta: Sinar Grafika, Cet. II, 2009
Riyanto, Yatim, Paradigma Baru Pembelajaran. Jakarta: Kencana, cet. 1, 2009.
Roqib, Moh, Ilmu Pendidikan Islam Pengembangan Pendidikan Integratif, di
Sekolah, Keluarga dan Masyarakat. Yogyakarta: LKIS, Cet I, 2009.
Rosyada, Dede, Paradigma Pendidikan Demokrasi. Jakarta: Kencana, Cet. I, 2004
S, Effendi, Daftar Istilah Psikologi Jakarta Pusat: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1978.
65
Sabri, Ahmad, Strategi Belajar Mengajar Micro Teaching. Jakarta: PT Ciputat Press,
Cet. 1, 2005.
Sardiman, Interuksi dan Motivasi Belajar Mengajar, Jakarta: PT Raja Grafindo, 2004
Sanjaya, Wina, Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Kencana, cet. 1, 2008.
_______, Wina, Pembelajaran dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi.
Jakarta: Kencana, Cet.3, 2008.
_______, Wina, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan.
Jakarta: Kencana, Cet. 5, 2008.
_______, Wina, Strategi Pembelajaran. Jakarta: Kencana, 2007.
_______, Wina. Perencanaan dan Desain Sistem Pembelajaran. Jakarta: Kencana,
Cet. III, 2010.
Shihab, M. Quraish, Al-Lubâb Makna, Tujuan, dan Pelajaran daru Surah-Surah al-
Qur‟an. Tangerang: Lentera Hati, Cet. I, 2012.
_______, M Quraish, Kaidah Tafsir. Tangerang: Lentera Hati, 2013.
_______, M Quraish, Tafsir al-Mishbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an,.
Jakarta: Lentera Hati, Cet. 1, 2002.
Sudijono, Anas, Pengantar Evaluasi Pendidikan, Jakarta: RajaGrafindo, Cet. 11, ,
2011
Sukmadinata, Nana Syaodih. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: PT. Remaja
Remaja Rosdakarya, 2005.
Syah, Muhibbin, Psikologi Belajar. Jakarta: Rajawali Pers, 2009.
Syaodih, Nana, Kurikulum dan Pembelajaran Kompetensi. Bandung: Refika
Aditama, Cet. 1, 2012.
Trianto, Mendisain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif. Jakarta: Prenada Media
Group, Cet. II, 2010.
Wagnalls, New College Dictionary. New York: De Funk Company, 1956..
Winkel, W.S, Psikologi Pengajaran I. Jakarta: Grasindo, Cet. 4, 1996.
66
http://biografi-tokoh-ternama.blogspot.com/2014/0/kisah-nabi-laihissalam.html?m=1,
online tanggal 24 Februari 2015.
http://id.m.wikipedia.org/wiki/khidir, online tanggal 1 april 2015
http://raflengerungan.wordpress.com/korupsi-dan-pendidikan/pengertian-mengajar-
didaktik. diakses tanggal 24 Februari 2015