STRATEGI NAFKAH PEDAGANG PEREMPUAN DI SEKTOR … · PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN...
Transcript of STRATEGI NAFKAH PEDAGANG PEREMPUAN DI SEKTOR … · PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN...
STRATEGI NAFKAH PEDAGANG PEREMPUAN
DI SEKTOR INFORMAL PERKOTAAN
(Studi Kasus Pedagang Perempuan di Pasar Anyar Kota Bogor,
Propinsi Jawa Barat)
Oleh:
ARRIE STEPHANIE
A14203001
PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008
STRATEGI NAFKAH PEDAGANG PEREMPUAN
DI SEKTOR INFORMAL PERKOTAAN
(Studi Kasus Pedagang Perempuan di Pasar Anyar,
Kota Bogor, Jawa Barat)
Oleh:
ARRIE STEPHANIE
A14203001
Skripsi
Sebagai Bagian Persyaratan untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Pertanian
Pada
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008
RINGKASAN ARRIE STEPHANIE. Strategi Nafkah Pedagang Perempuan di Sektor Informal Perkotaan (Studi Kasus Pedagang Perempuan di Pasar Anyar Kota Bogor, Propinsi Jawa Barat). Dibimbing oleh ARYA HADI DHARMAWAN
Proses pembangunan dan modernisasi yang telah terjadi di Indonesia dalam beberapa puluh tahun terakhir telah membawa banyak perubahan dalam berbagai aspek. Salah satunya adalah semakin terpinggirkannya perempuan dalam proses pembangunan. Di pedesaan modernisasi pertanian dengan teknologi canggih dan penggunaan bibit unggul semakin “membebaskan” para perempuan dari pekerjaan pertanian. Perempuan-perempuan ini dipaksa keluar dari bidang pertanian dan harus mencari pekerjaan bukan-pertanian. Sementara di perkotaan, keterlibatan perempuan dalam kegiatan ekonomi banyak terdapat di sektor informal terutama sektor jasa. Mereka bekerja sebagai pedagang, pembantu rumahtangga dan pelacur. Hal ini terjadi karena adanya segmentasi tenaga kerja kota. Perempuan terkelompokkan pada kerja-kerja yang tidak membutuhkan keterampilan. Sementara sektor industri yang bercirikan padat modal membuat kesempatan perempuan semakin kecil untuk dapat terserap dan bertahan dalam sektor ini. Penggantian tenaga kerja dengan mesin-mesin dan persaingan dengan tenaga kerja laki-laki dalam industri membuat banyak pekerja perempuan keluar dari sektor ini.
Sektor informal yang telah ada di perkotaan, dipandang sebagai solusi atas masalah ini. Pekerja perempuan yang berasal dari pedesaan maupun perkotaan dapat dengan mudah masuk ke sektor ini. Hart (1973) mengambarkan sektor informal sebagai bagian angkatan kerja di kota yang berada di luar pasar kerja yang terorganisir. Sektor informal merupakan sektor kerja yang tidak terorganisir, memiliki fleksibilitas waktu yang tinggi, tidak mensyaratkan pendidikan khusus dan hanya membutuhkan modal yang kecil untuk memasukinya. Kekhasan sektor informal inilah yang membuat para perempuan dapat dengan leluasa memasuki sektor ini. Berada di sektor informal (publik), para perempuan ini dihadapkan pada berbagai hambatan dan faktor-faktor yang membatasi wilayah kerjanya. Pekerjaan yang mungkin untuk dimasuki oleh perempuan-perempuan ini adalah pekerjaan yang fleksibel dan memungkinkan perempuan melakukan pengasuhan dengan tetap bekerja. Pilihan usaha perempuan dalam sektor informal biasanya hanya berkisar pada beberapa komoditi atau beberapa jenis usaha saja. Seperti, pedagang sayur, pedagang jamu keliling, usaha warung makan, pedagang kain. Steriotipe perempuan sebagai ibu, pengasuh, lemah-lembut, teliti dan berhubungan dengan pengurus kebutuhan rumahtangga tetap membuat perempuan bekerja terkelompokkan oleh nilai budaya dan lingkungan yang membentuknya.
Menghadapi kondisi sektor informal dan kendalanya, perempuan memiliki berbagai strategi tersendiri untuk menjaga kelangsungan usaha dan hidup rumahtangganya. Strategi tersebut dibentuk dari pemanfaatan berbagai sumber modal yang mereka miliki dan strategi tiap pedagang perempuan akan berbeda sesuai dengan kondisi sumberdaya yang dimiliki serta sejumlah kendala yang dihadapinya. Dharmawan (2006) menjelaskan, strategi nafkah lebih mengarah
pada pengertian livelihood strategy. Yaitu sebagai taktik dan aksi yang dibangun oleh individu ataupun kelompok dalam rangka mempertahankan kehidupan mereka ataupun memperbaiki status kehidupan dengan tetap memperhatikan eksistensi instruktur sosial, struktur sosial dan sistem nilai budaya yang berlaku.
Tujuan dari penelitian ini secara umun adalah untuk mengetahui dan memahami dinamika dan mekanisme proses pencarian nafkah yang dilakukan oleh pedagang perempuan di sektor informal dan bagaimana pedagang perempuan membentuk strategi nafkah untuk mempertahankan rumahtangganya. Tujuan ini dibagi secara khusus dalam tiga tujuan penelitian, sebagai berikut: 1). Menganalisis dan merumuskan karakteristik/profil pedagang perempuan di sektor informal. 2) Menganalisis aktivitas nafkah pedagang perempuan di sektor informal. 3) Menganalisis dinamika dan mekanisme proses pencarian nafkah yang dilakukan oleh pedagang perempuan di sektor informal. Dengan tujuan ini diketahui strategi nafkah yang dibangun oleh pedagang perempuan untuk memastikan keberlangsungan usaha dan rumahtangganya.
Penelitian dilakukan di Pasar Anyar, Kota Bogor, Propinsi Jawa Barat. Pasar Anyar dijadikan lokasi penelitian berdasarkan kesesuaian dengan topik penelitian. Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2007 sampai dengan Februari 2008. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan menggunakan metode studi kasus instrumental. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan triangulasi metodologi yang merupakan kombinasi dari teknik pengumpulan data dengan menggunakan metode wawancara mendalam, pengamatan berperan serta, dan kajian literatur. Subjek penelitian dipilih secara purposif dan untuk menemukan informan atau responden berikutnya menggunakan tehknik bola salju. Responden penelitian merupakan enam orang pedagang perempuan yang dipilih karena keragamaman karakteristik yang mereka miliki, keenam pedagang perempuan tersebut adalah: Ibu Enh, Ibu Ngm, Ibu Tn, Ibu Yh, Ibu Krs, Ibu Epn.
Secara umum karakteristik pedagang perempuan dapat dilihat secara individu maupun sebagai bagian dari rumahtangga. Pedagang perempuan berasal dari tenaga kerja pedesaan yang keluar dari sektor pertanian dan masyarakat kota yang terlempar dari pasar tenaga kerja formal. Berada pada usia produktif dan memiliki pendidikan yang rendah, keterampilan berdagang diperoleh dari pengalaman sebelumnya (orang tua maupun saudara). Sebagian dari mereka merupakan migran yang datang ke Bogor dengan harapan mendapatkan penghasilan yang lebih baik. Rumahtangga pedagang perempuan memiliki anggota yang banyak (≥5 orang) dan memiliki tanggungan rumahtangga cukup besar pula (≥5 orang). Pekerjaan suami dinilai tidak mencukupi pemenuhan nafkah rumahtangga, sehingga pilihan untuk berdagang diambil oleh para perempuan ini. Dalam alokasi pengeluaran rumahtangga pedagang perempuan memiliki pembagian alokasi pengeluaran dengan suaminya. Perempuan pedagang bertanggung jawab atas kepastian konsumsi pangan rumahtangga dan keperluan anak sehari-hari, sedangkan suami mereka bertanggung jawab terhadap pemenuhan kebutuhan fasilitas rumahtangga (air, listrik, telepon) dan iuran sekolah anak. Namun, dalam setiap alokasi pengeluaran rumahtangga yang cukup besar dan berpengaruh pada
anggota rumahtangga yang lain, selalu ada kompromi atau pembicaraan untuk mendapatkan izin dari suami.
Aktivitas pedagang perempuan dapat dikategorikan dalam kerja produktif dan kerja reproduktif. Kedua bentuk kerja selalu diusahakan agar tetap selaras oleh pedagang perempuan. Kerja-kerja produktif merupakan aktivitas yang dilakukan pedagang perempuan dalam usaha perdagangannya. Curahan waktu terbesar adalah pada aktivitas penjajaan barang dagangan dan melayani pelanggan. Rata-rata pedagang perempuan menghabiskan waktu 10 jam dalam aktivitas ini. Hal ini menyebabkan kerja reproduktif rumahtangga harus disiasati agar tetap selaras. Mengalihkan kerja reproduktif rumahtangga pada anggota rumahtangga yang lain adalah strategi yang dilakukan oleh pedagang perempuan ini. Mereka menitipkan pengasuhan anak pada orang tua, atau keluarga yang dipercaya. Aktivitas memasak dan membersihkan rumah dialihkan pada anak yang telah dewasa atau pembantu. Aktivitas menghadiri undangan hajatan atau kematian, sebisa mungkin tidak mengganggu waktu berdagang. Para pedagang perempuan ini mempertimbangkan apakah undangan harus dihadiri atau bisa dengan hanya menitipkan “amplop”. Namun jika yang mengadakan hajatan adalah keluarga atau tetangga dekat, maka para perempuan ini akan menutup kiosnya. Hal ini dinilai harus dilakukan untuk melestarikan struktur dan jaringan rumahtangga pedagang perempuan dalam masyarakat.
Terdapat tujuh bentuk strategi yang diterapkan oleh rumantangga pedagang perempuan yang menjadi kasus. Strategi tersebut adalah strategi spasial, strategi sektoral, strategi diversifikasi usaha dan alokasi SDM rumahtangga, strategi organisasi usaha, strategi likuidasi aset rumahtangga, strategi investasi SDM rumahtangga dan strategi mengurangi resiko usaha. Ketujuh strategi tersebut diterapkan untuk memastikan keberlangsungan usaha perdagangan dan pemenuhan nafkah rumahtangga tiap pedagang perempuan. Ketujuh strategi tersebut sangat tergantung pada kepemilikan modal dari tiap-tiap pedagang perempuan dan kemampuan mereka untuk mengakses modal tersebut.
Dalam menghadapi masa krisis, pedagang perempuan menerapkan strategi bertahan dan tidak melakukan perlawanan. Kebakaran pasar dipandang sebagai musibah dan harus ditanggung sendiri oleh pedagang. Likuidasi aset rumahtangga menjadi solusi untuk mengatasi masa krisis. Pedagang perempuan menjual barang-barang yang dimilikinya untuk tambahan usaha maupun untuk memenuhi kebutuhan konsumsi anggota rumahtangganya. Saat tahap pemulihan krisis, prioritas utama pedagang perempuan adalah membeli kios sebagai jaminan terhadap kepastian usaha. Dapat disimpulkan bahwa, meskipun pedagang perempuan memiliki keragaman dalam karakteristik individu maupun rumahtangga, mereka menerapkan strategi menghindari konflik dan pedagang perempuan memiliki kemampuan yang besar dalam bertahan terhadap musibah atau krisis yang menimpa usahanya.
i
PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang ditulis oleh:
Nama : Arrie Stephanie
NRP : A14203001
Judul : Strategi Nafkah Pedagang Perempuan di Sektor Informal Perkotaan
(Studi Kasus Pedagang Perempuan di Pasar Anyar, Kota Bogor, Propinsi
Jawa Barat).
dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelas Sarjana Pertanian pada
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui,
Dosen pembimbing
Dr.Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc
NIP 131 915 302
Mengetahui,
Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr.Ir. Didy Sopandie, M.Agr
NIP. 131 124 019
Tanggal Lulus:______________
ii
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL
“STRATEGI NAFKAH PEDAGANG PEREMPUAN DI SEKTOR INFORMAL
PERKOTAAN” BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI LAIN
ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA
SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK
MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN
OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG
DINYATAKAN DALAM NASKAH.
Bogor, Juli 2008
Arrie Stephanie
A14203001
iii
RIWAYAR HIDUP Penulis dilahirkan di Pagaralam, Sumatra Selatan pada tanggal 24 September 1986
sebagai anak pertama dari tiga bersaudara, pasangan suami-istri Subroto dan Suriana. Penulis
menyelesaikan Sekolah Dasar di SDN 46 Pagaralam, Kecamatan Pagaralam Utara, Kota
Pagaralam, Sumatera Selatan pada tahun 1997. Kemudian pada tahun yang sama, penulis
melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama di SMPN 1 Pagaralam dan lulus pada tahun
2000. Penulis melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah Umum di SMUN 1 Pagaralam
dan lulus pada tahun 2003 dengan kelas Program Ilmu Pengetahuan Alam.
Penulis diterima di Institut pertanian Bogor (IPB) pada tahun 2003 melalui jalur USMI
(Undangan Seleksi Masuk IPB) pada Program Studi Komunikasi dan Pengembangan
Masyarakat (KPM), Departemen Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian.
Selama bersekolah, penulis aktif dalam berbagai kegiatan ekstrakulikuler, seperti
OSIS dan Pramuka. Penulis pernah menjabat sebagai Sekertaris Umum OSIS SMUN 1
Pagaralam periode 2001-2002. Pada masa kuliah penulis aktif sebagai asisten dosen untuk
Mata Kuliah Sosiologi Umum periode 2005-2006 dan dalam organisasi mahasiswa seperti
Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) dan Forum Komunikasi Rohis Departemen (FKRD)
Fakultas Pertanian IPB.
iv
KATA PENGANTAR
Puji sukur senantiasa dipanjatkan kepada Allah SWT karena dengan rahmat dan
hidayah-Nyalah skripsi ini dapat diselesaikan. Shalawat dan salam penulis panjatkan kepada
Rasulullah SAW, keluarga dan para sahabat-Nya.
Judul yang diangkat oleh penulis adalah “Strategi Nafkah Pedagang Perempuan di
Sektor Informal Perkotaan (Studi Kasus Pedagang Perempuan di Pasar Anyar, Kota Bogor,
Propinsi Jawa Barat)”. Skripsi ini merupakan suatu karya ilmiah yang dibuat guna memenuhi
syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Melalui skripsi ini, penulis mencoba untuk membangun pemahaman dan mengetahui
dinamika, serta mekanisme strategi nafkah pedagang perempuan di sektor informal untuk
mempertahankan kelangsungan hidup keluarganya.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk perbaikan di masa yang akan datang.
Semoga tulisan ini dapat memberikan manfaat bagi penulis sendiri, pembaca, dan semua
pihak yang memiliki ketertarikan yang sama dengan topik yang di angkat.
Bogor, Juli 2008
Penulis
v
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang menguasai siang dan malam, alam semesta dan
maha pembolak-balik hati. Penulisan skripsi ini tidak akan selesai tanpa izin dari-Nya. Rasa
hormat dan terimakasih serta penghargaan yang tulus, penulis sampaikan kepada:
1. Keluargaku tersayang (Ayah, Ibu, adek Oyo, adek Abror dan Nenek), keluarga Besar di
Bekasi atas dukungan, doa, dana dan kasih sayang yang tidak pernah terhenti.
2. Bapak Dr.Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc, selaku dosen pembimbing yang selalu sabar
dalam memberikan arahan, masukan, saran, perbaikan dan bimbingan dalam penyelesaian
skripsi ini.
3. Bapak Dr.Ir. Lala M. Kolopaking, MS, selaku dosen penguji utama yang telah
memberikan saran serta masukan untuk perbaikan skripsi.
4. Ibu Ratri Vitrianita, S.sos, M.si, selaku dosen penguji akademik yang telah memberikan
saran dan masukan untuk perbaikan skripsi.
5. Bapak Ir. Said Rusli, MA, selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan
arahan, nasehat dan bimbingan agar saya dapat menyelesaikan studi dengan baik.
6. Bapak Iwan, Bapak Teo dan Bapak H. Ma’ruf atas waktu dan kesediaannya membantu
penulis saat mencari informasi dan responden pedagang.
7. Ibu Enh, Ibu Ngm, Ibu Epn, Ibu Tn, Ibu Yh, Ibu Krs atas kesediaannya menjadi responden
penelitian dan telah mengajarkan saya tentang kehidupan.
8. Mbak Hanna Indriani, Mbak Dyah Ita, Mbak Rahma, Gita dan Kori yang telah menjadi
tempat berkeluh kesah dan atas semua kesabaran, bimbingan, saran, buku dan
semangatnya dalam membantu penyelesaian penulisan skripsi ini.
9. Sinta (yang telah menjadi ‘Arai’ dalam hidupku), Arie, Melisa dan Ochie (terima kasih
atas kamarnya dan kesediaannya untuk direpotkan), Anak-anak pondok ginastri (Yuk Fei,
Mbak Niken, Mbak Fathma, Noorma, Nayu, Lesti, Mbak Eka, Agus, Gita, Yeyet, Irma,
Vani, Nisha, Mitha, Delin, Miu, Yoan, Gita dan Ina). Terima kasih atas waktunya yang
sangat menyenangkan.
10. Hanif, Cindo, Dipa, Mas Tarjo, Hendra, Mine, Utari, DJ, Puput, Utie, Tata, Widi, Octa,
Ema, Eka, Utie, Ja’far, DJ, Yenni, Lina, Anggi, Upa, Iqi, Bejo dan Rika yang telah
menjadi teman, sahabat dan berbagi banyak hal selama di IPB.
vi
11. Utari dan Niko yang telah sangat membantu dalam penyelesaian skripsi ini. Terima kasih
atas kesediaannya berbagi kamar dan laptopnya.
12. Teman-teman seperjuangan KPM 40 yang senantiasa bersama-sama menjalani masa-masa
kuliah, mudah-mudahan kita adalah orang-orang yang akan menciptakan perubahan di
masa depan.
13. Mbak Maria, Mbak Icha, Mas Piat dan semua staf Sekretariat KPM yang membuat
semuanya menjadi lebih mudah.
vii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ......................................................................................................... iv UCAPAN TERIMA KASIH...............................................................................................v DAFTAR ISI ........................................................................................................................vii DAFTAR TABEL................................................................................................................ ix DAFTAR GAMBAR ...........................................................................................................x DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................................xi BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................................1 1.1 Latar Belakang.................................................................................................................1 1.2 Perumusan Masalah.........................................................................................................3 1.3 Tujuan Penelitian.............................................................................................................5 1.4 Kegunaan Penelitian........................................................................................................5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA .........................................................................................6 2.1 Pendekatan Teoritis .........................................................................................................6
2.1.1 Sektor Informal Perkotaan .....................................................................................6 2.1.2 Perempuan di Sektor Informal ...............................................................................11 2.1.3 Strategi Nafkah ......................................................................................................13 2.1.4 Sumber-sumber Nafkah .........................................................................................17 2.1.5 Rumahtangga .........................................................................................................19
2.2 Kerangka Konseptual ......................................................................................................20 2.3 Batasan Pengertian ..........................................................................................................23 BAB III METODOLOGI PENELITIAN..........................................................................25 3.1 Pendekatan Penelitian, Strategi Penelitian dan Metode Pengumpulan Data...................25
3.1.1 Pendekatan Penelitian ............................................................................................25 3.1.2 Strategi Penelitian ..................................................................................................25 3.1.3 Metode Pengumpulan Data....................................................................................26
3.2 Subjek Penelitian ............................................................................................................27 3.3 Lokasi dan Waktu Penelitian...........................................................................................28 3.4 Teknik Analisis Data ......................................................................................................29 BAB IV PROFIL PASAR ANYAR....................................................................................31 4.1 Lokasi dan Lingkungan Pasar..........................................................................................31 4.2 Pengelolaan Pasar ............................................................................................................32 4.3 Aksesibilitas Pasar...........................................................................................................35 4.4 Sarana dan Prasarana .......................................................................................................35 4.5 Kelembagaan Pedagang...................................................................................................37 4.6 Penggusuran dan Penertipan Pedagang kakilima di Sekitar Pasar ..................................38 4.7 Ikhtisar .............................................................................................................................39 BAB V KARAKTERISTIK PEDAGANG PEREMPUAN .............................................41 5.1 Karakteristik Individu......................................................................................................41
5.1.1 Daerah Asal............................................................................................................41 5.1.2 Status......................................................................................................................42 5.1.3 Tingkat Pendidikan ................................................................................................43 5.1.4 Umur ......................................................................................................................44 5.1.5 Status Kependudukan.............................................................................................45
5.2 Karakteristik Sosial Ekonomi Rumahtangga...................................................................45
viii
5.2.1 Anggota Rumahtangga...........................................................................................46 5.2.2 Tanggungan Rumahtangga ....................................................................................46 5.2.3 Pekerjaan Suami.....................................................................................................47 5.2.4 Pendapatan Rumahtangga......................................................................................48 5.2.5 Pengeluaran Rumahtangga.....................................................................................49
5.3 Ikhtisar .............................................................................................................................50 BAB VI POLA AKTIVITAS NAFKAH PERDAGANGAN PEREMPUAN ................51 6.1 Pola Aktivitas Pedagang Perempuan...............................................................................51 6.2 Pola Aktivitas Produktif Pedagang Perempuan...............................................................51
6.2.1 Aktivitas Pembelian Barang Dagangan .................................................................52 6.2.2 Aktivitas Mengangkut Barang Dagangan..............................................................53 6.2.3 Aktivitas Membersihkan, Menata dan Mengemas Barang Dagangan...................53 6.2.4 Aktivitas Membuka dan menutup Kios .................................................................54 6.2.5 Aktivitas Menjajakan Barang Dagangan dan Melayani Pembeli ..........................55 6.2.6 Aktivitas Mengikuti Arisan....................................................................................56
6.3 Pola Aktivitas Reproduktif Pedagang Perempuan ..........................................................56 6.3.1 Aktivitas Menyediakan Makan dan Minuman.......................................................57 6.3.2 Aktivitas Pengasuhan dan Perawatan Anak...........................................................58 6.3.3 Aktivitas Membersihkan Rumah ...........................................................................58 6.3.4 Aktivitas Menghadiri Acara Hajatan dan Kematian..............................................59
6.4 Ikhtisar .............................................................................................................................60 BAB VII STRATEGI RUMAHTANGGA PEDAGANG PEREMPUAN......................62 7.1 Strategi Nafkah Rumahtangga Pedagang Perempuan .....................................................62
7.1.1 Strategi Spasial.......................................................................................................62 7.1.2 Strategi Sektoral.....................................................................................................64 7.1.3 Strategi Diversifikasi Usaha dan Alokasi Sumber Daya Manusia
Rumahtangga (Pola Nafkah Ganda) .....................................................................68 7.1.4 Strategi Organisasional Usaha ...............................................................................69 7.1.5 Strategi Likuidasi Asset .........................................................................................71 7.1.6 Strategi Investasi Sumber Daya Manusia Rumahtangga .......................................72 7.1.7 Strategi Mengurangi Resiko Usaha .......................................................................72
7.2 Ikhtisar .............................................................................................................................73 BAB VIII DINAMIKA NAFKAH PEDAGANG PEREMPUAN
DI SEKTOR INFORMAL................................................................................75 8.1 Masa mengawali Usaha................................................................................. ..................75 8.2 Mempertahankan Usaha ..................................................................................................77 8.3 Bangkit dari Krisis Usaha................................................................................................80 8.4 Ihktisar .............................................................................................................................82 BAB IX KESIMPULAN DAN SARAN.............................................................................85 9.1 Kesimpulan......................................................................................................................85 9.2 Saran ................................................................................................................................86 DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................................88 LAMPIRAN .........................................................................................................................90
ix
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
Tabel 1. Perbedaan Karakteristik Antara Sektor Formal dan Sektor Informal ................15
Tabel 2. Trayek Angkotan Kota Yang Melalui Pasar Anyar ...........................................52
Tabel 3. Bank-bank Yang Terdapat Disekitar Pasar Anyar .............................................53
Tabel 4. Karakteristik Individu Pedagang Perempuan .....................................................61
Tabel 5. Jumlah Anggota Rumahtangga Pedagang Perempuan Responden ....................68
Tabel 6. Tanggungan Rumahtangga Pedagang Perempuan Responden...........................69
Tabel 7. Pekerjaan Suami Pedagang Perempuan Reaponden...........................................70
Tabel 8. Pendapatan Rumahtangga Pedagang Perempuan Responden ............................72
Tabel 9. Aktivitas Pembelian Barang Dagangan Responden...........................................78
Tabel 10. Aktivitas Pengangkutan Barang Dagangan........................................................79
Tabel 11. Aktivitas Membersihkan, Menata dan Mengemas Barang Dagangan ...............80
Tabel 12. Aktivitas Membuka dan Menutup Kios/ Lapak .................................................81
Tabel 13. Aktivitas Menjajakan Barang Dagangan dan Melayani Pembeli.......................83
Tabel 14. Strategi Nafkah Rumahtangga Pedagang Perempuan ........................................107
x
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
Gambar 1. Bagan kerangka konseptual ............................................................................ 33
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
Lampiran 1. Responden Pedagang Perempuan ............................................................ 128
Lampiran 2.a Peta Lokasi Penelitian .............................................................................. 152
Lampiran 2.b Denah Pasar Anyar................................................................................... 153
Lampiran 3. Fhoto Pasar Anyar dan Pedagang Perempuan ......................................... 154
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Proses pembangunan dan modernisasi yang telah terjadi di Indonesia dalam
beberapa puluh tahun terakhir telah membawa banyak perubahan dalam berbagai
aspek. Antara lain pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi selama 25 tahun
terakhir (rata-rata sekitar lima sampai enam persen per tahun), hingga
swasembada pangan yang dicapai pada pertengahan tahun 1980an. Namun, di sisi
lain Indonesia juga dihadapkan pada permasalahan-permasalahan pembangunan
yang lebih kompleks, seperti masalah kemiskinan, perubahan sruktur ekonomi
pedesaan, pengangguran dan ketidak merataan pembangunan.
Hingga pada sepuluh tahun terakhir semakin banyak koreksi terhadap
pembangunan di Indonesia. Salah satunya adalah semakin terpinggirkannya
perempuan dalam proses pembangunan baik di pedesaan maupun di perkotaan.
Dalam tulisannya, Ann Stoler (1984) menyatakan terjadi pergeseran otonomi
perempuan di pedesaan Jawa terhadap sumberdaya yang mereka miliki dari masa
kolonial sampai kepada masa pembangunan. Pada masa kolonial perempuan
berperan dalam pemenuhan kebutuhan pangan keluarga dengan mengusahakan
tanah milik keluarga atau pekarangan, sedangkan suami mereka menjadi pekerja
di perkebunan milik Belanda. Setelah masa penjajahan, sistem kepemilikan tanah
di pedesaan dimiliki oleh tuan tanah, sehingga para perempuan ini semakin
terpisah dari peran utama mereka. Tanah yang dahulu mereka usahakan kini
dimiliki oleh tuan tanah dan sistem bagi hasil tidak dapat menjamin kelangsungan
rumahtangganya lagi.
Pada masa pembangunan, modernisasi pertanian dengan teknologi canggih dan
penggunaan bibit unggul menurut Boserup (1970) dalam Stoler (1984) semakin
“membebaskan” para perempuan ini dari pekerjaan pertanian. Perempuan-
perempuan ini dipaksa keluar dari bidang pertanian dan harus mencari pekerjaan
bukan-pertanian. Perempuan yang berasal dari rumahtangga tanpa tanah atau yang
2
hanya memiliki bidang-bidang kecil biasanya menjadi pedagang kecil dan usaha
dagangnya itu dapat menunjangnya untuk memenuhi kebutuhan pokok dalam
rumahtangga.
Di daerah perkotaan, keterlibatan perempuan dalam kegiatan ekonomi banyak
terdapat di sektor informal terutama sektor jasa. Mereka bekerja sebagai
pedagang, pembantu rumahtangga dan pelacur. Hal ini terjadi karena adanya
segmentasi tenaga kerja kota. Perempuan terkelompokkan pada kerja-kerja yang
membutuhkan ketelitian dan ketekunan namun tidak membutuhkan keterampilan.
Akibatnya, banyak pabrik-pabrik mempekerjakan perempuan dan dibayar murah.
Sektor industri yang bercirikan padat modal membuat kesempatan perempuan
semakin kecil untuk dapat terserap dan bertahan dalam sektor ini. Penggantian
tenaga kerja dengan mesin-mesin dan persaingan dengan tenaga kerja laki-laki
dalam industri membuat banyak pekerja perempuan keluar dari sektor ini.
Beralihnya para perempuan dari pekerjaan-pertanian (on-farm) ke pekerjaan
bukan-pertanian (non-farm), dan tingginya jumlah pengangguran di perkotaan,
memunculkan masalah baru dalam pasar tenaga kerja baik di pedesaan maupun di
perkotaan. Menurut Mayling (1996) walaupun kaum perempuan banyak terlibat
dalam berbagai kegiatan ekonomi, mereka cenderung hanya menggeluti usaha
sangat kecil atau sambilan sebagai bagian dari strategi kelangsungan hidup
keluarganya. Hal ini disebabkan keterbatasan kualitas sumber daya manusia yang
mereka miliki, sukarnya akses terhadap sumber-sumber modal dan adanya
diskriminasi terhadap pekerja perempuan.
Sektor informal di sisi lain, tumbuh sebagai bentuk perekonomian kecil baik di
perkotaan maupun di pedesaan. Sektor ini mampu menyerap banyak kelebihan
tenaga kerja dan memberikan penghasilan yang cukup bagi pekerja yang berusaha
di dalamnya. Hart (1973) mengambarkan sektor informal sebagai bagian angkatan
kerja di kota yang berada di luar pasar kerja yang terorganisir. Sektor informal di
perkotaan muncul sebagai realitas ekonomi kerakyatan yang berperan cukup
penting dalam menahan gelombang ketidakpuasan kaum miskin dan
pengangguran terhadap ketidakmampuan pembangunan menyediakan peluang
kerja. Sektor informal merupakan sektor kerja yang tidak terorganisir, memiliki
3
fleksibilitas waktu yang tinggi, tidak mensyaratkan pendidikan khusus dan hanya
membutuhkan modal yang kecil untuk memasukinya. Kekhasan sektor informal
inilah yang membuat para pekerja perempuan yang berasal dari sektor pertanian
(on-farm) maupun bukan pertanian (non-farm) dapat dengan leluasa memasuki
sektor ini.
Berada di sektor informal (publik), para pekerja perempuan ini dihadapkan pada
berbagai hambatan dan faktor-faktor yang membatasi wilayah kerjanya. Beberapa
peneliti sebelumnya telah melihat dan mengkaji nilai ekonomi dari perempuan
yang bekerja di luar rumahtangga1 (misalnya; berdagang, menjual jasa), mereka
menulis pekerjaan yang mungkin untuk dimasuki oleh perempuan-perempuan ini
adalah pekerjaan yang fleksibel dan memungkinkan perempuan melakukan
pengasuhan dengan tetap bekerja (Saligmann, 2001). Keterbatasan sumberdaya
dan akses terhadap sumberdaya yang ada sering kali menyebabkan perempuan
sulit untuk masuk dalam sektor pekerjaan yang membutuhkan modal besar dan
formal (Chandrakirana & Sadoko, 1995). Kesimpulannya terdapat banyak faktor
dan keterbatasan aset pedagang perempuan dalam memilih jenis usaha yang
dijalankan.
Pilihan usaha perempuan dalam sektor informal biasanya hanya berkisar pada
beberapa komoditi atau beberapa jenis usaha saja. Seperti pedagang sayur,
pedagang jamu keliling, usaha warung makan, pedagang kain, kebutuhan rumah
tangga (peralatan masak dan kelontongan)2. Hal ini mengambarkan tetap ada
pemisahan antara perempuan dan laki-laki dalam sektor informal sekalipun.
Steriotipe perempuan sebagai ibu, pengasuh, lemah-lembut, teliti dan
berhubungan dengan pengurus kebutuhan rumahtangga tetap membuat perempuan
bekerja terkelompokkan oleh nilai budaya dan lingkungan yang membentuknya.
Menghadapi kondisi sektor informal dan kendalanya para pekerja perempuan
memiliki berbagai strategi tersendiri untuk menjaga kelangsungan usaha dan
hidup rumahtangganya. Strategi tersebut dibentuk dari pemanfaatan berbagai
sumber modal yang di miliki dan strategi tiap pekerja perempuan akan berbeda 1 Seligmann (2001), Saftari (1997), Alexander dan Alexander, Lessinger (1995). 2 Dominan ada pada jenis usaha yang disebutkan.
4
sesuai dengan kondisi sumberdaya yang dimiliki serta sejumlah kendala yang
dihadapinya. Penerapan strategi yang berbeda di antara para pedagang perempuan
disektor informal inilah yang membuat studi mengenai strategi nafkah menarik
untuk dilakukan.
1.2 Perumusan Masalah
Sebagaimana telah diuraikan dalam latar belakang bahwa pembangunan telah
membawa dampak pada perubahan peran perempuan dalam rumahtangga baik di
pedesaan maupun di perkotaan. Dalam rumahtangga petani di pedesaan terdapat
pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan, dimana perempuan berperan
besar dalam aktifitas penanaman, pemanenan dan penanganan pasca panen
(penumbukan) (Stoler ,1982). Namun dalam perkembangannya masuknya
teknologi baru, serta industrialisasi “membebaskan” perempuan dari kerja
pertanian. Hal ini berdampak pada hilangnya mata pencaharian perempuan dalam
sektor pertanian. Pekerja perempuan yang keluar dari sektor pertanian akan
mencari sumber nafkah baru di sektor non-pertanian. Jenis pekerjaan yang di
lakukan antara lain berdagang dan pelayanan jasa. Dalam penelitian Stoler (1982)
di desa Kali Loro, menyatakan 40% dari perempuan dewasa melakukan aktiftas
perdagangan dan 30% lainnya pernah berdagang. Kebanyakan perempuan ini
terlibat dalam perdagangan kecil dan dalam sektor informal.
Di perkotaan, tenaga kerja telah tersegmentasi dalam angkatan kerja perkotaan.
Perempuan dikategorikan pada pekerjaan yang tidak membutuhkan keterampilan
dan memiliki upah yang lebih rendah dari pada laki-laki. Hal ini tidak
memberikan banyak pilihan bagi perempuan untuk memperoleh nafkah. Sektor
informal terutama jasa dilihat oleh perempuan sebagai kesempatan untuk
memperoleh nafkah dan memenuhi kebutuhan rumahtangganya. Sektor informal
yang memiliki keterbukaan dan kemudahan dalam memasukinya semakin
menarik para perempuan baik dari pedesaan maupun perkotaan untuk berusaha di
dalamnya.
5
Masuknya perempuan dalam sektor informal juga disertai oleh kendala-kendala
yang membatasi ruang gerak mereka. Ideologi Patriarki yang berlaku umum
dalam masyarakat memegang peranan penting dalam pemilihan usaha. Perempuan
hanya dianggap pencari nafkah sampingan dan laki-laki menjadi pencari nafkah
utama, sehingga mereka diarahkan pada kerja-kerja “khas perempuan” yaitu
perdagangan bahan pangan (makanan, sayur), pakaian dan perabotan
rumahtangga. Ruang gerak mereka juga dibatasi oleh norma dalam masyarakat
yang menganggap tabu perempuan yang tanpa pendamping pergi jauh-jauh dari
rumah (Saptari, 1997). Berubahnya fungsi perempuan dalam rumahtangga sedikit
banyak akan mempengaruhi fungsi anggota rumahtangga yang lain. Hal ini dapat
memberikan dampak yang positif, seperti dengan bekerjanya perempuan maka
semakin meningkatnya pendapatan rumahtangga. Namun disisi lain, peran
pengasuhan, perawatan terhadap anak dan suami akan berkurang porsinya.
Menghadapi berbagai keterbatasan sumber daya dan kendala yang ada dalam
sektor informal, pekerja perempuan memiliki berbagai strategi untuk memastikan
keberlangsungan nafkah rumahtangganya. Strategi-strategi ini sangat ditentukan
oleh sumberdaya yang tersedia dan dapat di manfaatkan. Selain itu strategi yang
di terapkan sangat tergantung pada kondisi saat strategi itu dilakukan.
Berdasarkan pemaparan ini, penulis ingin meneliti lebih lanjut beberapa
pertanyaan penelitian berikut ini:
1. Bagaimana karakteristik pedagang perempuan di sektor informal?
2. Bagaimana aktivitas nafkah yang dijalankan oleh pedagang perempuan di
sektor informal?
3. Bagaimana strategi dan dinamika nafkah yang dibangun oleh pedagang
perempuan untuk mempertahankan keberlangsungan usaha dan
rumahtangganya?
6
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas, maka tujuan
penelitian ini adalah:
1. Menganalisis dan merumuskan karakteristik atau profil pedagang perempuan
di sektor informal.
2. Menganalisis aktivitas nafkah pedagang perempuan di sektor informal.
3. Menganalisis dinamika dan mekanisme proses pencarian nafkah yang
dilakukan oleh pedagang perempuan di sektor informal, sehingga diketahui
strategi nafkah yang dibangun oleh pedagang perempuan untuk memastikan
keberlangsungan usaha dan rumahtangganya.
1.4 Kegunaan Penelitian
Melalui penelitian ini, diharapkan dapat memberikan pengantar atau sebagai
pengenalan lebih lanjut mengenai konsep perempuan bekerja khususnya di sektor
informal sebagai salah satu strategi nafkah rumahtangga. Selain itu, penelitian ini
diharapkan dapat memberikan manfaat bagi peneliti sebagai sarana memahami
permasalahan yang menjadi topik kajian sekaligus untuk mencari penguatan teori
yang telah di peroleh di perkuliahan. Melalui penelitian ini, terdapat juga beberapa
hal yang ingin penulis sumbangkan pada berbagai pihak, yaitu:
1. Dapat menjadi referensi bagi peneliti yang ingin mengkaji permasalahan
perempuan bekerja di sektor publik, khususnya sektor informal secara lebih
mendalam.
2. Dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi para penentu kebijakan dalam
mengambil keputusan yang berkaitan dengan perencanaan ketenagakerjaan,
khususnya pemberdayaan tenaga kerja perempuan.
3. Menambah khasanah pengetahuan tentang kajian perempuan dan peranannya
dalam keberlangsungan nafkah rumahtangga.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pendekatan Teoritis
2.1.1 Sektor Informal Perkotaan
A. Sektor Informal, Pro dan Kontra Konseptualisasi Perekonomian Kota
Untuk memahami pengertian “sektor informal” kita perlu melihat proses
konseptualisasi sektor informal itu sendiri. Pada proses inilah ditemukan faktor-
faktor yang dapat menjelaskan pengertian sektor informal yang selama ini banyak
berlaku. Konsep sektor informal muncul dalam konteks keterlibatan pakar-pakar
internasional3 dalam perencanaan pembangunan di Dunia Ketiga. Gejala ini
muncul setelah kelahiran negara-negara baru pada akhir Perang Dunia II, pada
waktu dimana muncul pula upaya-upaya di tingkat internasional dan nasional
untuk mempercepat lajunya pertumbuhan ekonomi dan perkembangan sosial di
negara-negara baru tersebut.
Lembaga-lembaga internasional seperti The World Bank, International Labour
Organization (ILO) dan International Monetary Fund (IMF) didirikan dalam
konteks ini. Lembaga-lembaga tersebut menyediakan dana, melakukan studi-
studi, mengusulkan kebijakan dan turut campur dalam pengambilan keputusan
menyangkut berbagai bidang yang dianggap mempengaruhi pertumbuhan
ekonomi suatu negara berkembang. Bidang ketenagakerjaan muncul sebagai pusat
perhatian mereka mulai akhir dasawarsa 1960an (Chandrakirana & Sadoko,
1995). Pada tahun 1969 ILO meluncurkan suatu program khusus untuk mencari
strategi-strategi pembangunan yang dapat mengatasi masalah ketenagakerjaan di
Dunia Ketiga. Program ini, yang diberi nama World Employment Program
(WEP), merupakan reaksi terhadap kenyataan bahwa masalah pengangguran dan
kemiskinan di Dunia Ketiga tetap saja tidak terpecahkan. Dalam laporannya, ILO
menyimpulkan bahwa inti permasalahan bukanlah pengangguran semata-mata,
melainkan juga banyaknya pekerjaan yang tidak menghasilkan pendapatan yang
memadai (dibawah garis kemiskinan), rendahnya tingkat produktifitas dan 3 Keith Hart (1973), Sethuraman (1985), Jan Breman (1980)
8
pemanfaatan (under-utilization) tenaga kerja. Selain itu, ILO menemukan adanya
kegiatan-kegiatan ekonomi yang selama ini lolos dari pencacahan, pengaturan dan
perlindungan oleh pemerintah, tetapi mempunyai makna ekonomi karena bersifat
kompetitif dan padat karya, memakai input dan teknologi lokal, serta beroperasi
atas dasar kepemilikan sendiri oleh masyarakat lokal. Kegiatan-kegiatan inilah
yang kemudian disebut “sektor informal”.
Sejak saat itu, penyebaran konsep sektor informal berlangsung dengan pesat. ILO
memprakarsai dan melakukan puluhan penelitian mengenai sektor informal di
negara-negara Afrika, Amerika Latin dan Asia. Di Indonesia sendiri studi tentang
sektor informal mulai dilakukan pada tahun 1975. Studi-studi ILO ini kemudian
diikuti oleh berbagai lembaga lainnya, seperti The World Bank, Universitas-
universitas, kantor-kantor pemerintahan nasional, pusat-pusat penelitian serta
LSM (Harold Lubell, dalam Chandrakirana & Sadoko, 1995).
Sethuraman (1985) dalam tulisannya, menyatakan sektor informal biasanya
digunakan untuk menunjukkan sejumlah kegiatan ekonomi yang berskala kecil.
Sektor informal merupakan manifestasi dari situasi pertumbuhan kesempatan
kerja di negara berkembang, karena mereka yang memasuki sektor ini bertujuan
mencari kesempatan kerja dan pendapatan daripada memperoleh keuntungan.
Pekerja yang memasuki sektor ini pada umumnya miskin, berpendidikan rendah,
tidak terampil dan kebanyakan para migran. Sethuraman menyimpulkan sektor
informal di perkotaan harus dipandang sebagai unit-unit berskala kecil yang
terlibat dalam produksi dan distribusi barang-barang yang masih dalam suatu
proses evolusi daripada dianggap sebagai sekelompok perusahaan yang berskala
besar dengan masukan-masukan (inputs) modal dan pengelolaan (managerial)
yang besar.
Hart (1973) mengambarkan sektor informal sebagai bagian angkatan kerja di kota
yang berada di luar pasar kerja yang terorganisir. Hart menambahkan sektor
informal meliputi bermacam-macam hal, mulai dari usaha-usaha marginal sampai
perusahaan-perusahaan besar. Hart lebih jauh membagi sektor informal menjadi
sektor informal sah dan informal tidak sah. Dalam sektor informal sah, kegiatan
dibagi dalam kegiatan utama, yaitu: kegiatan primer dan sekunder (pertanian,
9
perkebunan, pengerajin), kegiatan tersier (perdagangan, tranportasi dan sewa-
menyewa), distribusi kecil-kecilan (pedagang kelontong, pedagang kaki lima),
Jasa (pengamen, penyemir sepatu, tukang cukur dan perantara) dan transaksi
pribadi (pinjam-meminjam dan pengemis). Kegiatan informal tidak sah dibagi
dalam kegiatan jasa (perdagangan gelap, lintah darat, pelacur) dan transaksi
(pencuri, pemalsuan uang).
Pendapat peneliti-peneliti dunia mengenai sektor informal cukup beragam, de
Soto misalnya, mendefinisikan sektor informal sebagai kegiatan ekonomi di luar
sistem yang legal; sedangkan menurut Portes & Castells (1989) sektor informal
adalah “common sense notion” yang karena batas-batasnya terus bergeser, tidak
dapat dipahami sebagai sebuah definisi ketat. Mereka melihat ekonomi informal
sebagai suatu proses perolehan penghasilan yang mempunyai ciri sentral, yaitu;
tidak diatur oleh lembaga-lembaga sosial, dalam suatu lingkungan legal dan sosial
dimana kegiatan-kegiatan serupa diatur. Batasan ekonomi informal menurut
mereka, bervariasi secara substansial sesuai dengan konteks dan kondisi
historisnya masing-masing. Dapat disimpulkan bahwa, konsep sektor informal
merupakan hasil dari proses panjang perubahan sosial ekonomi dan menemukan
bentuknya yang terdefinisi oleh kondisi jumlah tenaga kerja yang tidak
tertampung dalam sektor formal maupun migran yang datang dari desa.
Kritikan terhadap konsep sektor informal muncul pada dekade terakhir, konsep
sektor informal dianggap terlalu simplistik (Saptari, 1997). Dimana dalam konsep
tersebut hanya membagi sistem ekonomi dalam dua bagian, yang formal dan yang
informal dan dianggap bergerak secara terpisah dalam suatu sistem ekonomi yang
bersifat dualistik. Konsep sektor informal ini dinilai terlalu luas cakupannya
sehingga tidak mempunyai daya analisa yang operasional. Hal ini sejalan dengan
pendapat Breman (1985), menurutnya gambaran sektor informal kurang memadai,
definisi yang kurang baik itu sangat arbiter dimana menganggap mereka yang
berada di sektor ini adalah golongan yang memiliki pendapatan rendah, hidup
serba susah dan semi-kriminal pada batas-batas perekonomian kota. Padahal,
menurut Breman (1985) kegiatan-kegiatan dalam sektor informal secara ekonomis
sangat efisien dan menguntungkan serta tidak bisa dibatasi pasa suasana ekonomi
10
dan/atau suasana perburuhan yang terpisah (dualistik). Kegiatan yang termasuk
sektor informal sangat beraneka ragam dan tidak mungkin untuk membuat
klasifikasi sistematik mengenai pelbagai kegiatan ini dalam satu sektor. Bremen
melihat sektor informal sebagai sebuah continuum dengan garis-garis pembaginya
yang hampir sembarang dan sulit untuk meletakkan garis-garis tersebut dalam
situasi yang nyata.
Kritik Breman terhadap konsep dualistik perekonomian kota (formal vs informal)
dijawab dengan definisinya mengenai pengelompokan kelas sosial penduduk
pekerja. Kelas sosial tersebut adalah: elit pekerja (karyawan-karyawan perusahan
swasta dan lembaga pemerintahan, pekerja dalam industri besar), borjuis kecil
(pemilik toko kecil, kelompok usaha perseorangan, pedagang eceran, pemilik
toko), kaum sub-proletar (buruh-buruh tidak tetap, pembantu rumah tangga,
pedagang kaki lima) dan kaum proletar (pengemis, pengumpul sampah).
B. Ciri-ciri Sektor Informal
Terlepas dari perdebatan mengenai sektor informal, sektor ini memiliki beberapa
ciri yang membedakannya dengan kegiatan perekonomian kota lainnya (merujuk
pada pemisahan “ekonomi formal” dan “ekonomi informal”), ciri-ciri tersebut
adalah:
1. Pola kegiatan tidak teratur baik dalam arti waktu, permodalan maupun
penerimaannya.
2. Tidak tersentuh oleh peraturan-peraturan atau ketentuan yang ditetapkan oleh
pemerintah (sehingga kegiatannya sering dikategorikan liar).
3. Modal, peralatan, perlengkapan maupun omzetnya biasanya kecil dan
tergantung pada sumberdaya lokal, serta diusahakan atas dasar hitungan
harian.
4. Tidak berlangsung di tempat yang tetap dan terkait dengan usaha-usaha lain.
5. Umumnya dilakukan oleh dan melayani golongan masyarakat berpenghasilan
rendah.
11
6. Tidak membutuhkan keahlian dan keterampilan khusus sehingga secara luas
dapat menyerap bermacam-macam tingkat tenaga kerja.
7. Umumnya tiap-tiap satuan usaha memperkerjakan tenaga dalam jumlah kecil
dan dari kalangan keluarga, kenalan atau berasal dari daerah sama.
8. Tidak menerapkan sistem pembukuan dan tidak menaruh akses pada sistem
perkreditan.
9. Kecenderungan tingkat mobilitas kerja dan tempat tinggal cukup tinggi
(Sihite Romany, dalam Sihite, 1991).
Sethuraman (1985) menambahkan tenaga kerja di sektor informal merupakan
migran dari pedesaan di sekitar kota. Kebanyakan kaum migran terdiri dari
mereka yang berpindah dari sektor pertanian ke sektor non pertanian. Hal ini
mencerminkan pendapatan dan kesempatan kerja yang tidak memadai di daerah
pedesaan. Todaro dan Stilkind (4981), menulis bahwa orang-orang desa yang
miskin “didorong” pindah ke kota karena kemandekan atau berkurangnya
kesempatan kerja di desa, dan pada saat yang sama “tertarik” oleh harapan untuk
mendapat pekerjaan lebih baik dan penghasilan tinggi di kota (sektor informal).
C. Sektor Informal vs Sektor Formal
Pembedaan antara sektor formal dan sektor informal dalam perekonomian kota
memang mendapat berbagai kritikan dari beberapa peneliti4, namun dalam
pendeskripsian mengenai kedua sektor ekonomi ini hampir semua peneliti setuju
bahwa kedua sektor ini berbeda nyata dalam karakteristik dan pengelolaan.
Mengacu pada pendapat Saptari (1997), perbedaan antara sektor formal dan sektor
informal dapat dilihat dari aspek legitimasi, kontinuitas usaha, organisasi,
kelenturan penggunaan waktu dan sebagainya. Bila dilihat dari legitimasinya,
secara kasar sektor formal adalah sektor di mana pekerjaan didasarkan atas
kontrak kerja yang jelas, memiliki administrasi usaha, dan upah diberikan secara
tetap. Sementara sektor informal tidak didasarkan kontrak kerja yang jelas,
administrasi sederhana dan penghasilannya tidak tetap. Jika dilihat dari
4 Antara lain Jan Breman (1980), Saptari (1997) dan Carlos Sanchez (1981).
12
kontinuitas usahanya, unit usaha yang termasuk dalam sektor formal adalah unit
usaha yang bermodal besar (sering kali berasal dari modal asing), pemilikan usaha
seringkali berbentuk korporasi, berskala besar, berteknologi tinggi dan beroperasi
di pasar internasional, sedangkan sektor informal mempunyai unit usaha yang
bermodal kecil, kepemilikan oleh individu dan umumnya beroperasi di pasar
lokal.5
Jika dilihat dari Organisasi, sektor formal dijalankan dalam bentuk manajemen
yang jelas dan orang-orang yang bekerja di dalamnya telah terspesialisasi.
Sedangkan sektor informal dijalankan dalam bentuk kekeluargaan dan orang-
orang yang bekerja didalamnya tidak memiliki pembagian kerja yang jelas. Dari
kelenturan penggunaan waktu, sektor formal dilakukan secara berkesinambungan
dan terencana dalam setiap langkah yang diambil, sedangkan sektor informal
dapat dengan mudah menentukan keberlangsungan usahanya.6 Suwartika (2003)
dalam penelitiannya membedakan karakteristik antara sektor formal dan sektor
informal sebagai berikut.
Tabel 1. Perbedaan Karakteristik Antara Sektor Formal dan Sektor Informal No Karakteristik Sektor Formal Sektor Informal 1. Teknologi Capital Intensive Labour Intensive 2. Organisasi Birokratis Hubungan kekeluargaan 3. Modal Berlebih Sedikit 4. Jam Kerja Teratur Tidak teratur 5. Upah Normal dan teratur Tidak teratur 6. Produk/komoditas Berkualitas Tidak berkualitas 7. Harga Harga pas Cenderung bisa
dinegosiasikan 8. Kredit Dari Bank atau Institusi yang
sama dengan bank Pribadi
9. Keuntungan Tinggi Rendah 10. Hubungan Dengan Klien Sangat Formal Secara pribadi 11. Biaya Tetap Besar Kecil (dapat diabaikan) 12. Pemberitaan/ Iklan Penting Kurang penting 13. Pemanfaatan Barang-
barang bekas Tidak berguna Berguna
14 Modal Tambahan Indispensible Dispensible 15. Perangkat Pemerintahan Besar Hampir tidak ada 16. Ketergantungan Tergadap
Dunia Luar Besar, khususnya untuk orientasi ekspor
Hampir tidak ada atau kecil
(Sumber : Chris Gerry (1987) dalam Rika Suwartika, 2003)
5 Saptari, R. 1997. kerja Perempuan dalam Ekonomi Perkotaan dalam Perempuan Kerja dan Perubahan Sosial, Sebuah Pengantar Studi Perempuan. Hal. 358-359 6 Ibid.,
13
Klasifikasi di atas dapat digunakan sebagai alat deskripsi dan klasifikasi. Namun,
Saptari (1997) dalam bukunya menuliskan bahwa pemisahan antara sektor formal
dan informal tidaklah semudah mengklasifikasikan keduanya. Menurutnya,
terdapat kelemahan dalam pemisahan keduanya, dimana terdapat kemungkinan
bahwa sektor informal merupakan bagian dari sektor formal dalam aktifitas
usahanya. Contohnya, pekerja borongan yang hidup-matinya tergantung pada
pesanan yang dilakukan oleh perusahaan besar atau pabrik.
2.1.2 Perempuan di Sektor Informal
Kajian mengenai peranan perempuan di sektor informal semakin banyak
dilakukan oleh para peneliti yang mengkhususkan pada masalah-masalah
perempuan. Hal ini cukup beralasan, karena semakin sentralnya peranan
perempuan di sektor tersebut.
Kegiatan dalam sektor informal telah lama digeluti oleh perempuan termasuk ibu
rumah tangga, baik di daerah perkotaan maupun di pedesaan. Para perempuan ini
terjun sebagai pedagang kecil (small trader), pedagang kakilima, penjaja keliling
dan berjualan dipasar dengan bakul. Dalam laporannya Mayling (1984) yang
dikutip oleh Sihite (1990) jumlah perempuan yang bergerak di sektor
perdagangan informal meningkat dari 62% pada tahun 1971 menjadi 68% pada
tahun 1980 dan pada tahun 1982 tercatat dari seluruh angkatan kerja perempuan,
sekitar 82% atau 21 juta bekerja di sektor informal.
Kebanyakan perempuan yang ada dalam sektor informal dan berprofesi sebagai
pedagang kecil merupakan perempuan dari lapisan bawah dan memiliki
keterdesakan ekonomi. Ketidakmampuan tulang punggung keluarga (suami)
dalam memenuhi kebutuhan keluarga, menuntut perempuan untuk masuk dalam
ranah kerja di sektor publik untuk menghasilkan tambahan penghasilan. Dalam
kasus perempuan janda (single parent), kondisi ini mengharuskan perempuan
untuk bekerja dan menghasilkan uang untuk pemenuhan kebutuhan keluarganya,
sedangkan perempuan dari kelas menengah masuk ke dalam sektor informal
14
cenderung disebabkan oleh keinginan diversifikasi nafkah keluarga dan strategi
akumulasi modal (Saptari, 1997)
Banyaknya perempuan masuk dan bekerja di sektor informal disebabkan oleh
berbagai kendala yang mereka hadapi, antara lain tingkat pendidikan mereka yang
rendah sehingga mereka tidak bisa memasuki lapangan kerja di sektor formal.
Kendala lainnya adalah terbatasnya atau tidak dimilikinya keterampilan khusus
sehingga mereka hanya punya kesempatan memasuki lapangan kerja di sektor
informal dengan imbalan yang relatif kecil (Sihite, 1990)
Faktor lainnya adalah sektor pertanian yang selama ini menampung para
perempuan dinilai semakin lama terasa semakin sulit dan tidak pasti. Hal ini
disebabkan mahalnya harga input pertanian, sempitnya tanah yang dimiliki
membuat para perempuan ini memilih untuk menjual tanahnya dan mencari
sumber keuangan baru. Sektor perdagangan dinilai mampu memberikan hasil
dalam bentuk uang dengan cepat, sehingga menarik para perempuan ini untuk
terlibat di dalamnya. Di perkotaan perempuan masuk ke sektor informal sebagai
bentuk pemanfaatan terhadap keberadaan sektor informal yang telah ada. Sektor
informal dipandang sebagai solusi dari ketidak mampuan sektor formal menyerap
tenaga kerja perkotaan.
Perempuan yang masuk ke sektor informal, seperti berdagang, memiliki
karakteristik khusus, yaitu memiliki modal kecil dan biasanya berasal dari
kepemilikan pribadi (institusi keuangan informal), sebagian besar merupakan
migran (pendatang) dari luar kota, berpendidikan rendah dan tidak memiliki
keterampilan khusus, memiliki peran ganda (tugas pencari nafkah dan tugas
sebagai pengelola rumah tangga), dan tetap melakukan peran pengasuhan.
Seligmann (2001) dalam bukunya “Women Trader in Cros Culture” menjelaskan
bahwa pedagang Perempuan tidaklah sesederhana penjual atau pedagang kakilima
dalam cakupan konsep ekonomi. Sebaliknya, melihat pedagang perempuan
dengan semua kompleksitas dalam posisinya, menjelaskan bagaimana dan
mengapa posisi pedagang perempuan ini berubah dari waktu ke waktu dan untuk
15
dapat melihat struktur sosialnya, harus secara khusus menggambarkan kegiatan
pedagang perempuan.
Seligmann (2001) menjelaskan perempuan pedagang dalam sektor informal
merupakan pengambil resiko “risk taker” yang besar. Hal ini dikarenakan
keterlibatan perempuan dalam perdagangan biasanya hanya dengan modal yang
kecil dan barang dagangannya harus dihabiskan dalam satu hari. Selain itu
perempuan yang menjadi pedagang bakul (pedagang kecil) masih harus
disibukkan dengan berbagai retribusi dari petugas pasar tempat Ia berjualan,
pemimpin informal (Jagoan atau Preman) yang biasanya memungut biaya untuk
penjaminan keamanan berjualan dan sejumlah pungutan-pungutan saat membawa
barang dagangan dari tempat pembelian ke pasar.
Di sisi lain, “Steriotipe” yang berlaku umum selama ini, menganggap perempuan
bekerja merupakan penyimpangan dari hakikat perempuan yang harus ada di
rumah, melakukan fungsi pengasuhan dan pembimbingan terhadap anak, menjadi
kendala bagi perempuan pedagang. Alasan strategi pemenuhan nafkahlah yang
memungkinkan perempuan ini dapat berdagang dan memasuki sektor informal.
Dalam hubungannya dengan pemenuhan nafkah dalam keluarga, perempuan yang
berdagang merupakan aktifitas strategi nafkah ganda yang dilakukan oleh rumah
tangga untuk memenuhi kebutuhan seluruh anggota rumahtangga tersebut. Secara
otomatis, peran produktif perempuan akan meningkat dalam kasus ini. Perempuan
pedagang ini memberikan identitas baru pada diri mereka, bukan saja sebagai ibu,
namun juga sebagai salah satu penopang nafkah keluarga.
2.1.3 Strategi Nafkah (Livelihood Strategy)
A. Definisi Nafkah (Livelihood)
Setiap manusia melakukan berbagai aktivitas dan tindakan dalam hidupnya.
Seperti, membangun jaringan dengan orang lain, melakukan tindakan ekonomi
untuk memenuhi kebutuhan, melakukan berbagai aktivitas produksi yang biasanya
terkonstruksi dari interaksi manusia dengan alam di sekitarnya (bertani, nelayan,
berkebun dan berdagang). Berbagai aktivitas ini akhirnya membentuk pola-pola
16
tertentu yang mendukung pemenuhan kebutuhan dasar maupun nafkah dari
masing-masing anggota masyarakat. Pola-pola aktivitas individu maupun keluarga
dalam memenuhi kebutuhannya bisa disebut pola nafkah. Pola nafkah ini
tercermin dari berbagai aktivitas dan tindakan individu dalam memenuhi
kebutuhan, berbagai aktivitas dan tindakan dalam memenuhi kebutuhan ini
selanjutnya akan disebut sebagai strategi nafkah.
Nafkah (livelihood), dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai cara
hidup. Ellis (2000) mengkonsepsikan nafkah sebagai aset atau modal, akses
terhadap aset dan aktivitas yang dikembangkan oleh seseorang maupun
rumahtangga, dengan mediasi dari lembaga dan hubungan sosial untuk mencapai
derajat kehidupan tertentu. Dengan kata lain, nafkah adalah beragam tipe dan cara
untuk mengamankan eksistensi manusia. Hal ini sejalan dengan pendapat
Chambers & Conway (dalam Ellis, 2000) mendefinisikan unsur-unsur nafkah
(livelihood) antara lain kemampuan atau kapabilitas, aset dan aktivitas untuk
memperoleh hasil untuk kehidupan.
Kapabilitas diartikan sebagai kemampuan individu untuk merealisasikan
potensinya sebagai manusia yaitu meliputi eksistensi dan kemampuan. Eksistensi
berarti sejahtera dan sehat, sedangkan kemampuan manusia berarti kemampuan
untuk memilih, berpartisipasi dalam kegiatan sosial, kemampuan untuk memenuhi
kebutuhan ekonomi, sosial dan personal (Chambers dan Conway dalam Ellis,
2000). Selanjutnya, Lestari (2005) mendefinisikan kapabilitas sebagai
kemampuan manusia untuk memanfaatkan aset yang dikuasainya sehingga ia
dapat bertahan hidup.
Aset diartikan sebagai persediaan modal yang dapat secara langsung atau tidak
langsung digunakan sebagai alat untuk menjamin kehidupan atau memelihara
kesejahteraan rumahtangga sehingga posisinya senantiasa berada di atas batas
survival (Ellis, 2000). Modal adalah persediaan sumberdaya produktif yang
dibangun oleh manusia melalui investasi pendapatan ataupun jaringan sosial
(Scoones, 1998). Menurut Chambers dan Conway dalam Ellis (2000), terdapat
lima tipe modal yang dapat dimiliki atau dikuasai oleh rumahtangga untuk
17
pencapaian nafkahnya. Kelima modal tersebut adalah modal manusia, modal fisik,
modal finansial, modal alam dan modal sosial.
Akses diartikan sebagai aturan dan norma sosial yang mengelompokkan
perbedaan kemampuan dari manusia dalam memanfaatkan aset, kontrol terhadap
aset, ataupun kepemilikan. Akses juga didefinisikan sebagai kemampuan untuk
berpartisipasi atau mendapatkan keuntungan dari hubungan sosial dan pelayanan
publik yang disediakan oleh pemerintah (Scoones, dalam Ellis, 2000).
Selanjutnya, Scoones mengungkapkan bahwa akses terhadap berbadai aset ini
dibangun oleh hubungan sosial antar individu, kelembagaan dan organisasi
produksi pada wilayah dimana strategi nafkah tersebut berkembang.
Nafkah dalam arti means of living seringkali disejajarkan dengan konsep
livelihood, akan tetapi konsep livelihood mencakup pemahaman yang lebih luas
bukan hanya sekedar bagaimana memperoleh penghasilan. Chamber dan Conway
(dalam Dharmawan, 2001) menyatakan bahwa nafkah (livelihood) adalah cara di
mana seseorang memuaskan pencapaian kebutuhannya atau mempertahankan
kehidupannya. Lebih lanjut, Ellis (dalam Dharmawan, 2001) menyatakan bahwa
livelihood meliputi pendapatan, baik dalam bentuk uang tunai “cash”, barang “in
Kind”, jaminan oleh kelembagaan dan jender maupun pengakuan hak milik yang
dibutuhkan untuk mendukung dan memelihara kehidupan. Livelihood juga
merupakan akses terhadap, dan keuntungan yang berasal dari pelayanan publik
dan sosial yang disediakan oleh negara. Disimpulkan oleh Dharmawan (2006)
bahwa livelihood memiliki pengertian yang lebih luas daripada sekedar means of
living yang bermakna secara sempit sebagai mata-pencaharian semata-mata.
Menurut Farrington (1999) konsep nafkah (livelihood) berfokus pada manusia,
holistik dan bergerak pada tataran makro dan mikro. Konsep ini berfokus pada
manusia karena menganalisis bagaimana manusia mengembangkan sumber-
sumber dan peluang nafkah untuk pencapaian tujuannya dalam keluarga.
Pendekatan ini memandang orang miskin bukan objek pasif namun subjek aktif
dari segenap proses dan aktivitas kehidupannya karena individu atau rumahtangga
memiliki kemampuan dan potensi yang dapat dikembangkan untuk mengatasi
permasalahan kehidupan. Bersifat holistik karena mengidentifikasi nafkah, mulai
18
dari peluang hingga batasan pengembangannya. Konsep ini bergerak pada tataran
makro dan mikro karena berusaha menganalisis pengaruh karakteristik makro
terhadap orientasi mikro.
B. Definisi Strategi (Strategy)
Manusia pada dasarnya memiliki sifat yang sama dengan mahluk ciptaan tuhan
lainnya, memiliki insting untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan tetap
mempertahankan hidupnya dalam berbagai kondisi. Hal ini merupakan konsep
awal dari strategi, dimana setiap orang selalu menggunakan berbagai taktik untuk
bertahan hidup.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1991), pengertian strategi adalah
rencana untuk melakukan tindakan. Menurut Crow (dalam Dharmawan, 2001)
strategi adalah pilihan yang diambil dari banyak alternatif yang ada dan
merupakan bagian dari teori pilihan rasional. Strategi merupakan bagian dari
pilihan rasional, artinya setiap pilihan yang dibuat oleh individu, dibuat
berdasarkan pertimbangan rasional dengan mempertimbangkan keuntungan dan
kerugian yang akan diperoleh. Sebagaimana yang diungkapkan Ependi (2004)
dalam penelitiannya menyatakan strategi merupakan respon dari keadaan dan
sumber ekonomi yang serba terbatas (kemiskinan). Selanjutnya Crow (1989)
menyatakan ada beberapa aspek penting dalam strategi, yaitu :
1. Harus ada pilihan yang dapat seseorang pilih sebagai tindakan alternatif.
2. Kemampuan melatih “kekuatan”. Mengikuti suatu pilihan berarti memberikan
perhatian pada pilihan tersebut. Dengan demikian, memberikan perhatian pada
suatu pilihan akan mengurangi perhatian pada pilihan yang lain. Dalam
konteks komunitas, seseorang yang memiliki lebih banyak kontrol (aset) akan
lebih memiliki kekuatan untuk “memaksa” kehendak. Oleh karena itu, strategi
nafkah dapat dipandang sebagai suatu kompetisi untuk mendapatkan aset-aset
yang ingin dikuasai.
3. Dengan merencanakan strategi yang mantap, ketidakpastian (posisi) yang
dihadapi seseorang dapat dieliminir.
19
4. Strategi dibangun sebagai respon terhadap tekanan yang hebat yang menerpa
seseorang.
5. Harus ada sumber daya dan pengetahuan sehingga seseorang bisa membentuk
dan mengikuti berbagai strategi yang berbeda.
6. Strategi biasanya merupakan keluaran dari konflik dan proses yang terjadi
dalan rumah tangga.
C. Strategi Nafkah (Livelihood Strategy)
Dharmawan (2006) menjelaskan, strategi nafkah lebih mengarah pada pengertian
livelihood strategy. Yaitu, sebagai taktik dan aksi yang dibangun oleh individu
ataupun kelompok dalam rangka mempertahankan kehidupan mereka ataupun
memperbaiki status kehidupan dengan tetap memperhatikan eksistensi instruktur
sosial, struktur sosial dan sistem nilai budaya yang berlaku. Strategi nafkah
(livelihood strategy) juga sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dan
ketersediaan sumberdaya, sehingga bentuk strategi nafkah tiap komunitas dan
keluarga masing-masing memiliki keunikan tersendiri dan berbeda. Seperti pada
penelitian Ependi (2004) menyatakan sumberdaya nafkah yang ada pada
komunitas mempengaruhi strategi nafkah yang diterapkan oleh komunitas yang
bersangkutan.
Strategi nafkah (livelihood strategy) dianalisis pada level rumahtangga, hal ini
sesuai dengan pendapat dari Daharmawan (2001) yang menyatakan bahwa tiap
individu dalam mengambil keputusan dan tindakan selalu dipengaruhi oleh
anggota lain dalam rumahtangganya dan tidak pernah didefinisikan sebagai
mahluk yang bebas nilai. Crow (1989) (dalam Dharmawan, 2001) juga
berpendapat bahwa setiap individu dalam organisasi (rumahtangga maupun
masyarakat) selalu terikat pada norma dan budaya tertentu yang membimbing dan
mengarahkan mereka dalam melakukan tindakan maupun mengabil keputusan.
Dengan kata lain, Strategi diungkapkan sebagai sebuah kompromi dan keputusan
bersama diantara anggota rumahtangga, meskipun keputusan yang diambil akan
dilaksanakan oleh seorang individu saja. Oleh karena itu, dalam analisis strategi
nafkah sangat penting untuk mengetahui karakteristik dari rumahtangga yang akan
diteliti dan mengetahui siapa yang memiliki kekuasaan dalam rumahtangga.
20
Merujuk pada Scoones (1998), dalam penerapan strategi nafkah, rumahtangga
petani memanfaatkan berbagai sumberdaya yang dimiliki dalam upaya untuk
dapat bertahan hidup. Scoones membagi tiga klasifikasi strategi nafkah (livelihood
strategy) yang mungkin dilakukan oleh rumah tangga petani, yaitu :
1. Rekayasa sumber nafkah pertanian, yang dilakukan dengan memanfaatkan
sektor pertanian secara efektif dan efisien baik melalui penambahan input
eksternal, seperti teknologi dan tenaga kerja (intensifikasi), maupun dengan
memperluas lahan garapan (ekstensifikasi).
2. Pola nafkah ganda (diversifikasi), yang dilakukan dengan menerapkan
keanekaragaman pola nafkah dengan cara mencari pekerjaan lain selain
pertanian untuk menambah pendapatan. Atau dengan mengerahkan seluruh
tenaga kerja keluarga (Ayah, Ibu dan anak) untuk ikut bekerja–selain
pertanian–dan memperoleh pendapatan, dan
3. Rekayasa spasial (migrasi), merupakan usaha yang dilakukan dengan
melakukan mobilitas ke daerah lain di luar desanya, baik secara permanen
maupun sirkuler untuk memperoleh pendapatan.
Selain berbasis pada sumberdaya yang tersedia, strategi nafkah juga dapat
dikembangkan melalui jaringan sosial dan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat,
dan disebut modal sosial. De Haan (2000) mengungkapkan modal sosial adalah
termasuk didalamnya “access” dan “clime” yang berkaitan dengan institusi, pola
hubungan, nilai-nilai, dan sikap yang mengatur hubungan antara orang dan
memiliki kontribusi pada pembangunan sosial ekonomi. Dengan kata lain strategi
nafkah berbasis modal sosial adalah strategi yang memanfaatkan jaringan sosial
maupun kelembagaan yang dikembangkan oleh komunitas. Dharmawan (2002)
menyatakan dalam konsep modal sosial terdapat tiga esensi penting yang
mendukung stok modal sosial, yaitu: kepercayaan (trust), jejaring sosial (social
networking) dan norma-norma (shared norms). Stok modal sosial inilah yang
dapat membantu rumahtangga dalam menghadapi tekanan dengan mendorong
terjalinnya kerjasama dalam hubungan antara anggota dalam komunitas.
21
Dharmawan (2001) membagi strategi nafkah dalam dua fase kehidupan
rumahtangga petani. Yaitu strategi nafkah yang dikembangkan saat kehidupan
berada dalam keadaan normal dan strategi nafkah yang dikembangkan saat
kehidupan berada dalam keadaan krisis (aktivitas nafkah tidak mencukupi
kebutuhan dasar). Menurut Manig (1997) (dalam Dharmawan, 2001) ada empat
strategi yang dikembangkan oleh rumahtangga saat keadaan normal, yaitu;
strategi akuisisi (segala aktivitas yang memanfaatkan sumberdaya yang tersedia
di alam), strategi alokasi (mengalokasikan segala sumberdaya baik materil
maupun immateril untuk memenuhi kebutuhan rumahtangga), strategi produksi
(mentransformasikan materi menjadi bentuk energi lain, sehingga dapat
digunakan untuk pemenuhan kebutuhan) dan strategi pemanfaatan jaringan
sosial (modal sosial).
Strategi yang dikembangkan saat rumahtangga mengalami kondisi krisis,
diperjelas kembali oleh Herbon (dalam Dharmawan, 2001) dengan membagi
tahapan krisis menjadi tiga tahapan. Yaitu;
1. Tahapan antisipasi krisis, strategi yang dilakukan adalah meliputi kegiatan
untuk membangun jaringan sosial yang memberikan jaminan keamanan
materil dan immateril, strategi produksi, strategi akumulasi surplus dan
strategi akuisisi.
2. Tahapan terjadinya krisis, dihadapi dengan strategi eksploitasi sumberdaya
seoptimum mungkin, mengurangi konsumsi, dan melakukan strategi
perlawanan (pemberontakan).
3. Tahapan pemulihan krisis, diisi dengan aktivitas memperbaiki kerusakan dan
mengusahakan kembali akses terhadap sumberdaya.
2.1.4 Sumber-sumber Nafkah
Pilihan strategi nafkah sangat ditentukan oleh ketersediaan akan sumberdaya dan
kemampuan mengakses sumber-sumber nafkah tersebut. Sumber-sumber nafkah
sendiri, sering disebut sebagai “modal”, sebagaimana Scoones (1998)
mendefinisikan konsep modal sebagai segala sesuatu yang dapat menciptakan
22
kehidupan atau meningkatkan makna hidup. Musyarofah (2006) mendefinisikan
modal sebagai semua hal yang dapat dimanfaatkan oleh rumahtangga, sedangkan
modal mengacu pada semua hal yang dimiliki atau dapat diakses oleh
rumahtangga. Dharmawan (2001) menjelaskan, sumber nafkah rumahtangga
sangat beragam (multiple source of livelihood), karena rumahtangga tidak
tergantung hanya pada satu pekerjaan dan satu sumber nafkah tidak dapat
memenuhi semua kebutuhan rumahtangga. Selanjutnya, Scoones membagi konsep
modal menjadi;
1. Modal alam (Natural Capital)
Merupakan sumber-sumber nafkah yang berasal dari alam dan terkait dengan
proses-proses alamiah, misalnya kondisis tanah, air, udara, siklus hidrologi
dan sebagainya.
2. Modal Fisik (Physical Capital)
Merupakan berbagai alat yang digunakan dalam kegiatan produksi. Seperti,
peralatan pertanian, mesin, saluran irigasi, gedung dan sebagainya.
3. Modal Manusia (Human Capital)
Merupakan sumberdaya yang terkait dengan manusia yang melakukan
berbagai aktivitas, keterampilan, pendidikan, pengetahuan, kesehatan dan
sebagainya.
4. Modal Keuangan (Financial Capital)
Merupakan modal yang sangat esensial terkait dengan strategi nafkah,
misalnya kepemilikan aset ekonomi untuk produksi, modal dalam bentuk uang
tunai, barang-barang untuk kebutuhan konsumsi dan akses terhadap kredit
juga termasuk dalam modal keuangan.
5. Modal Sosial (Social Capital)
Merupakan sumberdaya sosial yang terdiri dari jaringan sosial, kalim sosial,
hubungan sosial, keanggotaan dan perkumpulan yang dimasuki oleh anggota
keluarga yang dapat memberikan manfaat bagi yang bersangkutan.
23
Scoones (1998) menambahkan, dari kelima modal tersebut, modal keuangan dan
modal manusialah yang sering disebut sebagai “modal” dalam arti ekonomi.
Keduanya dinilai mampu menghasilkan pendapatan dengan segera dan mudah
untuk diperhitungkan. Modal alam sangat tergantung kepada kemampuan individu
untuk mengakses sumberdaya alam yang ada. Kemampuan untuk akses inilah
yang membuat perbedaan antara kelas-kelas dalam masyarakat. Modal sosial
sendiri memiliki arti yang berbeda dan seringkali dibahas secara khusus. De Haan
(2000) menjelaskan modal sosial dapat memfasilitasi tindakan aktor-aktor di
dalam struktur sekaligus menetapkan aktor-aktor tersebut dalam aspek-aspek
struktural. Singkatnya modal sosial diartikan sebagai kegiatan tolong-menolong
antar tetangga, organisasi keagamaan, arisan dan sebagainya.
2.1.5 Rumahtangga
Rumahtangga diartikan sebagai seorang atau sekelompok orang yang mendiami
sebagian atau seluruh bangunan fisik dan biasanya makan bersama dari satu
dapur7. Satu dapur disini maksudnya dalam pengelolaan kebutuhan sehari-hari
setiap anggota rumahtangganya dijadikan satu dan dikelola oleh seorang atau
bersama. Pendefinisian rumahtangga dilakukan untuk menegaskan pengertian
perempuan sebagai bagian dari rumahtangga. Dalam usaha perdagangannya
perempuan tidak bebas nilai dan mendapat pengaruh dari anggota rumahtangga
lainnya. Mengacu pada pendapat Dharmawan (2001), bahwa strategi nafkah
(livelihood strategy) dianalisis pada level rumahtangga dan tiap individu dalam
mengambil keputusan dan tindakan selalu dipengaruhi oleh anggota lain dalam
rumahtangganya. Crow (dalam Dharmawan, 2001) juga berpendapat bahwa setiap
individu dalam organisasi (rumahtangga maupun masyarakat) selalu terikat pada
norma dan budaya tertentu yang membimbing dan mengarahkan mereka dalam
melakukan tindakan maupun mengabil keputusan.
Saptari dan Holzner (1997) menulis terdapat dua pandangan dalam menganalisis
kerja perempuan dalam rumahtangga. Pertama, rumahtangga dipandang sebagai
7 Pengertian rumahtangga dari BPS (digunakan dalam sensus penduduk)
24
sumber subordinasi perempuan. Pandangan ini beranggapan bahwa posisi rendah
perempuan dalam pasar tenaga kerja disebabkan oleh posisi mereka di dalam
rumahtangga. Dalam kerangka pandangan ini, rumahtangga dilihat sebagai wadah
dimana terdapat perbedaan kepentingan dan terdapat ketegangan-ketegangan yang
umumnya diselesaikan dengan menggunakan garis otoritas ayah. Pandangan
kedua menjelaskan rumahtangga sebagai sumber dukungan atau solidaritas
perempuan. Dalam kerangka pandangan ini rumahtangga dilihat sebagai tempat
perlindungan, dukungan dan sumber kekuatan untuk melakukan perlawanan atau
untuk sekedar bertahan. Walaupun kedua pandangan ini mewakili kutub yang
bertolak belakang, dalam analisnya kedua pandangan ini tidak saling tolak
menolak. Di satu sisi tidak dapat disangkal bahwa dari sudut ekonomi dibutuhkan
sumbangan dan kerja anggota rumahtangga untuk bisa meneruskan kelangsungan
rumahtangga. Namun disisi lain seringkali pembagian kerja dan pengambilan
keputusan dalam rumahtangga bisa menjadi sumber konflik atau ketegangan di
antara anggota rumahtangga itu sendiri.
2.2 Kerangka Konseptual
Penelitian ini dilakukan untuk melihat bagaimana dinamika dan mekanisme
strategi nafkah pedagang perempuan di sektor informal perkotaan di Pasar Anyar,
Kota Bogor, Jawa Barat. Studi strategi nafkah dilakukan untuk mengetahui
bentuk-bentuk strategi nafkah yang dilakukan oleh pedagang perempuan di Pasar
Anyar dan alasan yang melatarbelakanginya.
Sektor informal telah lama digeluti oleh perempuan termasuk ibu rumah tangga,
baik di daerah perkotaan maupun di pedesaan. Para perempuan ini bekerja sebagai
pedagang kecil (small trader), pedagang kakilima, penjaja keliling dan berjualan
di pasar (Mayling, 1984). Banyaknya perempuan masuk dan bekerja di sektor
informal disebabkan oleh sektor pertanian yang selama ini menampung para
perempuan dinilai semakin lama terasa semakin tidak memberi kepastian dalam
pemenuhan kebutuhan keluarga. Hal ini dikarenakan mahalnya harga input
pertanian, semakin berkurangnya lapangan pekerjaan di sektor ini, sempitnya
tanah yang dimiliki membuat para perempuan ini memilih untuk mencari sumber
25
keuangan baru. Disisi lain sektor perdagangan dan pelayanan jasa dinilai mampu
memberikan hasil dalam bentuk uang dengan cepat, sehingga menarik para
perempuan ini untuk terlibat di dalamnya. Sedangkan di perkotaan, perempuan
telah tersegmentasi dalam pasar tenaga kerja. Perempuan dipandang cocok untuk
pekerjaan yang tidak membutuhkan keterampilan dan memiliki upah yang lebih
rendah dari pada laki-laki. Hal ini membuat perempuan tidak memiliki banyak
kesempatan untuk bekerja di sektor formal. Sektor informal yang telah ada,
dimanfaatkan oleh tenaga kerja perempuan di perkotaan untuk memperoleh
nafkah dan memenuhi kebutuhan rumahtangganya. Mereka bekerja sebagai
pedagang, pembantu rumahtangga ataupun pelacur.
Alasan lainnya adalah ketidakmampuan tulang punggung keluarga-dalam hal ini
suami-dalam memenuhi kebutuhan keluarga, menuntut perempuan untuk masuk
dalam ranah kerja di sektor informal, untuk menghasilkan tambahan penghasilan.
Perempuan dari kelas menengah masuk ke dalam sektor informal cenderung
disebabkan oleh keinginan diversifikasi nafkah keluarga dan strategi akumulasi
modal (Saptari, 1997). Masuknya perempuan ke sektor informal disebabkan oleh
berbagai alasan, antara lain tingkat pendidikan mereka yang rendah sehingga
mereka tidak bisa memasuki lapangan kerja di sektor formal. Alasan lainnya
adalah terbatasnya atau tidak dimilikinya keterampilan khusus sehingga mereka
hanya punya kesempatan memasuki lapangan kerja di sektor informal dengan
imbalan yang relatif kecil. (Sihite, 1990)
Perempuan yang berada di sektor informal, contohnya berdagang, memiliki
beberapa karakteristik khusus, yaitu memiliki modal kecil dan biasanya berasal
dari kepemilikan pribadi (institusi keuangan informal), sebagian besar merupakan
migran (pendatang) dari luar kota, berpendidikan rendah dan tidak memiliki
keterampilan khusus, memiliki peran ganda (tugas pencari nafkah dan tugas
sebagai pengelola rumah tangga), dan tetap melakukan peran pengasuhan
(Seligmann, 2001). Karakteristik tersebut tercipta dari situasi sosial-ekonomi yang
melatarbelakangi perempuan saat masuk ke sektor informal.
Berada di sekor informal, berarti pedagang perempuan harus menghadapi
berbagai kendala di sektor publik untuk melakukan aktifitas pemenuhan
26
nafkahnya. “Steriotipe” yang berlaku umum dalam masyarakat, menganggap
perempuan bekerja merupakan penyimpangan dari hakikat perempuan yang harus
ada di rumah, melakukan fungsi pengasuhan dan pembimbingan terhadap anak,
menjadi kendala tersendiri bagi perempuan. Hal ini akan membatasi cakupan
ranah kerjanya dan membatasi pilihan pekerjaan yang mungkin untuk dilakukan.
Kebijakan pemerintah yang cenderung anti pada sektor informal (seperti PKL)
menjadi rintangan tersendiri untuk berusaha di bidang ini. Penggusuran,
penertiban dan penyitaan alat berdagang menjadi rutinitas yang sangat dekat
dengan sektor informal. Menghadapi berbagai kendala tersebut, pedagang
perempuan di sektor informal biasanya memiliki berbagai strategi untuk
memastikan keberlangsungan usahanya untuk pemenuhan nafkah rumahtangga.
Strategi yang diterapkan sangat khas, dan berbeda antara pedagang perempuan
yang satu dan yang lainnya. Perbedaan ini terjadi karena perbedaan sumberdaya
yang dimiliki dan perbedaan situasi yang melatar belakangi sebuah strategi.
Berdasarkan kerangka konseptual, penelitian ini diawali dengan mendefinisikan
karakteristik para pedagang perempuan ini, memahami mereka sebagai salah satu
bagian dari sistem ekonomi perkotaan dan bagian dari rumahtangga. Studi
selanjutnya mengenai aktivitas nafkah yang dilakukan oleh pedagang perempuan
dan bagaimana mereka menanfaatkan sumberdaya yang tersedia untuk
memastikan keberlangsungan nafkahnya. Studi mengenai aktivitas dan dinamika
aktifitas ini selanjutnya digunakan untuk memahami pilihan strategi nafkah
pedagang perempuan di sektor informal. Pada gambar 1 disajikan bagan alur
pemikiran.
27
Faktor penarik 1. Tidak membutuhkan
keterampilan khusus dan tingkat pendidikan tertentu.
2. Waktu kerja yang fleksibel dan dengan mudah dapat keluar masuk.
3. Modal yang dibutuhkan untuk memulai usaha tidak besar.
Faktor pendorong 1. Perubahan Struktur ekonomi pedesaan. 2. Segmentasi tenga kerja perkotaan,
sempitnya kesempatan perempuan di sekor industri.
3. Nafkah yang diperoleh suami tidak mencukupi kebutuhan rumahtangga.
4. Kasus janda (single parent). Perempuan sebagai tulang punggung nafkah rumahtangga
Sektor informal (menjadi pedagang)
Perempuan dalam rumahtangga
Pola aktifitas nafkah pedagang perempuan
Dinamika dan mekanisme strategi nafkah
pedagang perempuan
Strategi nafkah pedagang
perempuan spesifik
Keterangan : : Mempengaruhi : Masuk ke : Merumuskan
Gambar 1. Bagan kerangka konseptual
28
2.3 Batasan Pengertian
Sektor Informal Perkotaan
Sektor informal merupakan hasil dari proses panjang perubahan sosial ekonomi
dan menemukan bentuknya yang terdefinisi oleh kondisi jumlah tenaga kerja yang
tidak tertampung dalam sektor formal maupun migran yang datang dari desa.
Memiliki ciri pola kegiatan tidak teratur baik dalam arti waktu, permodalan
maupun penerimaannya; modal, peralatan, perlengkapan maupun omzetnya
biasanya kecil dan tergantung pada sumberdaya lokal serta diusahakan atas dasar
hitungan harian; umumnya dilakukan oleh dan melayani golongan masyarakat
berpenghasilan rendah; tidak membutuhkan keahlian dan keterampilan khusus
sehingga secara luas dapat menyerap bermacam-macam tingkat tenaga kerja;
umumnya tiap-tiap satuan usaha memperkerjakan tenaga dalam jumlah kecil dan
dari kalangan keluarga, kenalan atau berasal dari daerah yang sama.
Kecenderungan tingkat mobilitas kerja dan tempat tinggal cukup tinggi. (Sihite
Romany, dalam Sihite, 1991).
Pedagang Perempuan
Perempuan yang bekerja sebagai pedagang kecil (small trader), pedagang
kakilima, penjaja keliling dan berjualan dipasar dengan bakul. Kebanyakan
perempuan yang ada dalam sektor informal dan berprofesi sebagai pedagang kecil
merupakan perempuan dari lapisan bawah dan memiliki keterdesakan ekonomi;
ketidakmampuan tulang punggung keluarga (suami) dalam memenuhi kebutuhan
keluarga; dan perempuan janda (single parent),
Perempuan yang masuk ke sektor informal, seperti berdagang, memiliki
karakteristik khusus yaitu memiliki modal kecil dan biasanya berasal dari
kepemilikan pribadi (institusi keuangan informal), sebagian besar merupakan
migran (pendatang) dari luar kota, berpendidikan rendah dan tidak memiliki
keterampilan khusus, memiliki peran ganda (tugas pencari nafkah dan tugas
sebagai pengelola rumah tangga), dan tetap melakukan peran pengasuhan.
29
Strategi Nafkah
Berbagai bentuk aktivitas yang dibangun oleh rumahtangga dengan
memanfaatkan berbagai sumber modal yang dimiliki dan kapabilitas dukungan
sosial yang beragam untuk bertahan hidup atau meningkatkan taraf hidupnya.
Rumahtangga
Seorang atau sekelompok orang yang mendiami sebagaian atau seluruh bangunan
fisik yang makan dari satu dapur yang sama. Anggota rumahtangga merupakan
setiap individu yang bertempat tinggal di suatu rumahtangga dan berkontribusi
dalam aktivitas rumahtangga (Produksi, konsumsi dan pengambilan keputusan).
Pola Aktivitas Pedagang Perempuan
Aktivitas yang dilakukan oleh perempuan dalam perdagangan yang dilakukan
secara berulang dan telah terpola untuk memastikan keberlangsungan usaha
pedagangannya.
30
BAB III
METODOLOGI 3.1. Pendekatan Penelitian, Strategi Penelitian dan Metode Pengumpulan
Data
3.1.1 Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif.
Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang mengambil fakta berdasarkan
pemahaman subyek penelitian, mengetengahkan hasil pengamatan itu secara
sangat rinci (Agusta, 1998). Pendekatan kualitatif lebih menekankan pada
kedalaman dan kecukupan informasi dan berusaha membangun teori minimal
teori tentang unit analisis yang diteliti. Pendekatan kualitatif ini digunakan untuk
menggambarkan pola aktifitas nafkah para pedagang perempuan di sektor
informal berdasarkan pemahaman subyek penelitian. Selain itu, pendekatan
kualitatif juga digunakan untuk memahami dinamika dan mekanisme strategi
nafkah yang diterapkan oleh pedagang perempuan untuk menjamin kelangsungan
usahanya. Kerangka konseptual yang telah dibangun peneliti menjadi pengarah
agar hasil penelitian dapat memenuhi tujuan penelitian. Penyusunan hasil
penelitian bukan untuk generalisasi konsep kerja perempuan di sektor informal,
namun di gunakan untuk mempermudah dalam memahami dan menganalisis fakta
yang ditemukan dilapangan.
3.1.2 Strategi Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode studi kasus. Melalui metode studi kasus
peneliti bermaksud untuk mencari, menerangkan dan menganalisis peristiwa
sosial yang sedang terjadi secara holistik dan mendalam tentang permasalahan
penelitian. Peneliti menggunakan metode studi kasus karena penelitian berada
pada studi aras mikro, yaitu perempuan yang melakukan aktifitas nafkah
(berdagang) di sektor informal dalam memenuhi kebutuhan nafkah
rumahtangganya. Penelitian ini mensyaratkan interaksi langsung antara peneliti
dengan tineliti, karena penelitian ini bermaksud mengetahui dan memahami
pemaknaan tineliti terhadap aktifitas nafkah yang mereka lakukan di sektor
31
informal. Tipe studi kasus yang dilakukan dalam penelitian ini adalah tipe kasus
instrumental, yaitu studi kasus yang memperlakukan kasus pedagang perempuan
sebagai instrumen untuk memahami kondisi pedagang perempuan di sektor
informal perkotaan.
Enam rumahtangga pedagang perempuan yang dijadikan kasus dalam penelitian
ini dipilih berdasarkan keragaman karakteristik dari pedagang perempuan.
Keragaman karakteristik ini dijadikan gambaran pembanding antara rumahtangga
pedagang perempuan untuk melihat perbedaan strategi nafkah yang diterapkan.
Pemilihan pedagang perempuan sebagai kasus dilakukan setelah peneliti
melakukan wawancara pendahuluan dan pengamatan di Pasar Anyar.
3.1.3 Metode Pengumpulan Data
Penulis menggunakan triangulasi metodologi untuk menggali data mengenai
strategi nafkah yang diterapkan oleh pedagang perempuan di Pasar Anyar.
Triangulasi metodologi yang digunakan adalah kombinasi dari teknik
pengumpulan data dengan menggunakan metode wawancara mendalam,
pengamatan berperan serta, dan kajian literatur.
Wawancara mendalam menggunakan teknik bola salju untuk mengenal
responden. Pada awalnya pilihan terhadap informan dan responden dilakukan
dengan cara sengaja (purposive), dengan mendatangi aparatur pemerintah maupun
tokoh masyarakat dimana penelitian dilakukan. Dalam hal ini Pak Iw yang
mewakili PT PMU sebagai pihak swasta yang mengelola pasar dan Pak Mrf
sebagai tokoh pedagang dipilih sebagai informan. Wawancara awal tersebut
diharapkan akan membantu peneliti menemui informan lain dan juga responden
yang memiliki data yang bermanfaat bagi penelitian. Informan yang telah ditemui
memberikan beberapa nama pedagang perempuan yang kemudian diwawancarai
dan diminta kesediannya untuk menjadi responden penelitian.
Wawancara mendalam dilakukan untuk memperoleh data mengenai karaktetistik
pedagang perempuan yang menjadi responden, aktivitas pedagang perempuan
dalam usaha dan rumahtangganya, serta untuk mengetahui dinamika strategi
nafkah yang dilakukannya. Wawancara mendalam dilakukan beberapa kali,
32
karena data tidak bisa diperoleh secara lengkap hanya dari satu kali wawancara.
Kesediaan dan waktu yang dimiliki pedagang perempuan sangat menentukan
jalannya wawancara, sehingga peneliti harus membangun hubungan baik dengan
responden pedagang perempuan untuk mengumpulkan data selengkap-
lengkapnya. Wawancara pertama dilakukan untuk memperkenalkan diri dan
menanyakan kesediaan pedagang perempuan yang telah dipilih untuk menjadi
responden. Wawancara selanjutnya merupakan wawancara informal di sela waktu
berdagang di pasar dan di rumah responden.
Pengumpulan data dalam penelitian juga didukung oleh pengamatan berperan
serta. Pengamatan berperan serta berguna untuk melihat, merasakan, dan
memaknai dunia beserta ragam peristiwa dan gejala sosial di dalamnya
sebagaimana subyek penelitian melihat, merasakan dan memaknainya sehingga
memungkinkan pembentukan pengetahuan secara bersama (Agusta, 1998).
Pengamatan berperan serta bersifat terbatas. Pada tipe pengamatan berperan serta
yang terbatas ini peneliti tidak merahasiakan identitasnya. Peneliti melakukan
wawancara informal dan formal sekaligus berperan serta dalam beberapa kegiatan
tineliti. Contohnya, membantu Ibu Enh berdagang dan mengunjungi kediamannya
untuk melihat aktivitas Ibu Enh saat di rumah; Mengamati Ibu Yh saat berdagang
dan membantu Ibu Ngm waktu mengangkut barang dagangannya saat kabur dari
petugas Sat Pol PP. Pengamatan berperan serta terbatas dilakukan untuk menjaga
kealamian kejadian atau pendapat tineliti sehingga informasi yang didapat
merupakan informasi yang sesuai dengan apa yang dilakukan tineliti.
Kajian literatur berasal dari data pengelola pasar untuk mengetahui gambaran
umum lokasi penelitian, seperti keadaan lokasi dan aksesibilitas pasar tersebut.
Peneliti juga melakukan penelaahan literatur buku teks yang berisi rujukan teori
dan beberapa hasil penelitian terdahulu dengan topik yang sama, melalui surat
kabar dan juga internet. Kajian literatur merupakan data sekunder dalam
penelitian. Data pengelolaan pasar diperoleh dari UPTD Pasar Anyar dan PT
PMU. Karena daerah penelitian terdapat diwilayah blok C dan D; ada dibawah
pengelolaan PT PMU, data lebih banyak berasal dari PT PMU.
33
Studi riwayat hidup adalah bahan keterangan tertulis mengenai pengalaman
kehidupan individu-individu tertentu, sebagai warga dari sesuatu masyarakat yang
sedang diteliti (Koentjaraningrat, 1985). Studi riwayat hidup ini digunakan untuk
menangkap dan mengetahui dinamika dan mekanisme strategi nafkah yang
ditetapkan oleh pedagang perempuan yang dipilih sebagai responden, sehingga
akan diperoleh pemahaman mendalam mengenai strategi nafkah tersebut.
Penggalian data mengenai riwayat hidup tidak bisa hanya dilakukan satu kali
wawancara, tetapi harus berulang dan dalam suasana yang nyaman. Dalam hal ini
peneliti melakukan tiga sampai empat kali wawancara untuk memahami dan
menggambarkan alur riwayat hidup ke enam pedagang perempuan yang menjadi
responden.
Penyusunan hasil wawancara mendalam, pengamatan berperanserta dan studi
riwayat hidup akan berbentuk catatan harian yang menjadi data primer dalam
penelitian. Catatan harian merupakan uraian rinci maupun kutipan langsung dari
responden. Isi catatan harian terbagi menjadi dua bagian, yaitu pertama bagian
deskriptif yang berisi semua peristiwa dan pengalaman yang dilihat dan didengar
peneliti Dan kedua adalah bagian reflektif, yakni analisis data yang didapat. Hal
ini berarti selama melakukan pengumpulan data peneliti juga berusaha
menganalisis data.
3.2 Subjek Penelitian
Responden merupakan pihak yang akan memberi keterangan mengenai diri
sendiri dan keluarganya, sedangkan informan merupakan pihak yang akan
memberi keterangan tentang pihak lain dan lingkungannya, contohnya seperti
pengelola pasar. Informan kemudian akan membantu penulis untuk memilih
responden yang tepat bagi penelitian dan atau memberi keterangan tambahan
tentang topik kajian. Responden yang dipilih secara sengaja (Purposive)
berdasarkan kebutuhan data untuk menjawab permasalahan penelitian. Orang-
orang yang pertama saya kenal di Pasar Anyar adalah Bapak Iw yang mewakili
pihak pengelola pasar dan Bapak Mrf. Kedua orang ini selanjutnya dikategorikan
sebagai informan dan memberikan data-data seputar sejarah pasar, pedagang
34
perempuan dan perubahan-perubahan yang terjadi pada Pasar Anyar dari waktu ke
waktu. Dari Bapak Iw, saya berkenalan dengan Ibu Yh, Ibu Krs, Ibu Ngm dan Ibu
Epn yang selanjutnya menjadi responden dalam penelitian. Ibu Enh dan Ibu Tn
menjadi responden saya setelah saya melakukan pengamatan ulang ke Pasar
setelah terjadi penggusuran pada bulan Oktober 2007. Para responden yang telah
terpilih selanjutnya memberi keterangan mengenai diri dan keluarganya pada
peneliti.
Pemilihan Ibu Yh sebagai responden, dilatarbelakangi oleh perpindahan jenis
usaha yang dilakukan oleh Ibu Yh. Ibu Epn dipilih karena seringnnya berpindah
tempat usaha. Ibu Krs dipilih karena dinamika aktivitas nafkahnya sukses
menaikan tingkat sosialnya. Ibu Ngm dipilih karena latar belakang nafkahnya
sebagai migran sirkuler. Ibu Tn dipilih sebagai responden karena latar belakang
menjadi pedagang adalah terlempar dari pasar kerja formal dan Ibu Enh dipilih
karena latar belakang aktifitas nafkah sebagai tulang punggung keluarga.
Informasi yang diperoleh dari responden juga dilengkapi dengan informasi yang
diperoleh dari anggota rumahtangga yang lainnya maupun orang yang membantu
usaha perdagangannya.
3.3 Lokasi dan Waktu Penelitian
Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive), yaitu di Pasar
Anyar, Kota Bogor, Propinsi Jawa Barat. Alasan Pasar Anyar dijadikan lokasi
penelitian adalah Pasar Anyar dipilih berdasarkan kesesuaian dengan topik
penelitian, yakni mekanisme strategi nafkah di sektor informal–lokasi pasar di
sepanjang jalan kompleks Stasiun Bogor dan sebagian besar pedagang di pasar ini
ada pada sektor informal–dan fokus penelitian, yakni pedagang perempuan.
Selain itu, Pasar Anyar dilewati oleh beberapa jalur angkutan kota yang
memudahkan masyarakat Kota Bogor untuk berbelanja dan berjualan di pasar ini
(letak pasar tergolong strategis). Setelah melakukan pengamatan awalan, penulis
menemukan bahwa Blok C dan Blok D adalah wilayah pasar yang paling banyak
pedagang informalnya. Hal ini dikarenakan kedua blok tersebut adalah pusat dari
perdagangan sembako dan sayur mayur. Pedagang yang ada di blok ini rata-rata
35
pedagang kecil dan memiliki hanya satu kios, selain itu banyak pedagang kaki
lima yang memadati koridor dan emperan kios. Dengan alasan inilah, penulis
menentukan wilayah Blok C dan menjadi fokus lokasi penelitian.
Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2007 sampai dengan Februari 2008.
Kurun waktu penelitian yang dimaksud mencakup waktu semenjak peneliti
intensif berada di lokasi penelitian. Pilihan waktu tersebut dilakukan dengan
mempertimbangkan waktu yang diperlukan untuk menangkap bentuk mekanisme
strategi yang mungkin dilakukan oleh pedagang perempuan untuk menjaga
keberlangsungan nafkah rumahtangganya.
3.4. Teknik Analisis Data
Data yang diperoleh dari responden dan informan selanjutnya dicatat dalam
catatan harian. Pada saat melakukan pengumpulan data di lapangan peneliti juga
melakukan analisis data yang didapat. Data-data direduksi (pemilihan, pemusatan
perhatian pada penyederhanaan, dan transformasi data “kasar” yang muncul dari
catatan-catatan tertulis di lapangan). Reduksi data bertujuan untuk menajamkan,
menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan
mengorganisasikan data sedemikian rupa sehingga kesimpulan akhir dari
pemaknaan aktifitas nafkah oleh pedagang perempuan dapat dilakukan. Reduksi
dalam proses pengumpulan data meliputi kegiatan-kegiatan meringkas data,
mengkode, menelusur tema, membuat pengelompokan data, dan membuat memo.
Kegiatan-kegiatan ini berlansung sejak pengumpulan data sampai dengan
penyusunan laporan.
Penyajian data yang telah direduksi berbentuk teks naratif dan matriks yang akan
mengambarkan karakteristik para pedagang perempuan ini dan pemaknaan
mereka mengenai aktifitas kerjanya yang terdapat di lapangan. Data ini kemudian
menjadi bahan penulis pada saat pemaparan hasil penelitian. Penulis juga
melakukan penyempurnaan dan bahkan revisi kerangka berpikir yang disesuaikan
dengan keadaan di lapangan. Tujuan penyempurnaan dan revisi tersebut, yaitu
dapat membantu peneliti menarik suatu kesimpulan yang akan mengarahkan pada
36
pengambilan kesimpulan berikutnya. Kesimpulan-kesimpulan juga diverifikasi
selama penelitian berlangsung dengan cara memikir ulang selama penulisan,
tinjauan ulang pada catatan lapangan.
Hasil penelitian disusun dalam enam tahap penulisan dimana bagian pertama
merupakan penjabaran metode penelitan, bagian kedua menguraikan profil Pasar
Anyar yang menjadi lokasi penelitian, bagian ketiga memaparkan karakteristk dari
pedagang perempuan, bagian keempat menjelaskan pola aktifitas pedagang
perempuan, bagian kelima adalah menjelaskan berbagai strategi nafkah yang
diterapkan pedagang perempuan. Bagian terakhir akan menyajikan dinamika
strategi yang dilakukan pedagang perempuan untuk mempertahankan
keberlangsungan usahanya dan laporan penelitian ini ditutup dengan kesimpulan
dan saran penulis.
37
BAB IV
PROFIL PASAR ANYAR
4.1 Lokasi dan Lingkungan Pasar
Pasar Anyar atau yang lebih dikenal dengan Pasar Kebon Kembang terletak di
Kecamatan Bogor tengah dan termasuk pasar besar di Kota Bogor. Bangunan
pasar berdiri di atas tanah seluas 26.757 m2, menjadikan Pasar Anyar sebagai
pasar terluas di Bogor. Jumlah pedagang yang menempati bangunan pasar adalah
2.343 orang yang terdiri dari 761 pedagang kios, 1.424 pedagang los dan 158
pedagang kaki lima. Jumlah ini masih belum termasuk pedagang kaki lima yang
berjualan di Jalan MA Salmun dan Dewi Sartika. (UPTD Pasar Anyar, 2007).
Pasar Anyar telah ada sejak zaman pendudukan Jepang, dahulu pasar telah
menjadi tempat perdagangan berbagai komuditas pertanian dari daerah sekitar
Kota Bogor. Pada masa itu, bangunan pasar masih sangat sederhana dengan
bangunan los-los yang dibuat dari bambu dan beratap jerami. Hingga pada tahun
1970, pemerintah mulai membangun Pasar Anyar dan diakui sebagai aset
pemerintah daerah Kota Bogor (Tanah Milik Negara). Pasar dibangun dengan satu
lantai, menggunakan beton, namun masih sangat sederhana.
Tahun 1980, Pasar Anyar kembali dibangun oleh pemerintah dengan melibatkan
PT PMX sebagai pengembang swasta. Pasar diperbaiki dan ditambah instalasi
listrik serta air. Tahun 1987, tepatnya tanggal 3 Maret 1987, terjadi kebakaran di
Pasar Anyar, kebakaran ini menghanguskan sebagian besar bangunan pasar dan
membuat para pedagang rugi karena hampir sebagian besar barang dagangan
mereka ikut hangus terbakar. Pemerintah mengalihkan para pedagang ke tempat
penampungan sementara yang berada di sepanjang Jalan Dewi Sartika, Nyi Raja
Permas dan MA Salmun. Tahun 1989, pasar telah dibangun kembali dan resmi
dioprasikan. Kali ini pemerintah bekerja sama dengan PT BRM membangun
kembali pasar dan menjadikan PT BRM sebagai pengelola pasar. Pasar Kebon
Kembang dibangun menjadi tiga lantai dan dibeton permanen, kios-kios seluas
tiga x tiga ditata berhadapan dan lantainya dilapisi keramik, pasar juga dilengkapi
38
instalasi listrik dan air. Wajah Pasar Anyar berubah dari pasar tradisional menjadi
pasar semi modern. Bagian barat pasar disewa oleh Ramayana Departemen Store,
sehingga menambah kesan perubahan wajah pasar. Oleh karena citra inilah nama
Pasar Kebon Kembang diganti menjadi Pasar Anyar, dengan maksud membangun
pasar yang baru, yang lebih baik. Para pedagang yang kiosnya terbakar, kembali
menempati bangunan pasar dan diberikan kebebasan untuk memilih kios yang
dinilai strategis untuk usahanya, walaupun harus tetap membayar biaya
kepemilikan usaha atas kios.
Kebakaran besar tahun 1996, tepatnya tanggal 28 Maret 1996, menghanguskan
sebagian besar bangunan pasar, khususnya Ramayana Departemen Store.
Kebakaran ini menelan korban 10 korban jiwa dan menyebabkan kerugian
puluhan juta rupiah. Pedagang yang kiosnya terbakar dipindahkan ke jalan sekitar
pasar, sementara gedung pasar dibangun kembali. Keadaan ini membuat Pasar
Anyar terkesan semerawut dan kumuh. Para pedagang berjualan di kaki lima dan
sisi-sisi jalan, membuat jalan ini tidak bisa dilalui angkutan kota. Kesemerawutan
ini pun terjadi karena tidak hanya pedagang yang kiosnya terbakar yang berjualan
di sisi-sisi jalan, akan tetapi semakin banyaknya pedagang kaki lima yang ikut
berdagang di daerah penampungan ini. Mereka melihat hal ini sebagai peluang
usaha, karena pemerintah membebaskan berdagang di jalan-jalan sekitar Pasar
Anyar.
Tahun 1997, PT PMU memenangkan kualifikasi investasi penyertaan modal
swasta pada aset pemerintah dan diberikan izin untuk membangun kembali Pasar
Anyar dan mengelolanya. Tahun 2000, pembangunan gedung pasar selesai dan
resmi beroprasi. Pedagang kembali menempati bangunan pasar dan membeli kios-
kios seharga Rp.17.000.000,00,- (dari pengelola). Pasar dibangun menjadi 4
lantai, lantainya dilapisi keramik dan dipasang instalasi listrik serta air. PT
Propindo juga membangun beberapa instalasi pemadam kebakaran dan
mengaktifkan hidran disekitar pasar untuk mencegah kebakaran serupa terjadi.
Hingga kini Pasar Anyar memiliki 2.343 kios dan dibagi atas 5 blok. Pengelolaan
pasar dilakukan bersama oleh PT PMU dan Pemerintah Kota Bogor melalui
UPTD pasar.
39
Tahun 2004, kembali terjadi kebakaran di Pasar Anyar. Kebakaran terjadi di Blok
E dan menghanguskan 800 kios. Kebakaran terjadi karena konsleting listrik di
salah satu kios di blok ini. Para pedagang yang kiosnya terbakar, diperbolehkan
berdagang di sekitar pelataran parkir pasar dan di sepanjang ruas Jalan MA
Salmun, Nyi Raja Permas dan Dewi Sartika. Kebakaran yang terjadi berulang kali
di Pasar Anyar membuat pasar semakin semrawut dan kumuh. Pedagang kaki
lima yang berjualan di sekitar pasar pun menyebabkan kemacetan lalu lintas di
sekitar pasar.
4.2 Pengelolaan Pasar
Menurut peraturan daerah Kota Bogor Nomor 7 tahun 2003, tentang
penyelenggaraan pasar, mengatur pasar sebagai tempat yang ditetapkan oleh
pemerintah daerah sebagai tempat bertemunya pihak penjual dan pembeli untuk
melaksanakan transaksi jual beli barang dan jasa. Pelayanan pasar adalah fasilitas
pasar berupa kios atau los yang dikelola pemerintah daerah dan khusus disediakan
untuk pedagang. Menjadikan Pasar Anyar sebagai sebuah asset pemerintah daerah
yang dikelola melalui UPTD pasar di bawah Dinas Perindustrian, Perdagangan
dan Koperasi. Namun dalam pelaksanaannya, Pemerintah Daerah bekerjasama
dengan pihak Swasta, yaitu PT PMU untuk mengelola Pasar Anyar. Hal ini
diperbolehkan sesuai dengan peraturan penanaman modal swasta dalan asset
pemerintahan.
Pasar Anyar dibangun menjadi 6 blok yang pengelolaannya dilakukan bersama
oleh UPTD Pasar Anyar dan PT PMU. Blok-blok tersebut dibagi sesuai dengan
komoditas yang diperdagangkan. Blok-blok tersebut adalah:
• Blok A, yang lokasi nya berada di gedung bagian tengah pasar memiliki 2
lantai (lantai dasar dan lantai 1) merupakan pusat elektronik (TV, DVD
Player, Sound System, DLL). Jumlah kios sekitar 400 kios
• Blok B, terletak digedung sebelah barat pasar menghadap ke Jln. Nyi Raja
Permas. Memiliki 2 lantai (lantai dasar dan lantai 1) dan basemen merupakan
pusat penjualan sepatu dan tas. Jumlah kios/ toko sekitar 500 kios.
40
• Blok C dan D, terletak di gedung sebelah timur menghadap ke Plaza Dewi
Sartika. Memiliki 3 lantai dan 1 basemen merupakan pusat penjualan
sembako, sayuran, daging (kebutuhan rumahtangga) dan produk garmen
(pakaian jadi). Jumlah kios dan toko ada 865 kios
• Blok E, terletak di gedung sebelah barat pasar menghadap ke Jalan Dewi
Sartika. Memiliki 2 lantai dan 1 basement. Merupakan pusat penjualan
sembako, alat pertanian, salon dan perlengkapan untuk pernikahan. Jumlah
kios sekitar 600 kios dan toko.
• Blok F, terletak di gedung paling barat pasar dan disewa oleh Borobudur
Depatrtemen Store.
Pembagian blok ini dilakukan untuk mempermudah pengelolaan, dimana blok A
menjadi pusat penjualan alat-alat elektronik, blok B menjadi pusat penjualan
sepatu dan tas, blok C dan D menjadi pusat penjualan pakaian jadi dan sayur
mayur (sayur-mayur terletak di lantai basemen pasar blok C dan D), blok E
menjadi pusat perlengkapan alat-alat pernikahan, penjahit dan salon. Jika ada
pedagang yang ingin berdagang sayur, mereka akan mengurus perizinan untuk
menempati salah satu kios di blok C atau D. Pengelolaannya pasar anyar dibagi
atas wilayah pengelolaan. Pembagian tersebut adalah sebagai berikut:
• Blok A, B, E dikelola oleh UPTD (Unit Pengelolaan Tingkat Daerah) milik
pemerintah.
• Blok C dan D dikelola oleh PT PMU sebagai pihak swasta yang bekerjasama
dengan pemerintah.
• Blok F dikelola oleh Borobudur Departemen Store sebagai pihak yang
menggunakan hak guna bangunan sebagai tempat usaha dalam skala besar.
Pedagang yang ingin memiliki kios di Pasar Anyar harus mengurus kepemilikan
kartu kuning ke Departemen Perdagangan dan Industri Kota Bogor dan menyewa
kios (kios tidak bisa di beli karena tanah milik negara, hanya boleh memiliki hak
izin usaha atas bangunan) kepada pengelola pasar. Izin kepemilikan kios berlaku
selama 15 tahun dan harus diperbaharui tiap 15 tahun. Pembelian hak izin usaha
atas kios dapat dilakukan dengan kredit atau tunai. Setelah pedagang memiliki
41
kartu kuning dan hak izin usaha atas bangunan barulah kios dapat digunakan
untuk usaha perdagangan. Pedagang dapat memindah-tanggankan kepemilikan
izin usahanya kepada orang lain namun hal ini harus diberitahukan kepada pihak
pengelola. Pedagang dikenakan biaya retribusi sebesar Rp. 600/m2/hari dan biaya
kebersihan serta keamanan sebesar Rp. 2.000/hari. Pungutan dilakukan tiap hari
oleh petugas pengelola yang berkeliling pasar setiap hari. Pedagang juga harus
membayar pemakaian listrik dan air tiap bulannya kepada pengelola.
Ada beberapa peraturan tambahan yang diterapkan oleh pengelola pasar, seperti
peraturan tinggi etalase, penggunaan tabung gas dan alat elektronik dan
pemakaian koridor untuk usaha. Setiap pedagang yang melanggar akan diberikan
peringatan lisan, jika masih melanggar maka pedagang akan dipanggil ke kantor
pengelola untuk diberikan peringatan tertulis dan izin usaha akan dicabut jika
pedagang melakukan pelanggaran keras. Pelanggaran keras disini maksudnya
adalah pedagang melakukan usaha yang merugikan orang lain, berdagang
komoditi yang berbahaya, seperti daging yang dioplos dan melakukan penipuan.
Pedagang kakilima yang menempati koridor dan pelataran pasar, dinilai oleh
pengelola sebagai pihak yang meramaikan pasar dan mendukung usaha para
pedagang yang ada di pasar. Pihak pengelola tetap menerapkan retribusi dan uang
kebersihan yang sama kepada pedagang kakilima ini. Jika ada yang melakukan
pelanggaran, saksi yang diberikan pun sama dengan sanksi yang diberikan kepada
pedagang yang memiliki kios. Pedagang kakilima ini tidak terdata dalam
pengelolaan pasar, namun Pak Iw, Humas PT PMU menyatakan ada sekitar 4000
pedagang kakilima yang berada di Pasar Anyar. Mereka tersebar di berbagai sisi
pasar bahkan ada yang berjualan sampai ke daerah presiden-Jalan MA Salmun-
(dahulunya bioskop presiden). Menurut Pak Iw selama pedagang kakilima
berusaha di pelataran gedung, radius 200 meter dari pasar tidak akan merugikan
pedagang. Hal ini malah meramaikan pasar dan menjadi daya tarik bagi
konsumen. Akan tetapi jika pedagang kakilima berusaha diluar jarak ini atau
malah meluas. Hal ini dapat merugikan pedagang dalam pasar, karena pedagang
kakilima ini dapat merebut pembeli/konsumen yang seharusnya berbelanja di
gedung pasar.
42
4.3 Aksesibilitas Pasar Anyar
Pasar Anyar merupakan pasar yang letaknya strategis, di tengah kota, lokasinya
dekat dengan Stasiun Bogor dan dilalui oleh beberapa jalur angkutan kota. Pasar
Anyar dikelilingi oleh jalan arteri utama yang dilalui oleh beberapa trayek
angkutan kota, berikut daftar trayek angkutan kota yang melalui jalan disekitar
Pasar Anyar.
Tabel 2. Trayek Angkutan Kota yang Melalui Pasar Anyar Bogor, Jawa Barat. No Jalan Angkot Jurusan 1.
Jln. Dewi Sartika
• No.12 • No.02 • No.03 • No.08 • No.16 • No.07
• Cimanggu-Pasar Anyar • Sukasari-Bubulak • Baranang Siang-Bubulak • Citeureup-Cibinong-Pasar Anyar • Salabenda-Pasar Anyar • Bojong Gede-Pasar Anyar
2. Jln. MA. Salmun • No.10 • Ramayana-Pasar Anyar 3.
Jln. Nyi Raja Permas • No.10 • No.02 • No.03
• Ramayana-Pasar Anyar • Sukasari-Bubulak • Baranang Siang-Bubulak
4. Jln. Pengadilan • No.07A • No.07
• Pondok Rumput-Pasar Anyar • Bojong Gede-Pasar Anyar
Sumber: Laporan Pengelolaan Pasar Anyar, 2007
Kemudahan dalam akses pasar lah yang menjadi alasan Pasar Anyar sangat ramai
dan banyak pedagang kaki lima yang berdagang di sekitar pasar. Pedagang kaki
lima ini berasal dari berbagai daerah Kabupaten Bogor, seperti Ciampea dan
Parung.
Pasar Anyar juga dekat dengan permukiman penduduk, permukiman yang ada di
sekitar pasar antara lain Komplek Perumahan BPK di Jalan Gedong Sawah dan
kawasan Permukiman Pabaton, Ardio, Ciwaringin dan Merdeka. Hal ini juga
membuat Pasar Anyar selalu ramai pengunjung. Selain itu, terdapat beberapa
sarana pendidikan yang letaknya berdekatan dengan Pasar Anyar, antara lain SDN
Negeri Pengadilan I s/d V, SMP Negeri II Bogor, dan TK-SD-SMP-SMA Regina
Pacis Bogor.
43
4.4 Sarana dan Prasarana
Pasar Anyar yang dibangun menjadi pasar semi modern juga memiliki beberapa
sarana penunjang usaha perdagangan, antara lain, fasilitas kuli bongkar muat
barang, tempat pembuangan sampah, kelembagaan keuangan formal dan koperasi
pedagang. Pasar juga dilengkapi basement sebagai tempat parkir bagi pembeli,
mushola dan pos keamanan. Ada beberapa bank yang terdapat disekitar Pasar
Anyar, bank-bank tersebut adalah sebagai berikut.
Tabel 3. Bank-bank yang terdapat disekitar Pasar Anyar Bogor, Jawa Barat. No Bank Lokasi 1. Bank Central Asia Jln. Dewi Sartika 2. Bank Ekonomi Jln. Pengadilan 3. Bank Buana Jln. Dewi Sartika 4. Bank Permata Ruko Sentral Jln. Dewi Sartika 5. Bank BRI Ruko Sentral Jln. Dewi Sartika 6. Bank NISP Ruko Sentral Jln. Dewi Sartika 7. Bank Danamon Blok A, Pasar Anyar 8. Bank Windu kencana Jln. Dewi Sartika
Sumber: Laporan Pengelolaan Pasar Anyar, 2007
Keberadaan Bank di daerah sekitar pasar memudahkan para pedagang untuk
memperoleh keredit usaha. Pak Iw menyatakan, pihak dari bank sering
mendatangi para pedagang untuk menawarkan layanan kredit yang mereka miliki
(sistem jemput bola). Beliau menyatakan banyak pedagang yang memanfaatkan
pelayanan kredit usaha dari bank. Tapi biasanya pedagang yang menggunakan
fasilitas kredit dari bank adalah pedagang yang memiliki kios dan memiliki modal
yang besar. Lembaga keuangan lainya yang ada di pasar adalah koperasi usaha,
dan arisan yang dibuat oleh para pedagang sendiri. Koperasi pedagang saat ini
tidak berjalan lagi, menurut Pak Iw, hal ini terjadi karena pedagang tidak percaya
lagi dengan koperasi karena pernah terjadi penyelewengan dana pedagang untuk
kepentingan pribadi pengurus koperasi.
Arisan pedagang diselenggarakan dan dikelola sendiri oleh pedagang. Pedagang
yang tergabung dalam satu kelompok arisan biasanya karena kedekatan tempat
usaha atau berada dalam satu blok atau satu koridor. Selain itu, ada juga arisan
yang diselenggarakan karena kesamaan daerah asal pedagang, contohnya arisan
pedagang yang berasal dari Jawa tengah, arisan pedagang yang berasal dari
Padang.
44
Kuli bongkar muat barang dikelola oleh UPTD, untuk menggunakan fasilitas ini,
pedagang membayar setiap bulan pada UPTD pasar. Pedagang yang biasa
menggunakan kuli bongkar muat adalah pedagang sepatu yang ada di sepanjang
Jalan Nyi Raja Permas, karena mereka melayani penjualan dalam partai besar dan
membutuhkan bantuan kuli untuk memuat barang dagangannya. Kapasitas parkir
basement blok CD dapat menampung sekitar 60 mobil ukuran sedang serta 300
unit motor, sementara pelataran pasar mampu menampung 200 motor atau 20 unit
mobil. Pelataran parkir ini sebagian besar digunakan pedagang kaki lima untuk
menggelar dagangannya.
4.5 Kelembagaan Pedagang
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari responden dan informan diketahui
bahwa pedagang yang melakukan usaha di Pasar Anyar pernah membentuk
sebuah organisasi atau perkumpulan sebagai wadah aspirasi mereka. Organisasi
pedagang ini diberi nama Ikatan Kesejahteraan Warga Pasar (IKWP). IKWP
dibangun sebagai wadah bagi para pedagang untuk mencurahkan keluhan mereka
terhadap pengelola pasar dan sebagai wadah silahturahmi sesama pedagang.
Menurut pengakuan Pak Mrf8, IKWP berperan besar dalam menjaga ketertiban
pasar dan kebersihan pasar. IKWP menjelma menjadi lembaga yang mengelola
kebersihan pasar, hingga memiliki dua mobil sampah, delapan gerobak sampah
dan belasan peugas kebersihan. Namun karena Pemerintah Kota Bogor menilai
keberadaan IKWP bertindihan fungsinya dengan Dinas kebersihan, IKWP diminta
untuk di bubarkan. Menurut Pak Mrf kebijakan ini kurang tepat, karena yang
mengetahui keadaan pasar adalah pedagang sendiri, bukan orang-orang dinas
pemerintah. Namun saat itu, tidak ada yang berani protes, sehingga IKWP
dibubarkan dan aset dilelang. Hasil penjualan aset disumbangkan ke
pembangunana Masjid Agung Kota Bogor (Masjid yang ada di sebelah barat
Pasar Anyar). Saat ini tidak ada organisasi yang menjadi perwakilan pedagang.
8 Informan dalam penelitian. Beliau merupakan tokoh pedagang yang berpengaruh dan disegani di lingkungan Pasa Anyar. Pernah menjabat sebagai ketua IKWP tahun 1980-1986 dan saat ini menjadi ketua pengurus mushola blok C dan D Pasar Anyar.
45
Jika para pedagang mengalami masalah maka langsung mengadu ke pihak
pengelola.
Setelah IKWP dibubarkan, tidak pernah ada lagi organisasi yang dibentuk
pedagang sebagai wadah untuk menampung aspirasi mereka. Pedagang Pasar
Anyar hanya melakukan aktifitas yang diorganisir jika menghadapi hari-hari besar
seperti perayaan 17 Agustus (hari kemerdekaan) dan untuk mengumpulkan
sumbangang atas bencana di suatu daerah. Contohnya, saat menghadapi acara hari
perayaan kemerdekaan, pedagang berembuk dan berkumpul untuk
menyumbangkan sejumlah uang ataupun barang dagangannya untuk meramaikan
acara peringatan hari kemerdekaan. Mereka juga menyumbangkan sejumlah uang
ataupun barang dagangan mereka saat terjadi bencana tsunami yang melanda
Aceh.
Diantara pesama pedagang sendiri dibuat berbagai macam bentuk arisan dan
perkumpulan sesama pedagang dalam skala kecil. Arisan ini dapat berbentuk
arisan uang dan arisan sembako. Arisan dilakukan oleh beberapa pedagang yang
tempat berjualannya berdekatan atau pedagang yang berasal dari daerah yang
sama. Para pedagang mengaku, dengan mengikuti arisan mereka dapat
memperoleh uang untuk tambahan modal usaha ataupun jaminan saat tidak
adanya pendapatan.
Selain ikut serta dalam arisan, pedagang juga membangun kepercayaan antara
sesama pedagang, terutama pedagang yang kiosnya berdekatan. Contohnya saat
menjajakan dagangannya, kadangkala pedagang harus meninggalkan
dagangannya untuk ke toilet, sholat atau melakukan keperluan lainnya. Saat
meninggalkan dagangannya, pedagang menitipkan dagangannya ke sesama
pedagang yang berada si sebelah kiri atau kanannya. Memberi tahu harga
dagangannya dan berpamitan. Saat ada pembeli yang ingin membeli dagangan,
tetangga yang dititipi melayani pembeli tersebut, dan menerima uang yang
diberikan oleh pembeli. Memang ada sedikit kesulitan jika pembeli menawar
harga, biasanya yang dititipi sulit untuk mengabulkan harga yang diminta
pelanggan. Contoh peristiwa ini menunjukkan bahwa kepercayaan yang dibangun
46
oleh para pedagang dalam lingkungan pasar menjadi modal tersendiri untuk
memastikan kelangsungan usaha perdagangan.
4.6 Penggusuran dan Penertipan Pedagang kaki lima di Sekitar Pasar
Pedagang kaki lima banyak dijumpai di sekeliling Pasar Anyar. Mereka
menjajakan apa saja, mulai dari buah-buahan sampai peralatan pertukangan.
Mereka menempati trotoar atau memakai badan jalan untuk menggelar
dagangannya. Hal inilah yang membuat wajah Pasar Anyar terkesan kumuh dan
semerawut. Angkutan kota tidak dapat melalui jalan karena badan jalan telah
digunakan oleh PKL dan sampah yang dibuang dipinggir jalan membuat pasar
semakin kumuh. Pemerintah Kota Bogor sendiri telah menjadikan ‘penertiban
PKL’ sebagai agenda khusus pemerintah daerah, sehingga pemda membuat perda
No. 13 tahun 2005, untuk mengatur PKL di wilayah kota Bogor. Pada saat
penelitian diadakan, Pemerintah Kota Bogor melakukan penertiban terhadap PKL
ini dan membongkar awning yang menjadi tempat berdagang mereka. Tepatnya
pada bulan Oktober 2007, awning yang merupakan kerangka besi di sepanjang
Jalan MA Salmun dan Dewi Sartika dibongkar dan dibersihkan. Kedua jalan
tersebut dikembalikan fungsinya dan PKL dilarang untuk berjualan di sepanjang
jalan ini.
Awalnya pembangunan awning adalah kebijakan pemerintah daerah Kota Bogor
untuk menampung para pedagang Pasar Anyar yang kiosnya terbakar pada tahun
2004. Awning ini dibentuk sedemikian rupa seperti lorong yang dilengkapi meja
untuk menggelar barang dagangan dan diberi atap dari terpal untuk melindungi
dari panas dan hujan. Pedagang yang kiosnya terbakat dapat berdagang di awning
tersebut dengan menyewa meja dan membayar retribusi pada pengelola. Awning
ini sendiri memiliki masa berlaku, berdasarkan perda No.13 tahun 2005 dan perda
No.8 tahun 2006, awning hanya dipakai selama dua tahun yaitu dari tahun 2005-
2007 dan dengan asumsi pembangunana pasar telah selesai seluruhnya. Setelah
masa berlaku habis, maka pedagang diharapkan dapat kembali masuk ke pasar
dan berangsur meninggalkan awning. Jadi awning ini berfungsi sebagai tempat
47
penampungan sementara bagi pedagang yang kiosnya terbakar saat insiden
kebakaran tahun 2004.
Namun dalam proses pelaksanaannya, yang berdagang dan menggunakan awning
tidak hanya pedagang yang kiosnya terbakar, tetapi juga banyak sekali PKL yang
ikut menggunakan bagian luar awning (menggunakan badan jalan yang
seharusnya untuk jalur angkot) dan tidak mengindahkan kebersihan dan ketertiban
di sekitar awning. Penyalahgunaan fungsi awning ini membuat Jalan MA Salmun
dan Jalan Dewi Sartika tidak bisa dilalui oleh angkot lagi, kalaupun bisa
kondisinya macet dan becek, karena enam puluh persen badan jalan telah
digunakan untuk berdagang. Sat Pol PP dan DLLAJ Kota Bogor telah melakukan
beberapa kali penertiban agar jalur angkot dapat berfungsi kembali, namun hal ini
nanya bertahan sementara.
Tahap pembersihan awning melibatkan 130 personel Sat Pol PP dan juga bekerja
sama dengan Dinas Kebersihan Kota Bogor, dilakukan pada tanggal 30 Oktober
2007-5 November 2007. Pembongkaran ini berjalan dengan aman dan tidak
terjadi protes atau kerusuhan. Paska pembongkaran Jalan MA Salmun dan Dewi
Sartika bersih dari PKL dan mulai dilakukan pembangunan pot-pot bunga (dari
beton) di kanan-kiri jalan dan perbaikan pedestrian oleh Dinas Pertamanan.
Namun satu minggu kemudian, mulai muncul banyak PKL yang menggunakan
pedestrian untuk menggelar dagangannya. Hal ini sulit untuk dicegah karena PKL
menggantungkan pendapatan mereka dari usaha perdagangan ini, jadi ketika
mereka dilarang untuk berdagang berarti menutup sumber pendapatan mereka.
4.7 Ikhtisar
Pasar Anyar yang terletak di tengah Kota Bogor memiliki fungsi yang sangat
penting dalam perekonomian masyarakat Bogor. Letaknya yang strategis
membuat Pasar Anyar selalu ramai dengan pembeli dan menguntungkan sebagai
tempat usaha. Pengelolaan pasar yang ditata dengan membagi wilayah
pengelolaan antara pemerintah daerah dan swasta menunjukan keterbukaan
pemerintah dalam pengembangan asset negara. Namun disisi lain, Pasar Anyar
48
seringkali mengalami kebakaran, hal ini merugikan pedagang dan masyarakat di
sekitar pasar. Banyaknya pedagang kaki lima yang berdagang di sekitar Pasar
Anyar juga disebabkan oleh penempatan pedagang yang kiosnya terbakar ke
jalan-jalan sehingga mengundang para pengangguran yang memiliki sedikit modal
untuk mencoba peruntungan dengan berdagang di kaki lima. Penertiban PKL yang
dilakukan oleh Pemerintah Kota Bogor menjadi isyarat bahwa dibutuhkan sebuah
pengaturan ataupun pengelolaan pasar yang lebih baik untuk menjamin
berjalannya aktifitas perekonomian Kota Bogor tanpa merugikan lingkungan di
sekitar pasar dan ketertiban di sekitar pasar.
49
BAB V
KARAKTERISTIK PEDAGANG PEREMPUAN
5.1 Karakteristik Individu
Pedagang perempuan memiliki karakteristik individu yang membedakannya
dengan pekerja pada sektor lain. Karakteristik ini berpengaruh pada pilihan
profesi mereka sebagai pedagang di sektor informal dan bagaimana mereka
menjalankan usahanya. Karakteristik individu dari pedagang perempuan yang
dijadikan responden akan disajikan dalam tabel berikut.
Tabel 4. Karakteristik Individu Pedagang Perempuan Responden Pedagang Perempuan No. Karakteristik Individu Frekwensi Persentase Total
1. Daerah Asal • Desa 3 50% 3(50%) • Kota 3 50% 3(50%)
2. Status • Belum menikah 0 0% 0(0%) • Menikah - Masih bersuami 5 83,3% 5(83,3%) - Janda 1 16.7% 1(16.7%)
3. Tingkat Pendidikan • Tinggi (>SMA) 1 16,7% 1(16,7%) • Rendah (< SMU) 5 83,3% 5(83,3%)
4. Umur • Produktif (10-55) 6 100% 6(100%) • Non Produktif 0 0% 0(0%)
5. Status Kependudukan • Migran 2 33,3 % 2(33,3%) • Non Migran 4 66,7 % 4(66,7%)
Sumber: Data primer penelitian, Januari 2008
Tabel 4 memperlihatkan karakteristik individu pedagang perempuan di sektor
informal. Karakteristik ini dibedakan atas daerah asal, status pernikahan, tingkat
pendidikan, umur pedagang dan status kependudukannya.
5.1.1 Daerah Asal
Usaha perdagangan di sektor informal sangat mudah dimasuki oleh tenaga kerja,
baik laki-laki ataupun perempuan. Dengan sedikit modal yang dimiliki,
perempuan dapat dengan mudah masuk ke sektor ini. Dari penelitian yang ada
selama ini, telah diketahui bahwa pekerja yang ada di sektor informal sebagian
50
besar adalah masyarakat pedesaan yang ‘terlempar’ dari sektor pertanian karena
kelebihan tenaga kerja. Perempuan dari desa, bermigrasi ke kota untuk mencari
pekerjaan dan memperbaiki ekonomi rumahtangganya. Dari tabel 4 diketahui
bahwa 50 persen pedagang berasal dari desa, contohnya pada kasus Ibu Ngm, dan
Ibu Krs. Keduanya datang ke Bogor dari desanya untuk mencari pekerjaan dan
mengharapkan pendapatan yang lebih baik. Seperti pernyataan Ibu Ngm berikut
ini;
“Pindah ke Bogor alasannya sawah tidak cukup lagi untuk makan. Dulu harga pupuk dan bibit mahal jadi, biaya untuk melihara padi lebih besar dari pendapatan saat dijual. Rugi terus. Ibu akhirnya pindah ke Bogor..”
Ibu Ngm berasal dari Solo, Ia memutuskan untuk pindah ke Bogor karena
menurutnya usaha pertanian sawah yang menjadi nafkah utamanya tidak
mencukupi untuk pemenuhan kebutuhan. Saat di Bogor ia mengontrak rumah
bersama suaminya dan setiap tiga bulan ia pulang ke Solo untuk mengunjungi
anak-anaknya dan membawa uang hasil usaha berdagang. Ibu Krs datang ke
Bogor karena ikut kakaknya yang sudah berdagang lebih dahulu di Bogor. Selama
di Bogor, Ibu Krs tinggal dan membantu usaha kakaknya dengan menjaga
warung. Setelah Ibu Krs menikah dan memiliki rumahtangga sendiri, Ia
memberanikan diri untuk mulai berdagang di Pasar Anyar.
Selain pekerja yang berasal dari desa, pedagang di sektor informal juga dimasuki
oleh tenaga kerja perempuan yang berasal dari Kabupaten Bogor sendiri, seperti
pada kasus Ibu Tn, Ibu Epn dan Ibu Yh. Ketiganya lahir, besar dan menetap di
Bogor. Contohnya kasus Ibu Tn, sebelum bekerja sebagai pedagang, Ibu Tn
pernah bekerja sebagai karyawan di sebuah kantor penerbitan surat kabar di kota
Bogor. Karena krisis moneter yang terjadi pada tahun 1997, Ibu Tn terkena
pemutusan hubungan kerja (PHK) dari kantor penerbitan tersebut dan
menganggur. Hal yang sama juga terjadi pada suami Ibu Tn, Bpk Ln juga
terkenan PHK sehingga nafkah utama rumahtangganya hilang. Setelah keluar dari
sektor formal, Ibu Tn memutuskan untuk masuk ke sektor informal dan memilih
untuk berdagang. Seperti pernyataan Ibu Tn sebagai berikut;
51
“Awal dagang itu saat Abang di PHK, Pusing sekali waktu itu. Ibu kan baru melahirkan anak pertama, saat mendengar Abang di PHK, ibu langsung bingung...”.
“Ibu putuskan untuk berdagang, soalnya berdagang pasti untung. Tinggal pintar-pintar mengelolanya neng biar untungnya besar.”
Pedagang di sektor informal dapat berasal dari desa yang datang ke Kota Bogor
ataupun masyarakat Kota Bogor sendiri yang tidak tertampung di sektor formal.
5.1.2 Status
Pedagang perempuan di sektor informal memiliki status menikah dan janda. Hasil
penelitian menunjukan bahwa pedagang perempuan yang telah menikah memulai
usahanya dengan dukungan penuh dari suami. Meskipun kontrol terhadap usaha
dipegang sepenuhnya oleh pedagang perempuan namun dalam hal permodalan
dan aktifitas usaha masih dibantu oleh suami. Contohnya pada kasus Ibu Tn,
Ibu Tn (32 tahun) adalah seorang pedagang kakilima yang menjual pakaian dalam (Underwear) di pelataran kakilima Sebelah utara blok C Pasar Anyar. Saat ini Ibu Tn tinggal di, Laladon Indah Rt.02/Rw.08 Sawah baru. Ibu Tn menikah dengan Bapak Ln pada tahun 2000.
Usaha dagang Ibu Tn diawali dari keterdesakan ekonomi setelah Bapak Ln (Suami Ibu Tn) terkena PHK dari Pabrik Krakatau Steal tempatnya bekerja (tahun 2001). Saat itu adalah masa sulit untuk rumahtangga Ibu Tn, anak pertamanya lahir di tahun ini (2001), jadi membutuhkan biaya yang cukup besar. Sedangkan suaminya kehilangan pekerjaan. Akhirnya dengan modal pesangon suaminya Ibu Tn memutuskan untuk berdagang di kakilima Pasar. Keputusan ini didukung oleh suami dan orang tua Ibu Tn. Suaminya memberi dukungan modal dari pesangon yang Ia terima. Sedangkan orang tuanya membantu menjaga anak pertama Ibu Tn.
Usaha perdagangan dapat dihentikan jika pedagang perempuan yang memiliki
anak yang masih dalam masa pengasuhan (dibawah satu tahun) atau jika sedang
hamil. Hal ini karena suami mereka tidak mengizinkan mereka untuk bekerja di
luar rumah. Jadi izin dan bantuan dari suami sangat mempengaruhi jalannya usaha
perdagangan.
Pedagang yang memiliki status janda adalah Ibu Epn. Ibu Epn memutuskan untuk
tetap berdagang setelah suaminya meninggal, karena Ia menjadi tulang punggung
keluarga menggantikan suaminya.
Ibu Epn (49 thn) adalah seorang pedagang rempah-rempah pembuatan jamu dan alat-alat ritual yang digunakan untuk upacara kematian. Kiosnya berlokasi di Blok D Pasar Anyar. Ibu Epn dilahirkan di Bogor, tahun 1958. Ibunya (orang tua-Bu’ Epn) merantau ke Bogor setelah menikah dengan ayahnya yang seorang polisi.
Umur 15 tahun, selepas pendidikan SMP Bu’ Epn memilih untuk menikah dengan Bapak Ysf yang berprofesi sebagai seorang polisi (bawahan Bapaknya-Bu’ Epn).
52
Ibu Epn menikah dengan Bapak Ysf pada tahun 1973,dari pernikahan tersebut Ibu Epn dikaruniai empat orang anak.
Bapak Yusuf meninggal pada tahun 1997 dan pada tahun yang sama juga terjadi krisis moneter. Ibu Epn harus terus membiayai sekolah keempat anaknya dan memenuhi kebutuhan rumahtangganya sendiri. Usaha Ibu Epn bangkrut pada tahun-tahun ini, Ibu Epn harus menjaul mobil dan rumahnya untuk memenuhi kebutuhan sekolah dan kebutuhan sehari-hari anak-anaknya.
“tahun yang paling berat itu tahun 1997 mbak, sehabis ditinggal bapak, usaha ibu juga bangkrut, anak-anak sedang butuh uang untuk sekolah dan belum bisa mandiri, ibu harus mencari uang sendiri, kalo diingat-ingat ibu susah sekali waktu itu, kios cuma di emperan jalan, hasil dagang tidak seberapa, uang tunjangan bapak juga hanya cukup untuk kuliah anak ibu yang nomor saju saja. Ibu jual semua harta yang bisa dijual untuk menutupi kebutuhan. Mobil ibu jual, rumah yang lama, lalu ibu beli rumah yang agak keci (yang ditinggali saat ini) Uang nya untuk biaya sekolah anak dan menambah modal ibu dagang, mbak”
Hal ini menunjukan bahwa setelah ditinggal oleh suaminya, Ibu Epn mengalami
masa krisis dan harus mempertahankan rumahtangganya. Ibu Epn mengatasi masa
krisis ini dengan menjual beberapa aset rumahtangganya. Usaha perdagangan di
sektor informal akhirnya menjadi nafkah utama rumahtangga Ibu Epn.
5.1.3 Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan yang dimiliki oleh pedagang perempuan termasuk rendah.
Dati tabel 4 dapat diketahui bahwa hanya 1 orang pedagang perempuan yang
menamatkan pendidikan SMA, sisanya hanya menamatkan pendidikan SMP, SD
dan ada yang tidak sekolah. Dari penelitian diketahui bahwa tiga orang pedagang
perempuan yang dijadikan responden hanya menamatkan pendidikan Sekolah
Dasar, yaitu Ibu Krs, Ibu Yh dan Ibu Ngm. Ibu Enh tidak sekolah dan buta huruf,
Ibu Enh hanya bisa berhitung dan kemampuan berhitung ini diperoleh dari
pengalamannya saat membantu suaminya berdagang. Ibu Epn menamatkan
pendidikan SMP dan Ibu Tn adalah tamatan SMA. Rendahnya tingkat pendidikan
inilah yang membuat para perempuan ini tidak dapat masuk ke sektor formal.
Rendahnya tingkat pendidikan dari para pedagang perempuan ini disebabkan
kemiskinan yang terjadi pada rumahtangga mereka sehingga mereka hanya
mampu sekolah sampai tingkat sekolah dasar. Contohnya, pada kasus Ibu Ngm
yang hanya sekolah sampai kelas 4 SD. Menurut Ibu Ngm, orang tuanya bekerja
sebagai buruh tani sehingga hanya mampu menyekolahkan Ibu Ngm sampai
tingkat tersebut.
53
Tingkat pendidikan pedagang perempuan ternyata tidak berpengaruh pada
kesuksesan usaha perdagangan. Hal ini dapat terlihat dari kasus Ibu Krs yang
hanya tamatan SD namun usahanya saat ini sukses dan memiliki 2 kios untuk
berdagang.
Ibu Krs (43 tahun) memiliki dua kios di Pasar Anyar, keduanya berada di Blok C dan posisinya berhadapan satu sama lainya. Kios yang pertama menjual berbagai kebutuhan pokok, seperti beras, minyak sayur, telur (Sembako) dan meja di depan kios digunakan untuk menjual ayam. Kios kedua, menjual berbagai macam sayuran. Usaha berdagang yang dilakukan oleh Ibu Krs diawali dari sejak kedatangan Ibu Krs tahun 1976 ke Bogor. Saat itu, Ibu Krs telah menamatkan pendidikan SD dan ikut kakaknya merantau ke Bogor, dan membantu kakaknya berjualan di pasar.
Dari usaha dagangnya Ibu Krs mengaku telah naik haji dan pergi umroh bersama suaminya, selain itu, investasi dari hasil usahanya juga dibelikan tanah oleh Ibu Krs di daerah Kampung Sawah dan Cilodong. Ibu Krs mengaku kesuksesan usahanya berasal dari kerja keras dan dukungan suaminya.
“kalau sekarang usaha ibu sudah enak mbak, ibu tidak perlu capek-capek harus bolak-balik ke pasar seperti dulu, ada yang membantu, usaha bapak juga lancar, jadi bisa bantu orang lain, ibu naik haji tahun 2006 dan umroh tahun 2004 juga hasil dari berdagang, Alhamdulillah, rezekinya dari Allah ya, harus bersukurnya sama Allah. Ibu juga selain nabung, keuntungan ibu belikan tanah untuk bekal anak-anak nanti bangun rumah sendiri-sendiri. Mbak Sr sama Mbak Prt ini nanti kalau mau menikah ibu biayaain (sambil tersenyum melihat kedua pembantunya).”
Kasus Ibu Krs memperlihatkan kesuksesan usaha lebih ditentukan oleh keuletan
dan kemampuan mengelola modal usaha. Alasan inilah yang membuat sektor
informal tidak mensyaratkan tingkat pendidikan untuk dapat berusaha di sektor
ini.
5.1.4 Umur
Pedagang perempuan memulai usahanya pada usia produktif, yaitu pada kisaran
umur 10-55 tahun. Dari tabel 4 dapat dilihat bahwa semua responden pedagang
perempuan masuk dalam umur produktif (100%). Usia produktif adalah usia
dimana seseorang memiliki kemampuan untuk berusaha. Mengacu pada pendapat
Chambers & Conway dalam Ellis (2000) menjelaskan mengenai unsur nafkah,
bahwa dibutuhkan kemampuan atau kapabilitas agar dapat memanfaatkan aset
yang dikuasainya sehingga ia dapat bertahan hidup. Sehingga pada range umur
produktif pedagang perempuan dapat memanfaatkan semua modal yang mereka
miliki untuk menjalankan usaha perdagangan mereka.
54
5.1.5 Status Kependudukan
Migrasi adalah dimensi gerak penduduk permanen terdiri dari sirkulasi dan
komutasi. Seorang yang dikatakan melakukan migrasi, jika ia pindah tempat
tinggal secara permanen atau relatif permanen (Jangka waktu 1-5 tahun ataupun
10 tahun) dengan menempuh jarak minimal tertentu (propinsi atau kabupaten),
atau pindah dari satu unit geografis ke unit geografis lainnya (unit administrasi
pemerintahan, berarti dari luar Bogor, masuk ke Bogor). Migrasi Sirkuler adalah
gerak perpindahan penduduk dalam jangka pendek, repetitif, atau siklikal (tidak
nampak niat untuk memiliki tempat tinggal secara permanen di Bogor). Dari tabel
4, dapat diketahui bahwa terdapat dua pedagang perempuan yang termasuk dalam
kategori migran, yaitu Ibu Krs dan Ibu Ngm. Ibu Krs datang ke Bogor karena
mengikuti kakaknya yang telah terlebih dalulu tinggal di Bogor. Ibu Krs tinggal di
rumah kakaknya dan setelah menikah, Ibu Krs menetap secara permanen di
Bogor. Ibu Ngm memilih untuk mengontrak rumah di Bogor dan pulang setiap 3
bulan sekali ke daerah asalnya Solo. Ibu Ngm dapat dikategorikan sebagai migran
sirkuler yang tidak memiliki niat untuk menetap secara permanen di Bogor, ia
hanya menjadikan Kota Bogor sebagai tempat mencari nafkah.
5.2 Karakteristik Sosial Ekonomi Rumahtangga
Rumahtangga didefinisikan sebagai seorang atau sekelompok orang yang tinggal
bersama dalam satu atap dan menggunakan dapur yang sama, berkontribusi dalam
pengumpulan pendapatan, serta memanfaatkan pendapatan tersebut untuk
kepentingan bersama. Dalam rumahtangga, semua modal dan barang diatur oleh
kepala rumahtangga yang bertindak tanpa pamrih demi kepentingan bersama.
Meskipun ada pembagian pekerjaan yang berdasarkan jenis kelamin dan umur,
namun semuanya bekerja untuk kepentingan bersama. Masing-masing anggota
rumahtangga akan berkontribusi sesuai dengan peran, tanggungjawab dan
kemampuannya.
Pedagang perempuan memiliki karakteristik rumah tangga yang berbeda satu
sama lain. Perbedaan karakteristik ini yang membuat perbedaan dalam distribusi
55
pendapatan dan pilihan strategi dalam usaha perdagangan. Karakteristik
rumahtangga pedagang perempuan digambarkan dalam jumlah anggota
rumahtangga, jumlah tanggungan rumahtangga, pekerjaan kepala keluarga dan
anggota yang berkontribusi terhadap pendapatan rumahtangga, Pendapatan
rumahtangga per kapita per bulan dan alokasi pendapatan rumahtangga
5.2.1 Anggota Rumahtangga
Anggota rumahtangga didefinisikan sebagai semua orang yang bertempat tinggal
di suatu rumahtangga, memiliki kontribusi dalam pengambilan keputusan,
pengumpulan pendapatan dan pemanfaatan pendapatan rumahtangga. Jumlah
anggota rumahtangga pedagang perempuan yang menjadi responden disajikan
sebagai berikut.
Tabel 5. Jumlah Anggota Rumahtangga Pedagang Perempuan Responden Jumlah Anggota Rumahtangga
No. Pedagang Perempuan Istri Suami Anak Orang
tua Cucu Saudara Total
1. Ibu Enh 1 1 5 - 3 - 10 2. Ibu Tn 1 1 3 2 - - 7 3. Ibu Krs 1 1 4 - - 2 8 4. Ibu Epn 1 - - - - - 1 5. Ibu Yh 1 1 3 - - - 5 6. Ibu Ngm 1 1 2 1 1 - 6
Sumber: Data primer penelitian, Januari 2008
Dari tabel 5 diketahui bahwa terdapat lima rumahtangga pedagang yang memiliki
anggota rumahtangga 4-8 orang, satu rumahtangga yang memiliki jumlah anggota
rumahtangga lebih dari atau sama dengan 9 (≥ 9) dan satu rumahtangga yang
memiliki anggota rumahtangga lebih kecil dari atau sama dengan 3 (≤ 3). Jumlah
anggota rumahtangga berkontribusi pada besaran konsumsi dan pendapatan
rumahtangga. Jika dalam rumahtangga terdapat banyak tanggungan rumahtangga
maka jumlah konsumsi rumahtangga akan besar. Begitupun sebaliknya, jika
anggota rumahtangga banyak yang bekerja maka pendapatan rumahtangga juga
akan ikut bertambah. Seperti pada kasus rumahtangga Ibu Enh, Ia memiliki 10
anggota rumahtangga, dan hanya Ibu Enh dan satu orang anaknya yang bekerja.
Ini berarti pendapatan usaha dari perdagangan Ibu Enh habis dikonsumsi setiap
harinya untuk memenuhi kebutuhan seluruh anggota rumahtangga.
56
5.2.2 Tanggungan Rumahtangga
Tanggungan rumahtangga diartikan sebagai anggota rumahtangga yang tidak
memberikan kontribusi pada pendapatan rumahtangga tetapi berkontribusi pada
pengeluaran rumahtangga. Contohnya anak yang masih kecil dan orang tua yang
tidak bekerja lagi. Berikut disajikan data tanggungan rumahtangga pedagang
perempuan responden.
Tabel 6. Tanggungan Rumahtangga Pedagang Perempuan Responden Jumlah Tanggungan Rumahtangga No. Pedagang
Perempuan Anak Cucu Orang tua Total
1. Ibu Enh 4 3 1 8 2. Ibu Tn 3 − 2 5 3. Ibu Krs 4 − − 4 4. Ibu Epn − − − − 5. Ibu Yh 3 − − 3 6. Ibu Ngm 2 1 1 5
Sumber: Data primer penelitian, Januari 2008
Dari tabel 6 diketahui bahwa terdapat 4 rumahtangga yang memiliki tanggungan
4-8 orang dan terdapat dua rumahtangga yang memiliki tanggungan lebih kecil
dari atau sama dengan tiga (≤ 3). Hal ini memperlihatkan tiap rumahtangga
memiliki tanggungan rumahtangga cukup besar dan berarti kontribusi anggota
rumahtangga pada pengeluaran juga besar. Seperti kasus rumahtangga Ibu Enh, Ia
memiliki 8 orang dalam rumahtangganya yang bergantung pada usaha
perdagangannya. Tambahan pendapatan di peroleh dari anak ke-4 nya yang
bekerja sebagai tukang ojek, anaknya yang lain yang telah menikah kadang-kala
memberikan sedikit uang kepada Ibu Enh. Oleh karena itulah, pendapatan usaha
perdagangan Ibu Enh habis dikonsumsi oleh anggota rumahtangganya.
Pada kasus rumahtangganya Ibu Epn, ia tidak memiliki tanggungan rumahtangga
karena anak-anaknya telah menikah dan bekerja, jadi telah memiliki keluarga
sendiri. Pendapatan usaha Ibu Epn semuanya dipakai untuk memenuhi
kebutuhannya sendiri dan sisanya ditabung atau untuk membeli barang-barang
yang diinginkan oleh Ibu Epn.
57
5.2.3 Pekerjaan Suami
Suami dalam rumahtangga dimaknai sebagai kepala rumahtangga yang memiliki
tanggung jawab untuk menafkahi seluruh anggota rumahtangga. Pada kasus
rumahtangga pedagang perempuan, pekerjaan suami yang memiliki pendapatan
tidak menentu dan tidak mencukupi kebutuhan rumahtangga menjadi alasan
perempuan untuk keluar rumah dan masuk ke sektor publik sebagai pedagang.
Pekerjaan suami rumahtangga pedagang perempuan responden disajikan dalam
tabel berikut.
Tabel 7. Pekerjaan Suami Pedagang Perempuan Responden No. Pedagang Perempuan Pekerjaan Suami 1. Ibu Enh Tidak bekerja, karena sakit 2. Ibu Tn Tukang ojek 3. Ibu Krs Peternak ayam dan usaha penyewaan jasa angkutan
barang 4. Ibu Epn - (Telah meninggal) 5. Ibu Yh Penyewaan mobil 6. Ibu Ngm Kuli bangunan/ kuli angkut di pasar
Sumber: Data primer penelitian, Januari 2008 Pada kasus Ibu Enh dan Ibu Epn, keduanya menggantikan suaminya untuk
menjadi tulang punggung keluarga dan bekerja untuk memenuhi kebutuhan
rumahtangga. Seperti pada kasus Ibu Epn :
“tahun yang paling berat itu tahun 1997 mbak, sehabis ditinggal bapak, usaha ibu juga bangkrut, anak-anak sedang butuh uang untuk sekolah dan belum bisa mandiri, ibu harus mencari uang sendiri, kalau diingat-ingat ibu susah sekaliwaktu itu, kios hanya di emperan jalan, hasil dagang tidak seberapa, uang tunjangan bapak juga cukup buat kuliah anak ibu yang nomer saju saja. Ibu jual semua harta yang bisa dijual unuk menutupi kebutuhan. Mobil ibu jual, rumah yang lama, terus ibu beli rumah yang agak keci (yang ditinggali saat ini) Uang nya buat biaya sekolah anak dan menambah modal ibu berdagang, mbak”
Saat ini Ibu Epn tidak memiliki tanggungan rumahtangga lagi, namun Ibu Epn
mengaku terus berdagang untuk mengisi kekososongan kegiatan setiap harinya.
Sedangkan Ibu Enh, ia harus berdagang untuk menggantikan suaminya yang sakit-
sakitan. Dengan jumlah tanggungan 8 orang dalam rumahtangganya, Ibu Enh
harus berdagang setiap hari, karena jika tidak berdagang maka rumahtangga Ibu
Enh tidak memiliki pendapatan untuk memenuhi kebutuhan rumahtangganya.
Diakui oleh Ibu Enh, saat ini usahanya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari anggota rumahtangganya, ditambah Abah Awo yang sakit-sakitan sehingga tidak dimungkinkan untuk menabung sisa keuntungan.
58
Pada kasus rumahtangga Ibu Tn dan Ibu Ngm, pekerjaan suami mereka tidak
memberikan cukup pendapatan untuk memenuhi kebutuhan rumahtangga
sehingga Ibu Tn dan Ibu Ngm memutuskan untuk berdagang. Suami Ibu Tn
bekerja sebagai tukang ojek di kompleks perumahan mereka. Dalam satu hari
dapat memperoleh Rp.15.000 – Rp.20.000, namun pendapatan ini tidak tetap
diperoleh tiap harinya, sehingga untuk memenuhi kebutuhan rumahtangganya Ibu
Tn tetap berdagang hingga saat ini.
Ibu Krs dan Ibu Yh menyebut usaha perdagangannya sebagai usaha bantu-bantu
suami. Pendapatan suami Ibu Krs dan Ibu Yh dinilai cukup untuk memenuhi
kebutuhan rumahtangga mereka, namun Ibu Krs memutuskan untuk berdagang
agar memiliki penghasilan sendiri.
5.2.4 Pendapatan Rumahtangga
Pendapatan rumahtangga adalah keseluruhan pendapatan yang berasal dari
anggota rumahtangga yang bekerja, untuk digunakan sebagai sumber pemenuhan
konsumsi rumahtangga. Steriotipe yang berlaku umum dalam masyarakat
menyebutkan bahwa laki-laki yang menjadi kepala rumahtanggalah yang harus
bekerja dan memenuhi nafkah rumahtangga. Dalam kasus pedagang perempuan
(perempuan bekerja), penghasilan perempuan dalam rumahtangga sering disebut
sebagai penghasilan tambahan dan digunakan untuk memenuhi kebutuhan
konsumsi pangan. Tabel berikut menyajikan pendapatan rumahtangga responden
dan siapa saja yang menyumbang pendapatan.
Tabel 8. Pendapatan Rumahtangga Pedagang Perempuan Responden Kontribusi Anggota
Rumahtangga Jumlah pendapatan
(dalam Rp. 000 per bulan) No. Pedagang Perempuan Suami Istri Anak Suami Istri Anak
Total pendapatan
(dlm Rp. 000 per bulan)
1. Ibu Enh − √ √ − 900 300 1200 2. Ibu Tn √ √ − 600 3000 − 3600 3. Ibu Krs √ √ − 12000 4650 − 16650 4. Ibu Epn − √ − − 900 − 900 5. Ibu Yh √ √ − 3000 3000 − 6000 6. Ibu Ngm √ √ − 600 1050 − 1650
Sumber: Data primer penelitian, Januari 2008 Tabel 8 memperlihatkan besaran pendapatan yang dikontribusikan oleh anggota
rumahtangga yang bekerja. Pada kasus rumahtangga Ibu Tn dan Ibu Ngm,
59
kontribusi pendapatan yang diberikan oleh istri (Ibu Tn dan Ibu Ngm) lebih besar
dari pendapatan suaminya. Hal ini memberikan dampak pada pengambilan
keputusan dalam rumahtangga. Seperti pada kasus Ibu Tn, saat suaminya ingin
mengambil kredit motor, suami Ibu Tn meminta bantuan Ibu Tn untuk membayar
uang muka dan jika diakhir bulan uang dari hasil mengojek tidak cukup untuk
membayar cicilan maka suaminya meminta bantuan Ibu Tn untuk membayar
cicilannya.
Ibu Enh dan Ibu Epn memberikan kontribusi utama dalam rumahtangganya,
namun dalam pengambilan keputusan masih dikompromikan pada suaminya.
Seperti saat Ibu Enh terlambat pulang dari berdagang, suaminya marah dan
menanyakan apa saja kegiatan Ibu Enh di pasar hingga pulangnya terlambat.
Namun dalam pengalokasian pendapatan usaha untuk konsumsi pangan, Ibu Enh
memegang peranan tunggal. Contohnya saat pembelian bahan-bahan untuk
memasak, Ibu Enh tidak menanyakan kepada anggota rumahtangga yang lain.
Ibu Krs dan Ibu Yh pendapatannya lebih kecil dari suaminya dan hal ini
menjadikan pendapatan mereka dianggap sebagai “pendapatan tambahan” atau
“usaha bantu-bantu suami”. Pendapatan usaha dipegang sendiri oleh Ibu Krs dan
Ibu Yh dan dialokasikan untuk konsumsi pangan rumahtangga (membeli beras,
minyak tanah, dan bahan pokok lainnya), sedangkan untuk kebutuhan pembayaran
iuran anak sekolah, listrik, air dan telepon dibebankan kepada suami.
5.2.5 Pengeluaran Rumahtangga
Pengeluaran rumahtangga adalah alokasi sejumlah uang atau materi rumahtangga
yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan seluruh anggota rumahtangga.
Pengelolaan keuangan dalam rumahtangga kasus diserahkan pada satu “dompet”
yang dipegang oleh istri. Masing-masing anggota ruamhtangga yang bekerja
memberikan kontribusi usahanya untuk memenuhi kebutuhan seluruh anggota
rumahtangga. Namun tidak semua uang hasil usaha diberikan pada rumahtagga.
Contohnya pada kasus rumahtangga Ibu Enh, anak Ibu Enh yang bekerja sebagai
tukang ojek (Aa’ Ocn) memberikan 50 % dari penghasilannya untuk rumahtangga
60
(senilai Rp. 300.000,00,-) sisanya digunakan untuk kepentingan pribadi Aa’ Ocn
seperti untuk membeli rokok dan keperluan lainnya.
Kasus rumahtangga Ibu Krs dan Ibu Yh sedikit berbeda dalam pengelolaan
pengeluaran rumahtangga. Menurut Ibu Yh terdapat pembagian dalam alokasi
pengeluaran rumahtangganya. Ibu Yh dengan uang hasil usaha berdagangnya
bertanggung jawab atas pemenuhan kebutuhan konsumsi pangan rumahtangga
setiap harinya dan kebutuhan jajan anak-anaknya. Suami Ibu Yh bertanggung
jawab atas pemenuhan kebutuhan air, listrik, telepon dan iuran sekolah anak-
anaknya. Namun, dalam setiap keputusan alokasi pengeluaran, Ibu Yh
mengungkapkan selalu ada kompromi (pembicaraan untuk mendapatkan izin)
dalam menentukan besaran pengeluaran maupun kegunaan pengeluaran.
5.3 Ikhtisar
Karakteristik pedagang perempuan dapat dilihat secara individu maupun sebagai
bagian dari rumahtangga. Sebagai individu, pedagang perempuan memiliki latar
belakang sosial maupun ekonomi yang melekat pada dirinya. Sebagai
rumahtangga, pedagang perempuan dilihat sebagai bagian dari anggota
rumahtangga yang merupakan satu kesatuan dalam memenuhi kebutuhan
rumahtangga.
Pedagang perempuan berasal dari pedesaan maupun masyarakat kota sendiri yang
keluar dari sektor pertanian di pedesaan ataupun terlempar dari pasar tenaga kerja
formal. Berada pada usia produktif dan memiliki pendidikan yang rendah,
keterampilan berdagang diperoleh dari pengalaman sebelumnya (orang tua
maupun saudara). Sebagian dari mereka merupakan migran yang datang ke Bogor
dengan harapan mendapatkan penghasilan yang lebih baik, seperti pada kasus Ibu
Ngm. Karakteristik individu yang dimiliki oleh para pedagang perempuan ini
sangat cocok dengan karakteristik sektor informal, sehingga mereka dapat dengan
mudah masuk ke dalam sektor perdagangan ini.
61
Rumahtangga pedagang perempuan memiliki anggota yang banyak (≥5 orang)
dan memiliki tanggungan rumahtangga cukup besar pula (≥5 orang). Pekerjaan
suami mereka dinilai tidak mencukupi pemenuhan nafkah rumahtangga, sehingga
pilihan untuk berdagang diambil oleh para perempuan ini. Dalam alokasi
pengeluaran rumahtangga pedagang perempuan memiliki pembagian alokasi
pengeluaran dengan suaminya. Perempuan pedagang bertanggung jawab atas
kepastian konsumsi pangan rumahtangga dan keperluan anak sehari-hari,
sedangkan suami mereka bertanggung jawab terhadap pemenuhan kebutuhan
fasilitas rumahtangga (air, listrik, telepon) dan iuran sekolah anak. Namun, dalam
setiap alokasi pengeluaran rumahtangga yang cukup besar dan berpengaruh pada
anggota rumahtangga yang lain, selalu ada kompromi atau pembicaraan untuk
mendapatkan izin dari suami.
62
BAB VI
POLA AKTIVITAS NAFKAH PERDAGANG PEREMPUAN
6.1 Pola Aktivitas Pedagang Perempuan
Pola aktivitas usaha dapat dipahami dengan melihat curahan waktu untuk setiap
komponen kegiatan usaha para pedagang perempuan. Misalnya, curahan waktu
untuk melakukan pembelian, untuk pengemasan dan curahan untuk berjualan di
pasar. Selain curahan waktu, untuk memahami pola aktivitas diidentifikasi juga
siapa yang berperan dalam menangani serangkaian tugas tersebut dan kapan
kegiatan tersebut dimulai dan dihentikan. Untuk melihat pola aktivitas, dilakukan
pengkategorian kerja perempuan di luar rumah dan didalam rumah yang
diidentifikasi sebagai kerja produktif dan kerja reproduktif9.
Kerja produktif didefinisikan sebagai aktivitas yang menghasilkan sesuatu untuk
kelangsungan hidup anggota rumahtangganya. Jadi aktivitas berdagang di pasar
dikategorikan dalam kerja produktif perempuan, sedangkan kerja reproduktif
diartikan sebagai aktivitas untuk menjaga kelestarian sistem atau struktur sosial
dari rumahtangga. Aktivitas pemeliharaan, pengasuhan dan pengembangan
sumber daya manusia masuk dalam kategori ini. Pemisahan kedua bentuk kerja
perempuan ini dilakukan untuk mempermudah analisis bentuk-bentuk aktivitas
dan hubungannya dengan pelestarian nafkah rumahtangga.
6.2 Pola Aktivitas Produktif Pedagang Perempuan
Aktivitas produktif pedagang perempuan didefinisikan sebagai berbagai kegiatan
yang dilakukan oleh pedagang perempuan untuk memastikan keberlangsungan
usaha perdagangannya. Dari data yang diperoleh, dikategorikan enam aktivitas
dilakukan oleh pedagang perempuan dalam usaha perdagangannya. Enam
aktivitas tersebut adalah 1). Pembelian barang dagangan; 2). Membawa barang
dagangan dari tempat pembelian ke tempat penjajaan (kios, lapak); 3)
9 Engels dalam Saptari 1997, hal 14-18.
63
membersihkan, menata dan mengemas barang dagangan; 4). Membuka kios dan
menutup kios; 5). Menjajakan barang dagangan dan melayani pembeli; dan 6)
Mengikuti arisan atau perkumpulan pedagang.
Aktivitas yang telah dibagi dalam enam kategori tersebut, dilakukan oleh
perempuan dan dibantu oleh anggota rumahtangga lainnya, misalnya, suami dan
anak. Pengerahan sumberdaya manusia dalam rumahtangga dimaksudkan untuk
mendukung usaha dan menjamin kelangsungan sumber nafkah. Selain melihat
siapa yang berperan, tiap-tiap aktivitas dilihat juga curahan waktu pelaksanaannya
dan bagaimana kegiatan tersebut dijalankan.
6.2.1 Aktivitas Pembelian Barang Dagangan
Kegiatan pembelian barang dagangan dilakukan oleh pedagang perempuan
sendiri, kecuali pada kasus Ibu Tn yang dibantu oleh suaminya saat membeli
barang dagangan. Hal ini dikarenakan jarak tempat untuk memperoleh barang
dagangan cukup dekat dari pasar tempat berjulaan. Pembelian sayur-sayuran dan
rempah-rempah dilakukan di Pasar Bogor dan langsung dibawa ke kios di Pasar
Anyar. Sembako diperoleh dari Toko grosir yang ada di sekitar Pasar Anyar dan
Ayam dibeli dari pemasok langganan yang juga ada di daerah Kota Bogor. Pada
kasus Ibu Tn, barang dagangannya di peroleh dari Jakarta, sehingga suaminya lah
yang melakukan aktivitas ini. Pada kasus Ibu Enh, rumahtangganya memproduksi
sendiri barang yang diperdagangkan, Ibu Enh tinggal membawanya ke pasar dan
menjualnya. Jadi jarak tempat memperoleh barang dagangan menjadi
pertimbangan pedagang perempuan untuk melakukan antivitas ini.
Rata-rata waktu yang dibutuhkan untuk membeli barang dagangan adalah 2 jam
dan dilakukan pada malam hari atau pagi hari. Seperti, kasus Ibu Krs dan Ibu
Ngm yang membeli barang dagangannya di Pasar Bogor. Saat membeli barang
dagangan mereka ditemani oleh suami mereka, karena rawan bagi perempuan
untuk keluar rumah sendiri pada waktu-waktu tersebut. Selain itu, suami mereka
membantu mengangkut barang dagangan dari tempat pembelian ke tempat
penjulan. Kegiatan pembelian barang dagangan dari keenam responden disajikan
dalam tabel berikut ini.
64
Tabel 9. Aktivitas Pembelian Barang Dagangan Responden Pembelian Barang Dagangan
No. Pedagang Perempuan Pelaku
Aktivitas Waktu yang digunakan Jalannya Aktivitas
1. Ibu Enh Produksi Rumahtangga
- Ketupat diproduksi sendiri oleh rumahtangga dan Ibu Enh menjual ketupat dipasar.
2. Ibu Tn Suami 6 jam (tiap dua minggu satu kali)
Underwear dibeli oleh suami Ibu Tn di Tanah Abang, Jakarta. Suami Ibu Tn pergi membeli underwear setiap hari Rabu, tiap 2 minggu satu kali.
3. Ibu Krs Ibu Krs 2 jam (setiap hari)
Ibu Krs setiap hari pada pukul 21.00 wib pergi ke Pasar Bogor untuk membeli sayauran; Ayam diperoleh dari peternakan suaminya; sedangkan untuk sembako diperoleh dari pedagang grosir di Jln. MA Salmun tiap dua minggu satu kali.
4. Ibu Epn Ibu Epn 15 menit (setiap hari)
Penjual grosir yang mendatangi kios Ibu Epn dan menawarkan produknya
5. Ibu Yh Ibu Yh 1 jam (setiap hari)
Ibu Yh membeli ayam dari langganannya, setiap hari Ibu Yh biasanya membeli 50 ekor ayam.
6. Ibu Ngm Ibu Ngm 2 jam (setiap hari)
Ibu Ngm membeli rempah-rempah dari pedagang yang lebih besar di Pasar Bogor, ia berangkat tiap pukul 03.00 wib
Sumber: Data primer penelitian, Februari 2008
6.2.2 Aktivitas Mengangkut Barang Dagangan
Aktivitas pengangkutan barang dagangan dari tempat pembelian ke tempat
penjualan di Pasar Anyar dilakukan oleh suami dari pedagang perempuan. Hal ini
menunjukan anggota rumahtangga lainnya juga dilibatkan dalam aktivitas usaha
perdagangan dan berkontribusi pada kelangsungan usaha. Dari keenam responden
hanya Ibu Enh yang membawa sendiri dagangannya, hal ini karena suami Ibu Enh
sedang sakit. Kepemilikan mobil (asset rumahtangga) sangat membantu dalam
pengangkutan barang, seperti pada kasus Ibu Krs dan Ibu Yh, suami mereka
membantu dalam pengangkutan barang dengan menggunakan mobil pribadi.
Pedagang yang tidak memiliki kendaraan pribadi, melakukan pengangkutan
barang dengan memanfaatkan fasilitas angkutan kota dan kereta yang melalui
jalan di sekitar Pasar Anyar. Waktu yang dibutuhkan dalam pengangkutan barang
dagangan ini kurang lebih 30 menit. Hal ini merupakan waktu yang dibutuhkan
untuk menempuh jarak dari Pasar Bogor ke Pasar Anyar.
65
Tabel 10. Aktivitas Pengangkutan Barang Dagangan Pengangkutan Barang Dagangan
No. Pedagang Perempuan Pelaku
Aktivitas
Waktu yang
digunakan Jalannya Aktivitas
1. Ibu Enh Ibu Enh 30 menit (setiap kali berdagang)
Ibu Enh membawa ketupatnya dari rumah dengan menggunakan angkot, dibutuhkan Rp. 4000,- untuk sampai dari rumah ke pasar.
2. Ibu Tn Suami 4 jam (setiap dua minggu satu kali)
Setiap rabu dua kali dalam satu bulan, suami Ibu Tn, ke Jakarta untuk membeli underwear dibutuhkan Rp. 20.000,- setiap kali bolak-balik dari Jakarta dan Suami Ibu Tn menggunakan kereta untuk sampai ke Jakarta.
3. Ibu Krs Suami 1 jam (setiap kali berdagang)
Setelah Ibu Krs berbelanja, suaminya mengangkut barang dagangan tersebut dengan menggunkan mobil untuk di bawa pulang dan pagi harinya diantar ke pasar untuk dijual kembali. Pengangkutan menggunakan mobil pribadi.
4. Ibu Epn - - Karena penjual yang mendatangi Ibu Epn, maka Ibu Epn tidak perlu repot-repot untuk mengangkut barang dagangannya
5. Ibu Yh Suami 30 menit (setiap kali berdagang)
Suami Ibu Yh mengantar Ibu yh pergi menemui pemasok dan membawanya ke pasar. Pengangkutan menggunakan mobil pribadi.
6. Ibu Ngm Suami 20 menit (setiap kali berdagang)
Setelah Ibu Ngm berbelanja, Suaminya membawa barang dagangan tersebut ke kakilima tempat Ibu Ngm berjualan. Pengangkutan ini menggunakan angkot.
Sumber: Data primer penelitian, Februari 2008
6.2.3 Aktivitas Membersihkan, Menata dan Mengemas Barang Dagangan
Kegiatan ini dilakukan oleh pedagang perempuan sendiri, mereka mengeluarkan
barang dagangannya dari karung atau keranjang dan menatanya di atas meja-meja
atau plastik yang telah digelar. Barang-barang dagangan seperti sayur dan rempah,
dipisahkan menurut jenisnya. Hal ini dilakukan agar memudahkan
pembeli/pelanggan untuk memilih. Pada kasus Ibu Krs, yang melakukan aktivitas
ini adalah dua orang pembantunya, yaitu Mbak Sr dan Mbak Prt. Kedua orang ini
telah ia percaya untuk menjaga kedua kiosnya. Hal ini menunjukkan Ibu Krs
menggunakan tambahan tenaga kerja untuk membantu usaha perdagangannya.
Diperlukan kurang lebih 20 menit untuk menata barang dagangan agar siap untuk
dijajakan pada konsumen. Tabel berikut menggambarkan aktivitas membersihkan
dan menata barang dagangan yang dilakukan oleh responden
66
Tabel 11. Aktivitas Membersihkan, Menata dan Mengemas Barang Dagangan Membersihkan, Menata dan Mengemas Barang Dagangan
No. Pedagang Perempuan Pelaku
Aktivitas
Waktu yang digunakan
(tiap kali akan berdagang)
Jalannya Aktivitas
1. Ibu Enh Ibu Enh 10 menit Ketupat disusun di atas bakul dan ditaruh di kakilima di depan sebuah toko penjual camilan.
2. Ibu Tn Ibu Tn 30 menit Underwear dikeluarkan dari lemari penyimpan dan ditata di atas meja gelar, sebagian digantung
3. Ibu Krs Mbak Sr dan mbak Prt
30 menit Sayuran diturunkan dari mobil dan ditata di atas meja gelar, dipisahkan dalam keranjang-keranjang sesuai jenisnya. Sedangkan ayam ditata di atas meja gelar dan dipotong-potong ketika pembeli datang.
4. Ibu Epn Ibu Epn 15 menit Barang dagangan ditata di atas etalase dan meja-meja, sebagian ditaruh di atas tampah-tampah.
5. Ibu Yh Ibu Yh 20 menit Ayam ditata diatas meja gelar dan dikeluarkan juga timbangan, telenan dan pisau untuk memotong ayam.
6. Ibu Ngm Ibu Ngm 20 menit Rempah-rempah dikeluarkan dari karung dan ditata diatas pelastik terpal dengan dipisahkan dalam keranjang-keranjang sesuai jenisnya.
Sumber: Data primer penelitian, Februari 2008
6.2.4 Aktivitas Membuka dan Menutup Kios
Membuka dan menutup kios dilakukan oleh pedagang perempuan sendiri. Mereka
membuka kios, menata barang dagangannya dan membersihkan kios sebelum
pembeli banyak yang datang. Dibutuhkan kurang lebih 20 menit untuk melakukan
aktivitas ini. Pedagang membuka kiosnya pada pagi hari, hal ini dilakukan karena
banyak konsumen yang berbelanja pada pagi hari. Kurang lebih pukul 06.00 wib
pasar telah ramai dan pedagang telah menjajakan barang dagangannya. Pada kasus
Ibu Epn, Ia membuka kios pada pukul 08.00 wib karena menurutnya pembeli
barang dagangannya ramai pada siang atau sore hari. Pedagang perempuan
menutup kiosnya pada pukul 16.00 atau 17.00 wib. Hal ini tergantung pada
ramainya pembeli. Pasar sendiri tutup pukul 18.00 wib. Pada kasus Ibu Enh, Ia
pulang kerumahnya pada pukul 12.00 wib. Hal ini karena konsumen ketupatnya
banyak berbelanja pada pagi hari, saat siang hari tidak ada lagi yang membeli
ketupat Ibu Enh, sehingga Ia memilih untuk pulang. Tabel berikut
67
menggambarkan aktivitas pedagang perempuan saat membuka dan menutup
kios/lapaknya.
Tabel 12. Aktivitas Membuka dan Menutup Kios/ Lapak Membuka dan Menutup Kios/Lapak
No. Pedagang Perempuan Pelaku
Aktivitas
Waktu yang digunakan
(tiap kali akan berdagang)
Jalannya Aktivitas
1. Ibu Enh Ibu Enh 10 menit Ibu Enah menaruh bakul ketupatnya di kakilima
2. Ibu Tn Ibu Tn 30 menit Membuka lemari penyimpan dan menyususn underwear diatas meja
3. Ibu Krs Mbak Sr dan mbak Prt
20 menit Roling door kios dibuka dan meja gelar dikeluarkan.
4. Ibu Epn Ibu Epn 15 menit Membuka papan penutup kios dan mengeluarkan etalase.
5. Ibu Yh Ibu Yh 20 menit Membuka meja penyimpan dan membersihkan meja gelar.
6. Ibu Ngm Ibu Ngm 10 menit Ibu Ngm, menggelar plastik sebagai tempat untuk menggelar rempah-rempah dagangannya
Sumber: Data primer penelitian, Februari 2008
6.2.5 Aktivitas Menjajakan Barang Dagangan dan Melayani Pembeli
Menjajakan barang dagangan merupakan aktivitas yang paling banyak menyita
waktu dan melelahkan bagi pedagang perempuan. Pedagang perempuan
menghabiskan waktu kurang lebih 10 jam setiap harinya di pasar untuk
menjajakan barang dagangannya. Bagi pedagang perempuan yang berdagang di
kakilima resiko panas dan hujan juga harus ditanggung demi berjalannya aktivitas
perdagangan. Jika dilihat dari kalkulasi raional, jelas bahwa usaha perdagangan
para perempuan ini tidak efisien, baik dilihat dari segi penghasilan dan waktu
ataupun tenaga yang terkuras. Tetapi, perhitungan semacam ini tidak berlaku
untuk usaha perdagangan di sektor informal, karena rumahtangga mereka sangat
tergantung pada usaha ini. Jika para pedagang tidak memaksimalkan usahanya,
maka kebutuhan konsumsi anggota rumahtangganya akan ikut terancam.
Pedagang perempuan menjajakan dagangannya kepada setiap orang yang lewat
dan menyapa dengan ungkapan “boleh neng, liat dulu neng?” atau “Cari apa
neng?”. Jika ada yang tertarik dan membeli, pedagang perempuan akan melayani
dengan menanyakan berapa banyak barang yang dibutuhkan dan tawar-menawar
harga. Jika harga telah disepakati, barang dagangan dikemas dalam plastik dan
68
pembeli membayar sesuai dengan kesepakatan. Jika yang membeli adalah
langganan, pedagang perempuan memberikan bonus pada langganan. Hal ini
dilakukan dengan harapan agar pembeli tersebut kembali berbelanja di kiosnya.
Selain menjajakan barang dagangannya, para pedagang perempuan biasanya
mengisi waktu mereka dengan mengobrol diantara sesama pedagang atau
membaca koran. Tabel 13 memberikan penjelasan mengenai aktivitas penjajaan
dan melayani pembeli.
Tabel 13. Aktivitas Menjajakan barang Dagangan dan Melayani Pembeli Aktivitas Menjajakan Barang Dagangan dan Melayani Pembeli
No. Pedagang Perempuan Pelaku
Aktivitas
Waktu yang digunakan (per hari)
Jalannya Aktivitas
1. Ibu Enh Ibu Enh 6 jam Menawarkan ketupat pada orang-orang yang lewat dan menyapa jika ada kenalan ataupun langganan
2. Ibu Tn Ibu Tn 9 jam Menjaga barang dagangannya dan jika ada yang membeli, Ibu Tn melayani tawar-menawar dan akan membungkus underwear jika telah disepakati harga.
3. Ibu Krs Mbak Sr dan mbak Prt
10 jam Menanyakan keperluan pembeli, menimbang sayuran dan memasukannya dalam kantong pelastik.
4. Ibu Epn Ibu Epn 7 jam Menanyakan kebutuh pembeli dan menyampaikan khasiat tiap rempah yan gia jual.
5. Ibu Yh Ibu Yh 10 jam Menawarkan ayamnya pada orang yang lewat, jika ada yang membeli ditanyakan berapa kg kebutuhannya dan ayam mau dipotong berapa bagian
6. Ibu Ngm Ibu Ngm 10 jam Menawarkan pada orang yang lewat, memberikan bonus pada pelanggan.
Sumber: Data primer penelitian, Februari 2008
6.2.6 Aktivitas Mengikuti Arisan
Arisan merupakan salah satu lembaga keuangan informal yang dibentuk oleh para
pedagang. Arisan dibentuk sebagai wadah untuk memperoleh tambahan uang
guna tambahan modal, pengembangan usaha maupun untuk kebutuhan konsumsi.
Dari keenam responden pedagang perempuan, empat diantaranya mengikuti arisan
di lingkungan pasar. Mereka adalah Ibu Tn, Ibu Krs, Ibu Epn dan Ibu Yh. Seperti
pada kasus Ibu Tn, setiap hari Ia membayar Rp. 5.000,- kepada pemegang uang
yang diistilahkan oleh Ibu Tn sebagai ‘bandar’, arisan ini diikuti oleh 25 orang
pedagang yang berada pada blok yang sama dengan Ibu Tn. Jika mendapat giliran,
69
maka Ibu Tn memperoleh Rp. 3.750.000,00,- dari arisan tersebut. Ibu Tn hanya
menunggu ‘bandar’ setiap hari menagih uang arisan.
Arisan juga memiliki arti sebagai tempat silahturahmi antara sesama pedagang,
dimana setiap kali pengundian giliran arisan, para pedagang perempuan
berkumpul disalah satu kios dan melakukan pengundian. Pada saat ini terjadi
pertukaran informasi dan kabar masing-masing pedagang. Pengundian arisan
dilakukan tiap satu bulan satu kali.
6.3 Pola Aktivitas Reproduktif Pedagang Perempuan
Aktivitas reproduktif merupakan aktifitas yang mendukung kerja produktif, tidak
langsung menghasilkan uang dan dilakukan dengan tanggung jawab atas
pekerjaan domestik rumahtangga atau kemasyarakatan. Jadi, kegiatan-kegiatan
seperti menyediakan makan dan minum untuk anggota rumahtangga, mengasuh
anak dan membersihkan rumah termasuk dalan kerja reproduktif
Pedagang perempuan tidak dapat melaksanakan pekerjaan produksi apabila
beberapa hal mendasar dalam kerumahtanggaan mereka tidak dikerjakan. Hal ini
menunjukkan ada beban ganda kerja perempuan dalam rumahtangga. Ia bekerja
sebagai pedagang untuk memenuhi kebutuhan nafkah rumahtangganya dan Ia juga
tetap harus mengerjakan pekerjaan-pekerjaan domestik rumahtangga yang telah
menjadi tanggung jawabnya. Menanggapi kendala ini perempuan melakukan
berbagai upaya untuk dapat menyelaraskan kedua bentuk kerjanya. Ia akan
dianggap sukses jika mampu menyelaraskan antara kerja sebagai pedagang dan
tetap menjalankan kerja-kerja domestik kerumahtanggaannya. Disinilah peran dari
anggota rumahtangga yang lain, seperti suami, anak yang telah besar ataupun
orang tua. Mereka menggantikan kerja-kerja yang harus ditinggalkan oleh
pedagang perempuan dalam rumahtangganya. Untuk melihat sejauh mana
pedagang perempuan tetap terlibat dalam mengelola pekerjaan reproduktifnya,
dilihat keterlibatan perempuan dalam empat kategori kerja reproduktif. Kerja
reproduktif tersebut adalah 1) Menyediakan kebutuhan makan dan minum untuk
70
anggora rumahtangga, 2) Sosialisasi dan pengasuhan anak, 3) Membersihkan
rumah, dan 4) Menghadiri acara hajatan atau kematian.
6.3.1 Aktivitas Menyediakan Makan dan Minuman
Aktivitas menyediakan kebutuhan makan dan minum anggota rumahtangga
sebagian besar masih dilakukan oleh para pedagang perempuan. Ibu Ngm, Ibu
Epn, Ibu Yh dan Ibu Krs mengaku tetap memasak untuk keluarganya. Sedangkan
pada kasus rumahtangga Ibu Enh, kegiatan memasak dan menyediakan makan-
minum dilakukan oleh anak pertamanya (Teh Kyh) yang tinggal bersama Ibu Enh.
Ibu Tn dibantu oleh orang tuanya dalam kegiatan memasak makanan untuk anak-
anaknya. Kegiatan memasak dilakukan pada pagi hari sebelum para pedagang
perempuan ini pergi ke pasar. Seperti pada kasus Ibu Tn, pagi hari sebelum pergi
ke pasar, Ibu Tn memasak dan menyiapkan kebutuhan sekolah anak-anaknya.
Orang tua Ibu Tn (Ibunya) membantu memasak untuk makan malam, jadi ketika
pada sore hari Ibu Tn pulang dari pasar, Ia langsung beristirahat. Peranan anggota
rumahtangga lain untuk menyelesaikan tugas ini juga terjadi pada rumahtangga
Ibu Enh, tugas memasak dan menyediakan makan-minum dilakukan oleh anaknya
(Teh Kyh) yang tinggal bersama Ibu Enh. Teh Kyh memasak untuk makan siang
dan makan malam, Ibu Enh mengaku tidak pernah direpotkan oleh pekerjaan
memasak ketika ia telah menjadi pedagang di pasar.
Dalam penyediaan makan-minum, selain dilakukan dengan cara memasak sendiri,
ada juga pedagang perempuan yang memilih untuk membeli makanan siap saji
dari warung atau rumah makan. Hal ini dilakukan untuk mempersingkat waktu
yang digunakan untuk memasak atau alasan menghindari kerepotan. Seperti pada
kasus Ibu Yh, ia setiap hari membeli lauk di warung makanan yang ada di pasar
untuk makan malam.
6.3.2 Aktivitas Pengasuhan dan Perawatan Anak
Pengasuhan dan perawatan anak merupakan salah satu tugas rumahtangga yang
penting. Sosialisasi dan pembelajaran mengenai norma dilakukan pada tahap ini.
Pada saat perempuan bekerja di luar rumah dan menjadi pedagang, praktis tugas
pengasuhan akan berkurang porsinya atau malah dialihkan pada anggota
71
rumahtangga yang lain. Pedagang perempuan mensiasati hal ini dengan
melibatkan orang tua mereka untuk menjaga anak-anak yang masih kecil.
Contohnya pada kasus Ibu Yh dan Ibu Tn, keduanya menitipkan anak-anaknya
kepada orang tua mereka selama mereka berdagang, dan pada sore hari mereka
menjemput anak-anaknya.
Sementara pada kasus rumahtangga Ibu Ngm, ia melakukan migrasi dari Solo ke
Bogor untuk memenuhi kebutuhan rumahtangganya, sehingga, terjadi pengalihan
fungsi tertentu terhadap keluarga atau kerabat di derah asal. Ibu Ngm sengaja
meninggalkan anak-anaknya di kampung untuk diasuh oleh ibunya ataupun
kerabat yang ada disana. Hal ini dilakukan untuk menekan biaya selama tinggal di
Bogor. Pengeluaran rumahtangganya akan lebih besar jika ia membawa anak-
anaknya, karena biaya pendidikan dan perawatan di kota lebih mahal. Jadi strategi
ini ditempuh untuk meminimalkan konsumsi rumahtangga, dengan jaminan anak-
anak Ibu Ngm tetap dalam pengasuhan dan perawatan. Setiap tiga bulan sekali Ibu
Ngm pulang untuk menengok anak-anaknya dan membawa sejumlah uang untuk
memenuhi kebutuhan aggota rumahtangga yang ditingalkan.
6.3.3 Aktivitas Membersihkan Rumah
Aktivitas membersihkan rumah tetap dilakukan oleh pedagang perempuan setiap
harinya. Mereka tetap melakukan kerja mencuci pakaian, menyapu, mengepel dan
merapikan rumah. Pekerjaan ini dilakukan pada sore hari ketika para perempuan
ini pulang dari berdagang atau pagi hari sebelum pergi ke pasar. Ibu Ngm dan Ibu
Yh menyebutkan bahwa mereka tetap melakukan aktivitas membersihkan rumah
di sore hari ketika mereka pulang dari pasar. Ibu Yh mempekerjakan pembantu
yang tidak menginap untuk membantunya mencuci pakaian dan menyetrika. Hal
yang sama juga dilakukan oleh Ibu Krs, ia juga mempekerjakan seorang pembantu
untuk membantunya mencuci, menyetrika pakaian, dan membersihkan rumah.
Kedua pedagang perempuan ini mampu untuk membayar jasa pembantu karena
pendapatannya cukup besar.
Pada kasus Ibu Enh, anaknya lah yang mengerjakan seluruh tugas membersihkan
rumah. Ia melakukan ini secara sukarela karena Ia tinggal bersama Ibu Enh, cara
72
ini merupakan langkah Teh Kyh untuk meringankan beban orang tuanya dan
bentuk sumbangsihnya terhadap rumahtangga. Setelah bercerai dari suaminya,
Teh Kyh tinggal bersama Ibu Enh dengan membawa anak-anaknya. Seluruh
kebutuhan anak-anak Teh Kyh, kini menjadi beban Ibu Enh. Karena alasan inilah
Teh Kyh melakukan seluruh tugas rumahtangga, dan membantu usaha ketupat
keluarganya.
Selain menekuni pekerjaan sebagai seorang pedagang, para perempuan ini tetap
telibat dalam pekerjaan kerumahtanggaan. Mereka melakukan berbagai siasat
untuk dapat menselaraskan kedua bidang kerja ini. Mengerahkan bantuan anggota
rumahtangga yang lain dipandang sebagai strategi yang paling banyak diterapkan.
Selain itu, mempekerjakan pembantu juga menjadi solusi, hanya saja dibutuhkan
kemampuan ekonomi untuk dapat membayar upah pembantu. Strategi ini hanya
dilakukan oleh pedagang yang pendapatannya cukup besar. Dapat disimpulkan,
untuk menyelaraskan kerja dalam perdagangan dan rumahtangga, perempuan
mengalihkan beberapa kerja rumahtangganya pada anggota rumahtangga lain,
seperti anak yang telah dewasa dan orang tua. Selain itu, jika mereka memiliki
kemampuan ekonomi, mereka mengalihkan kerja rumahtangga kepada pembantu.
6.3.4 Aktivitas Menghadiri Acara Hajatan dan Kematian
Menghadiri acara hajatan, kondangan dan melayat merupakan suatu bentuk
aktivitas yang dilakukan oleh pedagang perempuan untuk melestarikan stuktur
sosial atau jaringan yang telah dibangun oleh rumahtangga pedagang perempuan
dalam masyarakat. Menghadiri acara kondangan ataupun hajatan biasanya
disertai harapan orang lain akan melakukan hal yang sama jika suatu hari
pedagang perempuan juga mengadakan acara hajatan. Aktivitas perdagangan
banyak menyita waktu dari pedagang perempuan, maka jika ada undangan untuk
acara hajatan para pedagang perempuan ini mensiasatinya dengan
mempertimbangkan apakah undangan ini penting untuk dihadiri atau cukup
dengan menitipkan “amplop”. Istilah “amplop” disini maksudnya adalah sejumlah
uang untuk tuan rumah yang mengadakan hajatan. Misalnya, saat Ibu Yh
mendapat undangan dari sesama pedagang yang mengadakan acara pernikahan
anaknya. Ibu Yh datang ke acara resepsi selama dua jam dan menutup kiosnya
73
sebentar. Setelah menghadiri acara tersebut, Ibu Yh kembali membuka kiosnya
dan melanjutkan berdagang.
Ibu Enh menghadiri undangan pada sore hari, setelah aktivitas berdagangnya
selesai atau diwakilkan oleh anaknya saja. Jika yang mengadakan hajatan adalah
keluarga, atau tetangga dekat, pedagang perempuan ini menutup kiosnya selama 1
hari penuh dan terlibat dalam penyelenggaraan hajatan. Hal ini dianggap sebagai
bentuk kontribusi terhadap keluarga atau hubungan pertentanggaan. Hal ini tidak
sering dilakukan oleh pedagang perempuan, biasanya hanya tiga sampai lima kali
dalam setiap tahunnya. Hal yang biasa dilakukan oleh pedagang perempuan jika
mendapat undangan hajatan adalah menitipkan “amplop” pada tetangga atau
pedagang lain yang menghadiri acara tersebut. Hal ini dinilai sudah cukup
menghormati tuan rumah yang mengadakan hajatan. Jadi sebisa mungkin
pedagang perempuan ini mengurangi waktu yang mengurangi waktu dagangnya.
6.4 Ihktisar
Aktivitas pedagang perempuan dapat dikategorikan dalam kerja produktif dan
kerja reproduktif. Kedua bentuk kerja selalu diusahakan untuk tetap selaras oleh
pedagang perempuan. Kerja-kerja produktif merupakan aktivitas yang dilakukan
pedagang perempuan dalam usaha perdagangan. Curahan waktu terbesar adalah
pada aktivitas menjajakan barang dagangan dan melayani pelanggan. Rata-rata
pedagang perempuan menghabiskan waktu 10 jam dalam aktivitas ini. Hal ini
menyebabkan aktivitas-aktivitas dalam rumahtangga harus disiasati agar tetap
selaras. Mengalihkan kerja reproduktif rumahtangga pada anggota rumahtangga
yang lain adalah strategi yang dilakukan oleh pedagang perempuan ini. Mereka
menitipkan pengasuhan anak pada orang tua atau keluarga yang dipercaya.
Aktivitas memasak dan membersihkan rumah dialihkan pada anak yang telah
dewasa atau pembantu.
Aktivitas menghadiri undangan hajatan atau kematian, sebisa mungkin tidak
mengganggu waktu berdagang. Para pedagang perempuan ini mempertimbangkan
apakah undangan harus dihadiri atau bisa dengan hanya menitipkan “amplop”.
74
Namun, jika yang mengadakan hajatan adalah keluarga atau tetangga dekat, maka
para perempuan ini akan menutup kiosnya. Hal ini dinilai harus dilakukan untuk
melestarikan struktur dan jaringan rumahtangga pedagang perempuan dalam
masyarakat. Berikut disajikan tabel penggunan waktu pedagang perempuan.
Tabel 14. Tabel Penggunaan Waktu Kerja Produktif dan Reproduktif Pedagang Perempuan Responden.
Waktu yang dipergunakan untuk melakukan kerja (dalam jam setiap harinya) No
Pedagang Perempuan Responden Produktif Reproduktif
1. Ibu Enh • Berdagang : 6 jam 30 menit • Membuat ketupat : 3 jam 30 menit
• Istirahat : 14 jam
2. Ibu Epn • Berdagang : 8 jam • Memasak : 1 jam • Membersihkan Rumah : 1 jam • Istirahat : 12 jam
3. Ibu Krs • Berdagang: 3 jam • Membantu usaha suami : 3 jam
• Memasak : 2 jam • Mengasuh anak : 2 jam • Istirahat : 14 jam
4. Ibu Ngm • Berdagang : 12 jam • Memasak : 2 jam • Membersihkan rumah : 1 jam • Beristirahat : 9 jam
5. Ibu Tn • Berdagang : 10 jam • Mengasuh anak : 4 jam • Istirahat : 10 jam
6. Ibu Yh • Berdagang : 11 jam • Istirahat : 13 jam Rata-rata 9 jam 30 menit 14 jam 30 menit
Sumber: Data Primer Penelitian, Juni 2008.
75
BAB VII
STRATEGI RUMAHTANGGA PEDAGANG PEREMPUAN
7.1 Strategi Nafkah Rumahtangga Pedagang Perempuan
Rumahtangga pedagang perempuan memiliki banyak strategi untuk memastikan
keberlangsungan nafkah rumahtangganya. Setelah diketahui karakteristik tiap-tiap
rumahtangga dan pola aktivitas dari responden pedagang perempuan, kita dapat
mengetahui bahwa karakteristik ini menyebabkan perbedaan penerapan strategi
dalam masing-masing rumahtangga. Dari hasil penelitian diketahui beberapa
strategi yang diterapkan oleh rumahtangga pedagang perempuan. Strategi tersebut
adalah Stategi Spasial, Strategi Sektoral, Strategi Diversifikasi dan Alokasi SDM,
Strategi Organisasional Usaha, Strategi Likuidasi Asset, Strategi Investasi dan
Strategi Mengurangi Resiko.
7.1.1 Strategi Spasial
Strategi spasial adalah suatu bentuk strategi nafkah rumahtangga pedagang
perempuan yang melakukan perpindahan tempat usaha dengan berbagai alasan.
Perpindahan tempat usaha ini dapat terjadi dalam satu wilayah pasar atau
bangunan pasar (pindah kios, pindah lapak), atau berpindah keluar dari pasar (dari
pasar ke pelataran parkir stasiun kereta). Contoh strategi spasial ini dilakukan oleh
Ibu Epn, Ibu Ngm, Ibu Krs dan Ibu Tn.
Ibu Epn berpindah tempat berdagang sebanyak dua kali, perpindahan ini karena
gedung pasar terbakar dan menghanguskan kios Ibu Epn. Hal yang sama juga
terjadi pada Ibu Krs, kiosnya juga ikut terbakar pada tahn 1987. Kebakaran kios
ini membuat pedagang perempuan kehilangan tempat berdagang dan sebagian
besar modal mereka. Pilihan untuk tetap berdagang di tempat penampungan,
diambil untuk tetap memastikan keberlangsungan nafkah rumahtangga dan
mengurangi kerugian karena kebakaran. Seperti pada kasus Ibu Epn berikut ini.
...Terjadinya kebakaran di tahun 1974 membuat Ibu Epn kehilangan tempat untuk berjualan. Ibu Epn dipindahkan ke penampungan sementara di Pasar Merdeka bersama pedagang lainnya, sementara pasar kembali di bangun oleh PT Primek. Setelah dua tahun berdagang di pasar Merdeka, Ibu Epn kembali berdagang di Pasar Anyar. Saat bangunan selesai di bangun dan pedagang mulai kembali
76
menempati kios-kios di pasar, Ibu Epn memutuskan untuk membeli satu kios. “Tahun 1976 waktu pasar sudah dibangun, Saya beli Kios mbak, maksudnya agar ada tempat dan tidak panas-panasan lagi, barang dagangan juga lebih aman ditinggal kalau pulang. Waktu itu saya beli kiosnya pakai uang hasil jual tanah warisan Bapak (suami Bu’ Epn).”.
Tahun 1987 terjadi kebakaran di Pasar Anyar dan menghanguskan kios milik Bu’ Epn. Ibu Epn mengaku bahwa kebakaran kali ini menghanguskan seluruh barang dagangannya dan Ibu Epn memutuskan untuk berhenti berdagang.
Tahun 1988 Bu’ Epn memutuskan untuk berdagang lagi, hal ini didorong oleh kebosanan Bu’ Epn yang merasa tidak ada kerjaan kalau hanya di rumah dan mengurus anak. Bu’ Epon memutuskan untuk berdagang lagi di penampungan sementara pedagang di Jalan MA Salmun. Selama satu tahun Bu’ Epn berdagang di Jalan MA Salmun, dan tahun 1989 setelah pasar selesai dibangun Ibu Epn kembali membeli kios di Pasar Anyar.
Tahun 1996, saat itu terjadi kebakaran besar di Pasar Anyar, kembali kios Ibu Epn hangus terbakar dan menghanguskan semua barang dagangan Ibu Epn. Setelah kebakaran Ibu Epn berdagang di penampungan si Jalan Dewi Sartika dengan barang dagangan yang sama. Modal usaha diperoleh dari hasil menjual mobil dan rumah Ibu Epn.
Tahun 2000, Ibu Epn masuk kembali ke Pasar Anyar dengan membeli salah satu kios di Blok D, saat itu pengelola pasar adalah PT Propindo. Selama satu tahun Ibu Epn berjualan di kios ini, tapi karena menurut Ibu Epn tempat jualannya kurang ‘hoki’ dan sepi pembeli, Ibu Epn memutuskan untuk pindah ke blok C dan menjual kiosnya ke pedagang daging. Selama dua tahun Ibu Epn berjualan di kios blok C Ibu Epn kembali pindah, kali ini alasannya adalah Ibu Epn merasa ada saingannya yang menguna-gunai dirinya sehingga setiap kali Ibu Epn ke pasar, Ia meresa tidak aman dan sakit-sakitan.
Ibu Epn memutuskan untuk pindah ke blok D sebelah selatan dan memilih kios yang menghadap ke timur. Hal ini karena menurut kepercayaan Ibu Epn posisi kios dan arah muka kios menentukan kelancaran berdagangnya, jadi setiap kali pindah tempat berdagang Ibu Epn memilih terlebih dahulu apakah posisi kios dan lokasinya menguntungkan menurut “primbon” yang menjadi kepercayaan Ibu Epn. “kalau pilih tempat buat berdagang, yang bagus menghadap ke timur mbak, kata Ibu saya dulu dan saya dah buktikan sendiri, usaha lebih lancar kalo kios atau tokonya ngadep ke timut mbak.” Hingga saat ini Ibu Epn tetap berdagang di kios ini.
Ibu Epn mengaku perpindahan tempat usaha ini berpengaruh pada hasil
penjualannya. Tempat yang strategis dan tepat menurut kepercayaan Ibu Epn akan
mendukung usaha perdagangannya. Saat berdagang di kakilima (penampungan)
ketika pasar dibangun merupakan saat terberat untuk Ibu Epn, karena ia harus
bekerja lebih keras untuk mengemas barang setiap kali lapaknya tutup dan tidak
bisa membawa anaknya (tidak bisa sambil melakukan peran pengasuhan) saat
berdagang. Berbeda jika Ibu Epn memiliki kios, jika memiliki kios Ibu Epn bisa
dengan tenang meninggalkan barang dagangannya dan bisa membawa anaknya ke
pasar (sambil mengasuh anak).
Pada kasus Ibu Krs, perpindahan usaha menunjukan kemajuan usaha
perdagangannya. Diawali dari usaha berdagang di kakilima dan hanya menjual
77
ayam, Ibu Krs mengumpulkan modal untuk pindah ke dalam pasar. Saat Ibu Krs
pindah ke dalam pasar, Ia memutuskan untuk membeli kios dan menambah
komuditas yang diperdagangkannya. Hingga saat ini, usaha perdagangan Ibu Krs
telah sukses dan memiliki dua kios.
Pertama masuk ke Pasar, Ibu Krs berdagang di kakilima di emperan toko di jalan MA Salmun, seberang rel kereta. Ibu Krs berdagang dengan membawa meja sendiri dan payung, pertama jualan ibu Krs hanya berani membawa 5 ekor ayam untuk dijual.
....Tahun 1985, saat anak Ibu Krs sudah cukup dewasa (3 tahun), Ibu Krs memutuskan untuk berjualan lagi di pasar. Ibu Krs membeli kios seharga 10 juta rupiah dari pedagang yang ingin menjual kiosnya. Kios itu terletak di Blok D Pasar Anyar. Pembayarannya secara keredit selama tiga tahun.
Tahun 1987, terjadi kebakaran di Pasar Anyar dan mengakibatkan kios Ibu Krs juga ikut terbakar.Dari sisa tabungan yang di miliki, Ibu Krs tetap berdagang ayam di penampungan sementara, yaitu di jalan MA Salmun. Tiga tahun Ibu Krs berdagang di awuning yang dibangun sebagai pasar sementara. Tahun 1989, saat pasar telah selesai dibangun, Ibu Krs kembali mendapat kios di pasar, hal ini terjadi karena Ibu Krs telah memiliki kios sebelumnya, jadi saat pasar selesai dibangun, pedagang yang memiliki kios boleh memilih terlebih dahulu kios mana yang diinginkan untuk usaha. Walau harus tetap membayar kepemilikan kios tersebut pada pengelola. Ibu Krs membeli kios yang ada di Blok C, alasannya adalah lebih ramai pembeli. Hingga tahun 1995 Ibu Krs terus berdagang di pasar dan menambah barang dagangannya, tidak hanya berjualan ayam, tetapi juga berjualan berbagai bahan pokok.
Kebakaran besar taun 1996 dan menyusul krisis moneter tahun 1997, membuat usaha Ibu Krs bangkrut. Kebakaran tahun 1996 menghanguskan kios Ibu Krs besarta barang dagangannya. Namun Ibu Krs memutuskan untuk tetap berdagang di penampungan, di sekitar Pasar Merdeka,
Tahun 2000, pasar selesai dibangun oleh pihak pengelola (PT Propindo), pedagang yang kiosnya terbakar, memiliki hak untuk memilih kios mana yang akan dibelinya, Ibu Krs masuk kembali ke Pasar, karena menurutnya memiliki kios adalah memiliki kepastian usaha, istilahnya ‘punya tempat aman di pasar’. Ibu Krs membeli 2 kios sekaligus, yaitu kios yang ada di Blok C yang ditempati hingga sekarang dan kedua kios tersebut posisinya saling berhadapan.
Perpindahan tempat berdagang diusahakan untuk tetap memastikan keberlanjutan
usaha. Saat berada di penampungan sementara, Ibu Krs maupun Ibu Epn tetap
memutuskan untuk berdagang dan memilih tempat yang strategis. Meskipun
keuntungan usaha sedikit, namun usaha perdagangan tetap dijalankan karena
merupakan nafkah utama rumahtangga.
Strategi spasial yang dilakukan oleh Ibu Tn adalah perpindahan tempat usaha
keluar dari pasar. Saat terjadi kebakaran pasar tahun 2004, meja dagang Ibu Tn
dan barang dagangannya terbakar. Ibu Tn memutuskan untuk pindah berdagang
keluar dari pasar dan berdagang berpindah-pindah. Sebagaimana yang dituturkan
oleh Ibu Tn berikut ini:
78
“Saat kebakaran pasar 2004, barang dagangan ibu habis semua neng, Saat Abang sampai di pasar sama sekali tidak ada yang bisa di selametkan. Ya sudah tinggal pasrah saja.”
Ibu Tn berdagang di “Pasar Kaget” di halaman parkir GWW, kampus IPB
Darmaga setiap hari minggu. Untuk hari-hari lainnya Ibu Tn menggelar
dagangannya di atas pelastik terpal di pinggir jalan dekat Masjid Agung Bogor.
Modal untuk berdagang diperoleh dari hasil menjual sejumlah perhiasan milik Ibu
Tn.
“tidak berdagang, ya tidak makan. Anak ibu yang nomor dua baru berumur 6 bulan saat itu. Pokoknya ibu pikir harus tetap berjualan, ya ibu jual kalung dan cincin untuk modal membeli barang lagi. lalu ibu coba berdagang di pasar kaget yang ada di kampus. Lumayan hasilnya, bahkan lebih banyak dari pada jualan di Pasar. Tapi karena hanya seminggu sekali, jadi sama aja. Yang penting anak-anak tetap makan dan minum susu, neng.”
Berdagang berpindah-pindah menurut Ibu Tn memberikan keuntungan lebih
banyak dari berdagang di Pasar Anyar. Namun, dalam hal keamanan dan
kepastian usaha berdagang berpindah-pindah memiliki resiko lebih besar dari
berdagang dengan memiliki kios.
7.1.2 Strategi Sektoral
Strategi sektoral merupakan bentuk strategi usaha yang dilakukan oleh perempuan
pedagang dengan berpindah-pindah profesi usaha. Perpindahan profesi usaha ini
bisa dari luar sektor perdagangan masuk ke sektor perdagangan, ataupun berubah
komoditas yang diperdagangkan. Strategi ini dilakukan oleh Ibu Enh, Ibu Ngm,
IbuKrs, Ibu Tn dan Ibu Yh. Hanya Ibu Epn yang tidak pernah melakukan
perpindahan jenis pekerjaan dan perubahan jenis komoditas yang diperdagangkan.
Strategi sektoral yang pertama adalah perpindahan usaha dari sektor non-
perdagangan masuk ke sektor perdagangan. Strategi sektoral bentuk ini dilakukan
oleh Ibu Enh dan Ibu Ngm, keduanya keluar dari sektor pertanian dan
memutuskan untuk berdagang. Ibu Tn keluar dari sektor formal dan memutuskan
untuk berdagang. Seperti pada kasus Ibu Enh berikut ini.
Awalnya keluarga Ibu Enh bekerja sebagai buruh tani, dengan sepetak kebun yang diusahakan dengan menanam buah-buahan seperti pisang, nanas dan rambutan. Hasil dari kebunnya dijual ke Pasar Anyar atau Pasar Bogor. Tapi karena hasil dari pertanian buah ini musiman, rumahtangga Ibu Enh harus mengusahakan bidang
79
usaha lain untuk menutupi kebutuhan rumahtangganya saat kebunnya tidak menghasilkan buah.
Setelah meminjam modal dari saudaranya dan mencoba menjual sendiri ketupatnya Abah Awo mulai menjalankan usahanya hingga saat ini.
Ibu Enh sendiri mulai berdagang di Pasar Anyar pada tahun 1990, sudah 18 tahun berdagang. Pada tahun ini usaha ketupat keluarganya mencapai masa kejayaannya.Jadi disamping membantu membuat ketupat di rumah, Ibu Enh juga berjualan di Pasar Anyar, disebuah meja gelaran yang terbuat dari kayu dan diberi atap terpal. Kios kakilima ini menjual sembako seperti beras, minyak, telur dan kebutuhan lainnya di trotoar Jalan MA Salmun.
Tahun 1997, selain usaha ketupat yang sepi pembeli, usaha lapak sembako Ibu Enh pun terkena penertiban oleh SatPol PP, barang dagangan disita oleh petugas dan abah sempat ditahan selama dua hari di kantor SatPol PP.
Saat ini Ibu Enh yang menggantikan Abah Awo berjualan di Pasar Anyar. Hal ini dikarenakan Abah Awo sakit dan tidak bisa berjualan lagi di pasar.
Sedangkan pada kasus Ibu Ngm, perpindahannya dari sektor pertanian ke sektor
perdagangan karena pilihan migrasi dinilai lebih memberikan kepastian nafkah
rumahtangganya dari pada terus berada di sektor pertanian.
Ibu Ngm (47 tahun) adalah seorang pedagang rempah-rempah dan daun pisang di kakilima pelataran pertokoan di jalan Dewi Sartika (di depan Pasar Anyar).
Tahun 1987, Ibu Ngm ikut suaminya merantau ke Bogor. Alasan utama migrasi ini adalah untuk mencari penghasil yang lebih baik, karena menurut Ibu Ngm sawah yang digarapnya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan rumahtangganya lagi. Pekerjaan mengurus sawah dinilai cukup memberatkan buat Ibu Ngm, namun hal ini harus dilakukan karena merupakan nafkah utama keluarga.
Tidak lama setibanya di bogor, Ibu Ngm berkenalan dengan Ibu Sjm yang berprofesi sebagai pedagang pecal di kakilima. Dari Ibu Sjm inilah Ibu Ngm belajar dan berinisiatif untuk berdagang pecel keliling dengan menggunakan bakul.
Tahun 1993, Ibu Ngm beralih profesi sebagai pedagang kaki lima. Hal ini terjadi karena setelah kelahiran anak ke-5 nya kesehatan Ibu Ngm menurun dan tidak kuat untuk menjajakan pecel keliling komplek lagi. Akhirnya dengan uang tabungan dan menjual perhiasan. Ibu Ngm beralih profei menjadi pedagang kakilima di Pasar Anyar. Tepatnya di Jalan Dewi Sartika. Waktu itu izin dan tempat berdagang diperoleh dari lapak milik pedagang lain yang dijual kepada Ibu Ngm.
Kedua kasus ini memperlihatkan bagaimana para pedagang perempuan ini keluar
dari sektor pertanian dan memilih untuk masuk ke sektor perdagangan. Sektor
pertanian dinilai tidak mampu lagi untuk memenuhi kebutuhan seluruh anggota
rumahtangga, sehingga harus diusahakan suatu bentuk nafkah baru untuk
menutupi kekurangan tersebut. Perdagangan dipilih oleh perempuan ini karena
mereka memiliki akses ke sektor ini, seperti kasus Ibu Enh yang menggantikan
suaminya berdagang dan kasus Ibu Ngm yang berdagang pecel setelah dibantu
oleh Ibu Sjm.
80
Ibu Tn memilih untuk menjadi pedagang kaki lima setelah suaminya terkena PHK
tahun 2001. Sebelum menikah Ibu Tn bekerja sebagai karyawan di sebuah
penerbitan koran dan pernah bekerja sebagai buruh pabrik. Setelah suaminya di
PHK, Ibu Tn melihat peluang usaha perdagangan dapat menjadi sumber nafkah
baru rumahtangganya.
Sebelum berjualan di pasar, Ibu Tn pernah bekerja di kantor penerbitan surat kabar Suara Pembaruan Bogor (tahun 1994). Ibu Tn bekerja di divisi pemasaran. Saat itu Ibu Tn belum menikah. Ibu Tn menjelaskan kerjanya lebih ringan dari pada berdagang seperti sekarang. Saat bekerja di kantor penerbitan Ibu Tn mendapat sip sore hari, jam 14.00-17.00 wib. Di pagi harinya, Ibu Tn bekerja sebagai penjaga toko pakaian milik temannya. Dari sinilah Ibu Tn memperoleh pengalaman untuk berdagang. Lewat temannya, Ibu Tn belajar berdagang agar tetap memperoleh keuntungan, mengelola keuangan agak modal kembali, membeli barang dari suplayer dan bagaimana bernegosiasi dengan pelanggan.
Ibu Tn bekerja di kantor penerbitan selama tiga tahun dan berhenti pada tahun 1997 karena PHK (Dampak Krisis Moneter). Selama setahun kemudian Ibu Tn mengangur. Tahun 1998, Ibu Tn kembali bekerja sebagai buruh pabrik garmen di Cileungsi. Pekerjaan sebagai buruh pabrik mempertemukan Ibu Tn dengan Bpk Ln dan mereka memutuskan untuk menikah pada tahun 2000. Setelah menikah Ibu Tn berhenti bekerja di pabrik dan menjadi Ibu rumahtangga.
Usaha dagang Ibu Tn diawali dari keterdesakan ekonomi setelah Bapak Ln (Suami Ibu Tn) terkena PHK dari Pabrik Krakatau Steal tempatnya bekerja (tahun 2001). Saat itu adalah masa sulit untuk rumahtangga Ibu Tn, anak pertamanya lahir di tahun ini (2001), jadi membutuhkan biaya yang cukup besar. Sedangkan suaminya kehilangan pekerjaan. Akhirnya dengan modal pesangon suaminya Ibu Tn memutuskan untuk berdagang di kakilima Pasar.
Keterampilan berdagang Ibu Tn diperoleh dari pengalamannya saat menjadi
penjaga toko pakaian milik temannya. Dengan dukungan modal dari suami dan
keterampilan, Ibu Tn memutuskan untuk berdagang di Pasar Anyar.
Strategi sektoral yang kedua adalah bentuk strategi usaha dengan mengganti
komoditas yang diperdagangkan. Seperti pasa kasus Ibu Krs dan Ibu Yh. Ibu Krs
melakukan diversivikasi atau memperbanyak jenis barang yang diperdagangkan
agar memperoleh keuntungan lebih banyak. Ibu Yh beralih dari menjual pakaian
jadi secara kredit menjadi pedagang ayam di Pasar Anyar. Perpindahan jenis
barang yang diperdagangkan ini bertujuan untuk memperoleh keuntungan yang
lebih banyak dan melihat kemudahan untuk memperoleh komoditas tersebut.
Seperti pada kasus Ibu Krs berikut ini.
Pertama masuk ke Pasar, Ibu Krs berdagang di kakilima di emperan toko di jalan MA Salmun, seberang rel kereta. Ibu Krs berdagang dengan membawa meja sendiri dan payung, pertama jualan ibu Krs hanya berani membawa 5 ekor ayam untuk dijual. Ibu Krs menyatakan ayam diperoleh dari peternak dan langsung dipotong,
81
Hingga tahun 1995 Ibu Krs terus berdagang di pasar dan menambah barang dagangannya, tidak hanya berjualan ayam, tetapi juga berjualan berbagai bahan makanan pokok (Sembako). Menurut Ibu Krs usahanya terus mengalami kemajuan, setiap hari bisa menjual 50 ekor ayam dan mendapat keuntungan Rp. 100.000/hari.
Tahun 2000, pasar selesai dibangun oleh pihak pengelola (PT Propindo), pedagang yang kiosnya terbakat, memiliki hak untuk memilih kios mana yang akan dibelinya, Ibu Krs masuk kembali ke Pasar, karena menurutnya memiliki kios adalah memiliki kepastian usaha, istilahnya ‘punya tempat aman di pasar’. Ibu Krs membeli 2 kios sekaligus, yaitu kios yang ada di Blok C yang ditempati hingga sekarang dan kedua kios tersebut posisinya saling berhadapan. Hingga kini Ibu Krs terus berdagang di kedua kios tersebut. Kios pertama menjual sembako dan ayam dibantu oleh Mbak Prt (20 tahun) untuk menjaganya setiap hari. Kios kedua digunakan uantuk berjualan sayur-sayuran dan di bantu oleh Mbak Sr (19 tahun) untuk menjaganya setiap hari.
Ibu Krs tetap berdagang ayam hingga saat ini, juga disebabkan oleh dukungan
dari usaha yang dilakukan oleh suaminya. Suami Ibu Krs melakukan usaha
peternakan ayam, sehingga Ibu Krs secara ekonomi menjadi patner usaha untuk
peternakan suaminya. Ayam yang di jual di kios Ibu Krs diperoleh dari
peternakan suaminya.
Sembako diperoleh dari pembelian kepada distibutor yang lebih besar, yaitu toko cina yang ada di jalan MA Salmun (tempat Ibu Krs berdagang kakilima di pelatarannya) Ibu Krs belanja tiap 2 minggu 1 kali
Untuk ayam, Ibu Krs memperolehnya dari usaha ternak suaminya yang saat ini kembali diusahakan.
Untuk sayur-sayuran, Ibu Krs membeli sayurannya di pasar Bogor, pada malam hari pukul 9 malam,
Ibu Yh memutuskan untuk mengganti komoditas yang diperdagangkan setelah
usaha kredit pakaian yang dilakukannya bangkrut karena krisis moneter yang
melanda tahun 1997. Banyak dari pelanggannya yang menunggak kredit karena
tidak memiliki uang untuk membayar kredit tersebut. Sedangkan, saat
memutuskan untuk berdagang ayam, Ibu Yh mendapat bantuan dari saudaranya
yang telah berdagang ayam terlebih dahulu. Ibu Yh diperkenalkan kepada
pemasok, diajarkan cara menarik pelanggan dan bagaimana cara berdagang di
pasar. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Ibu Yh berikut ini:
.“Jualan baju untuk mengisi waktu saja neng, dari pada bengong di rumah, mending cari kegiatan, karena modalnya tidak besar jadi seadanya saja. Awalnya ibu beli barang sendiri ke Tanah Abang, lalu ibu jual kredit ke tetangga atau saudara yang mau. Lumayan untuk menambah uang belanja dan jajan anak-anak. Bapak juga seneng saya mendapat tambahan, jadi tidak minta uang katanya”
“Nah, saat tahun 1997, saat krismon neng, usaha ibu bangkrut. Soalnya banyak yang nunggak, ibu juga sudah lelah menagih. diperhatikan juga yang ditagih juga
82
tidak punya uang. Akhirnya ibu ihklaskan aja. Tapi kalau yang kreditnya baru sekali bayar, masih ibu tagih. Ya gimana ya, sama-sama tidak punya uang.”
“Awalnya di kenalkan oleh saudara saya, beli ayamnya di mana, bagaimana jualnya dan cari pelanggan dulu. Tapi sekarang sudah enak neng, pelanggan sudah ada, tempat mengambil ayam juga sudah percaya. Sekarang suudah ada frezzer untuk tempat menaruh ayam kalau tidak laku dalam sehari.”
Stategi sektoral yang dilakukan oleh pedagang perempuan dilakukan untuk
mengatasi krisis dalam rumahtangganya. Saat sumber nafkah yang selama ini
diusahakan oleh anggota rumahtangga dinilai tidak bisa lagi memenuhi kebutuhan
rumahtangga, maka dipilihlah perdagang kecil sebagai sumber nafkah baru.
Dukungan modal dari anggota keluarga lainnya (suami, orang tua dan keluarga
besar) dan keterampilan yang diperoleh dari pengalaman menjadi modal untuk
melakukan strategi sektoral ini.
7.1.3 Strategi Diversifikasi Usaha dan Alokasi Sumber Daya Manusia Rumahtangga (Pola Nafkah Ganda).
Strategi diversifikasi dan alokasi SDM merupakan bentuk strategi yang membuat
anggota rumahtangga melakukan usaha atau kerja-kerja lain untuk mendukung
keberlangsungan rumahtangga. Strategi ini juga bisa diartikan sebagai satu
anggota rumahtangga melakukan beberapa macam kerja untuk mendukung nafkah
rumahtangga. Strategi bentuk ini dilakukan oleh semua pedagang perempuan yang
menjadi responden. Semua anggota rumahtangga dibagi atas kerja-kerja yang
dapat mendukung keberlangsungan nafkah rumahtangga. Seperti pada kasus
rumahtangga Ibu Yh dan Ibu Tn yang meminta bantuan orang tua mereka untuk
mengurus anak yang masih kecil, sementara kedua Ibu ini berdagang dan suami
mereka bekerja. Contohnya kasus rumahtangga Ibu Tn berikut ini.
Ibu Tn (32 tahun) adalah seorang pedagang kakilima yang menjual pakaian dalam (Underwear) di pelataran kakilima Sebelah utara blok C Pasar Anyar. Saat ini Ibu Tn tinggal di, Laladon Indah Rt.02/Rw.08 Sawah baru. Ibu Tn menikah dengan Bapak Ln pada tahun 2000 dan dari pernikahannya Ibu Tn dikaruniai tiga orang anak,
Dalam rumahtangga Ibu Tn ada 5 orang yang menjadi tanggungan keluarga. Karena anak ke tiga Ibu Tn masih balita, Ibu Tn meminta bantuan orang tuanya untuk menjaga anak ketiganya. Jadi untuk saat ini ada enam orang yang menjadi tanggungan Ibu Tn
Untuk memperoleh barang dagangan, Ibu Tn berbelanja di Tanah Abang Jakarta, biasanya tiap satu minggu satu kali, suami Ibu Tn ke Jakarta untuk membeli barang (Underwear). Sejak di PHK tahun 2001, Pak Ln beralih profesi sebagai tukang ojek di sekitas komplek perumahannya (Laladon Indah). Pagi hari setelah mengantar Ibu Tn ke Pasar Anyar, Pak Ln mulai mengojek dan disore hari
83
menjemput istrinya pulang. Tiap hari Rabu Pak Ln ke Jakarta untuk membeli barang dagangan.
Untuk keperluan masak dan mengurus anak-anak dikerjakan oleh orang tua Ibu Tn (Ibunya) sehingga Ibu Tn tidak dipusingkan lagi dengan urusan pengasuhan anak-anak.
Rumahtangga Ibu Epn, Ibu Enh, Ibu Ngm dan Ibu Krs melakukan strategi
deversifikasi dan alokasi SDM rumahtangga dengan cara membuat anak-anak
mereka mandiri secara ekonomi dan dapat memiliki sumber nafkah sendiri. Saat
anak-anak telah memiliki sumber nafkah sendiri, maka tanggungan rumahtangga
akan berkurang. Hal ini juga berarti usaha pemenuhan kebutuhan anggota
rumahtangga dapat lebih longgar. Contohnya pada kasus Ibu Epn, anak-anak Ibu
Epn telah memiliki sumber nafkah sendiri dan tidak membebani Ibu Epn lagi.
Semua hasil usaha perdagangan Ibu Epn kini hanya digunakan untuk memenuhi
kebutuhan Ibu Epn dan ditabung.
Ibu Epn menikah dengan Bapak Ysf pada tahun 1973, dari pernikahan tersebut Ibu Epn dikaruniai empat orang anak, yaitu :
Eri Ardian (33 thn), Anak pertama, pendidikan terakhir S1, sudah menikah dan memiliki 2 orang anak dan telah memiliki rumah sendiri. Saat ini tinggal di Cipayung, Jakarta. Bekerja sebagai pegawai swasta dan telah mandiri secara ekonomi.
Indra Aprian (30 thn), Anak kedua, pendidikan terakhir D3, sudah menikah dan memiliki 3 orang anak dan telah memiliki rumah sendiri. Saat ini tinggal di Warung Jambu. Pekerjaan saat ini adalah mengelola beberapa kontrakan.
Irmadaniati (27 thn), Anak ketiga, pendidikan terakhir S1, sudah menikah dan ikut suami.
Siti Nur Amaliah (24 thn), Anak keempat, pendidikan terakhir D3, sudah menikah dan telah memiliki rumah sendiri. Saat ini tinggal di Parung Aleng.
Strategi diversifikasi yang dilakukan oleh Ibu Epn didukung oleh usaha Ibu Epn
untuk menyekolahkan anaknya hingga perguruan tinggi. Ibu Epn berkeyakinan
bahwa jika anak-anaknya dibekali dengan pendidikan, maka mereka dapat
memperoleh kehidupan yang lebih baik dan mandiri secara ekonomi. Hal yang
sama juga dilakukan oleh pedagang perempuan yang lainnya, anak-anak yang
masih kecil diusahakan untuk bersekolah, sedangkan anak-anak yang lebih besar
ikut bekerja membantu pemenuhan nafkah rumahtangga.
7.1.4 Strategi Organisasional Usaha
Organisasional usaha merupakan suatu upaya yang diterapkan oleh pedagang
perempuan untuk mempertahankan usahanya dengan cara mengatur ulang usaha
84
perdagangan dalam menanggapi berbagai kendala usaha. Dari hasil penelitian,
diketahui terdapat tiga bentuk strategi organisasional, yaitu: Strategi Mengurangi
Skala Usaha; Strategi Adaptasi Terhadap Kekerasan; dan Strategi Adaptasi
Terhadap Musibah yang menimpa usaha perdagangan.
A. Strategi Mengurangi Skala Usaha
Strategi mengurangi skala usaha merupakan adaptasi terhadap keadaan krisis
ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1997. Krisis moneter telah membuat
usaha para pedagang perempuan bangkrut. Mahalnya bahan baku dan harga beli
barang dagangan, serta sedikitnya pembeli telah membuat usaha mereka terancam
“gulung tikar”. Pedagang perempuan ini melakukan berbagai strategi agar usaha
mereka dapat bertahan menghadapi krisis moneter. Salah satunya adalah Ibu Enh,
ia mengurangi pembuatan ketupatnya untuk mennyiasati mahalnya harga beras
yang menjadi bahan baku pembuatan ketupat dan mengatasi resiko ketupat tidak
laku karena tidak ada pembeli. Pengurangan jumlah produksi dan penjualan
ketupat berdampak pada pengurangan pendapatan rumahtangga. Namun langkah
ini dinilai Ibu Enh paling tepat karena kerugian usaha dapat diminimalkan.
Usaha ketupat keluarga Ibu Enh mengalami kebangkrutan saat terjadi krisis moneter tahun 1997. Krisis moneter ternyata berdampak pada berkurangnya pelanggan yang biasa membeli ketupat dari Abah Awo dan semakin tingginya harga beras yang menjadi bahan baku pembuatan ketupat. Sehingga pada tahun ini usaha Abah Awo tidak mampu bertahan, Abah Awo mengurangi produksi ketupatnya hingga hanya 30 ketupat setiap hari dari yang semula jumlahnya ratusan per hari.
B. Strategi Adaptasi Terhadap Kekerasan
Strategi adaptasi terhadap kekerasan adalah perilaku yang dilakukan oleh
pedagang perempuan saat berhadapan dengan orang-orang yang mengancam
usahanya. Kekerasan yang mereka hadapi bisa berbentuk kekerasan fisik dari
preman pasar atau petugas retribusi pasar, ataupun kekerasan non-fisik seperti
pengucilan atau gosip antara sesama pedagang. Pedagang perempuan memilih
untuk menuruti keinginan preman pasar atau petugas retribusi yang menarik
sejumlah uang dari mereka. Mereka tidak melakukan perlawanan, karena jika
mereka melawan maka usaha perdagangan mereka bisa dihancurkan atau tidak
diizinkan lagi berdagang di daerah itu. Contohnya, pada kaus Ibu Enh, Ibu Ngm
85
dan Ibu Tn. Ibu Enh membayar uang keamanan dan kebersihan senilai Rp.
3.000,00,-/hari yang ditarik oleh petugas pasar yang dikenal Ibu Enh sebagai
preman10. Jika Ibu Enh tidak membayar retribusi ini, maka esok harinya ia tidak
diperbolehkan berdagang di kakilima lagi. Sebagaimana yang diungkapkan oleh
Ibu Enh berikut ini.
Setiap hari di pasar, Ibu Enh harus membayar Rp. 3.000,-/ hari untuk uang retribusi, keamanan dan kebersihan yang dipungut oleh laki-laki yang berpakaian preman yang dikenal oleh Ibu Enh sebagai petugas pasar. “setiap hari harus bayar neng, Ibu tidak berani macam-macam, maksudnya nunggak atau tidak membayar, bisa-bisa besok tidak boleh jualan lagi disini”.
Ancaman dari preman pasar hanya terjadi pada pedagang kakilima yang ada
disekeliling pasar. Pedagang yang memiliki kios-dalam banguan pasar-uang
retribusi ditagih oleh pengelola pasar (PT PMU) dan dihitung sebagai kewajiban
membayar pajak usaha oleh pedagang.
C. Strategi Adaptasi Terhadap Musibah
Bentuk strategi ini merupakan respon terhadap musibah yang menimpa usaha
perdagangan. Seperti kejadian kebakaran yang sering terjadi di Pasar Anyar
dimaknai sebagai musibah oleh para pedagang. Kerugian akibat terbakarnya kios
dan barang dagangan ditanggung sendiri oleh pedagang. Mereka berusaha
mempertahankan usahanya dengan tetap berdagang di penampungan dan di kaki
lima di sepanjang jalan MA Salmun, Dewi Sartika dan Nyi Raja Permas. Pilihan
untuk tetap berdagang ini diambil karena jika tidak berdagang maka pendapatan
rumahtangga akan terganggu. Untuk menutupi kerugian dan modal untuk
membeli barang ke pemasok diperoleh dari tabungan ataupun mencairkan aset
rumahtangga. Contohnya pada kasus Ibu Krs berikut ini.
“Saat kebakaran tahun 1987, kios baru lunas dicicil mbak, sudah hangus terbakar, wes ben...ibu bangkrut, waktu itu kios tidak diasuransikan, jadi rugi ditanggung sendiri.” Dari sisa tabungan yang di miliki, Ibu Krs tetap berdagang ayam di penampungan sementara, yaitu di jalan MA Salmun.
Kebakaran besar taun 1996 dan menyusul krisis moneter tahun 1997, membuat usaha Ibu Krs bangkrut. Kebakaran tahun 1996 menghanguskan kios Ibu Krs besarta barang dagangannya, Ibu Krs telah mengasuranikan kiosnya, sehingga mendapat pengganti untuk kiosnya yang terbakar, namun jumlah itu tidak dapat menutupi semua kerugian yang Ibu Krs derita. Saaat krisis moneter melanda Indonesia, Ibu Krs tetap berdagang di penampungan, di sekitar Pasar Merdeka, pada masa ini, kesulitan ekonomi juga melanda raumahtangga Ibu Krs, setelah
10 Orang yang menjadi penguasa informal daerah pasar. Sering disebut “jagoan pasar”.
86
kiosnya terbakar, usaha ternak ayam Pak Swt juga “gulung tikar” karena menderita kerugian, tetapi tidak sampai menjual aset-aset yang dimiliki. Tabunggan yang dimiliki oleh Ibu Krs mampu menopang ekonomi keluarga yang sedang mengalami krisis.
“sehabis kebakaran menyusul krismon ya neng, waduh..itu bikin bangkrut usaha ibu, ibu tetap dagang di penampungan agar dapat pemasukan tiap hari, meski sedikit. Usaha ternak ayam bapak bangrut waktu itu, biaya melihara ayamnya lebih besar dari pada harga jualnya. Tapi ibu tidak menjual barang untuk menutupi kerugian, dari tabungan saja diambil untuk uang anak sekolah dan keperluan lainnya. Kalau uang untuk makan sehari-hari ya dari usaha dagang ibu.”
Ibu Krs menyatakan tempat berdaganglah yang paling penting saat menghadapi
keadaan kebakaran pasar. Penampuangan yang dibangun oleh pengelola
memberikan peluang kepada pedagang yang kiosnya terbakar untuk tetap
berdagang. Dengan tetap berdagang di penampungan, Ibu Kr dapat mengurangi
kerugian karena kebakaran dan mengumpulkan modal kembali untuk membeli
kios yang baru.
7.1.5 Strategi Likuidasi Aset
Strategi likuidasi aset adalah suatu bentuk strategi yang “mencairkan” aset yang
dimiliki rumahtangga untuk menunjang berjalannya usaha perdagangan ataupun
untuk kepentingan konsumsi anggota rumahtangga. Aset yang dimiliki
rumahtangga dapat berupa rumah, alat-alat usaha, barang-barang yang dimiliki
rumahtangga yang dapat langsung dijual (emas, perhiasan, alat-alat elektronik dan
perabotan rumahtangga) dan tanah. Dari hasil penelitian diketahui bahwa strategi
likuidasi aset rumahtangga dibagi kedalam dua strategi lagi, pembagian ini
berdasarkan kegunaan dari likuidasi aset tersebut. Strategi tersebut adalah
likuidasi aset untuk kegunaan konsumsi rumahtangga, dan likuidasi aset untuk
kegunaan tambahan modal usaha.
Likuidasi aset rumahtangga untuk kepentingan konsumsi rumahtangga dilakukan
saat menghadapi krisis dan saat usaha mengalami kebangkrutan. Contohnya pada
kasus Ibu Epn dan Ibu Enh. Keduanya menjual barang-barang yang mudah
diuangkan untuk membiayai sekolah anak-anak mereka.
Setelah kebakaran tahun 1996, Ibu Epn berdagang di penampungan si Jalan Dewi Sartika dengan barang dagangan yang sama (rempah-rempah untuk membuat jamu) pada tahun-tahun ini adalah tahun terberat untuk Ibu Epn, tidak lama setelah kios Ibu Epn terbakar, suami Ibu Epn, Bapak Yusuf meninggal karena sakit dan tahun 1997 terjadi krisis moneter. Ibu Epn harus terus membiayai sekolah
87
keempat anaknya dan memenuhi kebutuhan rumahtangganya sendiri. Usaha Ibu Epn bangkrut pada tahun-tahun ini, Ibu Epn harus menjaul mobil dan rumahnya untuk memenuhi kebutuhan sekolah dan kebutuhan sehari-hari anak-anaknya.
Sedangkan likuidasi aset rumahtangga untuk kebutuhan tambahan modal usaha
dilakukan oleh Ibu Ngm, Ibu Krs, Ibu Tn dan Ibu Yh. Contohnya pada kaus Ibu
Yh berikut ini.
Dalam memulai usahanya Ibu Yh memanfaatkan modal sosial, hubungan keluarga untuk membantunya memulai usaha. “Sepupunya saya yang nawarin, katanya Pasar Anyar yang baru beres di bangun, pada jual kios. Waktu itu saya kredit kios (kios yang ditempati sampai dengan sekarang) Rp. 17.500.000,- dan beli mejanya (tempat menggelar dagangan) Rp. 500.000,-, waktu itu ngurusnya sama Pak Iwan (Pengelola pasar), di kartu kuning pake nama saya.”Modal usaha Ibu Yh berasal dari hasil penjualan salah satu mobil (Mobil yang disewakan) yang mereka miliki. Pak Msr mendukung usaha Ibu Yh sepenuhnya. Memberikan izin untuk usaha diluar rumah dan memberikan bantuan modal. “Bapak mah ngedukung banget waktu saya bilang mau dagang. Tapi bapak ngingetin jangan terlalu dipaksain dagangnya.”
Ibu Krs dan Ibu Ngm menjual perhiasan yang di miliki untuk menambah modal
usaha perdagangannya.
Modal untuk berdagang diperoleh dari uang tabungan Ibu Krs dan bantuan suaminya, Ibu Krs juga menjual beberapa perhiasan miliknya untuk modal usaha.
Pencairan aset rumahtangga ini harus dengan seizin suami dan diketahui oleh
anggota rumahtangga yang lain. Seperti pada kasus Ibu Yh, mobil suaminya dijual
untuk mendukung usaha perdagangan Ibu Yh. Bentuk dukungan suami ini sangat
berpengaruh pada usaha perdagangan Ibu Yh. Diakui oleh Ibu Yh, usahanya dapat
berkembang karena dukungan suaminya saat mengawali usaha dan izin yang
diberikan oleh suaminya.
7.1.6 Strategi Investasi Sumber Daya Manusia Rumahtangga
Strategi Investasi adalah bentuk strategi yang dilakukan oleh anggota
rumahtangga dengan cara menyekolahkan anak atau tanggungan rumahtangga
dengan harapan pada masa depannya memiliki kehidupan yang lebih baik dan
dapat mandiri secara ekonomi. Uang yang digunakan untuk menyekolah anak
diambil dari hasil usaha perdagangan maupun pencairan asset rumahtangga dan
tabungan. Contohnya pada kaus Ibu Epn, anak-anak Ibu Epn disekolahkan sampai
tingkat perguruan tinggi dan diploma dengan harapan dapat mendapatkan
88
pekerjaan yan lebih baik dan mandiri secara ekonomi. Saat ini anak-anak Ibu Epn
telah mandiri secara ekonomi dan memiliki rumahtangga sendiri. Ibu Epn tidak
dibebani lagi oleh anak-anaknya, usaha perdagangan yang dilakukan oleh Ibu saat
ini hanya dimaksudkan untuk mengisi kegiatan sehari-hari Ibu Epn. Hasil usaha
perdagangannya pun dikonsumsi sendiri dan sisanya ditabung.
7.1.7 Strategi Mengurangi Resiko Usaha
Strategi mengurangi resiko merupakan bentuk aktifitas yang dilakukan oleh
pedagang perempuan untuk membagi resiko usahanya ataupun mengurangi resiko
untuk mengalami kerugian. Strategi mengurangi resiko berupa asuransi kios yang
dilakukan oleh pedagang perempuan. Asuransi usaha ini memperlihatkan bahwa
perempuan pedagang ini dapat mengakses kelembagaan publik yang ada dalam
masyarakat untuk mengurangi resiko kebakaran dan kerugian usaha. Selain itu,
strategi mengurangi resiko juga dilakukan oleh Ibu Yh dan Ibu Enh. Ibu Yh
membeli freezer untuk menyimpan ayam yang tidak laku dijual dalam satu hari.
Ibu Enh merebus kembali ketupat yang tidak laku dalam penjualan dalam satu
hari. Ibu Yh juga mensiasati pemesanan partai besar untuk pelanggannya dengan
membayar terlebih dahulu uang “panjar” senilai 20% dari harga seluruhnya. Hal
ini dilakukan untuk menghindari mangkirnya pelanggan yang memesan ayamnya.
Strategi ini cukup efektif untuk mengurangi kerugian usaha, dan sangat berguna
saat penjualan sedang sepi.
7.2 Ikhtisar
Terdapat tujuh strategi yang diterapkan oleh pedagang perempuan untuk
memastikan keberlangsungan usaha perdagangan dan pemenuhan nafkah
rumahtangganya. Ketujuh bentuk strategi yang diterapkan oleh rumantangga
pedagang perempuan yang menjadi kasus adalah strategi spasial, strategi sektoral,
strategi diversifikasi usaha dan alokasi SDM rumahtangga, strategi organisasi
usaha, strategi likuidasi asset rumahtangga, strategi investasi SDM rumahtangga
dan strategi mengurangi resiko usaha. Strategi yang diterapkan pedagang
perempuan disajikan dalam tabel berikut:
89
Tabel 15. Strategi Nafkah Rumahtangga Pedagang Perempuan Responden No Strategi
Nafkah
Rumahtangga Pedagang
Perempuan
Sumber Nafkah Utama
Alasan Melakukan
Strategi Tujuan Aktivitas yang
Dilakukan
Ibu Epn Ibu Ngm Ibu Krs
Modal finansial
Memperoleh tempat yang strategis. Mempertahankan usaha agar tetap berjalan.
Keberlangsungan usaha perdagangan
Pindah tempat berdagang, namun masih di dalam pasar
1. Strategi Spasial
Ibu Tn Modal finansial
Mempertahankan usaha agar tetap berjalan
Keberlangsungan usaha perdagangan
Pindah tempat berdagang keluar dari pasar
Ibu Enh Ibu Ngm Ibu Tn
Modal sosial dan Modal finansial
Memperoleh sumber nafkah baru
Memperoleh sumber nafkah baru yang lebih menjamin pemenuhan nafkah rumahtangga
Perpindahan usaha dari sektor non-perdagangan masuk ke sektor perdagangan.
2. Strategi Sektoral
Ibu Krs Ibu Yh
Modal sosial dan Modal finansial
Untuk menambah keuntungan
Mempertahan kan sumber nafkah yang menjamin pemenuhan nafkah rumahtangga
Perubahan jenis komuditas yang diperdagangkan
3. Strategi nafkah ganda
Ibu Enh, Ibu Ngm, Ibu Krs Ibu Yh, Ibu Tn Ibu Epn
Modal Manusia
Mendukung pemenuhan nafkah rumahtangga
Pemenuhan nafkah rumahtangga
Masing-masing Anggota rumahtangga bekerja.
Strategi Organisasional Usaha 1. Mengurangi skala usaha
Ibu Enh Mengatasi masa krisis
Keberlangsungan usaha
Mengurangi jumlah produksi ketupat
2. Adaptasi terhadap kekerasan
Ibu Enh Ibu Ngm Ibu Tn
Modal finansial
Untuk menjamin keberlangsungan usaha
Keberlangsungan usaha
Membayar iuran keamanan dan tidak melawan preman ataupun petugas
4.
3. Adaptasi terhadap musibah
Ibu Krs Ibu Epn
Modal finansial dan Modal fisik
Untuk menjamin keberlangsungan usaha
Keberlangsungan usaha
Tetap berdagang di penampungan
Ibu Yh Ibu Ngm Ibu Epn
Modal fisik
Menambah modal usaha
Keberlangsungan usaha
Menjual asset rumahtangga
5. Strategi Likuidasi Asset
Ibu Enh
Modal fisik
Untuk memenuhi konsumsi rumahtangga
Keberlangsungan rumahtangga
Menjual asset rumahtangga
6. Strategi Investasi SDM Rumahtangga
Ibu Epn Ibu Krs
Modal manusia
Agar anak-anak mandiri secara ekonomi
Keberlangsungan rumahtangga
Menyekolahkan anak
Ibu Krs Ibu Yh
Modal fisik
Mengurangi kerugian usaha
Keberlangsungan usaha
Mengasuransi kan kios dan Membeli frezer u/ menyimpan ayam,
7. Strategi Mengurangi Resiko Usaha
Ibu Enh Modal fisik
Mengurangi kerugian usaha
Keberlangsungan usaha
Merebus kembali ketupat
Sumber: Data primer Penelitian, Mei 2008
90
Ketujuh strategi tersebut sangat tergantung pada kepemilikan modal dari tiap-tiap
pedagang perempuan dan kemampuan mereka untuk mengakses modal tersebut.
Ibu Krs dapat melakukan strategi investasi sumber daya manusia rumahtangganya
karena Ia memiliki kemampuan dalam modal finansial untuk menyekolahkan
anak-anaknya. Ibu Enh lebih mengembangkan strategi likuidasi asset
rumahtangga saat menghadapi krisis karena Ibu Enh mengandalkan modal fisik
yang di milikinya.
91
BAB VIII
DINAMIKA NAFKAH PEDAGANG PEREMPUAN
DI SEKTOR INFORMAL
Usaha perdagangan yang dilakukan oleh perempuan memiliki masa-masa
fluktuasi. Ada kalanya mereka memperoleh keuntungan yang besar dan ada
kalanya mereka mengalami kerugian. Masa-masa untung diartikan sebagai saat-
saat usaha perdagangan menghasilkan pendapatan yang lebih tinggi. Masa rugi
adalah saat-saat usaha perdagangan mengalami kerugian baik karena barang
dagangan tidak laku ataupun karena musibah. Selain mengalami fluktuasi
keuntungan, pedagang perempuan yang tidak memiliki kios juga harus
berhadapan dengan petugas Satuan Polisi Pamong Praja (Sat Pol PP) dan preman
yang kadang kala mengancam usaha perdagangan mereka. Selain berdagang, para
perempuan ini juga masih mengerjakan pekerjaan domestik rumahtangga. Hal ini
memberikan beban ganda bagi perempuan. Menghadapi kondisi seperti ini,
pedagang perempuan akan melakukan berbagai strategi untuk mempertahankan
usahanya. Pada kondisi paling kritis, kegiatan berdagang dapat dihentikan, baik
sementara ataupun untuk waktu yang lama.
Melihat berbagai hambatan yang telah disebutkan diatas, pedagang perempuan
membangun berbagai strategi untuk memastikan keberlangsungan usahanya dan
keberlanjutan nafkah rumahtangganya. Berbagai strategi ini menciptakan
dinamika dalam nafkah pedagang perempuan. Dinamika ini akan dilihat lebih
mendalam dalam tahap-tahapan. Tahap-tahapan tersebut adalah saat memulai
usaha berdagang, tahap mempertahankan usaha dan tahap bangkit dari krisis.
Masa krisis usaha sebenarnya tidak hanya dihadapi oleh pedagang perempuan
saja, tetapi oleh semua pedagang di Pasar Anyar. Yang membedakan adalah
bagaimana pedagang perempuan menanggapi masa krisis ini. Pedagang
perempuan memilih menerapkan strategi yang bersifat preventif dan menghindari
konflik. Contohnya, untuk memperoleh izin berdagang, pedagang perempuan rela
membayar sejumlah uang kepada preman demi kelancaran usaha dagangnya.
92
Menurut mereka, dengan rutin membayar sejumlah uang maka keamanan usaha
perdagangannya juga terjamin.
8.1 Masa Mengawali Usaha
Untuk memulai usaha perdagangan, perempuan harus memperoleh izin dari
suami. Setelah izin ini diperoleh, maka barulah diusahakan tempat untuk
berdagang dan bagaimana usaha ini akan dilakukan. Mereka meminta pendapat
dan bantuan modal untuk memulai usahanya dari anggota rumahtangga lainnya.
Jika suami mereka mengizinkan, maka usaha perdagangan dapat dilakukan.
Namun jika suami tidak mengizinkan, maka usaha kemungkinan besar tidak
dilakukan. Seperti pada kasus Ibu Tn dan Ibu Ngm, mereka memulai usaha
perdagangannya setelah mendapat izin dari suami dan melihat kenyataan bahwa
suami mereka tidak dapat memenuhi kebutuhan nafkah rumahtangga.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Ibu Tn, berikut ini.
“Awal berdagang itu saat Abang di PHK, Pusing sekali waktu itu. Ibu kan baru melahirkan anak pertama, saat mendengar Abang di PHK, ibu langsung bingung. Waktu itu masih tinggal sama orang tua. Ibu putuskan untuk berdagang, karena berdagang pasti untung. Tinggal pintar-pintar mengelolanya, neng, agar untungnya besar.”
Keputusan ini didukung oleh suami dan orang tua Ibu Tn. Suaminya memberi dukungan modal dari pesangon yang Ia terima. Sedangkan orang tuanya membantu menjaga anak pertama Ibu Tn. Jadilah Ibu Tn pedagang underwear di Pasar Anyar.
Suami para pedagang ini mengizinkan mereka berdagang karena beberapa alasan,
antara lain karena suami tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan rumahtangga,
atau karena suami sakit dan tidak bisa bekerja. Contohnya, pada kasus Ibu Enh, Ia
diizinkan berdagang karena Abah Awo (suami Ibu Enh) sakit dan tidak bisa
berjualan ketupat lagi. Pada kasus Ibu Krs, Ia masih diperbolehkan berjualan oleh
suaminya meskipun suaminya memiliki penghasilan yang tinggi. Hal ini karena
usaha dagang Ibu Krs dibantu oleh dua orang pelayan yang bertugas menjajakan
dagangan. Sehingga Ibu Krs tidak terlibat langsung dengan perdagangannya dan
masih memiliki banyak waktu di rumah. Namun secara keseluruhan, keputusan
untuk berdagang diambil karena keterdesakan ekonomi untuk memenuhi
kebutuhan rumahtangga.
93
Modal untuk mengawali usaha perdagangan diperoleh dari dukungan suami dan
anggota keluarga. Selain itu, pedagang perempuan juga menjual beberapa barang
miliknya, tabungan dan perhiasan yang dimiliki untuk modal usaha. Meminjam
uang dari rentenir juga menjadi salah satu cara untuk memulai usaha perdagangan.
Seperti yang dilakukan oleh Ibu Epn. Izin berdagang dan kepemilikan kios
menggunakan nama pedagang perempuan, namun menurut mereka yang
mengurus administrasi ke pemerintah adalah suaminya. Pada awal usaha
perdagangan pedagang perempuan membatasi jumlah barang dagangannya,
karena mereka belum berani menargetkan keuntungan yang besar. Ibu Krs saat
pertama berdagang hanya menjual lima ekor ayam saja dalam satu hari.
Menurutnya, dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk memperoleh pelanggan
dan memperoleh keuntungan yang besar.
Saat telah memulai usaha berdagang, perempuan juga masih memiliki tanggung
jawab pekerjaan rumah yang selama ini dibebankan kepada mereka. Perempuan
akan dianggap sukses jika mampu melaksanakan pekerjaan rumahtangga dan
usaha perdagangannya. Namun jika pekerjaan rumahtangga dan anak tidak
berjalan dengan baik, maka hal ini sering menimbulkan cemooh dari masyarakat.
Hal ini menunjukan perempuan harus memainkan perannya sebagai ibu dan
sekaligus juga sebagai pencari nafkah. Menanggapi hal ini pedagang perempuan
melibatkan anggota rumahtangga lainnya untuk menggantikan tugas rumahtangga
yang ditinggalkan. Contohnya pada kasus rumahtangga Ibu Tn, Ia
mempercayakan pengasuhan anaknya kepada orang tuanya. Hal ini dilakukan
karena sebagian besar waktu Ibu Tn dihabiskan di pasar, hanya pada malam hari
Ibu Tn dapat mengasuh anak-anaknya. Ibu Yh memutuskan untuk membeli
makanan siap santap dari rumah makan atau restoran untuk menghemat waktu
memasak.
Kedua bentuk kerja perempuan yang telah dijelaskan diatas, diusahakan untuk
dapat berjalan selaras. Karena dalam memulai usaha perdagangan, pedagang
perempuan lebih banyak menghabiskan waktunya di pasar dan merintis usahanya.
Dukungan suami mereka menjadi penting pada tahap ini. Dukungan suami dapat
berupa bantuan modal, tenaga dan izin berdagang. Meskipun suami tidak terlibat
94
langsung dalam kegiatan perdagangan namun izin suami berpengaruh besar dalam
keberhasilan usaha perdagangan.
8.2 Mempertahankan Usaha
Seperti yang telah dijelaskan di atas, usaha perdagangan yang dilakukan oleh
perempuan memiliki masa krisis dan masa-masa yang menyulitkan pedagang
perempuan. Masa-masa krisis ini adalah saat terjadinya kebakaran di Pasar Anyar
yang menghanguskan kios para pedagang perempuan dan bersamaan dengan
peristiwa kebakaran tersebut, krisis ekonomi juga terjadi di Indonesia.
Kebakaran Pasar Anyar tahun 1996 menyebabkan sebagian besar bangunan pasar
hangus terbakar. Kios Ibu Krs dan Ibu Epn juga ikut terbakar dalam musibah ini.
Keduanya mengaku kerugian yang mereka alami sangat besar dan menyebabkan
mereka sementara harus berhenti berdagang. Meskipun keduanya telah
mengasuransikan kiosnya, namun uang ganti rugi asuransi tidak mencukupi untuk
membeli kios yang baru. Saat pedagang yang kiosnya terbakar, dibangunkan
tempat penampungan oleh Pemerintah Kota Bogor, Ibu Krs dan Ibu Epn
memutuskan untuk tetap berdagang dengan modal yang tersisa. Keduanya
menggaku harus membayar sejumlah uang kepada pengelola tempat
penampuangan agar memperoleh meja gelaran yang berada di depan (posisinya
strategis). Tidak semua pedagang dapat berjualan di penampungan, dan
mendapatkan meja gelaran untuk berjualan. Hanya pedagang yang mampu
membayar uang sebesar Rp. 600.000 yang diperbolehkan untuk berdagang di
tempat penampungan. Ibu Krs dan Ibu Epn tetap membayar, meskipun mereka
mengetahui bahwa tempat penampuangan itu dibangun gratis untuk pedagang
yang kiosnya terbakar. Hal ini dilakukan karena menurut Ibu Krs, memiliki
tempat berjualan yang aman adalah awal berjalannya usaha, sehingga Ibu Krs
tidak menentang ataupun melawan saat pengelola menyatakan adanya
pembayaran untuk menempati lapak dan meja gelaran.
Saat berdagang di penampungan, Ibu Krs dan Ibu Epn mengaku tidak merasa
nyaman, mereka harus berpanas-panasan dan saat hujan pasar menjadi sangat
95
becek. Namun keduanya tetap bertahan, karena meskipun keuntungan usaha
hanya sedikit tetapi tetap diperoleh setiap harinya. Musibah kebakaran yang
disusul oleh terjadinya krisis ekonomi memaksa pedagang perempuan untuk
mengurangi jumlah barang dagangannya. Ibu Enh mengurangi jumlah ketupat
yang di jual untuk menekan kerugian karena sedikit pembeli. Selain itu, pedagang
perempuan juga mencairkan beberapa asset rumahtangganya untuk menambah
modal usaha perdagangan. Hal ini dilakukan karena asset rumahtangga dinilai
paling cepat diuangkan dan dapat membantu mempertahankan usaha saat krisis.
Contohnya pada kasus Ibu Epn, ia menjual rumah dan mobil untuk memenuhi
kebutuhan sekolah anak-anaknya dan sebagai tambahan modal usaha
berdagangnya. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Ibu Epn berikut ini.
“Saat kebakaran besar tahun 1996 yang banyak orang meninggalnya, mbak, ibu bangkrut lagi, kios memang sudah diasuransikan tapi uang penggantinya tidak bisa untuk memeli kios baru, hanya cukup untuk modal dagang saja, ibu juga binggung kenapa bisa kebakaran sampai berkali-kali, tapi setiap kali terbakar pasar lain lagi yang ngurusnya.”
“tahun yang paling berat itu tahun 1997 mbak, sehabis ditinggal bapak, usaha ibu juga bangkrut, anak-anak sedang butuh uang untuk sekolah dan belum bisa mandiri, ibu harus mencari uang sendiri, kalo diinga-ingat ibu susah sekali waktu itu, kios hanya di emperan jalan, hasil berdagang tidak seberapa, uang tunjangan bapak juga hanya cukup untuk kuliah anak ibu yang nomer satu saja. Ibu jual semua harta yang bisa dijual untuk menutupi kebutuhan. Mobil ibu jual, rumah yang lama juga, laluibu beli rumah yang agak keci (yang ditinggali saat ini) Uang nya untuk biaya sekolah anak dan menambah modal ibu berdagang, mbak”
Bagi pedagang kaki lima yang tidak memiliki kios, kebakaran pasar juga
mempengaruhi usaha mereka. Mereka harus tergusur dari tempat biasanya mereka
berdagang, karena tempat tersebut digunakan untuk menampung para pedagang
yang kiosnya terbakar. Mereka ditertibkan oleh petugas Sat Pol PP dan tidak
diperbolehkan berdagang di sekitar Pasar Anyar. Seperti Ibu Ngm dan Ibu Enh,
keduanya digusur dari tempat berdagangnya. Setelah tempat berdagangnya
digunakan oleh pedagang lain, Ibu Ngm dan Ibu Enh memutuskan untuk tetap
berdagang. Mereka berdagang di emperan toko dan warung di sekitar Pasar Anyar
yang mengizinkan mereka berdagang. Mereka hanya membawa dagangan dengan
bakul agar mudah dibereskan, alasannya adalah agar mudah berpindah-pindah jika
diusir lagi. Keadaan ini tentu saja menyulitkan Ibu Enh dan Ibu Ngm untuk
berdagang, mereka sering kali harus membereskan dagangnya jika ada anggota
96
Sat Pol PP yang berpatroli merazia pasar. Sebagaimana penuturan Ibu Ngm
berikut ini.
“Saat kebakaran besar, ibu di gusur mbak, ibu di suruh pindah. Tempat ibu biasa berjualan biubah jadi lapak-lapak untuk pedagang yang kiosnya terbakar. Ibu terpaksa berdagang di emperan toko dekat sini juga (sambil menunjuk toko sekitar 20 meter dari tempat wawancara).”
Saat itu Ibu Ngm tidak melakukan perlawanan apa-apa, yang terpenting untuk Ibu Ngm adalah Ia masih bisa tetap berjualan di pasar. Selama 4 tahun Ibu Ngm berjualan di emperan toko tersebut dan bertahan jika ada yang menggusur atau menyuruhnya pindah.
“asal bayar retribusi tiap hari, ibu tetap bisa jualan mbak, retribusinya Rp.1500,-/ hari dan ditagih oleh orang yang badannya besar, ibu kenalnya preman pasar itu. Tapi selagi ibu aman jualannya bayar sejumlah itu tidak menjadi masalah.”
Sedangkan Ibu Enh harus kehilangan lapak sembakonya dalam penggusuran.
Suami Ibu Enh melakukan perlawanan atas penggusuran ini dan akhirnya Abah
Awo ditangkap dan ditahan selama dua hari di kantor polisi. Keamanan usaha
perdagangan Ibu Enh dan Ibu Ngm sangat tergantung pada kemampuan mereka
membayar retribusi kepada ‘preman pasar’ yang menagih uang keamanan setiap
harinya. Selama mereka membayar uang keamanan maka mereka dapat terus
berdagang di Pasar Anyar. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Ibu Enh berikut
ini.
Setiap hari di pasar, Ibu Enh harus membayar Rp. 3.000,-/ hari untuk uang retribusi, keamanan dan kebersihan yang dipungut oleh laki-laki yang berpakaian preman yang dikenal oleh Ibu Enh sebagai petugas pasar.
“setiap hari harus bayar neng, Ibu tidak berani macam-macam, maksudnya nunggak atau tidak bayar, bisa-bisa besok tidak boleh berjualan disini lagi”.
Ibu Tn mengatasi masa krisisnya dengan berpindah tempat berjualan. Setelah
kiosnya terbakar tahun 2004, Ia memutuskan untuk berdagang di ’Pasar kaget’
yang ada di pelataran parkir Grawida, Kampus IPB Darmaga. Ibu Tn melihat ini
sebagai peluang untuk tetap berdagang, menurut Ibu Tn berdagang di ’pasar
kaget’ memberikan keuntungan yang lebih besar walaupun hanya satu kali dalam
seminggu. Hari lainnya Ibu Tn berjualan di emperan parkir Borobudur dan Masjid
Agung.
“Saat kebakaran pasar 2004, barang dagangan ibu habis terbakar semua neng, Saat Abang sampai di pasar, sama sekali tidak ada yang bisa di selamatkan lagi. Ya sudah tinggal pasrah saja.”
“..tidak berdagang, ya tidak makan. Anak ibu yang nomor dua baru berumur 6 bulan saat itu. Pokoknya ibu berfikir harus tetap jualan, ya ibu jual kalung sama cincin untuk
97
modal mengambil barang lagi. Lalu ibu coba berdagang di pasar kaget yang ada di kampus. Lumayan hasilnya, malah lebih banyak dari pada jualan di Pasar. Tapi hanya seminggu sekali, jadi ya sama saja. Yang penting anak-anak tetap makan dan minum susu, neng.”
Pedagang perempuan menggunakan cara-cara menghindari konflik dalam
mempertahankan usahanya saat menghadapi krisis. Mereka memilih untuk
membayar sejumlah uang untuk memperoleh kios agar tetap berdagang,
menganggap kebakaran sebagai musibah yang harus ditanggung sendiri
kerugiannya dan tidak menuntut saat dilakukan penggusuran. Selama mereka
masih bisa berdagang maka mereka tidak keberatan untuk membayar dan
berpindah tempat berdagang. Kerugian usaha ditanggapi dengan usaha yang lebih
keras dan mencairkan asset pribadi untuk memberikan tambahan modal pada
usaha perdagangannya.
8.3 Bangkit dari Krisis Usaha
Setelah mengalami masa-masa bangkrut dan berdagang di penampungan,
pedagang perempuan yang kiosnya terbakar mengusahakan untuk membeli
kembali kios di dalam gedung Pasar Anyar. Menurut mereka memiliki kios berarti
memiliki tempat yang aman dalam pasar. Mereka terhindar dari panas dan hujan,
mudah dalam menyimpan barang dagangan dan bisa membawa anak saat
berjualan di pasar. Namun, tidak semua pedagang perempuan yang menjadi
responden mampu untuk membeli kios di dalam gedung pasar. Hal ini
dikarenakan keterbatasan pedagang perempuan dalam modal finansial. Dari enam
kasus pedagang perempuan, empat orang diantaranya berhasil membeli kios
setelah kebakaran pasar tahun 1996. Ibu Krs, Ibu Epn, Ibu Tn dan Ibu Yh berhasil
membeli kios. Ibu Tn terlebih dahulu membeli meja gelar di emperan parkir Pasar
Anyar sebelum membeli salah satu kios di Blok D. Ibu Enh dan Ibu Ngm tetap
berdagang di kaki lima.
Ibu Krs membeli dua kios sekaligus saat pasar telah selesai dibangun, modal
pembelian kios diperoleh dari hasil usahanya berdagang di penampungan,
tabungan Ibu Krs dan bantuan dari suaminya (menjual mobil). Kios pertama dibeli
oleh Ibu Krs seharga Rp. 20.000.000,- dari tangan kedua dan kios kedua dibeli
98
dengan harga Rp. 17.000.000,- pembelian ini dilakukan secara tunai. Hingga kini
Ibu Krs terus berdagang di kedua kios tersebut. Setelah membeli dua kios, Ibu Krs
mempekerjakan dua orang pembantu (Mbk Prt dan Mbak Sr) untuk membantunya
menjaga kios.
Ibu Epn membeli kios di blok D dengan harga Rp 20.000.000,-. Modal pembelian
kios berasal dari tabungan Ibu Epn, bantuan dari anaknya dan sebagian diperoleh
dari meminjam pada rentenir. Ibu Epn membeli kios dengan cara kredit dan
dilunasi selama dua tahun. Setelah satu tahun berdagang di kios ini, Ibu Epn
memutuskan untuk pindah, alasannya adalah kios tersebut ‘tidak hoki’ sehingga
keuntungan usaha Ibu Epn pun kecil. Ibu Epn sangat percaya pada primbon dan
ritual-ritual khusus untuk mendapat kios yang tepat. Menurut Ibu Epn, kios yang
‘hoki’ adalah kios yang ditempatinya sekarang. Ibu Epn membutuhkan waktu tiga
tahun dan berpindah-pindah sebanyak tiga kali untuk menemukan kios yang
menurut Ibu Epn sebagai kios yang tepat.
Ibu Yh memutuskan untuk membeli kios di dalam gedung pasar Anyar setelah
mendapat informasi dari saudaranya. Ibu Yh diperkenalkan dengan pemasok
ayam dan diajarkan bagaimana berdagang oleh saudaranya tersebut. Ibu Yh
membeli kios seharga Rp. 17.500.000,- dari pengelola pasar. Modal pembelian
kios berasal dari hasil penjualan mobil suaminya. Dukungan izin dan modal dari
suaminya menurut Ibu Yh sebagai syarat kesuksesan usahanya saat ini. Berbeda
dari pedagang perempuan lainnya, Ibu Yh baru memulai usaha perdagangannya di
Pasar Anyar setelah kebakaran tahun 1996. Pembangunan pasar yang selesai
tahun 2000 dimanfaatkan oleh ibu Yh sebagai momen untuk berdagang di Pasar
Anyar.
Ibu Tn membeli meja gelar setelah pasar selesai dibangun, meja tersebut dibeli
dengan harga Rp. 1.000.000,-. Ibu Tn berdagang di pelataran parkir sebelah utara
Pasar Anyar. Ia memperoleh izin untuk berdagang di sana setelah membayar
sejumlah uang kepada pemilik toko yang kaki limanya dipakai oleh Ibu Tn untuk
berdagang. Menurut Ibu Tn, ia harus mengalah dan selalu bersikap baik hati pada
pemilik toko agar tetap diizinkan berdagang di sana. Ketika pemilik toko tersebut
berniat untuk menjual kiosnya, Ibu Tn membeli kios tersebut dengan cara kredit.
99
Akibat keterbatasan modal finansial, Ibu Tn mensiasati pembayaran kios dengan
cara menyewakan kios tersebut kepada pedagang lain dan uang sewa kios
digunakan oleh Ibu Tn untuk membayar kredit kios tersebut.
Ibu Ngm tetap berdagang di kaki lima setelah pasar selesai di bangun. Ibu Ngm
memutuskan untuk berdagang di dalam awning saat awning dibangun kembali
tahun 2004. Ibu Ngm membeli izin menggunakan lapak dalam awning dari
pedagang lain. Ia membayar Rp. 300.000,- untuk memperoleh izin berdagang.
Menurut Ibu Ngm, berjualan di awning lebih baik daripada berjualan di kaki lima.
Kepastian usahanya lebih terjamin saat ia memiliki lapak di awuning.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Ibu Ngm berikut ini:
“Saat berjualan di awning ibu memperoleh paling banyak keuntungan. Ibu dagangnya enak, tidak berpanas-panasan, barang juga bisa di simpan di lemari di bawah meja. Lebih tenang jualannya. Dagangan ibu lancar, Ibu bisa ngirim uang lebih banyak ke Solo, bisa juga nabung walaupun hanya sedikit.”
Ibu Enh menghentikan usaha perdagangannya setelah lapak sembakonya digusur,
ia memilih untuk tinggal di rumah dan membantu suaminya membuat ketupat.
Kebutuhan rumahtangga dipenuhi dengan menjual barang elektronik yang
dimiliki serta perhiasan Ibu Enh. Ia kembali berdagang di Pasar Anyar saat
suaminya sakit dan tidak dapat berdagang lagi. Hingga saat penelitian dilakukan
Ibu Enh tetap berdagang di kakilima dan menjajakan ketupatnya dengan bakul.
Hal ini menunjukan rumahtangga Ibu Enh masih belum bisa bangkit dari krisis
karena pemenuhan kebutuhannya masih sangat tergantung pada usaha
perdagangan Ibu Enh. Ibu Enh tidak dapat mengumpulkan uang untuk menyewa
kios atau pun lapak di awning, karena uang hasil berdagang setiap hari habis
untuk dikonsumsi. Ibu Enh harus bertahan di kaki lima untuk bisa berjualan dan
setiap kali harus membayar iuran keamanan pada preman pasar. Jika ada petugas
Sat Pol PP yang merazia kaki lima, Ibu Enh segera membereskan ketupatnya dan
menyembunyikan bakulnya di gang atau lorong yang tersembunyi di sekitar pasar.
Meskipun keadaan perdagangan Ibu Enh saat ini sangat tidak menentu,
menurutnya keadaan ini lebih baik jika dibandingkan dengan saat krisis moneter.
Dari enam kasus pedagang perempuan yang diteliti, diketahui bahwa membeli
kios atau lapak adalah salah satu cara untuk mengembalikan kejayaan usaha
100
perdagangan setelah mengalami kebangkrutan. Modal untuk membeli kios
diperoleh dari tabungan pribadi, bantuan dari anggota keluarga lainnya dan
pinjaman pada rentenir. Hal ini menunjukan bahwa jika pedagang memiliki kios
atau lapak di pasar Anyar, maka usaha perdagangannya akan terjamin dan mampu
memberikan pendapatan yang optimal.
8.4 Ikhtisar
Perempuan yang berprofesi sebagai pedagang di sektor informal mengalami
dinamika dalam usahanya. Pedagang perempuan di sektor informal tidak hanya
berasal dari tenaga kerja sektor pertanian, namun, juga berasal dari penduduk kota
yang melihat peluang usaha disektor ini. Karakteristik serta modal yang mereka
miliki menciptakan berbagai strategi untuk memastikan keberlangsungan usaha
perdagangan. Usaha perdagangan yang dilakukan oleh enam responden pedagang
perempuan dalam garis waktu terangkum dalam matriks berikut ini.
Tabel 16. Usaha Perdagangan Enam Responden Pedagang Perempuan di Pasar Anyar Bogor dalam Garis Waktu.
Tahun No Kasus 1971-1980 1981-1990 1991-2000 2001-2007 Keterangan
1. Ibu Enh
Menjadi petani dan mengusahakan kebun buah
1990, berdagang sembako di kaki lima Pasar Anyar. Modal usaha berasal dari keuntungan usaha ketupat suaminya.
1997, Dagangan digusur dan disita oleh Sat Pol PP. Ibu Enh tidak memiliki modal untuk kembali berdagang sehingga memutuskan untuk berhenti berdagang
2005, kembali berdagang di kaki lima Pasar Anyar. Karena suaminya sakit dan tidak dapat lagi berdagang, maka Ibu Enh menggantikannya
Ibu Enh, hingga saat penelitian dilakukan tetap berdagang ketupat di Pasar Anyar. Menggunkan bakul yang mudah untuk dibawa-bawa. Alasannya adalah agar mudah kabur dari petugas Sat Pol PP jika ada razia atau penggusuran.
2. Ibu Epn
1973, Mulai berdagang di Pasar Anyar. Awalnya di kaki lima Pasar. Modal usaha berasal dari modal pribadi. 1976, Setelah kebakaran pasar, Ibu
1987, kios Ibu terbakar dan Ibu Epn berhenti berdagang. 1988, Ibu Epn kembali berdagang di penampuangan. Modal berasal dari tabungan dan bantuan dari
1996, kios Ibu terbakar. 1996-2000, berdagang di penampungan. Modal usaha berasal dari hasil menjual rumah dan mobil. 2000, kembali membeli kios di dalam
2000-2001, berdagang di kios Blok D. 2001-2003, pindah ke kios Blok C, karena kios sebelumnya dianggap kurang membawa ‘hoki’ 2003-2007,
Ibu Epn berpindah-pindah kios tempat berjualannya untuk menemukan tempat yang menurutnya membawa “hoki” atau strategis dan membawa keuntungan yang lebih besar.
101
Epn berjualan di pasar lagi. Membeli kios dalam gedung pasar.
suaminya. 1989, membeli kios di blok E.
gedung pasar. pindah ke kios blokD, karena di kios sebelumnya Ibu Epn merasa ada yang ‘mengguna-gunai’nya.
3. Ibu Krs 1976, datang ke Bogor. Mengikuti kakaknya yang telah terlebih dahulu berdagang di Pasar Anyar. Ibu Krs membantu kakaknya menjaga warung di rumah, dan keterampilan berdagang Ibu Krs diperoleh dari pengalaman selama membantu kakaknya.
1980, Mulai berdagang di Pasar Anyar. Pertama kali berdagang di kaki lima. Modal berasal dari modal pribadi. 1983, berhenti berdagang karena sakit-sakitan. 1985, kembali berdagang di pasar. Membeli kios di dalam gedung pasar. Modal berasal dari pinjaman bank. 1987, kios Ibu Krs terbakar. 1987-1989, berdagang di penampungan. Modal berasal dari tabungan pribadi. 1989, kembali membeli kios dan berdagang di pasar. Modal berasal dari keuntungan berjualan di penampungan.
1996, kios kembali terbakar 1996-2000, berdagang di penampungan. Modal berasal dari asuransi kios. 2000, kembali masuk pasar dan membeli 2 kios sekaligus. Di blok C. Modal usaha berasal dari keuntungan berdagang di penampungan.
2000-2007, Ibu Krs mempekerjakan dua orang pembantu untuk menjaga kiosnya. Ibu Krs hanya mengontrol setiap dua kali dalam satu minggu.
Usaha perdagangan Ibu Krs semakin mengalami kemajuan dari tahun ketahun. Dengan memiliki dua kios dan menjual komuditas yang beragam, Ibu Krs dapat memperoleh keuntungan lebih banyak.
4. Ibu Ngm
Menjadi petani sawah di Solo
1987, datang ke Bogor mengikuti suami. 1987-1993, berdagang pecel keliling. Keterampilan dan modal untuk berdagang pecel diperoleh dari saudaranya.
1993, Mulai berjualan di kaki lima Pasar Anyar, modal usaha diperoleh dari hasil menjual perhiasan. 1996, Digusur oleh petugas. Pindah tempat berdagang, di emperan toko di depan Pasar Anyar.
2004, berdagang di awning. Ibu Ngm membayar sejumlah uang pada pengelola awning. 2007, Awuning di bongkar, Ibu Ngm kembali digusur oleh petugas Sat Pol PP. Namun, Ibu
Hingga saat ini Ibu Ngm masih berdagang di emperan kios bakso di Jln. Dewi Sartika. Ibu Ngm menggelar dagangannya diatas karung atau terpal. Hal ini dilakukan agar mudah untuk mengangkut barang jika petugas melakukan
102
Ngm tetap berdagang di emperan toko.
penggusuran.
5. Ibu Tn 1994, Bekerja di kantor penerbitan surat kabar dan membantu menjaga toko. 1997, berhenti Karen PHK 1998, bekerja sebagai buruh pabrik garmen
2000, menikah dan berhenti bekerja. 2001, Pertama berjualan di pasar. Di kaki lima pasar Anyar. Memutuskan untuk berdagang karena suaminya di PHK, modal usaha diperoleh dari pesangaon suaminya. 2004, meja gelar Ibu Tn terbakar. 2004-2005, berdagang di pasar kaget. 2005, kembali berdagang di kaki lima Pasar Anyar
Karena suaminya tidak bekerja, maka usaha perdagangan Ibu Tn menjadi nafkah utama rumahtangganya. Alasan inilah yang membuat Ibu Tn tetap berdagang hingga saat ini.
6. Ibu Yh 1993, Berjualan kredit pakaian jadi di rumah. 1997, usaha bangkrut karena krisis moneter.
2000, membeli kios di pasar Anyar, dan mulai berjualan ayam. Hingga saat ini.
Ibu Yh memutuskan untuk berdagang di Pasar Anyar setelah mengetahui informasi dari saudara sepupunya.
Sumber: Data primer penelitian (data diambil pada Desember 2007).
Pedagang perempuan menghadapi berbagai kendala untuk mempertahankan
usahanya. Kebakaran pasar yang berulang kali terjadi membuat pedagang
memiliki strategi tersendiri untuk menghadapinya. Mereka tetap berdagang di
penampungan untuk memperoleh kembali modal yang telah hilang akibat musibah
kebakaran. Kios memiliki arti penting bagi pedagang perempuan. Dengan
memiliki kios, pedagang perempuan memiliki kepastian usaha dan keamanan
usaha perdagangan lebih terjamin. Oleh karena alasan inilah, pedagang
perempuan mengusahakan membeli kios untuk mengembalikan usaha setelah
mengalami krisis. Dinamika strategi yang dilakukan oleh pedagang perempuan
dalam menghadapi berbagai kondisi disajikan dalam tabel berikut ini.
103
Tabel 17. Dinamika Strategi Pedagang Perempuan di Pasar Anyar Kota Bogor dalam Berbagai Kondisi.
Proses Bertahan Asal Pedagang
Perempuan
Alasan Masuk Ke
Sektor Informal
Kasus Krisis Bangkit dari
krisis Stabil
Ibu Enh
Mengurangi Produksi ketupatnya. Diusahakan agar tetap berjualan dengan modal pribadi atau berhutang.
Menambah produksi ketupat.
Mengikuti arisan uang dan sembako.
Berasal dari sektor pertanian.
Merespon marjinalisasi pertanian
Ibu Ngm
Mengurangi jumlah barang dagangannya. Diusahakan agar tetap berdagang, dengan modal pribadi dan mencairkan asset rumahtangga yang terbatas. Membayar sejumlah uang kepada preman agar di izinkan berdagang.
Membeli izin penempatan awning, dan membayar sejumlah uang pada pengelola awning.
Menyisihkan keuntungan lebih banyak untuk dikirim ke Solo
Ibu Krs
Tetap berdagang di penampungan.
Membeli kios di Pasar Anyar dan menambah komuditas yang diperdagangkan.
Menyisihkan keuntungan untuk pemenuhan kebutuhan tersier.
Ibu Epn
Tetap berdagang di penampungan. Mencairkan asset rumahtangga
Membeli kios di Pasar Anyar.
Mnyisihkan keuntungan. Menambah jumlah barang yang dijual.
Ibu Tn
Berpindah tempat berdagang
Kembali membeli meja gelar dan berdagang di kaki lima pasar.
Mengikuti arisan
Berasal dari sektor non-pertanian.
Melanjutkan/ merespon peluang ekonomi yang tersedia di kota
Ibu Yh
Mengikuti arisan
Sumber: Data primer penelitian (data diambil pada Desember 2007).
104
BAB IX
KESIMPULAN DAN SARAN
9.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan analisis terhadap aktivitas nafkah pedagang
perempuan, dapat disimpulkan beberpa hal, antara lain:
1. Pedagang perempuan memiliki karakteristik yang sangat cocok dengan sektor
informal. Mereka berada pada usia produktif, berasal dari pedesaan dan
memiliki tujuan untuk memperoleh pekerjaan yang lebih baik di Bogor. Selain
perempuan yang berasal dari pedesaan, pedagang perempuan juga berasal dari
penduduk kota Bogor yang tidak tertampung di sektor formal. Pendidikan
pedagang perempuan termasuk rendah dan keterampilan berdagang mereka
diperoleh dari pengalaman. Usaha perdagangan mereka sangat dipengaruhi
oleh karakteristik rumahtangga mereka. Pekerjaan suami yang memberikan
pendapatan yang tidak tetap mendorong para perempuan ini untuk berdagang.
Selain itu jumlah tanggungan rumahtangga yang besar juga mendorong
perempuan untuk bekerja sebagai pedagang. Oleh karena alasan inilah
pedagang perempuan harus digambarkan secara lengkap. Bukan hanya sebagai
satuan pedagang yang ada dalam ekonomi perkotaan, tetapi juga sebagai
anggota dari sebuah rumahtangga yang harus dijamin keberlangsugnan
nafkahnya.
2. Dalam menjalankan usahanya, pedagang perempuan memaksimalkan waktu
berdagangnya dan mengatur agar waktu-waktu yang diperlukan untuk
pekerjaan rumahtangga tidak mengganggu waktu berdagang. Pedagang
perempuan menghabiskan kurang lebih 10 jam setiap hari untuk berdagang.
Dalam berdagang, pekerjaan dibagi atas waktu untuk membuka dan menutup
kios, membeli barang dagangan, mengangkutnya, mengemas dan merapikan
barang dagangan, menjajakan barang dagangan dan mengikuti arisan.
Pekerjaan rumahtangga dibagi atas membersihkan rumah, menyediakan
makanan dan menghadiri acara hajatan.
105
Untuk mengatur agar kerja dalam rumahtangga dapat tetap dilakukan,
pedagang perempuan melibatkan suami atau anggota rumahtangganya untuk
membantu menyelesaikan pekerjaan tersebut. Contohnya, suami membantu
dalam pengangkutan barang dagangan dari tempat pembelian ke kios atau
lapak. Orang tua membantu dalam pengawasan anak-anak dan membantu
untuk menyediakan makanan. Untuk menjaga hubungan sosial dalam
masyarakat, pedagang perempuan menimbang terlebih dahulu apakah
undangan hajatan tersebut harus dihadiri atau hanya menitipkan amplop. Jika
undangan dirasa penting maka pedagang perempuan akan menghadirinya dan
menutup kiosnya selama satu hari, namun jika undangan tersebut tidak terlalu
penting, maka pedagang perempuan hanya menitipkan amplop.
3. Terdapat tujuh strategi yang diterapkan oleh pedagang perempuan untuk
memastikan keberlangsungan usaha dan nafkah rumahtangganya. Strategi
tersebut adalah strategi spasial, strategi sktoral, strategi diversifikasi usaha dan
alokasi SDM rumahtangga, strategi organisasi usaha, strategi likuidasi asset
rumahtangga, strategi investasi SDM rumahtangga dan strategi mengurangi
resiko usaha. Pilihan ketujuh strategi tersebut sangat dipengaruhi oleh
kepemilikan modal dan kemampuan untuk mengakses modal yang dimiliki
oleh pedagang perempuan.
4. Dalam menghadapi masa krisis, pedagang perempuan menerapkan strategi
bertahan dan tidak melakukan perlawanan. Contohnya, saat terjadi kebakaran
pasar, mereka memilih untuk tetap berdagang dipenampungan dan membayar
sejumlah uang kepada preman pasar untuk memastikan keamanan usaha
mereka. Kebakaran dipandang sebagai musibah dan harus ditanggung sendiri
oleh pedagang. Likuidasi asset rumahtangga menjadi solusi untuk mengatasi
masa krisis. Pedagang perempuan menjual barang-barang yang dimilikinya
untuk tambahan usaha maupun untuk memenuhi kebutuhan konsumsi anggota
ruamhtangganya. Saat tahap pemulihan krisis, prioritas utama pedagang
perempuan adalah membeli kios sebagai jaminan terhadap kepastian usaha.
Menurut mereka pedagang perempuan yang telah memiliki kios, memiliki
jaminan usaha dan memiliki tempat yang aman untuk usaha perdagangannya
di pasar.
106
Dapat disimpulkan bahwa, meskipun pedagang perempuan memiliki keragaman
dalam karakteristik individu maupun rumahtangga, secara umum mereka
menerapkan strategi menghindari konflik dan memiliki kemampuan yang besar
dalam bertahan terhadap musibah dan kendala yang terjadi pada usahanya.
9.2 Saran
Diperlukan cara pandang yang berbeda dalam memahami pedagang perempuan.
Mereka tidak hanya bagian dari ekonomi perkotaan, namun sebagai bagian dari
rumahtangga mereka terikat dalam pekerjaan rumahtangga dan bertanggung
jawab terhadap sosialisasi anak-anaknya. Dalam membuat peraturan mengenai
perdagangan, harus disertakan kekhususan dari karakteristik pedagang
perempuan. Mempertimbangkan ketahanan mereka dalam mengatasi masa krisis
dan mempertahankan usaha perdagangan.
Penggusuran yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Bogor, sebagai reaksi
terhadap pedagang kaki lima selayaknya ditinjau ulang. Sektor informal yang
dianggap sebagai penyebab tidak teraturnya pasar, juga memberikan kontribusi
pada pemasukan pajak daerah dan terjaminnya perputaran ekonomi Kota Bogor.
Bagi pedagang perempuan, kepemilikan kios menjadi jaminan keamanan usaha
perdagangan. Kemudahan dalam kredit kepemilikan kios di dalam pasar bisa
menjadi solusi dari kesemerawutan kondisi pasar. Arisan yang dibentuk oleh
pedagang dapat menjadi pertimbangan dalam meningkatkan usaha perdagangan.
Karena melalui bentuk lembaga arisan, pedagang perempuan terbukti memiliki
jaminan modal saat terjadi krisis. Untuk penelitian selanjutnya, perlu diperhatikan
bentuk-bentuk modal dan lembaga bentukan yang dapat membantu pedagang
perempuan dalam mempertahankan usahanya.
107
DAFTAR PUSTAKA
Agusta, I. 1998. Cara Mudah Menggunakan Metode Kualitatif pada Sosiologi Pedesaan. Kelompok Dokumentasi Ilmu Sosial IPB. Bogor.
Breman, J. 1985. Sistem Tenaga Kerja Dualistik: Suatu Kritik Terhadap Konsep Sektor Informal. dalam Manning. C dan Tadjuddin Nour Effendi. Urbanisasi, Pengangguran, dan Sektor Informal di Kota. Yayasan Obor Indonesia dan Pusat Penelitian dan Studi Kependudukan UGM : Yogyakarta.
Chandrakirana, K. dan Isono Sadoko. 1995. Dinamika Ekonomi Informal di Jakarta: Industri Daur Ulang, Angkutan Becak dan Pedagang Kakilima. UI Press: Jakarta
Desy. 2003. Peranan Wanita Migran di Sekor Informal dalam Pengambilan Keputusan Rumahtangga (Studi Kasus Wanita Pedagang Sayur dan Buah di pasar Induk Kramat jati Kota Jakarta Timur). Skripsi Fakultas Pertanian IPB, Bogor.
Dharmawan, A H. 2006. Sistem Penghidupan Pedesaan: Menggali dan Mengenali Sosiologi Nafkah (Livelihood Sociology) Mazhab Bogor. Bahan Kuliah Pasca Sarjana Sosiologi Pedesaan IPB, Bogor.
______________. 2004. Dimensi-dimensi Penting Studi “Livelihood-Strategies” masyarakat Petani di Pedesaan Indonesia. Naskah Publikasi Mimbar Sosek edisi 2004. Departemen Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian IPB, Bogor.
_______________. 2001. Farm Household Livelihood Strategies and Socio-economic Changes in Rural Indonesia. University of Göttingen: Jerman.
Ellis, F. 2000. Rural Livelihoods and Diversity in Developing Countries. Oxford University Press: New York.
Ginting, P. 2007. Pasar Anyar yang Semakin Kusam. http://www.sinarharapan.co.id/berita/0711/09/jab01.html. diakses tanggal 7 april 2008 pukul 16.05 wib.
Iqbal, M. 2004, Strategi Nafkah Rumahtangga Nelayan: Studi kasus di Dua Desa Nelayan Tangkap Kabupaten Lamongan Jawa Timur. Tesis Sekolah Pasca Sarjana IPB, Bogor.
Jones, S. & Grace Carswell. 2004. Environment, Development & Rural Livelihood. Earthscan London & Sterling. UK
Koentjaraningrat . 1984. Masyarakt Desa di Indonesia. UI Perss. Jakarta
108
______________(editor).1982. Masalah-masalah Pembangunan, Bunga Rampai Antropologi Terapan. LP3ES: Jakarta.
Manning. C dan Tadjuddin Nour Effendi. 1985. Urbanisasi, Pengangguran, dan Sektor Informal di Kota. Yayasan Obor Indonesia dan Pusat Penelitian dan Studi Kependudukan UGM : Yogyakarta.
Mardiyaningsih, D. I. 2003. Industri Pariwisata dan Dampaknya Terhadap Kehidupan Sosial-Ekonomi Masyarakat Lokal (Kasus Dua Desa di Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang Provinsi Jawa Tengah). Skripsi Fakultas Pertanian IPB, Bogor.
Oey, M. (dkk). 1996. Perempuan Indonesia Dulu dan Kini Gramedia Pustaka Utama: Jakarta
PT Propindo Mulia Utama. 2007. Laporan Pertanggung Jawaban Pengelolaan Pasar Anyar, PT Propindo Mulia Utama tahun 2007. Bogor.
Ritzer, G. & Douglas J. Goodman. 2003. Teori Sosiologi Modern. Kencana: Jakarta.
Sayogyo. 1982. Modernization Without Development In Rural Java dalam The Journal of Social Studies. Bangladesh.
Saptari, R. dan Brigitte Holzner. 1997. Perempuan kerja dan Perubahan Sosial, Sebuah Pengatar Studi Perempuan. Grafiti : Jakarta.
Seligmann, L. J. (editor). 2001. Women trades in Cross-Cultural Perspective. Stanford University Press: California.
Sethurahman, S.V. 1985. Sektor Informal di Negara Sedang Berkembang. dalam Manning. C dan Tadjuddin Nour Effendi. Urbanisasi, Pengangguran, dan Sektor Informal di Kota. Yayasan Obor Indonesia dan Pusat Penelitian dan Studi Kependudukan UGM : Yogyakarta.
Sitorus, M.T F .1998. Penelitian Kualitatif Suatu Pengantar. Laboratirium Sosiologi, Antropologi dan Kependudukan Jurusan Ilmu-ilmu Sosial dan Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian IPB: Bogor.
Sihite, R.R. 1990. Pola Kegiatan Wanita di Sektor Informal (Khususnya Pedagang Sayur di Pasar) dalam Ihromi, T.O. (editorial), Wanita Bekerja dan Masalah-masalahnya. Pusat Pengembangan Sumber Daya Wanita: Jakarta.
Soekanto, S. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Rajawali Pers: Jakarta
Suwartika, R. 2003. Struktur Modal Usaha dan Fungsi Modal Sosial Dalam Strategi Bertahan Hidup Pekerja Migran di Sektor Informal (Studi kasus kecamatan pelabuhan Ratu dan Kecamatan Cisaat, Kabupaten Sukabumi, Peropinsi Jawa Barat). Skripsi Fakultas Pertanian IPB, Bogor.
109
Lampiran 1. Responden Pedagang Perempuan
Ibu Enh
Ibu Enh (55 thn) mulai membuat ketupat kurang lebih 20 tahun yang lalu, tepatnya sejak tahun 1985. diawali dari usaha suaminya (Abah Awo, 62 thn), yang membuat ketupat untuk memenuhi permintaan pedagang sate, ketupat sayur dan ketoprak. Awalnya keluarga Ibu Enh bekerja sebagai buruh tani, dengan sepetak kebun yang diusahakan dengan menanam buah-buahan seperti pisang, nanas dan rambutan. Hasil dali kebunnya dijual ke Pasar Anyar atau Pasar Bogor. Tapi karena hasil dari pertanian buah ini musiman, rumahtangga Ibu Enh harus mengusahakan bidang usaha lain untuk menutupi kebutuhan rumahtangganya saat kebunnya tidak menghasilkan buah. Namun seiring berjalannya waktu, Abah Awo menilai usaha ini tidak mampu lagi untuk memenuhi kebutuhan rumahtangganya, sehingga Abah memutuskan untuk menjadi pembuat ketupat. Usaha membuat ketupat dikenal Abah Awo dan keluarganya melalui saudara Abah Awo yang telah terlebih dahulu memulai usaha ini. Setelah meminjam modal dari saudaranya dan mencoba menjual sendiri ketupatnya Abah Awo mulai menjalankan usahanya hingga saat ini. Ibu Enh sendiri mulai berdagang di Pasar Anyar pada tahun 1990, sudah 18 tahun berdagang. Pada tahun ini usaha ketupat keluarganya mencapai masa kejayaannya. Abah menyatakan “waktu itu neng, Abah bisa jual ribuan ketupat perharinya. Pelanggan juga banyak. Satu hari bisa habis 150 Kg beras, untungnya juga bisa diputar lagi buat belimodal kios sembako, nah Emak (Ibu Enh) mulai jualan di pasar, bantu jagain warung sembakonya. Warungnya mah kecil, barangnya juga sedikit tapi lancar usahanya neng.” Jadi disamping membantu membuat ketupat di rumah, Ibu Enh juga berjualan di Pasar Anyar, disebuah meja gelaran yang terbuat dari kayu dan diberi atap terpal. Kios kakilima ini menjual sembako seperti beras, minyak, telur dan kebutuhan lainnya di trotoar Jalan MA Salmun. Keuntungan dari usaha ini adalah Rp. 15.000/hari nya dan menghasilkan Rp. 450.000,00,-/bulan. Ibu Enh mengaku uang keuntungan usaha ini digunakan untuk membeli sembako dan kebutuhan konsumsi rumahtangganya. Sedangkan uang untuk sekolah anak, listrik dan air diambil dari keuntungan usaha Ketupat Abah Awo. Sisa uang hasil usaha Ibu Enh ditabung sendiri, hal ini dilakukan untuk mengatisipasi saat tidak ada uang dan saat anggota keluarganya ada yang sakit. Abah Awo dan Ibu Enh menikah pada tahun 1966. Saat itu Ibu Enh berusia 14 tahun, Ibu Enh menikah dengan Abah Awo dan tinggal dirumah orang tua Abah Awo di Cimahmpar, saat ini Ibu Enh masih tinggal di rumah tersebut karena diwariskan oleh mertuannya. Dari pernikahannya, Ibu Enh dikaruniani 11 orang anak, namun yang masih hidup hingga sekarang hanya 7 orang anak saja. Mereka adalah: 1. Teh Koyah (35 thn) pendidikan terakhir SD kelas 4, janda (bercerai dari suaminya) dan
memiliki 3 orang anak. Saat ini Teh Koyah dan anak-anaknya tinggal bersama Ibu Enh. Setelah bercerai dari suaminya, teh koyah yang tidak memiliki pekerjaan kembali ke rumah orang tuanya dan membantu usaha pembuatan ketupak keluarganya.
2. Teh Een (32 thn) Pendidikan terakhir SD kelas 6, telah menikah dan saat ini tinggal bersama suaminya serta memiliki rumah sendiri. Teh Een memiliki 2 orang anak dan pekerjaan suaminya sebagai supir angkot dinilai mampu memenuhi kebutuhan rumahtangganya.
3. Teh Utih (30 thn) Pendidikan terakhir SD kelas 6 , menikah dan memiliki 3 orang anak. Teh Utih tinggal bersama suaminya dan memiliki rumah sendiri. Suami Teh Utih bekerja sebagai pembuat ketupat juga dan rumah mereka berdekatan dengan Ibu Enh. Saat ini Suami teh Utih lah yang menjalankan usaha ketupat keluarga Abah Awo, karena Abah Awo sudah tua dan sakit-sakitan.
4. Aa’ Ocin (25 thn) Pendidikan terakhir SMP, belum menikah dan tinggal bersama Ibu Enh. Aa’ Ocin bekerja sebagai tukang ojek, motor yang dipakai untuk mengojek masih dicicil kreditnya dari hasil usaha mengojek dan kadang membantu mengatarkan Ibu Enh kepasar.
5. Dede’ (21 thn) pendidikan terakhir SMA. Belum menikah dan saat ini tinggal di salah satu pesantren di Kabupaten Bogor, setiap minggu Ia pulang kerumah Ibu Enh untuk meminta uang dan bekal di pesantren.
6. Ikhsan (16 thn) saat ini masih duduk dikelas 2 SMA dan tinggal bersama Ibu Enh. 7. Irwan (13 thn) saat ini masih duduk dikelas 2 SMP dan tinggal bersama Ibu Enh.
110
Jadi ada 10 orang, termasuk Ibu Enh dan Abah Awo yang tinggal bersama dalam satu rumah. Semua kebutuhannya harus dipenuhi dari usaha ketupat Abah Awo dan Ibu Enah. Weskipun Ibu Enh tidak sekolah (buta huruf) dan Abah Awo hanya menempuh pendidikan sampai kelas 4 SD, Ibu Enh menganggap penting pendidikan untuk anak-anaknya, agar anak-anaknya dapat lebih sukses dari pada hidupnya.
Usaha ketupat keluarga Ibu Enh mengalami kebangkrutan saat terjadi krisis moneter tahun 1997. Krisis moneter ternyata berdampak pada berkurangnya pelanggan yang biasa membeli ketupat dari Abah Awo dan semakin tingginya harga beras yang menjadi bahan baku pembuatan ketupat. Sehingga pada tahun ini usaha Abah Awo tidak mampu bertahan, Abah Awo mengurangi produksi ketupatnya hingga hanya 30 ketupat setiap hari dari yang semula jumlahnya ratusan per hari. Sebagaiman yang diungkapkan oleh Ibu Enha “waktu krismon yang paling sulit neng, pelanggan pada gak beli lagi. Mereka juga tutup usahanya, gak ada yang jajan lagi katanya. Yah kita juga gak bisa salahin mereka. Belum lagi beli berasnya mahal pisan. Sekilonya lima ribuan berapa lagi kita hurus jual ketupatnya. Dari biasanya buat 200 biji, pas krismon Cuma bikin 30 biji. Itu juga sukur kalo laku semua. Pokoknya susah neng, barang-barang di rumah ini pada dijual buat nyukupin ongkos makan sama sekolah anak-anak”. Pada saat mengalami kebangkrutan usaha rumahtangga Ibu Enah menurunkan produksi ketupanya dan menjual barang-barang yang dimiliki untuk memenuhi kebutuhan rumahtangganya. Barang-barang yang dijual adalah perabotan dan peralatan elektronik yang mudah diuangkan.
Selain usaha ketupat yang sepi pembeli, usaha lapak sembako Ibu Enh pun terkena penertiban oleh SatPol PP, barang dagangan disita oleh petugas dan abah sempat ditahan selama dua hari di kantor SatPol PP. Abah Awo ditahan di kantor SatPol PP karena abah melawan penertipan tersebut dan melawan petugas yang menyita barang dagangannya. Setelah dilakukan musyawarah akhirnya Abah awo diizinkan pulang oleh petugas. Masa krisis moneter telah membuat usaha Ibu Enh bangkrut. Saat ini Ibu Enh yang menggantikan Abah Awo berjualan di Pasar Anyar. Hal ini dikarenakan Abah Awo sakit dan tidak bisa berjualan lagi di pasar. Setiap hari Ibu Enh berangkat dari rumah pukul 05.00 pagi selepas sholat Subuh. Sebelum berangkat Ibu Enh mempersiapkan dahulu dagangannya dan menyusun ketupat kedalam 2 buah bakul. Jika kebetulan menantunya (Suami Teh Een) akan ke Pasar Anyar, maka Ibu Enh akan ikut serta, namun jika menantunya sudah berangkat terlebih dahulu, maka Ibu Enh naik angkot langganannya untuk menuju Pasar Anyar. Dibutuhkan ongkos Rp. 4.000,- dari rumah Ibu Enh ke Pasar Anyar. Sesampainya ditempat berjualan, Ibu Enh merapikan ketupatnya dan menyusunnya diatas bakul-bakul dan mulai menjajakan ketupatnya.
Setiap hari Ibu Enh membawa kurang lebih 100 buah ketupat, jika ada yang memesan maka Ibu Enh akan menambahkan pembuatan ketupatnya sesuai dengan pemesanan tersebut. Ibu Enh menjual ketupatnya seharga Rp. 1.000,-/ketupatnya. Ibu Enh menjajakan ketupatnya dari jam 05.30 pagi hingga 12.00 siang, hal ini dikarenakan jika hari sudah siang pasar sudah sepi pembeli dan langganan yang biasanya membeli ketupat Ibu Enh adalah tukang sate, ketupat sayur dan ketoprak yang biasanya berbelanja ketupat di pagi hari. “jualannya sampe jam 12.00 siang aja neng, kalo pulang kesorean Abah sering marah, katanya ngapain aja di pasar sampe sore, orang juga udah pasa bubar semua. Laku- nggak laku ya harus balik, tapi emang lakunya pas pagi-pagi aja kalo dah siang udah sepi”. Ibu Enh mengungkapkan jualannya laku dan banyak yang membeli biasanya pada hari sabtu dan minggu, menurut Ibu Enh hal ini dikarenakan banyak pembeli yang mengadakan acara atau sukuran atau memasak sajian yang menggunakan ketupat jadi banyak lakunya. Setelah selesai menjajakan ketupat Ibu Enh langgsung membelanjakan pendapatannya hari itu juga, biasanya Ibu Enh belanja beras untuk membuat ketupat esok hari (satu kali produksi menggunakan 30 liter beras), membeli sembako (beras, minyak sayur, gula) dan bahan makanan. Jadi hasil usahanya diluar modal langsung dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan 10 orang yang tinggal bersamanya. Pukul 13.00 siang Ibu Enh sampai dirumah, menyusun kembali ketupatnya yang tidak habis dijual untuk dijual kembali esok hari dan Ibu Enh makan siang serta beristirahat, biasanya yang melakukan pekerjaan rumah adalah Teh Koyah, anak sulung Ibu Enh yang tinggal bersamanya. Jadi Ibu Enh tidak direpotkan oleh urusan masak dan membersihkan rumah. Ibu Enh biasanya beristirat sampai waktu Ashar tiba (pukul 15.30 sore) sebagai seorang muslim Ibu Enh memunaikan sholat dan melanjutkan membantu mengisi ketupat untuk dijual esok hari. Proses pengisian ketupat ini dibantu oleh cucunya (anak teh Koyah), Irwan dan Teh Koyah, sedangkan Abah sudah tidak mampu untuk membantu. Tugasnya hanya mengawasi dan memberi tahu jika ada kesalahan. Proses pengisian ketupat ini memakan waktu sekitar dua jam. Kemudian ketupat direbus selama 7 jam. Ibu Enh memilih untuk
111
menggunakan kayu sebagai bahan bakar untuk merebus ketupatnya, karena dinilai paling terjangkau dan bisa diperoleh dengan mudah dari kebun disekitar kampung Ibu Enh. Untuk menjaga agar tidak terjadi kebakaran atau hal-hal yang tidak diinginkan selama memasak, Menantu Ibu Enh (Suami Teh Utih) telah membuat tungku yang aman (seperti tungku pembakatan batu bata) dan dapat menghasilkan panas yang maksimal. Sampai pukul 23.00 wib ketupat diangkat, yang melakukan tugas ini adalah Teh Koyah. Sedangkan Ibu Enh telah beristirahat dari pukul 21.00 wib “kalo Ibu sedah tua neng, gak kuat lagi begadang buat jagain ketupatnya, sekarang Teh Koyah yang bantuin, abis diangkat, ketupat digantung biar keting. Besok paginya Ibu yang susun kedalam bakul abis sholat subuh berangkat kepasar langsung..”
Setiap hari Ibu Enh memperoleh keuntungan kurang lebih Rp. 30.000,- setelah dikurang modal usahanya. Keuntungan ini digunakan untuk makan sehari-hari, uang transport anak-anak sekolah dan sisanya digunakan untuk berobat Abah Awo. Aa’ Ocin yang bekerja sebagai tukang ojek menyumbangkan uang Rp. 300.000/ bulan untuk menambah beli sayur. Untuk pembayaran listrik dan air, Teh Utih (anak ketiga) yang membayar iurannya. Sedangkan keperluan uang sekolah kedua anaknya (Ikhsan dan Irwan) ditanggung bersama oleh anak-anak Ibu Enh yang telah menikah (Teh Een, Teh Utih, yang ekonominya dinilai lebih mapan).
Diakui oleh Ibu Enh, saat ini usahanya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari anggota rumahtangganya, ditambah Abah Awo yang sakit-sakitan sehingga tidak dimungkinkan untuk menabung sisa keuntungan. Kadang kala, Ibu Enh harus meminjam uang kepada pedagang disebelahnya, untuk membayar ongkos angkot dari rumahnya ke Pasar Anyar dan akan dibayar ketika ketupat terjual pada hari tersebut. Setiap hari di pasar, Ibu Enh harus membayar Rp. 3.000,-/ hari untuk uang retribusi, keamanan dan kebersihan yang dipungut oleh laki-laki yang berpakaian preman yang dikenal oleh Ibu Enh sebagai petugas pasar. “setiap hari harus bayar neng, Ibu nggak berani macem-macem, maksudnya nunggak atau gak bayar, bisa-bisa besok nggak boleh jualan lagi disini”. Di Pasar Anyar, hanya ada tiga orang penjual ketupat, termasuk Ibu Enh, penjual yang lainya semuannya laki-laki yang merupakan tetangga Ibu Enh dan Abah Awo mengenal mereka dengan baik. Tidak ada persainggan berarti dalam penjualan barang daganggan Ibu Enh, hanya saja pembelinya yang terbatas pada pedagang (yang menggunakan ketupat) dan konsumen yang mengadakan acara khusus. Diakui oleh Ibu Enh bahwa usaha ini menjadi nafkah utama rumahtangganya, sehingga setiap hari Ibu Enh harus berdagang. Ibu Enh libur berdagang hanya pada saat hari saya dan Idul Firti. Ibu Enh menjelaskan penjualannya meningkat saat mendekati lebaran dan Ibu Enh memanfatkan kondisi ini dengan memaksimalkan produksi. Ibu Epn
Ibu Epn (49 thn) adalah seorang pedagang rempah-rempah pembuatan jamu dan alat-alat ritual yang digunakan untuk upacara kematian. Kiosnya berlokasi di Blok D Pasar Anyar. Ibu Epn dilahirkan di Bogor, tahun 1958. Ibunya (orang tua-Bu’ Epn) merantau ke Bogor setelah menikah dengan ayahnya yang seorang polisi. Ibunya telah berdagang rempah-rempah saat Bu’ Epn masih kecil, bisa dikatakan kemampuan berdagang Bu’ Epn diperoleh dari pengalaman yang diberikan oleh Ibunya. Sejak ditingkat SD Bu’ Epon telah sering ikut Ibunya berjualan di Pasar, hingga umur 15 tahun. Selepas pendidikan SMP Bu’ Epon memilih untuk menikah dengan Bapak Ysf yang berprofesi sebagai seorang polisi (Anak buah Bapaknya-Bu’ Epon). Ibu Epn menikah dengan Bapak Yusuf Husein pada tahun 1973, dari pernikahan tersebut Ibu Epn dikaruniai empat orang anak, yaitu : • Eri Ardian (33 thn), Anak pertama, pendidikan terakhir S1, sudah menikah dan memiliki 2
orang anak dan telah memiliki rumah sendiri. Saat ini tinggal di Cipayung, Jakarta. Bekerja sebagai pegawai swasta dan telah mandiri secara ekonomi.
• Indra Aprian (30 thn), Anak kedua, pendidikan terakhir D3, sudah menikah dan memiliki 3 orang anak dan telah memiliki rumah sendiri. Saat ini tinggal di Warung Jambu. Pekerjaan saat ini adalah mengelola beberapa kontrakan.
• Irmadaniati (27 thn), Anak ketiga, pendidikan terakhir S1, sudah menikah dan ikut suami. • Siti Nur Amaliah (24 thn), Anak keempat, pendidikan terakhir D3, sudah menikah dan telah
memiliki rumah sendiri. Saat ini tinggal di Parung Aleng.
112
Bapak Yusuf meninggal pada tahun 1997 dan saat ini Bu’ Epon memilih untuk tinggal sendiri dirumahnya dan tetap berdagang. Menurut Ibu Epn, Ia akan merepotkan anak-anaknya jika tinggal bersama mereka, lebih baik Ibu Epn tinggal di rumahnya sendiri dan memenuhi kebutuhannya sendiri dari hasil berdagang. Saat ini Ibu Epn tinggal di Cermai Ujung, Warung Jambu. Ibu Epn telah berdagang di Pasar Anyar sejak tahun 1973 (34 tahun berdagang), saat itu Ibu Epn baru saja menikah dengan Bapak Yusuf Husein. Pertama kali berdagang Ibu Epn menggunakan terpal dan mengelar dagangannya di emperan toko di depan Pasar Anyar. Ibu Epn menjelaskan, berdagang merupakan hidupnya, diawali dari semasa kecil (masa sekolah dasar), Bu’ Epon sering kepasar untuk membantu ibunya berjualan. Saat itu, ibunya-Bu Epon juga berjualan rempah pembuat jamu dan peralatan ritual kematian. Hingga saat menikah Ibu Epn memutuskan untuk berdagang sendiri sebagai kegiatan hariannya, hal ini terungkap dari pernyataan Bu Epon “Dari dulu dah dagang mbak, jadi ya bisanya dagang aja. Pas nikah dari pada di rumah aja gak ada kerjaan, mending dagang kan jadi ada kerjaan. Bapaknya juga mengizinkan ya saya dagang aja”. Bu’ Epn memulai usahanya dari berdagang di kakilima pelataran Pasar Anyar, dengan modal plastik yang digelar untuk tempat memajang barang dagangannya. Modal untuk berdagang diperoleh dari tabungan Ibu Epn sendiri dan bantuan dari suaminya. Terjadinya kebakaran di tahun 1974 membuat Ibu Epn kehilangan tempat untuk berjualan. Ibu Epn dipindahkan ke penampungan sementara di Pasar Merdeka bersama pedagang lainnya, sementara pasar kembali di bangun oleh PT Primek. Setelah dua tahun berdagang di pasar Merdeka, Ibu Epn kembali berdagang di Pasar Anyar. Saat bangunan selesai di bangun dan pedagang mulai kembali menempati kios-kios di pasar, Ibu Epn memutuskan untuk membeli satu kios. “Tahun 1976 waktu pasar dah dibangun, Saya beli Kios mbak, maksudnya biar ada tempat dan gak panas-panasan lagi, barang dagangan juga lebih aman ditinggal kalo pas pulang. Waktu itu saya beli kiosnya pake uang hasil jual tanah warisan Bapak (suami Bu’ Epon).” Ibu Epn terus berdagang di kios ini hingga tahun 1987 terjadi kebakaran di Pasar Anyar dan menghanguskan kios milik Bu’ Epn. Ibu Epn mengaku bahwa kebakaran kali ini menghanguskan seluruh barang dagangannya dan Ibu Epn memutuskan untuk berhenti berdagang. Alasan berhenti berdagang juga dikarenakan anak ke empat Ibu Epn yang masih berumur lima tahun butuh perhatian lebih dari Ibu Epn. “Kebakaran gede taun 1987, bikin hangus semua mbak, abis semua modal ibu, ya kiosnya, ya barangnya. Tapi masih untung kita masih dikasih selamet masih sehat. Ya sedih waktu itu, modal abis dan gak ada yang ganti rugi atau apa gitu dari pihak pasarnya. Kita dipindahin dagang ke pinggir jalan, tapi Ibu capek waktu itu, mana si Siti, anak ibu yang nomer empat masih kecil, ya udah ibu berhenti aja dulu dagangnya. Tinggal dirumah aja ngurus anak-anak.” Namun pada tahun 1988 Bu’ Epon memutuskan untuk berdagang lagi, hal ini didorong oleh kebosanan Bu’ Epon yang merasa tidak ada kerjaan kalau hanya di rumah dan mengaurus anak. Bu’ Epon memutuskan untuk berdagang lagi di penampungan sementara pedagang di Jalan MA Salmun, modal berdagangnya diperoleh dari tabungan Ibu Epn dan bantuan dari suaminya. “Ibu mulai dagang lagi pas anak ibu yang nomer empat sudah sekolah, jadi bingung di rumah sendirian. Yo wes lah, ibu minta ijin bapak buat dagang lagi, bapaknya ngedukung malah ditambahin modalnya. Ibu dagang dipasar lag, jualannya sama neng, soalnya sedikit saingannya dan ibu sudah tahu harus beli barang nya dimana dan ngejualnya sama siapa, jadi ibu seneng jualannya.” Satu tahun Bu’ Epn berdagang di Jalan MA Salmun, dan tahun 1989 setelah pasar selesai dibangun Ibu Epn kembali membeli kios di Pasar Anyar. Kios yang dibeli oleh Bu’ Epn saat itu di blok E seharga Rp. 4.500.000,-. Ibu Epn berjualan di kios ini hingga tahun 1996, saat itu terjadi kebakaran besar di Pasar Anyar, kembali kios Ibu Epn hangus terbakat dan menghanguskan semua barang dagangan Ibu Epn. “pas kebakaran besar tahun 1996 yang banyak orang meninggal mbak, ibu bangkrut lagi, kios memang sudah diasuransikan tapi uang penggantinya gak bisa buat beli kios baru, cuma cukup buat modal dagang aja, ibu juga binggung kok bisa kebakaran sampe berkali-kali, tapi tiap kali terbakar pasar beda lagi yang ngurusnya.” Setelah kebakaran Ibu Epn berdagang di penampungan si Jalan Dewi Sartika dengan barang dagangan yang sama (rempah-rempah untuk membuat jamu) pada tahun-tahun ini adalah tahun terberat untuk Ibu Epn, tidak lama setelah kios Ibu Epn terbakar, suami Ibu Epn, Bapak Yusuf meninggal karena sakit dan tahun 1997 terjadi krisis moneter. Ibu Epn harus terus membiayai sekolah keempat anaknya dan memenuhi kebutuhan rumahtangganya sendiri. Usaha Ibu Epn bangkrut pada tahun-tahun ini, Ibu Epn harus menjaul mobil dan rumahnya untuk memenuhi kebutuhan sekolah dan kebutuhan sehari-hari anak-
113
anaknya. “tahun yang paling berat itu tahun 1997 mbak, sehabis ditinggal bapak, usaha ibu juga bangkrut, anak-anak lagi butuh uang buat sekolah dan belum bisa mandiri, ibu harus nyari uang sendiri, kalo diinget-inget ibu susah banget waktu itu, kios cuma di emperan jalan, hasil dagang gak seberapa, uang tunjangan bapak juga cukup buat kuliah anak ibu yang nomer saju aja. Ibu jual semua harta yang bisa dijual buat nutupin kebutuhan. Mobil ibu jual, rumah yang lama, terus ibu beli rumah yang agak keci (yang ditinggali saat ini) Uang nya buat biaya sekolah anak sama nambahin modal ibu dagang, mbak” keadaan ini terus berlangsung hingga tahun 2000, Ibu Epn masuk kembali ke Pasar Anyar dengan membeli salah satu kios di Blok D, saat itu pengelola pasar adalah PT Propindo. Ibu Epn membeli kios dengan harga Rp. 17.000.000,-, modalnya berasal dari tabungan Ibu, bantuan dari anaknya dan Bu’ Epon meminjam uang dari rentenir. Selama satu tahun Ibu Epn juan di kios ini, tapi karena menurut Ibu Epn tempat jualannya kurang ‘hoki’ dan sepi pembeli, Ibu Epn memutuskan untuk pindah ke blok C dan menjual kiosnya ke pedagang daging. Pembelian kios di Blok C dilakukan secara kredit dengan menggunakan uang hasil penjaualan kios sebelumnya. Dua tahun berjualan di kios ini Ibu Epn kembali pindah, kali ini alasannya adalah Ibu Epn merasa ada saingannya yang menguna-gunai sehingga setiap kali Ibu Epn ke pasar, ibu merasa sakit dan mulai tumbuh penyakit kulit di seluruh tubuh Ibu Epn “waktu jualan di blok C ibu tau mbak, ada yang nguna-gunai ibu, ibu jadi sering sakit sama muncul gatel-gatel di badan ibu (sambil menunjukan bekas di kulitnya) ibu sih gak mau bales, ibu mending pindah dari sana dari pada nyari masalah. Maksud ibu baik dagang di sini, tapi kalo ada yang nggak seneng ibu binggung juga, ibu nggak pernah mau nyakitin orang” karena merasa tidak aman, Ibu Epn memutuskan untuk pindah ke blok D sebelah selatan dan memilih kios yang menghadap ke timur. Hal ini karena menurut kepercayaan Ibu Epn posisi kios dan arah muka kios menentukan kelancaran berdagangnya, jadi setiap kali pindah tempat berdagang Ibu Epn memilih terlebih dahulu apakah posisi kios dan lokasinya menguntungkan menurut “primbon” yang menjadi kepercayaan Ibu Epn. “kalo pilih tempat buat berdagang, yang bagus menghadap ke timur mbak, kata Ibu saya dulu dan saya dah buktikan sendiri, usaha lebih lancar kalo kios atau tokonya ngadep ke timut mbak.” Hingga saat ini Ibu Epn tetap berdagang di kios ini. Pembelian kios dilakukan secara kredit oleh Ibu Epn dengan meminjam uang dari Bank Buana. Setiap bulan Ibu Epn harus membayar kredit ke Bank sebesar Rp 200.000,00,-/bulan. Untuk memperoleh barang dagangannya Ibu Epn membeli dari produsen yang mendatanginya, Ibu Epn tidak perlu repot-repot untuk mencari rempah-rempah karena ada yang mendatangi dan menawarkan kepada Ibu Epn, sedangkan untuk menjulnya Ibu Epn telah memiliki langganan dan pembeli tetap. “jualan barang kayak gini emang susah lakunya mbak, tapi pasti ada untung nya, malah untungnya gede. Misal, kayak “getah gambir” gini, saya beli Rp. 3.000,-, terus saya jual Rp.4.000,- jadi untunganya lumayan gede. Orang juga butuhnya secukupnya jadi pasti gak di tawar.” Ibu Epn ke pasar setiap hari, dari pukul 08.00 wib, setelah membereskan pekerjaan di rumah, seperti masak dan membersihkan rumah, Ibu Epn pergi kepasar, naik angkot dibutuhkan ongkos sebesar Rp. 4.000,-. Sampai dipasar Ibu Epn Membuka kios dan menata barang dagangannya. Ibu Epn melakukan ritual membaca beberapa ayar Al-Quran sebelum membuka kios, hal ini dipercaya untuk menangkal “santet” atau “guna-guna”, hingga siang hari Ibu Epn menjajakan barang dagangannya, saat makan siang Ibu Epn memakan bekal yang dibawa dari rumah dan menunaikan sholat Zhuhur di mushola pasar. Selama sholat, kios dititipkan kepada pedagang disebelahnya (Kios bang Amir). Ibu Epn menutup kiosnya pukul 16.00 wib dan bersiap untuk kembali ke rumah. Saat ini Ibu Epn tinggal sendiri, sampai di rumah Ibu Epn beristirahat. Setiap malam Selasa dan malam Jumat Ibu Epn mengikuti pengajian di komplek rumahnya. Dan Ibu Epn mengikuti arisan di pasar (Sesama pedagang) dengan membayar Rp. 5000,-/hari dan ditarik tiap 10 hari. Alasan Ibu Epn mengikuti arisan adalah agar bisa menyisihkan uang hasil uasahanya dan menambah keakrapan antara sesama pedagang. Keuntungan yang diperoleh oleh Ibu Epn dari usahanya adalah Rp. 30.000,- sampai Rp. 35.000,- per hari. Dalam satu bulan Ibu Epn bisa memperoleh Rp. 900.000,00,-. Uang ini digunakan untuk makan sehari-hari oleh Ibu Epn. Karena Ibu Epn tidak memiliki anggota rumahtangga yang harus ditanggungnya, sisa uangnya ditabung atau untuk membeli barang yang diinginkan oleh Ibu Epn. Tiap bulan anak-anak Ibu Epn juga memberikan uang untuk Ibu Epn. Sebenarnya anak-anak Ibu Epn sudah menyuruh Ibu Epn untuk berhenti berdagang dan tinggal bersama mereka, tetapi Ibu Epn menolak, karena menurut Ibu Epn jika tidak berdagang maka Ibu Epn bisa bosan dirumah seharian. Penjualan ramai saat pagi atau sore hari, hal ini dikarenakan
114
pembuat jamu membeli bahan untuk membuat jamu pada sore hari atau pagi hari. Sedangkan untuk barang-barang untuk ritual kematian tidak tentu lakunya. Ibu Epn libur jualan jika ada hajatan atau keundangan, hari besar seperti lebaran, atau jika sedanga sakit.
Ibu Krs Ibu Krs (43 tahun) memiliki dua kios di Pasar Anyar, keduanya berada di Blok C dan posisinya berhadapan satu sama lainya. Kios yang pertama menjual berbagai kebutuhan pokok, seperti beras, minyak sayur, telur (Sembako) dan meja di depan kios digunakan untuk menjual ayam. Kios kedua, menjual berbagai macam sayuran. Usaha berdagang yang dilakukan oleh Ibu Krs diawali dari sejak kedatangan Ibu Krs tahun 1976 ke Bogor. Saat itu, Ibu Krs telah menamatkan pendidikan SD dan ikut kakaknya metantau ke Bogor, dan membantu kakaknya berjualan di pasar. Profesi kakaknya Ibu Krs adalah pedagang sayur di pasar dan memiliki warung di rumah, jadi Ibu Krs menjaga warung yang ada di rumah, Ibu Krs baru berusia 12 tahun saat pertama kali tiba di Bogor. Tahun 1979, Ibu Krs menikah dengan Bapak Swanto yang dikenalkan oleh kakaknya. Bapak Swt juga merantau dari Jawa Tengah untuk bekerja di Bogor. Dari pernikahannya tersebut, Ibu Krs dikaruniai empat orang anak, yaitu: 1. Marjuki (27 tahun), belum menikah dan saat ini masih tinggal bersama Ibu Krs, pendidikan
terakhir S1. Bekerja di Jakarta sebagai karyawan swasta. 2. Nani (25 tahun), belum menikah dan saat ini masih tinggal bersama Ibu Krs, pendidikan
terakhir D3. 3. Ugo (19 tahun), belum menikah dan saat ini sedang menempuh pendidikan S1 (tingkat 3) di
Kota Bandung. 4. Uca’ (12 tahun), saat ini masih duduk dibangku SD kelas 6 dan tinggal bersama Ibu Krs. Dirumah ada 5 orang, termasuk Ibu Krs dan Bapak yang harus dibiayai, selain itu ada tiga orang pembantu (bantu-bantu dagang) yang juga tinggal bersama di rumah Ibu Krs. Setelah menikah, Ibu Krs memutuskan untuk mengontrak rumah sendiri dan berpisah dari kakaknya, Ibu Krs akhirnya mengontrak rumah di Kampung Sawah dan memutuskan untuk menjadi pedagang ayam di Pasar Anyar. Pak Swt saat itu bekerja sebagai supir angkutan barang. Modal untuk berdagang diperoleh dari uang tabungan Ibu Krs dan bantuan suaminya, Ibu Krs juga menjual beberapa perhiasan miliknya untuk modal usaha. Pertama masuk ke Pasar, Ibu Krs berdagang di kakilima di emperan toko di jalan MA Salmun, seberang rel kereta. Ibu Krs berdagang dengan membawa meja sendiri dan payung, pertama jualan ibu Krs hanya berani membawa 5 ekor ayam untuk dijual. Ibu Krs menyatakan ayam di peroleh dari peternak dan langsung dipotong, Ibu tinggal menjualnya. “waktu pertama dagang pas paitnya itu mbak, dagangnya di kaki lima toko di deket rel kereta. Ibu pertama dagang ayam, cuma berani bawa lima ekor (sambil tertawa), sesuai modal juga sih. Pas awal-awal ayam lima ekor juga kadang nyisa, nggak habis. Modalnya ketombokan terus.” Selama tiga tahun Ibu Krs berjual di kakilima, masa ini adalah masa terberat bagi Ibu Krs karena usahanya ini harus dilalui sambil mengandung anak pertamanya dan anak keduanya. “waktu itu ibu hamil anak pertama ibu, ibu tetap jualan. Kepikiran juga mbak, rumah ngontrak, bapak pendapatannya tidak menentu, cabang bayi juga nanti harus banyak biayanya, buat makan, sekolahnya. Jadi ibu terusin aja jualannya, lumayan buat nambah uang sayur tiap hari, malah masih bisa buat nabung. Pokoknya dulu itu ibu mikir, ibu harus dapat uang buat anak-anak ibu.” Namun tahun 1983, ketika anak kedua Ibu Krs berumur 1 tahun, Ibu Krs memutuskan untuk berhenti berdagang di kaki lima, hal ini dikarenakan kesehatan Ibu Krs yang menurun dan suaminya tidak mengizinkan lagi Ibu Krs berdagang di kaki lima. Usaha Pak Swt yang lebih baik pada tahun-tahun ini juga membuat Ibu Krs mau untuk berhenti berdagang. “tahun 1983, ibu berhenti dagang kaki lima, soalnya ibu sakit-sakitan mbak, si Nani (anak ke-dua) kuat banget nyusunya, jadi kasihan kalau harus di tinggal-tinggal. Usaha bapak waktu itu lebih maju, bapak sudah punya 2 mobil sendiri, jadi juragan angkutan barang kecil-kecilan mbak, jadi ekonomi keluarga lumayan bagus. Malah ibu dah beli rumah sendiri waktu itu di pondok rumput, deket rumah kakak” Tahun 1985, saat anak Ibu Krs sudah cukup dewasa (3 tahun), Ibu Krs memutuskan untuk berjualan lagi di pasar, alasannya adalah Ibu Krs bosan bila terus ada di rumah tanpa melakukan kerja apa pun “waktu Nani umur 3 tahun Ibu jualan lagi mbak, ibu bosen kalo di rumah terus, pagi bapak kerja, Juki (anak pertama) sekolah, Nani’ masuk TK, ibu bosen kalo kerjanya bersih-bersih dan masak terus. Kan kalo siang nggak ada kerjaan lagi. Dengan
115
bantuan kakak, ibu akhirnya dagang lagi, tapi bapak ndak bolehin kalo di kaki lima, jadi ibu ngusahain beli kios, kalo punya kios kan gak panas-panasan, terus kalo bawa Nan’i ke pasar, dia bisa tidur siang di kios. Bapaknya setuju kalo dagang di kios, yo wes, ibu jualan lagi.” Ibu Krs membeli kios seharga 10 juta rupiah dari pedagang yang ingin menjual kiosnya. Kios itu terletak di Blok D Pasar Anyar. Pembayarannya secara keredit selama tiga tahun. Untuk mengurus surat izin usaha (kartu kuning) Ibu Krs dibantu oleh suaminya dan memakai nama suaminya dalam surat kepemilikan kios. Uang untuk membeli kios diperoleh dari pinjaman dari Bank Buana atas nama Pak Swanto. Tahun 1987, terjadi kebakaran di Pasar Anyar dan mengakibatkan kios Ibu Krs juga ikut terbakar. “pas kebakaran tahun 1987, kios baru lunas dicicil mbak, udah hangus kebakar, wes ben...ibu bangkrut, waktu itu kios nggak diasuransi-in, jadi ruginya ditanggung sendiri.” Dari sisa tabungan yang di miliki, Ibu Krs tetap berdagang ayam di penampungan sementara, yaitu di jalan MA Salmun. Tiga tahun Ibu Krs berdagang di awuning yang dibangun sebagai pasar sementara. Tahun 1989, saat pasar telah selesai dibangun, Ibu Krs kembali mendapat kios di pasar, hal ini terjadi karena Ibu Krs telah memiliki kios sebelumnya, jadi saat pasar selesai dibangun, pedagang yang memiliki kios boleh memilih terlebih dahulu kios mana yang diinginkan untuk usaha. Walau harus tetap membayar kepemilikan kios tersebut pada pengelola. Ibu Krs membeli kios yang ada di Blok C, alasannya adalah lebih ramai pembeli. Hingga tahun 1995 Ibu Krs terus berdagang di pasar dan menambah barang dagangannya, tidak hanya berjualan ayam, tetapi juga berjualan berbagai bahan pokok. Menurut Ibu Krs usahanya terus mengalami kemajuan, setiap hari bisa menjual 50 ekor ayam dan mendapat keuntungan Rp. 100.000/hari. Usaha suaminya pun berkembang, tidak hanya usaha jasa pengangkutan, tetapi juga usaha ternak ayam. “tahun 1990-an itu usaha ibu lagi jaya-jayanya, jualan ibu untung besar, ayam bisa habis 50 ekor satu harinya, sudah punya langganan, terus jualan sembako ibu maju, untungnya sehari bisa Rp. 100.000,-, ibu bisa nabung mbak, rumah juga dibangun biar bagus, usaha bapak juga berkembang, bapak nyoba ternak ayam, biar ibu nggak nyambut ayam ke orang lain, kalo bapak ternak, ibu yang jual kan untungnya lebih banyak. Kalo di inget-inget waktu itu yang paling jaya ya..(sambil tersenyum)”. Kebakaran besar taun 1996 dan menyusul krisis moneter tahun 1997, membuat usaha Ibu Krs bangkrut. Kebakaran tahun 1996 menghanguskan kios Ibu Krs besarta barang dagangannya, Ibu Krs telah mengasuranikan kiosnya, sehingga mendapat pengganti untuk kiosnya yang terbakar, namun jumlah itu tidak dapat menutupi semua kerugian yang Ibu Krs derita. Saaat krisis moneter melanda Indonesia, Ibu Krs tetap berdagang di penampungan, di sekitar Pasar Merdeka, pada masa ini, kesulitan ekonomi juga melanda raumahtangga Ibu Krs, setelah kiosnya terbakar, usaha ternak ayam Pak Swt juga “gulung tikat” karena menderita kerugian, tetapi tidak sampai menjual aset-aset yang dimiliki. Tabunggan yang dimiliki oleh Ibu Krs mampu menopang ekonomi keluarga yang sedang mengalami krisis. “sehabis kebakaran kan krismon ya neng, waduh..itu bikin bangkrut usaha ibu, ibu tetap dagang di penampungan biar dapat pemasukan tiap hari, walau sedikit. Usaha ternak ayam bapak bangrut waktu itu, biaya melihara ayamnya lebih gede dari pada harga jualnya. Tapi ibu nggak jual-jual barang buat nutupin rugi, dari tabungan aja diambil buat uang anak sekolah sama keperluan lain. Kalo uang buat makan sehari-hari ya dari usaha dagang ibu.” Tahun 2000, pasar selesai dibangun oleh pihak pengelola (PT Propindo), pedagang yang kiosnya terbakar, memiliki hak untuk memilih kios mana yang akan dibelinya, Ibu Krs masuk kembali ke Pasar, karena menurutnya memiliki kios adalah memiliki kepastian usaha, istilahnya ‘punya tempat aman di pasar’. Ibu Krs membeli 2 kios sekaligus, yaitu kios yang ada di Blok C yang ditempati hingga sekarang dan kedua kios tersebut posisinya saling berhadapan. Modal untuk membeli kios berasal dari keuntungan usaha yang telah diperoleh selama berdagang di penampungan, tabungan Ibu Krs dan bantuan dari suaminya (menjual 1 mobil angkutan barang). Kios pertama dibeli oleh Ibu Krs seharga Rp. 20.000.000,- dari tangan kedua dan kios kedua dibeli dengan harga Rp. 17.000.000,- pembelian ini dilakukan secara tunai. Hingga kini Ibu Krs terus berdagang di kedua kios tersebut. Kios pertama menjual sembako dan ayam dibantu oleh Mbak Prt (20 tahun) untuk menjaganya setiap hari. Kios kedua digunakan uantuk berjualan sayur-sayuran dan di bantu oleh Mbak Sr (19 tahun) untuk menjaganya setiap hari. Ibu Krs, saat ini hanya bertindak sebagai pemilik dan pengawas terhadap usahanya, Ia hanya ke pasar setiap hari Rabu, untuk mengontrol kerja dari Mbak Pri dan Mbak Sr. Ibu Krs saat ini masih mengurus usahanya dalam hal pembelian barang-barang yang akan dijual, seperti ayam, sembako dan sayur-sayuran. Jadi tidak terlibat dalam penjajaan barang di pasar. Sembako
116
diperoleh dari pembelian kepada distibutor yang lebih besar, yaitu toko cina yang ada di jalan MA Salmun (tempat Ibu Krs berdagang kakilima di pelatarannya) Ibu Krs belanja tiap 2 minggu 1 kali dan tiap belanja menghabiskan uang sekitar Rp. 2.000.000,- keuntungan dari usahanyanya adalah 15 % dari modalnya jadi kurang lebih Rp. 300.000,-. Untuk ayam, Ibu Krs memperolehnya dari usaha ternak suaminya yang saat ini kembali diusahakan. Setiap hari Ibu Krs mampu menjual 40 ekor ayam, dengan keuntungan Rp. 35.000,-/hari. Sementara itu usaha ternak suaminya juga mengalami masa sukses, dimana setiap hari mampu menjual 400 ekor ayam ke pedagang ayam yang telah menjadi langganan. Ibu Krs juga membantu usaha suaminya tersebut. Untuk sayur-sayuran, Ibu Krs membeli sayurannya di pasar Bogor, pada malam hari pukul 9 malam, di antar oleh suami atau supir. Setelah dibeli, sayuran dibawa pulang kerumah, esok hari sekitar pukul 05.00 Wib di bawa ke pasar (sekalian mengantar Mbak Sr) dan di tata oleh Mbak Sr untuk dijual pada pagi hari hingga sore hari, untuk jualan sayur-sayuran, Ibu Krs mengaku telah mempercayakannya pasa Mbak Sr sepenuhnya, Ia hanya membeli sayur yang akan dijual dan menerima laporan serta keuntungan usaha. Keuntuan usaha sayuran kurang lebih Rp. 100.000,-/ hari. “jualannya sekarang di jaga sama anak-anak (Mbak Sr dan Mbak Prt), ibu Cuma beli barang sama ngontrolnya aja, ngitung uangnya (sambil tertawa)..yang paling banyak untungnya itu yo, jualan sayur, untunganya cepet tapi barangnya juga cepet rusak, kalo laku semua yo, alhamdulillah Mbak. Saya percaya sama anak-anak, mereka bisa menjalankan usaha ini, sama waktu saya bantuin kakak, siapa tau nanti kalo mereka sudah menikah mereka juga bisa dagang sendiri.” Dari usaha dagangnya Ibu Krs mengaku telah naik haji dan pergi umroh bersama suaminya, selain itu, investasi dari hasil usahanya juga dibelikan tanah oleh Ibu Krs di daerah Kampung Sawah dan Cilodong. Ibu Krs mengaku kesuksesan usahanya berasal dari kerja keras dan dukungan suaminya “kalo sekarang usaha ibu sudah enak mbak, ibu ndak usah capek-capek mesti bolak-balik ke pasar kayak dulu, ada yang bantuin, usaha bapak juga lancar, jadi bisa bantu orang lain, ibu naik haji tahun 2006 sama umroh tahun 2004 juga hasil dari dagang, alhamdulillah, wong rezekinya dari Allah yo, harus bersukurnya sama Allah. Ibu juga selain nabung, keuntungan ibu beliin tanah buat bekel anak-anak biar nanti bangun rumah sendiri-sendiri. Mbak Sr sama Mbak Prt ini nanti kalo mau menikah ibu biayaain (sambil tersenyum melihat kedua pembantunya).” Ibu Krs juga mengikuti arisan di pasar, Arisan Blok tempat Ia berdagang, anggota arisan berjumlah 10 orang dan membayar tiap hari sebesar Rp. 50.000,-, setiap anggota yang menarik uang arisan tiap minggu mendapat Rp.3.500.000,-. Ibu Krs mengaku mengikuti arisan untuk menabung dan sebagai sarana untuk bersosialisasi dengan sesama pedagang. Dirumah, Ibu Krs juga mengikuti pengajian di komplek rumahnya, pengajian dilakukan di rumah anggota dan bergantian tiap minggunya, pengajian dilakukan satu minggu 1 kali, setiap malam Jumat.
Ibu Ngm Ibu Ngm (47 tahun) adalah seorang pedagang rempah-rempah dan daun pisang di
kakilima pelataran pertokoan di jalan Dewi Sartika (di depan Pasar Anyar). Sudah sejak tahun 1993 Ibu Ngm berjualan di Pasar, jadi sudah 15 tahun berdagang di Pasar Anyar. Namun sebelum berjualan di kakilima, Ibu Ngm juga pernah menjadi “mbok pecel”, atau dagang pecel keliling dengan bakul. Pekerjaan ini dijalani oleh Ibu Ngm saat pertama kali tiba di Bogor, sebelum pindah ke Bogor Ibu Ngm bekerja sebagai petani dan menggarap sawahnya sendiri. Ibu Ngm lahir di Jawa Tengah, Solo tepatnya, semasa kecilnya hingga Ia menikah di habiskan di kota tersebut. Hingga tahun 1987, Ibu Ngm ikut suaminya merantau ke Bogor. Alasan utama migrasi ini adalah untuk mencari penghasil yang lebih baik, karena menurut Ibu Ngm sawah yang digarapnya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan rumahtangganya lagi.
Ibu Ngm menikah dengan Bapak Tn tahun 1974, saat itu Ibu Ngm baru berumur 14 tahun dan hanya menempuh pendidikan hingga kelas 4 SD. Orang tua Ibu Ngm yang bekerja sebagai buruh tani, hanya mampu menyekolahkannya sampai tingkat itu. Dari pernikahannya, Ibu Ngm dikaruniai 5 orang anak, yaitu: 1. Paridi (30 tahun), Pendidikan terakhir SMA, telah menikah dan telah memiliki 1 orang anak.
Saat ini tinggal di Solo memiliki rumah sendiri dan bekerja sebagai petani. 2. Abdullah Paroto (25 tahun), pendidikan terakhir SMA, telah menikah dan saat ini menjadi
ustad di salah satu pondok pesantren yang ada di Lamongan. Memiliki rumah sendiri.
117
3. Nani Retnowati (20 tahun), pendidikan terakhir SMP, telah menikah dan memiliki 2 orang anak. Saat ini tinggal bersama suaminya di Jakarta dan bekerja sebagai penjual jamu.
4. Isnaini Retnowati (17 tahun), pendidikan terakhir SMP. Telah menikah dan memiliki seorang anak. Saat ini tinggal di Solo, dirumah Orang tua Ibu Ngm.
5. Sigit Purnomo (15 tahun), Saat ini masih duduk dibangku SMA, ikut dengan majikan Bapak Tn (dulu bekerja sebagai kuli bangunan) di Surabaya. Sekolah dibiayai oleh majikannya dan hanya pulang ke Solo saat lebaran.
Saat ini Ibu Ngm dan suaminya harus tetap membiayai orangtua Ibu Ngm, dua anaknya yang belum mandiri secara ekonomi (Isna dan Sigit).
Setelah menikah Ibu Ngm pindah kerumah keluarga suaminya dan bekerja sebagai petani menggarap sawah yang diwarisi oleh suaminya. Saat anak pertama lahir, Ibu Ngm masih menumpang di rumah mertuanya dan sesekali pulang ke rumah orang tuanya. Tahun 1984 suami Ibu Ngm merantau ke Bogor dan bekerja sebagai kuli bangunan. Karena suaminya merantau Ibu Ngm yang menggantikan suaminya mengurus sawah dan menjaga kedua orang anaknya. Saat itu Ibu Ngm memilih untuk tinggal di rumah orang tuanya. Pekerjaan mengurus sawah dinilai cukup memberatkan buat Ibu Ngm, namun hal ini harus dilakukan karena merupakan nafkah utama keluarga. Suami Ibu Ngm pulang tiap 3 bulan satu kali dan membawa uang dari Bogor, uang tersebut adalah hasil bekerja sebagai kuli bangunan. Uang tersebut digunakan untuk kebutuhan sekolah anak-anak Ibu Ngm dan sisanya ditabung. Kebutuhan sehari-hari dipenuhi dari hasil panen sawah dan upah harian Ibu Ngm sebagai buruh tani.
Tahun 1987, Ibu Ngm memutuskan untuk ikut kerja di Bogor dan meninggalkan kedua anaknya di Solo. Hal ini dilakukan karena sawah yang selama ini diusahakan oleh Ibu Ngm dinilai tidak mencukupi lagi kebutuhan rumahtangganya. Harga bibit padi yang harus dibeli dan penggunaan pupuk telah membuat usaha sawah Ibu Ngm lebih besar pasak dari pada tiang. Pengelolaan sawah di berikan kepada anak pertamanya dan orangtua Ibu Ngm. “pindah ke Bogor alasanya sawahnya gak nyukup lagi buat makan. Dulu harga pupuk sama bibit mahal jadi biaya buat melihara padi lebih gede dari pendapatan waktu jual. Rugi terus. Ibu akhirnya pindah ke Bogor, ongkosnya dari hasil panen. Waktu itu pas-pasan banget, anak-anak juga ibu tinggal sama eyang nya. Demi keluarga Mbak, ibu kerja di Bogor.” Di Bogor, Ibu Ngm tinggal di kontrakan yang telah ditempati dahuluan oleh suaminya, kontrakan tersebut ada di Ciheuleut. Saat tinggal di kontrakan Ibu Ngm harus berbagi ruangan dengan teman suaminya, hal ini dikarenakan suami Ibu Ngm membagi biaya kontarakan dengan temannya. rumah kontrakan di bagi dengan kain yang dibentangkan sebagai sekat antara sisi yang menjadi ruangan untuk teman Ibu Ngm dan sisi lainya digunakan sebagai kamar tidur untuk Ibu Ngm dan suaminya. Tidak lama setibanya di bogor, Ibu Ngm berkenalan dengan Ibu Sjm yang berprofesi sebagai pedagang pecal di kakilima. Dari Ibu Sjm inilah Ibu Ngm belajar dan berinisiatif untuk berdagang pecel keliling dengan menggunakan bakul. Modal berdagang di peroleh dari hasil pinjam dari Ibu Sjm dan sedikit uang dari suaminya. Setiap pagi Ibu Ngm berkeliling menjajakan pecelnya di komplek-komplek perumahan dan pasar Bogor. Sayuran sebagai bahan pecel dibeli sore hari di Pasar Bogor dan pagi harinya Ibu Ngm bangun sekitar pukul 03.00 wib untuk merebus sayuran dan menggiling bumbu pecal. Setelah sholat subuh, Ibu Ngm berangkat dengan bakul nya berjualan di pasar atau keliling di komplek perumahan. Pulang ke kontrakan sekitar pukul 15.00 wib, atau setelah dagangannya habis terjual. “pertama datang ke Bogor, Ibu jualan pecel, di bantuin sama saudara ibu, nama Yu Sjm. Dagang pecel lama ibu dulu, 5 tahun. Tapi lumayan uangnya bisa buat bayar kontrakan sama makan de-2. masih bisa nabung juga. Kalo dagang kan uangnya dapatnya cepet, tiap hari pasti balik uang modalnya. Kalo bertani susah, lama paling ndak 4 bulan baru dapet uang.”
Setelah satu tahun tinggal di Bogor, Ibu Ngm dan suaminya mengontrak rumah sendiri di Bantar kemang, rumahnya cukup besar dengan satu kamar tidur, ruang depan dan dapur serta memiliki kamar mandi sendiri. Selama empat tahun berikutnya Ibu Ngm menempati rumah ini. Tiap 3 atau 4 bulan Ibu Ngm pulang ke Solo untuk menengok anak-anaknya. Hanya anak ke-3 yang lahir di Bogor dan dirawat langsung oleh Ibu Ngm. “tiap 3 atau 4 bulan Ibu Pulang ke Solo, nengok anak-anak sama Mbah (Ibunya). Sawah masih di usahain sama anak ibu yang pertama. Kadang ibu bawa uang ke Solo, kadang Ibu yang dikasih uang. Anak-anak ibu belum ada yang berhasil, jadi biaya semua masih ibu sama bapak yang ngusahain,”
Tahun 1993, Ibu Ngm beralih profesi sebagai pedagang kaki lima. Hal ini terjadi karena setelah kelahiran anak ke-5 nya kesehatan Ibu Ngm menurun dan tidak kuat untuk menjajakan pecel keliling komplek lagi. Akhirnya dengan uang tabungan dan menjual perhiasan. Ibu Ngm
118
beralih profei menjadi pedagang kakilima di Pasar Anyar. Tepatnya di Jalan Dewi Sartika. Waktu itu izin dan tempat berdagang diperoleh dari lapak milik pedagang lain yang dijual kepada Ibu Ngm. “jadi waktu itu, Ibu di tawarin buat beli izin sama lapak tempat jualan dari orang padang, ibu lupa namanya. Dia berhenti dagang. Ditawatin ke Ibu dengan harga Rp. 300.000,- Ibu dapet meja sama tempat buat jualan. Ibu cerita ke Bapak, terus di izinkan buat berdagang di pasar, akhirnya ibu mulai dari situ berdagang di pasarnya.” Pilihan untuk berdagang rempah-rempah diambil karena harga rempah-rempah murah saat itu dan banyak orang yang membeli rempah-rempah. Selain itu, karena komuditas ini sudah akrab bagi Ibu Ngm sehingga Ibu yakin mampu memperoleh untung dari berdagang rempah-reppah dan bumbu dapur. “Ibu jualan rempah-rempah kayak gini karena sudah biasa mbak (Bisa maksudnya akrab dengan kehidupan keseharian), jadi ibu bisa tau yang harganya murah tapi barangnya bagus. Ibu yakin bisa untung. Wong jualan yo pasti nyari untung kan? (sambil tersenyum).”
Bapak Tn masih terus jadi kuli bangunan, dan bila sepi order, Bapak Tn menjadi kuli angkut barang di pasar atau membantu Ibu Ngm berjualan. Kebakaran tahun 1996 membuat usaha dagang Ibu Ngm tergusur, karena tempat Ia berjualan ditertibkan dan digunakan sebagai penampungan bagi pedagang yang kiosnya terbakar. “pas kebakaran gede, ibu di gusur mbak, barang dagangan ibu di suruh pindahin. Tempat ibu jualan di gusur, biubah jadi lapak-lapak buat pedagang yang kiosnya terbakar. Ibu terpaksa dagang di emperan toko deket sini juga (sambil menunjuk toko sekitar 20 meter dari tempat wawancara).” Saat itu Ibu Ngm tidak melakukan perlawanan apa-apa, yang terpenting untuk Ibu Ngm adalah Ia masih bisa tetap berjualan di pasar. Selama 4 tahun Ibu Ngm berjualan di emperan toko tersebut dan bertahan jika ada yang menggusur atau menyuruhnya pindah. “asal bayar retribusi tiap hari, ibu tetap bisa jualan mbak, retribusinya Rp.1500,-/ hari dan ditagih sama orang yang badannya gede, ibu sih kenalnya preman pasar itu. Tapi selagi ibu aman jualannya bayar segitu nggak apa-apa.”
Saat pembangunan Awuning tahun 2004, Ibu Ngm bisa menempati salah satu lapak yang dibangun di dalam awuning. Dengan membayar Rp. 300.000,- kepada pengelola pasar “yang disebut Ibu Ngm Orang Berseragam” Ibu Ngm memperoleh satu lapak dan dilengkapi meja untuk menggelar dagangannya. Usaha Ibu Ngm mencapai kejayaannya pada tahun-tahun ini dengan mendapat keuntungan Rp.35.000,-/ hari dan mampu mengirim uang lebih banyak ke Solo. “Waktu jualan di awuning yang paling banyak untungnya. Ibu dagangnya enak, nggak panas-panasan, barang juga bisa di simpen di lemari di bawah meja. Lebih tenang jualannya. Dagangan ibu lancar, Ibu bisa ngirim uang lebih banyak ke Solo, bisa nabung juga meski dikit-dikit. Oh iya, ibu juga waktu itu ikut arisan. Tiap hari bayarnya Rp. 5000,- nanti kalo pas narik dapet Rp.500.000,-.” Pada tahun ini juga Ibu Ngm pindah ke Pondok Rumput, mengontrak rumah dengan dua kamar, satu ruangan tamu dan memiliki dapur serta kamar mandi. Hingga saat penelitian dilakukan Ibu Ngm masih tinggal di rumah ini. Pembongkaran awuning tahun 2007, tepatnya Oktober kemarin, membuat Ibu Ngm kehilangangan tempat berdagangnya, Ibu Ngm memahami bahwa awuning akan di bongkar demi pengembalian fungsinya sebagai jalan dan jalur angkot. Namun menurut Ibu Ngm, pedagang kecil seperti dirinya harus diperhatikan juga, karena berdagang kecil-kecilan inilah mata pencaharian utamanya, jika tidak berdagang maka keuangan keluarga akan hancur. “ibu ngerti pembongkaran awuning untuk ngebalikin lagi jalanan buat angkot, tapi pedagang kecil kayak kita kenapa digusur-gusur terus. Maunya beli kios di dalem pasar, tapi nggak punya duitnya. Wong harganya puluhan juta. Yo gak sanggup. Kalo dikasih murah yo masih mending. Kita malah di suruh pindah ke Laladon, lah sepi pembelinya nanti kita malah yang nggak makan.” Saat ini Ibu Ngm tetap berjualan, di emperan sebuah warung bakso di Jalan Dewi Sartika, Ia bersama pedagang lain tetap berdagang walau seringkali diusir oleh petugas SatPol PP. Saat di tertibkan, mereka membawa dagangannya ke sebuah gang di pingir pasar, namun saat petugas telah pergi, mereka kembali menggelar dagangannya. Ibu Ngm menyebut ini sebagai ‘gusuran’, jadi jika ada petugas SatPol PP datang, Ibu Ngm langsung sibuk membereskan dagangannya dengan tergesa-gesa dan menyembunyikannya di gang dekat ia menggelar dagangannya.
Ibu Ngm memperoleh barang daganganya dari pasar Bogor, Ia membelinya pagi hari, sekitar pukul 03.00 wib dan ditemani oleh suaminya Ia membawa daganganya ke tempat Ia berjualan. Pukul 05.00 wib ia telah menata dagangannya dan siap menjajakan kepada pelanggan. Ibu Toni menjajakan dagangannya hingga pukul 15.00 wib dan membereskan dagangannya. Ditaruh dalam peri kayu atau karung di letakkan di sudut dekat warung bakso dan dititipkan kepada pemilik warung bakso. Ibu Ngm percaya pada tukang bakso, karena tukang bakso berjualan sampe malam hari dan barang dagangan Ibu Ngm selalu aman hingga saat ini. Ibu
119
Ngm pulang ke kontrakannya dan masih harus memasak untuk makan malam. Pak Tn pulang sekitar pukul 17.00 wib dan beristirahat. Setelah makan malam pukul 18.00 wib, Ibu Tini beristirahat pukul 20.00 wib, untuk menyiapkan stamina untuk berdagang esok hari. Jika Ibu Ngm pulang ke Solo, Bapak Toni membeli makan diluar. Saat ingin pulang ke Solo, telebih dahulu Ibu Ngm menghabiskan dagangannya atau membawa pulang ke rumah karena esok hari ia akan libur berdagang.
Modal yang dipakai untuk membeli rempah-rempah adalah senilai Rp. 300.000,- dan baru akan kembali sekitar tiga hari. Keuntungan yang diperoleh oleh Ibu Ngm dari usahanya sebesar Rp. 900.000,-/ bulan. Keuntungan ini di bagi untuk kebutuhan sehari-hari mereka berdua senilai Rp.250.000,- dan untuk di kirim ke Solo Rp. 500.000,- dan sisanya Rp. 150.000,- lagi untuk di tabung jika ada hal mendadak atau untuk berobat jika sakit. Pak Tn sendiri mendapat upah dari kerjanya senilai Rp. 600.000,-/ bulan. Digunakan untuk biaya makan, membayar kontrakan, air, listrik dan biaya rokok Pak Tn tiap bulan. Saat ini Ibu Ngm tidak mengikuti arisan ataupun pengajian apapun karena tidak memiliki uang untuk membayar arisan. Namun Ibu Ngm mengaku usahanya masih cukup untuk membiayai keluarganya sehingga Ia masih bertahan hingga saat ini.
Ibu Tn
Ibu Tn (32 tahun) adalah seorang pedagang kakilima yang menjual pakaian dalam (Underwear) di pelataran kakilima Sebelah utara blok C Pasar Anyar. Saat ini Ibu Tn tinggal di, Laladon Indah Rt.02/Rw.08 Sawah baru. Ibu Tn menikah dengan Bapak Ln pada tahun 2000 dan dari pernikahannya Ibu Tn dikaruniai tiga orang anak, yaitu : 1. Widiani S. (6 thn), saat ini duduk di kelas 1 SD. 2. M. Ramdhani (4 thn) 3. Elinda Amal S. (5 bln) Dalam rumahtangga Ibu Tn ada 5 orang yang menjadi tanggungan keluarga. Karena anak ke tiga Ibu Tn masih balita, Ibu Tn meminta bantuan orang tuanya untuk menjaga anak ketiganya. Jadi untuk saat ini ada enam orang yang menjadi tanggungan Ibu Tn
Ibu Tn berasal dari etnis sunda dan lahir di Bogor, sebelum menikah Ibu Tn tinggal dengan orang tuanya dan sekolah sampai tingkat SMU. Sedangkan suami Ibu Tn, Bapak Ln berasal dari Medan (Suku Batak) yang merantau ke Jakarta, juga tamatan SMU. Sebelum berjualan di pasar, Ibu Tn pernah bekerja di kantor penerbitan surat kabar Suara Pembaruan Bogor (tahun 1994). Ibu Tn bekerja di divisi pemasaran. Saat itu Ibu Tn belum menikah. Ibu Tn menjelaskan kerjanya lebih ringan dari pada berdagang seperti sekarang. “Dulu pas kerja di Koran, enak neng. Punya uang sendiri, kerjanya juga gak capek-capek banget. Cuma nyatat koran yang keluar terus ngurus pembayaran. Jadi pas gajian uang nya lumayan bisa jajan atau belanja sama temen-temen.” Saat bekerja di kantor penerbitan Ibu Tn mendapat sip sore hari, jam 14.00-17.00 wib. Di pagi harinya, Ibu Tn bekerja sebagai penjaga toko pakaian milik temannya. Dari sinilah Ibu Tn memperoleh pengalaman untuk berdagang. Lewat temannya, Ibu Tn belajar berdagang agar tetap memperoleh keuntungan, mengelola keuangan agak modal kembali, membeli barang dari suplayer dan bagaimana bernegosiasi dengan pelanggan. “Untung pas gadis ibu pernah bantu-bantu jualan di kios temen, jadi ibu ngerti di mana beli barang, ngejualnya biar untung.”
Ibu Tn bekerja di kantor penerbitan selama tiga tahun dan berhenti pada tahun 1997 karena PHK (Dampak Krisis Moneter). Selama setahun kemudian Ibu Tn mengangur. Tahun 1998, Ibu Tn kembali bekerja sebagai buruh pabrik garmen di Cileungsi. “Orang tua ngomel terus waktu ibu nganggur, makanya ibu kerja jadi buruh pabrik. Pusing kalo denger omelan terus. Kerjanya jahit baju pake mesin jahit. Kerjanya capek banget waktu itu, ada sip-sip nya, kalau sip pagi dari jam 09.00-17.00 wib. Tapi gajinya lumayan neng, waktu ketemu sama bapak, ibu udah jadi supervisor.” Pekerjaan sebagai buruh pabrik mempertemukan Ibu Tn dengan Bpk Ln dan mereka memutuskan untuk menikah pada tahun 2000. Setelah menikah Ibu Tn berhenti bekerja di pabrik dan menjadi Ibu rumahtangga. Tahun pertama pernikahan Ibu Tn masih tinggal di rumah orang tuanya, hingga tahun 2003 Ibu Tn memutuskan membeli rumah secara kredit (Rumah yang ditempati saat ini). “Ibu berhenti kerja di pabrik pas tahu ibu hamil, Abang khawatir, soalnya anak pertama katanya. Ya udah ibu jadinya dirumah aja.”
Usaha dagang Ibu Tn diawali dari keterdesakan ekonomi setelah Bapak Ln (Suami Ibu Tn) terkena PHK dari Pabrik Krakatau Steal tempatnya bekerja (tahun 2001). Saat itu adalah
120
masa sulit untuk rumahtangga Ibu Tn, anak pertamanya lahir di tahun ini (2001), jadi membutuhkan biaya yang cukup besar. Sedangkan suaminya kehilangan pekerjaan. Akhirnya dengan modal pesangon suaminya Ibu Tn memutuskan untuk berdagang di kakilima Pasar. “Awal dagang itu pas Abang di PHK, Pusing banget pas itu. Ibu kan baru lahiran anak pertama, pas denger Abang di PHK, ibu langsung bingung. Waktu itukan masih tinggal sama orang tua. Ibu putusin buat dagang, soalnya berdagang pasti untung. Tinggal pinter-pinter mengelola nya neng biar untungnya gede.” Keputusan ini didukung oleh suami dan orang tua Ibu Tn. Suaminya memberi dukungan modal dari pesangon yang Ia terima. Sedangkan orang tuanya membantu menjaga anak pertama Ibu Tn. Jadilah Ibu Tn pedagang underwear di Pasar Anyar. Saat di tanya tentang pilihan barang dagangannya Ibu Tn menjawab berjualan underwear tidak akan rugi, karena sifat barang yang tidak mudah rusak, jadi jika tidak laku dalam satu hari bisa dijual esoknya, minggu berikutnya atau satu bulan berikutnya. Alasan lainnya, underwear mengikuti mode dan pembeli membelinya bukan karena kebutuhan yang mendesak, tapi karena modelnya baru atau warnanya dinilai bagus. “Milih jualan underwear, soalnya gak bakal rugi neng, masalahnya paling lama lakunya. Barangnya juga gak gampang rusak, beda kalau ibu jualan sayur atau buah, sehari gak laku ya dibuang. Terus, yang beli itu kebanyakan cewek, liat modelnya baru atau lucu ya mereka beli, jadi bukan kebutuhan pokok tapi dibeli terus kalo ada yang baru modelnya.” Ibu Tn membeli meja yang berfungsi sebagai tempat memajang dagangannya dan meja ini dibawahnya juga di lengkapi lemari yang berguna sebagai tempat penyimpanan senilai Rp. 650.000,-. Izin menggunakan pelataran kakilima di dapat dari pedagang yang memiliki kios di depan pelataran tersebut. “Kalo izin dagang, cuma bilang ke pemilik kios yang ini (menunjuk kios di belakangnya). Selama kita jaga kebersihan, gak ganggu jualan yang punya kios. Kita boleh dagang di sini”. Meskipun berdagang di kakilima, Ibu Tn masih dikenai retribusi dan iuran kebersihan dan keamanan oleh pihak pengelola pasar, sebesar Rp. 5000,-/ hari. Kebakaran yang terjadi pada tahun 2004, menghanguskan meja dagang sekaligus barang dagangan Ibu Tn. Untuk memperoleh modal dagang kembali, Ibu Tn Menjual perhiasannya (kalung dan cincin) dan berhutang pada temannya. “Waktu kebakaran pasar 2004, barang dagangan ibu habis semua neng, pas si Abang nyampe di pasar sama sekali gak ada yang bisa di selametin. Ya udah tinggal pasrah aja.” Ibu Tn berpindah tempat berdagang. Ibu Tn berdagang di “Pasar Kaget” di halaman parkir GWW, kampus IPB Darmaga setiap hari minggu. Untuk hari-hari lainnya Ibu Tn menggelar dagangannya di atas pelastik terpal di pinggir jalan dekat Masjid Agung Bogor. “...gak dagang, ya gak makan. Anak ibu yang nomer-2 baru umur 6 bulan waktu itu. Pokoknya ibu mikir harus tetep jualan, ya ibu jual kalung sama cincin buat modal ngambil barang lagi. Terus ibu coba dagang di pasar kaget yang ada di kampus. Lumayan hasilnya, malah lebih banyak dari pada jualan di Pasar. Tapi kan seminggu sekali, jadi ya sama aja. Yang penting anak-anak tetep makan sama minum susu, neng.” Ibu Tn berdagang berpindah-pindah selama satu tahun. Saat “pasar kaget” yang ada di kampus tidak diperbolehkan lagi oleh pihak kampus (digusur), Ibu Tn memutuskan kembali berjualan di Pasar Anyar.
Ibu Tn kembali membeli meja dagang (senilai Rp.1.000.000,-) untuk menggelar dan menyimpan dagangannya modalnya berasal dari keuntungan jualan berpindahnya selama satu tahun. Saat kembali ke Pasar Anyar, kali ini Ibu Tn menemui kesulitan perizinan untuk berdagang di kakilima karena pemilik kios tidak menyukai Ibu Tn berjualan di depan kiosnya. Pemilik kios mengadukan Ibu Tn ke pengelola pasar (PT Propindo), menurut pemilik kios Ibu Tn telah menghambat usahanya, saat itu Ibu Tn diminta pindah tempat berdagang oleh pihak pengelola. Tetapi Ibu Tn tetap mempertahankan tempat berdagangnya, karena sebelum kebakaran Ibu Tn telah berdagang di kakilima ini. “Waktu pasar udah di renofasi, yang punya kios pindah tangan, jadi saya izin dagang lagi sama pemilik yang baru. Eh saya malah digusur suruh pindah, ya saya gak mau. Ribet pindah-pindah neng. Ya, waktu itu saya di panggil ke kantor (kantor pengelola), kayak disidang, disuruh pindah. Saya nya gak mau.” “Waktu itu saya bener-bener di zolimi, masak dagang aja nggak boleh, mana si Abang abis kecelakaan jadi saya bener-bener sendiri ngurus tempat dagang. Akhirnya saya tanya ke pemilik kios apa syaratnya biar saya bisa tetap dagang di situ. Ternyata pemilik kios pingin saya bayar ke dia karena dah pake kakilimanya, ya saya sanggupi saja dari pada saya gak bisa jualan.” Ketika pemilik kios berniat menjual hak pemakaian kiosnya (Desember 2005), Ibu Tn mengambil kesempatan ini, Ibu Tn berpikir jika ia memiliki kios ini, maka dia memiliki tempat berdagang yang lebih layak dan tidak ada yang bisa mengusirnya. Namun keterbatasan dana
121
(uang) membuat Ibu Tn harus memutar otak. Dengan menjual motor milik Pak Lian, Ibu Tn membayar uang muka kios (Rp.10.000.000,-) tersebut dan untuk membayar cicilan kios ke pemilik, Ibu Tn menyewakan kios tersebut kepada penjual ikan (Mas Karman). Dengan cara ini Ibu Tn akhirnya bisa melunasi cicilan kios (Total harga kios Rp. 35.000.000,-) dan memegang kartu kuning, surat kepemilikan kios. Tapi sampai saat ini kios tersebut masih disewakan (sewa hingga 2009) dan Ibu Tn tetap berdagang di kakilima di depan kios tersebut dengan meja dagangnya.
Untuk memperoleh barang dagangan, Ibu Tn berbelanja di Tanah Abang Jakarta, biasanya tiap satu minggu satu kali, suami Ibu Tn ke Jakarta untuk membeli barang (Underwear). Sejak di PHK tahun 2001, Pak Ln beralih profesi sebagai tukang ojek di sekitas komplek perumahannya (Laladon Indah). Pagi hari setelah mengantar Ibu Tn ke Pasar Anyar, Pak Ln mulai mengojek dan disore hari menjemput istrinya pulang. Tiap hari Rabu Pak Ln ke Jakarta untuk membeli barang dagangan. Saat motornya di jual untuk membeli kios, Pak Ln menemani istrinya berjualan dan mulai beralih profesi sebagai penjual bunga (Bukan pekerjaan tetap).
Dalam satu hari, Ibu Tn dapat memperoleh keuntungan kurang lebih Rp.50.000,- s/d Rp. 70.000,- dan dalam satu bulan Rp. 1.500.000,-.s/d Rp.3.000.000,-. Uang ini digunakan untuk memenuhi kebutuhan keluarga, seperti makan, listrik, air, telepon, biaya sekolah anak dan sisanya di bayarkan kredit motor (Bapak Ln kembali mengambil kredit motor). Ibu Tn berpendapat dalam berdagang tidak pernah ada rugi, Cuma ada saat ramai dan saat sepi. Untuk mensiasatinya, saat penjualan ramai (Awal minggu di tiap bulan, Bulan puasa, Sebelum natal dan tahun baru) Ibu Tn menabung keuntungan yang diperoleh dan digunakan untuk menutupi kekurangan saat penjualan sepi (Bulan sawalan dan setelah lebaran Haji). Ibu Tn mengikuti dua buah kelompok arisan. Yang pertama adalah arisan sesama pedagang di lingkungan Blok kakilima. Setiap hari membayar Rp. 5.000,- dan diikuti oleh 25 orang. Jika mendapat giliran maka Ibu Tn akan mendapat Rp.3.750.000,-. Uang ini biasanya ditabung oleh Ibu Tn. Arisan yang kedua adalah arisan di keluarganya. Tiap bulan membayar Rp.100.000,- dan jika mendapat giliran Ibu Tn bisa memperoleh uang Rp 2.000.000,-. Menurut Ibu Tn arisan sangat membantunya saat sedang kesulitan dalam hal keuangan. Dan membantunya untuk memperoleh benda-benda yang semula dirasa sulit untuk memperolehnya (Kredit Motor dan membeli rumah sendiri).
Tetangga Ibu Tn sering kali beranggapan negatif mengenai usaha Ibu Tn ini. Karena kebanyakan waktu dihabiskannya di luar rumah. Saat ini anak ke-3 Ibu Tn baru berusia 5 tahun, diasuh oleh neneknya. Tetangga Ibu Tn sering mengosipkan Ibu Tn kurang peduli dengan anak-anaknya.“Ibu suka sebel sama tetangga ibu neng, bilang ibu gak peduli anak lah, mendikte suami, sampai ibu dibilang pake guna-guna biar suami ibu nurut. Padahal Ibu dagang juga buat anak sama keluarga. Tapi disabar-sabarin aja neng, gak saya dengerin, orang yang tau ya ibu sendiri bener nggak nya.” Karena sebab inilah, Ibu Tn kurang akrab sama tetangganya, selain karena waktunya banyak dihabiskan untuk berdagang, Ibu Tn menilai tetangganya ‘rese’ sehingga Ibu Tn malas berurusan dengan tetangganya. Pernah saat tetangganya mengadakan hajatan, Ibu Tn tidak datang karena Ibu TN tidak suka dengan tetangganya tersebut.
Ibu Tn berangkat ke pasar dari pagi hari, pukul 06.00 Ibu Tn sudah berangkat dari rumah, diantar oleh pak Ln. Sampai di meja (kios) ibu mempersiapkan barang dagangannya mulai dari mengeluarkan Underwear dari lemari penyimpan di bawah meja. Butuh waktu sekitar 30 menit untuk melakukannya. Setelah semuanya tergelar, Ibu Tn mulai menjaga kiosnya dari pagi hari hingga sampai waktu makan siang, sekitar pukul 12.00 wib, Ibu Tn makan bekal yang telah dipersiapkan dari rumah. Jika Pak Ln menemani Ibu Tn di pasar maka Pak Ln yang menggantikan Ibu Tn menjaga barang dagangan (Seperti saat peneliti datang ke lapak Ibu Tn, Bapak Ln yang sedang menjaga dagangan). Proses menjajakan barang dagangan berlangsung sampai pukul 16.00 wib sore. Setelah membereskan barang (memasukkan kembali Underwear ke lemari di bawah meja). Ibu Tn pulang ke rumah ditemani oleh Pak Ln, sampai di rumah Ibu Tn beristirahat. Masak dan mengurus anak-anak dikerjakan oleh orang tua Ibu Tn (Ibunya) sehingga Ibu Tn tidak dipusingkan lagi dengan urusan pengasuhan anak-anak. Jadi terjadi pengalihan peran pengasuhan anak dalam rumahtangga untuk melanggengkan usaha berdagangnya. Setelah menghitung keuntungan, Ibu Tn beristirahat. Pagi harinya Ibu Tn memasak dan mempersiapkan kebutuhan sekolah anak-anaknya sebelum pergi ke pasar.
122
Ibu Yh Ibu Yh (43 thn) adalah seorang pedagang ayam yang memiliki satu kios di Pasar Anyar. Kios Ibu Yh terletak di blok C. Ibu Yh berasal dari etnis sunda dan saat ini tinggal di Pondok Bitung, Desa Harja, Rt.02/Rw.03. Empang. Bogor. Pendidikan formal Ibu Yh adalah sampai pada tingkat SD. Pada usia 18 thn (1982) Ibu Yh menikah dengan Bapak Msr (50 thn). Dari pernikahan ini Ibu Yh dikaruniai empat orang anak, yaitu : 1. Abdurahman (23 thn), belum menikah dan bekerja dan tinggal di Jakarta (Tinggal terpisah
dari orang tua). Pendidikan terakhir S1. 2. M. Idrus (17 thn), tinggal bersama Ibu Yh, duduk di kelas 2 SMU. 3. M. Nur Iskandar (14 thn), tinggal bersama Ibu Yh, duduk di kelas 2 SMP. 4. M. Bekti Ardiansyah (3 thn), tinggal bersama Ibu Yh. Bapak Msr bekerja sebagai wirausahawan yang membuka bengkel mobil dan penyewaan mobil. Dengan memiliki dua mobil kijang dan 1 mobil pik-up Bapak Masyur, menjalankan usahanya. Sejak menikah dengan Bapak Msr, Ibu Yh hanya menjadi ibu rumah tangga dan melakukan pekerjaan sehari-hari sebagai seorang ibu dan istri. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari Pak Msr menanggung seluruh kebutuhan keluarga dari usaha bengkel dan penyewaan mobilnya. Sampai dengan tahun 1993 (Setelah anak ke-3nya lahir), Ibu Yh memutuskan untuk berjualan pakaian jadi. Usaha ini dilakukan dilingkungan rumahnya, pakaian dijual secara kredit kepada tetangga dan keluarganya. Modal usahanya berasal dari tabungan Ibu Yh dan bantuan dari suaminya. Alasan utama Ibu Yh berdagang baju adalah agar memiliki kegiatan lain, selain mengurus rumahtangga. Hal ini terungkap dari pernyataan Ibu Yh, “Jualan baju buat ngisi waktu aja neng, dari pada bengong di rumah, mending cari kegiatan, karena modalnya gak gede jadi seadanya aja. Awalnya ibu beli barang sendiri ke Tanah Abang, terus ibu jual kredit ke tetangga atau saudara yang mau. Lumayan lah buat nambah uang belanja sama jajan anak-anak. Bapak juga seneng saya dapat tambahan, jadi gak bawel minta uang katanya” Usaha dagang Ibu Yh mengalami kebangkrutan pada masa krisis moneter (1997). Hal ini dikarenakan banyak tetangga yang tidak membeli baju lagi (lebih mementingkan kebutuhan makan) dan banyak pelanggannya yang menunggak kredit. “Nah, pas tahun 1997, pas krismon neng, usaha ibu bangkrut. Soalnya banyak yang nunggak, ibu juga dah capek nagih. Liat-liat juga yang ditagih pada nggak punya uang. Akhirnya ibu ihklas-in aja. Tapi kalo yang kreditnya baru sekali bayar, masih ibu tagih. Ya gimana ya, sama-sama gak punya uang.” Krisis Moneter yang terjadi pada tahun 1997 juga membuat usaha bengkel yang dijalankan oleh Bapak Msr bangkrut. Usaha bengkel mengalami kebangkrutan dan harus ditutup. Pada tahun-tahun ini keluarga Ibu Yh hanya menggantungkan nafkah keluarganya dari usaha penyewaan mobil yang dilakukan Bapak Msr. “Paling ngenes neng pas krismon, bengkel tutup, ibu juga gak jualan baju lagi, harga sembako malah naik, anak-anak masih kecil. Pokoknya rieweuh. Untung ada neneknya (Orang tua Ibu Yh) anak-anak. Ibu sering pinjam uang ke Ibu buat sekolah anak-anak.” Saat dalam masa krisisnya rumahtangga Ibu Yh meminjam uang kepada orang tua. Tahun 2000, Ibu Yh membeli kios di Pasar Anyar. Keputusannya untuk berdagang di Pasar Anyar diambil Ibu Yh setelah sepupunya meyakinkannya untuk berdagang di pasar. Sepupu Ibu Yh berprofesi sebagai pedagang dan menganjurkan Ibu Yh untuk berdagang juga, untuk membantu penghasilan keluarga. “Awalnya saya niatnya coba-coba dagang, luamayan buat nambah penghasilan keluarga. Dari nyewain mobil pas-pasan neng. Gak bisa buat nabung atau beli apa gitu.” Dalam memulai usahanya Ibu Yh memanfaatkan modal sosial, hubungan keluarga untuk membantunya memulai usaha. “Sepupunya saya yang nawarin, katanya Pasar Anyar yang baru beres di bangun, pada jual kios. Waktu itu saya kredit kios (kios yang ditempati sampai dengan sekarang) Rp. 17.500.000,- dan beli mejanya (tempat menggelar dagangan) Rp. 500.000,-, waktu itu ngurusnya sama Pak Iwan (Pengelola pasar), di kartu kuning pake nama saya.” Modal usaha Ibu Yh berasal dari hasil penjualan salah satu mobil (Mobil yang disewakan) yang mereka miliki. Pak Msr mendukung usaha Ibu Yh sepenuhnya. Memberikan izin untuk usaha diluar rumah dan memberikan bantuan modal. “Bapak mah ngedukung banget waktu saya bilang mau dagang. Tapi bapak ngingetin jangan terlalu dipaksain dagangnya.” Tahun 2000, adalah awal usaha Ibu Yh berdagang di Pasar Anyar. Ibu Yh memilih untuk berdagang ayam, karena Ibu Yh dibantu oleh saudaranya (sepupunya) yang juga berjualan ayam. Ibu Yh dikenalkan dengan pemasok ayam potong. Pertama berdagang Ibu Yh hanya mengambil 10 ekor ayam potong. Usaha Ibu Yh berkembang hingga kini tiap harinya Ibu Yh mampu menjual
123
kurang lebih 50 ayam/ hari. “Awalnya di kenalin sama saudara saya itu, beli ayamnya di mana, gimana jualnya dan cari pelanggan dulu. Tapi sekarang udah enak neng, pelanggan dah ada, tempat ngambil ayam juga dah percaya. Sekarang udah ada frezer juga tempat naruh ayam kalo gak laku dalam sehari.” Saat terjadi kebakaran tahun 2004, usaha dagang Ibu Yh tidak banyak terpengaruh, berhubung kebakaran yang terjadi tidak mengenai blok tempat Ibu Yh berdagang, sehingga Ia terhindar dari kerugian akibat kebakaran tersebut. Kegiatan berdagang Ibu Yh diawali pukul 05.00 wib, sehabis sholat subuh Ibu Yh berangkat ke tempat pemasok ayam (untuk mengambil dagangannya) diantar oleh Bapak Msr, jika Bapak Msr berhalangan Ibu Yh menyewa angkot atau diantar oleh supir (supir yang bekerja diusaha penyewaan). Selanjutnya langsung pergi ke pasar. Sesampai dipasar, Ibu Yh menggelar dagangannya, dari 50 ekor ayam, Ibu Yh memajang 10 ekor terlebih dahulu, sisanya ditaruh si frezer. Ayam disusun diatas meja yang menghadap ke koridor (tempat pembeli berlalu-lalang). Pagi hari dari pukul 06.00-09.00 wib adalah waktu sibuk untuk Ibu Yh, karena pada jam-jam inilah pembeli banyak berbelanja. Jika ada yang memesan dalam jumlah besar (lebih dari 3 ekor) Ibu Yh telah memisahkan pesanan tersebut dan memotongnya sesuai kehendak pembeli. Hingga pukul 12.00 wib Ibu Yh menjajakan ayamnya. Pukul 12.00 atau 13.00 (Waktu sholat) Ibu Yh meningalkan kiosnya sejenak untuk sholat di musholah pasar. Biasanya Ibu Yh menitipkan koisnya ke tetangga sesama pedagang yang berjualan di sebelahnya, memberi tahu berapa harga ayamnya per Kg dan dengan tenang meninggalkan kiosnya. Ibu Yh membawa bekal makan siangnya dari rumah, atau Ia membelinya dari warung makan yang ada di pasar, biar ringkas katanya. Ibu Yh mengakhiri jualannya pukul 16.00 wib, jika ayam tidak habis, maka akan di masukkan ke frezer dan di jual kembali esok hari. Ibu Yh memasukkan timbangan, telenan kayu, pisau dan celemeknya ke lemari di bawah meja (meja tempat menjajakan ayam dibawahnya dilengkapi lemari tempat menyimpan peralatan). Dan beranjak pulang ke rumah. Ibu Yh biasa membeli lauk untuk makan malam di pasar (alasannya biar praktis) sebelum pulang kerumah. Sampai di rumah, Ibu Yh mandi dan istirahat sampai waktu magrib tiba. Pada malam hari Ibu Yh melakukan pemesanan ayam untuk jualan esok hari melalui telepon ke pada pemasok langanannya dan tiduk sehabis sholat Isha’.
Ibu Yh mengakui keuntungan dari usahanya cukup besar. Setiap hari Ibu Yh memperoleh keuntungan Rp.100.000-Rp 150.000. uang hasil keuntungan ini digunakan untuk memenuhi kebutuhan harian rumahtangga, seperti untuk membeli makanan, sembako dan sisanya di gunakan untuk membayar arisan. Sedangkan untuk keperluan listrik, air dan telepon menjadi tanggung jawab suaminya. Ibu Yh mengikuti Arisan sesama pedagang di blok D Pasar Anyar. Arisannya di ikuti oleh 30 orang dan tiap hari membayar Rp.40.000,-. Tiap 10 hari Arisan di “kocok” dan yang terpilih mendapat uang Rp.12.000.000,-. Dengan adanya arisan inilah Ibu Yh mengaku dapat menabung hingga pada tahun 2005 Ibu Yh mampu menunaikan Ibadah Haji ketanah suci Mekah. Ibu Yh hanya mengikuti arisan di pasar. Selain ikut arisan, Ibu Yh juga membuka tabunggan di Bank Danamon, uang tabungan ini hasil dari berdagang. Menurut Ibu Yh hari-hari jualan ramai adalah hari sabtu dan minggu. Penjualan pada hari-hari ini lebih banyak dari hari lainnya. Ibu Yh mengaku dapat menjual 60 ekor pada hari-hari pasar ini. Saat penjualan sedang sepi, (hari-hari di minggu akhir bulan) jualan Ibu Yh sering kali tidak habis, Jadi Ayam yang tersisa di masukkan ke Frezer dan dijual kembali keesokan harinya, ayam ini di jual terlebih dahulu (didahulukan). Dengan cara inilah Ibu Yh berusaha meminimalkan kerugian. Setiap hari petugas pasar menarik pajak retribusi kepada Ibu Yh sebesar Rp. 5000,-/ hari yang mencakup uang kebersihan dan keamanan. Untuk pemakaian listrik tiap bulannya dibayar kepada pengelola pasar (PT Propindo).
Saat menjajakan ayam Ibu Yh duduk di belakang meja dagangannya, melambaikan sebuah tongkat kecil (seukuran sumpit) yang ujungnya telah diberi potongan pelastik. Bambu ini digunakan untuk mengusir lalat. Setiap ada pembeli yang lewat, Ibu Yh menawarkan ayamnya. “Ayamnya bu?” atau “Boleh bu? Ayamnya?”. Jika ada pembeli yang tertarik, Ibu Yh mulai menanyakan berapa Kg ayam yang diperlukan, menanyakan ayam tersebut harus di potong-potong menjadi berapa bagian dan mulai menegosiasikan hagranya. Kalau pembeli menawar, Ibu Yh akan berusaha menjelaskan bahwa harga yang Ia patok untuk dagangannya cukup murah dan untung yang Ia peroleh sedikit dari dagangannya. Jika sepakat, Ibu Yh langsung memasukan ayam yang telah dipotong-potong ke plastik dan pembeli membayar dengan harga yang telah di sepakati. Jika yang membeli adalah langganan, Ibu Yh langsung menyapa dengan akrab, dan langsung menyatakan berapa banyak ayam yang dibutuhkan, memotongnya dengan cekatan dan
124
membungkusnya. Ternyata pelanggan tidak menawar harga ayam pada Ibu Yh, langsung membayar (mereka telah mengetahui harga ayam yang dibelinya). Ibu Yh memberikan bonus untuk pelanggannya tersebut, dua potong leher dan kaki ayam. Selama transaksi Ibu Yh dan pelanggannya berbincang mengenai naiknya harga barang-barang dan diselingi oleh sedikit canda. Langganan memiliki arti yang penting dalam usaha Ibu Yh, Hal ini terlihat dari cara Ibu Yh menjalin kepercayaan pelanggan terhadap dirinya. Pelanggan diberi nomor telepon rumah Ibu Yh, hal ini dilakukan untuk memudahkan pelanggan memesan melalui telepon (Partai besar). Ibu Yh Sering memberikan bonus kepada pelanggannya (memberikan potongan tambahan, kaki ayam, kepala, saya atau lehernya). Karena menurut Ibu Yh langganan akan kembali berbelanja jika diberikan kemudahan dan bonus, jadi tidak akan merugikan. Ibu Yh tidak suka dengan pembeli yang memesan dalam partai besar, namun membatalkan pesananannya. Untuk mengatasi resiko ini, Ibu Yh memastikan pesanan dalam partai besar telah menggunakan pembayaran awal (Panjar) terlebih dahulu (20% dari jumlah total pembayaran).
Dalam urusan rumahtangga, Ibu Yh mengusahakan untuk tetap mengerjakan tugas rumahtangganya. Membersihkan rumah dan menyuci pakaian dilakukan pada pagi hari, Ibu Yh tidak memasak, Beliau lebih senang membeli masakan untuk makan di restoran atau warung makan. Hal ini dilakukan untuk mengurangi kerepotan. Anak ke-4 nya yang masih berusia 3 tahun, dititipkan pada neneknya (orang tua Ibu Yh) yang rumahnya tidak jauh dari rumah Ibu Yh. Dan di jemput tiap sore hari. Suami Ibu Yh lebih banyak menghabiskan waktu di rumah (Karena pekerjaannya menyewakan mobil). Setiap bulannya Bapak Msr memperoleh pendapatan kurang lebih Rp. 1.200.000,00,- dari usaha penyewaan mobilnya. Uang ini digunakan untuk membayar tagihan listrik, air dan telepon. Sisanya di tabung atau untuk membeli barang yang diinginkan. .
125
Lampiran 2.a Peta Lokasi Penelitian
Pasar Anyar, Kota Bogor, Jawa Barat
126
Lampiran 2.b Denah Pasar Anyar
127
Lampiran 3. Panduan Pertanyaan Penelitian
PEDOMAN WAWANCARA MENDALAM A. Petunjuk : Wawancara mendalam (indepth interview) dilakukan oleh peneliti
untuk menggali secara langsung gambaran secara komprehensif berkaitan dengan aspek-aspek kajian. Catatan singkat ditulis dalam ruangan yang kosong di bawah kotak aspek-aspek yang ditanyakan dalam wawancara mendalam, untuk dikembangkan kemudian menjadi laporan.
B. Wawancara Mendalam
Nama dan Umur Responden/ Informan : Lokasi wawancara : Hari/Tanggal : Waktu : Keterangan :
C. Panduan Pertanyaan Panduan Pertanyaan Sumber
Profil pasar 1. Sejarah Berdirinya Pasar
• Tahun berapa pasar resmi berdiri? • Bagaimana kondisi (fisik, sosial) pasar dari tahun 1980-
1989? Pada tahun 1990-1999? Pada tahun 2000-2007? • Pernahkan ada penggusuran atau penertiban pasar? Pada
tahun berapa tepatnya? Mengapa penggusuran dilakukan? Bagaimana penggusuran itu terjadi?
2. Pengelolaan Pasar • Bagaimana prosedur untuk berdagang di pasar?
Administrasi seperti apa yang dilakukan? • Bagaimana cara mendata pedagang di pasar? Bagaimana
dengan pendagang kakilima (informal)? • Apakah ada pungutan/ pajak yang diberlakukan pada
pedagang? Bagaimana cara pemungutannya? • Bagaimana cara membagi tempat berdagang di pasar? • Apakah ada jaminan kebersihan dan ketertiban untuk
pedagang? Bagaimana hal ini dilakukan? 3. Data monografi pasar
• Barapa luasan pasar? Peta? • Luas bangunan pasar? Banyak kios? Pelataran yang
digunakan untuk berdagang? • Adakah perubahan lokasi pasar dari tahun 1980-1989?
Tahun 1990-1999? Tahun 2000-2007? Mengapa perubahan lokasi ini terjadi?
• Bagaimana lokasi pasar jika ditinjau dari tata ruang kota? 4 Kelembagaan pedagang
• Apakah terdapat perkumpulan pedagang? • Alasan berdirinya? Kapan berdirinya? Bagaimana
perkumpulan ini berjalan?
• Pemkot Bogor
• Data pengelola pasar
• Catatan retribusi
• Informan (pengelola pasar, “tokoh informal pasar”)
128
• Keuntungan dan kerugian yang diperoleh pedagang saat ikut perkumpulan?
• Apakah ada perkumpulan khusus pedagang perempuan/ laki-laki?
Karakteristik Pedagang Perempuan 1. Karakteristik individu o Data Diri dan keluarga
• Siapa nama anda?Kapan anda lahir? Dimana? • Dimana alamat anda sekarang?Alamat asal anda?Suku? • Apakah anda sudah menikah? Kapan anda menikah?
Dengan siapa? Dari mana? • Apakah anda memiliki anak? Berapa anak anda?
Namanya? Usianya? Kapan saja anda memiliki anak? • Apa saja tingkat pendidikan formal anda? Suami anda?
Anak anda? Kenapa sampai pada tingkat ini? 2. Ekonomi rumahtangga
• Apa pekerjaan suami anda? Anak anda? Orang tua anda? Kerabat anda lainnya (jika ada dalam rumahtangga)?
• Berapa pendapatan keluarga tiap bulan (dari seluruh anggota keluarga)? Berapa pendapatan anda sebelum berdagang?
• Siapa saja yang menyumbang pendapatan keluarga? • Berapa konsumsi/ pengeluaran tiap bulannya? Untuk apa
saja? o Sosial rumahtangga
• Apakah usaha anda didukung oleh suami? Anak? Mengapa?
• Pernahkah suami mengeluh tentang aktifitas dagang anda? Anak mengeluh? Apa keluhan mereka? Bagaimana anda menanggapinya?
• Apakah ada gosip tentang aktifitas berdagang anda dari lingkungan sekitar? Apa gosipnya? Bagaimana anda menanggapinya?
• Responden
Aktifitas nafkah pedagang perempuan • Apa pekerjaan anda sebelum menjadi pedagang? Pada
tahun berapa tepatnya? • Kapan pertamakali anda bekerja di bidang ini (menjadi
pedagang)? • Bagaimana anda memulai berdagang? Pada tahun?
Mengapa anda memilih untuk menjadi pedagang? • Dari mana anda memperoleh modal untuk berdagang?
Modal berbentuk apa?Mengapa memilih bentuk modal ini? • Siapa saja orang yang membantu anda memulai usaha ini?
Hubungan anda dengan mereka? • Mengapa anda bekerja (menjadi pedagang)? • Apa harapan anda terhadap pekerjaan ini? • Bagaimana anda memperoleh barang/ komuditas
• Responden
129
daganganan anda? Apakah anda membelinya? Pada siapa? • Apakah anda mencatat penjualan, pembelian anda tiap
harinya? Bagaimana anda melakukannya? • Apakah anda dibantu oleh orang lain dalam melakukan
usaha perdagangan? Siapa yang membantu? mengapa? • Pernahkah anda berpindah kerja (Bekerja di sektor lain)?
Jika iya, kapan perpindahan itu terjadi? Dimana? Apa alasanya?
• Pernahkah anda berpindah lokasi berdagang? Kapan hal ini terjadi? Apa alasanya?
• Apakah anda mengambil untung besar dalam usaha dagang anda?
• Bagaimana anda menentukan harga komuditas? Mengapa? • Jika komuditas dagangan anda tidak habis, apa yang anda
lakukan? Mengapa? • Apakah anda mengikuti arisan? Jika iya mengapa? Siapa
saja anggotanya? Bagaimana arisan ini di jalankan? • Apakah anda memperoleh kredit? Jika iya Mengapa? Dari
siapa? Bagaimana kredit ini dijalankan? • Keuntungan dari hasil perdagangan untuk apa? Mengapa
diperuntukakan untuk hal-hal itu? • Apakah anda menabung dari hasil perdagangan anda?
Mengapa? Dimana anda menabung? • Saat mengalami kerugian, apa yang anda lakukan?
Mengapa anda melakukan lah tersebut? • Saat menalami surplus (keuntungan) apa yang anda
lakukan? Mengapa anda melakukan lah tersebut? • Apakah anda memiliki “langganan”?, siapa mereka?
Bagaimana anda memperlakukan mereka? • Apakah anda memasang iklan untuk dagangan anda?
Dalam bentuk apa? Mengapa?
Pertanyaan dapat berkembang di lapangan sesuai dengan kebutuhan data dan fakta-fakta yang diungkapkan oleh responden maupun oleh informan.
130
PEDOMAN PENGAMATAN BERPERAN SERTA
A. Petunjuk : Pengamatan berperanserta dilakukan oleh peneliti secara langsung di
lokasi kajian, selanjutnya peneliti diharuskan melakukan pencatatan hasil pengamatannya dengan alat pencatatan manual maupun alat bantu yang dapat merekam serta memotret kejadian yang berkaitan dengan substansi penelitian yang dilakukan. Catatan singkat ditulis dalam ruangan kosong di bawah kotak aspek-aspek yang diobservasi, untuk dikembangkan kemudian menjadi laporan.
B. Pengamatan berperanserta
Hari/Tanggal : Waktu : Lokasi Pengamatan :
PENGAMATAN 1. Karakteristik Pedagang Perempuan
a. Tampilan diri dan ekspresi yang dimunculkan. b. Kondisi tempat berdagang c. Kondisi rumah atau tempat tinggal
2. Dinamika dan Mekanisme strategi nafkah yang dilakukan tineliti a. Aktifitas berdaganga setiap harinya b. Pembagian waktu untuk berdagang c. Strategi usaha yang dilakukan