ST-Elevation Myocard Infarc

51
LAPORAN KASUS ST ELEVASI MIOKARD INFARK Pembimbing : dr. Parlindungan Manik, SpJP (K) Disajikan oleh: Gerald Abraham Harianja 070100087 Todung A. Wesliaprilius 070100119 Erwin Sahat H. Siregar 070100093 Sheba Julia Tarigan 070100190 DEPARTEMEN KARDIOLOGI DAN KEDOKTERAN VASKULER

description

LAPORAN KASUS ST ELEVASI MIOKARD INFARKPembimbing : dr. Parlindungan Manik, SpJP (K)Disajikan oleh: Gerald Abraham Harianja Todung A. Wesliaprilius Erwin Sahat H. Siregar Sheba Julia Tarigan 070100087 070100119 070100093 070100190DEPARTEMEN KARDIOLOGI DAN KEDOKTERAN VASKULER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2011KATA PENGANTARPuji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas karunia,rahmat kesehatan, dan keselamatan kepada penulis sehingga mampu menyelesa

Transcript of ST-Elevation Myocard Infarc

Page 1: ST-Elevation Myocard Infarc

LAPORAN KASUS

ST ELEVASI MIOKARD INFARK

Pembimbing :

dr. Parlindungan Manik, SpJP (K)

Disajikan oleh:

Gerald Abraham Harianja 070100087

Todung A. Wesliaprilius 070100119

Erwin Sahat H. Siregar 070100093

Sheba Julia Tarigan 070100190

DEPARTEMEN KARDIOLOGI DAN KEDOKTERAN VASKULER

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2011

Page 2: ST-Elevation Myocard Infarc

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas karunia,rahmat

kesehatan, dan keselamatan kepada penulis sehingga mampu menyelesaikan laporan kasus

ini. Penulis juga ingin menyampaikan terima kasih kepada kedua orangtua penulis, dokter

pembimbing, dr. Parlindungan Manik, Sp.JP (K) dan teman-teman yang telah mendukung

dalam penulisan laporan kasus ini.

Penulisan laporan kasus ini bertujuan untuk mengetahui pencapaian pembelajaran

dalam kepaniteraan klinik senior.Penulisan laporan kasus ini merupakan salah satu untuk

melengkapi persyaratan Departemen Kardiologi dan Vaskular Rumah Sakit Umum Pusat

Haji Adam Malik Medan.

Penulis menyadari bahwa penyusunan laporan kasus ini masih memiliki kekurangan

dan jauh dari kesempurnaan, oleh sebab itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang

membangun untuk menyempurnakan laporan kasus ini.Akhir kata, penulis berharap agar

laporan kasus ini dapat member manfaat kepada semua orang.

Medan, April 2011

Penulis

Page 3: ST-Elevation Myocard Infarc

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN 3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 4

BAB 3 LAPORAN KASUS 28

DAFTAR PUSTAKA 37

BAB 1

Page 4: ST-Elevation Myocard Infarc

PENDAHULUAN

Penyakit kardiovaskular saat ini menempatiurutan pertama sebagai penyabab

kematian di Indonesia. Departemen kesehatan menunjukkan bahwa penyakit kardiovaskular

memberikan kontribusi sebesar 19,8% dari seluruh sebab kematian pada tahun 1993 dan

meningkat menjadi 24,4% pada tahun 1998.

Salah satu penyakit kardiovaskular yang paling penting adalah infark miokard akut

(IMA).Untuk menurunkan angka kematian akibat penyalit ini, kesadaran masyarakat segera

mengenali gejala-gejala IMA dan kesigapan untul segera membawa penderita ke fasilitas

kesehatan terdekat perlu ditingkatkan.Selain itu petugas kesehatan juga dituntut untuk terlatih

menangani penderita dengan penyakit tersebut sesuai dengan strategi penatalaksanaan yang

baik.

Page 5: ST-Elevation Myocard Infarc

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. ST-Elevation Myocardial Infarction (STEMI)

2.1.1. Definisi

Infark miokard akut (IMA) didefinisikan sebagai nekrosis miokard yang disebabkan

oleh tidak adekuatnya pasokan darah akibat sumbatan akut arteri koroner.Sumbatan ini

sebagian besar disebabkan oleh ruptur plak ateroma pada arteri koroner yang kemudian

diikuti oleh terjadinya trombosis, vasokonstriksi, reaksi inflamasi, dan mikroembolisasi

distal.Kadang-kadang sumbatan akut ini dapat pula disebabkan oleh spasme arteri koroner,

emboli, atau vaskulitis1.IMA dengan elevasi segmen-ST merupakan bagian dari spektrum

Sindrom Koroner Akut (SKA). SKA terdiri dari angina pektoris tidak stabil, IMA tanpa

elevasi segmen-ST, dan IMA dengan elevasi segmen-ST2.

2.1.2. Epidemiologi

Di Inggris, penyakit kardiovaskuler membunuh satu dari dua penduduk dalam

populasi, dan menyebabkan hampir sebesar 250.000 kematian pada tahun 1998. Satu dari

empat laki-laki dan satu dari lima perempuan meninggal pertahunnya karena penyakit

jantung koroner. Tidak terdapat banyak perbedaan antara perempuan dibandingkan dengan

laki-laki dalam insidensi penyakit ini dihitung berdasarkan harapan hidup yang lebih

panjang5.

Meskipun penyakit jantung koroner tetap merupakan penyebab utama kematian dini

di Inggris, tingkat kematian turun secara progresif selama 20 tahun terakhir. Penurunan ini

terutama pada kelompok usia yang lebih muda, dimana, sebagai contoh, terdapat penurunan

sebesar 33% pada laki-laki berusia 35-74 tahun dan penurunan sebesar 20% pada perempuan

dengan kisaran usia serupa dalam 10 tahun terakhir. Banyak negara lain termasuk Australia,

Swedia, Perancis, dan AS melebihi tingkat penurunan mortalitas Inggris5.

Tingkat kematian akibat penyakit jantung koroner di Inggris tetap merupakan yang

tertinggi di dunia Barat, hanya dilampaui oleh Irlandia di Eropa. Di Inggris, terdapat

perbedaan regional, sosio-ekonomi, dan etnik yang bermakna dalam prevalensi penyakit

jantung koroner, prevalensi tertinggi di utara Inggris dan Skotlandia, pada pekerja manual,

dan pada orang Asia5.

Page 6: ST-Elevation Myocard Infarc

The Health Survey for England (Departemen Kesehatan Inggris, 1996) mengatakan

bahwa 3% penduduk dewasa menderita angina dan 0,5% penduduk dewasa telah mengalami

infark miokard dalam 12 bulan terakhir, masing-masing sama dengan 1,4 juta dan 246.000

orang. Penyakit jantung koroner merupakan penyebab sekitar 3% perwatan runah sakit, yaitu

sebesar 284.292 perawatan dengan masa rawat selama 6,6 hari5.

2.1.3. Etiologi

Etiologinya antara lain5:

Lipid dan diet

Terdapat hubungan langsung antara resiko PJK dengan kadar kolesterol darah.

Di Inggris, kadar kolesterol pada laki-laki rerata sebesar 5,8 mmol/L dan padad

perempuan rerata sebesar 6,0 mmol/L. Sekitar sepertiga populasi Inggris memiliki

kadar kolesterol yang melebihi 6,5 mmol/L yang dinilai tinggi.

Kolesterol ditranspor dalam darah dalam bentuk lipoprotein, 75% merupakan

lipoprotein densitas rendah (low density lipoprotein/LDL) dan 20% merupakan

lipoprotein densitas tinggi (high density lipoprotein/HDL). Kadar kolesterol LDL

yang rendah memiliki peran yang baik pada PJK dan terdapat hubungan yang terbalik

antara kadar HDL dan insidensi PJK.

Peran trigliserida sebagai faktor resiko PJK masih kontroversial.Kadar

trigliserida ysng meningkat banyak dikaitkan dengan pankreatitis dan harus

diterapi.Hiperlipidemia gabungan (misalnya pada diabetes) membutuhkan intervensi,

namun kekuatan trigliserida sebagai satu faktor resiko jika kolesterol kembali normal

adalah rendah.

Merokok

Sekitar 24% kematian akibat PJK pada laki-laki dan 11% pada perempuan

disebabkan kebiasaan merokok. Meskipun terdapat penurunan progresif proporsi pada

populasi yang merokok sejak tahun 1970-an, pada tahun 1996 29% laki-laki dan 28%

perempuan masih merokok. Salah satu hal yang menjadi perhatian adalah prevalensi

kebiasaan merokok yang meningkat pada remaja perempuan.Orang tidak merokok

dan tinggal bersama perokok (perokok pasif) memiliki peningkatan resiko sebesar 20-

30% dibandingkan dengan orang yang tinggal bukan dengan perokok. Resiko

terjadinya PJK aibat merokok berkaitan dengan dosis dimana orang yang merokok 20

batang rokok atau lebih dalam sehari, memiliki resiko sebesar 2-3 kali lenih tinggi

daripada populasi umum untuk mengalami kejadian PJK.

Page 7: ST-Elevation Myocard Infarc

Peran rokok dalam patogenesis PJK merupakan hal yang kompleks,

diantaranya:

Timbulnya aterosklerosis

Peningkatan trombogenesis dan vasokonstriksi

Provokasi aritmia jantung

Peningkatan kebutuhan oksigen otot jantung

Penurunan kapasitas pengangkutan oksigen

Obesitas

Terdapat saling keterkaitan antara berat badan, peningkatan tekanan darah,

peningkatan kolesterol darah, diabetes mellitus tidak tergantung insulin (NIDDM),

dan tingkat aktivitas fisik rendah.Proporsi populasi yang diklasifikasikan sebagai obes

di Inggris (BMI > 30 kg/m2) telah meningkat secara progresif dalam 20 tahun

terakhir. Sekitar 17% laki-laki dan 20% perempuan tergolong obes dan sebanyak 45%

laki-laki serta 33% perempuan dikatakan overweight (BMI antara 25-30 kg/m2).

Diabetes mellitus

Penderita diabetes menderita PJK yang lebih berat, lebih progresif, lebih

kompleks, dan lebih difus dibandingkan kelompok kontrol dengan usia yang sesuai.

Secara umum, PJK terjadi pada usia lebih muda pada penderita diabetes

dibandingkan dengan penderita nondiabetes.

Resiko terjadinya PJK pada pasien dengan NIDDM adalah dua hingga empat

kali lebih tinggi daripada populasi umum dan tampaknya tidak terkait dengan derajat

keperahan atau durasi diabetes, mungkin karena adanya resistensi insulin dapat

mendahului onset gejala klinis 15-25 tahun sebelumnya.

Diabetes merupakan faktor resiko independen untuk PJK, juga berkaitan

dengan abnormalitas metabolism lipid, obesitas, hipertensi sistemik, dan peningkatan

trombogenesis (peningkatan tingkat adhesi platelet dan peningkatan kadar

fibrinogen).Hasil CABG jangka panjang tidak terlalu baik pada penderita diabetes,

dan pasien diabetes memiliki peningkatan mortalitas dini serta resiko stenosis

berulang pascaangioplasti koroner.

Hipertensi sistemik

Resiko PJK secara langsung berkaitan dengan tekanan darah .untuk setiap

penurunan tekanan darah diastolik sebesar 5 mmHg, resiko PJK berkurang sekitar

Page 8: ST-Elevation Myocard Infarc

16%. Nilai tekanan darah pada populasi Inggris umumnya tinggi, sekitar 10% laki-

laki dan 8% perempuan menderita hipertensi, yang didefinisikan sebagai tekanan

darah sisolik lebih dari 160 mmHg dan tekanan darah diastolik lebih dari 95 mmHg.

Jenis kelamin dan hormon seks

Morbiditas PJK pada laki-laki dua kali lebih besar dibandingkan pada

perempuan dan kondisi ini terjadi hamper 10 tahun lebih dini pada laki-laki daripada

perempuan. Estrogen endogen bersifat protektif padaperempuan, namun setelah

menopause insidensi PJK meningkat dengan cepat dan sebanding dengan insidensi

pada laki-laki.Perokok mengalami menopause lebih dini dibandingkan dengan bukan

perokok.

Penggunaan kontrasepsi oral meningkatkan resiko PJK sebesar 3 kali lipat

tetapi beberapa bukti menunjukkan bahwa resiko dengan preparat generasi ketiga

terbaru lebih rendah.Tedapat hubungan sinergis antara penggunaan kontrasepsi oral

dan merokok, dengan resiko relatif infark miokard lebih dari 20:1.

Riwayat keluarga

Riwayat keluarga PJK pada keluraga yang langsung berhubungan darah yang

berusia kurang dari 70 tahun merupakkan faktor resiko independen untuk terjadinya

PJK, dengan rasio odd 2-4 kali lebin besar daripada populasi kontrol. Agregasi PJK

keluarga menandakan adanya predisposisi genetik pada keadaan ini. Terdapat

beberapa bukti bahwa riwayat keluarga yang positif dapat mempengaruhi usia onset

PJK pada kelurga dekat.

Ras

Insidensi kematian dini akibat PJK pada orang Asia yang tinggal di Inggris

lebih tinggi dibandingkan dengan populasi lokal, dan juga angka yang rendah pada ras

Afro-Karibian.

Geografi

Tingkat kematian akibat PJK lebih tinggi di Irlandia Utara, Skotlandia, dan

bagian utara Inggris, dan dapat merefleksikan perbedaan diet, kemurnian air,

merokok, struktur sosio-ekonomi, dan kehidupan urban.

Kelas sosial

Perbedaan sosio-ekonomi pada mortalitas PJK melebar, seperti tingkat

kematian dini akibat PJK 3 kali lebih tinggi pada pekerja kasar laki-laki terlatih

Page 9: ST-Elevation Myocard Infarc

dibandingkan dengan kelompok pekerja kelas profesi (dokter, pengacara). Selain itu,

frekuensi istri pekerja kasar paling tidak 2 kali lebih ttinggi mengalami kematian dini

akibat PJK daripada istri pekerja nonmanual.

Kepribadian*

Stress, baik fisik maupun mental, merupakan faktor resiko untuk PJK.Pada

masa sekarang, lingkungan kerja telah menjadi penyebab utama stress, dan terdapat

hubungan yang saling berkaitan antara stress dan abnormalitas metabolisme lipid.

Perilaku yang rentan terhadap terjadinya penyakit koroner antara lain sifat

agresif, kompetitif, kasar, sinis, keinginan untuk dipandang, keinginan untuk

mencapai sesuatu, gangguan tidur, kemarahan di jalan, dll.

Aktivitas fisik

Aktivitas aerobik teratur menurunkan resiko PJK, meksipun hanya 11% laki-

laki dan 4% perempuan memenuhi target pemerintah untuk berolahraga. Diperkirakan

sepertiga laki-laki dan duapertiga perempuan tidak dapat mempertahankan irama

langkah yang normal pada kemiringan gradual.Olahraga yang teratur berkaitan

dengan penurunan insidensi PJK sebesar 20-40%.

Pembekuan darah

Beberapa faktor pembekuan darah dapat mempengaruhi insidensi PJK,

termasuk kadar fibrinogen, aktivitas fibrinolitik endogen, viskositas darah, dan kadar

faktor VII dan VIII. Penghambat aktivator plasminogen-1 (PAI-1) tampak meningkat

pada beberapa asien dengan PJK.Peningkatan insidensi PJK pada pasien dengan

homosistinuria, yang merupakan kelainan resesif autosomal, terjadi karena gangguan

pembekuan.

Infeksi

Infeksi oleh Chlamidia pneumoniae, tampaknya berhubungan dengan adanya

penyakit koroner aterosklerotik.

2.1.4. Patofisiologi

Infark miokard akut (IMA), baik STEMI maupun NSTEMI, terjadi ketika iskemia

miokard cukup berat hingga menyebabkan nekrosis miokard2. Infark dapat dideskripsikan

Page 10: ST-Elevation Myocard Infarc

secara patologis melalui luasnya nekrosis yang terjadi pada otot miokardium. Infark

transmural terjadi bila seluruh ketebalan dari miokard mengalami nekrosis. Adanya oklusi

total dan berkepanjangan pada arteri koroner epikardium akan menyebabkan infark

transmural tersebut. Di sisi yang lain, infark subendokardium secara eksklusif melibatkan

lapisan terdalam dari miokard. Subendokardium merupakan daerah miokard yang rentan

terhadap iskemia karena zona ini terpapar dengan tekanan paling tinggi dari ruang ventrikel

jantung, mempunyai sedikit koneksi kolateral yang menyuplai daerah tersebut, dan

diperdarahi oleh pembuluh darah yang harus menembus lapisan-lapisan miokard yang

berkontraksi3.

Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST umumnya terjadi jika aliran darah

koroner menurun secara mendadak setelah oklusi trombus pada plak aterosklerotik yang

sudah ada sebelumnya. Stenosis arteri koroner berat yang berkembang secara lambat

biasanya tidak memicu STEMI karena berkembangnya banyak kolateral sepanjang waktu.

STEMI terjadi jika trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri vaskuler, di

mana injuri ini dicetuskan oleh faktor-faktor seperti merokok, hipertensi, dan akumulasi

lipid2.

Pada sebagian besar kasus, infark terjadi jika plak aterosklerosis mengalami fisur,

ruptur atau ulserasi, dan jika kondisi lokal atau sistemik memicu trombogenesis, sehingga

terjadi trombus mural pada lokasi ruptur yang mengakibatkan oklusi arteri koroner. Penelitian

histologis menunjukkan plak koroner cenderung mengalami ruptur jika mempunyai fibrous

cap yang tipis dan inti kaya lipid. Pada STEMI, gambaran patologis klasik terdiri dari fibrin

rich red thrombus, yang dipercaya menjadi dasar sehingga STEMI memberikan respons

terhadap terapi trombolitik2.

Selanjutnya pada lokasi ruptur plak, berbagai agonis (kolagen, ADP, epinefrin,

serotonin) memicu aktivasi trombosit, yang selanjutnya akan memproduksi dan melepaskan

tromboksan A2 (vasokonstriktor lokal yang poten). Selain itu aktivasi trombosit memicu

perubahan konformasi reseptor glikoprotein Iib/IIIa. Setelah mengalami konversi fungsinya,

reseptor mempunyai afinitas tinggi terhadap sekuen asam amino pada protein adhesi yang

larut (integrin) seperti faktor von Willebrand (vWF) dan fibrinogen, di mana keduanya adalah

molekul multivalen yang dapat mengikat 2 platelet yang berbeda secara simultan,

menghasilkan ikatan silang platelet dan agregasi2.

Kaskade koagulasi diaktivasi oleh pajanan tissue factor pada sel endotel yang rusak.

Faktor VII dan X diaktivasi, mengakibatkan konversi protrombin menjadi trombin, yang

Page 11: ST-Elevation Myocard Infarc

kemudian mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin. Arteri koroner yang terlibat kemudian

akan mengalami oklusi oleh trombus yang terdiri dari agregat trombosit dan fibrin2.

Pada kondisi yang jarang, STEMI dapat juga disebabkan oleh oklusi arteri koroner

yang disebabkan oleh emboli koroner, abnormalitas kongenital, spasme koroner, dan

berbagai penyakit inflamasi sistemik2.

Infark merepresentasikan kulminasi dari kaskade kejadian yang berbahaya, yang

diinisiasikan oleh iskemia, yang berkembang dari fase yang potensial reversibel ke fase

kematian sel yang ireversibel. Miokard yang disuplai secara langsung oleh pembuluh darah

yang tersumbat akan segera mati. Jaringan di sekitar daerah yang nekrosis mungkin tidak

akan segera nekrosis karena jaringan tersebut mungkin cukup diperfusikan oleh pembuluh

darah sekitar yang masih baik. Akan tetapi, sel-sel sekitar lainnya dapat menjadi iskemik

seiring waktu, akibat kebutuhan akan oksigen tetap berlangsung meski suplai oksigen

menurun, dan regio infark dapat meluas ke arah luar3.

Luas jaringan yang mengalami infark sangat berhubungan dengan (1) luasnya

miokard yang diperdarahi oleh pembuluh darah yang tersumbat, (2) intensitas dan durasi

gangguan aliran darah koroner, (3) kebutuhan oksigen dari regio miokard yang bersangkutan,

(4) jumlah pembuluh darah kolateral yang memberikan aliran darah dari arteri koroner sekitar

yang tidak tersumbat, dan (5) dan tingkat respon jaringan yang memodifikasi proses

iskemik3.

Perubahan patofisiologi yang terjadi selama infark muncul dalam 2 tingkatan:

perubahan awal pada saat infark akut dan perubahan lambat selama penyembuhan

danremodeling miokard3.

Perubahan awal mencakup evolusi histologik infark dan dampak fungsional

penurunan oksigen terhadap kontraktilitas miokard. Perubahan tersebut berkulminasi pada

nekrosis koagulatif miokard dalam 2 – 4 hari3.

Akibat penurunan kadar oksigen pada miokard (hipoksia miokard) yang diperdarahi

oleh pembuluh darah koroner yang tersumbat secara tiba-tiba, timbul perubahan yang cepat

dari metabolisme aerob ke metabolisme anaerob. Peningkatan metabolisme anaerob akan

menyebabkan akumulasi asam laktat. Kadar H+ intraseluler akan meningkat. Hal ini akan

menyebabkan penggumpalan kromatin dan denaturasi sel otot jantung, dan akhirnya berujung

pada kematian sel otot jantung3.

Keadaan hipoksia miokard juga akan menurunkan ATP. Penurunan ATP akan

mengganggu Na+-K+-ATPase sehingga terjadi peningkatan konsentrasi Na+ intraseluler dan

K+ ekstraseluler. Peningkatan Na+ intraseluler akan menyebabkan edema seluler. Kebocoran

Page 12: ST-Elevation Myocard Infarc

membran dan peningkatan konsentrasi K+ ekstraseluler akan menyebabkan perubahan pada

potensial listrik transmembran, dan hal ini menjadi predisposisi aritmia letal miokard. Ca++

intraseluler berakumulasi pada miosit yang rusak dan diduga berkontribusi pada jalur akhir

destruksi sel melalui aktivasi lipase dan protease yang mampu mendegradasi3.

Secara kolektif, perubahan metabolik ini menurunkan fungsi miokard 2 menit setelah

trombus terbentuk. Tanpa intervensi, cedera sel yang ireversibel terjadi dalam 20 menit dan

ditandai dengan peningkatan defek membran. Enzim proteolitik yang bocor melalui membran

miosit yang berubah akan merusak miokard sekitarnya, dan lepasnya makromolekul tertentu

ke dalam sirkulasi dapat digunakan sebagai penanda klinis dari infark akut3.

Edema miokard berkembang dalam 4 – 12 jam akibat peningkatan permeabilitas

vaskuler dan peningkatan tekanan onkotik interstisial (akibat kebocoran protein intraseluler).

Perubahan histologik paling awal dari cedera ireversibel adalah wavy myofibres, yang muncul

sebagai edema interseluler yang memisahkan sel miokard. Contraction bands dapat dilihat

dekat batas dari infark3.

Suatu respon inflamasi akut, dengan infiltrasi neutrofil, terjadi sekitar 4 jam dan

mempercepat kerusakan jaringan lebih lanjut. Dalam 18 – 24 jam, nekrosis koagulasi jelas

terjadi dengan inti piknotik dan sitoplasma eosinofilik yang lunak3.

Perubahan morfologis yang besar belum akan muncul hingga 18 – 24 jam setelah

oklusi koroner. Umumnya, iskemia dan infark dimulai dari subendokardium dan kemudian

meluas ke arah lateral dan luar menuju epikardium3.

Perubahan patologis lambat pada IMA terdiri dari (1) pembersihan miokard yang

nekrotik dan (2) deposisi kolagen untuk membentuk jaringan parut3.

Perubahan fungsional yang terjadi pada miokard akibat IMA antara lain (1) gangguan

kontraktilitas dan komplians jantung, (2) stunned myocardium, (3)ischemic preconditioning,

dan (4) remodeling ventrikel3.

2.1.5. Diagnosis

Diagnosis STEMI, sesuai dengan kriteria WHO, ditegakkan berdasarkan anamnesis

nyeri dada yang khas dan gambaran EKG adanya elevasi segmen ST > 2 mm, minimal pada 2

sadapan prekordial yang berdampingan atau > 1 mm pada 2 sadapan ekstremitas.

Pemeriksaan enzim jantung, terutama troponin T yang meningkat memperkuat diagnosis.

Akan tetapi, keputusan memberikan terapi revaskularisasi tidak perlu menunggu hasil

pemeriksaan enzim, mengingat dalam tatalaksana infark miokard akut, prinsip utama

penatalaksanaan adalah time is muscle2.

Page 13: ST-Elevation Myocard Infarc

2.1.6. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan dalam mendiagnosis STEMI:

1. EKG

Perubahan EKG pada STEMI meliputi hiperakut T, elevasi segmen-ST yang diikuti

terbentuknya gelombang Q patologis, kembalinya segmen-ST pada garis isoelektris, dan

inversi gelombang T. Terbentuknya bundle branch block baru atau yang dianggap baru,

yang menyertai nyeri dada yang khas merupakan juga kriteria diagnostik IMA.

Pada penderita dengan EKG normal namun diduga kuat menderita IMA, pemeriksaan

EKG 12 sadapan harus diulang dengan jarak waktu yang dekat dimana diperkirakan telah

terjadi perubahan EKG. Pada keadaan seperti ini perbandingan dengan EKG sebelumnya

dapat membantu diagnosis.

Pada penderita dengan infark inferior, harus dicurigai kemungkinan infark posterior dan

infark ventrikel kanan. Karena itu, pemeriksaan EKG pada sadapan V3R-V4R dan V7-V9

harus dikerjakan1.

Lokalisasi infark berdasarkan lokasi letak perubahan EKG4, yaitu:

Lokasi Lead Perubahan EKG

Anterior V1 – V4 ST elevasi, Gelombang Q

Anteroseptal V1 – V3 ST elevasi, Gelombang Q

Anterior ekstensif V1 – V6 ST elevasi, Gelombang Q

Posterior V1 – V2 ST depresi, Gelombang R tinggi

Lateral I, aVL, V5 – V6 ST elevasi, Gelombang Q

Inferior II, III, aVF ST elevasi, Gelombang Q

Ventrikel kanan V4R, V5R ST elevasi, Gelombang Q

2. Enzim Jantung

Enzim-enzim jantung yang digunakan sebagai penanda IMA:

Creatine Kinase-Myocardial Base (CK-MB)

Troponin I dan Troponin T

Creatine Kinase (CK)

Page 14: ST-Elevation Myocard Infarc

Aspartate amino-transferase (AST)

Lactate dehydrogenase (LDH)

Mioglobin

Enzim jantung yang paling spesifik adalah troponin dan CK-MB. Kadar mioglobin serum

meningkat segera setelah terjadi IMA, tetapi enzim ini tidak spesifik. Peningkatan

Troponin T atau I pada sekali pengukuran sudah merupakan diagnosis IMA. Diagnosis

IMA berdasarkan CK-MB harus didasarkan atas peningkatan yang diikuti penurunan.

Kadar enzim yang terus menerus meningkat bukan merupakan diagnosis IMA1.

Grafik Evolusi Biomarker Jantung dalam Serum saat IMA

3. Modalitas Diagnostik Lain

Teknik pencitraan seperti ekokardiografi atau teknik radionuclide merupakan sarana

diagnostik yang berguna dalam menegakkan diagnosis pasien dengan keluhan nyeri dada

yang akut. Modalitas ini berguna untuk (1) menyingkirkan atau menegakkan diagnosis

infark atau iskemia, (2) mengidentifikasi sebab-sebab nyeri dada non-iskemik seperti

penyakit jantung katup, emboli paru, diseksi aorta, dll, (3) mengidentifikasi komplikasi

mekanik IMA, (4) mendapatkan informasi yang berhubungan dengan prognosis1.

2.1.7. Diagnosis Banding

Diagnosis banding nyeri dada pada STEMI adalah perikarditis akut, emboli paru,

diseksi aorta akut, kostokondritis, dan gangguan gastrointestinal. Nyeri dada tidak selalu

Page 15: ST-Elevation Myocard Infarc

ditemukan pada STEMI. STEMI tanpa nyeri dada lebih sering dijumpai pada diabetes

mellitus dan usia lanjut2.

Pada pemeriksaan fisik, adanya kombinasi nyeri dada dan keringat dingin dicurigai

kuat adanya STEMI. Sekitar ¼ pasien infark anterior mempunyai manifestasi hiperaktivitas

saraf simpatis (takikardia) dan hampir ½ pasien infark inferior menunjukkan hiperaktivitas

parasimpatis (bradikardia)2.

2.1.8. PENATALAKSANAAN

PENANGANAN PRA RUMAH SAKIT

Tindakan yang harus segera dilakukan jika terdapat penderita dicurigai mengalami IMA yaitu 6,7:

1. Masyarakat umum

Segera mencari pertolongan medis ke rumah sakit terdekat.Jangan mengendarai

kendaraan sendiri.Jika tidak alergi, segera kunyah dan telan 300 mg aspirin.

2. Dokter Umum

Berikan 300 mg aspirin, nitrat sublingual, lakukan pemeriksaan EKG, memasang akses

intravena, dan atasi nyeri dengan opiat (2,5-5 mg morfin). Minta keluarga atau teman

untuk menghubungi ambulan untuk segera membawa pasien ke rumah sakit terdekat.

3. Pasien Jantung Koroner

Segera minum nitrat sublingual pada saat nyeri dada dan dapat diulang sampai 3 kali

dengan interval 5 menit. Jika nyeri dada menetap dalam waktu 15 menit, pasien harus

segera dibawa ke rumah sakit.

4. Petugas Kesehatan

Menanyakan keluhan pasien, catat alamat dan nomor telepon, meminta pihak keluarga

untuk menunggu di tempat strategis, segera berangkatkan ambulan dengan minimal 2

paramedis yang terlatih, pasien harus diberikan oksigen, aspirin, pasang infus, dan segera

dibawa ke rumah sakit.

PENANGANAN DI RUMAH SAKIT

Tatalaksana di IGD pada pasien pasien yang dicurigai STEMI yaitu 6,7:

1. Penilaian dan stabilisasi hemodinamik.

2. Monitoring EKG.

3. Berikan aspirin 150-300 mg (dikunyah atau dihancurkan sebelum diberikan, sehingga

efek kerjanya cepat).

Page 16: ST-Elevation Myocard Infarc

4. Berikan oksigen nasal atau sungkup.

5. Berikan nitrat sublingual (kecualii tekanan darah sistolik < 90 mmHg).

6. Pasang akses intravena, mengambil sampel darah untuk pemeriksaan enzim jantung,

pemeriksaan darah lengkap, fungsi ginjal, gula darah dan profil lipid.

7. Atasi nyeri dengan morfin 2-5 mg intravena dan dapat diulang dengan interval 5-15 menit

sampai rasa nyeri hilang. Jika timbul tanda-tanda intoksikasi dapat diberikan antiemetik

(metoclopramide 10 mg atau promethazine 25 mg).

8. Hindari injeksi intramuskular karena dapat menyebabkan perdarahan.

9. Nilai kemungkinan dilakukannya reperfusi, baik dengan trombolitik maupun dengan

primary PCTA.

Terapi Trombolitik

Indikasi terapi trombolitik adalah sebagai berikut 6,7:

1. Gejala yang sesuai dengan IMA

2. Perubahan EKG

ST elevasi > 0,1 mm pada minimal 2 sadapan yang berdekatan. Gambaran bundle branch

block baru atau diduga baru

3. Onset nyeri dada

< 6 jam : sangat bermanfaat

6-12 jam : bermanfaat

> 12 jam : tidak bermanfaat, kecuali pada penderita dengan iskemia yang berlanjut

Jenis-jenis Obat Trombolitik

Obat Trombolitik Mutakhir dalam Pengobatan STEMI

Streptokinase Alteplase (rt-PA) Tenecteplase (TNK-PA)

T ½ (menit) 15-25 4-8 17-20

Alergenik Ya Tidak Tidak

Page 17: ST-Elevation Myocard Infarc

Spesifik fibrin - + ++

Resisten PAI-1 - - +

Bolus Tidak Tidak Satu

Dosis 1,5 juta unit lebih

dari 30-60 menit

15 mg bolus, dilanjutkan

dengan 0,75 mg/kg (max

50 mg) lebih dari 30

menit, dilanjutkan 0,5

mg/kg (maks 35 mg)

lebih dari 1 jam

berdasarkan BB

< 60 kg 30 mg

60-69 kg 35 mg

70-79 kg 40 mg

80-89 kg 45 mg

> 90 kg 50 mg

Penundaan terapi trombolitik dapat mengurangi miokardium yang seharusnya dapat

terselamatkan.Terapi trombolitik tidak boleh diberikan pada infark non-st elevasi.

Kontraindikasi pada terapi trombolitik terbagi atas dua, yaitu 6,7:

1. Kontraindikasi absolut

Strok hemoragik yang terjadi dalam 1 tahun terakhir.

Neoplasma intracranial.

Perdarahan internal aktif (tidak termasuk menstruasi).

Suspek diseksi aorta.

2. Kontraindikasi relatif

Hipertensi berat (tekanan darah > 180/110 mmHg).

Riwayat kejadian serebrovaskular atau kelainan intraserebral.

Penggunaan antikoagulan dalam dosis terapi (INR 2-3).

Trauma yang baru terjadi dalam 2-4 minggu atau resusitasi jantung lebih dari 10

menit atau operasi besar kurang dari 3 minggu.

Pungsi pembuluh darah yang tidak dapat dikompresi.

Perdarahan internal dalam 2-4 minggu terakhir.

Penggunaan streptokinase sebelumnya (terutama 5 hari sampai 2 tahun) atau riwayat

alergi terhadap streptokinase.

Kehamilan.

Tukak lambung.

Riwayat hipertensi kronik yang berat.

Page 18: ST-Elevation Myocard Infarc

Komplikasi Trombolitik 6,7

1. Perdarahan

Jika terjadi perdarahan, tindakan yang harus diambil adalah hentikan trombolitik, berikan

FFP (Fresh Frozen Plasma) 2-4 unit, dan berikan asam traneksamin (10 mg/kgBB) IV

perlahan-lahan.Dapat diulangi setelah 30 menit bila diperlukan.

2. Hipotensi

Jika terjadi hipotensi posisikan pasien dengan letak kepala lebih rendah dan kaki

terangkat, berikan cairan secara hati-hati, berikan inotropik (dopamin) jika diperlukan,

dan hentikan trombolitik bila hipotensi tidak bias diatasi dengan terapi diatas.

3. Reaksi Alergi

Jika terjadi alergi dapat ditanggulangi dengan pemberian steroid atau antihistamin.

Indikasi Keberhasilan Reperfusi 6,7

1. Berkurangnya rasa nyeri.

2. Kembalinya ST elevasi ke garis isoelektrik lebih cepat dari waktu evolusi atau

menurunnya ST elevasi > 50% pada saat selesainya trombolitik.

3. Kadar CK yang lebih cepat mencapai nilai puncak.

Kegagalan Trombolisis 6,7

Kegagalan trombosis ditandai dengan berlanjutnya nyeri dada dan menetapnya ST elevasi.

Pada keadaan ini dapat dipertimbangkan rescue PTCA dan jika tidak memungkinkan

sebaiknya trombolisis diulangi dengan dosis yang sama. Primary PTCA terbukti memiliki

keberhasilan membuka dan mempertahankan patensi arteri koroner yang tersumbat dibanding

trombolitik.Tindakan ini sebagai alternatif reperfusi dan tidak dianjurkan jika door to needle

time melebihi 60-90 menit.

PENANGANAN DI ICCU/ICVCU 6,7

1. Tindakan Umum

Istirahat total di temapt tidur dilakukan minimal 12 jam dan dianjurkan mobilisasi dini

pada pasien infark tanpa komplikasi.

2. Monitoring

Keadaan umum, tanda-tanda vital, pulse oximetry dan EKG harus dimonitor secara

kontinu untuk mengantisipasi komplikasi.

Page 19: ST-Elevation Myocard Infarc

3. Farmakoterapi

Pemberian oksigen 2-4 liter/menit cukup untuk mempertahankan saturasi oksigen

diatas 95%.

Aspirin harus diberikan kepada semua pasien IMA dan harus diteruskan seumur

hidup. Aspirin diberikan dengan dosis awal 160-325 mg dan diteruskan dengan dosis

75-325 mg/hari. Pada penderita yang alergi atau tidak dapat mentolelir efek samping

aspirin dapat diberikan ticlopidin 2x250 mg atau clopidogrel dengan dosis awal 300

mg diikuti 75 mg/hari.

Penyekat Beta

Penyekat beta intravena sangat bermanfaat pada pasien dengan hipertensi dan

takikardi.Pemberian penyekat beta harus diteruskan minimal selama 2 tahun.

Cara Pemberian Dosis

Metoprolol Intravena 5-15 mg

Metoprolol Oral 2 x 25-100 mg

Atenolol Oral 1 x 25-100 mg

Propanolol Oral 3 x 20-80 mg

Bisoprolol Oral 1 x 5-10 mg

Carvedilol Oral 1 x 25-50 mg

ACE Inhibitor

Pemberian ACE Inhibitor segera (24 jam) setelah IMA terbukti memperbaiki angka

harapan hidup. ACE Inhibitor diberikan jika tekanan darah stabil dan tetap diatas 100

mmHg. Keuntungan ACE Inhibitor terutama terlihat pada pasien gagal jantung, infarc

anterior, dan disfungsi ventrikel kiri.

Dosis awal Target

Page 20: ST-Elevation Myocard Infarc

Captopril 3 x 6,25 mg 3 x 25-50 mg

Ramipril 2 x 2,5 mg 2 x 5 mg

Enaplapril 1 x 2,5-5 mg 1 x 10 mg

Lisinopril 1 x 5 mg 1 x 10 mg

Quinapril 2 x 5 mg 2 x 10-20 mg

Trandoplapril 0,5 mg 1 x 4 mg

Fosinopril 1 x 10 mg 1 x 40 mg

Perindopril 1 x 2 mg 1 x 4 mg

Nitrat

Pada fase akut, nitrat intravena dapat digunakan karena kerjanya yang cepat, dosisnya

mudah dititrasi dan dapat dihentikan dengan cepat apabila terjadi efek samping.

Setelah 48 jam, nitrat oral atau topikal dapat diteruskan jika pasien masih mengalami

angina, gagal jantung, atau IMA yang luas.

Preparat Cara pemberian Dosis Mula kerja

Nitrogliserin,

gliseril trinitral

Intravena 5-200 µg/menit 1 menit

Sublingual

0,3-0,6 mg, dapat

diulangi sampai 5

kali dengan interval

5 menit

2 menit

Transdermal

0,2-0,8 mg dalam

12 jam. 12 jam

berikutnya dilepas.

1-2 jam

Isosorbid dinitratIntravena 1,25-5,0 mg/jam 1 menit

Sublingual 2,5-10 mg 3-4 menit

Isosorbid

mononitratOral

20-30 mg, 2-3

x/hari hingga 120

mg/hari

30-60 detik

Antagonis kalsium

Golongan obat ini dapat digunakan sebagai terapi tambahan pada penderita dengan

nyeri dada iskemik yang berlanjut.

Antitrombotik

Page 21: ST-Elevation Myocard Infarc

Heparin diindikasikan untuk:

Pasien yang mendapat trombolitik dengan tPA.

Angina pasca infark.

Pasien yang mendapat streptokinase namun mempunyai resiko tromboemboli

tinggi, seperti fibrilasi atrium, thrombus intramural, dan lain-lain.

Pasien dengan STEMI yang tidak mendapat terapi fibrinolitik (datang > 12 jam,

ada kontraindikasi, dan lain-lain).

Pasien yang akan dilakukan PTCA.

Heparin dapat diberikan dalam bentuk unfractionated heparin atau low molecular

weight heparin. Unfractionated heparin diberikan 5.000 unit bolus dilanjutkan

dengan 1.000 unit/jam. Dosis heparin diteruskan sampai target aPTT 1,5-2 x nilai

normal.

Antagonis reseptor glikoprotein IIb/IIIa

Golongan obat ini sedang diuji pada uji klinis sebagai terapi adjuvan trombolitik.

Percutaneous Coronary Intervention (PCI) 8

Intervensi koroner perkutan, biasanya angioplasti dan/atau stenting tanpa didahului

fibrinolisis disebut PCI primer. PCI ini efektif pada STEMI jika dilakukan dalam beberapa

jam pertama infark miokard akut. Dibandingkan trombolisis, PCI primer lebih dipilih jika

terdapat syok kardiogenik (terutama pasien < 75 tahun) resiko perdarahan meningkat, atau

gejala sudah ada sekurang-kurangnya 2 atau 3 jam jika bekuan darah lebih matur dan kurang

mudah hancur dengan obat fibrinolisis.

Operasi Bedah Pintas Koroner Darurat (URGENT CABG) 6,7

Operasi bedah pintas koroner darurat sangat dianjurkan apabila:

Nyeri dada/iskemia terus berlanjut

Hemodinamik tidak stabil

Pasien pasien ini harus ditangani dengan agresif dengan pemasangan IABP.Secara umum,

angka mortalitas pada pasien-pasien ini sangat tinggi.

2.1.9. KOMPLIKASI8

1. Takiaritmia

Fibrilasi ventrikel (VF)

Page 22: ST-Elevation Myocard Infarc

Fibrilasi ventrikel atau takikardia ventrikel pulseless diberikan terapi DC

shockunsynchoronized dengan energi awal 200 J. Jika tidak berhasil harus diberikan

shock kedua 200-300 J dan jika perlu shock ketiga 360 J. Fibrilasi ventrikel atau

takikardia ventrikel pulseless yang refrakter terhadap syok elektrik diberikan terapi

amiodaron 300 mg atau 5 mg/kgBB, IV bolus dilanjutkan dengan

shockunsynchoronized.

Takikardia ventrikel (VT)

Takikardia ventrikel polimorfik yang menetap (lebih dari 30 detik atau

menyebabkan kolaps hemodinamik) harus diterapi dengan DC

shockunsynchoronized dengan energi awal 200 J. Jika tidak berhasil harus

diberikan shock kedua 200-300 J dan jika perlu shock ketiga 360 J.

Takikardia ventrikel monomorfik yang menetap diikuti dengan angina edema

paru, atau hipotensi harus diterapi dengan terapi DC synchoronized energi awal

100 J.

Kontraksi ventrikel prematur (VES)

Aritmia ini biasanya ringan dan tidak membutuhkan terapi.Koreksi iskemia, hipoksia,

dan ketidakseimbangan elektrolit.

Accelerated Idioventricular Rhythm

Tidak membutuhkan terapi.

Fibrilasi atrium

Fibrilasi atrium dan fluter atrial pada pasien dengan gangguan hemodinamik harus

diterapi dengan 1 atau lebih cara berikut:

1. Kardioversi synchronizeddengan shock 200 J untuk fibrilasi atrial dan 50 J

untuk fluter atrial.

2. Jika tidak respon terhadap kardioversi elektrik dapat digunakan 1 atau lebih

obat farmakologi berikut: amiodaron IV dan digoksin IV.

Fibrilasi atrium dan fluter atrial pada pasien tanpa gangguan hemodinamik harus

diterapi dengan 1 atau lebih obat berikut: penyekat beta, diltiazem atau verapamil

IV, dan kardioversi synchronized dengan shock 200 J untuk fibrilasi atrial dan 50

J untuk fluter.

2. Bradiaritmia

Sinus bradiaritmia dan blok

Page 23: ST-Elevation Myocard Infarc

Bradikardia sinus simptomatik, sinus pauses> 3 detik atau bradikardia dengan

frekuensi jantung < 40 x permenit disertai hipotensi dan tanda gangguan

hemodinamik sistemik diberikan terapi atropin 0,5-1 mg. Jika bradikardia menetap

dan dosis atropin sudah mencapai 2 mg, harus diberikan pacu jantung transkutaneus

atau transvenous.

3. Syok kardiogenik

Terapi O2.

Jika tekanan darah sistolik < 70 mmHg dan terdapat tanda syok, diberikan

norepineprin.

Jika tekanan darah sistol < 90 mmHg dan terdapat tanda syok diberikan dopamin

dosis 5-15 µg/kgBB/menit.

Jika tekanan darah < 90 mmHg, namun tidak terdapat tanda syok, diberikan

dobutamin dosis 2-20 µg.

Revaskularisasi arteri koroner segera baik PCI atau CABG.

Terapi trombolitik diberikan pada pasien STEMI dengan syok kardiogenik yang tidak

ideal untuk terapi invasif dan tidak mempunyai kontraindikasi trombolisis.

Intra Aortic Ballon Pump (IABP)direkomendasikan pada pasien STEMI dengan syok

kardiogenik yang tidak membaik.

4. Edema paru akut

Terapi O2.

Morfin sulfat diberikan 2,5 mg IV, dapat diulang tiap 5-10 menit sampai dosis total 20

mg.

Inhibitor ACE dimulai dengan dosis awal rendah (6,2 mg captopril).

Nitrogliserin diberikan peroral 0,4-0,6 mg tiap 5-10 menit, kemudian IV 10-20 µg

kecuali tekanan darah sistolik < 100 mmHg atau >30 mmHg dibawah baseline.

Diberikan furosemide 40-80 mg bolus IV, dapat diulang atau dosis ditingkatkan

setelah 4 jam, atau dilanjutkan dengan drip kontinu sampai mencapai produksi urin 1

ml/kgBB/jam.

Penyekat beta harus diberikan sebelum pulang untuk pencegahan sekunder.

Antagonis aldosteron jangka panjang harus diberikan pada pasien STEMI tanpa

disfungsi ginjal bermakna.

Page 24: ST-Elevation Myocard Infarc

5. Infark ventrikel kanan

Pertahankan preload ventrikel kanan.

Loading volume (Infus NaCl 0,9%): 1-2 liter cairan jam I selanjutnya 200 ml/jam

(target tekanan atrium kanan > 10 mmHg).

Hindari penggunaan nitrat dan diuretik.

Pertahankan sinkroni A-V dan bradikardia harus dikoreksi.

Pacu jantung sekuensial A-V pada blok jantung derajat tinggi simtomatik yang tidak

respon dengan atropin.

Diberikan inotropik jika curah jantung tidak meningkat setelah loading volume.

Kurangi afterload ventrikel kanan sesuai dengan disfungsi ventikel kiri.

Pompa balon intra aortik.

Vasodilator arteri (nitropruspid, hidralazin).

Penghambat ACE.

Reperfusi.

Obat trombolitik.

Percutaneus Coronary Intervention(PCI) primer.

Coronary Artery Bypass Graft (CABG).

6. Perikarditis

Berikan aspirin 3-4 x 600 mg.

Indometacin, ibuprofen.

Kortikosteroid.

2.1.10 PENCEGAHAN SEKUNDER 6,7

1. Berhenti merokok.

2. Diet rendah garam, asam lemak jenuh, kolesterol, dan tinggi serat (20-30 gr/hari).

3. Olahraga 3-4 kali seminggu dengan durasi 30-60 menit.

4. Aspirin harus diberikan 75-300 mg/hari seumur hidup, kecuali terdapat kontraindikasi

dapat diberikan ticlopidin atau clopidogrel.

5. Penyekat beta harus diberikan pada semua pasien IMA dengan hemodinamik stabil.

6. ACE inhibitor diberikan pada penderita IMA seumur hidup, jika terdapat kontraindikasi

dapat dipertimbangkan penggunaan ARB.

Page 25: ST-Elevation Myocard Infarc

7. Pasien dengan kadar kolesterol tinggi sebaiknya diberikan golongan statin, sedangkan

pasien dengan kadar LDL normal (< 100 mg/dl) dan HDL rendah (<40 mg/dl) sebaiknya

diberikan golongan fibrat.

8. Obat-obat antagonis kalsium dan nitrat diberikan untuk terapi simtomatik iskemia.

9. Terapi antikoagulan jangka panjang diberikan pada pasien dengan fibrilasi atrium.

2.1.11. PROGNOSIS

Ada beberapa sistem untuk menentukan prognosis pasca IMA 8

5. Klasifikasi Killip

Kelas Definisi Mortalitas (%)

I tidak ada tanda gagal jantung kongestif 6

II + S3 dan atau ronki basah 17

III edema paru 30-40

IV syok kardiogenik 60-80

6. Klasifikasi Forrester

KelasIndeks Kardiak

(L/min/m2)PCWP (mmHg) Mortalitas (%)

I > 2,2 < 18 3

II > 2,2 > 18 9

III < 2,2 < 18 23

IV < 2,2 > 18 51

3. Timi risk score

Adalah sistem prognostik paling akhir yang menggabungkan anamnesis sederhana dan

pemeriksaan fisik yang dinilai pada pasien STEMI yang mendapat terapi trombolitik.

Faktor resiko (bobot) Skor resiko/mortalitas 30 hari (%)

Page 26: ST-Elevation Myocard Infarc

usia 65-74 tahun (2 poin) 0 (0,8)

usia> 75 tahun (3 poin) 1 (1,6)

diabetes mellitus/ hipertensi atau angina (1

poin)2 (2,2)

tekanan darah sistolik < 100 mmHg (3 poin) 3 (4,4)

frekuensi jantung > 100 x permenit (2 poin) 4 (7,3)

klasifikasi killip II-IV (2 poin) 5 (12,4)

berat badan < 67 kg (1 poin) 6 (16,1)

elevasi ST anterior atau LBBB (1 poin) 7 (23,4)

waktu ke reperfusi > 4 jam (1 poin) 8 (26,8)

skor resiko = total poin (0-14) > 8 (35,9)

BAB 3

LAPORAN KASUS

CATATAN MEDIS PASIEN

Nama pasien : Tn. N. Pasaribu

Umur : 49 Tahun

Jenis kelamin : Laki-Laki

Page 27: ST-Elevation Myocard Infarc

Pekerjaan :wiraswata

Alamat : Desa Simorangkir

Agama : Kristen

Tanggal Masuk : 15 April 2011

________________________________________________________________________

Keluhan Utama : Nyeri dada

Anamnese :

- Hal ini dialami pasien sejak 3 hari yang lalu SMRS. Nyeri dirasakan seperti terbakar

didada dan menjalar ke rahang bawah. Awalnya nyeri dirasakan setelah pasien

berkebun. Nyeri tersebut tidak berkurang dengan istirahat. setelah 4 jam os merasakan

nyeri, os berobat ke praktek dokter umum di tarutung dan dinyatakan menderita sakit

jantung. Kemudian os dirujuk ke Rumah Sakit swasta di Medan. Kemudian os berobat

ke praktek dokter P. Manik Sp. JP dan oleh dokter tersebut os dirujuk ke RS HAM.

Pasien sebelumnya telah diberikan obat untuk nyeri dadanya oleh dokter ditarutung.

Keringat dingin tidak dijumpai. Pasien mengeluh mual selama serangan,muntah (-).

Perasaan berdebar-debar tidak pernah dirasakan os. Pasien juga tidak pernah

merasakan sesak nafas. Keluhan nyeri dada ini baru pertama kali dialami os. Pasien

tiba di IGD RS HAM dengan keluhan nyeri dada.

- Riwayat merokok dijumpai sejak kira-kira 25 tahun lalu, setengah bungkus per hari.

Os sudah 8 tahun terakhir berhenti merokok. Konsumsi alcohol dan tuak dijumpai.

Riwayat sakit asam urat (+)

- Berat badan : 95 kg ; tinggi badan : 176 cm

Faktor resiko PJK : laki-laki, obesitas

Riwayat Penyakit Terdahulu :asam urat

Riwayat Pemakaian Obat :Tidak jelas

PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan Umum : lemah Sianosis : (-)

Status presen : Compos Mentis Orthopnoe : (-)

Tekanan darah : 100/60 mmHg Dispnoe : (-)

HR : 85 x/i Ikterus : (-)

RR : 24x/i Oedema : (-)

Temp : 36,5ºC Anemia : (-)

Page 28: ST-Elevation Myocard Infarc

Kepala : mata : anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), RC (+/+) pupil isokor ka=ki

Leher : JVP R+2 cmH2O

Thorax : Inspeksi : Simetris fusiformis

Palpasi : SF ka = ki, kesan normal

Perkusi : sonor di kedua lapangan paru

Auskultasi : vesikuler

Jantung : Batas atas : ICS III sinistra

Batas kanan :Linea parasternal dextra

Batas kiri :LMCS 1cm medial ICR V

: S1 (N), S2 (N), S3 (-), S4 (-) Regulitas: reguler

Murmur (-)

Punctum maximum :- Radiasi : -

Paru : SP : vesikuler

ST :-

Abdomen : Palpasi : soepel H/L/R : tidak teraba

Asites : (-)

Ekstremitas : Superior : sianosis (-), clubbing finger (-)

Inferior : oedema pretibial (-), pulsasi arteri (+/+), akral hangat

GAMBARAN EKG

Page 29: ST-Elevation Myocard Infarc

INTERPRETASI EKG

Sinus rytme, QRS rate: 64x/i, QRS axis= normoaxis, P wave: (+) normal, QRS duration :

0,08”, PR interval : 0,16”, ST-elevasi : III, AVF, Q Path. : III, AVF, LVH (-), RVF (-), VES

(-).

KESAN :SR + STEMI inferior

FOTO THORAX

Page 30: ST-Elevation Myocard Infarc

INTERPRETASI FOTO THORAX

CTR: 50%, Segemen Aorta dan pulmonal : Normal, , Pinggang Jantung : (-), Apex

downward, Kongesti (+), Infiltrat (-).

KESAN :normal

HASIL LABORATORIUM

Page 31: ST-Elevation Myocard Infarc

Darah Lengkap :

- Hb :17 g %

- Eritrosit :5, 92 x 106/mm3

- Leukosit :14,4 x 103/mm3

- Hematokrit :52,9 %

- Trombosit :223 x 103/mm3

AGDA :

- pH : 7,425

- pCO2 : 32,1 mmHg

- pO2 : 108,9 mmHg

- HCO3 : 21,3 mmol/L

- Total CO2 :21,5 mmol/L

- BE : -2,6 mmol/L

- SaO2 : 98,2%

Faal Hati

- SGOT : 130 U/L

- SGPT : 46 U/L

Troponin – T : 1,8

Glukosa darah sewaktu : 142 mg/dL

Ginjal

- Ureum : 36 mg/dL

- Kreatinin : 0,72 mg/dL

Elektrolit serum

- Natrium (Na) : 127 mEq/L

- Kalium (K) : 4,8 mEq/L

- Klorida (Cl) : 111 mEq/L

DIAGNOSA

Page 32: ST-Elevation Myocard Infarc

Diagnosis kerja :STEMI inferior onset 2 hari killip I TIMI risk 2/14

Fungsional :

Anatomi :

Etiologi :

PENGOBATAN

Bedrest semifowler

O2 2-4 L/I

Inj. Lovenox 0,6 cc/12 jam (5 hari)

Plavix 4 tab, selanjutnya 1x 75 mg

Aspilet 2 tab, selanjutya 1x 80 mg

ISDN 3x5mg k/p

Simvastatin 1x40mg

Captopril 3x6,25mg

RENCANA PEMERIKSAAN SELANJUTNYA

• Lipid profile

• KGD N/2 jam PP

• Echocardiography

• Angiografi koroner

PROGNOSIS

Vitam : dubia ad bonam

Functionam : dubia ad bonam

Sanactionam : dubia ad bonam

FOLLOW UP

Page 33: ST-Elevation Myocard Infarc

Follow up 16-17 april 2011

S: nyeri dada(-)

O: Sens : CM, TD : 100/60 mmHg, HR :65x/i, RR: 28x/i, Temp: 37oC

Kepala : anemis (-/-), ikterik (-/-)

Leher : TVJ R + 2 cmH2O

Cor : S1(N) , S2 (N), Murmur (-)

Pulmo : SP :vesikuler, ST : -

Abd : Soepel, Hepar/ lien = ttb

Eks : Edema pretibial (-), akral hangat

A: STEMI inferior onset 2 hari killip I TIMI risk 2/14

P: -Bedrest semifowler

O2 2-4 L/I

Inj. Lovenox 0,6 cc/12 jam (5 hari)

Plavix 4 tab, selanjutnya 1x 75 mg

Aspilet 2 tab, selanjutya 1x 80 mg

ISDN 3x5mg k/p

Simvastatin 1x40mg

Captopril 3x6,25mg

Follow up 18 april 2011

Page 34: ST-Elevation Myocard Infarc

S: nyeri dada (-)

O

:

Sens : CM, TD : 120/70 mmHg, HR :70x/i, RR: 22x/i, Temp: 36.5oC

Kepala : anemis (-/-), ikterik (-/-)

Leher : TVJ R + 2 cmH2O

Cor : S1(+) , S2 (+), Murmur (-)

Pulmo : SP :vesikuler, ST : ronkhi basah basal -

Abd : Soepel, Hepar/ lien = ttb

Eks : Edema pretibial (-), akral hangat

A

:

STEMI inferior onset 2 hari killip I TIMI risk 2/14

P: -Bedrest semifowler

O2 2-4 L/I

Inj. Lovenox 0,6 cc/12 jam (5 hari)

Plavix 4 tab, selanjutnya 1x 75 mg

Aspilet 2 tab, selanjutya 1x 80 mg

ISDN 3x5mg k/p

Simvastatin 1x40mg

Captopril 3x6,25mg

Alprazolam 3x0,5mg

Page 35: ST-Elevation Myocard Infarc

FOLLOW UP EKG

13 April 2011 (RS TARUTUNG)

SR, QRS rate 79x, QRS axis : normo axis, P wave (+) normal, PR interval 0.16”, QRS

duration 0,08, ST elevasi : III, AVF; Q path. : - , T inverted -, LVH -, RVH -, VES –

Kesan : SR + STEMI inferior

15 April 2011 (RS ELISABETH)

SR, QRS rate 66x, QRS axis : normo axis, P wave (+) normal, PR interval 0.16”, QRS

duration 0,08, ST elevasi : III, AVF; Q path. : III , T inverted II, III, AVF; LVH -, RVH -,

VES –

Kesan : SR + STEMI inferior

15 April 2011 (IGD RS HAM, Pukul 18.11)

SR, QRS rate 69x, QRS axis : normo axis, P wave (+) normal, PR interval 0.16”, QRS

duration 0,08, ST elevasi : III, AVF; Q path. : III, AVF , T inverted II, III, AVF ;LVH -,

RVH -, VES –

Kesan : SR + STEMI inferior

15 April 2011 (CVCU, Pukul 19.00)

SR, QRS rate 64x, QRS axis : normo axis, P wave (+) normal, PR interval 0.16”, QRS

duration 0,08, ST elevasi : III, AVF; Q path. : III, AVF T inverted II, III, AVF; LVH -,

RVH -

Kesan : SR + STEMI inferior

16 April 2011 (Ruangan, Pukul 05.15)

SR, QRS rate 63x, QRS axis : normo axis, P wave (+) normal, PR interval 0.16”, QRS

duration 0,08, ST elevasi : III, AVF; Q path. : III, AVF; T inverted II, III, AVF; LVH -,

RVH -

Kesan : SR + STEMI inferior

18 April 2011 (Ruangan, Pukul 07.00)

SR, QRS rate 73x, QRS axis : normo axis, P wave (+) normal, PR interval 0.2”, QRS

duration 0,08, ST elevasi : (-); Q path. : III , T inverted II, III, AVF; LVH -, RVH -, VES

Kesan : SR + STEMI inferior

Page 36: ST-Elevation Myocard Infarc

DAFTAR PUSTAKA

1. Kalim H, Idham I, Irmalita, Karokaro S, Soerianata S, Tobing DPL, 2004. Tatalaksana

Sindroma Koroner Akut Dengan ST-Elevasi. Jakarta: PERKI.

2. Alwi I, 2009. Infark Miokard Akut Dengan Elevasi ST. Dalam: Sudoyo A.W., et al, ed.

Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 4. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu

Penyakit Dalam FKUI; 1741-1756.

3. Naik H, Sabatine MS, Lilly LS, 2007. Acute Coronary Syndrome. In: Lilly LS, ed.

Pathophysiology of Heart Disease 4th Edition. USA: Lippincott Williams & Wilkins; 168-

196.

4. Dharma S, 2009. Pedoman Praktis Sistematika Interpretasi EKG. Jakarta: EGC.

5. Huon h. gray, keith d. dawkins, john m. morgan, et. al. penyakit jantung koroner.lecture

notes kardiologi. Ed. 4. EMS; 2007. Hal. 107-111.

6. Harmani Kalim, Idris Idhan, Irmalita, dkk. Penatalaksanaan Pra Rumah Sakit. Pedoman

Perhimpunan Dokter SPesialis Kardiovaskular Indonesia Tata Laksana Sindroma Koroner

Akut dengn ST Elevasi. PERKI; 2004. Hal.8-9.

7. Harmani Kalim, Idris Idhan, Irmalita, dkk. Penatalaksanaan di Rumah Sakit. Pedoman

Perhimpunan Dokter SPesialis Kardiovaskular Indonesia Tata Laksana Sindroma Koroner

Akut dengn ST Elevasi. PERKI; 2004. Hal. 12-20.

8. Idrus Alwi.2006. Infark Miokard Akut dengan Elevasi ST, dalam, Aru W. Sudoyo, dkk.

Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid ke-2. Edisi ke-5. Jakarta;Pusat Penerbitan Ilmu

Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal. 1748-1754.