sq LP Cholelithiasis

35
LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN CHOLELITHIASIS Untuk memenuhi laporan profesi di Departemen Medical Bedah Periode: 23-28 Desember 2013 Ruang Diponegoro RSUD Kanjuruhan Malang Oleh : Muh Kahfi Hadiyana NIM. 1303036
  • date post

    22-Oct-2015
  • Category

    Documents

  • view

    47
  • download

    12

description

sqeeeq

Transcript of sq LP Cholelithiasis

Page 1: sq LP Cholelithiasis

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

CHOLELITHIASIS

Untuk memenuhi laporan profesi di Departemen Medical Bedah

Periode: 23-28 Desember 2013

Ruang Diponegoro RSUD Kanjuruhan Malang

Oleh :

Muh Kahfi Hadiyana

NIM. 1303036

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KEPANJEN

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

MALANG

2013

Page 2: sq LP Cholelithiasis

LAPORAN PENDAHULUAN

CHOLELITHIASIS

A. Definisi

Kolelitiasis adalah batu empedu yang terletak pada saluran empedu yang

disebabkan oleh faktor metabolik antara lain terdapat garam-garam empedu,

pigmen empedu dan kolestrol, serta timbulnya peradangan pada kandung empedu

(Barbara C. Long, 1996).

Kolelitiatis (kalkulus/kalkuli, batu empedu) biasanya terbentuk dalam kantung

empedu dari unsur-unsur padat yang membentuk cairan empedu. Batu empedu

memilki ukuran, bentuk, dan komposisi yang sangat bervariasi. Batu empedu tidak

lazim dijumpai pada anak-anak dan dewasa muda tetapi insidennya semakin sering

pada individu berusia diatas 40 tahun. Sesudah itu, insidens kolelitiasis semakin

meningkat dan diperkirakan bahwa pada usia 75 tahun satu dari 3 orang akan

menderita batu empedu (Smeltzer & Bare, 2003).

B. Etiologi

Etiologi batu empedu masih belum diketahui secara pasti, adapun faktor

predisposisi terpenting yaitu gangguan metabolisme yang menyebabkan terjadinya

perubahan komposisi empedu, statis empedu, dan infeksi kandung empedu.

Perubahan komposisi empedu kemungkinan merupakan faktor terpenting dalam

pembentukan batu empedu karena hati penderita batu empedu kolesterol

mengekresi empedu yang sangat jenuh dengan kolesterol. Kolesterol yang

berlebihan ini mengendap dalam kandung empedu (dengan cara yang belum

diketahui sepenuhnya) untuk membentuk batu empedu.

Statis empedu dalam kandung empedu dapat mengakibatkan supersaturasi

progresif, perubahan komposisi kimia, dan pengendapan unsur-insur tersebut.

Gangguan kontraksi kandung empedu atau spasme spingteroddi, atau keduanya

dapat menyebabkan statis. Faktor hormonal (hormon kolesistokinin dan sekretin)

dapat dikaitkan dengan keterlambatan pengosongan kandung empedu.

Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat berperan dalam pembentukan

batu. Mukus meningkatkan viskositas empedu dan unsur sel atau bakteri dapat

Page 3: sq LP Cholelithiasis

berperan sebagai pusat presipitasi/pengendapan. Infeksi lebih timbul akibat dari

terbentuknya batu, dibanding panyebab terbentuknya batu.

C. Faktor Resiko

Kolelitiasis dapat terjadi dengan atau tanpa faktor resiko dibawah ini. Namun,

semakin banyak faktor resiko yang dimiliki seseorang, semakin besar kemungkinan

untuk terjadinya kolelitiasis. Faktor resiko tersebut antara lain:

1) Jenis Kelamin

Wanita mempunyai resiko 3 kali lipat untuk terkena kolelitiasis dibandingkan

dengan pria. Hal ini dikarenakan hormon esterogen berpengaruh terhadap

peningkatan eskresi kolesterol oleh kandung empedu. Kehamilan, yang

menigkatkan kadar esterogen juga meningkatkan resiko terkena kolelitiasis.

Penggunaan pil kontrasepsi dan terapi hormon (esterogen) dapat meningkatkan

kolesterol dalam kandung empedu dan penurunan aktivitas pengosongan

kandung empedu.

2) Usia

Resiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan bertambahnya

usia. Orang dengan usia > 60 tahun lebih cenderung untuk terkena kolelitiasis

dibandingkan dengan orang degan usia yang lebih muda.

3) Berat badan (BMI)

Orang dengan Body Mass Index (BMI) tinggi, mempunyai resiko lebih tinggi

untuk terjadi kolelitiasis. Ini karenakan dengan tingginya BMI maka kadar

Page 4: sq LP Cholelithiasis

kolesterol dalam kandung empedu pun tinggi, dan juga mengurasi garam

empedu serta mengurangi kontraksi/ pengosongan kandung empedu.

4) Makanan

Intake rendah klorida, kehilangan berat badan yang cepat (seperti setelah

operasi gatrointestinal) mengakibatkan gangguan terhadap unsur kimia dari

empedu dan dapat menyebabkan penurunan kontraksi kandung empedu.

5) Riwayat keluarga

Orang dengan riwayat keluarga kolelitiasis mempunyai resiko lebih besar

dibanding dengan tanpa riwayat keluarga.

6) Aktifitas fisik

Kurangnya aktifitas fisik berhungan dengan peningkatan resiko terjadinya

kolelitiasis. Ini mungkin disebabkan oleh kandung empedu lebih sedikit

berkontraksi.

7) Penyakit usus halus.

Penyakit yang dilaporkan berhubungan dengan kolelitiasis adalah crohn

disease, diabetes, anemia sel sabit, trauma, dan ileus paralitik.

8) Nutrisi intravena jangka lama

Nutrisi intravena jangka lama mengakibatkan kandung empedu tidak

terstimulasi untuk berkontraksi, karena tidak ada makanan/ nutrisi yang melewati

intestinal. Sehingga resiko untuk terbentuknya batu dalam kandung empedu

menjadi meningkat.

D. Klasifikasi Cholelithiasis

Menurut gambaran makroskopis dan komposisi kimianya, batu empedu di

golongkankan atas 3 (tiga) golongan:

a) Batu kolesterol

Berbentuk oval, multifokal atau mulberry dan mengandung lebih dari 70%

kolesterol. Lebih dari 90% batu empedu adalah kolesterol (batu yang

mengandung > 50% kolesterol). Untuk terbentuknya batu kolesterol diperlukan 3

faktor utama :

Supersaturasi kolesterol

Hipomotilitas kandung empedu

Nukleasi/ pembentukan nidus cepat.

Page 5: sq LP Cholelithiasis

b) Batu pigmen

Batu pigmen merupakan 10% dari total jenis baru empedu yang

mengandung <20% kolesterol. Jenisnya antara lain:

1. Batu pigmen kalsium bilirubinan (pigmen coklat)

2. Batu pigmen hitam

c) Batu campuran

Batu campuran antara kolesterol dan pigmen dimana mengandung 20-50%

kolesterol.

E. Patofisiologi

Batu Kolesterol

Empedu yang disupersaturasi oleh kolesterol bertanggung jawab bagi lebih

dari 90 persen batu empedu di negara barat. Sebagian besar batu ini merupakan

batu kolesterol campuran yang mengandung paling sedikit 75 persen kolesterol

berdasarkan berat serta dalam variasi jumlah fosfolipid, pigmen empedu, senyawa

organik dan inorganik lain. Batu kolesterol murni terdapat dalam sekitar 10 persen

dari semua batu kolesterol. Sifat fisikokimia empedu bervariasi sesuai konsentrasi

relatif garam empedu, lesitin dan kolesterol. Kolestrol dilarutkan dalam empedu

dalam daerah hidrofobik micelle, sehingga kelarutannya tergantung pada jumlah

relatif garam empedu dan lesitin. Hubungan antara kolesterol lesitin dan garam

empedu ini dapat dilihat dalam grafik segitiga. Yang koordinatnya merupakan

persentasi konsentrasi molar garam empedu, lesitin dan kolesterol. Empedu yang

mengandung kolesterol seluruhnya di dalam micelles digambarkan oleh area di

bawah garis lengkung ABC (cairan micelle); tetapi bila konsentrasi relatif garam

empedu, lesitin dan kolesterol turun ke area di atas garis ABC, maka ada kolesterol

di dalam dua fase atau lebih (cairan micelle dan kristal kolesterol).

Page 6: sq LP Cholelithiasis

Pembentukan batu kolesterol merupakan proses yang terdiri atas 4 defek

utama yang dapat terjadi secara berurutan atau bersamaan:

1. Supersaturasi Empedu

Kolesterol merupakan komponen utama dalam batu kolesterol. Pada

metabolisme kolesterol yang normal, kolesterol yang disekresi ke dalam empedu

akan terlarut oleh komponen empedu yang memiliki aktivitas detergenik seperti

garam empedu dan fosfolipid (khususnya lesitin). Konformasi kolesterol dalam

empedu dapat berbentuk misel, vesikel, campuran misel dan vesikel atau kristal.

Umumnya pada keadaan normal dengan saturasi kolesterol yang rendah,

kolesterol wujud dalam bentuk misel yaitu agregasi lipid dengan komponen

berpolar lipid seperti senyawa fosfat dan hidroksil terarah keluar dari inti misel

dan tersusun berbatasan dengan fase berair sementara komponen rantaian

hidrofobik bertumpuk di bagian dalam misel.

Semakin meningkat saturasi kolesterol, maka bentuk komposisi kolesterol

yang akan ditemukan terdiri atas campuran dua fase yaitu misel dan vesikel.

Vesikel kolesterol dianggarkan sekitar 10 kali lipat lebih besar daripada misel dan

memiliki fosfolipid bilayer tanpa mengandung garam empedu. Seperti misel,

komponen berpolar vesikel turut diatur mengarah ke luar vesikel dan berbatasan

dengan fase berair ekstenal sementara rantaian hidrokarbon yang hidrofobik

membentuk bagian dalam dari lipid dwilapis. Diduga <30% kolesterol bilier

diangkut dalam bentuk misel, yang mana selebihnya berada dalam bentuk

vesikel. Umumnya, konformasi vesikel berpredisposisi terhadap pembentukan

batu empedu karena lebih cenderung untuk beragregasi dan bernukleasi untuk

membentuk konformasi kristal.

Page 7: sq LP Cholelithiasis

2. Hipomotilitas kandung empedu

Motilitas kantung empedu merupakan satu proses fisiologik yang

mencegah litogenesis dengan memastikan evakuasi empedu dari kantung

empedu ke dalam usus sebelum terjadinya proses litogenik. Hipomotilitas

kantung empedu memperlambat evakuasi empedu ke dalam usus → proses

absorpsi air dari empedu oleh dinding mukosa lebih cepat dari evakuasi empedu

→ peningkatan konsentrasi empedu → proses litogenesis empedu.

Hipomotilitas kantung empedu dapat terjadi akibat :

o Kelainan intrinsik dinding muskuler yang meliputi:

o Perubahan tingkat hormon seperti menurunnya kolesistokinin (CCK),

meningkatnya somatostatin dan estrogen.

o Perubahan kontrol neural (tonus vagus).

o Kontraksi sfingter melampau hingga menghambat evakuasi empedu normal.

Patofisiologi yang mendasari fenomena hipomotilitas kantung empedu

pada batu empedu masih belum dapat dipastikan. Namun begitu, diduga

hipomotilitas kantung empedu merupakan akibat efek toksik kolesterol berlebihan

yang menumpuk di sel otot polos dinding kantung yang menganggu transduksi

sinyal yang dimediasi oleh protein G. Kesannya, terjadi pengerasan membran

sarkolema sel otot tersebut. Secara klinis,penderita batu empedu dengan defek

pada motilitas kantung empedu cenderung bermanifestasi sebagai gangguan

pola makan terutamanya penurunan selera makan serta sering ditemukan

volume residual kantung empedu yang lebih besar. Selain itu, hipomotilitas

kantung empedu dapat menyebabkan stasis kantung empedu. Stasis merupakan

faktor resiko pembentukan batu empedu karena gel musn akan terakumulasi

sesuai dengan perpanjangan waktu penyimpanan empedu. Stasis menyebabkan

gangguan aliran empedu ke dalam usus dan ini berlanjut dengan gangguan pada

sirkulasi enterohepatik. Akibatnya, output garam empedu dan fosfolipid

berkurang dan ini memudahkan kejadian supersaturasi. Stasis yang berlangsung

lama menginduksi pembentukan lumpur bilier (biliary sludge) terutamanya pada

penderita dengan kecederaan medula spinalis, pemberian TPN untuk periode

lama, terapi oktreotida yang lama, kehamilan dan pada keadaan penurunan

berat badan mendadak. Lumpur bilier yang turut dikenal dengan nama

mikrolitiasis atau pseudolitiasis ini terjadi akibat presipitasi empedu yang terdiri

atas kristal kolesterol monohidrat, granul kalsium bilirubinat dan mukus.

Patofisiologi lumpur bilier persis proses yang mendasari pembentukan batu

Page 8: sq LP Cholelithiasis

empedu. Kristal kolesterol dalam lumpur bilier akan mengalami aglomerasi

berterusan untuk membentuk batu makroskopik hingga dikatakan lumpur bilier

merupakan prekursor dalam litogenesis batu empedu.

3. Peningkatan aktivitas nukleasi kolesterol.

Empedu yang supersaturasi dengan kolesterol cenderung untuk

mengalami proses nukleasi. Nukleasi merupakan proses kondensasi atau

agregasi yang menghasilkan kristal kolesterol monohidrat mikroskopik atau

partikel kolesterol amorfus daripada empedu supersaturasi. Nukleasi kolesterol

merupakan proses yang dipengaruhi oleh keseimbangan unsur antinukleasi dan

pronukleasi yang merupakan senyawa protein tertentu yang dikandung oleh

empedu, faktor pronukleasi berinteraksi dengan vesikel kolesterol sementara

faktor antinukleasi berinteraksi dengan kristal solid kolesterol. Antara faktor

pronukleasi yang paling penting termasuk glikoprotein musin, yaitu satu-satunya

komponen empedu yang terbukti menginduksi pembentukan batu pada keadaan

in vivo. Inti dari glikoprotein musin terdiri atas daerah hidrofobik yang mampu

mengikat kolesterol, fosfolipid dan bilirubin. Pengikatan vesikel yang kaya

dengan kolesterol kepada regio hidrofilik glikoprotein musin ini diduga memacu

proses nukleasi. Faktor pronukleasi lain yang berhasil diisolasi daripada model

sistem empedu termasuk imunoglobulin (IgG dan M), aminopeptidase N,

haptoglobin dan glikoprotein asam α-1. Penelitian terbaru menganjurkan peran

infeksi intestinal distal oleh spesies Helicobacter (kecuali H. pylori) menfasilitasi

nukleasi kolesterol empedu. Proses nukleasi turut dapat diinduksi oleh adanya

mikropresipitat garam kalsium inorganik maupun organik. Faktor antinukleasi

termasuk protein seperti imunoglobulin A (IgA), apoA-I dan apoA –II. Mekanisme

fisiologik yang mendasari efek untuk sebagian besar daripada faktor-faktor ini

masih belum dapat dipastikan. Nukleasi yang berlangsung lama selanjutnya

akan menyebabkan terjadinya proses kristalisasi yang menghasilkan kristal

kolesterol monohidrat. Waktu nukleasi pada empedu penderita batu empedu

telah terbukti lebih pendek dibanding empedu kontrol pada orang normal. Waktu

nukleasi yang pendek mempergiat kristalisasi kolesterol dan menfasilitasi proses

litogenesis empedu.

4. Hipersekresi mukus di kantung empedu

Hipersekresi mukus kantung empedu dikatakan merupakan kejadian

prekursor yang universal pada beberapa penelitian menggunakan model empedu

hewan. Mukus yang eksesif menfasilitasi pembentukan konkresi kolesterol

Page 9: sq LP Cholelithiasis

makroskopik karena mukus dalam kuantitas melampau ini berperan dalam

memerangkap kristal kolesterol dengan memperpanjang waktu evakuasi empedu

dari kantung empedu. Komponen glikoprotein musin dalam mukus ditunjuk

sebagai faktor utama yang bertindak sebagai agen perekat yang menfasilitasi

aglomerasi kristal dalam patofisiologi batu empedu. Saat ini, stimulus yang

menyebabkan hipersekresi mukus belum dapat dipastikan namun prostaglandin

diduga mempunyai peran penting dalam hal ini.

Sebagian besar pasien batu kolesterol mensekresi empedu hati litogenik.

Kelompok tertentu mempunyai kumpulan garam empedu total yang berkontraksi

(1,5 sampai 2g) yang merupakan separuh ukuran orang normal. Bisa timbul akibat

hubungan umpan balik garam empedu abnormal dengan penurunan sintesis hati

bagi garam empedu atau hilangnya garam empedu secara berlebihan melalui feses

akibat malabsorpsi ileum primer atau setelah reseksi atau pintas ileum. Kelompok

lain, terutama orang yang gemuk, mensekresi kolesterol dalam jumlah yang

berlebihan. Beberapa bukti menggambarkan bahwa masukan diet kolesterol dan

atau kandungan kalori diet bisa mempengaruhi sekresi kolesterol juga.

Mekanisme lain yang diusulkan bagi pembentukan batu, melibatkan disfungsi

vesika biliaris. Stasis akibat obstruksi mekanik atau fungsional, bisa menyebabkan

stagnasi empedu di dalam vesika biliaris dengan resorpsi air berlebihan dan

merubah kelarutan unsur empedu. Penelitian menggambarkan bahwa peradangan

dinding kandung empedu bisa menyebabkan resorpsi garam empedu berlebihan,

perubahan dalam rasio lesitin/garam empedu serta sekresi garam kalsium,

mukoprotein dan debris organik sel; perubahan ini bisa merubah empedu hati

normal menjadi empdu litogenik di dalam vesika biliaris. Peranan infeksi dalam

patogenesis pembentukan batu kolesterol bersifat kontroversial. Walaupun

organisme usus tertentu bisa dibiak dari inti batu kolesterol atau dari dinding vesika

biiaris, namun sebagian besar batu kolesterol terbntuk tanpa adanya infeksi.

Batu Pigmen

a. Batu pigmen murni (pigmen hitam)

Pembentukan batu berpigmen hitam diawali oleh hipersekresi blilirubin

terkonjugat (khususnya monoglukuronida) ke dalam empedu. Pada keadaan

hemolisis terjadi hipersekresi bilirubin terkonjugat hingga mencapai 10 kali lipat

dibanding kadar sekresi normal. Bilirubin terkonjugat selanjutnya dihidrolisis oleh

glukuronidase-β endogenik membentuk bilirubin tak terkonjugat. Pada waktu

Page 10: sq LP Cholelithiasis

yang sama, defek pada mekanisme asidifikasi empedu akibat daripada radang

dinding mukosa kantung empedu atau menurunnya kapasitas “buffering” asam

sialik dan komponen sulfat dari gel musin akan menfasilitasi supersaturasi

kalsium karbonat dan fosfat yang umumnya tidak akan terjadi pada keadaan

empedu dengan ph yang lebih rendah. Supersaturasi berlanjut dengan

pemendakan atau presipitasi kalsium karbonat, fosfat dan bilirubin tak

terkonjugat. Polimerisasi yang terjadi kemudian akan menghasilkan kristal dan

berakhir dengan pembentukan batu berpigmen hitam.

b. Batu Pigmen Kalsium Bilirubinat (pigmen coklat)

Batu berpigmen coklat terbentuk hasil infeksi anaerobik pada empedu,

sesuai dengan penemuaan sitorangka bakteri pada pemeriksaan mikroskopik

batu. Infeksi traktus bilier oleh bakteri Escherichia coli, Salmonella typhii dan

spesies Streptococcus atau parasit cacing seperti Ascaris lumbricoides dan

Opisthorchis sinensis serta Clonorchis sinensis mendukung pembentukan batu

berpigmen.

Patofisiologi batu diawali oleh infeksi bakteri/parasit di empedu.

Mikroorganisma enterik ini selanjutnya menghasilkan enzim glukuronidase-β,

fosfolipase A dan hidrolase asam empedu terkonjugat. Peran ketiga-tiga enzim

tersebut didapatkan seperti berikut:

o Glukuronidase menghidrolisis bilirubin terkonjugat hingga menyebabkan

pembentukan bilirubin tak terkonjugat.

o Fosfolipase A menghasilkan asam lemak bebas (terutama asam stearik

dan asam palmitik).

o Hidrolase asam empedu menghasilkan asam empedu tak terkonjugat.

Hasil produk enzimatik ini selanjutnya dapat berkompleks dengan senyawa

kalsium dan membentuk garam kalsium. Garam kalsium dapat termendak lalu

berkristalisasi sehingga terbentuk batu empedu. Proses litogenesis ini didukung

oleh keadaan stasis empedu dan konsentrasi kalsium yang tinggi dalam empedu.

Bakteri mati dan glikoprotein bakteri diduga dapat berperan sebagai agen

perekat, yaitu sebagai nidus yang menfasilitasi pembentukan batu, seperti fungsi

pada musin endogenik.

Page 11: sq LP Cholelithiasis

Batu pigmen hitam Batu pigmen coklat

F. Manifestasi Klinis

Penderita batu empedu sering mempunyai gejala-gejala kolestitis akut atau

kronik. Bentuk akut ditandai dengan nyeri hebat mendadak pada abdomen bagian

atas, terutama ditengah epigastrium. Lalu nyeri menjalar ke punggung dan bahu

kanan (Murphy sign). Pasien dapat berkeringat banyak dan berguling ke kanan-kiri

saat tidur. Nausea dan muntah sering terjadi. Nyeri dapat berlangsung selama

berjam-jam atau dapat kembali terulang.

Gejala-gejala kolesistitis kronik mirip dengan fase akut, tetapi beratnya nyeri

dan tanda-tanda fisik kurang nyata. Seringkali terdapat riwayat dispepsia,

intoleransi lemak, nyeri ulu hati atau flatulen yang berlangsung lama. Setelah

terbentuk, batu empedu dapat berdiam dengan tenang dalam kandung empedu dan

tidak menimbulkan masalah, atau dapat menimbulkan komplikasi. Komplikasi yang

paling sering adalah infeksi kandung empedu (kolesistitis) dan obstruksi pada

duktus sistikus atau duktus koledokus. Obstruksi ini dapat bersifat sementara,

intermitten dan permanent. Kadang-kadang batu dapat menembus dinding kandung

empedu dan menyebabkan peradangan hebat, sering menimbulkan peritonitis, atau

menyebakan ruptur dinding kandung empedu.

Secara umum gejala kolelitiasis dapat terjadi akut atau kronis dan terjadinya

gangguan pada epigastrium jika makan makanan berlemak, seperti: rasa penuh

diperut, distensi abdomen, dan nyeri samar pada kuadran kanan atas.

a. Rasa nyeri hebat dan kolik bilier

Jika duktus sistikus tersumbat batu, maka kandung empedu mengalami

distensi kemudian akan terjadi infeksi sehingga akan teraba massa pada

kuadran I yang menimbulkan nyeri hebat sampai menjalar ke punggung dan

bahu kanan sehingga menyebabkan rasa gelisah dan tidak menemukan posisi

yang nyaman. Nyeri akan dirasakan persisten (hilang timbul) terutama jika habis

Page 12: sq LP Cholelithiasis

makan makanan berlemak yang disertai rasa mual dan ingin mual muntah  pada

pagi hari karena metabolisme di kandung empedu akan meningkat.

Perangsangan mual dapat diakibatkan dari adanya obstruksi saluran

empedu sehingga mengakibatkan alir balik cairan empedu ke hepar (bilirubin,

garam empedu dan kolesterol) menyebabkan terjadinya proses peradangan

disekitar hepatobiliar yang mengeluarkan enzim-enzim SGOT dan SGPT,

menyebabkan peningkatan SGOT dan SGPT yang bersifat iritatif di saluran

cerna sehingga merangsang nervus vagal dan menekan rangsangan sistem

saraf parasimpatis sehingga terjadi penurunan peristaltik sistem pencernaan di

usus dan lambung, menyebabkan makanan tertahan di lambung dan

peningkatan rasa mual yang mengaktifkan pusat muntah di medula oblongata

dan pengaktifan saraf kranialis ke wajah, kerongkongan serta neuron-neuron

motorik spinalis ke otot-otot abdomen dan diafragma sehingga menyebabkan

muntah. Apabila saraf simpatis teraktifasi akan menyebabkan akumulasi gas

usus di sistem pencernaan yang menyebabkan rasa penuh dengan gas maka

terjadilah kembung.

b. Ikterik dan BAK berwarna kuning

Obstuksi saluran empedu menyebabkan ekskresi cairan empedu ke

duodenum (saluran cerna) menurun sehingga feses tidak diwarnai oleh pigmen

empedu dan feses akan berwarna pucat kelabu dan lengket seperti dempul yang

disebut Clay Colored. Selain mengakibatkan peningkatan alkali fosfat serum,

eksresi cairan empedu ke duodenum (saluran cerna) juga mengakibatkan

peningkatan bilirubin serum yang diserap oleh darah dan masuk ke sirkulasi

sistem sehingga terjadi filtrasi oleh ginjal yang menyebabkan bilirubin

dieksresikan oleh ginjal sehingga urin berwarna kuning bahkan kecoklatan.

c. Defisiensi Vitamin

Obstruksi aliran empedu juga mengganggu absorpsi vitamin A, D, E, dan K

yang larut lemak. Defisiensi vitamin K dapat mengganggu pembekuan darah

yang normal.

G. Pemeriksaan Diagnostik

Pemeriksaan diagnostic yang dapat dilakukan pada pasien dengan

cholelithiasis antara lain:

a) Rontgen abdomen / pemeriksaan sinar X / Foto polos abdomen

Page 13: sq LP Cholelithiasis

Dapat dilakukan pada klien yang dicurigai akan penyakit kandung empedu.

Akurasi pemeriksaannya hanya 15-20%, tetapi pemeriksaan ini bukan

merupakan pemeriksaan pilihan.

b) Kolangiogram / kolangiografi transhepatik perkutan

Melalui penyuntikan bahan kontras langsung ke dalam cabang bilier. Karena

konsentrasi bahan kontras yang disuntikkan relatif besar, maka semua

komponen sistem bilier (duktus hepatikus, D. koledukus, D. sistikus dan

kandung empedu) dapat terlihat. Meskipun angka komplikasi dari

kolangiogram rendah namun bisa beresiko peritonitis bilier, resiko sepsis dan

syok septik.

c) ERCP (Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreatographi)

Sebuah kanul yang dimasukan ke dalam duktus koledukus dan duktus

pancreatikus, kemudian bahan kontras disuntikkan ke dalam duktus tersebut.

Fungsi ERCP ini memudahkan visualisasi langsung stuktur bilier dan

memudahkan akses ke dalam duktus koledukus bagian distal untuk

mengambil batu empedu, selain itu ERCP berfungsi untuk membedakan

ikterus yang disebabkan oleh penyakit hati (ikterus hepatoseluler dengan

ikterus yang disebabkan oleh obstuksi bilier dan juga dapat digunakan untuk

menyelidiki gejala gastrointestinal pada pasien-pasien yang kandung

empedunya sudah diangkat.ERCP ini berisiko terjadinya tanda-tanda

perforasi/ infeksi

d) Kolangiografi Transhepatik Perkutan

Pemeriksaan kolangiografi ini meliputi penyuntikan bahan kontras langsung ke

dalam percabangan bilier. Karena konsentrasi bahan kontras yang disuntikan

itu relatif besar, maka semua komponen  pada sistem bilier tersebut, yang

mencakup duktus hepatikus dalam hati, keseluruhan pajang duktus koledokus,

duktus sistikus dan kandung empedu, dapat dilihat garis bentuknya dengan

jelas. 

e) Pemeriksaan Pencitraan Radionuklida atau kolesentografi

Dalam prosedur ini, peraparat radioktif disuntikan secara intravena. Kemudian

diambil oleh hepatosit dan dengan cepat ekskeresikan kedalam sinar bilier.

Memerlukan waktu panjang lebih lama untuk mengerjakannya membuat

pasien terpajan sinar radiasi.

Page 14: sq LP Cholelithiasis

f) Pemeriksaan laboratorium

Batu kandung empedu yang asimtomatik umumnya tidak menunjukkan

kelainan pada pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi peradangan akut,

dapat terjadi leukositosis. Apabila terjadi sindroma mirizzi, akan ditemukan

kenaikan ringan bilirubin serum akibat penekanan duktus koledukus oleh batu.

Kadar bilirubin serum yang tinggi mungkin disebabkan oleh batu di dalam

duktus koledukus. Kadar fosfatase alkali serum dan mungkin juga kadar

amilase serum biasanya meningkat sedang setiap setiap kali terjadi serangan

akut.

g) Pemeriksaan Radiologis

Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas karena

hanya sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat radioopak. Kadang

kandung empedu yang mengandung cairan empedu berkadar kalsium tinggi

dapat dilihat dengan foto polos. Pada peradangan akut dengan kandung

empedu yang membesar atau hidrops, kandung empedu kadang terlihat

sebagai massa jaringan lunak di kuadran kanan atas yang menekan

gambaran udara dalam usus besar, di fleksura hepatika.

h) Pemeriksaan Ultrosonografi (USG)

Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi untuk

mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu

intrahepatik maupun ekstra hepatik. Dengan USG juga dapat dilihat dinding

kandung empedu yang menebal karena fibrosis atau udem yang diakibatkan

oleh peradangan maupun sebab lain. Batu yang terdapat pada duktus

koledukus distal kadang sulit dideteksi karena terhalang oleh udara di dalam

usus. Dengan USG punktum maksimum rasa nyeri pada batu kandung

empedu yang ganggren lebih jelas daripada dengan palpasi biasa.

i) Kolesistografi

Untuk penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras cukup baik karena

relatif murah, sederhana, dan cukup akurat untuk melihat batu radiolusen

sehingga dapat dihitung jumlah dan ukuran batu. Kolesistografi oral akan

gagal pada keadaan ileus paralitik, muntah, kadar bilirubun serum diatas 2

mg/dl, okstruksi pilorus, dan hepatitis karena pada keadaan-keadaan tersebut

kontras tidak dapat mencapai hati. Pemeriksaan kolesitografi oral lebih

bermakna pada penilaian fungsi kandung empedu.

Page 15: sq LP Cholelithiasis

H. Penatalaksanaan

Jika tidak ditemukan gejala, maka tidak perlu dilakukan pengobatan. Nyeri

yang hilang-timbul bisa dihindari atau dikurangi dengan menghindari atau

mengurangi makanan berlemak. Jika batu kandung empedu menyebabkan

serangan nyeri berulang meskipun telah dilakukan perubahan pola makan, maka

dianjurkan untuk menjalani pengangkatan kandung empedu (kolesistektomi).

Pengangkatan kandung empedu tidak menyebabkan kekurangan zat gizi dan

setelah pembedahan tidak perlu dilakukan pembatasan makanan.

Pilihan penatalaksanaan antara lain :

Kolesistektomi terbuka

Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan pasien dengan

kolelitiasis simtomatik. Komplikasi yang paling bermakna yang dapat terjadi

adalah cedera duktus biliaris yang terjadi pada 0,2% pasien. Angka mortalitas

yang dilaporkan untuk prosedur ini kurang dari 0,5%. Indikasi yang paling

umum untuk kolesistektomi adalah kolik biliaris rekuren, diikuti oleh kolesistitis

akut.

Kolesistektomi laparaskopi

Kolesistektomi laparoskopik mulai diperkenalkan pada tahun 1990 dan

sekarang ini sekitar 90% kolesistektomi dilakukan secara laparoskopi. 80-90%

batu empedu di Inggris dibuang dengan cara ini karena memperkecil resiko

kematian dibanding operasi normal (0,1-0,5% untuk operasi normal) dengan

mengurangi komplikasi pada jantung dan paru. Kandung empedu diangkat

melalui selang yang dimasukkan lewat sayatan kecil di dinding perut.

Indikasi awal hanya pasien dengan kolelitiasis simtomatik tanpa adanya

kolesistitis akut. Karena semakin bertambahnya pengalaman, banyak ahli

bedah mulai melakukan prosedur ini pada pasien dengan kolesistitis akut dan

pasien dengan batu duktus koledokus. Secara teoritis keuntungan tindakan ini

dibandingkan prosedur konvensional adalah dapat mengurangi perawatan di

rumah sakit dan biaya yang dikeluarkan, pasien dapat cepat kembali bekerja,

nyeri menurun dan perbaikan kosmetik. Masalah yang belum terpecahkan

adalah kemanan dari prosedur ini, berhubungan dengan insiden komplikasi 6r

seperti cedera duktus biliaris yang mungkin dapat terjadi lebih sering selama

kolesistektomi laparaskopi.

Disolusi medis

Page 16: sq LP Cholelithiasis

Masalah umum yang mengganggu semua zat yang pernah digunakan

adalah angka kekambuhan yang tinggi dan biaya yang dikeluarkan. Zat disolusi

hanya memperlihatkan manfaatnya untuk batu empedu jenis kolesterol.

Penelitian prospektif acak dari asam xenodeoksikolat telah mengindikasikan

bahwa disolusi dan hilangnya batu secara lengkap terjadi sekitar 15%. Jika obat

ini dihentikan, kekambuhan batu tejadi pada 50% pasien. Kurang dari 10% batu

empedu dilakukan cara ini an sukses. Disolusi medis sebelumnya harus

memenuhi kriteria terapi non operatif diantaranya batu kolesterol diameternya <

20 mm, batu kurang dari 4 batu, fungsi kandung empedu baik dan duktus sistik

paten.

Disolusi kontak

Meskipun pengalaman masih terbatas, infus pelarut kolesterol yang poten

(Metil-Ter-Butil-Eter (MTBE)) ke dalam kandung empedu melalui kateter yang

diletakkan per kutan telah terlihat efektif dalam melarutkan batu empedu pada

pasien-pasien tertentu. Prosedur ini invasif dan kerugian utamanya adalah

angka kekambuhan yang tinggi (50% dalam 5 tahun).

Litotripsi Gelombang Elektrosyok (ESWL)

Sangat populer digunakan beberapa tahun yang lalu, analisis biaya-

manfaat pada saat ini memperlihatkan bahwa prosedur ini hanya terbatas pada

pasien yang telah benar-benar dipertimbangkan untuk menjalani terapi ini.

Kolesistotomi

Kolesistotomi yang dapat dilakukan dengan anestesia lokal bahkan di

samping tempat tidur pasien terus berlanjut sebagai prosedur yang bermanfaat,

terutama untuk pasien yang sakitnya kritis.

Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP)

Pada ERCP, suatu endoskop dimasukkan melalui mulut, kerongkongan,

lambung dan ke dalam usus halus. Zat kontras radioopak masuk ke dalam

saluran empedu melalui sebuah selang di dalam sfingter oddi. Pada

sfingterotomi, otot sfingter dibuka agak lebar sehingga batu empedu yang

menyumbat saluran akan berpindah ke usus halus. ERCP dan sfingterotomi

telah berhasil dilakukan pada 90% kasus. Kurang dari 4 dari setiap 1.000

penderita yang meninggal dan 3-7% mengalami komplikasi, sehingga prosedur

ini lebih aman dibandingkan pembedahan perut. ERCP saja biasanya efektif

dilakukan pada penderita batu saluran empedu yang lebih tua, yang kandung

empedunya telah diangkat

Page 17: sq LP Cholelithiasis

Secara umum, penatalaksanaan cholelithiasis dibedakan menjadi

penatalaksanaan non bedah dan penatalaksanaan bedah.

1. Non Bedah, yaitu :

a. Terapi Konservatif

Pendukung diit : Cairan rendah lemak

Cairan Infus : menjaga kestabilan asupan cairan

Analgetik : meringankan rasa nyeri yang timbul akibat gejala penyakit

Antibiotik : mencegah adanya infeksi pada saluran kemih

Istirahat

b. Farmakoterapi

Pemberian asam ursodeoksikolat dan kenodioksikolat digunakan untuk

melarutkan batu empedu terutama berukuran kecil dan tersusun dari

kolesterol. Zat pelarut batu empedu hanya digunakan untuk batu kolesterol

pada pasien yang karena sesuatu hal sebab tak bisa dibedah. Batu-batu ini

terbentuk karena terdapat kelebihan kolesterol yang tak dapat dilarutkan lagi

oleh garam-garam empedu dan lesitin. Untuk melarutkan batu empedu

tersedia Kenodeoksikolat dan ursodeoksikolat. Mekanisme kerjanya

berdasarkan penghambatan sekresi kolesterol, sehigga kejenuhannya dalam

empedu berkurang dan batu dapat melarut lagi. Therapi perlu dijalankan

lama, yaitu : 3 bulan sampai 2 tahun dan baru dihentikan minimal 3 bulan

setelah batu-batu larut. Recidif dapat terjadi pada 30% dari pasien dalam

waktu 1 tahun , dalam hal ini pengobatan perlu dilanjutkan.

c. Penatalaksanaan Pendukung dan Diet

Suplemen bubuk tinggi protein dan karbohidrat dapat diaduk kedalam

susu skim. Makanan berikut ini ditambahkan jika pasien dapat menerimanya:

buah yang dimasak, nasi atau ketela, daging tanpa lemak, kentang yang

dilumatkan, sayuran yang tidak membentuk gas, roti, kopi atau teh. Makanan

seperti telur, krim, daging babi, gorengan, keju dan bumbu-bumbu yang

berlemak, sayuran yang membentuk gasserta alkohol harus dihindari.

Penatalaksanaan diet merupakan bentuk terapi utama pada pasien yang

hanya mengalami intoleransi terhadap makanan berlemak dan

mengeluarkan gejala gastrointestinal ringan.

d. Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL)

Page 18: sq LP Cholelithiasis

Prosedur nononvasif ini menggunakan gelombang kejut berulang

(repeated shock wafes) yang diarahkan kepada batu empedu di dalam

kandung empedu atau doktus koledokus dengan maksud untuk mencegah

batu tersebut menjadi sejumlah fragmen. Gelombang kejut dihasilkan dalam

media cairan oleh percikan listrik, yaitu piezoelelektrik, atau oleh muatan

elektromagnetik. Energy ini di salurkan ke dalam tubuh lewat redaman air

atau kantong yang berisi cairan. Gelombang kejut yang dikonvergensikan

tersebut diarahkan kepada batu empedu yang akan dipecah.Setelah batu

dipecah secara bertahap, pecahannya akan bergeraj spontan dikandung

empedu atau doktus koledokus dan dikeluarkan melalui endoskop atau

dilarutkan dengan pelarut atau asam empedu yang diberikan peroral.

e. Litotripsi Intrakorporeal

Pada litotripsi intrakorporeal, batu yang ada dalam kandung empedu

atau doktus koledokus dapat dipecah dengan menggunakan grlombang

ultrasound, laser berpulsa atau litotripsi hidrolik yang dipasang pada

endoskop, dan diarahkan langsung pada batu. Kemudian fragmen batu atau

derbis dikeluarkan dengan cara irigasi dan aspirasi. Prosedur tersebut dapat

diikuti dengan pengangkatan kandung empedu melalui luka insisi atau

laparoskopi. Jika kandung empedu tidak di angkat, sebuah drain dapat

dipasang selama 7 hari.

2. Pembedahan

a. Cholesistektomy

Merupakan tindakan pembedahan yang dilakukan atas indikasi

cholesistitis atau pada cholelitisis, baik akut /kronis yang tidak sembuh

dengan tindakan konservatif. Dalam prosedur ini kandung empedu diangkat

setelah arteri dan duktus  sistikus diligasi. Kolesistektomi dilakukan pada

sebagian besar kasus kolesistis akut dan kronis. Sebuah drain (Penrose)

ditempatkan dalam kandung empedu dan dibiarkan menjulur keluar lewat

luka operasi untuk mengalirkan darah, cairan serosanguinus dan getah

empedu ke dalam kasa absorben.

Tujuan perawatan pre operasi pada bedah cholesistectomy yaitu:

1) Meningkatkan pemahaman klien dan keluarga tentang prosedur operasi.

2) Meningkatkan kesehatan klien baik fisik maupun psikologis

3) Meningkatkan pemahaman klien dan keluarga tentang hal-hal yang

akan dilakukan pada post operasi.

Page 19: sq LP Cholelithiasis

Tindakan Keperawatan Pada Cholecystotomy

1) Posisi semi Fowler

2) Menjelaskan tujuan penggunaan tube atau drain dan lamanya

3) Menjelaskan dan mengajarkan cara mengurangi nyeri

b. Minikolesistektomi

Merupakan prosedur bedah untuk mengeluarkan kandung empedu

lewat luka insisi selebar 4cm. kolesistektomi Laparoskopik (atau

endoskopik), dilakukan lewat luka insisi yang kecil atau luka tusukan melalui

dinding abdomen pada umbilicus. Pada prosedur kolesistektomi endoskopik,

rongga abdomen ditiup dengan gas karbon dioksida (pneumoperitoneum)

umtuk membantu pemasangan endoskop dan menolong dokter bedah

melihat struktur abdomen. Sebuah endoskop serat optic dipasang melalui

luka insisi umbilicus yang kecil. Beberapa luka tusukan atau insisi kecil

tambahan dibuat pada dinding abdomen untuk memasukkan instrumen

bedah lainnya ke dalam bidang operasi.

c. Koledokostomi

Dalam koledokostomi, insisi dilakukan pada duktus koledokus untuk

mengeluarkan batu. Setelah batu dikeluarkan, biasanya dipasang sebuah

kateter ke dalam duktus tersebut untuk drainase getah empedu sampai

edema mereda. Keteter ini dihubungkan dengan selang drainase gravitas.

Kandung empedu biasanya juga mengandung batu, dan umumnya

koledokostomi dilakukan bersama-sama kolesistektomi.

I. Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita kolelitiasis :

Obstruksi duktus sistikus

Kolik bilier

Kolesistitis akut

Perikolesistitis

Peradangan pankreas (pankreatitis)-angga

Perforasi

Kolesistitis kronis

Hidrop kandung empedu

Empiema kandung empedu

Fistel kolesistoenterik

Page 20: sq LP Cholelithiasis

Batu empedu sekunder (Pada 2-6% penderita, saluran menciut kembali dan

batu empedu muncul lagi) angga

Ileus batu empedu (gallstone ileus)

Kolesistokinin yang disekresi oleh duodenum karena adanya makanan

menghasilkan kontraksi kandung empedu, sehingga batu yang tadi ada dalam

kandung empedu terdorong dan dapat menutupi duktus sistikus, batu dapat

menetap ataupun dapat terlepas lagi. Apabila batu menutupi duktus sitikus secara

menetap maka mungkin akan dapat terjadi mukokel, bila terjadi infeksi maka

mukokel dapat menjadi suatu empiema, biasanya kandung empedu dikelilingi dan

ditutupi oleh alat-alat perut (kolon, omentum), dan dapat juga membentuk suatu

fistel kolesistoduodenal. Penyumbatan duktus sistikus dapat juga berakibat

terjadinya kolesistitis akut yang dapat sembuh atau dapat mengakibatkan nekrosis

sebagian dinding (dapat ditutupi alat sekiatrnya) dan dapat membentuk suatu fistel

kolesistoduodenal ataupun dapat terjadi perforasi kandung empedu yang berakibat

terjadinya peritonitis generalisata.

Batu kandung empedu dapat maju masuk ke dalam duktus sistikus pada saat

kontraksi dari kandung empedu. Batu ini dapat terus maju sampai duktus koledokus

kemudian menetap asimtomatis atau kadang dapat menyebabkan kolik. Batu yang

menyumbat di duktus koledokus juga berakibat terjadinya ikterus obstruktif,

kolangitis, kolangiolitis, dan pankretitis. Batu kandung empedu dapat lolos ke dalam

saluran cerna melalui terbentuknya fistel kolesitoduodenal. Apabila batu empedu

cukup besar dapat menyumbat pad bagian tersempit saluran cerna (ileum terminal)

dan menimbulkan ileus obstruksi.

ASUHAN KEPERAWATAN KOLELITIASIS

PENGKAJIAN

Data Dasar Pengkajian

a) Aktivitas/istirahat

Page 21: sq LP Cholelithiasis

Gejala : Kelemahan

Tanda : Gelisah

b) Sirkulasi

Gejala : Perubahan warna urine dan feses.

Tanda : Distensi abdomen, Teraba massa pada kuadran kanan atas, urine

gelap, pekat, Feses warna tanah liat, steatorea.

c) Makanan/cairan

Gejala : Anoreksia, mual/muntah, Tidak toleran terhadap lemak dan

makanan “pembentuk gas” reguritari berulang, nyeri epigastrium, tidak dapat

makan, flatus, dyspepsia.

Tanda : Kegemukan, adanya penurunan berat badan.

d) Nyeri/ketidaknyamanan

Gejala : Nyeri abdomen atas berat dapat menyebar kepunggung atau bahu

kanan, Kolik epigastrik tengah sehubungan dengan makan, nyeri mulai dan tiba-

tiba memuncak dalam 30 menit.

Tanda : Nyeri lepas, otot tegang atau kaku, bila kuadran kanan atas ditekan:

tanda Murphy positif.

e) Pernapasan

Tanda : Peningkatan frekuensi pernapasan, pernapasan tertekan ditandai

napas pendek dan dangkal.

f) Keamanan

Tanda : demam. Menggigil, Ikterik, dengan kulit berkeringat dan gatal

(pruritis).

DIAGNOSA KEPERAWATAN

1.      Nyeri akut berhubungan dengan obstruksi / spasmeduktus, proses inflamasi,

iskemia jaringan / nekrisis

2.      Kekurangan volume cairan (resiko tinggi terhadap) berhubungan dengan muntah,

distensi dan hipermotilitas gaster, gangguan proses pembekuan

3.      Resiko tinggi perubahan nutrisi (kurang dari kebutuhan) berhubungan dengan

gangguan pencernaan lemak, mual muntah, dispepsia, nyeri

4.      Kurang pengetahuan tentang penyakit, prognosa, pengobatan berhubungan dengan

salah interpretasi informasi

C.     Intervensi Keperawatan

Page 22: sq LP Cholelithiasis

1.      Nyeri akut berhubungan dengan obstruksi / spasmeduktus, proses inflamasi,

iskemia jaringan / nekrisis

Tujuan : Nyeri terkontrol, teradaptasi

Kriteria hasil :

        Penurunan respon terhadap nyeri (ekspresi)

        Laporan nyeri terkontrol

Rencana intervensi :

a.       Observasi catat lokasi, tingkat dan karakter nyeri

R/ membantu mengidentifikasi nyeri dan memberi informasi tentang terjadinya

perkembangannya

b.      Catat respon terhadap obat nyeri

R/ nyeri berat yang tidak hilang dengan tindakan rutin dapat menunjukkan

terjadinya komplikasi

c.       Tingkatkan tirah baring (fowler) / posisi yang nyaman

R/ posisi fowler menurunkan tekanan-tekanan intra abdominal

d.      Ajarkan teknik relaksasi (nafas dalam)

R/ meningkatkan istirahat dan koping

e.       Ciptakan lingkungan yang nyaman (turunkan suhu ruangan)

R/ mendukung mental psikologik dalam persepsi tentang nyeri

f.        Kompres hangat

R/ dilatasi dingin empedu spasme menurun

g.       Kolaborasi

        Antibiotik

        Analgetik

        Sedatif

        Relaksasi otot halus

2.      Kekurangan volume cairan (resiko tinggi terhadap) berhubungan dengan

muntah, distensi dan hipermotilitas gaster, gangguan proses pembekuan

Tujuan : Menunjukkan keseimbangan cairan yang adekuat

Kriteria hasil :

        Turgor kulit yang baik

        Membran mukosa lembab

Page 23: sq LP Cholelithiasis

        Pengisian kapiler baik

        Urine cukup

        TTV stabil

        Tidak ada muntah

Rencana intervensi :

a.       Pertahankan intakke dan output cairan

R/ mempertahankan volume sirkulasi

b.      Awasi tanda rangsangan muntah

R/ muntah berkepanjangan, aspirasi gaster dan pembatasan pemasukan oral

menimbulkan degfisit natrium, kalium dan klorida

c.       Anjurkan cukup minum (1 botol aqua 1500 ml/hr)

R/ mempertahankan keseimbangan cairan dalam tubuh

d.      Kolaborasi :

        Pemberian antiemetik

        Pemberian cairan IV

        Pemasangan NGT

3.      Resiko tinggi perubahan nutrisi (kurang dari kebutuhan) berhubungan dengan

gangguan pencernaan lemak, mual muntah, dispepsia, nyeri

Tujuan : Menunjukkan kestabilan BB

Kriteria hasil : BB stabil, laporan tidak mual muntah

Rencana intervensi :

a.       Kaji perkiraan kebutuhan kalori tubuh

R/ mengidentifikasi jumlah intake kalori yang diperlukan tiap hari

b.      Timbang BB sesuai indikasi

R/ mengawali keseimbangan diet

b.      Diskusi menu yang disukai dan ditoleransi

R/ meningkatkan toleransi intake makanan

c.       Anjurkan gosok gigi sebelum atau sesudah makan

R/ menjaga kebersihan mulut agar tidak bau dan meningkatkan nafsu makan

d.      Konsultasi pada ahli gizi untuk menetapkan diit yang tepat

R/ berguna dalam membuat kebutuhan nutrisi individual melalui rute yang

paling tepat

Page 24: sq LP Cholelithiasis

e.       Anjurkan mengurangi makan na berlemak dan menghasilkan gas

R/ pembatasan lemak menurunkan rangsangan pada kandung empedu dan

nyeri

f.        Berikan diit rendah lemak

R/ mencegah mual dan spasme

g.       Kaji distensi abdomen, berhati-hati, menolak gerak

R/ menunjukkan ketidaknyamanan berhubungan dengan gangguan

pencernaan, nyeri gas

h.       Ambulasi dan tingkatkan aktivitas sesuai toleransi

R/ membantu dalam mengeluarkan flatus, penurunan distensi abdomen

i.         Kolaborasi :

        Nutrisi total

        Garam empedu

4.      Kurang pengetahuan tentang penyakit, prognosa, pengobatan berhubungan

dengan salah interpretasi informasi

Tujuan : menyatakan pemahaman klien

Kriteria hasil : Melakukan perubahan pola hidup dan berpartisipasi dalam

pengobatan

Rencana intervensi :

a.       Kaji informasi yang pernah didapat

R/ mengkaji tingkat pemahaman klien

b.      Beri penjelasn tentang penyakit, prognosa, dan tindakan diagnostik

R/ memungkinkan terjadinya partisipasi aktif

c.       Beritahukan diit yang tepat, teknik relaksasi, untuk persiapan operasi

d.      Anjurkan teknik istirahat yang harus dilaporkan tentang penyakitnya

e.       Anjurkan untuk menghindari makanan atau minuman tinggi lemak

R/ mencegah / membatasi terulangnya serangan kandung empedu

f.        Diskusikan program penurunan berat badan

R/ kegemukan adalah faktor resiko terjadinya colesistitis

g.       Kaji ulang program obat, kemungkinan efek samping

R/ batu empedu sering berulang, perlu terapi jangka panjang

Page 25: sq LP Cholelithiasis

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, Sylvia Price, 2005. Pathofisiologi Konsep Klinik Proses-proses Penyakit,

EGC, Jakarta.

Black, J.M, et al, Luckman and Sorensen’s Medikal Nursing : A Nursing Process

Approach, 4 th Edition, W.B. Saunder Company, 1995.

Mansjoer, Arif, et al. 2000, Kapita Selekta Kedokteran, Jilid II, Medika Aesculapius

FKUI, Jakarta.

Oswari, E, 1993. Bedah dan Perawatannya, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Smeltzer, Brunner, 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. EGC, Jakarta.

Sjamsuhidayat R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku

Kedokteran EGC. 2005. 570-9

Sabiston David C. Jr.. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta:EGC.2010.115-128

Tjandra J. J. A.J. Gordon. Dkk. Textbook Of Surgery.Third Edition.New

Delhi:Blackwell Publishing.2006.