Spinal Cord Injury

27
SRI NURBAETI 2009720052 Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah Jakarta

Transcript of Spinal Cord Injury

Page 1: Spinal Cord Injury

SRI NURBAETI

2009720052

Program Studi Ilmu Keperawatan

Fakultas Kedokteran dan Kesehatan

Universitas Muhammadiyah Jakarta

2012

Page 2: Spinal Cord Injury

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Spinal Cord atau Medulla Spinalis merupakan bagian dari Susunan Syaraf Pusat.

Terbentang dari foramen magnum sampai dengan L1, di L1 melonjong dan agak melebar

yang disebut conus terminalis atau conus medullaris. Terbentang dibawah conus terminalis

serabut-serabut bukan syaraf yang disebut filum terminale yang merupakan jaringan ikat.

Terdapat 31 pasang syaraf spinal:

a.       8 pasang syaraf servikal,

b.      12 Pasang syaraf Torakal,

c.       5 Pasang syaraf Lumbal,

d.      5 Pasang syaraf Sakral ,

e.       1 pasang syaraf koksigeal

Akar syaraf lumbal dan sakral terkumpul yang disebut dengan Cauda Equina. Setiap

pasangan syaraf keluar melalui Intervertebral foramina. Syaraf Spinal dilindungi oleh tulang

vertebra dan ligamen dan juga oleh meningen spinal dan CSF.

            Pada orang dewasa, medula spinalis lebih pendek daripada kolumna spinalis. Medula

spinalis berakhir kira-kira pada tingkat diskus intervertebralis antara vertebra lumbalis

pertama dan kedua. Sebelum usia 3 bulan, segmen medula spinalis, ditunjukkan oleh

radiksnya, langsung menghadap ke vertebra yang bersangkutan. Setelah itu, kolumna tumbuh

lebih cepat daripada medula. Radiks tetap melekat pada foramina intervertebralis asalnya dan

menjadi bertambah panjang ke arah akhir medula (conus terminalis), akhirnya terletak pada

tingkat vertebra lumbalis ke-2. Di bawah tingkat ini, spasium subarakhnoid yang seperti

kantong, hanya mengandung radiks posterior dan anterior yang membentuk cauda equina.

Kadang-kadang, conus terminalis dapat mencapai sampai tingkat vertebra lumbalis ke-3.

            Radiks dari segmen C1 sampai C7, meninggalkan kanalis spinalis melalui foramina

intervertebralis yang terletak pada sisi superior atau rostral setiap vertebra. Karena bagian

servikalis mempunyai satu segmen lebih daripada vertebra servikalis, radiks segmen ke-8

Page 3: Spinal Cord Injury

meninggalkan kanalis melalui foramina yang terletak antara vertebra servikalis ke-7 dan

torasikus ke-1. Dari sini ke bawah, radiks saraf meninggalkan kanalis melalui foramina yang

lebih bawah.

Antara C4 dan T1, dan juga antara L2 dan S3, diameter medula spinalis membesar.

Intumesensia servikalis dan lumbalis ini terjadi karena radiks dari separuh bawah bagian

servikalis naik ke pleksus brakhialis, mempersarafi ekstrimitas atas, dan yang dari regio

lumbo-sakral membentuk pleksus lumbosakralis, mempersarafi ekstrimitas bawah.

Pembentukan pleksus-pleksus ini menyebabkan serat-serat dari setiap pasang radiks

bercabang menjadi saraf-saraf perifer yang berbeda; dengan kata lain, setiap saraf perifer

dibuat dari serat beberapa radiks segmental yang berdekatan. Ke arah perifer dari saraf, serat

saraf aferen berasal dari satu radiks dorsalis yang bergabung dan mensuplai daerah segmen

tertentu dari kulit, disebut dermatom atau daerah dermatomik.

Dermatom berjumlah sebanyak radiks segmental. Dermatom-dermatom letaknya

saling tumpang tindih satu sama lain, sehingga hilangnya satu radiks saja sulit untuk dideteksi.

Harus terjadi hilangnya beberapa radiks yang berdekatan supaya dapat timbul hilangnya

sensorik dari karakter segmental. Dermatom berhubungan dengan berbagai segmen radiks

medula spinalis, sehingga mempunyai nilai diagnostik yang besar dalam menentukan tingkat

ketinggian dari kerusakan medula spinalis.

1.2. Tujuan

Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memahami tentang Spinal Cord Injury untuk

kegiatan pembelajaran.

Page 4: Spinal Cord Injury

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

2.1. Definisi

Tulang belakang (vertebrae) adalah tulang yang memanjang dari leher sampai ke

selangkangan. Tulang vertebrae terdiri dari 33 tulang, antara lain : 7 buah tulang servikal, 12

buah tulang torakal, 5 buah tulang lumbal, 5 buah tulang sacral. Diskus intervertebrale

merupakan penghubung antara dua korpus vertebrae. Sistem otot ligamentum membentuk

jajaran barisan (aligment) tulang belakang dan memungkinkan mobilitas vertebrae. Di dalam

susunan tulang tersebut terangkai pula rangkaian syaraf-syaraf, yang bila terjadi cedera di

tulang belakang maka akan mempengaruhi syaraf-syaraf tersebut (Mansjoer, Arif, et al.

2000).

Cidera tulang belakang adalah cidera mengenai cervicalis, vertebralis dan lumbalis akibat

trauma ; jatuh dari ketinggian, kecelakakan lalu lintas, kecelakakan olah raga dan sebagainya

yang dapat menyebabkan fraktur atau pergeseran satu atau lebih tulang vertebra sehingga

mengakibatkan defisit neurologi (Sjamsuhidayat, 1997).

Spinal Cord Injury (SCI) adalah cedera yang terjadi karena trauma sumsum tulang

belakang atau tekanan pada sumsum tulang belakang karena kecelakaan yang dapat 

mengakibatkan kehilangan atau gangguan fungsi baik sementara atau permanen di motorik

normal, indera, atau fungsi otonom serta berkurangnya mobilitas atau perasaan (sensasi).

Spinal cord injury (SCI) terjadi ketika sesuatu (seperti: tulang, disk, atau benda asing)

masuk atau mengenai spinal dan merusakkan spinal cord atau suplai darah (AACN,

Marianne Chulay, 2005 : 487).

2.2. Etiologi

Kecelakaan jalan raya adalah penyebab terbesar, hal mana cukup kuat untuk merusak

kord spinal serta kauda ekuina. Di bidang olah-raga, tersering karena menyelam pada air

yang sangat dangkal (Pranida, Iwan Buchori, 2007).

Akibat suatu trauma mengenai tulang belakang, jatuh dari ketinggian, kecelakakan lalu

lintas, kecelakakan olah raga (Arifin, 1997).

Page 5: Spinal Cord Injury

Dari kedua sumber di atas dapat disimpulkan bahwa etiologi dari Spinal Cord Injury

(SCI) adalah karena trauma.

Kecelakaan yang menyebabkan spinal cord injury (SCI) terutama yang bersifat akut

berdasarkan suatu penelitian di AS ditemukan sebesar 2,6% dari seluruh pasien trauma. Pada

1970 tercatat 40 per 1000 populasi di AS, dan 28-50 per 1000 penduduk pada dekade

berikutnya, atau sekitar 8000-10.000 cedera tiap tahun. Banyak studi menyebutkan bahwa

SCI lebih sering terjadi pada laki-laki dan berumur kurang dari 30-40 tahun. Secara umum

penyebab SCI pada orang dewasa antara lain : kecelakaan kendaraan bermotor (40%), jatuh

(20%), dan luka tembak (14%). Pada anak-anak, kecelakaan kendaraan bermotor

mendominasi penyebab SCI (39-52%) sedangkan pada usia tua (>65 tahun), jatuh adalah

penyebab utama SCI (53%).

Satu studi menyebutkan 13% dari SCI disebabkan oleh kecelakaan kerja, dimana

kebanyakan terjadi pada daerah konstruksi. SCI lebih sering terjadi pada akhir minggu dan

hari libur. Kebanyakan level SCI antara lain : servikal (55%), toraks (30%), dan lumbal

(15%). Sekitar 95% SCI hanya terjadi pada satu daerah spinal. Sekitar 80% SCI

berhubungan dengan trauma multipel.

Kematian akibat SCI sekitar 12-16 kali lebih besar dibanding trauma lain. Kebanyakan

kematian akibat SCI terjadi dalam waktu 24 jam setelah masuk RS dan terutama terjadi pada

SCI dengan trauma multipel. Lama rawat inap di ICU oleh karena SCI rata-rata sekitar 1

minggu dan secara keseluruhan lama rawat inap di RS antara 2-4 minggu.

2.3. Klasifikasi

American Spinal Injury Association (ASIA) bekerjasama dengan Internasional Medical

Society Of Paraplegia (IMSOP) telah mengembangkan dan mempublikasikan standart

internasional untuk klasifikasi fungsional dan neurologis cedera medula spinalis. Klasifikasi

ini berdasarkan pada Frankel pada tahun 1969. Klasifikasi ASIA/ IMSOP dipakai di banyak

negara karena sistem tersebut dipandang akurat dan komperhemsif. Skala kerusakan menurut

ASIA/ IMSOP Grade A Komplit Tidak ada fungsi motorik/ sensorik yg diinervasi o/ segmen

sakral 4-5 Grade B Inkomlpit Fungsi sensorik tapi bukan motorik dibawah tingkat lesi dan

menjalar sampai segmen sakral (S4-5). Grade C Inkomlpit Gangguan fungsi motorik di

bawah tingkat lesi dan mayoritas otot-otot penting dibawah tingkat lesi memiliki nilai kurang

Page 6: Spinal Cord Injury

dari 3. Grade D Inkomlpit Gangguan fungsi motorik dibawah tingkat lesi dan meyoritas otot-

otot penting memiliki nilai lebih dari 3. Grade E Normal Fungsi motorik dan sensorik

normal.

Cedera umum medula spinalis dapat dibagi menjadi komplet dan tidak komplet

berdasarkan ada/tidaknya fungsi yang dipertahankan di bawah lesi.Terdapat 5 sindrom utama

cedera medula spinalis inkomplet menurut American Spinal Cord Injury Association yaitu :

(1) Central Cord Syndrome,

(2) Anterior Cord Syndrome,

(3) Brown Sequard Syndrome,

(4) Cauda Equina Syndrome, dan

(5) Conus Medullaris Syndrome.

Lee menambahkan lagi sebuah sindrom inkomplet yang sangat jarang terjadi yaitu

Posterior Cord Syndrome.

Central Cord Syndrome (CCS) biasanya terjadi setelah cedera hiperekstensi. Sering

terjadi pada individu di usia pertengahan dengan spondilosis cervicalis. Predileksi lesi yang

paling sering adalah medula spinalis segmen servikal, terutama pada vertebra C4-C6.

Sebagian kasus tidak ditandai oleh adanya kerusakan tulang. Mekanisme terjadinya cedera

adalah akibat penjepitan medula spinalis oleh ligamentum flavum di posterior dan kompresi

osteofit atau material diskus dari anterior. Bagian medula spinalis yang paling rentan adalah

bagian dengan vaskularisasi yang paling banyak yaitu bagian sentral. Pada Central Cord

Syndrome, bagian yang paling menderita gaya trauma dapat mengalami nekrosis traumatika

yang permanen. Edema yang ditimbulkan dapat meluas sampai 1-2 segmen di bawah dan di

atas titik pusat cedera. Sebagian besar kasus Central Cord Syndrome menunjukkan

hipo/isointens pada T1 dan hiperintens pada T2, yang mengindikasikan adanya edema.

Gambaran khas Central Cord Syndrome adalah kelemahan yang lebih prominen pada

ekstremitas atas dibanding ektremitas bawah. Pemulihan fungsi ekstremitas bawah

biasanya lebih cepat, sementara pada ekstremitas atas (terutama tangan dan jari) sangat

sering dijumpai disabilitas neurologik permanent. Hal ini terutama disebabkan karena pusat

cedera paling sering adalah setinggi VC4-VC5 dengan kerusakan paling hebat di medula

spinalis C6 dengan ciri LMN. Gambaran klinik dapat bervariasi, pada beberapa kasus

dilaporkan disabilitas permanen yang unilateral.

Page 7: Spinal Cord Injury

Nama Sindroma Pola dari lesi saraf Kerusakan

Central cord syndrome Cedera pada posisi sentral dan

sebagian pada daerah lateral.

Dapat sering terjadi pada daerah

servikal

Menyebar ke daerah sacral.

Kelemahan otot ekstremitas atas

dan ekstremitas bawah jarang

terjadi pada ekstremitas bawah

Brown- Sequard Syndrome Anterior dan posterior hemisection

dari medulla spinalis atau cedera akan

menghasilkan medulla spinalis

unilateral

Kehilangan ipsilateral

proprioseptiv dan kehilangan

fungsi motorik.

Anterior cord syndrome Kerusakan pada anterior dari daerah

putih dan abu- abu medulla spinalis

Kehilangan funsgsi motorik dan

sensorik secara komplit.

Posterior cord syndrome Kerusakan pada anterior dari daerah

putih dan abu- abu medulla spinalis

Kerusakan proprioseptiv

diskriminasi dan getaran.

Funsgis motor juga terganggu

Cauda equine syndrome Kerusakan pada saraf lumbal atau

sacral samapi ujung medulla spinalis

Kerusakan sensori dan lumpuh

flaccid pada ekstremitas bawah

dan kontrol berkemih dan

defekasi.

Menurut sumber lain klasifikasi SCI terbagi menjadi:

1. Mechanisme of injury

Flexion

Hyperextension

Flexion-rotation

Extention-rotation

Compression

2. Skeletal and neurulogic level of injury

Skeletal level

Level vertebrata dimana kerusakan lebih pada tulang dan ligamen vertebrata

Neurologic level

Page 8: Spinal Cord Injury

- Segmen bawah dari spinal cord yang fungsi sensorik dan motoriknya

normal pada kedua sisi tubuh.

- Level injury

a. Cervical injury

b. Thoracal

c. Lumbal

3. Completeness or degree of injury

Diklasifikasikan sebagai :

Komplit :

Hilangnya secara total fungsi motorik dan sensori dibawah level cedera (lesi)

Inkomplit :

- Hilangnya satu aktivitas motorik volunter dan sensasi dan masih ada

beberapa jalur yang utuh.

- Tingkat kehilangan sensori dan motorik bervariasi tergantung pada level

lesi dan jalur saraf tertentu yang rusak dan tidak rusak.

- 7 sindrom lesi inkomplit:

a. Central cord syndrom

b. Anterior cord syndrom

c. Brown-Squard syndrom

d. Posterior cord syndrom

e. Cauda equina syndrom

f. Connus medullaris syndrom

2.4. Mekanisme Trauma Tulang Belakang

Tulang belakang dalam keadaan normal mampu menahan gaya sampai 500 kgf

(kilogram force). Gerakan cepat dan olahraga yang penuh kontak dapat meningkatkan besar

gaya terhadap tulang belakang, misalnya tabrakan mobil dengan kecepatan rendah-sedang,

tubuh dengan berat 70 kg akan mendapat 500-600 kgf pada tulang belakang saat kepala tiba-

tiba terhenti karena benturan dengan kaca depan atau atap mobil.

Tiga mekanisme yang digunakan untuk menilai cedera korda spinalis:

Page 9: Spinal Cord Injury

1. Pada mekanisme cedera positif, gaya diterima penderita sangat dicurigai akan

menimbulkan cedera korda spinalis. Paramedik harus menganggap penderita ini

menderita trauma spinalis dan harus dikelola dengan penanganannya, contoh mekanisme

cedera positif adalah tabrakan kendaraan bermotor.

2. Mekanisme cedera negative, gaya-gaya yang bekerja tidak menunjukkan potensi cedera

spinal contohnya cedera jaringan lunak teriris pisau.

3. Mekanisme cedera yang meragukan, tidak jelas apakah gaya-gaya tersebut dapat

menyebabkan cedera corda spinalis. Hal ini menunjukkan indikasi untuk dilakukan

penilaian lengkap dan immobilisasi spinal. Contohnya, tabrakan kendaraan bermotor

dengan kecepatan rendah.

Contoh penyebab utama trauma spinalis pada anak-anak berdasarkan frekuensinya

adalah

a. Jatuh dari ketinggian (2-3 kali dari tinggi badan penderita).

b. Jatuh dari sepeda

c. Tabrakan kendaraan bermotor

2.5. Manifestasi Klinis

Nyeri leher atau punggung.

Nyeri gerak leher atau punggung.

Nyeri tekan leher posterior atau midllline punggung.

Deformitas kolumna spinalis.

Guarding pada leher dan punggung.

Paralisis, paresis, baal atau kesemutan pada ekstremitas pada pasca kejadian.

Tanda dan gejala syok neurogenik.

Priapismus (1 jam pada awal kejadian).

Bau feses dan urin (inkontinensia alvi dan uri).

Page 10: Spinal Cord Injury

2.6. Pemeriksaan Diagnostik

1. Sinar X spinal untuk menentukan lokasi dan jenis cidera tulang (fraktur, dislokasi),

untuk kesejajaran, reduksi setelah dilakukan traksi atau operasi.

2. CT-scan untuk menentukan tempat luka /jejas, mengevaluasi gangguan structural.

3. MRI untuk mengidentifikasi adanya kerusakan saraf spinal , edema dan kompresi.

4. Mielografi  untuk memperlihatkan koumna spinalis (kanal vertebral) jika factor

patologisnya tidak jelas atau dicurigai adanya dilusi pada ruang sub arachnoid medulla

spinalis (biasanya tidak dilakukan setelah mengalami luka penetrasi).

5. Foto rontgen torak , memperlihatkan keadaan paru (contoh:  perubahan pada diafragma,

atelektasis).

6. Pemeriksaan fungsi paru (kapasitas vital, volume tidal): mengukur volume inspirasi

maksimal khususnya pada pasien dengan trauma servikal bagian bawah atau pada

trauma torakal dengan gangguan pada saraf frenikus / otot interkostal.

7. GDA unutk menunjukkan keefektifan pertukaran gas atau upaya ventilasi.

(Doengoes, 1999 : 339-340).

2.7. Komplikasi

1. Emboli paru, pneumonia

2. DVT

3. Orthostatic hypotensi

4. Autonimic dysrefleksia

5. Pressure Ulcer

Page 11: Spinal Cord Injury

Trauma Spinal cord yang disebabkan oleh KLL, jatuh dari ketinggian, kecelakaan olah raga,penyakit lain, luka jejas, tembak, dan tusuk pada vertebra

Menimbulkan patah tulang belakang, paling banyak servicalis dan lumbalis

Kelumpuhan otot pernapasan

Blok syaraf parasimpatis

Hilangnya kemampuan saraf motorik dan kekuatan otot

Fraktur dapat berupa patah tulang sederhana, kompresi, kominutif, dan dislokasi. Sedangkan sum-sum tlng belakang dapat berupa memar, kontusio, laserasi, dengan atau tanpa gangguan peredaran darah

Gangguan fungsi rectum dan kandung kemih

Pelepasan mediator kimia Kelumpuhan

Gg. eliminasi

Respon nyeri hebat dan akut

Syok spinal

Gangguan rasa nyaman nyeri, dan potensi komplikasi hipotensi dan bradikardia

Iskemia dan hipoksemia

Gg kebutuhan oksigen

Gg mobilitas fisik

2.8. Patofisiologi SCI

2.9. Penatalaksanaan Medis dan Keperawatan

2.9.1. Penatalaksaan Medis

a) Tindakan-tindakan untuk imobilisasi dan mempertahankan vertebral dalam posisi

lurus.

b) Pemakaian kollar leher, bantal psir atau kantung IV untuk mempertahankan agar

leher stabil, dan menggunakan papan punggung bila memindahkan pasien.

Page 12: Spinal Cord Injury

c) Lakukan traksi skeletal untuk fraktur servikal, yang meliputi penggunaan

Crutchfield, Vinke, atau tong Gard-Wellsbrace pada tengkorak.

Gambar 2. Halo vest

(a) (b)

Gambar 3. Philadelphia collar (a) dan Miami-J collar (b)

d) Tirah baring total dan pakaikan brace haloi untuk pasien dengan fraktur servikal

stabil ringan.

e) Pembedahan (laminektomi, fusi spinal atau insersi batang Harrington) untuk

mengurangi tekanan pada spinal bila pada pemeriksaan sinar-x ditemui spinal tidak

aktif.

f) Tindakan-tidakan untuk mengurangi pembengkakan pada medula spinalis dengan

menggunakan glukortiko steroid intravena.

g) Farmakologi :

a. Farmakoterapi standar pada SCI berupa metilprednisolon 30 mg/kgBB secara

bolus intravena, dilakukan pada saat kurang dari 8 jam setelah cedera. Jika

terapi tersebut dapat dilakukan pada saat kurang dari 3 jam setelah cedera,

terapi tersebut dilanjutkan dengan metilprednisolon intravena kontinu dengan

dosis 5,4 mg/kgBB/jam selama 23 jam kemudian. Jika terapi bolus

metilprednisolon dapat dikerjakan pada waktu antara 3 hingga 8 jam setelah

Page 13: Spinal Cord Injury

cedera maka terapi tersebut dilanjutkan dengan metilprednisolon intravena

kontinu dengan dosis 5,4 mg/kgBB/jam selama 48 jam kemudian. Terapi ini

efektif dimana terjadi peningkatan fungsi sensorik dan motorik secara

signifikan dalam waktu 6 minggu pada cedera parsial dan 6 bulan pada cedera

total. Efek dari metilprednisolon ini kemungkinan berhubungan dengan efek

inhibisi terhadap peroksidasi lipid dibandingkan efek glukokortikoid.

b. Antasid atau H2 antagonis ditujukan untuk mencegah iritasi atau ulkus

lambung.

2.9.2. Penatalaksanaan Keperawatan

a) Pengkajian fisik didasarkan pada pemeriksaan pada neurologis, kemungkinan

didapati defisit motorik dan sensorik di bawah area yang terkena: syok spinal,

nyeri, perubahan fungsi kandung kemih, perusakan fungsi seksual pada pria, pada

wanita umumnya tidak terganggu fungsi seksualnya, perubahan fungsi defekasi.

b) Kaji perasaan pasien terhadap kondisinya

c) Pemeriksaan diagnostic

d) Pertahankan prinsip A-B-C (Airway, Breathing, Circulation).

e) Pengkajian Keperawatan

Adapun beberapa hal penting yang perlu dikaji dalan Spinal Cord Injury dapat

meliputi :

a) Riwayat trauma (KLL, olahraga, dll)

b) Riwayat penyakit degeneratif (osteoporosis, osteoartritis, dll)

c) Mekanisme trauma

d) Stabilisasi dan monitoring

e) Pemeriksaan fisik; KU, TTV, defisit neurologis, status kesadaran awal kejadian,

refleks, motorik, lokalis (look, feel, move).

f) Fokus; deformitas leher, memar pada leher dan bahu, memarpada muka atau abrasi

dangakal pada dahi.

g) Pemeriksaan neurologi penuh.

Page 14: Spinal Cord Injury

2.10. Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian

a. Kaji ABC (Airway, Breathing, dan Circulation)

b. Riwayat trauma (KLL, olahraga, dll)

c. Riwayat penyakit degeneratif (osteoporosis, osteoartritis, dll)

d. Mekanisme trauma

e. Stabilisasi dan monitoring

f. Pemeriksaan fisik; KU, TTV, defisit neurologis, status kesadaran awal kejadian,

refleks, motorik, lokalis (look, feel, move).

g. Fokus; deformitas leher, memar pada leher dan bahu, memarpada muka atau abrasi

dangakal pada dahi.

h. Pemeriksaan neurologi penuh.

2.11. Diagnosa Keperawatan

a. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan suplai oksigen karena

hipoventilasi sekunder terhadap paresis atau paralis otot respirasi (diafragma,

interkosta) yang terjadi pada cedera spinal cervical atau edema spinal asenden

Tujuan:

Dalam 24 jam pasien mengalami pertukaran gas yang adekuat.

Kriteria hasil:

- Orientasi terhadap tempat, orang dan waktu

- PaO2 > 80 mmHg

Intervensi

- Monitor tanda disfungsi respirasi (napas dangkal, cepat)

- Monitor hasil ABC

- Monitor TTV tiap 8 jam

Page 15: Spinal Cord Injury

b. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelumpuhan otot diafragma

Tujuan :

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam pola nafas efektif.

Kriteria hasil :

Ventilasi adekuat, PaO2 > 80, PaCo2 < rr =" 16-20">

Intervensi

a.Pertahankan jalan nafas; posisi kepala tanpa gerak.

Rasional : pasien dengan cedera cervicalis akan membutuhkan bantuan

untuk mencegah aspirasi/ mempertahankan jalan nafas.

b. Lakukan penghisapan lendir bila perlu, catat jumlah, jenis dan

karakteristik sekret.

Rasional : jika batuk tidak efektif, penghisapan dibutuhkan untuk

mengeluarkan sekret, dan mengurangi resiko infeksi pernapasan.

c.Kaji fungsi pernapasan.

Rasional : trauma pada C5-6 menyebabkan hilangnya fungsi pernapasan

secara partial, karena otot pernapasan mengalami kelumpuhan.

d. Auskultasi suara napas.

Rasional : hipoventilasi biasanya terjadi atau menyebabkan akumulasi

sekret yang berakibat pnemonia.

e.Observasi warna kulit.

Rasional : menggambarkan adanya kegagalan pernapasan yang

memerlukan tindakan segera.

f. Kaji distensi perut dan spasme otot.

Rasional : kelainan penuh pada perut disebabkan karena kelumpuhan

diafragma

g. Anjurkan pasien untuk minum minimal 2000 cc/hari.

Rasional : membantu mengencerkan sekret, meningkatkan mobilisasi sekret

sebagai ekspektoran.

Page 16: Spinal Cord Injury

h. Lakukan pengukuran kapasitas vital, volume tidal dan kekuatan

pernapasan.

Rasional : menentukan fungsi otot-otot pernapasan. Pengkajian terus

menerus untuk mendeteksi adanya kegagalan pernapasan.

i. Pantau analisa gas darah.

Rasional : untuk mengetahui adanya kelainan fungsi pertukaran gas

sebagai contoh : hiperventilasi PaO2 rendah dan PaCO2 meningkat.

c. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan fungsi motorik dan

sensorik

Tujuan:

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam gangguan

mobilisasi bisa diminimalisasi sampai cedera diatasi dengan pembedahan.

Kriteria hasil:

Tidak ada kontrakstur, kekuatan otot meningkat, pasien mampu beraktifitas

kembali secara bertahap.

Intervensi :

a.Pntau secara teratur fungsi motorik.

b. Instruksikan pasien untuk memanggil bila minta pertolongan.

c.Inspeksi kulit setiap hari.

d. Ajarkan dan bantu klien latihan ROM

d. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan adanya cedera

Tujuan:

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam rasa nyaman

terpenuhi setelah diberikan perawatan dan pengobatan

Kriteria hasil :

Klien mengatakan nyerinya berkurang

Page 17: Spinal Cord Injury

Intervensi :

a. Pantau terhadap nyeri dengan skala 0 - 10.

b. Pantau karakteristik nyeri dengan PQRST

c. Ajarkan teknik relaksasi

d. Berikan obat antinyeri sesuai pesanan

e. Gangguan eliminasi /konstipasi berhubungan dengan gangguan persarafan

pada usus dan rektum.

Tujuan :

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam pasien tidak

menunjukkan adanya gangguan eliminasi alvi/konstipasi

Kriteria hasil :

Klien dapat BAB secara teratur sehari 1 kali

Intervensi :

1. Auskultasi bising usus, catat lokasi dan karakteristiknya.

2. Observasi adanya distensi perut.

3. Catat adanya keluhan mual dan ingin muntah,

4. Berikan diet seimbang TKTP cair

5. Berikan obat pencahar sesuai pesanan.

Page 18: Spinal Cord Injury

BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Cedera tulang belakang adalah cedera mengenai cervicalis, vertebralis dan

lumbalis akibat trauma; jatuh dari ketinggian, kecelakakan lalu lintas, kecelakakan olah

raga dsb (Arifin cit Sjamsuhidayat, 1997).

  Spinal Cord Injury (SCI) adalah cidera yang terjadi karena trauma spinal cord atau

tekanan pada spinal cord karena kecelakaan

  Etiologi :

Kecelakaan jalan raya adalah penyebab terbesar, hal mana cukup kuat untuk merusak

kord spinal serta kauda ekuina. Di bidang olah-raga, tersering karena menyelam pada air

yang sangat dangkal Klasifikasi

3.2. Saran

Dalam pembuatan makalah ini kelompok masih jauh dari sempurna. Oleh karena

itu kelompok meminta kritik dan saran yang membangun dari pembaca. Semoga makalah

yang kami buat dapat bermanfaat bagi pembaca

Page 19: Spinal Cord Injury

DAFTAR PUSTAKA

Sylvia A. Price, 1995. Patofisiologi Edisi A. Jakarta: EGC.

Andri Andreas.Dr. 2012. Basic Trauma Cardiac Life Support. Jakarta: AGD Dinkes

Provinsi DKI Jakarta.

Doengoes, Marylin E. 2000. Rencana Asuhan Dan Dokumentasi Keperawatan(Edisi 3)

Jakarta: EGC.

Barbara C. Long. 1996. Perawatan Medikal Bedah. Bandung: Yayasan Ikatan Alumni

Pendidikan Keperawatan Padjajaran.

ikabuntud.blogspot.com/2012/05/spinal-cord-injury.html