Sorge - Agustus 2015

52

description

Buletin Sorge edisi Agustus 2015.

Transcript of Sorge - Agustus 2015

Page 1: Sorge - Agustus 2015
Page 2: Sorge - Agustus 2015
Page 3: Sorge - Agustus 2015
Page 4: Sorge - Agustus 2015

TIM PENYUSUN

Blandina LintangBramantya BasukiCharlie AlbajiliDaywin PrayogoEgi PrimayoghaKania MamontoLalola EasterMirza Fahmi

Talitha Yurdhika

[email protected]

In Cooperation with

This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial 4.0

International License.

Unduh, copy, sebar bulletin ini. Sebanyak-banyaknya, seluas-luasnya.

Kepada siapapun dan kapanpun.

Page 5: Sorge - Agustus 2015

Setelah sempat tak menentu nasibnya, Bulletin ini hadir lagi. Sudah keterlaluan memang untuk sebuah terbitan yang awalnya direncanakan keluar tiap tiga bulan ini. Tetapi ketimbang meratapinya terus, lebih baik syukuri saja niat dari para penyusun yang akhirnya ter-kumpul, hingga akhirnya bulletin ini bisa tersaji lagi.

Dalam terbitan ini kami mengumpulkan tulisan-tulisan yang naik ke meja redaksi selama kurun 8 bulan terakhir. Semua pernah ditayangkan di laman www.sorgemagz.com. Tulisan-tulisan berikut adalah sikap redaksi maupun opini para kontributor tentang apa yang terjadi di periode awal pemerintahan Jokowi-JK. Mulai dari kisruh KPK-Polri yang berujung pelemahan terhadap KPK, sihir populisme Jokowi yang membuat gerakan lesu darah, hukum yang semakin jauh dari keadilan, hingga gelombang kekecewaan terhadap presiden baru coba ditanggapi melalui terbitan ini.

Keseluruhan artikel dalam bulletin ini setia pada satu pemahaman dasar: Bahwa oligarki sedang menjangkiti demokrasi kita, menguasai hajat hidup kita, di mana kepentingan publik tereduksi oleh kepent-ingan segelintir oligark hitam yang mempengaruhi kekuasaan untuk tujuan melipatgandakan kekayaannya.

Bulletin ini ingin merangkai gambaran itu. Bagaimana kekuasaan yang dijalankan di periode awal pemerintahan Jokowi-JK membuktikan bahwa dalam pemerintahan yang lemah dalam membela agenda publik, agenda oligarki melenggang begitu mulus.

Di edisi terdahulu, bulletin kami mengambil sikap: “Whoever We Vote For, Oligarchs Win”. Maka di edisi ini, kami hanya meyakinkan sekali lagi bahwa dalam waktu 9 bulan, di masa pemerintahan pres-iden baru yang awalnya diyakini sebagai The Hope, Oligarki justru semakin erat mencengkeram demokrasi kita.

Oligarchs Win. See?

PENGANTAR REDAKSI

Page 6: Sorge - Agustus 2015

KONTEN

Durian Busuk Penegakan Hukum Dan Batas

PopulismeEditorial

26 Januari 2015hlm. 10

Robohnya PertahananTerakhir Terhadap

OligarkiEditorial

20 Februari 2015hlm. 12

Setelah Kuda Troya Masuk KPK: Dimana Kita?

Editorial27 Februari 2015

hlm. 18

Kembali Mendayungdi Antara Dua Karang

Editorial22 Maret 2015

hlm. 22

Hujat Hujatan Bulan MeiEditorial21 Mei 2015hlm. 28

Jokowi dan Runtuhnya Janji Pemberantasan

KorupsiLalola Easter

hlm. 31

Hukuman Mati: Antara Praktik Kedaulatan dan

FantasiDaywin Prayogo

hlm. 36

Anomali KekuasaanJokowi - JKBudiana Irmawan

hlm. 41

BLHKS#1Balada Joko, Ketua OSIS

KamiAnonymoushlm. 44

AMUNISI MELAWANOLIGARKI

Page 7: Sorge - Agustus 2015

READY?

Page 8: Sorge - Agustus 2015
Page 9: Sorge - Agustus 2015
Page 10: Sorge - Agustus 2015

Akhir-akhir ini, gelombang demi ge-lombang kekecewaan mengemuka atas kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah baru. Kekecewaan mun-cul karena harapan yang dipertaruh-kan besar dalam pemilu lalu. Saat dimana rakyat disihir dengan mantra populisme. Seolah apa yang diper-juangkan dalam pemilu tersebut ada-lah murni gerakan orang banyak, atau massa, mengangkat seorang terpilih menjadi wali mereka di puncak tam-puk pemerintahan. Ada harapan bah-wa si wali itu akan memberikan jalan keluar bagi banyak permasalahan di negara ini.

Namun empat bulan sesudahnya, si-hir populisme itu pudar juga. Blunder demi blunder tercipta, bahkan se-menjak Jokowi menetapkan susunan kabinetnya. Lalu kemudian berturutan muncul kasus penembakan di Pap-ua, reklamasi teluk Benoa yang han-ya diganti nama menjadi revitalisasi, kisruh perebutan yang tak kunjung usai seperti di Rembang, pelaksanaan hukuman mati para terpidana kasus narkoba, hingga kasus kriminalisasi pimpinan KPK kini.

Mengenai kisruh KPK akhir-akhir ini, harus diakui masalah dimulai dari langkah Presiden sendiri yang ngebet mengajukan satu calon Kapolri yang diduga memiliki rekening gendut se-jak tahun 2010. Ketergesaan Presiden, juga para anggota DPR yang menyetu-jui calon Kapolri itu seperti menunju-kan adanya kepentingan partisan di belakang pemilihan Kapolri tersebut.

Komitmen pemerintahan Jokowi-JK pada sistem penegakan hukum me-mang diragukan setelah pemilihan menteri Hukum dan HAM, Jaksa Agung, dan Kapolri yang dekat dengan kalangan partai. Selain itu, komitmen pada penegakkan Hak Asasi Manusia juga diragukan mengingat nama-na-ma pendukung utama yang muncul di belakang layar juga para pelanggar HAM itu sendiri. Namun di lain sisi, pemerintahan ini seperti menunjukan “ketegasan” hukuman lewat pelaksa-naan hukuman mati oleh 5 WNA dan 1 WNI karena kasus narkoba, peneng-gelaman kapal nelayan pencuri ikan, penguatan perbatasan wilayah Indo-nesia, dan lain sebagainya. Dengan kata lain, kebijakan hukum seperti ini mirip dengan buah durian busuk yang

Durian BusukPenegakan Hukum

Dan Batas Populisme

10

Page 11: Sorge - Agustus 2015

tampak garang berduri di luar, namun lembek dan busuk di dalamnya.

Untuk menutupi ketidakbecusan ini, seberapa banyaknya kebijakan pop-ulis diciptakan, seperti kartu Indo-nesia sehat & pintar, pengeboman kapal nelayan asing, makanan “mer-akyat” yang disajikan di acara neg-ara, hingga aksi blusukan presiden ke daerah-daerah, akan susah untuk menutupi borok kepentingan elit-elit politik di belakang pemerintahan. Da-lam kondisi kekecewaan atas kinerja pemerintah saat ini, jika anda masih mempermasalahkan siapa memilih siapa pada pemi-lu lalu, maka jelas anda luput perma-salahan utamanya. Keterjebakan pada logika politik repre-sentasi pemilu, ha-nya membuat solusi yang sama meng-gelikan dan tidak solutifnya: pilih saja orang lain yang lebih mampu pada pemilu mendatang. Permasalahan utama begitu mengguritanya kekua-saan oligarki takkan terhapus dengan perhelatan lima tahunan tersebut.

Oligarki adalah mereka yang men-guasai sumber-sumber daya dan ka-pital, lalu dengan tujuan untuk me-lipatgandakan kekayaannya, mereka mengangkangi kekuasaan atau terjun langsung ke kancah politik. Dengan demikian, kasus KPK hingga penyero-

botan lahan-lahan petani harus dilihat dalam konteks mengguritanya kekua-saan Oligarki ini. Bahwa jelas-jelas ada elit penguasa modal yang ingin menggerus kehidupan publik dan yang komun (hak asasi dan lingkun-gan hidup).

Karenanya, isu-isu antikorupsi sep-erti pembelaan pada institusi seperti KPK, tidak bisa dibuat sebagai isu eli-tis nasional di Jakarta, sedangkan di daerah adem ayem. Begitu juga seba-liknya, isu-isu yang ramai di daerah seperti perampasan tanah, juga per-lu menjadi perhatian nasional, tidak

terpinggirkan hingar bingar kepentingan pusat. Buktinya, isu antikorupsi juga menjadi serius di Bangkalan, Madu-ra, ketika seorang aktivis antikorup-si, Mathur Husairi, ditembak orang di depan rumahnya.

Juga penggusuran-penggusuran untuk proyek pemerintah marak akhir-akhir ini di perkotaan.

Dengan demikian perlawanan dalam konteks penyelamatan negara dari bahaya korupsi, membela hak asasi manusia, atau advokasi perampasan lahan penting untuk ditempatkan da-lam satu koridor perlawanan terhadap oligarki.

***

Oligarki adalah mereka yang menguasai sumber-sumber daya dan kapital, lalu dengan tujuan untuk melipatganda-kan kekayaannya, mereka mengangkangi kekuasaan atau terjun langsung ke

kancah politik.

11

Page 12: Sorge - Agustus 2015

ROBOHNYAPERTAHANAN TERAKHIR

TERHADAP OLIGARKIAgenda pemberantasan korupsi di In-donesia kini diujung tanduk. Kriminal-isasi yang terus dilakukan terhadap pimpinan dan penyidik KPK membuat institusi yang saat ini paling konsis-ten mengawal kasus korupsi di Indo-nesia ini lumpuh. Berbagai kasus ko-rupsi yang sedang ditangani KPK pun mandek.

Sikap Jokowi membatalkan pelantikan BG sebagai Kapolri serta pengang-katan pelaksana tugas (Plt) untuk menggantikan pimpinan KPK yang dikriminalisasi tidak menyelesaikan permasalahan. Sikap Jokowi ini seo-lah-olah ‘menjawab’ tuntutan rakyat, namun pada kenyataannya justru se-makin menjerumuskan posisi KPK.

Upaya kriminalisasi terhadap KPK ma-sih terus berlanjut. Setelah BW dan AS yang telah ditetapkan sebagai tersangka, ada 21 penyidik KPK lain yang menunggu ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan kepemilikan

senjata ilegal. Pernyataan Jokowi ke-marin memang meredakan konflik di permukaan antara Polri dan KPK, na-mun sikapnya sama sekali tidak me-lindungi KPK dari upaya pelemahan.

Dua dari tiga Plt yang diangkat juga memiliki rekam jejak yang tidak ra-mah dengan pemberantasan korupsi. Indriyanto Seno Aji adalah mantan pengacara Soeharto. Selama ini ia dikenal berseberangan dengan KPK. Ia dekat dengan kekuatan Orde Baru serta banyak melakukan pendampin-gan hukum terhadap pelaku korupsi, kejahatan perbankan dan pelangga-ran HAM.

Sedangkan Taufiequrachman Ruki, meskipun ia adalah mantan pimpinan KPK yang dinilai cukup baik, kedeka-tannya dengan kekuasaan membuat-nya patut diragukan. Ia adalah pen-siunan Jendral Polri yang juga aktif di Partai Demokrat dan menjabat Komis-aris Utama Bank Jabar Banten (BJB).

12

Page 13: Sorge - Agustus 2015

Publik pun tahu bahwa kasus korup-si Bank BJB tak kunjung tuntas ditan-gani KPK. Praktis hanya Johan Budi yang mempunyai komitmen jelas. Dengan demikian penetapan Plt ini hanya menjadi bom waktu bagi KPK. Secara de facto KPK telah lumpuh.

Tentu dalam menilai polemik pelemahan KPK ini, kita tidak dapat menyandarkannya pada sosok Jo-kowi seorang. Harus disadari bah-wa upaya pelemahan KPK ini dise-babkan oleh begitu mengguritanya kekuasaan oligarki di tubuh lemba-ga negara. Oligarki adalah mereka yang menguasai sumber-sumber daya dan kapital serta berupaya mempengaruhi kekuasaan. Kekua-tan material para oligark penyokong kekuasaan ini bergerak menentukan arah kebijakan. Para oligark menjalin relasi dengan kekuasaan atau terjun langsung ke kancah politik dengan tujuan mempertahankan atau meli-pat gandakan kekayaannya. Dalam mempertahankan kekayaan atau ekspansi kekayaannya, oligark terus berupaya mempermainkan hukum dan bila perlu merusak serta meng-hancurkan institusi. Pernyataan Bu-syro Muqoddas bahwa ada mafia migas dibalik upaya pelemahan KPK merupakan sinyal yang kuat bahwa oligarki berdiri di belakang kisruh ini.

Upaya pelemahan KPK ini harus dili-hat dalam gambaran yang lebih be-sar. Pembiaran yang dilakukan oleh Jokowi membuktikan dirinya berada bersama oligarki parpol. Konsolidasi KIH dan KMP di tubuh parlemen yang satu suara dalam upaya pelemahan KPK merupakan sinyal kuat bah-wa kisruh ini belum berakhir. Sikap parlemen seperti itu merupakan tanda bahaya mengingat beberapa agenda program legislasi nasional (Prolegnas) ke depan berhubungan langsung dengan KPK.

Revisi UU KPK dan UU Tipikor kemba-li masuk dalam agenda Prolegnas di DPR periode 2015-2019. Revisi kedua UU ini pernah ditolak dalam periode sebelumnya karena perubahannya berpotensi melemahkan KPK. Da-lam revisi yang diusulkan, ada up-aya untuk membatasi kewenangan penuntutan dan penyadapan yang dimiliki KPK. Sikap parlemen yang semakin kompak melemahkan KPK membuat dugaan kewenangan KPK akan dipreteli menguat. Dengan ke-wenangan yang semakin terbatas, KPK akan kehilangan tajinya dalam membongkar kasus korupsi besar.

Pengaruh oligarki dalam upaya pelemahan KPK semakin jelas apabi-la kita melihat rencana dilakukannya Pilkada langsung serentak di tahun 2016. Perkawinan para oligark den-

13

Page 14: Sorge - Agustus 2015

gan parpol biasanya terjadi pada saat Pemilu, terutama dalam iklim pemili-han langsung. Biaya politik yang mahal dalam Pemilu langsung menjadi pintu masuk oligark mempengaruhi kekua-saan. Politik uang dan korupsi yang marak terjadi pada saat Pemilu menan-

dai perkawinan oligarki dengan kekuasaan itu. Beberapa kasus yang berhasil diungkap oleh KPK seperti dugaan kasus suap daging sapi impor, Hambalang, cek pelawat dan bantuan sosial berkaitan dengan pengumpulan modal Pemilu yang mana erat kaitannya dengan para oligark.

Dengan maraknya Korupsi yang terjadi setiap Pemilu, akan dapat dibayangkan dalam sebuah Pilkada serentak, aparat penegakan hukum akan kewalahan mendeteksi adanya korupsi, terutama dengan lumpuhnya KPK. Perkawinan oli-gark dengan parpol tak terbendung. Pintu masuk oligarki kepada kekuasaan terbuka lebar.

Dengan kewenangan yang dimiliki KPK sekarang, kuasa material oligarki dalam mempengaruhi kekuasaan relatif dapat dibendung. Prestasi KPK memberan-tas korupsi di periode sekarang pun cukup membanggakan. Berbagai kasus korupsi besar seperti kasus Hambalang yang berkaitan dengan para oligark dan partai penguasa mampu dibongkar. Beberapa kasus besar lainnya seperti kasus BLBI, Century dan korupsi SDA lain pun sedang ditangani serius oleh KPK. Maka dapatlah dikatakan bahwa KPK adalah tembok pertahanan terakhir terhadap oligarki.

Di sini, upaya pelemahan KPK hanyalah bagian kecil dari skenario besar me-langgengkan dan melipat gandakan cengkeraman oligarki dalam sistem politik Indonesia. Upaya mendorong pemberantasan korupsi dan penyelamatan KPK harus disadari betul merupakan bagian dari agenda perlawanan terhadap oli-garki. Konsolidasi kekuatan kritis harus dibangun untuk melawan oligarki.

Dalam kisruh ini, dengan berbagai keputusan yang dibuatnya, Jokowi adalah oligarki. Sejauh itu, maka Jokowi adalah bersalah, sampai ia membuktikan sebaliknya.

***

Upaya pelemahan KPK hanyalah bagian kecil dari skenario be-sar melanggengkan dan melipat gandakan cengkeraman oligarki dalam sistem politik Indonesia.

14

Page 15: Sorge - Agustus 2015
Page 16: Sorge - Agustus 2015
Page 17: Sorge - Agustus 2015
Page 18: Sorge - Agustus 2015

Setelah Kuda Troya Masuk KPK:

Dimana Kita?Pasca Presiden Jokowi menyampaikan pidato tentang keputusannya untuk tidak melantik Komjen Budi Gunawan, seolah krisis politik yang berlangsung telah usai. Jokowi dianggap telah mengambil langkah tepat terkait kis-ruh antara KPK dengan Polri. Secara sepintas, tuntutan publik seolah dia-komodasi oleh Jokowi, yaitu melalui pembatalan itu. Namun kenyataanya agenda tersebut tetap tidak menyele-saikan permasalahan yang ada. Sadar atau tidak, Jokowi justru menyiapkan agenda penghancuran KPK dari da-lam. Ia justru memilih untuk mem-berhentikan Abraham Samad dan Bambang Widjojanto untuk sementa-ra, mengangkat Taufiequrahman Ruki, Indriyanto Seno Aji dan Johan Budi Sapto Prabowo sebagai Plt KPK serta mengangkat Komjen Badrodin Haiti sebagai Kapolri.

KPK-Polri. Johan Budi kemudian ter-sisip di tengah sebagai bentuk ako-

modasi terhadap usul internal KPK, terhimpit di antara dua Plt lain yang memiliki sederetan catatan merah ter-kait pemberantasan korupsi.

Indriyanto Seno Aji adalah sosok seo-rang pengacara yang akrab dengan koruptor. Ia adalah kuasa hukum bagi beberapa koruptor seperti Abdulah Puteh serta Hesham Al-Waraq dan Rivat Ali Rizvi yang adalah terpidana korupsi Bank Century, yang buron di luar negeri. Ia juga akrab dengan klan Cendana karena menjadi kuasa hukum Tomy Suharto dalam perkara kepemilikan senpi dan bahan pele-dak, sekaligus menjadi kuasa hukum Suharto dalam menghadapi gugatan perdata atas Yayasan Supersemar.

Di lain pihak, ada pula Taufiequrah-man Ruki yang juga mantan Ketua KPK Jilid I. Ia seolah hadir sebagai malaikat penyelamat karena kehadirannya di-anggap sebagai jawaban atas perma-

18

Page 19: Sorge - Agustus 2015

salahan yang terjadi. Padahal dengan terang benderang pula, publik dapat melihat pernyataan-pernyataannya yang terekam media sebagai kon-traproduktif dengan kerja-kerja KPK.

Ruqi mengingatkan kita pada sosok Kuda Troya dalam mitologi Yunani. Dalam perang Troya yang tak berke-sudahan, Kuda Troya yang beruku-ran raksasa – dan diisi oleh pasukan elit – dipakai tentara Athena untuk menghancurkan kota Troya. Kuda Troya dianggap simbol persembahan terhadap Posei-don dan dibawa masuk ke da-lam kota. Kuda Troya dianggap tidak berbahaya dan diizinkan masuk ke da-lam benteng Troya yang tidak dapat ditembus oleh para prajurit Yunani selama 10 tahun perang Troya. Ha-nya dua orang yang memiliki firasat buruk, Helen of Troy dan Cassandra. Peringatan keduanya tak diindahkan. Malam hari, para pasukan keluar dari kuda Troya dan membakar kota saat seisi Troya terlelap. Kehancuran terja-di justru ketika penduduk Troya men-ganggap bahaya sudah lewat.

Dalam kasus KPK, Taufiequrahman Ruki adalah kuda Troyanya. Dengan sikap Jokowi, masyarakat menyangka bahaya sudah lewat. Kuda Troya yang di bawa ke KPK dianggap tidak berba-haya. Namun, seperti kuda Troya da-

lam cerita tersebut, Taufiequrahman Ruki yang juga mantan anggota Pol-ri, memulai manuver yang berbahaya bagi KPK. Seolah tak paham bahwa yang terjadi atas banyak anggota KPK dan dua pimpinan KPK non-aktif ada-lah sebuah kriminalisasi, Ruki justru berinisiatif untuk mengganti 21 peny-idik KPK yang dilaporkan memiliki sen-jata api tanpa izin dengan 40 penyidik polri yang dianggapnya berkualitas. Ia secara sadar mendelegitimasi kerja keras anggota-anggotanya sendiri.

Selain itu, Ruki juga menyebut-kan soal kemun-gkinan pelimpa-han perkara korupsi Budi Gu-nawan ke Ke-polisian atau

Kejaksaan Agung dengan dalih bahwa KPK tidak berwenang menghentikan penyidikan. Hal ini harus dilihat pula sebagai cara halus mengeluarkan Su-rat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) sehingga perkara Budi Gunawan tidak dilanjutkan. Di saat yang sama, Indriyanto Seno Aji juga melegitimasi status Budi Gunawan sebagai “ma-nusia bebas” pasca putusan prap-eradilannya.

Yang paling parah adalah dengan adanya upaya untuk memisahkan KPK dengan segala gerakan pub-lik yang mendukungnya. Semenjak kriminalisasi yang terjadi pada para pimpinan dan penyidiknya, dukungan

Malam hari, para pasukan keluar dari kuda Troya dan membakar kota saat seisi Troya terlelap. Kehancuran terjadi justru ketika penduduk Troya

menganggap bahaya sudah lewat.

19

Page 20: Sorge - Agustus 2015

publik mendukung KPK berdatangan. Berbagai macam acara banyak diada-kan untuk menarik dukungan yang lebih luas. Spanduk dipasang dan tenda-tenda didirikan di depan KPK untuk menunjukkan kewaspadaan publik. Namun setelah Ruki menja-bat, tenda-tenda tersebut disingkir-kan dan spanduk dukungan dicopot –meski akhirnya dipasang lagi-. Ini seperti awal dari upaya “de-politisasi” KPK dari gerakan populer. Gerakan anti-korupsi ke depan seperti dibiarkan tanpa simbol harapannya: Komisi antirasuah. Per-tanyaan yang penting dijawab selan-jutnya adalah masih perlukah gerakan publik berpatok pada KPK atau men-cari legitimasi gerakan yang lain?

Pertanyaan ini tidak mudah dijawab begitu saja karena gerakan anti-ko-rupsi, yang digagas sejak masa refor-masi, menaruh harapan besar pada keberadaan komisi antirasuah terse-but. Gerakan cicak vs buaya yang juga membela keberadaan KPK dari rongrongan kepolisian mendapat-kan dukungan luas. Namun kali ini, rongrongan terhadap KPK seolah berevolusi dari sekedar show of force kriminalisasi pimpinan KPK, menja-di ‘penghancuran dari dalam’ den-gan intervensi Presiden. Belum lagi, greget penyelamatan KPK vs Polri ini terasa kurang dibanding gerakan se-

belumnya karena pengaruh dukungan populis semasa kampanye Pilpres masih menyisa dan membuat pub-lik gamang: membela presiden yang mereka pilih atau KPK.

Namun apa yang terjadi kalau me-mang KPK sudah ‘tamat’ atau tinggal ‘puing-puing’ di kemudian hari? Perlu-

kah pembelaan membabi buta tetap dilaku-kan? Semenjak kisruh KPK- Polri Januari 2015 ini, telah banyak acara,

unjuk rasa, hingga pertunjukan-per-tunjukan seni digelar untuk meng-galang dukungan. Semenjak itu pula energi dari gerakan tersebut seperti terkuras karena ketidak tegasan Presi-den, diulur-ulurnya kepastian hukum, hadirnya ‘gerakan popular tandingan’ masa berbayar, hingga disinformasi (mirip operasi intelijen) yang menjad-ikan gerakan lebih bersifat reaktif dar-ipada antisipatif. Belum lagi sebagian besar media seolah satu suara dalam kasus ini: bahwa yang perlu dibela adalah kepentingan para oligark. Den-gan demikian, ‘kelelahan’ psikis dan fisik sulit terhindarkan, jika dukungan popular yang jauh lebih luas tetap ab-sen.

Maka dari itu, penggalangan dukun-gan yang lebih luas adalah sebuah keharusan. Permasalahannya adalah bagaimana meyakinkan publik luas

Namun apa yang terjadi kalaumemang KPK sudah ‘tamat’ atau ting-

gal ‘puing-puing’ di kemudian hari?Perlukah pembelaan membabi buta

tetap dilakukan?

20

Page 21: Sorge - Agustus 2015

dengan hadangan pembentukan opini oleh media dan sisa-sisa sentimen pop-ulis Pilpres lalu? Di sinilah antagonisme antara mereka yang berdiri bersisihan dengan para oligark dan mereka yang berdiri untuk kepentingan publik tak terhindarkan. Garis tegas perlu ditarik di antara dua kelompok yang berha-dapan tersebut. Tidak lagi kita berpegang pada pengelompokan lama semasa pilpres (KIH dan KMP, misal) karena yang ada hanyalah pilihan akal sehat mel-awan syahwat kekuasaan yang rakus akan melibas kepentingan orang banyak. Argumen bahwa narasi anti korupsi bersifat elitis tak lagi relevan mengingat cita-cita mulia gerakan lingkungan, kesejahteraan petani dan buruh hingga mahasiswa akan termentahkan jika korupsi itu sendiri masih bercokol di dalam negara maupun dalam gerakan mereka sendiri.

Lalu pada siapakah kita berharap kini menghadapi kekuatan oligark yang ber-sisihan dengan aparatur negara? Masihkah kita bisa berharap kepada Presiden? Melanggengkan kekuasaan para oligark tidak sulit, resepnya hanya dua: Jadilah Presiden yang lemah dan biarkan KPK yang menjadi tonggak harapan perwuju-dan perbaikan kondisi bangsa dihancurkan dari dalam oleh Plt nya sendiri. Dan di sanalah Jokowi berdiri. Jauh dari rakyat, bersama dengan oligarki. Slogan ‘Joko-wi adalah kita’ perlu diubah menjadi: ‘yang tinggal hanya kita’. Dan kita berani.

***

21

Page 22: Sorge - Agustus 2015

Dalam konteks demokrasi represen-tatif, di mana seseorang dipilih oleh orang banyak untuk mewakili mereka di posisi legislatif maupun ekseku-tif, kekecewaan tampaknya sulit ter-elakkan. Seperti halnya harapan dan optimisme yang diembankan kepada pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla saat musim Pemilu, kini mulai meng-hilang.

Semasa berkampanye, Joko Widodo dianggap sebagai ‘Presiden Rakyat’. Penampilannya yang sederhana di-anggap mewakili wong cilik dan lakun-ya yang rajin blusukan digambarkan sebagai lawan dari prilaku korup para pejabat. Penyuka musik metal ini pun dianggap bersih dari pelanggaran HAM dan korupsi, hal yang tidak dimiliki la-wannya dalam Pilpres lalu.

Namun, beberapa bulan kemudian gambaran itu berganti. Kepemimpinan yang lemah dan ambrolnya agenda pemberantasan korupsi seperti me-wakili wajah pemerintahan Jokowi kini. Sikap tidak tegas yang ditampil-kan Jokowi dalam penyelesaian kisruh KPK-Polri membawa angin segar bagi para koruptor. “Kuda Troya” disusup-

kan ke dalam tubuh KPK, sedang di sisi lain pimpinan serta para penyidik KPK belum berhenti dikriminalisasi. Lumpuhnya KPK menjadi sinyal kuat wabah korupsi akan semakin meng-gila dan cengkeraman oligarki dalam lembaga negara semakin kuat.

Belum lagi soal kisruh hukuman mati bagi para terpidana Narkotika. Jokowi seolah membentengi kelemahannya dalam penegakkan hukum dengan sikap tanpa ampunnya mengekseku-si para terpidana mati kasus narkoba. Moratorium hukuman mati dicabut dan grasi bagi para terpidana mati yang dimohonkan pun ditolak. Tam-bah ironis ketika seperti ada standar ganda untuk urusan remisi ini: di satu sisi Hak Asasi Manusia para terpidana narkoba itu ditampik, di lain sisi ala-san Hak Asasi Manusia pula dijadikan pertimbangan untuk rencana mem-beri remisi pada koruptor. Realitas politik pemerintahan Jokowi mulai meredupkan mantra populisme yang digunakannya.

Meskipun begitu, bagi sebagian orang, apa yang terjadi pada pemerin-tahan Joko Widodo masih dalam taraf

Kembali Mendayungdi Antara Dua Karang

22

Page 23: Sorge - Agustus 2015

yang lumrah. Sebagai seorang Presi-den yang mengampu pucuk pimpinan sebuah negara, dia dimaklumi karena sedang menjalani “baby step” atau langkah coba-coba untuk menjajal konstelasi kekuasaan di sekitarnya. Kekacauan sistem hukum akibat kepu-tusan-keputusan pemerintah, lebih dianggap sebagai akibat dari tekanan para oligark untuk memaksakan kepentingan mereka. Dengan demiki-an, Jokowi dilihat sebagai korban dari para predator politik di sekitarnya daripada seorang Presiden yang mem-punyai executive order, yang memang telah mengemban tanggung jawab akan negara dan rakyatnya ketika ha-sil Pemilihan Umum dipastikan.

Mereka seperti terjebak pada penye-lamatan figur (atau fantasi) akan Jo-kowi dan lupa terhadap masalah-ma-salah real yang terjadi dalam institusi pemerintahan. Mereka lebih sibuk in-gin menyelamatkan sosok Jokowi den-gan terus menyalahkan lingkaran kekuasaaan di sekitarnya ketimbang menyelamatkan ideal politik macam pemberantasan korupsi, penegakan Hak Asasi Manusia atau reformasi hu-kum.

Munculnya berbagai macam kritik, protes, bahkan demon-strasi akan pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla akhir-akhir ini, menjadi ketakutan tersendi-ri bagi kalangan pendukung Jo-kowi. Mereka khawatir bahwa serangan kepada sosok Jokowi,

yang mungkin berujung pada pemak-zulan, hanya akan membuka jalan bagi para oligark untuk berkuasa. Seperti wakilnya sendiri, Jusuf Kalla, dianggap sebagai salah satu yang bakal menggantikan posisi Jokowi.

Melihat rekam jejak Kalla yang “lebih tegas” dalam membela kepentingan para oligark dalam hal pelemahan KPK juga penunjukan Budi Gunawan yang berekening gendut sebagai Ka-polri, membuat ketakutan itu menjadi beralasan. Jika selama ini Joko Wido-do lebih diposisikan sebagai “ia yang dimainkan kekuasaan oligark di seki-tarnya”, maka Jusuf Kalla adalah sang oligark itu sendiri. Bagi para oligark lain, populisme Jokowi dapat sewak-tu-waktu menjadi bumerang bagi mereka dan mengancam kepentingan kuasa material mereka ketika Jokowi mulai tegas untuk membela kepent-ingan publik. Namun di tangan Kalla yang jelas-jelas membela kepentingan para oligark (atau sebagian oligark karena oligark sendiri tidak diasum-sikan monolitik), segala upaya untuk mereduksi campur tangan oligarki da-lam tata kelola negara menjadi mus-kil.

Mereka seperti terjebak pada penyela-matan figur (atau fantasi) akan Jokowi dan lupa terhadap masalah-masalah

real yang terjadi dalam institusipemerintahan.

23

Page 24: Sorge - Agustus 2015

Di lain sisi, keberadaan Jusuf Kalla juga membuktikan bahwa yang perlu diwaspadai tidak terbatas pada oligar-ki partai, yang digembar-gemborkan banyak pihak, tapi oligarki secara luas. Jusuf Kalla jelas tidak mempunyai po-sisi penting lagi dalam struktur partai manapun selepas dia menjadi Ketua Golkar periode 2004-2009, namun ma-sih mempunyai kuasa material dalam menyusun kekuasaan politik.

Karena hal itu pula, saat ini kita seolah dihadapkan pada dua pilihan sulit. Di satu sisi, pembelaan membabi –buta akan pemerintahan Jokowi, dan terus m e n g a n g -gap ialah satu-satunya penyelamat yang kalau bisa jangan sampai dikri-tik, malah seperti menunjukan kondisi seperti “kecanduan” akan wajah populis Jo-kowi. Lalu di lain sisi, jika protes ter-us dilancarkan dan demonstrasi dig-erakkan, muncul kekhawatiran bahwa laku kritis itu akan dimanfaatkan oleh para oligark yang juga ingin meleng-serkan Jokowi dan meraup kekuasaan untuk mereka sendiri.

Untuk bisa keluar dari dua pilihan tak mudah ini, pandangan semasa M. Hatta menjadi wakil presiden dan meletakkan dasar politik luar negeri Indonesia mungkin perlu ditengok kembali. Saat itu Indonesia dihadap-

kan pada dua pilihan sulit untuk ber-gabung dengan blok barat atau blok timur dalam konstelasi kekuasaan dunia. Namun Hatta memilih untuk “mendayung di antara dua karang” bagi politik luar negeri Indonesia. Pi-lihan ini sebenarnya tidak menggam-barkan sikap ragu-ragu untuk memi-lih secara praktis diantara kedua blok tersebut. Alih-alih, pilihan tersebut merupakan pilihan yang tegas bah-wa yang paling penting dibela adalah perdamaian dan kemanusiaan di atas segalanya.

Saat ini pun, ketika kapal Republik dihadapkan pada dua pilihan sulit un-tuk nyaman dalam pembelaan akan sosok pemerintah-an yang tak mampu membawa angin pe-rubahan atau protes

dengan risiko “ditunggangi” oleh para predator kekuasaan, maka yang per-lu dilakukan adalah dengan, sekali lagi, mendayung diantara kedua ka-rang itu. Di satu sisi kritik harus tetap dilancarkan agar tidak jatuh dalam pembelaan membabi buta. Di lain sisi, perlawanan dan penolakan kepada para oligark, siapapun itu, harus ter-us dilancarkan. Dengan demikian kita telah mengambil garis tegas untuk membela kepentingan Republik, atau kepentingan orang banyak, di atas segalanya, tanpa perlu jatuh kedalam candu populisme yang memabukkan.

***

Keberadaan Jusuf Kalla juga membuk-tikan bahwa yang perlu diwaspadai tidak terbatas pada oligarki partai, yang digembar-gemborkan banyak

pihak, tapi oligarki secara luas.

24

Page 25: Sorge - Agustus 2015
Page 26: Sorge - Agustus 2015
Page 27: Sorge - Agustus 2015
Page 28: Sorge - Agustus 2015

HUJAT HUJATAN BULAN MEI

Bulan Mei selalu menjadi bulan keramat bagi rezim yang berkuasa di Indonesia pasca reformasi 1998. Di bulan tersebut, wacana penggul-ingan pemerintah berkuasa muncul bak cendawan di musim hujan. Ke-takutan itu bukannya tak beralasan, karena di bulan itu biasa muncul pengerahan massa besar-besaran dari berbagai kalangan.

Parade “show of force” kumpulan massa itu dimulai dengan demon-strasi kaum pekerja di awal bulan Mei, atau yang lebih dikenal denga istilah May Day. Kemudian di perten-gahan bulan Mei, berbagai peringa-

tan diadakan untuk mengenang pen-embakan mahasiswa dan kerusuhan rasial pada bulan Mei 1998. Lalu men-jadi puncaknya adalah sekitar tanggal 21 Mei dimana demonstrasi maha-siswa dari berbagai kampus mendom-inasi dan menyerukan permasala-han-permasalahan penting yang dihadapi negara. Tuntutan dari aksi jalanan itupun beragam, dari sekedar dorongan agar pemerintah bekerja lebih baik, pergantian kabinet, hingga turunnya pemerintah yang berkuasa. Pengerahan massa di bulan Mei ini juga yang membawa kembali ingatan kolektif akan demonstrasi masif yang akhirnya mendorong Presiden Soehar-to yang berkuasa lebih dari 32 tahun untuk lengser.

Namun, pemerintah di lain sisi juga sudah menyiapkan berbagai “resep jitu” untuk meredam konsentrasi massa di bulan Mei ini. Demonstrasi buruh di awal Mei dijadikan hari li-bur nasional, acara-acara resmi oleh pemerintah pun diadakan mewah un-tuk “menghibur” kaum buruh, diiku-ti dengan berbagai macam jenis dis-kon barang oleh para pelaku usaha. Kemudian untuk demonstrasi besar mahasiswa menjelang 21 Mei, tahun ini pemerintah berinisiatif untuk me-ngundang perwakilan Badan Ekseku-tif Mahasiswa (BEM) kampus-kampus besar di pulau Jawa untuk berdialog langsung bersama presiden di Istana negara 18 Mei 2015 lalu. Dialog yang berisi presentasi program kerja pe-merintah dan sesi tanya jawab itu,

28

Page 29: Sorge - Agustus 2015

diharapkan bisa meredam aksi mahasiswa yang se-harusnya menyuarakan ketidakpuasan atas kiner-ja pemerintah.

Tiba-tiba mengajak ma-hasiswa berdialog, saat berdekatan dengan mo-mentum 21 Mei 2015 tentu wajar menimbulkan kecurigaan de-mikian. Apalagi dalam acara tersebut ada pemaparan program kerja pemer-intah, yang sudah berjalan 7 bulan. Langkah ini, seperti menganggap ma-hasiswa adalah entitas gerakan sosial yang problem dasarnya adalah mer-eka kurang bisa memahami pemer-intah, karena itu solusinya perlu di-jalin komunikasi dalam bentuk makan malam itu.

Langkah pemerintah tersebut seper-ti upaya menyapu kotoran ke dalam karpet semata. Mengajak dialog ma-hasiswa ataupun memperingati hari buruh secara besar-besaran lebih mirip sebagai lip service kehumasan daripada upaya pendekatan kepada pokok permasalahan.

Menjawab tuntutan mahasiswa yang muncul tiap bulan Mei hanya bisa dilakukan dengan menyelesaikan per-masalahan-permasalahan yang dise-rukan. Inkompetensi dari pemerintah, sistem politik yang menyandera, per-ekonomian yang melambat, serta bo-broknya sistem hukum dan birokrasi adalah pokok persoalannya. Namun

di masa kepemimpinan Joko Wido-do-Jusuf Kalla ini, alih-alih progresif menyelesaikan persoalan-persoalan tadi, malah regresif menambah perso-alan seperti pelemahan terhadap ger-akan anti korupsi, makin menguatnya pengaruh oligarki, lesunya ekonomi, pendapatan pajak yang rendah, juga janji-janji masa kampanye lain yang tak terpenuhi.

Di lain sisi, mendapati akan tetap ada mahasiswa yang turun ke jalan meramaikan parade masa bulan Mei ini juga harus disikapi kritis. Selepas tahun 1998, mahasiswa seperti ter-perangkap masa lalu dalam artikulasi gerakannya, atau bahkan menjadi ap-atis dan melupakan posisi historisn-ya sama sekali. Posisi historis ma-hasiswa Indonesia sejak tahun 1966 yang mengusung suara jernih untuk menantang rezim yang berkuasa dan memantik perubahan memang perlu tetap dijaga. Namun artikulasi yang hanya terperangkap dengan demon-strasi seremonial tiap bulan Mei juga menandakan regresi. Meski tak bisa digeneralisir di semua kampus In-donesia, tipe pergerakan menunggu

Langkah pemerintah tersebut seperti upaya menyapu kotoran ke dalam karpet semata. Mengajak dialog mahasiswa ataupun mem-peringati hari buruh secara besar-besaran lebih mirip sebagai lip service kehumasan daripada upaya pendekatan kepada pokok

permasalahan.

29

Page 30: Sorge - Agustus 2015

momentum ini akan sangat susah mendatangkan perubahan karena dengan mudah dapat diantisipasi oleh rezim yang berkuasa. Malah bisa jadi, momen-tum bulan Mei hanya dijadikan proyek tahunan semata oleh para predator kekuasaan.

Baik artikulasi gerakan mahasiswa yang stagnan maupun apatisme yang me-muncak hanya bisa diselesaikan dengan mendekati pokok permasalahannya: kampus tempat mereka belajar. Kampus di Indonesia saat ini semakin jauh dari cita-cita sebagai laboraturium gagasan. Yang kemudian muncul adalah kampus sebagai pabrik penghasil pekerja siap pakai dengan tambahan feature moral-itas siap saji. Hal ini dibuktikan di beberapa kampus, dimana pihak pengelola lebih peduli pada bagaimana tingkat kesopanan mahasiswa daripada seberapa jauh dia dapat menalar kondisi sosial di sekitar. Juga sistem pendidikan di In-donesia saat ini juga semakin medorong mahasiswa untuk cepat lulus, cepat bekerja, dan bodo amat dengan apa yang terjadi pada negara mereka.

Kampus sebagai gudang riset pun dibatasi dengan riset-riset yang menjual secara komersial. Hal ini didukung juga dengan pernyataan resmi dari ment-eri pendidikan tinggi dan riset yang menyebut penelitian kampus harus bisa mendatangkan keuntungan materiil. Karenanya riset-riset yang minim dalam konteks komersial namun penting dalam konteks analisis sosial-politik juga pemikiran kritis justru menjadi terpinggirkan.

Implikasinya adalah suara kampus yang sebelumnya dijadikan patokan sebagai suara jernih yang menyerukan kebenaran mengenai kondisi bangsa menjadi pendam. Amunisi yang bisa mereka akses dengan bebas-dunia akademis yang menawarkan kritisisme dan pendekatan keilmuan-tidak dimanfaatkan dengan maksimal. Dengan artikulasi gerakan sosial yang minim, tak pelak pilihan mer-eka pun terbatas pada dua hal saja: menjadi aktivis musiman menunggu mo-mentum, atau menyerah sama sekali dengan sistem pendidikan tinggi yang membelenggu.

***

Yang kemudian muncul adalah kampus sebagai pabrik penghasil pekerja siap pakai

dengan tambahan feature moralitas siap saji.

30

Page 31: Sorge - Agustus 2015

JOKOWI DAN RUNTUHNYAJANJI PEMBERANTASANKORUPSI

Kisruh antara Polri dan KPK masih berjalan hingga sekarang. Seolah mengulang kembali kejadian di tahun 2012, perseteruan yang lazim dise-but cicak versus buaya ini memasuki babak baru. Babak ketika garis batas antara penegakan hukum dengan kepentingan politik menjadi nisbi.

Pertarungan pun menjadi brutal, di-awali dengan penetapan Budi Gun-awan sebagai tersangka korupsi, hal ini malah berujung pada serangan dan bahkan kriminalisasi kepada para Komisioner KPK, hingga pelaporan terhadap pihak lain yang secara tegas mendukung KPK. Hantaman terbaru tentu saja diberikan kepada Mantan Wamenkumham Denny Indrayana, yang dilaporkan dengan Pasal Pence-maran Nama Baik terhadap Komjen Budi Gunawan karena menyebutnya menggunakan “jurus mabuk”.

Saya tergoda untuk hanya meman-dang ini sebagai permasalahan hu-kum belaka, karena memang arena pertarungan itu yang digunakan un-

tuk menghantam para pegiat anti ko-rupsi. Namun rasanya ada kekuatan yang lebih besar yang bernaung di balik seluruh skenario pelumpuhan KPK ini: oligarki parpol dan pembiaran oleh Presiden.

Mari kita runut peristiwa-peristiwa tersebut secara kronologis, dimulai dengan pemilihan anggota Kabinet Kerja Jokowi-JK. Sudah menjadi pen-getahuan publik, bahwa nama Budi Gunawan sempat diajukan Jokowi untuk menjadi anggota kabinetn-ya, tepatnya untuk menjadi Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Langkah awal Jokowi melibatkan KPK dan PPATK sebetulnya sudah tepat dan patut diapresiasi, namun tak luput pula ia memilih anngota partai koalisi untuk ditempatkan di pos-pos kementerian strategis.

Dari penelusuran KPK dan PPATK, nama Budi Gunawan ditandai den-gan warna merah. Secara sederhana, tanda merah ini mengindikasikan du-

oleh: Lalola Easter

Page 32: Sorge - Agustus 2015

gaan kuat bahwa yang bersangkutan telah melakukan perbuatan pidana, yaitu korupsi. Melalui tanda merah tersebut, KPK “membisikkan” kepada Presiden, bahwa orang-orang tersebut akan menjadi tersangka korupsi da-lam waktu dekat.

Jokowi menuruti usulan KPK dan PPATK dengan tidak memasukkan Budi Gun-awan dalam jajaran menteri Kabinet Kerja. Namun siapa sangka, pada 9 Januari 2015, Jokowi justru mengaju-kan nama Budi Gunawan ke DPR RI sebagai calon tunggal Kapolri untuk menggantikan Komjen Sutarman. Se-cara sekilas, mudah rasanya meng-hubungkan pemilihan Komjen Budi Gunawan dengan kedekatan personal-nya dengan Megawati, Ketua Umum PDI Perjuangan, orang yang dipercaya memiliki kekuatan lebih besar yang mampu memengaruhi pengambilan

keputusan Jokowi.

Pada 13 Januari 2015, akhirnya KPK mengumumkan Komjen Budi Gun-awan sebagai tersangka perkara ko-rupsi, persis satu hari sebelum uji ke-layakan dilakukan di DPR RI. Banyak pihak yang kemudian menuding KPK melakukan politisasi penetapan Kom-jen Budi Gunawan sebagai tersangka, bahkan menganggap ini upaya “balas dendam” Abraham Samad yang sem-pat ditawari menjadi Wakil Presiden oleh Jokowi.

Namun terlepas dari itu semua, inilah letupan awal yang disusul serangkaian ledakan peristiwa yang menimpa para Komisioner KPK dan juga pegiat anti korupsi. Tepat 10 hari setelahnya, Bambang Widjojanto ditangkap oleh Bareskrim Polri tanpa pemanggilan yang layak, dan ditetapkan sebagai tersangka 14 jam kemudian. Sebelum akhirnya penangguhan penahanan BW diberikan, Presiden Jokowi mer-espon kriminalisasi ini dengan men-yampaikan pidato, yang –mengutip pernyataan Anis Hidayat- “tidak lebih baik dari seorang Ketua RT”.

Pasca kriminalisasi Bambang Widjo-janto, serangkaian laporan dilayang-kan oleh berbagai pihak kepada Komisioner lainnya, juga para pihak yang terang-terangan membela KPK dalam perkara ini. Denny Indrayana kemudian dilaporkan karena melaku-kan pencemaran nama baik Budi Gu-nawan, begitu pula Johan Budi dan

Page 33: Sorge - Agustus 2015

Chandra M. Hamzah, yang dilapor-kan melakukan penyalahgunaan ke-wenangan.

Serangkaian peluru siap dimuntahkan untuk menumbangkan para pegiat anti korupsi, meski belum ada yang tumbang. Namun demikian, hingga kondisi genting seperti sekarang, keti-ka KPK terancam mati suri, Jokowi ti-dak melakukan atau memberi-kan tanggapan apapun yang menun jukkan keseriusannya menyelesaikan permasalahan ini.

Hingga kini, ia berdalih akan men-yikapi semuanya pasca gugatan prap-eradilan Budi Gunawan selesai disi-dangkan, di mana sepanjang rentan waktu tersebut, Jokowi malah sibuk bertandang ke negara-negara tetang-ga. Dalih ini pun tidak masuk akal, karena gugatan praperadilan bukan untuk menguji pokok perkara, seh-ingga tidak akan ada dampak hukum yang signifikan manakala gugatan praperadilan Budi Gunawan dikabul-kan atau ditolak oleh Hakim.

Dalam kondisi genting ini, seharusn-ya Jokowi segera mengambil langkah cepat. Pertama, ia harus segera mene-tapkan Kapolri definitif pengganti Budi Gunawan, kedua dengan meminta Polri untuk mengeluarkan SP3 atas kriminalisasi Bambang Widjojanto. Jika KPK sampai lumat, ada kemungk-

inan penunjukkan PLT Pimpinan KPK, skenario yang nyaris buruk, karena PLT tidak dapat mengambil keputusan dan kebijakan yang strategis untuk lembaga.

Jokowi jelas tidak berada di pihak rakyat. Ia telah dengan sadar membi-arkan serentetan serangan dilakukan terhadap para pegiat anti korupsi.

Ketika banyak pendukungnya berapologi bah-wa ia berada di bawah tekanan, rakyat patut

kecewa karena Jokowi nyaris merun-tuhkan upaya pemberantasan korupsi dalam kurun waktu tiga bulan masa kepemimpinannya.

Pembiaran tersebut adalah bukti Jo-kowi ada bersama dengan oligar-ki kekuasaan parpol. Sungguh naïf rasanya jika sekelompok orang masih menganggap Jokowi berada di bawah tekanan, karena ketika uji kelayakan Budi Gunawan di DPR pada 14 Januari 2015, DPR bersatu menyetujui pen-calonannya. Mitos tentang pertarun-gan KIH dan KMP tak lagi ada, dan itu adalah tanda bahaya untuk kita.

Dari pojok Kalibata, 10 Februari 2015

***

Jokowi jelas tidak berada di pihak rakyat. Ia telah dengan sadar membi-arkan serentetan serangan dilakukan

terhadap para pegiat anti korupsi.

Page 34: Sorge - Agustus 2015
Page 35: Sorge - Agustus 2015
Page 36: Sorge - Agustus 2015

Hukuman Mati:Antara Praktik Kedaulatan dan

FantasiOleh: Daywin Prayogo

Betapa besarnya hasrat publik dalam mendesak Jokowi – JK untuk segera melaksanakan eksekusi sepuluh ter-pidana mati gelombang II. Di saat rencana eksekusi ini bertubi – tubi dihantam protes atas nama kemanu-siaan hingga ancaman konsekuensi diplomatik dari negara asing, pesan sekitar 80% warga Indonesia1 tetap kuat: siapapun tidak boleh melakukan intervensi atas penegakan hukum di Indonesia.

Kampanye anti hukuman mati atas terpidana asing serta merta dicap sebagai bentuk perjuangan kontra– nasionalis. Apalagi bicara harga, se-menjak uang muka 210 juta untuk ra-tusan mobil pejabat lolos begitu saja, tak sulit kiranya mensponsori sekitar 200 juta rupiah/kepala untuk sebuah perang melawan narkotika. Semua untuk satu postulat nan gagah: Indo-nesia yang berdaulat!

Eksekusi terhadap tujuh orang warga negara asing: Andrew Chan, Myran Sukumaran, Rodrigo Gularte, Slyvester

Obiekwe Nwolise, Raheem Agbaje Salami, Okwudili Oyatanze & Martin Anderson; bersama dengan Zainal Abidin, terpidana mati asal Indonesia, pada Rabu dini hari kemarin adalah klimaks dari perang Jokowi – JK mel-awan peredaran narkotika. Ketika pertunjukkan hasrat untuk berdaulat menang diatas prinsip kemanusiaan.

Kedaulatan melawan Narkotika“One had the right to kill those who represented a kind of biological dan-ger to others.”2

Michael Foucault – Right of Death and Power over Life

Persebaran narkotika adalah ancaman yang nampaknya cukup serius. Ber-dasarkan data Badan Narkotika Na-sional [BNN] 2008 mengenai proyeksi persebaran narkotik di tahun 2013, sekitar 4 juta penduduk – sebagian besar generasi muda – perlu direha-bilitasi; dan sekitar 40 – 50 orang mati dalam sehari akibat narkotika3. Angka fantastik tersebut, di tambah rencana eksekusi terpidana mati beberapa

36

Page 37: Sorge - Agustus 2015

warga negara asing merangkai sebuah jalinan cerita yang heroik: memper-tahankan kedaulatan melawan narko-tika.

Tegak berdiri di atas data-data imajin-er, tidak membuat 80% publik berpikir ulang tentang eksekusi. Ancaman itu seolah-olah nyata, ketika dihadap-kan pada kondisi so-sial yang selama ini gagal mem-b e n d u n g peredaran narkotika. An eye for an eye, a tooth for a tooth – pengedar narkotika yang mati dihadapan regu tembak adalah harga yang patut dibayar demi saha-bat, anggota keluarga maupun tetang-ga yang mati karena menggunakan narkotika.

Naluri lex talionis4 dan insting balas dendam adalah konsekuensi yang wajar jika kita menempatkan diri se-mata dalam perspektif korban peng-guna narkotika. Namun bagi Joko-wi – JK, hasrat balas dendam publik terhadap narkotika adalah tawaran populis yang begitu sulit untuk dia-baikan. Semuanya demi mengerek kepercayaan publik terhadap Jokowi – JK dalam upayanya menegakkan su-premasi hukum.

Implikasinya, kedaulatan Jokowi – JK dalam perang melawan narkotika nampak simetris: menjamin hak un-

tuk hidup seseorang, berbanding seja-jar dengan privilese Jokowi – JK untuk memutus mati tidaknya seseorang, atau yang Foucault sebut sebagai: the power of life and death5.

Sudah sepatutnya negara memilih un-tuk mempertahankan hak hidup lan-jut Foucault. Eksekusi mati kontradik-

tif dengan peran negara: menjamin, melindungi serta memastikan repro-duksi kehidupan tetap bekerja. Kontradiksi ini yang kemudian hilang di ruang publik, saat kepu-

tusan eksekusi hanyalah manuver elit dalam menjawab keresahan publik.

Sesungguhnya ada yang hilang da-lam eksekusi terpidana mati kemarin. Seperti pameran kedaulatan yang su-dah-sudah: pemboman kapal asing yang melanggar teritori, seruan Joko-wi menolak hutang luar negeri – kita kehilangan detail tentang bagaimana kedaulatan itu menang melawan nar-kotika: pertunjukkan langsung ek-sekusi terpidana mati gelombang II.

Hilangnya Imajinasi Tentang Hukuman MatiIf people are shown the machine, made to touch the wood and steel and to hear the sound of a head fall-ing, then public imagination, suddenly awakened, will repudiate both the vo-cabulary and the penalty.Albert Camus – Reflections on The Guillotine6

Eksekusi mati kontradiktif dengan peran negara: menjamin, melind-ungi serta memastikan reproduksi

kehidupan tetap bekerja.

37

Page 38: Sorge - Agustus 2015

Kontradiksi penerapan hukuman mati di Indonesia perlu menemukan kon-teks yang kasat mata. Selama ini, kritik hukuman mati sebagai pelang-garan hak untuk hidup, nyatanya ber-sandar pada sebuah fantasi – setidak-nya bagi penulis – tentang kekejaman dan ketidakmanusiawian, sedangkan dendam bagi korban narkotika tetap dituntut agar segera dibalas. Kontra-diksi itu pun masih sebatas proyeksi, sama imajinernya dengan data pere-daran narkotika yang dipegang Jokowi – JK.

Berbeda dengan pertunjukkan kapal asing yang dibom, eksekusi 8 terpi-dana mati nampaknya hanya diapresi-asi selayaknya kerja kotor peri rumah di sekolah sihir Hogwarts: we shall eat without knowing who & how to cook. Pasca eksekusi, publik mencoba menerka apa yang sekiranya terjadi di Nusa Kambangan. Hasil wawancara dengan seorang anggota Brimob yang pernah bergabung dengan regu ek-sekusi mati mungkin bisa membantu kita bersama-sama menemukan fan-tasi tentang bagaimana sebuah prose-si hukuman mati biasa dilaksanakan.

“The firing squad, made up of 12 Bri-mob officers, will be five to 10 metres away and will shoot their M16s when given the order. Only some of the offi-cers will have live rounds so they nev-er know who fires the fatal shot.

“We just come in, grab the weapon,

shoot, and wait for the dying to finish. Once the ‘bam’ of the gun we wait 10 minutes, if the doctor pronounces him dead then we return, that’s about it.”

“It doesn’t take more than five min-utes to be over,” he said.

After they are shot he says: “They go limp directly, because there is no life.”

A doctor examines the prisoners to determine whether they are dead. If the prisoner is not dead, a designated officer is told to shoot them at close range in the head.

(Death penalty in Indonesia: an execu-tioner’s story. The Guardian, 6 March 2015 – Kate Lamb7)

Sudah saatnya rantai absurditas hu-kuman mati diputus Jokowi-JK, duet penguasa hidup dan mati di Indone-sia. Saat hasil refleksi historis Repub-lik (1965 & 1998) belum cukup mengisi fantasi publik tentang proses penghi-langan nyawa serta penghukuman ti-dak manusiawi yang disponsori oleh negara, ada baiknya eksekusi mati gelombang berikutnya dipertontonk-an saja secara langsung di hadapan publik. Biarkan hasrat itu menemukan makna dari sebuah prosesi penun-tasan balas dendam, praktik kedaula-tan dalam perang melawan kejahatan.

Sebagai penutup, pengalaman trau-

38

Page 39: Sorge - Agustus 2015

matik Lucien Auguste Camus – ayah Albert Camus yang menyaksikan prosesi guilotin – nampak kompak dengan curahan hati anggota Brimob yang menolak disebut namanya itu.

“I hope that I won’t have to keep doing this indefinitely. There are some 50 people on death row so it could be my turn to execute again,” he says.

“I’m not that happy doing it … If there are other soldiers, let them do it.”8

*** [1] Jelang Eksekusi, 84 Persen Rakyat Dukung Jokowi Hukum Mati Pengedar Narkoba. http://nasional.harianterbit.com/nasional/2015/04/27/26525/25/25/Jelang-Eksekusi-84-Pers-en-Rakyat-Dukung-Jokowi-Hukum-Mati-Pengedar-Narkoba

[2] Michel Foucault. 1978. “Right of Death and Power over Life”. Part five, The History of Sexuality, Vol. I. Hal. 138.

[3] Indonesia uses faulty stats on ‘drug crisis’ to justify death penalty. http://theconversation.com/indonesia-uses-faulty-stats-on-drug-crisis-to-justify-death-penalty-36512

[4] Prinsip keadilan bersifat retributif; prinsip hukum balas dendam yang mengkehendaki pelaku kejahatan merasakan sakit/rugi yang sama dengan yang dilanggar.

[5] Michael Foucault. Ibid. Hal 136.

[6] Albert Camus. 1973. Resistance, Rebellion & Death. Hal. 133.

[7] http://www.theguardian.com/world/2015/mar/06/death-penalty-in-indonesia-an-execution-ers-story

[8] Op. cit.

39

Page 40: Sorge - Agustus 2015

Darah di Dada dan Kepala (Eksekusi)

oleh: Intan Mutia

Page 41: Sorge - Agustus 2015

Anomali Kekuasaan Jokowi - JKoleh: Budiana Irmawan*

Pekan pertama bulan April opini pub-lik disuguhi dua peristiwa mengge-likan. Pertama, Presiden Jokowi men-yalahkan Kementerian Keuangan atas lolosnya Perpres No. 39/2015 tentang tunjangan uang muka pembelian mobil pejabat. Kedua, pidato Ketua Umum PDIP Megawati ketika Kongres IV PDIP di Bali yang menegaskan petu-gas partai harus tunduk kepada garis perjuangan partai. Sekilas tidak ada kejanggalan dengan dua peristiwa itu, namun kalau ditelisik lebih jauh san-gat problematis.

Sistem pemerintahan presidensial-isme menempatkan seorang presiden sebagai kepala negara sekaligus kepa-la pemerintahan. Presiden memegang mandat rakyat melalui mekanisme Pemilihan Presiden (Pilpres). Untuk menjalankan pemerintahan, presiden mempunyai hak prerogatif mengang-kat dan memberhentikan menteri. Po-sisi menteri adalah pembantu presi-den yang bertanggung jawab langsung kepada presiden. Inilah sistem pemer-

intahan presidensialisme yang mem-bedakannya dari parlementarisme.

Dalam parlementarisme, seorang kepala pemerintahan atau perdana menteri bertanggung jawab kepada parlemen. Parlemen pun bisa menga-jukan mosi tidak percaya dan mem-bubarkan kabinet. Secara umum, sistem parlementarisme ini menurut politisi senior A. Rahman Tolleng ada-lah “supremasi legislatif”. Mengingat sistem pemerintahan parlementa-risme meleburkan kekuasaan ekse-kutif dan legislatif (fusion of powers), sementara presidensialisme merupa-kan eksekutif tunggal terpisah den-gan kekuasaan legislatif (separation of powers).

Pendasaran teoritis di atas menerang-kan bahwa Presiden Jokowi lemah memahami sistem pemerintahan presidensialisme. Kendati ia men-gatakan tidak cukup waktu memba-ca draf Perpres, tentu bukan alasan melemparkan tanggung jawab kepada

41

Page 42: Sorge - Agustus 2015

bawahannya. Presiden setiap waktu dapat mengganti menteri (reshuffle) yang dinilai tidak kompeten, tetapi publik jangan diberi tontonan yang justru menunjukan presiden sendi-ri inkompeten. Presiden memiliki otoritas penuh memutuskan kebija-kan sesuai program prioritas yang dicanangkannya. Karena itu, terasa aneh ketika Perpres No. 39/2015 lolos, Presiden Jokowi menyalahkan Kemen-trian Keuangan.

Memang sistem pemerintahan pres-idensialisme yang kita anut masih bernuansa parlementarisme. Pen-gangkatan menteri selalu memper-timbangkan representasi partai poli-tik. Presiden lalu mudah terperangkap kepentingan koalisi partai politik di parlemen (DPR). Mereka yang berani melawan kehendak DPR terancam Hak Angket. Kewenangan Hak Angket DPR itu sendiri bahkan diatur oleh Undang Undang No. 6/1954 yang notabene sisa sistem pemerintahan parlemen-tarisme di bawah UUD Sementara Ta-hun 1950.

Di titik ini, pidato Ketua Umum PDIP Megawati yang kemudian publik me-lihatnya ditujukan kepada Presiden Jokowi menjadi sangat problematis. Frase petugas partai yang berna-da peyoratif ini menjelaskan bahwa Megawati terkungkung logika parle-mentarisme. Megawati mungkin lupa pada diri Jokowi sekarang melekat predikat kepala negara dan kepala pemerintahan, bukan semata-mata

kader PDIP yang beruntung terpilih menjadi presiden.

Hal krusial lainnya adalah jika me-nelisik diktum Scott Mainwaring bah-wa presidensialisme tidak kompati-bel dengan multipartai. Negara yang menjalankan sistem pemerintahan presidensialisme murni laiknya hanya ada dua partai politik, yakni partai pe-merintah dan partai oposisi. Konstela-si partai politik pasca Pilpres di DPR terbelah antara KIH dan KMP. Meru-juk diktum Scott, koalisi bipolar par-tai politik sebetulnya perkembangan baik. Kecurigaan berlebihan kepada KMP yang memosisikan sebagai opo-sisi-penyeimbang wujud ketakutan tanpa dasar.

Bahkan saat kemarahan para relawan fanatik Jokowi merespon pidato poli-tik Megawati, desas-desusnya Presi-den Jokowi menyandarkan dukungan di DPR melirik KMP. Apabila konstelasi politik DPR benar berubah, kita bisa membayangkan anomali kekuasaan semakin absurd. KIH pengusung Joko-wi-JK berhadapan dengan pemerintah, sebaliknya KMP pihak oposisi men-dukung pemerintah.

Kini disela peringatan ke-60 Konferen-si Asia Afrika, publik kembali dipaksa menyantap menu yang penuh kekon-yolan. Presiden Jokowi mendorong reformasi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) dan menohok pedas eksisten-si World Bank, IMF, dan ADB lemba-ga keungan di bawah naungan PBB.

42

Page 43: Sorge - Agustus 2015

Pada momentum yang sama, seorang kepala negara dan kepala pemerintahan merasa tidak tahu jabatan Wakapolri sudah resmi dipegang Komjen Budi Gun-awan. Sungguh ajaib ! Persis peribahasa, “Gajah di pelupuk mata tidak tam-pak, semut di seberang lautan terlihat”.

Di tengah anomali kekuasaan itu, semestinya kita semua terpanggil mende-sak pemerintahan Jokowi-JK mengutamakan pijakan etika publik, sebab yang mengkhawatirkan adalah ketika pemerintahan Jokowi-JK tetap bebal, akhirnya rakyat mencari jalan keluar sendiri.

Apalagi merenungi pernyataan Lord Action, “Power tends to corrupt and ab-solute power corrupts absolutely”. Pernyataan cerdas ini memberi pelajaran berharga kita tidak boleh menanggalkan kritisisme. Siapapun yang berkuasa termasuk pemerintahan Jokowi-JK tanpa sikap kritis membuka peluang melen-ceng dari tujuan awal.

***

*) Penulis adalah eksponen aktivis ’98 Bandung.

Page 44: Sorge - Agustus 2015

Jadi begini fren,

Waktu jaman sekolah baheula, kita punya Ketua OSIS. Joko namanya. Iya, Joko. Tidak, tidak pake Wi, apalagi Dodo. Joko. Irit lah namanya ngapain panjang – panjang.

Si Joko ini tipikal siswa tauladan buku paket Bahasa Indonesia 5A kurikulum 1994 terbitan Erlangga. Tidak pernah (ketahuan) mencontek, tutur katanya halus dan bisa bergaul dengan semua orang.

Semua murid sejak awal tahun aja-

ran mengidolakan kesederhanaan pembawaan, ketegasan dan kemam-puannya mengelola organisasi. Terpi-lihlah dia jadi ketua kelas – dua kali berturut-turut. Meski cuma menjabat sebagai ketua kelas di XI IPA – 5, kelas pojok sekolah, namanya dipuji-puji sampai kelas IPS, tongkrongan Rohis, anak-anak basket plus cheerleader-snya, geng motor, anak band, tukang cireng. Pokoknya tersohor fren. Tentu saja di Westeros bernama SMA, bagi kami Ketua OSIS adalah Iron Throne-nya. Dan Joko tak ragu untuk men-dudukinya.

BLHKS#1Balada Joko, Ketua OSIS Kami

Tempo hari, sepucuk surat kaleng tiba di ruang redaksi. Surat itu tanpa nama dan alamat pengirim, di amplop hanya tertera nomor kontak, dan tulisan

tebal spidol yang berbunyi “BUKAN LAUTAN, HANYA KOLOM SUSU #1”. Isi su-ratnya dapat kalian baca di bawah ini.

Seperti kontribusi tulisan lainnya, kami berulangkali mencoba menghubungi nomor yang tertera di amplop untuk menanyakan identitas lengkap pengi-rim. Tak ada jawaban. Namun lewat tengah malam, telepon kami berdering. SMS dari nomor tersebut yang isinya cuma sebaris kalimat, “Kenapa mesti

pakai nama? Emangnya lembar jawaban”.

44

Page 45: Sorge - Agustus 2015

Si Joko menang tipis lawan anak IPS tukang palak – yang konon bisa ny-alon karena bapaknya dulu nyumbang semen buat gedung serbaguna. Seko-lah jadi meriah, ekskul band sampai patungan sewa alat buat bikin pesta. Anak mading rela karangan zodiaknya diganti muka si Joko seminggu penuh. Rohis gak mau ketinggalan: ngajak dz-ikir akbar. Konon anak Rohis haqul-ya-kin si Joko menang karena baru kali ini dzikir di sekolah bisa rame. Bangga betul kita.

Tapi ada tapinya fren..

Kabar kemenangan ini terendus Bu Kepsek. Oh anak ceking itu ya, pikirn-ya. Bu Kepsek dan Joko bagai bumi dan langit. Hobi Bu Kepsek adalah nongkrong di gerbang tiap pagi, dan mencukur poni siswa yang dianggap-nya tidak sopan. Bukan hanya ram-but, celana dan rok pun kerap jadi sasaran. Brettt. Dipotong. “Kuku apa panjang begini, kebanyakan non-ton film barat kamu” Plak. Dikeplak. “Kamu sekarang push-up terus pel koridor!” semprotnya.

“Lho, Ibu ini Kepsek apa Walikota?”

“Cicing siah!”

Bu Kepsek – yang konon kalau tidak pi-dato selama dua hari, badannya suka gatal-gatal – tidak tolol-tolol amat. Dia tahu murid takut dengannya. Atau lebih parah lagi, geli dengannya. Sang Ndoro melihat si ceking dan ingatan-

nya memutar balik ke tahun-tahun kemarin. Si kikuk itu nampak happy betul saat mencium tangannya.

Jadi Ketua OSIS sudah tentu jauh berbeda dari ketua kelas. Joko bisa bentuk susunan kepengurusan serta punya program tahunan yang men-cakup seisi sekolah. Meski makin hari kok, jadi sering dipanggil ke ruang Bu Kepsek. Joko tidak keberatan. Dia hormat betul pada Bu Kepsek. Hanya di ruangannya lah dia bisa bertemu guru-guru yang senantiasa siap den-gan wejangan-wejangan tanpa perlu diminta. Bu Kepsek memberi susunan nama-nama murid favoritnya. Ngerti, kan? katanya. Joko ngerti lah, fren. Ke-girangan, Bu Kepsek langsung break-dance sehari semalam sama Guru penjaskes, Pak Brewok.

Joko mengagumi mereka – guru-guru itu. Ketua OSIS, pikirnya, bagaimana-pun cuma siswa. Siswa senantiasa datang dan pergi. Setelah semua yang memilihnya lulus, guru-guru itu masih akan tetap disini. Setia melaksanakan razia dan menjaga dana.

Belakangan, para fans Joko bingung fren. Ruangan OSIS kok kosong-melom-pong terus – kadang-kadang jadi tem-pat main futsal. Anak-anak Rohis yang mau mengajukan proposal ampli Mar-shall sampai bangun tenda nungguin Joko.

Selidik punya selidik, Joko lebih hobi nongkrong sama Bu Kepsek. Kadang

45

Page 46: Sorge - Agustus 2015

sampai larut malam. Walhasil adminis-trasi ekskul kacau balau. Anak basket dikasih seragam pramuka, cewek-ce-wek cheerleaders dikasih oli samping (lu kira terminator, fren), klub debat latih tandingnya sama klub karambol Ojek Pintu Air (Est. 1983).

Kepengurusan OSIS pilihan Joko rupa-nya diisi anak – anak gaul komplek, yang emaknya teman arisan bu Kepsek. Biar CV mentereng ceritanya, fren. Ini berakibat anak-anak yang du-lunya fans doi sekarang jadi jaga ja-rak. Satpam-satpam fren, jadi sering nyuruh Joko beliin Djisamsoe. Segitu enggak dipandang doi. Apakah ki-ta-kita marah-marah? Atau setidaknya komplain? Ya kagak lah, bulan depan sudah UN. Mading isinya jadi berita sekolah lagi. Kadang-kadang curhat penyesalan para pemilih Joko. Masih seruan baca bungkus gorengan sih.

Ada lanjutannya tapi fren. Nah, satu-satunya teman Joko kebetulan masih kenalan kami. Joko pernah datang curhat satu hari saat jam istirahat. Habis dijewer katanya. Bu Kepsek tadi mencak-mencak, lah-an yang mestinya buat pos satpam baru malah ditanamin kuaci sama anak-anak IPA. Diomelin mulu luh kata teman kami. Joko nyengir saja. Nyengir yang jauh berbeda dari waktu dia masih ketua kelas.

Tak pernah sekalipun terbersit di benaknya untuk membenci Bu Kepsek dan guru-guru. Suatu hari nanti, ba-

tinnya berharap, mereka akan men-ganggap saya sebagai kawan yang andal. Tapi untuk sekarang, ia hanya Ketua OSIS di SMA dibawah kebijak-sanaan guru-guru berdedikasi dan Bu Kepsek tukang breakdance.

“Fren, Presiden katanya mau blusu-kan ke lapangan kecamatan”. Kata teman kami memecah keheningan.

“Iya, tadi dengar dari Bu Kepsek”

“Seru juga kali ya jadi Presiden”. Teman kami memang cerewet. “Oh ya seru banget”. Ketus Joko tak sabar. “Ini tahun depan gua mau nyalon jadi Presiden. Seru banget sih soalnya.”

“Ah, Lu jadi Ketua OSIS aja diginiin, hahaha”

Belum sempat Joko mengomeli teman kami, dia menepuk jidat. Betul-bet-ul lupa dia kalau Bu Kepsek tadi menyuruhnya beli lotek. Ingat! tanpa cabe!. Pontang-panting dia tinggalkan ruangan OSIS, melesat ke kantin sebe-lum bel masuk kelas berbunyi.

Saat tengah lari itulah dia terpeleset ke parit, setengah terpelanting, nyus-ruk, nyemplung, basah kuyup. Jreng. Ketawa kita, fren, serius ketawa sam-pai mules. “Bau tengik lu Jok!” kata cewek-cewek cheerleaders. JRENG. “Makan tuh oli samping” Ngakak bet-ul hari itu, fren.

Dari kejauhan, Wakil Joko ketawanya

46

Page 47: Sorge - Agustus 2015

terdengar paling kencang (ini orang daritadi kemana ya kok baru keliatan) Hihi-hihihi. Seperti bunyi starter motor bebek yang businya baru masuk comberan. HIHIHIHI. Cempreng.

Gitulah, fren. Kocak ya. Kita sih woles, namanya juga OSIS fren, setahun juga kelar.

Awal Mei, 2015BLHKS

***

47

Page 48: Sorge - Agustus 2015
Page 49: Sorge - Agustus 2015
Page 50: Sorge - Agustus 2015

KIRIM IDE-IDE TERLIAR ANDAKRITIK

TULISAN TERLARANGKARYA SENI TANPA TANDING

KIRIM DENGAN GAYA MEMPESONADAN BERBAHAYA

[email protected]

Page 51: Sorge - Agustus 2015
Page 52: Sorge - Agustus 2015