Soft System Methodology

4

Click here to load reader

Transcript of Soft System Methodology

  • 1

    Pengenalan Terhadap Soft System Methodology (SSM): Sebuah Pendekatan Kualitatif Monitoring & Evaluasi

    Pengantar Soft System Methodology (SSM) adalah sebuah alat bantu monitoring-evaluasi yang

    lebih menekankan kualitas di bandingkan kuantitas di dalam penelitian terhadap sebuah aktifitas atau program kelembagaan. Secara sederhana, dapat dikatakan, bahwa SSM merupakan model cara berpikir dalam melihat efektifitas berjalannya aktifitas atau program. Arahnya adalah bagaimana efektifitas tersebut memberikan kontribusi untuk ke depan, aktifitas/program selanjutnya atau pengambilan keputusan lainnya secara organisatoris.

    SSM sangat memperhatikan kaitan-kaitan instrumen baik dari dalam organisasi maupun yang terkait dengan berjalannya organisasi tersebut. Oleh karenanya, penekanan utamanya adalah bukan pada struktural formal yang telah tersusun rapi, tetapi pada situasi yang terkadang cair1. Sebuah pelaksanaan kegiatan tidak selalu berjalan sesuai dengan perencanaan. Dan, sesuatu yang tidak sesuai dengan perencanaan tidak selamanya buruk. Ini yang menarik. Sehingga, pembelajaran dari pengalaman ini menjadi penting: bagaimana metode yang dipakai dalam situasi yang serba tak menentu, rumit, dan sebagainya.

    Tulisan ini merupakan sebuah paparan metodologis dari cara berpikir monitoring-evaluasi, yang mungkin tidak baku seperti pada umumnya, yang cenderung melihat kualitas daripada kuantitas2. Tulisan ini akan memaparkan secara khusus 3 instrumen atau alat bantu untuk penelitian kualitatif sebuah aktifitas atau program. Pertama, Strategic Assumption Surfacing And Testing (SAST). Kedua, Interpretive Structural Modeling (ISM). Ketiga, Analitycal Network Process (ANP). Keempat, gabungan ketiganya.

    Apa itu SSM? Sebagaimana sempat diungkap sebelumnya, SSM adalah sebuah cara berpikir (system

    thinking) penelitian kualitatif. Cara berpikir SSM dipakai terutama untuk menyikapi situasi non sistemik, rumit, syarat dengan pengaruh-pengaruh unsur sosial dan politis manusia, dan bahkan mengandung permasalahan-permasalahan yang berat. Arahnya adalah untuk menemukan sebuah masukan tindak lanjut ke depannya.

    Secara sederhana, SSM memiliki tiga konteks umum, yaitu SEE, JUDGE, dan ACT.

    Pertama, SEE, kita masih berada pada tataran realitas dimana 1)kita menemukan permasalahan yang nampak, walaupun tidak terstruktur atau tidak tertata dengan baik. Tetapi, pada intinya, 2)masalah tersebut dapat kita rasakan keberadaannya: ada dan dialami juga oleh banyak orang.

    Kedua, JUDGE, permasalahan yang ada mulai kita urai ke dalam pikiran kita: 3)apa sebenarnya yang menjadi permasalahan. Kita dapat membandingkan 4)situasi ideal yang menjadi berseberangan dengan permasalahan yang ada tersebut sebagai pembanding. 1 Dalam istilah SSM, seringkali dikatakan sebagai non-systemic situation. Artinya, tidak selalu mendasarkan pada struktur sistematika yang biasanya tertata baik. Karena, di dalam sebuah pelaksanaan kegiatan, banyak elemen yang mempengaruhi dan memberikan kontribusi, baik positif maupun negatif, yang membentuk pelaksanaan kegiatan tersebut, bahkan lepas dari perencanaan yang ada, tetapi hasilnya efektif baik. 2 Tulisan ini merupakan uraian singkat atas pelatihan SSM, di Gedung TNP2K, Kebon Sirih-Jakarta Pusat, 15 Agustus 2014.

  • 2

    Sehingga, 5)kita menemukan kontras dan pemahaman sementara bahwa memang ada masalah dari yang seharusnya dari yang kita harapkan.

    Ketiga, ACT, kalau kita sudah mampu merasakan adanya kontras atau pemahaman akan konteks permasalahan yang ada kaitannya dengan harapan baik dari perencanaan aktifitas/program yang digagas di awal, kemudian seharusnya kita mampu sekilas mengharapkan sebuah 6)perubahan. Kesadaran akan perubahan tidak akan mungkin tercapai kalau tidak ada aktifitas untuk mengimplementasikan perubahan tersebut dari pikiran ke 7)tindakan. Pada titik ini, kita kemudian kembali memasuki tataran realitas.

    SSM merupakan sebuah metodologi untuk melihat kegiatan-kegiatan yang berlangsung di dalam sistem organisatoris yang ada. Dari kegiatan-kegiatan tersebut, kita juga ingin melihat elemen-elemen yang lekat padanya, terutama keterlibatan pihak-pihak (stakeholders). Sebuah instrumen analisa yang dapat dipakai kaitannya dengan proses implementasi SSM ini adalah Analisa CatWoe (Customers (C), Actors (A), Transformation Process (T), World View (W), Owners (O), dan Environment (E)). Analisa CatWoe ini akan dipraktekknya di dalam proses-proses SSM selanjutnya. Kunci sederhananya adalah: sebuah sistem dimiliki oleh O untuk pelaksanaan W oleh A dengan kondisi-kondisi tertentu pada T sesuai ketentuan yang ditetapkan dalam E untuk mencapai X bagi C.

    Bagaimana SSM diimplementasikan?

    SAST (Strategy Assumption Surfacing and Testing) SAST merupakan alat bantu analisa terhadap sistem atau permasalahan yang terkesan

    kompleks. Harapannya, dapat teridentifikasikannya kondisi saling ketergantungan antara pelbagai komponennya (baca: stakeholders). Caranya adalah dengan menentukan asumsi untuk memudahkan membaca proses kerja yang ada. Asumsi tersebut merupakan hal-hal yang dapat kita bayangkan terjadi. Asumsi-asumsi tersebut kemudian diberi penilaian dengan ketentuan skala tertentu.

    Pertama, merumuskan 2 pertanyaan utama yang bersifat asumsi.

    Kedua, setiap pertanyaan tersebut diberikan skala penilaian dan rumusan derajatnya. Misalnya, skala 1 sampai dengan 7. Untuk pertanyaan pertama, diberikan skala 1 berarti paling tidak penting dan skala 7 berarti paling penting. Sedangkan untuk pertanyaan kedua, diberikan juga skala 1 sampai 7; skala 1 untuk paling tidak pasti dan skala 7 untuk paling pasti atau yakin.

    Ketiga, hasilnya kemudian dimasukkan ke dalam kotak empat kuadran.

    Keempat, ditentukan beberapa kondisi objektif untuk menggambarkan dua pertanyaan asumtif tersebut. Kondisi-kondisi tersebut diberikan skala penilaian 1 sampai 7.

    Kelima, sesuai dengan posisi kuadran, asumsi-asumsi tersebut kemudian menjadi dasar penilaian untuk penyusunan kebijakan selanjutnya.

    ISM (Interpretive Structural Modeling) ISM merupakan alat bantu analisa dalam melihat keterhubungan yang kontekstual

    satu elemen dengan elemen lainnya. Keterkaitan tersebut kemudian diberikan penilaian dalam bentuk matriks (Structural Self Interaction Matrix).

  • 3

    Pertama, terdapat 9 elemen utama dalam konteks ISM yang menjadi dasar analisa, yaitu:

    - Sektor masyarakat yang terpengaruh - Kebutuhan dari program - Kendala utama program - Perubahan yang diinginkan - Tujuan dari program - Tolak ukur untuk menilai setiap tujuan - Aktifitas yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan - Ukuran aktifitas untuk mengevaluasi hasil yang dicapai setiap aktifitas - Lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan program Kedua, dari setiap elemen tersebut, ditentukan lagi sub-sub elemennya. Dari sekian

    sub elemen yang mengandung arah yang serupa dan dapat disandingkan kemudian ditetapkan hubungan kontekstualnya.

    Ketiga, keterkaitan hubungan tersebut disusun dalam bentuk matriks Structural Self Interaction Matrix. Misalnya, elemen A lebih penting/besar dari B, untuk jenis hubungan kontekstual yang sifatnya ditetapkan sebagai Perbandingan.

    Keempat, sehingga untuk sebuah elemen utama, kita mendapatkan pelbagai sub elemen turunan yang telah kita hubungkan satu sama saling yang memiliki arah tertentu. Hal ini untuk menentukan keterkaitan gejala objektif yang ada.

    ANP (Analitycal Network Process) ANP merupakan alat bantu analisa untuk melihat keterkaitan antar elemen yang saling

    berinteraksi. Prinsip utamanya adalah 1)melihat struktur dari kompleksitas permasalahan yang ada. 2)memberikan penilaian dalam skala rasio tertentu. Dan, 3)menyatukan elemen-elemen yang terurai tersebut sehingga menjadi satu kesatuan komposisi.

    Pertama, bagian ANP yang bersifat hierarki jaringan kriteria dan subkriteria yang sifatnya berpengaruh dalam mengontrol interaksi.

    Kedua, bagian ANP yang bersifat komposisi jaringan antara elemen dan kluster yang saling berpengaruh.

    Ketiga, mengabungkan kedua bagian ANP tersebut sehingga memperlihatkan sebuah kerangka umum yang kemudian menjadi bentuk baru dengan bagian-bagian utama, yaitu Tujuan, Aspek, Masalah, dan Strategi.

    Misalnya, kita ingin memiliki sebuah mobil SUV baru. Kita menyusun kriteria-kriteria (model mobil, jenis ketangguhan, dan konsumsi BBMnya). Setiap kriteria diurai kembali sub kriterianya yang sama terkait dengan jenis mobil (C-RV, X-Trail, Escape, Fortuner, dan sebagainya). Setiap jenis mobil tersebut dianalisa terkait dengan jenis kriterianya. Kemudian, ditentukan perbandingannya dan diberikan penilaian atau skala rasio. Setelah itu, kita bisa menentukan skala prioritasnya.

    Gabungan: ANP + SAST + ISM Sebagai sebuah bentuk alat bantu, ketiga model analisa di atas dapat digabungkan.

    ANP untuk membantu menetapkan faktor-faktor yang menjadi prioritas dalam pengembangan sebuah model, ISM untuk mengungkap hubungan kontekstual antara sub

  • 4

    elemen dalam elemen, dan SAST untuk mengeksplorasi asumsi strategis dengan tingkat keyakinan dan tigkat kepastian yang tinggi.

    Kesimpulan Dalam kegiatan monitoring evaluasi, diperlukan sebuah kompentensi mendasar yang

    sangat tercermin dari kemampuan dalam melakukan analisa yang efektif. Efektifitas analisa ini nampak dari bagaimana metodologi yang dipakainya dan bagaimana kemudian diterapkan di dalam perencanaan evaluasi. Segala sesuatu yang tercermin di dalam perencanaan harus mampu untuk menghadapi pelbagai kemungkinan yang ada, termasuk tantangan-tantangannya sekalipun. Yang tercermin dalam kategori efektifitas analisa misalnya bagaimana kita melakukan analisa sistem kinerja, menemukan akar masalah, melakukan diagnosa, dan merumuskan permasalahan dengan konteks yang ada.

    Sistem analisa kualitatif SSM merupakan sebuah aplikasi praktis metodologis dalam monitoring evaluasi yang dapat dipakai secara terpisah ataupun menggabungkan ketiga unsurnya di atas. Pilihan melakukan secara terpisah atau menggabungkan unsur analisa merupakan tolak ukur efektifitas tersendiri. Proses analisa juga harus mengandaikan elemen-elemen kunci yang memampukan implementasi dapat dilaksanakan di dalam perencanaan ke depan. Kalau analisa hanya berhenti pada hasil analisa, analisa tersebut tak ubahnya hanya sekedar hidangan yang tidak tahu apakah harus atau perlu untuk dimakan; kalaupun ingin dimakan, apakah karena memang kita lapar. Itulah konteks efektifitas, yang tidak sekedar berhenti pada keilmiahan metodologi belaka tetapi harus mampu menjangkau tingkatan implementasi praktisnya.

    Monitoring evaluasi bukanlah sekedar penilai keberlangsungan sebuah proses. Tetapi, lebih merupakan sebuah alat bantu untuk mampu mendapatkan nilai atau makna untuk proses selanjutnya yang lebih baik.

    * * *