Snakebite Lapkas

32
Portofolio Nama Wahana: RSUD Kabupaten Pacitan Topik: Snake bite Tanggal (Kasus): 22 Desember 2015 Presenter: dr. Sarah Zoraya Mirza Tanggal Presentasi: Pendamping: dr. Netty Nurnaningtyas, Sp. EM/dr. M. Wildan Tempat Presentasi: Obyektif Presentasi: KeilmuanKeterampilan Penyegaran Tinjauan Pustaka Diagnostik Manajemen Masalah Istimewa Neonatus Bayi Anak Remaja Dewasa Lansia Bumil Deskripsi: Laki-laki, 16 tahun, nyeri perut kanan bawah Tujuan: Diagnostik dan tatalaksanapada kasus appendicitis akut Bahan Bahasan: Tinjauan Pustaka Riset Kasus Audit Cara Membahas: Diskusi Presentasi dan Diskusi Email Pos Data Pasien: Nama: Tn. S Nomor Registrasi: 22.42.07 Data Klinik: Telp: Terdaftar Sejak: 22 Desember 2015 Data Utama untuk Bahan Diskusi 1. Diagnosis / Gambaran Klinis: Telapak kaki kiri digigit ular Portofolio

description

lapkas

Transcript of Snakebite Lapkas

Portofolio

Nama Wahana: RSUD Kabupaten Pacitan

Topik: Snake bite

Tanggal (Kasus): 22 Desember 2015 Presenter: dr. Sarah Zoraya Mirza

Tanggal Presentasi:Pendamping: dr. Netty Nurnaningtyas, Sp.

EM/dr. M. Wildan

Tempat Presentasi:

Obyektif Presentasi:

√ Keilmuan√ Keterampilan √ Penyegaran √ Tinjauan Pustaka

√ Diagnostik √ Manajemen Masalah Istimewa

Neonatus Bayi Anak Remaja √ Dewasa Lansia Bumil

Deskripsi: Laki-laki, 16 tahun, nyeri perut kanan bawah

Tujuan: Diagnostik dan tatalaksanapada kasus appendicitis akut

Bahan Bahasan: √Tinjauan

Pustaka

Riset √ Kasus Audit

Cara

Membahas:

Diskusi √ Presentasi dan

Diskusi

Email Pos

Data Pasien: Nama: Tn. S Nomor Registrasi: 22.42.07

Data Klinik: Telp:Terdaftar Sejak: 22

Desember 2015

Data Utama untuk Bahan Diskusi

1. Diagnosis / Gambaran Klinis:

Telapak kaki kiri digigit ular

2. Riwayat Pengobatan:

Pasien belum pernah menjalani pengobatan sebelumnya.

3. Riwayat Kesehatan / Penyakit:

Pasien datang pukul 11.37 WIB dengan keluhan nyeri pada telapak kaki kiri. Sejak. Nyeri

dirasakan pasien setelah telapak kaki kirinya digigit ular pukul 08.00 WIB saat pasien sedang

berjalan di pinggir jalan yang dekat dengan sawah. Saat kejadian, pasien mengaku telapak

kaki kirinya dirasa sangat nyeri dan dirasa terus-menerus, hingga ia tidak bisa berjalan. Nyeri

seperti ditusuk-tusuk dan menjalar hingga ke betis pasien. Kaki pasien juga terasa panas, baal

(kesemutan) dan membengkak pada luka bekas gigitan hingga betis kiri, luka berdarah.

Perdarahan tidak berhenti sejak pasien digigit ular. Pasien juga mengeluh keluar keringat

dingin (+), berdebar-debar (-), sesak nafas (-), mual (-), muntah (-), nyeri kepala (+), pingsan

Portofolio

(-), demam (-), nyeri perut (-). Pasien mengaku tahu jenis ular yang menggigitnya, yaitu ular

bendotan. Saat kejadian pasien mengenakan sandal. Pasien mengaku BAK dan BAB nya

lancer

4. Riwayat Keluarga:

Riwayat asma, penyakit jantung, hipertensi, dan kencing manis keluarga disangkal.

5. Riwayat Pekerjaan dan Sosial:

Pasien adalah seorang petani

6. Lain-lain

Kesadaran: Compos mentis/ tampak sakit sedang

GCS : E4M6V5

Tanda vital:

Tekanan darah: 150/100 mmHg. Nadi: 98x/menit. Pernafasan : 24x/menit. Suhu: 370C

Pemeriksaan Fisik:

Kepala Leher: mata konjunctiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), sianosis bibir(-), JVP

±2cmH2O

Thoraks: Inspeksi : simetris,

Palpasi : massa (-), nyeri tekan (-), iktus kordis tidak teraba,

Perkusi : sonor kiri dan kanan,

Auskultasi Jantung  : S1S2 tunggal, reguler, murmur (-), gallop (-)

Paru : suara napas Vesikuler +/+ , Rhonki -/- , Wheezing -/-

Abdomen: Inspeksi : datar

Auskultasi: peristaltik (+) normal

Palpasi : soepel(+), massa (-), hepar lien tidak teraba

Perkusi : timpani (+)

Ekstremitas atas : akral hangat(+/+) edema (-/-)

Ekstremitas bawah: Akral hangat (+/+), edema (+/-), deformitas (-/-), terdapat dua buah

luka pada telapak kaki kiri, bentuk titik ukuran masing-masing 0,2 cm x 0,2 cm dan 0,2 cm

x 0,1 cm, jarak kedua luka 1,2 cm. warna kulit sekitar luka hingga 1/3 distal cruris sinistra

berwarna merah keunguan, edema (+). Nyeri tekan (+). Perdarahan (+)

Status lokalisasi luka :

Terdapat dua buah luka pada telapak kaki kiri,bentuk titik ukuran masing-masing 0,2

cm x 0,2 cm dan 0,2 cm x 0,1 cm, jarak kedua luka 1,2 cm. warna kulit sekitar luka

hingga 1/3 distal cruris sinistra berwarna merah keunguan, edema (+),nyeri tekan (+),

perdarahan (+)

Pemeriksaan Penunjang:

EKG normal EKG

Laboratorium :

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan

WBC

Lymph

Mid

Gran

HGB

RBC

HCT

MCV

MCH

MCHC

RDW-SD

RDW-CV

PLT

PPT

APTT

26.1 x 10^3/uL

19.1 %

12.1 %

73.3%

14.0 g/dL

4.37 x 10^6/uL

41.1%

94.1%

32.0%

34.0%

48.8 fL

12.3 %

14 x 10^3/uL

Memanjang

detik

Kontrol PPT :

14,3

Memanjang

detik

Kontrol APTT :

35,2

5.0 – 12.0

20.0 – 40.0

3.0 – 9.0

50.0 – 70.0

12.0 – 16.0

4.00 – 5.50

40.0 – 54.0

80.0 – 100.0

27.0 – 31.0

32.0 – 36.0

35.0 – 56.0

11.0– 16.0

150 – 450

11.7-16.8

(>100)

Perbedaan

kontrol dengan

hasil <3 detik

atau 1½ kali

kontrol

28.9-41.6 detik

(>93,4)

Perbedaan

kontrol dengan

hasil <7 detik

atau 1½ kali

kontrol

Diagnosis: Snake bite derajat II (kriteria Parrish)

Rencana terapi:

Medika mentosa:

- O2 2-4 l/i

- IVFD NS fluid challange 500 cc maintenance 28 tpm

- Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam (skin test)

- Inj. Antrain 1gr/8 jam

- Inj. Ranitidin 50mg/12 jam

- Drip SABU 2 vial dalam NS 100cc 60-80 gtt/i

- Inj. Morfin 2 mg

- Imobilisasi kaki

Edukasi tentang penyakit, menenangkan korban yang cemas; imobilisasi bagian tubuh

yang tergigit dengan cara membalut dengan elastic perban atau menyangga dengan kayu

agar tidak terjadi kontraksi otot, karena pergerakan atau kontraksi otot dapat

meningkatkan penyerapan bisa ke dalam aliran darah dan getah bening, hindari gangguan

terhadap luka gigitan karena dapat meningkatkan penyerapan bisa dan menimbulkan

pendarahan lokal

Daftar Pustaka:

1. SMF Bedah RSUD DR. R.M. Djoelham Binjai. 2000. Gigitan Hewan. Availabke

from : www.scribd.com/doc/81272637/Gigitan-Hewan

2. WHO. 2005. Guidelines for The Clinical Management of Snake Bite in The South

East Asia Region.

3. Sentra Informasi Keracunan Nasional Badan POM, 2012. Penatalaksanaan

Keracunan Akibat Gigitan Ular Berbisa. Available from : www.pom.id

4. Hafid, Abdul, dkk., 1997. Bab 2 : Luka, Trauma, Syok, Bencana : Gigitan Ular.

Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi, EGC : Jakarta. Hal. 99-100

5. Daley, Brian James MD. 2010. Snake bite : patophysiology. Available from :

http://emedicine.medscape.com/article/168828-overview#a0104

6. Depkes. 2001. Penatalaksanaan gigitan ular berbisa. Dalam SIKer, Dirjen POM

Depkes RI. Pedoman pelaksanaan keracunan untuk rumah sakit.

Hasil Pembelajaran:

1. Identifikasi etiologi

2. Diagnosis

3. Identifikasi komplikasi dan faktor penyulit

4. Konseling Informasi dan Edukasi tentang terapi nya

Rangkuman Hasil Pembelajaran Portofolio

1. Subjektif

Pasien mengeluh telapak kaki kirinya dirasa sangat nyeri dan dirasa terus-menerus,

hingga ia tidak bisa berjalan setelah digigit ular pukul 08.00 WIB dan pasien tiba di

IGD pukul 11.37 WIB. Nyeri seperti ditusuk-tusuk dan menjalar hingga ke betis

pasien. Kaki pasien juga terasa panas, baal (kesemutan) dan membengkak pada luka

bekas gigitan hingga betis kiri, luka berdarah. Perdarahan tidak berhenti sejak pasien

digigit ular. Pasien juga mengeluh keluar keringat dingin (+) dan nyeri kepala(+).

Riwayat pengobatan sebelumnya disangkal pasien

2. Objektif

Pada pemeriksaan fisik, tanda vital berada dalam batas normal.Tekanan darah :

150/100 mmHg, Pemeriksaan fisik lokalisata : terdapat dua buah luka pada telapak

kaki kiri,bentuk titik ukuran masing-masing 0,2 cm x 0,2 cm dan 0,2 cm x 0,1 cm,

jarak kedua luka 1,2 cm. warna kulit sekitar luka hingga 1/3 distal cruris sinistra

berwarna merah keunguan, edema (+),nyeri tekan (+), perdarahan (+)

Pemeriksaan Penunjang: WBC : 26.1 x 10^3/uL, PLT : 14 x 10^3/uL, PTT dan APTT

memanjang.

3. Assesment

Dari anamnesis didapatkan pasien mengeluh telapak kaki kirinya dirasa sangat nyeri

dan dirasa terus-menerus, hingga ia tidak bisa berjalan setelah digigit ular pukul 08.00

WIB. Keluhan disertai telapak kaki kiri panas, baal (kesemutan) dan membengkak

pada luka bekas gigitan hingga betis kiri. Perdarahan tidak berhenti sejak pasien

digigit ular. Pasien juga mengeluh keluar keringat dingin (+) dan nyeri kepala

(+).Pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah meningkat, pemeriksaan telapak kaki

kiri : terdapat dua buah luka pada telapak kaki kiri,bentuk titik ukuran masing-masing

0,2 cm x 0,2 cm dan 0,2 cm x 0,1 cm, jarak kedua luka 1,2 cm. warna kulit sekitar

luka hingga 1/3 distal cruris sinistra berwarna merah keunguan, edema (+),nyeri

tekan (+), perdarahan (+). Pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil leukositosis,

trombositopeni dan pemeriksaan PTT dan APTT memanjang.

Derajat Venerasi Luka gigit Nyeri Udem/eritema Tanda sistemik0 0 + +/- <3cm/12 jam 0I +/- + + <3cm/12 jam 0II + + +++ >12cm-25cm/

12jam+. Neurotoksik, mual, pusing, syok

III ++ + +++ >25cm/12jam ++,syok, petekie,ekimosis

IV +++

+ +++ Pada satu ekstremitas secara menyeluruh

++, gangguan faal ginjal, koma, perdarahan

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, Diagnosis

pasien ini snake bite derajat II.

4. Plan

Pengobatan

- Medika mentosa:

o O2 2-4 l/i

o IVFD NS fluid challange 500 cc maintenance 28 tpm

o Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam (skin test)

o Inj. Antrain 1gr/8 jam

o Inj. Ranitidin 50mg/12 jam

o Drip SABU 2 vial dalam NS 100cc 60-80 gtt/i

o Inj. Morfin 2 mg

- Pembidaian

Tindakan pembidaian dengan menggunakan elastic perban.

Pendidikan

Pasien dengan tanda envenomasi (keracunan) yang berat membutuhkan

perawatan khusus di ICU untuk pemberian produk-produk darah, menyediakan

monitoring yang invasif, dan memastikan proteksi jalan nafas. Observasi untuk

gigitan ular koral minimal selama 24 jam. Buat evaluasi serial untuk penderajatan

lebih lanjut dan untuk menyingkirkan sindroma kompartemen.Tergantung dari derajat

keparahan gigitan, pemeriksaan darah lebih lanjut mungkin dibutuhkan, seperti waktu

pembekuan darah, jumlah trombosit, dan level fibrinogen

Tinjauan Pustaka

Luka Gigitan Ular/ Snake Bite

3.1. Definisi Luka gigitan adalah cidera yang disebabkan oleh mulut dan gigi hewan atau manusia.

Hewan mungkin menggigit untuk mempertahankan dirinya, dan pada kesempatan khusus

untuk mencari makanan. Gigitan dan cakaran hewan yang sampai merusak kulit kadang kala

dapat mengakibatkan infeksi. Beberapa luka gigitan perlu ditutup dengan jahitan, sedang

beberapa lainnya cukup dibiarkan saja dan sembuh dengan sendirinya1

3.2. EtiologiSpesies ular dapat dibedakan atas ular berbisa dan ular tidak berbisa. Ular berbisa

yang bermakna medis memiliki sepasang gigi yang melebar, yaitu taring, pada bagian depan

dari rahang atasnya. Taring-taring ini mengandung saluran bisa (seperti jarum hipodermik)

atau alur, dimana bisa dapat dimasukkan jauh ke dalam jaringan dari mangsa alamiahnya.

Bila manusia tergigit, bisa biasanya disuntikkan secara subkutan atau intramuskuler. Ular

kobra yang meludah dapat memeras bisanya keluar dari ujung taringnya dan membentuk

semprotan yang diarahkan terhadap kedua mata penyerang 2,3.

Efek toksik bisa ular pada saat menggigit mangsanya tergantung pada spesies, ukuran

ular, jenis kelamin, usia, dan efisiensi mekanik gigitan (apakah hanya satu atau kedua taring

menusuk kulit), serta banyaknya serangan yang terjadi3.

Ular berbisa kebanyakan termasuk dalam famili Colubridae, tetapi pada umumnya

bisa yang dihasilkannya bersifat lemah. Contoh ular yang termasuk famili ini adalah ular sapi

(Zaocys carinatus), ular tali (Dendrelaphis pictus), ular tikus atau ular jali (Ptyas korros), dan

ular serasah (Sibynophis geminatus).

Ular berbisa kuat yang terdapat di Indonesia biasanya masuk dalam famili Elapidae,

Hydropiidae, atau Viperidae. Elapidae memiliki taring pendek dan tegak permanen.

Beberapa contoh anggota famili ini adalah ular cabai (Maticora intestinalis), ular weling

(Bungarus candidus), ular sendok (Naja sumatrana), dan ular king kobra (Ophiophagus

hannah). Viperidae memiliki taring panjang yang secara normal dapat dilipat ke bagian

rahang atas, tetapi dapat ditegakkan bila sedang menyerang mangsanya. Ada dua subfamili

pada Viperidae, yaitu Viperinae dan Crotalinae. Crotalinae memiliki organ untuk

mendeteksi mangsa berdarah panas (pit organ), yang terletak di antara lubang hidung dan

mata. Beberapa contoh Viperidae adalah ular bandotan (Vipera russelli), ular tanah

(Calloselasma rhodostoma), dan ular bangkai laut (Trimeresurus albolabris)3

Tabel 1. Perbedaan Ular Berbisa dan Ular Tidak Berbisa

Tidak berbisa Berbisa

Bentuk Kepala Bulat Elips, segitiga

Gigi Taring Gigi Kecil 2 gigi taring besar

Bekas Gigitan Lengkung seperti U Terdiri dari 2 titik

Warna Warna-warni Gelap

3.3. Bisa ularBisa ular mengandung lebih dari 20 unsur penyusun, sebagian besar adalah protein,

termasuk enzim dan racun polipeptida. Berikut beberapa unsur bisa ular yang memiliki

efek klinis2 :

a. Enzim prokoagulan (Viperidae) dapat menstimulasi pembekuan darah namun dapat

pula menyebabkan darah tidak dapat berkoagulasi. Bisa dari ular Russel mengandung

beberapa prokoagulan yang berbeda dan mengaktivasi langkah berbeda dari kaskade

pembekuan darah. Akibatnya adalah terbentuknya fibrin di aliran darah. Sebagian

besar dapat dipecah secara langsung oleh sistem fibrinolitik tubuh. Segera, dan

terkadang antara 30 menit setelah gigitan, tingkat faktor pembekuan darah menjadi

sangan rendah (koagulopati konsumtif) sehingga darah tidak dapat membeku.

b. Haemorrhagins (zinc metalloproteinase) dapat merusak endotel yang meliputi

pembuluh darah dan menyebabkan perdarahan sistemik spontan (spontaneous

systemic haemorrhage).

c. Racun sitolitik atau nekrotik – mencerna hidrolase (enzim proteolitik dan

fosfolipase A) racun polipentida dan faktor lainnya yang meningkatkan permeabilitas

membran sel dan menyebabkan pembengkakan setempat. Racun ini juga dapat

menghancurkan membran sel dan jaringan.

d. Phospholipase A2 haemolitik and myolitik – ennzim ini dapat menghancurkan

membran sel, endotel, otot lurik, syaraf serta sel darah merah.

e. Phospolipase A2 Neurotoxin pre-synaptik (Elapidae dan beberapa Viperidae) –

merupakan phospholipases A2 yang merusak ujung syaraf, pada awalnya melepaskan

transmiter asetilkolin lalu meningkatkan pelepasannya.

f. Post-synaptic neurotoxins (Elapidae) –polipeptida ini bersaing dengan asetilkolin

untuk mendapat reseptor di neuromuscular junction dan menyebabkan paralisis yang

mirip seperti paralisis kuraonium2

Bisa ular terdiri dari beberapa polipeptida yaitu fosfolipase A, hialuronidase, ATP-

ase, 5 nukleotidase, kolin esterase, protease, fosfomonoesterase, RNA-ase, DNA-ase.

Enzim ini menyebabkan destruksi jaringan lokal, bersifat toksik terhadap saraf,

menyebabkan hemolisis atau pelepasan histamin sehingga timbul reaksi anafilaksis.

Hialuronidase merusak bahan dasar sel sehingga memudahkan penyebaran racun4.

1.4. Patofisiologi gigitan ular berbisaBisa ular diproduksi dan disimpan dalam sepasang kelenjar yang berada di

bawah mata. Bisa dikeluarkan dari taring berongga yang terletak di rahang atasnya.

Taring ular dapat tumbuh hingga 20 mm pada rattlesnake besar. Dosis bisa ular tiap

gigitan bergantung pada waktu yang terlewati sejak gigitan pertama, derajat ancaman

yang diterima ular, serta ukuran mangsanya. Lubang hidung merespon terhadap emisi

panas dari mangsa, yang dapat memungkinkan ular untuk mengubah jumlah bisa yang

dikeluarkan.

Bisa biasanya berupa cairan. Protein enzimatik pada bisa menyalurkan bahan-

bahan penghancurnya. Protease, kolagenase, dan arginin ester hidrolase telah

diidentifikasi pada bisa pit viper. Efek lokal dari bisa ular merupakan penanda

potensial untuk kerusakan sistemik dari fungsi sistem organ. Salah satu efeknya

adalah perdarahan lokal, koagulopati biasanya tidak terjadi saat venomasi. Efek

lainnya, berupa edema lokal, meningkatkan kebocoran kapiler dan cairan interstitial di

paru-paru.

Mekanisme pulmoner dapat berubah secara signifikan. Efek akhirnya berupa

kematian sel yang dapat meningkatkan konsentrasi asam laktat sekunder terhadap

perubahan status volume dan membutuhkan peningkatan minute ventilasi. Efek

blokade neuromuskuler dapat menyebabkan perburukan pergerakan diafragma. Gagal

jantung dapat disebabkan oleh asidosis dan hipotensi. Myonekrosis disebabkan oleh

myoglobinuria dan gangguan ginjal5

1.5. Tanda dan gejala gigitan ular Gigitan Viporidae/Crotalidae (misalnya ular tanah, ular hijau, ular bandotan

puspo)

Gejala lokal timbul dalam 15 menit, setelah beberapa jam berupa bengkak di dekat

gigitan yang menyebar ke seluruh anggota tubuh.

Gejala sistemik muncul setelah 5 menit atau setelah beberapa jam

Keracunan berat ditandai dengan pembengkakan di atas siku dan lutut dalam waktu 2

jam atau ditandai dengan perdarahan hebat.

Gambar 2. Gejala Umum Gigitan Ular (Sumber : www.doctorsecret.com)

3.6.Tatalaksana Langkah-langkah yang harus diikuti pada penatalaksanaan gigitan ular adalah3

1. Pertolongan pertama, harus dilaksanakan secepatnya setelah terjadi gigitan ular

sebelum korban dibawa ke rumah sakit. Hal ini dapat dilakukan oleh korban sendiri

atau orang lain yang ada di tempat kejadian. Tujuan pertolongan pertama adalah

untuk menghambat penyerapan bisa, mempertahankan hidup korban dan menghindari

komplikasi sebelum mendapatkan perawatan medis di rumah sakit serta mengawasi

gejala dini yang membahayakan. Langkah-langkah pertolongan yang dilakukan

adalah menenangkan korban yang cemas; imobilisasi (membuat tidak bergerak)

bagian tubuh yang tergigit dengan cara mengikat atau menyangga dengan kayu agar

tidak terjadi kontraksi otot, karena pergerakan atau kontraksi otot dapat meningkatkan

penyerapan bisa ke dalam aliran darah dan getah bening; pertimbangkan pressure-

immobilisation pada gigitan Elapidae; hindari gangguan terhadap luka gigitan karena

dapat meningkatkan penyerapan bisa dan menimbulkan pendarahan lokal.

Gambar 6. Metode pressure-immobilisation pada gigitan Elapidae1

5 6

43

21

2. Korban harus segera dibawa ke rumah sakit secepatnya, dengan cara yang aman dan

senyaman mungkin. Hindari pergerakan atau kontraksi otot untuk mencegah

peningkatan penyerapan bisa.Pasien diposisikan miring (recovery posotion) bila ia

muntah dalam perjalanan

3. Terapi yang dianjurkan meliputi:

a. Bersihkan bagian yang terluka dengan cairan faal atau air steril.

b. Untuk efek lokal dianjurkan imobilisasi menggunakan perban katun elastis dengan

lebar + 10 cm, panjang 45 m, yang dibalutkan kuat di sekeliling bagian tubuh yang

tergigit, mulai dari ujung jari kaki sampai bagian yang terdekat dengan gigitan.

Bungkus rapat dengan perban seperti membungkus kaki yang terkilir, tetapi ikatan

jangan terlalu kencang agar aliran darah tidak terganggu. Penggunaan torniket tidak

dianjurkan karena dapat mengganggu aliran darah dan pelepasan torniket dapat

menyebabkan efek sistemik yang lebih berat.

c. Pemberian tindakan pendukung berupa stabilisasi yang meliputi penatalaksanaan

jalan nafas; penatalaksanaan resusitasi perlu dilaksanakan bila kondisi klinis korban

berupa hipotensi berat dan shock, shock perdarahan, kelumpuhan saraf pernafasan,

kondisi yang tiba-tiba memburuk akibat terlepasnya penekanan perban, hiperkalaemia

akibat rusaknya otot rangka, serta kerusakan ginjal dan komplikasi nekrosis lokal.

d. Pemberian suntikan antitetanus, bila korban pernah mendapatkan toksoid maka

diberikan satu dosis toksoid tetanus.

e. Pemberian suntikan penisilin kristal sebanyak 2 juta unit secara intramuskular.

f. Pemberian analgesik untuk menghilangkan nyeri.

g. Pemberian serum antibisa.

3.6. Serum Antibisa UlarGunannya untuk pengobatan terhadap gigitan ular berbisa. Serum anti bisa ular

merupakan serum polivalen yang dimurnikan dan dipekatkan, berasal dari plasma kuda

yang dikebalkan terhadap bisa ular yang mempunyai efek neurotoksik dan hematotoksik,

yang kebanyakan ada di Indonesia.

Kandungan Serum Anti Bisa Ular

Tiap ml dapat menetralisasi :

Bisa ular Ankystrodon rhodosoma 10-50 LD50

Bisa ular Bungarus fascinatus 25-50 LD50

Bisa Ular Naya sputatrix 25-50 LD50

Mengandung Fenol 0,25% sebagai pengawet

Cara Penyimpanan Serum Anti Bisa Ular

Penyimpanan serum antibisa ular adalah pada suhu 20-80 C dengan waktu kadaluwarsa 2

tahun.

Cara Pemakaian Serum Anti Bisa Ular

Pemilihan antibisa ular tergantung dari spesies ular yang menggigit. Dosis yang tepat

untuk ditentukan karena tergantung dari jumlah bisa ular yang masuk peredaran darah dan

keadaan korban sewaktu menerima anti serum. Dosis pertama sebanyak 2 vial @5 ml sebagai

larutan 2% dalam NaCl dapat diberikan sebagai infus dengan kecepatan 40-80 tetes per

menit, lalu diulang setiap 6 jam. Apabila diperlukan (misalnya gejala-gejala tidak berkurang

atau bertambah) antiserum dapat diberikan setiap 24 jam sampai maksimal (80-100 ml).

Antiserum yang tidak diencerkan dapat diberikan langsusng sebagai suntikan intravena

dengan sangat perlahan-lahan. Dosis untuk anak-anak sama atau lebih besar daripada dosis

untuk dewasa.Cara lain adalah dengan menyuntikkan 2,5 ml secara infiltrasi di sekitar luka,

2,5 ml diinjeksikan secara intravena. Pada kasus berat dapat diberikan dosis yang lebih tinggi.

Penderita harus diamati selama 24 jam.

Efek Samping Serum Anti Bisa Ular

Meskipun pemberian antiserum akan menimbulkan kekebalan pasif dan memberikan

perlindungan untuk jangka waktu pendek, tapi pemberiannya harus hari-hati, mengingat

kemungkinan terjadinya reaksi sampingan yang dapat berupa :

1. Reaksi anafilaktik (anaphylactic shock)

Dapat timbul dengan segera atau beberapa jam setelah suntikan

2. Penyakit serum (serum sickness)

Dapat timbul 7-10 hari setelah suntikan dan dapat berupa kenaikan suhu, gatal-gatal,

sesak nafas dan lain-lain gejala alergi. Reaksi ini jarang timbul bila digunakan serum

yang sudah dimurnikan

3. Kenaikan suhu (demam) dengan menggigil

Biasanya timbul setelah pemberian serum secara intravena

4. Rasa nyeri pada tempat suantikan

Biasanya timbul pada penyuntikan serum dengan jumlah besar reaksi ini terjadi dalam

pemberian 24 jam.

Hal-hal yang harus diperhatikan bila akan menyuntik serum

1. Siapkan alat suntik, adrenalin 1:1000, sediakan kortikosteroid dan antihistamin

2. Jangan menyuntik serum dalam keadaan dingin, yang baru dikeluarkan dari lemari es,

apalagi dalam jumlah besar. Hangatkan lebih dahulu hingga suhunya sama dengan

suhu badan

3. Waktu disuntik penderita harus dalam keadaan “relax”

4. Penyuntikan harus perlahan-lahan, sesudahnya amati penderita paling sedikit 30 menit

Tes hipersentivitas subkutan

Untuk mengetahui apakah serum dapat diberikan kepada seseorang, terlebih dahulu

harus dilakukan tes hipersensitifitas subkutan sebagai berikut :

Suntikan 0,2 ml serum encerkan 1: 10, subkutan dan amati 30 menit.

Bila timbul reaksi : serum jangan diberikan.

Reaksi yang mungkin timbul dapat berupa tanda-tanda reaksi anafilaktik yang dini

seperti pucat, kepala pusing, perasaan panas, batuk-batuk, kenaikan suhu, mual atau

muntah-muntah, pembengkakan lidah atau bibir, denyut nadi cepat, tekanan darah

menurun, gatal-gatal, rasa tidak nyaman di perut, sesak nafas, kesadaran menurun

atau kejang. Reaksi tersebut biasanya ringan dan mudah diatasi dengan adrenalin

1:1000.

Bila tidak timbul reaksi : suntikkan serum yang tidak diencerkan 0,2 ml subkutan dan

amati selama 30 menit.

Bila timbul reaksi : serum jangan diberikan

Bila tidak timbul reaksi, suntikkan serum dalam dosis penuh secara perlahan-lahan

dan amati 30 menit.

Syarat-syarat pemberian serum secara intravena

1. Pada penderita harus dilakukan tes hipersensitivitas subkutan lebih dahulu, kemudian

dicoba dengan suntikan intravena.

2. Pemberiannya harus perlahan-lahan, dan siapkan adrenalin 1:1000.

3. Setelah dsuntik intravena penderita harus diamati sedikitnya selama satu jam

Tindakan terhadap reaksi sampingan

1. Reaksi anafilaktik (anaphyilactic shock)

Penderita harus dibaringkan dengan kepala lebih rendah, jangan diberi selimut atau

botol berisi air panas. Suntikkan 0,3-0,5 ml adrenalin 1:1000 intramuskuler.

Periksa tekanan darah secara teratur. Bila tekanan darah tetap rendah, beri lagi 0,3-0,5

adrenalin 1:100 intravena, bila perlu sediaan kortikosteroid intramuskuler.

Bila keadaan belum teratasi, segera kirim ke rumah sakit.

2. Penyakit serum (serum sickness)

Beri antihistamin selama beberapa hari dan penderita sebaiknya istirahat. Bila sangat

mengganggu dapat diberikan sediaan kortikosteroid.

3. Kenaikan suhu (demam) dengan menggigil

Keadaaan ini tidak memerlukan tindakan apa-apa, karena akan cepat menghilang

dalam 24 jam.

4. Rasa nyeri pada tempat suntikan

Keadaan ini tidak memerlukan tindakan apa-apa, karena akan menghilang dengan

sendirinya.

INDIKASI PEMBERIAN SERUM ANTI BISA ULAR1 :

Pemberian serum anti bisa ular direkomendasikan bila dan saat pasien terbukti atau

dicurigai mengalami gigitan ular berbisa dengan munculnya satu atau lebih tanda berikut :

Gejala venerasi sistemik

a) Kelainan hemostatik : perdarahan spontan (klinis), koagulopati, atau

trombositopenia.

b) Gejala neurotoksik : ptosis, oftalmoplegia eksternal, paralisis, dan lainnya.

c) Kelainan kardiovaskuler : hipotensi, syok, arritmia (klinis), kelainan EKG.

d) Cidera ginjal akut (gagal ginjal) : oligouria/anuria (klinis), peningkatan

kreatinin/urea urin (hasil laboratorium). Hemoglobinuria/mioglobinuria : urin

coklat gelap (klinis), dipstik urin atau bukti lain akan adanya hemolisis

intravaskuler atatu rabdomiolisis generalisata (nyeri otot, hiperkalemia) (klinis,

hasil laboratorium). Serta adanya bukti laboratorium lainnya terhadap tanda

venerasi.

Gejala venerasi lokal :

Pembengkakan lokal yang melibatkan lebih dari separuh bagian tubuh yang terkena

gigitan (tanpa adanya turniket) dalam 48 jam setelah gigitan. Pembengkakan setelah

tergigit pada jari-jari. Pembengkakan yang meluas dan pembesaran kelenjar getah bening

pada kelenjar getah bening pada ekstremitas yang terkena gigitan.

Pemberian anti bisa ular dapat menggunakan pedoman dari Parrish, seperti tabel di

bawah ini :

Derajat Venerasi Luka gigit Nyeri Udem/eritema Tanda sistemik0 0 + +/- <3cm/12 jam 0I +/- + + <3cm/12 jam 0II + + +++ >12cm-25cm/

12jam+. Neurotoksik, mual, pusing, syok

III ++ + +++ >25cm/12jam ++,syok, petekie,ekimosis

IV +++

+ +++ Pada satu ekstremitas secara menyeluruh

++, gangguan faal ginjal, koma, perdarahan

Pedoman terapi SABU mengacu pada Schwartz dan Way 6:

Derajat 0 dan I tidak diperlukan SABU, dilakukan evaluasi dalam 12 jam, jika derajat

meningkat maka diberikan SABU

Derajat II: 3-4 vial SABU

Derajat III: 5-15 vial SABU

Derajat IV: berikan penambahan 6-8 vial SABU

PEMBERIAN SABU (SERUM ANTI BISA ULAR)

Derajat parrish SABU (serum antibisa ular)

0-1 Tidak perlu

2 5-20 cc

3-4 40-100 cc

Anti bisa ular harus diberikan segera setelah memenuhi indikasi. Anti bisa ular dapat

melawan envenomasi (keracunan) sistemik walaupun gejala telah menetap selama beberapa

hari, atau pada kasus kelainan haemostasis, yang dapat belangsung dua minggu atau lebih.

Untuk itu, pemberian anti bisa tepat diberikan selama terdapat bukti terjadi koagulopati

persisten.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan laboratorium :

1. Penghitungan jumlah sel darah

2. Pro trombine time dan activated partial tromboplastin time

3. Fibrinogen dan produk pemisahan darah

4. Tipe dan jenis golongan darah

5. Kimia darah, termasuk elektrolit, BUN dan Kreatinin

6. Urinalisis untuk myoglobinuria

7. Analisis gas darah untuk pasien dengan gejala sistemik

3.8. Penatalaksanaan

DIAGRAM PENANGANAN GIGITAN ULAR

4.

PASIEN DG RIWAYAT GIGITAN ULAR

TIDAK

TIDAK

RAWAT

RAWAT

RAWAT

RAWAT

RAWAT

RAWAT

TIDAK YA

YA

TIDAK

TIDAK

TIDAK

TIDAK

YA

YA

YA

TIDAK

TIDAK

YA

YA

YA

YA

YA

PERTOLONGAN PERTAMA:- TENANGKAN PASIEN- IMMOBILISASI DAERAH GIGITAN- TRANSPOR PASIEN KE RS

ULAR DIBAWA KE RS

TERDAPAT TANDA ENVENOMASI (KERACUNAN)

ULAR DITETAPKAN TIDAK BERBISA

ULAR DAPAT TERIDENTIFIKASI

OBSERVASI* DI RS SELAMA 24 JAM

TERDAPAT TANDA DIAGNOSTIK DARI ENVENOMASI (KERACUNAN) ULAR

YANG UMUM BERADA DI AREA GEOGRAFIS YANG SAMA

TENANGKAN KORBAN, BERI SERUM ANTITETANUS, PULANGKAN KORBAN

TERDAPAT TANDA ENVENOMASI ((KERACUNAN)

OBSERVASI* DI RS SELAMA 24 JAM

TANDA MEMENUHI KRITERIA PEMBERIAN

ANTIBISA

TANDA MEMENUHI KRITERIA PEMBERIAN

ANTIBISA1

OBSERVASI* DI RS SELAMA 24 JAM

BERIKAN ANTIBISA POLISPESIFIK UNTUK SPESIES ULAR YANG

BERADA DI AREA GEOGRAFIS YANG

SAMA

BERIKAN ANTIBISA MONOSPESIFIK /

POLISPESIFIK

TERSEDIA ANTIBISA MONOSPESIFIK /

POLISPESIFIK

TERAPI KONSERVATIF**

LIHAT RESPON2

RAWAT

CARA PENYUNTIKAN SERUM ANTIBISA ULAR

(Disadur dari Serum Anti Bisa Ular Biofarma, Bandung)

KRITERIA PENGULANGAN DOSIS INISIASI ANTI BISA ULAR :

a. Koagulopati menetap atau berulang setelah 6 jam atau perdarahan setelah 1-2 jam,

terdapat perburukan gejala neurotoksik atau gejala kardiovaskuler setelah 1-2 jam.

b. Bila darah tetap tidak koagulasi, 6 jam setelah pemberian dosis awal antibisa, dosis

yang sama harus diulang. Hal ini berdasarkan observasi bahwa, bila dosis besar

antibisa diberikan (lebih dari cukup untuk menetralisasi enzim pro koagulan bisa ular)

diberikan pada awal, waktu yang dibutuhkan oleh hepar untuk memperbaiki tingkat

koagulasi fibrinogen dan faktor pembekuan lainnya adalah 3-9 jam.

Amati 30 menit

Reaksi hipersensitivitas (+)

KETERANGAN : Reaksi Hipersensitivitas (anafilaktik) dini : pucat, kepala pusing, perasaan panas, batuk-batuk, kenaikan suhu, mual atau muntah-muntah, pembengkakan lidah atau bibir, denyut nadi cepat, tekanan darah menurun, gatal-gatal, rasa tidak nyaman di perut, sesak nafas, kesadaran menurun atau kejang

injeksi 0,2 ml serum encerkan 1: 10 (subkutan)

Injeksi serum yang tidak diencerkan 0,2 ml (subkutan)

Reaksi hipersensitivitas (-)

Amati 30 menit

Injeksi adrenalin 1:1000

Reaksi hipersensitivitas (+) Reaksi hipersensitivitas (-)

Serum jangan diberikan suntikkan serum dalam dosis penuh secara perlahan-lahan

Amati respon terhadap serum antibisa ular

c. Pada pasien yang tetap mengalami perdarahan cepat, dosis antibisa harus diulang

antara 1-2 jam.

Pada kasus perburukan gejala neurotoksik atau gejala kardiovaskuler, dosis awal

antibisa harus diulang setelah 1-2 jam dan perawatan pendukung harus dipertimbangkan

OBSERVASI

Keadaan umum dan vital sign, tanda envenomasi (keracunan) bisa ular, pemeriksaan

penunjang. Untuk kasus gigitan kering (bisa tidak diinjeksikan) dari ular viper,

observasi di Instalasi gawat Darurat selama 8-10 jam, dilanjutkan observasi di

ruangan

Pasien dengan tanda envenomasi (keracunan) yang berat membutuhkan perawatan

khusus di ICU untuk pemberian produk-produk darah, menyediakan monitoring yang

invasif, dan memastikan proteksi jalan nafas.

Observasi untuk gigitan ular koral minimal selama 24 jam.

Evaluasi serial untuk penderajatan lebih lanjut dan untuk menyingkirkan sindroma

kompartemen.

- Ukur tekanan kompartemen setiap 30-120 menit.

- Fasciotomi diindikasikan untuk tekanan yang lebih dari 30-40 mmHg. Tergantung

dari derajat keparahan gigitan, pemeriksaan darah lebih lanjut mungkin dibutuhkan,

seperti waktu pembekuan darah, jumlah trombosit, dan level fibrinogen

** PERAWATAN KONSERVATIF

1. Bed rest

2. Perawatan luka dengan iodine, hibitane

3. Akses intravena (cairan dan obat-obatan)

4. Pemberian obat-obatan sedatif (Diazepam, Promethazine)

5. Pemberian obat-obatan analgesik (ASA, Paracetamol, Ibuprofen, Indomethacin,

Petidine)

6. Pemerian Antibiotika profilaksis (PPF, Amoxicillin, Ampicillin, Gentamicin)

7. Pemberian toxoid Tetanus

8. Pemberian Steroid (Hidrocortison, Dexamethasone)

3.9. KomplikasiSindrom kompartemen adalah komplikasi tersering dari gigitan ular. Komplikasi luka

lokal dapat meliputi infeksi dan hilangnya kulit. Komplikasi kardiovaskuler, komplikasi

hematologis, dan kolaps paru dapat terjadi. Jarang terjadi kematian. Anak-anak

mempunyai resiko lebih tinggi untuk terjadinya kematian atau komplikasi serius karena

ukuran tubuh mereka yang lebih kecil. Perpanjangan blokade neuromuskuler timbul dari

envenomasi ular koral.

Komplikasi yang terkait dengan antivenin termasuk reaksi hipersensitivitas tipe cepat

(anafilaksis, tipe I) dan tipe lambat (serum sickness, tipe III). Anafilaksis terjadi

dimediasi oleh immunoglobulin E (IgE), berkaitan dengan degranulasi sel mast yang

dapat berakibat laryngospasme, vasodilatasi, dan kebocoran kapiler. Kematian umumnya

pada korban tanpa intervensi farmakologis. Serum sickness dengan gejala demam, sakit

kepala, bersin, pembengkakan kelenjar lymph, dan penurunan daya tahan, muncul 1 – 2

minggu setelah pemberian antivenin. Presipitasi dari kompleks antigen-immunoglobulin

G (IgG) pada kulit, sendi, dan ginjal bertanggung jawab atas timbulnya arthralgia,

urtikaria, dan glomerulonephritis (jarang). Biasanya lebih dari 8 vial antivenin harus

diberikan pada sindrom ini. Terapi suportif terdiri dari antihistamin dan steroid4.

PROGNOSIS GIGITAN ULAR

Meskipun kebanyakan korban gigitan ular berbisa dapat tertolong dengan baik,

memprediksi prognosis pada tiap kasus individu dapat menjadi sulit. Jika tergigit oleh

ular tidak berbisa, korban akan pulih. Komplikasi yang mungkin dari gigitan ular tak

berbisa meliputi gigi yang tertahan pada luka gigitan atau infeksi luka.

Tidak semua gigitan oleh ular berbisa menghasilkan racun berbisa. Pada lebih dari

20% gigitan oleh rattlesnake dan moccasin, sebagai contoh, tidak ada bisa yang

disuntikan. Hal ini disebut gigitan kering yang bahkan lebih umum pada gigitan yang

diakibatkan oleh elapid. Gigitan kering (tanpa injeksi bisa ular) memiliki komplikasi

yang sama dengan gigitan ular tidak berbisa.

Seorang korban yang masih sangat muda, tua, atau memiliki penyakit sistemik lain

sebagian besar tidak mampu mentoleransi jumlah injeksi bisa yang sama dengan orang

dewasa yang sehat. Ketersediaan perawatan medis darurat dan, yang paling penting,

antibisa ular, dapat mempengaruhi bagaimana keadaan korban.

Daftar Pustaka

1. SMF Bedah RSUD DR. R.M. Djoelham Binjai. 2000. Gigitan Hewan. Availabke

from : www.scribd.com/doc/81272637/Gigitan-Hewan

2. WHO. 2005. Guidelines for The Clinical Management of Snake Bite in The South

East Asia Region.

3. Sentra Informasi Keracunan Nasional Badan POM, 2012. Penatalaksanaan

Keracunan Akibat Gigitan Ular Berbisa. Available from : www.pom.id

4. Hafid, Abdul, dkk., 1997. Bab 2 : Luka, Trauma, Syok, Bencana : Gigitan Ular. Buku

Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi, EGC : Jakarta. Hal. 99-100

5. Daley, Brian James MD. 2010. Snake bite : patophysiology. Available from :

http://emedicine.medscape.com/article/168828-overview#a0104

6. Depkes. 2001. Penatalaksanaan gigitan ular berbisa. Dalam SIKer, Dirjen POM

Depkes RI. Pedoman pelaksanaan keracunan untuk rumah sakit.