SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

438
Supriyono Pedalangan untuk Sekolah Menengah Kejuruan Supriyono PEDALANGAN untuk SMK Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional

Transcript of SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

Page 1: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

Supriyono

Pedalangan

untukSekolah Menengah Kejuruan

Su

priyo

no

P

ED

AL

AN

GA

N

un

tuk S

MK

Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah KejuruanDirektorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan MenengahDepartemen Pendidikan Nasional

HET (Harga Eceran Tertinggi) Rp. 7.888,00

ISBN XXX-XXX-XXX-X

Buku ini telah dinilai oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) dan telah dinyatakan layak sebagai buku teks pelajaran berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 46 Tahun 2007 tanggal 5 Desember 2007 tentang Penetapan Buku Teks Pelajaran yang Memenuhi Syarat Kelayakan untuk Digu-nakan dalam Proses Pembelajaran.

Page 2: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

Supriyono Djumiran Ranta Admaja Bambang Sukmo Pribadi Joko Susilo

SENI PEDALANGAN SMK

Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Departemen Pendidikan Nasional

Page 3: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

Hak Cipta pada Departemen Pendidikan Nasional Dilindungi Undang-undang

SENI PEDALANGAN Untuk SMK Penulis : Supriyono Djumiran Ranta Admaja Bambang Sukmo Pribadi Joao Susilo Diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Departemen Pendidikan Nasional Tahun 2008

SUP SUPRIYONO s Seni Pedalangan untuk SMK oleh Supriyono, Djumiran Ranta Admaja,

Bambang Sukmo Pribadi, Joko Susilo---- Jakarta : Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan, Departemen Pendidikan Nasional, 2008.

xvii. 426 hlm Daftar Pustaka : 419-420

Page 4: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

ii

KATA PENGANTAR

Puja-puji syukur kami panjatkan ke Hadurat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan Rahmat-Nya kepada hambanya, sehingga kami dapat menyajikan buku “Pedalangan” ini kepada para pembaca.

Buku Pedalangan ini disusun terutama untuk menunjang pe-laksanaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) tahun 2004 Sekolah Menengah Kejuruan Seni Pertunjukan. Melalui buku ini sis-wa diantarkan untuk dapat menjadi tenaga yang profesional dan siap pakai pada saat terjun di kalangan masyarakat luas dengan berbekal kemaun serta kemampuannya, dan untuk menghadapai era tekno-logi yang semakin maju.

Bila kita perhatikan serta kita renungan secara mendalam, seni pedalangan tidak hanya merupakan satu ekspresi kebudayaan tetapi juga sekaligus merupakan media pendidikan, informasi, dan hiburan.

Kita tidak dapat memungkiri, bahwa seni pedalangan meru-pakan perbendaharaan kebudayaan nasional yanng mempunyai ke-dudukan tersendiri di hati sanubari bangsa Indonesia. Sudah berta-hun-tahun bahkan berabad-abad seni pedalangan berkembang se-bagai suatu hasil karya para pujangga para empu kita dari berbagai generasi. Adanya berbagai macam jenis wayang yang ada di tanah air, seperti contoh: Wayang Purwa, Wayang Madya, Wayang Klithik, Wayang Klithik, Wayang Golek, Wayang Menak, Wayang Suluh, Wayang Beber, hingga terciptanya Wayang Moderen, dan masih ba-nyak lagi wayang-wayang lainnya merupakan pertanda adanya su-atu proses perkembangan seni pedalangan itu dari masa ke masa baik isi maupun bentuknya. Semenjak permulaan tumbuhnya seni pedalangan, sudah dapat kita katakan bahwa seni pedalangan adalah suatu perpaduan yang serasi antara berbagai ekspresi kebu-dayaan, di antaranya seni karawitan, seni tari, seni sastra, seni dra-ma, seni rupa, dan filsafat.

Ditinjau dari isinya, seni pedalangan banyak memberikan aja-ran-ajaran kepada kita tentang hakekat kehadiran manusia baik se-bagi individu maupun kedudukannya sebagai anggota masyarakat dan terbukti banyak membantu di dalam pembinaan budi pekerti luhur. Oleh sebab itu seni pedalangan perlu dilestarikan dan dikem-bangkan terus-menerus sebagai sarana pendidikan di tangah-te-ngah masyarakat kita.

Seni pedalangan dikatakan sebagai media informasi karena dari segi penampilan wayang sangat komunikatif dalam masyarakat. Sedikitnya dapat dipakai untuk memahami salah satu dari tradisi dan salah satu cara pendekatan terhadap kehidupan serta segala per-masalahan. Karena sifatnya yang komunikatif ini, kiranya dapat dija-

Page 5: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

iii

dikan sebagai sarana kominikasi dalam pembangunan pada sata se-karang ataupun yang akan datang.

Seni pedalangan jelas sebagai media hiburan, akan tetapi bukan merupakan media hiburan pengisi waktu santai belaka. Mela-lui hiburan seperti ini, kesenggangan manusia tidak hanya disegar-kan dan dikeluarkan dari kelesuan, tetapi diperkaya secara spiritual.

Seni pedalangan merupakan kesenian tradisional yang adi luhung, benyak negara-negara maju yang sangat mengagumi seni pedalangan. Tidak salah kiranya UNESCO sebuah badan PBB yang menangani kebudayaan, pada tahun 2003 yang lalu telah memposi-sikan wayang sebagai pusaka budaya dunia. Keputusan UNESCO ini merupakan kristalisasi perjuangan kita dan para leluhur yang te-lah dengan gigih, telaten dan penuh kesabaran “ngeluri” warisan bu-daya bangsa yang adi luhung berupa wayang.

Penulis menyadari bahwa buku ini masih banyak kekurangan dan kekhilafan baik isi maupun panyajiannya. Segala tegur-sapa serta saran dan kritik dari para ahli yang berwenang dan para pem-baca yang bersifat membangun senantiasa diterima dengan lapang dada.

Akhirnya tak lupa diucapkan terima kasih kepada Pemimpin PENULISAN BUKU KEJURUAN, juga kepada rekan-rekan dan han-dai tolan serta semua pihak yang turut serta menangani buku ini.

Semoga bermanfaat adanya.

Surabaya, 19 November 2007

Penulis

Page 6: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

v

DAFTAR ISI

HALAMAN DEPAN/COVER.................................................... i KATA PENGANTAR ............................................................... ii PENGANTAR DIREKTUR PEMBINAAN SMK........................ iv DAFTAR ISI ............................................................................ v LEMBAR PENGESAHAN ....................................................... xii DAFTAR ISTILAH/GLOSARI ................................................. xiii ABSTRAK .............................................................................. xvii PETA KOMPETENSI ............................................................. xviii BAB I SENI PEDALANGAN............................................. 1 1.1 Pedalangan ........................................................... 1 1.1.1 Arti Istilah Dalang .................................................. 1 1.1.2 Peranan Dalang..................................................... 2 1.1.3 Klasifikasi Dalang .................................................. 3 1.1.4 Tugas Dalang ........................................................ 4 1.1.5 Sifat Dalang ........................................................... 5 1.2 Larangan-larangan yang Patut dihindari

Dalang...................... ............................................. 5 1.3 Unsur – unsur Seni Pedalangan............................ 5 1.3.1 Seni Drama............................................................ 6 1.3.2 Seni Lukis atau Seni Rupa .................................... 6 1.3.3 Seni Tatah (Pahat) atau Seni Kriya ....................... 6 1.3.4 Seni Sastra ............................................................ 6 1.3.5 Seni Suara............................................................. 7 1.3.6 Seni Tari ................................................................ 7 1.3.7 Seni Karawitan ...................................................... 7 1.3.8 Ragam Penyajian Seni Pedalangan...................... 8 1.4 Gaya Penyajian Seni Pedalangan......................... 9 BAB II SEJARAH WAYANG DAN JENIS DALAM SENI

PEWAYANGAN.......................................... ........... 12 2.1 Pewayangan.......................................................... 12 2.2 Sejarah Seni Pewayangan .................................... 12 2.3 Jenis wayang......................................................... 16 2.3.1 Wayang Beber....................................................... 17 2.3.2 Wayang Purwa ...................................................... 17 2.3.2.1 Wayang Rontal ...................................................... 18 2.3.2.2 Wayang Kertas ...................................................... 29 2.3.2.3 Wayang Beber Purwa............................................ 29 2.3.2.4 Wayang Demak ..................................................... 29 2.3.2.5 Wayang Keling ...................................................... 29 2.3.2.6 Wayang Jengglong................................................ 20

Page 7: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

vi

2.3.2.7 Wayang Kidang Kencana ...................................... 20 2.3.2.8 Wayang Purwa Gedog.......................................... 21 2.3.2.9 Wayang Kulit Purwa Cirebon................................. 21 2.3.2.10 Wayang Kulit Purwa Jawa Timur........................... 23 2.3.2.11 Wayang Golek ....................................................... 27 2.3.2.12 Wayang Krucil ...................................................... 30 2.3.2.13 Wayang Sabrangan............................................... 31 2.3.2.14 Wayang Rama....................................................... 31 2.3.2.15 Wayang Kaper....................................................... 32 2.3.2.16 Wayang Tasripin.................................................... 32 2.3.2.17 Wayang Kulit Betawi atau Wayang Tambun ......... 32 2.3.2.18 Wayang Ukur......................................................... 34 2.3.2.19 Wayang Dolanan atau (Mainan)............................ 35 2.3.2.20 Wayang Batu atau Wayang Candi ........................ 36 2.3.2.21 Wayang Sandosa .................................................. 37 2.3.2.22 Wayang Wong (Orang........................................... 38 2.3.3 Wayang Madya...................................................... 38 2.3.4 Wayang Gedog...................................................... 41 2.3.4.1 Wayang Klithik....................................................... 42 2.3.4.2 Langendriyan......................................................... 43 2.3.5 Wayang Menak...................................................... 47 2.3.6 Wayang Babad ...................................................... 48 2.3.6.1 Wayang Kuluk ....................................................... 48 2.3.6.2 Wayang Dupara..................................................... 48 2.3.6.3 Wayang Jawa ........................................................ 49 2.3.7 Wayang Moderen .................................................. 50 2.3.7.1 Wayang Wahana ................................................... 50 2.3.7.2 Wayang Kancil....................................................... 51 2.3.7.3 Wayang Wahyu ..................................................... 51 2.3.7.4 Wayang Dobel ....................................................... 52 2.3.7.5 Wayang Pancasila................................................. 52 2.3.7.6 Wayang Sejati ....................................................... 54 2.3.7.7 Wayang Budha ...................................................... 54 2.3.7.8 Wayang Jemblung................................................. 54 2.3.7.9 Wayang Sadat ....................................................... 54 2.3.8 Wayang Topeng .................................................... 56 2.3.8.1 Topeng Malang...................................................... 56 2.3.8.2 Topeng Dalang Madura......................................... 57 2.3.8.3 Topeng Jawa ......................................................... 57 2.3.8.4 Wayang Wong ....................................................... 58 2.3.8.5 Topeng Cirebon..................................................... 58 2.3.8.6 Topeng Betawi....................................................... 58 2.4 Keindahan Wayang ............................................... 59 2.4.1 Wujud Wayang ...................................................... 59 2.4.2 Wanda Wayang ..................................................... 60 2.4.3 Busana Wayang ................................................... 62

Page 8: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

vii

2.4.3.1 Busana Bagian Atas hingga Pinggang .................. 62 2.4.3.2 Busana Bagian Bawah .......................................... 80 2.5 Wayang Kayon ...................................................... 84 2.5.1 Bentuk Kayon ........................................................ 86 2.5.1.1 Bentuk Segitiga ..................................................... 86 2.5.1.2 Bentuk Segiempat ................................................. 87 2.5.2 Fungsi Kayon......................................................... 91 BAB III SASTRA PEDALANGAN....................................... 92 3.1 Sastra Pedalangan ................................................ 92 3.2 Suluk Wayang ....................................................... 93 3.2.1 Mijil ........................................................................ 105 3.2.2 Suluk Wujil............................................................. 108 3.2.3 Suluk Malang Semirang ....................................... 110 3.3 Sastra Lakon......................................................... 112 3.3.1 Tantu Panggelaran ................................................ 112 3.3.2 Tantri Kamandaka ................................................. 113 3.3.3 Kunjarakarna ......................................................... 115 3.3.4 Kitab Utara Kandha ............................................... 116 3.3.5 Korawaçrama ........................................................ 116 3.3.6 Kitab Bharatayuda (saduran baru)........................ 117 3.3.7 Sena Gelung.......................................................... 118 3.3.8 Sastra Berbentuk Kakawin .................................... 121 3.3.8.1 Kresnayana ........................................................... 121 3.3.8.2 Gathutkaca Sraya.................................................. 121 3.3.8.3 Harjuna Wiwaha .................................................... 122 3.3.8.4 Smaradahana ........................................................ 122 3.3.8.5 Bomakwya ............................................................. 123 3.3.8.6 Sutasoma .............................................................. 124 3.3.8.7 Parthayadnya ........................................................ 125 3.4 Sastra Gending...................................................... 126 3.4.1 Cakepan ................................................................ 126 3.4.2 Bawa/Buka ............................................................ 127 3.4.3 Jineman ................................................................. 127 3.4.4 Umpak ................................................................... 127 3.4.5 Senggakan ............................................................ 127 3.4.6 Gerong................................................................... 128 3.4.7 Sindenan ............................................................... 129 3.4.8 Irama ..................................................................... 130 3.4.9 Cengkok ................................................................ 130 3.4.10 Merong .................................................................. 130 3.4.11 Pedhotan ............................................................... 130 3.5 Sastra Antawacana ............................................... 131 3.5.1 Janturan................................................................. 131 3.5.2 Ginem.................................................................... 135 3.5.3 Pocapan ................................................................ 138

Page 9: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

viii

BAB IV SILSILAH TOKOH WAYANG ................................ 143 4.1 Definisi Silsilah ...................................................... 143 4.1.1 Maksud Adanya Silsilah ........................................ 143 4.1.2 Penampilan Silsilah ............................................... 145 4.2 Silsilah Bharata...................................................... 146 4.2.1 Silsilah Bharata Versi Pustaka Raja Purwa........... 148 4.2.2 Silsilah Ramayana................................................. 151 4.2.3 Silsilah Raja-raja Lokapala .................................... 154 4.2.4 Silsilah Raja-raja Alengka...................................... 157 4.2.5 Silsilah Raja-raja Mahespati .................................. 159 4.2.6 Silsilah Raja-raja Wiratha ...................................... 163 4.2.7 Silsilah Abiyasa ..................................................... 167 4.2.8 Silsilah Mandura .................................................... 168 4.2.9 Silsilah Para Dewa ................................................ 172 4.2.10 Silsilah Resaseputra.............................................. 175 BAB V SUMBER CERITA ................................................. 176 5.1 Sumber Cerita ....................................................... 176 5.1.1 Cerita Ramayana................................................... 178 5.1.2 Cerita Mahabharata............................................... 181 5.1.3 Sumber Sastra Lain............................................... 188 5.1.3.1 Kitab Menak........................................................... 189 5.1.3.2 Kitab Manikmaya ................................................... 189 5.1.3.3 Kitab Sudamala ..................................................... 192 5.2 Lakon..................................................................... 193 5.2.1 Tipe Lakon............................................................. 193 5.2.2 Pemeran Lakon ..................................................... 194 5.2.3 Peran ..................................................................... 195 5.2.4 Jenis-Jenis Peran Wayang.................................... 203 5.2.4.1 Gagahan................................................................ 203 5.2.4.2 Alusan.................................................................... 204 5.2.5 Penokohan ............................................................ 205 5.2.6 Karakter ................................................................. 205 5.2.7 Rasaksa................................................................. 206 5.3 Cerita Pernikahan.................................................. 209 5.3.1 Kerangka Cerita Angkawijaya Krama.................... 209 5.3.2 Cerita Kelahiran..................................................... 216 5.3.2.1 Angkawijaya Lahir ................................................. 216 5.3.2.2 Wisanggeni Lahir................................................... 217 5.3.2.3 Sena Bungkus ....................................................... 217 5.3.3 Rebut Negara ........................................................ 219 5.3.4 Cerita Wahyu......................................................... 220 5.3.4.1 Wahyu Cakraningkrat ............................................ 221 5.3.4.2 Wahyu Purbasejati ................................................ 226 5.3.4.3 Wahyu Makutharama ............................................ 227 5.3.4.4 Wahyu Senapati .................................................... 229

Page 10: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

ix

5.3.5 Ruwatan ................................................................ 230 5.3.5.1 Juru Ruwat ............................................................ 231 5.3.5.2 Janma Sukerta ...................................................... 232 5.3.5.3 Cerita Ruwatan...................................................... 233 5.3.5.4 Perlengkapan Ruwatan ......................................... 236 5.4 Sumber Cerita Wayang Jawa Timuran.................. 239 5.4.1 Dasamuka Lahir .................................................... 240 5.4.2 Berdirinya Kerajaan Mahespati ............................. 251 5.4.3 Lakon Icir Kraton ................................................... 256 5.4.4 Dewabrata lahir ..................................................... 262 BAB VI SABET WAYANG.................................................. 268 6.1 Sabet ..................................................................... 268 6.2 Tancepan............................................................... 268 6.3 Cepengan .............................................................. 270 6.3.1 Pedoman Cepengan.............................................. 270 6.3.2 Cepengan Nyempurit............................................. 271 6.3.3 Cepengan Sedeng................................................. 271 6.3.4 Cepengan Ngepok................................................. 271 6.3.5 Cepengen Njagal................................................... 272 6.4 Bedholan dan Solah Wayang ................................ 274 6.5 Ragam Gerak ........................................................ 274 6.5.1 Ragam Gerak Manusia.......................................... 274 6.5.2 Ragam Gerak Raksasa ......................................... 275 6.5.3 Ragam Gerak Wanara........................................... 275 6.5.4 Ragam Gerak Bermacam Binatang....................... 275 6.5.5 Ragam Gerak Kayon ............................................. 276 6.5.5.1 Ragam Beksan Kayon Sepisanan......................... 276 6.5.5.2 Ragam Gerak Ajar Kayon...................................... 278 6.6 Ragam Gerak Wayang Jawatimuran dalam Jejer

Pertama ................................................................. 278 6.6.1 Ragam Gerak Beksan Emban Sepisanan............. 278 6.6.2 Ragam Gerak Wayang Beksan Punggawa ........... 278 6.7 Ragam Gerak Wayang Perang Jawatimuran ........ 279 6.7.1 Perang Gagahan ................................................... 279 6.7.2 Perang Alusan ....................................................... 279 6.7.3 Ragam Gerak Samberan....................................... 280 BAB VII TATA PANGGUNG ............................................... 284 7.1 Tata Panggung ...................................................... 284 7.1.1 Panggung Wayang ................................................ 284 7.1.1.1 Kelir ....................................................................... 284 7.1.1.2 Gawang ................................................................. 285 7.1.1.3 Gedebog................................................................ 286 7.1.1.4 Bagian-bagian gedebog wayang ........................... 286 7.1.2 Panggung Dalang.................................................. 288

Page 11: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

x

7.1.2.1 Kotak ..................................................................... 288 7.1.2.2 Belencong.............................................................. 289 7.1.2.3 Keprak ................................................................... 289 7.1.2.4 Cempala ................................................................ 291 7.1.2.5 Eblek...................................................................... 292 7.1.3 Panggung Gamelan............................................... 293 BAB VIII TATA IRINGAN ..................................................... 299 8.1. Pengertian Dan Fungsi Iringan Pedalangan.......... 299 8.2. Garap Gending Dan Unsur-Unsurnya ................... 299 8.2.1. Patet ...................................................................... 299 8.2.2. Irama ..................................................................... 300 8.2.3. Laras ..................................................................... 301 8.2.4. Harmoni ................................................................. 302 8.3. Nama Instrumen Dan Fungsinya........................... 302 8.3.1. Rebab .................................................................... 302 8.3.2. Kendang ................................................................ 303 8.3.3. Gender................................................................... 304 8.3.4. Bonang .................................................................. 305 8.3.5. Slentem ................................................................. 306 8.3.6. Demung ................................................................. 307 8.3.7. Saron ..................................................................... 308 8.3.8. Saron Penerus (Peking) ........................................ 308 8.3.9. Ketuk Dan Kenong ................................................ 309 8.3.10. Kempul Dan Gong ................................................. 310 8.3.11. Gambang............................................................... 310 8.3.12. Siter ....................................................................... 315 8.3.13. Suling..................................................................... 315 8.4. Iringan Pedalangan .............................................. 315 8.4.1. Patetan .................................................................. 315 8.4.2. Gending Pembuka (Wiwitan/Patalon).................... 312 8.4.3. Gending Jejer (Adegan Panggungan) ................... 313 8.4.4. Pelungan Atau Drojogan ....................................... 313 8.4.5. Gending Tamu....................................................... 314 8.4.6. Bedhol Panggung – Sanggar Pamujan ................. 314 8.4.7. Ajar Kayon – Budhalan.......................................... 315 8.4.8. Perang Gagahan Atau Dugangan ......................... 315 8.4.9. Undur-Unduran Minta Sraya.................................. 315 8.4.10. Jejer Pathet Wolu – Gara-Gara ............................. 316 8.4.11. Gending Perang (Buto Begal) ............................... 317 8.4.12. Jejer Pathet Sanga – Pertapan............................. 317 8.4.13. Adegan Candhakan............................................... 317 8.4.14. Brubuhan ............................................................... 317 8.4.15. Gending Pamungkas ............................................. 318 8.5. Gadhingan ............................................................. 318 8.5.1. Pengertian Dan Fungsi Gadhingan ....................... 318

Page 12: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

xi

8.5.2. Jenis Gadhingan Dan Penggunaannya................. 319 8.5.2.1. Gadhingan Ajar Kayon .......................................... 319 8.5.2.2. Gadhingan Abur-Aburan........................................ 319 8.5.2.3. Gadhingan Wayang Nesu .....................................320 8.5.2.4. Gadhingan Wayang Tantang-Tantangan .............. 320 8.5.2.5. Gadhingan Wayang Matak Aji ............................... 321 8.5.2.6. Gadhingan Serang ................................................ 321 8.6. Bendhengan Dan Sulukan Atau Sendhon............. 322 8.7. Notasi Gending...................................................... 322 8.7.1. Gending Ayak Talu Slendro Patet Sepuluh ........... 322 8.7.2. Gending Jejer Slendro Patet Sepuluh ................... 324 8.7.3. Gending Gedhog Tamu Slendro Patet Wolu ......... 325 8.7.4. Gending Bedhol Panggung ................................... 326 8.7.4.1. Untuk Suasana Normal Atau Lazim ...................... 326 8.7.4.2. Untuk Suasana Sedih Atau Nglangut .................... 326 8.7.5. Ajar Kayon – Budhalan.......................................... 327 8.7.6. Perang Aap-Alapan ............................................... 327 8.7.7. Perang Krucilan ..................................................... 328 BAB IX NASKAH................................................................ 329 9.1 Pakeliran Padat ..................................................... 329 9.2 Pakeliran seamalam-Suntuk.................................. 330 9.3 Skenario ................................................................ 330 9.3.1 Pathet Nem............................................................ 331 9.3.2 Pathet Sanga......................................................... 332 9.3.3 Pathet Manyura ..................................................... 332 9.4 Naskah Pertunjukkan Wayang Semalam Suntuk gaya

Jawatimuran dalam cerita Resa Seputra............... 334 PENUTUP ............................................................................... 418 DAFTAR PUSTAKA ................................................................ 419 LAMPIRAN-LAMPIRAN .......................................................... 421 1. Daftar gambar ................................................................ 421 2. Daftar Nama-nama Kurawa ........................................... 425 3. Tim Penyusun ............................................................... 427

Page 13: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

xiii

GLOSARI Abdi dalem : Pegawai kraton Ada-ada : Vokal dalang yang menggambarkan

suasana marah, semangat, tegang. Adi luhung : Bernilai tinggi Andupara : Aneh Antawacana : Dialog dalam wayang kulit Ayak : Salah satu bentuk gending

Jawatimuran dan Jawatengahan Babon : induk Bendhengan : Vokal dalang yang menggambarkan

suasana tegang, semangat dan marah. Blarak : Daun kelapa Blencong : Lampu penerang wayang kulit Budalan : Adegan yang menggambarkan

persiapan prajurit yang akan berangkat ke medan laga

Budri : Tatahan bentuk bulu seperti yang terdapat pada kumis, dada, tangan dan kaki

Buka : Bagian pembukaan gending Brubuh : Adegan perang yang terletak di akhir

cerita Cerita Carangan : Cerita yang dikarang sendiri

berdasarkan cerita baku Cempala : Alat pemukul kotak wayang Cempurit : Tangkai wayang yang terbuat dari

tanduk kerbau Deformasi : Perubahan bentuk Dhodhogan : Sasmita dalang yang diawali dengan Diprada : Dilapisi kertas emas Di labuh : Dihanyutkan di laut Disimping : Dijajarkan pada layar sebelah kanan

dan kiri pukulan cempala ke kotak Drojogan : Gawang untuk membentangkan kelir

bagian atas Emas-emasan : Jenis tatahan yang menyerupai bentuk

emas Gabahan : Bentuk mata seperti buah padi Gadhingan : Salah bentuk gending Jawatimuran

untuk mengiringi adegan pocapan

Page 14: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

xiv

Gagahan : Gending yang disajikan sebelum pertunjukan di mulai

Gagrag : Gaya Gamelan : Musik tradisional Jawa Gapit : Tangkai pada wayang, Gapuran : Adegan keputren setelah bedholan Geger : Huru-hara, kerusuhan, kacau Gelung cupit urang : Bentuk rambut pada wayang Gemblung : Edan atau gila. Gending : Deretan nada-nada yang sudah

tersusun alur melodi musikalnya. Gubahan : Jenis tatahan yang menyerupai bentuk hajat Hoyan Jelaga : Kerak dari asap lampu/dian yang

menggumpal dan menempel pada Inggah : Bagian gending yang memunyai

suasana sigrak, pernes dan lincah Jagadan : Layar tempat memainkan wayang Jagong : Menghadiri perhelatan/orang punya

hajatan Jamang : Ikat kepala Jangkahan : Bentuk kaki lebar seperti sedang

melangkah Jangkang : Kulit bagian luar buah kepuh Jek Dong : Nama lain wayang Jawatimuran Katongan : Raja-raja Kempyang : Bagian sisi kendang yang ukurannya

lebih kecil Keprakaan : Suara lempengan logam yang

digantungkan pada kotak wayang Ketawang : Salah satu bentuk gending yang satu

gongan ada 18 sabetan balungan Kombangan : Vokal singkat yang membaur dalam

gending. Kontemplatif : Mengalir Krucilan : Salah satu bentuk gending

Jawatimuran Ladrang : Salah satu bentuk gending

Jawatengahan yang satu gongan terdiri 32 sabetan balungan.

Lakon : Cerita yang dimainkan dalam wayang kulit

Lelana : Mengembara Langse : Tirai yang terbelah di tengah sebagai

pintu

Page 15: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

xv

Lanyap : Posisi dan bentuk wajah yang mendongak ke atas

Laras : Susunan nada dalam satu oktaf yang sudah terstentu tinggi rendah nadanya dan tata intervalnya.

Londho : Air yang telah disaring dari percampuran dengan abu hasil pembakaran jangkan

Luruh : Posisi dan bentuk wajah menunduk Manggaran : Bagian pangkal sarung keris yang

berbentuk melengkung pada satu sisi sedangkan sisi lain berbentuk lancip

Mbok-mbokan / Merong : Bagian gending yang mempunyai suasana agung

Mocopatan : Membaca buku babad yang berbentuk tembang

Mungkur : Berbalik menghadap ke belakang Nggoleki : Mencari Niyaga : Penabuh gamelan Nyantrik : Berguru kepada seorang ahli Ompak : Bagian gending yang digunakan untuk

jembatan dari merong ke inggah Pakem : Patokan Panakawan : Tokoh pembantu, rakyat kecil, yang

selalu mengikuti tokoh Ksatria Pathet : Batas atau garis diperuntukan sebagai

pedoman dalam penyelenggaraan dibunyikannya gending.

Pelungan : Vokal dalang yang dilagukan dan membarung dalam gending Ganda Kusuma dalam Pedalangan Jawatimuran.

.Pathetan : Vokal dalang yang menggambarkan suasana tenang, agung, damai.

Pendhapa : Rumah besar tanpa pintu Pocapan : Pengucapan cerita oleh ki dalang Pringgitan : Ruang khusus untuk pementasan

wayang Ringgit : Wayang Ruwatan : Salah satu ceritera dalam pedalangan

yang berisi ritual pembebasan sukerta seseorang

Sajen : Salah satu perlengkapan yang berisi beras ketan, kelapa, pisang, benang lawe yang ditaruh didepan dalang

Samar : Kabur, remang, tidak jelas

Page 16: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

xvi

Senthong : Ruang Sendhon : Vokal dalang yang menggambarkan

suasana sendu, sedih, melankolis. Senggakan : Vokal oleh wirasuara dalam suasana

riang. Sesek : Salah satu bentuk penyajian irama

dalam garap gending Singgasana : Tempat duduk/kursi raja Sisikan : Menghaluskan tatahan pada bagian

pinggir/tepi Slanggan : Gedebok untuk wayang klithik, terbuat

dari bambu atau kayu yang diberi lubang sebesar tangkai wayang tersebut.

Sronen : Instrumen tiup / terompet. Sronen juga berarti sutu perangkat

gamelan untuk kerapan sapi. Sumping : Hiasan yang terletak di atas daun

telinga Suwuk : Bagian akhir gending Tembang : nyanyi Uncal kencana : Kelengkapan pakaian berupa tali yang

pada bagian ujung diberi semacam pemberat terbuat dari logam

Uncal wastra : Kain selendang/sampur Untu Walang : Jenis tatahan yang menyerupai gigi

belalang, berderet berbentuk kotak kecil-kecil

Wanda : Penggambaran karakter Wayang padhat : Salah satu bentuk kemasan

pedalangan yamg meringkas pedalangan semalam menjadi kurang lebih satu jam

Page 17: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

xvii

ABSTRAK Pedalangan merupakan salah satu rumpun Seni Pertunjukan yang “Multi Kompleks”, karena dalam Pedalangan memuat berbagai persoalan yang terkait dengan berbagai macam aspek cabang seni lain seperti: seni tari, sastra, tatah sungging, seni rupa, seni suara, seni karawitan, seni tata panggung dan filsafat. Persoalan Pedalangan juga terkait dengan aspek-aspek pe-mahaman pengertian dalang, sifat dalang, modal menjadi seorang dalang, klasifikasi dalang, fungsi dan gaya dalam pedalangan seperti termuat dalam Bab I

Adapun aspek yang terkait dengan Pewayangan meliputi: se-jarah wayang, jenis wayang, wanda wayang, busana wayang, dan bentuk wayang, bisa dibaca dalam Bab II. Persoalan yang terkait dengan sastra pedalangan seperti sastra suluk, sastra lakon, sastra bentuk kakawin, sastra gending dan sastra anta wacana ada dalam Bab III.

Selanjutnya Silsilah Wayang seperti: Silsilah Mahabarata di-dalamnya memuat silsilah Wiratha, Pandawa, Kurawa, dan Abiyasa. Silsilah Ramayana memuat silsilah Lokapala, Ayodya, Ngalengkadi-raja. Silsilah Maespati, silsilah Shinta, dan Resa Seputra untuk pe-dalangan Jawatimur termut dalam Bab IV

Sumber Cerita seperti Mahabarata, Ramayana, Lakon Wa-yang, Sumber Cerita Menak, Tipe Lakon dan Lakon Ruwatan, ada dalam Bab V. Aspek yang terkait dengan masalah Cepengan Wayang, Tek-nik Menggerakkan Wayang, Tancepan Wayang dan Cara menyim-ping wayang termuat dalam Bab VI yakni masalah “Sabet” .

Unsur-unsur pedalangan yang terkait persoalan Tata Pang-gung seperti : Kelir, Blencong, Gedebog, Gawang, Kotak tempat me-nyimpan wayang, Keprak dan Eblek ada dalam Bab VII.

Tata Iringan Pedalangan yang didalamnya berbicara masalah persolan gending, penyajian gending, garap gending, dan intrumen gamelan yang digunakan untuk mengiringi Pedalangan dibahas da-lam Bab VIII. Bagian akhir buku ini akan dibicarakan persoalan yang ber-kaitan dengan penulisan Naskah Pedalangan yang meliputi Naskah Pakeliran Padat dan Naskah Pakeliran Semalam Suntuk.

Page 18: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

1

BAB I

SENI PEDALANGAN 1.1 Pedalangan

Seni pedalangan bagi masyarakat jawa khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya, merupakan salah satu dari sekian banyak kekayaan budaya warisan leluhur yang sangat tinggi nilai-nya. Oleh sebab itu seni pedalangan disebut suatu kesenian tradisi-onal adi luhung yang artinya sangat indah dan mempunyai nilai yang luhur. Seni pedalangan mengandung nilai hidup dan kehidupan luh-ur, yang dalam setiap akhir cerita (lakon)-nya selalu memenangkan kebaikan dan mengalahkan kejahatan. Hal itu mengandung suatu ajaran bahwa perbuatan baiklah yang akan unggul, sedangkan per-buatan jahat akan selalu menerima kekalahannya, sebagai contoh cerita Mahabharata dan Ramayana.

Telah banyak buku-buku yang ditulis oleh para ahli budaya bangsa Indonesia maupun bangsa asing tentang seni pedalangan dan bukan hanya menyangkut perihal yang ringan-ringan saja mela-inkan tentang intisari dan falsafahnya. Ada di antaranya yang me-nyatakan bahwa seni pedalangan itu tidak ada tolok bandinganya di dunia ini. Pendapat lain juga menyatakan bahwa seni pedalangan dengan keindahanya merupakan pencerminan kehalusan jiwa manu-sia dan tidak hanya merupakan suatu pertunjukan permainan untuk hiburan belaka.

Pedalangan adalah suatu kegiatan di mana titik permasa-lahannya ialah terletak pada dalang yang dibantu oleh pengrawit, swarawati atau pesinden, dan dengan kelengkapan sarana penyaji-an pedalangan lainya. 1.1.1 Arti Istilah Dalang Beberapa ahli berpendapat bahwa arti istilah dalang dalam konteks banyak dalang adalah salah satu dari macam alat peralatan tradisional keraton Jawa. Prof. Winter menerangkan tentang dalang anteban ialah sebagai peneranganing laki-rabi atau tanda perkawin-an berupa emas. Dalam buku Renungan Pertunjukan Wayang Kulit karya Dr. Seno Sastroamidjojo disebutkan bahwa kata dalang berasal dari ka-ta Wedha dan Wulang. Adapun yang dimaksud Wedha adalah kitab suci agama Hindu yang memuat ajaran agama, peraturan hidup dan kehidupan manusia di dalam masyarakat, terutama yang menuju ke arah kesempurnaan hidup. Wulang berarti ajaran atau petuah, mu-lang berarti mengajar. Istilah dalang adalah seorang ahli yang mem-

Page 19: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

2

punyai kejujuran dan kewajiban memberi pelajaran wejangan, uraian atau tafsiran tentang kitab suci Wedha beserta maknanya kepada masyarakat. Dalang juga berasal dari kata dalung atau disebut blen-cong, yaitu alat penerang tradisional. Dengan adanya pendapat ter-sebut fungsi dalang di masyarakat adalah sebagai juru penerang. Dalang berasal dari kata Angudal Piwulang. Angudal arti-nya menceritakan, membeberkan, mengucapkan dan menerangkan seluruh isi hatinya. Piwulang artinya petuah atau nasehat. Dengan pendapat tersebut maka dalang adalah seorang pendidik atau pem-bimbing masyarakat atau guru masyarakat. Istilah dalang berasal dari kata Talang artinya saluran air pada atap. Jadi kata dalang disamakan dengan talang yang dapat di-artikan sebagai saluran air. Dalam hal ini, dalang dimaksud sebagai penghubung atau penyalur antara dunia manusia dan dunia roh. 1.1.2 Peranan Dalang

Pada Prasasti Kawi (Kawi Oorkonde) yang disusun oleh. Cohan Stuart, telah dibicarakan tentang juru banyol dan Haringgit Banyol. Prasasti tersebut bertahun 762 Caka atau 840 Masehi. Ke-terangan selanjutnya menurut Kern yang terdapat pada Prasasti yang berangka tahun 782 Caka atau 860 Masehi menyebut-nyebut istilah Bharata. Istilah itu berarti bahwa Juru Bharatalah yang memimpin dan memainkan wayang. Dalam Kepustakaan Jawa diterangkan oleh Kern dan RM Ng. Purbacaraka adanya widu sebagai model dalang. Widu adalah seorang yang pekerjaannya mengarang cerita dan pakaianya serba putih. Pada buku Wayang Asal-usul Filsafat dan Masa Depannya, karya Sri Mulyono menyebutkan bahwa dalang adalah Pandita. Claire Holt menegaskan bahwa dalang adalah seorang pemimpin, penyusun naskah, juru bicara, seorang produser, sutradara, dan juga orang yang memainkan wayang. Soedarsono telah mengutip pendapat G.A.J Hazeu bahwa dalang adalah seorang seniman pengembara sebab bila ia sedang mengadakan pementasan selalu berpindah-pindah tempat. Jelas kiranya bahwa fungsi dalang adalah sebagai guru, juru penerang dan juru hibur. Sedangkan pendidikan bidang spiritual (kerohanian) harus mengandung unsur-unsur estetis, etis, edukatif, kreatif, kon-sultatif, dan rekreatif. Estetis, artinya garapan dalang harus memberikan kenik-matan kepada penontonnya serta memupuk dan mencerminkan rasa keindahan. Etis, artinya uraian dalang harus menjadi pupuk, pembi-naan, dan bimbingan kepada masyarakat dalam tata susila yang ber-laku dalam lingkungan hidup bermasyarakat. Edukatif, artinya dalang harus ikut mendidik dan mengajak masyarakat untuk menciptakan hal-hal yang baru tanpa mengubah keaslian seni pedalangan. Kre-

Page 20: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

3

atif, artinya dalang harus membina dan mengajak masyarakat untuk menciptakan hal-hal yang baru. Konsultatif, artinya dalang harus memberi pengarahan dan penerangan kepada masyarakat yang ma-sih buta akan hal-hal yang sedang berlangsung. Rekreatif, artinya dalang memberi hiburan yang segar dan menjadi daya tarik masya-rakat. 1.1.3 Klasifikasi Dalang

Apabila di lihat secara seksama unsur-unsur di atas, jelas tidak mungkin seluruhnya dimiliki oleh para dalang, tetapi mungkin masing-masing dalang mempunyai keahlian yang berbeda-beda pu-la. Berdasarkan kecenderungan di atas, dalang dapat dibagi dalam pengelompokan yaitu Dalang Jati, Dalang Purba, Dalang Wasesa, Dalang Guna, Dalang Wikalpa. Dalang Jati adalah dalang yang menitik beratkan garapan-nya kepada berbagai cerita yang dapat dipakai sebagai tauladan ba-gi masyarakat. Dalang Purba adalah dalang sebagai penuntun dan pemberi wejangan pada masyarakat tentang hidup dan kehidupan manusia di dunia dan di akhirat dengan menilai lakon-lakon yang di-garapnya. Dalang Wasesa adalah dalang yang dapat menguasai dan mengenal medan yang diinginkan penonton dalam membawa-kan lakonnya. Dalang Guna adalah seorang dalang yang memen-tingkan jalinan ceritanya, yang sesuai dengan aturan seni peda-langan. Dalang Wikalpa adalah dalang yang menyampaikan ilmu pe-ngetahuan tentang keduniawian, sedangkan ceritanya masih berpe-gang teguh pada pakem pedalangan. Berdasarkan ketrampilan dan kepandaiannya mendalang, dalang dapat dikelompokkan menjadi tiga. Tiga kelompok tersebut yaitu Dalang Utama, Dalang Madya, Dalang Purana. Dalang Utama adalah dalang yang dalam pengalaman ga-rapannya sudah sampai pada puncak garapan dan serba dapat. Da-lang Madya adalah dalang yang berada dalam pertengahan kepan-daian garapan. Dalang Purana adalah dalang yang berada dalam ta-hap belajar.

Dari tiga golongan yang besar tersebut dapat diperinci menjadi lima golongan, yaitu Dalang Banyol, Dalang Sabet, Dalang Antawacana, Dalang Suluk, Dalang Pakem. Dalang Banyol adalah dalang yang berkepandaian lebih di dalam membanyol atau mengkreasi lawakan para panakawan atau pada tokoh-tokoh tertentu. Dalang Sabet adalah dalang yang pandai memainkan wayang, menarikan wayang dan memerankan wayang dengan gerakan-gerakan yang terampil dan cekatan sehingga se-olah-olah hidup. Dalang Antawacana adalah dalang yang pandai bercerita, kaya perbendaraan kata termasuk penerapan suara tiap-ti-ap wayang. Dalang Suluk adalah dalang yang pandai dalam memba-wakan suluk atau kakawin lainya serta bersuara pleng (senada de-

Page 21: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

4

ngan laras gamelan )seperti: sendhon, ada-ada atau bendhengan. Dalang Pakem adalah dalang yang berpegang teguh pada cerita-ce-rita pakem yang telah digariskan dalam buku pakem pedalangan. 1.1.4 Tugas Dalang Tugas dalang yang dimaksud dalam uraian ini adalah tugas dalam garapan pakeliran atau pergelaran wayang, baik dalang gaya lama atau zaman sekarang. Berikut ini akan diuraikan pengertian-pe-ngertian istilah yang dapat dipergunakan sebagai pengetahuan da-sar yang lazim disebut sanguning dalang. Seorang dalang yang baik dan pandai, mengerti dan terampil, berkewajiban menguasai reng-gep, menguasai antawacana, enges, greget, regu, sem, tutug, ba-nyol, kawi radya, sabet, amardibasa, parama sastra, dodogan, ke-prakan, awicarita, amardawalagu. Dalang harus menguasai renggep, artinya harus mempu-nyai rasa senang dalam mendalang dan tidak lelah atau tidak jenuh. Dalang harus menguasai antawacana, artinya dalang harus dapat memberi suara yang khas dan khusus kepada masing-masing bone-ka wayang yang satu dengan yang lainnya. Enges (nges), artinya garapan dalang harus dapat menimbulkan rasa haru atau pesona. Greget, artinya pelaksanaan pakeliran dengan penggambaran sua-sana yang hidup, bergairah, tegang, marah dan lain sebagainya. Re-gu, artinya pelaksanaan pakeliran yang baik dan menarik tidak mem-bosankan sehingga terasa keluhuran seni pedalangan. Sem, artinya pelaksanaan pakeliran dengan penggambaran suasana penuh rasa romantis, sesuai dengan kebutuhan adegan. Tutug (selesai), artinya percakapan dua wayang atau lebih dan atau cerita yang diucapkan dalang dalam adegan tanpa ada wayangnya, harus lengkap dan ti-dak diperpendek atau sebagian di hilangkan. Banyol, artinya perca-kapan dan gerak wayang serta ucapan dalang dapat menjadikan pe-nonton tertawa. Kawi radya, artinya dalang pada permulaan garap-annya atau dalam menggarap adegan permulaan harus pandai men-ceritakan maksud dan jalan cerita yang akan digarapnya, antara lain dengan menggunakan kata-kata yang bersastra indah. Dalang harus memiliki kemampuan sabet, artinya ia harus mempunyai keterampilan dalam olah krida wayang, tidak ceroboh, hidup dan memiliki teknik menggerakkan wayang. Paham akan para-ma kawi, artinya dalang harus mengerti bahasa kawi dan kesusas-traannya sehingga ia akan dapat mengartikan kata-kata yang akan diucapkannya. Amardibasa, artinya dalang harus mengerti dan me-ngetahui bahasa pedalangan, misalnya bahasa dewa, raksasa, pu-nakawan dan lainya. Paham akan parama sastra, artinya dalang ha-rus mengerti tata bahasa dan harus banyak menyelami kesusastraan untuk mengetahui urutan percakapan yang baik. Terampil, artinya cekatan dalam hal meringkas dan memperpanjang cerita, gending, ginem, suluk, dodogan, keprakan, dan lain sebagainya. Yang pokok

Page 22: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

5

bahwa dalang harus dapat meringkaskan atau dapat memperpan-jang segala hal yang ada kaitannya dengan kebutuhan pakeliran. Awicarita, artinya dalang harus paham benar akan semua cerita yang sedang dilakonkan. Amardawalagu, artinya dalang harus mem-punyai pengalaman yang luas tentang karawitan dan gending, cara menembang, dan suluk-sulukan yang khusus untuk suatu pertunjuk-an wayang. 1.1.5 Sifat Dalang

Sifat dalang dibagi menjadi lima. Adapun lima sifat dalang tersebut yaitu gendeng, gending, gendung, gendeng, gandang, dan istilah tersebut mempunyai arti yang berbeda-beda. Gendeng, artinya berjiwa sosial, berhati lapang, melindungi untuk menuju kesejahteraan dan keselamatan lahir batin. Gending, artinya luwes dalam melayani keadaan yang macam-macam, berjiwa momot, kamot, dan momong. Gendung, artinya memiliki rasa kepri-badian dan tanggung jawab. Gendeng, artinya tidak mudah terpe-ngaruh oleh keadaan, tidak ragu, dan jauh dari rasa rendah diri. Gandang, artinya spontan, mapan, dan bersih dari prasangka yang kurang baik. 1.2 Larangan-larangan yang Patut dihindari

Dalang Larangan yang dimaksud adalah perilaku yang tidak boleh

dilakukan seorang dalang dalam menjalankan pakeliran. Larangan tersebut di antaranya adalah mengubah pokok cerita serta mengu-bah isi lakon, kebogelan, artinya kehabisan cerita atau selesai sebe-lum waktunya, karahinan (kesiangan), artinya kelebihan banyak wak-tu, contoh, matahari telah terbit namun cerita yang digarapnya belum selesai, lamban dalam hal: bercerita, laras, sabet, dan waktu, dalang meninggalkan panggung sebelum waktunya, nyala lampu blencong tidak tetap, rongeh, artinya gelisah, duduk tidak tenang, selalu meli-hat ke kiri dan ke kanan ke arah penonton, keluar dari garapan peda-langan misalnya. Yang dimaksud keluar dari garapan pedalangan yaitu, me-ngeluarkan kata-kata asing diluar bahasa pedalangan, pratingkah ar-tinya tingkah laku asing bagi dunia pedalangan, menyindir tamu de-ngan maksud ingin menjatuhkan harga diri tamu tersebut di depan tamu lainnya. 1.3 Unsur – unsur Seni Pedalangan

Seni pedalangan merupakan suatu satu kesatuan yang se-imbang dan seirama, karena seni pedalangan paling sedikit me-ngandung tujuh unsur seni yang ada. Adapun tujuh unsur seni terse-

Page 23: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

6

but meliputi seni drama, seni lukis atau seni rupa, Seni tatah (pahat) atau seni kriya, seni sastra, seni suara, seni tari, seni karawitan. 1.3.1 Seni Drama

Makna falsafah pada seni drama kita ketahui dan kita haya-ti melalui setiap cerita atau lakon wayang yang bersifat klasik tradisi-onal antara lain dalam cerita Dewa Ruci dari epos Mahabharata, yang mengisahkan Werkudara ketika berguru pada Begawan Drona untuk mencari kesempurnaan hidup hingga sampai bertemu Dewa Ruci, yaitu guru sejati bagi Werkudara. Gambaran ceritat tersebut adalah bahwa kejiwaan manusia lebih luas dari pada dunia dengan segala isinya.

Cerita Kumbakarna gugur dari epos Ramayana, yang me-ngisahkan keberanian Kumbakarna dalam melawan bala tentara Ra-ma. Keberanian tersebut karena membela tanah airnya yaitu negeri Alengka yang hampir hancur. 1.3.2 Seni Lukis atau Seni rupa

Seni lukis atau seni rupa yang dapat dilihat dari bentuk wa-yang, serta sunggingan dan tata warnanya yang masing-masing war-na mewakili simbul kejiwaan tersendiri antara lain: bentuk wayang menunjukkan karakter atau watak dari tokoh wayang tersebut de-ngan sunggingan yang serasi, komposisi warna yang sempurna, se-hingga tidak mengacaukan pandangan pada keseluruhan wayang itu sendiri serta dapat me-laras-kan jiwa bagi mereka yang melihatnya. Tokoh Kresna dan Arjuna, untuk busana tidak akan disungging de-ngan corak kawung atau parang rusak, karena tokoh-tokoh tersebut merupakan gambaran tokoh yang adi luhung bagi seniman-seniman pencipta wayang. 1.3.3 Seni Tatah (Pahat) atau Seni Kriya

Seni pahat atau seni kriya yang dapat dilihat dari wujud wa-yang yang dibuat dari kulit kerbau atau sapi atau kayu melalui proses yang sangat lama, memerlukan ketekunan, rumit tapi rapi. Dalam se-ni pahat atau seni kriya tersebut terdapat beberapa jenis pahatan dan tatahan, antara lain pahatan atau tatahan yang halus bentuknya untuk karya seni, pahatan atau tatahan untuk wayang pedalangan agar dalam pementasan dengan sinar lampu dapat nampak jelas ukirannya dan selanjutnya pahatan atau tatahan kasar untuk komer-sial, agar dalam perdagangan tidak terlalu tinggi harganya. 1.3.4 Seni Sastra

Seni sastra yang dapat didengar dari bahasa pedalangan yang begitu indah dan menawan hati. Bahasa pedalangan untuk da-erah Jawa Tengah dan Jawa Timur pada umumnya digunakan baha-

Page 24: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

7

sa menurut tata bahasa Jawa dengan menggunakan idiom kawi yang menimbulkan rasa luhur dan angker, unggah-ungguh dalam penggunaan bahasa, contoh ngoko, ngoko alus, tengahan, kromo, kromo inggil, kedaton, kadewan, bagongan.

Bahasa ngoko atau basa ngoko adalah bahasa setingkat panakawan, ngoko alus adalah bahasa orang tua terhadap orang muda yang lebih tinggi martabatnnya, basa tengahan adalah bahasa madya (tengah), basa kromo adalah bahasa halus, kromo inggil ada-lah bahasa untuk orang bawahan terhadap atasan, basa kedatonan atau bahasa kraton yaitu untuk raja dan bawahannya, basa kadewan adalah bahasa khusus untuk para dewa, dan basa bagongan adalah campuran bahasa kedaton dan kadewan. 1.3.5 Seni Suara

Bagi seorang dalang, seni suara dengan vokal yang man-tap merupakan syarat utama dalam mempertahankan mutu pertun-jukannya. Sejak ia duduk memegang tangkai tangan wayang kulit (cempurit atau tuding) dan tangkai pada badan wayang (gapit), di ba-wah lampu minyak (blencong) hingga mengakhiri pergelaranya de-ngan menancapkan gunungan (kayon) yang terakhir sebagai tanda penutup. Ia harus dapat menguasai vokal dengan mantap, laras pa-da nada atau irama gamelan dengan sempurna.

Perpaduan bunyi secara ngerangin antara suara sang da-lang, pesinden, wiraswara dan bunyi gamelan dengan alunan dan irama lagu yang indah, adalah seni suara yang kita tangkap dalam setiap pertunjukan wayang. Dialog pada setiap tokoh wayang yang mempunyai karakter serta watak tertentu, volume suara akan berbe-da dengan tokoh lainnya dan akan selalu berpedoman pada laras gamelan, contoh tokoh Werkudara cenderung berlaras rendah dan besar (bas), dan tokoh-tokoh lainnya. 1.3.6 Seni tari

Tari adalah merupakan salah satu garapan kesenian yang bermedium gerak. Di dalam garapan pakeliran unsur nilai seni tari dapat dilihat dengan adanya penampilan sabet. Sabet ini di dalam pakeliran merupakan perwujudan penggarapan dinamis. Penggarap-an medium gerak di dalam pedalangan selalu ada relevansinya de-ngan iringan gending sebagai pendukung dan pembuat suasana, se-hingga menghasilkan gerak dan tarian wayang secara jelas dan di-namis. 1.3.7 Seni Karawitan

Seni karawitan dapat dinikmati dari lagu-lagunya yang etis dan estetis. Seni karawitan merupakan pengiring yang harmonis, la-ras dan anggun untuk lakon yang diperagakan ki dalang. Peranan

Page 25: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

8

gamelan sangat penting dalam pakeliran atau dalam pergelaran wa-yang. Karawitan iringan pedalangan sangat menunjang dalam pe-mentasan terutama untuk membedakan dialog wayang. Hal tersebut karena keterbatasan ki dalang menirukan dialog serta cara berbicara tiap tokoh wayang yang bermacam-macam, dan juga terbatasnya wayang dalam akting atau sabetan serta terbatasnya adegan yang dibuat dalam pergelaran tersebut. Selain itu tuntutan berbagai ma-cam suasana juga terdapat dalam iringan pakeliran tersebut.

Beberapa cara untuk menggambarkan suasana dari tiap adegan dalam pertunjukan wayang Kulit Purwa Jawa Tengah ialah pathet yang dibagi dalam tiga bagian, yaitu: pathet Nem (6) antara pukul 21.00 -24.00; pathet Sanga (9) antara pukul 00.00 - 03.00 dan pathet Manyura antara pukul 03.00 - 05.00. Bagaian awal merupa-kan pembukaan (netral), bagian tengah merupakan isi atau perma-salahan, dan bagian akhir merupakan penutup atau penyelesaian.

Pertunjukan wayang Kulit Purwa gaya Jawatimuran memili-ki empat jenis pathet, yaitu: pathet Sepuluh (10) merupakan awal se-belum pertunjukan dimulai atau yang lazim disebut ayak talu atau ayak Sepuluh, yang digunakan hanya untuk gending-gending terten-tu yaitu khusus ayak Talu dan Gedog Tamu, pathet Wolu antara pu-kul 21.00 - 24.00; pathet Sanga (9) antara pukul 00.00 - 03.00 dan pathet Serang antara pukul 03.00 - 05.00. Setiap pathet dalam per-tunjukan wayang Kulit Purwa gaya Jawatimuran juga mempunyai makna tersendiri dan tidak jauh berbeda dengan wayang kulit gaya lainnya.

Pertunjukan wayang kulit Betawi hanya memiliki dua jenis pathet, di antaranya adalah pathet kenceng: dilakukan sebelum te-ngah malam, dan pathet kendor dilakukan menjelang akhir pertun-jukan. Cara lain untuk menggambarkan suasana adalah dengan su-lukan, janturan dan pocapan, gending, dodogan, keprakan.

Sulukan adalah nyanyian yang dulakukan dalang untuk me-nunjukan suatu suasana tertentu. Yang termasuk dalam sulukan ya-itu ada-ada, sendon, bendhengan, kombangan.

Janturan atau pocapan disebut juga narasi artinya adalah pengucapan cerita oleh ki dalang dengan suasana tertentu. Gending adalah deretan nada-nada yang sudah tersusun alur melodi musikal-nya. Dodogan adalah suara ketukan pada kotak wayang. Sedangkan alat pemukul kotak wayang disebut cempala. Keprakan yaitu suara lempengan logam yang digantungkan pada kotak wayang di sisi ka-nan agak depan. Keprak dibunyikan dengan cara mendorong telapak kaki kanan sang dalang bagian depan. 1.4 Ragam Penyajian Seni Pedalangan

Ragam yang dapat dilihat dari gerak dan gaya wayang hasil pantulan sinar lampu atau blencong yang dapat memberikan nafas

Page 26: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

9

kehidupan dari setiap pelakunya. Kita dapat melihat berbagai macam gaya, yang dalam seni pewayangan di sebut gaya sabetan, gaya seni rupa wayang, gaya pergelaran atau pertunjukan. Gaya sabetan ini menunjukan suatu kreativitas atau sanggit sang dalang dalam memainkan boneka wayang agar bisa kelihatan hidup. Sedangkan yang dimaksud gaya seni rupa wayang adalah bentuk wayang yang berlainan ornamen serta tinggi-rendahnya wa-yang, antara lain gaya Yogyakarta, gaya Surakarta, gaya Jawatimur-an, gaya Banyumasan, gaya Cirebonan dan gaya Semarangan. Gaya Pergelaran atau pertunjukan wayang kulit di setiap daerah pasti akan berbeda, misalnya gaya wayang Kulit Purwa Jawa Ngayogyakarta Hadiningrat-Yogyakarta, gaya (gagrag) Kasunanan-Surakarta, gagrag Jawatimuran, gagrag Banyumasan, gagrag Cire-bonan dan gagrag Semarang atau gagrag pesisiran. Alur cerita di setiap gaya masing-masing daerah juga berlainan, meskipun judul ceritanya yang sama. Dalang mempunyai posisi sentral, karena suatu lakon wa-yang akan menjadi indah dan dapat mempesona penonton atau ti-dak, tergantung pada ketrampilan dan kreativitas ki dalang dalam membawakan sebuah ceritanya. Seorang dalang yang sanggit, adalah mampu menangkap selera penonton dan mengetahui ter-hadap suasana penonton. Walaupun dalam cerita yang sama akan tetapi pada saat pergelaran harus berbeda. Hal tersebut dilakukan supaya petunjukkan tidak monoton, dengan harapan agar penonton tidak bosan. Sedangkan penampilannya harus berbeda pula disertai tanggap dan peka terhadap situasi serta kondisi masyarakat sekitar dimana wayang itu dipergelarkan. 1.5 Gaya Penyajian Seni Pedalangan

Gaya pergelaran pada wayang Kulit Purwa Jawa yang la-zim di sebut gagrag sangat beraneka ragam bentuk penyajiannya, diantaranya adalah bentuk wayangnya, iringannya, dialek (ulon), lengkungan vokal (cengkok lagon), ragam gerak wayang, dan lain-la-innya. Salah satu contoh adalah pedalangan gagrag Jawatimuran atau wayang Jek Dong.

Wayang kulit Jawatimuran adalah salah satu dari sekian ciri-ciri wayang yang ada di Indonesia. Wayang kulit Jawatimuran berkembang di daerah-daerah pinggiran karena sering pentas di da-erah pedesaan, apabila dibandingkan di perkotaan, sehingga wa-yang kulit Jawatimuran sering disebut sebagai kesenian rakyat.

Perkembanganya hanya ada pada daerah-daerah tertentu di wilayah Jawa Timur, di antaranya kabupaten Sidoarjo, Pasuruan, Malang, Mojokerto, Jombang, Gresik, Lamongan dan Surabaya. Dari sekian daerah perkembangan wayang kulit Jawatimuran, maka mun-cullah istilah gagrag atau gaya dari masing-masing daerah ter-sebut,

Page 27: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

10

contoh wayang kulit gagrag Porongan, gagrag Malangan, gagrag Mojokertoan atau Trowulanan, gagrag Lamongan, dan gagrag Sura-bayan. Sebutan dari masing-masing gaya tersebut di atas hingga sekarang masih melekat di hati para penggemar seni tradisi wayang kulit Jawatimuran. Karena belum adanya buku tuntunan pedalangan Jawatimuran sehingga sebagai patron atau pakem adalah Empu dari masing-masing gaya tersebut, contoh gaya Porongan (Ki Soleman), gaya Mojokertoan (Ki Pit Asmoro), gaya Lamongan (Ki Subroto), gaya Surabayan (Ki Haji Suwoto Ghozali Almarhum dan Ki Utomo Almarhum). Untuk mengawali pertunjukan atau sebelum dalang naik di pentas, terlebih dahulu ditampilkan sebuah tarian yang disebut tari Remo dengan dua gaya yaitu gaya putri, dan gaya putra. Hal terse-but dilakukan dengan harapan mampu menarik perhatian para pe-nonton sekaligus sebagai tari pembuka salam atau penyambutan.

Pertunjukan wayang kulit Jawatimuran selalu diawali de-ngan tari remo, sehingga pertunjukan wayang dilaksanakan setelah tari remo. Pertunjukan tari remo dengan menampilkan dua gaya ter-sebut diperkirakan memakan waktu + satu setengah jam, dimulai jam 21.00. Pertunjukan wayang kulit dimulai + jam 22.30 – 23.00. Pelaksanaan pakeliran seperti tersebut diatas sudah merupakan tra-disi pakeliran Jawatimuran dimanapun.

Nama tokoh dan nama sebuah tempat dalam pewayangan sebagian ada yang berbeda, bahkan tidak dimiliki oleh gaya pake-liran lain, contoh nama masa muda Prabu Arjuna Sasra Bahu adalah Raden Nalendradipa, nama masa kecil Anoman adalah Raden Anjila Kencana, dan masih banyak yang lainya. Sedangkan untuk perbeda-an nama tempat tinggal adalah, contoh pertapan Begawan Gundawi-jaya atau (Begawan Bagaspati dalam pedalangan Surakarta) adalah di Guwa Warawinangun, dan lain sebagainya. Pakeliran gaya Jawa-timuran kaya akan berbagai sanggit cerita dan dalam sajian pertunju-kan masih banyak yang menggunakan cerita pakem (Wet), dari pada cerita karangan (carangan). Sumber cerita yang dipergelarkan ada-lah epos Ramayana dan Mahabharata.

Cerita baku atau wet adalah cerita yang diperoleh dari Em-pu masing-masing, dan secara turun-temurun dengan cara berguru ke ahlinya (nyantrik). Perbedaan yang lain terletak pada bentuk sim-pingan atau sampiran wayang. Sampiran adalah wayang yang ditata berjajar dan berderet diselah kanan dan kiri tempat duduk sang da-lang. Apabila di amati akan terlihat jelas ada dua tokoh wayang yaitu Semar dan Bagong yang telah ditancapkan di layar bagain tengah dan ditutup oleh dua gunungan. Di simpingan sebelah kanan tengah dipasang tokoh Betara Guru agak ke atas menghadap ke kiri dan di simpingan sebelah kiri tengah di pasang tokoh Batari Durga meng-hadap ke kanan.

Page 28: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

11

Instrumen saron satu dan saron dua juga berpengaruh pa-da setiap adegan yang dimainkan, dengan menampilkan bermacam-macam kembangan saron yang sesuai dengan suasana dalam ade-gan tersebut. Bentuk penonjolan instrumen lain terlatak pada ken-dang, karena kendang Jawatimuran cenderung berbunyi nyaring ter-utama bagian sisi kendang yang ukurannya lebih kecil (kempyang) mengacu pada nada satu (siji). Bentuk kendang berukuran besar panjang serta berat.

Ciri khas lainnya terdapat pada beberapa tokoh wayang yang mengenakan busana kepala (irah-irahan) gelung yang dikombi-nasi dengan makutha (topong atau kethu dewa). Ciri lain terdapat pada tokoh wayang Bima da Gathotkaca, yang di Jawa Tengah ber-wajah hitam, namun di Jawa Timur berwajah merah. Beberapa tokoh dalang Jawatimuran menyatakan bahwa warna merah bukan berarti melambangkan watak keangkara murkaan namun melambangkan watak pemberani. Selain itu tokoh wayang Gandamana pada wa-yang Jawa Tengah memiliki pola penggambaran karakter (wanda) yang mirip dengan Antareja atau Gathotkaca, tetapi pada wayang kulit Jawatimuran Gandamana tampil dengan wanda mirip Dursasa-na atau Pragota. Contoh bentuk wayang Jawatimuran terakhir sebelum me-ngalami perubahan bentuk (deformasi) yaitu pada saat diperlihatkan oleh bentuk-bentuk arca pada relief di dinding candi Sukuh di gu-nung Lawu sebelah barat, yang salah satu reliefnya menggambarkan perkelahian Bima melawan Raksasa dengan menunjukan angka ta-hun1361 Caka atau 1439 masehi. Jadi masih dalam zaman pemerin-tahan Prabuputri Suhita, raja Majapahit ke IV (1429 – 1447)

Page 29: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

12

BAB II

SEJARAH WAYANG DAN JENIS DALAM SENI PEWAYANGAN

2.1 Pewayangan

Seni pewayangan adalah sesuatu yang menyangkut wa-yang, termasuk pembinaan, penghayatan, pendukung, kritik dan pe-ngetahuan mengenai wayang. Pengertian pewayangan lebih luas jangkauannya karena sudah melibatkan unsur-unsur pendukung wa-yang tersebut. 2.2 Sejarah Seni Pewayangan

Wayang, merupakan salah satu bentuk teater tradisional yang paling tua. Pada masa pemerintahan Raja Balitung, telah ada petunjuk adanya pertunjukan wayang, yaitu yang terdapat pada pra-sasti Balitung dengan tahun 907 Masehi, yang mewartakan bahwa pada saat itu telah dikenal adanya pertunjukan wayang.

Prasasti berupa lempengan tembaga dari Jawa Tengah; Royal Tropical Institute, Amsterdam, contoh prasasti ini dapat dilihat dalam lampiran buku Claire Holt Art in Indonesia: Continuities and Changes,1967 terjemahan Prof.Dr.Soedarsono(MSPI-2000-hal 431). Tertulis sebagai berikut:

Dikeluarkan atas nama Raja Belitung teks ini mengenai de-sa Sangsang, yang ditandai sebagai sebuah tanah perdi-kan, yang pelaksanaannya ditujukan kepada dewa dari se-rambi di Dalinan. Lagi setelah menghias diri dengan cat serta bunga-bunga para peserta duduk di dalam tenda pe-rayaan menghadap Sang Hyang Kudur. “Untuk keselama-tan bangunan suci serta rakyat” pertunjukan (ton-tonan) di-sakilan. Sang Tangkil Hyang sang (mamidu), si Nalu melagukan (macarita) Bhima Kumara, serta menari (mangigal) sebagai Kicaka; si Jaluk melagukan Ramayana; si Mungmuk berak-ting (mamirus) serta melawak (mebanol), si Galigi memper-tunjukan Wayang (mawayang) bagi para Dewa, melagukan Bhimaya Kumara. Pentingnya teks ini terletak pada indikasi yang jelas bahwa

pada awal abad ke-10, episode-episode dari Mahabharata dan Ra-mayana dilagukan dalam peristiwa-peristiwa ritual. Bhimaya Kumara mungkin sebuah cerita yang berhubungan dengan Bima boleh jadi telah dipertunjukan sebagai sebuah teater bayangan (sekarang: wa-

Page 30: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

13

yang purwa). Dari mana asal-usul wayang, sampai saat ini masih di-persoalkan, karena kurangnya bukti-bukti yang mendukungnya. Ada yang meyakini bahwa wayang asli kebudayaan Jawa dengan me-ngatakan karena istilah-istilah yang digunakan dalam pewayangan banyak istilah bahasa Jawa.

Dr.G.A.J.Hazeu, dalam detertasinya Bijdrage tot de Kennis van het Javaansche Tooneel (Th 1897 di Leiden, Negeri Belanda) berkeyakinan bahwa pertunjukan wayang berasal dari kesenian asli Jawa. Hal ini dapat dilihat dari istilah-istilah yang digunakan banyak menggunakan bahasa Jawa misalnya, kelir, blencong, cempala, ke-pyak, wayang. Pada susunan rumah tradisional di Jawa, kita biasa-nya akan menemukan bagian-bagian ruangan: emper, pendhapa, o-mah mburi, gandhok sen-thong dan ruangan untuk pertujukan ringgit (pringgitan), dalam bahasa Jawa ringgit artinya wayang. Bagi orang Jawa dalam membangun rumahpun menyediakan tempat untuk per-gelaran wayang. Dalam buku Over de Oorsprong van het Java-an-sche Tooneel - Dr.W Rassers mengatakan bahwa, pertunjukan wa-yang di Jawa bukanlah ciptaan asli orang Jawa. Pertunjukan wayang di Jawa, merupakan tiruan dari apa yang sudah ada di India. Di India pun sudah ada pertunjukan bayang-bayang mirip dengan pertunju-kan wayang di Jawa.

Dr.N.J. Krom sama pendapatnya dengan Dr. W. Rassers, yang mengatakan pertunjukan wayang di Jawa sama dengan apa yang ada di India Barat, oleh karena itu ia menduga bahwa wayang merupakan ciptaan Hindu dan Jawa. Ada pula peneliti dan penulis buku lainnya yang mengatakan bahwa wayang berasal dari India, bahkan ada pula yang mengatakan dari Cina. Dalam buku Chinee-sche Brauche und Spiele in Europa – Prof G. Schlegel menulis, bah-wa dalam kebudayaan Cina kuno terdapat pergelaran semacam wa-yang. Pada pemerintahan Kaizar Wu Ti, sekitar tahun 140 sebelum Masehi, ada pertunjukan bayang-bayang semacam wayang. Kemu-dian pertunjukan ini menyebar ke India, baru kemudian dari India di-bawa ke Indonesia. Untuk memperkuat hal ini, dalam majalah Kolo-niale Studien, seorang penulis mengemukakan adanya persamaan kata antara bahasa Cina Wa-yaah (Hokian), Wo-yong (Kanton), Wo-ying (Mandarin), artinya pertunjukan bayang-bayang, yang sama de-ngan wayang dalam bahasa Jawa.

Meskipun di Indonesia orang sering mengatakan bahwa wayang asli berasal dari Jawa/Indonesia, namun harus dijelaskan apa yang asli materi wayang atau wujud wayang dan bagaimana de-ngan cerita wayang. Pertanyaannya, mengapa pertunjukan wayang kulit, umumnya selalu mengambil cerita dari epos Ramayana dan Mahabharata? Dalam papernya Attempt at a historical outline of the shadow theatre Jacques Brunet, (Kuala Lumpur, 27-30 Agustus 19-69), mengatakan, sulit untuk menyanggah atau menolak anggapan bahwa teater wayang yang terdapat di Asia Tenggara berasal dari

Page 31: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

14

India terutama tentang sumber cerita. Paper tersebut di atas menco-ba untuk menjelaskan bahwa wayang mempunyai banyak kesamaan terdapat di daerah Asia terutama Asia Tenggara dengan diikat oleh cerita-cerita yang sama yang bersumber dari Ramayana dan Maha-bharata dari India. Sejarah penyebaran wayang dari India ke Barat sampai ke Timur Tengah dan ke timur umumnya sampai ke Asia Tenggara.

Di Timur Tengah, disebut Karagheuz, di Thailand disebut Nang Yai & Nang Talun, di Cambodia disebut Nang Sbek & Nang Koloun. Dari Thailand ke Malaysia disebut Wayang Siam. Sedang-kan yang langsung dari India ke Indonesia disebut Wayang Kulit Pur-wa. Dari Indonesia ke Malaysia disebut Wayang Jawa. Di Malaysia ada 2 jenis nama wayang, yaitu Wayang Jawa (berasal dari Jawa) dan Wayang Siam berasal dari Thailand.

Abad ke-4 orang-orang Hindu datang ke Indonesia, teruta-ma para pedagangnya. Pada kesempatan tersebut orang-orang Hin-du membawa ajarannya dengan Kitab Weda dan epos cerita maha besar India yaitu Mahabharata dan Ramayana dalam bahasa San-skrit. Abad ke-9, bermunculan cerita dengan bahasa Jawa kuno da-lam bentuk kakawin yang bersumber dari cerita Mahabharata atau Ramayana, yang telah diadaptasi kedalam cerita yang berbentuk ka-kawin tersebut, misalnya cerita-cerita seperti: Arjunawiwaha kara-ngan Empu Kanwa, Bharatayuda karangan Empu Sedah dan Empu Panuluh, Kresnayana karangan Empu Triguna, Gatotkaca Sraya ka-rangan Empu Panuluh dan lain-lainnya. Pada jamannya, semua ceri-ta tersebut bersumber dari cerita Mahabharata, yang kemudian di-adaptasi sesuai dengan sejarah pada jamannya dan juga disesuai-kan dengan dongeng serta legenda dan cerita rakyat setempat. Da-lam mengenal wayang, kita dapat mendekatinya dari segi sastra, ka-rena cerita yang dihidangkan dalam wayang terutama wayang kulit umumnya selalu diambil dari epos Mahabharata atau Ramayana. Kedua cerita tersebut, apabila kita telusuri sumber ceritanya berasal dari India. Mahabharata bersumber dari karangan Viyasa, sedang-kan Epos Ramayana karangan Valmiki.

Page 32: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

15

Timur Tengah Karagheouz

Indonesia Wayang Kulit Purwa

Malaysia Wayang Siam

Malaysia Wayang Jawa

Peta Penyebaran Cerita Wayang dari Cina (Lihat: buku Traditional Drama And Music of Southeast Asia – Edited by M.Taib Osman, Terbitan Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur. Th. 1974 )

Hal ini diperkuat fakta bahwa cerita wayang yang terdapat di Asia terutama di Asia Tenggara yang umumnya menggunakan sumber cerita Ramayana dan Mahabharata dari India. Cerita-cerita yang biasa disajikan dalam wayang, sebenarnya merupakan adapta-si dari epos Ramayana dan Mahabharata yang disesuaikan dengan cerita rakyat atau dongeng setempat. Dalam sejarahnya pertunjukan wayang kulit selalu dikaitkan dengan suatu upacara, misalnya untuk keperluan upacara khitanan, bersih desa, menyingkirkan malapetaka dan bahaya. Hal tersebut sangat erat dengan kebiasaan dan adat-is-tiadat setempat.

Dalam menelusuri sejak kapan ada pertunjukan wayang di Jawa, dapat kita temukan berbagai prasasti pada jaman raja-raja Ja-wa, antara lain pada masa Raja Balitung. Namun tidak jelas apakah

Thailand Nang Yai dan Nang Talon

Cambodia Nang Sbek dan Nang Kaloun

Cina

India

Page 33: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

16

pertunjukan wayang tersebut seperti yang kita saksikan sekarang. Pada masa pemerintahan Raja Balitung, telah ada petunjuk adanya pertunjukan wayang. Hal ini juga ditemukan dalam sebuah kakawin Arjunawiwaha karya Empu Kanwa, pada jaman Raja Airlangga da-lam abad ke-11. Oleh karenanya pertunjukan wayang dianggap ke-senian tradisi yang cukup tua. Sedangkan bentuk wayang pada per-tunjukan di jaman itu belum jelas tergambar bagaimana bentuknya.

Pertunjukan teater tradisional pada umumnya digunakan untuk pendukung sarana upacara baik keagamaan ataupun adat-is-tiadat, tetapi pertunjukan wayang kulit dapat langsung menjadi ajang keperluan upacara tersebut. Ketika kita menonton wayang, kita lang-sung dapat menerka pertunjukan wayang tersebut untuk keperluan apa. Hal ini dapat dilihat langsung pada cerita yang dimainkan, apa-kah untuk keperluan menyambut panen atau untuk ngruwat dan per-tunjukan itu sendiri merupakan suatu upacara. Gambar 1.1 wayang Cina, Muangthai, Kamboja 2.3 Jenis Wayang

Dapat kita temukan wujud bentuk wayang sejak dahulu, ya-itu adanya wayang Rumput atau wayang Lontar (daun TAl) dan lain sebagainya. Jenis wayang tersebut dapat dilihat di Musium Wayang di Jakarta. Berbagai bentuk dan ragam wayang di Indonesia, di anta-ranya, yaitu:

a. Wayang Cina b. Wayang Muang Thai c. Wayang Kamboja

Page 34: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

17

2.3.1 Wayang Beber Wayang Beber termasuk bentuk wayang yang paling tua u-

sianya dan berasal dari masa akhir zaman Hindu di Jawa. Pada mu-lanya wayang Beber melukiskan cerita-cerita wayang dari kitab Ma-habharata, tetapi kemudian beralih dengan cerita-cerita Panji yang berasal dari kerajaan Jenggala pada abad ke-XI dan mencapai jaya-nya pada zaman Majapahit sekitar abad ke-XIV hingga XV. Wayang ini populeritasnya memudar sejak zaman kerajaan Mataram, sehing-ga makin langka dan kini diancam kepunahanya. Wayang tersebut masih dapat kita jumpai dan sesekali dapat dipergelarkan. Pada per-gelaran yang pernah dilangsungkan pada awal tahun 1983 di Sura-baya digunakan wayang Beber dari desa Karangtalun Kelurahan Ge-dompol Kecamatan Donorejo Kabupaten Pacitan, Jawa Timur. Wa-yang Beber ini dikenal dengan nama Wayang Beber Pacitan.

Wayang Beber Pacitan melukiskan cerita Panji Asmara Ba-ngun dengan Dewi Sekartaji yang berjumlah 6 gulungan dengan se-tiap gulungan memuat 4 adegan. Jadi jumlah keseluruhan menjadi 24 adegan, tetapi adegan yang ke 24 tidak boleh dibuka, yang me-nurut kepercayaan pantangan untuk dilanggar. Sebagai salah satu warisan nenek moyang bangsa Indonesia yang telah berusia sangat tua itu dan diakui sebagai hasil karya seni agung yang tiada duanya, maka Wayang Beber Pacitan ini perlu dilestarikan. Wayang Beber tersebut dicipta sesudah pemerintahan Amangkurat II (1677-1678) dan sebelum pemerintahan Amangkurat III (1703-1704) di Kartasura. Sedangkan sumber lain menyatakan bahwa Wayang Beber Pacitan tersebut diterima oleh dalang Nolodermo dari kraton Majapahit seba-gai hadiah atas jasanya setelah ia menyembuhkan putri raja.

Cerita awal dari Wayang Beber ini adalah mengisahkan tentang Panji Asmara Bangun telah menyamar menjadi Panji Joko Kembang Kuning guna mengikuti sayembara menemukan Dewi Se-kartaji, hingga sepasang pengantin bahagia bersanding di pelaminan yaitu Raden Panji Asmara Bangun dan Dewi Sekartaji. Cerita terse-but konon merupakan cerita sindiran tentang kerusakan kerajaan Mataram sampai berpindahnya pemerintahan ke Kartasura, yang di-sungging indah sekali dan dibuat pada tahun 1614 Caka dengan sengkalan: gawe srabi jinambah ing wong. 2.3.2 Wayang Purwa

Wayang Purwa adalah pertunjukan wayang yang pemen-tasan ceritanya bersumber pada kitab Ramayana dan Mahabharata. Wayang tersebut dapat berupa wayang kulit, wayang golek atau wa-yang wong (orang).

Pendapat para ahli, istilah purwa tersebut berasal dari kata parwa yang berarti bagian dari cerita Ramayana atau Mahabharata. Di kalangan masyarakat Jawa, terutama orang-orang tua kata purwa sering diartikan pula purba artinya zaman dulu.

Page 35: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

18

Sesuai dengan pengertian tersebut, maka wayang purwa diartikan pula sebagai wayang yang menyajikan cerita-cerita zaman dahulu. Pada wayang jenis ini banyak kita jumpai beberapa ragam, sejarah, asal mulanya antara lain: Gambar 1.2 Wayang Beber Pacitan (Adegan dalam cerita Joko Kembang Kuning) 2.3.2.1 Wayang Rontal (939)

Prabu Jayabaya dari kerajaan Majapahit, yang gemar sekali akan wayang, membuat gambar-gambar dan cerita-cerita wayang pada daun tal dalam tahun 939 Masehi (861 Caka dengan sengka-lan: gambaring wayang wolu). Wayang tersebut dinamakan wayang Rontal (rontal yaitu daun tal dari pohon Lontar: Bali, Jakarta; Siwa-lan: Jawa)

Page 36: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

19

2.3.2.1.1 Wayang Kertas (1244) Karena gambar-gambar yang terdapat pada daun tal itu ter-

lalu kecil untuk dipertunjukan, maka Raden Kudalaleyan atau yang disebut Prabu Surya Hamiluhur dari Pajajaran memperbesar gambar wayang tersebut di atas kertas pada tahun 1244 (1166 Caka, de-ngan sengkalan: hyang gono rupaning jalmo). 2.3.2.2 Wayang Beber Purwa (1361)

Prabu Bratono dari kerajaan Majapahit membuat wayang Beber Purwa untuk ruwatan pada tahun 1361 (1283 Caka, dengan sengkalan: gunaning pujangga nembah ing dewa). Pendapat terse-but tidak sesuai dengan ilmu sejarah, karena pada tahun 1350-1389 yang bertahta di Majapahit adalah Raja Hayam Wuruk; kecuali apa-bila Prabu Bratono adalah juga Prabu Hayam Wuruk. Wayang Beber Purwa dimaksudkan suatu pergelaran wayang mBeber cerita-cerita purwa (Ramayana atau Mahabharata). 2.3.2.3 Wayang Demak (1478)

Berhubung wayang Beber mempunyai bentuk dan roman muka seperti gambar manusia, sedangkan hal itu sangat bertenta-ngan dengan agama dan ajaran Islam, maka para Wali tidak menye-tujuinya. Penggambaran manusia merupakan kegiatan yang dinilai menyamai, setidak-tidaknya mendekati kekuasaan Tuhan. Hal terse-but di dalam ajaran Islam adalah dosa besar. Akhirnya wayang Be-ber kurang mendapat perhatian oleh masyarakat Islam dan lenyap-lah wayang Beber tersebut dari daerah kerajaan Demak. Kemudian para Wali menciptakan wayang purwa dari kulit yang ditatah dan di-sungging bersumber pada wayang zaman Prabu Jayabaya. Bentuk wayang diubah sama sekali, sehingga badan ditambah panjangnya, tangan-tangan memanjang hampir mendekati kaki. Selain itu leher, hidung, pundak dan mata diperpanjang supaya menjauhi bentuk ma-nusia. Yang tinggal hanya gambaran watak manusia yang tertera pa-da bentuk wayang purwa tadi. Hal ini dilakukan pada tahun 1518 (1440 Caka, dengan sengkalan: sirna suci caturing dewa). Dan pada tahun 1511 (1433 Caka, dengan sengkalan: geni murub siniraming wong), semua wayang Beber beserta gamelanya diangkut ke De-mak, setelah kerajaan Majapahit runtuh pada tahun 1478. Dari urai-an tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa wayang Kulit Purwa se-perti yang kita lihat sekarang ini merupakan penjelmaan dari hasil ciptaan para Wali Sembilan (Wali Sanga) dalam abad ke-XVI. 2.3.2.4 Wayang Keling (1518)

Wayang Keling merupakan satu-satunya jenis wayang di daerah pesisir utara pulau Jawa, yakni di Pekalongan. Munculnya wayang tersebut berkaitan dengan masuknya agama Islam di Jawa, menjelang runtuhnya kerajaan Majapahit (1518 – 1522). Masa per-

Page 37: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

20

golakan Majapahit (Paregreg), membuat orang-orang yang kokoh mempertahankan agama Hindu-Budha-nya lari berpencar ke daerah-daerah lain dan keturunan-keturunan mereka kemudian menciptakan seni budaya baru dengan cerita-cerita pewayangan baru.

Meskipun dalam sepintas lalu wayang Keling tersebut mirip wayang kulit Jawa, namun perbedaan nampak menonjol pada ge-lung cupit urang yang tidak sampai pada ubun-ubun. Antawacana-nya memakai bahasa rakyat setempat, dan satu hal yang menarik dalam pagelaran wayang Keling tersebut ialah bahwa tokoh Wisang-geni dan Wrekodara bisa bertata krama dengan menggunakan baha-sa halus (Kromo Inggil).

Keling, seperti yang disebutkan dalam buku karya dua pe-nulis R. Suroyo Prawiro dan Bambang Adiwahyu, semula bermaksud mengenang nenek moyang mereka yang datang dari Hindustan ma-suk ke Jawa untuk pertama kalinya, di samping itu juga sebagai ke-nang-kenangan dengan adanya kerajaan Budha di Jawa yang dise-but kerajaan Kalingga.

Wayang Kelingpun jauh berbeda dengan Wayang Purwa. Silsilah wayang tersebut rupanya paling lengkap sejak zaman Nabi Adam, Sang Hyang Wenang hingga Paku Buwono IV yaitu raja Su-rakarta (Th. 1788 – 1820). Hal tersebut kiranya kurang rasioanl, me-ngingat tidak adanya buku-buku atau catatan-catatan resmi yang menyatakan bahwa Sang Hyang Wenang adalah keturunan Nabi Adam. Dalam pementasan wayang Keling, dalang berfungsi pula se-bagai Pendita atau Bikhu dengan memasukkan ajaran-ajaran dari kitab Weda ataupun Tri Pitaka dalam usaha melestarikan agama Hindu dan Budha. Dengan demikian sang dalang termasuk juga se-bagai pengembang faham Jawa (Kejawen) di daerah Pekalongan dan sekitarnya. 2.3.2.5 Wayang Jengglong

Selain wayang Keling, di Pekalongan masih terdapat pula pedalangan wayang Purwa khas Pekalongan yang disebut wayang Jengglong. Pergelaran wayang Jengglong menggunakan wayang purwa wanda khas Pekalongan dengan iringan gamelan laras Pelog. Sumber cerita pada umumnya diambil dari buku Pustaka Raja Purwa Wedhoatmoko. 2.3.2.6 Wayang Kidang Kencana (1556)

Wayang ini diciptakan oleh Sinuwun Tunggul di Giri yang tidak jelas dimana letak kerajaannya pada tahun 1556 (1478 Caka, dengan sengkalan: salira dwija dadi raja). Wayang Kidang Kencana berukuran lebih kecil dari pada wayang purwa biasa. Tokoh-tokoh di-ambil dari cerita Ramayana dan Mahabharata. Dalang-dalang wanita serta dalang anak-anak pada umumnya memakai wayang-wayang

Page 38: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

21

tersebut untuk pergelaranya, karena wayang Kidang Kencana tidak terlalu berat dibanding dengan wayang pedalangan biasa. 2.3.2.7 Wayang Purwa Gedog (1583)

Raden Jaka Tingkir yang kemudian bergelar Sultan Hadiwi-jaya (1546 – 1586) dari kerajaan Pajang membuat Wayang Purwa Gedog pada tahun 1583 (1505 Caka, dengan sengkalan: panca bo-ma marga tunggal). Sangat disayangkan budayawan-budayawan In-donesia tidak menjelaskan bagaimana bentuk tokoh-tokoh wayang serta cerita untuk pergelaran wayang tersebut. 2.3.2.8 Wayang Kulit Purwa Cirebon

Perkembangan seni pewayangan di Jawa Barat, terutama bentuk wayang kulitnya, berasal dari wayang kulit Jawa Tengah dan Jawa Timur. Hal itu terbukti dari bentuk wayang purwa Cirebon yang kini hampir punah, serupa dengan bentuk wayang Keling Pekalo-ngan, yakni gelung cupit urang pada tokoh-tokoh seperti Arjuna, Bi-ma, Gathotkaca dan lain-lainya tidak mencapai ubun-ubun dan tokoh wayang Rahwana berbusana rapekan seperti busana wayang Ge-dog. Menurut para sesepuh di Cirebon, babon dan wayang kulit Cire-bon memang mengambil cerita dari kitab Ramayana dan Mahabha-rata, tetapi sejak semula tersebut telah dikembangkan dan dibuat de-ngan corak tersendiri oleh seorang tokoh yang disebut Sunan Pang-gung.

Cirebon berpendapat bahwa tokoh Sunan Panggung terse-but merupakan indentik dengan Sunan Kalijaga, seorang Wali penu-tup dari jajaran dewan Wali Sanga. Maka dengan demikian, jelaslah bahwa materi Ramayana dan Mahabharata yang Hinduis itu telah banyak diperbaiki dan diperbaharui serta disesuaikan dengan dasar-dasar ajaran Islam. Selain itu, satu hal yang relevan dan tidak dapat dipungkiri lagi bahwa para dalang wayang kulit ataupun dalang-da-lang wayang Cepak di Cirebon memperoleh ajarannya dari cara-cara tradisional. Ia menjadi dalang dengan petunjuk ayahnya atau kakek-nya yang disampaikan secara lisan, sehingga sulit bagi kita untuk menghimpun sastra lisan tersebut sekarang ini.

Di wilayah Jawa Barat sedikitnya terdapat empat versi ke-senian wayang kulit, yakni versi Betawi, Cirebon, Cianjur, serta Ban-dung dan masing-masing menggunakan dialeg daerah setempat. Melihat akan wilayah penyebaran kesenian wayang kulit yang bersi-fat kerakyatan itu, maka nampaklah suatu rangkaian yang hampir sa-ling bersambungan dengan wilayah Banyumas, Pekalongan, Cire-bon, Purwakarta, Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi, hingga Banten. Nampaknya kesenian Wayang Kulit Cirebon masih mendapat tempat baik di lingkungan masyarakatnya dan penyebaranya dengan baha-sa Cirebon Campuran yaitu campuran Jawa dan Sunda yang meli-

Page 39: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

22

puti daerah-daerah seperti Kuningan, Subang, Majalengka, bahkan sampai Kabupaten Kerawang bagian timur.

Suatu ciri khas pada pagelaran Wayang Kulit Cirebon ada-lah katerlibatan para penabuh gamelan (niyaga) yang bukan hanya melatar belakangi pertunjukan dengan alat musiknya, tetapi dengan senggakan-senggakan lagu yang hampir terus-menerus selama per-gelaran berlangsung. Difusi kebudayaan tersebut berjalan lama serta mantap, dan peranan Wali Sanga sebagai faktor dinamik dan penye-bar unsur peradaban pesisir tidak boleh dilupakan begitu saja. Con-toh menarik peranan Wali Sanga yang berkaitan dengan Cirebon se-bagai salah satu komponen peradaban pesisir adalah unsur kebuda-yaan dalam ungkapan kegiatan religi, mistik dan magi yang memba-ur dan nampak dalam pertunjukan wayang.

Para Wali sangat aktif dalam penciptaan-penciptaan seni pedalangan dan memanfaatkan seni karawitan untuk mengIslamkan orang-orang Jawa. Simbolisme dan ungkapannya nampak paling ka-ya dari seni karawitan dan seni pedalangan yang dimanfaatkan da-lam setiap dakwahnya. Satu hal yang khas pula dalam jajaran wa-yang Kulit Cirebon, ialah apabila jumlah panakawan di daerah lain-nya hanya empat orang, maka keluarga Semar ini berjumlah sembi-lan orang yakni Semar, Gareng, Dawala, Bagong, Curis, Witorata, Ceblek, Cingkring, dan Bagol Buntung, yang semuanya itu melam-bangkan sembilan unsur yang ada di dunia serta nafsu manusia, atau melambangkan jumlah Wali yang ada dalam melakukan dak-wah Islam. Gambar 1.3 Wayang gaya Cirebon, dalam cerita Ramayana

a. Raden Kumbakarna b. Raden Indrajit c. Prabu Rahwana

Page 40: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

23

2.3.2.9 Wayang Kulit Purwa Jawa Timur Seperti halnya dengan daerah-daerah lainnya, antara lain

Cirebon, Banyumas, Kedu, Yogyakarta, Surakarta, dan Jawa Timur pun mempunyai wayang kulit dengan coraknya sendiri dan sering di sebut wayang Jawatimuran atau wayang Jek Dong. Sebutan Jek Do-ng berasal dari kata Jek yaitu bunyi keprak dan Dong adalah bunyi instrumen kendang. Meskipun menggunakan pola wayang Jawa Te-ngah sesudah zaman masuknya agama Islam di Jawa, wayang kulit Jawatimuran mempunyai sunggingan dan gagrag tersendiri dalam pergelaranya, sesuai dengan apresiasi dan kreativitas selera masya-rakat setempat.

Bentuk dan corak wayang kulitnya condong pada gaya Yo-yakarta, terutama wayang perempuan (putren). Hal ini membuktikan bahwa sejak runtuhnya kerajaan Majapahit, kebangkitan kembali wa-yang kulit Jawatimuran dimulai sebelum terjadinya perjanjian Giyanti yang membagi kerajaan Mataram menjadi Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Konon tercatat bahwa wayang gagrag Surakarta merupakan perkembangan kemudian setelah perjanjian Giyanti terlaksana.

Ciri khas wayang kulit Jawatimuran yang mencolok terdapat pada beberapa tokoh wayang yang mengenakan busana kepala (irah-irahan) gelung yang dikombinasi dengan makutha (topong atau kethu dewa). Ciri lain terdapat pada tokoh wayang Bima dan Gathot-kaca, yang di Jawa Tengah berwajah hitam atau kuning keemasan, namun di Jawa Timur berwajah merah. Beberapa tokoh dalang Ja-watimuran menyatakan bahwa warna merah bukan berarti melam-bangkan watak angkara murka namun melambangkan watak pem-berani. Selain itu tokoh wayang Gandamana pada wayang Jawa Te-ngah memiliki pola penggambaran karakter (wanda) yang mirip de-ngan Antareja atau Gathotkaca, tetapi pada wayang kulit Jawatimur-an Gandamana tampil dengan wanda mirip Dursasana atau Pragota.

Contoh bentuk wayang Jawatimuran terakhir sebelum me-ngalami perubahan bentuk (deformasi) diperlihatkan oleh bentuk-bentuk arca pada relief di dinding candi Sukuh di gunung Lawu sebe-lah barat, yang salah satu reliefnya menggambarkan perkelahian Bi-ma melawan raksasa dengan menunjukkan angka tahun 1361 Caka atau 1439 masehi. Jadi masih dalam zaman pemerintahan Prabu-putri Suhita, raja Majapahit ke IV (1429 – 1447). Pada masa per-alihan ke zaman Islam, wayang kulit Purwa Jawatimuran Kuna su-dah lama berkembang dengan sempurna, mengingat kekuasaan ke-rajaan Majapahit sebelumnya yaitu yang meluas ke seluruh Nusanta-ra, maka pedalangan Jawatimuran-pun sudah populer di daerah Ja-wa Tengah.

Dalam pergelaran wayang kulit gagrag Jawatimuran mem-punyai karakteristik tersendiri dengan memiliki empat jenis pathet, yaitu pathet Sepuluh (10), pathet Wolu (8), pathet Sanga (9), dan pa-

Page 41: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

24

thet Serang, sedangkan di Jawa Tengah lazim mengenal tiga pathet, yaitu pathet Nem (6), pathet Sanga (9), dan pathet Manyura. Jumlah panakawan wayang kulit Jawatimuran juga berbeda. Jumlah naka-wan yang ada di wayang kulit purwa Cirebon dengan sebanyak sem-bilan panakawan, Jawa Tengah dengan empat panakawan, maka panakawan dalam wayang kulit Jawatimuran ini hanya memiliki dua panakawan, yaitu Semar dan Bagong Mangundiwangsa. Kedua to-koh panakawan yang bersifat dwi tunggal itu agaknya menjadi ciri khas dalam dunia wayang Jawatimuran.

Jumlah panakawan dalam wayang Jawatimuran lainya da-pat kita jumpai pada cerita-cerita Panji yang menampilkan Bancak dan Doyok atau Judeh dan Santa (Jurudyah dan Prasanta), sedang-kan dalam lakon Darmarwulan kita temui panakawan Nayagenggong dan Sabdapalon seperti nampak pada lukisan-lukisan relief candi di Jawa Timur. Dengan demikian terdapat suatu kesimpulan, bahwa to-koh panakawan tersebut pada mulanya hanya dua orang. Hal ini be-sar kemungkinan ada kaitanya dengan alam dan falsafah kejawen, bahwa pasangan panakawan Semar dan Bagong tersebut merupa-kan lambang alam kehidupan manusia yang bersifat roh dan wadag. Semar merupakan rohnya dan Bagong memanifestasikan kewadag-annya. Namun dalam perkembangannya panakawan diwayang Ja-watimuran bertambah, yaitu Besut dengan perwujudan seperti Ba-gong hanya lebih kecil. Besut dalam wayang Jawatimuran berperan sebagai anak Bagong.

Bangkitnya kembali wayang kulit Jawa Tengah yang ditun-jang oleh kalangan atas yaitu kalangan kraton, berkembang pula se-ni pedalangan wayang kulit Jawatimuran pada perbedaan tingkat dan prosesnya. Ia berkembang bukan dari kalangan kraton malain-kan dari tingkah bawah ke masyarakat banyak. Daerah perkemba-ngan wayang kulit Jawatimuran meliputi daerah Surabaya, Sidoarjo, Pasuruhan, Malang, Mojokerto, Jombang, Lamongan dan Gresik.

Page 42: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

25

Gambar 1.4 Batara Bayu (Jawatimuran) Gambar 1.5 Harjuna Sasrabahu (Jawatimuran)

Page 43: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

26

Gambar 1.6 Dewi Sembadra Gambar 1.7 Batara Kala

Page 44: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

27

Gambar 1.8 Bagong dan Semar menghadap Berjanggapati 2.3.2.10 Wayang Golek (1646)

Sesuai dengan bentuk dan cirinya yang mirip boneka, bulat yang dibuat dari kayu, maka disimpulkan bahwa, berdasarkan ben-tuk yang mempunyai ciri-ciri seperti boneka itu, sehingga benda ter-sebut dinamakan wayang Golek. Pada akhir pergelaran wayang kulit purwa, maka dimainkan wayang yang bentuknya mirip boneka dan di namakan Golek. Dalam bahasa Jawa, golek berarti mencari. Dengan memainkan wayang Golek tersebut, dalang bermaksud memberikan isyarat kepada para penonton agar seusai pergelaran, penonton mencari (nggoleki) intisari dari nasehat yang terkandung dalam pergelaran yang baru lalu. Mungkin berdasarkan kemiripan bentuk itulah sehingga dinamakan wayang Golek.

Wayang-wayang tersebut diberi pakaian, kain dan baju ser-ta selendang (sampur), dan dalam pementasanya tidak mengguna-kan layar (kelir). Sebagai pengganti lampu penerang pada wayang (blencong), sering dipakainya lampu petromak atau lampu listrik. Bo-neka-bonela kayu ini diukir dan disungging menurut macam ragam-nya, sesuai dengan tokoh-tokoh wayang dalam epos Ramayana dan Mahabharata. Wayang Golek yang terbuat dari kayu dan berbentuk tiga dimensi itu, kepalanya terlepas dari tubuhnya. Ia dihubungkan o-leh sebuah tangkai yang menembus rongga tubuh wayang dan seka-ligus merupakan pegangan dalang. Melalui tangkai itulah dalang da-pat menggerakkan kepala wayang dengan gerakan menoleh, serta

Page 45: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

28

dalang dapat menggerakan tubuh wayang dengan gerakan naik-tu-run. Tangan-tangan wayang Golek dihubungkan dengan seutas be-nang, sehingga sang dalang dapat bebas menggerak-gerakannya. Dalam buku Wayang Golek Sunda, karangan Drs. Jajang Suryana, M.Sn, dikatakan:

“Munculnya wayang Golek Purwa di Priyangan secara pasti berkaitan dengan wayang Golek Menak Cirebon yang biasa disebut wayang Golek Papak atau wayang Golek Cepak”. Kaitannya antara kedua jenis wayang itu hanya sebatas ke-

samaan raut golek yang tiga demensi (trimatra), sementara unsur cerita golek yang secara langsung akan menentukan raut tokoh go-lek, sama sekali berbeda. Golek Menak bercerita tentang Wong A-gung Menak, Raja Menak atau Amir Hamsyah yang berunsur cerita Islam. Sedangkan Golek Purwa bercerita tentang kisah yang ber-sumber dari agama Hindu yaitu Mahabharata dan Ramayana. Cerita yang dipentaskan umumnya cerita Ramayana dan Mahabharata, na-mun ada jenis wayang Golek yang mementaskan cerita Panji atau cerita Parsi yang bernuansa Islam.

Daerah Jawa Barat yang pertama kali kedatangan wayang Golek adalah daerah Cirebon. Wayang tersebut kemudian masuk ke daerah Priangan dan mulai digemari masyarakat Sunda. Pementas-an wayang Golek tersebut menggunakan bahasa masyarakat Pa-sundan Jawa Barat. Pada umumnya masyarakat Jawa Barat menye-but wayang itu wayang Golek Sunda atau Golek Purwa, yang dalam pementasanya mengambil cerita-cerita berdasarkan kitab Ramayana dan Mahabharata. Wayang tersebut telah ada sebelum wayang Go-lek Menak diciptakan, yakni pada masa pemerintahan Prabu Amang-kurat I di Mataram (1646 – 1677).

Pada pembukaan seminar pedalangan Jawa Barat I pada tanggal 26-29 Februari 1964 di Bandung, telah diwujudkan dan dicip-takan wayang Golek baru, yang sesuai dengan perkembangan zaman, kemudian atas keputusan para pengurus yayasan pedalang-an Jawa Barat wayang dengan bentuk pemanggungan yang baru tersebut, diberi nama Wayang Pakuan. Dalam pergelaran wayang Golek Pakuan tersebut dipentaskan pula cerita-cerita Babad Pajaja-ran, penyebaran agama Islam di Jawa Barat dan datangnya bangsa asing di Indonesia. Dengan cerita-cerita tersebut di atas maka tokoh-tokoh dalam wayang Golek Pakuan di antaranya seperti Prabu Sili-wangi dari kerajaan Pajajaran serta Jan Pieterzoon Coen atau Mur-jangkung, Gubernur Jendral Hindia Belanda.

Pada awal abad ke-XIX Pangeran Kornel seorang Bupati Sumedang, Jawa Barat, terkenal sebagai pencipta wayang Golek Purwa Sunda yang bersumberkan pada wayang Golek Cepak dari Cirebon. Sejak munculnya wayang Golek Purwa Sunda tersebut, maka kesenian itu menjadi sangat populer dan dapat merebut hati rakyat Jawa Barat umumnya serta orang-orang Sunda di daerah Pri-

Page 46: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

29

angan Khususnya. Di daerah Jawa Tengah terdapat wayang golek dengan berbagai macam jenis dan disesuaikan dengan lakon per-gelarannya. Tetapi pada umumnya wayang golek tersebut berbentuk wayang Golek Menak. Cerita pada umumnya adalah cerita-cerita Menak Wong Agung Jayengrana, yang bersumber pada serat Me-nak. Wayang golek tersebut kemudian terkenal dengan sebutan wa-yang Thengul.

Di Jawa Barat-pun terdapat wayang Golek Menak dengan cerita yang sama, bernafaskan Islam, yaitu kisah Amir Hamzah (pa-man Nabi Muhammad s.a.w.) beserta tokoh-tokoh lainnya seperti ra-ja Jubin, Adam Billis, Tumenggung Pakacangan, Suwangsa, Pringa-di, Panji Kumis, Raden Abas dan Umarmaya. Wayang-wayang terse-but disebut wayang Bendo. Sesudah kerajaan Demak runtuh, kraton pindah ke Pajang dan sebagian wayang-wayang di bawa ke Cirebon karena kerajaan Cirebon mempunyai hubungan yang erat dengan Demak. Maka tidak mengherankan kalau di Cirebon terdapat wa-yang Golek Purwa bercampur dengan wayang Golek Menak, se-hingga dalam pementasannya disebut wayang Cepak.

Wayang Golek Cepak tersebut membawakan lakon Menak dan disamping itu membawakan pula cerita-cerita sejarah perkem-bangan agama Islam di Jawa. Seirama dengan perkembangan serta kemajuan zaman dalam modernisasi wayang, sejak tahun 70-an wa-yang Golek Sunda ini dilengkapi dengan pemakaian keris serta Pra-ba yang terbuat dari kulit berukir (ditatah dan disungging) untuk to-koh-tokoh wayang tertentu, seperti Kresna, Gathotkaca, Baladewa, Rahwana dan lainnya.

Gambar 1.9 Wayang Golek Pakuan

Adegan Jan Pieterszoon Coen dan Prabu Siliwangi

Page 47: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

30

2.3.2.11 Wayang Krucil (1648) Raden Pekik di Surabaya membuat wayang Krucil pada ta-

hun 1648 (1571 Caka, dengan sengkalan: watu tunggangngane buta widadari). Wayang ini dibuat dari kayu pipih (papan) berbentuk se-perti wayang kulit dan diukir seperlunya. Hanya tangan-tangannya terbuat dari kulit. Pertunjukan wayang ini dilakukan pada umumnya di siang hari dan tidak menggunakan kelir. Kemudian untuk seterus-nya wayang Klithik ini digunakan untuk pergelaran cerita Damarwu-lan-Minakjingga, sedang wayang Krucil untuk cerita-cerita dari kitab Mahabharata, yang kemudian wayang tersebut disebut wayang go-lek Purwa. Cerita Damarwulan-Minakjingga adalah melambangkan pertentangan antara Damarwulan sebagai bulan dan Minakjingga se-bagai matahari.

Wayang Klithik juga mengenal ciri-ciri menurut gayanya an-tara lain gaya Yogyakarta, gaya Surakarta, dan gaya Mangkunega-ran. Pada gaya Yogyakarta bentuk wayang tersebut nampak kurang anatomis terutama pada pahatan kakinya, sehingga mengarah pada bentuk primitif.

Sedangkan gaya Surakarta dan gaya Mangkunegaran men-dekati bentuk wayang kulit yang nampak arstistik dan mengarah pa-da sifat kehalusan dan ketenangan. Untuk mengiringi pertunjukan wayang Klithik dipakainya gamelan dengan laras Slendro yang ber-jumlah lima macam, yakni kendang, saron, kethuk-kenong, kempul barang dan gong suwuk-an. Irama gamelan pada umumnya sangat monotoon seperti irama kuda lumping (jathilan).

Pada setiap adegan jejeran ki dalang mengiringinya dengan tembang macapat seperti Dandang Gula, Sinom, Pangkur, Asma-radana dan lain sebagainya. Tembang-tembang tersebut berperan sebagai suluk dalam pertunjukan wayang kulit.

Pada masa lalu pertunjukan wayang Klithik merupakan per-tunjukan ritual sakral tak ubahnya seperti pertunjukan wayang kulit Purwa. Namun karena kondisi dan vareasi pertunjukannya yang se-cara teknis terlalu statis serta dalang yang berpegang teguh pada a-turan baku dan sangat terikat pada lakon tertentu, tanpa mau me-ngembangkannya, sehingga pertunjukan tersebut tidak mampu me-menuhi selera zaman dan banyak penonton yang meninggalkannya.

Selain itu ceritanyapun berkisar pada babad Majapahit tan-pa timbulnya cerita-cerita carangan atau gubahan baru. Pengaruh modernisasi dan waktu memang membuat banyak upacara-upacara ritual yang sakral serta seni budaya tradisional makin lama makin le-nyap karena telah kehilangan pamornya.

Page 48: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

31

Gambar 1.10 Wayang Golek Cirebon atau Wayang Cepak 2.3.2.12 Wayang Sabrangan (1704)

Paku Buwono I (1704 – 1719) membuat wayang Sabrangan atau tokoh dari daerah seberang dengan pemakaian baju pada ta-hun 1703 (1625 Caka, dengan sengkalan: buta nembah ratu tung-gal). Wayang tersebut merupakan salah satu jenis dari wayang pur-wa di samping jenis wayang raksasa (raseksa) dan kera (kethek). 2.3.2.13 Wayang Rama (1788)

Paku Buwono IV (1788 – 1820) membuat wayang Rama yang khusus diciptakan untuk mempergelarkan cerita-cerita dari ki-tab Ramayana. Dalam wayang tersebut terdapat banyak wayang-wayang kera dan raksasa, yang dibuat pada tahun1815 (1737 Caka, dengan sengkalan: swareng pawaka giri raja).

Page 49: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

32

2.3.2.14 Wayang Kaper Wayang kaper adalah wayang yang ukurannya lebih kecil di

banding wayang Kidang Kencana. Wayang ini pada umumya diguna-kan untuk permainan anak-anak yang mempunyai bakat mendalang. Yang membuat wayang kaper tersebut umumnya orang kaya atau kaum bangsawan untuk menghibur diri dan untuk permainan anak cucu mereka. Wayang tersebut disebut kaper karena kecil bentuk-nya, kalau dimainkan sabetan tidak begitu lincah dan hanya nampak menggelepar-gelepar saja. Bilamana kena cahaya lampu, geleparan-geleparan itu bagaikan kupu-kupu kecil yang terbang dekat lampu di malam hari.

Pementasan wayang kaper tersebut menggunakan kelir dan blencong yang biasa dilakukan dalang anak anak (bocah) de-ngan mengambil cerita dari epos Ramayana dan Mahabharata. Se-perti halnya wayang kulit Purwa lainnya, wayang Kaper tersebut di-buat dari kulit yang ditatah dan disungging pula. 2.3.2.15 Wayang Tasripin

Tasripin almarhum seorang saudagar kaya yaitu pedagang kulit di Semarang, Jawa Tengah. Tasripin membuat wayang kulit ga-ya Yogyakarta dicampur gaya Pesisiran dengan ukuran luar biasa besarnya. Dibuat wayang tokoh Arjuna sebesar tokoh Kumbakarna, wayang terbesar dan tertinggi dari wayang pedalangan, sedangkan wayang-wayang lainnyapun ikut membesar dan sebanding dengan wayang Arjuna tadi.

Wayang-wayang sebesar itu tidak mungkin untuk dipentas-kan karena terlalu besar dan berat serta tidak ada seorang dalang-pun yang mampu memainkannya. Wayang-wayang tersebut dilapisi kertas emas (diprada), ditatah serta disungging, dan hanya untuk pa-meran belaka yang kemudian disebut wayang Tasripin. 2.3.2.16 Wayang Kulit Betawi atau Wayang Tambun.

Wayang Kulit Betawi ini merupakan satu-satunya teater bo-neka di kalangan masyarakat Betawi. Grup wayang kulit ini masih terdapat di wilayah Jakarta Timur, Jakarta Selatan, Jakarta Barat, Tangerang, Bogor, dan Bekasi. Wilayah Bekasi terutama Kecamatan Tambun merupakan wilayah yang paling potensial bagi wayang kulit Betawi tersebut, baik dalam arti kuantitas maupun kualitas, sehingga dapat dimaklumi kalau ada beberapa orang yang menamakan teater ini dengan nama wayang Tambun.

Para ahli pedalangan berpendapat, bahwa wayang kulit Be-tawi berasal dari Jawa Tengah, yang kedatangannya di Jakarta dan sekitarnya dihubungkan dengan penyerangan Sultan Agung ke Bata-via (Batavia = Jakarta) pada zaman Gubernur Jendral Jan Pieter-zoon Coen (1628 – 1629). Bila dibandingkan dengan bentuk-bentuk wayang kulit di sepanjang pantai utara Jawa Barat mulai dari Cire-

Page 50: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

33

bon, Indramayu, Pamanukan, Cilamaya, Karawang sampai Tambun dan Jakarta, nampak pada wayang kulit tersebut adanya persamaan yang cukup mencolok, sehingga pendapat yang mengatakan, bahwa wayang kulit Betawi merupakan suatu pengaruh yang beranting dari Jawa Tengah.

Adanya persamaan temperamen antara wayang kulit Beta-wi dengan wayang kulit Banyumas, ini dapat terlihat dengan adanya persamaan pada alat musik pengiring yang berupa gambang. Pada wayang kulit Betawi di masa lampau, alat musik gambang tersebut di buat dari bambu seperti gamelan Calung pada wayang kulit Banyu-mas.

Wayang kulit Betawi ini banyak mendapat pengaruh dari wayang Golek Sunda, baik dalam lagu, sabetan, dan lakonnya. Da-lam hal lagu walaupun iramanya sepintas lalu Sunda, pada hakekat-nya lagu-lagu ini adalah perpaduan antara Sunda dan Betawi, yang sejak semula sudah ada pada musik Gamelan Ajeng Betawi. Kaidah adalah apa yang mereka pelajari dari guru-guru mereka. Benar atau tidaknya ajaran tersebut, bilamana ditinjau dari kaidah dan yang ada di Jawa Tengah, tidaklah menjadi halangan bagi mereka.

Wayang kulit Betawi pada hakekatnya benar-benar meru-pakan suatu seni rakyat yang unsur improvisasi dan spontannitasnya mengambil bagian yang terbanyak dari suatu pertunjukan. Keterli-batan penabuh gamelan terlihat sangat kental dan bahkan para pe-nonton juga terlibat dalam pertunjukannya, hal tersebut terjadi seca-ra spontan dan wayang kulit Betawi memang benar-benar menam-pilkan sesuatu yang spesifik dalam seni rakyat dimana pemain dan penonton melebur menjadi suatu totalitas yang akrab.

Cerita yang ada pada wayang kulit Betawi hanya mengan-dalkan apa yang mereka sebut Kanda Keling dan Kanda Mataram. Kanda Keling adalah apa yang diterima dari guru mereka, sehingga dua orang dalang yang berguru pada dua orang guru yang berlainan, bisa memainkan lakon yang berbeda pula. Sedangkan Kanda Mata-ram adalah lakon yang dikarang atau diciptakan ki dalang sendiri de-ngan memasukan hal-hal baru di dalamnya, dan dalang menutup pertunjukannya dengan lagu Wayangan Giro.

Dari segi sastra, wayang Tambun sudah sejak dulu mema-kai bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantarnya, yaitu bahasa Indonesia Kuna (Melayu) yang lazim dipakai masyarakat Tambun dengan corak iringan gamelan yang bernada ke-Sundaan. Bagi ma-syarakat Betawi, wayang Tambun ini disebut Wayang Kulit Tambun.

Page 51: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

34

Gambar 1.11 Wayang Kulit Betawi atau Wayang Tambun 2.3.2.17 Wayang Ukur

Tergugah oleh jiwa seninya pada masa kuliah di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) di Yogyakarta, Sukasman merasa he-ran mengapa dalam Akademi tersebut, seni rupa wayang yang telah merupakan suatu masterpiece yang adiluhung itu tidak dimasukan kurikulum. Setelah memperhatikan bentuk-bentuk wayang dari za-man ke zaman yang telah diciptakan sejalan dengan pengungkapan jiwa manusia, maka terlihatlah bahwa wayang-wayang itu mendapat-kan perubahan-perubahannya, baik dalam bentuk tinggi besarnya maupun dalam ornamen-ornamennya, contoh, seperti yang terlihat pada tokoh Kresna. Pada gaya Surakarta tokoh tersebut dilengkapi dengan garuda mungkur pada irah-irahannya, sedang gaya Yogya-karta memakai merak mungkur. Demikian pula nampak jelas bila kita perhatikan ornamen-ornamen wayang kulit gaya pesisiran, antara la-in wayang kulit Cirebon dan wayang kulit Pekalongan.

Terkesan oleh perubahan-perubahan bentuk serta orna-men-ornamen pada wayang, yang jelas nampak pada gaya Surakar-ta, Yogyakarta dan Cirebon serta Kedu, maka pada tahun 1964 Su-kasman telah menciptakan jenis wayang baru yang dinamakan wa-yang Ukur, yang proses pembuatannya selalu diukur-ukur bentuk tinggi dan panjang pundak wayang-wayang ciptaannya itu. Berkali-kali ia mengadakan perubahan-perubahan pada beberapa bagian bentuk wayangnya sampai ia merasa puas akan hasil ciptaanya yang cocok dengan rasa dan jiwa seninya. Dalam mengadakan pe-rubahan perubahan tersebut ia membuat ukuran sendiri, sehingga berdasarkan teknik pembuatannya itu, maka wayang ciptaannya itu dinamakan wayang Ukur.

Sunggingan serta tatahan wayang tersebut nampak lain da-ri wayang purwa biasa dan ini memang merupakan ciri khas dari wa-

Page 52: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

35

yang Ukur ciptaan Sukasman. Dalam pertunjukannya, wayang Ukur menggunakan kelir sebagai tempat memainkan wayang (jagadan wayang). Gambar 1.12 Batara Guru (Wayang Ukur) 2.3.2.18 Wayang Mainan (Dolanan)

Wayang sebagai karya seni mencakup seni rupa, seni ke-trampilan, dan seni khayal. Harus diakui pula wayang yang konon la-hir di India dan kini hidup serta berkembang di Jawa itu, sekarang te-lah menjadi milik bangsa Indonesia sebagai suatu karya seni tradisi-onal Indonesia.

Anak-anak di desa sering dalam menggembalakan ternak meluangkan waktu untuk membuat boneka-boneka wayang dari tangkai-tangkai rumput atau tangkai daun singkong. Dianyamnya be-berapa genggam batang rumput atau daun singkong tersebut hingga berbentuk wayang dan dimainkannya dengan berkhayal sebagai se-orang dalang wayang yang pernah dilihatnya. Wayang-wayang ter-sebut biasa dinamakan wayang Suketan (rumput) atau wayang Domdoman (nama jenis rumput), karena rumput yang biasa mereka gunakan untuk membuat wayang tersebut adalah jenis rumput dom-doman. Selain dari bahan rumput atau daun singkong, dapat pula mereka membuatnya dari daun kelapa (blarak), tapi hasil karya wa-yang-wayang tersebut tidak dapat bertahan lama. Jika diinginkan ha-sil karya yang dapat bertahan agak lama, biasanya mereka membuat wayang Bambu. Wayang jenis ini dapat dijumpai di daerah Wonosa-ri, Yogyakarta, yang dibuat dari irisan-irisan bambu yang dianyam, sehingga berbentuk boneka wayang. Akan tetapi, kini telah banyak diperdagangkan yaitu wayang yang terbuat dari kardus untuk mainan

Page 53: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

36

anak-anak. Wayang kardus ini bahan dasarnya adalah kardus atau karton bekas pembungkus yang di beri warna ala kadarnya dan dita-tah sangat sederhana. Maka jelas bahwa wayang-wayang tersebut tidak dapat tahan lama dan mudah rusak.

Di Yogyakarta hingga tahun 1984 masih dapat dijumpai wa-yang-wayang kardus hasil pengrajin wayang. Wayang-wayang terse-but sering dipakai oleh siswa-siswa dalang atau untuk penguburan tokoh. Wayang yang perlu dikubur atau dihanyutkan di laut (dilabuh) setelah gugur dalam pementasan, antara lain: Kumbakarna, Durna, dan lain-lainnya. Untuk penguburan ataupun labuhan wayang-waya-ng tersebut diperlukan upacara tersendiri.

Wayang sebagai mainan anak-anak pernah pula dijumpai di Yogyakarta tempo dulu, bahkan sampai ke kota Batavia atau Betawi (Betawi = Jakarta) yang terbuat dari singkong, wayang tersebut dinamakan wayang Telo (singkong) di Yogyakarta, wayang Opak (Jakarta) yang terbuat dari parutan telo (ampas singkong) dan di-bentuk seperti boneka wayang dan diberi gapit (tangkai wayang) dari bambu. 2.3.2.19 Wayang Batu atau Wayang Candi (856)

Dari uraian di atas, maka terdapatlah suatu dasar dalam pemberian nama jenis wayang yang antara lain karena ceritanya, se-hingga wayang tersebut dinamakan wayang Purwa, wayang Menak, ataupun wayang Madya. Bila dilihat dari segi pertunjukannya atau pementasannya dengan membeberkan wayang-wayang tersebut maka wayang itu dapat dinamakan wayang Beber. Sedangkan kalau dilihat dari segi bonekanya, maka wayang itu dapat dibagi menjadi wayang Golek, wayang Kulit, wayang Wong (orang) dan sebagainya.

Dengan adanya cerita-cerita wayang yang tergambar seca-ra permanen pada dinding candi sebagai hiasan, maka dikenal orang sebagai wayang Batu atau wayang Candi, yang antara lain terdapat pada candi atau tempat-tempat pemujaan sebagai berikut Candi Prambanan ( + tahun 856), 17 km dari Yogyakarta di tepi jalan raya Yogyakarta – Surakarta, memuat cerita tentang Kresna, Candi Lara Jonggrang ( + tahun 856) dalam kompleks Candi Prambanan, me-muat cerita Ramayana, Pemandian Jalatunda, Malang, Jawa Timur ( + 977), memuat cerita Sayembara Drupadi, Gua Selamangkleng di Kediri, Jawa Timur abad ke-X memuat cerita Arjuna Wiwaha, Candi Jago di Tumpang, Malang, Jawa Timur ( + tahun 1343), memuat ce-rita Tantri, Kunjarakarna, Partayadna, Arjuna Wiwaha dan Kresnaya-na, Gua Pasir di Tulungagung, Jawa Timur, ( + 1350), memuat cerita Arjuna Wiwaha, Candi Penataran di Blitar ( + 1197 – 1454), memuat cerita Sawitri dengan Setiawan yang disertai panakawan gendut, dan cerita Ramayana, Candi Tegawang di Kediri ( + 1370), memuat ceri-ta Sudamala, dengan Sadewa yang diiringi panakawan bertubuh gendut dan Durga diikuti oleh dua orang raseksi, Kedaton Gunung

Page 54: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

37

Hyang ( + 1370), memuat cerita abad ke-XV, yakni cerita tentang Rama, Bimasuci, Mintaraga, dan cerita Panji, Candi Sukuh dekat Ta-wangmangu ( + tahun 1440) 36 km dari Surakarta ke arah timur, me-muat cerita Sudamala, Gameda, dan Bimasuci. Gambar 1.13 Wayang Candi 2.3.2.20 Wayang Sandosa

Sejak tahun 1984 Pusat Kesenian Jawa Tengah (PKJT) yang berkedudukan di Sala-Surakarta telah melakukan eksperimen baru dengan pergelaran wayang berbahasa Indonesia. Pentas wa-yang kulit tersebut dengan sistem pementasan yang menggunakan dua orang dalang atau lebih.

Diilhami oleh pementasan wayang kulit Len Nang dari Kam-boja, wayang eksperimen PKJT yang disebut wayang Sandosa ter-sebut, merupakan pergelaran yang tidak jauh berbeda dengan per-gelaran wayang kulit biasa. Perbedaannya ialah, bahwa wayang Sandosa menggunakan beberapa orang dalang dan teknik menda-langnya dilakukan dengan cara berdiri, juga latar pakeliran wayang Sandosa dibuat lebih besar dan lebih tinggi dari pada pakeliran wa-yang kulit biasa.

Dalam pementasan wayang Sandosa yang diselenggara-kan selama satu atau dua jam itu, tidak selalu dimulai dengan suluk ki dalang. Bunyi gamelan tidak lagi selaras pada pagelaran wayang kulit umumnya, tapi telah merupakan nada dan irama yang beraneka ragam. Hal tersebut karena cerita yang dipergelarkan dapat dimulai dari suasana perang dan diiringi gending yang berirama gobyog tem-porer. Walaupun dari segi iringan telah keluar dari aturan-aturam gending tradisional dan atau wayang pada umumnya, justru mem-punyai daya komunikasi yang lebih kuat pada kalangan muda.

Page 55: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

38

Peragaan wayang dilakukan sambil berdiri di balik layar yang luas dengan sorot cahaya lampu yang berubah-ubah serta ber-warna-warni. Untuk memperoleh bayangan yang besar maka ki da-lang menggerakkan wayang dengan mendekat ke lampu.

Bagaimanapun juga, ternyata wayang Sandosa yang bersi-fat kolektivitas dengan bentuk mirip teater di balik layar itu, telah me-nambah khasanah budaya bangsa kita. 2.3.2.22 Wayang Wong (Wayang Orang) (1757 – 1760)

Salah satu pengisian Kebudayaan Nasional pada pergela-ran wayang serta untuk meresapi seni dialog wayang (antawacana) dan menikmati seni tembang, K.B.A.A. Mangkunegoro I (1757 – 1795) telah menciptakan suatu seni drama Wayang Wong yang pe-laku-pelakunya terdiri dari para pegawai kraton (Abdi Dalem). Menu-rut K.P.A. Kusumodilogo dalam bukunya yang berjudul Sastramiruda tahun 1930 menyatakan, wayang wong tersebut dipertunjukan untuk pertama kalinya pada pertengahan abad ke-XVIII ( + 1760). Konon wayang ini mendapat tantangan yang hebat, bahkan dengan adanya perubahan bentuk tersebut diramalkan orang kelak akan timbul ke-sulitan atau celaka dan penyakit, demikian menurut disertasi Dr. G-.A.J. Hazeu di Leiden pada tahun 1897 dengan judulnya Bijdrage tot het Kennis van het Javaansche Tooneel. Ternyata pendapat tersebut adalah tidak benar, karena setelah pergelaran wayang wong ini di tangani sendiri oleh Mangkunegoro V pada tahun 1881, wayang ter-sebut menjadi hidup kembali.

Sesuai dengan nama atau sebutannya, wayang tersebut ti-dak lagi dipergelarkan dengan memainkan boneka-boneka wayang, melainkan menampilkan menusia-manusia sebagai pengganti bone-ka wayang. Kini nampak jelas, bahwa jenis-jenis wayang seperti wa-yang Purwa, wayang Gedog, mendapatkan namanya dari sifat cerita yang ditampilkan, sedangkan wayang Golek, wayang Wong berda-sarkan ciri-ciri teknis ataupun bentuk pada boneka-bonekanya.

Sebagai seni hiburan, wayang Wong telah tersebar luas dan dibeberapa kota besar telah berdiri perkumpulan-perkumpulan wayang orang dengan berbagai macam nama serta mutunya. Na-mun umumnya perkumpulan-perkumpulan atau organisasi-organisa-si wayang tersebut merupakan wayang orang Purwa, karena pemen-tasannya menggunakan cerita epos Ramayana dan Mahabharata serta dengan iringan gamelan Jawa laras Slendro dan Pelog. 2.3.3 Wayang Madya

Wayang ini dicipta pada waktu Pangeran Mangkunegoro IV (1853 – 1881) berusaha menggabungkan semua jenis wayang yang ada menjadi satu kesatuan serta disesuaikan dengan sejarah Jawa sejak beberapa abad yang lalu sampai masuknya agama Islam di Jawa dan diolah secara urut. Semula Sri Mangkunegoro IV meneri-

Page 56: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

39

ma buku Serat Pustaka Raja Madya dan Serat Witaradya dari Raden Ngabehi Ronggo Warsito (1802 – 24 Desember 1873) pada tahun 1870 (1792 Caka).

Buku tersebut berisikan cerita riwayat Prabu Aji Pamasa atau Prabu Kusumawicitra dari negeri Mamenang di Kediri, yang ke-mudian kerajaan tersebut pindah ke Pengging atau disebut Pengging Witaradya. Kesimpulan dari isi buku tersebut berkaitan dengan buku Serat Pustaka Raja Purwa, yang menceritakan riwayat dewa-dewa, riwayat para Pandawa sampai akhir perang Bharatayuda. Lalu tim-bullah gagasan Sri Mangkunegoro IV untuk membuat jenis wayang baru, yang dapat menyambung zaman Purwa dengan zaman Jeng-gala dengan cerita-cerita Panji.

Dari gagasan tersebut maka terciptalah jenis wayang baru yang disebut wayang Madya. Wayang Madya adalah satu jenis wa-yang yang menggambarkan dari badan-tengah ke atas berwujud wa-yang Purwa, sedang dari badan-tengah ke bawah berwujud wayang Gedog. Wayang Madya tersebut memakai keris dan dibuat dari kulit, ditatah dan disungging.

Gusti Pangeran Aryo Adipati Mangkunegoro IV membagi sejarah wayang dalam tiga masa yang disesuaikan dengan jenis-je-nis wayang untuk ketiga masa tersebut, yaitu masa pertama dari ta-hun 1 – 785 Caka (tahun 78 – 863 Masehi), dari kedatangan Prabu Isaka (Ajisaka) sampai wafatnya Maharaja Yudayana di kerajaan As-tina, yang disebut wayang Purwa, masa kedua dari tahun 785 – 1052 Caka (tahun 863 – 1130 Masehi), sampai Prabu Jayalengkara naik tahta, yang disebut wayang Madya (bahasa Sanskerta: madya = tengah), masa ketiga dari tahun 1052 – 1552 Caka (tahun 1130 – 1431 Masehi), sampai masuknya agama Islam, yang disebut wayang Wasana (bahasa Sanskerta: wasana = akhir)

Page 57: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

40

Gambar 1. 14 Yudayaka (Wayang Madya)

Tokoh-tokoh wayang yang mendominasi akhir wayang pur-wa adalah putra-putra keturunan Pandawa antara lain Sasikirana anak Gathotkaca, Sangasanga anak Satyaki, Dwara anak Samba, serta anak-anak keturunan Parikesit, yaitu Yuda-yaka, Yudayana, dan Gendrayana. Gendrayana adalah cucu Perikesit yang merupa-kan tokoh terakhir dari wayang Purwa dan kemudian dilanjutkan oleh Prabu Jayabaya putra Gendrayana, sebagai tokoh Pemula dari wa-yang Madya.

Salah satu cerita wayang Madya bersumber pada Serat Anglingdarma yang aslinya terdapat di Sasana Pustaka Kraton Sura-karta dengan tokoh-tokoh wayang seperti Angklingdarma dari keraja-an Malwapati serta Batik Madrim sabagai patihnya. Ciri khas wayang Madya adalah suatu kombinasi perwujudan wayang Purwa dengan wayang Gedog yang tidak satupun tokoh wayangnya menggunakan busana gelung cupit urang, sedang semua wayang Madya menggu-nakan rambut yang terurai ke bawah seperti pada tokoh wayang

Page 58: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

41

Purwa Lesmana Mandrakumara yaitu putra Prabu Duryudana dari negara Astina kelurga Kurawa. 2.3.4 Wayang Gedog

Arti istilah Gedog adalah, bahwa gedog tersebut berasal dari suara dog, dog yang ditimbulkan dari ketukan sang dalang pada kotak wayang yang terletak di samping dalang. Akan tetapi oleh sar-jana-sarjana barat kata gedog ditafsirkan sebagai kandang kuda (ba-hasa Jawa: gedogan = kandang kuda). Dalam bahasa kawi gedog berarti kuda. Penafsiran lain kata gedog tersebut adalah batas an-tara siklus wayang Purwa yang mengambil cerita serial Ramayana dan Mahabharata dengan siklus Panji. Namun demikian sampai se-karang belum juga dapat ditafsirkan, mengapa kata gedog tersebut dipakai untuk suatu jenis wayang.

Bentuk seni rupa wayang Gedog yang terbuat dari kulit yang ditatah dengan sunggingan yang serasi mengambil pola dasar wayang kulit Purwa jenis satriya sabrangan. Hanya empat jenis mu-ka yang terdapat pada wayang Gedog ini antara lain muka dengan mulut meringis bertaring (gusen), muka dengan mata kedondong muka dengan mata jahitan, dan muka dengan hidung besar di bagi-an depan (dempok). Dalam pementasan wayang Gedog ini tidak me-nggunakan cerita Ramayana dan Mahabharata, tetapi menggunakan cerita-cerita Panji.

Wayang Gedog tersebut terbuat dari kulit yang ditatah dan disungging, terdapat pula yang terbuat dari papan yang diukir dan di-sungging, tetapi tangan-tangannya masih terbuat dari kulit. Untuk pe-mentasan wayang ini diambil cerita Darmarwulan – Minakjingga, dan wayang tersebut kemudian dinamakan wayang Klithik. Gambar 1. 15 Wayang Gedog (Prabu Bromosekti, Raden Gunungsari, Ronggolawe, Prabu Klono Madukusumo)

Page 59: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

42

2.3.4.1 Wayang Klithik Wayang Klithik mempunyai bentuk dan bahan khusus. Ben-

tuknya menyerupai wayang kulit, yakni terdiri dari dua dimensi, de-ngan bahan yang terbuat dari kayu meskipun tidak sama dengan wa-yang Golek yang bentuknya tiga dimensi. Wayang Klithik tidak me-makai gapit seperti wayang kulit sebab gapit-nya sekaligus meru-pakan lanjutan dari badan wayang yang terbuat dari kayu itu, dan berbentuk kayu pipih.

Menurut sejarahnya wayang Klithik terbuat seluruhnya dari kayu, namun karena berat selalu mendapat kesukaran untuk dimain-kan, akhirnya wayang tersebut mengalami sedikit perubahan, yakni dengan dibuatnya tangan wayang dari kulit. Seperti halnya dengan pembuatan pada wayang Golek, wayang Klithik tersebut juga diukir dan disungging.

Pergelaran wayang Klithik tidak menggunakan layar atau kelir, sehingga penonton dapat langsung melihat wajah sang dalang, tetapi pernah pula menggunakan kelir yang dibagian tengah terpak-sa dilubangi selebar arena pergelaran. Sebagai tempat menancap-kan wayang-wayang tersebut, maka dalam pergelaran wayang Kli-thik dipakainya kayu atau bambu tempat untuk menancapkan wa-yang (slanggan), yang diberi lubang sebesar tangkai wayang terse-but. Gamelan yang perlu disediakan untuk pergelaran wayang Klithik lebih sederhana, yaitu saron, kendang, kethuk-kenong, dan kempul barang tanpa menggunakan gong, karena kempul berfungsi sebagai gong. Untuk lampu penerang digunakannya blencong dengan mi-nyak kelapa sebagai bahan bakarnya, namun dewasa ini sudah se-ring digunakan lampu petromak atau lampu listrik.

Wayang Klithik menggunakan Babad Pajajaran dari kisah Ciungwanara sampai Majapahit. Keseluruhannya ada dua belas la-kon dan lakon yang paling populer adalah lakon Damarwulan Nge-nger sampai gugurnya Minakjingga. Motif dan bentuk wayang Klithik serupa dengan bentuk wayang kulit Gedog, sedangkan yang ber-motif wayang kulit purwa lazim disebut wayang Krucil, yang dalam pergelarannya mengambil cerita Ramayana dan Mahabharata.

Page 60: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

43

Gambar 1.16 Wayang Klitik (Adegan Raden Damarwulan beserta abdi panakawan Sabdapalon dan Nayagenggong) 2.3.4.2 Langendriyan

Pada akhir abad ke-XIX pada saat pergelaran wayang Kli-thik atau Krucil mendekati kepunahannya, maka muncullah kesenian Langendriyan. Pementasan Langendriyan bermula pada pengadaan acara mocopatan, yaitu membaca buku babad yang berbentuk tem-bang. Pembacaan tembang tersebut dilakukan seorang demi seo-rang secara bergilir yang ketika itu kisah Damarwulan merupakan ki-sah yang sangat digemari.

Langendriyan melibatkan unsur tata pentas, tata gerak (tari-an), dan tata busana, seni suara (nyanyian). Bentuk kesenian ter-sebut semula bernama Mundringan, setelah disempurnakan oleh K.G.P.A. Mangkubumi pada tahun 1876 disebut Langendriyan.

Menurut Ensiklopedi Indonesia, Langendriyan adalah suatu bentuk drama tari Jawa yang menitik beratkan pada unsur tari dan seni suara. Dialog dalam drama tari tersebut dilakukan dengan tem-bang, sehingga pentas tersebut boleh dikatakan semacam opera berbahasa Jawa, dengan cerita yang khusus mengenai Panji (Da-marwulan-Minakjingga) dari zaman Majapahit.

Hingga dewasa ini, orang tidak dapat menyatakan dari ma-na Langendriyan itu berasal. Ada yang berpendapat bahwa kesenian tersebut semula berasal dari Mangkunegaran-Surakarta, yang di-ciptakan oleh K.G.P.A.A. Mangkunegoro IV (1853 – 1881). Ada pula yang menyatakan bahwa Langendriyan tersebut berasal dari Maku-bumen-Yogyakarta, yang diciptakan oleh K.G.P.A. Mangkubumi, adik Sultan Hamengku Bhuwono VII (1877 – 1921). Berkat usaha K.G.P.A.A. Mangkunegoro VII, maka naskah-naskah Langendriyan

Page 61: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

44

Mangkubumen berhasil diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun 1953. 2.3.5 Wayang Menak

Kyai Trunodipo dari kampung Baturetno-Surakarta mencip-ta wayang Menak, setelah ia menjual wayang Madya hasil karyanya kepada Mangkunegoro VII. Wayang Menak ini terbuat dari kulit yang ditatah dan disungging seperti halnya dengan wayang kulit Purwa, sedang wayang Menak yang terbuat dari kayu dan merupakan waya-ng Golek disebut wayang Thengul.

Maksud Kyai Trunodipo membuat wayang Menak adalah untuk mementaskan cerita-cerita yang bersumber pada serat Menak dengan tokoh-tokoh Menak seperti Wong Agung Jayengrana atau Amir Hambiyah, Umar Maya dan lain-lainnya. Wayang-wayang ini kemudian dibeli oleh R.M. Ng. Dutoprojo.

Dalam pementasan wayang Menak kita jumpai dua macam bentuk wayangnya antara lain yang berupa wayang golek dan wa-yang kulit. Pementasan wayang Menak di Jawa Tengah pada umum-nya menggunakan wayang golek Menak yang disebut wayang Thengul. Pementasan wayang kulit Menak ini menggunakan kelir dan blencong. Sedangkan pakelirannya mengambil cerita berdasar-kan serat Menak. Bentuk keseluruhan wayang kulit Menak dapat di-katakan serupa dengan wayang kulit Purwa, hanya raut muka wa-yang-wayangnya hampir menyerupai muka manusia. Tokoh-tokoh wayang dalam cerita tersebut mengenakan sepatu dan menyandang salah satu jenis senjata berbentuk pedang (klewang), sedangkan to-koh-tokoh raja mengenakan baju dan memakai senjata keris.

Cerita Menak semula bersumber dari kitab Qissai Emr Hamza, sebuah hasil kesusasteraan Persia pada zaman pemerintah-an Sultan Harun Al Rasyid (766 – 809). Di daerah Melayu kitab ter-sebut lebih dikenal dengan nama Hikayat Amir Hamzah. Berda-sarkan hikayat itulah yang dipadu dengan cerita Panji, akhirnya lahir cerita Menak. Dalam cerita ini nama-nama tokohnya disesuaikan de-ngan nama Jawa, antara lain Omar Bin Omayya menjadi Umar Ma-ya, Qobat Shehriar menjadi Kobat Sarehas, Badi’ul Zaman menjadi Iman Suwongso, Mihrnigar menjadi Dewi Retno Muninggar, Qoraishi menjadi Dewi Kuraisin, Unekir menjadi Dewi Adininggar, dan lain-la-innya. Cerita Menak pada garis besarnya, mengisahkan permusuhan Emr Hamza (Wong Agung Jayengrana) dari Mekah dengan raja Nu-shirwan (Nusirwan), mertuanya dari Medain (Medayin) yang masih kafir.

Kadis Makdum purwaking ginupit, ring sang duta kataman duhkita,.........demikian sebagain pembuka pada serat Menak, terbi-tan Balai Pustaka. Menurut sumber cerita dari Persia yang mengi-sahkan Wong Agung tidak hanya kembali ke Mekah, namun telah

Page 62: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

45

bertemu dengan Nabi serta terjadinya pertempuran hingga me-ninggalnya Wong Agung tersebut.

Memang banyak perbedaan-perbedaan yang terdapat pada serat Menak antara pengarang yang satu dengan yang lainnya, anta-ra serat Menak karya tulis R.Ng. Yosodipuro dengan berpuluh-puluh naskah yang tersimpan dalam perpustakaan Bataviaasche Genoo-tschap di Jakarta dulu, bila dibandingkan dengan naskah yang di-datangkan dari Leiden-Belanda, yang berasal dari kraton Surakarta. Cerita-cerita Menak banyak dipergelarkan dalam bentuk pentas wa-yang Golek yaitu wayang golek Menak Jawa atau wayang golek Sunda, yang masing-masing berbeda bentuk ukirannya atau-pun wa-yang kulit Menak dengan boneka-boneka wayang yang khusus untuk pentas tersebut dan jarang sekali dalam bentuk pentas wayang orang. Salah satu di antara pentas untuk Menak tersebut, ialah wa-yang kulit dari daerah Lombok yang lazim disebut wayang Sasak. Gambar 1.17 Wayang Kulit Menak (Prabu Lamdahur, Prabu Nusirwan, Dewi Muninggar, Wong Agung Jayengrono dan Umar Moyo)

Page 63: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

46

Gambar 1.18 Umarmoyo (Wayang Golek Menak dari Kebumen) Gambar 1.19 Wayang Sasak

Page 64: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

47

Gambar 1.19 Arjuna (Wayang Bali) Gambar 1.20 Sugriwa (Wayang Bali)

Page 65: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

48

2.3.6 Wayang Babad Salain wayang Purwa, Madya, dan Gedog, para seniman

Indonesia umumnya dan seniman Jawa khususnya telah mencip-takan berbagai wayang baru yang pementasannya bersumber pada cerita-cerita sejarah (babad) setelah masuknya agama Islam di Indo-nesia antara lain kisah-kisah kepahlawanan dalam masa kerajaan Demak dan Pajang. Wayang-wayang tersebut disebut wayang Ba-bad atau wayang Sejarah. Jenis wayang tersebut antara lain: 2.3.6.1 Wayang Kuluk (1830)

Sultan Hamengku Bhuwono V (1822 – 1855) dari Yogya-karta, ( + tahun 1830) menciptakan wayang yang dalam pergelaran-nya khusus mengambil cerita-cerita sejarah kraton Yogyakarta (Ma-taram). Wayang-wayang ini kemudian disebut wayang Kuluk. 2.3.6.2 Wayang Dupara

Wayang ini dicipta oleh R.M. Danuatmojo, seorang pendu-duk kota Sala dan tidak diketahui dengan pasti kapan wayang terse-but dibuat. Disebut wayang Dupara, karena asal dari kata Andupara yang artinya aneh dan dipergunakan untuk cerita-cerita babad De-mak, Pajang, Mataram hingga Kartasura. Wayang Dupara tersebut dibuat dari kulit yang ditatah dan disungging, seperti halnya wayang kulit Purwa. Induk wayang Dupara ini adalah campuran, diubah pa-kaiannya dengan ditambah atau dikurangi, disesuaikan dengan sele-ra pendapat penciptanya. Wayang-wayang tersebut kini disimpan di Musium Radya Pustaka di Surakarta. Gambar 1.21 Harya Panangsang (Wayang Dupara)

Page 66: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

49

2.3.6.3 Wayang Jawa (1940) Pencipta wayang tersebut adalah R.M. Ng. Dutodipuro, Ab-

di Dalem Mantri Panewu Gandek di kraton Surakarta, yang juga se-orang guru dalang di Pasinaon Dalang Surakarta (Padasuka) berada di Musium Radya Pustaka-Surakarta. Wayang-wayang tersebut di-buat pada tahun 1940 dan keseluruhannya memakai baju lurik.

Semua wayang raja-raja (katongan) berbaju kuning lorek hi-jau dan merah. Wayang satria (putran) berbaju hijau muda lorek hi-jau tua dan satria sedang mengembara (lelana) berbaju lengan pen-dek warna biru muda berlorek biru tua diselingi warna merah.

Pementasan wayang Jawa tersebut bermaksud mengisah-kan babad Tanah Jawa, ialah sejarah Demak, Pajang, Mataram sampai Kartasura. Wayang Jawa tersebut tidak ada wayang berna-ma khusus dan pakaian wayang tergantung selera sang dalang. Wa-yang-wayang tersebut dibuat dari kulit yang ditatah serta disungging dan pementasanya dapat memakai atau tanpa kelir. Sebagai game-lan pengiring wayang ini dipakai gamelan Pelog dan gending-gen-ding (lagu-lagu) diciptakan khusus yang pada umumnya merupakan gending ciptaan baru, tahun 1973. Gambar 1.22 Wayang Jawa (Jaka Tingkir)

Page 67: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

50

2.3.7 Wayang Moderen Kebutuhan masyarakat akan sarana komunikasi sosial da-

lam media pewayangan kian meningkat. Wayang-wayang purwa, Madya, dan wayang Gedog hasil karya pujangga-pujangga kuna su-dah tak sesuai lagi untuk keperluan yang khusus. Kemudian dicipta-kan wayang baru yang bisa memadai faktor-faktor komunikasi yang akan diperagakan seperti wayang Kancil untuk media pendidikan anak-anak, wayang Suluh untuk media penerangan, wayang Wahyu untuk media dakwah kerohanian dan wayang-wayang lainnya. 2.3.7.1 Wayang Wahana (1920)

R.M. Sutarto Harjowahono asal Surakarta pada tahun 1920 membuat wayang untuk cerita-cerita biasa yang bersifat wajar (real-istis). Bentuk wayang seperti manusia yang digambar miring dan di-beri pegangngan seperti wayang kulit. Karena pementasannya ber-dasarkan cerita-cerita zaman sekarang, maka wayang tersebut da-pat dikatakan semacam wayang sandiwara. Kemudian wayang san-diwara tersebut menjadi wayang perjuangan dan ketika Kementerian Penerangan RI memanfaatkan sebagai sarana penerangan, wayang tersebut menjadi wayang Suluh (1946 / 1947).

Dewasa ini wayang Suluh sudah sangat jarang atau tidak pernah berpentas lagi dan tokoh-tokoh wayang tersebut terdiri antara lain Bung Karno Presiden RI pertama (Ir. Sukarno), Dr. Schermer-horn yaitu wakil kerajaan Belanda dalam zaman revolusi kemerdeka-an RI, serta tokoh-tokoh TNI lainnya yang sudah lama meninggal.

Gambar 1.23 Wayang Suluh (Bung Karno, Bung Hatta, Schermerhorn serta orang belanda lainya)

Page 68: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

51

2.3.7.2 Wayang Kancil (1925) Pencipta wayang Kancil ini adalah orang Cina yang berna-

ma Bo Liem dan pembuatnya adalah Lie Too Hien pada tahun 1925. Pementasan wayang Kancil tersebut menggunakan kelir, yang pada sebelah kiri dan kanannya bergambar hutan. Wayang-wayangnya berbentuk binatang-binatang buruan, seperti macan, gajah, kerbau, sapi, binatang merangkak seperti buaya, kadal, binatang melata se-perti ular, dan binatang unggas seperti semua jenis burung, serta bi-natang-binatang lainnya yang berhubungan dengan dongeng Kancil.

Gambar berupa orang untuk wayang tersebut hanya sedikit dan jumlah wayangnya-pun sekitar 100 buah. Wayang-wayangnya terbuat dari kulit yang ditatah dan disungging serta digambar secara realistis, fantastis yang disesuaikan dengan pergelaran wayangnya.

Adapun cerita cerita untuk pergelaran wayang Kancil terse-but diambil dari kitab Serat Kancil Kridomartono karangan Raden Panji Notoroto atau dari karangan Raden Sosrowijoyo dari Distrik Ngijon di Yogyakarta. 2.3.7.3 Wayang Wahyu (1960)

Sejumlah 225 tokoh pria dan wanita dalam perjanjian lama dan perjanjian baru yang telah diwayang kulitkan, dipasang berjajar didepan layar. Jajaran sebelah kanan diawali tokoh Samson sebagai tokoh golongan putih, dan sebelah kiri diawali tokoh Goliot sebagai tokoh golongan hitam. Gunungan atau kayon mengandung makna diambil dari wahyu 22 (Yerosalim baru), perjanjian lama Sepuluh fir-man dan Yohanes 14:6 Akulah jalan kebenaran dan hidup.

Wayang Wahyu tersebut diciptakan khusus untuk cerita-ce-rita zaman para Nabi yang berkaitan dengan cerita-cerita dari kitab Injil oleh Broeder Temotheus Marji Subroto pada bulan Desember 1960. Cerita-ceritanya diambil dari Al Kitab perjanjian Lama dilanjut-kan ke Kitab Perjanjian Baru untuk pendidikan umat Katolik.

Pertunjukan wayang Wahyu diiringi gamelan dari karawitan Lembaga Pelayanan Kristen Indonesia (LEPKI). Grup ini mencoba mengaransir nada diatonik (musik) nyanyian gerejawi ke dalam nada pentatonik (gamelan). Suluk dan lainnya seperti pada wayang kulit umumnya.

Page 69: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

52

Gambar 1.24 Wayang Wahyu 2.3.7.4 Wayang Dobel

Pencipta wayang ini adalah Kyai Amad Kasman dari desa Slametan daerah Yogyakarta. Pementasan wayang Dobel ini berda-sarkan cerita-cerita Islam yang diambil dari Serat Ambyah. Disebut wayang Dobel karena isi cerita dari negeri Arab, sedangkan bahasa yang dipakai adalah bahasa Jawa. Sebagai pengiring adalah game-lan, dan juga memainkan terompet dan rebana seperti orang selawa-tan. Pertunjukannya menggunakan kelir berwarna merah dengan ga-ris tepi warna putih.

Wayang yang dijajarkan sebelah kanan disimping adalah terdiri atas wayang-wayang Malaikat Jibril dan Malaikat Isra’il, se-dangkan yang disamping sebelah kiri terdiri atas wayang-wayang Malaikat Ijra’il. Bentuk wayang Ijrail adalah berbadan tiga yang me-lekat menjadi satu, mempunyai tiga kepala, dan dua kaki bersila. Ke-tiga badan tersebut merupakan lambang Amarah, Mut Mainah, dan Supiah.

Jadi wayang Dobel tersebut tidak jauh berbeda dengan wa-yang Wahyu, yang ceritanya berisikan tentang kisah para Nabi. Wa-yang Dobel menceritakan kisah-kisah dari Kitab Al Qur’an.

2.3.7.5 Wayang Pancasila (1948)

Suharsono Hadisuseno adalah seorang pegawai Kemen-terian Penerangan RI dari Yogyakarta telah membuat wayang yang disebut wayang Pancasila, yang dibuat dari kulit ditatah dan disung-ging berdasarkan wayang kulit Purwa. Wayang tersebut dipergelar-

Page 70: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

53

kan untuk menyajikan ceirta-cerita yang berhubungan dengan perju-angan bangsa Indonesia melawan penjajah Belanda serta peristiwa-peristiwa Kemerdekaan RI dengan tujuan memberi penerangan me-ngenai falsafah Pancasila, UUD serta GBHN. Wayang tersebut diberi baju, celana panjang, dan mengenakan peci tentara, bahkan me-nyandang pistol pula.

Nama-nama wayang berupa sindiran, seperti tokoh Jendral Spoor dari tentara kerajaan Belanda, diberi nama senopati Rata Da-hana (spoor = kereta api). Pementasan wayang Pancasila dilaksana-kan dengan menggunakan kelir serta blencong untuk menimbulkan bayangan. Gambar 1.25 Wayang Pancasila (Bima)

Page 71: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

54

2.3.7.6 Wayang Sejati (1972) Drs. Wisnu Wardhana telah mengadakan pergelaran wa-

yang kulit dengan bahasa Indonesia. Disamping itu telah dipergelar-kan pula secara terbuka pada tanggal 22 Maret 1973 di Yogyakarta untuk pertama kalinya, jenis wayang baru hasil ciptaannya ini yang kemudian disebut wayang Sejati.

Daris segi konsepsi, wayang Sejati ini mencerminkan kon-sepsi moderen yang berazaskan semangat kebangsaan dengan menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantarnya ser-ta cerita yang menghidupkan episode-episode sejarah tanah air. 2.3.7.7 Wayang Budha

Wayang Budha dengan seperangkat gamelan sebagai mu-sik pengiringnya, dipergelarkan untuk pertama kalinya dalam Pekan Wayang Indonesia ke III. Pertunjukan tersebut diawali dengan nya-nyian vokal tanpa iringan musik (bowo) sebagai pembuka lagu.

Pementasan wayang Budha dimainkan tiga orang dalang. Disamping sebagai dalang juga merangkap sebagai penari. Pertun-jukan wayang Budha menggunakan kelir selebar + 8 meter serta be-berapa wayang orang sekaligus sebagai dalang dan menarikan wa-yang-wayang kulit dalam bentuk besar-besar yang diterangi oleh be-berapa penerangan dari api (obor). 2.3.7.8 Wayang Jemblung

Suatu jenis kesenian wayang yang dalam pergelarannya tanpa alat peraga wayang dan tanpa perlengkapan lainnya, maka wayang tersebut adalah wayang Jemblung, seperti juga salah satu kesenian tradisional daerah Banyumas (Jawa Tengah) yang disebut Dalang Jemblung. Wayang Jemblung menggunakan bahasa Jawa biasa untuk hal yang sama, selain itu pergelaran wayang Jemblung tersasa lebih sakral dan unik dengan sifatnya yaitu Jemblungan.

Ki Tumin Sumosuwito mengisahkan, wayang Jemblung ter-sebut timbul untuk pertama kalinya di kelurahan Semanu, Karang-mojo, Gunung Kidul, Yogyakarta. Kata Jemblung tersebut berasal dari julukan gemblung yang artinya edan atau gila. Cerita yang disaji-kan diambil dari cerita wayang Purwa, Panji, atau Menak bahkan ce-rita Ketoprak seperti babad tanah Jawa. Disamping melakukan di-alog, dalang juga menyuarakan suara gamelan sebagai iringannya.

2.3.7.9 Wayang Sadat (1985)

Suryadi Warnosuharjo, 48 tahun (1986) Klaten, Jawa Te-ngah, selaku pencipta dan sekaligus dalang wayang Sadat, menya-takan “kalau umat Nasrani memiliki wayang Wahyu, maka umat Islam mempunyai wayang Sadat ”. Wujud wayang kulit Sadat, jelas bukan berbentuk wayang Purwa ataupun wayang Gedog, juga bukan berbentuk wayang Menak atau wayang Beber. Bentuk wayang Sadat

Page 72: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

55

ber-wanda mendekati realistis dan hampir serupa dengan wayang Suluh atau wayang Wahyu. Bahkan sebuah gending utama sengaja diciptakan untuk pergelaran tersebut bernama gending Istigfar.

Suryadi menciptakan wayang Sadat tersebut pada perte-ngahan tahun 1985 sebagai imbangan bagi umat Islam di Jawa yang berkaitan dengan pengembangan sejarah agama Islam dalam pe-nyebarannya oleh para Wali, di samping itu untuk melanjutkan roh Islam yang pernah terdapat dalam sejumlah gubahan pakeliran wa-yang purwa di masa zaman Demak antara lain cerita Jimat Kalimu-sadha.

Kata Sadat berasal dari kata Syahadattain atau sebagai akronim dari kata dakwah dan Tabligh. Misi pergelarannya bernafas-kan dakwah agama Islam serta melanjutkan tradisi para Wali yang pernah berdakwah pada perayaan Sekatenan di zaman kerajaan De-mak. Sebagaimana diketahui, Sekatenan merupakan pembacaan Syahadat secara massal. Gambar 1.26 Wayang Sadat (Sunan Ampel dan Raden Patah)

Page 73: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

56

Gambar 1.27 Wayang Diponegaran 2.3.8 Wayang Topeng

Pada zaman kerajaan Demak, Sunan Kalijaga salah seo-rang dari Wali Sanga menciptakan topeng yang mirip dengan wa-yang Purwa pada tahun 1586 (1508 Caka, dengan sengkalan: ha-ngesti sirna yakseng bawana). Topeng ciptaan Sunan Kalijaga terse-but luas dan hingga dewasa ini masih hidup dan berkembang seba-gai seni budaya tradisional dengan corak tersendiri di tempat topeng tersebut berkembang.

Penampilan topeng tersebut dilakukan bersama dengan pentas wayang, baik wayang Purwa maupun wayang Gedog sehing-ga pertunjukan itu dikenal sebagai wayang Topeng atau dengan se-butan suatu nama daerah dimana wayang Topeng tersebut berkem-bang, misalnya wayang Topeng Malang, wayang Topeng Madura, wayang Topeng Cirebon, dan lain-lainnya. Kemudian sebutan to-peng menjadi nama suatu pertunjukan seperti halnya dengan sebut-an wayang. 2.3.8.1 Topeng Malang

Topeng Malang merupakan suatu pertunjukan wayang Ge-dog, yang pementasannya mengenakan topeng. Pertunjukan terse-but berkembang di desa Kedungmonggo dan desa Polowijen, Blim-bing, Malang-Jawa Timur, yang kemudian disebut dengan nama To-peng Jabung, yang akhirnya terkenal disebut Topeng Malang.

Pementasan wayang Topeng Malang inipun menggunakan sebuah tirai (langse) yang terbelah di tengah untuk pintu keluar dan masuknya penari-penari topeng. Cerita-cerita Panji, seperti Sayem-bara Sada Lanang atau Walang Sumirang sering kali dipakai seba-gai cerita pementasan dengan pemakaian topeng tokoh-tokoh Panji, seperti Panji Inu Kertapati, Klana Sewandana, Dewi Ragil Kuning,

Page 74: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

57

Raden Gunungsari dan lain-lain. Hingga dewasa ini sebagai iringan pergelaran menggunakan gamelan dengan laras Pelog. 2.3.8.2 Topeng Dalang Madura

Topeng dalang Madura merupakan salah satu kesenian rakyat yang paling populer dan klasik di Madura. Kesenian tersebut merupakan pengganti pergelaran wayang kulit yang telah lama le-nyap sebelum Jepang menduduki Indonesia dan tidak aneh bila ben-tuk atau figur topeng yang dipakai sebagai modelnya diambil dari fi-gur wayang kulit. Begitu pula cerita yang ditampilkan pada umumnya adalah Ramayana dan Mahabharata.

Diperkirakan kesenian rakyat Madura tersebut telah ber-kembang sejak abad ke XV, pada saat Prabu Menaksunoyo, cucu Prabu Brawijaya dari kerajaan Majapahit yang memerintah Paropo, Pamekasan, ingin menghidupkan pewayangan dan seni pedalangan di Madura. Topeng Dalang yang di Madura lebih dikenal segabagai topeng saja, merupakan perpaduan antara wayang kulit dan wayang orang.

Seluruh dialog dari pergelaran topeng tersebut, diucapkan oleh sang dalang, sedang para pemain wayangnya hanya menggu-nakan bahasa isyarat mengikuti dialog ki dalang belaka, seolah-olah pemain wayangnya yang berbicara. Gerakan setiap pelaku pentas pada dasarnya berupa gerakan panto-mimik dan sendra tari yang di-sesuaikan dengan isyarat dalang. Seperangkat gamelan yang terdiri dari kendang, gambang, saron, gong, kenong, gender, ponggang, bonang dan peking serta ada kalanya ditambah dengan terompet khas Madura (Sronen). Sronen juga berarti satu perangkat gamelan untuk kerapan sapi. Sejak zaman dulu setiap pementasan Topeng Madura selalu diawali dengan penampilan tari Gambu. Menurut ceri-ta yang terdapat dalam babad Sumenep, tari Gambu tersebut sudah sering dipentaskan sejak zaman pemerintahan Arya Wiraraja (Adipa-ti Sumenep) yang diangkat oleh Kartanegara (1268 – 1292), raja Si-ngasari pada tahun 1269.

Perjalanan Topeng Dalang tersebut berawal sebagai kese-nian kraton dan dalam buku babad Madura dinyatakan bahwa teater topeng berkembang pada abad ke-XV di Jamburingin, Pamekasan-Madura, atas prakarsa Prabu Menaksunoyo, seorang bupati di ba-wah kerajaan Majapahit. 2.3.8.3 Topeng Jawa

Ciri khas dari suatu tari, baik tari Jawa, Sunda, ataupun Bali, adalah penggambaran karakter atau perwatakan manusia da-lam bentuk tari. Perwatakan tersebut dituangkan dalam bentuk tari, dari tipe satriya, wanita, raksasa ataupun tipe binatang dan sebagai-nya yang menggambarkan tingkah laku makluk-makluk hidup pada masa lampau.

Page 75: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

58

2.3.8.4 Wayang Wong Wayang Wong Yogyakarta yang diciptakan oleh Hamengku

Bhuwana I (1755 – 1792) merupakan dramatari penuh dengan ka-rakteristik. Visualisasi karakter dituangkan dalam bentuk ragawi pe-nari, tata busana, tata rias serta gerak.

Pengekspresian gerak dari tokoh-tokoh wayang untuk pe-ran kera, raksasa dalam pentas Ramayana dan Mahabharata dileng-kapi pula dengan pemakaian topeng, sedangkan untuk wanita serta peran satria tidak menggunakan topeng. Dalam topeng Jawa, kita jumpai dua macam jenis topeng untuk pementasan Ramayana versi Yogyakarta, yaitu jenis raksasa dan jenis kera. Begitu juga topeng untuk pementasan cerita Panji antara lain jenis Klana, Panji dan Pa-nakawan. 2.3.8.5 Topeng Cirebon

Cirebon memberi kesan seperti asal-usul namanya caruban yang berarti campuran. Suatu misal pada sebuah benda antik atau pusaka yang biasa dianggap keramat dan ada isinya karena pening-galan para leluhur yang berupa ukiran berhuruf arab dan berisikan petikan ayat suci Al Quran, mewujudkan tokoh wayang Purwa Hindu-Budha dilengkapi dengan pola hias seperti batu padas dan cawan adri dari Cina. Tiga unsur kebudayaan tersebut diantaranya yaitu ke-budayaan Islam, Jawa, dan Cina, telah mempe-ngaruhi kebudayan dan kesenian yang ada di Cirebon, sehingga Cirebon merupakan tempat pertemuan beberapa corak kebudayaan. Topeng Cirebon berkembang di desa-desa, meskipun ciri-ciri sebagai unsur kesenian yang lahir di kraton masih menjadi pola da-sarnya. Konsep yang mendasar pada tari Topeng Cirebon tersebut bersifat mengalir, yang dapat dihubungkan dengan gerak tari atau kesenian wayang Golek Jawa Barat, hemat gerak dengan bentuk gerak yang patah-patah. 2.3.8.6 Topeng Betawi

Pementasan Topeng Betawi sangat berbeda dengan pe-mentasan topeng-topeng lainnya seperti Topeng Malang, Topeng Madura, ataupun Topeng Jawa (Yogyakarta) yang dalam pementa-sannya menggunakan topeng. Pengertian topeng di sini bukanlah kedok atau tutup muka, melainkan sebuah pertunjukan belaka dan pementasanyapun tidak ada hubunganya dengan cerita-cerita pewa-yangan baik Purwa maupun Gedog Panji.

Pementasan teater-teater topeng tersebut pada umumnya dilakukan sebagai hiburan rakyat di pedesaan dengan cara menga-men (pertunjukan keliling) atau panggilan karena hajatan. Sebagai alat penerangan digunakan sebuah lampu coleng yang bersumbu ti-ga dan bertiang kaki tiga pula setinggi dada manusia atau dengan penerang lampu petromak.

Page 76: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

59

Tema cerita dari teater-teater rakyat tersebut tidak lepas dari kehidupan rakyat kecil dengan segala penderitaannya, angan-angan serta impiannya antar lain tentang kebahagiaan rumah tangga dan lain-lain. Sebagai iringan pergelaran digunakan gamelan yang bernadakan ke Sundaan, dan sebelum pertunjukan dimulai terlebih dahulu di adakan pertunjukan tari topeng oleh penari wanita sebagi tari pembuka, dan besar kemungkinan, karena adanya tari topeng sebagai pembuka pentas itulah, maka teater rakyat tersebut dinama-kan Topeng.

2.4 Keindahan Wayang

Wayang adalah suatu karya kerajinan disamping karya seni yang terbuat dari bahan kulit kerbau yang telah dikeringkan dan diti-piskan menurut kepentingan, dan dipahat secara halus dengan mo-tip-motip yang khas, untuk selanjutnya diwarnai/disungging dengan paduan warna yang indah dan khas pula, selanjutnya diberi tangkai (gapit) yang dibuat dari tanduk (sungu) kerbau yang dikerjakan sa-ngat halus.

Pada umumnya semua jenis wayang kulit pada penam-pilannya menggunakan kelir. Boneka wayang kulit menurut bentuk dan sifatnya adalah merupakan gambar dekoratif yang berdimensi dua, sehingga memungkinkan dalam pementasannya menggunakan kelir. Karena terbawa oleh sifat dan bentuk wayangnya, maka dalam cara memainkan dan menarikan wayang tersebut hanya diperlukan ruang gerak yang sangat terbatas. Kemiskinan gerak wayang kulit dapat dilihat dalam waktu mengisi ruang pentas tersebut, misalnya wayang dapat digerak-gerakan ke depan, ke belakang, ke atas dan ke bawah. Karena sifat wayang kulit sebagai gambar dekoratif dan berbentuk dua dimensi, maka hanya dapat dilihat dengan jelas dari satu arah pandangan saja. 2.4.1 Wujud Wayang

Bila dilihat dari wujudnya dan keadaanya, wayang dapat dibedakan sebagai berikut, menurut bahannya terbuat dari kulit bina-tang, kayu, kain, seng, kerdus, rumput dan sabagainya. Menurut ukurannya adalah wayang Sabet yaitu wayang yang biasa dipakai dalam pergelaran, wayang Jujudan adalah wayang yang diperpan-jang dari pola aslinya, wayang Kidang Kencana adalah jenis wayang yang berukuran kecil, wayang Kaper yaitu wayang yang berukuran lebih kecil dari wayang sabet.

Menurut bentuknya adalah wayang Gagahan yaitu tokoh-to-koh wayang gagah, wayang Alusan adalah tokoh wayang alus, wa-yang Gecul yaitu wayang yang bersifat humor, wayang Oyi yaitu wa-yang putren yang paras mukanya menunduk (luruh), wayang Endel adalah wayang putren yang paras mukany mendongak (lanyap), wa-

Page 77: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

60

yang Bapang adalah wayang gagahan tetapi agak gecul, wayang Ricikan atau rampogan yaitu wayang yang semata-mata tidak melu-kiskan tokoh dan sebagainya. Menurut tingkatan jenisnya yaitu wa-yang Dewa, wayang Pendeta, wayang Katongan, wayang putra atau putri raja (Putran), wayang Bayen (bayi), wayang Raksasa (raseksa), wayang kera (Kapi), wayang binatang (Khewan).

Menurut pemakaian dan penyusunannya yaitu wayang Sa-betan adalah wayang yang dimainkan, wayang Dudahan adalah wa-yang yang tidak disimping, wayang Simpingan adalah wayang yang ditancapkan berjajar pada gedebok sebelah kanan dan kiri tempat dalang duduk di pentas. Menurut Gagrag adalah wayang Kulit Purwa Mataram, wayang Kulit Purwa Surakarta, wayang Kulit Jawatimuran, wayang Golek Sunda, wayang Pesisiran dan sebagainya. 2.4.2 Wanda Wayang

Wanda adalah ekspresi terutama pada wajah dan bentuk tubuh dari tokoh wayang yang mengungkapkan watak dan kepriba-dian dari tokoh wayang tersebut untuk mendukung suasana-suasa-na tertentu dalam sebuah adegan. Sebagai contoh, Prabu Baladewa mempunyai wanda sebagai berikut, Baladewa wanda Paripeksa, di-gunakan untuk adegan yang memiliki suasana normal, tidak dalam keadaan marah. Pada saat adegan Prabu Baladewa menghadiri su-atu perhelatan misalnya upacara perkawinan, maka dipergunakan Baladewa wanda Jagong, Baladewa wanda Geger dipergunakan pa-da saat adegan peperangan/pertempuran, sedangkan untuk mendu-kung adegan dengan suasana marah, digunakan Baladewa wanda Kaget (terkejut).

Secara umum wanda wayang merupakan kesatuan dari berbagai unsur yang terdiri dari posisi menunduk atau tengadahnya muka/wajah wayang, ukuran dan bentuk sanggul, ukuran dan bentuk mata, kondisi badan, yaitu ukuran dan posisinya, ukuran dan kese-imbangan leher, sikap dan keseimbangan bahu, ukuran bentuk pe-rut, dan busana yang dipakai.

Dari hal yang telah disampaikan di atas dapat ditarik kesim-pulan bahwa dari setiap satu tokoh wayang dapat memiliki berma-cam-macam wanda dan bentuk serta ukuran untuk mendukung dise-tiap suasana adegan yang dibutuhkan. Memang ada beberapa per-bedaan tentang wanda dari gaya pedalangan tiap-tiap daerah, misal-nya antara pedalangan gaya Surakarta dengan pedalangan gaya Ja-watimuran. Muka/wajah tokoh wayang Bima atau Wrekodara pada gaya Surakarta berwarna hitam, namun pada gaya Jawatimuran ber-warna merah, dan lain-lain. Perbedaan tersebut tidak berarti ada yang salah dari salah satu daerah, namun justru menunjukkan keka-yaan karakter budaya dari daerah yang bersangkutan.

Berikut ini akan disampaikan beberapa contoh dari wanda tokoh-tokoh wayang beserta ciri-cirinya, antara lain Batara Guru

Page 78: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

61

wanda Karna. Ciri-ciri dari Batara Guru wanda Karna adalah muka lebar agak menunduk, mata tegak, leher lebih condong ke depan, ta-ngan 4 (empat) buah yang 2 memegang cis, dan yang 2 lagi bersi-lang, dada tegak, mahkota topongan, praba kecil, busana bagian ba-wah menggunakan sarung dengan penutup ukiran daun patran.

Fungsi dari tokoh wayang Batara Guru Wanda Karna ada-lah untuk adegan dalam pathet Manyura, adegan Srambahan, arti-nya dapat digunakan untuk segala suasana, adegan tidak dalam tah-ta/singgasana, adegan jaman Prabu Parikesit.

Batara Guru wanda Rama, ciri-cirinya sebagai berikut muka menunduk, leher panjang, menggunakan mahkota tinggi seperti yang digunakan Prabu Kresna, posisi pundak tegak, posisi dada te-gak, busana bagian bawah menggunakan celana panjang, bersepatu dan dipenuhi dengan ukiran daun patran. Fungsi dari Batara Guru wanda Rama digunakan untuk adegan Jejer Kahyangan, atau ade-gan batara guru duduk di singgasana.

Durga wanda Wewe disebut juga wanda Belis yang guna-nya untuk adegan-adegan srambahan. Sedangkan ciri-cirinya ada-lah, muka menunduk, mata 2 (dua) buah berbentuk bulat, badan ge-muk seksi (bentrok), sanggul kelingan, pundak condong ke depan, pundak bagian belakang lebih tinggi, busana bagian bawah dilingkari daun patran.

Durga Wanda Surak sama seperti Durga wanda Wewe. Durga Wanda Surak juga digunakan untuk adegan srambahan. Per-bedaan keduanya terletak pada bentuk tubuh, busana serta pemun-culan dan pembedaan karakter pada suasana adegan yang berbeda. Sedangkan ciri-cirinya adalah muka tegak, pundak tegak, mata satu buah berbentuk bulat, memakai praba, sanggul gembelan, busana bagian bawah dilingkari daun patran.

Kresna Wanda Rondon digunakan untuk adegan jejer kera-jaan dalam pathet Nem. Sedangkan ciri-cirinya adalah wajah agak menunduk, posisi mata agak tegak, posisi leher condong meman-jang, dada tegak, pundak tegak, badan berwarna prada emas de-ngan bentuk agak gemuk.

Kresna Wanda Surak digunakan untuk adegan-adegan srambahan. Ciri-cirinya adalah wajah lancap dengan posisi mene-ngadah, mata tegak, posisi bagian bawah agak turun, leher panjang, posisi pundak bagian depan agak lebih tinggi dari yang belakang, badan berwarna hitam dengan bentuk agak ramping, dada agak con-dong ke belakang.

Gathotkaca Wanda Guntur digunakan untuk adegan sram-bahan dalam pathet nem atau pada adegan terbang. Ciri-cirinya ada-lah wajah menunduk, bentuk mulut ngawet (tampak seperti ditarik ke belakang), ukuran sanggul agak besar, mata berukuran kecil, leher condong ke depan, pundak tegak, dada membusung besar, seluruh

Page 79: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

62

tubuh berwarna prada emas, jangkah (jarak langkah kaki) lebar, kaki bagian belakang bertumpu mundur.

Gathotkaca wanda Kilat digunakan untuk adegan perang. Ciri-cirinya adalah muka/wajah sedikit melongok tegak, ukuran sang-gul kecil, muka agak sempit, leher agak besar, posisi pundak depan dan belakang sejajar datar, ukuran bentuk tubuh sedikit gemuk dan tinggi, badan berwarna hitam, praba agak kecil dengan garuda mungkur juga kecil.

Wanda tokoh-tokoh wayang yang dicontohkan tersebut me-rupakan sebagian kecil dari wanda-wanda yang sesungguhnya ma-sih jauh lebih banyak lagi, misalnya tokoh wayang Arjuna tidak ku-rang memiliki 14 macam wanda yaitu Arjuna wanda Bronjong, Arjuna wanda Gendreh, Arjuna wanda Janggleng, Arjuna wanda Jimat, Ar-juna wanda Kadung, Arjuna wanda Kanyut, Arjuna wanda Kedhu, Ar-juna wanda Kinanthi, Arjuna wanda Lintang, Arjuna wanda Malat, Ar-juna wanda Malatsih, Arjuna wanda Mangu, Arjuna wanda Mangung-kung, dan Arjuna wanda Muntab.

Sedangkan tokoh wayang Bimasena memiliki 16 macam wanda yaitu Bimasena wanda Bambang, Bimasena wanda Bedhil , Bimasena wanda Bugis, Bimasena wanda Gandhu, Bimasena wan-da Gurnat, Bimasena wanda Jagong, Bimasena wanda Jagor, Bima-sena wanda Kedhu, Bimasena wanda Ketug, Bimasena wanda Lin-dhu, Bimasena wanda Lindhu Panon, Bimasena wanda Lindhu Bam-bang, Bimasena wanda Lintang, Bimasena wanda Panon, Bimasena wanda Mimis, Bimasena wanda Thathit.

Tokoh wayang yang banyak digemari dan memiliki peranan yang juga banyak dalam mendukung suasana adegan memiliki wan-da yang banyak pula. Mungkin Bimasena dan Arjuna memiliki wan-da yang paling banyak dibandingkan dengan tokoh wayang yang lain. Namun ada juga wayang yang tidak memiliki wanda karena ti-dak populer. 2.4.3 Busana Wayang

Busana yang dikenakan oleh berbagai tokoh wayang memi-liki ragam nama dan bagian yang berbeda-beda dari tiap-tiap tokoh yang menunjukkan tingkat kehidupan sosial dan karakter yang di-miliki oleh masing-masing tokoh wayang, dan dari masing-masing bagian busana tersebut memiliki jenis yang beragam pula, yaitu : 2.4.3.1 Busana Bagian Atas hingga Pinggang.

Busana bagian atas ini meliputi tutup kepala, sanggul, ja-mang, sumping, kalung, kelat bahu, sabuk. Tutup kepala, jenis-jenis-nya adalah Mahkota (Makutha), Topong (raja muda/adipati), Kethu, Kopyah mekena, Serban, Kopyah, dan Kethu depak.

Page 80: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

63

Gambar 1.28 Makutha (Mahkota) Gambar 1.29 Topong

Page 81: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

64

Gambar 1.30 Batara Narada dengan mengunakan Serban Gambar 2.1 Serban Pendeta

Page 82: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

65

Gambar 2.2 Kopyah Panakawan Gambar 2.3 Kopyah Mekena tanpa jamang

Page 83: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

66

Gambar2.4 Kopyah berjamang sembuliyan dan menggunakan garuda mungkur.

Jenis-jenis Sanggul (gelung) yaitu Sanggul Supit Urang (ge-lung lengkung). Yang dimaksud dengan sanggul supit urang atau ge-lung lengkung, ialah bentuk gelung yang melingkar dan melengkung ke atas seperti bentuk capit udang. Sanggul jenis ini terbagi atas 3 (tiga) bagian, yaitu Supit Urang polos tanpa hiasan seperti yang dike-nakan oleh tokoh wayang Anoman, Bima, Arjuna, Nakula-Sadewa, dan lain-lain yang sejenis. Gambar 2.5 Gelung Supit Urang Polos

Supit Urang garuda mungkur, ialah bentuk gelung yang pa-da bagian belakangnya menggunakan hiasan garuda mungkur se-perti yang dikenakan oleh tokoh wayang Setyaki, Samba, Abimanyu, dan lain-lain yang sejenis

Page 84: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

67

Garuda mungkur

Gambar 2.6 Gelung supit urang dengan garuda mungkur.

Supit Urang Sanggan, ialah bentuk gelung yang bersum-ping seperti yang terlihat pada wayang Nakula dan Sadewa Gambar 2.7 Gelung supit urang sanggan.

Sanggul Keling terdapat 2 macam bentuk dari sanggul ke-ling, yaitu Gelung keling putri (putren) seperti yang dikenakan oleh tokoh wayang Dewi Drupadi, Sumbadra, Supraba, dan kuntinalibra-ta. Gelung keling putra seperti yang dikenakan oleh tokoh wayang Prabu Puntadewa, prabu Drupada, Raaden Jayajrata, dan lain-lain yang sejenis.

Page 85: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

68

Gambar 2.8 Gelung keling pada wayang putri Gambar 2.9 Gelung keling tanpa jamang, pada wayang putra

Page 86: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

69

Gambar 2.10 Sanggul Keling menggunakan jamang dan garuda mungkur Gambar 2.11 Sanggul gembel menggunakan jamang dan garuda mungkur

Page 87: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

70

Gambar 2.12 sanggul bundel dengan garuda mungkur Gambar 2.13 Sanggul ukel pada wayang putri

Page 88: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

71

Jamang

Garuda mungkur

Jamang

Jamang sebenarnya merupakan ikat kepala apabila tokoh wayang tersebut tidak mengenakan mahkota. Penggunaan jamang pada mahkota untuk menandakan bahwa tokoh wayang tesebut me-miliki jabatan, misalnya wayang raja dan atau satria.

Jamang memiliki beberapa bentuk yaitu Jamang bersusun 2 (dua). Jumlah susunan tersebut berdasarkan tingkat keagungan to-koh wayang raja. Jamang bersusun tiga atau bersusun dua tetapi menggunakan hiasan garuda mungkur. Bentuk jamang dengan ra-gam hias tanaman rambat, biasanya dekenakan oleh wayang satria berwajah luruh. Jamang pancaran cahaya, ialah bentuk jamang de-ngan motif cahaya yang sedang memancar.

Gambar 2.14 Mahkota (makutha) dengan jamang bersusun tiga Gambar 2.15 Jamang bersusun tiga dengan garuda mungkur

Page 89: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

72

Gambar 2.16 bentuk jamang dengan ragam hias tanaman rambat

Kilat/kelat Bahu ialah jenis hiasan yang dikenakan pada ba-gian lengan yang menunjukkan tingkat jabatan atau harkat dan mar-tabat dari tokoh wayang. Ada 4 (empat) macam bentuk kelat bahu, yaitu Kelat bahu Naga mangsa, Kelat bahu Garuda mangsa, Kelat bahu Calumpringan, Kelat bahu Candrakirana. Gambar 2.17 Kelat bahu Nagamangsa

Page 90: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

73

Gambar 2.18 Kelatbahu Candrakirana

Gambar 2.19 Kelat bahu Calumpringan

Page 91: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

74

Sumping merupakan hiasan pada daun telinga yang difung-sikan sebagai penjepit mahkota atau jamang. Jenis-jenisnya adalah Sumping Surengpati, Sumping waderan, Sumping bunga kluwih, Sumping pudak sinumpet, Sumping gajah oling, Sumping bunga pa-car, Sumping bunga telekan Gambar 2.20 Sumping Surengpati Gambar 2.21 Sumping Waderan

Page 92: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

75

Gambar 2.22 Sumping Sekar Kluwih Gambar 2.23 Sumping Pudak Sinumpet

Page 93: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

76

Kalung merupakan hiasan pada leher, yang apabila ditilik dari bentuknya dapat menunjukkan tingkat jabatan, harkat dan mar-tabat dati tokoh wayang tersebut. Terdapat beberapa jenis kalung yaitu Kalung kebomengah atau kalung makara, Kalung tanggalan atau kalung roda, Kalung ulur-ulur naga karangrang, Kalung saputa-ngan, Kalung selendang, Kalung genta. Gambar 2.24 Kalung makara/kebo mengah Gambar 2.25 Ulur-ulur Naga karangrang

Page 94: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

77

Gambar 2.26 Kalung Saputangan Gambar 2.27 Kalung Selendang

Page 95: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

78

Adapun jenis-jenis ikat pinggang adalah Sembuliyan tung-gal, Sembuliyan rangkap, Lipatan kain (Suwelan), Sabuk setagen, Sabuk pending, Sabuk kain (kemben), Sabuk rangkap, Sabuk sem-bung. Gambar 2.28 Sembuliyan Tunggal Gambar 2.29 Sembuliyan Rangkap

Page 96: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

79

Gambar 2.30 Lipatan Kain (suwelan) Gambar 3.1 Sabuk Kain (kemben)

Page 97: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

80

Gambar 3.2 Sabuk Sembung Gambar 3.3 Sabuk Stagen 2.4.3.2 Busana Bagian Bawah

Busana bagian bawah dapat dibedakan dari tingkat sosial, jabatan dari tokoh wayang tersebut, misalnya raja, satria, pendeta, punggawa, panakawan. Selain dibedakan dari kedudukan atau jaba-tan masing-masing tokoh wayang dapat juga dilihat dari golongan wayang yaitu wayang bokongan (bokong = pantat), wayang jang-kahan dan wayang raksasa.

Wayang Bokongan dengan tepi kain alusan (halus), sarung keris jenis manggaran dengan untaian bunga. Tokoh wayang yang menggunakan busana jenis ini yaitu golongan satria dengan bentuk mata gabahan (gabah = padi), misalnya Arjuna dan Basukarna, golo-ngan satria dengan bentik mata kedelai misalnya Narasoma,dan Matswapati, golongan satria dengan bentuk mata bulat misalnya Kurupati.

Page 98: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

81

Tepi kain halus

Tepi kain halus

Manggaran

Gambar 3.4 Tatahan Manggaran

Wayang bokongan bertepi kain halus dalam bentuk tatah-an. Tokoh wayang yang menggunakan busana jenis ini memiliki wa-tak dan karakter yang lembut dan sederhana, misalnya Arjuna sepuh (tua). Wayang bokongan dengan sembuliyan adalah busana bagi to-koh wayang golongan satria muda, misalnya Permadi, Samba, Abi-manyu, dan sebagainya. Wayang bokongan bertepi sembuliyan, ke-ris manggaran dengan untaian bunga serta uncal. Gambar 3.5 Wayang Bokongan tepi kain halus

Page 99: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

82

Sembuliyan

Bokongan miring

Gambar 3.6 Wayang Bokongan dengan sembuliyan

Wayang bokongan bertepi sembuliyan, keris manggaran dengan untaian bunga serta uncal. Busana jenis ini pada umumnya merupakan busana yang dikenakan oleh para raja atau satria putra raja, misalnya Pandudewanata, Prabu Sentanu, dan sebagainya. Wayang bokongan miring atau lonjong. Busana jenis ini biasanya di-kenakan oleh raja, misalnya Prabu Drupada, Puntadewa, dan se-bagainya. Gambar 3. 7 Wayang Bokong Miring

Page 100: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

83

Uncal kencana

Uncal Wastra

Uncal Kencana

Wayang Jangkahan dengan busana bagian bawah meng-gunakan uncal kencana. Biasanya dikenakan oleh tokoh wayang go-longan putra raja atau satria, misalnya Abimanyu, Rama, dan seba-gainya. Gambar 3.8 Uncal Kencana Gambar 3.9 Uncal Wastra

Page 101: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

84

Uncal wastra

Uncal kencana

Wayang jangkahan dengan busana bagian bawah meng-gunakan uncal wastra dan uncal kencana. Biasanya dikenakan oleh golongan raja, misalnya prabu Baladewa, Prabu Boma Narakasura, dan lain-lain. Wayang jangkahan dengan busana bagian bawah menggunakan jubah, bersepatu, keris tersisip (yothe) di depan. Bu-sana jenis ini biasa dikenakan untuk tokoh wayang golongan dewa dan pendeta, misalnya Resi Abiyasa, Brama, Wisnu, dan lain-lain. Uncal merupakan kelengkapan busana bagian bawah yang terdiri dari 2 (dua) macam, yaitu uncal kencana dan uncal wastra (wastra = selendang). Uncal kencana biasa dikenakan oleh golongan wayang satria dan golongan wayang putran (putera raja, putera pen-deta, patih, dan sebagainya), serta wayang golongan raja.

Wayang golongan raja jenis bokongan hanya mengenakan uncal kencana, sedangkan wayang golongan raja jenis jangkahan mengenakan uncal kencana dan uncal wastra. Gambar 3.10 Uncal Wastra dan Uncal Kencana 2.4 Wayang Kayon

Wayang kayon juga disebut wayang gunungan, karena bentuknya yang mirip sebuah gunung. Wayang tersebut adalah cip-taan Kanjeng Sunan Kalijaga tokoh wali zaman keraton Demak. Ha-sil daya cipta tersebut tersirat suatau ungkapan bergeloranya sema-ngat yang menuju ke satu cita-cita demi keselamatan jiwa manusia untuk dapat terhindar dari bencana karena nafsu yang tak terkendali-kan, dengan mensucikan diri berdasarkan ke-Imanan. Ungkapan ter-sebut kecuali tersirat pada susunan Candrasengkala yang diperun-tukkan sebagai data tahun di buatnya wayang kayon itu, yang berbu-nyi: “Geni dadi sucining jadad” (th. 1443 C), juga sesuai dengan wak-

Page 102: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

85

tu sedang bergeloranya penyebarluasan agama Islam yang dipe-lopori oleh para Wali. Kata-kata “kayon” berasal dari bahasa Arab “Al Khayu” yang artinya hidup, atau berasal dari bahasa kawi “Kayun” yang artinya karsa/karep/kehendak, atau keinginan. Dengan demi-kian kata-kata kayon sedikit banyak telah mengungkapkan pula tuju-an atau maksud yang terkandung di dalam bentuk wayang tersebut, sehingga dengan adanya kayon maka dapat diambil kesimpulan bahwa siapapun yang masih mempunyai keinginan berarti masih mempunyai kehidupan.

Berbeda dengan wayang-wayang lainnya, wayang kayon adalah sebuah wayang yang penuh dengan beraneka macam gam-bar/pahatan yang diterapkan sedemikian rupa sehingga menjadi se-buah bentuk perwujudan yang indah dan serasi dengan pewarnaan merah kehitam-hitaman atau gambar api yang berkobar, dan atau air samudra yang kibiru-biruan.

Pada saat kayon belum bergerak tanda belum ada kehidu-pan dan sebaliknya pada saat kayon bergerak tanda sudah ada kehi-dupan. Isi kayon (isen-isen kayon) ada tujuh bagian. Tujuh bagian tersebut dalam kehidupan melambangkan jumlah hari yaitu minggu, senin, selasa, rabu, kamis ,jumat, sabtu dan juga dilengkapi dengan kebutuhan sehari-hari. Di samping tujuh bagian tersebut sama de-ngan jumlah hari, akan tetapi sesuai dengan wujud pada kayon, ma-ka bagian-bagian tersebut juga berarti isi yang ada pada kayon. Isen-isen tersebut adalah pohon, binatang, samudra, gapura, penja-ga, warna-warni cahaya, gapit.

Pohon dengan dahan-dahan yang bercabang-cabang be-serta daun dan bunganya, penuh dengan binatang dan jenis unggas atau burung yang hinggap di pohon. Di bawah pohon digambarkan adanya berbagai binatang buas seperti macan, banteng dan lainnya. Ada pula yang diberikan seekor ular besar (ular naga) yang melilit pada pokok pohon. Adapun tafsir mengenai gambar pohon pada wa-yang kayon baik dari segi nama atau sebutan maupun arti yang ter-kandung di dalamnya, antara lain pohon hidup yaitu sumber hidup, pohon kebahagiaan yaitu sumber kebahagiaan, pauh jenggi/puh jenggi yaitu sumber keagungan, waringin sungsang yaitu sumber hi-dup berada di atas, kalpataru adalah sumber/induk keagungan/ kelu-huran, pohon purwaning dumadi adalah sumber asal mula makluk hi-dup, pohon sangkan paran yaitu sumber asal dan tujuan hidup. Ada-pun tafsir mengenai pohon dengan lilitan seekor ular adalah sebagai lambang badan jasmani dan rohkhani yang bersatu, yang diibaratkan sebagai kayu mati rinambatan hardawalika.

Gambar binatang dan unggas atau burung-burung yang bermacam-macam adalah menggambarkan macam tingkatan hidup yang terdapat di dunia ini. Di bawah pohon terdapat gambar kolam/-beji sebagai lambang air, yaitu salah satu anasir terjadinya manusia. Pada bagian bawah wayang kayon terdapat pintu gerbang. Gambar

Page 103: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

86

pintu gerbang tersebut menggambarkan pintu masuk ke alam keba-hagiaan abadi, yaitu akhir sebuah kehidupan yang menjadi tujuan setiap manusia yang hidup di alam ini.

Yang dimaksud penjaga adalah dua raksasa di sebelah ka-nan dan sebelah kiri gapura yang bersenjatakan pedang dan perisai. Hal tersebut menggambarkan nafsu manusia. Untuk dapat memasu-ki gapura haruslah melalui dan mengalahkan kedua penjaga pintu yang terdiri dari dua raksasa sebagai lambang nafsu indria.

Warna yang ada di sisi lain diantaranya adalah warna me-rah sebagai lambang api, warna biru melambangkan air warna hitam atau coklat melambangkan tanah, dan lain-lainya. Dengan demikian pada wayang kayon terdapat gambar-gambar yang dimaksudkan un-tuk menggambarkan atau sebagai lambang keempat anasir yang menyangkut terjadinya manusia. Keempat anasir tersebut adalah ta-nah, api, air dan angin (bumi, geni, banyu lan angin).

Gapit adalah tangkai untuk pegangngan pada wayang agar wayang dapat digerakan menurut kebutuhan serta dapat berfungsi seperti apa yang diinginkan. Gapit pada wayang kayon melambang-kan daya berpikir manusia pada saat hidup di dunia bahwa manusia hidup di wajibkan untuk berusaha sesuai dengan kemampuan ma-sing-masing agar tercapai apa yang di harapkan dan dicita-citakan. 2.5.1 Bentuk Kayon

Apabila di amati secara jelas maka kayon terbagi menjadi dua bentuk. Pembagian bentuk tersebut adalah setengah bagian atas berbentuk segitiga dan setengah bagian bawah berbentuk segi-emat.

Bilangan dua (2) tersebut apabila dihubungkan dengan ling-kungngan maka melambangkan isi dunia (isen-isene donya), contoh waktu yaitu siang dan malam, jenis kelamin yaitu laki-laki dan per-empuan, tempat yaitu atas dan bawah, sisi yaitu kanan dan kiri, kela-kuan yaitu baik dan buruk, hukum yaitu benar dan salah, rasa yaitu pahit dan manis, suasana yaitu senang dan susah, ukuran yaitu be-rat dan ringan, dan lain-lainnya. 2.5.1.1 Bentuk Segitiga

Bentuk kayon setengah bagian atas adalah bentuk segitiga yang mempunyai tiga sisi. Angka tiga melambangkan perjalanan ke-hidupan, yaitu permulaan, pertengahan, akhiran (purwa, madya, wa-sana), yang artinya adalah bahwa, kehidupan itu dari tidak ada, men-jadi ada, dan kembali menjadi tidak ada yang lebih dikenal dengan istilah sangkan paraning dumadi yaitu lahir, hidup dan mati. Ucapan dalang pada saat wayang sumbar khususnya dalang Jawatimuran, akan menyebutkan tiga hal sebagai peringatan terhadap musuh. Ti-ga hal peringatan tersebut adalah sebagai berikut “pisan tak sepura, pindho kalamerta, ping telu rad pengadilan”, yang artinya pada saat

Page 104: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

87

bertempur di meda perang, kekalahan pertama akan di maafkan, ke-kalahan kedua anjuran untuk memilih maju atau mundur, kekalahan ketiga berarti mati. 2.5.1.2 Bentuk Segiempat

Bentuk kayon setengah bagian bawah adalah segiempat yang menunjukan arah kiblat, yaitu utara, selatan, timur, barat. Da-lam kehidupan melambangkan nafsu pada diri manusia, yaitu alua-mah, supiah, mutmainah dan amarah (empat nafsu manusia).

Sedangkan bentuk keseluruhan kayon adalah meruncing ke atas, hal tersebut dapat diartikan bahwa semua kehidupan akhirnya akan menyatu dan kembali menuju ke Yang Satu, yaitu ke Yang Ma-ha Kuasa. Gambar 3.11 Kayon sebagai lambang api

Page 105: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

88

Gambar 3.12 Kayon Sebagai lambang dunia

Page 106: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

89

Gambar 3.13 Posisi kayon sebelum pertunjukan dimulai

Page 107: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

90

Gambar 3.14 Posisi Kayon sebelum pertunjukan dimulai (Gagrag Jawatimuran)

Page 108: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

91

2.5.2 Fungsi Kayon Adapun yang dimaksud fungsi kayon adalah untuk melam-

bangkan dan menggambarkan berbagai hal yang tidak dapat di wu-judkan secara nyata sehingga hanya merupakan lambang dan gam-baran-gambaran saja. Fungsi kayon tersebut di antaranya adalah se-bagai lambang benda mati, contoh batu, tanah, air dan lain-lainnya, sebagai lambang benda hidup, contoh manusia, binatang, pohon, dan lain-lainnya, alih adegan atau beralih tempat, contoh dari ade-gan jejer ke adegan bedholan, dari adegan paseban njaba ke ade-gan perang, dan lain-lainnya, alih pathet yang di bagi menjadi tiga bagian, yaitu pathet Wolu, pathet Sanga, pathet Serang (pedalangan Jawatimuran), pathet Nem, pathet Sanga, pathet Manyura (peda-langan Surakarta). Ketiga pathet tersebut melambang kehidupan manusia di masa kecil atau kanak-kanak, di masa remaja, dan di -masa tua.

Page 109: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

92

BAB III

SASTRA PEDALANGAN 3.1 Sastra Pedalangan

Kandungan nilai sastra yang ada pada seni pertunjukkan wayang adalah sangat luas. Pada hakikatnya seni pertunjukkan wa-yang ini sebagai pelaku utamanya adalah dalang, maka sastra da-lam seni pertunjukkan ini sering disebut Sastra Pedalangan.

Sejak dalang manggung di bawah lampu penerang (blen-cong) untuk memulai karya mendalangnya, maka nilai sastrawi itu langsung nampak jelas mulai tergambarkan, tergelar dan terucap-kan. Bahkan apabila nilai sastrawi tersebut dimaknai sebagai per-nyataan filosofis, maka sebelum ki dalang memulainya, nilai-nilai sastrawinya telah kelihatan. Sejak wayang itu digelar, dinyatakan da-lam bentuk tata panggung, semua yang berada serta terkait pada panggung itu akan nampak jelas nilai-nilai sastrawinya dan sudah mulai bisa dibaca oleh penonton terutama bagi yang memperhatikan dan para pengamat, juga para penggemarnya.

Bentuk-bentuk wayang, bentangan kelir, nyala blencong yang sangat terang dan penataan gamelan yang rapi dan berwibawa serta indah itupun sudah menyatakan suatu gambaran yang sangat filosofis. Demikian juga seperti bentuk penataan wayang yang ber-ada pada deretan sebelah kiri maupun kanan yang saling membela-kangi (ungkur-ungkuran), gunungan (kayon) yang ditancapkan di te-ngah-tengah batang pisang (gedebog) dan sebelum dalang menem-patkan diri, itupun jelas mengandung nilai-nilai sastrawi yang berbo-bot. (Purwadi dalam makalah Konggres Pewayangan 2005 di Yogya, hal Pendahuluan).

Kini seni pewayangan yang sangat berbobot itu merupakan pengembangan dari hasil budaya cipta-ripta yang munculnya dari kreativitas masyarakat Jawa sejak masa-masa sebelum Masehi. Ma-ka tidak mustahil apabila seni pertunjukkan wayang itu sangat erat sekali keterkaitannya dengan hidup dan kehidupan masyarakat Ja-wa. Justru seni pertunjukkan wayang ini di kemudian hari digunakan sebagai sarana pendidikan lahir batin bagi kehidupan masyarakat secara turun-temurun dari generasi ke generasi.

Memang tujuan hidup masyarakat Jawa, mengutamakan pencapaian hidup sorgawi. Ini berarti mereka yang berada pada po-sisi generasi pendidik akan sangat mengutamakan ajaran-ajaran ke-rohanian. Theology mereka sebagian besar menggunakan seni pe-wayangan sebagai media pendidikan di dalam proses pembelajaran, yang dipastikan akan lebih mudah untuk diterima bagi anak cucu.

Page 110: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

93

Selanjutnya ajaran-ajaran tersebut tertuang melalui aspek seni, yang terkandung dalam pewayangan. Aspek-aspek seni itu adalah seni rupa, seni suara, seni drama, seni gerak, seni sastra.

Seni rupa berupa bentuk dan warna wayang, ukiran, seni suara berupa tembang, suluk dan gending, seni drama berupa liku-liku cerita/lakon, seni gerak berupa tari dan laku wayang, seni sastra berupa dialog, narasi, lakon gending, suluk dan lain-lain.

Namun demikian pembicaraan pada bab ini hanya akan dikhususkan mengambil dari aspek sastra saja. Sebab dengan sas-tra ini aspek yang lainnya akan ikut terbawa aktif sebagai jalan terca-painya system pendidikan yang menjadi harapan masyarakat.

Aspek seni sastra yang realisasinya termasuk satu cabang seni pertunjukkan wayang di mana sebagai pelaku utamanya adalah dalang. Maka aspek ini dinyatakan sebagai Sastra Pedalangan (isti-lah satu mata ajaran pada jurusan Pedalangan Jawatimuran di SMK Negeri 9 Surabaya).

Kata sastra yang dalam bahasa Jawa kuna tertulis Çastra berarti buku pelajaran, ilmu, pengetahuan, naskah, buku suci (Suwo-yo Woyowasito, Kamus Kawi Jawa Kuno-Indonesia). Dengan demi-kian sastra artinya adalah tulisan (Bau Sastra Purwadarminta) juga berarti piwulang/wewarah (pelajaran).

Namun sastra menurut pangawikan Jawa ialah pengetahu-an, bukan saja yang diperoleh dari apa yang tersurat, melainkan juga yang tersirat. (R.M. Yunani Prawiranegara, Pemahaman Nilai Filo-sofi, Etika Dan Estetika Dalam Wayang, makalah Konggres Pewa-yangan 2005 di Yogya, halaman XII – 16). Jadi segala buku atau se-gala yang tersurat dan tersirat dalam cerita baik lama maupun baru, yang dengan melalui tembang oleh dalang (suluk), dialog wayang yang diakukan oleh dalang (antawacana) bisa dibicarakan bersama-sama dalam aspek seni sastra atau Sastra Pedalangan.

Dengan demikian BAB III dalam buku ini berisi pembicara-an tentang sastra yang berupa suluk beserta isi dan analisa, sastra yang berupa cerita dan analisa, sastra gending, sastra yang berupa antawacana dengan pemilihan kata-kata, buku-buku sumber cerita. Dan yang sama pentingnya adalah pandangan filosofis dan gambar-an simbolis bagi ajaran pangawikan Jawa. 3.2 Suluk Wayang

Sebelum uraian sastra suluk ini berlanjut, terlebih dahulu akan dijelaskan tentang apa itu suluk. Seperti telah diketahui bersa-ma bahwa suluk ini adalah tembang yang dilagukan oleh seorang dalang ketika menceritakan sebuah lakon wayang. Apalagi cara me-lagukan terungkap melalui alunan suara dalang yang indah. Tentu hal ini menambah kewibawaan dan kualitas sang dalang itu sendiri. Jadi suluk itu indah. Lebih-lebih lagu suluk itu bersamaan dengan

Page 111: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

94

ucapan-ucapan kalimat yang bergaya bahasa Jawa luhur atau tinggi (lungit) dan bermakna. Kalimat-kalimat yang lungit, indah dan ber-makna di dalam suluk, itu disebut sastra suluk.

Sastra yang berada di dalam suluk dalang sebagian besar berasal dari Kakawin Bharatayuda karya Empu Sedah dan Empu Panuluh jaman pemerintahan raja Jayabaya di kerajaan Panjalu (Ke-diri) tahun 1157 (Soeroso, Gamelan A, 1983 hal 17). Dan di antara-nya ada yang berasal dari epos Ramayana karya Walmiki.

Kakawin berupa susunan kalimat berbahasa Kawi (Jawa Kuna), setiap seloka (saloka atau sloka) terjadi dari empat baris. Da-lam kesusastraan Jawa menjadi bentuk tembang Gedhe/Ageng atau sering juga disebut Sekar Ageng.

Menurut para ahli tembang tradisional dan secara structu-ral, Sekar Ageng merupakan urut-urutan yang berada pada tempat paling atas dari 3 bentuk tembang Jawa. Sedangkan urutan kedua adalah Tembang Tengahan atau Sekar Tengahan yang terbentuk dengan menggunakan Bahasa Jawa Pertengahan. Tempat ketiga yaitu Tembang Cilik atau biasa disebut Tembang Macapat yaitu tem-bang yang dalam aktifitasnya terbentuk dengan menggunakan baha-sanya rakyat kecil (kawula cilik). Tembang Macapat ini hidup dan berkembang di kalangan rakyat jelata yang pada umumnya berada di pedesaan.

Dalam perkembangan selanjutnya, susunan kalimat 4 baris dalam Tembang Gedhe tadi tersusun dengan urutan sebagai berikut setiap baris dinyatakan sebagai satu pada-pala (satu baris), dua pa-da-pala (dua baris) dinyatakan sebagai satu pada-dirga, dua pada-dirga (empat baris kalimat) dinyatakan satu padeswara.

Kata padeswara berasal dari kata pada dan iswara. Pada berarti larikan (baris) dan iswara berarti raja dan identik dengan be-sar, jadi padeswara adalah pada besar. Kakawin ini juga berpatokan pada lampah (jumlah suku kata setiap baris) dan juga Guru- lagu (dhong-dhing).

Dhong menyatakan suara berat (anteb) sebagai suatu per-nyataan rasa puas yaitu perasaan akhir, tanda akan dimulainya ba-bak baru. Dhing menyatakan suara ringan (ampang atau entheng) sebagai suatu pernyataan rasa yang belum selesai (rampung). Da-lam hal ini perasaan belum (tidak) lega, masih menanyakan kelanjut-annya.

Guru maupun Lagu bukan hanya pada akhir kalimat, tetapi juga berada di tengah-tengah kalimat dan pada awal kalimat. Guru dan Lagu dalam aturan bahasa Kawi merupakan sarana terbentuk-nya kakawin. Sampai saat ini tidak ada seorang pun seniman dan Budayawan Jawa yang berminat dan mampu untuk mencipta atau mengarang kakawin lagi. Generasi sekarang ini hanya menerima pe-ninggalan saja.

Page 112: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

95

Itulah sebabnya sastra kakawin yang tertulis dalam Çloka-Çloka Mahabharata, Ramayana, Bharatayuda atau yang lainnya di-ambil sebagai sumber penulisan sastra suluk dalam karya tulis ini. Inilah sastra suluk yang berupa Kakawin Bharatayuda:

Lêng- lêng řamnya nikang çaçangka kumênar mangrêngga rūm ning puri Mangkin tan pasiring halêp nikang umah mās luwir murub ing langit Têkwan sarwwa manik tawingnya sinawung sāksāt sêkar ning suji Unggwan Bhānuwatï yanāmrêm alangö mwang nātha Duryyodhana.

Kalimat-kalimat kakawin di atas, disebut tembang Sardula-

wikridita, artinya permainan harimau (L. Mardisuwito, Kamus Jawa Kuna-Indonesia, tt. 563). Terjemahan Tembang Sardulawikridita itu adalah:

Indah menarik hati, bulan yang bersinar menghiasi puri ke-daton, menjadikan semakin tidak ada yang menyamai kein-dahan rumah emas, bagaikan menyala-nyala di atas langit, lebih-lebih tebing yang dilapisi dengan mas manikam yang berwarna-warni bagaikan rangkaian bunga indah, di tempat itulah bila sang Dewi Banuwati sedang memadu kasih ber-sama suami Sang Prabu Duryuddana.

Kakawin ini setelah dipakai oleh para dalang wayang seba-

gai sulukan, ternyata mengalami penggeseran ucap dan pemengga-lan kata. Hal ini mungkin sekali akan bisa mengakibatkan perubahan arti atau bahkan pengertiannya. Demikian inilah kalimat itu sekarang:

Lengleng ramnyaningkang, sasangka kumenyar O.. Mangrengga ruming puri, O.. mangkin tanpa Siring, halep ningkang ngumah, mas lir murub ing langit, O.. tekyan sarwa manik O.. .

Sampai di sini kalimat itu diputus, kemudian diteruskan dengan per-mainan gender (ompak-gender) sesaat, baru kemudian diteruskan:

tawingnya sinawung, O.. , O.. saksat sekar si Nuji, unggwan Banowati, O.. yen amrema la- Ngen, lan Nata Duryudana O.. Lan Nata Dur- Yudana, O.. . Terlihat sekilas kalimat itu seolah-olah tidak mengalami pe-

rubahan makna. Andaikan berubah, hanya ucapannya saja. Hal ini

Page 113: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

96

terjadi karena yang semula dari bahasa Jawa Kawi, kemudian diba-wa kepada ucapan bahasa Jawa Baru, di saat seni pertunjukkan wa-yang kulit purwa menjadi garap kemasan baru, khususnya yang ga-grag Surakarta.

Dalam peristiwa demikian itu sering muncul suatu kekhawa-tiran bagi sebagian seniman atau Budayawan. Namun perlu mengi-ngat terhadap hukum alam, bahwa kehidupan seni dan Budaya dari jaman ke jaman, generasi ke generasi pasti mengalami perubahan.

Jika berpaling pada kondisi alami tersebut, maka perubah-an seperti yang ada pada Kakawin Sardulawikridita adalah sangat wajar. Justru perubahan yang demikian itulah yang membuahkan ha-sil pengayaan bagi seni dan Budaya dalam perkembangannya. Yang penting sampai sekarang ini, generasi mudanya masih memiliki catatan sejarah dari para pendahulunya. Biarkan sastra yang diambil dalam seni pertunjukkan wayang purwa ini berkembang menurut ja-mannya (anut jaman kelakon).

Dalam perubahan dan perkembangannya, tembang Sardu-lawikridita setelah bersama-sama dengan seni pertunjukkan wayang kulit purwa, berfungsi sebagai sulukan pengiring jejer I dalam laras Slendro dalam waktu masih pathet Nem. Sehingga kakawin itu ber-ubah sebutan menjadi pathetan Nem Ageng, yang dalam gema lagu-nya diiringi oleh instrument rebab, gender barung, gambang, suling, kempul-gong dengan permainan menurut aturan tata nada dalam pa-thet Nem.

Selanjutnya sebagai catatan kata-kata yang dipakai dalam Kakawin Sardulawikridita tadi perlu diterjemahkan. Di bawah ini ter-jemahan dari S. Padmosoekotjo dalam bukunya Suluk Pedalangan, hal 14-15:

Lêng- lêng tegesipun anglam-lami, Řamnya tegesipun endah, nengsemake, Çaçangka tegesipun rembulan, Kumênar tegesipun sumorot, sumunar, Mangrêngga rūm ning puri tegesipun ngrengga endahaning puri (keputren), Mangkin tan pasiring, Halêp nikang umah mās tegesipun endahe suyasa kenca-na, Luwir murub ing langi tegesipu pepindhane kaya murub ing langit, Têkwan tegesipun sarta, lan maneh, apa maneh, Sarwa manik tegesipun sesotya manek warni, Tawing artinya tebing, srawing tegesipun aling-aling, Sinawung tegesipun dipun-salut, linapis, Suji tegesipun eri, sunduk,

Page 114: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

97

Sāksāt sêkar ning suji tegesipun pepindhane kados reron-cening sekar, kados sekar renonce, Unggwan Bhānuwatï tegesipun papan padununganipun banuwati, Yan āmrêm alangö mwang Duryyodana tegesipun manawi sari alelangen (sih-sinihan) kaliyan Prabu Duryyodana, Langö endah tegesipun kaendahan, klangenan, Alango tegesipun lelangen (sih-sinihan.)

Terjemahan:

menyebabkan orang terpesona, indah, menawan hati, bulan, bersinar, menghias indahnya keputrian atau tempat putri, saya tanpa tandhing (semakin tidak ada yang sama), kein-dahan kerajaan emas, bagaikan menyala di langit, serta, lagi-lagi, apa lagi, segala macam manikam, tirai, tabir, diberi lapisan, (duri, tusuk). Juga biasa berarti renda, sulam, bagaikan untaian bunga, tempat tinggal Banuwati, bila (akan) tidur berkasih-kasihan bersama suami yaitu Pra-bu Duryyodana, indah, keindahan, kesukaan, bersuka cita, berkasih-kasihan.

Sebagai urutan suluk yang kedua dalam pertunjukkan wa-

yang adalah disebut Ada-ada Girisa dalam laras Slendro yang masih berada dalam kawasan waktu pathet Nem. Demikianlah kalimat Ada-ada Girisa:

Lengleng gatiningkang awan saba-saba Niking Ngastina, samankara tekeng, Tegak Kurunararya, Kanwa Janaka dulur Nara- Da, kapanggih ing ika, O.. tegal miluring karya, sang Bupati ta la ya.

Itulah ada-ada Girisa, di mana kalimat-kalimatnya mengam-

bil dari petikan Bharatayuda. Sedangkan yang asli dalam bahasa Ja-wa Kuna adalah sebagai berikut:

Lêngêng gati nikang hawan sabha-shaba niking Hāstina,

Page 115: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

98

samantara têkeng têgal Kuru narāryya Kŗşņān laku, sirang Paraçurama, Kaņwa Janakā-dulur Narada, kapanggih irikang têgal milu ri karyya sang Bhū-pati.

Artinya:

Sungguh indah menakjubkan kondisi jalan yang menuju (ke) bangsal (tempat dialog) Hastina, setelah keberangkatan Prabu Kresna, di alun-alun Kuru, ia bertemu dengan Parasurama, Kanwa dan Janaka yang sudah berbadan dewa bersama-sama dengan, Barata Narada, untuk ikut membantu arya Sang Prabu Kresna.

Keterangan kata-katanya:

Lêngêng tegesipun endah, edi, nengsemake, Gati tegesipun kawontenan, Hawan tegesipun dalan/margi, Lêngêng gati nikang kawan tegesipun asri nengsemaken kawontening marginipun / asri, edi nengsemake kahane da-lane, Sabha tegesipun bangsal papan sarasehan, papan remba-gan, pandhapa kraton, Samantara tegesipun boten antawis dangu/ora antara su-we, Tegal Kuru tegesipun ara-ara Kuru, Narāryya tegesipun Nara / tiyang (orang) + arrya tegesipun minulya, Narāryya Kresna laku tegesipun tindakipun prabu Kresna / prabu Kresna olehe tindak, Kresna laku tegesipun Kresna / olehe / anggone - laku: tin-dakipun Kresna, Sirang Paraçurama, Kaņwa…: Panjenenganipun Paracura-ma, Kanwa.., Janakādulur Narada tegesipun Janaka lan adulur /sesare-ngan lan Narada / Janaka sesarengan kaliyan Narada, Karyya tegesipun ayahan, padamelan, Bhupati tegesipun Bhu /bumi lan pati / pengageng.

Terjemahan:

mempesona, menarik hati, keadaan), (jalan, indah mempesona keadaan jalannya, pendopo sebagai tempat sarasehan, tidak berapa lama antaranya / sementara itu, segera sesu-dah itu,

Page 116: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

99

alun-alun, tanah lapang Kuru, dimuliakan, dalam tembang ini narāryya sama dengan pra-bu / raja, kepergian sang Prabu Kresna, kepergian Kresna, beliaunya adalah sang Paracurama, Kanwa.., Janaka bersama Narada, tugas, pekerjaan, raja, ratu.

Kalimat-kalimat berbahasa Kawi Kuna yang berada di da-

lam Kakawin Sardulawikridita itu menyatakan keindahan dan kete-nangan (ayom lan ayem) negara Hastina dalam pemerintahan Prabu Duryudana (raja wangsa Kuru). Selanjutnya keterangan itu menjadi agak tegang setelah kehadiran Kresna bersama Resi Ramaparacu, Resi Kanwa yang sudah berbadan dewa di negeri Hastina, yang mengucik untuk kembalinya Hastina kepada para Pandawa. Dan ter-jadilah perang besar Bharatayuda Jayabinangun. Sampai hari ke-13, dalam pertikaian dari kedua belah pihak, para pahlawannya saling berguguran.

Kemudian pada hari ke-14, Sri Kresna sebagai dalang (bo-toh) nya para Pandawa, memanggil Gathotkaca untuk menjadi Sena-pati Pandawa. Demikianlah çlokanya:

Irika ta sang Gathutkaca kinon mapagākkasuta, Têkap ira Kŗşņa Partha manêhêr muji çakti nira, Sang inujaran wawang masêmu garjjita harsa marêk, Mawacara bhagya yan hana pakon ri patik nŗpati.

Sesuai dengan isi çloka itu yang menyatakan bahwa Ga-

thotkaca sebagai senapati (panglima) perang, maka kalimat-kalimat çloka itu oleh para dalang wayang kulit purwa diambil untuk mengi-ringi saat Gathotkaca akan terbang.

Irikata sang Gathutkaca kinon, mapak Arkhasuta (ada yang mengucapkan Argasuta), O.. tekapira Kresna, Parta mane-her muji saktinira, sang inujaran wangwang masemu nggar-jita, O..

Ada perubahan sedikit, khususnya pada kata arkha suta

ada yang mengucapkan arga suta. Dan kalimatnya dipenggal hanya sampai pada kata garjita. Dalam pengetrapannya çloka ini disebut sulukan Ada-ada Greget saut Slendro Sanga.

Terjemahan çloka itu adalah sebagai berikut: pada waktu itu Sang Gathotkaca disuruh bertemu berhadapan melawan anaknya Batara Surya yaitu Adipati Karna oleh Batara Kresna. Parta atau Ar-

Page 117: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

100

juna menjunjung tinggi kesaktian Gathotkaca. Sesaat itu yang disu-ruh yaitu Gathotkaca nampak suka cita. Maka dengan kegembiraan hati ia menghadap ke Prabu Kresna dan kemudian berkatalah kepa-danya “Aku merasa senang karena ada perintah kepadaku.”

Bahasa Kawi Kuna dalam perkembangannya, oleh para ge-nerasi pembaharu seni pewayangan di Kraton Surakarta Adiningrat yang baru saja pindah dari Mataram Kartasura nampaknya dianggap lebih luhur dibanding dengan bahasa Jawa Baru. Hal ini terbukti dengan pemilihannya terhadap Kakawin yang dipakai dan diterapkan pada suluk dalang meskipun harus mengalami perubahan. Menurut Porbocaroko dalam Kesusasteraan Jawa-nya, perubahan bahasa Kawi Kuna ini terjadi sejak sebelum Majapahit runtuh. Hal ini lebih di-sebabkan oleh generasi penerus yang tidak mampu lagi menge-trapkan bahasa tersebut dalam pergaulan. Maka mereka tinggalkan bahasa itu. Anggapan mereka sampai saat ini bahwa bahasa Kawi Kuna adalah Bahasa Leluhur.

Sebutan bahasa leluhur-pun mengalami penggeseran men-jadi Bahasa Luhur. Itulah sebabnya mengapa Kakawin atau tembang Kawi terpilih oleh pembaharu seni pewayangan di kraton Surakarta. Justru sampai saat ini, bukan hanya tembang Kawi-nya saja yang terpilih, melainkan seluruh Bahasa Luhur Kawi menjadi bahasa pilih-an bagi seni pertunjukkan wayang secara umum. Bahasa Kawi Lu-hur masuk dalam kategori bahasa Pedalangan, khususnya seni pe-wayangan versi Jogyakarta dan Surakarta, baik yang klasik maupun garapan barunya.

Berbeda dengan sastra suluk dalam seni pewayangan versi Jawatimuran. Dalam proses perkembangannya, secara turun-temu-run hanya dengan system mendengarkan, melihat dan menirukan dalang yang sedang menyajikan karya. Itulah system nyantrik. Hasil cantrikan dalam prosesnya antara cantrik yang satu dengan yang lain sering berbeda dalam ucap bahasa, misalnya ucapan kata Api-tuwi, ada yang mengucapkan Kapituwi. Gelanggang perang, ada yang mengucapkan Pemedan, ada yang mengucapkan Permedan.

Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, sebab setelah muncul-nya buku-buku terbitan baru oleh penulis wayang Jawatimuran, ma-ka para dalang tentu bisa menyatu dalam satu buku itu sebagai pacu kawruh (pengetahuan). Seperti pertunjukkan wayang pada umum-nya, wayang Jawatimuran-pun dalam sajiannya juga menggunakan suluk yang terhias sastra dengan sangat indahnya. Suluk yang per-tama kali berupa lagu yang disebut Pelungan atau Drojogan, yang urutan barisnya adalah sebagai berikut:

Ingsun miwiti andalang, Wayangingsun bambang paesan, Kelire jagad dumadi, Yana larapaningsun naga papasihan, Pracike tapele jagad gumelar,

Page 118: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

101

Drojogku sanggabuwana, Gligen rajeging wesi, Yana blencong kencana murti, Kothake wayang kaya cendhana sari, Tutupe ndhuwur jati kusuma, Kepyke gelap ngampar, Ingsun dalang purbawasesa, Gamelan larase Slendro pengasihan, Gambang garuting ati, Gender panuntuning laras, Rebab cindhe lara tangis, Kendhang panggetaking ati, Kempul panduduting ati, Pradangga putraning jiwa raga, Waranggana saking Suralaya, Kinayut-kayut swaranya lir dewa,

(Djumiran RA, Lagon vocal Dalang Jawatimuran) Terjemahan:

Aku akan mulai mendalang, Wayangku adalah bambangan (pemuda), Layarnya bagaikan jagad ciptaan Tuhan, Gedebogku berkekuatan dua naga yang sedang memadu kasih, Kekuatan pracik (ikat atas dan bawah) layar bagaikan sa-buk jagad raya, Drojogku (penyangga) bagaikan penyangga jagad, Kekuatan tiang penegak di sebelah kanan-kiri kelir sebagai pagar (rajeg) yang berkekuatan besi, Adapun lampu penerangnya (blencong) bagaikan mas yang dimiliki dewa, Tempat wayang (kotak) memakai bahan sarinya kayu cen-dana yang harum itu, Tutup kotak bagian atas menggunakan bahan kayu jati yang harum (kusuma = kembang), Kepyak (sebagai sarana kekuatan sabet) bagaikan bunyi petir (gelap) menyambar (ngampar), Aku inilah seorang dalang yang dikaruniai kekuasaan untuk menguasai, mengatur/menata pada alam raya ini, Sebagai alat pengiringku (gamelanku) yang berlaras Slendro itu memiliki daya tarik kuat yang tak tertandingi, Gambang (gamelan kayu) sebagai penopang rasa kepriha-tinan, Gender (gamelan renteng) sebagai penuntun (petunjuk) se-masa dalang hendak suluk,

Page 119: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

102

Rebab (gamelan gesek) terbalut/terhias dengan kain cindhe sebagai penopang suasana kesedihan, Kendhang sebagai penopang suasana emosional (lembut dan keras/tegas), Kempul sebagai penopang tempo di segala suasana, Pemain gamelan (pradangga/wiyaga) yang mengisi/meng-gerakkan jiwa raga dalam gambaran hidup dan kehidupan, Pengidung wanita (waranggana = pesindhen = bidadari) dari kahyangan = sorga (Suralaya), Mengalun (kinayut-kayut) suaranya bagaikan suara mas (suara dewa = suara baik = suara yang berkualitas).

Pelungan ini sebuah nama judul yang diberikan oleh seni-

man kepada sebuah susunan syair dalam sastra suluk pada seni pertunjukkan wayang Jawatimuran versi Mojokerto-an. Bagi wayang Jawatimuran versi Porongan disebut Drojogan. Di samping syair ter-sebut di atas, ada lagi susunan kalimat syair yang lain, yaitu:

Swuh rep data pitana, Rep swuh rep, rep swuh rep saking karsaningsun, Sekar kawi kang sinawung, Kinarya resmining kidung, Binarung swaraning gending Gandakusuma munya, Kekanthening Budaya, ing nguni Budaya iku tanama, Anane Budaya iku saking Negara, Dhawuhe andika wali, Kang sinawung mring pra pujangga Jawi, Kinarya tepa tuladha, Karo dene para janma sujana, Lan swartane budi kang wus uning, Ginane krawitan angiringi Budaya, Ana gambaran ………., Mirip rupa warna jalma mengku sastra kang sunandhi, Kedhik janma ingkang udani, Manawa tan parameng kawi, Lungguh panggung nyawang gegambaran, Gegambaraning agesang, Manungsa kang ana madyapada, Aja kate darbe tindak ala, Ngudia mring kautaman, Dimen manggih kayuwanan.

(Ki Piet Asmara Mojokerto)

Syair di atas biasa dilagukan oleh para dalang wayang Ja-watimuran gagrag Mojokerto-an yang wilayahnya berada di sekitar Mojokerto dan Jombang. Adapun terjemahannya adalah:

Page 120: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

103

Dari suasana sepi, suwung, sunyi (awung-awung), kemu-dian ada cerita, Sunyi karena kehendakku, Sekar (tembang) kawi yang enyertai, Sebagai kidung resmi (sejati = suci), Bersama suara gending Gondokusuma, Sebagai bagian kebudayaan yang dulu tak ada, Kalau ada berasal dari Negara, Atas perintah para wali, Yang direstui oleh para pujangga Jawa, Sebagai suri teladan (contoh), Bersama para cerdik-pandai, Serta para budiman bijak, (bahwa) fungsi gamelan sebagai pengiring seni Budaya, Yang berujud gambaran, Seperti wujud manusia ini mengandung sastra terselubung, Sedikit orang yang mengerti/mengetahui, Jika bukan ahli kawi (Budayawan), Duduk di panggung mengamati gambaran, Yaitu gambaran hidup dan kehidupan, Manusia yang berada di dunia, Jangan sampai berperilaku jahat, Biarlah belajar tentang kebaikan/kesucian, Agar mendapatkan keselamatan.

Menurut para dalang tua (sepuh) Ki Suleman dari Pasu-

ruan, Jawa Timur, dan Ki Toyib Gondocarito dari Krian Sidoarjo serta para nara sumber lainnya yaitu Ki Bambang Sugiyo, Ki Surwedi, me-nyatakan bahwa sastra tembang Pelungan / Drojogan itu sebenar-nya adalah doa yang dinyatakan dalam sastra suluk.

Apabila kita Mengamati kalimat Pelungan atau Drojogan tersebut, ternyata berisi permohonan kekuatan alami agar menguat-kan pribadi si dalang dalam karyanya semalam suntuk (Ki Suleman). Masih banyak sastra suluk yang ada, namun tidak mungkin akan di-angkat seluruhnya dalam karya tulis ini. Namun di bawah ini masih ada beberapa yang perlu diungkap: Sendhon Prabatilarsa Pathet Wolu

Nara nata nggonira miyos siniwaka Sineba mring pra Santana Sumewi munggwing ngayun

Ngelik:

Teja-teja, tejane wong kang Nembe kaeksi Sumunar pindha Sang Hyang Bagaskara

Page 121: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

104

Nyunani sagung para kawula Ingkang ayem tentrem sami ngudi ngudi Mring pakaryanira kinarya nyekapi Ing kwajibanira………

(Ki Piet Asmara) Sendhon Purwa Seba Pathet Wolu

Rupa candra sasi bumi Nabi Budha roning medi Sasadara wulan candra Bumi watak siji

(Ki Piet Asmara) Bendhengan Wayang Srambahan

Yana netra caksu naya Dresthinya maluncana Karna-karni suku loro Wategana marang sawiji Suku loro wategana marang sawiji.

(Ki Surwedi)

Yang disebut bendhengan sebenarnya greget saut yaitu se-buah lagu ada-ada (daerah Solo). Di Jawatimuran Ki Suleman me-ngatakan bendhengan bersuasana tegang. Bendhengan ini dimuat dalam Lagon Vokal Dalang Jawatimuran tulisan Djoemiran RA. Sendhon Angasih-Asih Slendro Sanga Jawatimuran

O..O.. dhahat atawang tangis e Sambat amelas asih Esmu kingkin ing panggalih

(Ki Cung Wartanu Mojosari-Mojokerto)

Oleh Ki Cung Wartanu, lagu sendhon ini dimunculkan seca-ra improvisasi. Menurutnya sendhonannya bukan itu. Sendhon yang biasanya kurang/ tidak susah. Kecuali sastra suluk yang berupa la-gon dalang, masih ada lagi sastra suluk yang berupa suluk ilmu gaib.

Pada umumnya, sastra suluk ilmu gaib tidak terungkap me-lalui lagon dalang, tetapi terungkap melalui tembang Macapat, berisi ajaran tentang ilmu gaib, ilmu kebatinan atau ilmu kasampurnaning pati. (S. Padmosoekotjo, Ngrengengan Kasusastran Jawi, tt. Hal. 80). Beberapa contoh sastra suluk ilmu gaib: Maskumambang:

Batur tukon lamun nrima mesthi dadi Ing kamardikannya

Page 122: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

105

Nadyan wong mardika yekti Yen loba dadi kawula

Artinya:

Budak (Batur tukon), maksudnya budaknya duniawi, orang yang mudah terpengaruh oleh duniawi sebab dari watak yang angkara murka Kamardikan (kebebasan), tidak dikuasai duniawi Rakyat kecil (kawula), yaitu Budaknya duniawi Jadi makna tembang itu adalah orang yang senang terha-

dap duniawi, sering disebut mangeran marang kadonyan. Memper-tuhankan barang-barang duniawi. Bagi mereka yang sudah tidak membudak pada duniawi, disebut telah merdeka. 3.2.1 Mijil

Sagung pangkat kang sing alami, Aywa sira raos, Yeku apan warana jatine, Marma singkirna aywa sira piker, Terusa lumaris, Nyenyandhang pitulung. Samangsane sira sinung luwih, Sing janma kinaot, Poma aywa kasengsem den angge, Nadyan katon solan-salin warni, Singkirana kaki, Ywa nganti kalimput.

Artinya:

Pangkat kemuliaan duniawi, kesenangan yang berada di dunia, kenikmatan duniawi, Jangan sekali-kali kamu rasakan kenikmatannya, supaya ti-dak terpathok pada kenikmatannya duniawi, Sebuah tirai. Maksudnya duniawi bisa menutupi jalan me-nuju kearah kesempurnaan pati, Jangan sekali-kali kamu rasakan kenikmatannya, supaya ti-dak terpathok pada kenikmatannya duniawi, Teruskanlah berperilaku yang menuju kepada kesempurna-an pati, Mohon pertolongan kepada Tuhan, dapatnya hati ini terbu-ka sehingga mendapatkan jalan menuju kesempurnaan pati.

Page 123: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

106

Pada saat kamu kaya berlebihan, Manusia mampu berbuat semuanya, Jangan sampai larut kepada keduniawian yang dimiliki oleh pribadimu, Meskipun duniawi itu berganti-ganti warna, rupa dan tidak membosankan…., Jauhilah mumpung masih bisa, Jangan sampai tertutup pemikiran atau penalaranmu oleh duniawi sehingga lupa akan tujuan awal, yaitu kesempurna-an pati.

Jadi tembang mijil yang terdiri dari 2 ayat atau 2 podo dan memuat ajaran tasawuf ini merupakan tuntunan bagi manusia yang meng-hendaki kesempurnaan.

Mijil Pituture Sri Rama Marang Wibisana

Damaring praja’ja mati-mati Sadege keprabon aywa kandheg madhangi jagad mangka panariking reh sayekti ing pati pinanggih kautameng prabu

Artinya:

Diyan atau obor yang menjadi obor daripada tubuh adalah hati atau pikir. Hati dan atau pikir adalah pelita hidup. Ne-gara, tetapi dalam suluk ini yang dimaksud negara adalah tubuh, Selama menjadi raja. Bagi ilmu kebatinan maksudnya ada-lah selama hidup di dunia, Jangan berhenti menerangi dunia, maksudnya jangan ber-henti berbuat baik, Agar mendapat kesempurnaan yang semesthinya, Kesempurnaan mencapai kematian, Agar matinya bias atau mampu baik. Tentu saja bila orang di dalam hidup dan kehidupannya se-

nantiasa berbuat baik dan berbakti serta berbuat darma tentu mati-nya nanti akan mendapatkan kemuliaan sorgawi. Jadi dalam hal ini, sang Ramawijaya di dunia sebagai jelmaan Wisnu memberikan aja-ran kepada seorang Wibisana yang telah bertaubat. Wibisana yang kesehariannya bertempat pada keluarga yang jahat, merasa disia-si-akan oleh Rahwana kakaknya, maka atas pertolongan Anoman ia mengabdikan diri dan sanggup membantu bersama-sama menghi-langkan laknat (iblis), yang berada pada diri kakaknya yaitu Rahwa-na. Akhirnya Wibisana menjadi murid Ramawijaya.

Page 124: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

107

Buku-buku yang memuat suluk, kebanyakan muncul pada jaman Islam. Seperti misalnya suluk Sukarsa, suluk Wujil, suluk Ma-lang Semirang. Di bawah ini petikannya: Suluk Sukarsa / Lagu: Girisa (Pelog)

Sastra gumelar ing jagad kang atuduh pangawikan, kang weruh ing tuduh sampurna tan ana ireng ing pethak, yen sira sampun waspada lumampaha alon-lonan, kebirira lan sumungah ujub loba singgahana.

Ki Sukarsa wus alayar ing sakathahing segara, Margane tekeng makripat tanpa etung urip pejah, Damare murub tan pejah panganggo mulya tan rusak, Asangu tan kena telas angungsi ing desa jembar.

Ki Sukarsa dennya layar perau sabar darana, Salat mangka tiyangira kinamudhen pangawikan, Linyaran amangun hak winelahan niat donga, Den watangi panenedha den pulangi lawan tobat. Den labuhi sukurulah den taleni lan kana’at. Den pulangi lan wicara den damari lan makripat. Ki Sukarsa dennya layar wus tekeng segara rakhmat. Kawasa denira layar wus tekeng segara ora.

Demikianlah suluk Sukarsa. Menurut Prof. Dr. RM. Ng. Pur-

bocaroko dalam Kepustakaan Jawa-nya, mengemukakan bahwa ki-tab suluk Sukarsa ini dalam bentuk tembang (ciri suluk), berupa çlo-ka, yaitu tembang cara kuna. Logat bahasanya adalah bahasa Jawa Tengahan (pertengahan) yang muncul antara Jawa Kuna dan Baha-sa Jawa Baru. Çloka ini terdiri dari 4 baris, di mana setiap baris ter-diri laku delapan dan delapan, sudah tidak berpatokan dengan Guru dan Lagu. Suluk Sukarsa empat itu merupakan bagian terakhir.

Adapun terjemahannya adalah: Sastra tergelar di dunia menunjukkan sebuah pengetahuan tentang tuntunan kesempurnaan, tak ada hitam pada putih, bagi orang yang telah mencapai hikmat berjalanlah pelan-pelan, takabur dan sombong perilaku tamak tentu disingkirkan.

Si Sukarsa bagaikan telah berlayar di segala lautan, seba-gai jalan untuk sampai ke tempat ma’ripat yang tidak mem-perhitungkan hidup atau mati,

Page 125: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

108

lampunya senantiasa menyala busana kemuliaan tak akan rusak, bekal yang dibawa tak akan habis, saat mengungsi di desa luas.

Si Sukarsa dalam pelayarannya, dengan naik perahu kesa-baran, shalat sebagai orang yang mengemudi tentang pengetahu-an, dijalani sebagai pembangun hak, dengan menggunakan ke-mudi niat dan doa dengan segala permohonan, diakhiri dengan pertobatan. Dilakukan dengan selalu bersyukur diikat dengan menggu-nakan kana’at, dilakukan dengan bela bicara dengan penerangan ma’ripat, si Sukarsa dalam pelayarannya telah berada pada lautan rakhmat, selamatlah dalam pelayaran itu sehingga sampai pada laut-an tiada (meninggal dunia?).

3.2.2 Suluk Wujil

Kitab suluk wujil berisikan ajaran Sunan Bonang kepada se-orang bajang, bekas budak raja Majapahit bernama si Wujil. Ajaran-nya tentang mistik. Dalam suluk wujil memuat tembang yang berma-cam-macam sejumlah 104 pupuh.

Kitab suluk wujil ini di dalamnya berisikan sebuah kalimat berbunyi Penerus Tinggal Tataning Nabi. Artinya, Penerus menyata-kan bilangan 9, Tinggal menyatakan bilangan 2, Tata menyatakan bilangan 5 dan Nabi menyatakan bilangan 1. Jadi kalimat itu menya-takan bilangan tersusun menjadi 9251. Kalimat yang setiap katanya menyatakan sebuah bilangan seperti di atas, dalam kesusasteraan Jawa disebut Sengkalan. Setelah terjemahannya berujud angka, ma-ka pembacaannyapun harus dibalik. Jadi bila jajaran angka itu beru-pa 9251, maka akan terbaca menjadi 1529. Jajaran angka terbalik inilah yang akan dinyatakan sebagai angka tahun, yaitu tahun 1529, pada jaman kerajaan Mataram diperintah oleh Ramanda Sultan Adung, yaitu Sinuhun Seda Krapyak. Dengan demikian jelas bahwa Kitab Suluk Wujil ini sudah ada sejak jaman Mataram. Di bawah ini-lah petikan tiga bait tembang Suluk Wujil, berupa sekar Dhandhang Gula:

dipun weruh ing urip sejati, lir kurungan raraga sadaya, becik den wruhi manuke, rusak yen sira tan wruh,

Page 126: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

109

hih ra wujil salakuneki, iku mangsa dadya, yen sira ‘yun weruh, becikana kang sarira, awismaa ing enggon punang asepi, sampun kacakrabawa.

Terjemahan:

hendaklah tahu akan hidup sejati, bagaikan sangkar badan ini, sebaiknya diketahui oleh sang burung, celaka bila tuan tak tahu, wahai sang wujil akan segala peri kelakuan tuan, tak akan bisa tercapai itu (oleh tuan), jika tuan ingin tahu, sucikanlah, tinggallah di tempat suci, yang tak diketahui orang.

aja ‘doh dera ngulati kawi, kawi iku nyata ing sarira, punang rat wus aneng kene, kang minangka pandulu, tresna jati sarira neki, siyang dalu tan awas, pandulunireku, punapa rekeh prayitna, kang nyateng sarira sakabehe iki, saking sipat pakarya.

Terjemahan:

tidaklah tuan jauh-jauh mencari kawi, kawi itu sungguh berada pada diri prabadi, semesta alampun telah rekandung di dalamnya, yang akan menjadi alat untuk melihat, cinta sejati akan diri tuan, ngat-ingatlah siang dan malam, akan penglihatan tuan itu, apakah (di manakah) tempat itu, yang nampak pada tubuh secara menyeluruh, yang muncul sifat fa’al.

mapan rusak kajtinireki, dadine lawan kaarsanira, kang tan rusak den wruh mangke, sampurnaning pandulu,

Page 127: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

110

kang tan rusak anane iki, minangka tuduh ing Hyang, sing wruh ing Hyang iku, mangka sembah pujinira, mapan uwis kang wruha ujar puniki, dahat sepi nugraha.

terjemahan: memang rusak keasliannya, akibatnya ada pada diri tuan, oleh karena itu yang tidak rusak hendaklah tahu, kesempurnaan pandangan, dan yang tidak rusak ini, akan menjadi petunjuk untuk menuju ke tempat Tuhan, yang tahu akan Tuhan, sembah pujinya akan diterima, memang jarang yang tahu akan sabda ini, dan sangat sepi dari anugerah.

3.2.3 Suluk Malang Semirang

Suluk Malang Semirang ditulis oleh Sunan Panggung tatka-la masuk ke dalam tungku perapian (tumangan) yang dipakai untuk membakar orang yang dianggap salah oleh pemerintah Demak se-bab merusak syarak. Buku ini berisi tentang perilaku kehidupan yang sudah sampai pada kejatiannya. Suluk Malang Semirang terdiri dari tembang Dhandhang Gula. Di bawah ini cuplikannya sebanyak 3 bait:

dosa gung alit tan den singgahi, ujar kufur kafir kang den ambah, wus luwung pasikepane, tan adulu-dinulu, tan angrasa tan angrasani, wus tan ana pinaran, pan jatine suwung, ing suwunge iku ana, iang anane iku surasa sejati, wus tan ana rinasan. pan dudu rasa karaseng lathi, dudu rasaning apa ‘pa, lawan dudu rasa kang ginawe, dudu rasaning guyu, dudu rasa kang angrasani, rasa dudu rarasan, kang rasa anengku,

Page 128: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

111

sakehing rasa kurasa, rasa jati tan karasa jiwa jisim, rasa mulya wisesa. kang wus tumeka ing rasa jati, sembahyange tan mawas nalika, lir banyu milih jatine, tan ana jatinipun, muni-muna turu atangi, saresiking sarira, pujine lumintu, rahina wengi tan pegat, puji iku rahina wengi sireki, akeh dadi brahala.

Terjemahan:

dosa besar kecil tak disingkiri, perkataan kufur kafir yang diturut, telah mabuk akan kelengkapannya, tiada pandang memandang, tiada merasa tak pula melepas rasa, tiada lagi yang (harus) dituju, memang sesungguhnya kejatiannya kekosongan, dalam kekosongan ada hadlir, dalam hadlir itu tersimpan makna sejati, tak ada yang harus dirasakan.

Bukanlah rasa terasa di bibir, bukannya lagi rasa apa apa, bukan rasa sesuatu yang dibuat, bukan rasa tertawa, bukan rasa melepas rasa, rasa bukan untuk dirasakan, rasa yang meliputiku, semua rasa yang terasa, rasa jati tak terasa roh jisim, (yaitu) rasa mulia kuasa.

Yang telah sampai pada rasa jati, sembahyang-nya tiada pandang waktu, pada hakekatnya laksana air mengalir, tiada jatinya, barang dikatakan tidur atau jaga, barang yang di angan, pujinya terus mengalir,

Page 129: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

112

tak putus siang dan malam, pujiannya siang malam, banyak menjadi berhala.

Demikian sastra suluk di bagian kedua yang tergolong su-

luk ilmu gaib. Tentu bukan hanya seperti yang tertulis di atas. Itu ha-nya sebagai contoh diambil sebagai gambaran saja. Masih banyak suluk ilmu gaib yang semua itu merupakan ajaran-ajaran rohani bagi umat manusia, khususnya masyarakat Jawa.

Seperti beberapa contoh di atas, bahwa suluk ilmu gaib bi-asa disebar dan diajarkan melalui tembang-tembang Jawa dengan sebagian besar berbentuk Tembang Macapat. Dari tembang-tem-bang Macapat ini oleh para dalang sering diambil menjadi sebuah wejangan dalam adegan-adegannya, meskipun tidak ditembangkan. Beberapa dalang mungkin hanya mengucapkan kalimatnya secara utuh, namun ada juga yang mengucapkan secara apa yang tersirat. Baik yang secara ditembangkan maupun diucapkan saja, yang jelas kesemuanya itu adalah Pitutur Luhur bagi penonton masyarakat agar berperilaku suci. 3.3 Sastra Lakon

Setiap dalang wayang kulit ataupun wayang golek atau juga wayang yang lain tentu mahir menampilkan lakon/cerita untuk disaji-kan dalam karya pertunjukkannya. Bagi para dalang pecantrikan pun tentu telah mendapatkan banyak lakon dari sang guru pecantrikan-nya. Namun demikian, dalam perkembangan baik dalang senior ma-upun yuniornya masih juga membutuhkan penambahan untuk lebih banyak lagi mendapatkan perbendaharaan lakon/cerita demi kekaya-an lakon itu sendiri.

Untuk itu sebagai sarananya, mereka tentu harus banyak membaca buku-buku atau tulisan yang memuat tentang lakon/cerita wayang, baik yang berbentuk tembang (puisi) ataupun prosa. Buku atau tulisan yang memuat dan mengungkapkan lakon/cerita wayang dan identitas tokoh dalam pewayangan itulah yang disebut Sastra Lakon.

Sejak jaman Hindu sampai sekarang buku-buku sastra la-kon telah banyak diterbitkan dengan jumlah yang sangat besar dan berisi lakon/cerita yang hampir tak terbilang. Ada yang berbentuk prosa dan ada yang berupa tembang. Buku-buku atau tulisan, sastra lakon yang isinya berbentuk kalimat prosa, contoh: 3.3.1 Tantu Panggelaran

Kitab ini tergolong tua, tetapi sudah menggunakan bahasa Jawa Pertengahan. Adapun isinya dengan berbahasa prosa, mengi-sahkan beberapa cerita, misalnya Batara Guru menciptakan sejodoh

Page 130: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

113

manusia di pulau Jawa yang kemudian berkembang biak. Mereka belum berpakaian dan belum dapat bertutur kata.

Para dewa diperintahkan untuk turun ke tanah Jawa supaya memberikan pelajaran kepada manusia agar mampu berbicara, ber-pakaian, membuat rumah dan alat-alat rumah dan lain sebagainya. Juga diceritakan bahwa pulau Jawa masih terapung sehingga mu-dah bergerak-gerak dan sering seperti timbangan. Sebelah timur be-rat, bagian barat mencuat ke atas dan sebaliknya. Dewalah yang akhirnya menerima perintah untuk menyeimbangkannya. Mereka ter-bang ke tanah Hindu (India) untuk mengambil puncak gunung Seme-ru dibawa ke pulau Jawa. Dimulai dari sebelah barat tanah gunung tadi dijatuhkan. Tetapi Jawa sebelah timur menjadi mencuat ke atas. Kemudian dari sebelah timur bagian tanah yang dijatuhi muncullah gunung-gunung, berupa gunung Katong atau gunung Lawu, gunung Wilis, gunung Kampud (Kelud), gunung Kawi, gunung Arjuna, gu-nung Kemukus dan puncaknya paling akhir jadilah gunung Semeru.

Dengan tertanamnya puncak yang memunculkan gunung semeru, maka pulau Jawa tidak lagi bergerak dan bahkan tidak akan bergerak-gerak lagi. Di situ juga diungkapkan tentang terjadinya ger-hana bulan yang menyadur cerita Mengaduk Samodera Manthana atau samudera susu dari kitab Adiparwa.

Juga diceritakan tentang Batara Wisnu turun menjadi raja di Jawa bernama Prabu Kandiawan. Kemudian menurunkan putera-pu-teranya Sang Mangukuhan, sang Sandang Garba, sang Katung Ma-laras, sang Karung Kala dan Wreti Kandayun. Cerita prabu Kandi-awan diturunkan ke kitab-kitab babad. Hampir di setiap kitab babad yang menceritakan jaman tersebut menyebut nama Kandiawan dan putera-puteranya.

Kitab Tantu Panggelaran terkait dengan kitab babad. Dan di dalam kitab tersebut terdapat nama-nama Medang Kamulyan, Me-dang Tantu, Medang Panataran dan Medang Gana. Dalam kitab Tantu Panggelaran juga memuat cerita yang bersifat Panggeli Hati dan lain-lainnya. 3.3.2 Tantri Kamandaka

Kitab Tantri Kamandaka bersumber pada kitab Pancatan-tra. Tantri Kamandaka berisi cerita tentang dongeng hewan. Namun kitab ini mengawalinya dengan cerita mirip seribu satu malam.

Ada seorang raja, setiap malam harus kawin dengan wanita yang masih gadis. Maka semua gadis di negeri itu hilanglah kepera-wanannya. Seorang gadis, anak puteri sang patih tinggal satu-satu-nya yang masih memiliki keperawanan. Ia bernama Dyah Tantri. Cantik rupanya, molek parasnya. Ia tidak luput dari keinginan nafsu sang prabu. Akhirnya Dyah Tantri tidak bisa apa-apa kecuali iya dan iya. Tetapi atas kecerdikannya, Dyah Tantri minta didongengkan se-buah cerita. Karena sang prabu sangat sayang kepadanya, maka

Page 131: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

114

mendongenglah sang prabu. Begitu dongeng tamat sang prabu me-nagih janji, Sang Dyah Tantri tidak menolak. Hanya dengan kelem-butan budi dan bicara sopan, dia merayu mohon agar didongengkan sekali lagi. Mendongenglah sang prabu, dan tamatlah. Tagihan dira-yu minta didongengi dan terus sampai sang prabu sendiri nafsu ka-winnya menjadi berkurang banyak, bukan setiap malam. Maka te-nanglah negeri itu.

Dalam kitab ini juga diceritakan tentang prabu Anglingdar-ma yang mengerti akan bahasa dialog hewan. Pada suatu hari, keti-ka sang prabu Anglingdarma sedang berburu di hutan, dilihatnyalah dua ekor ular sedang berlilitan dan bercumbu rayu. Setelah diamati dengan seksama, ternyata si ular betinanya adalah putera sahabat-nya Brahmana Naga raja. Dalam hati sang prabu mengatakan bah-wa perilaku si Nagini itu tidak pantas sebagai anak brahmana. Maka sebagai raja yang juga mempunyai kewajiban menjunjung tinggi go-longan brahmana, ular jantan itu dibunuh.

Nagini dipukul sehingga lari terbirit-birit sambil menangis keras hingga mengagetkan para cantrik ular. Setelah tiba dan meng-hadap sang rama brahmana Nagaraja lalu melaporkan tindakan sang prabu Anglingdarma yang berani mau mengumpulinya. Karena tidak mau lalu diperkosa dan dipukuli. Tanpa pikir panjang, sang brahmana Nagaraja langsung menuju ke kerajaan menemui sang prabu Aridarma. Sampai di kerajaan brahmana Nagaraja berubah menjadi ular kecil langsung ke kamar peraduan, yang kebetulan sang prabu sedang beradu. Sebelum tidur sang prabu menceritakan perbuatan buruk si Nagini putera sahabatnya itu kepada permaisuri Dewi Mayawati. Mendengar pembicaraan itu ular kecil itu keluar dari bawah peraduan dengan berujud brahmana, sambil mengucapkan rasa terima kasihnya atas peringatan yang diberikan kepada si Na-gini puterinya. Sang brahmana Nagaraja kemudian berkata kepada prabu Aridarma: “Sang prabu, karena anda telah berjasa kepada brahmana, maka perintahlah apa yang kau kehendaki!” Kemudian sang prabu menjawab ingin bisa dan mengetahui bahasa ucap dari semua hewan. Apa yang telah diinginkan prabu Aridarma dikabul-kan, dan mengertilah sang prabu Aridarma terhadap semua bahasa binatang.

Pada suatu saat, berdualah sang prabu di peraduan. Sang Aridarma mendengar suara seekor cecak sedang berkata dalam ke-luhannya: “Aduh setia sekali sang prabu Aridarma ini dengan Maya-wati permaisurinya. Sedangkan aku ini punya suami tidak pernah menyayangiku, tidak pernah memegangku seperti sang prabu me-ngasihi sang permaisuri Dewi Mayawati.”

Mendengar kata-kata keluhan dan sanjungan untuknya, sang prabu tertawa. Meskipun tawa itu hanya tawa kecil, namun itu sangat mengagetkan sang permaisuri. Maka hal itu ditanyakan dan hati Dewi Mayawati heran dan cemburu. Berhubung sang prabu Ari-

Page 132: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

115

darma tidak menjawab (ilmu itu tidak boleh saiapapun mengerti) ka-lau menjawab pasti mati. Besar keinginan sang dewi tetapi tidak dija-wab, maka memilih mati dibakar. Semua punggawa diperintahkan untuk membuat tungku perapian. Konon setelah jadi tungku perapian itu dan api mulai menyala, naiklah sang prabu bersama permaisuri. Sebelumnya, sang prabu telah bersedekah kepada fakir miskin dan para biksu.

Dengan rukun serta penuh mesra sambil bergandeng ta-ngan terus naik ke tungku perapian. Begitu sampai di puncaknya sang prabu mendengar suara kambing betina bernama Wiwita dan jantannya bernama Banggali. Pada saat itu Wiwita minta diambilkan janur kuning. Tetapi Banggali tidak mau dan Wiwita merasa tidak di-cintai, kemudian ingin mati. “Kalau ingin mati, matilah”, begitu Bang-gali. Demikian sang prabu perasaannya menjadi lebih rendah dari Banggali. Maka turunlah sang prabu dari perapian, tidak jadi masuk ke dalam perapian. Mayawati dan Wiwita akhirnya masuk tungku pe-rapian. 3.3.3 Kunjarakarna

Kitab ini berisi seorang raksasa bernama Kunjarakarna yang ingin menghapus dosanya agar menjadi manusia. Ia kemudian menghadap kepada Batara Wairocana (dalam Pedalangan Maharsi Budha Wirocana) yang menjabat sebagai pimpinan Dyani Budha.

Sang Kunjarakarna kemudian diperintah oleh sang Wairo-cana pergi ke neraka supaya mengetahui situasi kondisi neraka. Be-rangkatlah ia ke kahyangan sang Batara Yama. Sampai di kahyang-an Yomani dan sesudah bertemu dengan sang Yama, kemudian di-perlihatkanlah akan segala macam hukuman dan jiwa yang disiksa.

Demi melihat sebuah kawah yang dibersihkan, sang Yama memberi tahu bahwa kawah itu dibersihkan untuk menghukum sang Purnawijaya putera Batara Indra yang sangat besar dosanya. Kelu-arlah Kunjarakarna dari neraka itu dan langsung menemui kawannya sang Purnawijaya. Kunjarakarna kembali menghadap sang Wairoca-na dan kemudian diwejang. Dengan taat Kunjarakarna menjalankan wejangan-wejangan itu, maka sang Kunjarakarna menjadi manusia berwajah bagus. Sang Purnawijaya juga minta wejangan kepada sang Wairocana. Maka ketika ia meninggal yang mestinya dihukum 100 tahun, hanya menjadi 10 hari dan nyawanya boleh dikembalikan ke tubuhnya.

Kitab Kunjarakarna isinya sebagai pelajaran untuk orang-orang Budha golongan elit (Mahayana). Dan kitab ini juga promosi agar mereka senantiasa melakukan hal-hal yang baik, sesuai de-ngan ajaran sang Budha Gautama. Sudah barang tentu hal ini juga merupakan ajaran kepada para birokrat lainnya, agar selalu berpe-gang teguh sebagai umatnya Sang Hyang Maha Budha. Sedangkan

Page 133: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

116

penganut Budha yang terdiri dari kaum bawah, orang-orang miskin digolongkan sebagai umat Budha Hinayana. 3.3.4 Kitab Utara Kandha

Kitab ini termasuk kitab Kandha yang paling baru. Memang dipetik dari cerita Ramayana Walmiki bagian akhir dari Kakawin yang berbahasa Jawa Kuna. Kitab Utara Kandha yang baru, ditulis de-ngan menggunakan gubahan baru, berbahasa prosa. Isinya berma-cam-macam gubahan. Rincian ceritanya banyak sekali, misalnya ter-jadinya raksasa-raseksi, yaitu cerita tentang nenek moyang Dasamu-ka. Juga tentang lahirnya Dasamuka dan sikap dan sifat Dasamuka yang kejam dan tidak hormat kepada para dewa dan pendeta. Bah-kan cerita Arjunasasrabahu-pun dimuat juga. Dalam kakawin Rama-yana tidak memuat gubahan ini. Kitab Utara Kandha gubahan baru ini isi pokoknya adalah menceritakan Dewi Sinta ketika sudah pulang ke Ayodya.

Dikisahkan bahwa masyarakat masih mencemburukan ke-pada Sinta tentang kesuciannya selama berada dalam belenggu Da-samuka. Mendengar berita kecemburuan masyarakat, segeralah Ra-ma menyuruh Sinta pergi dari Ayodya dalam kondisi sedang hamil. Dalam perjalanannya sampai di sebuah pertapaan yang dihuni oleh seorang Empu bernama Walmiki. Kemudian Sinta tinggal di pertapa-an tersebut hingga melahirkan bayi kembar laki-laki diberi nama Ku-sa dan Lawa.

Dua orang anak Kusa dan Lawa inilah yang kemudian didi-dik Empu Walmiki sehingga pandai mampu membaca lontar, pandai bercerita. Bahkan bisa menceritakan kehidupan sang ayah yaitu Sri Rama hingga muncul buku Ramayana. Ketika Sinta akan kembali ke Ayodya memenuhi panggilan Sri Rama, tiba-tiba setelah beberapa langkah, buminya retak sangat lebar dan Sinta terjerumus ke dalam-nya dan meninggal. Sri Rama tidak lama kemudian harus pulang ke kahyangan sebagai Wisnu. 3.3.5 Korawaçrama

Dalam kitab ini menyebutkan sang Hyang Taya yang ditem-patkan di atas Sang Hyang Parameçwara (Batara Çiwa atau Batara Guru). Dalam bahasa Jawa kata Taya berarti kosong atau tidak keli-hatan, tidak bisa diraba, bersifat gaib. Sang Hyang Taya adalah na-ma untuk menyebut Tuhan orang Jawa-asli. Percaya kepada Sang Hyang Taya disebut Kapitayan. Di Jawa Sang Hyang Taya sama de-ngan Sang Hyang Tunggal atau Sang Hyang Wenang, itulah Tuhan orang Jawa asli dan masih ada nama lain.

Isi Kitab Korawaçrama juga beraneka ragam. Tetapi pokok isinya adalah para Korawa akan dilakonkan membalas dendam ke-pada Pandawa.

Page 134: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

117

Bagawan Abiyasa diminta untuk menghidupkan kembali pa-ra Korawa dan para sekutunya. Mereka-pun hidup atas kehendak Sang Begawan. Kemudian mereka merencanakan untuk mengada-kan pembalasan terhadap saudara-saudaranya yaitu Pandawa. Su-dah barang tentu dengan wataknya yang sombong itu mereka akan membuat sakit dan siksa serta susah bagi orang-orang Pandawa, bi-arlah hidupnya tidak tenteram. Tetapi apa mau dikata, belum lagi sampai kepada pembalasan, habislah cerita itu. 3.3.6 Kitab Bharatayuda (saduran baru)

Kitab ini jelas menyadur dari Kitab Bharatayuda yang lama. Disadur oleh Kiai Yasadipura jaman kerajaan Surakarta Islam. Tentu saja banyak hal yang disanggit untuk disesuaikan dengan pemikiran dan penalaran yang diperbarui oleh pengarangnya, dan yang pasti unsur ke-Islam-an tentu mendasarinya.

Namanya saja menyadur, tentu ada hal-hal yang berbeda atau bahkan dibedakan sebab kondisi maupun situasi alaminya su-dah mengalami pergeseran. Namun demikian banyak para ahli sas-tra yang mencela atau menyalahkan. Ki Yasadipura pun dalam pe-nyaduran Bhratayudanya dianggap hanya meraba-raba tidak me-ngerti Bharatayuda aslinya secara mendalam. Kritikan Purbocaroko yang dianggap meraba-raba itu misalnya begini : Di dalam Kitab Ka-wi bagian 10 bait yang ke-6 berbunyi, “Kunang tawuri sang nrepang Kuru ya kari lud brahmana, rikan sira sinapa sang dwija sagotra ma-tya laga”. Artinya, “Adapun tawur (tumbal atau korban) sang Duryu-dana adalah seorang brahmana (dengan cara dibunuh), menyusul-lah (tawur Pandawa), oleh sebab itu dikutuknyalah sang Duryudana oleh sang Brahmana itu, bahwa ia akan mati dalam peperangan ber-sama wangsanya.

Ada lagi yang dianggap meraba-raba atau kurang pas, ba-gian ke-12 bait ke- 5 yang kalimatnya berbunyi: “…prabu ing Ngas-tina, tawurira pandita Sagotra nak putuneki apan kinarya tawur Ngastina neggih. “ Terjemahan: ….” Prabu di Hastina, tawur atau korbannya pandita, Sagotra beserta anak cucunya memang sung-guh-sungguh dibuat tawur ( korban ) oleh Hastina.” Adapun yang di-anggap salah faham yang berhubungan dengan Sagotra itu memang sudah lama.

Di dalam lakon Bale Si Gala-gala, Sagotra adalah seorang satriya gunung (bang-bangan) yang baru saja kawin, tetapi istrinya ti-dak mencintainya. Berkat petunjuk Raden Arjuna, maka kedua-dua-nya mau saling menyeimbangkan cintanya. Jadilah hubungan suami istri itu sangat harmonis. Maka bersumpahlah Sagotra “Kelak jika pe-rang Baratayuda terjadi, sanggup menjadi tawur (korban) untuk para Pandawa.”

Demikan pula tentang matinya raden Jayad-ratha karena kepalanya terhempas oleh panah yang diceritakan dalam kitab Kawi

Page 135: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

118

bagian ke-16 bait ke-7 yang demikian “teka mara ye kisapwani bapa-nya atemah sirah juga.” Artinya “datanglah di pangkuan ayahnya yang terperanjat karena ternyata hanya kepala saja. Kata ye kisap-wani bapanya dipisahkan menjadi yeki sapwani bapanya. Dalam ki-tab Jarwa, sapwani lalu menjadi nama ayah raden Jayad-ratha, Ba-gawan Sapwani, yang dalam pewayangan menjadi Sempani.

Dalam kitab Kawi bagian ke-18 bait ke-2 berbunyi : “kuneng apan eweh anggra batane gati karya temen. Si tutu tatanpa nangga-ha mene kigegong sakareng”, artinya “memang sungguh berat (e-wed) orang akan menyelesaikan perkerjaan yang penting tetapi si patuh tak memikirkan barang sesuatu, itulah yang saya jadikan pe-gangan sekarang ini.”

Di sini kata Si tutu tatanpa diterjemahkan berbunyi si patuh tak memikirkan barang sesuatu-pun anut miturut boten mawi …. “ Si tutu ta menjadi Si tutu ka, lalu menjadi Si Tutuka atau Si Gathutka-ca. Memang “ta” dalam bahasa Kawi sering tertukar menjadi “ka”. Tutuka ada yang mengucap Tutruka. Itu semua terjadi sewaktu Ga-thotkaca minta diri untuk berhadapan dengan Adipat Karna.

Ada lagi ketika prabu Salya meninggal dalam pertempuran. Dewi Satyawati menerima laporan “wonten bhretya kaparcaya ‘tuha ya ta ‘jar i sira” (kita Kawi bagian 44 bait 1). Artinya ada prajurit yang dipercaya, dialah yang berdatang sembah kepadanya. Kata Tuha ya ta (tua ia itu) dijadikan nama patih negeri Mandraka bernama Tuha-yata. Dan yang lebih hebat lagi dalam bentuk wayangnya patih Tu-hayata ini menjadi terbakukan berwujud patihan bermuka hijau/biru. Bermata kedondongan, hidung dempak, berjamang dengan rambut terurai bentuk oren-gimbal, mengenakan sumping kembang kluwih, kalung ulur-ulur bermacam selendang, berkeris yang nampak ujud-nya, menandakan ia bukan satriya. Mengenakan gelang berpontoh dan berkeroncong, berkain rapekan tentara, bercelana selendang (cindhe) (Harjowirogo, Sejarah Wayang Purwa,1982 : 241 )

Juga anak Raden Setyaki yang berjumlah 9 orang itu tidak disebut nama-namanya, hanya disebut Sang Asanga artinya mereka yang 9 orang itu. Akhirnya sampai sekarang disebut Raden Sanga-sanga.

Masih banyak gubahan-gubahan yang baru dalam Bharata-yuda Yasadipura. Nampaknya Bharatayuda ini sangat disenangi banyak orang. Terbukti buku ini sering dicetak tidak di satu tempat. Sedangkan isi ceritanya tetap Korawa dan Pandawa berebut Negara Hastina. 3.3.7 Sena Gelung

Sena Gelung sebuah cerita wayang Jawatimuran petikan dari lakon Ramayekti versi Jawatimuran. Lakon Sena Gelung belum pernah terbukukan. Judul Sena Gelung-pun hampir-hampir belum banyak yang mengetahui. Hanya beberapa dalang saja yang pernah

Page 136: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

119

menampilkan. Mereka tahu dan mengerti apa maksud dan tujuan la-kon itu ditampilkan.

Atas persetujuan ki Dalang Suleman, seorang dalang seni-or dari Gempol, Pasuruan, Jawa Timur dan didukung oleh para da-lang yang lain, lakon Sena Gelung ini disusun dalam pakeliran sing-kat oleh Djumiran RA. Lakon ini dipentaskan pertama kali oleh ki Da-lang Suleman dengan waktu 3 jam, tahun 1995 di kota Malang.

Lakon ini terjadi setelah Bratasena selesai membabat hutan Samartalaya. Sementara belum mampu membuat besar, maka me-reka para Pandawa hanya membuat rumah seadanya, dengan diberi nama Pondhok Waluh (rumah janda).

Di luar Pondhok Waluh agak jauh, Bratasena yang juga bernama Pujasena (Wijasena) sedang duduk di atas batu sambil me-lamun dengan banyak pertanyaan. Aku ini bernama Sena, padahal Sena berarti prajurit. Prajurit kan harus sakti. Benarkah aku ini sakti. “Hm… kalau begini, aku jadi ingat pesan Abiyasa kakekku”. “Keta-huilah cucuku Sena, kamu besok akan menjadi orang kuat, kamu su-ka menolong, kamu akan menjadi sentosa dan kuat. Bersihkan diri-mu, sisirlah rambutmu yang gimbal itu dengan Jongkat – Penatas, carilah !”. “Dimana aku harus mencari Jongkat Penatas? Siapa pu-nya Jongkat itu? Siapa yang menyisir ?

Demikian lamunan Sena tak kunjung henti. Semakin lama semakin dia berpikir. Memikirkan ibunya yang adalah seorang Walu (janda), adik dan kakanya dalam percarian makan sehari-hari masih harus bergantung kepada kekuatan pribadinya… “bagaimana ini”? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berkecamuk dalam pikirannnya me-lalui lamunan. Melamun, melamun terus melamun.

Dia sang Wijasena semakin lupa akan tempat dimana dia berada. Siapapun yang lewat tidak akan tahu. Tetapi dengan tiba-ti-ba ia tergerak keras sampai tergeser duduknya. Ada apa gerangan ? Wijasena membelalakkan mata karena bahunya disentuh orang, langsung berdiri secara reflek tangan kanannya bergerak Nempe-leng orang yang menyentuh tadi.

Sudah barang tentu yang ditempeleng itu jatuh terjungkal jauh karena kerasnya tempelengan Wijasena. Tetapi orang itu terus ditolong sama Wijasena, sebab ia tahu bahwa yang ditempeleng ke-ras sampai terjungkal itu Raden Patih Harya Suman. Sesudah agak reda maka bertanya BrataSena (Wija-Sena) kepada Sengkuni. “Pa-man Harya Sengkuni, ada apa sebenarnya bahwa patih meNemuiku dengan sikap yang mengagetkan aku?” Patih Harya Sengkuni/Su-man dengan pura-pura bilang bahwa ada raksasa setan ngamuk mencari Bratasena. Merasa pernah membabad hutan Samartalaya dan serta merta membunuh setan, maka meloncatlah Wijasena lari mencari raksasa setan yang akan membalas dendam. Hati Sengkuni girang sukacita sambil meloncat-loncat bertepuk tangan.

Page 137: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

120

Bratasena selalu ingat pesan Resi Wiyasa kakeknya, supa-ya hati-hati dalam bertindak. Jangan tergesa-gesa dan terburu nafsu dalam setiap mengambil keputusan. Terpaksa berhenti Wijasena sambil menanti patih Sengkuni. Wijasena bertanya: “Betulkah paman yang mencari aku itu raksasa setan?” patih menjawab dengan pura-pura “betul nak betul, mari nak keburu prajurit Astina banyak yang mati.”

Seketika itu Wijasena meloncat dengan tiga loncatan, ter-nyata sebelum mendekat “benar-benar ada raksasa setan menga-muk.” Wijasena berdiri menyelinap sambil mengintip siapa sebenar-nya raksasa yang disebut oleh Sengkuni “Buta (raksasa) – Setan” itu? Dari tempat mengintip, Wijasena sudah bisa memastikan bahwa itu bukan raksasa-setan tetapi memang raksasa. Wijasena juga mendengar raksasa itu mengatakan, namanya “Wreka” mencari ka-kaknya bernama Wangsatanu yang berada di negeri Astina. “siapa Wangsatanu?” pikir Wijasena. Dengan melihat perang kerubutan orang Astina terhadap Wreka seorang, Wijasena meloncat mendekat Wreka dipukuli, ditendang, dikenai pisau gobang, tusukan keris, tlo-rongan tombak di tubuhnya tidak dirasakan, bahkan tidak mempan. Bagi Wijasena, ini adalah penghinaan.

Setelah dekat dengan raksasa itu, semua prajurit Astina di-suruh menyingkir. Sekarang tinggal Wijasena dengan Wreka. Demi-kian Wreka merasa menemukan apa yang dicari. Maka ditubruknya-lah Wijasena. “Lha… inilah yang kucari, he… kakang Wangsatanu, aku adikmu Wreka sangat merindukanmu, hayo kakang terimalah sembahku kakang.” Mendengar ajakan Wreka seperti itu, Wijasena menjadi marah …, dan semakin marah…, bahkan menjadi marah besar. Akibatnya dengan kekuatan yang sebesar kekuatan Wreka di-ringkus dan diinjak sampai tidak mampu bergerak, maka katanya si Wreka “jelas, jelas sekali kamu kakangku Wangsatanu, aku tidak akan menang denganmu kakang, jika tidak menerima sembahku, maka bunuh saja aku, asal yang membunuh kamu kakang Wangsa-tanu ya kakang Wijasena. Aku lega karena yang kucari sudah kute-mukan.”

Tidak berapa lama, datanglah wanara seta (kethek putih), si kera putih melerai keduanya. Wreka diajak mundur berada di bela-kang Wanara Seta (Anoman) yang berdiri berhadapan dengan Wija-sena. Wanara Seta (kera putih) menjelaskan bahwa Wreka itu can-triknya sendiri di pertapaan Kendalisada. “Yang menempati Kendali-sada itu aku sendiri. Nama saya Bhagawan Kapiwara, juga bernama Raden Anoman.”

Wijasena merasa heran, kera kok pendheta, kera kok Ra-den (raden dari mana). Namun demikian Bratasena mengangguk tanda setuju. Kemudian Bratasena bertanya, ”ada maksud apa Wre-ka mencari Wijasena/Bratasena?” Anoman menjelaskan bahwa Wre-ka baru saja bermimpi akan mendapat ketenteraman jika sudah ber-

Page 138: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

121

temu kakaknya yang bernama Wangsatanu yang berada pada priba-di satriya Astina. Kecuali itu Anoman juga menjelaskan bahwa syarat ketenteraman itu bisa diraih Wreka yang harus juga menyisir rambut gimbal milik seorang pemuda yang belum diketahui namanya. Syarat yang lain ialah nama Wreka harus dipakai oleh pemuda yang disisir itu. Wijasena rupanya tertarik dengan apa yang dikatakan oleh Ano-man. Kemudian menanyakan siapa diri Anoman itu dan kenapa bu-sana yang dipakai Anoman sama dengan busana yang dipakainya. Padahal busana yang dikenakan Wijasena pemberian Sang Batara Bayu.

Begitu mendengar pertanyaan Wijasena, Anoman sang wa-nara seta (Anjila) teringat akan pesan sang guru nadi (Batara Va-yu/Bayu) bahwa kalau ketemu pemuda yang berbusana sama itulah saudaramu Satu Puruhita bernama Bratasena/Wijasena (Bungkus). Sesudah semuanya jelas maka Wreka yang sudah lama membawa pusaka Jungkat Penatas segera menyisir rambut gimbalnya Wijase-na. Terurailah rambut gimbal Bratasena. Puaslah Wreka karena sembahnya diterima. Oleh Anoman rambut yang sudah terurai bersih kemilau kehijau-hijauan itu digelung. Karena digelung brodhol-bro-dhol (terurai) terus, sehingga harus disangga dengan sumping Pu-dhak Sinumpet. Maka selesailah Gelung Wijasena, dan diistilahkan Gelung melengkung pindha lung gadhung (gelung melengkung se-perti ranting pohon gadung). Ketiganya saling merangkul dan nama Wreka terus dipakai oleh Bratasena menjadi Wrekodara (Wreka arti-nya anjing ajag, udara artinya perut). Upacara Sena Gelung diberi nama Pujasena Cawis Prawira. 3.3.8 Sastra Berbentuk Kakawin

Buku/tulisan sastra lakon/cerita yang berbentuk tembang Kawi atau Kakawin, di antaranya ialah:

3.3.8.1 Kresnayana, karangan Empu Triguna.

Isinya meriwayatkan Kresna yang sebagai anak nakal seka-li, tetapi dikasihi orang karena suka menolong dan mempunyai ke-saktian yang luar biasa. Setelah dewasa ia menikah dengan Rukmini dengan jalan menculiknya.

3.3.8.2 Gathotkacaçraya, karangan Empu Panuluh

Isinya menceritakan peristiwa perkawinan Abimanyu de-ngan Siti Sundhari, yang hanya dapat dilangsungkan dengan bantu-an sang Gathotkaca. Dalam kitab ini untuk yang pertama kali muncul tokoh-tokoh punakawan, seperti Jurudyah, Prasanta dan Punta se-bagai pengiring Raden Abimanyu.

Page 139: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

122

3.3.8.3 Arjuna Wiwaha, karangan Empu Kanwa Isinya meriwayatkan Arjuna yang pertapa untuk mendapat-

kan senjata, guna keperluan perang melawan Korawa, kelak dalam Bharatayuda. Sebagai petapa Arjuna berhasil pula membasmi raksa-sa Nirwatakawaca yang menyerang Kahyangan. Sebagai hadiah, Ar-juna boleh hidup di Indraloka beberapa lama. Kitab ini digubah oleh Empu Kanwa pada masa Airlangga raja di Jawa Timur dari sekitar tahun 941 – 946 saka (019 – 1042 Masehi). 3.3.8.4 Smaradahana, karangan Empu Darmadja Ketika batara Siwa sedang bertapa, seorang raja raksasa bernama Nilarudraka datang di Kahyangan untuk merusak Sorga. Sang Kamajaya disuruh oleh para dewa untuk menyusulnya. Sampai di tempat bertapa, Kamajaya berkali-kali membangunkan tapanya dengan berbagai cara, tetapi gagal. Dicoba dengan panah bunga-nya-pun gagal juga. Akhirnya dipanah pamungkasnya yaitu panah Pancawiyasa yaitu sebuah panah yang bisa membangkitkan rasa rindu-dendam terhadap pendengaran dan persaan, penglihatan yang serba nikmat.

Seketika itu juga, Batara Siwa rindu terhadap isterinya Sang Batari Uma. Namun Batara Siwa marah karena tahu bahwa itu adalah ulah Kamajaya. Maka dari “mata-ketiga” Batara Siwa terpan-carlah api menempuh dan membakar Kamajaya sehingga matilah Kamajaya. Batara Siwa melenjutkan perjalanan pulang ke Sorga. Sampai di Sorga bertemulah dengan permaisuri, kerinduan bisa le-pas dan tersalur hingga sang Batari hamil.

Sementara Kama Ratih mencari sang suami yang mati ter-bakar, terlihat tangan Kamajaya bagaikan melambai-lambai, maka Ratih menggelebyur ke dalam nyala api (dahana mulat) hingga ter-bakar dan mati. Oleh Batara Siwa keduanya tidak dimaafkan, Kama-jaya disuruh menyatu dengan tubuh setiap lelaki dan Batari Ratih ha-rus menyatu pada tubuh setiap perempuan sampai sekarang.

Dicerikan kehamilan sang Batari Uma telah sampai pada saat kelahirannya. Maka lahirlah seorang bayi (jabang-bayi) berke-pala gajah. Ini akibat dari waktu hamil sang Uma terkejut melihat ga-jah yang dibawa oleh para dewa ketika pura-pura menjenguk Batara Siwa. Bayi yang lahir itu diberi nama Batara Ganesa. Kehadiran raja raksasa Nilarudraka yang akan merusak sorga itu dapat dipukul mundur dan dibunuh oleh Ganesa.

Kitab Smaradahana juga menyebut nama raja Kediri Prabu Kameswara titisan Kamajaya yang ke-3. Parameswari Sri Kirana Ra-tu sebagai titisan Kama Ratih. Pemerintahan Kameswara ini terjadi pada tahun 1037 – 1052 Saka atau tahun 1115 – 1130 Masehi.

Page 140: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

123

3.3.8.5 Bomakawya Kitab ini berisi cerita peperangan antara Sri Kresna mela-

wan sang Boma. Demikianlah cerita peperangan tersebut. Kehadiran Batara Narada di negara Dwarawati minta tolong

kepada Sri Kresna agar membunuh para bala raksasa anak buah (prajurit) sang Boma, yang sedang mengepung ke Inderaan. Samba putera Sri Kresna diperintahkan untuk berangkat mendahului bersa-ma-sama beberapa tentaranya. Sampai di kaki gunung Himalaya, bertempurlah mereka melawan raksasa-raksasa dan musnahlah se-mua bala raksasa.

Dengan berakhirnya perang itu Raden Samba melihat se-buah pertapaan rusak dan sepi, hanya ada seorang jejanggan ber-nama Puthut Gunadewa. Di situlah Raden Samba menanyakan ba-gaimana riwayat pertapaan itu. Sang Gunadewa kemudian menceri-takannya, bahwa tempat itu adalah bekas pertapaan Sang Dharma-dewa putera Batara Wisnu.

Sesudah sang Dharmadewa wafat, maka permaisurinya menjadi tapa-tapi di pertapaan tersebut. Tetapi tidak lama kemudian, permaisuri yang bernama Yadnawati itu meninggal. Terakhir perta-paan ini ditempati oleh seorang pendeta gurunya Gunadewa berna-ma Pendeta Wismamitra.

Mendengar cerita si jejanggan Gunadewa, maka terlintas-lah kembali dalam ingatan Raden Samba bahwa Dharmadewa (pute-ra Wisnu) itu adalah dirinya sendiri. Ia sekarang sangat rindu kepada Yadnawati.

Sementara kerinduan Raden Samba terhadap Yadnawati ti-dak terbendung, datanglah Batari Titlotama yang mengatakan bahwa Yadnawati menitis pada puteri raja dari utara nagara dan namanya tetap Yadnawati. Tetapi karena kerajaan diserang oleh seorang raja raksasa prabu Boma, ayah ibunya meninggal. Kini sang puteri dipeli-hara sang Boma.

Raden Samba diantar oleh Batari Titlotama, dengan diam-diam menemui sang Yadnawati. Di situ pula Samba berhadapan de-ngan bala raksasa penjaga. Samba mampu mengalahkan para pen-jaga dan matilah penjaga itu. Tetapi Yadnawati telah dibawa oleh Boma ke negaranya yang lain di Projatisa.

Batara Narada datang memberitahukan agar Raden Samba kembali ke Dwarawati, sebab di situ bahaya mengancamnya. Cepat-cepat Raden Samba ke Dwarawati tetapi tak bisa bertemu kekasih-nya sang Yadnawati. Gandrung tak terelakkan hingga sakit. Kresna ayahnya marah, Boma dibunuhnya. Raden Samba sembuh dan lalu dipertemukan dengan Yadnawati, bermadu asmara. Buku ini penga-rangnya tidak jelas.

Page 141: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

124

3.3.8.6 Sutasoma Raden Sutasoma seorang pangeran yang diperanakkan

oleh raja Mahaketu di negeri Astina. Ia tidak mau diangkat sebagai pengganti ayahnya dan juga tidak mau dikawinkan, ia pemeluk Bu-dha Mahayana, sangat rajin. Suatu saat Raden Sutasoma pergi dari istana, semua pintu terbuka bagaikan memberi jalan kepadanya. De-ngan kepergian Sutasoma tentu raja dan parameswarinya sangat se-dih. Penghibur istana tidak terhiraukan.

Perjalanan Raden Sutasoma sampai di sebuah hutan, meli-hat kuil kecil dan masuklah ia memuja kepada Maha Budha. Datang-lah batari Widyukarali yang memberitahu bahwa permohonannya di-kabulkan.

Kemudian Raden Sutasoma naik ke gunung Himalaya de-ngan dihantar oleh para pendeta. Sampai di sebuah pertapaan, se-mua yang dilakukan Raden Sutasoma diceritakan kepada orang yang ada di situ. Di samping itu, Raden Sutasoma juga mendapat cerita tentang seorang raja yang bagus rupa tetapi titisan raksasa yang gemar memakan daging manusia. Raja itu bernama prabu Pu-rusada atau Kalmasapada. Suatu saat daging yang akan disantap hi-lang dimakan anjing dan babi.

Sudah barang tentu pelayan itu bingung. Maka dicarinyalah mayat manusia yang baru untuk diambil dagingnya sebagai santap-an sang prabu Purusada. Ternyata pelayan itu langsung memasak daging yang didapatnya. Setelah disantap, ternyata daging sebanyak itu habislah. Dengan merasakan segar dan nikmat, sang prabu Puru-sada menanyakan daging apa yang baru disantapnya? Dengan jujur ia menjawab ”daging manusia”. Demikian kesenangan makan daging manusia bagi sang Prabu Purusada semakin tak terbendung. Akibat-nya penduduk di negeri itu habis dimakan.

Karena kuasa Sang Hyang Wenang, raja raksasa itu terluka kakinya dan tidak bisa disembuhkan, akhirnya ia benar-benar menja-di raksasa penghuni sebuah hutan. Sang Purusada merasa tersiksa atas kakinya yang sakit itu. Lalu berjanji akan mempersembahkan seratus raja untuk santapan batara Kala bila sembuh kembali.

Batari Pertiwi dan para dewa meminta Sutasoma untuk membunuh raja Purusada, tetapi tidak mau. Raden Sutasoma mene-ruskan perjalanannya dalam rencana untuk bertapa. Dalam perjalan-annya Raden Sutasoma bertemu dengan raksasa berkepala gajah yang juga pemakan daging manusia. Kebetulan Raden Sutasoma ti-dak mau dimakan, maka bergulatlah, dan raksasa terguling ditindih olehnya. Ia merasa keberatan, bagaikan tertindih gunung. Raksasa berkepala gajah itu kemudian tunduk kepada Raden Sutasoma. Di-ajarlah ia supaya tidak suka membunuh orang dan kemudian menja-di sahabatnya.

Seekor naga besar yang menyambar Raden Sutasoma ter-nyata bisa ditaklukkan oleh raksasa kepala gajah dan menjadilah

Page 142: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

125

muridnya. Ada seekor harimau yang akan memangsa anaknya sen-diri (gogor). Oleh Raden Sutasoma dilarangnya, harimau tadi mema-kan dirinya. Langsung saja Raden Sutasoma ditubruknya dan mati-lah. Dengan kesadaran sendiri harimau itu merasa berdosa dan me-nangislah pada kaki Raden Sutasoma dan ingin mati saja.

Sutasoma dihidupkan oleh Batara Indra. Setelah saling ber-dialog, Indra kembali ke Kahyangan. Raden Sutasoma lalu bertapa. Meskipun banyak godaan tetapi tak tergoda, malah menjelma seba-gai sang Budha Wairocana. Setelah para dewa ingin menghormat maka menjadi Raden Sutasoma kembali dan langsung pulang.

Sepupu Raden Sutasoma yang bernama Prabu Dasabahu sedang berperang melawan tentara raksasa Prabu Kalmasapada. Raksasa kalah mengungsi kepada Raden Sutasoma. Prabu Dasaba-hu, mengejarnya ternyata ketemu dengan sepupunya. Bala raksasa disuruh kembali. Raden Sutasoma diajak pulang ke negerinya, terus dikawinkan dengan adiknya Prabu Dasabahu, dan berputralah mere-ka, terus pulang ke Astina bergelar Prabu Sutasoma.

Prabu Purusada yang sudah mampu mengumpulkan 99 orang raja tinggal seorang saja segera akan diserahkan ke Batara Kala. Ternyata setelah ketemu dengan Prabu Sutasoma yang sang-gupkan dirinya sebagai penggenapan jumlah 100 orang raja.

Sebelum sampai di hadapan Batara Kala, sang Prabu Puru-sada terharu akan kesanggupan Prabu Sutasoma. Akhirnya berto-batlah sang Purusada dan 99 orang raja tawanan dibebaskan.

Kitab Sutasoma ditulis pada jaman pemerintahan Raja Ha-yam Wuruk di Kerajaan Majapahit. Induk karangan ada di negeri In-du. Sayang sekali siapa penulisnya tidak diketahui dengan jelas. 3.3.8.7 Parthayadnya

Purbocaroko, dalam Kapustakan Jawa-nya mengungkap-kan bahwa buku Parthayadnya sederet dengan Kitab Arjunawijaya dan Sutasoma. Pernyataan pada isi buku, bahwa buku ditulis pada jaman Majapahit pertengahan sampai akhir. Isi kitab ini mengisahkan kehidupan orang Pandawa sesudah kalah main dadu. Mereka diper-malukan, dianiaya diseret ke hadapan para raja yang berkumpul di negara Astina. Kemudian dibuang ke hutan selama 12 tahun.

Akhirnya dalam mempersiapkan diri, oleh Yudhistira, Arjuna disuruh bertapa di gunung Indrakila. Dalam perjalanannya sang Arju-na singgah di pertapaan Bagawan Mahayani di dalam hutan Wana-wati. Ketika laju perjalanannya Arjuna bertemulah dengan Dewi Sri (wahyu istana Indraprastha) yang pergi meninggalkan istana karena raja Yudhistira telah berbuat kurang pantas. Ia sanggup kembali ke istana asal dipelihara. Maka gaiblah wahyu Dewi Sri.

Arjuna juga bertemu dengan Kamajaya dan diberi weja-ngan-wejangan berharga dan diberi peringatan bahwa akan datang mara bahaya yang dibawa oleh seorang raksasa bernama Nalamala

Page 143: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

126

yang berkepala 3, yaitu sebuah kepala gajah, sebuah kepala raksa-sa dan yang ketiga kepala garuda.

Setelah diperingatkan oleh Kamajaya, tidak lama kemudian Arjuna diserang oleh Nalamala. Tetapi hanya dengan bersemedi sang Arjuna nampak berbadan Batara. Nalamada takut dan pergilah dengan ancaman suatu saat nanti akan ketemu berperang lagi, pada jaman Kaliyuga.

Dalam perjalanan selanjutnya Arjuna bertemu dengan sang kakek Maharsi Wiyasa. Diberi petunjuk dan wejangan tentang perila-ku hidup dan kehidupan bagi seorang satria bangbangan (bambang-an). Usai diberi wejangan, di antar ke Indrakila dan bertapalah.

Prof. Dr. R.M.Ng. Purbocaroko dalam Kepustakaan Jawa-nya, menjelaskan bahwa Kitab Parthayadnya tidak mengandung lakon. Hanya menceritakan perjalanan Raden Arjuna untuk menuju bertapa ke Indrakila yang dalam perjalanannya mendapatkan ajaran dan ilmu bermacam-macam. Penulis buku Parthayadnya juga tidak jelas, namun hal ini disejajarkan dengan kitab Sutasoma.

Demikian beberapa buku (tulisan/sastra) yang diambil dari buku yang bertembang dan sastra prosa. Tentu masih banyak baca-an-bacaan lain yang berhubungan dengan sastra lakon. 3.4 Sastra Gending

Gending adalah lagu-lagu yang dimainkan dengan menggu-nakan gamelan. Pembicaraan Sastra Gending tidak akan menguta-makan masalah gendingnya, tetapi lebih dikhususkan pada Kesu-sasteraan yang ada kaitannya dengan gending, yaitu Kesusasteraan termuat dalam tembang. Dalam bernyanyi atau nembang sering ter-dengar istilah syair (cakepan), bawa atau buka, Jineman, umpak, senggakan, gerong, sindhenan, laras, titilaras, irama, pathet, ceng-kok, merong, dan pedhotan. 3.4.1 Syair (Cakepan).

Cakepan itu berupa sususan kata-kata terpilih yang kemu-dian tersusun menjadi kalimat indah dan kemudian dipakai dalam tembang, gerong, senggakan, suluk, sindhenan, Jineman. Jadi ja-ngan salah tafsir, bahwa yang dimaksud cakepan itu bukan tem-bangnya, melainkan kata-katanya.

Biasanya dalam cakepan memuat Purwakanthi (kalimat bersanjak) guru swara, guru sastra, lumaksita. Demikian juga memu-at parikan, wangsalan, guritan dan sebagainya.

Selanjutnya bagi seorang vokalis sudah tentu akan bernya-nyi dengan melagukan kalimat tembang dengan jelas. Si pendengar akan menangkap lebih jelas sehingga tujuan kalimatnya dapat dime-ngerti dengan jelas juga. Orang nembang jawa jangan grayem (sua-ra senandung) dituntut perubahan huruf vokal harus jelas.

Page 144: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

127

3.4.2 Bawa / Buka Bawa adalah sebuah lagu vokal sebagai pendahulu gen-

ding yang akan dimainkan. Namun demikian permainan sebuah gen-ding juga bias didahului dengan Buka, yang pada umumnya meng-gunakan instrument gamelan Rebab atau Gender. Biasanya juga de-ngan Bonang atau dengan Kendhang, dan biasa juga dengan meng-gunakan Gambang meskipun jarang. Yang jelas sebelum Buka / Ba-wa dilagukan, seyogyanya ada lagu pathetan agar tidak terjadi tum-pang tindih suasananya.

3.4.3 Jineman

Jineman itu bagian dari kalimat bawa yang dilagukan seca-ra bersama. Bisa dilagukan oleh para vokalis (wiraswara) sebuah pa-nembrama.

Jineman juga sebuah bentuk lagu yang permainannya dila-gukan oleh sorang Sindhen bersama gamelan yang bernada lembut saja, misalnya Gender Barung (Gender babon), Gender Penerus (Gender lanang), Slenthem, Siter, Kendhang, Gong kempul dan Ke-nong, contoh Jineman Uler Kambang, Mari Kangen, Kandheg, dan sebagainya. 3.4.4 Umpak

Umpak-umpak adalah bagian gending yang tidak digerongi, khususnya bagi gending yang berbentuk ketawang. Umpak-umpak seperti ini biasanya dimulai dengan menggunakan buka swara atau salah satu alat gamelan.

Ada lagi umpak-umpak yang menggunakan syair atau kata (cakepan), itu biasanya dilagukan pada penyajian panembrama., dan cakepannya biasanya menggunakan parikan, contoh rujak nangka rujake para sarjana, aja ngaya dimen lestari widada. Kalimat dua ba-ris yang di atas itu berupa parikan isinya memberikan patuah kepada setiap insan hidup dalam kehidupannya agar berlaku sabar tidak emosional supaya mendapat selamat, contoh parikan lain kembang menur tinandur ing pinggiring sumur, miyar miyur atine wong ora ju-jur. Kalimat parikan di atas juga mengandung pendidikan bagi setiap umat manusia agar di dalam kehidupannya melakukan kejujuran.

Namun perlu dimengerti, bahwa kedua cakepan tersebut yang menggunakan kata awal rujak dan kembang juga berupa pur-wakanthi. Cakepan yang diawali dengan kata rujak dalam sastra Ja-wa disebut purwakanthi swara, dan yang diawali dengan kata kem-bang disebut purwakanthi aksara. 3.4.5 Senggakan

Ada satu atau beberapa kata yang terlontar pada sela-sela cakepan yang dibunyikan, kata-kata itu didalam kesusasteraan Jawa

Page 145: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

128

dinamakan orang sebagai Senggakan. Ada senggakan yang dilagu-kan dan ada yang tidak dengan dilagukan. Contoh senggakan yang dilagukan: ayu kuning bentrok maya, sing lanang seniman, sing wa-don seniwati, e.. obakso.., eling-eling sing peparing...dan lain-lain.

Yang sangat aneh, bahwa antara cakepan dan senggakan tidak ada keterkaitan baik arti ataupun maksud dan tujuannya, tetapi bersatu dalam sebuah bingkai gending atau lagu. Sedangkan seng-gakan yang tidak dilagukan misalnya: ha.. e, so…, lho..lho..lho.., ha..yo..ta.., dan lain sebagainya. Tanpa lagu tetapi membikin sema-rak dari gending/lagu yang di senggaki. Demikian juga yang terung-kap dengan lagu itupun juga menambah suasana menjadi lebih gem-bira, suka cita dan menyegarkan jiwa. 3.4.6 Gerong

Gerong adalah nembang bersama-sama, dibarengi dengan gamelan dalam memainkan gendingnya. Gerong ini ditembangkan sesudah umpak-umpak. Biasanya menggunakan cakepan yang di-ambil dari tembang Macapat yang jumlahnya 14 atau 15 buah itu, misalnya: Kinanthi

Nalikanira inga dalu Wong agung mangsah semedi Sirep kang bala wanara Sadaya wus samiguling Nadyan ari sudarsana Wus dangu nggenira guling

Pucung

Ngelmu iku kalakone kanthi laku Lekase lawan khas Tegese khas nyantosani Setya budya pangekese durangkara

Bisa juga cakepan gerongan ini diambil dari tembang Tengahan, mi-salnya: Juru Demung

Cirine serat iberan Kebo bang sungunya tanggung Saben kepi mirahingsun Katon pupur lelamatan Kunir pita kusut kayu Wulu cumbu madukara Paran margining ketemu

Page 146: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

129

Balabak Rogok-rogok asradenta gedhe-dhuwur Dedege Godheg tepung mberuwes nggabres anjemprok Jenggote.

Girisa Amiyos kang Jeng Sang Nata, saking paraba suyasa ginar-beging upacara, kang ngambil srimpi badhaya myang manggung ketanggung jaka, palara-lara sadaya Sri Nata ngrasuk busana, kadhaton tuhu respatya. Jadi seperti yang tergabung dalam penataan karawitan

bahwa gerong sering terucap nggerong adalah nembang. Gerongan adalah barangnya, penggerong adalah pelaku (wiraswara). Untuk itu perlu dipertegas bahwa gerongan yang berwujud barang yang ditem-bangkan itulah yang termasuk di dalam bingkai sastra gending. Se-bagian besar dari kalimat-kalimatnya berisi tentang pendidikan jiwa bagi semua umat manusia. 3.4.7 Sindhenan.

Pelaku Sindhenan disebut Pesindhen. Kata Sindhenan ber-asal dari kata Sindhen. Dalam ucapan sehari-hari secara sastrawi kata Sindhen ini sering dikaitkan dengan kata Sesendhonan, sehinga menjadi Sindhen Sesendhonan. Kata sesendhonan berasal dari kata sendhon, dan kata sendhon berasal dari kata Jawa Sendhu yaitu te-gur, disendhu artinya ditegur.

Sindhen Sesendhonan dalam bahasa Jawa Sastrawi berarti tetembangan. Dengan demikian sindhen pun bisa diartikan tetem-bangan. Lalu apa yang ditembangkan? Sudah barang tentu kalimat-kalimat bahasa jawa yang sastrawi berbentuk parikan ataupun pur-wakanthi.

Beberapa contoh wangsalan dalam sindhenan: sayeng kaga (kala), kagakresna mangsa sawa (gagak), wong susila, lagake anujuprana, ancur kaca (banyurasa), kaca kocak mungging netra (tesmak), wong wruh rasa, tan mama ing tata karma, mong ing tirta (Baya), tirta wijiling sa-rira (kringet)sapa baya, banget ngudi basa jawa, Ngreka-puspa (nggubah), puspa nedheng mbabar ganda (mekar) Nggubah basa mrih mekar landheping rasa, Carang wreksa (pang), wreksa kang rineka janma (golek), Nora gampang, golek krawuh mrih kaonang.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa seorang pesin-

dhen dalam karyanya akan memberi teguran, mengingatkan dan bi-sa disebut mendidik, memberi sindiran kepada manusia.

Page 147: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

130

3.4.8 Irama Pada hakekatnya irama itu adalah sebuah tempo atau jarak

waktu. Jarak waktu di dalam karawitan berupa tempo untuk menga-tur jarak pukulan satu ke pukulan lainnya. Untuk itu demi teraturnya irama dan sesuai dengan karakter gending, sajian irama dapat diatur sebagai berikut: Irama lancar, bisa juga disebut irama setengah, Ira-ma lamba, bisa disebut irama kebar atau irama siji (satu), Irama da-di, juga disebut irama loro (dua), Irama wiled atau irama telu (tiga atau ciblon), Irama rangkep atau irama papat (empat). Ada lagi irama yang namanya sesuai dengan bentuk/nama gending, misalnya Irama srepek sejenis irama satu, Irama sampak sejenis irama setengah, Irama palaran sejenis irama srepek dan sampak. Masih ada sebuah irama yang perjalanannya tergantung pada pelaku, yaitu disebut irama Bebas. Irama ini sering tersaji dalam lagu Tembang Jawa yang berbentuk Bawa, tembang Macapat Tengahan dan Ageng An-dhengan. Irama bebas dalam tari sering terjadi, dan disebut irama dalam hati. Irama bebas dalam pewayangan setiap saat bisa terjadi. 3.4.9 Cengkok

Cengkok itu adalah lekuk-lekuk suara yang dibawakan oleh seseorang vokalis. Namun seiring wirawiyaga juga bisa membawa cengkok itu kedalam tabuhan. 3.4.10 Merong

Merong adalah bagian gending yang belum minggah ,con-toh Gending Gambirsawit kethuk 2 kerep minggah 4. Ada merong yang digerongi, ada yang tidak digerongi, yaitu dengan disindheni saja. Dalam Merong ini Sastra Gending sangat jelas, dibawakan oleh Pesindhen. 3.4.11 Pedhotan

Pedhotan yang dimaksud di sini bukan pedhotan dalam tembang, tetapi pedhotan dalam gending. Istilah pedhotan dalam gending mungkin generasi muda jarang mendengar, tetapi lebih se-ring di dengar dengan istilah Pos. Pada waktu lampau (th 40-55) di-sebut Pedhotan artinya berhenti sebelum suwuk dan bukan di akhir gending. Karena dilakukan mandheg (berhenti sejenak) lalu disebut Andhegan.

Selanjutnya perlu diketahui dari sub poin 3.1 cakepan sam-pai dengan sub poin 3.14 Pedhotan yang merupakan unsur-unsur Sastra Gending yang di dalam Sekar Macapatnya Kanjeng Panem-bahan Senapati Mataram tembang Sinom, contoh:

Marma sagung trah Mataram, kinen wignya tembang kawi,

Page 148: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

131

jer wajib ugring ngagesang, ngawruhi titining ngelmi, kang tumraping praja ‘di, yembang kawi asalipun, tan lyan titining sastra, paugeraning dumadi, nora nan kang liya tuduhing sastra.

3.5 Sastra Antawacana

Dalam pelajaran Antawacana pada Sekolah Menengah Ke-juruan Negeri jurusan Seni Pedalangan, dapat dibagi-bagi menjadi Janturan, Ginem, Pocapan. Ketiga-tiganya tentu membutuhkan ke-cermatan didalam pengucapan, memilih kata, ingat akan tingkatan bahasa / unggah-ungguh basa dan parama sastra. ini harus dilaku-kan dengan persiapan yang super hati-hati, agar di dalam sajian per-tunjukkan si penonton pulang dengan membawa kepuasan. Untuk itu semua perlu dibicarakan satu per satu. 3.5.1 Janturan

Pada hakekatnya Janturan itu sebuah orasi seorang dalang yang ingin menjelaskan tentang apa yang disajikan pada pakeliran-nya. Kebanyakan janturan yang berlaku pada pertunjukkan wayang berupa kalimat-kalimat indah (basa rinengga) diucapkan secara gan-caran dan lesan. Isinya janturan menceritakan dan mengupas situasi dan kondisi suatu Negara. Namun sebagaimana umumnya yang ber-laku pada pewayangan jawa, baik Jawa Tengah, Jawa Barat mau-pun Jawa Timur dan Bali, orasi ini berwujud Jejer suatu Negara / ke-rajaan, pertapaan, rumah panakawan. Janturan yang berisi panyan-dra (menggambarkan) dan menceritakan bagaimana suasana suatu Negara / pertapaan, rumah. Biasanya diambil dari hal-hal yang baik-baik saja, kecuali Jejer Astina atau di tempat raksasa.

Dalam adegan Jejer, apabila masih dalam kondisi pathet Nem (Solo, Yogya, Banyumas) suara dalang saat berorasi harus be-rada pada bilah 2 atau 6. Kata-kata / kalimat-kalimat yang rangkaian-nya berupa gaya bahasa indah (Basa rinengga) tersusun dengan memilih kata yang sudah berdasanama (sinonim) sehingga mem-bentuk menjadi basa pedalangan.

Jejer di dalam wayangan semalam suntuk terjadi minimal 3 kali, dan bisa sampai 5 atau 6 kali, yaitu jejer I, pada awal dimulai pertunjukkan kira-kira pukul 21.00. Kemudian jejer II terjadi sesudah “Budhalan” prajurit dengan naik kuda, kira-kira pukul 23.00. selanjut-nya jejer ke III terjadi sesudah ada tanda peralihan waktu dari wila-yah pathet Nem masuk ke dalam wilayah pathet Sanga. Maka jejer ke III ini terjadi sudah berada dalam wilayah pathet Sanga, sehingga

Page 149: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

132

peristiwa jejer III sering disebut Jejer Sanga I. Sering juga sebelum-nya diisi gara-gara.

Peristiwa dari jejer I, jejer II dan seterusnya itulah janturan ikut berpersan aktif sebagai sarana penjelasan kepada para penon-ton. Secara structural, janturan jejer tersusun demikian Pertama Adangiyah (kata-kata awal) Berbunyi “swuh rep data pitana” artinya dari kosong (/suwung, sepi / mandheg / mati ), akan digelar kehidup-an di dunia ini.

Dalam hal ini sebagai penggelar kehidupan adalah Sang Maha Hidup (yang punya hidup) yang di dalam seni pertunjukkan wayang kulit dilambangkan bahwa Sang Dalang yang menceritakan lakon. Kedua Pambuka berupa penjelasan Sang Dalang kepada pe-nonton di awal cerita, contoh janturan.

……….. Hanenggih nagari pundit ta ingkang kaeka adi da-sa purwa. Eka sawiji, adi linuwih, dasa sepuluh, purwa wi-witan. Sanadyan kathah titahing dewa, ingkang kasongan ing angkasa, kasangga pratiwi kapiting samodra, kathah ingkang sami anggana raras boten wonten kadi nagari Dwaraka ya Dwarawati. Mila kinarya bubuka, ngupayaa na-gari satus tas antuk kalih, sanadyan sewu tan jangkep sa-dasa. Mila winanstan Dwarawati dados palawangane jagad, utawi wenganing rahsa, Dwaraka panggenan pambuka.

Ketiga isi berupa untaian kalimat yang menjelaskan tentang

Gambaran suatu Negara yang dikelirkan (dilakonkan). Biasanya ten-tang kemakmuran Negara, keadilan (watak adil para marta) dan ke-bijakan pemerintah. Bagian isi ini berbunyi agak panjang dan diakhiri penjelasan. Tentang keperluan sang prabu pada pemerintahannya. Isi dalam janturan itu biasanya berbunyi sebagai berikut :

………..Dhasar nagari panjang-punjung, pasir wukir loh ji-nawi gemah aripah karta tur raharja. Pajang dawa, punjung luhur kawibawane, pasir samodra wukir gunung, dene na-gari ngungkurake pegunungan, ngeringake pasabinan ne-ngenake benawi ngayunaken bandaran gedhe. Loh tulus kang sarwa tinandur, jinawi murah kang sarwa tinuku. Ge-mah para lampah dagang rahinten dalu tan ana pedhote, labet tan ana sangsayaning margi. Aripah janma manca kang samya gegriya ing salebeting praja katingal jejel riyel aben cukit tepung taritis, papan wiyar katingal rupak saking rejaning praja. Karta kawula ing padhusunan padha tentrem atine, mungkul pangolahing tetanen. Ingon-ingon kebo sapi, pitik iwen tuwin raja kaya tan ana kang cinancang, yen rahi-na aglar ing pangonan, yen bengi mulih marang kandhange dhewe-dhewe. Raharja tebih ing parangmuka. Para mantra

Page 150: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

133

bupati padha kontap kautame, bijaksana limpad ing kawruh, putus marang pangrehing praja, tansah ambudidaya kalu-huraning nata. Dhasar nagari gedhe abore, padhang jagade, dhuwur kuku-se, adhoh kuncarane. Boten namung ing tanah jawi kema-won ingkang sami sumujud, sanadyan para narendra ing mancanagari kathah ingkang sumawita tanpa karana gine-baging bandayuda, among kayungyun marang popoyaning kautaman. Bebasan ingkang celak manglung, ingkang tebih tumiyung. Saben antara mangsa sami asok bulubekti, glon-dhong pangareng-areng. Peni-peni reja peni guru bakal gu-ru dadi mas picis rajabrana minangka panungkul. Sinten ta jujuluking narendra ingkang anglenggahi dhamparing ka-prabon. Wenang den ucapna jujuluking nata, ajejuluk Prabu Sri Batara Kresna, Harimurti, Padmanaba, Kesawa, Nara-yana, Wasudewa, Wisnumurti, Danardana, Janardana. Mila jejuluk Sri Batara Kresna, dene cemeng sarirane trus ba-lung sungsum ludirane, yen ayama ayam cemani, kenging kinarya sarana. Nadyan Srinata dadi sarana ungguling prang Bharatayuda darah Pandhawa. Arimurti luwih pa-dhang, dene wruh sadurunge winarah.

contoh janturan:

Ing pagelaran Jawi andher sowane para mantra bupati beg amber mbalapar ngantos dumugi sanjawining taratag kaya ndhoyong-ndhoyongna pancake sujining alun-alun para wa-dya kang samya nangkil. Abra busananing wadya yayah sekar setaman. Ing alun-alun papanjen umbul-umbul ben-dhera lalayu paying agung miwah bawat tinon angendanu pindha mendhung kaya nyurem-nyuremna sorote Sang Hyang Pratanggapati. Dene ingkang anindhihi ing pagelar-an inggih ta Rekyana patih Udawa, bagus warnane semba-da prawireng yuda mumpuni salwiring guna ing aguna, pu-tus sandining weweka dhasar ambeg paramarta tansah angresepi saisining praja marma wong sapraja wedi asih la-hir trus ing batin. Kacarita ing pagedhongan sri narendra ar-sa mangun boja wiwaha. Lire boja dhedhaharan, wiwaha darbe karya. Yektine sang nata arsa mantu. Sinten ta ing-kang den unggar-unggaring karya, tuhu rayi nata putrid ing Banoncinawi asesilih dewi wara Sembadra ginadhang dha-up lan raden Arjuna satriya ing Madukara.

Keempat penutup disebut wasana menjelaskan bahwa,

Sang nata akan mulai dialog (Ginem). Permainan gending berhenti

Page 151: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

134

(suwuk). Bagian keempat penutup (wasana) contohnya adalah seba-gai berikut:

Ing pagedhongan sang nata sampun ndhawuhaken mangu-yu-uyu, mangka dereng ngaturi uninga ingkang raka nata ing Mandura Prabu Baladewa. Mila mangkana pangudyas-maraning driya “Iya jagad dewa batara, yen kaka prabu mi-yarsa mendah saiba dukane.

Demikianlah Janturan jejer I. Di sana dijelaskan, bahwa raja

Kresna akan menikahkan adik yang bernama dewi Wara Sembadra. Selanjutnya Janturan jejer II, Janturan jejer III dan seterusnya. Seca-ra structural akan tersusun seperti pada Janturan jejer I, yaitu berupa Adangiyah, Pambuka, Isi dan diakhiri dengan penutup (Wasana).

Tentunya ada perbedaan, misalnya waktunya lebih pendek secara otomatis susunan kata-katanya pun akan lebih pendek pula. Demikian juga Adangiyahnya pun tentu berbeda. Lebih-lebih isinya, pasti akan berbeda jauh. Sedangkan pambuka dan panutupnya mes-ki berbeda, tetapi tidak terlalu jauh. Bahkan bisa juga dilakukan de-ngan cara mengarang sendiri, atau membaca karangan orang lain. Jika memang sudah memiliki perbendaharaan kata cukup maka Jan-turan jejer bisa dilakukan secara improvisasi. Namun seyogyanya ti-dak meninggalkan struktur.

Yang tidak boleh dilupakan bahwa setiap pergantian jejer harus menggunakan singgetan (wayang gunungan ditancap di te-ngah-tengah jagadan), sebagai tanda aleh tempat. Sebelum kayon dicabut untuk tanda akan ke jejer lanjutan dimulai, sang dalang me-ngucapkan kalimat Adangiyah demikian, contoh:

Anenggih sinigeg gantya ingkang winursita ing kawi, ing-kang wonten nagari…, candrane kaya surya kalingan mega.

(sasmita / tanda dalang minta gending Remeng Slendro pathet Nem) Selanjutnya dalang harus memilih kata untuk disusun sebagai pambuka janturan jejer lanjutan, contoh:

Minangka sambunging carita, seje panggonane, nanging bareng angkate. Punika ta gelare nagari…………

Sedangkan untuk isi, dalang harus melanjutkan memilih ka-

ta sebagai sarana untuk mengungkapkan kondisi alam suatu negara atau pertapaan, pedesaan yang sedang jejeran. Ada beberapa hal yang harus diucapkan sang dalang di antaranya yaitu mengenai kon-disi alam dari suatu negara atau pertapaan atau pedesaan, nama ra-ja atau nama pendeta atau tokoh pedesaan, yang sedang dialami ra-

Page 152: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

135

ja, pendeta atau tokoh pedesaan. Sebagai penutup (pamungkas atau wasana) tidak berbeda jauh dengan contoh Janturan jejer I.

3.5.2 Ginem

Ginem adalah dialog antara tokoh yang satu dengan tokoh yang lain dalam seni pertunjukkan wayang purwa Jawa. Ginem da-lam pewayangan harus terucap jelas agar para penonton serta pen-dengar bisa mengerti dengan mudah dan memahaminya, sehingga pesan-pesan yang bersifat mendidik akan mudah diterima oleh ma-syarakat.

Ginem dalam penyajian wayangnya diatur berdasarkan suara bilah gamelan, misalnya dalam kawasan waktu pathet Nem suara tokoh Kresna mengikuti laras pada bilah 2, dan apabila dalam lingkungan pathet Sanga mengikuti laras pada bilah 1, dalam pathet Manyura mengukuti laras pada bilah 2. Suara tokoh Duryudana da-lam pathet Nem mengikuti bilah 6, dalam pathet Sanga mengikuti bi-lah 1 dan dalam pathet Manyura mengikuti suara bilah 6.

Sedangkan tokoh wayang lainnya bisa dilakukan dengan cara mendasar pada bentuk wayang (wanda). Secara structural, gi-nempun juga tersusun seperti pada janturan, yaitu terdiri dari bagian-bagian, yaitu Adangiyah, Pambuka, Isi, dan Wasana. Contoh ginem:

Kresna : Jagad dewa batara wayah batara jagad.

Nganti sapandurat kalepyan yen den adhep para nayaka myang Santana . (Adangiyah). Kulup Samba apa baya ora dadi guguping atinira ingsun piji aneng ngarsaningsun (Pambuka)

Samba : Kawula nuwun-nuwun sareng kula tampi dhawuh timbalan paduka, dhahat guguping manah, nalika wonten jawi kados sinamber gelap tuna, tinubruk ing mong tuna, upami uninga gebyaring caleret tuhu mboten uni-nga dhawahing gelap, raosing manah ku-mepyur kados panjang putra dhumawahing sela kumalasa, upami kambengan salam-ba pinanjer ing madyaning alun-alun kati-yubeng samirana sakalangkung anggen kula kumejot kumitir carob wor lan maras, sareng dumugi ing ngarsa nata, asreping manah kula kados siniram toya ing wanci enjing, babar pisan datan darbe maras. Kawula nuwun-nuwun………………

Dialog Raden Samba yang no. 2 di atas merupakan dialog

yang masih berada pada bagian pambuka, dan dialog pambuka ini

Page 153: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

136

juga diisi dengan ucapan selamat kepada kawan bicara (bage-bina-ge). Bage-binage tersebut biasanya agak panjang, sebab tokoh yang dikelirkan juga banyak. Sekarang contoh dialog pada bagian isi. Kresna : Kulup Samba, seje ingkang ingsun pa-

ngandikake. Mungguh bakal gawene bibi-nira Bratajaya dhaup lan pamanira Prema-di. Ing samengko kurang pirang dina, lan kang padha nindakake pakaryan tarub-ta-rub makajangan ing para mantri bupati sar-ta pondhok-pondhok apa wus rumanti?

Samba : Kawula nuwun-nuwun kangjeng dewaji. An

dangu badhe damelipun kanjeng bibi Bra-tajaya, namung kirang sacandra kaleng-gahan punika. Dene panggarap-ipun tarub-tarub makajanganipun para mantri bupati sampun sami paripurna sadayanipun. Da-lah para among tamu sarta sapasren-pa-srenipun sampun sami mirantos, malah sampun wiwit manguyu-uyu. Kawula nu-wun-nuwun…….

Kalimat-kalimat ginem di atas hanya merupakan cuplikan

saja. Berisi tentang persiapan menjelang akan adanya perhelatan perkawinan dewi Wara Sembadra. Namun yang perlu diamati adalah susunan kata-katanya yang indah, berdasarkan unggah-ungguh ba-sa yang benar.

Seperti sastra-sastra yang tergabung dalam sastra pedala-ngan lainnya, sastra antawacana pada bagian ginem-pun terkan-dung unsur-unsur purwakanthi (kalimat bersajak), tingkatan bahasa (unggah-ungguh basa), tata bahasa (paramasastra), kalimat emosi-onal (ukara sesumbar) dan lain sebagainya. Kalau di depan diberi-kan contoh tentang kalimat ginem dalam kondisi yang tenang, maka dibawah ini adalah contoh ginem pada saat dua tokoh bersitegang. Dalam hal ini ki dalang saat memilih kata harus jeli, karena akan me-milih kalimat emosional (ukara sesumbar). Contoh prajurit berhada-pan dengan prajurit. Prajurit 1 : Hayo, yen pancen sugih kendel, bandha

wani tandhingana aku Prajurit 2 : Waaaaahh, sumbarmu kaya bisa mutung

wesi gligen. Kaya lanang-lananga dhewe. Apa wis sacengkang kandele kulitmu. Ha-yo dak teter kaluwihanmu.

Page 154: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

137

Prajurit 1 : Heeee…… majua sayuta ngarsa, sakethi wuri ora bakal mundur sajangkah

Prajurit 2 : Kopat-kapita kaya ula tapak angin, kekejer kaya manuk branjangan, lena pangendha-mu kena dak saut, sabetake prabatang sir-na ilang kuwandhamu!

Prajurit 1 : Tumengaa ing akasa tumungkula ing prati-wi dak tebak dhadhamu sumyur…..

Contoh ginem raksasa melawan satriya: Raksasa : Yen kena tak eman, hayo balia Satriya : ora gawar, ora ana kentheng sarta tan ana

awer-awer kena apa ngalang-alangi laku? Raksasa : Ndhas buta pating jenggeleg kang minang-

ka gawar kentheng Satriya : Ndhas buta pating jenggeleg dak sampar

dak sandhung rambute nggubed ana ing suku dak tigas curiga lebur tanpa dadi

Raksasa : We lha dala. Ora kena dieman. Wani kowe karo aku

Satriya : Apa sing dak wedeni? Raksasa : He…satriyaaaa…..dhuwurmu cendhek, ge-

dhemu cilik. Satriya : Ora ana satriya Nempiling ndhase buta

ndadak nganggo ancik-ancik Raksasa : Kecek sugih japa mantra Satriya : Ora watak satriya maguru bathangmu Raksasa : Ngati-ati dak paribasakake timun mungsuh

duren dak bruki remuk dak glundhungi ajur

Kalimat-kalimat ginem di atas dalam kasusasteraan Jawa sering direkayasa menjadi kalimat tembang Macapat. Misalnya cerita Partakrama R.Ng. Sindusastra ada yang dibentuk dalam tembang. Tembang Pangkur:

Denira arsa mangsulana, Wrekodara krodha sru turireki, Eh pambarep kadangingsun, Aja mangsuli sira, Ingsun ingkang mangsuli prakara iku, During tutug wong Astina, Nggone ngajak ora becik.

Tekan si Bule Mandura, Wiwit milu-milu atining iblis,

Page 155: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

138

Jalithenge teka katut, Yen pareng karsanira, Si Janaka ingsun arak sesuk esuk, Sarta sun payungi gada, Sun iring kaprabon jurit.

Pangantene wadon kana, Si Bule kang amayungana bindi, Kurang kurawa kang wuwuh, Kang njajari gegaman, Mring panganten sun tunjange ganjuringsun, Singa tiwas ing ayuda, Kang raka datan nauri.

3.5.3 Pocapan

Seorang dalang disamping mengucapkan janturan jejer ju-ga sering memberikan penjelasan kepada para penonton atau pen-dengar dengan melalui sebuah narasi yang mengungkapkan tentang kejadian di suatu tempat atau kejadian yang sedang dilakukan oleh seorang tokoh wayang, atau kejadian itu baru akan dijalankan. Ung-kapan-ungkapan melalui narasi itulah yang dimaksud dengan poca-pan (pa-ucap-an atau pa-omong-an). Kalimat kejadian yang dimak-sud adalah seorang tokoh bertamu, seorang tokoh melamun, berse-medi, seorang tokoh dirundung kesedihan, seorang tokoh yang se-dang jatuh cinta (gandrung), seorang tokoh yang akan berangkat ke medan perang, kejadian sesudah perang, kejadian sedang geger, bencana alam, dan masih banyak lagi yang lainnya. Contoh pocapan seorang tokoh yang bertamu ke suatu negara, Prabu Baladewa ber-tamu ke suatu negera.......,biasanya pocapan dimulai dari negara yang akan menerima kehadiran Prabu Balawadewa, misalnya:

Reg reg reg, wauta gumeder, gumarenggeng, gumuruh swaraning janma padha salang-tunjang kaya gabah den ite-ri kaya jebug sinemburan, bledug mangampak-ampak, ci-ngak para mantra bupati kang padha sumewa temahan sa-mi taken tinakenan “hehehe dialon kanca, dialon kanca..”

Pocapan di atas terungkap untuk penggambaran di pihak

negara yang akan kedatangan tamu. Hal Ini dilakukan sebagai tan-da hormat suatu negara kepada Prabu Baladewa. Selanjutnya apa-bila tamu sudah berada di dalan pasewakan, dalang kembali poca-pan, misalnya:

Lah ing kana ta wau, dupi srinarendra kakalih nenggih Pra-bu Duryudana kalayan Prabu Baladewa sampun aben ajeng nulya gapyuk rerangkulan samya kangen-kangenan.

Page 156: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

139

Saparipurnaning rerangkulan nulya samya lenggah sekeca. Kakalih-kalihipun yen sinawang saking mandrawa candrane pindha Sang Hyang Bhathara Sambu miwah Bhathara Brahma angejawantah neng jagad sigra andum bagya. Pra-bu Baladewa rawuh ing nagari Astina mahanani sepi si-dhem ing pasewakan wit kaprabawan maring pangaribawa-ning nata Mandura kang amengku gati. Mangkana pangan-dikane prabu Duryudana : “kaka prabu, sakecakna”!

Pocapan / Kandha Bedholan Jejer I (gaya Jawatimuran)

Parpurna pangandikaning sang nata Sri Batara Kresna sigra paring sasmita kundur angedhaton. Tedhak jog saking palenggahan “dhampar dhenta” Kadherekaken para emban cethi biyada srimpi manggung ketanggung jaka palara-lara, sami ngampil pirantining kanarendran. Tindake sang nata ngagem bungkul kencana, keclap-keclap kinarya tindak amecak. Sapecak mandheg sapecak tumoleh. Sri nata da-tan karsa mriksani adi rengganing gapura. Laju manjing ka-dhaton trus kadhatulaya, kapapag garwa prameswari tetiga. Sagunging para seba nuli bibaran saking sitinggil solahe kaya seinamberan dhandhang.

(Ki Dalang Cung Wartanu, Mojokerto-an 1979) Pocapan / Kandha Semedi

Sri Batara Kresna dupi manjing kedhaton sarta sampun ka-papag ingkang garwa tetiga nulya manjing sanggar pamu-jan sarwi ngagem busana sarwa seta, sigra nenuwun dha-teng panguwasane batara srana semedi. Traping Semedi kanthi sedhakep asta, suku tunggal. Sedhakep wus nga-rani, asta tangan, tunggal kumpul. Tegese Srinata ngening-aken ciptane, ngempalaken pancaindriyane nutupi babahan hawa sanga. Mandeng pucake grana mandeng nyawang, pucak pucuk, grana irung. Lire sajuga kang sinidikara. Ke-plasing cipta amung sawiji kang sinedya, sowan marang ngarsane Sang Hyang Pramesthi Guru, amung nyuwun pa-ngayoman mrih wudharing reruwet.

(Ki Dalang Cung Wartanu 1979) Kandha / Pocapan Ajar Kayon

Bubaring para seba kanthi tandha tengara panabuhe beri, swarane gumonthang mengungkang-ungkang saksad sun-dhul ing akasa.Tineteg, tinitir kaya pecaha-pecaha, kaya butul-butula. Sepisan tandha pasewakan bubaran, ping pin-

Page 157: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

140

dho pratandha ana prakara. Patih Kala Rangsang duta sa-king nagari Rancang Kencana dutane Prabu Kala Kumara sigra den pilara Prabu Baladewa. Mila ribut sagung para se-ba. Pating sliri pating bilungkung pindha kawula ngluru ben-dara, bendara ngluru kawula. Solah nganti kaya gabah den interi. Golong-golong mangulon, golong-golong mangetan candrane kaya sela blekithi. Sela arane watu, blekithi se-mut, kaya semut lumaku ana sak ndhuwure watu mujudake barisan kaya prajurit ngadhepi bebaya.

(Ki Dalang Cung Wartanu 1979) Pocapan Kresna Semedi

Kacarita, Sri Batara Kresna sigra patrap semedi maladi he-ning, sedhakep saluku juga nutupi bahahan hawa sanga, ngeningaken pancadriya. Panca ateges lima, driya panga-ngen-angen, sekawan kang binengkas sajuga kang sinidi-kara anut lebu wetuning bajra herawana kinarya nut laksita-ning brata, ana rupa tan dinulu ana ganda tan ingambu, ana swara tan rinungu. Hanapas hanupus pan yayah mati sajro-ning urip, amung warana ingkang taksih lumaris, campur kalayan layap liyeping aluyup, pindha pesating sukma su-musup ing rasa jati sejatine tumlawung. Jagad wus rinegem dadi sawiji amung kari samrica binubud. Dudu jagad kang gumelar, nanging jagade Sri Kresna kang wus datan kaen-dhih dening Sir-Budi-Cipta-Rasa, amung kari satata nedya hormat ingkang tanpa karana. Datan antara dangu wus an-tuk wewengan bakal kasembadan sasedyane nanging ya-amung sinimpen ing driya, temahan amung nalangsa ma-rang kang akarya jagad saisine. Dhasar Sri Batara Kresna narendra kang widagda ulah puja.

(Kastana-Supriyono-Partakrama Pakeliran Gaya Surakarta 2003)

Demikianlah beberapa contoh pocapan. Sebenarnya masih banyak lagi pocapan yang harus ditampilkan dan diungkapkan oleh dalang selama penyajiannya. Hampir setiap jejeran dan adegan dari awal hingga akhir pertunjukkan, dalang selalu bernarasi (pocapan).

Ada pocapan yang dalam suasana tenang, merdeka tetapi juga ada pocapan yang bersitegang, keras, emosional sehingga da-lam sajian harus bersama dengan dhodhogan kothak dan ucapan-nya lebih keras. Para ahli nabuh gamelan mengatakan bahwa grimi-ngan gender, dalam mengiringi pocapan yang tegang, harus grimi-ngan ada-ada (vokal dalang dalam suasana tegang), misalnya poca-pan tokoh Gathotkaca ketika akan terbang. Demikian juga pocapan tokoh Wrekodara mlumpat (meloncat) dan ketika seorang bang-ba-ngan (bambangan) akan masuk hutan (alas-alasan) dalam suasana

Page 158: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

141

tegang, maka dhodhogan, grimingan gender ada-ada harus mengiri-nginya.

Berbeda dengan pocapan yang dalam susana merdeka, maka grimingan gender menggunakan grimingan pathetan, tanpa dhodhogan kothak.

Dalam pertunjukkan wayang kulit Jawatimuran, pocapan ini pasti ditopang dengan iringan gending/lagu yang dilagukan oleh alat gamelan yang lembut: slenthem, gambang, siter, gender babok, su-ling yang diawali gender lanang yang dinamakan gadhingan. Contoh pocapan alas-alas :

Laju lampahira wong bagus sang hamara tapa satriya ing Plangkawati kekasih Raden Angkawijaya ya Raden Abima-nyu, kadherekaken abdi panakawan catur Semar-Gareng-Petruk lan Bagong. Purna angambah geriting ancala tepi-ning waudadi. Sigra laju manjing wana wasa. Wana gung li-wang liwung alas angker gawat kaliwat sabab dadya pano-nopane jim setan peri parayangan engklek-engklek balung atandhak. Bebasan sato mara sato mati, janma mara janma mlayu.Tan ana janma wani mlebu mring wana Tri Baya, sa-pa wani bebasan mulih kari aran. Nanging dupi katrajang marang lampahe sang abagus Raden Angkawijaya sadaya buron alas samya bubar lumajar salang tunjang. Yen ta bi-sa tatajalma teka mangkana pangucape: ”He para kanca padha piyak sumingkira, aja wani-wani midak wayangane mesthi lebur tanpa dadi, sabab iki dudu wong lumrah na-nging maksih turasing kusuma rembese madu, wijiling kang handanawa rih.” Sak-sak-sak-sak gropak gedebug sanalika kaya sinapon jumedhule para raseksa sigra ngamuk pang-gung marga liwung.

Pocapan alas-alasan di atas dapat dipakai untuk bamba-

ngan yang lain. Artinya bukan hanya tokoh Abimanyu saja.Tokoh pe-wayangan yang tergolong bambangan kecuali Abimanyu yaitu Ra-den Irawan, Bambang Priyambada, Pramusinta, Nakula dan Sadewa ketika masih muda dan mungkin masih ada lagi. Disebut tokoh bam-bangan karena usia tokoh tersebut masih muda, masih sendirian dan baru saja lolos dari perguruan di mana sebagai gurunya adalah se-orang pandhita, pertapa, begawan, resi, maharsi, wasi dsb. Sebutan bambangan berasal dari bahasa Jawa. bang-bang-an yang mulanya dari kata bang berarti harap. Bang-bang-an berarti pengharapan. Gelar atau sebutan bang-bang-an (bambangan) diperoleh oleh se-orang pemuda yang sudah memiliki semua ilmu pengetahuan, pe-rang dan berulah senjata, guna kasantikan, pengetahuan tentang la-hir dan batin (kesaktian) yang didapat dari seorang guru/pendeta di

Page 159: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

142

pertapaan. Pertapaan (pertapan) biasanya berada pada tempat jauh dari kehidupan masyarakat ramai atau jauh dari kota, dan pada umumnya pertapaan berada di lereng gunung, di tepi hutan dan di pedasaan. Oleh karena itu bambangan sering disebut satriya gu-nung. Bila hal ini dilakukan oleh seorang gadis, maka gadis itu men-dapatkan sebutan/gelar yaitu Endang yang artinya gadis gunung. Ja-di pada hakikatnya satriya gunung atau gadis gunung adalah sebuah generasi harapan yang harus bisa dan mampu untuk meneruskan perjuangan para generasi sebelumnya.

Bila generasi bambangan ini merupakan generasi harapan maka lamanya pendidikan tidak ditentukan oleh waktu bulan atau ta-hun, melainkan sangat tergantung kepada calon bambangan itu sen-diri. Mereka dituntut menjadi seorang bang-bangan (bambangan) yang berkualitas. Sang guru pun ikut menentukan bagi selesainya para calon bambangan. Bila sang guru sudah mengatakan bagus (paripurna) maka sang bambangan bisa melanjutkan kariernya seba-gai satriya yang harus menunjukkan karya-karyanya bagi keluhuran nusa dan bangsa.

Mengamati kondisi bambangan yang begitu berkualitas, maka para dalang dalam penggambaran pocapan bambangan di-ungkapkan melalui pemilihan kata dengan bahasa Jawa yang luhur dan lungguh (pantas). Dalam pocapan bambangan ini, sang dalang harus mengucapkan dengan bersama-sama dhodhogan dan dengan nada emosional. Demikian pocapan yang penyajiannya sebagai na-rasi, menjelaskan sebuah perilaku seorang tokoh pewayangan baik raksasa, satriya yang dikaitkan dengan kondisi alam.

Page 160: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

143

BAB IV

SILSILAH TOKOH – TOKOH WAYANG 4.1 Definisi Silsilah

Menurut Kamus Basa Sunda oleh M.A. Satjadibrata, arti sil-silah itu ialah rangkaian keturunan seseorang yang ada kaitannya dengan orang lain yang menjadi istrinya dan sanak keluarganya. Sil-silah tersebut adalah merupakan suatu susunan keluarga dari atas ke bawah dan ke samping, dengan menyebutkan nama keluarganya.

Arti silsilah itu bersifat universal, yang artinya orang-orang di seluruh dunia mempunyai silsilah keturunannya dan pula, di selu-ruh benua akan dimaklumi, bahwa semua orang pasti akan menga-gungkan leluhurnya. Kita sering membaca silsilah keturunan para ra-ja yang termasuk sejarah atau silsilah para penguasa yang memerin-tah suatau daerah, baik yang ditulis pada prasasti maupun benda la-in yang artinya bukan hanya untuk dikenal saja, tetapi untuk di-agungkan oleh segenap masyarakatnya, dan dikenang akan jasa-ja-sanya.

Jelas bagi kita, bahwa yang dimaksud dengan silsilah itu, ialah suatu daftar susunan nama orang-orang yang merupakan su-sunan keturunan dari suatu warga atau dinasti (wangsa), misalnya Dinasti Sriwijaya, Dinasti Syailendra, dan dinasti-dinasti lainya yang pernah berkuasa.

Demikian pula dalam pewayangan, ada salah satu nama keluarga besar yang menggunakan nama leluhurnya, contoh Kura-wa. Kurawa artinya keturunan raja Kuru yang dahulu pernah meme-rintah negara Astina dan menjadi leluhur prabu Suyudana beserta adik-adiknya. Demikian pula dengan keluarga Pandawa atau sering disebut Barata Pandawa. Nama barata adalah juga merupakan na-ma leluhurnya, yang pernah berkuasa di Astina, sehingga diabadikan oleh para Pandawa degan Sebutan keluarga Barata Pandawa.

Apa sebabnya Pandawa dan Kurawa memakai dua nama leluhurnya yang berbeda, padahal mereka itu dari satu nenek mo-yang ? mereka hanya menggunakan nama leluhurnya yang dipan-dang pada saat itu memerintah, sebagai orang yang patut dan wajar untuk diabadikan namanya menurut meraka masing-masing. 4.1.1 Maksud Adanya Silsilah

Maksud penyusunan silsilah ini adalah sebagai ucapan syu-kur kepada para leluhurnya yang telah memberi bimbingan serta me-ngayomi dan yang lebih utama lagi, adalah bahwa seseorang lahir ke dunia, adalah karena adanya leluhurnya itu.

Page 161: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

144

Penyusunan silsilah keturunan ini mempunyai arti yang penting bagi suatu keluarga, seperti untuk mengetahui keturunan si-apa orang itu, untuk mengetahui siapa dan bagaimana leluhurnya itu, dan yang utama sekali, ialah bagaimana pandangan masyarakat terhadap leluhurnya itu, untuk dijadikan kenangan secara turun-te-murun, agar keturunannya tidak kehilangan jejak leluhurnya, agar dapat dijadikan kebanggaan seluruh keturunannya dan dapat pula dijadikan contoh bila leluhurnya salah seorang pahlawan.

Dari segi lainpun silsilah ini mempunyai maksud yang pen-ting pula dan dapat dibenarkan oleh agama dan negara manapun ju-ga. Ada beberapa sudut pandang tentang adanya silsilah, yaitu dari sudut perorangan, dari sudut lingkungan masyarakat, dan dari sudut kepercayaan.

Ditinjau dari segi perorangan, pangagunggan leluhurnya itu dimaksudkan agar perilaku yang pernah dijalankan para leluhurnya menjadi contoh bagi keturunnan yang ditinggalkan dan diceritakan kembali kepada keturunan berikutnya tentang betapa besar jasanya dan keagunganya leluhur mereka tersebut. Dalam hal ini tentu hanya kebaikan-kebaikan saja yang diceritakan kembali, Demikian pula ka-dang-kadang ada yang menceritakan kagagahan dan kesaktiannya.

Maksud silsilah seseorang dalam lingkungan masyarakat ini, adalah untuk dikenal dan dikenang oleh masyarakat agar dijadi-kan seorang pahlawan dalam sejarah hidup bangsa tersebut. Se-dangkan maksud utama penggunaan silsilah ini adalah sebagai tan-da terima kasih kepada para leluhurnya atas suatu usaha pemulya-an, sebagai kenangan akan kebaikannya dan usahanya dalam me-ngayomi dan menjaga keselamatan keturunannya atau usaha peles-tarian keturunannya. Sesuai dengan kepercayaan penduduk, di Bali misalnya, lain lagi dengan di Jawa atau daerah lain yang menganut ajaran Islam, demikian pula dengan masyarakat yang memeluk aga-ma lain. Walaupun berbeda kepercayaan, tetapi di setiap suku bang-sa memegang teguh terhadap adat-istiadatnya. atau kebiasaan da-lam cara mengagungkan leluhurnya.

Ditinjau dari segi kepercayaan, telah menjadi kewajiban se-seorang atau sekeluarga untuk mengenang dan mengagungkan lelu-hurnya dengan cara dan peraturan kepercayaannya masing-masing yang dianutnya. Bagi penganut ajaran Islam, para leluhurnya terse-but tidak boleh disembah dan dipuja, kecuali dikenang dan diagung-kan, karena hanya Tuhan sajalah yang disembah dan dipuja. Mak-sud mengagungkan leluhurnya tersebut, agar kebaikan-kebaikan yang pernah dilaksanakan para leluhurnya menjadi bagian bagi ketu-runannya dan masyarakat yang ada di sekitarnya.

Adapun tujuan penyusunan silsilah adalah sebagai usaha pumuliaan artinya untuk memuliakan leluhurnya, usaha pelestarian kebijakan leluhurnya artinya agar leluhurnya itu tetap dikenang dan

Page 162: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

145

segala perilaku yang baik dijadikan contoh keturunannya. Kedua usaha tersebut disebut Dwi Dharma Bakti. 4.1.2 Penampilan Silsilah

Secara umum, penampilan silsilah tersebut hanya dipergu-nakan oleh orang-orang penting saja yang pada umumnya ditulis da-lam buku-buku sejarah. Sedangkan pada zaman pemerintahan Hin-dia Belanda antara tahun 1610 sampai tahun 1942, hanya para raja dan para bupati saja yang silsilahnya ditullis dan disusun dalam ki-tab-kitab sejarah.

Pada zaman Pra sejarah atau kepercayaan Animisme Dina-misme di Indonesia, di mana masyarakat mendewakan semua ben-da hidup dari roh nenek moyangnya. Jelas bagi kita bahwa bangsa Indonesia sejak dahulu telah terbiasa mengagungkan leluhurnya yang diwujudkan dengan jalan upacara penyembahan leluhurnya, baik di rumah maupun di tempat yang khusus yang disediakan seca-ra beramai-ramai.

Ketika kebudayaan Hindu berkembang di Indonesia pada umumnya, di Jawa pada khususnya, penyembahan terhadap roh itu tidaklah hilang hanya sifat dan bentuknya yang berubah. Selain me-ngagungkan leluhurnya dengan jalan menceritakan kembali kebaik-annya, juga disatukan dengan penyembahan dan pemujaan terha-dap para dewa yang menjadi mitos India, seperti Dewa Siwa, Dewa Wisnu, Dewa Brahma dan ada pula yang menyembah Batari Durga. Dengan jalan demikian, maka kesusasteraanpun ada dua macam, yaitu Kitab Ramayana dan Kitab Mahabharata, disamping itu terda-pat pula cerita-cerita legenda rakyat, seperti Prabu Mikukuhan, Sri Sadana, dan lain-lainya.

Lakon-lakon tersebut di atas, dipergelarkan di muka umum, sehingga tidak terbatas pada lingkungan keluarga saja, namun umumpun dapat mendengarkan kabaikan-kabaikan apa yang diper-buat oleh leluhurnya itu. Hal tersebut jelas bahwa pangagungan ke-pada leluhur bangsa Indonesia itu sangat menguntungkan bagi ke-mekaran kebudayaan Hindu, karena dalam upacara tersebut dapat pula disisipkan kisah para dewa, yang disampaikan kepada masya-rakat dalam bentuk cerita Ramayana dan Mahabharata. Akhirnya ke-dua cerita yaitu cerita dari India dan legenda rakyat disatukan, de-ngan jalan cerita pokok dalam pergelaran tersebut, ialah kisah-kisah dari India dan adat kebiasaan hidup dan kehidupan serta kebiasaan lingkungan diambil dari kisah-kisah legenda rakyat.

Adapun cerita Mahabharata tersebut mengisahkan kepahla-wanan Pandawa yang dianggap sebagai leluhur bangsa India, kare-na leluhur Pandawa menurut gaya India ialah raja Barata yang per-nah memimpin di India. Karena silsilah Mahabharata gaya India ter-sebut tidak sesuai dengan adat kebiasaan dan lingkungan hidup bangsa Jawa, maka silsilah Mahabharata tersebut dirubah, seperti

Page 163: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

146

yang kita lihat pada Kitab Pustaka Raja Purwa, karya R, Ng. Rong-gowarsito. Disamping itu perlu pula diketahui bahwa Mahabharata adalah hasil sastra India yang berpusatkan kepada Dewa Siwa dan Kitab. 4.2 Silsilah Bharata.

Meneliti silsilah wayang dalam cerita Mahabharata tersebut, kita akan mendapat kesulitan kiranya, karena pada cerita itu terdapat dua jalur silsilah yang dihasilkan oleh dua kepercayaan, yaitu silsilah Mahabharata gaya India dan silsilah Mahabharata versi Pustaka Ra-ja Purwa.

Sebagaimana telah kita ketahui, cerita Mahabharata adalah hasil karya sastra India yang berpusatkan kepada Dewa Siwa, maka silsilahnyapun tentu silsilah yang berdasarkan cerita Hindu di India, dan bukan keturunan dari para Dewa, namun para Pandawa meru-pakan keturunan dari raja Nahusta, seorang raja di India.

Lain halnya dengan silsilah para Pandawa menurut gaya Indonesia, bahwa para Pandawa adalah keturunan dari para dewa. Dari dewa turun temurun sampai kepada raja-raja yang memerintah di tanah Jawa.

Cerita Mahabharata versi Indonesia tersebut telah disesuai-kan dengan tradisi bangsa Indonesia, di mana yang menjadi pusat perhatian dan pusat perkembangan silsilah yaitu Batara Guru, mak-sudnya agar masyarakat pada waktu itu percaya bahwa para raja Ja-wa adalah keturunan para dewa.

Page 164: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

147

Keterangan: = Menurunkan = Menikah = Penghubung Silsilah Mahabharata India Prabu Nahusta Prabu Yayati Prabu Yadawa Prabu Kuru

Prabu Dusanta

Prabu Barata

Prabu Hasti

Prabu Puru

Prabu Pratipa Dewi Gangga Prabu Santanu Dewi Durgandini Parasara Dewabrata Dewi Ambika Citrawiria Dewi Ambiki Citragada Abiyasa Dewi Gendari Destrarasta Dewi Kunti Pandu Dewi Madrim Kurawa Kontea Bima Arjuna Dewi Subadra Drupadi Nakula Sadewa Arimbi Dewi Utari Abimanyu Parikesit (Sumber: Buku Pengetahuan Pedalangan 2, hal 34, Departemen P & K, Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan, 1983).

Page 165: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

148

Menurut Mahabharat versi India, susunan silsilah itu disu-sun sebagai berikut, raja pertama yang memerintah India ialah Prabu Nahusta sebagai pendiri negara Hastina yang menurunkan raja-raja yaitu Prabu Nahusta, Prabu Yayati, Prabu Kuru, Prabu Dusanta, Pra-bu Barata, Prabu Hasti, Prabu Puru, Prabu Pratipa, Prabu Santanu hingga sampai Pandawa dan Kurawa.

Prabu Yadawa menurunkan raja-raja yang memerintah Ma-thura, seperti: Basudewa, Baladewa, Kresna dan lain-lainya. Prabu Puru yang menurunkan raja-raja yang memerintah negara Hastina, seperti Sentanu, Abiyasa, Pandu, Duryudana, Parikesit.

Prabu Kuru berputra Prabu Dusanta yang menikah dengan Dewi Sakuntala dan berputra Prabu Barata yang namanya dipakai gelar/julukan para Pandawa, sedangkan nama Prabu Kuru dipakai gelar para Kurawa. Prabu Barata dikaruniai seorang putra yang ber-nama Prabu Hesti yang namanya diabadikan menjadi nama negara Hastina. Hesti artinya gajah, negara Hastina artinya negara gajah. Pemakaian nama leluhurnya sebagai gelar suatu golongan keluarga, dimaksudkan untuk mengagungkan dan menyemarakan salah se-orang leluhurnya, karena jasanya, dan karena amalnya terhedap ne-gara.

Penggunaan gelar leluhurnya yang berlainan dengan kelu-arga dekatnya yang menggunakan nama leluhurnya dalam satu rum-pun atau satu keluarga, menandakan bahwa leluhurnya itu, kese-muanya adalah seorang raja yang patut dibanggakan dan namanya diabadikan. 4.2.1 Silsilah Bharata Versi Pustaka Raja Purwa

Dalam perkembangan dan penyebaran di Indonesia, kedua cerita epos mitos tersebut bercampur dengan legenda-legenda rak-yat, dan disampingnya masuk pula pengaruh kebudayaan Jawa asli sebagai peninggalan zaman Pra Sejarah dimana masyarakatnya berkepercayaan Animisme-Dinamisme.

Tokoh-tokoh yang pernah dipuja pada zaman Pra Sejarah, seperti Hyang Tunggal, Hyang Wenang, dimasukkan ke dalam silsi-lah Mahabharata dan dijadikan leluhur para Pandawa yang menu-runkan raja-raja Jawa, sehingga merupakan silsilah campuran antara kepercayaan Hindu dan kepercayaan zaman Pra Sejarah. Maksud uraian ini adalah untuk menyatakan kepada masyarakat, bahwa para Pandawa adalah keturunan para Sang Hyang, demikian pula para raja yang memerintah pulau Jawa adalah keturunan para Pandawa.

Silsilah Mahabharata versi Pustaka Raja Purwa ini, dimulai dari Batara Guru yang menikah dengan Dewi Uma, berputra empat orang di antaranya Dewa Brahma dan Dewa Wisnu. Batara Brahma menikah dengan Dewi Raraswati berputrakan sebelas orang, di an-taranya Batara Brahmanaraja yang menikah dengan Dewi Widati dan berputra Batara Parikenan. Sedangkan Batara Wisnu berputra-

Page 166: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

149

kan Prabu Basurata yang menikah dengan putri Batara Brahma ber-nama Dewi Brahmaniyuta, dan berputrakan Dewi Brahmaneki.

Begawan Parikenan kemudian menikah dengan Dewi Brah-maniyuta berputrakan Dewi Kaniraras, Raden Kano, Raden paridar-ma. Karena Dewi Kaniraras putri sulung, maka calon raja di Purwa-carita adalah Begawan Manumayasa yang menikah dengan Dewi Kaniraras. Raden Kano dan Raden Paridarma menjadi raja di negara lain. Dewi Kaniraras menkah dengan Begawan Manumayasa berpu-tra Begawan Sekutrem dan menikah dengan Dewi Nilawati, dari per-nikahan itu berputra Begawan Sakri yang menikah dengan Dewi Sati dan berputra Parasara.

Diceritakan, bahwa Begawan Parasara hendak menyebe-rangi Bengawan Jamuna, ia diseberangkan oleh seorang wanita yang badanya bau amis dan anyir karena menderita penyakitat bau anyir, dia adalah Dewi Rara Amis (Durgandini) putra Prabu Basuketi raja negara Wiratha. Dew Rara Amis diobati Raden Parasara yang kemudian diperistri dan berputra Abiyasa, mereka bersama-sama membangun negara Gajahoya.

Perbedaan yang jelas dari kedua silsilah itu adalah silsilah Mahabharata versi India disebutkan leluhur Pandawa adalah Prabu Nahusta, leluhur Pandawa versi Pusta Raja Purwa adalah Sang Hyang.

Page 167: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

150

Sislilah Mahabharata Versi Pustaka Raja Purwa (yang dipakai di Indonesia) Betara Guru Betari Uma Betara Wisnu Betara Brahma Betara Sri Unon Betara Brahmani Begawan Parikenan Dewi BrahmaneKita

Begawan Manumanasa Dewi Kaniraras

Begawan Sekutrem Dewi Nilawati

Begawab Sakri Dewi Sati Dewi Gangga Sentanu Rara Amis (Durgandini) Parasara Citrawiria Citragada Abiyasa Ambika Ambiki Dewabrata Dewi Gendari Prabu Destrarasta Dewi Kunti Prabu Pandu Dewi Madrim Kurawa Kunta Bima Arjuna Nakula Sadewa Dewi Utari Abimanyu Parikesit (Sumber: Buku Pengetahuan Pedalangan 2, hal 43, Departemen P & K, Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan, 1983).

Page 168: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

151

4.2.2 Silsilah Ramayana Seperti halnya dengan Mahabharata, Ramayanapun mem-

punyai nenek moyang dewa, yaitu Batara Wisnu yang turun-temurun sampai Batara Rama. Silsilah Ramayana tidak serumit silsilah Maha-bharata, karena silsilah Ramayana tidak terdapat penyimpangan-pe-nyimpangan kekeluargaan. Lagi pula silsilah Ramayana tidak banyak sangkut pautnya dengan keluarga lain.

Ramayana juga hasil sastra India yang bersumberkan ke-pada Dewa Wisnu. Kalau Mahabharata disusun oleh Empu Sedah dan Empu Panuluh, maka Ramayana .disusun oleh Empu Walmiki dan merupakan cerita epos mitos Hindu yang berbentuk legenda rakyat India. Prabu Airlangga pernah menitahkan bahwa “sebenar-nya Ramayana 1000 tahun lebih tua dari Mahabharata”, maka dalam beberapa lakon, ucapan Prabu Airlangga itu seolah-olah benar ada-nya. Lakon Rama Nitis, dan Makuta Rama, adalah salah satu contoh yang menunjukan bahwa Ramayana itu benar lebih tua daripada ke-lahiran Mahabharata, walaupun kebenaranya itu masih diragukan. Hal yang pokok adalah, bahwa Batara Rama adalah titisan Batara Wisnu yang dalam peranannya ditampilkan sebagai pembasmi keja-hatan, keangkara murkaan, kedoliman yang merajalela di dunia.

Bila dibandingkan dengan daerah lainya cerita Ramayana ini sangat digemari masyarakat, baik di Jawa Tengah di Jawa Barat, Bali dan Di Jawa Timur. Dari ke empat wilayah tersebut hanya di wi-layah Jawa Barat yang kurang menggemari lakon Ramayana.

Beberapa hal yang terkait dengan cerita Ramayana, antara lain adalah permintaan Dewi Kekayi yaitu ibu Raden Barata yang menjadi selir Prabu Dasarata untuk menggagalkan penobatan Rega-wa atau Rama sebagai raja di Ayodya, pengusiran Rama selama 14 tahun meninggalkan Ayodya, penculikan istri Rama yaitu Dewi Sinta yang dilakukan oleh Rahwana raja dari negara Alengka, peperangan adik kakak antara Prabu Subali melawan Prabu Sugriwa (Bala Wa-nara/ monyet) akibat salah faham, matinya Rahwana, pembakaran diri Dewi Sinta sebagai bukti akan kesucian dirinya.

Keturunan terakhir dari Batara Rama ini adalah Kusya dan Lawa. Kusya dan Lawa adalah putra kembarnya yang tidak diketahui akhir ceritanya, karena tidak ada kanda yang menceritakan akhir ki-sah Ramayana tersebut.

Page 169: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

152

Silsilah Raja-raja Ayodya Prabu Banaputra Begawan Rawiatmaja Prabu Sumaresi Dasarata Dewi Ragu Dewi Kekayi Dewi Sumitra Ragawa (Rama) Barata Lasmana Satrugna Prabu Janaka Dewi Sinta Kusa Lawa (Sumber: Buku Pengetahuan Pedalangan 2, hal 47, Departemen P & K, Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan, 1983).

Page 170: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

153

Silsilah Dewi Sinta

Batharadi Weja Danuja Danuwati Sumali (raja Mantili) Sukesi Prahasta Dewi Marawa Banapati Danupati (raja Mantili) Dw.Tunjungbiru Banaputra Beg. Rawatmeja (Raja Ayodya) Prabu Janaka (raja Mantili) Prabu Dasarata Dewi Raghu (Sukasalya) Dewi Sinta Rama Kusa Lava (Prabu Kusiya (Rama Batlawa) (Sumber: Layang Arjunasasrabahu, Batharadi Weja)

Page 171: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

154

4.2.3 Silsilah Raja-raja Lokapala Babad Lokapala dimulai dari Begawan Wisrawa ke atas.

Tokoh-tokoh sebelum Begawan Wisrawa ini jarang sekali dipentas-kan, karena itu banyak sekali masyarakat yang tidak mengenal siapa tokoh-tokoh Lokapala sebelum Begawan Wisrawa yang memerintah kerajaan Lokapala.

Peristiwa-peristiwa penting dalam cerita Lokapala, diantara-nya adalah peristiwa pernikahan Begawan Wisrawa dengan Dewi Sukesi yaitu putra Prabu Sumali raja Alengka. Semula Dewi Sukesi akan dijodohkan dengan putra Begawan Wisrawa sendiri yaitu Prabu Danaraja. Akibat peristiwa pernikahan Begawan Wisrawa dengan Dewi Sukesi tersebut maka menimbulkan kehebohan dan pertenta-ngan antara ayah dan anak, dan kehancuran negara Lokapala kare-na diserang Rahwana raja Alengka, yaitu adik tiri Prabu Danaraja.

Leluhur raja-raja Lokapala adalah para dewa juga, diantara-nya adalah Batara Guru dan Dewi Uma, yang berputra Batara Sam-bu yang menikah dengan Dewi Hastuti dan turun temurun sampai Prabu Darudana.

Prabu Darudana mempunyai putra dua orang. Putra sulung bernama Begawan Wasista dan adiknya bernama Prabu Herudana. Begawan Wasista berputra Begawan Pulastra, sedangkan Prabu Herudana berputra Prabu Andanapati. Kedua kakak adik ipar terse-but menurunkan raja terakhir, yaitu Begawan Wisrawa yang menjadi keturunan Begawan Wasista dan Dewi Lokati sebagai keturunan Prabu Herudana. Begawan Wisrawa dinikahkan dengan adik ipar-nya, yang menurut hukum kerajaan menjadi ratu negara Lokapala. Begawan Wisrawa berputra Wisrahwana dan setelah Wisrahwana dinobatkan menjadi raja bergelar Prabu Danaraja.

Peristiwa menyedihkan yang terdapat dalam lakon ini, yaitu peristiwa pernikahan Begawan Wisrawa dengan Dewi Sukesi. Perni-kahan tersebut terjadi karena akibat pelanggaran janji Begawan Wi-srawa tentang Sastra Jendra Hayuning Rad Pangruwating Diyu, yang tidak boleh di ajarkan kepada setiap orang. Sedangkan dalam kisah tersebut, Sastra Jendra Hayuning Rad Pangruwating Diyu di-ajarkan kepada Dewi Sukesi, seorang putri keturunan raksasa.

Akibat peristiwa tersebut Dewi Sukesi malahirkan Rahwana (Dasamuka) yang berwujud raksasa dan berkelakuan jahat. Putra yang kedua bernama Kumbakarna juga berwujud raksasa, namun berwatak mulia. Putra ketiga adalah seorang putri raseksi (raksasa perempuan) bernama Dewi Sarpakenaka, dan putra terakhir berwu-jud manusia biasa dan sangat tampan bernama Wibisana.

Page 172: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

155

Silsilah Raja-raja Lokapala Batara Guru Dewi Uma Batara Sambu Dewi Hastuti

Batara Sambudana

Batara Hestijumili

Prabu Amulasidhi

Prabu Darudana

Begawan Wasita Prabu Herudana

Begawan Pulasastra Prabu Andapati

Begawan Supadma Prabu Lokawana

Begawan Wisrawa Dewi Sukesi Dewi Lokati Wisrahwana (Danaraja) (Sumber: Buku Pengetahuan Pedalangan 2, hal 50, Departemen P & K, Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan, 1983).

Page 173: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

156

Silsilah Wisrawa dan Keturunannya Sang Hyang Manikmaya Dewi Umayi (Putra sulung): Batara Sambu Dewi Hastuti (Putra Bungsu): Batara Sambodana (Lima Keturunan) Resi Supadma Dewi Sukesi Begawan Wisrawa Dewi Lokati (Lokapala) Wibisana Dewi Triwati Danaraja (Putra Bungsu) Dewi Trijata Resi Jembawan Dewi Jembawati Kresna (Raja Dwarawati) Samba (Sumber: Buku Pratiwimba Adiluhung, Sejarah dan Perkembangan Wayang, hal 300, 1988).

Page 174: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

157

4.2.4 Silsilah Raja-raja Alengka Silsilah Alengka juga bersumber pada Batara Guru yang

menjadi pusat kelahiran manusia, yang pada kenyataannya masih seketurunan dengan silsilah Lokapala. Silsilah Alengka juga jarang diketahui masyarakat penggemar wayang, karena tidak pernah di-pergelarkan. Babad Alengka menceritakan kelahiran Rahwana dan adik-adiknya yang megang peranan penting dalam zaman Batara Rama.

Peristiwa-peristiwa penting yang terdapat dalam Babad Alengka adalah pernikahan Begawan Wisrawa dengan Dewi Sukesi sehingga membawa akibat perpecahan antara anak dengan bapak, kelahiran Rahwana dengan adik-adiknya dan perbuatan-perbuatan angkara yang dilakukan Rahwana tahap pertama, peristiwa runtuh-nya negara Lokapala karena diserang Rahwana.

Kisah pernikahan Begawan Wisrawa dengan Dewi Sukesi tersebut di atas, di awali dengan adanya berita bahwa di Alengka se-dang ada sayembara Dewi Sukesi atau sering disebut Alap-Alap Su-kesi. Persyaratan sayembara tersebut berbunyi apabila dapat me-ngalahkan pamannya Dewi Sukesi yang bernama Jambumangli se-bagai pahlawan Alengka, maka pemenang tersebut berhak untuk mendapatkan Dewi Sukesi.

Berita sayembara tersebut akhirnya sampai pula kepada Prabu Danaraja, dan Prabu Danaraja bermaksud mengikuti sayem-bara tersebut. Akan tetapi Begawan Wisrawa Ayah Prabu Danaraja tidak mengijinkan dan tidak rela kalau Prabu Danaraja sendiri yang harus melamar, sehingga Begawan Wisrawa yang pergi ke Alengka guna mengikuti sayembara tersebut.

Begawan Wisrawa telah mampu mengalahkan Jambuma-ngli, dan peminangan dilaksanakan. Akan tetapi masih ada perminta-an satu lagi yang harus dipenuhi calon mempelai pria, yaitu menga-jarkan Sastra Jendra Hayuning Rad kepada Dewi Sukesi yang jelas keturunan raksasa. Sedangkan menurut aturan tidak diperbolehkan keturunan raksasa mempelajari ajian tersebut.

Demi seorang putra maka Begawan bersedia mengajarkan ajian tersebut, dan akibatnya mendapat murka dari Batara Guru. Ki-ranya, keruntuhan negara Lokapala adalah juga akibat daripada do-sa yang harus dipikul Begawan Wisrawa, bahkan lebih jauh menu-runkan keturunan jahat dan nafsu angkara murka.

Page 175: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

158

Silsilah Rala-raja Alengka Batara Guru Dewi Uma Batara Brahma Dewi Saraswati Dewi Bremani Batara Brahmana

Prabu Banjaranjali

Prabu Jatimurti

Prabu Brahmanakanda

Prabu Getahmanatama Prabu Lokawana Prabu Suksara Wisrawa Dewi Lokati Prabu Sumali Arya Maleawan Danaraja Dewi Sukesi Prahastha Rahwana Kumbakarna Sarpakenaka Wibisana Indrajid Kumba-kumba Dewi Trijatha (Sumber: Buku Pengetahuan Pedalangan 2, hal 54, Departemen P & K, Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan, 1983).

Page 176: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

159

4.2.5 Silsilah Raja-raja Mahespati Babad Mahespati ini merupakan kelanjutan petualangan

Rahwana dalam melakukan perbuatan angkaranya, yang harus diim-bangi dengan kewajiban Batara Wisnu dalam mengamankan dunia. Karena itulah, maka Batara Wisnu menitis ke dalam raga Prabu Har-junasasrabahu atau yang disebut Prabu Harjuna Wijaya salah se-orang keturunan Hyang Tunggal, yang menjadi raja di Mahespati.

Silsilah Mahespati ini masih terkait dengan Resi Gotama yang ada di pertapan Grastina, dan Resi Suwandageni di pertapan Jatisrana. Resi Bargawa adalah seorang Brahmana yang mencari kematiannya dengan jelan berkelana, untuk mencari kematiannya di tangan Batara Wisnu.

Hanya sedikit yang kita ketahui tentang silsilah Mahespati ini, di mana raja terakhir adalah Prabu Harjunasasrabahu yang me-merintah negara Mahespati dan kemudian gugur oleh Begawan Ra-ma Bargawa, yang menyangka bahwa Prabu Harjunasasrabahu adalah titisan Batara Wisnu. Memang benar bahwa Prabu Harjuna-sasrabahu adalah titisan Batara Wisnu, akan tetapi pada saat ber-tempur melawan Begawan Rama Bargawa, Batara Wisnu sudah me-ninggalkan raga Prabu Harjunasasrabahu. Menurut beberapa kitab, Prabu Harjunasasrabahu adalah titisan Batara Wisnu, karena memi-liki ciri-ciri yang sama dengan Batara Wisnu, salah satunya yaitu bisa ber-Triwikrama.

Peristiwa-peristiwa penting yang terjadi dalam babad Harju-nasasrabahu adalah pengabdian Bambang Sumantri yaitu putra Be-gawan Suwandageni dari pertaapan Jatisrana, pernikahan Prabu Harjunasasrabahu dengan Dewi Citrawati yaitu putra Prabu Citradar-ma dari negara Manggada, penaklukan raja Rahwana oleh Prabu Harjunasasrabahu di mana Rahwana berjanji akan menjadi manusia yang baik tetapi ternyata setelah Prabu Harjunasasrabahu mangkat Rahwana mengingkari sumpahnya, kematian Bambang Sumantri se-telah di angkat menjadi patih di Mahespati dengan gelar Patih Su-wanda. Baik babad Mahespati maupun cerita Ramayana, menonjol-kan Dewa Wisnu sebagai sumber peranan, sumber kesaktian dalam mengamankan dunia.

Page 177: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

160

Gambar 3.15 Raden Kertawirya Gambar 3.16 Begawan Suwaja

Page 178: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

161

Silsilah Raja-raja Mahespati

Hyang Ismaya

Hyang Surya

Hyang Rawiatmaja

Hyang Karaba

Hyang Dewangkara

Hyang Dewanggana Resi Dewasana Resi Dewatama Prabu Heriy Begawan Wisanggeni Prabu Kertawirya Prabu Harjunasasrabahu Resi Suwandageni Resi Jamadagni Sumantri Sukasrana (Sumber: Buku Pengetahuan Pedalangan 2, hal 57, Departemen P & K, Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan, 1983).

Page 179: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

162

Gambar 3.17 Sumantri Gambar 3.18 Sukasrana

Page 180: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

163

4.2.6 Silsilah Raja-raja Wiratha Bila kita lihat silsilah Wiratha dengan silsilah Mahabharata

versi Pustaka Raja Purwa, maka kekeluargaan yang terjalin antara Wiratha dan Mahabharata telah ada sejak leluhur Pandawa. Kekelu-argaan antara kedua keturunan tersebut diperkuat dengan adanya perkawinan, diantaranya adalah perkawinan antara Begawan Parike-nan dengan Dewi Bramaneki, perkawinan antara Palasara dengan Rara Amis (Durgandini), perkawinan antara Abimanyu dengan Dew Utari. Dari perkawinan tersebut menurunkan raja-raja Hastina, bah-kan dipercaya oleh masyarakat Jawa dianggap sebagai leluhur para raja yang memerintah di pulau Jawa.

Dalam silsilah Wiratha inilah terdapat penyimpangan silsilah Mahabharata versi India yang akhirnya lurus kembali menjadi Maha-bharata versi Puataka Raja Purwa. Hal tersebut terjadi karena ada-nya perkawinan antara Abiyasa dengan putri-putri bekas janda Ra-den Citrawirya dan Raden Citragada.

Pelurusan silsilah ini, dimaksudkan untuk menghilangkan kesimpang siuran silsilah Mahabharata, dan untuk pergelaran wa-yang di Indonesia di ambil dari silsilah Mahabharata versi Pustaka Raja Purwa. Pelurusan silsilah tersebut adalah hasil jasa Dewi Dur-gandini yang besar niatnya untuk menurunkan raja-raja yang meme-rintah negara Hastina sampai akhir zaman, menurunkan satriya jujur dan berbudi luhur, adil paramarta dan gagah perkasa. Karena perta-lian keluarga yang masih dekat itulah, maka dalam perang Bharata-yuda keluarga Wiratha ada di fihak Pandawa, dan para putra Wiratha gugur semuanya.

Dalam jalinan cerita Mahabharata, Wiratha tidak kalah pen-tingnya dengan negara Hastina. Jasa yang sangat besar yang diberi-kan Wiratha kepada para Pandawa, ialah dalam Wiratha-Parwa, mu-lai dari penyamaran para Pandawa dan mengabdi kepada Prabu Matswapati, hingga sampai terjadi pertemuan besar antara Batara Kresna dengan Prabu Matswapati yang berembug akan meminta se-bagian negara Hastina yang menjadi milik Pandawa pula.

Peranan kedua yang penting bagi generasi penerus Panda-wa, adalah dinikahkannya Dewi Utari putra Matswapati dengan Abi-manyu putra Arjuna. Adapun pertalian keluarga antara Pandawa dan Wiratha dinyatakan bahwa Prabu Matswapati adalah buyut para Pandawa, jadi Abimanyu menikahi neneknya sendiri.

Hubungan keluarga antara Wiratha dan Mahabharata ini, bukanlah secara kebetulan, seperti perkawinan antara Parasara de-ngan Dewi Rara Amis. Menurut kisah, bertemunya Bambang Para-sara dengan Dewi Rara Amis itu ketika hendak menyeberang Be-ngawan Jamuna, tetapi memang sudah di takdirkan Dewata untuk membuat suatu kisah hidup yang panjang untuk mencapai akhir ceri-ta yang mantap, dan diselingi kisah sedih, gembira seperti halnya perjalanan hidup manusia di alam fana ini.

Page 181: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

164

Gambar 3.19 Matswapati (Raja Wiratha)

Page 182: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

165

Gambar 3.20 Jejer Negara Wiratha (Rajamala, Kencakarupa, Rupakenca, Matswapati, Seta) Gambar 3.21 Dewi Utari

Page 183: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

166

Silsilah Raja-raja Wiratha Batara Wisnu Dewi Pratiwi Batara Brahma Dewi Rarasati Dewi Suyati Prabu Basurata Dewi Bramaniyuta Dewi Wahiswara Brahmaneka Dewi Widradi Prabu Basumurti Prabu Basunanda Dewi Sugandi Dewi Sriwati Prabu Basuketi Prabu Basukiswara Dewi Ratnadi Dewi Kanaka Awanti Prabu Basupati Dewi Yukti Dewi Sentani Santanu Dewi Durgandini Parasara Dewi Sudesma Durgandana Citrawiria Citragada Seta Utara Wratsangka Utari Ambika Abiyasa Ambiki Prabu Destrarastra Pandu Arjuna Abimanyu Parikesit (Sumber: Buku Pengetahuan Pedalangan 2, hal 59, Departemen P & K, Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan, 1983).

Page 184: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

167

4.2.7 Silsilah Abiyasa

Batara Wisnu

Dewi Sripujayanti Dewi Srisekar Dewi Pratiwi Dewi Srihunon Bremana Parikenan Dewi Bramaneki Kariyasa Dewi Kaniraras Sekutrem Dewi Nilawati S a k r i Dewi Sati Parasara Durgandini Dewi Ambiki Abiyasa Ambika Pandudewanata Kunti Destarastra Gendari Arjuna Dewi Sumbadra Suyudana Dewi Banowati Abimanyu Dewi Utari Lesmana Mandrakumara Parikesit Dewi Satapi Yudayana Dewi Gendrawati (Raja terakhir zaman Purwa) Gendrayana Dewi Padmawati Prabu Jayabaya (Wayang Madya) (Sumber: Buku Pratiwimba Adiluhung, Sejarah dan Perkembangan Wayang, hal 283, 1988).

Page 185: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

168

4.2.8 Silsilah Raja-raja Mathura (Mandura) Keturunan raja-raja Mandura ini disebut pula Yadawa, arti-

nya keturunan bangsa Yadu, karena Prabu Yadawa pernah meme-rintah negara Mandura, dan sebagai sumber leluhurnya adalah Bata-ra Guru. Yang termasuk keturunan Yadu ini adalah Baladewa, Kres-na, dan Dewi Sumbadra, Aria Setyakita, Udawa, Basudewa, Ugrase-na, Arya Prabu, dan lain-lainya, yang di akhiri dengan tumpasnya ke-luarga Yadu, karena perang saudara. Hal ini dikisahkan dalam Mau-salaparwa yaitu salah satu dari tujuh belas parwa.

Pertalian kekeluargaan dengan Pandawa, karena pernikah-an Dewi Kunti dengan Prabu Pandudewanata, sebagai orang tua Pandawa yang ternyata menurunkan raja-raja yang baik, jujur dan berbudi luhur. Kemudian dari Pandawa menurunkan raja-raja yang terdapat dalam cerita wayang Madya, mulai dari Prabu Udrayana sampai kepada Prabu Anglingdarma.

Peristiwa penting dalam silsilah ini, adalah sebagai berikut keturunan Yadawa telah turut serta dalam perang Bharatayuda dan berada di fihak Pandawa, bahkan memegang peranan penting, con-toh Prabu Kresna sebagai penasehat Pandawa atau disebut pula se-bagai dalangnya Pandawa, kepunahan keturunan Prabu Yadawa adalah karena perang saudara.

Salah satu keturunan Yadawa adalah Prabu Kresna yang merupakan titisan Batara Wisnu yaitu titisan ke sembilan (9), untuk membasmi kejahatan dunia. Watak kejahatan tersebut diwujudkan tokoh Kurawa raja negara Hastina yaitu Prabu Duryudana yang ma-sih saudara Pandawa.

Di Mandura pernah pula terjadi perjuangan para putra Ba-sudewa, ketika terjadi perebutan kekuasaan oleh Prabu Kangsade-wa. Dikisahkan bahwa raja tersebut mendapat ilham yang intinya Prabu Kangsadewa harus membunuh dua orang anak berkulit hitam dan putih. Kedua anak tersebut yang berkulit hitam adalah Narayana yang kemudian menjadi Prabu Kresna, dan yang berkulit putih (bule) adalah Kakrasana yang kemudian menjadi Prabu Baladewa. Namun berkat bantuan para Pandawa, rencana pembunuhan tersebut dapat digagalkan, bahkan dapat membinasakan Prabu Kangsadewa, dan rakyat Mandura bisa hidup tenang, aman, dan sentosa.

Page 186: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

169

Gambar 3.22 Basudewa (Raja Mandura) Gambar 3.23 Narayana

Page 187: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

170

Bila kita perhatikan silsilah Mandura tersebut di atas, maka leluhur Mandura ada-lah diambil dari Mahabhara-ta versi India. Yang meme-gang peranan penting da-lam cerita pewayangan, se-bagai keturunan Yadawa, ialah Kresna yang pada ha-kekatnya menjadi perwujud-an Batara Wisnu yang turun ke marcapada untuk menu-mpas segala kejahatan dan keangkaramurkaan. Peran-an Dewi Kunti adalah sosok wanita teladan, sebagai se-orang ibu yang sanggup menjalankan kewajibannya menjdi ibu sejati, memberi contoh kepada kaum wanita tentang kecintaan seorang

Ibu terhadap anaknya yang tidak terbatas. Dewi Kunti mengikuti se-gala gerak-gerik putranya, demikian pula ketika para putranya berke-lana akibat kejahatan Kurawa, tidak ketinggalan Dewi Kunti ikut pula berkelana. Gambar 3.24 Kakrasana dan Baladewa

Gambar 3.33 Kresna

Page 188: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

171

Silsilah Raja-raja Mandura

Prabu Nahusta

Prabu Yayati

Prabu Yadawa

Prabu Basuketi

Prabu Basukunti

Prabu Kuntiboja Basudewa Dewi Kunti Arya Prabu Ugrasena Pandhudewanata Dewi Badraini Dewi Rohini Dewi Maerah Gorawangsa Kakrasana Kangsadewa Narayana Rukmini Sumbadra Arjuna Dewi Setiboma Abimanyu Jembawati Dewi Pertiwi Setiyaka Samba Suteja (Boma) Siti Sendari (Sumber: Buku Pengetahuan Pedalangan 2, hal 61, Departemen P & K, Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan, 1983).

Page 189: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

172

4.2.9 Silsilah Para Dewa Seperti halnya dengan dewa-dewa Yunani kuno, maka para

dewa yang ada dalam pewayanganpun merupakan insan Tuhan yang serupa dengan manusia. Perbedaannya hanya kedudukan dan harkatnya baik secara lahiriah maupun sebagai rohaniah lebih tinggi daripada manusia.

Tempat kelahiran dewa dan kelahiran cerita Ramayana dan Mahabharata adalah di India. Sedangka di Indonesia kedua cerita tersebut bersumberkan kepada para Sang Hyang yang pernah dipu-ja dan disembah masyarakat Jawa pada zaman Mithos Kuna.

Pada masa pemerintahan Kediri di Jawa Timur, antara ta-hun 900 hingga tahun 1045, tokoh Sang Hyang tersebut diabadikan lagi dalam cerita pewayangan, bahkan tercantum pula dalam kitab kesusasteraan pedalangan, sedangkan harkat derajatnya berada di atas para Batara dari India.

Mungkin akan berlainan pandangan bagi dewa-dewa India dan para Batara di Indonesia, karena dengan sebutan dewa bagi Ba-tara Guru dan Batara-Batara lainnya, kiranya kurang tepat. Oleh se-bab itu bagi dunia pewayangan kita, akan lebih tepat kiranya, bila se-butan bagi para dewa itu disebut Batara, misalnya Batara Guru, Ba-tara Brama, dan lain sebagainya.

Sesuai dengan Kitab Pustaka Raja Purwa yang di susun oleh R.Ng. Ronggowarsito, maka para dewa dari India berada di ba-wah para Sang Hyang, baik dalam susunan kekeluargaan maupun dalam kedudukannya. Hal tersebut mungkin karena adanya perge-seran dan perubahan zaman, di mana perubahan kepercayaan se-ring terjadi, umpamanya dari Mithos Kuna ke Mithos Hindu, dari Mi-thos Hindu ke Mithos Islam. Gambar 3.25 Batara Narada

Page 190: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

173

Di samping perubahan kebudayan akibat perubahan keper-cayaan tersebut, mempengaruhi pula akan kehidupan sosial masya-rakat Jawa dan mempengaruhi pula akan ketatanegaraan. Namun yang tetap utuh dalam perubahan zaman tersebut adalah penga-gungan masyarakat terhadap rajanya yang berkepercayaan bahwa raja-raja yang memerintah tanah Jawa adalah keturunan para Pan-dawa, artinya bahwa para raja di tanah Jawa adalah keturunan para Sang Hyang.

Munculnya seorang tokoh Sang Hyang yang kita kenal se-karang dengan nama Semar, yang tersurat dalam beberapa kitab yang diterbitkan pada zaman kebudayaan Jawa-Hindu. Kitab terse-but seperti kitab Sudamala, kitab Gathotkacasraya dan cerita-cerita Panji. Kitab-kitab tersebut merupakan pembuka jalan bagi pengena-lan kembali tokoh-tokoh Sang Hyang, di antaranya Semar yang da-lam cerita Pewayangan sebelumnya dikenal sebagai jodek Santa, Smarasanta. Kemudian nama-nama Jodek Santa, Smarasanta di-abadikan dalam cerita Ramayana dan Mahabharata dan dipuja ma-syarakat sebagai leluhurnya, karena tingkah laku Semar melam-bangkan kemasyarakatan yang abadi.

Tokoh yang memegang peranan utama dan hampir pada setiap lakon ditampilkan ialah tokoh Semar yang juga disebut Sang Hyang Ismaya. Keistimewaan Semar ini adalah dalam bentuk badan-nya dan silsilahnya yang sampai kini masih menjadi teka-teki bagi rakyat Indonesia, siapakah sebenarnya Semar itu. Karena sifatnya yang samar-samar itulah, maka bentuk Semar dibedakan dengan wayang lainnya. Kita ketahui bahwa Semar putra Sang Hyang Tung-gal, saudara tua Sang Manikmaya atau Batara Guru.

Adapun tugas Semar dalam dunia (mercapada) ini, ialah mengayomi dan mengiringi para satriya yang jujur, adil-paramarta. Di Mahabharata, Semar digambarkan oleh para Pandawa dalam menu-naikan tugas hidupnya. Gambar 3.26 Semar

Page 191: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

174

Silsilah Para Dewa Sanghyang Wenang Dewi Sahoti Hyang Tunggal Hyang Wening Batara Anantadewa Dewi Sati Hyang Punggung Hyang Ismaya Hyang Manikmaya Dewi Uma Dewi Kanastren Dewi Superti Anantara Batara Ramaprawa Resi Ramayadi Resi Harmaya Resi Anggajali (Sumber: Buku Pengetahuan Pedalangan 2, hal 66, Departemen P & K, Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan, 1983).

1. Batara Sambu 2. Batara Brahma 3. Batara Indra 4. Batara Bayu 5. Batara Wisnu 6. Batara Kala 7. Batara Cakra 8. Batara Mahadewa 9. Batara Asmara

1. Batara BasuKita 2. Btr. Anantadewa 3. Btr. Nagatatmala 4. Batara Basundara 5. Batara Basuwati 6. Btr. Rukmawati 7. Dewi Nagagini 8. Batara Nagapasa

1. Batara Wungkuan 2. Batara Siwah 3. Batara Wrahaspati 4. Batara Yamadipati 5. Batara Surya 6. Batara Candra 7. Batara Kuwera 8. Batara Temburu 9. Batara Kamajaya 10. Batara Darmastuti

Page 192: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

175

4.2.10 Silsilah Resaseputra Wisrawa Dewi Sukesi (Putra ke dua): Kumbakarna Dewi Kiswani Aswanikumba Kumbaaswani Kumbakinumba Wangsatanu Wangsajalma Kalakirna Sumaliwati Werka Pujawati Narasuma (Styawati) Erawati Surtikanti Banuwati (Sumber: Buku Layang Kandha Kelir versi Jawa Timuran)

Page 193: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

176

BAB V

SUMBER CERITA 5.1 Sumber Cerita

Seperti telah kita ketahui bersama bahwa setiap ada penye-lenggaraan seni pertunjukan wayang kulit purwa Jawa, dapat dipasti-kan si dalang akan menceritakan lakon tentang Rama, Sinta, Rah-wana atau Pandawa dan Kurawa. Hal ini menyatakan bahwa sumber cerita wayang kulit purwa Jawa adalah mengambil dari epos Rama-yana dan Mahabharata. Kedua epos ini berupa buku yang dibawa oleh orang-orang Hindu masuk ke bumi Indonesia sekitar abad ke-5.

Sampai sekarang cerita Ramayana dan Mahabharata ini sangat populer di hati masyarakat Indonesia, terlebih di hati para da-lang. Cerita Ramayana dan Mahabharata ini benar-benar dihayati sampai detail.

Karena buku ini dibawa orang Hindu aliran Siwa, maka to-koh pewayangan Batara Siwa atau Batara Guru diabadikan oleh pa-ra dalang Jawatimuran dengan cara diletakkannya tokoh tersebut di atas simpingan di sebelah kanan dalang. Demikian juga pada sim-pingan kiri dalang, di atasnya diletakkan tokoh Batari Candika atau Dewi Maut yaitu Durga yang merupakan saktinya Batara Siwa. Da-lam falsafah Jawa, saktinya sama dengan istinya.

Perlu dijelaskan keterkaitan pengabdian kedua tokoh yaitu Siwa dan Durga dalam pewayangan Jawatimuran masih tersambung dengan pernyataan adanya tokoh Semar dan Bagong yang sebelum pertunjukan dimulai telah ditancapkan di tengah-tengah layar wa-yang kulit (jagadan). Hal ini mengandung pengertian bahwa pada ha-kekatnya keempat tokoh yaitu Siwa, Durga, Semar, dan Bagong adalah satu, yaitu sebagai manifestasi Sang Hyang Maha Tunggal dalam mengelola karya AgungNya. Siwa dan Durga sebenarnya adalah satu artinya suami isteri adalah dua yang menjadi satu. Se-mar dalam menjalankan karyanya menginginkan pasangan sehingga ia mencari teman. Kemudian mencipta bayangannya sendiri dan muncullah Semar bayangan yang dinamakan Bagong. Jadi Semar dan Bagong sebenarnya adalah satu. Semar sama saja dengan Ba-gong, Bagong tidak berbeda dengan Semar.

Tokoh Semar sering juga disebut Batara Ismaya adalah saudara tua Batara Siwa yang juga bernama Batara Manikmaya dari Buah Karya Sang Bapa Sang Hyang Maha Tunggal (Jawatimuran: Sang Hyang Wenang). Buah karya Sang Hyang Maha Tunggal selu-ruhnya ada tiga, yaitu Sang Hyang Punggung yang disebut Togog, Sang Puguh atau Sang Hyang Ismaya yang disebut Semar dan

Page 194: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

177

Sang Hyang Siwa atau Sang Hyang Manikmaya yang disebut Batara Guru. Dalam pemberian hak kewenangan, Sang Hyang Maha Tung-gal bersabda kepada ketiga puteranya ”Heh sira puteraku sakatelune pisan, sejatine sira iku ingsun, ingsun iku sira.”

Apa yang disabdakan sebenarnya merupakan pernyataan bahwa mereka adalah satu, Sang Hyang Tunggal tidak berbeda de-ngan mereka. Jika demikian Semar sama dengan Batara Siwa. Jika Batara Guru tidak berbeda dengan Semar, maka dapat disimpulkan bahwa Siwa, Durga, Semar, dan Bagong pun adalah tokoh yang sa-tu yang tidak berbeda dengan Sang Hyang Tunggal atau Sang Hyang Wenang yang menciptakan dunia seisinya.

Sekarang kita tengok kembali tokoh Semar dan Bagong yang ditancapkan pada jagadan bagian tengah, yang kedua muka-nya ditutup dengan gunungan (kayon) dan masing-masing merang-kul kayon. Hal ini melambangkan bahwa Sang Hyang Maha Tunggal (Maha Wenang/Kuasa) masih diam, belum bekerja. Sang Maha Ku-asa (Tuhan) belum melakonkan kehidupan. Dunia masih sepi, sunyi belum ada hidup, belum terang, masih gelap, belum ada gerak.

Setelah sang dalang menduduki tempatnya, ia akan men-ceritakan lakon melalui medium wayang. Ini sebuah lambang bahwa Sang Hyang Maha Kuasa (Tuhan) mulai menceritakan hidup dan ke-hidupan manusia di dunia fana ini.

Pendapat ini agak berbeda sedikit dengan pendapat Ki da-lang Suleman, seorang dalang senior dari desa Karang Bangkal, Gempol, Pasuruan, Jawa Timur. Beliau berpendapat bahwa gambar Semar dan Bagong sebagai Sang Hyang Tunggal atau Sang Hyang Kuasa yang diam tetapi mengintip (nginjen) dunia yang akan dihi-dupkan. Kemudian gambar Batara Siwa dan Batari Durga, Ki Sule-man menafsir bahwa kedua-duanya adalah yang satu dan yang menciptakan alam raya sedang meneliti dan melihat kondisi ciptaan-Nya. Bandingkan dengan kitab Purwaning Dumadi dalam Kitab Suci (alkitab) umat Kristen, “Ing dina kang kapitu bareng Gusti Allah wus mungkasi pakaryane anggone yeyasa, ing dina kang kapitu banjur kendel anggone karya samubarang kang wus kayasa iku” (Purwa-ning Dumadi 2:2).

Tentang penciptaan ini, bandingkan pula dengan kitab Am-biya dalam Kapustakaan Jawa tulisan Prof. Draden RM. Ng. Purbo-caroko, ”Tatkala Tuhan mulai menciptakan dunia, mula-mula dicipta-kan cahaya, kemudian kentallah cahaya itu menjadi ratna lalu menja-di air dan buih, buih itulah yang kemudian menjadi langit yang tujuh” (Kapustakaan Jawa hal 140).

Dengan berdasarkan pendapat-pendapat di atas, maka pe-nancapan wayang Semar dan Bagong di tengah jagadan dan Batara Guru serta Durga pada simpingan kanan dan kiri dalam seni pertun-jukan wayang Jawatimuran merupakan akulturasi budaya Jawa Hin-du yang perlu dilestarikan. Termasuk cerita Ramayana dan Maha-

Page 195: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

178

bharata perlu dikembangkan dengan motivasi melalui seni pertunjuk-an wayang kulit purwa dan wayang wong yang kini perlu dibangun.

Pada pedalangan Jawa buku Ramayana dan Mahabharata yang sering disebut sebagai pakem cerita, telah membuat para da-lang merasa kurang pas apabila sebuah tontonan wayang kulit pur-wa dalam sajiannya tidak menggunakan salah satu di antara kedua cerita itu. Akhirnya kitab Ramayana dan Mahabharatalah yang meru-pakan sumber ceritanya. 5.1.1 Cerita Ramayana

Di tinjau dari segi kepercayaan, cerita Ramayana merupa-kan suatu pendidikan rohani yang mengandung falsafah yang sangat dalam artinya. Walau cerita ini fiktif, Ramayana merupakan cerita mi-tos kuna yang bersumber pada pendidikan. Cerita Ramayanan sesu-ai dengan cerita kehidupan manusia dalam mencari kebenaran dan hidup yang sempurna.

Cerita Ramayana menyinggung pula kebaikan dan kesetia-an Dewi Sri kepada suaminya yaitu Sri Rama, karena Sri Rama ada-lah titisan Dewa Wisnu, sedangkan Dewi Sri adalah istri Dewa Wisnu yang digambarkan sebagai bumi manusia. Dari segi sosial masyara-kat membuktikan bahwa Rama dan Dewi Sri adalah merupakan to-koh-tokoh sosiawan dan dermawan yang mencintai sesamanya.

Kitab Ramayana merupakan hasil sastra India yang indah dan berani. Menurut perkiraan, di India ada lebih dari 100 juta orang yang pernah membaca kitab Ramayana, artinya bahwa penggemar cerita Ramayana melebihi pembaca WedaMenurut para budayawan, kitab Ramayana digubah oleh seorang Empu agung, yaitu Empu Walmiki. Kitab ini terbagi-bagi menjadi 7 bagian atau 7 kandha. Bagi-an-bagian tersebut yaitu Bala Kandha, Ayodya Kandha, Aranyaka kandha, Kiskindha kandha, Sundara Kandha, Yudha Kandha, Utara Kandha.Pada kandha yang pertama yaitu Bala Kandha, dikisahkan tentang Rama dan saudara-saudaranya ketika masih kecil.

Diceritakan, di negeri Kosala dengan ibukotanya Ayodya di-pimpin oleh seorang raja bernama Prabu Dasarata. Ia mempunyai 3 istri yaitu Dewi Kausalya (Sukasalya) yang berputra Rama sebagai, Kekayi yang melahirkan Barata, dan Dewi Sumitra yang berputra Lasmana dan Satrugna (Satrugena). Dalam sayembara (swayamwa-ra) di Wideha (Manthili) Rama berhasil memboyong Sinta putra Ja-naka. Sinta kemudian menikah dengan Rama.Bagian ke dua disebut Ayodya Kandha mengisahkan Raja Dasarata sudah tua. Maka Sang Prabu menghendaki turun tahta dan Rama diserahi untuk menggan-tikannya sebagai raja di negeri Ayodya. Tanpa berpikir panjang tentu saja Rama sebagai anak sulung menyanggupkan diri. Raja Dasarata memerintahkan agar negeri dihias dengan sebaik-baiknya untuk pe-resmian penobatan raja bagi Sri Rama yang baru saja menikah.

Page 196: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

179

Tetapi alangkah kagetnya sang Raja Dasarata bahwa di malam hari menjelang penobatan Rama, dewi Kekayi mengingatkan pada Dasarata akan janji yang telah diucapkan tentang anaknya si Barata agar bisa naik tahta. Dan selanjutnya agar Barata tenang me-merintah Ayodya, Dewi Kekayi memerintahkan kepada Rama dan Sinta agar meninggalkan Ayodya dan hidup di hutan Kanyaka atau Dhandaka selama 14 tahun.

Tentu saja sang Prabu Dasarata sedih sekali dan tidak ku-asa menolak janji yang telah diucapkan kepada Kekayi. Hampir-hampir sang Dasarata lari akan bunuh diri. Namun Sri Rama tahu akan gelagat itu, dengan rela hati bersama Sinta untuk melepaskan haknya dan pergi ke hutan selama 14 tahun. Tidak mau ketinggalan Raden Lasmana ikut dalam pengungsian ke hutan.

Sejak itulah Sang Dasarata meninggal. Barata diangkat se-bagai raja. Sesaat menduduki singgasana ia kemudian jatuh. Selan-jutnya Barata tidak mau naik tahta malahan lari mencari Rama di hu-tan untuk menyerahkan kembali pemerintahan kepada kakaknya, te-tapi Sri Rama harus menggenapkan14 tahun di hutan. Untuk itu te-rompah Sri Rama dibawa kembali ke Ayodya sebagai ganti Sri Ra-ma, maka raja terompah memerintah Ayodya.

Aranya kandha adalah bagian yang ketiga mengisahkan tentang Batara Wisnu yang menitis ke Rama. Rama memang titisan Batara Wisnu yang ke sembilan kalinya. Penitisan ini menjadikan ka-rakter Rama benar-benar bertindak ingin meluruskan perilaku umat yang jahat dengan cara kesabaran dan kebenaran. Rama dalam pe-ngasingan di hutan sudah berkali-kali membantu para rohaniawan yang diganggu oleh raksasa.

Bagian ke empat disebut Kiskindha kandha yang menceri-takan perjalanan Rama hingga sampai ke negara Kiskindha. Sebe-lumnya Sri Rama telah bertemu dengan burung Garuda Jatayu yang sudah sekarat dan maut hampir menjemputnya. Peristiwa tersebut terjadi karena burung Jatayu bertempur guna merebut Sinta dari ta-ngan Rahwana Setelah burung Jatayu menyampaikan semua yang dialaminya akhirnya mati kemudian Rama dan Lasmana melanjutkan perjalanan. Dalam perjalanan Rama bertemu dengan Sugriwa sang raja kera yang terjepit pada dua cabang asam yang berhimpitan dan tak akan bisa lepas tanpa pertolongan orang lain. Himpitan cabang itu dipanah (jemparing) oleh Sri Rama dan lapaslah Sugriwa dari je-pitan cabang pohon. Kemudian berkatalah kepada Sri Rama, bahwa dirinya adalah Sugriwa si raja kera dari Kiskindha. Sugriwa akhirnya minta tolong kepada Sri Rama agar sudi membantu melawan kakak-nya yang bernama Subali.

Bersekutulah Sugriwa dengan Rama dan saling berjanji akan tolong-menolong di dalam segala kerepotannya. Akhirnya mati-lah Subali dalam peperangan melawan Sugriwa yang dibantu Sri Ra-ma. Setelah meraih kemenangan bertahtalah Sugriwa di kerajaan

Page 197: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

180

Kiskindha. Selanjutnya Sugriwa memerintahkan prajurit kera berang-kat ke Alengka. Setelah sampai di pantai, maka para kera bingung karena tidak mampu menyeberangi laut.

Sundara Kandha adalah bagian yang ke lima mengisahkan perjalanan sang Hanuman yang menjadi utusan Sri Rama. Hanu-man, kera putih (wanara seta) kepercayaan Rama, si anak dewa Angin menuju ke negara Alengka dengan cara mendaki gunung Ma-hendra, kemudian meloncati menyeberang samodra dan tibalah di Alengka. Seluruh kota dijelajahinya hingga masuk di istana dan ber-temu dengan Sinta. Setelah saling mengabarkan kususnya Sri Rama yang suatu saat akan menjemputnya ke Alengka.

Saat itu Hanuman diketahui oleh Indrajid, Hanuman ditang-kap lalu diikat dan kemudian dibakar. Dengan ekornya yang menyala itu mengakibatkan seluruh kota itu terbakar, kemudian kembalilah Hanuman ke Ayodya melaporkan peristiwa itu ke hadapan Sri Rama.

Bagian ke enam yaitu Yudha Kandha menceritakan tentang Wibisana yang diusir Rahwana dan akhirnya Wibisana bergabung dengan sang Rama. Sebelumnya Wibisana memberikan petunjuk agar kakaknya yaitu Sang Rahwana mau mengembalikan Sinta ke hadapan Rama, namun petunjuk tersebut membuat Rahwana ma-rah. Wibisana disuruh pergi dari Alengka. Ia pergi bergabung dengan Sri Rama. Hal ini mengakibatkan Indrajid mati, Kumbakarna beserta prajurit dan para senapati gugur dalam perang berebut Sinta. Rah-wana yang sakti itu mengamuk, peperanganpun berlanjut dan ba-nyak pula prajurit kera yang mati. Hampir saja Rama kewalahan ka-rena kesaktian Rahwana, akhirnya Rahwanapun mati.

Selesailah peperangan antara Sri Rama melawan Rahwa-na. Wibisana diangkat oleh Rama menjadi raja Alengka. Di hati Ra-ma ternyata ada keraguan tentang kesucian Sinta. Untuk membukti-kan, maka ia menyuruh membuat api unggun. Masuklah Sinta ke da-lam api itu. Ternyata tidak mati, justru dewa Agnilah menyerahkan Sinta untuk Rama sebab Sinta memang masih suci. Kini Sinta bersa-ma Rama pulang ke Ayodya, diiringi oleh tentara kera. Mereka di-sambut oleh Barata, yang segera menyerahkan tahta kerajaan kepa-da Sri Rama.

Bagian ke tujuh disebut Utara Kandha. Dua pertiga dari bu-ku Utara kandha ini berisi tentang cerita yang tidak ada kaitannya dengan riwayat Sri Rama. Dalam kitab ini disebut-sebut tentang na-ma raja Dharmawangsa Teguh.

Kitab Ramayana ini berisi bermacam-macam cerita, misal-nya terjadinya raksasa-raksasa nenek moyang sang Rahwana atau Dasamuka. Terjadinya Dasamuka dan sikapnya yang kurang sopan terhadap para dewa dan para pendeta.

Di kisahkan pula mengenai Sri Harjuna Sasrabahu yang mengamuk kepada Dasamuka, disiksa ditarik dengan kereta kenca-na, diikatkan badannya dengan roda kereta sampai kesakitan. Siksa-

Page 198: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

181

an terhadap Dasamuka ini terpaksa dilakukan oleh Sri Harjuna se-bab patihnya yang bernama patih Suwanda (Sumantri) mati dibunuh olehnya, namun Dasamuka ditolong oleh Pandya Batari Durga.

Isi pokok dari bagian ke 7 ini sebenarnya berupa lanjutan dari riwayat Rama Sinta, tetapi ada perbedaan dengan bagian akhir kitab yang ke 6. Menurut para ahli sastra bagian ke 7 ini memang berupa kandha gubahan baru.

Diceritakan setelah Sinta diboyong ke Utara (Ayodya), ma-ka Sang Batara Rama mendengar desas-desus rakyat bahwa keha-dirannya sangat disangsikan akan kesuciaannya. Demi memperlihat-kan kesempurnaannya, maka Sinta yang pada saat itu dalam keada-an hamil diusir dari Ayodya oleh Rama.

Pergilah Sinta dengan tiada tujuan tertentu dengan menge-nakan pakaian orang sudra papa dan sampailah di pertapaan Empu Walmiki. Usia kehamilan Sinta semakin besar, maka setelah tiba waktunya lahirlah dua anak yang ternyata lahir kembar, diberi nama Kusa dan Lawa.

Keduanya diasuh dan dibesarkan oleh Empu Walmiki dan dididik membaca kakawin. Sang Walmiki juga menulis cerita riwayat Rama dalam kakawin. Suatu saat ketika sang Rama mengadakan aswameda yaitu korban pembebasan kuda, Kusa dan Lawa diajak hadir oleh sang Walmiki. Kedua anak muda inilah yang membawa kakawin gubahan sang Empu.

Setelah pembacaan Kakawin dengan riwayat Sang Rama, barulah tahu bahwa Kusa dan Lawa adalah anaknya sendiri. Maka segera Walmiki diminta untuk mengantar Sinta kembali ke istana. Setiba di istana Sinta bersumpah “janganlah kiranya raganya tidak diterima oleh bumi seandainya tidak suci.” Seketika itu juga bumi ter-belah menjadi dua dan muncullah Dewi Pretiwi yang duduk di atas singgasana emas yang didukung oleh ular-ular naga. Sinta dipeluk-nya dan dibawanya lenyap masuk ke dalam belahan bumi. Tentu saja Sri Rama sangat menyesal atas semua itu. Pe-rasaan Rama sangat haru melihat sang Dewi Pretiwi yang berkenan untuk muncul menjemput Sinta. Peristiwa tersebut telah membuat Rama mengerti akan kesetiaan Sinta kepadanya. Itulah penyesalan Rama, yang kemudian dinyatakan pada semedinya di pantai samu-dra dan lepaslah penitisan Wisnu kembali ke Sorgaloka untuk berte-mu dengan sang istri yaitu Dewi Pretiwi. 5.1.2 Cerita Mahabharata

Menurut M.A Salmoen dalam bukunya Pedalangan Di Pa-soendan dan dalam Kitab Filsafat dan Masa Depan Pewayangan karya Ir. Moelyono, Mahabharata berasal dari cerita bangsa Aria, ya-itu suatu bangsa yang mendiami tanah dataran tinggi Kasymir di In-dia utara yang bernama Wedda. Kitab Mahabharata yang berasal dari cerita rakyat, berubah menjadi cerita mitos yang disetarafkan

Page 199: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

182

dengan kitab-kitab lainya di India, seperti Jayur wedda, rig wedda, sama wedda dan lain-lainya.

Pada awal abad ke 20, kitab Mahabharata telah diterjemah-kan ke dalam + 300 bahasa sehingga hampir seluruh dunia menge-nalnya. Asal mula cerita itu ditulis dalam bentuk puisi yang disebar-kan secara lisan dan turun-temurun, kemudian setelah manusia bisa menulis dan membaca barulah dijadikan cerita tertulis yang disusun dengan bahasa yang indah dalam bentuk puisi dan prosa.

Kedua cerita tersebut kadang-kadang dikaburkan oleh pen-dapat-pendapat atau pengertian yang campur aduk, karena perkem-bangan kedua cerita itu tidak terlepas dari pengaruh dan perubahan zaman, seperti perubahan politik, perubahan kepercayaan, perubah-an sosial ekonomi dan lain-lainya, yang kemajuan alam pikiran ma-nusia mempengeruhi perubahan-perubahan itu. Pada zaman Maja-pahit dan zaman-zaman sebelumnya, cerita wayang bertindak seba-gai sumber penyebaran ajaran agama Hindu. Tetapi pada zaman Is-lam digunakan sebagai media pengembangan dan penyebaran aga-ma Islam yang tentu berbeda maksud dan tujuannya, baik dalam pe-ngertian maupun dalam falsafahnya.

Kitab Mahabharata ini sering juga disebut Asthadasaparwa. Astha berarti delapan, dasa berarti sepuluh, parwa berarti bagian atau bab. Jadi kitab Mahabharata ini dibagi menjadi 18 bagian atau 18 parwa. Sebagian besar menceritakan peperangan sengit antara Pandawa dan Kurawa selama 18 hari, sehingga ada yang menyebut dengan nama yang lengkap yaitu kitab Mahabharatayudda yang arti-nya peperangan besar antara keluarga Bharata

Kitab Mahabharata ditulis oleh Empu Wiyasa. Nyoman S. Pendita dalam halaman pendahuluan Mahabharatanya menyebutkan bahwa Mahabharata dikarang oleh 28 Wiyasa (Empu sastra) yang dipersonifikasikan sebagai seorang Maharsi Wiyasa (kakek Panda-wa dan Kurawa). Asthadasaparwa artinya 18 parwa atau 18 bagian, diantaranya yaitu Adiparwa, Sabhaparwa, Wanaparwa, Wirathapar-wa, Udyogaparwa, Bismaparwa, Dronaparwa, Karnaparwa, Salya-parwa, Sauptikaparwa, Striparwa, Santiparwa, Anusasanaparwa, As-wamedaparwa, Asramawasanaparwa, Mausalaparwa, Prasthanika-parwa, Swargarohanaparwa.

Dalam parwa yang pertama yaitu Adiparwa, dimuat bebera-pa macam cerita, misalnya matinya Arimba, burung dewata menga-duk laut susu yang menyebabkan keluarnya air hidup dan juga tim-bulnya gerhana matahari dan bulan yang dalam ceritanya terungkap bulan yang ditelan oleh raksasa yang hanya berwujud kepala. Ada juga cerita tentang Pandawa dan Kurawa ketika masih kecil misalnya lakon Dewi Lara Amis, Bale si Gala-gala dan cerita Santanu.

Negeri Hastina yang rajanya bernama prabu Santanu mem-punyai anak bernama Prabata atau disebut juga Bisma yang artinya teguh janji. Suatu saat prabu Santanu tertarik dengan kecantikan de-

Page 200: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

183

wi Satyawati. Padahal prabu Santanu sudah pernah sumpah tak akan kawin lagi, hanya akan mengasuh sang Prabata saja.

Bisma pun mengetahui pula bahwa sang ayah telah ber-sumpah tak akan kawin lagi. Namun demikian Bisma sangat iba hati melihat sang ayah prabu Santanu jatuh cinta kepada dewi Satyawati yang hanya mau dikawini bila keturunannya dapat naik tahta. Meli-hat gelagat yang kurang pas itu, Bisma rela untuk melepaskan hak-nya sebagai raja pengganti sang ayah. Bisma kemudian bersumpah akan hidup sendiri dan tidak menikah selamanya (wadat). Ini berarti Bisma tidak menggantikan tahta ayahnya, agar sang ayah bisa ka-win dengan Satyawati. Pernikahan Santanu dengan Dewi Satyawati berputra dua yaitu Citragada dan Wicitrawirya. Citranggada tidak la-ma hidup dia mati muda maka Wicatrawirya yang menggantikan sang prabu sebagai raja Hastina dengan istri dua dewi Ambika dan Ambalika dari negara Kasi. Belum sampai punya keturunan prabu Wicitrawirya meninggal. Oleh Satyawati Bisma disuruh mengawini kedua janda itu, tetapi dengan tegas Bisma menolak. Kemudian dewi Satyawati menyuruh anaknya si Abiyasa (Wiyasa) hasil perkawinan-nya dengan begawan Parasara untuk mengawini si janda Ambika dan Ambalika dengan harapan ada keturunan dari silsilah Bharata yang meneruskan menjabat sebagai raja di negara Astina.

Dewi Ambika yang menikah dengan resi Wiyasa punya ke-turunan laki-laki bernama Dretharastra yang sejak lahir menderita buta dan tidak bisa menjadi raja. Sedangkan pernikahan antara Wi-yasa dengan Dewi Ambalika menurunkan anak laki-laki bernama Pandhu si muka pucat. Pandhulah yang kemudian menduduki sing-gasana kerajaan Hastina. Pandhu menikah dengan dua wanita yaitu Dewi Kunthi dan Dewi Madrim. Pernikahanya dengan Dewi Kunthi berputra 3 laki-laki, yaitu Yudhistira, Bima, Arjuna. Sedangkan perni-kahanya dengan Dewi Madrim berputra 2 laki-laki, yaitu Nakula dan Sadewa. Sehingga Prabu Pandhu mempunya 5 orang anak, dan ke-lima anak tersebut disebut Pandawa.

Drestharastra akhirnya menikah dengan kakak perempuan Sangkuni yang bernama Dewi Gandari dan mempunyai keturunan 100 orang. Ketika Pandhu meninggal, Drestharastra terpaksa meng-gantikan raja sementara meskipun buta. Drestharastra menjabat raja hanya sementara, inilah yang menimbulkan perang besar Bharatayu-da selama 18 hari yang memakan korban sangat banyak.

Pada parwa yang kedua yaitu Sabhaparwa menceritakan tentang permainan dadu hingga Pandawa menjalani hukuman. Usa-ha Kurawa untuk menghancurkan Pandawa tidak pernah mau ber-henti. Kali ini Pandawa yang sudah menempati Indraprastha sebagai tempat berteduh diajak main dadu. Ternyata atas kelicikan orang Ku-rawa, meskipun Yudhistira ahli main dadu, tetapi tetap kalah karena tipu muslihat Sengkuni. Dalam permainan tersebut Yudhistira juga menyerahkan dirinya untuk dijadikan taruhan, hingga Yudhistira ka-

Page 201: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

184

lah dan menerima hukuman. Tetapi karena usaha Drestharastra pa-ra Pandawa menjadi bebas.

Kurawa tetap menginginkan kehancuran Pandawa dan di-ajaknya main dadu lagi dengan taruhan bila Pandawa kalah harus menjalani pembuangan selama 12 tahun dan tahun ke 13 mereka harus menyelinap atau bersembunyi. Jika dalam penyelinapannya diketahui para Kurawa, Pandawa harus kembali ke hutan selama 12 tahun lagi dan menyelinap pada tahun ke 13 dan seterusnya.

Dalam Wanaparwa yaitu bagian yang ketiga ini mengisah-kan pengalaman-pengalaman Pandawa ketika berada dalam hutan buangan selama 12 tahun. Pernah para Pandawa menolong seorang desa yang akan dimakan oleh seorang raja raksasa bernama prabu Baka dari negeri Ekacakra. Prabu Baka mati terkena kuku Pancana-ka Bratasena, perutnya sobek usus keluar. Negeri Ekacakra tentram dan seorang yang tertolong itu berjanji akan sanggup menjadi kor-ban saji (tawur) ketika perang besar nanti terjadi. Di samping itu diki-sahkan pula bahwa Raden Arjuna juga pernah merukunkan suami istri yang belum akur menjadi satu selama perkawinannya. Setelah Raden Arjuna yang merukunkannya, maka orang tersebut sanggup menjadi tawur pada perang besar nanti. Pada saat Pandawa dalam hutan buangan sering menerima kehadiran para Brahmana yang ha-dir untuk mendoakannya.

Maharsi Wiyasa datang untuk memberikan nasehat-nase-hatnya agar Arjuna mau bertapa di gunung Mahameru untuk memo-hon senjata-senjata yang ampuh dan sakti. Tapa Arjuna inilah yang menjadi bahan cerita Arjunawiwaha.

Parwa yang ke empat yaitu Wirathaparwa mengisahkan Pandawa sudah selesai menjalani 12 tahun di hutan sebagai bu-angan. Maka mereka keluar dari hutan ingin menyelinap sesuai per-janjian. Para Kurawa berpendapat bahwa Pandawa pasti sudah mati dimakan binatang buas. Tetapi ternyata mereka sudah berada di ne-geri Wiratha sebagai budak sang prabu Matsyapati.

Penyamaran yang dilakukan para Pandawa adalah sebagai berikut, Yudhistira sebagai kepala pasar berpangkat tandha bernama Dwijangkangka, Bratasena sebagai tukang menyembelih sapi (jagal) dengan nama Ballawa dan ikut seorang jagal Walakas di desa Paja-galan. Arjuna diterima sebagai abdi sang permaisuri dewi Sudisna bersama putri mahkota dewi Utari, tugasnya mengajar tari dan sin-dhen bernama Kandhi Wrehatnala dengan watak banci (wandu). Se-dangkan Nakula dan Sadewa sebagai tukang memelihara kuda dan tukang rumput (Gamel), bernama Grantika dan Tantripala. Drupadi bernama Salindri sebagai pelayan sang permaisuri dewi Sudesna dan merangkap sebagai penjual kinang di pasar. Penyamaran Ini memang strategi mereka biar tidak jauh dengan Kandhi Wrehatnala, dan pada saat keluar supaya mudah berhubungan dengan tandha Dwijangkangka dan Jagal Ballawa serta Grantika dan Tantripala.

Page 202: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

185

Meskipun di Wiratha sering mendapat marah oleh sang Prabu Matsyapati, tetapi Pandawa sadar itu suatu perjalanan penuh kesabaran dan tawakal (laku prihatin) yang harus dijalani. Mengabdi sebagai budak kerajaan harus mau menerima apa adanya meskipun menerima siksa, dihina, dicerca, meskipun benar dianggap salah toh mereka beranggapan bahwa kebenaranlah yang akan mendapat anugerah.

Sabagai abdi mereka berenam dalam strategisnya mampu mengamankan negara Wiratha yang sedang terancam bahaya, mi-salnya jagal Billawa mampu membunuh tritunggal Kencakarupa – Praupakenca dan Rajamala. Sedangkan Arjuna si Kandhi Wrehatna-la mampu membunuh beribu-ribu tentara sekutu Astina bersama pa-ra senapatinya sehingga negeri itu menjadi tenang dan tentram. Se-telah para budak bersembunyi dan menyelinap di Wirataha selama satu tahun, barulah tahu dengan jelas bagi prabu Matsyapati yang menyadari bahwa keenam bersaudara tersebut adalah para Panda-wa yang terhitung masih cucunya sendiri. Demikianlah kata para bu-dak si Pandawa. “Kakek Matsyapati, akulah cucu-cucumu Pandawa.” Seketika itu kemarahan Matsyapati menjadi kesabaran dan berjanji akan mengutamakan kebijaksanaan.

Udyogaparwa adalah parwa yang kelima mengisahkan bah-wa pada tahun ke 14 Pandawa tak bisa dicari orang Hastina, apalagi para Kurawa yakin bahwa Pandawa sudah mati. Maka orang Hastina cemas bahwa Pandawa kembali ke Indraprastha.

Di dalam bagian ke 5 ini Sri Kresna sebagai perantara un-tuk minta separuh negara, tetapi Kurawa tidak rela. Oleh karena itu tidak ada jalan lain, kecuali harus mempersiapkan diri untuk meng-hadapi peperangan.

Pada parwa yang ke enam yaitu Bismaparwa dikisahkan bahwa perang Bharatayuda sudah dimulai dan Bisma sebagai pang-lima perang Hastina dan Dhresthadyumna sebagai panglima perang Pandawa akan berhadapan di medan perang Tegalkurukasetra. Pembela Pandawa yang lain adalah dari negara Wirata diantaranya adalah Seta, Utara, Wratsangka yang akhirnya ketiga kesatriya ter-sebut gugur terkena panah Bisma.

Dalam perang besar Bharatayuda, kedudukan Sri Kresna sebagai penasehat Pandawa dan pengatur siasat perang serta men-jadi kusir atau pengendara kereta Arjuna. Dikala Arjuna bimbang me-nghadapi musuhnya yaitu saudara-saudara, guru, kakek, kakak, ma-ka Sri Kresna memberikan nasehat (wejangan) tentang hakekat dan kewajiban manusia secara mendalam. Wejangan yang mendalam dan panjang itu merupakan bagian yang disebut Nyanyian Tuhan (Baghawadgita).

Sepuluh hari pertempuran berlangsung, maka gugurlah Bis-ma. Ia tidak terus mati, melainkan masih hidup beberapa lama lagi.

Page 203: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

186

Kemudian masih mampu memberikan wejangan kepada kedua be-lah pihak yang bertikai.

Dronaparwa adalah bagian yang ke tujuh mengisahkan ten-tang begawan Drona sebagai senapati Kurawa dan gugurnya Ga-thotkaca. Drona telah menjadi panglima perang Kurawa. Sedangkan Karna mengamuk telah ditantang Gathotkaca namun Gathotkaca gu-gur, Abimanyu anak Arjuna juga gugur oleh Jayajerata. Raja Drupa-da-pun gugur, sebagai seorang anak maka Dhresthadyumna menga-muk dan pada hari ke 15 Drona gugur oleh Dhresthadyumna.

Karnaparwa adalah parwa yang ke delapan. Pada bagian ke 8 ini juga diceritakan Bima merobek dada Dursasana secara sa-dis dan meminum darah Dursasana. Pada hari ke 17, Karna terbu-nuh oleh Arjuna hingga terpenggal kepalanya.

Salyaparwa adalah bagian yang ke sembilan mengisahkan tentang Prabu Salya raja Mandraka menjadi panglima perang Kura-wa namun hanya setengah hari gugur oleh tipu muslihat Nakula dan Sadewa. Hal tersebut dilakukan oleh Nakula dan Sadewa karena pe-rintah Sri Kresna sebagai dalang Pandawa.

Dalam parwa yang ke sepuluh yaitu Sauptikaparwa, men-ceritakan perihal Aswatama putra Drona. Karena dendam, maka pa-da malam hari yang dinyatakan tidak perang itu, Aswatama masuk ke kemah-kemah membunuh semua yang ditemuinya, di antaranya Dresthadyumna. Dalam parwa ini diungkapkan bahwa Aswatama lari ke hutan dan berlindung di pertapaan Wiyasa. Keesokan harinya da-tanglah Pandawa ke pertapaan Wiyasa. Dalam pertemuan itu terjadi perang ramai antara Pandawa dan Aswatama yang kemudian dilerai oleh resi Wiyasa dan Kresna. Aswatama menyerahkan senjata dan kesaktiannya. Akhirnya Aswatama pergi menjadi pertapa.

Striparwa adalah bagian yang ke sebelas, mengisahkan tentang Prabu Dhrestharastra, Pandawa, Kresna dan semua istri pada pahlawan datang di medan Tegal Kurukasetra. Mereka menca-ri suaminya masing-masing dan hari itu adalah hari tangis. Mereka menyesali kejadian itu. Semua jenasah para pahlawan yang ditemu-kan dibakar bersama.

Pada bagian yang ke duabelas yaitu Santiparwa mencerita-kan para Pandawa mencari pencerahan jiwa dan pembersihan diri. Sebulan lamanya Pandawa tinggal di hutan untuk membersihkan diri. Atas petunjuk resi Wiyasa dan Kresna, diharapkan Yudhistiraa agar mau memerintah di Hastina dan didukung oleh adik-adiknya. Wiyasa dan Kresna memberi wejangan tentang kewajiban dan ke-sanggupan manusia dan para ksatria sebagai generasi penerus. Akhirnya Yudhistira mau menjadi raja di istana Hastina serta mereka menunaikan tugas bersama.

Anusasanaparwa adalah bagian yang ke tigabelas. Parwa ini mengisahkan kejadian-kejadian sebagai penutup Bharatayuda

Page 204: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

187

dan wejangan dari Bisma terhadap Yudhistira. Dan akhirnya Bisma meninggal sesudah perang.

Dalam bagian yang ke empatbelas yaitu Aswamedaparwa mengisahkan prabu Yudhistira pada saat mengadakan selamatan untuk naik tahta kerajaan dengan cara membiarkan dan membebas-kan kuda. Pembebasan kuda tersebut dilakukan selama satu tahun dengan penjagaan ketat, bagi siapa yang menggaggu kuda tersebut dihukum.

Asramawasanaparwa adalah bagian yang ke limabelas. Parwa ini mengisahkan tentang Drestharastra yang menarik diri dari keramaian dan ingin hidup di hutan dengan Gandari dan Kunthi juga ingin menjadi pertapa. Tetapi setelah hidup di hutan selama satu ta-hun lalu mereka mati karena hutan terbakar oleh api Drestharastra sendiri.

Mausalaparwa adalah parwa yang ke enambelas. Parwa ini menceritakan musnahnya kerajaan Dwarawati akibat berkobarnya perang saudara antara kaum Yadawa atau bangsa kulit hitam (Wangsa Wresni). Wangsa ini lenyap karena saling perang dengan menggunakan gada alang-alang. Baladewa mati, Kresna lari ke hu-tan dan mati terbunuh dengan tidak sengaja oleh seorang pemburu.

Parwa ke tujuhbelas disebut Prasthanikaparwa. Parwa ini menceritakan sesudah pemerintahan diserahkan ke cucunya Panda-wa yang bernama Prabu Parikesit, maka Pandawa lima bersama-sa-ma Dropadi menarik diri untuk menuju pantai. Satu demi satu mere-ka meninggal secara berurutan dari Dropadi, kemudian dari yang muda Sadewa , Nakula, Arjuna, Bima.

Tinggal Yudhistira dengan seekor anjing yang selalu mengi-kuti pengembaraan pada Pandawa. Batara Indra datang menjemput Yudhistira tetapi ditolak bila anjing tidak boleh ikut serta. Akhirnya anjingnyapun diperbolehkan ikut, maka masuklah Yudhistira ke In-draloka bersama Batara Indra. Sedangkan anjing itu masuk ke Sor-galoka berubah menjadi Sang Hyang Batara Darma / Hyang Suci.

Swargarohanaparwa adalah bagian yang ke delapanbelas atau parwa yang terakhir. Parwa ini menceritakan sewaktu Yudhistira ke Surga tidak bertemu dengan saudara-saudaranya, dan juga de-ngan Dropadi. Justru malah bertemu dengan kakak-kakaknya dari Hastina. Oleh karena itu dia mencari ke Neraka dan bertemu dengan adiknya-adiknya dalam penyiksaan. Namun dengan masuknya Yu-dhistira ke Neraka maka berbaliklah keadaannya. Neraka dibalik menjadi Surga. Sedangkan Surganya orang-orang Kurawa telah ber-balik menjadi Neraka. Pandawa dan Dropadi tenteram di Sorgaloka.

Dalam kitab Swargarohanaparwa ini memerlukan penga-matan khusus yaitu mengapa ada Nneraka dibalik menjadi Sorga? Sebaliknya mengapa ada Sorga dibalik menjadi Neraka?

Demikianlah kisah dari 18 parwa dalam kitab Mahabharata. Masih banyak sumber sastra lain seperti yang dibicarakan pada ba-

Page 205: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

188

gian sastra lakon. Itupun juga berupa sumber sastra-sumber sastra yang dapat dipakai sebagai sarana penggarapan lakon atau cerita dalam seni pertunjukan wayang kulit purwa Jawa pada umumnya. 5.1.3 Sumber Sastra Lain

Masih banyak sumber sastra lain, artinya dari yang bukan sumber sastra yang kuno (kawi) atau sumber sastra yang tua, yaitu sumber sastra bawaan orang-orang Hindu yang sampai mendarah daging di hati orang Jawa. Sumber sastra tua Ramayana dan Maha-bharata benar-benar tertanam sampai di lubuk hati yang paling da-lam bagi orang Jawa. Di Jawa kalau ada pertunjukan wayang kulit purwa dengan mengambil sumber sastra selain Ramayana dan Ma-habharata maka kebanyakan penonton masih belum bisa menerima.

Namun demikian perlu dimaklumi, bahwa setelah runtuhnya Majapahit, seni budaya Islam menambah kekayaan seni budaya bagi bangsa Indonesia. Dengan cepatnya terjalin antara kedua seni buda-ya itu sehingga pertunjukan wayangpun bisa tersaji dengan lakon-la-kon keIslaman, khususnya seni wayang Jawatimuran. Contoh lakon Islam itu misalnya lakon Marmaya mencari jimat Kalimasada (Mar-maya golek jamus Kalimasada).

Kisah Marmaya golek jamus Kalimasada diawali dari Nega-ra Puserbumi. Negara Puserbumi diperintah raja Amir Ambyah. Ke-adaan negara tersebut sedang bersidang, yang dihadiri oleh bebera-pa tokoh penting di antaranya patih Hariya Maktal, senapati Lamdza-hur, Samtanus dan Tamtanus. Dalam persidangan membicarakan kondisi negara yang sedang diserang penyakit berkepanjangan (pa-geblug). Pageblug bisa cepat hilang dengan sarana Jimat Kalimasa-da milik raja Amarta. Umarmaya dan Umardi disuruh mencari dan meminjam ke negeri Amarta, padahal mereka berdua belum pernah ke Amarta. Perjalanan Umarmaya dan Umardi di tengah perjalanan bertemu dengan penjahat jalanan. Barang bawaannya ingin diminta paksa. Penjahat dipersilahkan ambil sendiri. Seketika itu si penjahat mengambil sebanyak-banyaknya tetapi tangannya tak bisa diangkat, rasanya berat bagaikan mengangkat berton-ton. Setelah merasa ka-lah akhirnya penjahat jalanan itu tobat dan masuk Islam dan mau menunjukkan arah ke Amarta. Sampai di Amarta Umarmaya dan Umardi dipersilakan menaklukkan para raksasa yang ingin merebut Jamus Kalimasada dan Payung Amarta. Para raksasa takluk oleh Umarmaya, dan masuk Islam mengikuti jejak Marmaya. Pada saat Jimat Kalimasada akan diberikan, tiba-tiba dari Puserbumi datang utusan yang mengabarkan bahwa pageblug sudah lenyap karena angin Kalimasada sudah sampai di negara Puserbumi. Demikianlah salah satu kisah cerita Islam dengan judul Marmaya mencari jimat Kalimasada.

Sumber sastra tua adalah kitab-kitab yang berasal dari ta-nah Parsi namun sudah menjadi kitab Jawa. Mula-mula cerita itu

Page 206: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

189

berjudul Hikayat Amir Hamzah. Di Jawa menjadi cerita Amir Am-byah. Cerita ini induknya adalah Kitab Menak, Kitab Manikmaya, dan Kitab Sudamala. 5.1.3.1 Kitab Menak

Kitab ini mengisahkan antara Wong Agung Menak yang bermusuhan dengan raja di negeri Medayin Sang Prabu Nusirwan yang mempunyai patih bernama patih Bestak. Raja dan patih beser-ta para ponggawa semua masih kafir. Wong Agung Menak itu ada-lah Jayengrana tetapi sudah masuk Islam. Ia menantu prabu Nusir-wan. Atas dorongan patih Bestak, Wong Agung selalu dicari kele-mahannya agar mati terbunuh.

Tipu muslihat Bestak yang kafir ini selalu mencari masalah. Ia mencari sahabat negara yang tidak berfaham Islam supaya mu-dah dirayu dan di tipu. Biasanya negara ini rajanya mempunyai adik atau anak atau kakak perempuan yang cantik. Karena hasutan Bes-tak maka terjadilah peperangan antara raja hasutan Bestak dengan orang-orang Wong Agung.

Awalnya Wong Agung Menak Jayengrana dapat dikalahkah dan ditangkap akan dibunuh. Tetapi atas usul adik perempuan raja yang cantik itu, Wong Agung Menak Jayengrana tidak boleh dibu-nuh. Justru putri tersebut minta dikawinkan, tetapi Wong Agung Me-nak Jayengrana mempunyai syarat bahwa orang-orang di negara itu harus mau masuk Islam termasuk raja beserta keluarganya. Apalagi perempuan yang akan dinikahi itu harus mau mengikuti Wong Agung masuk Islam.

Upaya Bestak tidak pernah berhenti. Ia masuk ke negera lainnya lagi untuk menaklukkan Wong Agung, dan seperti yang su-dah terjadi bahwa negara yang lainnya akan menikahkan putrinya dengan Wong Agung dan masuk Islam, begitu seterusnya.

Menurut Purbocaroko, kitab Menak yang tertua berangka tahun 1639 Jawa pada jaman Kartasura. Penulis kitab Menak jaman Kartasura adalah seorang juru tulis desa (Carik) bernama Carik Na-rawita yaitu menantu ki Carik Waladana. 5.1.3.2 Kitab Manik Maya

Kitab Manik Maya ini ditulis pada jaman Kartasura, penulis-nya bernama Kartamursadah. Kitab ini bermacam-macam isinya. Ba-gaian awal kitab ini menceritakan terjadinya dunia dengan berbentuk tembang yaitu tembang Dhandhanggula.

Lumaksana sekar sarkara mrih, Pininta maya maya’ng geng ulah, Kang minangka pituture, Duk masih awing-awang, Durung ana bumi langit,

Page 207: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

190

Nanging Sang Hyang Wisesa, Kang kocap rumuhun, Meneng samadyaning jagad, Datan arsa masik jroning tyas maladi, Ening aneges karsa.

Amurweng anggana ‘ngganya titis, Titising driya tan ana kang liyan, Pribadi dating asuwe, Miyarsakken swara sru, Tan katingal uninya kadi, Genth, sakala kagyat, Sarya non antelu, Gumantung neng awang-awang, Gya cinandhak sinanggeng asta pinusthi, Dadya tigang prakara.

Saprakara dadya bumi langit, Saprakarane teja lan cahya, Manik maya katigane, Kalih para samya sujud, Ing padane sang maha muni, Sang Hyang Wisesa mojar, Dhateng Sang Hyang Guru, Eh Manik wruhanireki, Sira iku ananingsun ingsun iki, Estu kahananira, Ingsun pracaya saklir-kalir, Saisine jagad pramudita, Sira wenang ndadekake…...

Terjemahan:

Dibimbing oleh tembang sarkara (Dhandhang gula) yang senantiasa, Diharapkan keindahannya untuk setiap kerja, Adapun buah tuturnya ialah kisah ketika masih kosong (awang-uwung), Belum ada bumi dan langit, Tapi yang tersebut dahulu ialah Hyang Wasesa, Yang berdiam diri di tengah-tengah jagad, Tidak bergerak karena sedang memuja dalam hatinya, Tenang diam bertanyakan kehendak Tuhan, Membina seorang diri tertujukan dirinya, Tujuan hati tiada yang lain.

Page 208: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

191

Diawali di angkasa dengan tepat, Tepat dilubuk yang dalam dan tak ada yang lain sendirinya juga, Tak lama diantaranya, Terdengarlah suara nyaring suatupun tiada kelihatan, Bunyinya seperti genta seketika terkejut, Serta kepada telur, Bergantung di angkasa, Segera ditangkap disangganya di tangan diremas-remasnya berubah sifatnya, Menjadi 3 macam.

Satu kali yang pertama menjadi bumi dan langit, Satunya lagi menjadi teja dan cahaya, Yang ketiganya menjadi Manik maya, Yang dua itu sama-sama sujud, Pada kaki sang Maha Muni, Sang Hyang Wisesapun bersabda, Kepada Hyang Guru, Wahai Manik ketahuilah, Bahwa sebenarnya kamu adalah Aku, Aku ada padamu, Kami percaya akan segela kehendakmu, Sekalian isi jagad raya ini, Padamulah akan membuatnya…. Dari kalimat-kalimat di atas menyatakan bahwa Sang Manik

itu adalah Sang Batara Guru. Sedang Sang Maya adalah Sang Hyang Semar Badranaya. Di dalam kitab Manik Maya ini juga berisi tentang terjadinya Batara Kanekaputra yang di sebut juga Sang Hyang Narada . Cerita lain yang juga dimuat di dalamnya adalah ce-rita tentang Ajisaka.

Empu Brahma kedali sampun ayogya (ayoga), wasta Sang Anggajali. Anggajali putra, jalu wus pinarahan nama Empu Sangka Adi masuk Islam, njabat jengira nabi. Punika kang Mencaraken aksara Jawa…….

Terjemahan :

Empu Brahma Kedali sudah berputera bernama Sang Ang-gajali. Anggajali berputera laki-laki dinamai Empu Sangka Adi masuk Islam, dan menjadi sahabat nabi junjungan-nya. Ialah yang Menyebarkan huruf Jawa……...

Page 209: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

192

Demikianlah cerita tentang Sangka Adi yang membuat seja-rah asal-usul huruf Jawa berjumlah 20 huruf. Dalam kitab-kitab ten-tang huruf Jawa yang lebih muda, Empu Sangka Adi ini berubah menjadi Ajisaka. Isi yang lain dalam kitab Manik Maya adalah:

…….. Sang Prabu Mendhang kamulan, enget dhateng riwa-yat kondur tan aris, lawan sabalanira. Celeng kutila samya beriki, kang kacandak gigire karowak saya sanget palayu-ne, prasamnya rebut dhucung, sampun tebih prapteng jro puri, sri bupati sineba, pepak punggawa gung jaka Puring aneng ngarsa …….

Terjemahan :

…….. Sang Prabu Mendhang kamulan, ingat akan riwayat, pulang tergesa-gesa beserta sekalian bala tentaranya. Babi dan kera semua mengusir, yang terlanggar parah parah punggungnya makin kencanglah lari, mereka dahulu men-dahului, telah jauh tiba di istana, mereka menghadap sang raja, penuh orang-orang besar jaka Puring duduk di de-pan…..

Dan masih banyak lagi isi atau muatan yang mewarnai kitab Manik Maya tulisan Kartamursadah yang termasuk kitab-kitab sastra di ja-man Islam Kartasura. 5.1.3.3 Kitab Sudamala

Kitab ini menceritakan istri Batara Guru Sang Batari Uma yang berubah rupa menjadi raksasa perempuan (rasaksi). Peruba-han tersebut terjadi karena kutukan sang suami, dan ia ingin cantik lagi.

Syahdan di Negara Hastina mendapat bantuan prajurit Ka-lanjaya dan Kalantaka. Kunthi minta bantuan Durga agar melenyap-kan kedua raksasa sakti itu. Durga sanggup, tetapi Kunthi harus me-nyerahkan seekor kambing merah yaitu Sadewa untuk meruwatnya. Kunthi tidak sanggup, akhirnya lari tetapi dikejar anak buah Durga yang bernama Kalika, akhirnya Sadewa diserahkan kepada Durga.

Sadewa tidak sanggup meruwat karena memang tidak pu-nya kepandaian tentang meruwat. Kemudian diikat di pohon lalu di-siksa. Pada akhirnya Sadewa sanggup karena Batara Guru telah menyatu dengannya. Sadewa meruwat Durga yang dibantu Batara Guru dan Durga kembali cantik menjadi Uma.

Kalanjaya dan Kalantaka kalah perang melawan Nakula dan Sadewa hingga akhirnya kembali ke wujud semula menjadi de-wa Batara Citranggada dan Batara Citrasena.

Page 210: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

193

5.2 Lakon Lakon berasal dari kata laku, artinya yang sedang berjalan

atau suatu peristiwa, dan dapat dikatakan juga suatu gambaran sifat kehidupan manusia sehari-hari yang dibeberkan dan diwujudkan me-lalui sarana pertunjukan wayang. Dalam pertunjukkan wayang, lakon yang berbobot ialah yang dapat menarik dan mengikat perhatian, se-hingga dapat memberi suri tauladan, pelajaran, dan bimbingan sikap kepada para penonton.

Berisi atau tidaknya lakon tergantung kepada kemampuan dalang dalam penguasaan lakon tersebut. Secara teknik penguasa-an lakon tersebut diwujudkan dengan bermacam-macam keterampi-lan diantaranya ulah karawitan, ulah sastra, ulah vokal, maupun pe-nguasaan mengenai pengetahuan umum dibidang- kemasyarakatan, contoh budi pekerti, ilmu jiwa dan ilmu lainnya. Menurut beberapa kalangan pedalangan, berhasil atau tidaknya suatu pergelaran dan pendramaan sebuah lakon yang dipertunjukan dalang, tergantung kepada sanggit dalang. Sanggit di sini artinya, daya cipta dalang yang dicetuskannya dalam pakeliran agar me-nimbulkan efek tertentu dan melibatkan penonton. Maka sanggit ini dapat menunjukan kegiatan cipta, rasa, dan karsa dalang, yang disa-jikan dalam pakeliran secara improvisasi dan dipertimbangkan serta dipikirkan terlebih dahulu. Sanggit sangat mutlak yang harus dimiliki oleh dalang untuk keberhasilan suatu sajian pakeliran. Tanpa sang-git, pergelaran wayang akan hampa. 5.2.1 Tipe Lakon

Seorang dalang yang akan menyajikan lakon tentu sangat tergantung kepada sang penanggap atau yang punya hajat (gawe). Lakon apa, cerita apa itu juga tergantung kepadanya. Ia punya gawe apa? Jika si penanggap sedang punya hajatan mengawinkan anak (gawe mantu) maka si dalang akan diminta untuk menyajikan lakon perkawinan. Bila si penanggap punya hajatan khitanan (gawe suna-tan) maka sang dalang akan menyajikan lakon wahyu-wahyuan.

Bagi dalang yang melakokan cerita lahir-lahiran pasti dipe-san si penanggap yang punya hajatan misalnya satu tahun kelahiran bayi (setahunan bayi) atau karena terlaksananya sebuah harapan akan kelahiran bayi yang masih ada dalam kandungan, atau orang yang sudah lama berkeluarga tetapi belum punya anak. Setelah ke-hamilannya, maka dalam upacara 7 bulan kelahiran bayi (mitoni) dan apabila menanggap wayang, maka sang dalang akan melakonkan cerita Brayut dengan harapan banyak anak. Biasanya juga lakon la-hir-lahiran.

Pada bulan Ruwah di desa-desa dalam tradisi tahunan umumnya menyelenggarakan upacara memperingati hari jadi desa (Ruwat Desa/Nyadran) dimana penanggapnya adalah masyarakat.

Page 211: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

194

Di sinilah lakon wejang-wejangan akan tersaji. Demikian juga pada tahun baru Jawa, bulan Sura lakon wejangan yang berjudul Semar mejang (Guru Maya) akan pegang peranan.

Bila si penanggap sedang menyelenggarakan pelaksanaan haul (Nadzar atau ngluwari ujar) si dalang akan melakonkan Sri Bo-yong, Pandawa Boyong atau Sinta Boyong. Dalam memperingati Hari Ulang Tahun Kemerdekaan ada kalanya ki dalang diminta mela-konkan cerita yang heroik (kepahlawanan), misalnya lakon Rebut Negara, Rebut Kikis, Bharatayuda, Brubuh Alengka dan lain seba-gainya.

Di masa-masa lampau pertunjukkan wayang sangat erat hubungannya dengan rakyat bahkan sangat membudaya di hati me-reka. Dalam upacara pembersihan diri (Ruwat Sukerta) sampai se-karang masih lekat di hati masyarakat dengan diselenggarakan wa-yangan Ruwatan Kala. Bendasarkan keeratan hubungan budaya wayang dan kehidupan sehari-hari maka nampak jelas bahwa fungsi wayang menjadi sarana ajaran rohani, harapannya adalah keselamatan. Untuk itu sangat terasa sekali bahwa memilih lakon atau cerita dalam pertunjukan wayang ada kaitannya dengan keperluan. Lakon-lakon itu sudah di-siapkan bentuk serta gunanya dan dapat digolongkan menjadi bebe-rapa golongan, yaitu cerita pernikahan (lakon rabi-rabian atau kra-ma), kelahiran (lahir-lahiran), Bharatayuda (rebut negara atau bru-buh), turunya wahyu (wahyu-wahyuan), pembersihan diri (ruwatan). 5.2.2 Pemeran Lakon

Pengertian pemeran lakon dalam arti luas, adalah semua tokoh-tokoh yang terlibat dan tampil dalam suatu cerita yang dibe-berkan dalam pergelaran wayang. Tokoh-tokoh tersebut berupa wa-yang-wayang. Untuk lebih jelasnya kita ambil contoh dalam lakon Wirathaparwa dan Resaseputra gaya Jawatimuran.

Ada dua kubu kekuatan yang bermusuhan dalam cerita Wirathaparwa. Dua kekuatan tersebut adalah pihak Wiratha mela-wan pihak Kurawa. Tokoh-tokoh yang terlibat dalam cerita Wiratha-parwa khususnya dari pihak Wiratha, diantaranya adalah Prabu Mat-syapati, Raden Utara, Raden Wratsangka, Patih Nirbita, Dewi Utari, Kresna Raja Dwarawati, Resi Wiyasa, Gathutkaca, Dwijakangka, En-dang Salindri, Jagal Abilawa, Wrehatnala, Antrika, Bramabrangti.

Sedangkan tokoh-tokoh yang terlibat di kubu Kurawa ada-lah Prabu Suyudana, Pendita Durna, Begawan Bisma, PatihSeng-kuni, Adipati Karna, Kartamarma, Dursasana, Jayadrata, Aswatama, Prabu Susarman, Prajurit Trigarta yaitu Patih Mahiradenta, Kala Pra-lemba, Kala Praceka, Punakawan dari kerajaan Trigarta yaitu Togog, Sarawita.

Dalam cerita Resaseputra gaya pedalangan Jawatimuran, ada beberapa pihak yang terlibat secara langsung yaitu dari negara

Page 212: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

195

Purwacarita, dari Kahyangan atau para dewa, dari Pertapaan, dari Kesatriya serta Punakawan, dan yang terakhir dari pihak lawan yaitu dari negara Sunggelamaik. Dari semua pihak yang terlibat hanya da-ri pertapaan dan dari negara Purwacarita yang berhubungan sangat erat tanpa ada permusuhan.

Tokoh dari negara Purwacarita yaitu Prabu Sumalidewa, Raden Sumalintana, Patih Mangkupraja, Dewi Sumaliwati. Dari pihak Kahyangan atau kadewatan yaitu Sang Hyang Darmajaka, Batara Guru, Batara Narada, Batara Brama, Batara Wisnu, Batara Basuki. Dari pihak Pertapan Leburgangsa adalah Begawan Kumbakinumba, Wangsatanu, Wangsajalma, dan Kalakirna. Sedangkan pihak lawan dari negara Sunggelamanik yaitu Prabu Jalawalikrama, Patih Bra-mangkara, Kala Pragalba, punakawan Mujeni dan Mundu. Dari pihak kesatriya dan pamong yaitu Raden Kuswanalendra, Raden Berjang-gapati, Semar, Bagong, Subali, dan Sugriwa. Adapun yang disebut tokoh Pandawa atau keluarga Pandawa adalah terdiri dari lima (5) orang laki-laki, nama-nama dari tokoh Pandawa yaitu Puntadewa, Bima, Janaka, Nakula, Sadewa. Sedangkan yang disebut keluarga Kurawa adalah seratus (100) orang, yang sembilan puluh sembilan adalah laki-laki dan satu perempun. 5.2.3 Peran

Seorang dalang, dalam karyanya akan menampilkan la-kon/cerita dua peranan, yaitu peranan yang baik dan peranan yang jahat. Baik dan jahat ini selamanya tidak akan rukun, tidak akan ber-satu, dan selalu konflik.

Dalang akan selalu menggarap konflik atau perselisihan an-tar keduanya dengan cara yang dramatis. Untuk itu ia akan memilih tokoh sebagai peran protagonis dan antagonis, untuk mempertajam konfliksitas bagi kedua peran itu. Sebelum berlanjut perlu dimengerti bahwa yang dimaksud dengan peran protagonis adalah tokoh peran yang dilanda krisis misalnya terancam, diburu, tersiksa yang kese-muanya ditimbulkan oleh si antagonis. Dengan demikian jelas bahwa antagonis adalah lawan protagonis. Antagonis yang mengancam, yang memburu, yang menyiksa si protagonis. Kedudukan si protago-nis ialah sebagai pemeran utama dalam lakon. Segala peristiwa yang terjadi mengacu, mengarah dan berpusat kepadanya.

Di samping protagonis dan antagonis dapat diselipkan ke-lompok kekuatan ketiga yaitu tritagonis, yang dalam penokohan ber-peran dan berkedudukan sebagai penyebab utama atau pembangkit sengketa antara protagonis dan anatgonis. Kekuatan tritagonis juga memerangi masalah yang disengketakan kedua pihak, dan menjadi alat di tangan salah satu pihak yang bersengketa, yaitu sebagai pe-nolong melepaskan protagonis dari ancaman si antagonis atau seba-gai penengah, pendamai atau pelerai antara kedua belah pihak.

Page 213: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

196

Dalam suatu lakon apabila ketiga peran itu sudah ada, nampaknya sudah lengkap dan sang dalang sudah bisa beraktifitas dengan baik. Namun dalam pendramaan setiap lakon atau bentuk penyajian baik padat, pethilan, atau singkat sering dibutuhkan tokoh peran deutragonis. Di pewayangan peran deutragonis diwujudkan sebagai dewa atau panakawan/cantrik yang berfungsi sebagai pen-dukung peran protagonis. Yang dimaksud pendukung adalah mala-yani, sebagai teman atau batur artinya pangembating catur yang se-lalu menuntun dan menunjukkan jalan yang benar. Juga sebagai pemberi nasihat untuk tidak melakukan kemarahan, senantiasa me-lakukan kesabaran, dan kesadaran. Dengan dimunculkannya peran deutragonis ini, maka akan sangat gampang sekali untuk melakukan kreatifitasnya dalam menyanggit dan mereka-reka sebuah lakon-/cerita, agar apa yang tercipta dapat menarik dan mencapai sukses. Sebagai penunjang keberhasilan dalam pentas tentunya Ki dalang ti-dak akan melupakan wanda wayang dan diharapkan mampu menji-wai setiap tokoh wayang dalam lakon yang disajikan.

Namun perlu diketahui bahwa tidak selamanya tokoh-tokoh wayang itu protagonis atau antagonis, karena dapat berubah tergantung lakon yang disajikan. Sedangkan wanda wayang itu memperkuat karakter dalam adegan di lakon tertentu.

Di bawah ini data tokoh-tokoh terpilih yang berperan prota-gonis dalam lingkup lakon sengketa antar negara pada cerita wa-yang. Contoh negara yang bertikai mislanya, negara Pancawati de-ngan negara Alengka, yang dalam peperangannya merebutkan Dewi Sinta istri Rama.

Secara garis besar tokoh protagonis dalam cerita epos Ra-mayana adalah Sri Rama dari Pancawati yang juga bernama Raden Ragawa. Sedangkan yang juga termasuk tokoh utama yaitu Dewi Sinta dan Lasmana.

Di kisahkan bahwa Dewi sinta dalam cerita ini telah diculik oleh Rahwana raja dari negara Sri Langka atau negara Alengka. Penculikan tersebut sebagai penyebab/penyulut Perang Brubuh Alengka. Oleh karena Dewi Sinta juga menjadi tokoh senter maka di samping sebagai incaran, juga menjadi sebab timbulnya permasa-lahan bagi mereka yang bertikai yaitu antara negara Alengka mela-wan Pancawati. Sehingga dalam kisah tersebut Dewi Sinta pun bisa digolongkan sebagai peran protagonis.

Sri Rama pada saat masih muda dipanggil Raden Ragawa yang dilahirkan oleh Dewi Raghu. Sri Rama diangkat menjadi raja setelah acara pernikahannya dengan Dewi Sinta, namun penobatan tersebut diprotes oleh ibu tirinya yaitu Dewi Kekayi. Tujuan Dewi Ke-kayi memprotes yaitu agar yang menjadi raja di Ayodya Pancawati adalah anaknya yang bernama Barata. Dewi Kekayi akhirnya me-ngusir Rama dan Sinta agar pergi ke hutan Dhandhaka selama 12 tahun.

Page 214: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

197

Sebagai satriya yang wajib dan harus berbakti kepada orang tua, maka Rama mengikuti apa yang dititahnya oleh Dewi Ke-kayi, akhirnya Rama mengajak istrinya pergi ke hutan. Kepergian Rama dan Sinta diikuti oleh Raden Lasmana, yang dilahirkan oleh Dewi Sumitra sebagai istri ketiga Prabu Dhasarata. Mereka bertiga berada di hutan Dhandhaka dan tidak akan pulang sebelum masa 12 tahun dihitung dari sejak pengusiran oleh Dewi Kekayi.

Raden Barata yang sudah diwisuda menjadi raja Ayodya akhirnya tidak sanggup menjalankan pemerintahan negara Ayodya. Hal tersebut dapat dilihat pada saat penobatan, karena dipaksakan, maka saat penobatannya, ketika duduk di atas singgasana kerajaan, kepalanya terasa pusing dan terjatuhlah Barata dari singgasana hingga pingsan. Setelah sadar Barata mencari kakaknya ke hutan untuk menyerahkan tahta kerajaan kepada Sri Rama. Setelah sam-pai di hutan dan bertemu dengan Sri Rama, Barata mengutarakan semua isi hatinya dan menyerahkan kembali tahta kepada Sri Rama. Namun Sri Rama tidak mau, menerima karena akan melanggar sum-pahnya dan sebagai gantinya Sri Rama menyerahkan terompah ke-pada Barata. Akhirnya Barata kembali ke Ayodya dan mohon doa restu kepada Sri Rama dan dewi Sinta.

Sinta seorang putri cantik anak seorang raja dari negeri Manthili (Mithila) bernama Prabu Janaka. Sinta kemudian diperistri oleh Raden Rama dari negeri Ayodya. Seperti telah diketahui oleh para penggemar wayang, bahwa sebenarnya Sinta adalah anak Pra-bu Rahwana dari negeri Alengka. Ketika istri Rahwana yang berna-ma Dewi Tari sedang hamil, Rahwana berniat hendak bertapa. Maka Prabu Rahwana berpesan kepada adiknya yang bernama Wibisana, pesan tersebut berbunyi “besuk kalau istrinya melahirkan bayi putri maka anak tersebut akan diperistri sendiri, sebab bayi itu adalah jel-maan Batari Sri Widawati”. Batari Sri Widowati adalah bidadari yang sangat dicintai Rahwana. Tidak lama kemudian Dewi Tari melahirkan dan oleh Wibisana bayi yang baru lahir itu dibuang, sebab bayi terse-but ternyata putri. Setelah membuang bayi, Wibisana memanah me-ga, dan mega yang terkena panah akhirnya menjadi kesatriya yang gagah diberi nama Raden Megananda atau Begananda, di sebut ju-ga Raden Indrajid. Sedangkan bayi perempuan yang sudah dibuang itu akhirnya ditemukan oleh Prabu Janaka raja Manthili dan diasuh serta dibesarkan hingga dewasa yang akhirnya menikah dengan Sri Rama.

Pada saat menjalani pengusiran dan hidup di hutan bersa-ma Sri Rama keadaan Dewi Sinta saat itu sedang sendirian, yang akhirnya diculik oleh Raja Rahwana dan bibawa ke negaranya di Alengka. Dalam perjalanan Rahwana sempat bertemu dengan bu-rung Garuda yaitu Resi Jatayu sahabat Prabu Dasarata ayah Sri Ra-ma dan Lasmana. Jatayu merebut Sinta dari tangan Rahwana. Aki-bat pertempuran melawan Rahwana akhirnya burung Garuda Jatayu

Page 215: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

198

mati di tangan Rahwana. Sebelum menghembuskan nafas yang ter-akhir, Burung Jatayu sempat memberi tahu kepada Sri Rama dan Lasmana tentang keberadaan Sinta, bahwa Sinta telah di culik Rah-wana.

Dalam lakon Ramayana, Lasmana termasuk kelompok pro-tagonis. Tetapi secara individu dia termasuk peran tritagonis. Namun dalam Brubuh Alengka termasuk peran protagonis karena ikut me-nyelesaikan masalah membantu sang Rama si protagonis.

Ketika sang Rama memburu Kidang Kencana, Lasmana-lah yang menjaga Dewi Sinta di tengah hutan Dhandhaka. Dewi Sin-ta sempat curiga terhadap Lasmana, sebab tak mau disuruh untuk mencari Sri Rama yang telah lama belum kembali. Untuk menunjuk-an bahwa dirinya tidak bermaksud apa-apa terhadap Dewi Sinta dan menunjukan rasa setianya kepada kakaknya yaitu sang Rama, maka Lasmana memotong penisnya (planangannya) dan seketika itu juga planangannya terbang ke angkasa dan berada di langit. Menurut ke-percayaan masyarakat Jawa, penis tersebut menjadi benda bersinar disebut cleret tahun sebagai tanda akan ada angin kencang berputar dan hujan deras.

Setelah memotong penisnya, Raden Lasmana pergi dari hadapan Sinta untuk melaksanakan perintah mencari Sang Rama. Namun sebelum pergi Lasmana telah menggoreskan kerisnya di ta-nah untuk membuat lingkaran Rajah Kala Cakra sebagai benteng ke-selamatan Dewi Sinta.

Dalam kitab Ramayana juga menceritakan mengenai Ra-den Hanuman atau Anoman. Anoman adalah manusia kera yang berbulu putih seperti kapas. Ia anak Bathara Guru dengan Dewi An-jani, seorang perempuan yang bermuka dan bertangan kera.

Raden Hanuman (Hanuman=hanu-man) dalam cerita Ra-mayana, membantu Sri Rama hingga selesai, karena dia sebagai pembela yang benar. Anoman memang kera sakti, tak ada yang bi-sa mengalahkannya kecuali hanya Sang Benar. Tak ada wangsa Wi-srawa yang mampu melawan Anoman. Sejak Anoman-duta sampai brubuh Alengka hingga Sinta kembali (Boyong), sang peran protago-nis Anoman tidak pernah ketinggalan dari aktifitas peperangan mem-bela Rama hingga selesai.

Di saat istirahat, Anoman berada di dekat Sri Rama. Tidak lama kemudian Sri Rama bertanya kepada Anoman, ”Anoman, besar sekali baktimu terhadapku, untuk itu aku akan memberi ganjaran ke-padamu berupa gelar yaitu Bintang Senapati Agung. Besok akan sa-ya sematkan pada bajumu. Namun aku akan merasa puas apabila pada ganjaran ke-2 ini yang meminta kamu sendiri melalui ucapan-mu. Silakan Anoman!”

Dengan pernyataan yang dilontarkan oleh Sri Rama itu, da-lam hati Anoman malah kebingungan dan berkata, “ini kan sudah ke-wajiban prajurit kewajiban senapati. Tetapi mengapa aku harus me-

Page 216: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

199

nerima ganjaran yang sehebat itu,” demikian kata hati Anoman. Te-tapi karena desakan Sri Rama, maka Anoman menjawab ”Aduh gusti prabu, sangat besar anugerahmu, terima kasih sekali, karena anuge-rah ke-2 atas kehendak gusti prabu, maka hamba hanya minta umur panjang.” Jawab Sri Rama ”selama namaku masih disebut di dunia ini, maka kamu pasti masih hidup.” Hal tersebut dilakukan Sri Rama karena mengingat akan jasa-jasa Anoman ketika melawan Rahwana si penculik Sinta.

Rahwana adalah raja dari kerajaan Alengka yang disebut juga kerajaan Ngalengka. Rahwana memiliki kekuatan dan kesaktian yang sangat hebat. Dia mempunyai aji Pancasona, yang membuat-nya tak bisa mati.

Sejak dewasa Rahwana diberi ganjaran oleh dewa yaitu se-orang istri yang bernama Dewi Tari. Namun sebelum menerima gan-jaran, Rahwana pernah bertemu bidadari yang bernama Batari Sri Widawati. Menurutnya bidadari yang satu ini kecantikannya tidak ada yang menyamai apalagi melebihinya. Maka kehendak sang Rahwa-na, kapanpun, di manapun, menjelma pada siapa pun akan tetap di-kejarnya. Dalam cerita Ramayana, Sri Widawati menjelma pada putri Manthili bernama Dewi Sinta. Itulah sebabnya Rahwana ingin mem-peristri Dewi Sinta. Rahwana atau Dasamuka ini sudah berhasil menculiknya, dan sekarang berada di taman Pamardi-suka atau ta-man Arga-soka. Sejak itulah negara Alengka dilanda kejadian yang tidak menyenangkan. Sering muncul kejadian aneh yang menyeng-sarakan masyarakat Alengka. Adik-adiknya seperti Raden Kumba-karna, Raden Wibisana sering mengingatkan, agar Sinta dikembali-kan pada Rama. Namun nasehat tersebut tak pernah diindahkannya, malahan adik-adiknya dimarahinya hingga Wibisana di usir dari Nga-lengka.

Raden Kumbakarna adalah adik prabu Dasamuka, saudara seayah seibu. Dia dilahirkan dari rahim Dewi Sukesi. Ayahnya se-orang pendeta ampuh bernama Resi Wisrawa.

Sejak dari dirinya sendiri kemudian adiknya yang bernama Kumbakarna dan adik ketiganya yang seorang perempuan bernama Sarpakenaka berwujud raksasa. Ketiga-tiganya termasuk golongan peran antagonis. Sedangkan adiknya yang bungsu bernaman Raden Wibisana adalah manusia seutuhnya dan bagus rupanya.

Wibisana mempunyai watak pendeta, tidak mau menyusah-kan orang lain. Maka dalam penokohan di bidang peran, dia tidak termasuk peran antagonis. Dia sangat hormat terhadap orang tua termasuk kakak-kakaknya, khususnya kepada Kumbakarna yang ge-mar bertapa.

Kumbakarna adalah saudara Rahwana yang nomer dua. Kumbakarna merupakan seorang raksasa yang besar dan tinggi. Ka-rena sangat besar dan tinggi sampai diibaratkan sebesar anak gu-nung (sagunung anakan) artinya setinggi dan sebesar anak gunung.

Page 217: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

200

Raden Kumbakarna suka makan, sampai ia dipakai sebagai lam-bang nafsu aluamah. Dalam pertempuran melawan Sri Rama, dia bi-lang bukan membela Rahwana kakaknya tetapi bela tanah tumpah darah. Dalam peperangan melawan Sri Rama, Kumbakarna mati se-cara sadis. Kedua tangan dan kedua kakinya putus satu per satu hingga tinggal kepalanya. Kepala itu akhirnya mati terkena panah Guwawijaya.

Sarpakenaka di dalam Kawi Kuna-nya berbunyi Çurpanaka artinya orang berkuku tajam beracun/upas. Ketika Sri Rama mem-bendung (nambak) Samodra, Sarpakenaka inilah yang membedah tambak itu hanya dengan kukunya saja.

Sarpakenaka termasuk golongan peran antagonis karena dalam pertempuran brubuh Alengka, Sarpakenaka membela Rahwa-na. Dia membenarkan perilaku sang kakak parabu Rahwana yang sangat antagonis itu. Rahwana adalah seorang lelaki yang berkedu-dukan sebagai orang nomer satu di Ngalengka, maka tidak salah bila hendak memperistri Dewi Sinta. Sinta kan perempuan, juga, begitu pikiran Sarpakenaka.

Setelah bertemu dengan Lasmana di hutan Dandhaka, , Sarpakenaka sangat mengharapkan agar Lasmana mau menjadi suaminya. Keinginan tersebut sudah menyatu dalam kehidupannya. Akan tetapi jelas Lasmana tidak mau, sebab kecuali Sarpakenaka sebagai musuh, dia juga berwajah raksasa. Dia adalah Raseksi (bu-ta wedok) yang dalam kehidupan manusi/masyarakat Jawa melam-bangkan nafsu supiyah, watak yang suka bersolek, berganti-ganti busana, suka pesta pora, makan minum semaunya. Sedangkan Ra-wana sebagai lambang watak amarah dan Raden Wibisana sebagai lambang watak yang suci, jujur, tidak ingin memiliki yang bukan mi-liknya, watak tersebut disebut watak yang mutmainah. Itulah sauda-ra-saudara Sarpakenaka yang dijadikan sebagai lambang nafsu 4 macam di antaranya adalah nafsu amarah yaitu Dasamuka, aluamah yaitu Kumbakarna, supiyah yaitu Sarpakenaka, dan mutmainah yaitu Wibisana.

Peristiwa yang pernah menimpa Sarpakenaka adalah pada saat menggoda dan merayu Lasmana di hutan Dandhaka. Dikisah-kan bahwa Sarpakenaka tergila-gia akan ketampanan Lasmana, dan amat sangat menginginkan agar Lasmana mau menjadi suaminya. Akan tetapi Lasmana tidak menghiraukan rayuan Sarpakenaka. Be-gitu pula Sarpakenaka tidak berhenti marayu Lasmana, hingga akhir-nya Lasmana merasa jengkel dan marah. Hidung Sarpakenaka dipe-gang sangat keras kemudian dipelintir oleh Lasmana sampai gru-wung (berlubang hampir putus). Peristiwa tersebut oleh Sarpakena-ka dilaporkan ke Rahwana dengan membalikan fakta. Rahwana sa-ngat marah yang akhirnya merembet hingga mengakibatkan timbul-nya perang besar yang disebut perang Brubuh Alengka.

Page 218: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

201

Meskipun saudara-saudaranya berwujud raksasa, akan te-tapi Wibisana adalah bagus rupa. Dia senang mencari kebenaran (dheweke tansah angupadi dalan kang bener lan jatining kayekten). Sampai dia lari dari kakaknya Rahwana yang jahat itu dan ikut me-ngabdi pada Sri Rama melalui Hanuman. Ini artinya Wibisana akan menjadi jalan si protagonis Sri Rama.

Dengan demikian Wibisana bukanlah peran antagonis dan juga protagonis. Dalam lakon perang Brubuh Alengka sampai habis-nya bangsa Alengka, Wibisana sebagai tritagonis. Namun kalau me-nurut pakem wayang Jawatimuran lain lagi. Kepergian Wibisana dari hadapan Rahwana karena kedua matanya dibutakan oleh Rahwana sendiri. Kedua mata Wibisana ditusuk dengan Candrasa hingga ber-darah dan buta. Kedua kaki Wibisana di pukul (digebug) dengan senjata limpung dan berakibat lumpuh tak berdaya. Peristiwa terse-but menimpa Wibisana, karena menyuruh kakaknya agar mengem-balikan Sinta kepada Sri Rama. Atas kejadian itulah sehingga Wibi-sana disebut peran protagonis. Dengan pertolongan Hanuman yang baru saja membakar habis ALengka, Wibisanan dibawa menghadap Sri Rama. Setelah berada di hadapan Sri Rama disembuhkan oleh Sri Rama dan mengabdilah kepada Rama. Seusai Brubuh, dia di-angkat sebagai raja Alengka.

Dalam kitab Mahabharata Pandawa adalah 5 orang bersau-dara, jenis kelamin laki-laki semua. Mereka adalah anak sang prabu Pandhu yang menikah dengan Dewi Kunthi dan mempunyai tiga pu-tra yaitu Puntadewa, Wrekodara dan Arjuna. Sedangkan pernikahan Pandhu dengan Dewi Madrim mempunyai putra dua. yaitu Nakula dan Sadewa. Pandawa disebut juga Pandhu-hawa atinya Hawanya Pandhu laki-laki semua dan digolongkan manusia sukerta yang ter-masuk menjadi mangsanya sang Kala. Sebagai bukti manusia suker-ta, bahwa hampir setiap waktu mereka diancam, akan dibunuh, dice-lakakan, disengsarakan oleh saudara-saudaranya yaitu para Kura-wa. Jumlah Kurawa yaitu seratus orang dan dibawah asuhan pa-mannya yang berpangkat patih, yaitu Raden Patih Harya Sangkuni. Melihat posisi para Pandawa yang selalu dilanda krisis, dengan pela-ku utama para Kurawa, maka jelaslah ketika Pandawa harus ter-sangkut peristiwa perang besar Bharatayuda, mereka berada pada posisi sebagai tokoh-tokoh yang menjadi peran protagonis.

Salah satu uasaha Kurawa untuk membunuh para Panda-wa yaitu dalam cerita Bale Sigala-gala. Dikisahkan, para Pandawa juga diasingkan dalam hutan Kanyaka oleh Kurawa selama 12 tahun dengan perjanjian ditambah satu tahun dalam persembunyian. Apa-bila dalam persembunyian nya selama satu tahun itu diketahui oleh Kurawa maka Pandawa harus kembali ke hutan 12 tahun dan me-nyelinap satu tahun. Hal ini sangat dirasakan oleh Pandawa yang protagonis itu. Mereka selalu berada dalam posisi sengsara, namun oleh Pandawa sengsara itu digunakan sebagai laku prihatin. Dalam

Page 219: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

202

kesengsaraannya mereka harus tetap memberikan pertolongan ke-pada siapapun dengan dasar cinta kasih (Asih-tresna) yang tanpa pamrih. Hebatnya lagi, atas pimpinan Puntadewa si Getih Putih (da-rah putih) Pandawa tak boleh sakit hati hingga timbul dendam kesu-mat.

Di bawah asuhan Raden Patih Harya Sengkuni, Kurawa yang berjumlah seratus itu ternyata berperilaku sangat rusak dan se-lalu menyusahkan orang lain. Mereka suka mabuk-mabukan, berjudi, madat, dan merasa bahwa dimanja oleh ibu-ayah-paman dan guru-nya. Maka dalam kehidupannya, mereka berperilaku semaunya sen-diri karena merasa dirinya saudaranya raja. Sang Prabu Duryudana adalah sebagai penguasa dan dalam tata urutan adalah saudara yang paling tua. Prabu Duryudana selalu membiarkan para adiknya untuk bertindak nakal dan urakan.

Sebagai sumber pemikiran jahatnya para Kurawa adalah Sengkuni, yang selalu merekayasa agar para Kurawa mencelakakan Pandawa. Sengkuni berharap agar Pandawa celaka, tersiksa sampai mati. Apapun caranya Sengkuni berusaha keras agar Pandawa le-nyap dari dunia ini dengan dalih untuk membuat para Kurawa mene-mukan kemuliaan, kesejahteraan dan keselamatan. Harapan Kurawa yaitu agar Pandawa hancur lebur, dengan begitu Kurawa bebas un-tuk menguasai Kerajaan Astina.

Usaha licik yang dilakukan Kurawa terhadap Pandawa di antaranya adalah mengajak main dadu, membakar bale sigala-gala. Usaha tersebut merupakan cara paling dahsyat dan paling kejam bagi hancurnya para Pandawa. Banyak sekali cara yang dilakukan oleh Sengkuni demi celaka dan sengsaranya Pandawa. Sejak Pandawa dan Kurawa masih anak-anak sampai Duryudana diangkat sebagai raja di negara Astina, tanpa henti-hentinya rekayasa jahat yang dilakukan oleh Sengkuni.

Di sini peran antagonis Kurawa agak khawatir, sebab usaha rekayasa licik dan jahatnya tidak berhasil. Ternyata Pandawa tidak mati justru masih hidup dan segar bugar.

Akhirnya tidak ada jalan lain, kecuali perang, yaitu perang Bharatayuda. Dalam perang besar Bharatayuda, Kurawa habis. Sengkuni, Duryudana, Drona, Dursasana dan yang lain mati secara menyedihkan. Sedangkan Pandawa lima masih utuh, hanya para putra-putra dan para istri yang mati terhormat.

Seperti telah dijelaskan di halaman depan, peran tritagonis merupakan pihak ketiga yang ikut aktif dalam konflik. Bisa juga keter-kaitan peran tritagonis dalam suatu konflik hanya pada klimaksnya saja. Karena peran serta kedudukan tritagonis ini cukup beragam, maka seorang tokoh bisa berperan ganda, misalnya Patih Sengkuni, yang berperan sebagai pengancam siksa, ia bisa berkedudukan se-bagai peran tritagonis.

Page 220: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

203

Prabu Sri Bathara Kresna sering melerai para Pandawa yang sedang konflik dengan Kurawa, di mana dia adalah peran trita-gonis. Siapapun tokoh, apabila dia melerai, memerangi persengketa-an menjadi alat, penolong, penengah itulah dia si tritagonis. Bisa sa-ja pendeta, brahmana atau yang lainnya.

Tokoh-tokoh yang tergolong peran deutragonis dalam suatu lakon biasanya berfungsi sebagai pendukung serta melengkapi perj-anjian yang tentu akan memperjelas permasalahan dalam pendra-maan. Dalam suatu lakon dia akan menjadi sarana logis bagi para penggemar sehingga memuaskan. Di samping itu si deutragonis da-lam peranannya akan selalu memberikan petunjuk-petunjuk, wawa-san mengarah pada pemberian kekuatan fisik, kebenaran laku serta wejangan kesabaran.

Adapun tokoh-tokoh yang deutragonis di antaranya adalah: pendeta, para brahmana, para wasu, para dewa, para panakawan dan para ibu khususnya Dewi Kunthi. Jadi peran deutagonis dapat disimpulkan bahwa ia berkedudukan sebagai pendukung-pelengkap lakon yang memperjelas masalah, sarana logika cerita, dan penase-hat.

Demikianlah peran deutragonis yang setiap penampilan lakon khususnya panakawan, sering tidak harus tersajikan. Sedang-kan para panakawan dalam penokohan ini berkedudukan sebagai deutragonis, menasehati, melayani, menunjukkan jalan keselamatan menuju hidup abadi. Peran deutragonis yang lainnya seperti Batara Guru, Batara Wisnu, Batara Brahma, Bhagawan Bisma dan lain-lainnya. 5.2.4 Jenis-jenis Peran Wayang 5.2.4.1 Gagahan

Gagahan Kambeng cirinya jari-jari kedua tangan mengepal (nggegem), tokohnya Wrekodara dan Anoman. Kedua-duanya meru-pakan tokoh-tokoh angin (bayu / wayu) yang sangat sakti, berbudi lu-hur, suka menolong, adil dan bijaksana. Seni pewayangan Jawati-muran Wrekodara disebut Jeksa Lumajang Tengah artinya jaksa yang adil.

Gagahan Bapang biasanya digambarkan sebagai tokoh yang bentuk mulutnya meringis (prengesan atau gusen). Hal ini ber-ada pada tokoh-tokoh seperti Kangsa, Indrajid dan lain-lainnya. To-koh ini perwatakannya didominasi keangkaraan. Gagahan-theleng tokohnya adalah Gathotkaca, Antareja, Antasena, Wrekodara, Sute-ja, Duryudana dan sebagainya dengan watak pemberani.

Page 221: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

204

Berhala (Brahala) 5.2.4.2 Alusan

Tokoh Alusan kebanyakan didominasi oleh golongan ka-nan, seperti Janaka, Puntadewa, Abimanyu, Nakula, Sadewa dan sebagainya. Ada 2 macam alusan, yaitu alusan putran luruh yang di-gambarkan pada tokoh Yudhistira, Janaka, Abimanyu, Irawan dan sebagainya yang berwatak waspada dan bijaksana.

Alusan putran lanyap berupa bentuk muka yang tengadah. Putran lanyap ini merupakan tokoh alusan yang laki-laki mempunyai watak sombong (kemaki, mbagusi), misalnya Suryaputra, Samba, Wisanggeni, Hariya Suman (Sengkuni muda), Kresna/Narayana dan sebagainya. Sikapnya yang kemaki itu kadang-kadang membawa kebijaksanaan.

Alusan putren luruh (liyep), merupakan bentuk mata sempit agak terpejam tetapi perempuan ini manis dan menunduk melihat ke bawah (ndhingkluk). Putren ini mempunyai watak hati-hati, dalam

Page 222: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

205

berkarya mereka tidak tergesa-gesa. Itulah kemungkinan yang di-maksud dengan istilah hati-hati asalkan tercapai (Alon-Alon Waton Kelakon), artinya diperhitungkan dengan menggunakan konsep, hal itu adalah suatu kebijaksanaan. Tokoh yang liyep ini dimiliki oleh De-wi Wara Sembadra, Dewi Kunthi, Dewi Sinta, Dewi Sri, Sewi Drupa-di. Mereka ini adalah wanita-wanita yang sangat bijaksana, wanita setia, dan suci.

Alusan putren lanyap yang berada pada putri biasanya di-nyatakan dalam sikap, gerak, tingkah laku dan ucap (omong). Gerak-nya cekatan, trampil, cepat dan trengginas dalam berpikirpun cepat. Banyak wanita berpikir secara cepat bicara pun cepat dan penuh ke-hati-hatian. Ucapan bagi tokoh-tokoh yang putren lanyap ini ada be-berapa kata yang diulang sampai dua tiga kali. Misalnya “wonten dhawuh-wonten dhawuh”. Mereka yang putren lanyap ini di antara-nya adalah Dewi Wara Srikandhi, Banuwati, Mustakaweni, Rarasati. 5.2.5 Penokohan

Setiap penyajian pertunjukan wayang kulit purwa, sang da-lang sudah mempersiapkan apa yang akan dilakonkan, serta apa yang akan diceritakan dalam pementasannya. Bisa juga lakon itu ka-rena atas permintaan penanggap atau penanggap menyerahkan ke-pada dalang.

Setelah lakon atau cerita terpilih, maka dalang akan segera memilih tokoh-tokoh yang diperankan dalam cerita itu. Untuk peno-kohan ini, Ki dalang yang sudah faham akan seluk-beluk dan liku-liku ceritanya, maka ia akan menentukan dua macam pilihan, yaitu peran dan karakter. Adapun macam-macan peran di antaranya adalah Pro-tagonis, Antagonis, Tritagonis, Deutragonis, Panakawan. Sedangkan macam-macam karakter di antaranya adalah Gagahan, Alusan, Pu-tran luruh, Putran lanyap, Putren luruh, Putren lanyap, Raksasa, Pa-nakawan Atas terpilihnya kedua unsur penokohan tersebut, seorang dalang tentu akan terbantu dalam penyajiannya. Satu hal yang tidak boleh dilupakan dalam penokohan ini adalah tentang wanda (raut muka) wayang dan bentuk tubuh agar di dalam menggerakkan wayang tidak menemui kesulitan. 5.2.6 Karakter

Pertunjukan seni pewayangan yang disutradarai oleh se-orang dalang, di dalam penokohan tentu akan memilih juga tokoh yang berkarakter sesuai isi lakon. Sedangkan karakter yang ada pa-da pewayangan terdiri dari beberapa bentuk.

Page 223: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

206

5.2.7 Raksasa Raksasa dalam pewayangan sering disebut buta, denawa,

atau ditya. Para raksasa termasuk golongan Asura. Sebutan Asura artinya bukan dewa. A artinya bukan, sura artinya dewa. Sebutan de-nawa itu keturunan Dewi Danu atau Danunawa, sedangkan ditya atau buta adalah keturunan Dewi Diti (ditya)

Jadi raksasa yang raut mukanya tidak seperti manusia pa-da umumnya, dalam dunia pewayangan Jawa sering dikatakan bu-kan manusia. Denawa bentuk raut mukanya tidak berbeda dengan raksasa, maka denawa disebut raksasa (buta). Demikian juga ditya, sebagai keturunan dari Dewi Diti, disebut ditya. Wujud tokoh-tokoh keturunan Dewi Diti sama dengan golongan raksasa, maka mereka para ditya juga disebut raksasa. Jadi sampai sekarang kata raksasa menjadi dasanama (sinonim) dari kata denawa, ditya, buta.

Jika melihat gambarnya, maka ciri-ciri golongan raksasa itu sangat jelas. Tentu ciri yang paling nampak bahwa raksasa itu buruk rupa. Sedangkan ciri-ciri yang lain adalah raut muka serba menakut-kan, hidungnya besar seperti lengkung tepi perahu (canthiking baita), mata bulat besar, mulut lebar, gigi besar, punya taring panjang, ram-but kumpul (gimbal), bulu rambut tangan dan kaki panjang lebat (dhi-wut), simbar teba, dan ciri yang tidak bisa diraba tetapi pasti bahwa raksasa itu jahat.

Ada beberapa golongan raksasa, ialah raksasa raja ber-mahkota (Buta Raton Makutha), raksasa raja muda (pogog rambut gimbal), raksasa patih, raksasa prepat/prajurit, raksasa perempuan, raksasa gecul, dan raksasa berhala. Golongan raksasa-raksasa ter-sebut mempunyai kedudukan yang tidak sama.

Raksasa Raja Bermahkota ini tidak diberi nama. Dalam pe-wayangan disebut wayang serbaguna (srambahan). Apabila akan di-perankan dan menduduki sebuah negara maka nama negara terse-but terserah kepada Ki dalang.

Selain raksasa raja bermahkota ada raksasa raja muda. Setiap penampilannya sebagai raja, pasti peran raja yang masih mu-da. Dia selalu menginginkan wanita cantik. Dia pasti jatuh cinta (gan-drung) dan tak akan kesampaian. Bahkan dalam ceritanya sering di-akhiri dengan kematian. Tokoh wayang ini juga dipakai wayang srambahan. Nama dan kerajaan tokoh ini terserah sang dalang. To-koh wayang ini sering dipakai sebagai Patih Sengkapura yang ber-nama Patih Suratimantra.

Raksasa patih biasanya dua tangan bercempurit kepala memakai makutha topong. Tokoh ini biasanya dipakai sebagai patih di negara Alengka bernama Patih Prahastha. Juga dipakai sebagai patihnya Prabu Bhoma Narakasura di kerajaan Trajutrisna bernama Patih Pancatnyana. Tetapi sering disrambahkan oleh dalangnya.

Raksasa Prepat adalah raksasa yang berpangkat tinggi dan merupakan punggawa terkemuka di kerajaan raksasa. Tokoh wa-

Page 224: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

207

yangnya juga srambahan. Tokoh wayang ini bisa ditampilkan dalam semua lakon, hanya terserah sang dalang saja. Siapapun namanya dari kerajaan manapun asalnya, itu terserah Ki dalang. Raksasa pre-pat ini sering difungsikan sebagai penjaga hutan atas perintah raja. Ia tidak sendirian berada di dalam hutan. Ia ditemani tiga orang rak-sasa gecul beserta dua orang panakawan Togog dan Bilung (sara-ita). Tokoh raksasa prepat itu ada yang menamakan Pragalba yang artinya harimau.

Tidak semua raksasa dengan jenis kelamin laki-laki, akan tetapi ada pula yang jenis kelamin perempuan. Tokoh ini dinamai Ke-nya-wandu (banci). Ia menjadi pimpinan bagi semua raksasa keraja-an. Ia juga sebagai inang pengasuh raja. Dalam cerita apapun ia se-bagai patih, sering diberi nama Cantikawerti, dan ada yang memberi nama Kepet Mega. Dia merupakan prajurit yang sakti, tetapi akhir-nya mati di medan pertempuran.

Sedangkan Raksasa Gecul adalah jenis raksasa tetapi wu-judnya lucu (gecul). Tokoh ini ikut berjaga di hutan. Dia termasuk go-longan raksasa prepat (parepat). Dalam lakon raksasa gecul yang tergolong prepat hanya sebagai kembangan saja. Jadi dalam sajian lakon tidak begitu berfungsi. Ia itu ialah raksasa cakil dan buta te-rong. Disebut buta cakil karena bertaring di ujung mulut bagian de-pan seperti pasak (nyakil). Sedangkan buta terong sama saja de-ngan buta cakil, dalam lakon tidak begitu penting. Disebut buta te-rong sebab hidung besar bagaikan buah terong. Karena tugas yang diemban dengan dalih menjaga hutan, tentu kepada setiap yang le-wat itu pasti dicurigai. Terjadilah perang fisik, semua buta itu mati ke-cuali Togog dan Bilung.

Untuk tokoh-tokoh tertentu yang bisa berubah wujudnya menjadi raksasa (triwikrama), maka raksasa jadi-jadian tersebut di beri nama Raksasa Berhala (Brahala). Contoh Kresna menjadi Kala Mertiu, Prabu Sri Harjuna Sasrabahu kalau sedang marah, triwikra-ma menjadi Raksasa Bala Serewu.

Adapun tokoh panakawan atau yang disebut abdi pengikut (pendherek) adalah abdi yang selalu mengikuti tuannya. Dia me-mang biasa disuruh (dikongkon) tetapi bukan pesuruh. Dia abdi teta-pi juga sebagai teman (batur artinya pangembat catur), memberikan petuah, memberikan semangat bagi sang bendara (tuan).

Ki dalang Bambang Sugiyo dari Kabupaten Sidoarjo Jawa Timur dalam pentas versi Jawatimuran mengatakan bahwa Panaka-wan, terdiri dari dua kata pana dan kawan. Pana berarti ngerti, ka-wan berarti teman. Jadi makna panakawan adalah teman yang sela-lu memberikan pengertian, artinya ia selalu memberikan petunjuk hi-dup, memberikan nasehat demi keselamatan sang juragan.

Di manapun ia berada, panakawan ini selalu menyatakan sebuah karakter laku perbuatan setia kepada sang juragan. Kesetia-an itu dinyatakan dalam membela, melayani dan membentengi seti-

Page 225: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

208

ap gerak-gerik sang bendara. Tetapi ia juga menasehati dan rela mengorbankan diri bagi keselamatan sang juragan. Dalam dunia pewayangan, di setiap negara memerlukan panakawan. Di masa-masa dulu panakawan hanya terdiri dari dua orang. Misalnya dalam wayang gedhog panji yaitu Jerodeh dan Prasanta, orang Jawa me-ngatakan Godheg-Santa. Pada wayang Krucil yaitu Sabdapalon dan Nayagenggong. Dalam wayang Jawatimuran yaitu Semar dan Ba-gong. Panakawan sabrang Jawatimuran yaitu Mujeni dan Mundhu Dalam wayang purwa (Solo/Yogya) ada 4 tokoh yaitu Se-mar, Gareng, Petruk dan Bagong yang paling muda. Dalam wayang purwa (Banyumasan) ada 4 tokoh yaitu Semar, Bagong, Gareng, Pe-truk yang paling muda. Di wayang golek Pasundan ada 4 tokoh yaitu Semar, Cepot, Udel dan Dawala. Panakawan di negeri sabrang pa-keliran Solo/Yogya ada 2 saja yaitu Togog dan Bilung

Bagi pakeliran Jawatimuran yang berlaku sampai sekarang ini pada adegan gara-gara panakawannya ada 3 tokoh yaitu Semar, Bagong dan Besut. Namun begitu gara-gara selesai, hanya Semar-Bagong saja yang ikut dalam karya mengikuti sang bendara. Se-dangkan Besut disuruh Semar menunggu di rumah Klampis Ireng.

Adapun cerita atau riwayat kelahiran atau terjadinya Ba-gong gaya Jawatimuran adalah ketika Sang Hyang Ismaya turun ke bumi menjelma menjadi Semar orang jelek rupa, untuk mengasuh para satriya petapabrata (tedak kasutapan), dia lalu diberi sebutan pamong (momong). Dalam karya-karya selanjutnya Semar membu-tuhkan teman. Bayang-bayangnya sendiri lalu dicipta menjadi bentuk yang hampir mirip dengannya. Kemudian dinamakan Bagong. Ba ar-tinya bek, gong artinya gedhe. Juga dinamakan Sang Hyang Blado. Bla adalah belah/sigar, dho artinya loro. Bahwa Bagong terjadi dari belahannya orang dua. Juga bernama Mangun Hadiwangsa, karena dia yang mempunyai kewajiban untuk membangun (mangun) agar wangsa (bangsa) menjadi baik atau adi. Nama lainnya Jamblaita. Jambla yang berarti bodoh, ita adalah temen (jujur). Ia bodoh tetapi jujur dan serius.

Sedangkan timbulnya Besut belum lama. Ketika Bagong ke belakang dalam kondisi yang gelap, dia menginjak tinjanya sendiri lalu dikipat-kipatkan. Tiga kipatan menjadi 3 orang, dinamakan Be-sut, Besel dan Besil, ketiganya menjadi anak Bagong. Yang dipakai sekarang ini hanya Besutnya saja. Tokoh wayang Besut bentuknya mirip Bagong tetapi dalam ukuran lebih kecil.

Ada lagi semacam panakawan tetapi perempuan (emban) ialah Cangik dan Limbuk. Tokoh Cangik dan Limbuk pada masa se-belum campur sari difungsikan sebagai pelayan permaisuri raja. Se-karang fungsi itu menipis, tertutup dengan guyon campur sari.

Page 226: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

209

5.3 Cerita Perkawinan (Lakon Rabi-rabian atau krama). Dalam pertunjukkan wayang Jawa cerita perkawinan atau

lakon rabi-rabian juga disebut lakon Krama. Lakon perkawinan umumnya terdiri dari beberapa tokoh atau peraga (paraga). Sedang-kan yang terlibat dalam penokohan di antaranya adalah tokoh utama yang dikawinkan, tokoh kedua yang dikawini, tokoh ketiga adalah to-koh lain yang ingin mengawini tokoh kedua, tokoh orang tua tokoh utama, tokoh orang tua tokoh kedua, tokoh lain yang diperlukan.

Judul dalam lakon krama ini biasanya mengambil nama to-koh utama. Contoh, bila yang menjadi tokoh utama Angkawijaya ma-ka judulnya Angkawijaya Krama. Bila tokoh utama Janaka atau Par-ta, judulnya menjadi Parta Krama. Di kalangan masyarakat atau para penonton sering menyebut judul dengan susunan kalimat terbalik, baik disengaja atau tidak disengaja. Misalnya lakon Angkawijaya Krama, sering diucapkan Rabine Angkawijaya, lakon Parta Krama sering diucapkan Rabine Janaka atau Janaka Rabi.

Namun demikian, pembalikan judul lakon itu tidak mengaki-batkan berubahnya cerita dan tidak menyurutkan ketenaran judul yang sebenarnya. Sebab judul itu sudah tersurat dengan tinta hitam yang tidak mungkin terhapus. 5.3.1 Kerangka Cerita (Balungan Lakon) Angkawijaya

Krama. Adegan (Jejer) Kerajaan Dwarawati. Prabu Sri Batara Kresna, di pendapa agung sedang duduk

di atas singgasana kursi gading, menerima kehadiran kakanda prabu Baladewa raja di kerajaan Mandura, yang diikuti oleh puteranya yang bernama Raden Walsatha dan Patih Pragota.

Sedangkan yang ikut menghadap dalam pertemuan besar (pasewakan) di istana raja selain dari kerajaan Mandura adalah para punggawa kerajaan Dwarawati di antaranya adalah Raden Patih Ha-riya Udawa, putera mahkota Raden Jayasamba, dan Raden Harya Setyaki. Dalam persidangannya, sang prabu Baladewa mengusulkan pembatalan perkawinan Abimanyu atau Angkawijaya dengan Siti Sundari putri mahkota Dwarawati. Sri Batara Kresna hanya terserah saja kepada prabu Baladewa. Akhirnya Raden Walsatha bersama Raden Jayasamba diutus untuk menyerahkan surat penggagalan perkawinan Siti Sundari dengan Angkawijaya ke Raden Janaka atas perintah prabu Baladewa.

Keberangkatan Walsatha dan Jayasamba dari Dwarawati menjadikan prabu Baladewa menjadi lega. Namun tidak lama kemu-dian hadirlah seorang utusan dari Kerajaan Rancang Kencana yang rajanya bernama prabu Kala Kumara. Utusan yang bernama patih Kala Rancang menghaturkan surat lamaran . Isi surat tersebut ada-

Page 227: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

210

lah sang Prabu Kala kumara menghendaki Siti Sundari untuk berse-dia menjadi istrinya. Terjadilah pertengkaran mulut yang kemudian meningkat dan menjadi adu kekuatan fisik di alun-alun Dwarawati.

Di alun-alun Dwarawati terjadilah perang antara prajurit dari Mandura melawan prajurit Rancang Kencana. Berkat kekuatan pra-bu Baladewa semua prajurit Rancang Kencana mundur ketakutan.

Sri Batara Kresna yang sekembalinya dari kerajaan lang-sung bersemedi dibalai semedi (sanggar pamujan), berdoa agar per-siapan perkawinan Siti Sundari yang kurang 5 hari itu bisa berjalan dengan lancar, dan kiranya Jayasamba dan Walsatha yang diutus ke kasatriyan Madukara dijauhkan dari mara bahaya. Jejer Kasatriyan Madukara.

Raden Janaka sedang duduk di atas kursi gading. Dalam persidangan di Kasatriyan Madukara dihadiri Raden Angkawijaya, Raden Gathotkaca beserta pada panakawan Semar, Bagong dan Besut.

Pembicaraan yang diungkapkan adalah mengenai akan berlangsungnya perkawinan Raden Angkawijaya dengan Siti Sundari yang waktunya tinggal 5 hari. Belum lama berselang dalam pembica-raan itu, datanglah Raden Walsatha dan Raden Jayasamba meng-hadap serta menghaturkan sembah. Setelah duduk dengan tenang, maka segera di tanyakan apa keperluannya. Kedua-duanya menja-wab bahwa kehadirannya diutus menyampaikan surat yang dikirim dari rama Prabu Baladewa untuk Raden Janaka.

Setelah surat dibaca oleh Raden Janaka, marahlah ia, surat dirobek-robek hingga hancur. Raden Angkawijaya peka terhadap ke-adaan tersebut sehingga mengetahui bahwa isi surat itu adalah pem-batalan perkawinannya atas perintah prabu Baladewa. Maka marah-lah Angkawijaya kepada salah satu utusan yaitu Raden Walsatha. Ditariknya tangan Raden Walsatha dan diseret ke alun-alun sehing-ga terjadi perang ramai. Raden Walsatha kalah begitu juga Raden Jayasamba lari ketakutan lalu kembali ke Dwarawati. Raden Angka-wijaya kembali menghadap ayahanda Raden Janaka. Disitulah Ang-kawijaya dimarahi, dianggap seorang pemuda yang tidak pernah pri-hatin, pemuda yang membosankan.

Lontaran kata-kata marah itu membuat ruangan bagaikan terbakar. Semua yang ada dalam pendapa bagaikan bara api. Rasa-nya semakin panas saja, sampai-sampai tak tertahankan. Semakin lama tubuh Raden Janaka gemetar dada berdetak kencang, tangan kanannya memegang tangkai keris Kyai Pulanggeni ingin segera di-tusukkan pada perut Angkawijaya. Pada saat itu larilah Raden Ang-kawijaya terhuyung-huyung meninggalkan pandapa kasatriyan Ma-dukara. Seketika itu pula keris Kyai Pulanggeni mengacung ke de-pan, berdirilah Semar Badranaya di hadapan Janaka sambil berkata:

Page 228: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

211

“e..... ayo Janaka mumpung pusakamu Pulanggeni durung kok wrangkakake, iki lho wetenge Semar enya wrangkakna neng wetengku kene! ”

Terjemahan :

“he… Janaka ini mumpung keris Pulanggenimu belum ka-mu kembalikan ke kerangkanya, mari silahkan tusukkan pa-da perut Semar saja!”

Karena kekuatan sabda Sang Batara Semar Ismaya, terja-

tuhlah pusaka Pulanggeni dari tangan Janaka menyebabkan timbul-nya kilat berkali-kali dalam pendapa kasatriyan Madukara. Ini semua justru membuat Janaka lebih marah, marah yang tidak bijaksana. Maka lebih marah lagi saat sang Batara Semar Ismaya bersabda di depan Janaka.

“e…. Janaka , yen kowe ngaku wong wicaksana. Yen ana kedadeyan kaya ngene iki rak digoleki apa sebabe. Ngaku-mu wae waskitha. Lho jebul ora krasa yen ta sumbere pra-kara iki dudu anakmu, nanging saka bundhele nalarmu bo-dhone pikirmu, sing kena pamblithute angkara budi cetha neng jroning atimu sing mahanani budimu iku dadi budining wong cupbluk. He Janaka, aku lunga!”

Terjemahan :

“he… Janaka, kalau memang kamu mengaku orang bijak, jika ada kejadian seperti ini, kamu harus mecari sebab mu-sababnya. Kamu mengaku sebagai orang yang memiliki hormat yang tinggi. Tetapi ini semua hanya kesombongan yang bodoh. Kamu tidak terasa bahwa sumber perkara ini bukan anakmu, tetapi hanya karena kebodohanmu yang sampai sombong. Ini semua menyebabkan kemerosotan budi luhurmu. He.. Janaka, aku pergi!”

Kemarahan Sang Batara Ismaya (Semar) inilah yang mem-

buat pikiran Raden Janaka bingung bertumpuk-tumpuk (tumpang tindih) tidak menentu. Akhirnya menyuruh Bagong agar mengikuti Angkawijaya agar jangan sampai celaka.

Persidangan Madukara dibubarkan, sementara Raden Ja-naka langsung masuk ke tempat pemujaan untuk bersemedi mohon berkah agar senantiasa mendapatkan kemudahan dengan segala yang dilakukan.

Page 229: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

212

Adegan perjalanan Angkawijaya (Abimanyu). Rasa heran bercampur sedih, bagi sang Angkawijaya. Ber-

tanyalah dalam hatinya, mengapa justru peristiwa ini menimpa pada dirinya. Ki lurah Semar dan Bagong Mangundiwangsa sepanjang ja-lan mengikuti perjalanan Angkawijaya tak ada lain yang diperbuat kecuali hanya berdoa untuk sang Bagus. Sampai masuk dalam hu-tan, diganggu oleh raksasa dan kemudian terjadi perang. Akan tetapi raden Angkawijaya mampu membunuh raksasa-raksasa itu. Selan-jutnya perjalanan sampai pada sebuah candi yaitu candi Suta Reng-ga. Di situlah ia bersemedi, ditemani panakawan dengan penuh ke-setiaan.

Selama bersemedi, Bagong dan Besut bermain, berkelakar dengan kondisi alam di sekitarnya sambil senyum mengejek (cekikak cekikik)! Kemudian Semar menginginkan agar tidak berkelakar tetapi Bagong dan Besut malah semakin keras dalam kelakarnya. Akhirnya kelakar itu berhenti sendiri, sebab ada suara yang memanggilnya “Semar, Bagong, Besut mendekatlah kepadaku” dan bertanyalah ke-tiga-tiganya “ada apa ndara” (wonten dhawuh ndara). Ternyata Ang-kawawijaya masih bersikap semedi, diam tanpa bersuara.

Ada kedengaran suara Angkawijaya memanggil-manggil la-gi. Tetapi para panakawan melihat bendaranya kok masih diam. Be-sut yang menoleh ke belakang baru mengerti bahwa kini berhadapan dengan orang yang sama dengan bendaranya. Tidak berani omong, Besut kemudian menghitung jumlah mereka sendiri. Suara Besut da-lam hati “tadi empat, sekarang kok lima”

Bagongpun begitu juga “lho… tadi empat sekarang kok li-ma”. Demikian juga Semar “ae..ae..ae.. mau mung papat saiki kok dadi lima … e… lha sijinene sapa?”

Sementara mereka terdiam. Tetapi orang ke-5 yang rupa-nya sama dengan Angkawikaja lalu berkata “kakang Semar dan ka-mu para panakawan, ketahuilah, bahwa aku ini tuanmu yang lahir bersama dalam satu hari satu malam dengan Raden Angkawijaya, namaku Jim Pembayun” (“kakang Semar lan sira para panakawan, mangertia, aku iki bendaramu sing lair bareng sedina, sing dadi ba-reng sewengi, aranku Jim Pembayun”).

Setelah semua saling mengetahui, maka Jim Pembayun sanggup mempertemukan antara Angkawijaya dengan Siti Sundari. Maka berangkatlah Angkawijaya menerima ajakan Jim Pembayun.

Atas kuasa Semar, Bagong dan Besut bisa terbang dari candi Suta Rengga ke tamansari negara Dwarawati. Setelah sampai di wilayah Negara Dwarawati di tempat yang dekat dengan tamansa-ri, mereka berlima lalu mendarat. Angkawijaya langsung diajak ma-suk tamansari.

Jejer Tamansari Dwarawati. Dewi Siti Sundari, putri mahkota yang sudah saling mencin-

Page 230: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

213

ta dengan Raden Angkawijaya dengan tiba-tiba perkawinannya diga-galkan oleh prabu Baladewa, maka sedih sekali hati sang Ayu Siti Sundari. Dalam kesedihan sang dewi tidak mau tidur, tidak mau ma-kan, tidak mau merawat tubuh. Kedua abdi emban sampai kerepotan dalam melayaninya.

Datanglah Sri Kresna di tamansari yang sebelumnya telah mengetuk pintu tamansari terlebih dahulu. Dibukakan pintu tamansa-ri, maka masuklah Sri Kresna ke tamansari. Sri Kresna duduk di kur-si dan sambil bertanya pada Siti Sundari “apakah kamu masih cinta dengan Angkawijaya”, begitulah pertanyaan Sri Kresna.

Dewi Siti Sundari menyatakan melalui sikapnya bahwa se-karang juga ingin bertemu dengan Angkawijaya yang dicintai itu. Se-ketika itu juga Sri Kresna lenyap yang ada Raden Angkawijaya dan Dewi Siti Sundari sedang sama-sama mengungkapan rasa rindu ma-sing-masing. Sri Kresna juga memberi ijin kepada para panakawan untuk ikut berada di dalam tamansari.

Tiba-tiba Sri Kresna itu datang dan berteriak “pencuri, pen-cur” (“maling…. maling”) tentu saja Semar kaget …. lalu semua ma-suk ruang dan tutup pintu. Tetapi lama-lama bahwa Sri Kresna tadi adalah Jim Pembayun yang di saat itu juga langsung menyelinap menutupi dirinya.

Adegan di Luar Tamansari. Raden Jayasamba yang bersama-sama dengan Raden

Harya Setyaki sedang berjaga-jaga untuk mengamankan barang-ba-rang yang sudah dipersiapkan dalam menyongsong pesta perkawin-an Dewi Siti Sundari dengan putra mahkota kerajaan Astina Raden Bagus Lasmana Mandrakumara. Dalam hati Raden Jayasamba ada perasaan aneh dan mencurigakan. Maka Setyaki dan Jayasamba harus bersikap lebih waspada. Ternyata di dalam tamansari ada orang laki-laki. Raden Jayasamba lalu berada pada tempat yang le-bih terang. Sambil jalan menunduk, melihat kanan, kiri, dan bela-kang, rasa kecurigaannya semakin tinggi untuk situasi pada saat itu. Raden Jayasamba cepat-cepat menyapa pada bayang-bayang hitam itu, katanya agak kasar dan keras :

Jayasamba : “He…bengi-bengi wayah ngene Kok ana swara priya neng tamansari. Sapa? Apa sing jaga regol?”

Bayangan : ”Hi…inggih kula pun jaga regol” Jayasamba : “Lho.., kok kaya sing jaga tamansari” Bayangan : “Inggih kula sing jaga tamansari” Jayasamba : “Apa kanjeng wa Baladewa” Bayangan : “Inggih.. kula wa Baladewa” Jayasamba : “Kok kaya paman Haryo Setiyaki” Bayangan : “Inggih kula paman Setiyaki”

Page 231: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

214

Jayasamba : “Apa Raden Jayasamba?” Bayangan : “Inggih kula Raden Jayasamba”

Raden Jayasamba menubruk bayangan hitam itu sambil

berteriak “o…maling”. Terjadilah peperangan antara Jayasamba me-lawan bayangan itu. Namun betapa kagetnya Jayasamba bahwa yang dilawan itu, tiba-tiba kok sama persisi dengan dirinya. Ternyata Jayasamba yang pertama kalah dan larilah ia minta tolong kepada Harya Setiyaki. Dalam peperangan itu Setiyaki pun juga berperang melawan Setiyaki. Karena Setiyaki pun dikembari dan perangnya pun kalah, maka keduanya cepat-cepat lapor ke Prabu Baladewa.

Adegan Kerajaan Dwarawati. Prabu Sri Batara Kresna bersama-sama kakanda raja Man-

dura Prabu Baladewa. Keduanya berbicara tentang perkawinan (da-upnya) Siti Sendari yang atas kehendak Prabu Baladewa akan dija-dikan isterinya Raden Lasmana Mandrakumara. Prabu Sri Batara Kresna sama sekali tidak merespon pada kehendak Prabu Balade-wa. Namun Baladewa yang sering masih silau dengan barang duni-awi merasa ikut mengangkat Siti Sendari untuk berada di tempat yang lebih tinggi dari pada kawin dengan Raden Angkawijaya.

Datanglah Raden Samba dan Raden Harya Setiyaki, mela-porkan bahwa di tamansari ada pencuri (duratmaka) yang berani mengganggu ketenteraman Dwarawati. Dilaporkan juga bahwa pen-curinya sakti bisa berubah-ubah rupa berwujud siapa saja. Pencuri itu menantang dan mengatakan siapa berani dengannya, terutama Prabu Baladewa.

Bagaikan dipukul (ditebah) dada Prabu Baladewa, seketika itu juga meloncatlah Prabu Baladewa ke tamansari untuk menemui si pencuri. Namun…, begitu sampai di tamansari bertemulah Prabu Ba-ladewa dengan Prabu Baladewa, yang serupa tanpa ada bedanya sedikitpun.

Terjadilah perang mulut yang sangat ramai, di mana Prabu Baladewa yang asli sangat marah sekali, tetapi Prabu Baladewa yang di tamansari hanya tertawa saja. Baladewa tamansari dipegang dan dihantamkan ke pohon tetapi hanya diam dan tertawa. Kebali-kannya Baladewa Dwarawati dipegang diangkat oleh Baladewa ta-mansari kemudian terus dilepas. Maka tertancaplah ke tanah Bala-dewa Dwarawati dan ditertawai oleh Baladewa tamansari.

Prabu Kresna datang ke tempat dimana pencuri itu berada namun dari kejauhan Prabu Kresna berteriak “hayo… maling, ke-tanggor karo kakangku, mesthi mati.” Prabu Baladewa yang tertan-cap di tanah merasa dihina, maka berkatalah prabu Baladewa “Iah ngenyeeek…., aku tulungana dhimas!” Setelah ditolong, Prabu Bala-dewa istirahat di Dwarawati. Sedangkan Sri Kresna terbang ke

Page 232: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

215

Amarta untuk minta bantuan para Pandawa guna mengusir pencuri yang ada di tamansari Dwarawati.

Jejer Karajaan Amarta. Prabu Puntadewa beserta saudara-saudaranya sedang

membicarakan tentang digagalkannya perkawinan ananda Angkawi-jaya yang mengakibatkan kemarahan Janaka dan mengusir Angka-wijaya. Hingga kini tak ada yang mengetahui di mana tempat Raden Angkawijaya. Tidak lama kemudian datang Sri Kresna yang menje-laskan duduk perkara tentang digagalkanya perkawinan Angkawijaya dengan Siti Sendari bersumber pada Sri Baladewa.

Atas kehendak Sri Kresna tidak usah diperpanjang perkara ini. Yang penting kini pencuri di tamansari Dwarawati harus diusir du-lu. Sesudah itu baru perkawinan antara Angkawijaya dengan Siti Sendari dibicarakan lagi.

Pencuri di tamansari Dwarawati tak bisa dikalahkan oleh si-apapun. Tetapi setelah Arjuna yang maju, pencurinya tidak mau me-rubah wujudnya menjadi Arjuna, justru ia lari sambil berkata: “Kalau saya berani melawan Arjuna , saya akan berdosa.” Seketika itu pen-curi tadi berwujud Jim pembayun, dan kembali ke tubuh Angkawijaya yang sedang bermesraan dengan Siti Sendari. Sri Baladewa dalam hal ini tidak berbuat banyak. Malahan menerima tanggung jawab me-ngusir orang Astina dan yang lainnya. Perkawinan Angkawijaya de-ngan Siti Sendari terlaksana dengan tenang damai meriah tanpa aral melintang.

Perlu diketahui bahwa pakem di atas adalah pakem pakeli-ran Jawatimuran versi Mojokerta-an. Lakon tersebut dibawakan oleh Ki Dalang Cung Wartanu.

Mengamati lakon rabi-rabian khusus dalam perkawinan ke-luarga orang-orang Pandawa, yang satu dengan yang lainnya terasa hanya satu bentuk. Dalam cerita Angkawijaya Krama dibanding de-ngan lakon Gathutkaca Krama dan dibanding lagi dengan lakon Par-ta Krama atau dibandingkan lagi dengan Irawan Rabi, dan juga lakon Antareja Krama, ini terasa hanya satu motif.

Persamaan motif tersebut ada pada nama peraga tokoh utama yang telah menjadi nama judul lakon. Dan yang namanya pe-raga tokoh kedua berada pada kondisi yang diperebutkan oleh tokoh utama I dan ketiga. Bila tokoh ketiga terdiri lebih dari satu maka pentas wayang itu akan mengeluarkan wayang yang lebih banyak. Sedangkan jalan ceritanya hanya perebutan tokoh wanita. Siapa ter-kuat akan menikah dengan wanita cantik. Memang setiap cerita per-kawinan pasti diwarnai dengan drama perebutan wanita cantik.

Selanjutnya perlu diketahui bahwa cerita atau lakon rabi-ra-bian sebelum Pandawa sangat banyak modelnya, tetapi motifnya te-tap, yaitu drama berebut wanita, sehingga seolah-olah wanita hanya sebagai obyek. Untuk itu ada harapan yang ditujukan kepada gene-

Page 233: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

216

rasi penerus agar benar-benar mampu membuat cerita atau lakon rabi-rabian dalam kemasan-kemasan yang lebih baru dan lebih me-narik. 5.3.2 Cerita Kelahiran

Cerita wayang yang paling banyak modelnya adalah lakon lahir-lahiran. Antara lakon yang satu dengan yang yang lainnya ada perbadaan laku, berbeda cengkok, atau berliku-liku (wilet) beda. Un-tuk itu marilah kita lihat beberapa lakon tentang lahir-lahiran. 5.3.2.1 Angkawijaya lahir

Dalam lakon terungkap beberapa wilet kehidupan yang aneh-aneh, misalnya seorang raja raksasa bernama Ditya Kala Ku-randhani, di kerajaan Tirtakadhasar yang masih jejaka. Sang prabu pernah bermimpi bertemu putri yang hitam manis dari Banoncinawi bernama dewi Wara Sembadra. Sang prabu mempunyai kesaktian bisa berubah rupa menjadi wanita atau pria lain (mancala putra-man-cala putri). Sang prabu mempunyai adik raksasa wanita (raseksi) bernama Werdati yang juga pandai berubah rupa. Werdati ini ingin diperisteri oleh Raden Arjuna. Tanpa banyak kata Werdati langsung menuju ke Madukara berubah rupa menjadi Sembrada (isteri Arju-na). Demikian juga prabu Kala Kurandhageni tanpa banyak kata langsung menuju Madukara berubah rupa menjadi Raden Janaka.

Kebetulan pada saat itu Sembadra diambil kakaknya yaitu Baladewa. Kehendak Baladewa, sembadra akan dikawinkan dengan Burisrawa. Sedangkan Raden Arjuna sedang lelana brata (mengem-bara). Jadi yang ada di Madukara sekarang adalah Sembadra jelma-an Werdati yang kumpul serumah dengan Raden Arjuna jelmaan Ka-la Kurandhageni. Kini sudah beranak satu laki-laki berwujud bayi rak-sasa diberi nama Bambang Senggotho. Bayi raksasa tersebut sa-ngat nakal. Para panakawan, Ki Lurah Semar, Gareng, Petruk dan Bagong yang punya kewajiban mengasuh (momong) Bambang Senggotho sangat jijik, karena Bambang Senggotho suka makan he-wan kecil secara hidup-hidup.

Ungkapan kedua, yaitu menceritakan Dewi Wara Sembadra yang sedang hamil tua lari tunggang langgang dikejar oleh Burisra-wa, karena Burisrawa merasa mendapat ijin dari prabu Baladewa un-tuk menikahi Sembadra. Lari ke sana kemari akhirnya sampai di tepi hutan dan Sembadra ditolong oleh perumput yang bernama si Utan. Dewi Wara Sembadra diajak pulang ke rumahnya di desa dekat hu-tan tersebut. Tiba saatnya lahirlah jabang bayi dari kandungan Sem-badra diberi nama Joko Pengalasan. Ari-ari dari jabang bayi itu dipu-ja oleh si Utan, menjadi jejaka (jejoko) gagah berani diberi nama Ari-bawa dan dijadikan teman Joko Pengalasan.

Page 234: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

217

Tidak lama kemudian datanglah Arjuna, dan si Utan beru-bah menjdi Maharsi Wiyasa. Selanjutnya nama Jaka Pengalasan di-ganti nama Angkawijaya.

Sembadra ada dua, Arjunapun juga dua. Dari kehendak Sri Kresna, Arjuna diadu dengan Arjuna sehingga yang palsu kembali ke ujud semula, menjadi Kala Kurandhageni, dan Sembadra palsu beru-bah menjadi raseksi Werdati. Burisrawa yang bingung mencari Sem-badra oleh Kresna diserahkan pada prabu Baladewa.

Demikian liku-liku yang ada dalam lakon Angkawijaya lahir. Sedangkan liku-liku dalam cerita kelahiran yang lain tentunya akan berbeda. 5.3.2.2 Wisanggeni Lahir.

Dalam cerita pedalangan, Wisanggeni adalah tokoh pemu-da berparas ganteng. Dia seorang yang pandai bicara, anak yang cerdik, pemikir dan politikus, tahu sebelum terjadi dan sakti dalam peperangan. Nama Wisanggeni sering juga disebut Wisa geni. Wi-sanggeni adalah putra Batari Dresanala. Batari Dresanala adalah pu-tra Batara Brama yang menikah dengan Batari Saraswati.

Pada saat mengandung Wisanggeni, Batari Dresanala ba-nyak mengalami kajadian-kejadian yang sangat menyiksa hidupnya, misalnya saja di Kahyangan ada kasus yang sangat mengagetkan, yaitu Batari Dresanala yang sedang hamil tua itu harus dipisahkan dengan Arjuna sang suami. Raden Arjuna diusir oleh Batara Brama atas perintah Batara Guru dan harus pergi. Dalam kondisi hamil, Ba-tari Dresnala dipaksa kawin dengan Prabu Dewasrani.

Setelah bayi lahir, segera dimasukkan ke dalam kawah Candradimuka, keanehan terjadi. Bayi tidak mati, malah menjadi be-sar dan dewasa. Itulah sebanya dia disebut Wisa Geni. Akhirnya se-mua kasus di Kahyangan dapat diselesaikan oleh Wisanggeni. Wi-sanggeni juga mampu menyingkirkan Dewasrani Putra Durga.

Selanjutnya dengan tersingkirnya Prabu Dewasrani maka keadaan di Kahyangan tenang kembali. Batari Dresanala kembali menjdi istri satria Madukara Raden Arjuna. Namun karena sifat-sifat fisik yang berbeda maka keduanya tidak bisa selalu berdampingan. Raden Arjuna bersifat wadag, Batari Dresanala bersifat kadewan (ke-dewa-an). 5.3.2.3 Sena Bungkus (Lakon Bratasena lahir)

Keistimewaan lakon Sena Bungkus ini hanya ada satu pe-ran utama yang kuat, yaitu tokoh Bungkus. Hampir semua peristiwa, dan hampir semua tokoh tertuju kepada Sang Bungkus.

Memang ada satu peristiwa yang juga aneh, namun tidak mendominasi, akan tetapi membawa akibat yang fatal bagi tokoh itu sendiri. Peristiwa itu ialah ketika Prabu Pandhudewanata menuruti permintaan sang istri yaitu Dewi Madrim yang sedang hamil muda,

Page 235: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

218

ingin (nyidham) naik Lembu Handini milik Batara Guru. Setelah Lem-bu Handini diberikan, Prabu Pandhudewanata diperbolehkan mena-ikinya di depan Sang Hyang Jagad Giri Nata. Para dewa yang lain-nya menanggapi bahwa sikap Pandhu itu sangat tidak sopan. Akhir-nya Batara Guru mengutuk sikap Pandhu, bahwa dia tidak akan la-ma menjabat sebagai raja karena mati muda.

Hal ini masih belum seberapa keistimewaannya dibanding dengan kelahiran bayi Bungkus dari kandungan Dewi Kunthi Talibra-ta. Keistimewaan bayi Bungkus itu ialah semua orang kerabatnya, para dewa dan pendeta bahkan hewanpun mempunyai tujuan yang satu, ialah memecah bungkus. Beberapa dewa diberi tugas untuk mentrapkan pakaian-pakaian kadewan yaitu Pupuk Mas Rineka Ja-roting Asem, Sumping Pudhak Sinumpet, Kelat bau Mas Ceplok Bli-bar Manggis, Gelang Candrakirana, Kuku Pancanaka, dan Cecawet Bang Bintulu serta Paningset Cindhe Binara. Sedangkan Batara Ba-yu bertugas ke gunung Herawana untuk menyuruh gajah Sena agar memecah Bungkus.

Peristiwa lain yang berhubungan dengan Bungkus juga terjadi yaitu, tentang Begawan Sempani di padhepokan Gitacala di tepi hutan Banakeling yang masuk wilayah kerajaan Sindhu. Bega-wan Sempani menginginkan punya anak. Sebab selama menikah dengan Dewi Pudyastuti sudah lama tidak dikaruniani putra. Berse-medillah Bagawan Sampani bersama istrinya dan oleh dewa diberi-lah keduanya kulit Bungkus. Setelah mencuci kulit Bungkus lalu dire-bus dan airnya diminum Dewi Pudyastuti, maka hamillah sang dewi. Kehamilan Pudyastuti melahirkan seorang anak diberi nama Jaya-drata atau Tirtanata.

Yang paling penting dalam lakon Bima Bungkus atau Sena Bungkus adalah bagaimana cara memecah Bungkus. Ternyata atas petunjuk para dewa dari Kahyangan Suralaya hanya gajah Sena lah yang mampu memecahkan Bungkus, namun sebelum Bungkus pe-cah, para dewa sudah memasang perlengkapan pakaian pada Bung-kus.

Maka setelah Bungkus pecah, badannya masih diinjak-injak gajah Sena, Bungkus marah, gajah ditusuk dengan kuku Pancanaka hingga mati. Nama gajah Sena dipakai untuk nama si Bungkus. Kini nama Bungkus menjadi Brata Sena. Nama tersebut adalah pemberi-an Batara Narada, karena pecahnya bungkus dari gajah Sena, dan juga diberi nama Bima artinya prajurit yang kuat.

Batari Uma memberi nama Raden Wrekodara, artinya tinggi besar, dada lebar, perut kecil. Batara Bayu memberi nama Bayu Su-ta, Bayu Wangsa, Bayu Tanaya. Nama-nama tersebut merupakan tanda bahwa Bungkus telah diangkat menjadi putra Batara Bayu, dan masih ada lagi nama pemberian Batara bayu yaitu Wayuninda atau Bayunanda sebab menerima wejangan tentang Prabawa Angin ( kekuatan angin ).

Page 236: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

219

5.3.3 Rebut Negara Seperti lakon wayang pada umumnya bahwa lakon rebut

negara tentu disajikan berupa peperangan yang sengit. Dalam kitab Mahabharata peperangan itu disebut “Mahabharatayuda” yaitu pe-perangan besar antara keluarga Bharata.

Namun ada perang rebut negara yang lingkupnya masih kecil, belum bisa disebut sebagai perang agung atau maha yuda atau perang jaya. Dalam peperangan itu masih dalam tingkat rebut-an batas (rebut wates atau rebut kikis). Perang ini tidak atau bukan tergolong Bharatayuda, sebab memang belum ada yang mati. Pe-rang rebut batas itu masih terbatas antara keluarga satu dengan ke-luarga yang lain. Cerita masih tergolong kitab Asthadasaparwa, teta-pi belum mempengaruhi negara lain atau rumah tangga lain. Perang itu disebut rebut kikis.

Yang sudah jelas diketahui oleh umum orang Jawa khusus-nya, lakon rebut negara yang dinamakan Bharatayuda karang Empu Sedah dan Empu Panuluh yang menceritakan perangnya wangsa besar Bharata. Kedua Empu ini menyadur dari Mahabharata karang-an Maharsi Wiyasa (Viyasa, Abhiyasa).

Isi pokok lakon Bharatayuda baik yang masih berupa sum-ber Mahabharata maupun yang berupa saduran adalah pertikaian dua kubu Pandawa dan Kurawa yang berebut negara Hastina pe-ninggalan leluhurnya. Perebutan negara ini menjadikan salah satu kubu yang bertikai yaitu pada kubu Kurawa habis dan mati.

Bagi kehidupan masyarakat Jawa yang agraris lakon Bha-ratayuda itu nampaknya dianggap kurang pas atau tidak pas atau bahkan tidak cocok dan tidak boleh disaksikan masyarakat. Maka setiap ada pertunjukan wayang tidak boleh melakonkan Bharatayu-da. Larangan ini meskipun tidak termasuk undang-undang negara te-tapi ikut di taati dan ditakuti.

Namun pada hari-hari tertentu lakon Bharatayuda dibeber-kan dan di hati masyarakat tidak ada ganjalan apa-apa. Tetapi bila pembeberan itu disajikan pada hari-hari biasa dalam hati masyarakat pas ada sesuatu ganjalan yang menghantui.

Ganjalan itu seperti rasa ketakutan, kekhawatiran bahwa la-kon itu berakibat jelek bagi kehidupan masyarakat. Mereka takut akan hukum alam. Kekhawatirannya jangan-jangan menempuh diri sendiri. Alasan mengapa masyarakat pada umumnya takut untuk membeberkan cerita Bharatayuda? Karena dalam kehidupan masya-rakat agraris mengutamakan akan ajaran-ajaran rohani, gotong ro-yong yang tentunya akan menolak kekerasan, menolak perpecahan, dan menyukai kerukunan, dalam filsafat Jawa dikatakan rukun men-jadi sentosa (Rukun Agawe Santosa).

Sedangkan isi dari lakon Bharatayuda adalah menggam-barkan peperangan sengit dan sadis, siksa menyiksa, yang kese-muanya itu tidak sesuai terhadap ajaran-ajaran suci dalam masyara-

Page 237: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

220

kat agraris. Dengan himbauan-himbauan agar tidak terjadi kerusak-an di segala bidang, maka petunjuk-petunjuk untuk tidak melakonkan Bharatayuda sangat disetujui dan dipatuhi.

Sampai sekarang ini lakon Bharatayuda hanya dibeberkan pada pentas yang ditanggap oleh masyarakat kolektif. Apabila lakon Bharatayuda ini disajikan dalam waktu semalam suntuk, maka dari sekian bagian Bharatayuddha secara utuh harus rampung. Bila lakon ini disajikan setiap seri maka berawal dari Kresna Duta hingga Dur-yudana Gugur. Cerita ini harus disajikan setiap malam selama ku-rang lebih 10 hari, yang diantaranya adalah Kresna Duta, Seta Gu-gur, Bisma Gugur, Abimanyu Gugur, Gathotkaca Gugur, Karna Tan-ding, Salya Gugur, Drona Gugur, Dursasana Gugur, Sengkuni Gu-gur, Duryudana Gugur dan ada istilah Ranjapan serta Jambakan. Yang dimaksud lakon Ranjaban yaitu Abimanyu gugur, sedangkan Jambakan yaitu Dursasana gugur.

Cerita peperangan yang lainnya masih ada, namun tidak populer, misalnya perang Gojali Suta. Cerita Bharatayuda Gozali Su-ta yaitu perangnya si anak melawan sang bapak, contoh Boma mela-wan Kresna dan yang lainnya juga tidak pernah populer.

Adapula lakon perang-perangan yang melibatkan dua ne-gara yang terjadi pada jaman Ramayana (Jawatimuran Antarayana) disebut Brubuh. Tetapi pertempuran tersebut tidak sebesar Bharata-yuda. Perang tersebut juga tidak melibatkan negara lain, maka kepo-puleran lakon itu tidak menjadikan akibat buruk bagi masyarakat Ja-wa, bahkan lakon Brubuh tidak masuk dalam hati orang Jawa.

Jadi dengan kata lain bahwa lakon Ramayana kurang dimi-nati dalam hati kehidupan masyarakat Jawa, sehingga Brubuh itupun kurang di dengar oleh telinga masyarakat Jawa. Ada dua kitab yang sangat diminati oleh masyarakat Jawa yaitu Mahabharata dan Bha-ratayudalah, sehingga sampai hal-hal yang terkecil sangat dikenal, diperhatikan dan dipahami. Segala yang diperhatikan dan dipahami itu sering ditingkatkan, kadangkala menjadi panutan dalam kehidup-an, contoh tentang tokoh Pandawa lima yang menjadi patokan dalam bersikap serta bicara dalam pergaulan. 5.3.4 Cerita Wahyu

Sesuai dengan ajaran yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat Jawa, bahwa fungsi wahyu adalah sebagai sarana untuk membangun. Wahyu untuk membangun fisik negara, tata tertib, ru-mah tangga, membangun moral, jiwa, rohani, dan budi pekerti. Wah-yu sangat terkait dengan ajaran agama, karena merupakan anugrah Tuhan kepada umat yang berkenan kepadaNya, dan siapakah umat yang diperkenankanNya?

Pertanyaan itu dalam tata kehidupan masyarakat Jawa ter-gambar melalui pertunjukan wayang dengan lakon Wahyu. Siapa umat yang akan menjadi pemilik Wahyu, tentu perlu diamati.

Page 238: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

221

Ada beberapa contoh lakon Wahyu dalam pewayangan di antaranya Wahyu Cakraningrat, Wahyu Purbasejati, Wahyu Makutha Rama, Wahyu Senapati. Akan tetapi masih banyak lakon atau cerita wahyu selain ke -4 contoh di atas dan cerita wahyu tersebut dikarang oleh para dalang sendiri yang judulnya sangat menarik para konsu-men, misalnya Wahyu Pangayoman, Wahyu Pancasila, Wahyu Pan-cajasmani, Wahyu Toh Jali dan lain-lainnya.

Empat lakon wahyu tersebut di atas, tidak begitu populer di kalangan dalang mungkin hanya satu atau dua dalang saja yang me-ngetahuinya, apalagi dimata penggemarnya. Empat wahyu ini tidak bisa terendus penggemar sebab tidak terbukukan. Lagi-lagi sangat dimungkinkan bahwa penciptaan lakon keempat wahyu ini terasa ha-nya sebuah improvisasi, karena memang sedang dalam kondisi mo-del lakon wahyu maka sulit dikenal. Namun demikian bukan berarti empat lakon wahyu yang di maksud lebih rendah kwalitasnya. Lakon wahyu tetap lakon yang bermutu, semua bisa diterima, hanya saja 4 judul wahyu yang terakhir belum dimengerti orang. Mengamati lakon wahyu pasti menanyakan tokoh mana yang mampu dan bisa memili-ki wahyu dan siapa pula yang berhak ketempatan wahyu itu?

Wahyu bisa diraih hanya dengan sebuah laku yaitu penye-rahan diri kepada yang Maha Kuasa serta tawakal menahan nafsu (prihatin). Bagi siapa yang ingin meraih tentu dibarengi dengan sebu-ah laku nyepi, bersemedi, berpuasa, berbuat baik, suci dan hampir-hampir berperilaku meninggalkan kesenangan dunia fana ini. Itulah laku yang harus dijalani yang lamanya tidak diketahui orang. Dan pa-tokan yang terakhir adalah semua yang berkenan dalam kehendak Sang Hyang Wenang Jagad. 5.3.4.1 Wahyu Cakraningrat

Banyak tokoh ingin meraih dan memiliki wahyu kraton yang akan diturunkan oleh dewa yang disebut Wahyu Cakraningrat. Me-nurut para pujangga, barang siapa memiliki Wahyu Cakaraningrat di-alah yang akan menurunkan raja-raja terkenal. Tokoh-tokoh bangsa-wan seperti anak raja, anak satriya, anak patih, sampai anak pende-ta, semua ingin memiliki Wahyu Cakraningrat yang bisa menurunkan raja besar.

Mereka-mereka itu seperti Raden Lasmana Mandrakumara putra mahkota kerajaan Astina yang dipersiapkan sebagai pengganti ramanda Prabu Duryudana. Saingan beratnya adalah Raden Samba putra mahkota kerajaan Dwarawati anaknya Prabu Sri Batara Kres-na. Sedangkan yang lainnya adalah putra Raden Arjuna yang berna-ma Raden Angkawijaya. Dan tentu masih ada seseorang tokoh yang ingin memiliki wahyu kraton ini. Barang siapa memiliki Wahyu Cakra-ningrat maka dialah yang akan menurunkan raja besar. Dalam cerita Wahyu Cakraningrat sedikitnya ada tiga tokoh yang ingin memiliki

Page 239: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

222

wahyu tersebut. Ketiga bangsawan ini termasuk generasi penerus yang memiliki karakter berbeda-beda.

Para penonton di saat melihat pagelaran wayang dengan lakon Wahyu Cakraningrat, nampak tertegun pada sajian ki dalang sejak dari awal. Hal tersebut terbukti saat adegan jejer negara Hasti-na sang Prabu Duryudana sedang dihadap para punggawa (naya-ka), dan munculnya putra mahkota Raden Lasmana Mandrakumara yang sikap dan bicaranya sangat menggelitik hati penonton.

Raden Lasmana Mandrakumara ingin memiliki Wahyu Ca-kraningrat, dan dia harus bertapa di hutan Gangga Warayang. Pada saat ditanya tentang kesanggupannya bertapa di hutan, maka Raden Lasmana Mandrakumara menjawab sanggup bertapa di hutan terse-but. Namun dia ingin agar dijaga paman-pamannya, di antaranya adalah Sengkuni dan Drona. Yang paling penting bagi Lasmana Mandrakumara adalah membawa minuman dan makanan dengan tujuan agar tidak kelaparan pada sata bertapa meraih wahyu. De-ngan demikian diri si tapa akan tenang sehingga wahyunya nanti akan mudah menyatu ke tubuh (manjing sarira), itulah pemikiran pa-ra sesepuh Hastina. Keberangkatannya di antar oleh para punggawa prajurit berkuda dan Lasmana Mandrakumara naik Joli Jempana ya-itu kereta yang ditarik lebih dari dua ekor kuda.

Lain lagi dengan putra mahkota Dwarawati satriya Parang Garuda Raden Samba. Dia satriya yang pemberani juga ingin berta-pa di dalam hutan Gangga Warayang untuk meraih Wahyu Cakra-ningrat. Kebertangkatannya diantar oleh para senapati sampai di perbatasan kraton. Selanjutnya berangkat sendiri dengan berjalan kaki.

Ketika dalam perjalanan, Raden Samba bertemu dengan orang-orang Kurawa yang juga akan menuju ke hutan Gangga Wa-rayang guna menyambut turunnya Wahyu Cakraningrat. Secara per-saudaraan mereka saling bertegur-sapa tetapi setelah mengetahui keperluan masing-masing, mereka menjadi selisih pendapat. Awal-nya hanya pertengkaran mulut, tetapi akhirnya menjadi pertengkaran fisik. Karena Raden Samba hanya sendirian maka ia tidak mampu melawan Kurawa, dan akhirnya menyingkir.

Ada satu kebulatan tekad dalam diri Raden Samba. Walau-pun kalah perang melawan orang-orang Kurawa dari Hastina bukan berarti harapan untuk memiliki Wahyu Cakraningrat berhenti. Wahyu Cakraningrat harus bisa diraih dan bisa menjadi miliknya, begitulah pikiran Raden Samba. Agar tidak bertemu dengan orang Hastina yang urakan itu maka Raden Samba melanjutkan perjalanan menuju hutan Gangga Warayang dari sisi lain.

Peristiwa telah terjadi di tempat lain yaitu di tengah hutan. Ada seorang satriya bernama Raden Abimanyu yang dikeroyok lima raksasa hutan, dan nampak satriya tersebut agak kewalahan. Kebe-

Page 240: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

223

tulan di angkasa terlihat Raden Gathotkaca yang sedang mencari Raden Abimanyu atas perintah sang paman Raden Arjuna.

Dari angkasa Raden Gathotkaca telah melihat dengan jelas kejadian yang menimpa Raden Abimanyu, maka dengan segera dan cepat-cepat turun untuk membantu Raden Abimanyu. Dalam sekejab tamatlah riwayat lima raksasa pembegal itu di tangan Raden Gathot-kaca.

Setelah beristirahat sejenak, Raden Abimanyu menjelaskan kepada Raden Gathotkaca, bahwa dia sedang mencari Wahyu Ca-kraningrat. Maka Raden Gathotkaca dimohon agar pulang dahulu. Setelah Raden Gathotkaca pulang maka Raden Abimanyu melanjut-kan perjalanan hingga sampai di suatu gunung yang dijadikan seba-gai tempat bertapa.

Panakawan Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong berada di tempat yang jauh menanti selesainya Raden Angkawijaya (Abima-nyu) bertapa. Sudah berbulan-bulan belum ada tanda-tanda selesai bertapa.Tiba-tiba keempat panakawan tersebut di suatu hari waktu larut malam melihat cahaya sangat terang turun di hutan Gangga Warayang bagian timur yang disusul dengan suara gunung meletus. Panakawan bingung, khawatir terhadap tuannya (bendaranya) yaitu Raden Angkawijaya, jangan-jangan suara tadi mengenainya sehing-ga mengakibatkan kematian. Baru saja akan beranjak tiba-tiba para panakawan mendengar sorak-sorai, yang ternyata adalah orang-orang Kurawa. Mengapa dan ada apa mereka bersorak-sorai? Wah-yu Cakraningrat sudah turun dan berada pada diri Raden Lasmana Mandrakumara. Para Kurawa langsung mengajak Raden Lasmana Mandrakumara pulang ke negeri Astina.

Rasa suka cita yang tiada taranya telah dirasakan oleh se-mua punggawa Hastina yang dalam hatinya masing-masing merasa sukses dan berhasil. Para golongan tua di antaranya Drona, dan Sengkuni merasa berhasil dan sukses mendidik Raden Lasmana Mandrakumara. Yang muda merasa berhasil memberikan petunjuk dan arahannya kepada putra mahkota itu dan masing-masing mera-sa berjasa. Sehingga semua berkata “kalau tidak ada saya mungkin gagal untuk mendapat Wahyu Cakraningrat.”

Rombongan Kurawa segera pulang untuk merayakan ke-berhasilan Raden Lasmana Mandrakumara. Dalam perjalanan pu-lang rombongan Kurawa tidak merasa bahwa perjalanan kembali itu sudah mendapat separuh perjalanan. Tiba-tiba Raden Lasmana min-ta berhenti sebab dia bertemu orang yang berjalan sedang memba-wa barang bawaan dan tidak menghormat saat berada di depan Ra-den Lasmana Mandrakumara. Maka ditendanglah hingga orang itu terguling-guling di tanah dan barang bawaannya terlempar jauh serta hancur berantakan.

Begitu ada kejadian seperti itu maka para punggawa yang merasa berjasa cepat-cepat ikut marah. Orang tadi terus dipukuli

Page 241: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

224

dan ditendang seperti bola. Orang itu hilang berubah menjadi cahaya dan kemudian masuk ke tubuh Raden Lasmana Mandrakumara dan keluar lagi bersama Wahyu Cakraningrat. Seketika itu jatuhlah Ra-den Lasmana Mandrakumara hingga pingsan. Mereka bersama-sa-ma lari mengejar Wahyu Cakraningrat dan saling mendahului. Raden Lasmana Mandrakumara ditinggal sendirian di tempat itu.

Sejenak peristiwa itu berlalu, terlihatlah dua cahaya dari angkasa turun di hutan Gangga Warayang di bagian sebelah barat. Tidak lama kemudian Raden Samba yang bersemedi di tempat ter-sebut merasa bahwa dirinya sudah bisa mendapatkan Wahyu Cakra-ningrat. Dia sangat bangga bahwa dengan kekuatan sendiri bisa mendapatkan wahyu tersebut. Maka berangkatlah Raden Samba pulang ke Dwarawati dengan hati yang sombong karena Wahyu Ca-kraningrat sudah berada pada dirinya. Tiba-tiba Kurawa mengejar dan meminta wahyu yang sudah berada pada diri Samba. Sudah ba-rang tentu Raden Samba tidak memperbolehkan. Terjadilah pepe-rangan yang sengit.

Ternyata tidak ada yang bisa melawan kekuatan Raden Samba. Mereka lari tunggang langgang dan tidak ada lagi yang be-rani berhadapan dengan Raden Samba. Dengan larinya para Kura-wa itu berarti mereka telah kalah dan tidak akan berani lagi meng-ganggu perjalanan Raden Samba. Demikianlah Raden Samba mera-sa dirinya paling kuat dan sakti mandraguna. Dia berani mengatakan ”akulah segalanya.” Bahkan Raden Samba telah berani mengukuh-kan ”Akulah orang yang akan menurunkan Raja-raja Jawa, dan sa-ngat mungkin aku akan menjadi Raja Dunia, menjadi Rajanya Raja.”

Sesudah melontarkan kata-kata itu, dia lalu terdiam seje-nak, dia seperti mendengarkan lengkingan kata-kata sang ibu dewi Jembawati ”Anakku ngger Samba, eling den eling ngati-ati marang sakehing panggoda. Eling-elingen ya ngger ya!” (anakku Samba, ingat dan hati-hatilah terhadap semua godaan, ingatlah angger).

Dasar Samba anak yang congkak dan sombong, kata-kata ibunya itu selalu diingat tetapi tidak diperhatikan. Dalam hati kecil Raden Samba berkata ”namanya orang kuat karena mendapat wah-yu maka tak ada yang mampu mengganggu, contohnya Kurawa tak akan mampu mengalahkanku ha..ha..ha…” demikian kata-kata som-bong Raden Samba.

Sejenak kesombongan Raden Samba sedang bertahta da-lam singgahsana hatinya. Seketika itu juga nampak di matanya se-orang perempuan bersama seorang laki-laki tua. Si perempuan itu masih muda, cantik berkulit kuning langsap, bermata juling. Mereka menghaturkan sembah kepada Raden Samba. Dan tentu Raden Samba sangat rela untuk menerima sembahnya. Keduanya ingin mengabdi kepadanya. Itulah keperluan mereka berdua, mengapa ke-duanya menghadap ke sang penerima Wahyu Cakraningrat. Seketi-ka itu juga Raden Samba berkenan untuk menerimanya tetapi si laki-

Page 242: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

225

laki ditolak dengan alasan sudah tua dan dipastikan tidak mampu be-kerja, justru akan membuat kesal saja. Dengan hinaan itu menying-kirlah orang tua tersebut. Tentu saja si perempuan cantik itu mengi-kuti jejak si tua. Tetapi Raden Samba telah mengejarnya, sambil me-rayu si perempuan cantik yang mengaku bernama Endang Mundhi-asih. Jawab Mundhiasih sambil melontarkan kemarahan atas ketidak adilan serta tidak adanya rasa belas kasih terhadap orang tua, hanya perempuan saja yang dikejar-kejar. Endang Mundhiasih berkata “Wahyu Cakraningratmu tidak pantas untuk menghujat”. Ternyata Mundhiasih dan orang laki-laki tua itu kemudian hilang bersamaan dengan sinar Wahyu Cakraningrat pergi meninggalkan Raden Sam-ba. Seketika itu badan raden Samba terasa lemas bagaikan orang tak berpengharapan dan tidak tahu apa yang akan diperbuat. Bukan main rasa kecewa Raden Samba terhadap watak sombong dan congkaknya ketika merasa wahyunya sudah pergi. Wahyu Cakra-ningrat tidak kuat menempati rumah (tubuh) yang congkak dan som-bong. Akhirnya Raden Samba menyadari bahwa Wahyu Cakraning-rat bukanlah miliknya. Apa boleh buat, nasi telah menjadi bubur ma-ka pulanglah Raden Samba ke Kadipaten Parang Garuda di negara Dwarawati.

Di tempat lain, di sebelah selatan hutan Gangga Warayang, terlihat empat panakawan seperti biasa masih menanti selesainya ta-pa sang bendara. Pekerjaan seperti ini sudah terbiasa dilakukan oleh para panakawan sejak jaman Maharesi Manumayasa.

Namun pada malam hari mereka berempat merasa seperti ada bayangan hitam berada tepat di tengah-tengah mereka. Bayang-an tersebut sambil berkata ”Jawata bakal marengake dheweke nam-pa Wahyu Cakraningrat ”. (Dewata memperkenankan dia untuk me-nerima Wahyu Cakraningrat)

Demikian para panakawan bergembira ria karena bendara-nya telah mendapatkan apa yang didiinginkan. Dan benar, Raden Angkawijaya telah keluar dari pertapaannya. Wajahnya kelihatan ce-rah bersinar, tubuhnya nampak segar utuh tanpa cela. Memang itu-lah tubuh yang telah berisi wahyu. Maka berangkatlah pulang dan mereka memperhitungkan bahwa apa yang diidamkan telah terlaksa-na dan selesailah.

Tiba-tiba datang para Kurawa mengejar Raden Angkawija-ya yang telah mendapat Wahyu Cakraningrat. Para Kurawa menge-jar Raden Abimanyu karena ingin merebut Wahyu Cakraningrat dan ternyata para Kurawa tidak mampu mengejarnya hingga Raden Ang-kawijaya sudah sampai di istana Amarta yang pada saat itu di Amar-ta sedang ada rapat rutin (siniwaka). Mereka semuanya bersyukur karena apa yang diinginkan Angkawijaya telah menjadi kenyataan. Dan Angkawijaya-ah kelak yang akan menurunkan raja-raja di Jawa.

Tak lama kemudian terdengar suara ramai di luar yang ter-nyata orang-orang Kurawa yang merasa bahwa Wahyu Cakraningrat

Page 243: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

226

sudah menjadi milik Raden Lasmana Mandrakumara, maka mereka menginginkan agar Wahyu Cakraningrat di kembalikan kepada Ra-den Lasmana Mandrakumara. Peperangan antara Kurawa dengan Pandawa tak bisa dihindarkan. Namun tak ada si jahat dapat menga-lahkan kebaikan. 5.3.4.2 Wahyu Purbasejati

Bila wahyu berupa anugerah dari Sang Hyang Maha We-nang, maka perlu dijelaskan bahwa kata Purba artinya kuasa dan se-jati berarti yang sesungguhnya. Jadi Wahyu Purbasejati berarti anu-gerah tentang kuasa yang sesungguhnya. Siapa yang mendapatkan-nya? Jawabannya adalah sama dengan yang mendapatkan wahyu pada cerita-cerita tentang pewahyuan, yaitu seorang yang bhaktinya tinggi, mau melakukan prihatin, bersih hatinya, berusaha mengatasi nafsu jahat yang ada pada dirinya. Lalu dalam cerita Wahyu Purba-sejati ini siapa yang mendapatkannya? Marilah kita simak!

Di alam penantian (pangrantunan) yang disebut Swarga Pangrantunan dikuasai oleh Prabu Dasasukma yang juga jejuluk Prabu Godhayitma atau Prabu Dasakumara. Prabu Dasakumara se-dang dihadap oleh semua punggawa (narapraja) lengkap yang terdiri dari sukma-sukma orang Alengka. Dan pada saat itu, meskipun da-lam kondisi berwujud sukma, sang Dasakumara masih menghendaki untuk memperisteri jelmaan Batari Sri Widowati yang telah menjelma pada diri Dewi Wara Sembadra isteri Raden Arjuna.

Dewi Wara Sembadra sedang berada di Dwarawati sebab ditinggal pergi suaminya. Raden Arjuna pergi untuk mencari, dan ingin mendapatkan Wahyu Purbasejati yang akan turun di Gunung Jamurdwipa seperti yang diwangsitkan oleh Dewa Hyang Maha Agung. Namun wangsit tentang akan turunnya Wahyu Purbasejati ju-ga didengar oleh umat manusia dari segala penjuru dunia, sehingga pada malam-malam penentuan di bukit Jamurdwipa banyak orang mengharapkan untuk mendapatkan wahyu Purbasejati.Tidak keting-galan orang-orang Kurawa juga ikut hadir untuk mengharap turunnya Wahyu Purbasejati demi kesejatian Prabu Duryudana sebagai raja di negara Astina.

Dengan kehadiran Raden Arjuna di malam menjelang tu-runnya wahyu di bukit Jamurdwipa, sekian ribu orang itu semua terti-dur dengan pulas sehingga kedatangan Wahyu Purbasejati hanya masuk pada diri Arjuna. Dalam kondisi yang tenang itu, tiba-tiba da-tanglah Wrekodara yang mencari Arjuna. Setelah bertemu diajak pu-lang ke negara Amarta.

Sampai di Amarta diberitahu bahwa Sembadra dibawa ke Dwarawati dan kini dicuri oleh maling (duratmaka) yang sekarang ini sedang dicari.Tanpa pikir panjang Arjuna terbang ke Dwarawati. Sampai di Dwarawati kebetulan bersamaan dengan datangnya Ano-man yang sudah membawa Sembadra kembali. Selanjutnya Ano-

Page 244: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

227

man menceritakan, bahwa atas keserakahan Kumara Dasamuka yang kini berada di alam Pangrantunan menginginkan Batari Wido-wati yang menjelma pada diri Sembadra. Sembadra dicuri oleh Ra-den Begayitma dimasukkan ke kancing gelung. Anoman mengetahui dan mengejar Raden Begayitma. Kemudian Anoman masuk ke da-lam kancing-gelung Raden Begayitma (sukma Indrijid) mengambil Sembadra dan dimasukkan dalam kancing gelungnya. Anoman terus mengikuti Begayitma kembali pulang ke alam Pangrantunan. Setelah Begayitma bertemu Godhayitma, kemudian Godhayitma dipersilah-kan untuk menemui Dewi Wara Sembadra. Karena keinginannya bertemu amat sangat tidak bisa ditunda lagi, maka Prabu Godhayit-ma langsung manjing di kancing gelung untuk mengambil Sembadra. Tetapi…, ternyata bukannya bertemu Sembadra melainkan bertemu dengan Wanara Seta atau Anoman, yang langsung menggigit telinga Dasakumara hingga teriak-teriak kesakitan dan menyatakan tidak akan mengganggu lagi. 5.3.4.3 Wahyu Makutha Rama

Di kaki sebuah gunung yang disebut Wukir Kutha Runggu terlihat debu bertebaran karena tanah yang jarang terkena siraman air hujan. Di musim kemarau yang berkepanjangan dan suhu yang sangat panas itu, bisa mempengaruhi nafsu manusia juga gampang memanas. Dan ketika itu, di tengah-tengah tebaran debu lamat-lamat terlihat beberapa sosok manusia yang beradu jotos. Lama se-kali adu jotos itu, mungkin karena sama kuatnya. Tetapi semakin la-ma semakin nyata dan jelas sekali bahwa kelompok yang bertikai itu adalah orang-orang Hastina melawan Anoman, mantan prajurit dari Ayodya, yang kini menjadi siswanya Bagawan Resi Kesawa Sidhi.

Pertapan Wukir Kutha Runggu adalah tempat sanggar Sang Resi Begawan Kesawa Sidhi yang saat ini atas perintah Hyang Dewa Agung untuk menempati sebuah sanggar dan diperkenankan mengajar tentang jalan kebenaran sambil merazia kepada siapa saja yang mau naik ke Wukir Kutha Runggu. Terjadinya adu jotos antara orang-orang Kurawa dengan Anoman di antaranya disebabkan oleh para Kurawa yang memaksa ingin masuk ke wilayah pertapaan Wu-kir Kutha Runggu.

Anoman adalah satu-satunya kelompok bayu yang harus bertugas mengusir mereka. Seorang Adipati Karna ketika melawan Anoman tak mampu mengalahkannya, sehingga ia harus melepas-kan panah ampuhnya yaitu Kuntawijayandanu. Melihat situasi yang kurang pas itu, Anoman siap untuk menyambar panah Kunta Wi-jayandanu. Dan ketika terlihat perjalanan panah itu telah berada di sampingnya, dengan secepat kilat panah itu ditangkapnya. Sekejap setelah melepaskan senjata Kunta Wijayandanunya dan Adipati Kar-na tahu bahwa Anoman tidak mati, maka heran dan terkejutlah ia, sehingga jatuh pingsan Adipati Karna. Sedangkan Anoman yang me-

Page 245: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

228

rasa menang dan mampu menangkap senjata Kunta Wijayandanu cepat-cepat lapor kepada gurunya yaitu Sang Kesawa Sidhi. Tentu Anoman berpikir bahwa sang guru pasti berkenan kepadanya oleh keberhasilan karya dalam kemenangan itu. Setelah bukti kemenang-an itu ditunjukkan, ternyata sang guru menganggap apa yang dilaku-kan Anoman melawan Adipati Karna itu tidak memperlihatkan karya suci siswa sanggar Kutha Runggu. Anoman menjadi bingung ”Apa lagi kesalahanku?”, pikirnya. Sedang dalam kebingungan, Anoman dipaksa oleh Begawan Kesawa Sidhi harus mengembalikan panah Kunta Wijayandanu kepada pemiliknya. Anoman pun sanggup, dan berangkatlah Anoman menemui Adipati Karna. Sampai di salah satu perempatan jalan Anoman menjadi bingung tidak tahu mana arah selatan, utara, timur dan barat. Di seluruh tempat yang didatangi Anoman pasti dikerumuni kabut (pedut) akhirnya Anoman berhenti di sembarang tempat. Ketika belum lama berhenti, tiba-tiba dikagetkan oleh suara angin ribut yang membersihkan pedut tersebut. Begitu su-ara angin berhenti, pedut hilang dan udara menjadi terang. Anoman terpental jatuh karena Wrekodara turun (anjlog) di tempat dia ber-henti. Anoman marah dan menyalahkan Wrekodara. Tentu saja Wre-kodara pun tidak mau disalahkan. Terjadilah selisih paham dan per-tengkaran yang dimulai dari mulut hingga menjadi adu fisik dengan sama-sama kuat dan sama-sama sakti.

Dalam lakon wahyu Makutha Rama, memang kedua tokoh ini belum saling mengenal. Baru sekali itu mereka bertemu. Maka dalam adu jotos tak ada yang mau kalah. Segala kesaktian yang di-miliki dikeluarkan. Lama mereka berperang tanpa henti, semua ke-saktian sudah dikeluarkan hanya aji-aji yang masih mereka miliki. Sekali dua kali ajian-ajian dari kedua belah pihak dipamerkan. Satu sama lainnya tak ada yang takut, tak ada yang khawatir dan tak ada yang mau mundur. Nampaknya setelah terasa capek baru mereka berhenti, sepertinya saling memberi ijin untuk beristirahat barang se-jenak. Setelah selesai beristirahat maka mereka bangkit, maksudnya ingin jotosan lagi. Tetapi Anoman berkata ” mengko disik, mengko di-sik “ ( “Sebentar, sebentar “) yang tentu saja Wrekodara juga tidak meneruskan perkelahian.

Akhirnya dengan melihat cara berpakaian yang sama itu mereka menjadi saling mengetahui bahwa kedua-duanya adalah saudara tunggal bayu. Mereka sama-sama anak angkat Hyang Bata-ra Bayu (Dewa Angin). Sudah barang tentu mereka saling memaaf-kan dan berjanji akan selalu saling membantu di dalam karya-mulia-nya yang memayu hayuning bawana.

Selanjutnya mereka berdua saling menjelaskan tujuannya masing-masing. Anoman menerangkan bahwa ia disuruh oleh Sang Begawan Kesawa Sidhi untuk mengembalikan panah (jemparing) Kunta Wijayandanu kepada Adipati Karna raja Angga (Awangga). Sedangkan Wrekodara disuruh kakaknya yaitu raja Amarta untuk

Page 246: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

229

mencari adiknya yang bernama Arjuna. Belum lama mereka berdis-kusi datanglah Prabu Baladewa. Kedatangannya atas bisikan Sang Hyang Dewa Agung untuk bersama-sama Arjuna ke puncak Wukir Kutha Runggu. Kemudian Anoman mengantar Sang Baladewa ke puncak Wukir Kutha Runggu. Wrekodara pun ke puncak dengan ha-rapan bisa bertemu dengan orang yang dicarinya, yaitu Raden Pre-madi atau Raden Arjuna.

Dengan melalui ijin Begawan Kesawa Sidhi, Prabu Balade-wa bersama Wrekodara langsung naik ke puncak Wukir Kutha Rung-gu. Anehnya Prabu Baladewa pada saat berada di puncak dia lalu bersemedi dengan bersungguh-sungguh.

Raden Wrekodara yang kemudian hanya tinggal sendirian merasakan dunia pada saat itu menjadi gelap dan dingin, sehingga situasi dan kondisinya sangat menakutkan. Raden Wrekodara terja-tuh dan pingsan.

Namun tiba-tiba turunlah dari angkasa cahaya terang me-nyinari puncka Wukir Kutha Runggu. Cahaya itu pecah menjadi dua, yang satu masuk (manjing) pada seorang satriya yang telah berse-medi terlebih dulu. Sedangkan yang satu berbentuk mahkota jatuh pada pangkuan Prabu Baladewa.

Dengan peristiwa aneh itu turunlah Raden Arjuna dari atas dan langsung membangunkan kakaknya. Raden Wrekodara segera bangun sembari menutup mata karena silau terkena cahaya Raden Arjuna yang baru saja turun dari puncak yang paling atas. Kemudian cepat-cepatlah ia memberitahu kepada kakaknya itu, bahwa dirinya adalah Arjuna. Selanjutnya dijelaskan bahwa baru saja dirinya mene-rima wahyu Makutha Rama.

Pada waktu itu Prabu Baladewa juga menceritakan bahwa dirinya juga mendapatkan wangsit untuk mengharap wahyu itu. Ter-nyata dirinya juga mendapatkan meskipun hanya fisiknya saja. Ke-mudian Arjuna, Wrekodara, dan Baladewa turun ke pertapaan Kutha Runggu, maksudnya menemui Begawan Kesawa Sidhi tetapi sudah tak ada, yang ada adalah Sri Batara Kresna.

Sebagaimana akhir dalam lakon wahyu Makutha Rama, Ar-juna, Kresna, Baladewa, Wrekodara dipaksa oleh orang-orang Kura-wa agar menyerahkan wahyu Makutha Rama. Maka terjadilah pe-rang akhir, di mana orang Kurawa kalah lari terbirit-birit kembali ke Hastina. Anoman pun sudah mengembalikan senjata Kunta Wijayan-danu kepada Adipati Karna. 5.3.4.4 Wahyu Senapati

Boma merasa menjadi putra Batara Kresna raja di kerajaan Dwarawati. Dia memohon kepada ayahnya yang adalah titisan Bata-ra Wisnu, agar Wahyu Senapati dapat dimilikinya. Tetapi bagaima-napun itu bukan kewajiban Kresna (Wisnu), maka ia tidak sanggup.

Page 247: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

230

Boma raja di kerajaan Trajutrisna itu tetap merayu dan mendesak agar Wahyu Senapati bisa dipegang dan dimilikinya.

Karena bujuk rayu Boma maka Sri Kresna terpaksa me-nyanggupi untuk mengusahakan. Tetapi wahyu itu merupakan ke-pastian Sang Hyang Wenang Jagad, dan si orang yang mengingin-kanya tentu harus melakukan prihatin, suci, berbuat adil, tidak jahat dan suka menolong.

Nah.., apakah Boma memenuhi sayarat bagi ketentuan laku itu? Maka nekatlah Boma menuju ke hutan di tempat Sang Gathotka-ca bertapa.

Dikisahkan pula tentang Raden Antareja yang mengamuk, karena ingin membunuh adiknya yaitu Gathotkaca. Keinginan Raden Antareja tersebut karena hasutan Patih Sengkuni. Patih Sengkuni menyatakan bahwa Antareja-lah yang punya hak untuk menjadi se-napati bukan Gathotkaca. Oleh sebab itu hanya Antareja yang pan-tas mendapatkan dan memiliki Wahyu Senapati.

Terjadilah peperangan antara Antareja dengan Gathotkaca. Namun sekalipun Gathotkaca tak akan membalas. Semar melerai dan menjelaskan permasalahan yang sebenarnya. Akhirnya Wahyu Senapati menjadi milik Gathotkaca. 5.3.5 Ruwatan

Ruwatan di Jawa, sampai kini masih berlaku. Ruwatan ini berupa sebuah upacara penghapusan dosa, penyakit, kotoran (su-kerta) dan lain sebagainya dengan menggunakan medium wayang.

Sebenarnya ruwatan merupakan hasil perubahan upacara tradisional keagamaan Jawa pada jaman Syamanisme. Upacara ini dilakukan sejak masyarakat Jawa mengenal faham Animisme dan Dinamisme sekitar tahun 1500 S. M.

Kehadiran agama Hindu di Jawa sangat mempengaruhi bu-daya tradisional yang berbentuk upacara wayang di jaman Batu Mu-da (halus/Neolitikum), sedangkan wayangnya hanya satu terbuat da-ri batu dan dipimpin oleh seorang perantara yaitu Syaman.

Kini upacara wayang batu itu telah berubah dan berkem-bang menjadi sebuah upacara wayang yang disebut Ruwatan, se-dangkan alatnya masih tetap menggunakan wayang, namun bukan dari batu melainkan dari kulit hewan. Selain itu jumlah tokohnya pun juga berkembang bertambah banyak. Upacara wayang ruwatan yang masih berjalan sampai saat ini (di Jawa) dengan menggunakan ceri-ta atau lakon Murwakala (menguasai setan/menguasai dosa).

Maksud dan tujuan Murwakala yaitu keinginan akan sirna-nya kala sukerta yang dimiliki setiap orang. Oleh karena itu melalui upacara Wayang Ruwatan ini ada beberapa materi yang harus diper-siapkan, yaitu Janma Sukerta (yang diruwat), Dalang Kandhabhuwa-na, Peralatan wayang, gamelan, saji-sajian.

Page 248: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

231

Bila ketiga-tiganya telah ada, tentu orang tua janma sukerta yaitu bapak dan ibu akan menentukan hari penyelenggaraan upaca-ra wayang ruwatan, yang biasa dilaksanakan pada waktu siang hari oleh seorang dalang yang umumnya disebut dalang Kandhabhuwa-na atau juru ruwat. Sebelum upacara wayang ruwatan diuraikan le-bih lanjut, terlebih dulu perlu diterangkan tentang ketiga materi di atas agar dapat dipahami.

5.3.5.1 Juru Ruwat

Sebagai materi yang kedua adalah seorang dalang memiliki sebutan Kandhabhuwana. Ia yang akan melakonkan atau mencerita-kan ruwatan sebagai apa yang dimaksud oleh si penanggap. Ia se-orang dalang yang akan mengkandhakan tentang ruwatan agar para penanggap, anak yang diruwat beserta para penonton menjadi jelas dan gamblang dalam memahami lakon.

Mengapa harus dalang Kandhabhuwana? Sebelum berlan-jut, perlu dipahami dulu tentang arti daripada kata-kata Dalang, Kan-dha dan Bhuwana. Dalang adalah seorang empu, pakar, ahli lakon, Kandha berarti omong, crita (bertutur), Bhuwana berarti jagad/dunia. Jadi Dalang Kandhabhuwana adalah seorang empu atau pakar yang sangat ahli bertutur (ajaran) tentang dunia yaitu hakikat kehidupan. Jadi pertanyaanya “mengapa harus dalang Kandhabhuwana” sudah terjawab, sebab hanya dalang Kandhabhuwana-lah yang ahli bertu-tur tentang hakikat kehidupan. Namun demikian masih saja ada per-tanyaan tentang siapa dalang Kandhabhuwana itu? Nama Kandha-bhuwana memang sebuah nama yang tidak terang-terangan nama yang disembunyikan (Nami Singlon),

Dikisahkan bahwa Kehadiran Hyang Narada di padepokan Nguntaralaya bertemu dengan Wisnu dan Brahma. Dia memberitahu kepada mereka berdua, bahwa permintaan makanan Batara Kala, semua dikabulkan. “Sekarang anda berdua dengan saya, atas perin-tah Hyang Jagad Giri Nata harus turun ke dunia.”

Ketiganya tidak menolak tugas itu, kemudian mereka turun ke dunia dengan berganti wujud, Batara Narada berubah menjadi se-orang tukang kendang Kalunglungan. Batara Brahma berubah men-jadi seorang perempuan bertugas sebagai tukang gender bernama Penggender Seruni. Hyang Wisnu berubah menjadi seorang dalang bernama Dalang Kandhabhuwana.

Batara Wisnu yang tugas kesehariannya memelihara jagad atau memelihara dunia atau juga memelihara kehidupan, sangat te-pat sekali bila dalam memantau kegiatan Batara Kala, berwujud se-orang dalang Pangruwatan. Batara Wisnu-lah yang memiliki kuasa dalam pengaturan khusus bagi peruwatan kehidupan sukerta dan di-harapkan akan membuahkan keselamatan.

Setiap ruwat bagi seorang manusia, Dalang Kandhabhuwa-na tidak lupa untuk sekaligus memberikan wejangan kepada orang

Page 249: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

232

itu, sehingga benar-benar manusia sukerta itu akan mendapatkan keselamatan lahir-batin. Dalang Kandhabhuwana-lah yang membe-baskan dunia ini dari cengkeraman Batara Kala (setan/dosa). 5.3.5.2 Janma Sukerta

Janma sukerta, merupakan unsur yang utama dalam upa-cara ruwatan ini. Ia adalah sasaran yang harus diruwat oleh seorang juru ruwat yaitu dibersihkan dari segala sukerta yang dideritanya. Ba-gi sang juru ruwat (dalang) janma sukerta adalah penderita.

Banyak macamnya janma sukerta dalam ruwatan, yaitu On-tang-anting yaitu anak tunggal lelaki tanpa saudara, Unting-unting yaitu anak tunggal perempuan, Uger-uger lawang yaitu dua anak le-laki semua, Kembang sepasang artinya dua anak putri semua Ke-dhana-kedhini artinya dua anak laki-perempuan, Kedhini kedhana artinya dua anak perempuan-laki-laki, Pandawa artinya lima anak laki semua, Pandhawi/ngayoni artinya lima anak perempuan semua, Sendhang kapit pancuran artinya tiga anak, puteri di tengah, Pancur-an kapit sendhang artinya tiga anak, laki di tengah, Madangake arti-nya lima anak 4 laki satu putri, Apil-apil artinya lima anak 4 putri satu laki-laki, Bathang ngucap artinya bila ada seorang diri berjalan di si-ang hari bolong tanpa sumping daun-daunan dan tidak berbicara, Ontang-anting lumunting artinya lahir tanpa ari-ari atau lahir terbelit usus atau lahir bule atau lahir tidak seperti umumnya.

Ada syarat bagi Batara Kala dari Sang Batara Guru, yaitu bila Batara Kala makan mangsanya itu, maka mangsa itu harus dibu-nuh dengan senjata tajam (gaman) seperti pedang lebih dahulu, ke-mudian baru dimakan. Batara Penyarikan akan selalu mencatat se-mua manusia (janma) anak sukerta yang dimakan dan juga akan se-lalu mengikuti jejak Kala. Bila tidak sesuai dengan catatan Dewa Pe-nyarikan, maka Kala akan mendapat marah besar dari Batara Guru dan akan sengsara hidupnya.

Dengan ketentuan seperti itu, maka Batari Uma (isteri Gu-ru) menambahkan, yaitu Anak tiba sampir, bila seorang anak lahir bersamaan seorang dalang sedang mendalang di sekitar itu dan pe-ragaan lakonnya menggunakan cerita ruwatan Murwakala, dan anak yang baru lahir tersebut apabila tidak sungkem kepada dalang, maka anak itu juga akan menjadi jatahnya Batara Kala, kecuali anak itu di-bawa kepada ki dalang dan diakui sebagai anaknya.

Ada orang disebut Wong Mancah adalah orang yang dalam karyanya mendatangkan buah karya yang mengganggu perjalanan Batara Kala, maka wong mancah tadi menjadi makanan Batara Kala. Yang dimaksud dengan karya wong mancah itu misalnya orang me-nanam tanaman yang buahnya ada diatas tanah (pala kesimpar) tan-pa di beri tututp atas di samping kranjang (anjang-anjang) maka bisa tersandung Kala, mendirikan rumah belum diberi tutup keyong, me-

Page 250: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

233

ninggalkan dandang saat menanak nasi, sehingga dandangnya ter-guling, dan sebagainya.

Ini semua dianggap mengganggu perjalanan Batara Kala. Maka semua ini akan menjadi santapan Batara Kala. Hanya karena diakui sebagai saudara ki dalang Kandhabhuana barulah wong man-cah terhindar dari ancaman dimakan Kala.

Hyang Batara Guru memerintahkan kepada dewa Penyarik-an agar semua yang titahkan itu dicatat dengan cermat dan Batara Penyarikan harus ikut menyaksikan, dan baru boleh meninggalkan tempat itu bila tidak ada yang salah. Karena usulan Narada bahwa makanan yang diberikan kepada Kala terlalu banyak, maka Batara Wisnu diperintahkan untuk memberikan berkat ke-pada setiap umat. Umat itulah yang tidak disantap Kala. 5.3.5.3 Cerita Ruwatan (Murwakala sebagai lakon bakunya).

Memang cerita Ruwatan ini di dalamnya terdapat suatu komposisi lakon yang sangat unik dan tidak biasa ditemui pada la-kon-lakon yang lainnya. Dalam lakon Murwakala terdapat dua bagian yang masing-masing sesungguhnya berdiri sendiri-sendiri, meskipun antara keduanya terdapat ada kaitannya yang saling mengasihi.

Pada bagian pertama, dikisahkan oleh sang dalang bahwa pada suatu hari Sang Hyang Jagad Giri Nata sedang bersama de-ngan permaisuri Batari Uma berjalan-jalan dengan naik lembu kas-wargan yaitu lembu Handini. Pada saat di angkasa ketika itu pula Sang Batara Guru melihat kemolekan Sang Uma sehingga timbullah nafsu birahinya. Namun apa mau dikata, nafsu birahinya yang sudah memuncak itu tak bisa tersalurkan, karena memang Sang Uma tidak mau melayani, sehingga kama Sang Batara Guru jatuh ke samude-ra. Kama Sang Batara Guru itu disebut kama salah karena memang sangat salah tingkah.

Kama salah itu berada dalam samudera ternyata hidup yang mempengaruhi permukaan air samudera menjadi pasang me-ninggi hingga tumpah ke daratan. Kama salah kini menjadi besar, akibatnya daratan semakin tidak mampu menampung air dan banjir-lan di daratan. Hanya ketika kama salah itu bangkit, baru air di dara-tan menjadi kering (asat). Banjir hilang tanah menjadi subur. Si kama salah langsung naik ke darat yang subur itu. Tanah yang diinjak ter-desak ke bawah sampai dalam, akibatnya buminya menjadi berlu-bang-lubang sedalam sumur. Kama salah yang berupa raksasa ting-gi besar tak ada yang menyamainya. Dia tinggi melebihi tinggi pepo-honan. Dia besar sekali, tiga kali besar seekor gajah. Dia juga kuat dan sakti. Mulutnya besar dan lebar selebar pintu gua. Rambut kaku panjang gimbal sulit disisir. Sisir yang sebajak (segaru) sawah baru-lah mampu menyisir rambut si kama salah. Sekarang dia berjalan sambil teriak-teriak, secara alami menjadi omong atau bicara.

Page 251: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

234

“He… orang… jangan lari. Kenapa kamu lari!”

Setiap manusia yang ketemu mesti lari karena takut dima-kan (diuntal). Ucap kama salah semakin keras sampai menggugur-kan daun dan buar pepohonan.

“Heeee…… wong ndesa aja mlayu. Aku takon, aku iki sapa? Bapakku sapa? Aku tulung critanana.”

Tak ada jawaban setiap pertanyaan maka semakin marah

si kama salah. Setiap apa yang ada di depannya diinjak, ditendang dan yang terpegang tangannya di remas. Pepohonan yang dilewati ada yang dicabut (dibedol) dirobohkan. Demikian juga rumah-rumah penduduk diinjak, dirobohkan juga.

Berhari-hari, berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan ka-ma salah tidak pernah makan, lama kelamaan perjalanan si kama salah sampai di kaki sebuah gunung tempat bersemayamnya para dewa. Di situ si kama salah bertemu dengan para prajurit Dorandara. Dia disuruh kembali oleh para prajurit Dorandara. Karena tidak mau kembali, maka terjadilah selisih pendapat dan timbul perang mulut kemudian semakin memuncak sehingga menjadi perang fisik, adu jo-tos, adu kuat. Ternyata kama salah terlalu kuat, para prajurit Doran-dara lari tunggang langgang.

Kama salah yang berhadapan dengan para dewa senior di-mana mereka pada adu sakti, ternyata dewa kalah sakti. Semua pu-saka, ajian, kesaktian, gaib tak ada yang mempan dipukulkan, dige-bugkan pada tubuh kama salah yang tak dirasakan. Kama salah adalah kama Sang Jagad Nata yang berari tidak bisa dibuat sembra-na. Dia kuat dan sangat-sangat sakti, tak ada yang mampu mela-wannya dengan cara apapun. Akhirnya terpaksa oleh Resi Narada si kama salah dihadapkan pada Sang Hyang Jagad Giri.

Dengan kondisi yang serba harus, Batara Gurupun terpak-sa menuruti keinginan si kama salah, meskipun Batara Guru tetap kurang senang atas kedatangannya yang harus diakui sebagai anak-nya. Kemarahan sang Batara Guru belum reda karena masih ada pusakanya yang belum digunakan. Dengan diam-diam Sang Batara Guru membelalakkan mata ketiganya dengan di dorong oleh keem-pat tangannya, mata itu mengeluarkan sinar panas ditujukan pada kama salah, biarlah ia mati kepanasan. Ternyata si kama salah tidak terasa apa-apa. Justru Batara Tri Netra (Guru) berteriak-teriak bi-ngung kepanasan. Sang kama salah tak mempan oleh semua pusa-ka dan ajian, sehingga para dewa tak bisa apa-apa kecuali meme-nuhi keinginannya.

Akhirnya Batara Parameswara harus mengakui bahwa ka-ma salah adalah anaknya sendiri. Dengan disaksikan oleh para de-

Page 252: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

235

wa, sang kama salah diangkat sebagai Dewa Batara dan diberi na-ma Kala.

Dewa Batara Kala sebelumnya telah diberi ijin oleh Sang Batara Rodrapati dalam permohonan makan sehari-hari yaitu manu-sia sukerta. Berangkatlah Kala untuk mencari makanan manusia su-kerta. Oleh Batara Narada diperingatkan bahwa makanan yang dibe-rikan kepada Batara Kala itu sangat banyak, tentu dunia ini akan ke-habisan manusia.

Batara Guru menjadi masygul hatinya. Dia kecewa atas pemberian ijin kepada Sang Kala tentang makanan manusia suker-ta. Kekecewaan, bahkan timbul kekhawatiran bahwa manusia akan habis dimakan Kala, maka semua ini harus diserahkan kepada Sang Wisnu pemelihara jagad. Terserah dengan kebijaksanaan apa, Wis-nulah yang mengatur. Batara Rodrapati memerintahkan kepada Ba-tara Narada untuk bersama-sama dengan Batara Wisnu dan sege-nap dewa lain yang diperlukan. Ketika semua sudah siap, berangkat-lah mereka turun ke dunia.

Seperti yang telah dijelaskan di depan bahwa dalam rangka mengikuti jejak Kala, Batara Wisnu dan lainnya berganti wujud yang disesuaikan dengan tugas masing-masing. Batara Wisnu sebagai dalang Kandhabhuwana, Batara Narada sebagai pengendhang Ka-lunglungan, dan Batara Brahma sebagai penggender Seruni.

Batara Ismaya yang kebetulan hadir di Kahyangan Ngunta-ralaya atau Nguntara segara ikut membicarakan kerusakan jagad dan ikut dalam rombongan. Ismaya menjadi pengrawit (panjak). Ba-tara Cakra menabuh kethuk bernama Swuhbrastha, Batara Asmara menabuh gong kempul bernama Sirep, Batara Mahadewa menabuh kenong bernawa Ruwat.

Sampai adegan inilah lakon ruwatan bagian pertama sudah selesai. Bahkan sejak kama salah diterima sebagai anak Batara Gu-ru dan diberi nama Batara Kala, itu bisa dikatakan cerita bagian per-tama sudah habis. Sedangkan keberangkatan Kala dan pembagian tugas para dewa dalam memantau Kala itu bisa dikatakan sebagai introduksi Ruwatan bagian ke-2, yang ciri tema-nya berlainan sekali.

Adapun bagian kedua dimulai dari kisah seorang anak on-tang anting yang di dalam pakeliran bernama Jatusmati. Ia lari terbi-rit-birit menghindar dari kejaran Batara Kala.

Sangat kebetulan sekali pada waktu itu ada perhelatan de-ngan menanggap wayang dimana dalangnya adalah ki dalang Kan-dhabhuwana atau ada yang menyebut ki dalang sejati. Jatusmati menyelinap masuk di tempat para pengrawit menyatu dengan mere-ka. Akibat itu semua Batara Kala lalu berhenti di situ dan menanti ke-luarga Jatusmati sambil melihat tontonan wayang. Tentu saja para penonton lainnya takut ada raksasa yang tinggi dan besar ikut me-nontong wayang. Para penonton bubar lari meninggalkan tempat,

Page 253: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

236

sehingga di tempat pertunjukan wayang itu menjadi sunyi sepi tak ada penonton. Hanya ada satu orang penontong yaitu Batara Kala.

Karena sepi itu maka sang Dalang Sejati Kandhabhuwana menoleh ke belakang sehingga tahu bahwa penyebab bubarnya pe-nonton adalah Batara Kala. Terjadilah dialog antara sang dalang Kandhabhuwana dengan Batara Kala. Mereka berdua bagaikan ter-ikat dalam satu ikatan bantah yang tak mau saling mengalah.

Terutama ki dalang disuruh tampil maka akan dibayar olah Batara Kala. Bantah masih berlanjut, Batara Kala bertanya, lebih tua mana antara Batara Kala dengan ki Dalang Kandhabhuwana. Tak la-ma kemudian Dalang Kandabhuwana merayu Batara Kala untuk menyerahkan pedhang (Bedhama).

Singkatnya bantah mereka dimenangkan oleh ki Dalang Kandhabhuwana. Kecuali itu, Batara Kala tidak boleh memakan ma-nusia sukerta yang sudah mendapat ruwat atau diruwat oleh Dalang Kandabhuwana.

Demikianlah ikatan janji antara Batara Kala dengan ki Dal-ang Kandhabhuwana yang tidak bisa diingkari. Di samping itu ada beberapa tokoh yang disebutkan dalam Ruwatan ini demi terangkai-nya alur certita misalnya Randha Prihatin ibu Jatusmati yang disela-matkan oleh dalang Kandhabhuwana, Buyut Awengkeng diminta anak perempuannya Rara Primpen yang bersama suaminya yang je-lek rupa Buyut Gadual (Joko Sondong) minta ditanggapkan wayang ruwatan pada ki Dalang Kandhabhuwana, Nyai randha Sumampir dari desa Mendhang Kawit yang semula miskin menjadi kaya. Desa-nya-pun menjadi ramai atas kehendak dewa Agung. Oleh ki Dalang Kandhabhuwana nama randha Sumampir diganti menjadi Randha Asem Sore. Dia diberi pegangngan sakit encok dan sebangsanya, artinya apabila ada orang menjemur kain panjang (jarit) sampai sore belum diangkat, bila ada orang makan beralaskan cobek (cowek) ta-nah cobek batu dengan sayur asem wayu, diberikan mereka sakit encok.

Buyut Gadual yang datang di rumah randha Sumampir ingin bertemu dengan Ki Dalang Kandhabhuwana yang kebetulan berada di rumah ini untuk nanggap wayang ruwatan. Setelah disanggupi, maka jadilah wayangan di rumah Buyut Gadual di rumah mertuanya ki Buyut Tapa Wangkeng. Wayang Ruwatan ini bertujuan agar hubungan suami istri antara Buyut Gadual (Joko Sondong) dengan Rara Primpen menjadi rukun. Karena memang selalu selisih. De-mikianlah secara singkat wayang Ruwatan. 5.3.5.4 Perlengkapan Ruwatan

Peralatan tentang wayang-gamelan dalam penyelenggara-an upacara ruwatan dapat dipastikan akan beres. Sebab sudah jelas bahwa wayang-gamelan setiap dalang pasti memilikinya. Namun da-pat dijelaskan tentang penggunaan gamelan dalam upcara ruwatan

Page 254: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

237

ini adalah laras slendro. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa peralatan wayang-gamelan sudah tidak perlu dikhawatirkan. Se-dangkan yang termasuk sebagai perlengkapan (ubarampe) atau alat yang tidak bisa ditinggalkan adalah saji-sajian (sajen).

Menurut aslinya yang berasal dari Kraton Surakarta, Su-mantoyo dalam tulisannya yang berjudul Budaya Ruwatan dalam Ke-hidupan dan Kepercayaan Orang Jawa, termuat dalam buku Ruwa-tan Murwakala dari Paguyuban Sutresna Wayang Rena Budaya, hal 5 menyebutkan daftar sajen peruwatan sebanyak 71 macam. Inilah sajian-sajian itu :

- Tuwuhan sapepake :gadhang, tebu, cengkir - Pari rong (2) gedheng - Cikal rong (2) iji - Pitik rong (2) iji - Tumpeng warni sanga: Megana isi jangan, Megana isi

pitik, Pucuk endhog, Rajek edom, Pucuk lombok abang, Tutu, Kendhit, Lugas, Sembur.

- Kroso kalih sing siji sekul ulam digantung ing kelir sisih kiwa, sijine isi beras, pala kesimpar, pala kependhem, who-wohan digantung ing kelir sisih tengen

- Klasa anyar - Bantal anyar - Sinjang (kain) warni pitu, yaitu Poleng bang bintulu

sadodod, Dringin songer, Tuluh watu, Bangun tulak, Pan-dhan binethot, Liwatan/lumpatan, Gandhung Mlathi, Kang rinuwat, yen wadon nangge sinjang pethak, kemben pe-thak, yen jales ngangge bebet pethak, iket pethak, yen sampun ki Dalang kang gadhah.

- Pangot waja kalih (2 ) iji - Kropak sapakem - Sega wuduk lawuh lembaran ayam pethak mulus lan ce-

meng mulus kalian tigan - Jadah abang, jadah putih, jadah kuning, jadah ireng, ja-

dah biru, jadah kendhit, jadah tutul. - Ketan warna pitu kalebet wajib jenang - Wajik - Jenang - Jenang warni pitu, kalebet jenang blowok wadhahe takir

kalothekan gadebog, di antaranya adalah, Srabi warwa pitu, Srabi abang putih, Bikang abang putih, Ampang sa-pepake, Hawag hawug, Pondo: putih, biru, kuning, ireng, abang, wungu, ijo, Kupat lepet, Legondhoh, Pula gimbal, pula gringsing, dados sawadhah.

- Woh-wohan saanane - Pangan remik-remikan - Pangan wungkus-wungkusan

Page 255: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

238

- Tukon pasar sapepake lan dhuwit rong uwang - Rujak bakal sarwa mentah, rujak deplok, rujak crobo, ru-

jak dulit, rujak legi, sawadhah - Gecok bakal, lombok, uyah, trasi, iwak mentah, bram-

bang, bawang, gecko dadi, gecko lele urip sajodho, tigan ayam sajodho.

- Klasa pacar - Kayu sauntung - Pala kapendhem mentah mateng, pala gumantung, pala

kesimpar, empon-empon sapepake dados sawadhah - Bumbu kang pepak - Wolak walik - Sega golong, pecel pitik, jangan menir - Bendho - Lading - Jungkat - Suri - Kaca, paying, lan tukon pasar sapepake kabeh, salawe

uwang - Alang-alang, godhong dhadhap serep, godhong apa-apa - Lenga sundhul langit - Lawe saukel - Ungker siji - Sega asah-asahan nganggo punar - Kayu walikukun saseta, 4 iji - Kupat luwar 4 iji - Beras sadangan - Klapa gondhil den ubeti lawe wenang ubet tiga - Lenga klentik secangkir jog-jogan blencong dhuwite telu

theng - Tetes saguci - Badheg saguci - Toya tempuran, dipun wor toya sumur pitu, sekar seta-

man, kobokan tiga theng - Pangaron anyar, abahan pawon sapanunggalane kabeh - Kendhi kebak - Diyan murub - Lenga kacang sagendul - Dlingo bawang tindhite salawe dhuwit - Gedhang ayu setangkep, suruh ayu saadune, gula kram-

bil setangkep tindhite 60 uwang - Dene jenang wau wijangipun: jenang blowok, jenang

abang, jenang putih, jenang ireng, jenang kuning, jenang biru, jenang ijo, jenang lemu, jenang katul.

- Dene tuwuhan pari cikal tebu, kayu walikukun, lele ge-sang, saking ingkang gadhah damel.

Page 256: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

239

- Sabibaring ngruwat kayu walikukun sekaran iji dipun pa-thokaken ing njawi griya pojok sekawan lan kupat luwar 4 iji nunggil pathok ginantung. Utawi lawe wenang dipun ga-waraken njawi griya ubeng ngiwa ubet tiga.

- Toya tempuran kang wonteng pengaron anyar lan sekar setaman, dipun wor jembangan ageng, utawi ingkang di-pun ruwat adus kaping pitu surame. Manawi anugelaken gandhik anggempalaken pipisan utawi angrebahaken dandang, wuwuh ingkang anyar, dandang gandhik pipi-san (ingkang sampun cacad) padha linabuh

- Wanci ngajengaken surup (surya) anglujengaken jenang baro-baro 5 takir wonten pinggir sumur, ijabipun nun-dhung Kala Lumur, slawate 5 ketheng, dongane Tulak bi-lahi wekasan slamet.

- Lan patelesane kang dipun ruwat samorine, ki dalang kang gadhah

- Tigang jumungguh, memule sakuwasane, kang dipun me-mule ingkang cikal bakal ruwatan, utawi sengkala, bede-wan luwuring ratu sapengadhap sapenginggil, kang sa-mara bumi, lan luwure piyambak, saking jaler, saking istri, luwuring dhalng sak niyagane salumahing bumi sakureb-ing langit

- Dene ruwatan mau pepesthening tindhih yen tiyang sa-tunggal 60 uwang, yen tiyang kalih utawi tiga 60 uang ka-ping kalih utawi kaping tiga, tebasan utawi boten tamtu tindhih saking ingkang gadhah damel.

Catatan : Sesudah ki dalang mendalang semalam suntuk ( tanceb kayon ) terus paginya memeriksa sajen ruwat, dan yang akan diruwat berpakaian putih, ki dalang siap meruwat. 5.4 Sumber Cerita Wayang Gaya Jawatimuran

Bila kita menceritakan lakon wayang, kita menemukan be-berapa kesulitan apabila dalam membahas cerita tidak mengguna-kan pikiran yang didasari batasan-batasan etika dan pengetahuan yang pasti, karena dalam cerita wayang terdapat proses yang cam-pur aduk dan lagi pula tidak ada norma-norma yang melarang kesim-pang siuran cerita. Batasan-batasan yang harus ada pada cerita wa-yang ialah cerita itu tidak menyimpang dari dua hal dalam kehidupan manusia, yaitu baik dan buruk.

Perkembangan cerita pewayangan yang tampaknya satu kesatuan yang utuh sebenarnya merupakan suatu hal yang penuh dengan pertentangan-pertentangan pendapat. Karena menceritakan wayang sama halnya dengan menceritakan usaha manusia dengan segala cita-citanya serta perjuangan hidupnya.

Page 257: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

240

Sebenarnya fungsi cerita wayang dari zaman ke zaman adalah sama, sebagai alat penerangan dan pendidikan, di samping sebagai alat hiburan masyarakat. Pada zaman Hindu, wayang digu-nakan sabagai media keagungan raja-raja dan para dewa beserta para brahmana. Demikian pula pada zaman permulaan Islam, wa-yang digunakan sebagai alat penyebaran kepercayaan Islam dan pa-da zaman kemerdekaan Republik Indonesia dimanfaatkan pula se-bagai media penerangan pembangunan mental dan fisik rakyat Indo-nesia.

Yang disebut dengan cerita pakem adalah cerita yang na-ma-nama tokoh dan nama negara serta jalan ceritanya diambil dari cerita Ramayana atau Mahabharata seutuhnya. Balungan cerita wa-yang yang bersumber dari Buku Layang Kandha Kelir adalah meru-pakan kumpulan balungan lakon khususnya wayang gaya Jawati-muran atau lebih akrab disebut wayang Jek Dong. 5.4.1 Dasamuka Lahir

(Sumber: Buku Layang Kandha Kelir serial Ramayana). Di negara Sela Gringging, Prabu Sumangli atau Mangliraja

sedang dihadap patih Maeluncana dan para punggawa, wadyabala, dan putranya yang bernama Raden Prahasta dan Raden Jambu-mangli atau Jalma Mantri. Sedang membicarakan putra sulung Pra-bu Mangliraja yang bernama Dewi Sukesi, sudah dilamar oleh Prabu Citrabaya raja dari kerajaan Sunggela, mau dijodohkan dengan putra Prabu Citrabaya yang kedua bernama Raden Daneswara Bupati Tandawaru. Sedangkan putra Prabu Citrabaya yang pertama menja-di raja di kerajaan Sunggela bergelar Prabu Misrahwana. Prabu Ci-trabaya sendiri saudara sepupu Prabu Mangliraja dan masih saudara tua. Prabu Mangliraja juga sedang susah sebab memikirkan adiknya yang bernama Raden Mangliawan Bupati Indrapuri yang sedang sa-kit parah. Beberapa pendeta dan ahli pengobatan yang sudah dida-tangkan untuk menyembuhkan Raden Mangliawan, tetapi semua ta-bib dan ahli pengobatan itu belum bisa menyembuhkan Raden Mangliawan. Prabu Mangliraja lalu memutuskan untuk membubar-kan pasewakan, sedangkan Prabu Mangliraja beserta para pungga-wa pergi ke kadipaten Indrapuri menjenguk Raden Mangliawan.

Sesampainya di kadipaten Indrapuri Prabu Mangliraja me-lihat adiknya yang sedang sakit terkulai lemas. Prabu Mangliraja me-rasa kasihan dan bersedih sehingga tidak terasa Prabu Mangliraja meneteskan air mata. Karena sangat cintanya terhadap adiknya, Prabu Mangliraja lalu bersabda, tidak pagi tidak sore kalau Raden Mangliawan sembuh, akan dijadikan raja di negara Sela Gringging, Prabu Mangliraja bersedia menjadi bawahan Raden Mangliawan.

Sahdan, ucapan Prabu Mangliraja disaksikan oleh para de-wa dan kebetulan di angkasa ada roh gentayangan yaitu rohnya Ra-den Rasa Sejati. Setelah ucapan raja, roh Raden Rasa Sejati turun

Page 258: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

241

dari angkasa masuk ke badan Raden Mangliawan, sehingga Raden Mangliawan sembuh seketika tanpa diobati. Melihat adiknya yang sudah sembuh, Prabu Mangliraja sangat gembira, pada waktu itu ju-ga Raden Mangliawan diajak pergi ke istana negara Sela Gringging dengan diiringi oleh para punggawa. Setelah sampai di istana Raden Mangliawan langsung didudukan di singgahsana, di jadikan raja di negara Sela Gringging bergelar Prabu Sumaliawan.

Diceritakan, setelah menjadi raja, Prabu Mangliawan minta dikawinkan. Karena Prabu Sumaliawan kemasukan roh Raden Rasa Sejati, maka dia minta dikawinkan dengan bidadari yang bernama Batari Sri Widowati dari Kahyangan Asmarawati. Prabu Mangliawan minta kepada kakaknya untuk melamar Batari Sri Widowati. Prabu Mangliraja tidak berani karena Batari Sri Widowati adalah istri Batara Wisnu dari Kahyangan Nilawindu. Prabu Mangliawan lalu menyuruh Patih Maeluncana namun juga tidak berani, lalu diumumkan ke para punggawa, siapa yang berani melamar Batari Sri Widowati dan ber-hasil membawa pulang Batari Sri Widowati akan diganjar seperem-patnya negara Sela Gringging. Tetapi semua punggawa tidak ada yang berani, sehingga diputuskan, sang Prabu Mangliawan sendiri yang berangkat ke Kahyangan Suralaya, sedangkan negara Sela Gringging sementara dititipkan kepada kakaknya. Setelah Prabu Mangliawan pergi, Prabu Mangliraja tidak tega melihat keberangkat-an adiknya lalu kerajaan dipasrahkan kepada Patih Maeluncana dan Prabu Mangliraja mengikuti adiknya dari kejauhan ikut pergi ke Kah-yangan Suralaya.

Di Kahyangan Repat kepanasan yaitu alun-alun para dewa, Batara Brama mengumpulkan para Dorandara atau Prajurit Kadewa-tan antara lain Batara Sambu, Batara Sukra, Batara Penyarikan dan lain-lainya. Membicarakan perintah Batara Guru, yang memerintah-kan para Dorandara supaya menjaga kahyangan Suralaya, dan sela-lu berhati-hati jangan sampai ada manusia yang naik ke Kahyangan Suralaya. Pembicaraan belum selesai, dari kejauhan Batara Brama melihat ada manusia yang naik ke kahyangan Suralaya, seketika itu juga Batara Brama memerintahkan para Dorandara bubar dan was-pada, Batara Brama sendiri yang akan mencegat manusia itu, supa-ya jangan melanjutkan perjalanannya menuju Kahyangan Suralaya.

Prabu Sumaliawan yang sedang berjalan sendirian kaget melihat dewa yang turun dari angkasa, lalu bertanya; siapa gerangan dewa yang baru turun di hadapannya, Batara Brama menjawab bah-wa dia adalah Batara Brama peminpim para Dorandara. Lalu Batara Brama balik bertanya siapa manusia yang berani datang di Kahya-ngan Suralaya, Prabu Mangliawan menjawab terus terang bahwa beliau raja kerajaan negara Sela Gringging yang akan pergi mengha-dap raja para dewa untuk melamar Batari Sri Widowati untuk dijadi-kan permaisuri di negara Sela Gringging. Mendengar jawaban dari Prabu Mangliawan Batara Brama sangat kaget melihat keberanian

Page 259: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

242

Prabu Mangliawan, sebab Batari Sri Widowati adalah istri Batara Wisnu, senapati kadewatan bergelar Macan Engyang Suralaya, se-dangkan para Dorandara sendiri sangat takut kepada Batara Wisnu. Lalu Batara Brama mengingatkan dan memberi nasehat kepada Pra-bu Mangliawan (Prabu Sumaliawan) supaya jangan meneruskan ni-atnya ingin memperistri Batari Sri Widowati, karena Batari Sri Wido-wati sudah bersuami. Prabu Sumaliawan tetap pendiriannya, bahwa dia tidak akan turun ke dunia (marcapada) kalau belum memboyong Batari Sri Widowati. Mendengar jawaban dari Prabu Sumaliawan, Batara Brama sangat marah, sehingga terjadi perang mulut yang di-lakukan adu tanding antara Prabu Sumaliawan melawan Batara Bra-ma. Dalam adu kekuatan otot Prabu Sumaliawan agak kewalahan melawan Batara Brama, lalu mundur merapal aji Petak. Batara Bra-ma terkena aji Petak melayang ke udara, lalu Batara Brama mencip-ta guntur api, maka keluarlah api yang membubung tinggi setinggi gunung bagaikan mencapai langit, api tersebut dapat dikendalikan Batara Brama dari kejauhan, api memburu Prabu Sumaliawan, akan tetapi Prabu Sumaliawan tidak mempan dibakar api Batara Brama, sehingga api yang membumbung tinggi tersebut di getak oleh Prabu Sumaliawan dan kembali lagi ke badan Batara Brama. Batara Brama lalu menyiapkan para Dorandara supaya mengadakan perang Bru-buh untuk mengeroyok Prabu Sumaliawan supaya mau turun lagi ke alam mercapada.

Diceritakan, meskipun dikeroyok wadyabala Dorandara Prabu Sumaliawan tetap maju dalam peperangan, dan tidak merasa gentar sama sekali, setiap ada kesempatan beliau merapal aji Petak sehingga para dewa lama-kelamaan banyak yang kesakitan dan mundur dari peperangan. Melihat dari kejadian itu, Batara Brama lalu memerintahkan para Dorandara supaya mengadakan perang undur-undur, sedangkan Batara Brama sendiri mau melaporkan kejadian itu kepada Batara Guru.

Page 260: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

243

Gambar 3.27 Batara Guru

Syahdan, dikeraton Tejamaya atau Bale Mercukundamanik yaitu istana para dewa, disana Batara Guru sedang berunding de-ngan Batara Narada, membicarakan Kahyangan Suralaya goncang. Biasanya kalau Kahyangan Suralaya goncang pasti ada manusia (ti-tah) yang masuk Kahyangan Suralaya. Belum selesai pembicaraan datang Batara Brama untuk melaporkan kejadian di Repat Kepanas-an, bahwa ada raja dari negara Sela Gringging yang bernama Prabu Sumaliawan naik ke Suralaya mau melamar Batari Sri Widowati. Ba-tara Guru memerintahkan kepada Batara Brama pergi ke Kahyangan Nilawindu untuk memanggil Batara Wisnu. Batara Brama berangkat, tidak beberapa lama lalu kembali lagi bersama Batara Wisnu. Batara Guru bertanya kepada Batara Wisnu, apa Batara Wisnu masih cinta kepada Batari Sri Widowati istrinya, Batara Wisnu menjawab bahwa dia sangat mencintai istrinya. Lalu Batara Guru memerintahkan ke-pada Batara Wisnu untuk menangkap Prabu Sumaliawan yang akan melamar Batari Sri Widowati. Berangkatlah Batara Wisnu ke Repat Kepanasan untuk menghadapi Prabu Sumaliawan dengan diiringi Batara Brama.

Page 261: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

244

Gambar 3.28 Batara Brama

Melihat kedatangan Batara Wisnu bersama Batara Brama, para Dorandara yang sudah terdesak oleh Prabu Sumaliawan mera-sa sangat senang dan segera memberi jalan kepada Batara Wisnu. Setelah berhadapan antara Batara Wisnu dengan Prabu Sumali-awan, Batara Wisnu memperkenalkan diri, bahwa dia suami dari Ba

tari Sri Widowati, juga mengi-ngatkan kepada Prabu Suma-liawan supaya jangan sampai meneruskan niatnya membo-yong Batari Sri Widowati. Ka-lau bersedia maka para dewa akan memaafkan kesalahan Prabu Sumaliawan asalkan segera kembali ke alam mer-capada. Mendengar kata-kata Batara Wisnu, Prabu Sumali-awan tertawa terbahak-bahak, karena dia bisa bertemu sen-diri dengan Batara Wisnu su-ami Batari Sri Widowati. De-ngan lantang Prabu Sumali-awan mengatakan akan me-rebut Batari Sri Widowati dari tangan Batara Wisnu. Mende-ngar jawaban Prabu Sumali-awan Batara Wisnu sangat Gambar 3.29 Batara Wisnu

Page 262: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

245

murka, sehingga terjadilah peperangan. Batara Wisnu berperang melawan Prabu Sumaliawan, sedangkan para Dorandara melihat dari kejauhan. Perang sangat seru karena sama-sama digdaya, Ba-tara Wisnu tidak mempan senjata tajam, begitu pu la Prabu Sumali-awan Prabu Sumaliawan mengeluarkan aji Petak, tetapi Batara Wis-nu juga punya aji Petak, perang tanding terjadi sangat ramai dan sa-ngat dasyat sama-sama sakti dan sama-sama digdaya, peperangan terjadi beberapa hari tanpa henti siang dan malam. Pada suatu hari sama-sama kelelahan sehingga bersepakat untuk menghentikan pe-perangan. Prabu Sumaliawan mundur dipapak oleh kakaknya yaitu Prabu Mangliraja, sedangkan Batara Wisnu pergi ke Kahyangan As-marawati me-nemui istrinya yaitu Batari Sri Widowati. Di ceritakan ke da tangan Batara Wisnu di Kahyangan Asmarawati disambut oleh sang istri dengan mesra, karena sudah lama Batara Wisnu tidak ber-kunjung ke kahyangan Asmarawati.

Setelah menghilangkan rasa rindu Batara Wisnu lalu berta-nya kepada istrinya, apakah Batari Sri Widowati betul-betul cinta ke-pada Batara Wisnu. Pertanyaan Batara Wisnu tidak dijawab oleh ucapan, tetapi dijawab oleh rangkulan mesra Batari Sri Widowati ke-pada suaminya. Batara Wisnu lalu menceritakan kejadian di Repat Kepanasan, bahwa dia baru saja berperang mempertahankan Batari Sri Widowati, karena Batari Sri Widowati dilamar oleh Prabu Mangli-raja raja dari negara Sela Gringging di mercapada, mau dijadikan prameswari. Mendengar cerita Batara Wisnu, Batari Sri Widowati merangkul suaminya sambli menangis, dia berkata daripada pisah

dengan Batara Wisnu lebih baik mati. Batara Wisnu bercerita bahwa Prabu Sumaliawan sangat sakti, segala ke-saktian Batara Wisnu sudah dikerah-kan, tetapi belum bisa mengalahkan Prabu Sumaliawan, oleh sebab itu Batara Wisnu minta tolong kepada Batari Sri Widowati supaya pergi ke Kahyangan Suralaya untuk mengha-dap ke Batara Guru dan meminta pu-saka ampuh untuk membunuh Prabu Sumaliawan, Batari Sri Widowati ber-sedia, lalu pergi Kahyangan Sura-laya. Syahdan, dikeraton Tejamaya Batara Guru sedang dihadap Batara Narada menerima kedatangan Batari Sri Widowati, dia berkata terus terang bahwa dia disuruh suaminya untuk meminta pusaka ampuh dari Batara Guru. Gambar 3.30 Sriwidowati

Page 263: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

246

Melihat kedatangan Batari Sri Widowati, Batara Guru me-rasa muak dan tidak senang, sehingga perkataan Batari Sri Wido-wati tidak dijawab, malah Batara Guru meludah dihadapan Batari Sri Wido-wati. Batari Sri Widowati melihat ludah kenthal (riak: bhs Jawa) dihadapanya, diambil lalu dibawa pulang ke Kah-yangan Asmarawa-ti. Batara Narada melihat kejadian itu dia merasa kasihan kepada Batari Sri Widowati, lalu mengiringkan ke Kahyangan Asmarawati. Setelah sampai di Khayangan Asmarawati, segera Batari Sri Wido-wati menghadap suaminya, lalu menghaturkan ludah Batara Guru kepada Batara Wisnu. Melihat kejadian itu Batara Wisnu sangat ma-rah, sebelum bertindak datanglah Batara Narada untuk menjelaskan kejadian di Kahyangan Tejamaya. Tujuan Batari Sri Widowati pergi ke hadapan Batara Guru adalah minta pusaka ampuh, dan sudah di-berikan, maka ludah yang berada ditangan Batari Sri Widowati diam-bil oleh Batara Narada lalu dipuja, setelah beberapa lama, ludah yang ada ditangan Batara Narada berubah menjadi pusaka yang berbentuk bulat bergerigi yang mempunyai ketajaman seribu tajam. Pusaka tersebut diberi nama Cakra. Cakra lalu diberikan kepada Ba-tara Wisnu dan berangkatlah Batara Wisnu pergi ke Repat Kepana-san untuk menghadapi Prabu Sumaliawan. Setelah berhadapan, lalu dimulailah perang tanding segala ilmu dan kadigdayan semua dikelu-arkan, tetapi sama-sama sakti, lalu Batara Wisnu mundur untuk mempersiapkan pusaka Cakra, setelah siap Cakra dilepaskan me-ngenai tubuh Prabu Sumaliawan sehingga badan menjadi hancur le-bur, pusaka Cakra terus melesat. Prabu Mangliraja yang tadinya mengawasi Prabu Sumaliawan dari kejauhan, terserempet Cakra kaki kirinya patah, badannya melesat jatuh di negara Sela Gringging.

Diceritaka setelah ingat bahwa Prabu Mangliraja sudah be-rada di alam mercapada, Prabu Mangliraja meskipun sangat kesakit-an karena kaki kirinya putus, tetapi dia bersyukur karena masih hi-dup, lalu dia memohon kepada dewa, Prabu Mangliraja rela mati ka-lau sudah menata anak-anaknya. Prabu Mangliraja lau mengumpul-kan ketiga anaknya, yaitu Dewi Sukesi, Raden Prahastha dan Raden Jambumangli. Ketiga anaknya lalu diajak pergi ke negara Sunggela mau dititipkan kepada kakaknya yaitu Prabu Citrabaya. Akan tetapi setelah sampai di istana kerajaan Sunggela ternyata Prabu Citraba-ya sudah pergi ke Pertapaan Gajah Mungkur untuk bertapa, maka Prabu Mangliraja bersama ketiga anaknya menyusul ke Pertapaan Gajah Mungkur. Setelah menghadap Prabu Citrabaya yang bergelar Begawan Misrawa (Sarwa), Prabu Mangliraja menitipkan ketiga pu-tranya supaya di didik Begawan Sarwa. Begawan Sarwa dengan se-nang hati menerima ketiga putra Prabu Mangliraja yang sudah di-anggap anaknya sendiri. Sesuai dengan sumpahnya, setelah meni-tipkan ketiga anaknya kepada Begawan Sarwa untuk diberikan pen-didikan, Prabu Mangliraja menghembuskan nafas terakhirnya di Per-tapaan Gajah Mungkur. Lalu jasadnya diperabukan sesuai dengan

Page 264: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

247

kepercayaannya dan dicandikan digunung Gajah Mungkur dekat de-ngan Pertapaan Gajah Mungkur.

Setelah beberapa hari sejak kematian Prabu Mangliraja Be-gawan Sarwa atau Prabu Citrabaya memanggil Dewi Sukesi calon menantunya, akan diberikan wejangan ngilmu Sastra Jendra Hayu-ningrat Pangruating Diyu supaya menjadi putri yang pinunjul. Setelah segala persiapan sudah selesai pada suatu malam Dewi Sukesi di-panggil Begawan Sarwa ke dalam sanggar pamujaan hanya berdua, tidak boleh ada yang mendengar dan melihat wejangan Begawan Sarwa, karena menyangkut wejangan ngilmu gaib. Syhadan, bersa-maan Begawan Sarwa memberikan wejangan kepada Dewi Sukesi tentang ilmu Sastra Jendra Hayuningrat Pangruating Diyu. Dalam perjalanan Batara Guru bertemu dengan Batari Durga, bekas istrinya yang disuruh bertapa di Kahyangan Setra Ganda Mayit karena ber-salah yaitu berani memberi makan Batara Kala tanpa berunding de-ngan Batara Guru sebagai suaminya. Mengingat sewaktu menjadi suami istri dulu belum puas bercinta kasih, maka Batara Guru ingin melanjutkan rasa cintanya kepada Batari Durga, tetapi meminjam badan manusia, Batari Uma diajak Batara Guru untuk meramaikan jagad, Batari Durga sanggup, lalu berjalan bersamaan sampai di gu-nung Gajah Mungkur. Kebetulan waktu itu Begawan Sarwa sedang memberikan wejangan kepada Dewi Sukesi, dan hanya berdua di dalam sanggar pamujan.

Batara Guru segera memasuki badan Begawan Sarwa, se-telah dimasuki Batara Guru, pemikiran Begawan Sarwa seketika ber-ubah yang tadinya menganggap Dewi Sukesi sebagai anak sekali-gus calon menantu, sekarang Begawan Sarwa memandang Dewi Sukesi seperti melihat istrinya dan melupakan wejangannya. Setelah melihat perubahan Begawan Sarwa, Dewi Sukesi kaget lalu bertanya ada apa sebenarnya, Begawan Sarwa kok berubah cara meman-dangnya kepada Dewi Sukesi, Begawan Sarwa lalu menggoda Dewi Sukesi untuk diajak bercinta, Dewi Sukesi menolak ajakan Begawan Sarwa, karena disamping dia sebagai murid Begawan Sarwa, dia ju-ga calon istri Raden Daneswara putranya.

Akan tetapi Begawan Sarwa memaksa, Dewi Sukesi akan diperkosa, Dewi Sukesi meronta, kepala Begawan Sarwa dipukul se-puluh kali (10 x) setelah itu Batari Durga turun dari angkasa mema-suki badan Dewi Sukesi. Setelah dimasuki oleh Batari Durga, Dewi Sukesi dengan senang hati meladeni kemauan Begawan Sarwa un-tuk bercinta kasih sebagai suami istri. Setelah puas melakukan hu-bungan sebagai suami istri, Batara Guru dan Batari Durga pergi me-ninggalkan badan Begawan Sarwa dan Dewi Sukesi. Setelah diting-galkan Batara Guru dan Batari Durga, Begawan Sarwa dan Dewi Su-kesi merasa menyesal mengingat apa yang dilakukannya. Akan teta-pi menyesal kemudian tak berguna, karena Dewi Sukesi sudah me-ngandung.

Page 265: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

248

Gambar 4.1 Dasamuka

Setelah lama mengandung, Dewi Sukesi melahirkan se-orang putra yang diberi nama Raden Dasamuka, berwujud satriya setengah Raksasa. Setelah Raden Dasamuka berumur dua tahun, dan mulai bisa berlari-lari, Begawan Sarwa ingat bahwa dulu mem-berikan wejangan kepada Dewi Sukesi belum selesai, maka me-manggil Dewi Sukesi unruk memberi wejangan berikutnya agar sem-purna. Maka setelah mengadakan persiapan di hari yang sudah di-tentukan, Begawan Sarwa dan Dewi Sukesi masuk ke dalam sang-gar pamujaan. Tetapai setelah di dalam sanggar, Batara Guru ma-suk lagi ke dalam tubuh Begawan Sarwa sehingga Begawan Sarwa ingin bercinta lagi dengan Dewi Sukesi, Dewi Sukesi tidak mau dan mengingatkan lagi kepada Begawan Sarwa kejadian tempo dulu, te-tapi Begawan Sarwa memaksa. Dewi Sukesi berontak sambil me-mgang telinga Begawan Sarwa dijewer-jewer, setelah itu Batari Dur-ga memasuki badan Dewi Sukesi, sehingga Dewi Sukesi mau untuk

Page 266: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

249

di ajak bercinta. Setelah puas melakukan hubungan suami istri, Ba-tara Guru dan Batari Durga meninggalkan badan Begawan Sarwa dan Dewi Sukesi, Begawan Sarwa dan Dewi Sukesi menyesal lagi, tetapi sudah terlanjur mengandung. Setelah cukup waktu mengan-dung, Dewi Sukesi melahirkan putra berwujud raksasa telinganya le-bar, diberi nama Raden Amba Karana atau Kumbakarna. Setelah Raden Kumbakarna sudah bisa berjalan, Begawan Sarwa ingin me-neruskan wejangannya kepada Dewi Sukesi. Begitu Begawan Sarwa dan Dewi Sukesi masuk ke dalam sanggar pamujan, Batara Guru memasuki badan Begawan Sarwa, sehingga timbul hasrat dan bira-hinya terhadap Dewi Sukesi, Dewi Sukesi akan diperkosa dan me-ronta, rambut Begawan Sarwa di jambak-jambak hingga terurai berai (modal-madul) tak karuan, lalu Batari Durga memasuki badan Dewi Sukesi, sehingga Dewi Sukesi bersedia meladeni kemauan Bega-wan Sarwa untuk bercinta kasih. Setelah terpuaskan hasratnya un-tuk bercinta kasih, Batara Guru dan Batara Guru meninggalkan ba-dan mereka. Batara Guru kembali ke Kahyangan Suralaya, Batari Durga kembali ke Kahyangan Setra Gandamayit. Sedangkan Dewi Sukesi melahirkan seorang putri berwujud raksasa perempuan (ra-seksi) lalu diberi nama Dewi Sarpakenaka.

Setelah mempunyai tiga orang putra, Begawan Sarwa sa-ngat menyesal mengenang apa yang telah terjadi dan yang diperbu-atnya. Dia sampai lupa dan meninggalkan laku seorang pendita yang pinunjul. Ketika melihat ketiga putranya yang sedang bermain dan melihat Dewi Sarpakenaka yang bisa berjalan, Begawan Sarwa ingat kepada putranya, bupati Tanda Waru yaitu Raden Daneswara. Maka Begawan Sarwa memanggil Dewi Sukesi untuk diajak berunding, ba-gaimana kalau Dewi Sukesi di hantar ke Tanda Waru untuk dijodoh-kan dengan Raden Daneswara. Gambar 4.2 Begawan Sarwa dan Dewi Sukesi

Page 267: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

250

Dewi Sukesi menurut apa kata Begawan Sarwa. Maka De-wi Sukesi dirias dengan dandanan secantik mungkin dan diberi man-tra-mantra oleh Begawan Sarwa supaya kelihatan seperti perawan lagi.Setelah waktu yang ditentukan telah tiba maka Dewi Sukesi di-hantarkan Begawan Sarwa ke Dalem Tandawaru, akan tetapi sebe-lum berangkat, datanglah Raden Jambumangli dan Raden Prahasta adik Dewi Sukesi menghadap kepada Begawan Sarwa. Dia tidak te-rima kalau kakaknya dipermainkan Begawan Sarwa, maka Begawan Sarwa harus dihukum. Begawan Sarwa akan dihajar oleh Raden Prahasta dan Raden Jambumangli, tetapi belum sampai kedua satri-ya itu bergerak, Begawan Sarwa berkata “tindakan Raden Prahasta dan Raden Jambumangli yang berani kepada orang tua seperti itu bukan sifatnya manusia tetapi raksasa.

Maka seketika itu juga keduanya berubah menjadi raksasa seperti apa yang diucapkan Begawan Sarwa. Kedua satriya tersebut menyesal dan mengakui kesalahannya dan meminta maaf kepada Begawan Sarwa, mohon untuk dikembalikan seperti wujud asalnya, tetapi apa daya nasi sudah menjadi bubur, Begawan Sarwa tidak sanggup dan tidak bisa mengembalikan wujud mereka seperti sedia-kala. Begawan Sarwa menyarankan agar Raden Prahasta pergi kembali ke negara Sela Gringging dan Raden Jambumangli pergi ke kerajaan Sunggela, supaya dijadikan Patih di kerajaan Sunggela. Keduanya lalu berangkat, Begawan Sarwa dan Dewi Sukesi juga be-rangkat ke Kadipaten Tandawaru.

Raden Daneswara menerima kedatangan ayahnya dan ca-lon istrinya, yaitu Begawan Sarwa dan Dewi Sukesi, keduanya diteri-ma dengan sangat hormat, setelah Dewi Sukesi dipsrahkan kepada Raden Daneswara untuk diperistri, Begawan Sarwa mohon diri kem-bali Pertapan Gajah Mungkur. Setelah Begawan Sarwa pergi Raden Daneswara dan Dewi Sukesi hanya berdua, melihat keadaan Dewi Sukesi sebetulnya Raden Daneswara sudah menduga bahwa Dewi Sukesi sudah tidak perawan lagi, tetapi perasaan itu ditutupi, lalu ia bertanya kepada Dewi Sukesi, apakah Dewi Sukesi betul-betul ma-sih perawan seperti yang dituturkan Begawan Sarwa. Mendapat per-tanyaan yang tiba-tiba itu, Dewi Sukesi tersipu malu memandang ke wajah Raden Daneswara, tidak terasa keluarlah air mata dari Dewi Sukesi, dengan dada terasa sesak karena merasa malu, maka Dewi Sukesi berterus terang kepada Raden Daneswara, bahwa dia sudah tidak perawan lagi dan sudah mempunyai tiga orang anak hasil hu-bungannya dengan Begawan Sarwa. Mendengar jawaban Dewi Su-kesi, Raden Daneswara lalu turun dari singgasana, menyembah ke-pada Dewi Sukesi yang dianggap sebagai ibunya sendiri. Lalu Ra-den Daneswara mengadakan persiapan untuk mengantar Dewi Su-kesi ke Pertapan Gajah Mungkur.

Di Pertapan Gajah Mungkur, Begawan Sarwa sedang diha-dap ketiga anaknya yaitu Raden Dasamuka, Raden Kumbakarna,

Page 268: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

251

dan Dewi Sarpakenaka. Melihat kedatangan Raden Daneswara dan Dewi Sukesi, Begawan Sarwa terkejut, belum hilang keterkejutannya lalu Raden Daneswara maju menghajar Begawan Sarwa. Begawan Sarwa tidak melawan karena marasa bersalah. Dari angkasa turun-lah Batara Narada untuk melerai pertengkaran anak dan bapak itu. Batara Narada menyalahkan Begawan Sarwa, karena berani meng-goda calon menantunya sampai mempunyai tiga orang anak, tetapi hal itu sudah menjadi kehendak raja para dewa. Raden Daneswara juga disalahkan oleh Batara Narada karena berani memukul orang tuanya sendiri. Begawan Sarwa dan Raden Daneswara meminta maaf kepada Batara Narada, Batara Narada berkata “untuk mene-bus dosa, maka Begawan Sarwa harus tetap mengawini Dewi Suke-si, sekaligus mendidik ketiga putranya dengan baik. Sedangkan Ra-den Daneswara disuruh bertapa di tepi Bengawan Silugangga. Lalu Batara Narada kembali ke Kahyangan Suralaya. Setelah Batara Na-rada pergi, Raden Daneswara meminta maaf kepada Begawan Sar-wa atas kesalahan yang sudah dilakukannya, sekaligus memohon diri untuk bertapa di tepi Bengawan Silugangga.

Diceritakan, pada saat Raden Daneswara bertapa di tepi sungai Gangga, kedatangan Batara Bayu, dan memberikan putrinya yang bernama Batari Bayuwati untuk diperistri Raden Daneswara, dan juga diberikan kendaraan dewata berupa kereta yang bisa berja-lan di angkasa yaitu kereta Jaladara. Lalun Raden Daneswara ber-sama istrinya yaitu Batari Bayuwati pulang ke Kadipaten Tandawaru dengan naik kereta Jaladara. Setelah sampai di Dalem Tandawaru keduanya hidup tenang, rukun, dan damai.

Begawan Sarwa merasa prihatin dan menyesali kesalahan-nya di masa lalu. Dia selalu tekun bersemedi dan selalu minta maaf kepada Tuhan atas semua dosa-dosa yang telah biperbuatnya. Ber-selang beberapa bulan, Dewi Sukesi mengandung lagi. Setelah ge-nap waktu kandungannya, Dewi Sukesi melahirkan seorang bayi yang tampan dan tanpa cacat diberi nama Raden Gunawan Kunta Wibisana. Setelah ke empat putranya sudah berangkat dewasa, Be-gawan Sarwa mengajak anak-anaknya pergi ke negara Sunggela. Ke empat putranya dititipkan ke Prabu Misrahwana untuk di didik il-mu kenegaraan dan ilmu keprajuritan, di mana Prabu Misrahwana adalah anak tertua Begawan Sarwa. Setelah menitipkan ke empat putranya, Begawan Sarwa kembali ke Pertapan Gajah Mungkur un-tuk melanjutkan bertapa. 5.4.2 Berdirinya Kerajaan Maespati

Di Kahyangan Suralaya, Batara Guru sedang dihadap Bata-ra Narada dan para Dorandara, sedang membicarakan tentang Pa-lau Slaka Tanah Indukeling yang sudah berubah menjadi Negara Alengka dan yang menjadi raja di sana adalah Prabu Dasamuka (Rahwana) titisan Raden Rasa Sejati yang terkenal mempunyai ke-

Page 269: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

252

digdayaan dan kesaktian yang luar biasa. Di alam mercapada taka ada yang sanggup menandingi kesaktian Prabu Dasamuka. Batara Guru lalu memanggil Batara Wisnu sebagai senapati di Kahyangan Suralaya. Setelah Batara Wisnu menghadap, Batara Guru memberi dua pertanyaan, lalu disuruh memilih. Pertanyaan tersebut adalah enak pungkasane lara, artinya hidup enak berakhir sengsara, atau lara pungkasane enak, artinya sengsara dahulu senang kemudian.

Di beri pertanyaan tersebut Batara Wisnu memilih yang no-mer dua (2), setelah menentukan pilihannya, Batara Guru lalu me-merintahkan kepada Batara Wisnu beserta Batari Sri Widowati, dan juga Batara Basuki yaitu kakak Batara Wisnu untuk turun ke alam mercapada menggelar jaman Tirtalaya, untuk mengimbangi kesak-tian Prabu Dasamuka.

Batara Wisnu menyanggupi, lalu mohon diri untuk kembali ke Kahyangan Nilawindu atau Kahyangan Batralaut. Batara Wisnu memanggil kakaknya yaitu Batara Basuki dan Batari Sri Widowati la-lu keduanya diajak turun ke alam mercapada untuk menggelar jaman Tirtalaya. Di tengah perjalanan Batara Wisnu bertemu dengan Se-mar dan Bagong lalu keduanya diajak bersama-sama di hutan Indra-sana. Di ceritakan, pada waktu yang bersamaan, Prabu Dasamuka sedang mengelilingi wilayah Negara Alengka dengan cara terbang di udara, dari kejauhan Prabu Dasamuka melihat cahaya yang menyi-laukan lalu didekati, setelah dekat cahaya tersebut keluar dari ketiga dewata yang baru turun Kahyangan Suralaya yaitu Batara Wisnu, Batara Basuki, dan Batari Sri Widowati. Melihat kecantikan Batari Sri Widowati, Prabu Dasamuka teringat bahwa ia adalah titisan Raden Rasa Sejati. Gambar 4.3 Kumbakarna

Page 270: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

253

Gambar 4.4 Sarpakenaka dan Wibisana

Maka dari itu tanpa rasa takut dan malu Prabu Dasamuka meminta supaya Batari Sri Widowati mau menjadi istrinya. Mende-ngar perkataan Prabu Dasamuka, Batara Wisnu marah, terjadilah peperangan antara Batara Wisnu melawan Prabu Dasamuka. Mere-ka berperang dengan menggunakan kesaktian masing-masing, teta-pi keduanya sama-sama sakti dan digdaya, sehingga sampai bebe-rapa lama berperang dan belum kelihatan siapa yang menang dan siapa yang kalah. Lalu Batara Wisnu meminta waktu sebentar untuk bertanya kepada Batari Sri Widowati dia mau apa tidak seumpama di peristri oleh Prabu Dasamuka Prabu Dasamuka mengijinkan lalu bendera perang dirobohkan. Batara Wisnu lalu memanggil istrinya, keduanya bersemedi untuk menciptakan gambaranya masing-ma-sing.

Setelah selesai, gambar tersebut ditukar, Batara Wisnu membawa gambar Batari Sri Widowati, sedangkan gambar Batari Sri Widowati di bawa Batara Wisnu, lalu keduanya bersumpah, besuk kalau sudah menjadi manusia, Batari Sri Widowati tidak akan ber-suami kecuali calon suaminya nanti sama dengan gambar yang telah dibawanya, yaitu gambar Batara Wisnu, begitu pula sebaliknya de-ngan Batara Wisnu. Batari Sri Widowati lalu disuruh berlari manjauhi hutan Indrasana. Setelah Batari Sri Widowati pergi, semar dan Ba-gong dipanggil oleh Batara Wisnu, keduanya disuruh mencari satriya yang mempunyai drajat calon raja, keduanya lalu mohon diri. Setelah mempersiapkan segalanya, Batara Wisnu lalu menemui Prabu Dasa-muka, dia berkata bahwa Batari Sri Widowati tidak mau di peristri oleh Prabu Dasamuka yang berwatak angkara. Mendengar perkata-an Batara Wisnu, Prabu Dasamuka menjadi murka kepada Batara Wisnu, sehingga terjadi peperangan lagi, dalam peperangan itu se-

Page 271: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

254

mua pusaka sudah tidak berguna karena keduanya tidak mempan dengan senjata, lalu keduanya bergulat dan berguling di tanah, da-lam pergulatan itu gambar Batari Sri Widowati yang di bawa Batara Wisnu hilang entah kemana rimbanya, karena kalah besar, Batara Wisnu dapat dipegang oleh Prabu Dasamuka, lalu dilempar jauh dan jatuh di dekat Bangunan yang semuanya terbuat dari besi (Gedong waja). Setelah bangun, Batara Wisnu teringat bahwa bangunan Ge-dong waja itu buatanya sewaktu dulu melawan Keboandanu. Sambil masuk ke dalam Gedong waja, Batara Wisnu menantang Prabu Da-samuka dari kajauhan. Mendengar tantangan Batara Wisnu, Prabu Dasamuka tambah murka, dia mengambil limpung Candrasa, Ge-dong waja dipukuli dengan senjata limpung Candrasa dari luar, kare-na bangunan itu terbuat dari baja pilihan, maka senjata limpung tidak mampu merobohkannya hingga Prabu Dasamuka kelelahan.

Melihat Prabu Dasamuka yang kelelahan, terdengar suara dari dalam Gedong Waja Batara Wisnu bersabda kepada Prabu Da-samuka, sebenarnya Prabu Dasamuka memukuli Gedong waja itu salah, sebab yang dicari adalah Batari Sri Widowati, sedangkan se-karang Batari Sri Widowati sudah berlari jauh dari hutan Indrasana, mendengar perkataan Batara Wisnu, Prabu Dasamuka lalu pergi meninggalkan Gedong waja, berlari mengejar Batari Sri Widowati. Batari Sri Widowati berlari dan di buru oleh Prabu Dasamuka hingga sampai ke negara Sela Perwata, sedangkan gambar Batara Wisnu yang dibawanya telah hilang tak tahu kemana rimbanya. Batari Sri Widowati saking takutnya, jangan sampai tertangkap oleh Prabu Da-samuka, Batari Sri Widowati lalu masuk ke dalam pucuk (menur) ga-pura yang ada di wilayah Negara Sela Perwata. Melihat kejadian itu, Prabu Dasamuka lalu memanggil raksasa Kala Darimuna dan Kala Darumkala, keduanya adalah raksasa pengikut Prabu Dasamuka yang sangat setia. Kedua raksasa tersebut di suruh mengawasi Ba-tari Sri Widowati yang berada di dalam menur gapura Sela Perwata, sewaktu-waktu Batari Sri Widowati pindah dari tempatnya, kedua raksasa tersebut di suruh melapor kepada Prabu Dasamuka. Se-dangkan Prabu Dasamuka sendiri pulang ke Negara Alengka sebab sudah lama meninggalkan kerajaan.

Di Pertapan Cendana Setilar, Begawan Jamanendra se-dang di hadap oleh ketiga anaknya, yaitu Raden Kertawirya, raden Kerta Gunawan, Raden Kerta Suwaja. Begawan Jamanendra ber-sabda kepada ketiga putranya, bahwa ketiganya sudah cukup men-dapatkan pelajaran dari Begawan Jamanendra, oleh sebab itu ketiga putranya disuruh turun gunung untuk mengamalkan ilmu yang sudah didapatnya. Lalu ketiganya mohon diri untuk turun gunung.

Di perjalanan, ketiga satriya tersebut bertemu dengan Se-mar dan Bagong yang kebetulan disuruh Batara Wisnu mencari bibit calon raja, lalu ketiganya di ajak menghadap kepada Batara Wisnu. Di tangah hutan Indrasana, Batara Wisnu menerima kedatangan Se-

Page 272: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

255

mar dan Bagong yang di ikuti oleh ketiga orang satriya yang sangat tampan. Batara Wisnu menerima ketiganya dengan baik, maka sete-lah perkenalan, Batara Wisnu lalu bersemedi meminta kepada dewa-ta Agung supaya dikabulkan oleh dewata. Hutan Indrasana yang ta-dinya ditumbuhi oleh pepohonan yang lebat, seketika itu juga menja-di bentuk bangunan negara yang lengkap dengan segala isinya, lalu negara tersebut di beri nama: Negara Maespati. Karena Raden Ker-tawirya adalah saudara yang tertua di antara ketiga bersaudara, ma-ka Raden Kertawirya di angkat menjadi raja pertama dengan gelar Prabu Kertawirya. Raden Kerta Gunawan menjadi patih di Negara Maespati bergelar Patih Gumiyatmaja. Sedangkan Raden Kerta Su-waja tidak mau menjadi pejabat negara dia ingin menjadi brahmana seperti ayahnya yaitu Begawan Jamanendra. Raden Kerta Suwaja lalu diperintahkan untuk menebang pohon jati (babat alas jati) yang tak jauh dari Negara Maespati. Setelah di tebang di dirikan sebuah bangunan pertapaan yang di beri nama Pertapaan Jatisrana atau pertapan Sulingga. Raden Kerta Suwaja menjadi brahmana bergelar Begawan Suwaja. Batara Wisnu akhirnya dapat menemukan calon ratu agung yang mampu dan sanggup membasmi sifat angkara mur-ka, karena angkara murka telah merusak jagad raya. Setelah mem-persiapkan segalanya, Batara Wisnu lalu mohon diri untuk kembali ke Kahyangan Nilawindu, sedangkan Semar dan Bagong ikut Prabu Kertawirya sebagai abdi dalem sekaligus sebagai pamong. Gambar 4.5 Begawan Suwaja

Page 273: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

256

5.4.3 Lakon Icir Keraton (Berdirinya Negara Hastina). Sumber Buku “ Layang Kandha Kelir” serial Mahabharata.

Di istana negara Gilingwesi, Prabu Resapada sedang diha-

dap oleh Patih Gentayasa atau Gentawiyasa, beserta para pung-gawa sedang membahas adik Prabu Respada yang bernama Dewi Resweni yang dianggap sebagai perawan tua, meskipun banyak yang melamar tetapi belum mau berumah tangga. Selain itu, mereka membicarakan kedua anak Prabu Respada yang bernama Dewi Reswati, dan Dewi Resawulan yang sudah berangkat dewasa serta telah banyak yang melamar, tetapi kedua putri itu belum juga mau di-kawinkan sehingga membuat sedih Prabu Respada. Belum selesai

berbicara tiba-tiba ada ta-mu bernama Raden Kus-wanalendra yang berniat meminta-minta kursi sing-gasana yang sedang didu-duki Prabu Respada. Ra-den Kuswanalendra keluar dan Prabu Respada me-nyuruh Patih Genthayasa untuk mengusir Kuswana-lendra karena meminta kursi yang di dudukinya di negara Gilingwesi. Patih Gethayasa keluar istana diikuti oleh para wadyaba-la. Sesampai di Alun-alun, Patih Genthayasa mene-mui Kuswanalendra dan menghimbau agar segera meninggalkan negara Gi-lingwesi supaya tidak me-nimbulkan keributan.

Raden Kuswanalendra tidak bersedia pergi, bahkan berte-rus terang bahwa kedatangannya ini ingin menjadi raja di Negara Gi-lingwesi. Mendengar jawaban Raden Kuswanalendra, Patih Gentha-yasa sangat marah, sehingga terjadi pertempuran antara Patih Gen-thayasa melawan Raden Kuswanalendra. Patih Genthayasa kewa-lahan meladeni kesaktian Raden Kuswanalendra, segera ia menyi-apkan wadyabala. Raden Kuswanalendra dibantu oleh Raden Ber-janggapati, semar dan bagong. Raden Berjanggapati melepaskan pusaka neraca bala, sehingga terjadi hujan anak panah di alun-alun Negara Gilingwesi menghujani dan menyerang para wadyabala Ne-gara Gilingwesi. Akibatnya, banyak wadyabala yang tewas dan terlu-ka. Wadyabala Negara Gilingwesi mundur, namun terus diburu oleh

Gambar 4.6 Kuswanalendra

Page 274: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

257

Raden Kuswanalendra beserta Raden Berjanggapati sampai ke da-lam istana.

Di dalam istana Negara Gilingwesi, Prabu Respada menda-pat laporan Patih Genthayasa, bahwa para wadyabala Negara Gi-lingwesi tidak mampu menghadapi Raden Kuswanalendra dan Ra-den Berjanggapati. Prabu Respada merasa kawatir, lalu beliau me-merintahkan Patih Genthayasa untuk menyelamatkan dan mengung-sikan dewi Reswani dan segera meninggalkan istana Negara Giling-wesi. Segeralah mereka melarikan diri dari pintu rahasia.

Setelah Patih Genthayasa dan dewi reswani meninggalkan istana, Raden Kuswanalendra datang beserta Raden Berjanggapati, Semar dan Bagong. Prabu Respada di tangkap Raden Kuswanalen-dra hendak dibunuhnya tetapi segera dicegah oleh Raden Berjang-gapati Semar dan Bagong. Raden Kuswanalendra tetap pada pendi-riannya, ingin menguasai kerajaan Negara Gilingwesi. Sebelum me-laksanakan niatnya membunuh Prabu Respada, tiba-tiba datanglah dewi Resawati dan Resawulan, memohon kepada Raden Kuswana-lendra agar sudi melepaskan Prabu Respada, mereka berdua sang-gup menggantikan hukuman ayahnya. Melihat kecantikan kedua ga-dis tersebut, Raden Kuswanalendra mengurungkan niatnya untuk membunuh Prabu Respada. Sebagai gantinya dewi Resawati dan Resawulan akan dikawinkan dengan Raden Kuswanalendra dan Ra-den Berjanggapati. Kedua putri itu menyanggupinya. Akhirnya Prabu Respada diampuni, tetapi tidak berkuasa lagi di Negara Gilingwesi, Prabu Respada juga sanggup. Selanjutnya Raden Kuswanalendra menikah dengan dewi Resawati, dewi Resawulan menjadi istri Ra-den Berjanggapati. Raden Kuswanalendra menggantikan kedudukan Prabu Respada sebagai raja Negara Gilingwesi bergelar Prabu Kus-wanalendra. Melihat kajadian itu, Semar dan Bagong tidak berkenan dengan apa yang telah dilakukan oleh Raden Kuswanalendra karena telah meninggalkan watak satriya, maka Semar dan Bagong mening-galkan Negara Gilingwesi, mencari kerabat keturunan kasutapan.

Diceritakan, Patih Genthayasa yang mendapat perintah me-ngungsikan Dewi Resweni telah sampai di tengah hutan, mereka beristirahat karena kelelahan berlari. Setelah hilang rasa lelahnya Patih Genthayasa mendekati Dewi Resweni dan menyatakan cinta-nya kepada Dewi Resweni. Mendengar pernyataan Patih Genthaya-sa Dewi Resweni terkejut dan merasa risih jika berdekatan dengan Patih Genthayasa, maka Dewi Resweni melarikan diri menghindar dari Patih Genthayasa. Patih Genthayasa berusaha mengejarnya. Dalam pelarian itu, Dewi Resweni memasuki wilayah Pertapaan Te-jageni.

Di Pertapaan Tejageni, Begawan Bahusena sedang me-ngasuh putranya yang bernama Raden Bahusancana atau Raden Mandrabahu. Diceritakan, setelah Begawan Sekutrem dan Begawan Sakri meninggal dengan keadaan hilang bersama raganya (Mekrat),

Page 275: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

258

Pertapaan Tejageni menjadi kosong. Oleh karena itu, Batara Narada menurunkan putra Prabu Harjuna Wijaya yang bernama Raden Ba-husena. Semasa hancurnya negara Mahespati, Bahusena masih ke-cil. Saat ini Bahusena diserahi tugas untuk membangun Pertapaan

Tejageni dan bergelar Begawan Bahusena. Sebagai upah Bahu-sena dinikahkan dengan bida-dari yang sangat cantik berna-ma Dewi Mandrawati putri Bata-ra Sukra. Sudah menjadi ke-hendak Batara Agung, bahwa dewi Mandrawati meninggal du-nia ketika malahirkan Raden Mandrabahu. Dengan perasaan sedih Begawan Bahusena ber-usaha membesarkan Raden Mandrabahu sendirian tanpa is-trinya. Saat termenung memi-kirkan nasibnya, Begawan Ba-husena di kejutkan oleh suara orang bersendau gurau. Bega-wan Bahusena sambil meng-gend Mandrabahu mendekati suara itu. Kiranya setelah me-ninggalkan negara Gilingwesi Semar dan Bagong tersesat sampai di Pertapaan Tejageni.

Mereka berkenalan, Begawan Bahusena menyatakan, bahwa ia sebetulnya putra raja Mahespati, putra Prabu Harjuna Wija-ya yang dilahirkan oleh dewi Srinadi. Mendengar keterangan Bega-wan Bahusena, Semar dan Bagong merangkul Begawan Bahusena sambil menangis. Setelah reda tangisnya, Semar bercerita, bahwa ia dulu bekas Abdi Prabu Harjuna Wijaya. Sebetulnya Prabu Harjuna Wijaya mempunyai dua putra yang dilahirkan oleh kedua istrinya. Dewi Citrawati malahirkan Raden Kusumacitra yang sewaktu keru-suhan terjadi di selamatkan Semar dan Bagong, dan yang satu lagi Raden Bahusena yang dilahirkan oleh Dewi Srinadi, yang pada wak-tu terjadi kerusuhan masih bayi dan diberitakan hilang. Kiranya hi-langnya Raden Bahusena pada waktu itu diambil oleh dewata. Bega-wan Bahusena membenarkan cerita Semar itu setelah jelas perso-alanya. Semar dan Bagong bersedia mengikuti Begawan Bahusena bertempat tinggal di Pertapaan Tejageni. Semar dan Bagong mem-bantu mengasuh Raden Mandrabahu.

Setelah beberapa hari di Pertapan Tejageni, Semar dan Bagong dipanggil Begawan Bahusena untuk diajak berunding. Ber-hubung Raden Mandrabahu sudah besar, maka Begawan Bahusena

Gambar 4.7 Begawan Sakri

Page 276: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

259

ingin menebang hutan dan membangun suatu negara yang nantinya akan diberikan kepada Raden Mandrabahu. Semar dan Bagong sa-ngat setuju dengan rencana Begawan Bahusena itu, maka mereka segera mengadakan persiapan untuk mencari hutan mana yang hen-dak di tebang. Gambar 4.8 Bagong dan Semar

Belum sampai berangkat, tiba-tiba mereka mendengar sua-ra jeritan minta tolong. Begawan Bahusena mencari suara itu, tam-pak dari kejauhan Dewi Resweni sedang berlari dikejar Patih Gen-thayasa. Sesampai di hadapan Begawan Bahusena Dewi Resweni menangis minta pertolongan, dijelaskan bahwa ia dipaksa Patih Genthayasa hendak diperistri, maka bila Begawan Bahusena sang-gup menolong, Dewi Resweni bersedia menjadi istri Begawan Bahu-sena. Dewi Resweni lalu diajak masuk ke dalam pertapaan. Melihat Dewi Resweni ada yang menolong, Patih Genthayasa menjadi ma-rah, sehingga terjadi pertempuran antara Begawan Bahusena mela-wan Patih Genthayasa. Patih Genthayasa kalah, lalu menyerah dan minta ampun kepada Begawan Bahusena. Begawan Bahusena me-maafkan Patih Genthayasa dengan sarat Patih Genthayasa tidak bo-leh mengganggu Dewi Resweni, sebab Dewi Resweni akan menjadi

Page 277: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

260

istri Begawan Bahusena. Patih Genthayasa sanggup, lalu diampuni dan dipersilahkan tinggal di Pertapaan Tejageni. Patih Genthayasa diserahi menjaga keselamatan Dewi Resweni dan Raden Mandraba-hu, sebab Begawan Bahusena akan menebang hutan.

Begawan Bahusena meneruskan niatnya menebang hutan dibantu Semar dan Bagong. Begawan Bahusena berjalan sampai di tempat yang banyak ditumbuhi tanaman ubi (uwi) semacam ubi jalar yang pohonya melilit ke atas dan ubinya di dalam tanah. Setelah di-rasa cocok maka dimulailah pekerjaan mebabati tumbuhan uwi itu.

Diceritakan, saat tengah bekerja menebang hutan, Bega-wan Bahusena melihat dari kejauhan Dewi Resweni menggendong Raden Mandrabahu sambil menangis lalu mengadu bahwa ia di-ganggu Patih Genthayasa. Mendengar aduan istrinya, Begawan Ba-husena bangkit amarahnya. Begawan Bahusena meninggalkan hu-tan menuju Pertapaan Tejageni. Patih Genthayasa yang melihat ke-datangan Begawan Bahusena sambil marah itu menjadi sangat keta-kutan, lalu menyembah meminta maaf. Begawan Bahusena merasa kasihan melihat Patih Genthayasa seperti itu, kemudian Dewi Res-weni dipanggil dan diajak masuk ke dalam sanggar pamujan. Se-sampai didalam sanggar, Begawan Bahusena bersemedi mohon pe-tunjuk dewata lalu mengambil Daki Dewi Resweni seketika itu, mun-culah seorang putri menyerupai Dewi Resweni, putri tersebut diberi nama Dewi Reswati. Selanjutnya Dewi Reswati di ajak keluar untuk menemui Patih Genthayasa. Dewi Reswati diberikan kepada Patih Genthayasa sebagai istrinya, sehingga Patih Genthayasa sangat gembira. Begawan Bahusena memerintahkan Patih Genthayasa dan istrinya meninggalkan Pertapaan Tejageni, disuruh menebang hutan gambir, kelak jika sudah menjadi negara, seyogyanya dinamakan negara Gambir Anom.

Dengan senang hati Patih Genthayasa dan Reswati me-ninggalkan Pertapaan Tejageni. Setelah sampai di hutan gambir, hu-tan ditebang hingga akhirnya dijadikan sebuah negara, sesuai de-ngan pesan Begawan Bahusena, negara itu diberi nama negara Gambir Anom. Patih Genthayasa menjadi raja pertama bergelar Pra-bu Genthayasa.

Diceritakan setelah kepergian Patih Genthayasa dan istri-nya, Begawan Bahusena meneruskan menebang hutan hingga sele-sai, serta mengubah menjadi sebuah negara yang dinamakan nega-ra Wiratha. Raja pertama negara Wiratha adalah Raden Mandraba-hu bergelar Prabu Anom Bahusancana.

Perkawinan Begawan Bahusena dengan Dewi Resweni ju-ga membuahkan seorang putra yang bernama Raden Swandana. Untuk menjaga jangan sampai kedua anaknya berebut negara, maka Begawan Bahusena menebang hutan lagi yang di tebang adalah hu-tan pohon ingas, setelah selesai di tebang, dibangun sebuah nega-ra, dinamai negara Ngastina atau Hastina. Raja pertama di negara

Page 278: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

261

Ngastina adalah Raden Swandana bergelar Prabu Anom Sentanu Dewa.

Diceritakan, setelah berdirinya negara Wiratha dan Ngasti-na, kedua negara tersebut berkembang dengan pesat, rakyatnya se-makin banyak karena tanahnya subur, banyak masyarakat di sekitar kedua negara itu berdagang ke negara Ngastina dan menetap di sa-na serta tak kembali lagi ke negaranya termasuk para kawula di Ne-gara Gilingwesi. Banyak yang maninggalkan Negara Gilingwesi kare-na tidak senang dengan peraturan Raden Kuswanalendra yang sa-ngat sombong. Melihat rakytnya banyak pindah ke negara Ngastina

dan Wiratha, Prabu Kus-wanalendra menyiapkan pasukannya untuk menye-rang Wiratha. Sesampai di alun-alun Wiratha, Prabu Kuswanalendra dan pasu-kannya dihadang oleh Be-gawan Bahusena dan wa-dyabala negara Wiratha. Terjadilah perang yang sangat seru di alun-alun negara Wiratha, Begawan Bahusena dike-royok oleh Prabu Kuswa-nalendradan raden Berjanggapati, akan tetapi keduanya dapat di-tangkap dan di ikat oleh Begawan Bahusena. Meli-hat raja nya ditawan Be-gawan Bahusena, wadya-bala negara Gilingwesi melarikan diri ke negara-nya. Setelah Prabu Kus-wanalendra dan Raden Be janggapati ditawan mere-ka mengaku salah dan merasa bersalah kepada

Begawan Bahusena, akhirnya mereka berdua meminta pengam-punan kepada Begawan Bahusena. Begawan Bahusena merasa ka-sihan kepada mereka berdua, keduanya diampuni tetapi tidak diper-bolehkan kembali ke Negara Gilingwesi. Prabu Kuswanalendra dipe-rintahkan menebang hutan pohon Cangkring, yang banyak terdapat tawon gung. Prabu Kuswanalendra menebang pohon cangkring aki-batnya banyak lebah (tawon) yang mati tertimpa pohon, disana ada raja tawon yang bernama raja Galenggung, melihat kawulanya ba-nyak yang mati timbul amarahnya. Dia keluar dari sarangnya dan

Gambar 4.9 Berjanggapati

Page 279: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

262

menyerang Prabu Kuswanalendra. Prabu Kuswanalendra mengam-bil panah sakti lalu dilepaskan mengenai raja Galenggung dan seke-tika itu mati. Prabu Kuswanalendra marah tempat raja Galenggung dihujani panah sehingga di sekitar tempat itu banjir madu. Begawan Bahusena membantu Prabu Kuswanalendra, tempat itu di sabda menjadi kerajaan di beri nama negara Madura (Mandura), Prabu Kuswanalendra menjadi raja pertama bergelar Prabu Kuswanalendra atau Prabu Basukiswara. Raden Berjanggapati diperintahkan mene-bang hutan yang dihuni oleh burung rako (semacam burung ba-ngau), setelah menjadi rata disabda oleh Begawan Bahusena menja-di kerajaan, diberi nama negara Mandaraka. Raden Berjanggapati menjadi raja pertama ber-gelar Prabu Berjanggapati atau Prabu In-draspati. 5.4.4 Dewabrata Lahir

Di negara Wiratha Prabu Matswapati, Patih Lirbita dan para punggwa sedang membicarakan Begawan Parasara yang telah me-ninggalkan negara Wiratha membawa serta putranya yaitu Raden Kresna Dwipayana (Raden Abiyasa), sedangkan Dewi Ambarwati (Dewi Durgandini) ditinggalkan di negara Wiratha, sebab Begawan Parasara menjalani tapa Wadat (bertapa yang mencegah jangan sampai mengeluarkan sperma). Sedangkan di negara Wiratha se-dang terjadi kerusuhan yang dilakukan oleh para raja sewu yang ingin melamar Dewi Ambarwati.

Prabu Matswapati lalu memanggi bupati Sawojajar yaitu Raden Harya Kincaka dan bupati Reca Manik atau Raden Harya Kincaka Rupa. Mereka berdua diperintahkan untuk mengusir raja se-wu yang menduduki alun-alun Wiratha. Raden Kincaka dan Raden Kincaka Rupa segera melaksanakan perintah itu beserta dengan pa-ra wadyabala. Sesampainya di tengah alun-alun Raden Kincaka me-nemui Prabu Candrakilasmara pemimpin dari raja sewu. Raden Kin-caka mengatakan, bahwa sebaiknya para raja sewu segera mening-galkan negara Wiratha karena Dewi Ambarwati sekarang sudah di-peristri oleh Begawan Parasara. Mendengar perkatan Raden Kinca-ka Prabu Candrakilasmara menjadi marah, merasa bahwa ia dan ra-ja-raja sewu lainya telah dikelabui raja Wiratha, maka Prabu Candra-kilasmara ingin menghukum Raja Wiratha. Setelah mendengar per-nyataan Prabu Candrakilasmara seperti itu maka Raden Kincaka pun marah, sehingga terjadi pertempuran antara Raden Kincaka me-lawan Prabu Candrakilasmara.

Prabu Candrakilasmara sangat kerepotan menghadapi Ra-den Kincaka, maka para raja lainnya turut membantunya. Melihat pa-ra raja menyerang bersama, Raden Kincaka Rupa dan Patih Lirbita maju dengan mengerahkan wadyabala Wiratha, namun karena jum-lah prajuritnya kalah banyak dari jumlah prajurit para raja sewu, ma-ka wadyabala Wiratha terdesak mundur. Untunglah ketika wadyaba-

Page 280: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

263

la Wiratha baru saja mundur datanglah bantuan dari Raden Rajama-la dan Raden Wayuta Tunggul Wulung. Mendapat bantuan dari ke-dua satriya itu keadaan jadi berbalik, sekarang wadyabala raja sewu terdesak mundur, Raden Kincaka tidak menyia-nyiakan kesempatan. Dia mengambil gada gelas putih, dengan menaiki kuda yang sangat besar Raden Kincaka menyerbu sendirian menyeruak barisan raja sewu sehingga raja sewu banyak yang terluka dan terbunuh. Menge-tahui saudaranya banyak yang terbunuh Prabu Candrakilasmara me-merintahkan wadyabalanya untuk mundur dan meninggalkan negara Wiratha. Gambar 4.10 Sentanudewa

Setelah berhasil mengusir raja sewu dan wadyabalanya, Raden Kincaka dan saudara-saudaranya kembali ke istana. Di da-lam istana Wiratha, Prabu Matswapati menerima kedatangan Dewi Ambarwati yang menyatakan sudah kangen dengan Raden Kresna Dipayana, serta ingin menyusulnya. Dewi Ambarwati minta ijin kepa-da kakaknya untuk menyusul Begawan Parasara dan Raden Kresna Dipayana ke pertapaan Rahtawu atau Saptaarga. Dengan berat hati Prabu Matswapati mengijinkan adiknya pergi ke pertapaan Saptaar-ga. Setelah Dewi Ambarwati berangkat menuju pertapan Saptaarga, datanglah Raden Kincaka dengan ketiga saudaranya melaporkan bahwa raja sewu telah meninggalkan negara Wiratha. Raden Kinca-ka lalu diperintahkan untuk menyusul serta menjaga dari jauh perja-lanan Dewi Ambarwati menuju ke pertapaan Rahtawu. Raden Kinca-ka Rupa dan Raden Rajamala dan Raden Wayuta Tunggul Wulung

Page 281: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

264

diperintahkan sementara waktu untuk menjaga istana Wiratha. Ra-den Kincaka segera pergi meninggalkan Istana Wiratha menyusul Dewi Ambarwati.

Sementara itu di negara Ngastina, Prabu Sentanu sedang dihadap Patih Bantheng Kistawa atau Patih Dasabahu. Prabu Senta-nu sedang bersedih karena ditinggal mati oleh Dewi istrinya yaitu Dewi Sancanawulan yang meninggal dunia disaat melahirkan putra-nya yang di beri nama Raden Dewabrata. Negara Ngastina untuk se-mentara waktu diserahkan ke Patih Dasabahu, sedangkan Prabu Sentanu akan segera keluar istana untuk menghibur diri sambil me-ngasuh Raden Dewabrata yang selalu menangis minta disusui ibu-nya. Prabu Sentanu segera menggendong Raden Dewabrata me-ninggalkan negara Ngastina, diperjalanan Raden Dewabrata selalu menangis minta disusui, dia berhenti menangis hanya sewaktu tidur, setelah bangun Raden Dewabrata menangis lagi. Dalam kesedihan-nya melihat Raden Dewabrata itu, Prabu Sentanu berkata dalam ha-ti, bahwa siapa saja putri yang dapat menghentikan tangis Raden Dewabrata dan dapat memberikan air susunya untuk membesarkan Raden Dewabrata, maka ia rela memberikan negara Ngastina kepa-da putri tersebut sebagai gantinya.

Dalam perjalanan sambil melamun itu, Prabu Sentanu ber-papasan dengan Dewi Ambarwati yang sedang dalam perjalanan menuju ke Pertapaan Rahtawu. Dewi Ambarwati setelah mendengar ada anak sedang menangis, teringatlah ia pada Raden Kresna Dipa-yana. Anak tersebut dihampirinya, kebetulan payudara Dewi Ambar-wati sedang sangat sakit dan harus dikeluarkan air susunya, segera-lah Raden Dewabrata yang berada dalam gendongan Prabu Senta-nu diminta lalu digendong dan disusuinya. Raden Dewabrata menyu-su Dewi Ambarwati dengan lahap, karena telah sekian lama meng-harapkan air susu ibu. Setelah puas menyusu Raden Dewabrata te-nang kembali. Dewi Ambarwati memandang Prabu Sentanu yang berada di dekatnya, setelah itu melihat Raden Dewabrata yang ter-nyata bukan anaknya sendiri, maka Dewi Ambarwati tersadar dan terkejut seketika itu pula Raden Dewabrata yang digendongnya terle-pas dan jatuh di tanah, Raden Dewabrata menjerit kesakitan. Meli-hat Raden Dewabrata terjatuh dan menjerit kesakitan, Prabu Senta-nu marah-marah, Dewi Ambarwati dimaki-maki bahkan akan ditem-peleng. Raden Kincaka yang mengawasi dari kejauhan setelah meli-hat Dewi Ambarwati akan di tempeleng orang lain maka menjadi sa-ngat marah dan murka, sehingga tanpa bertanya, Prabu Sentanu di-tendangnya sehingga terjadi perkelahian. Selama perkelahian ber-langsung antara Prabu Sentanu melawan Raden Kincaka maka Ra-den Dewabrata digendong Dewi Ambarwati

Diceritakan kebetulan pada waktu itu, Begawan Parasara yang sedang menggendong Raden Abiyasa didampingi Semar dan Bagong sedang berada di seputar tempat pertempuran berlangsung.

Page 282: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

265

Gambar 4.11 Dewabrata Gambar 4.12 Abiyasa

Page 283: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

266

Mendengar ada keributan Begawan Parasara melihat Dewi Ambar-wati sedang menggendong putra yang seumur dengan Raden Kres-na Dipayana, dan melihat yang bertempur adalah Raden Kincaka melawan Prabu Sentanu, maka peperangan itu segera dilerai. Dije-laskan oleh Semar, bahwa sebetulnya mereka itu masih ada hubu-ngan persaudaraan. Prabu Sentanu adalah adik Prabu Mandrabahu Raja Negara Wiratha yang mempunyai dua orang anak angkat yaitu Prabu Matswapati dan Dewi Ambarwati. Dewi Ambarwati adalah istri Begawan Parasara dan Raden Kincaka adalah anak angkat Bega-wan Parasara dan Dewi Ambarwati. Dengan demikian Dewi Ambar-wati adalah kemenakan Prabu Sentanu dan Raden Kincaka adalah cucu kemenakan Prabu Sentanu, mengapa terjadi pertempuran. Prabu Sentanu lalu bercerita sebetulnya ia sedang bersedih dan pri-hatin karena ditinggal mati Dewi Sancanawulan permaesuri negara Ngastina yaitu meninggal saat melahirkan Raden Dewabrata. Beliau bersumpah, jikalau ada putri yang dapat menghentikan tangis Ra-den Dewabrata dan dapat mengasuhnya sampai dewasa, Prabu Sentanu sanggup memberikan negara Ngastina sabagai gantinya. Ternyata yang bisa menghentikan tangis Raden Dewabrata adalah Dewi Ambarwati, padahal Dewi Ambarwati adalah istri Begawan Pa-rasara.

Begawan Parasara pun bercerita, bahwa sebetulnya sejak ia meninggalkan negara Wiratha, Dewi Ambarwati telah diberi pilih-an, akan kawin lagi atau tidak, sebab Begawan Parasara mulai saat itu menjalani tapa wadat, bertekat untuk tidak mengeluarkan sperma selama-lamanya. Oleh sebab itu keputusan mau menikah atau tidak berada di tangan Dewi Ambarwati. Jikalau Prabu Sentanu merasa senang dan mau mencintai Dewi Ambarwati, Begawan Parasara me-ngijinkan, asalkan sama-sama mencintainya. Prabu Sentanu lalu bertanya pada Dewi Ambarwati, apa kiranya mau menjadi istrinya.

Dewi Ambarwati sanggup menjadi istri Prabu Sentanu, ser-ta sanggup mengasuh dan menyusui Raden Dewabrata sampai de-wasa, asalkan sesuai dengan janji Prabu Sentanu, yakni memberi-kan negara Ngastina beserta isinya sebagai ganti air susu Dewi Am-barwati, sebab air susu yang akan diberikan kepada Raden Dewa-brata adalah hak Raden Kresna Dipayana. Apakah Prabu Sentanu sanggup, dan mau berjanji, kelak kemudian hari kalau Raden Kresna Dipayana sudah cukup umur untuk menjadi raja, negara Ngastina akan diserahkan kepada Raden Kresna Dipayana. Prabu Sentanu menyanggupinya, mereka bersama-sama pergi ke negara Wiratha.

Sesampainya di negara Wiratha, Prabu Sentanu melamar Dewi Ambarwati kepada Prabu Matswapati sebagai kakaknya, lalu memberikan janji seperti yang telah disepakati. Selanjutnya, dibuat-lah surat perjanjian yang ditanda tangani oleh Prabu Matswapati, Prabu Sentanu dan Begawan Parasara dengan disaksikan oleh Ra-den Kincaka, Semar dan Bagong. Surat perjanjian tersebut disimpan

Page 284: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

267

Prabu Matswapati di istana negara Wiratha. Setelah itu Begawan Parasara minta ijin kepada Prabu Matswapati untuk kembali ke per-tapaan Saptaarga diikuti Semar dan Bagong. Begitu pula Prabu Sen-tanu minta ijin kembali ke negara Ngastina beserta dengan Dewi Ambarwati yang sudah resmi menjadi istri Prabu Sentanu.

Di tengah perjalanan pulang, Prabu Sentanu bersama istri-nya yang sedang menggendong Raden Dewabrata, mendadak diha-dang oleh Patih Bateng Kistawa yang melaporkan bahwa di alun-alun negara Ngastina sedang terjadi keributan. Ada serbuan dari ne-gara Indrapuri yang dipimpin putra Prabu Kala Segara yang bernama Prabu Sasra Marjapa dengan para wadyabala Indrapuri yang sangat banyak, bermaksud membalas dendam kepada Prabu Sentanu atas kematian Prabu Kala Segara. Mendengar laporan patih Dasabahu itu, Prabu Sentanu memerintahkan Patih Banteng Kistawa untuk me-nyiapkan wadyabala Ngastina yang ada, sedangkan Prabu Sentanu sendiri akan langsung menuju ke alun-alun negara Ngastina untuk menghadapi Prabu Sasramarjapa. Setiba di alun-alun, Prabu Senta-nu langsung menghadapi Prabu Sasramarjapa, dan terjadi perang tanding yang sangat seru antara Prabu Sentanu melawan Prabu Sa-sramarjapa, keduanya sama-sama digdaya dan sama-sama pandai memainkan berbagai macam senjata. Para wadyabala Ngastina dan wadyabala Indrapuri hanya menyaksikan jalanya peperangan dari kejauhan. Prabu Sentanu teringat akan kematian Prabu Kala Segara yang dahulu telah dibunuh oleh Begawan Bahusena yaitu ayah Pra-bu Sentanu, dengan menggunakan pusaka Wirayang. Maka Prabu Sentanu sambil mempersiapkan Pusaka Wirayang, sesudahnya se-gera dilepaskan dan mengenai dada Prabu Sasramarjapa. Prabu Sasramarjapa terkena pusaka Wirayang, terlempar jatuh ke pinggir alun-alun dan tewas seketika.

Melihat Prabu Sasramarjapa mati, wadyabala Indrapuri maju bersama ingin mengeroyok Prabu Sentanu tetapi dihadang oleh wadyabala Ngastina yang dipimpin Patih Dasabahu, sehingga terjadilah pertempuran yang sangat seru antara wadyabala Ngastina melawan wadyabala Indrapuri, karena kalah banyak jumlahnya, akhirnya wadyabala Indrapuri banyak yang terbunuh dan takluk. Prabu Sentanu mengundang semua punggawa Ngastina dan mengumumkan perkawinannya dengan Dewi Ambarwati, dilanjutkan perayaan pesta di istana negara Hastina.

Page 285: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

268

BAB VI

SABET WAYANG 6.1 Sabet

Yang dimaksud sabet yaitu gerak gerik wayang dalam ga-rapan pakeliran. Di dalam prakteknya sabet menampilkan banyak vokabuler gerak, misalnya vokabuler gerak untuk berjalan, untuk pe-rang, dan dibedakan menurut jenis manusia, raksasa, wanara, sar-bosato, perampogan/barisan, dan sebagainya. Adapun jenis gerak dalam sabet di bagi menjadi dua: yaitu gerak murni dan gerak mak-nawi.

Gerak murni adalah gerak di dalam sabet dari hasil pengo-lahan gerak wantah yang dalam pengungkapannya tidak memper-timbangkan suatu pengertian gerak dalam sabet tersebut, dan yang dipentingkan adalah faktor nilai keindahan dan kemantapan sabet-nya. Contoh: Pakeliran gaya Surakarta: sabet wayang kulit purwa adegan perang

bambangan melawan cakil, bambangan dengan gerak gendiran.

Pakeliran gaya Jawatimuran: adegan perang alusan atau perang ku-pu tarung, bambangan dengan gerakan menghindar serta kewalannya (tendang-nya menyamping).

Gerak maknawi adalah gerak wantah yang sudah digarap

dalam sabet, yang pengungkapannya mengandung suatu pengertian atau maksud di samping nilai keindahannya. Contoh pada saat ade-gan budhalan atau kapalan yaitu gerak para prajurit berkuda dengan menarik-narik tali kuda, di dalam adegan wayang perang yaitu pada gerakan membuang, membanting, menghantam, menggertak, me-nendang dan sabagainya. Adapun sabet sendiri dapat dibagi menja-di tiga bagian yaitu: tanceban, bedholan, solah. 6.2 Tanceban

Tanceban adalah posisi wayang untuk berdialog, istirahat, dan atau wayang capeng. Capeng adalah rangkaian dari gerak me-ngencangkan dodot membetulkan gelang tangan, gelang kai atau binggel dan kelat bahu yaitu perhiasan berupa gelang dikenakan pa-da lengan atas, memelintirkan kumis dan menetapkan jamang. Se-bagai alat untuk menancapkan wayang ialah batang pisang (gede-bog). Gedebog untuk pementasan wayang kulit dibagi menjadi dua

Page 286: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

269

bagian yaitu bagian atas dan bagian bawah. Bagian atas disebut siti inggil, dan bagian bawah disebut paseban. Ukuran siti inggil lebih panjang 3 kali lipat atau lebih dari panjang paseban, karena pada ba-gian siti inggil di samping kanan dan samping kiri akan ditancapakan pula wayang berjajar dari tepi jagadan kiri ke arah kiri dan dari tepi jagadan kanan ke arah kanan. Wayang yang disimping tersebut di-sebut wayang simpingan. Jagadan wayang dibatasi dengan kayon yang ditancapkan di sisi kiri dan sisi kanan dalang berjarak kurang lebih satu setengah depa tangan dalang ke kiri dan ke kanan dari po-sisi tempat duduk dalang. Gambar 4.13 Tanceban dua tokoh

Tanceban pada siti inggil atau paseban baik yang di sisi kiri atau di sisi kanan di sesuaikan dengan berdasarkan pedoman. Pe-doman tanceban dibedakan menurut kedudukan tokoh, derajat, dan umur.

Ada beberapa bagian tempat untuk menancapkan wayang yang sesuai dengan aturan serta kedudukan setiap tokoh wayang. Aturan tersebut di antaranya adalah sebagai berikut, jarak tanceban wayang berhadap-hadapan (adepan) yang paling dekat ialah dua ta-ngan wayang di acungkan hingga bersentuhan. Tanceban wayang di siti inggil, untuk kaki wayang diperkirakan rata dengan bagian dari kelir wayang yang paling atas (palemahan) yang umumnya berwarna hitam, kecuali untuk wayang yang menancap di paseban, atau pale-mahan tidak pas atau terlalu tinggi sehingga antara kaki wayang ti-dak pas terpaksa tanceban tidak dapat menempati sebagaimana yang dikehendaki. Tetapi palemahan kelir dapat ditaati pada saat

Page 287: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

270

wayang diangkat, berjalan, menari, terbang atau diperangkan. Tan-ceban tunggal di kiri atau di kanan ditancabkan kira-kira membuat sudut 600 (enam puluh derajat) dari tempat duduknya dalang. Se-dangkan tanceban wayang berhadap-hadapan lebih dari lima tokoh yang berada di sebelah kiri diusahakan nampak simetris atau seim-bang. Untuk tanceban wayang lebih dari enam atau tujuh tokoh, di-samping diusahakan simetris dan dituntut pula muka wayang nam-pak jelas dari bagian depan saja. Untuk penampilan wayang yang menggunakan kelir dalam menancapkan wayang, muka atau dahi dan kaki depan wayang diusahakan rapat menempel kelir. Hal terse-but dilakukan dengan maksud untuk menghindari jangan sampai ter-jadi bayangan rangkap. 6.3 Cepengan

Cepengan adalah cara memegang dan teknik menggerak-kan wayang secara terampil. Karena terampilnya cepengan mendu-kung keberhasilan sabet. Di dalam pedalangan ada potensi untuk menggarap isi sabet, yaitu rasa kecewa, rasa trenyuh, rasa sedih, ra-sa gembira dan lain sebagainya yang dapat ditunjukan dengan ge-rak-gerik wayang atau dengan istilah bahasa tubuh wayang. Jadi sa-bet ada pacu untuk menggarap gerak-gerik yang berbicara.

Dalam solah atau tarian wayang ternyata banyak mempu-nyai vokabuler gerak, yaitu vokabuler gerak untuk wayang berjalan, wayang menari, wayang berperang, yang kesemuanya itu dibedakan menurut bentuk, jenis dan macamnya boneka wayang, misalnya wa-yang gagah dan wayang halus atau alusan, jenis manusia, raksasa, hewan, wayang ricikan/perampogan dan sebagainya.

Vokalbuler gerak tersebut di dalam pakeliran masih perlu digarap secara terampil dan mapan kaitanya dengan unsur yang la-in, mana yang perlu dipilih disesuaikan dengan kebutuhan waktu dan keadaan wayangnya. Yang tak kalah penting adalah bahwa kualitas solah wayang tidak dikesampingkan.

Dalang harus menguasai ruang atau gawang pentas seba-gai sarana ulah sabet, sehingga dalam penampilan sabetnya tidak akan terjadi suasana-suasana lengang. Hendaknya dalang selalu dapat menjaga kedinamisan pemanggungan. Penggarapan dan pe-ngaturan tempo di dalam sabet dalam kaitanya dengan iringan perlu diutamakan, karena sangat mendukung sekali akan keberhasilan sa-bet. 6.3.1 Pedoman Cepengan

Yang dimaksud pedoman cepengan adalah aturan-aturan atau tata cara memegang wayang yang sesuai dengan jenis wa-yangnya serta kebutuhannya. Sehingga pada saat dalang meme-gang wayang atau memainkan wayang tidak lepas dari etika maupun

Page 288: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

271

estetika pakeliran. Adapun pedoman cepengan tersebut dapat dibagi menjadi empat jenis cepengan, di antaranya adalah: 6.3.2 Cepengen Nyempurit / mucuk / methit

Cepengan methit atau nyempurit adalah cepengan yang memposisikan tangan dalang berada di bagian paling bawah pada tangkai wayang (gapit) wayang yang di mainkan. Adapun memegang wayang dengan teknik cepengan nyempurit pada umumnya dilaku-kan untuk wayang kecil (wayang bambangan, wayang putren), dan wayang terbang. 6.3.3 Cepengan Sedeng (magak)

Cepengan sedeng adalah cepengan yang memposisikan tangan dalang berada di bagian tengah pada gapit wayang yang di mainkan. Pada cepengan sedeng posisi tangan dalang lebih ke atas apabila di bandingkan dengan cepengan nyempurit. Teknik cepeng-an nyempurit pada umumnya dilakukan untuk wayang dugangan, wayang gagahan, wayang katongan. 6.3.4 Cepengan Ngepok

Cepengan ngepok adalah cepengan yang memposisikan tangan dalang berada di bagian atas pada gapit wayang hingga ibu jari menyentuh tepat di bawah telapak kaki wayang yang di mainkan. Adapun memegang wayang dengan teknik cepengan nyempurit pada umumnya dilakukan untuk wayang besar, contoh wayang Wrekodara, wayang Baladewa, wayang Buta Raton dan sabagainya.

Gambar 4.16 Cepengan Ngepok

Page 289: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

272

Gambar 4.17 Cepengan Ngepok 6.3.5 Cepengan Njagal (ngokop)

Cepengan njagal atau ngokop adalah cepengan yang memposisikan tangan dalang berada di bagian atas pada gapit wa-yang hingga menyentuh bagian kaki wayang yang di mainkan atau melebihi batas paling bawah boneka wayang. Adapun memegang wayang dengan teknik cepengan njagal pada umumnya dilakukan

Page 290: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

273

untuk jenis-jenis wayang perampogan, jenis burung, jenis hewan yang besar misalnya gajah, dan sabagainya. Gambar 4.18 Jenis Cepengan

a. cepengan nyempurit b. Cepengan magak

c. cepengan ngepok d. cepengan njagal

Page 291: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

274

6.4 Bedholan dan Solah Wayang Bedholan adalah mencabut wayang dari tanceban, yang di-

lakukan sesuai dengan kepentingan dalam pakeliran. Setelah mela-kukan bedholan maka wayang akan di gerakan (solahkan) atau yang disebut solah wayang. Solah wayang juga disesuaikan dengan kebu-tuhan serta kepentingan dalam pakeliran.

Adapun yang sering dilakukan pada saat wayang berjalan adalah ulat-ulat dilanjutkan capeng. Ulat-ulat ialah menggerakkan ta-ngan ke atas siku membentuk sudut + 65 derajat posisi telapak ta-ngan tengkurap tepat di depan mata. Gerakan ulat-ulat ini menggam-barkan sedang melihat ke arah yang jauh. Sedangkan wayang berja-lan dengan berlenggang tangan ialah berjalan dengan langkah yang pasti serta di ikuti lambaian tangan.

Pada saat gerakan wayang berjalan jongkok (laku dho-dhok), pinggang wayang diperkirakan rata-rata dengan palemahan. Untuk wayang merangkak (mbrangkang) tangan yang dilukiskan se-bagai orang merangkak rata dengan palemahan. Gerakan mengang-kat serta memasukan (ngentas) wayang ke kiri atau ke kanan adalah semakin ke kiri atau semakin ke kanan diangkat setinggi kening da-lang. Hal tersebut dilakukan dengan maksud supaya wayang tidak nampak tenggelam (ambles). Untuk wayang yang sedang terbang, yaitu wayang diangkat setinggi lengan dan tangan dalang diacung-kan ke atas. Setelah diangkat ke atas di entas ke kiri atau ke kanan melebar, seolah-olah membuat setengah lingkaran dalam pengen-tasannya. 6.5 Ragam Gerak 6.5.1 Ragam Gerak Manusia

Ada beberapa jenis ragam gerak sebagai vokabuler perang untuk jenis manusia. Ragam gerak perang tersebut di antaranya adalah ulat-ulat, tanceban, bertolak pinggang, capeng, saling mem-buru dan di buru (buron atau uberan) atau saling mengejar untuk pe-rang tokoh yang bobotnya seimbang dalam perang ramai, menyam-bar (samberan) untuk tokoh yang bisa terbang, jeblosan untuk tokoh gagah melawan gagah dalam perang darat, tendangan (dugangan), saling meninju atau saling memukul (tebahan atau jotosan), menarik tangan lawan (sendalan), saling melemparkan atau membuang, dan membanting (bantingan), berkelahi atau bergulat, saling mengadu kekuatan bahu, lengan, dan tangan (deder cengkeh) untuk tokoh-to-koh yang sama-sama kuat dalam perang ramai, memukul dengan menggunakan sebatang kayu atau besi pendek (gendiran) untuk wa-yang alusan atau bambangan yang berperang melawan raksasa ca-kil atau denawa lainnya, membenturkan kepala lawan ke tanah (ge-

Page 292: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

275

jrugan), menyentil telinga lawan (slentikan) untuk perangan tokoh alusan melawan tokoh gagahan atau sejenis tokoh raksasa.

6.5.2 Ragam Gerak Raksasa.

Ragam gerak wayang raksasa harus disesuaikan dengan karakter raksasa. Pada umumnya gerakan yang sesuai adalah me-lempar pandangan (ulat-ulat), menggoda khusus untuk wayang Rak-sasa (nggegiro), mundur ketakutan, tancep, capeng, bertolak ping-gang, berpandangan secara ganas terhadap lawan, geram, suara gurau (nggero-nggero), membentak (nggetak), untuk denawa cakil ti-dak membentak, menaburkan debu tanah kepada lawan (nyawuri), bergulung dan berguling-guling (nggubel lan nggulung), terlentang dan menyahut atau kayang namun untuk denawa raton atau raja rak-sasa tidak melakukannya, menerobos (brobosan), menerobos sambil menyambar musuh tetapi tidak kena (brobosan luput), merobohkan badan dengan punggungnya terlebih dahulu untuk menindih lawan (ngebruki mungkur), menyahut dari depan sambil melangkahkan kaki atau menerkam (nubruk), menggigit dengan taring (ngethut atau nyo-kot), membuang musuh, mendesak tergesa (ngancap), bernafas kencang terputus-putus (menggeh-menggeh), kalah berlari dan me-rangkak. 6.5.3 Ragam Gerak Wanara.

Karakter monyet sangat lincah, gerakan atau ragam gerak-nya banyak yang melepaskan kedua tangan wayang. Ragam gerak-an tersebut di antaranya ulat-ulat tancep, bertolak pinggang dan ca-peng, merengek untuk kera (mere), berjalan menirukan gerak kera, menggaruk-garukkan tangan pada badan atau bagian badan lainya (kukur kukur), menyerobot (nyahut), mencakar (nggraut), menggigit, menumpang pada bahu manusia (ngamplok) dilakukan kalau mu-suhnya lebih besar, membanting, menendang (ndugang), mengejek dengan memuncukan mulutnya (ngiwi-iwi), membuang musuh. 6.5.4 Ragam Gerak Bermacam Binatang.

Untuk menampilkan solah binatang berpedoman pada ben-tuk dan wataknya wayang. Adapun sebagai perkiraan jenis gerak bi-natang tersebut adalah sebagai berikut, contoh ragam gerak gajah apabila sedang mengamuk yaitu bergerak tidak karuan arahnya (mo-bat-mabit), menginjak (nujah), mengenakan gadingnya (nggadhing), membelai, membanting dan melempar atau membuang dengan menggunakan belalainya.

Ragam gerak harimau di antaranya adalah gerak bergeram dengan suara gurau (nggereng), mengaung dan mencakar-cakar ta-nah, menyahut dan menyambar, mencakar, meloncat, menerkam, menggigit dan membawa lari (nggondhol).

Page 293: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

276

Ragam gerak kuda yaitu meringkik, bersin (nggamber), me-nginjak (nujah), menyepak (nylenthik), menggigit khusus kuda (mbra-kot). Ragam gerak ular atau naga yaitu berkotek (ngakak), menyem-burkan bisa (nyembur), membelit, menyambuk menggunakan ekor-nya, menggigit, menelan.

Ragam gerak burung pada umumnya pada saat terbang. Ragam tersebut di antaranya adalah gerak melayang-layang, melun-cur, terbang, menyambar, menelabung dengan sayapnya, mencocok dengan paruhnya atau (matuk,nyucuk), mancakar, mencekeram dan membawa terbang (nggondhol).

Ragam gerak hewan bertanduk, misalnya Banteng. Adapun ragam geraknya adalah menghatam lawan dengan mengenakan ke-palanya (nyruduk), mengenakan tanduknya (nyundang), menendang lawan, menginjak-injak, menghasut-hasutkan kepalanya ke tanah atau kepada tumbuh-tumbuhan sekitarnya (krida).

Gerak untuk jenis wayang perampogan tidak terlalu ba-nyak, karena melihat kondisi boneka wayang. Gerak wayang peram-pogan di antaranya adalah bergetar (geter), membunyikan dentuman (uluk-uluk kalantaka), menggempur, membuang, meraih (ngganthol), menginjak-injak, mendesak, menerobos. 6.5.5 Ragam Gerak Kayon.

Untuk jenis kayon atau gunungan, penampilannya hanya diputar-putar dan digetar-getarkan (geter). Gerakan-gerakan tersebut untuk melambangkan api, air, hujan, angin, bumi, hutan, istana, dan sebagainya.

Demikianlah ragam-ragam gerak wayang secara umum da-lam sabet. Karena gerak-gerak wayang di dalam pakeliran sulit untuk dilukiskan dengan kata-kata, atau diberi nama, dan kiranya lebih mu-dah dalam peragaannya daripada diterangkan dengan kata-kata. Na-mun demikian kiranya jenis-jenis gerak tersebut di atas diperguna-kan sebagai vokabuler gerak untuk mewarnai sabet di dalam seni pedalangan. 6.5.5.1 Ragam Beksan Kayon Sepisanan

Pada pakeliran Jawatimuran, disaat menjebol (mbedhol) kayon sebagai tanda di mulainya pertunjukan, maka kayon tersebut di jogedkan atau yang sering di sebut beksan Kayon. Adapun ragam gerak beksan kayon adalah sebagai berikut mengangkat kedua ka-yon (bedhol kayon), berjalan pelan ke kiri serta ke kanan (lampah lamba ngiwa lan nengen), merendahkan kayon kanan disertai sedikit hentakan (gejug tengen), merendahkan kayon kiri disertai sedikit hentakan (gejug kiwa), condong keluar ke (dalam doyongan mlebu metu), bergetar (geter), ujung kayon bertemu (pucuk pethuk), me-nyatu (nyawiji), tarik ke bawah (udunan), ditancapkan (tanceban).

Page 294: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

277

Gambar 4.19 Berbagai bentuk gunungan

Page 295: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

278

6.5.5.2 Ragam Gerak Ajar Kayon. Ajar kayon dilakukan setelah selesai pasewakan atau bubar

panggung (bedhol panggung), yaitu akan adegan pertemuan kembali oleh para punggawa yang dipimpin oleh patih kearajaan atau oleh utusan atau tamu (seban njaba). Dalam adegan seban njaba, sebe-lum dilakukan gerakan ajar kayon, terlebih dahulu dalang bernarasi (pocapan). Isi dari pocapan tersebut adalah mengenai para wadya-bala dari negara yang bersangkutan untuk mengadakan persiapan, karena akan berperang atau akan mengadakan perjalanan. Akhir po-capan juga bisa berisi tentang keadaan utusan yang sedang me-nunggu keputusan dari raja. Setelah pocapan maka dilakukan Sabet Kayon atau Ajar Kayon.

Adapun ragam gerak ajar kayon adalah sebagai berikut berjalan pelan dan mencepat arah kiri dua kali putar (lampah lamba ngantal laku ngiwa amabl pindho), berhenti di tengah terus di angkat (seleh tengah angkat), berjalan pelan sambl bergetar terus mencepat (laku geter rangkep terus lamba), berhenti di tengah angkat serong kiri dan kanan (seleh tengah sundulan ngiwa mojok terus nengen mojok), di angakat ke atas (angkat methit), bergoyang (egolan), lom-patan kecil ke kiri dan ke kanan (gedrikan ngiwa nengen), berjalan pelan ke kiri ke kanan dengan akhir berlipat ganda (lampah ngiwa nengen pungkasan terus ndobeli). 6.6 Ragam Gerak Wayang Jawatimuran dalam

Jejer Pertama. 6.6.1 Ragam Gerak Beksan Emban Sepisanan.

Pada saat emban keluar dalam menunaikan tugas sebagai abdi kerajaan, maka emban tersebut di jogedkan dengan sangat ha-lus dan mempesona. Adapun ragam gerak tersebut adalah berjalan pelan (laku lamba) lambaian tangan belakang pelan (lembehan ta-ngan mburi lamba), berjalan agak cepat (laku cepet), lambaian ta-ngan belakang cepat (lembehan tangan mburi rangkep), menoleh (tolehan), membuang selendang (seblak sampur), merendahkan diri (mendhak), sembahan, di tancapkan (tancepan). 6.6.2 Ragam Gerak Wayang Beksan Punggawa.

Pada adegan jejer pertama (jejer sepisanan), setiap tokoh punggawa yang keluar pertama akan berjoged atau menari (mbeksa) atau yang disebut (beksan wayang punggawa ngarep). Adapun ra-gam gerak tersebut adalah sebagai berikut, berjalan dengan langkah tenang dan pelan (lampah lamba), berjalan dengan langkah agak ce-pat (lampah rangkep), duduk santun (mendhak lungguh), membena-hi aksesoris badan: gelang, ikat pinggang dan lain-lainya (capeng), berdiri (ngadek), menoleh (tolehan), menggelangkan kepala ke ka-

Page 296: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

279

nan ke kiri (gebes), tempelan kedua telapak tangan di depan paha (pesutan ngarep), melangkahkan kaki sambil dihentakan sekai (ge-jug), menekuk tangan depan ke belakang posisi telapak tangan tepat diikat pinggang (tekukan), membuang selendang (seblak sampur), goyang pinggul (egolan), merendahkan badan (mendhak), menekuk tangan ke belakang dan di rentangkan sejajar bahu (ceklekan), ber-lenggang (pelan lembehan lamba), berlenggang cepat (lembehan rangkep), melangkah pelan dan tegas keluar (laku lamba gagah me-tu), kembali ke jagadan, menoleh, mendhak, sembahan, tanceb. 6.7 Ragam Gerak Wayang Perang Jawatimuran

Dalam dunia pakeliran, solah dan atau sabet wayang sa-ngat erat hubungannya dengan karakter musik iringannya, contoh adalah pedalangan gaya Jawatimuran. Musik pengiring atau karawit-an iringannya sangat dinamis, sehingga mempengaruhi gerak wa-yang, baik wayang solah atau wayang perang. Pedalangan Jawati-muran mengenal dua macam jenis perang, yaitu perang Gagahan (Dugangngan) dan perang Alusan (Kupu Tarung). 6.7.1 Perang Gagahan

Perang Gagahan atau perang Dugangngan adalah perang yang dilakukan oleh para satriya dengan karakter tokoh gagah, con-toh Gathotkaca melawan Kartamarma dan lain-lainnya. Ragam ge-rak wayang perang Gagahan adalah sebagai berikut acak pinggang (walangkerik), menggelangkan kepala ke kanan ke kiri (gebes), me-nendang (ndugang), jatuh terlentang (tiba mlumah), merangkul la-wan (rangkulan), saling menyikut (sikutan), menerobos lawan dan melompat (berobosan lumpatan), menabrak (nubruk), menghindar (endha), bersimpangan sekali (jeblos separo), menendang tidak ke-na (ndugang luput), memegang (nyandak, candhakan), tendangan (sadukan), saling membanting (bantingan), saling melempar lawan (Sawatan). 6.7.2 Perang Alusan (Kupu Tarung)

Perang Alusan atau perang Kupu Tarung adalah perang yang dilakukan oleh para satriya dengan karekter tokoh halus, con-toh Abimanyu melawan Aswatama, Wisanggeni melawan Kartamar-ma, Harjuna melawan Raksasa, dan lain-lainnya. Ragam gerak wa-yang perang Alusan adalah sebagai berikut, menyerang lawan (nu-bruk), menghindar (endha), berjalan sambil bergaya (mlaku mbek-sa), menubruk, lawan menoleh (Jeblos, mungsuh noleh), desakam (sesegan), mundur terbanting (mundur kebanting), merangkul dari depan (ngrangkul ngarep), terdorong dan ketendang (kipatan lan ka-dugang), merangkul lawan dari belakang (ngrangkul mburi), terdo-rong jatuh terlentang (kipatan klemahan), menerobos lawan terus

Page 297: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

280

melompat (berobosan lumpatan), menerobos, lawan menghindar (tu-bruk, mungsuh endha), menendang (ndugang), menendang me-nyamping (kewal), memburu lawan (uberan), menubruk, lawan me-noleh (jeblos mungsuh noleh), Cekel mrusut (dipegang terlepas), merangkul lawan (ngrangkul mungsuh), menyikut (sikutan), pegang kepala lawan serta di tinju (candhakan jotosan), pegang kepala dan diangkat (candhak angkat), di banting ke tanah (jentusan lemah), dilemparkan (sawatan). 6.7.3 Ragam Gerak Samberan (Abur-aburan).

Ragam abur-aburan dilakukan oleh tokoh-tokoh yang bisa terbang, contoh Gathotkaca. Pada saat perang, untuk mengalahkan lawan maka dapat dilakukan dengan serangan dari udara (samber-an). Adapaun ragam gerak abur-aburan adalah sebagai berikut me-layang-layang, meluncur, terbang, menyambar, menelabung, mem-bawa terbang (nggondhol), menghimpit dengan kedua tangan posisi leher lawan di bawah ketiak (mithing

Nenggala Candrasa

Page 298: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

281

Keris Keris Keris Pulanggeni Keris Jalak Gambar 4.20 Macam-macam Senjata Keris

Page 299: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

282

Pedang Mentawa Gada Glinggang Gada Rujakpolo Gambar 4.21 Macam-macam Gada

Page 300: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

283

Panah Sarotama Panah Pasopati Panah Ardhadhedhali Panah Wijayadanu Cakra Gambar 4.22 Macam-macam Panah

Page 301: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

284

BAB VII

TATA PANGGUNG WAYANG 7.1 Tata Panggung

Panggung dalam pertunjukan wayang kulit merupakan sa-lah satu unsur yang bersifat fisik dalam Seni pedalangan disamping pakem (pedoman cerita pedalangan) dan wayang. Terdapat 3 (tiga) jenis panggung yang terpadu saling berkaitan sebagai media pendu-kung dalam pertunjukan wayang kulit. Tiga jenis panggung tersebut adalah: panggung wayang, panggung dalang, panggung gamelan. 7.2 Panggung Wayang

Panggung Wayang adalah suatu arena atau tempat yang dalam pertunjukannya digunakan untuk memainkan dan memajang (simpingan) wayang. Bagian-bagian dari panggung wayang meliputi: 7.2.1 Kelir

Kelir berarti tabir atau layar. Terbuat dari kain yang diben-tangkan memanjang ± 7 meter, warna putih, pada bagian tepi atas dan bawah berwarna hitam atau merah.

Dalam dunia pedalangan kelir merupakan lambang dari ja-gat raya yang didalamnya berisi berbagai kehidupan yang dilam-bangkan dengan wayang. Ungkapan bahwa kelir sebagai lambang dari jagad raya atau dunia terdapat dalam tata syair lagu Pelung-an/Drojogan. Pelungan atau disebut juga Drojogan adalah vokal da-lang yang dilagukan dalam iringan Gending Gandakusuma sebagai gending iringan jejer I pada pedalangan gaya Jawatimuran. Salah satu syair dalam pelungan tersebut berbunyi: “Kelire Jagad Dumadi”.

Djumiran RA., dalam buku Lagon Vokal Dalang Jawatimur-an menafsirkan bahwa di dalam jagad raya (kelir) inilah segala ben-tuk kehidupan utamanya manusia yang dilambangkan dengan wa-yang bergerak, berbudi daya dan hidup bersosial. Jadi kelir tersebut merupakan suatu simbol tempat melintasnya PURWA yaitu awal ke-hidupan duniawi, MADYA adalah proses kehidupan duniawi dan WA-SANA yaitu akhir dari kehidupan duniawi. Dalam kata “Jagad Duma-di” itulah, yang mengungkapkan makna simbolis dari tempat kehi-dupan manusia yang diwujudkan dengan kelir. Warna putih dalam kelir sebagai lambang bahwa sebelum manusia dan makluk laun diciptakan, dunia atau jagat raya ini telah lebih dulu dibentangkan oleh Tuhan, masih putih, bersih dan suci belum terkotori oleh dosa yang disebabkan oleh perilaku umat manusia.

Page 302: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

285

Dari sudut pandang lahiriah warna putih pada kelir jelas akan lebih menunjukkan dan mempertegas bentuk, karakter, dan ke-indahan dari wayang kulit, karena warna putih tidak memantulkan cahaya apabila terkena sinar lampu. Sedangkan warna hitam atau merah yang terdapat pada bagian tepi atas kelir disebut Plangitan lambang dari angkasa atau langit. Bagian bawah disebut Palemahan lambang dari bumi atau tanah. Sedangkan yang disebut dengan Ja-gadan terletak di bagian tengah kelir yang berwarna putih, dibatasi oleh wayang-wayang yang dipajang (disimping) memanjang ke arah kiri dan kanan. 7.2.2 Gawang

Yang disebut gawang adalah satu kesatuan dari berbagai alat/sarana yang digunakan untuk membentangkan dan mengen-cangkan kelir ke arah atas dan bawah maupun ke arah samping ka-nan dan kiri. Alat-alat tersebut adalah :

• Glogor. Biasanya terbuat dari bahan kayu berukir yang terpa-

sang melintang pada bagian atas kelir digunakan untuk mengencangkan kelir ke arah atas dengan mengguna-kan tali (pluntur)

• Sligi. Sligi terbuat dari kayu yang pemasangannya diselipkan

pada lipatan kelir bagian paling tepi kanan dan kiri. Pa-da bagian atas sligi tertancap pada glogor, sedangkan bagian bawah tertancap pada gedebog/batang pisang. Sligi di pedalangan gaya Jawatimuran disebut dengan gligen tercantum pada syair pelungan yang berbunyi ” Gligen Rajeging Wukir”. Rajeg adalah pagar, sedang-kan wukir artinya gunung. Gunung yang digunakan se-bagai pagar atau berpagar gunung-gunung. Secara simbolis kalimat tersebut memiliki pengertian bahwa bentangan alam sebagai tempat bergerak dan berkehi-dupan para mahkluk hidup telah terwujud dan terben-tang kuat.

• Pracik/Placak/Plaket. Berbentuk lingkaran berbahan logam (besi, gangsa)

yang dipasangkan (dijahit) menyatu dengan kelir pada bagian sisi atas dan bawah untuk mengencagkan ben-tangan kelir ke arah atas dan bawah. Pada bagian atas ditarik menggunakan pluntur/tali sedangkan bagian ba-

Page 303: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

286

wah pracik tersebut diberi batang longam (besi) sebesar jari dan ditancapkan pada gedebog (batang pisang).

• Pluntur.

Adaalah tali panjang yang terbuat dari benang yang dipi tal. Pluntur biasanya berwarna merah dipakai untuk me-ngencangkan bentangan kelir ke arah atas dengan cara pluntur tersebut dimasukkan pada pracik bagian atas dan dikaitkan pada glogor, ditarik dengan kuat lalu dita-likan pada sligi.

• Tapak Dara Di Jawa Timur disebut Drojog, sebuah sarana/alat yang

terbuat dari kayu sebagai penyangga berdirinya pang-gung wayang.

7.2.3 Gedebog (batang pisang)

Fungsi utama dari gedebog (batang pisang adalah untuk menancapkan wayang pada saat pertunjukan. Bertumpuk atas dan bawah, bagian atas disebut sitinggil disusun memanjang sepanjang kelir. Bagian bawah disebut paseban panjangnya seukur dengan panjang Jagadan pada kelir.

Pada pedalangan gaya Jawatimuran gedebog disebut juga dengan Larapan. Kata larapan tercantum dalam syair Pelungan yang berbunyi ”Larapaningsun Naga Pepasihan” mengandung pengertian dua batang gedebog tersebut sebagai gambaran dua jenis kelamin yang berbeda sedang memadu kasih, dan sulit untuk dipisahkan. Ke-duanya selalu berdampingan, meskipun berbeda dan berlawanan namun selalu berdekatan. Hal tersebut melambangkan suatu keada-an di jagad raya yang berisi dua hal yang berbeda namun selalu ber-dekatan, tidak pernah jauh, misalnya : baik-buruk, laki-laki dan per-empuan, atas-bawah, tua-muda, kaya-miskin, dan sebagainya.

Pendapat lain mengatakan bahwa gedebog tersebut me-lambangkan suatu dasar, atau bumi dimana segala sesuatu yang hi-dup, dan segala peristiwa terjadi dan berkembang. Bumi sebagai ke-kuatan untuk berpijak dalam lakon pedalangan juga sebagai keraja-an/istana Sang Hyang Anantaboga. Sehingga dalam dunia pedala-ngan, nilai gedebog sama dengan nilai bumi dimana Sang Hyang Anantaboga bertahta. 7.2.3.1 Bagian- bagian Gedebog Wayang

Bagian tersebut dibagi menjadi enam bagian sesuai dengan fungsinya. Berikut bagian tersebut serta fungsinya, dan tokoh-tokoh yang berhak menempatinya.

Page 304: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

287

tanceban kiri tanceban kanan 600 derajat 600 derajat a b c d e f Gambar 4.14 Bagian Paseban dan Siti inggil a). Siti inggil kiwa, b). Siti inggil tengah, c). Siti inggil tengen, d). Paseban kiwa, e). Paseban tengah, f). Paseban tengen Gambar 4.15 Tancepan Paseban dan Siti inggil

Page 305: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

288

Siti inggiil tengen adalah gedebog bagian atas di sisi ka-nan. Adapun aturan tempat atau pembagian tempat yang berhu-bungan dengan siapa saja tokoh yang layak dan pantas serta berhak untuk menempati siti inggil tengen adalah raja, tuan rumah atau yang punya rumah, pendeta atau brahmana, dan dewa.

Siti inggil tengen adalah gedebog bagian atas di sisi kiri. Adapun aturan tempat atau pembagian tempat yang berhubungan dengan siapa saja tokoh yang layak dan pantas serta berhak untuk menempati siti inggil kiri adalah tamu, pendeta, tamu raja, tamu de-wa, saudara yang usiannya lebih tua, tokoh yang sama kedudukan-nya, tokoh tertentu yang karena sudah merupakan ciri khas seperti Wrekodara dan Wisanggeni.

Siti inggiil tengah adalah gedebog bagian atas di tengah atau tepat di depan dalang. Adapun aturan tempat atau pembagian tempat yang berhubungan dengan siapa saja tokoh yang layak dan pantas serta berhak untuk menempati siti inggil tengah adalah wa-yang yang keluar sendiri, kayon, dan sejenis kendaraan misalnya ke-reta.

Paseban tengen adalah gedebog bagian bawah di sisi ka-nan. Adapun aturan tempat atau pembagian tempat yang berhubu-ngan dengan siapa saja tokoh yang layak dan pantas serta berhak untuk menempati paseban tengen adalah emban atau parekan, satri-ya di dalam adegan jejeran, saudara muda, punggawa kerajaan.

Paseban kiwa adalah gedebog bagian bawah di sisi kiri. Adapun aturan tempat atau pembagian tempat yang berhubungan dengan siapa saja tokoh yang layak dan pantas serta berhak untuk menempati paseban kiwa adalah prajurit, tamu selain raja, abdi atau punakawan, dan satriya.

Paseban tengah adalah gedebog bagian bawah di tengah atau tepat di depan dalang. Adapun aturan tempat atau pembagian tempat yang berhubungan dengan siapa saja tokoh yang layak dan pantas serta berhak untuk menempati paseban tengah adalah wa-yang dalam keadaan sedih yang menancapnya hanya sebentar, dan kayon. 7.3 Panggung Dalang

Adalah suatu arena yang menyatu dengan panggung wa-yang, tempat seorang dalang beraktivitas dalam pertunjukan. Pada panggung tersebut terdapat beberapa perlengkapan sebagai media bantu seorang dalang dalam beraktivitas. Perlengkapan tersebut adalah :

7.3.1 Kotak

Adalah sebuah peti yang terbuat dari kayu berukuran ± 90 x 200 cm sebagai tempat untuk menyimpan wayang, menggantung

Page 306: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

289

keprak, dan tempat cempala dipukulkan pada saat pertunjukan. Kotak tersebut tidak akan dibuka apabila seorang dalang

tidak sedang melakonkan suatu cerita. Hal tersebut berarti melam-bangkan tidak akan terjadi awal hidup, proses hidup dan akhir kehi-dupan di dunia ini, tidak akan ada Purwa, Madya dan Wasana. Se-baliknya apabila seorang dalang sedang melakukan aktivitas pertun-jukan, maka kotak akan dibuka, kelir akan digelar, dan wayang akan dimainkan. Setelah selesai pertunjukan maka wayang akan kembali dimasukkan ke dalam kotak, yang melambangkan berakhir pula ceri-ta tentang kehidupan. Jadi dapat ditafsirkan bahwa kotak wayang adalah simbol asal mula kejadian (Sangkan Paraning Dumadi). 7.3.2 Belincong/Blencong

Pada masa lalu pertunjukan wayang kulit yang dilakukan malam hari hanya diterangi dengan Belincong/Blencong. Yaitu sebu-ah lampu berbahan bakar minyak kelapa dan sumbunya mengarah ke kelir.

Belincong/Blencong pada seni pedalangan merupakan lam-bang cahaya abadi yang dalam hal ini bermakna Tuhan Yang Maha Esa. Jika lampu tersebut padam atau tidak ada maka seluruh ruang-an pertunjukan wayang kulit menjadi gelap gulita, tidak ada aktivitas kehidupan.

Seiring dengan perkembangan jaman, fungsi dan makna dari Belincong/Blencong telah bergeser. Fungsi Belincong/Blencong sebagai penerangan pertunjukan wayang telah digantikan oleh pe-rangkat lampu bertenaga listrik yang lebih modern dan bervariatif ti-dak hanya cahaya netral (terang) saja yang ditampilkan. Untuk men-dukung suasana-suasana tertentu dalam suatu adegan digunakan pula tata lampu yang disesuaikan dengan suasana adegan. Misal-nya dalam adegan sereng atau marah akan didukung dengan tata lampu yang menampilkan warna merah, pada saat adegan dalam hutan kekuatan cahaya akan dikurangi (diatur dengan dimmer) se-hingga yang muncul adalah cahaya remang-remang seperti suasana di dalam hutan, dan sebagainya. 7.3.2.1 Keprak/Keprek/Kecrek

Kata keprak/kecrek/keprek diambil dari bunyi yang muncul dari alat tersebut ketika dipukul, yaitu crek, prek ataupun prak. Ke-prak/Keprek/Kecrek adalah sebuah perangkat atau alat yang terbuat dari logam (besi, baja, perunggu) berjumlah 2 atau 3 lempeng de-ngan lebar sekitar 15 cm dan panjang sekitar 20 cm yang memiliki fungsi sebagai penguat penonjolan-penonjolan gerak wayang.

Tekanan-tekanan bunyi yang muncul dari Keprak/Keprek/-Kecrek tersebut akan semakin memperjelas dan memantapkan ge-rak-gerak setiap tokoh wayang sehingga karakternya akan semakin muncul dan mudah dipahami oleh penonton.

Page 307: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

290

Gambar 4.23 Keprak dan Cantholan Keprak

Posisi atau tempat keprak adalah di bibir kotak wayang ba-gian depan pada sisi kanan di anakan kothak (bagian kotak wayang paling depan). Sebagai pangait keprak pada kotak wayang di sebut cantholan keprak (untuk mengaitkan keprak pada kotak wayang).

Jumlah keprak yang dipakai untuk pertunjukan wayang khu-susnya wayang Purwa versi Jawa Timuran adalah 2 hingga 3 ke-prak. Namun karena mengikuti perkembangan zaman, maka hingga saat ini menggunakan lebih dari 3 keprak, seperti pertunjukkan wa-yang gaya Surakarta.

Bunyi keprak timbul akibat tekanan si dalang dengan meng-gunakan telapa kaki kanan bagian ujung atau dapat dilakukan de-ngan menggunakan ibu jari kaki kanan. Adapun jenis bunyi keprak tersebut di bagi menjadi dua, yaitu:

a. Keprak-an tetegan / totogan (ditekan dengan keras) Keprak-an tetegan, dilakukan untuk memberi aksen

atau tekanan pada gerakan-gerakan wayang yang di anggap mantap, biasanya pada: - Wayang berjalan atau berlari entas-entasan dan

neneka (memasukan dan mengeluarkan wayang) - Wayang Kiprah. - Wayang Perang. - Wayang Solah

b. Si-siran. Keprak-an Si-siran, dibunyikan terus menerus sesuai

dengan jalannya musik iringan, di lakukan di sela-sela keprak-an tetegan. Keprak-an Si-siran dilakukan untuk: - Mengisi di sela-sela keprak-an tetegan.

Page 308: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

291

- Memberi tuntuan pada jalannya musik iringan. Fungsi keprak di antaranya adalah: memberi aksen

gerak wayang, sirepan dan udar iringan (mempelankan dan menge-raskan musik iringan), meminta dan menghentikan musik iringan si-geg antawacana wos (pergantian dialog pada saat tertentu/ penting), sebagai ganti dodogan (suara kotak yang ditimbulkan oleh cempala). Cempala yaitu alat pemukul kotak wayang. 7.3.2.2 Cempala

Sebuah alat yang dibuat sedemikian rupa dari bahan bagi-an dalam kayu (galih) untuk memukul bagian-bagian tertentu dari ko-tak wayang sehingga memunculkan suara-suara tertentu dengan rit-me-ritme terentu pula sesuai dengan kebutuhan pertunjukan wayang kulit. Ada 2 (dua) jenis cempala yaitu yang disebut cempala asta (ta-ngan) adalah cempala yang dipegang dengan tangan dan cempala suku (sikil) yang penggunaannya dijepit di antara ibu jari kaki kanan. Ukuran cempala suku lebih kecil dibandingkan cempala asta.

Hasil suara yang ditimbulkan oleh pukulan cempala pada kotak tersebut dalam pedalangan disebut dengan dodogan.

Ada beberapa fungsi dari dodogan, antara lain memberikan tekanan-tekanan pada gerak wayang, sebagai tanda pergantian di-alog (ginem) antar tokoh wayang, mengiringi vokal dalang misalnya ada-ada, sebagai tanda untuk meminta gending iringan berhenti (su-wuk), dan lain sebagainya.

Adapun jenis dodogan, adalah sebagai berikut: • Dodogan neter (terus-menerus). Dodogan neter dilaku-

kan untuk mengiringi ada-ada (salah satu bentuk vokal dalang dengan irama dan rasa sereng = keras), untuk mengiringi entas-entasan wayang bambangan dan alusan, untuk mengiringi jalannya wayang rampogan, untuk mengiringi sigeg kayon.

• Dodogan Banyu tumetes (seperti tetesan air), diguna-kan untuk meminta gadhingan (versi Jawa Timuran), untukmengiringi ada-ada girisa (versi Surakarta).

• Dodogan sepisan (satu kali), untuk meminta sendon da-lam suasana agung.

• Dodogan rangkep atau berlipat (derog-dog), untuk per-gantian dialog, sigegan.

Pada umunya fungsi dodogan hampir sama dengan keprak, diantaranya yaitu:

• Tanda meminta iringian musik untuk mengiringi semua jenis dan macam vokal dalang.

• Pergantian dialog wayang. • Tanda meminta dan menghentikan musik ringan.

Page 309: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

292

• Tanda Sirepan atau udar gending (mempelankan dan mengeraskan musik iringan).

• Memberi tekanan pada gerakan-gerakan wayang, se-perti jalannya bambangan, sigeg kayon, jalannya keret-an-kuda, dan jalannya wayang rampogan.

Gambar 4.24 Cempala Asta dan Cempala Suku Gambar 4.25 Panggung Dalang Keterangan denah:

1. Panggung wayang 2. Kotak wayang 3. Keprak 4. Cempala 5. Dalang 6. Tutup kotak

7.3.2.3 Eblek Yang dimaksud eblek adalah tempat untuk menata wayang,

baik wayang yang akan dimainkan atau wayang yang berada di da-lam kotak. Eblek terbuat dari anyaman bambu, pada tepi anyaman di

1

2

6

5 43

Page 310: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

293

beri penguat agar tidak kendor (di plipit = penguat tepi). Setelah eblek jadi, maka di beri sarung dari kain yang sesuai ukuran eblek, dengan tujuan agar lebih rapi dan tidak mengganggu pada saat me-naruh wayang, sehingga wayang-pun juga aman dan tidak rusak. Ukuran eblek di sesuaikan dengan ukuran kotak wayang bagian sisi dalam. Tebal eblek + 5 cm. Di samping sebagai tempat untuk mena-ta wayang, eblek juga berfungsi sebagai tempat untuk memilah-mi-lahkan jenis wayang. Sehingga dalam satu kotak wayang + ada lima hingga delapan eblek. 7.3.3 Panggung Gamelan

Panggung Gamelan adalah suatu tempat atau arena yang menyatu dengan panggung dalang dan panggung wayang, untuk meletakkan dan menata perangkat bunyi-bunyian yang terdiri dari bermacam instrumen yang disebut dengan gamelan, berfungsi seba-gai iringan dalam pertunjukan wayang kulit. Berikut ini disampaikan tata letak dari masing-masing instrumen sesuai dengan kebutuhan pertunjukan wayang kulit.

Page 311: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

299

BAB VIII

TATA IRINGAN 8.1. Pengertian Dan Fungsi Iringan Pedalangan

Keberhasilan sebuah pergelaran wayang kulit tidak terlepas salah satunya dari kemampuan kerja sama yang baik antar personal yang terlibat dalam menggarap gending-gending iringan, mulai dari penata iringan, pengrawit (musisi), dan vokalis (sinden/penggerong) dalam meramu serta menyajikan gending-gending yang dibawakan. Oleh karena itu tidaklah berlebihan bila seorang dalang berusaha menempatkan iringan menjadi salah satu bagian penting dalam kon-sep pakelirannya. Bahkan pada masa sekarang ini seorang dalang tidak segan-segan untuk menganggarkan dana khusus guna meme-san gending iringan dari seorang penata karawitan yang dianggap mampu untuk membuatkan iringan pakelirannya.

Seorang dalang menyadari betul bahwa melalui penataan iringan yang baik dan tepat atau berbobot, keberadaan dirinya akan terbantu dalam mengembangkan ide atau gagasan kreatifnya, se-hingga pergelaran yang dibawakan akan sukses.

Tata iringan karawitan pakeliran adalah rangkaian penataan lagu atau aransemen yang terdiri dari berbagai macam bentuk gen-ding instrumentalia dan vokalia, baik tunggal maupun koor atau ber-sama, senggakan, keplok, serta berbagai garap teknik tabuhan.

Berdasarkan pandangan tersebut di atas dapat diambil ke-simpulan bahwa fungsi karawitan iringan dalam pakeliran adalah se-bagai pendukung utama yang harmonis guna keberhasilan seorang dalang dalam mengembangkan ide kreatifnya (sanggit) agar perge-laran wayang yang dibawakan menjadi berbobot atau bermutu dan mencapai keberhasilan secara baik. 8.2. Garap Gending Dan Unsur-Unsurnya 8.2.1. Pathet

Salah satu unsur penting dalam garap gending yang ada pada pakeliran adalah Pathet. Dalam sajian pedalangan merupakan penunjuk pembagian waktu serta dinamika garap bagi seorang da-lang ketika menggelar pakelirannya semalam suntuk maupun pake-liran padat.

Sekarang di jaman tehnologi aturan pathet mengalami per-geseran waktu, bahwa dimulai sesudah shalat Isak dan diakhiri

Page 312: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

300

sebelum shalat subuh. Dalam waktu semalam untuk pathet bisa di-bagi menjadi:

Dalam pementasan pekeliran semalam suntuk pedalangan gaya Jawatimuran, penggunaan Pathet secara garis besar dikelom-pokkan menjadi empat bagian. Yakni Pathet Sepuluh digunakan dan dilaksanakan menjelang Jejer Wiwitan dalam penyajian gending Ayak Sepuluh (Ayak Talu dengan dua versi) sampai pada awal per-tunjukan atau bagian adegan pertama (jejer wiwitan/adegan pang-gungan), yaitu dalam gending Gandakusuma Laras Slendro Pathet Sepuluh kemudian dilanjutkan Sendhon Prabatilarsa.

Setelah penyajian gending-gending dan sulukan dalang ter-sebut di atas kemudian suasana diubah menjadi Pathet Wolu di mu-lai dari sajian gending Gedhog Tamu dan/ atau Krucilan Laras Slen-dro Pathet Wolu. Suasana Pathet Wolu ini berakhir pada setelah adegan Gara-gara (adegan Karang Klethak yang terdiri dari tokoh-to-koh Semar, Bagong, dan Besut. Sedangkan dalam pakeliran gagrag Surakarta ditandai dengan adegan masuknya parepat panakawan yaitu adegan Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong.

Selanjutnya adalah Pathet Sanga dilaksanakan setelah adegan Gara-gara sampai pada perang buto begal. Suasna Pathet Sanga ini berlangsung sampai kurang lebih pukul 3 dini hari. Setelah itu menggunakan Pathet Serang sampai akhir pergelaran pakeliran, yakni adegan perang penghabisan (brubuh). Penggunaan suasana Pathet Serang kemudian di sambung dengan gending penutup da-lam adegan tancep kayon, sebagai pertanda bahwa penyajian pake-liran semalam suntuk selesai. 8.2.2. Irama

Irama adalah cepat lambatnya perjalanan suatu sabetan balungan gending. Dalam tata iringan pakeliran Jawatimuran irama merupakan salah satu unsur musikal penting yang menentukan dina-mika serta karakter.

Para seniman pengrawit pedalangan Jawatimuran memba-gi irama dalam sajian karawitan menjadi tiga bagian yakni: irama ce-

Surakarta/Yogja, Banyumas

Pathet Manyura jam 18.00-21.00 Pathet Nem jam 21.00-24.00 Pathet Sanga jam 24.00-03.00 Pathet Manyura jam 03.00-06.00

Jawatimuran

Pathet Sepuluh jam 18.00-21.00 Pathet Wolu jam 21.00-02.00 Pathet Sanga jam 02.00-04.00 Pathet Serang jam 04.00-05.00

Page 313: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

301

pat (seseg/ kenceng), sedang (sedheng) dan lambat (alon). Penyaji-an irama dalam pakeliran wayang kulit biasanya berbeda dengan pe-nyajian irama dalam tabuhan gending-gending untuk klenengan atau uyon-uyon.

Dalam teknik tabuhan pakeliran wayang kulit penyajian ga-rap irama cenderung berubah-ubah setiap saat, menyesuaikan de-ngan suasana adegan yang hendak dicapai atau diinginkan. Berbe-da dengan penyajian irama dalam klenengan bebas yang cenderung linier dan monoton atau ajeg. Perubahan garap irama ini terkadang disertai dengan perubahan volume atau keras lirih (aksen) tabuhan instumen gamelan. Hal ini dimaksudkan untuk membantu memper-kuat struktur dramatik atau dinamika alur ceritera yang dibawakan oleh ki dalang. 8.2.3. Laras

Laras adalah susunan nada-nada dalam satu gembyangan (oktaf) yang sudah tertentu tinggi rendah dan tata intervalnya. Di Ja-wa seperangkat gamelan biasanya menggunakan dua laras, yakni laras Slendro dan Pelog. Laras Slendro terdiri dari 5 nada yakni ba-rang (1/ji), gulu (2/ro), dhadha (3/lu), ma (5/ma), dan nem (6/nem). Sedangkan laras Pelog dibagi menjadi 7 deret nada seperti pada sa-ron yaitu penunggul (1/ji), gulu (2/ro), dhadha (3/lu), Pelog (4/pat), ma (5/ma), nem (6/nem), dan barang (7/pi). Laras juga mengandung pengertian nada, misalnya kempul laras ma (5), kenong laras nem (6), dan seterusnya.

Dalam karawitan pedalangan ada juga laras minir atau mi-ring yakni nada-nada dalam laras Slendro yang disajikan secara mi-nir atau miring pada salah satu bagian lagu tertentu dan atau selu-ruhnya, baik vokal sulukan dalang, sindenan, tembang, maupun ga-rap cengkok rebaban. Penyajian nada-nada miring biasanya dengan menaikkan dan atau menurunkan ½ laras dari nada-nada baku dal-am laras Slendro. Contoh bagian penggalan cakepan lagu Sendhon Prabatilarsa Slendro Pathet Sepuluh yang dibawakan dengan laras miring, misalnya Teja .... teja .... tejaning wong nembe kaeksi...... Pe-nyajian laras miring dalam sindenan misalnya: sindenan gending Ge-dog Rancak Laras Slendro Pathet Wolu dan gending jenis Krucilan Laras Slendro (bisa Pathet Wolu dan Sanga) apabila digunakan un-tuk mengiringi res-resan atau adegan dalam suasana sedih (wayang nangis).

Laras yang dimaksud oleh bingkai Sastra Gending ialah su-ara thinthingan (pukulan) gamelan. Sedangkan yang dipergunakan untuk merasakan suara itu telinga. Laras juga merupakan system nada-nada dalam karawitan. Laras di luar system karawitan berarti enak di dengar (indah). Ada dua laras dalam karawitan Jawa, yaitu Laras Pelog dan Laras Slendro.

Page 314: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

302

Titilaras atau titinada adalah gambar atau tanda yang digu-nakan untuk menunjukkan tinggi-rendah dan panjang-pendek nada. Gambar atau tanda atau bisa juga berwujud lambing itu untuk me-nyebut nama-nama setiap nada/laras. Lihat pada gamelan Jawa yang namanya Demung, Saron dan Peking. Bilah-bilahnya diberi na-ma urut dari bawah ke atas (rendah-tinggi) bagi laras Slendro yaitu: barang - gulu – dhadha – lima – nem dan yang laras Pelog: panung-gul - gulu – dhadha – lima – nem – barang. Baik laras Slendro mau-pun Pelog titilarasnya diambilkan dari nama tubuh manusia. Namun seorang seniman berkualitas tinggi di Kepatihan Surakarta RMT. Wreksadiningrat mencoba membuat titilaras yang lebih praktis, se-derhana, mudah dibaca, yaitu dengan lambang angka 1 – 2 – 3 – 4 – 5 - 6 bagi laras Slendro dan 1 – 2 – 3 – 4 - 5 – 6 – 7 bagi laras Pe-log. Ternyata hingga sekarang, nama nada (laras/bilah) dengan lam-bang angka ini sangat diminati oleh para seniman baik dalam pendi-dikan kesenian formal maupun non formal.

Titilaras yang diciptakan di Kepatihan Surakarta itu dinama-kan Titilaras Kepatihan. Titilaras tersebut digunakan sebagai penu-lisan / pembacaan lagu, pembelajaran vocal, dan peyimpan lagu. 8.2.4. Harmoni

Dalam susunan atau komposisi karawitan iringan pakeliran, harmoni merupakan keselarasan perpaduan volume tabuhan yang meliputi keras-lirih, rempeg, laya atau tempo antar instrumen (balan-cing). Misalnya keseimbangan antara tabuhan instrumen atau ricikan gamelan dengan sindenan dan penggerong atau vokal pria (wira-swara), tabuhan instrumen gamelan dengan vokal dalang baik yang berupa sulukan maupun janturan.

Harmoni juga menyangkut kesesuaian totalitas penataan gending. Antara lain seperti karakter lagu atau tembang dan gen-ding-gending, penggunaan Pathet, serta kesesuaian bangunan atau struktur suasana yang ingin dicapai dari penataan gending-gending berdasarkan konsep alur suasana atau struktur dramatik dalam tata urutan adegan pakeliran yang telah disusun oleh ki dalang dengan penata iringan, sehingga terjadi keselarasan dan kerjasama yang ba-ik antara keduanya. 8.3. Nama Instrumen dan Fungsinya 8.3.1. Rebab

Rebab adalah instrumen (ricikan) gamelan yang bahan ba-kunya terdiri dari kayu, kawat (string), semacam kulit yang tipis untuk menutup lubang pada badan rebab (babat), bagian rebab atau ba-dan rebab yang berfungsi sebagai resonator (bathokan), rambut ekornya kuda yang berfungsi sebagai alat gesek (kosok) namun un-

Page 315: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

303

tuk saat ini lazim menggunakan senar plastik, dan kain yang dibordir sebagai penutup bathokan. Cara membunyikan rebab dengan cara digesek dengan alat yang disebut kosok.

Dalam sajian karawitan rebab berfungsi sebagai Pamurba Yatmoko atau jiwa lagu, rebab juga sebagai pamurba lagu melalui garap melodi lagu dalam gending-gending, melaksanakan buka atau introduksi gending, senggrengan, dan Pathetan agar terbentuk su-asana Pathet yang akan dibawakan. Rebab juga berfungsi untuk me-ngiringi vokal yang dibawakan oleh ki dalang. Utamanya pada lagu jenis Pathetan dan Sendhon. Gambar 4.30 Rebab 8.3.2. Kendang

Kendang adalah instrumen gamelan yang bahan bakunya terbuat dari kayu dan kulit. Cara membunyikan kendang dengan cara dipukul dengan tangan (di-kebuk atau di-tepak). Ukuran kendang Ja-watimuran yang dipakai dalam pedalangan terdiri dari 3 (tiga) jenis kendang. Yakni kendang Gedhe, kendang Penanggulan (tradisi Ja-wa Tengah dinamakan ketipung), dan kendang Gedhugan (tradisi Jawa Tengah dinamakan kendang ciblon atau sejenis).

Dalam sajian karawitan tradisi, ricikan kendang berfungsi sebagai pengatur atau pengendali (pamurba) irama lagu/gending.

Page 316: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

304

Cepat lambatnya perjalanan dan perubahan ritme gending-gending tergantung pada pemain kendang yang disebut pengendang. Hidup atau berkarakter dan tidaknya sebuah lagu atau gending itu tidak ter-lepas dari keterampilan serta kepiawaian seorang pengendang da-lam memainkan ukel atau wiled kendangannya dalam mengatur laya atau tempo.

Mengingat begitu pentingnya peranan ricikan kendang da-lam tata iringan karawitan, biasanya seorang dalang membawa pe-ngendang sendiri dalam setiap pementasannya. Dengan membawa pengendang sendiri seorang dalang akan lebih mantap dalam meng-gelar pakelirannya.

Para dalang menganggap kendang adalah bagian dari be-lahan jiwanya ketika ki dalang menggelar pakelirannya. Seorang pe-ngendang bawaan dalang (gawan) biasanya sudah memahami de-ngan baik selera atau keinginan ki dalang. Ibarat pengemudi ia me-mahami betul bagaimana selera tuannya. Gambar 5.1 Kendang Jawa Timuran 8.3.3. Gender

Gender merupakan bagian dari perangkat ricikan gamelan yang bahan bakunya terbuat dari logam perunggu, kuningan dan/ atau besi. Sedangkan bahan yang paling bagus adalah yang terbuat dari perunggu. Gender dari bahan perunggu selain tampilannya me-narik, bunyinya juga lebih bagus karena bahan tersebut mampu me-nghasilkan suara yang nyaring dan jernih bila perbandingan campur-an logamnya seimbang, yakni antara tembaga dengan timah putih. Gender terdiri dari rangkaian bilah-bilah yang di sambung oleh tali yang disebut pluntur dan di topang oleh sanggan yang terbuat dari bahan logam, bambu, dan/ atau tanduk binatang (sungu) yang telah dibentuk sedemikian rupa sehingga terkesan serasi dan bagus.

Untuk menghasilkan bunyi atau suara yang bagus dan tam-pilan indah, rangkaian bilah-bilah gender diletakkan di atas rancakan

Page 317: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

305

yang ditengah-tengah bagian bawahnya diberi bumbung (bahan dari bambu) dan atau logam (seng) yang berfungsi sebagai resonator. Bentuk dan ukurannya diwujudkan sedemikian rupa berdasarkan be-sar kecilnya bilah dan ditambah dengan asesoris serta ukir-ukiran pada rancaknya.

Jumlah ricikan gender yang ada dalam seperangkat gamel-an ageng terdiri dari 2 (dua) set, yakni Gender Barung (Babok) dan Gender Penerus (Lanang). Adapun larasnya terdiri dari gender laras Pelog yaitu Pelog barang dan Pelog nem (dua rancak) dan gender laras Slendro (satu rancak).

Fungsi gender khususnya dalam tata iringan karawitan pa-keliran gaya Jawatimuran adalah sebagai panuntuning laras agar ki dalang tidak kehilangan ngeng (suasana laras/nada dalam Pathet). Dan juga berfungsi sebagai pengiring sulukan dalang ketika sedang membawakan Sendhon, Pathetan, Bendhengan, maupun tembang. Di samping itu juga mempunyai peranan untuk membangun suasana kelir (adegan wayang yang sedang berlangsung), ketika mengiringi janturan atau pocapan melalui gadhingan yang di minta oleh dalang.

Dalam tata iringan pakeliran gaya Jawatimuran peranan ri-cikan gender lanang atau gender penerus sangat penting, karena berfungsi sebagai penuntun atau membimbing laras dalang dalam membawakan sulukan dan melakukan buka atau introduksi pada sa-jian gadhingan yang dikehendaki oleh dalang melalui sasmita terten-tu, biasanya dengan dhodhogan mbanyu tumetes. Gambar 5.2 gender penerus (lanang) 8.3.4. Bonang

Bonang merupakan bagian perangkat ricikan gamelan yang berbentuk pencon yang ukurannya lebih kecil dari kenong. Bahan bakunya bisa perunggu, kuningan, dan besi. Dalam pengelompokan

Page 318: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

306

ricikan gamelan, bonang termasuk dalam ricikan garap ngajeng, se-lain ricikan gender, rebab, dan kendang.

Ricikan Bonang pada sajian karawitan utamanya untuk me-nyajikan gending-gending Bonangan atau Soran, dalam tabuhan tra-disi karawitan Jawatimuran adalah penyajian gending-gending Giro dan Gagahan, serta juga berfungsi sebagai instrumen pembuka atau introduksi gending. Di dalam seperangkat gamelan jumlah bonang ada 2 set yakni satu set bonang berlaras Slendro terdiri dari bonang barung (babok) dan bonang penerus dengan jumlah pencon kurang lebih 12 bilah. Sedangkan laras Pelog dalam satu set terdiri dari bo-nang barung dan bonang penerus, dengan jumlah 14 bilah pencon.

Adapun teknik memainkan atau menabuh bonang dengan cara dipukul dengan alat pemukul khusus bonang. Teknik tabuhan terdiri dari (a) Gembyang yaitu cara memukul dua nada bonang yang sama secara bersama dengan jarak satu gembyang (oktaf). Contoh nada 6 atas dengan 6 bawah ditabuh secara bersama-sama. (b) Mi-pil yaitu teknik memukul nada bonang dengan cara satu persatu se-cara bergantian. Contoh 1 2 1 2 3 2 3 2 ditabuh secara bergantian antara tangan kiri dengan kanan. (c) Kempyung yaitu teknik memu-kul dua nada bonang yang berbeda dengan jarak 2 nada secara ber-sama. Contoh nada 5 dengan 1, nada 6 dengan 2 ditabuh secara bersama-sama. (d) Pancer yaitu teknik memukul satu nada bonang lebih dari sekali secara terus menerus. Contoh 1 1 1 - 3 3 3 - dan seterusnya. Gambar 5.3 Bonang Babok 8.3.5. Slentem

Slentem adalah bagian ricikan gamelan yang berbentuk bi-lah seperti gender, namun ukurannya lebih besar yaitu panjang dan lebarnya. Jumlah slentem dalam satu perangkat gamelan ada 2 ran-cak yakni slentem laras Slendro dan slentem laras Pelog.

Page 319: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

307

Teknik tabuhan ricikan slentem dalam tata iringan karawitan terdiri dari mbalung, gemakan, paparan, dan pinjalan. Khusus teknik tabuhan slentem yang dinamakan gemakan dan paparan adalah yang ada pada sajian karawitan gaya Jawatimuran. Dalam tata saji-an karawitan slentem berfungsi sebagai pamangku lagu. Gambar 5.4 Slenthem 8.3.6. Demung

Demung merupakan bagian ricikan gamelan berbentuk bi-lah seperti saron tetapi ukurannya lebih besar, berfungsi sebagai pamangku lagu dalam sajian karawitan dan juga untuk tabuhan ba-lungan gending. Dalam satu set gamelan jumlah demung minimal ada 2 rancak yakni demung laras Slendro dan demung laras Pelog. Dewasa ini dalam satu perangkat gamelan ageng jumlah instrumen demung sering lebih dari satu set.

Penambahan jumlah perangkat ini bertujuan ganda yaitu untuk membuat suasana tabuhan lebih ramai atau regeng, sehingga tujuan yang ingin di capai dalam penataan iringan bisa terwujud. Pa-da sisi yang lain, penambahan jumlah instrumen juga untuk menam-pilkan kesan kolosal atau semarak, sehingga semakin menarik pe-nonton.

Gambar 5.5 Demung

Page 320: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

308

8.3.7. Saron Saron merupakan bagian ricikan gamelan berbentuk bilah

dengan ukuran lebih kecil dari pada demung. Untuk iringan pakeliran wayang kulit Jawatimuran, minimal terdiri dari 2 set saron Slendro dan 2 set saron Pelog. Jumlah bilah saron Slendro untuk wayangan Jawatimuran ada 9 bilah, dengan urutan bilah nada di mulai dari na-da 6 (nem) rendah atau ageng sampai dengan nada 3 (lu) tinggi atau alit. Dalam pedalangan Jawatimuran peranan saron sangat dominan, karena saron sebagai pembuat lagu atau melodi, terutama untuk bentuk gending-gending Ayak, Gedog Rancak, Krucilan, dan Gem-blak/Alap-alapan.

Posisi keberadaan saron di lihat dari aspek fungsinya da-lam iringan pedalangan Jawatimuran bisa dikategorikan dalam ke-lompok ricikan garap, karena ricikan saron memiliki berbagai macam cengkok sekaran atau kembangan sesuai dengan Pathetnya. Dan sebagai tanda (tengara) bahwa tabuhan akan berganti Pathet, misal-nya di dalam wayangan semalam suntuk ketika suasana Pathet Wo-lu akan berubah ke Pathet Sanga, maka kembangan atau cengkok saronan gending ayak Wolu menggunakan pancer 3 (lu).

Adapun teknik tabuhannya meliputi teknik tabuhan mba-lung, imbal, dan kinthilan yaitu khusus teknik tabuhan gaya Jawati-muran. Gambar 5.6 Saron Penerus (Peking) 8.3.8. Saron Penerus (Peking)

Saron penerus atau peking merupakan bagian ricikan ga-melan berbentuk bilah yang ukurannya lebih kecil dari pada ricikan saron. Dalam sajian karawitan bebas atau klenengan atau iringan pakeliran khususnya gaya Jawatimuran saron penerus atau peking berfungsi sebagai timbangan, artinya mengimbangi bonang penerus

Page 321: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

309

dalam membuat melodi lagu, sehingga pengrawit menyebut teknik tabuhan saron penerus dengan sebutan teknik tabuhan timbangan. Gambar 5.7 Saron 8.3.9. Ketuk dan Kenong

Ketuk dan kenong merupakan bagian ricikan gamelan ber-bentuk pencon. Dalam sajian karawitan bebas atau klenengan mau-pun karawitan iringan, kenong dan ketuk berfungsi sebagai ricikan pamangku irama. Teknik memainkan ketuk dan kenong dengan cara dipukul dengan alat pemukul yang disebut tabuh.

Adapun teknik tabuhannya meliputi teknik tabuhan nitir, ya-itu teknik tabuhan kenong yang dalam satu sabetan balungan terda-pat dua pukulan (thuthukan) atau pukulan dua kali, misalnya tabuhan kenong pada gending sampak, teknik tabuhan ngedhongi, plesetan, dan teknik kenong goyang. Gambar 5.8 Kenong

Page 322: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

310

8.3.10. Kempul dan Gong Gong merupakan bagian ricikan gamelan berbentuk pen-

con. Rangkain instrumen gong terdiri dari kempul, gong suwukan, gong berlaras Barang, dan gong besar (ageng) yang ditata pada ga-yor yaitu tempat untuk menggantung kempul dan gong. Dalam sajian karawitan bebas dan iringan, gong berfungsi sebagai pamangku ira-ma selain instrumen ketuk dan kenong. Sedangkan dalam iringan pedalangan gaya Jawatimuran berfungsi sebagai pemberi aksen ya-itu tekanan berat dalam tabuhan khususnya adegan perang, teruta-ma pada gending-gending Ayak, Krucilan, Alap-alapan atau Gem-blak, dan Gedog Rancak.

Gambar 5.9 Gong Sak Plagri dan Gong Suwukan 8.3.11. Gambang

Gambang merupakan bagian ricikan gamelan yang terbuat dari bahan kayu berbentuk rangkaian atau deretan bilah-bilah nada yang berjumlah dua puluh bilah. Cara membunyikan gambang ada-lah dipukul dengan tabuh khusus gambang. Fungsi gambang dalam sajian karawitan sebagai pangrengga lagu. Dalam satu perangkat gamelan biasanya terdiri dari dua set gambang dalam laras Pelog dan Slendro. Gambar 5.10 Gambang

Page 323: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

311

8.3.12. Siter Siter merupakan bagian ricikan gamelan yang sumber bu-

nyinya adalah string (kawat) yang teknik menabuhnya dengan cara di petik. Jenis instrumen ini di lihat dari bentuk dan warna bunyinya ada tiga macam, yaitu siter, siter penerus (ukurannya lebih kecil dari pada siter), dan clempung (ukurannya lebih besar dari pada siter). Dalam sajian karawitan klenengan atau konser dan iringan wayang fungsi siter sebagai pangrengga lagu. Gambar 5.11 Siter 8.3.13. Suling

Jenis instrumen gamelan lainnya yang juga berfungsi seba-gai pangrengga lagu adalah suling. Instrumen ini terbuat dari bambu wuluh atau paralon yang diberi lubang sebagai penentu nada atau laras. Pada salah satu ujungnya yaitu bagian yang di tiup yang mele-kat di bibir diberi lapisan tutup dinamakan jamangan yang berfungsi untuk mengalirkan udara sehingga menimbulkan getaran udara yang menimbulkan bunyi atau suara.

Adapun teknik membunyikannya dengan cara di tiup. Di dalam tradisi karawitan, suling ada dua jenis, yaitu bentuk suling yang berlaras Slendro memiliki lubang empat yang hampir sama ja-raknya, sedangkan yang berlaras Pelog dengan lubang lima dengan jarak yang berbeda. Ada pula suling dengan lubang berjumlah enam yang bisa digunakan untuk laras Pelog dan Slendro. Untuk suling la-ras Slendro dalam karawitan Jawatimuran apabila empat lubang di tutup semua dan di tiup dengan tekanan sedang nada yang dihasil-kan adalah laras lu (3), sedangkan pada karawitan Jawatengahan la-zim dengan laras ro (2). 8.4. Iringan Pedalangan 8.4.1. Pathetan

Dalam penyajian klenengan dan juga sebagai iringan wa-yang, sebelum rangkaian gending-gending dibunyikan biasanya di

Page 324: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

312

dahului oleh Pathetan dan atau senggrengan. Tujuannya adalah agar para pengrawit, mengetahui gending, laras, dan Pathet yang akan ditabuh. Adapun jenis lagu Pathetan yang dibawakan bisa Pa-thetan jangkep (ageng dan atau wantah) dan bisa juga sebagian atau Pathetan pendek yang di kalangan para pengrawit biasanya di-sebut Pathetan jugag. Dan ada yang lebih pendek lagi yang disebut dengan senggrengan yang hanya dilakukan oleh rebab.

Gambar 5.12 Suling

Bentuk penyajian Pathetan biasanya intrumentalia yang ter-

diri dari ricikan rebab, gender, gambang, dan suling. Bisa juga disaji-kan secara campuran yaitu instrumentalia tersebut di atas bersama-an dengan vokal.

Pathetan dalam karawitan Jawatimuran lazim terdiri tiga macam Pathetan yakni Pathet Sepuluh, Pathet Wolu, dan Pathet Sanga. Sedangkan pada karawitan Jawatengahan (Surakarta) terdiri dari Pathet Nem, Pathet Sanga, dan Pathet Manyura dalam laras Slendro. Untuk laras Pelog ada Pathet Lima, Pathet Nem, dan Pa-thet Barang. Dan beberapa Pathet khusus dalam pakelirannya, se-perti Pathet Kedu, Pathet Lasem, Pathet Jingking, dan sebagainya. 8.4.2. Gending Pembuka (Wiwitan/Patalon)

Sajian gending pembuka sebagai pertanda bahwa akan di mulai pergelaran wayang kulit dalam tradisi Surakarta disebut pata-lon. Patalon adalah merupakan rangkaian gending-gending yang di-bunyikan dan di akhiri dengan sampak manyura. Tujuannya agar pe-nonton cepat datang ke tempat pertunjukan.

Adapun gending-gending yang dibunyikan dalam gending pembuka di mulai dari gending Soran atau bonangan yang tabuhan-nya dengan aksen kuat (keras). Penyajian gending bonangan biasa-

Page 325: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

313

nya tanpa melibatkan vokal baik sindenan serta gerongan maupun ri-cikan alusan seperti rebab, gender, suling, siter, dan gambang. Jenis gending yang dibunyikan untuk gending pambuka misalnya gending Giro Endro, Giro Balen, Giro Jaten, dan gending-gending gagahan seperti Gagahan Gejig Jagung Slendro Sanga, Gagahan Sempa-yung Slendro Sanga, dan sebagainya.

Di dalam sajian pedalangan Jawatimuran gending wiwitan atau patalon dibunyikan sebagai pertanda bahwa pergelaran wayang kulit akan di mulai. Gending yang digunakan adalah Ayak Talu atau Ayak Sepuluh. Dan biasanya ki dalang sudah duduk di posisinya, atau bahkan ikut menabuh dengan memegang ricikan rebab atau gender. 8.4.3. Gending Jejer (Adegan Panggungan)

Gending jejer adalah gending yang penyajiannya setelah gending patalon suwuk atau berhenti yang kemudian dilanjutkan de-ngan Pathetan Slendro Pathet Pepuluh sampai selesai. Gending je-jer dilaksanakan setelah dhodhogan dalang sebagai tanda kesiapan jejer wiwitan. Buka atau intro dilakukan oleh rebab atau gender atau gambang (menurut kebutuhan), fungsinya adalah untuk mengiringi adegan awal pakeliran yakni jejer wiwitan atau adegan panggungan.

Pada pergelaran wayang kulit gaya Jawatimuran gending yang digunakan untuk mengiringi jejer adalah gending yang sudah dibakukan sesuai pakem (wet) yaitu gending yang secara tradisi se-lalu digunakan untuk mengiringi adegan jejer pertama. Adapun gen-ding yang digunakan itu adalah gending Gandakusuma Slendro Pa-thet Sepuluh. Kalau gaya Surakarta ada perbedaan, misalnya untuk jejer wiwitan dalam adegan Kahyangan menggunakan gending Ka-wit, untuk adegan negara Astina dengan gending Kabor, untuk nega-ra Amarta dengan gending Karawitan, dan sebagainya. 8.4.4. Pelungan atau Drojogan

Pelungan atau Drojogan adalah lagu vokal dalang yang di bawakan mengelir secara bersamaan dalam gending Gandakusuma, pada saat pelaksanaan ini sindenan berhenti. Isi cakepan atau syair-nya adalah menggambarkan tentang segala sarana yang terkait de-ngan aspek pakeliran seperti dalang sebagai purba wasesa, wayang dengan estetikanya, kelir atau jagadan, larapan, keprak, kotak serta tutupnya, cempala, blencong, perangkat gamelan, sinden, pradong-ga atau pengrawit, dan sebagainya.

Selain menggambarkan segala peralatan atau uba rampe yang terkait dengan pakeliran seperti tersebut di atas, syair pelungan juga mengisyaratkan permohonan ki dalang kepada Tuhan Pencipta Alam Semesta agar mendapatkan berkah keselamatan selama men-jalankan kewajibannya menggelar pakeliran semalam suntuk.

Page 326: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

314

Penyajian pelungan di bawakan dalam gending Gandaku-suma Slendro Pathet Sepuluh bagian inggah. Bagian inggah adalah merupakan bagian gending kelanjutan dari bagian awal atau merong (mbok-mbokan), sebelum janturan atau pocapan dalang di laksana-kan yakni pada saat sirepan gending. Contoh cuplikan bagian teks syair atau cakepan pelungan:

Ingsun miwiti ndalang Wayangku yana bambang paesan Kelire minangka jagad dumadi Yana larapan naga pepasihan Pracike yana tapele bumi Dhodhogku sangga bawana Gligen prajege wesi Pluntur mega mangkrang, plisir mega gupala Yana kawating lapat wekat Kothake wayang kayu cendana sari Yana tutupe jati kusuma Blencong kencana murti Sulake hyang bathara surya Urube hyang bathara brama ............................................ di barengi dengan sindenan Ingsun dalang purba wasesa (dhawah gong) Kairing pradangga niyaga putra ............................................ di barengi dengan sindenan Yana karengga swarane para waranggana ............................................ dan seterusnya

8.4.5. Gending Tamu

Gending Tamu adalah gending yang di gunakan untuk me-ngiringi adegan kehadiran tamu pada jejer pertama atau di tengah-tengah adegan pasewakan sedang berlangsung. Adapun gending-gending yang lazim di gunakan adalah gending Gedog Tamu Laras Slendro Pathet Wolu dan atau gending Krucilan Laras Slendro Pa-thet Wolu.

Berbeda dengan gending tamu dalam pakeliran gaya Sura-karta. Di dalam pakeliran gaya Surakarta untuk mengiringi tamu bi-asanya adalah gending-gending seperti gending Kembang Pepe, gending Moncer, dan sebagainya sesuai dengan kebutuhan. 8.4.6. Bedhol Panggung – Sanggar Pamujan

Gending Bedho Panggung adalah gending-gending yang di gunakan untuk mengiringi adegan bedhol panggung, yaitu adegan bubaran pasewakan raja yang kemudian langsung menuju sanggar pamujan atau setelah adegan pasewakan jejer pertama selesai. Gending-gending yang lazim di gunakan untuk mengiringi adegan

Page 327: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

315

bedhol panggung dalam pakeliran Jawatimuran adalah gending Ge-dhog Rancak Laras Slendro Pathet Wolu, gending Gagak Setra La-ras Slendro Pathet Wolu, dan gending Sapujagad Pelog Bem. 8.4.7. Ajar Kayon – Budhalan

Gending Ajar Kayon adalah gending-gending yang di guna-kan untuk mengiringi dalang ketika menggerakkan kayon yaitu ade-gan solah kayon, sebelum adegan budhalan prajurit atau punggawa praja di laksanakan. Mengawali adegan ini biasanya ada pocapan nyandra oleh ki dalang yang di iringi dengan gadhingan.

Gending yang di gunakan untuk ajar kayon adalah gending Ayak Kempul Arang Slendro Pathet Wolu. Irama atau tempo gending biasanya di mulai dari irama lambat, merangkak agak seseg kemudi-an seseg, teknik tabuhan menjadi kempul kerep sampai menjelang akhir gerakan kayon.

Adapun gending budhalan merupakan gending yang di gu-nakan untuk mengiringi adegan budhalan prajurit atau nayaka praja yang akan berangkat menunaikan tugas negara dan atau menuju medan laga. Gending yang di gunakan untuk budhalan lebih bebas, artinya tidak selalu gending baku seperti gending untuk jejeran. Ben-tuk gending budhalan bisa Sak gagahan, Ayak Gethekan atau Ayak Mlaku, dan lain-lainnya sesuai kesepakatan ki dalang dengan para pengrawitnya. 8.4.8. Perang Gagahan atau Dugangan

Perang Gagahan atau Dugangan merupakan adegan pe-rang yang wayangnya menggunakan wayang bentuk gagahan, contoh Setiaki, Udawa, Patih Kala Rangsang, dan lain sebagainya. Adapun gending-gending yang di gunakan untuk mengiringi adegan perang wayang gagahan pada pakeliran tradisi Jawatimuran antara lain Ayak Kempul Kerep, Gemblak, Krucilan serta Alap-alapan. 8.4.9. Undur-unduran Minta Sraya

Undur-unduran Minta Sraya adalah adegan di tengah-te-ngah situasi dan kondisi perang yang tidak seimbang, di mana salah satu dari tokoh yang perang mengalami kekalahan sehingga di perlu-kan bantuan dari fihak lain. Bantuan di upayakan pada teman dan kerabatnya atau panglima perangnya atau kepada siapapun yang bersedia untuk membantu dalam usaha mengalahkan atau mengun-durkan musuh yang datang.

Gending yang di gunakan untuk adegan minta sraya biasa-nya tidak banyak berubah dari gending iringan perang sebelumya. Perubahan terjadi hanya pada garap irama gending atau lagu, yang tadinya berirama agak seseg menjadi lebih seseg, sehingga memun-culkan suasana yang carut marut dan terkesan tergesa-gesa.

Page 328: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

316

Dalam adegan undur-undur minta sraya terkadang di selingi vokal ada-ada atau bendhengan kemudian di sambung tantang-tan-tangan kemudian baru gending iringan selanjutnya di bunyikan ber-dasarkan kebutuhan dan permintaan ki dalang. 8.4.10. Jejer Pathet Wolu – Gara-gara

Jejer Pathet Wolu adalah adegan jejeran yang di laksana-kan setelah jejer Pathet Sepuluh atau jejer wiwitan, dan lazim di se-but jejer pindho. Perubahan Pathet pada pakeliran Jawatimuran tidak di dahuli oleh bentuk Pathetan seperti pada pakeliran gaya Jawate-ngahan (Surakarta) di setiap perubahan adegan.

Perubahan Pathet pada pakeliran gaya Jawatimuran di tan-dai oleh perubahan garap ricikan saron/pancer kembangan saronan dan vokal kombangan yang di laksanakan oleh dalang. Di dalam je-jer Pathet Wolu atau jejer pindho biasanya langsung di lanjutkan adegan gara-gara bersama tokoh Semar, Bagong, dan Besut. Pada adegan gara-gara ini suasana pakeliran diubah menjadi lebih rileks atau santai, karena adegan ini dibuat lucu, penuh canda tawa untuk mengendurkan dan menyegarkan suasana yang tegang dampak dari bagian alur ceritera yang telah berlangsung sebelumnya. Di samping itu juga berfungsi untuk menarik minat dan menghibur penonton agar tidak jenuh. Bahkan dalam membuat kejutan ki dalang tak jarang memberi kesempatan kepada para penonton untuk berpartisipasi dan bersama-sama menyanyi atau melantunkan tembang dengan waranggana pilihannya.

Adapun gending-gendingnya bersifat bebas, tergantung se-lera penonton dan kemampuan pengrawit yang mengiringinya. Gen-ding yang dibunyikan tidak hanya terbatas gending-gending Jawati-muran saja, tetapi juga gending-gending daerah lain. Misalnya Sekar Dhandhanggula, Sinom, Pangkur, Asmaradana, Banyuwangian, Ba-nyumasan, dan lagu-lagu Campursari yang saat ini sedang populer di masyarakat.

Pada adegan gara-gara ini Pathet utama yang seharusnya masih diterapkan tidak menjadi patokan atau pertimbangan pokok bahkan dalam sajiannya bisa saja meminjam Pathet, istilah yang la-zim digunakan pada pergelaran wayang kulit semalam suntuk. Arti-nya Pathet yang seharusnya di laksanakan pada suasana adegan atau wayah sebelumnya dan atau suasana adegan sesudahnya da-pat saja diterapkan khusus dalam adegan ini. Maksudnya di dalam tradisi wayangan semalam suntuk ada pembagian waktu melaksana-kan Pathet. Wayangan Jawatimuran sesuai pakemnya (Pathet uta-ma) ketika adegan ini berlangsung adalah dalam suasana adegan atau wayah Pathet Wolu, sedangkan wayangan gaya Surakarta pa-da suasana adegan atau wayah Pathet Sanga.

Page 329: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

317

8.4.11. Gending Perang Buta (Buta Begal) Gending perang adalah gending-gending yang digunakan

untuk mengiringi adegan perang. Adapun bentuknya bisa Ayak Kem-pul Arang, Ayak Kempul Kerep, Krucilan, Gemblak atau Alap-alapan, serta bentuk gending garapan lain atau baru yang telah disepakati dan dilatih antara dalang dengan pengrawit.

Adegan perang buta begal atau raksasa penghalang terle-tak dan dilaksanakan setelah gara-gara usai. Pada pakeliran Jawa Tengah lazim dinamakan perang kembang. Adegan ini menggam-barkan peperangan antara satriya melawan raksasa penggoda atau penghalang perjalanan ketika seorang satriya akan menunaikan tu-gas atau ingin mencapai cita-cita yang akan diraihnya. 8.4.12. Jejer Pathet Sanga – Pertapaan

Jejer Pathet Sanga yang dalam hal ini adalah adegan Per-tapaan menggambarkan adegan jejer Pendita atau Bagawan yang dihadap oleh cantrik dan para satriya yang ingin berguru mencari il-mu kanoragan dan mengungkapkan kesulitan-kesulitan hidupnya agar mendapatkan solusi serta pencerahan. Adegan pertapaan ka-dang-kadang juga membahas mimpi putri sang Begawan yang ingin menikah dengan salah satu kesatriya seperti yang terjadi dalam alam mimpinya. Hal ini disesuaikan dengan ceritera atau lakon yang disajikan.

Gending-gending yang digunakan dalam jejer pertapaan ini kalau waktunya masih cukup maka digunakan gending Gedhe seper-ti gending Lambang, atau gending Monggrang Slendro Pathet Sa-nga. Tetapi kalau waktunya pendek atau tidak memungkinkan kare-na sudah menjelang pagi maka ki dalang menggunakan gending Ci-lik atau alit seperti gending-gending Sak Cokro, Saksamirah, dan se-jenisnya. 8.4.13. Adegan Candhakan

Adegan candakan adalah adegan yang terjadi disela-sela atau di antara adegan baku atau pokok pada setiap sajian antar wak-tu jejeran atau pengadeganan, tetapi masih selaras dalam suasana Pathet yang sedang berlangsung. Dalam adegan ini wayang yang di-keluarkan adalah punggawa praja, raja, dan resi namun tidak meng-gunakan janturan atau pocapan. Untuk mengiringi adegan candhak-an ini digunakan gending-gending Ayak, atau Krucilan. Contoh ade-gan bodholan jejer wiwitan dilanjutkan dengan adegan perang gagal kemudian adegan candhakan. 8.4.14. Brubuhan

Brubuhan adalah adegan perang terakhir (pungkasan) yang menggambarkan hancurnya simbol wayang berperilaku jahat mela-

Page 330: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

318

wan simbol wayang berperilaku baik. Sura dira jayaningrat lebur de-ning pangastuti. Becik ketitik, ala ketara. Sing sapa salah bakal se-leh. Di mana keserakahan dan kesombongan akan luluh oleh kemur-nian keadilan, sifat-sifat keburukan akan lebur oleh kebaikan, keja-hatan akan musnah oleh kebenaran dan kejujuran. Dan semuanya akan memetik hasil buahnya sesuai dengan amal perbuatannya ma-sing-masing (Ngundhuh wohing pakarti).

Adegan brubuhan terletak pada bagian suasana Pathet Se-rang, yaitu pada waktu menjelang pagi sebelum sajian pakeliran se-malam suntuk berakhir atau tanceb kayon. Gending untuk mengiringi adegan brubuhan ini menggunakan gending Ayak dan atau Alap-alapan Pathet Serang dengan suasana yang gegap gempita. 8.4.15. Gending Pamungkas

Gending Pamungkas merupakan gending yang disajikan atau ditabuh untuk mengakhiri pementasan pakeliran yang ditandai dengan tanceb kayon oleh dalang. Gending yang dibunyikan bisa bebas, tetapi masih dalam bingkai Pathet Serang, tergantung ke-mampuan, kesepakatan, dan selera dalang maupun pengrawitnya.

Tidak jarang pula sebuah paguyuban karawitan dan peda-langan mempunyai gending ciptaan sendiri yang di dalam cakepan gerongannya menggambarkan keberadaan atau identitas grup. Ka-dang-kadang juga berisi ucapan terima kasih kepada yang nanggap atau yang mempunyai gawe dan penonton. Di samping itu juga ung-kapan rasa syukur terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah melimpahkan berkah kekuatan, kelancaran, dan keselamatan, serta berisi harapan-harapan kebaikan di masa mendatang.

Gending pamungkas sebagai gending penutup pertunjukan juga ada yang mengadopsi dari gending-gending Jawatengahan. Sa-lah satu gending pamungkas pakeliran gaya Jawatimuran yang cu-kup populer di antara para dalang dan pengrawit adalah gending Ra-me Kutha Laras Slendro Pathet Serang. 8.5. Gadhingan 8.5.1. Pengertian dan Fungsi Gadhingan

Gadhingan adalah sejenis atau motif gending yang ditabuh dan digunakan untuk mengiringi dalang ketika sedang pocapan, jan-turan, dan nyanggit. Gadhingan berasal dari kata gadhing yang arti-nya mengiringi atau menyertai. Istilah dan model tabuhan ini hanya ada pada pakeliran gaya Jawatimuran.

Adapun fungsi gadhingan dalam sajian pakeliran wayang kulit Jawatimuran adalah untuk memperkuat suasana adegan yang sedang berlangsung. Misalnya dalam membangun suasana sebelum dimulai adegan ajar kayon ki dalang melaksanakan pocapan yang

Page 331: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

319

kemudian diberi dhodhogan mbanyu tumetes ini merupakan pertan-da atau sasmita bagi pengrawit bahwa adegan tersebut butuh ga-dhingan, maka gender lanang atau gender penerus dan atau gam-bang melaksanakan buka gadhingan yang selanjutnya diikuti oleh ricikan gender babok, slentem, siter, dan suling sesuai dengan balu-ngan gendingnya.

Demikian juga misalnya pada saat di dalam adegan-adegan akan dan atau di antara perang, di sana terdapat pocapan atau anta-wacana tantang-tantangan antar musuh, maka sasmita dalang seba-gai tanda permintaan iringan gadhingan adalah dhodhogan mbanyu tumetes. 8.5.2. Jenis Gadhingan dan Penggunaannya

Dalam penyajian pakeliran wayang kulit gaya Jawatimuran jenis gadhingan dikelompokkan menjadi dua bagian. Dua bagian ke-lompok gadhingan tersebut yakni gadhingan baku dan gadhingan ti-dak baku.

Gadhingan baku adalah bentuk atau jenis gadhingan yang dilaksanakan untuk mengiringi adegan-adegan pokok tertentu. Dan ada semacam keharusan dalam menggunakan jenis gending-gen-dingnya. Di dalam melaksanakan gadhingan baku repertoar gending-gendingnya adalah gadhingan Angleng, Emek-emek, dan Jula-juli.

Gadhingan tidak baku adalah gadhingan yang jenis atau re-pertoar gendingnya bebas tidak terikat oleh keharusan yang ada pada gadhingan baku. Di sini pelaksanaannya bisa menggunakan bentuk gending-gending dolanan atau yang lainnya. Misalnya: ga-dhingan Buto-buto Galak, Caping Gunung, Ali-ali, dan sebagainya. Penggunaan gadhingan di dalam pakeliran wayang kulit Jawatimur-an adalah sebagai berikut: 8.5.2.1. Gadhingan Ajar Kayon

Gadhingan Ajar Kayon yaitu gadhingan yang digunakan un-tuk mengiringi ki dalang dalam pocapan kayon. Adegan ini juga un-tuk menghantar menuju pada adegan Paseban Jawi. Gadhingan Ajar Kayon termasuk dalam gadhingan baku.

Notasi Gadhingan Ajar Kayon Slendro Pathet Wolu

Bk.: Gender Lanang/Gambang: . . . . . . . . . - 2 5 3 5 2 1 6 2 1 6 5 2 5 6 1

- 3 - 2 - 1 - 6 - 3 - 2 - 3 - 5

- 6 - 2 - 1 - 6 - 1 - 5 - 2 - 1 - 3 - 2 - 1 - 6 - 3 - 2 - 3 - 5

Page 332: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

320

8.5.2.2. Gadhingan Abur-aburan Gadhingan Abur-aburan yaitu gadhingan yang digunakan

untuk mengiringi pocapan dalang ketika Gathotkaca menyiagakan di-ri akan terbang atau mabur.

Notasi Gadhingan Abur-aburan Slendro Pathet Wolu

Bk.: Gender Lanang/Gambang: . . . . . . . - 6 1 2 - 1 6 5 - 6 1 2 5 1 2 6 - 2 - 3 - 2 - 1 - 2 - 1 - 2 - 6 - 2 - 6 - 2 - 5

- 2 - 5 - 2 - 6 - 2 - 3 - 2 - 1

- 2 - 1 - 2 - 6 - 2 - 6 - 2 - 5: 8.5.2.3. Gadhingan Wayang Nesu

Gadhingan Wayang Nesu adalah gadhingan yang diguna-kan untuk mengiringi pocapan dalang dalam suasana adegan wayang yang sedang marah.

Notasi Gadhingan Wayang nesu Slendro Pathet Wolu

Bk.: Gender Lanang/Gambang: . - - 3 1 2 3 5 6 1 5 3 2 5 3 2 1 - - - 6 - - - 5

- - - 2 - - - 1 - 3 - 3 1 2 3 5

- - - 3 - - - 2 - - - 6 - - - 5: 8.5.2.4. Gadhingan Wayang Tantang-tantangan.

Gadhingan Wayang Tantang-tantangan adalah jenis gadhi-ngan yang digunakan untuk mengiringi pocapan tantang-tangan an-tara wayang yang perang.

Page 333: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

321

Notasi Gadhingan wayang tantang-tantangan Slendro Pa-thet Wolu

Bk.: Gender Lanang/Gambang: . . . . . . . . . . - 1 - 2 - 1 - 2 3 1 2 6 3 1 2 6 3 2 1 2 - - - 6 - - - 5

- - - 5 - - - 2 - - - 2 - - - 6

- - - 5 - - - 2 - - - 2 - - - 5: 8.5.2.5. Gadhingan wayang Matak Aji Gadhingan wayang Matak Aji adalah gadhingan yang digu-nakan untuk mengiringi pocapan ki dalang ketika adegan wayang se-dang membaca mantera untuk mengeluarkan kesaktian.

Notasi Gadhingan wayang matak aji Slendro Pathet Wolu

Bk.: Gender Lanang/Gambang: . . . . . . . . - 2 - 1 - 2 - 1 2 6 1 5 2 6 1 5 - 6 - 2 - 6 - 5 - 2 - 1

- 2 - 1 - 2 - 6 - 2 - 1 - 6 - 5

- 6 - 5 - 6 - 2 - 6 - 5 - 2 - 1: 8.5.2.6. Gadhingan Serang Gadhingan Serang adalah gadhingan yang digunakan un-tuk mengiringi pocapan di segala suasana dalam adegan Pathet Se-rang.

Notasi Gadhingan Serang Slendro Pathet Serang

Bk.: Gender Lanang/Gambang: . . . - 6 - 3 - 6 - 5 - 1 - 2 - 1 - 6

. - 1 - 3 - 6 - 5 - 2 - 1 - 2 - 3:

Page 334: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

322

8.6. Bendhengan dan Sulukan atau Sendhon Bendhengan merupakan jenis vokal yang dibawakan oleh

seorang dalang yang mempunyai suasana tegang (sereng). Dalam pakeliran wayang kulit bendhengan digunakan untuk mengiringi ade-gan seperti budhalan wadya bala prajurit, adegan tantang-tantangan sebelum perang dan adegan wayang marah.

Adapun Sendhon merupakan jenis vokal dalang yang ber-suasana tenang, sendu (sedih). Sendhon dalam pakeliran wayang kulit biasanya diterapkan untuk mengiringi adegan wayang susah, adegan jejer pertama setelah gending Gandakusuma suwuk. 8.7. Notasi Gending 8.7.1. Gending Ayak Talu Slendro Pathet Sepuluh

Bk. Kendang

. . . Sr 1 5 - 2 3 5 6 2 3 5 6 3 5 6 1 2 1 6 . . . . Sr 1 3 3 3 - 1 3 3 2 5 1 1 - 5 1 1 6

A: 6 2 5 3 6 5 2 1 3 2 5 3 6 5 2 1 5 2 3 5 1 2 3 5 . . . . 6 2 2 1 6 6 6 5 6 6 6 - 6 6 6 1 6 6 6 - 3 6 6 5 . . . . . . . . . 2 1 3 1 3 5 6 1 2 1 3 1 3 5 6 1 5 6 1 2 1 6 5 3 . . . . 5 2 3 5 2 1 2 3 5 1 1 - 5 1 1 6 5 5 5 - 2 5 5 3 . . . . . 5 1 1 - 5 1 1 6 5 5 5 - 2 5 5 3 3 6 3 5 1 6 3 2 . . . 1 6 2 3 5 6 3 5 6 1 2 6 1 2 3 5 2 6 2 3 6 5 3 2 . . . . 3 6 6 2 2 6 6 5 3 3 3 6 6 3 3 2 3 6 6 2 2 6 6 5 AM . 3 3 3 6 6 3 3 2 2 5 5 2 2 3 3 5 1 6 3 2 5 6 3 5 . . . . . . . . 6 2 2 2 6 2 2 1 6 6 6 - 3 6 6 5 6 2 2 2 6 2 2 1 . . . 3 1 2 3 2 1 2 3 5 2 5 2 5 6 1 2 1 6 5 2 3 2 1 6 . . . . 3 3 3 - 1 3 3 2 5 1 1 - 5 1 1 6 3 3 3 - 1 3 3 2 . . . . 5 1 1 - 5 1 1 6

Page 335: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

323

Mencepat: . . . . . . AM: 5 2 3 5 6 1 6 5 2 2 2 1 6 6 6 5 6 1 6 2 3 1 2 3 6 5 3 5 3 2 1 6 B: . . . . . . . 3 3 3 2 1 1 1 6 3 3 3 2 1 1 1 6 2 5 6 1 5 3 2 1 . . . . . . . 3 2 1 6 5 1 6 5 6 2 6 2 6 2 6 1 6 3 6 1 6 3 6 1 . . . . . . . . 2 1 6 3 5 1 2 3 1 1 1 6 5 5 5 3 1 1 1 6 5 5 5 3 . . . 6 5 3 2 6 5 3 5 1 3 2 1 2 5 3 2 5 6 1 6 5 2 6 1 . . . . 5 6 1 6 5 6 1 2 AM 1 6 2 3 5 6 3 5 1 3 2 1 . . 2 5 3 2 6 1 6 2 3 1 2 3 6 5 3 5 3 2 1 6 Mencepat: AM: - 5 5 2 2 3 3 5 C: . . . 2 2 5 5 2 2 5 5 1 2 1 6 2 3 5 6 3 3 6 6 3 3 6 6 . . . . . . . 3 5 1 6 3 5 6 1 5 6 1 2 1 2 1 6 5 6 5 3 5 2 3 5 . . . . . . . 1 1 5 5 1 1 5 5 1 2 5 3 5 1 2 3 6 6 3 3 6 6 3 3 1 2 5 3 1 2 3 5 2 6 2 3 6 5 3 2 Swk. 5 5 2 2 5 5 2 2 1 2 5 3 1 2 3 5 . . Swk: 2 2 5 3 5 2 1 6 2 6 6 2 3 6 6 5

Dilanjutkan: Ayak Slendro Sepuluh .

Bk. Kendang 3 - 3 - 3 1 6 5 3 . . . . 6 3 6 3 6 3 6 3 3 1 1 6 6 5 5 3 5 6 2 1 5 2 3 5 2 6 2 3 6 5 3 (2) A: . . . . . . . . 5 2 5 2 5 2 5 2 5 6 1 2 1 5 1 6 5 6 2 1 2 6 1 5 . . . . 6 2 2 1 6 6 6 5 6 6 6 - 6 6 6 1 6 6 6 - 3 6 6 5 . . . . . . . . 2 1 3 1 3 5 6 1 2 5 1 6 1 2 3 5 2 6 5 3 2 6 1 2 . . . . . . . 2 6 5 3 2 2 1 6 1 5 6 1 6 5 1 6 3 3 3 2 1 5 1 6 . 5 2 5 3 2 5 2 1 1 6 5 3 1 2 3 5 AM

Page 336: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

324

. . . . . . 2 1 6 5 6 1 5 6 2 1 6 5 6 1 5 6 5 2 5 6 5 2 5 3 . . . . . . . 2 2 6 6 3 3 2 2 6 6 3 3 2 6 2 3 1 6 2 1 5 2 3 5 2 6 2 3 6 5 3 2 AM - Minggah : C: . . . . 2 5 2 5 2 5 2 5 - 6 1 2 - 6 1 2 6 6 5 6 2 3 5 6 . . . . . . . . . 2 6 6 2 6 3 3 6 - 6 1 2 - 6 1 5 - 6 2 1 2 5 6 1 . . . . . . . . 6 1 2 6 2 1 6 5 2 5 2 5 2 5 2 5 - 6 1 2 - 6 1 2 . - 6 2 1 2 6 5 3 6 3 6 3 6 3 6 3 - 6 1 2 - 6 3 2 . . . - 6 2 3 5 6 3 5 6 1 2 6 1 5 3 2 Swk. . . 5 2 5 2 5 2 5 2 - 6 1 2 - 6 3 2 - 6 2 3 5 6 3 5 . . Swk: 2 2 5 3 5 2 1 6 2 6 6 2 3 6 6 5 8.7.2. Gending Jejer Slendro Pathet Sepuluh Gd. Gandakusuma Slendro Pathet Wolu

Bk. - 2 2 - 2 3 5 6 - 2 - 1 - 6 - 5

A: 2 3 1 2 3 1 2 3 5 6 1 6 2 1 6 5

3 2 1 2 5 3 2 1 5 6 1 6 2 1 6 5

B // 3 2 1 2 3 1 2 3 5 6 1 6 2 1 6 5

3 2 1 2 5 3 2 1 5 6 1 6 2 1 6 5 //

C: 3 2 1 2 6 3 5 6 1 1 2 1 3 2 6 5

3 2 1 2 5 3 2 1 5 6 1 6 2 1 6 5

D // 3 2 1 2 3 1 2 3 5 6 1 6 2 1 6 5

Page 337: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

325

3 2 1 2 5 3 2 1 5 6 1 6 2 1 6 5 //

E: 3 2 1 2 3 1 2 3 5 6 1 6 2 1 6 5

3 2 1 2 5 3 2 1 3 2 6 5 3 2 1 6

Suwuk: F: 3 - 3 2 5 - 5 3 5 - 5 6 3 - 3 5

3 - 3 2 3 - 3 1 3 - 3 6 3 - 3 5

8.7.3. Gending Gedhog Tamu Slendro Pathet Wolu Bk. Kendang 1

- 2 - 1 - 2 - 1 - 3 - 2 - 3 - 2

- 5 - 3 - 2 - 1 - 6 - 5 - 6 - 5

- 6 - 5 - 6 - 5 - 2 - 3 - 2 - 1

- 2 - 1 - 3 - 2 - 3 - 2 - 6 - 5

21 32 51 56 2 1 6 5 - 3 - 2 - 3 - 1

- 2 - 1 - 3 - 2 - 3 - 2 - 3 - 2

- 3 - 1 - 2 - 1 - 2 - 1 - 2 - 1

- 6 - 5 - 6 - 5

- - - 2 - - - 6 66 -6 65 62 32 12 35 6

6 6 - 6 6 2 1 - 6 1 61 56 2 1 6 5 2 5 6 1

- 3 - 2 5 3 2 1 3 2 1 6 2 1 6 5

6 1 2 1 5 6 1 2 5 6 1 6 5 2 1 6

- 3 - 2 5 3 2 1 3 2 1 6 2 1 6 5

3 2 1 6 3 2 3 1 3 2 1 6 2 1 6 5

3 2 1 6 3 2 3 1 3 2 1 6 3 5 3 2

- 3 - 2 - 5 - 3 6 5 3 2 1 3 2 1

Page 338: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

326

5 5 6 13 23 53 16 52 12 -2 12 -5 15 32 35 6

1 5 6 1 3 5 3 2 - 5 - 3 - 2 - 1

5 5 6 13 23 53 16 52 12 -2 12 -5 15 32 35 6

1 5 6 1 3 5 3 2 - 5 - 3 1 3 2 1

Suwuk: 3 2 1 6 1 2 3 5 3 2 1 6 2 3 2 1

- 3 - 2 - 1 - 6 - 2 - 1 - 6 - 5

8.7.4. Gending Bedhol Panggung 8.7.4.1. Untuk suasana normal atau lazim: Gd. Gagak Setro Slendro Pathet Wolu

Bk. 6 5 6 1 - 3 - 2 - 6 - 5 p n p n // - 6 - 1 - 6 - 5 - 6 - 2 - 6 - 1

- 6 - 2 - 6 - 1 - 3 - 2 - 6 - 5 //

8.7.4.2. Untuk suasana sedih atau nglangut Gd. Gedhog Rancak Slendro Pathet Wolu

Bk. kendhang (2)

n n/p n n/p // 5 5 2 2 5 5 2 2 6 3 5 6 2 3 5 6 . . . 3 3 6 6 3 3 6 6 1 5 6 1 2 5 6 1 . . . . . . . 1 5 5 6 6 1 1 2 2 5 5 1 1 6 6 5 . . . . . . . . 1 1 5 5 1 1 5 5 1 1 5 5 1 1 5 5 3 2 1 2 3 5 3 2 // Swk. 5 2 2 3 3 5 5 6 6 2 2 5 5 3 3 2 2 3 3 2 2 1 1 6 6 2 2 1 1 6 6 5

Page 339: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

327

8.7.5. Ajar Kayon – Budhalan Gd. Ayak Kempuul Arang Slendro Pathet Wolu

Bk. kendhang - 2 - 2 - 2 3 5 3 (2) Saron

p p p p/n p n // - 5 - 2 - 6 - 5 - 2 - (1)

- 3 - 1 - 3 - 2 - 1 - 6 p

p/n

- 1 - 6 - 5 - 3 - 2 - 1 - 6 - 5

- 1 - 5 - 1 - 6 - 3 - (2)//

Swk - 1 - 6 - 1 - 5

8.7.6. Perang Alap-Alapan

Gd. Alap-alapan Slendro Pathet Wolu

. . . . Bk. kendhang 2 - 2 - 2 - 2 1 6 5 6

Saron . . . . . Sr 1 3 6 3 6 1 1 5 1 5 1 5 1 5 2 2 5

Dm - - - 3 - - - 2 - - - 3 - - - 5

Kp - 5 - 5 - 5 - 5 - 5 - 5 - 5 - 5

Kn - - - - - - - 1 - - - - - - - 5

Sr 1 2 5 2 5 2 2 5 2 5 2 5 2 6 6 3 6

Dm - - - 3 - - - 2 - - - 3 - - - 6

Kp - 5 - 5 - 5 - 5 - 5 - 5 - 5 - 5

Kn - - - - - - - 2 - - - - - - - 6

. . . . . Sr 1 3 6 3 6 1 1 5 1 5 1 5 1 5 2 2 5

Dm - - - 3 - - - 1 - - - 3 - - - 5

Kp - 5 - 5 - 5 - 5 - 5 - 5 - 5 - 5

Kn - - - - - - - 1 - - - - - - - 5

Page 340: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

328

Swk. . . . Sr 1 2 2 5 3 5 2 1 6 2 6 6 2 - - - 5

Dm - - - 1 - - - 6 - - - 1 - - - 5

Kp - 5 - 5 - 5 - 5 - 5 - 5 - 5 - G

Kn - - - - - - - 6 - - - - - - - 5

8.7.7. Perang Krucilan

Gd. Krucilan Kempul Kerep. Slendro Pathet Wolu

Bk. kendhang - 6 - 2 - 1 - 6 - 5 Saron

. . . . . . . Sr 1 - 1 6 5 6 1 6 - 6 1 6 1 2 1 2 -

Dm - - - 1 - - - 6 - - - 1 - - - 2

Kp - 5 - 5 - 5 - 5 - 5 - 5 - 5 - 5

Kn - - - - - - - 6 - - - - - - - 2

. . . . . . Sr 1 2 1 2 1 6 1 6 - 6 1 6 5 2 3 5 -

Dm - - - 1 - - - 6 - - - 1 - - - 5

Kp - 5 - 5 - 5 - 5 - 5 - 5 - 5 - 5

Kn - - - - - - - 6 - - - - - - - 5

Swk. . . Sr 1 2 2 5 3 5 2 1 6 2 6 6 2 - - - 5

Dm - - - 1 - - - 6 - - - 1 - - - 5

Kp - 5 - 5 - 5 - 5 - 5 - 5 - 5 - G

Kn - - - - - - - 6 - - - - - - - 5

Page 341: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

329

BAB IX

NASKAH 9.1. Pakeliran Padat

Di era globalisasi seperti dewasa ini, dalang dituntut memili-ki kreativitas tinggi. Modernisasi di bidang teknologi dan komunikasi membawa dampak yang cukup besar terhadap kehidupan seni per-tunjukan wayang kulit baik dampak positif maupun negatif. Daya tarik pertunjukan wayang kulit menjadi pertaruhan bagi seniman dalang terhadap masyarakat, umumnya generasi muda yang telah terpikat dan telah dimanjakan oleh modernisasi teknologi informasi maupun komunikasi. Kreatifitas dan Inovasi dalam pertunjukan sangat dibu-tuhkan untuk membuat wayang tetap bertahan ditengah derasnya arus perubahan di berbagai bidang kehidupan.

Pakeliran padat adalah salah satu jawaban atas tantangan perubahan jaman tersebut, yang merupakan suatu bentuk kerja kre-atif inovatif dalam bidang garap pertunjukan wayang kulit. Muncul pertama kali pada tahun 1973 di Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Surakarta (sekarang ISI Surakarta) dan semakin mendapat-kan tempat di masyarakat serta mencapai bentuk kemapanannya 3 (tiga) tahun kemudian yaitu 1976.

Dimaksud padat dalam hal ini bukan saja memadatkan, me-mampatkan atau meringkas durasi pertunjukan yang semula sema-lam suntuk menjadi 1 (satu) jam, 2 (dua) jam atau paling lama 4 (em-pat) jam saja, namun merupakan suatu tindakan dan proses kreatif yang meliputi semua unsur yang tercakup dalam pertunjukan wa-yang kulit. Unsur-unsur yang tercakup dalam garap tersebut antara lain garap cerita atau lakon, garap antawacana yang meliputi jantur-an, pocapan, dan catur, garap vokal sulukan (sendhon, ada-ada, Pa-thetan, kombangan), garap sabet, dan ataupun garap iringan.

Pakeliran padat biasanya digelar dalam forum-forum yang bersifat khusus seperti misalnya forum ujian, festival, lomba ataupun forum-forum lain yang bersifat apresiatif. Memang belum lazim dige-lar dalam forum umum salah satunya mengingat durasi penyajiannya yang pendek, namun dewasa ini bayak dalang-dalang kreatif yang mengadopsi pola-pola garap yang terdapat dalam pakeliran padat dan kemudian menyajikannya dalam pertunjukan yang utuh atau pertunjukan semalam suntuk.

Meskipun pakeliran padat lebih bersifat temporal namun penggaparannya masih berpijak dan mengembangkan dari pola-pola baku yang sudah ada dengan tetap mengutamakan nilai-nilai estetis serta artistik sebagai bentuk kesenian hayatan.

Page 342: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

330

9.2. Pakeliran Semalam Suntuk Disebut semalam suntuk karena menunjuk pada durasi pe-

nyajiannya yang dimulai dari sore atau malam hari dan berakhir pada pagi hari berikutnya selama ± 7 s/d 9 jam. Sedangkan bentuk penya-jiannya tetap mengacu pada atauran-aturan atau kebiasaan-kebiasa-an baku yang berlaku secara umum. Misalnya antara lain dalam se-malam suntuk tersebut pertunjukannya terikat dengan tata urutan Pathet Nem, Sanga, Manyura (Gaya Surakarta) atau Pathet Sepu-luh, Wolu, Sanga dan Serang (Gaya Jawatimuran). Pembagian Pa-thet tersebut disesuaikan dengan waktu sebagai berikut :

Gaya Surakarta Gaya Jawatimuran

Pathet Nem Jam : 21.00-24.00

Pathet Sepuluh dan Pathet Wolu

Jam : 21.00-02.00

Pathet Sanga Jam : 24.00-04.00 Pathet Sanga

Jam : 02.00-04.00

Pathet Manyura Jam : 04.00-06.00 Pathet Serang

Jam : 04.00-06.00

9.3. Skenario

Skenario dalam Seni Pedalangan lazim disebut dengan Ba-lungan Lakon, merupakan ringkasan cerita yang disusun berurutan mulai awal sampai akhir pertunjukan berisi adegan-adegan, tokoh-to-koh yang berperan dalam tiap-tiap adegan serta topik tiap-tiap ade-gan (wosing gati).

Tiap-tiap gaya pedalangan tentunya memiliki tata aturan yang berbeda dalam penyusunan skenario, salah satu contoh pada pedalangan Gaya Surakarta dalam pertunjukannya terbagi dalam 3 (tiga) Pathet yaitu, Pathet Nem, Pathet Sanga, dan Pathet Manyura. Sedangkan pada pedalangan gaya Jawatimuran mulai awal sampai akhir pertunjukan terbagi dalam 4 (empat) Pathet, yaitu Pathet Sepu-luh, Pathet Wolu, Pathet Sanga dan terakhir Pathet Serang. Tiap-tiap Pathet dalam pedalangan gaya Surakarta dibagi menjadi beberapa adegan, misalnya dalam Pathet Nem terdapat jejer pertama, Babak Unjal, Gapuran, Kedatonan, Pasowanan Jawi, Jaranan/kapalan, Pe

Page 343: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

331

rang Ampyak, jejer ke dua pada umumnya adegan Sabrang, dan pe-rang gagal. Secara lengkap pada umumnya gaya Surakarta memiliki susunan kerangka cerita sebagai berikut : 9.3.1. Pathet Nem

Jejer pertama biasanya jejer kerajaan (Amarta, Astina, Dwarawati), namun demikian ada juga yang bukan jejer kerajaan, misalnya dalam cerita Janggan Asmarasanta. Jejer pertama adalah adegan Panakawan Semar, Gareng, Petruk, Bagong.

Babak Unjal adalah adegan datangnya tamu yang masuk dalam adegan jejer pertama, misalnya jejer Amarta kedatangan tamu Resi Durna, atau Raja Sabrang. Kalaupun tidak menggunakan ba-bak unjal adegan tersebut biasanya memanggil senapati atau pung-gawa. Adegan ini disebut Inggah-inggahan. Ada pula yang babak un-jalnya 2 kali, misalnya jejer Dwarawati dengan babak unjal Gathotka-ca, dan tamu berikutnya adalah Boma. Ada lagi perpaduan antara babak unjal dengan inggah-inggahan, misalnya jejer Dwarawati de-ngan babak unjal Prabu Baladewa lalu memanggil Abimanyu, peristi-wa ini disebut inggah-inggahan.

Adegan Gapuran ini menandai berakhirnya adegan jejer (bedholan), yang dilanjutkan dengan perjalanan Sang Raja menuju Kedaton. Dalam perjalanannya raja menyempatkan diri untuk menik-mati keindahan suasana dalam kerajaan, salah satunya adalah kein-dahan gapura. Dewasa ini adegan gapuran sudah jarang sekali disa-jikan utamanya pertunjukan yang berada di daerah-daerah pedala-man/pedesaan, selain durasi adegan yang panjang dan monoton, gending yang digunakan juga cukup sulit garapnya yaitu gending Ayak-ayakan panjangmas serta janturan yang sulit dan juga panjang.

Kedatonan merupakan adegan pertemuan antara raja de-ngan permaisuri di dalam kedaton. Adegan ini juga sudah jarang di-sajikan. Pasowanan Jawi adalah adegan yang biasanya dipimpin oleh tokoh berpangkat patih, yang mengabarkan hasil dari pertemu-an (pasowanan) dalam adegan jejer pertama kepada segenap pung-gawa kerajaan yang tidak terlibat dalam adegan jejer pertama terse-but, kemudian dilanjutkan dengan adegan jaranan/kapalan yaitu pra-jurit menunggang kuda, diteruskan perang ampyak, bergotong ro-yong memperbaiki jalan rusak yang akan dilalui oleh pasukan.

Adegan Sabrang adalah kerajaan di luar kerajaan jawa, atau kerajaan seberang lautan, atau jelasnya lagi kerajaan yang raja-nya bersifat jahat. Merupakan adegan jejer ke dua dalam Pathet Nem. Tokoh dalam adegan ini dapat bermacam-macam Raksasa Muda (adipati), Raksasa/Buta Raton (raja), sabrang bagus, sabrang gagah. Namun ada pula yang bukan adegan sabrang, misalnya ade-gan Jagal Walakas, adegan kademangan Widarakandang dengan demang Antagopa, adegan pertapaan seperti dalam cerita Pregiwa-Pregiwati.

Page 344: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

332

Perang Gagal adalah adegan pertempuran dalam Pathet Nem. Peperangan dapat terjadi antara prajurit dari kerajaan jejer per-tama dengan pasukan dari kerajaan jejer ke dua (sabrang), tapi bisa juga antara prajurit dari kerajaan jejer pertama (Amarta, Dwarawati) dengan prajurit dari Astina yang secra kebetulan bertemu di jalan dan memiliki tujuan yang sama sehingga terjadi perselisihan.

Adegan Sabrang Rangkep memang jarang terjadi dan ha-nya terdapat dalam lakon-lakon tertentu. Selain tokoh raja sabrang bisa juga adegan kahyangan, atau adegan ditengah hutan, dan lain-lain. 9.3.2. Pathet Sanga

Gara-gara adalah naratif dari huru-hara alam dan kemudian dilanjutkan dengan adegan panakawan bersuka ria, menari dan me-nyanyi, menyajikan lagu-lagu/gending dolanan.

Lazimnya pada jejer pertama dalam Pathet Sanga berisi adegan jejer pertapaan atau kapandhitan, namun bisa juga adegan kerajaan, kesatriyan, adegan panakawan, dan lain-lain sesuai de-ngan kebutuhan lakonnya. Alas-Alasan adalah adegan perjalanan kesatriya yang diiring oleh panakawan sedang melakukan perjalanan setelah turun dari pertapaan, melalui hutan belantara. Adegan ini bi-sa juga diganti adegan pasowanan jawi apabila jejer Sanga pertama berada di kerajaan.

Perang Kembang adalah perang antara ksatriya melawan raksasa (cakil), atau ksatriya melawan harimau, dan sebagainya, merupakan adegan perang pertama dalam Pathet Sanga. Adegan Sintren adalah adegan jejer setelah adegan perang kembang. Dalam beberapa lakon adegan sintren tidak ada.

Perang Sampak Tanggung atau Perang Sintren adalah adegan perang ke dua dalam Pathet Sanga. Dalam beberapa lakon adegan perang ke dua ini tidak ada. 9.3.3. Pathet Manyura

Adegan Manyura pertama dapat berupa jejer kerajaan, pa-depokan, kahyangan, ataupun kasatriyan. Adegan Manyura kedua dapat disambung dengan adegan-adegan berikutnya. Perang Ma-nyura pertama, dapat diikuti adegan-adegan berikutnya dalam Pa-thet Manyura.

Amuk-amukan atau Perang Brubuh adalah merupakan pe-rang terakhir dalam pertunjukan semalam suntuk yang menandai ke-kalahan dari tokoh jahat dan kemenangan dari tokoh baik. Tayungan adalah tarian yang melambangkan kegembiraan setelah mendapat-kan kemenangan dalam perang brubuh. Tarian ini biasanya dilaku-kan oleh tokoh Bima, Bathara Bayu, Anoman atau bahkan panaka-wan Petruk dengan menari jathilan. Jejer Manyura terakhir adalah

Page 345: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

333

pertemuan pihak yang jaya atau sang pahlawan dilanjutkan dengan tanceb kayon.

Susunan adegan dalam satu lakon tersebut tidak mutlak tergantung lakon/cerita yang disajikan, dan hal tersebut bisa berubah tergantung sanggitnya dalang dalam menyusun adegan. Susunan adegan pakeliran gaya Surakarta ada sedikit perbedaan dengan ga-ya Jawatimuran. Adegan seperti perang ampyak, gara-gara, adegan sintren tidak terdapat dalam pakeliran gaya Jawatimuran. Beberapa adegan lain sama hanya istilahnya saja yang berbeda, misalnya adegan Perang Gagal pada gaya Surakarta yang hanya dilakukan satu kali dalam Pathet Nem, untuk gaya Jawatimuran disebut de-ngan perang sepisan, dan bisa didapat dua atau tiga kali adegan yang sama dalam satu Pathet. Adegan perang kembang gaya Sura-karta, di Jawatimuran disebut perang gagal yang melambangkan ke-gagalan nafsu jahat yang menghalangi nafsu suci (baik).

Page 346: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

334

9.4. Naskah Pertunjukan Wayang Semalam Suntuk gaya Jawatimuran dalam cerita Resa Seputra

(nara Sumber: Ki Dalang Bambang Sugio, tahun 2004, di Gedung Arstistika SMKN 9 Surabaya jalan Siwalankerto Permai I Surabaya. Dalam rangka penyerapan materi jurusan seni Pedalangan) Cak-ing pakeliran.

Jejer Negari Purwacarita Buka rebab, mungel gendhing Gandakusuma laras Slendro pathet Sepuluh. Wayang Semar lan Bagong kabedhol, kaseleh wonten ing eblek tengen. Kayon kabedhol sesarengan, lampah lamba lajeng lampah rangkep, alon kapisah pindha wenganing gapura, ngantos dumugi pinggir, kayon kabeksa aken. Kayon katutup kanthi pethit ing kayon manunggal, lajeng dipun pisah mangiwa-manengen, katan-cepaken sesarengan wonten ing pinggir. Emban medal saking sisih tengen mangiwa kanthi kabeksaaken lampah lamba lajeng rangkep, katolehaken manengen nuli sembahan ambal kaping kalih lajeng tancep ing paseban tengen. Wayang beksan utawi punggawa bek-san kawedalaken saking sisih kiwa manengen kanthi lampah lamba lajeng rangkep, ringgit tancep nuli capeng lajeng gebes dawah gong. Ringgit kabeksaaken lajeng sembahan, nuli tancep ing paseban kiwa. Wayang punggawa angka kalih kawedalaken saking sisih kiwa manengen kanthi lampah lamba lajeng rangkep, ringgit nuli sembah-an tancep wonten ing paseban kiwa sak wingkingipun punggawa beksan. Putran kawedalaken (raden Sumalintana) saking sisih kiwa manengen kanthi beksan nuli sembahan lajeng tancep ing paseban tengen sak ngajengipun emban. Patih Mangkupraja kawedalaken sa-king sisih kiwa manengen ing tengah nuli atur sembah lajeng tancep ing paseban kiwa sak ngajengipun punggawa beksan radi majeng. Gangsa kainggahaken utawi udar tanda sang prabu nedya miyos ing pasewakan. Patih kebedhol nedya mapak rawuhipun nalendra, kan-thi lumampah manengen. Prabu Sumalidewa kawedalaken saking si-sih tengen asta sedakep kaderekaken patih mangkupraja. Sang pra-bu tancep ing siti inggil tengen, patih tumoleh manengen lajeng atur sembah. Patih tancep ing papan sakawit. Saksampunipun ringgit ka-tata kanthi teliti, gangsa kasirep kalajengaken Pelungan.

Page 347: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

335

P e l u n g a n ( Gaya Porongan )

2 2 2 2 2 2 2 1 1 1 2 2 2 2 2 (ktk) Sun mi-wit-i An-dha-lang, Wa-yang-ku Bam-bang pa - e - san 3 3 3 3 3 1 1 1 1 1 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 (Kpl-3) Ya-na ke-lir-e Ja-gad du-ma-di, la-ra-pan-e na-ga pe-pa-si-han 5 5 5 2 5 6 6 6 6 6 6 2 2 2 1 1 1 16 6 (ktk) Pra-ci-ke ta-pel-ing jagad gu-me-lar, dro-jog-ku sangga ba - wa - na . 5 6 5 6 1 56 5 2 2 2 1 1 1 165 5 (Kn-5)

Gli-gen ra-jeg-e we-si, blen-cong-ku ken-ca-na mur-ti 2 2 2 2 2 2 2 2 (ktk) U-ru-be Ba-tha-ra Bra-ma . . . . . . . . . . . . . . . 2 2 2 2 2 2 2 2 2 1 3 – 2121 Ya-na su-lak-e Sang Hyang Sur-ya, o…….., o…… . 5 2 1 1 1 1 1 1 1(Kpl-1) 5 61 Ing-sun dha-lang purba wa-se-sa, Eng - yang . . . . . . 1 2 2 2 2 1 5 2 35 5 5 5 (ktk) Ya-na ko-thak-e, ka-yu cen-dha-na sa-ri . . . . . . . . . . . . . . . 2 3 3 3 3 3 3 3 3 5 6 1 1 1 1 1 1 (gong ngelik) Tu-tup dhu-wur ba-pa a-ka-sa, dha-sar-e I-bu per-ti-wi . . . . . . . . . 1 2 2 2 2 2 2 2 2 (ktk) Yana ke-pyak-e ge-lap ngam-par, . . . . . . . . . 2 3 2 6 216 6 6 6 (Kpl-6) 2-121 ken-dhang pang-ge - tak - e a-ti, o……….. . . . . . 5 5 5 5 5 5 5 5 5 6 1 1 1 1 1(ktk) Gen-der pa-nun-tun-ing la-ras, gambang ga-rut-ing a-ti . . . . . . . . 1 2 2 2 2 2 2 1 5 2 3 5 5 5 (kn-5) + isen sinden Peking pe-ni-tik dli-ma, sa-ron pa-nyam-bung na-pas 3 3 3 3 32 2 2 2 (ktk) irama seseg

Kenong pa-nu-tup-ing pa-da

Page 348: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

336

5 5 5 5 53 3 3 3 2 2 2 21 1 (kpl-1) Kempul pandu – dut – ing a-ti, Gong sekar dli – ma 2 2 2 2 2 2 2 2 21 6 (ktk) Ya-na pra-dang-ga – pra-dang-ga pu - tra 5 6 1 1 1 1 3 2 165 5 (Gong) Wa-rang-ga-na saking su-ra – la – ya Sak telase pelungan, gangsa kasirep kalajengaken janturan.

Janturan Negari Purwacarita

Anenggih sinigeg ing swuh rep data pitana sekaring bawa-na langgeng. Tiyang ngringgit sedalu mangke nggelar kandha pur-wa, nggelar jaman purbakala. Pundi ta ingkang minangka purwaka-ning kandha. Anenggih punika ta gelaring Negari Purwacarita.

Swuh wa eka adi dasa purwa. Wa pangaraning wadah, eka marang sawiji, adi linuwih, dasa Sepuluh purwa wiwitaning kandha. Sapta raja sasra bawana mindra. Sapta pitu raja ratu sasra sewu ba-wana jagad, mindra mider. Midera sajagat rat pramudhita, sanadyan ta kathah titahing dewa ingkang kaungkulan ing akasa kasangga ing pratiwi kaapit ing samodra, nanging candranipun datan kadya ing Negari Purwacarita. Bebasan njajaha sewu negara tan wonten seda-sa ngupaya-a satus tan ganep kalih. Dhasar candrane Negari Pur-wacarita negari ingkang panjang punjung loh jinawi gemah ripah tata kerta tur raharja. Panjang dawa pocapane, punjung luhur kawibawa-ne, pasir samodra wukir gunung.

Nyata Negari Purwacarita negari ingkang nengenaken pa-sabinan ngeringaken tegalan, ngungkuraken pagunungan tur mang-ku bandaran ageng. Loh tulus kang sarwa tinandur, jinawi murah kang sarwa tinuku. Swasana negari mirah boga lan busana, liripun murah sandhang klawan pangan, ngibarat datan wonten para warga ingkang dhahar kirang, nyandhang cingkrang, tandha yen gesangi-pun sarwa kacekapan. Ingkang wonten karang padesan samya sa-yuk saeka praya anggenipun mangun karukunan, remen tuntun ti-nuntunan, daya dinayan, mad sinamadan, tandha yen ing Negari Purwacarita datan wonten warga ingkang remen cecongkrahan. De-ne gemah lampahipun para warga ingkang lumampah dedagangan, dagang alit, dagang ageng sanadyanta dagang lelayaran, siyang pantaraning ratri ndlidir tan ana pedhote, tan ana rubeda ing deda-lan. Aman sentosa swasananing praja apa ta tandhane. Wanci dalu tan ana kori ingkang cinengkal lamun rahina tan ana rajakaya ing-kang kinandhangan. Samya gelar sepapan wonten ing papan pango-

Page 349: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

337

nan, wancine Sang Dewangkara mangklung kilen wangsul dhateng kandhange piyambak-piyambak cinandra golong-golong mangetan, golong-golong mangulon tan ana kang kacicir ing dalem sajuga. Ri-pah werdine para bangsa manca ingkang bebara dhateng Negari Purwacarita candrane jejel riyel pipit aben cukit tepung taritis, papan jembar katingal rupak, ratan jembar katingal ciut saking kathahing para warga.

Pramila yen cinandra Negari Purwacarita dhasar negari ing-kang jero tancepe, jembar wewengkone, padhang jagade, adoh kun-carane. Ewadene saking manca praja tlatah sabrang kathah nalen-dra ingkang sami sumuyut datan karana ginebag ing prang amung kayungyun pepoyaning kautaman. Pendhak warsa kathah ingkang samya asok abon atur bulu bekti wujuding guru bakal guru dadi, pe-ni-peni raja peni. Wonten ingkang saweneh ngaturaken wanodya ingkang endah-endahing warna minangka tandha panungkul.

Dhasar negari ingkang kahayoman mring dewa jinangkung dening para Jawata sajagad rad pilih tandhinge, inggih awit para among praja tansah manunggal tekad kalayan para warga gumregut sengkut nggennya amangun negari kanthi manunggaling cipta rasa budi lan karsa ndadosaken Negari Purwacarita negari ingkang kon-dhang, negari ingkang sinungkanan dening nalendra manca praja.

Lah sinten ta ingkang jumeneng nalendra ing Negari Pur-wacarita. Dasa asmaning sang prabu, dasa Sepuluh asma kekasih, bebasan yen ta dewa bebisik, pendita apeparab, yen ta wanara pra-degsa, yen ta buta ditya, yen nalendra jejuluk, manungsa awujud. Anenggih ta punika wewujudanipun Sang Prabu Sumalidewa, jeju-lukipun Nalendra ing Purwacarita. Cinandra nalendra ingkang ma-hambeg paramarta berbudi bawaleksana. Asih mring sapadha-pa-dha, mranata kanthi arip lan wicaksana pantes dadya pandam pa-ngayubaning para warga, awit sang nata tansah anuhoni sesantining nalendra utami, nenggih ta tanuhita, darmahita, danahita, lan sarahi-ta. Nadyan ta sampun kaduk yuswa Nalendra Purwacarita taksih ki-yat anggenipun ngembat pusaraning praja, ndadosaken Negari Pur-wacarita ayem, ayom, ageng tur agung.

Nalika samana sang prabu lagya mapan wonten madyaning paseban lenggah ing kursi gadhing dhampar dhenta kang linemekan babut prang wedani den apit mbok emban cethi nata gandhek ka-ungkulan teja kapituhu, ngagem busana keprabon ingkang sinula-man sarwa benang kencana, mancorong cahyane ageng daya pra-bawane, cinandra saking mandrawa kadya ilang kamanungsane ya-yah Bathara Endra angejawantah. Nampi sowanipun ingkang abdi Rekyana Patih Mangkupraja ingkang katingal sendheku amarikelu si-la tumpang ngapurancang tumangklung jangga pindha konjem ing pratala wadanane, nggennya angrantos dhawuhipun ingkang sinu-wun Prabu Sumalidewa.

Page 350: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

338

Datan kantun sowaning para wadya bala wiwit mantri bupa-ti, para prajrit, hulubalang, senapati perang, katingal andher wonten paseban ngantos prapteng pangurakan, ibarat tanpa sela sowaning para kadang santana. Dene ingkang marak sowan wonten sak wing-kingipun sang prabu nenggih punika putra ingkang angka kalih keka-sih Raden Sumalintana. Satriya bagus cakrak bregas, angrantos dhawuhipun ingkang rama dipun rencangi sawetara datan obah da-tan polah pindha tugu waja sinukarta namung sajuga ingkang karan-tos dhawuhipun ingkang rama.

Kenging daya prabawaning Sang Prabu Sumalidewa swa-sana rep sidhem premanem ibarat tan ana sabawaning walang ngali-sik amung ing njawining paseban kapyarsa ocehing kukila ingkang wonten ing pucaking wit gurdha binarung larasing gamelan kraton miwah sesendhonane para widuwati, manganyut-anyut jiwa swara-ning tansaya ndadosaken ngesing swasana ing paseban yen ta ci-nandra tansaya dangu tansaya asri. O…..

Asrining paseban datan kados Sang Prabu Sumalidewa ka-adhep dening gunging para kadang santana mboten enggal paring dhawuh, sawetawis mendel wonten ing kursi gadhing kanthi nekep jaja nggeget lathi, sakedhap-sakedhap unjal ambegan mratelakaken yen ta Sang Prabu Sumalidewa wonten ingkang dipun eningaken ing salebeting guwa parikena, nanging dereng kawijil, dereng kababar, ndadosaken gugup bingunging ingkang lagya marak awit mboten ka-dos adat ingkang sampun.

Ing kalenggahan mangke Sang Prabu Sumalidewa katingal surem ponang wadana, kados ical prabawane, kados pusaka ilang pamore. Pramila satunggal kewala mboten wonten ingkang wantun ngrumiyini matur, amung jawil-jinawil mring kanca rowangira. Sareng enget yenta lagya kaadhep gunging para santana miwah para abdi, sigra sang prabu arsa ngersakaken imbal pangandikan, andangu ka-layan ingkang lagya seba utaminipun Rekyana Patih Mangkupraja.

Purwaning pangandika yenta kapyarsa alus ning mawa da-ya perbawa, cinandra pindha tirta ingkang kasiliring samirana. Geli-sing kandha kaya mangkana wedharing dhawuh ingkang arsa kawiji-ling lesan. Gendhing Udhar, Suwuking Gendhing Lajeng Sendhon Laras Slen-dro Pathet Sepuluh, Kalajengaken Ginem. Jroning Ginem Sedaya Ringgit Tansah Nanduaken Asta (Kumlawe) Manut Tata Pernah Uta-wi Udanegaraipun Ringgit, Conto: Menawi Juragan Ingkang Dawuh Nanduaken Asta Cekap Asta Setunggal Ingkang Ngajeng, Menawi Abdi ingkang Matur, Kedah Nandukaken Tangan Kanti Tangan Kalih.

Page 351: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

339

Sendon Prabatilarsa 1 1 1 1 1 1 1 61 53 56 1 Sa-lo-ka-ne wong a-ma-yang, o, o 3 3 3 56 6 6 561 Bi-na-rung pra pra-dang-ga 3 3 3 3 3 321 1 1 1 1 Miwah swa-ra-ne pra wa-rang-ga-na 2 2 2 2 2 2 2 2 6 - 16 6 3 Swaranya mangayut-ayuting ji - wa 2 2 2 2 2 2 2 2 1 321 11 Ke-na ka-en-tha i-si-ne ba-wa - na 6 1 2 2 12 1 1 1 1 1 1 121 6-5 1 Ma-nga-yu ba-gya konjuk pra pa-mrik-sa sa - mya Ginem. 1. Sumalidewa : Jagad dewa wasesane bathara-wayah, jagad

pramudhita bawana langgeng. Hyang Suksma muga hangayomana marang jiwaningsun. Mangko-mangko yayi Patih Mangkupraja, sa-watara anggonira marak ana ngarsaningsun, sawise satata lenggah mara gage patih, matu-ra kang trawaca, gamblang kalawan wijang, muga aturira mangko bisa mbabati guwa kalbu kang arengket aweh pepajar marang penggali-hingsun.

2. Mangkupraja : Kawula noknon inggih sinuwun, sakderengipun ingkang abdi matur wonten ngarsa panjene-ngan dalem ingkang sinuwun, mugi klilanana sinuwun, ingkang abdi Mangkupraja ngatur-aken sembah sungkem kuncupe tangan kula kalih mugi konjuk wonten sahandhaping pepa-da mawantu-wantu, sinuwun…..kawula nuwun, nuwun.

3. Sumalidewa : Ya, ya yayi Mangkupraja wis dak tampa ang-gonira ngaturake sembah marang panjenenga-ningsun, ora liwat puja puji pangestuningsun tampanana, Mangkupraja………

4. Mangkupraja : Kawula noknon inggih sinuwun, dhahat ang-gen kula nampi astuti panjenengan dalem gus-

Page 352: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

340

ti kula sang prabu Sumalidewa, kula cadhong asta kula kalih kacencang pucaking rambut, sumampir pundhak manjing jasat sanubari. Mugi saget amimbuhi teguh yuwananipun ing-kang abdi Rekyana Patih Mangkupraja. Sinu-wun, kula noknon sinuwun…nuwun.

5. Sumalidewa : Padha becik sowanira ana ngarsaningsun, Pa-tih Mangkupraja.

6. Mangkupraja : Kawula noknon inggih kados niskala anggen kula marak wonten ngarsa dalem sinuwun, sumawana para akrab ing dalem kepatihan sa-mi winantu ing tata karahayon, sinuwun, kawu-la nuwun sinuwun.

7. Sumalidewa : Sokur mangayu bagya, sokur bage yayi patih, hamimbuhi padhange rasaningsun karaharja-ne ing dalem kepatihan kaya pada karo jroning Kraton Purwacarita. Ndungkap kang kapindho ingsun mundhut pawartane praja, yayi patih Mangkupraja, kadiparan swasanane Negara Purwacarita ing dina kalungguhan samengko patih……O..

8. Mangkupraja : Kawula noknon inggih sinuwun, yen ta panje-nengan dalem kepareng mundhut pawartos swasana Negari Purwacarita ing kalenggahan mangke, saget kawula aturaken gesangipun para warga datan wonten ingkang kuciwa, tan-sah sumuyut wonten ngarsa dalem, minggah-ipun dhateng para nayaka praja mboten won-ten ingkang mbalela, keblat Purwacarita saget kula aturaken ing ngarsa, wiwit wetan, kilen, ki-dul, ler, tepung gelang swasananipun tentrem sinuwun..

9. Sumalidewa : Sokur…., sokur mangayu bagya, sokur bage, sangsaya ndadekaken padhange pamikira-ningsun, bombonge rasaningsun gedhe ing panarimaningsun marang jeneng sira, minang-ka dadi warangkaningsun jeneng sira bisa nglestarekake Negari Purwacarita tumuju ma-rang ayem, ayom, ageng, lan agunge swasana praja yayi patih…

10. Mangkupraja : Kawula noknon nun inggih sinuwun, sadaya kala wau kula tindakaken inggih awit awrat anggenipun ingkang abdi netepi jejibahan mi-nangka pepatih negari. Pugut sungkemipun kang abdi, yen sampun nilar bebrayan. Sinu-wun ing kalenggahan mangke ingkang abdi

Page 353: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

341

dalem patih katimbalan wonten ing ngarsa sa-jak wonten wigatos ingkang kedah kula embun dhawuh panjenengan dalem sinuwun.

11. Sumalidewa : Yayi patih. 12. Mangkupraja : Dhawuh dalem sinuwun. 13. Sumalidewa : Mangkene patih, pancen ana wigati kang ku-

dune ingsun babaraken ing pasiniwakan kene. 14. Mangkupraja : Kawula noknon inggih sinuwun, bab punapa

kula aturi paring dhawuh, menawi kemawon, mangke mboten ketang saklimah ingkang abdi saget atur wawasan konjuk wonten ngarsa panjenengan dalem. Nanging wiwit purwa ma-dya wasana ing perseban, gusti kula mboten enggal paring dhawuh, tansah mendel kewala wonten palenggahan, nekep jaja nyakep lathi sakedhap-sakedhap unjal ambegan kados wonten ingkang dipun kersaaken nanging de-reng kababar. Sinuwun menawi kepareng eng-gal kababara punapa kang dados nenging ndr-iya sinuwun…..

Sendhon Laras Slendro Pathet Sepuluh . . . . . . . . . . . . 1 1 1 1 1 61 5 5 5 5 5 56 6 21 - 21216 Sumedhoting ti - yas, kadya kaleyanging ron, O…, O . . . . . . . . . . . . . . . . . 1 2 2 2 2 2 2 2 2 2 21 1 6 65 5 5 2-1216 Kadya ka-le-yanging ron, kang ka-si-lir-ing, sa- mi- ra-na, O… 5 561 561 5 5 323 3 Wasing, tyas, kadya tha – thit 2 3 5 5 5 5 5 32 2 2 Mangkana, alon nggennya a – mu wus

Pocapan Mendel Sang Prabu Sumalidewa, dupi midhanget aturipun Rekyana Patih Mangkupraja. Pindha mawut ponang yitma, kados kabingahan ponang suksma, njengeeer…. wonten ing panangkilan. Punapa da-runanipun dereng kawijiling lesan, ning taksih wonten ing guwa pari-kena. Ing panggagasipun Sang Prabu Sumalidewa mboten sanes amung menggalihaken ingkang putra kekalih, Kusumaning Ayu Dewi Sumaliwati sumawana Sumalintana. Mangkana ta Sang prabu Su-

Page 354: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

342

malidewa nggennya enggal mbabar panguneg-uneging ndriya, yenta kawijil saking lesan arum maniiss…. O….

Ginem. 15. Sumalidewa : Jagat dewa, wasesaning bathara-wayah, jagat

pramudhita bawana langgeng. Oh….lah dalah, Mangkupraja…

16. Mangkupraja : Wonten dhawuh sinuwun. 17. Sumalidewa : Ya,.. ya pantes yen ta sliramu nyuwun pirsa

mungguh apa margane ingsun ora enggal pa-ring dhawuh marang sliramu apa dene den pi-rengaken sagunging para santana kang lagya marak ana ngarsaningsun. Yayi Mangkupraja, jenenge wong tuwa, ingsun jumeneng nalen-dra ana Negara Purwacarita iki ngibarat sre-ngenge wis meh manglung ing kulon. Pantes lamun sedhela maneh ingsun kudune lengser keprabon. Elinga yayi patih, Negara Purwaca-rita iki negara cilik, yen kapandeng dening ne-gara kang gedhe-gedhe, negara cilik iku nega-ra kang ringkih. Mula panjenenganingsun ke-pengin hambudidaya nadyan cilik nanging ana prabawane. Siji-sijine dalan sedhela maneh je-nengingsun kudu lengser, tegese lengser saka kaprabon gumanti putraku rong perkara, Su-maliwati apa Sumalintana. Sanadyan Sumalin-tana iku bocah lanang nanging ingkang mba-rep iku putraku kang wadon bendaramu Dewi Sumaliwati. Ya apa ora ?

18. Mangkupraja : Inggih sinuwun. 19. Sumalidewa : Se.. jajal ora ketang saklimah miturut aturira

kaya ngapa, patiih... 20. Mangkupraja : Inggih miturut wed kemawon nadyanta gusti

kula Ayu Sumaliwati punika wujudipun wano-dya inggih kedah winisudha dados nalendra, awit punika putra pembarep. Lajeng gusti kula Bagus Sumalintana ingkang kedah ngamping, utawi njampangi.

21. Sumalidewa : Ngono yayi patih… 22. Mangkupraja : Inggih gusti. 23. Sumalidewa : Lha malah kebeneran yen ta kaya mangkono,

awit yen Sumaliwati wis disarujuki dening para kadang para warga ing Purwacarita gumanti keprabon. Mangka yen dadi nalendra kudune

Page 355: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

343

ana kang nggadhingi, ana kang ngamping, ora liya garwa.

24. Mangkupraja : Inggih. 25. Sumalidewa : Kamangka Sumaliwati isih mbujang. 26. Mangkupraja : Inggih, nanging sinuwun kepareng matur. 27. Sumalidewa : Apa yayi patih. 28. Mangkupraja : Kula aturi enget duk rikala sacandra kepeng-

ker, gusti kula Prabu Sumalidewa nampi utus-an saking Negari Sunggela Manik, Rekyana Patih Bramangkara minangka dhutanipun Yak-sendra Sunggela Manik Sang Prabu Jalawali-krama kinen ngaturaken nawala dhateng gusti kula Prabu Sumalidewa. Wosing nawala nye-bataken bilih Prabu Jalawalikrama badhe me-thik sekaring kedhaton Negari Purwacarita, mboten sanes gusti kula Kusumaning Ayu De-wi Sumaliwati. Punika malah kaleresan.

29. Sumalidewa : Yayi patih….. 30. Mangkupraja : Dhawuh dalem sinuwun 31. Sumalidewa : Sliramu rak ya weruh dhewe, sasade katolak

apa kang dadi kersane Wong Agung ing Sung-gela Manik sang Prabu Jala Walikrama kang ngersakna bendaramu Dewi Sumaliwati. Awit Sumaliwati kaya-kaya kok isih durung bisa nampa ana priyayi kakung kang nyandhing, durung isa nampa yen ta kapundhut garwa sok-a sapa ae, isih seneng mbujang. Mangka kekudanganingsun yayi patih, yen wis Sumali-wati kawengku dening priya, saiki uga panje-nenganingsun bakal lengser keprabon, ora liya ya bendaramu Sumaliwati ing ngarep wis ka-rembug gumanti keprabon, gumanti jumeneng nalendra. Ning Sumaliwati ora gelem, malah ti-nampik lamaran saka Negara Sunggela Manik utusane Jalawalikrama. Ya iki yayi patih ing-kang ndadekna jibeging tyas ingsun.

32. Mangkupraja : Inggih kenging punapa sinuwun, gusti kula Sang Prabu Sumalidewa kok kagungan raos ewet anggenipun nampik lamaran saking Ne-gari Sunggela Manik.

33. Sumalidewa : Wruhanana yayi patih, iya yen tinolak lamara-ne Yaksendra Jalawalikrama bisa nampa, bisa nrima. Ning kosok baline, wong jenenge nalen-dra ing Sunggela Manik iku nalendra kang hannderbala tegese sugih bala, Negara Sung-gela Manik iku negara kang agung, negara

Page 356: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

344

kang gedhe. Ing ngarep wis dak kandhakna Negara Purwacarita iku negara cilik, aja-aja anggone tinolak dening bendaramu Sumaliwati ora bisa nampa banjur ngetapna para wadya-balane, bendaramu Ayu Sumaliwati banjur ri-noyok rosa rinebut wani, sarana nggepuk ne-gara, ngrusak pranatan ing Negara Purwacari-ta, sepira jembare Negara Purwacarita, sepira kasantosane wadyabalaku, ora wurunga Ne-gara Purwacarita bakal dadi opak-opak segara getih, sarah mayit. Yayi patih, ya iki kang nda-dekake sungkawaning penggalihingsun. Mula wiwit mau ingsun ora kersa paring dhawuh marang jeneng sira.

34. Mangkupraja : Inggih. 35. Sumalidewa : Se.. jajal menawa sira bisa atur wawasan ma-

rang panjenenganingsun dak rasakne. 36. Mangkupraja : Sinuwun, yen mboten mangertos dipun paringi

pangertosan punika sampun limrah. Ning sak wangsulipun. Tiyang mboten purun punika mboten kenging dipun peksa sinuwun, yen di-pun peksa sinuwun, kados pundi mangke keng putra Sumaliwati, mboten wandeya badhe ke-bak rasa prihatin nadyanta dipun garwa nalen-dra gung binathara kados Prabu Jalawalikra-ma, kasiksa ing batos sinuwun, tiyang mboten tresna.

37. Sumalidewa : Nah, awit saka iku yayi patih, iku kang dak ku-watirna. Mula kanggo tata-tata, ora njagani elek, nanging kudu siyaga manawa sawayah-wayah ana ora trimane nalendra saka Sungge-lamanik, wadya ing Purwacarita wis siyaga sak durunge, wis tata-tata sak durunge, ana apa-apane ora nganti nguciwani.

38. Mangkupraja : Mekaten sinuwun. 39. Sumalidewa : Ya… 40. Mangkupraja : Inggih mangestokaken dhawuh, yen ta punika

ingkang dipun dhawuhaken sinuwun, ingkang abdi Patih Mangkupraja badhe nindakaken kanthi suka rila legawa. Kula mboten badhe tri-mah yen ta Negari Purwacarita dipun jarah ra-yah dening nalendra saking manca negari, na-pa malih badhe kajongkeng wibawa panjene-ngan ndalem gusti kula Prabu Sumalidewa, badhe kula rencangi pecahe dhadha wutahe ludira kang wekasan.

Page 357: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

345

41. Sumalidewa : He… tobat, iya patih, muga cocog karo prase-tyamu, negara Purwacarita bisaa ayem ten-trem ora ana apa-apa lan muga Prabu Jalawa-likrama bisaa nampa apa sing dadi kersaning-sun. O…

Pocapan Tekane Tamu Wauta mangkana Sang Prabu Sumalidewa anggenipun wawan rem-bang kaliyan Rekyana Patih Mangkupraja. Ngibarat mucang dereng abrit, ngidu dereng tumiba ing paidon kencana, kasaru geger nja-wi….. O.., gegere njawimiyaking pambarisan ing pangurakan, sinten ta ingkang arsa sowan tanpa katimbalan. Arsa seba tanpa sabawa kanthi myak lampit mandhala giri trantanan pundhak yot-yotan pupu nyandhung epok galeyah-galeyah minggah paseban. Punika ta prap-tane nalendra Sunggela Manik. Umyaking para wadiya bala…. Mungel gendhing Gedhog Tamu laras Slendro pathet Wolu, praptane nalendra Sunggelamanik. Patih Mangkupraja kaentas lajeng semba-han nuli mundur mangiwa arsa mapak tamu. Prabu Jalawalikrama nalendra saking Sunggelamanik kawedalaken saking sisih kiwa ma-nengen kanthi kabeksaaken, ringgit nuli tancep siti inggil kiwa. Patih kawedalaken saking sisih kiwa, atur sembah nuli tancep ing paseban sisih tengen sak wingkingipun raden Sumalintana. Gending sirep la-jeng kajantur.

Janturan Tamu Gleyah-gleyah nggennya lumampah minggah paseban agung, puni-ka ta warnanipun nalendra saking Negari Sunggela Manik jejuluk sang Prabu Jalawalikrama. Gagah prakosa gung birawa rinengga busana kaprabon sangsaya gawe cakrak bregas kebak prabawa yen ta kacandra wandane Sang Prabu Jalawalikrama trawaca yen ta na-lendra tedhak braham, tansah ngegung-ngegungaken watak angka-ra. Punapa ingkang dados wigatosipun tebih saking Negari Sunggela Manik prapteng Purwacarita, dereng kaaturaken, mendel ing ndalem sawetawis. Kagyat Sang Prabu Sumalidewa nampi rawuhe tiyang agung Sunggela Manik, awit dereng nate tetepungan pramila enggal kaaturan rawuhipun nalendra saking Sunggela Manik. Gendhing Udhar, suwuking gendhing lajeng ginem. Ginem. 42. Sumalidewa : Nuwun-nuwun mangke, yen ta kula tingali sa-

king busana sampun cetha yen ta panjene-

Page 358: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

346

ngan punika satunggalipun nalendra. Sang prabu, sawatawis anggen panjenenganipun ra-wuh wonten paseban Purwacarita mugi klila-nana kula ngaturaken pasegahan panakrami konjuk ing ngarsa, nuwun.

Bendhengan . . . . . . . . . . 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 Dasamuka neran kapineran . . . . . . 6 1 2 2 6 16 6 6 6 6 6 2-121 Rikmanya kadya to-ya kabendhana, o 5 5 5 5 35 32 2 2 Sambate ing ba - pa i – ra 6 6 6 6 6 6 65 5 5 5 5 5 5 5 Yana sambate mring ba - pa i - ra citraba – ya Ginem. 43. Jalawalikrama : Estungkara manik raja dewaku, we lah dalah.

Sang prabu…., saderengipun kula ngaturaken punapa ingkang dados kekajengan kula prap-teng punika negari, salam kula katur wonten ngarsa panjenenganipun sinuwun ing Purwa-carita.

44. Sumalidewa : Inggih dhawah sami-sami kula tampi, sugeng rawuhipun.

45. Jalawalikrama : Inggih, pangestu panjenengan, niskala anggen kula prapteng Negari Purwacarita kanthi wi-nantu ing kabasuken, kabasunandha.

46. Sumalidewa : Sokur mangayu bagya, para warga akrab ing negari pundi paduka.

47. Jalawalikrama : Inggih, tepangaken, inggih kula ingkang sesasi kepengker ngutus abdi kula Rekyana Patih Bramangkara. Kula Nalendra Sunggela Manik, Prabu Jalawalikrama nami kula sinuwun.

48. Sumalidewa : Oh….oh..oh, dados panjenengan ingkang jeju-luk Prabu Jalawalikrama.

49. Jalawalikrama : Inggih, calon mantu panjenengan sinuwun. 50. Sumalidewa : Sang Prabu Jalawalikrama. 51. Jalawalikrama : Wonten dhawuh.

Page 359: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

347

52. Sumalidewa : Dados panjenengan ingkang ngutus ingkang abdi Rekyana Patih Bramangkara kinen nga-turaken nawala ingkang isinipun nawala pang-lamar.

53. Jalawalikrama : Inggih leres. Kula ngajengaken putra panjene-ngan ingkang pembarep kusumaning ayu Ni Dewi Sumaliwati. Natkala semanten Rekyana Patih Bramangkara kautus wangsul ing nda-lem sawetawis saking Negari Purwacarita ing-kang wigatosipun ngrantos wangsulan saking Sumaliwati. Samenika kula sowan wonten ngarsa panjenengan sinuwun, mboten sanes namung sepisan kula nglamar idhep-idhep ngarak.

54. Sumalidewa : Nglamar tur nggih ngarak. 55. Jalawalikrama : Inggih. 56. Sumalidewa : Punapa nggih pitados saestu yen badhe kawu-

la tampi. 57. Jalawalikrama : Kedah dipun tampi, kepareng kula boyong,

mboten kepareng inggih dinten punika ugi ba-dhe kula boyong dhateng Sunggela Manik. Ba-dhe kula ajak mukti ngawibawa wonten Negari Sunggela Manik dados garwa padmi Prabu Ja-lawalikrama. Oh…sinuwun kula aturi ngraos-aken, yen ta kang putra dados garwanipun Prabu Jalawalikrama dipun timbang kemawon, Negari Purwacarita punika negari alit, negari mboten kondhang, negari mboten kuncara, lir-ipun makaten. Lajeng kang putra dados gar-wanipun nalendra gung bhirawa ingkang han-derbala, ibarat Jalawalikrama punika nalendra ingkang bantalan donya, kinepung bandha. Cetha yen ta ingkang putra punika ibaratipun kurung munggah lumbung. Kirang punapa Jala Walikrama, pramila ampun ndadak kathah-ka-thah ingkang dipun penggalih, ingkang putra mugi enggala katimbalan supados sumerap pi-yambak sepinten gagah ngganthenge Jalawa-likrama. Yen mangke sampun nyumerapi dha-teng kula, oh…. Sinuwun, mboten wande ba-dhe ngrangkul pepada, mboten ngangge dipun tari malih sampun tamtu sumarah dhateng ke-kajengan kula sinuwun.

58. Sumalidewa : Mangke rumiyin, mangke rumiyin sang prabu, ndadosaken kawuningan. Ingkang badhe ha-nglampahi menika sanes kula, nanging anak

Page 360: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

348

kula. Kula saget nampi lamaran panjenengan nanging anak kula samangke yen mboten pu-run kados pundi….

59. Jalawalikrama : Pintera anak luwih ngerti wong tuwa. Kados pundi kawicaksanan panjenengan Prabu Su-malidewa anggenipun ibarat wesi saget angeluk dhateng kang putra purun dados gar-wa kula. Yen panjenengan sang Prabu Sumali-dewa mboten saget angrum-rum dhateng ing-kang putra supados dados garwa kula, nuwun sewu sinuwun, lajeng panjenengan punika ti-yang sepuh punapa naminipun. Kedah saget, kedah purun, kedah kula boyong dhateng Sunggela Manik.

60. Sumalidewa : Yen tetep mboten purun lajeng kados pundi..... 61. Jalawalikrama : Badhe kula rudaparipeksa, yen ngantos mbo-

ten dipun tampi lamaran kula ing dinten mang-ke. Yen Patih Bramangkara saget dipun wang-sulaken dhateng Negari Sunggela Manik, ning sapunika ratune, sing ndugi mriki ratune, sa-nes patih. Kantun nimbangi kemawon dipun tampi napa dipun tolak. Yen kasantosane pa-ra wadya bala, mboten wandeya badhe kula damel sarah mayit, opak-opak segara getih, yen perlu Negari Purwacarita badhe kula da-mel sungsang bawana balik.

62. Sumalidewa : We.. lah dalah. Duh sang prabu, inggih nembe katemben punika kula nampi tamu ingkang ki-rang tata. Tur malih panjenengan punika na-lendra, kok mboten pantes yen ta nalendra pu-nika ngucap wonten negarinipun liyan kanthi nilaraken subasita kados panjenengan. Sinu-wun yen ngaten mboten ngangge anak kula. Cekap kula kemawon. Dereng dados mantu sampun wani kalih maratuwa, dereng dados anak mantu sampun kados-kados kaduk ang-genipun ngendika wonten madyane paseban. Dados, cetha kula mboten saget nampi. Kados pundi kemawon anak kula dereng purun ka-pundhut garwa dening sinten kemawon. Awit saking punika sang prabu, kula suwun kanthi dhanganging penggalih panjenenganipun Sang Prabu Jalawalikrama kula tolak anggen-ipun ngajengaken anak kula.

63. Jalawalikrama : We.. lah dalah..!!

Page 361: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

349

Bendhengan Laras Slendro Pathet Wolu . . . . . . . . . . . . 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 Yana andhik dukane sang rajapati . . . . . 6 1 3 2 2 6 16 6 Ranangga-na mangsa sa-ran . . . . . . . . . . 1 2 2 2 2 21 1 1 1 Mangliweran mangendha gelap 5 5 5 5 5 5 35 32 2 2 pra prajurit wus ma-gut ing laga 6 6 6 6 6 6 6 6 65 5 5 5 yana pra pra-jurit wus magut ing laga Ginem. 64. Jalawalikrama : Wah..dak jabel basaku. Hem..najan calon ma-

ratuwa yen ucape nyimpang saka weding na-lendra sejati, wah.. wajib calon mantu wani ka-ro sliramu. Amit sang prabu, mumpung du-rung. Yen ora mbok tampa lamarane Jalawali-krama wah…. Rusak negaramu, temen rusak. Tak wenehi wektu ora nganti lingsire srenge-nge, dak anti ana madyaning alun-alun tinim-bang iki mengko geger ana perseban kurang trep mungguhe aku nalendra sliramu ratu, adu jurit ana perseban agung. Alun-alun jembar, tak anti ana alun-alun nganti lingsire srenge-nge ora antuk kaputusan, tontonen…wah , ru-sak negaramu. Sawatara aku njaluk ninge ra-samu, rasakna tak wenehi wektu sithithik.

Gangsa mungel krucilan laras Slendro pathet Wolu. Prabu Jala wali-krama kabedhol medal paseban. Gangsa kasuwuk lajeng ginem. Ginem. 65. Sumalidewa : Mangkupraja… 66. Mangkupraja : Wonten dhawuh sinuwun. 67. Sumalidewa : Kaya-kaya ora saranta rasamu. 68. Mangkupraja : We.. lha dalah sinuwun, sewu lepat raja pino-

lah, matur duka sakderengipun dene ingkang

Page 362: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

350

abdi kala wau kados-kados datan saranta yen ta mirengaken ucap-ucap saking nalendra angkara Sang Prabu Jalawalikrama.

69. Sumalidewa : Patih, aja disaranani amung tosing balung kan-dele kulit. Wruhana adu karosan isih unggul adu weninging rasa. Lambarana sarana weni-nge batin ya yayi. Sing dak kuwatiri Prabu Ja-lawalikrama iki mokal yen ora nalendra kang digdaya. Jala Walikrama iki mokal yen ta ora pilih ing tandhinge, yen ta ndeleng katurang-gan apadene ucape. Mula yayi yen pancene sliramu prasetya marang panjenenganingsun, suka, rila, legawa kanggo nusa lan bangsamu ing Negara Purwacarita, ngayomi marang para warga. Metua njaba, adhepana Prabu Jalawa-likrama, ketapna para wadya bala. Sabisa-bisa aturana pangemut yen bisa aja nganti ana panca bakah, sokur bage yen Prabu Jalawali-krama banjur bisa nampa aturmu kersa kondur marang negarane.

70. Mangkupraja : Mekaten sinuwun… 71. Sumalidewa : Ya… 72. Mangkupraja : Menawi mboten purun wangsul dhateng nega-

rinipun.. 73. Sumalidewa : Dosa lara ngideni, dosa pati ora nglilani, awit

iku tamu ya yayi. Tamu wajib dikurmati, aja nganti dilarani rasane.

74. Mangkupraja : Mekaten ngestokaken dhawuh sinuwun. 75. Sumalidewa : Ya patih…. 76. Mangkupraja : Namung pangestunipun sinuwun ingkang kula

suwun. 77. Sumalidewa : Tak pangestoni aja kaya bocah cilik, sing was-

pada aja tinggal kaprayitnan, tak rewangi me-minta ana ngarsane gusti muga paring panga-yoman marang bangsa Purwacarita. Bisa ayem, ayom aja nganti ana rubeda, yayi patih.

78. Mangkupraja : Inggih mugi mekaten sinuwun

Pocapan Paripurna anggenipun paring dhawuh Sang Prabu Sumalidewa sigra jengkar saking palenggahan ngagem gamparan bungkul kencana ar-sa kondur hangedhaton. Minggah sanggar pamujabrata meminta dhateng dewa ingkang Murbeng Kawasa. Rehdene enggal kewala wonten nalendra Sunggela Manik ingkang badhe ngrisak tatanan ne-gari. Sekeling penggalih pramila nggennya lumaksana sakedhap sa-

Page 363: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

351

kedhap kendel. Sareng enget yen ta kairing dening kang garwa ge-gancangan rancak nggennya lumaku. Gangsa mungel Gedhog Rancak laras Slendro pathet Wolu. Prabu Sumalidewa kabedhol kaentas manengen. Patih Mangkupraja kabe-dhol, atur sembah kaentas mangiwa. Raden Sumalintana kabedhol, atur sembah kaentas mangiwa. Para punggawa kabedhol, atur sem-bah kaentas mangiwa. Emban kebedhol, marep manengen beksa lembehan lamba, tolehan lajeng seblak sampur, lajeng lampah rang-rep, kaentas manengen. Sigeg kayon, tancep paseban tengen, tanda gantos gapuran. Prabu Sumalidewa lumampah saking kiwa mane-ngen sarambahan. Sigeg kayon, tancep paseban tengah miring ma-ngiwa. Gending suwuk lajeng pocapan.

Pocapan Sang prabu Sumalidewa kondur angedhaton anglangkungi gapura cinapuri tundha pitu palawangane bupati ratu. Sri manganti-anti lir-ipun sri: wadon, manganti-anti: hanunggu. Sinten ta ingkang haneng-ga konduripun sang prabu, amung ingkang garwa. Sareng kepang-gih kaliyan ingkang garwa sang prabu Sumalidewa sigra gandheng asta, manjing dhateng dhatulaya. Wonten dhatulaya mboten enggal dhahar utawi ngenggar-enggar driya nanging sigra lukar busana ke-prabon, gantos busana kabrahmanan arsa minggah sanggar pamuja brata, meminta sihing bathara mugi Negara Purwacarita tinebihaken ing sengkala tansah kahayoman dening bathara. (dhodhog). Ning lan neng wus manjing wonten salebeting sanggar pamujabrata, sang prabu mantheng anggenipun manembah. Satunggal ingkang kasem-bah, amung pangwasane Gusti ingkang murbeng jagad. Tan kacari-yos sang prabu wonten salebeting sanggar pamuja brata, gantya kang winuwus, kawuwusa ingkang wonten alun-alun Purwacarita, sanggyaning para wadya bala. Bendhengan Budhalan

. . . . . . . . . . 5 5 5 5 5 5 5 3 5 5 5 2 32 2 2 2 Enjing bidhal gumuruh, gumuruhing pra wadya bala . . . . . . . . . . . . . 5 35 2 6 16 6 3 3 3 3 3 23 2 Saking jroning praja, duk mungap mungup a neng, . . . . . . . 1 1 1 1 1 1 1 5 65 5 sapucaking wukir wus ka ti ngal

Page 364: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

352

. . . . . . . 2 2 2 2 6 12 1 5 5 5 5 5 5 5 2 32 2 mrababak bang su mi rat nyo rot-i mega lan gunung - gu nung 2 3 5 5 5 5 5 1 65 5 nyo rot-i mega lan gunung - gu nung Ungeling bendhengan sinaretan lampah kayon. Saktelasing bendhe-ngan kalajengaken pocapan kairing gadhingan sinaretan lampah ka-yon ugi.

Pocapan Bibar pra wadya bala saka paseban agung sigra pacak baris gawe pager wentis cinandra kadya ri klampis iwak tanpa sela pambarisan. Padha sikep bandhane jurit pedang ligan tombak pating tlolang wa-rastra pating crangap cinandra yayah drajag sewu. Tingkahe pra wa-dya bala ngembun dhawuhipun sang nalendra pindha ampyak tine-bah candrane. Ampyak walang tinebah watang, kaya walang kena tebahing watang. Sigra nuthuk bendhe beri tembang tengara, ka-pyarsa ngungkung swarane bendhe beri gawe gegere para wadya bala. Gugup gupuh ndadosaken geger mawurahan rebut dhucung salang tunjang. Gegering para wadya bala datan kinocapaken ing dalem sawetawis gantya kang winuwus, kawuwusa Sang Prabu Ja-lawalikrama kados sinebit talingane, kaya den kilani dhadhane. Mbrabak ponang wadana, medal saking paseban jumujug alun-alun bangsal kembang sigra angawe abdi kang ndherekaken nggennya prapteng Purwacarita Rekyana Patih Bramangkara. Nampi timbalan saking bendara sigra tumata marak ing ngarsa. Gleyah-gleyah nggennya sowan wonten ngarsane sang prabu kebak prabawa. Can-drane Patih Bramangkara kaya satriya kaprabangkara. Gangsa mungel Ayak Kempul Arang Laras Slendro pathet Wolu. Ka-lajengaken ajar kayon sawetawis, lajeng kayon tancep ing paseban tengen. Prabu Jalawalikrama medal saking tengen ngawe wadyaba-la, nuli tancep siti inggil tengen. Patih Bramangkara medal saking ki-wa, atur sembah nuli tancep paseban kiwa. Gendhing suwuk lajeng bendhengan. Bendhengan . . . . . . . . . . . . . . 2 2 2 2 2 2 2 2 6 1 2 2 2 2 6 16 6 Yana trinetra trikaya, indrajit menthanga gendewa

Page 365: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

353

. . . . . . . . . . . 1 2 2 2 2 2 2 21 1 1 Tinangkis gunawan wibisana 5 5 5 5 5 2 32 2 Tiga warna wus kanyata 2 3 5 5 5 5 5 5 5 1 65 5 1 Yana tri margana dadya tiga warna, Oo Ginem. 79. Bramangkara : Nuwun mangke sinuwun, gurawalan anggeni-

pun kang abdi marak wonten ngersa dalem si-nuwun, nimbali kang abdi wonten wigatos pu-napa sinuwun.

80. Jalawalikrama : He… Patih Bramangkara. 81. Bramangkara : Inggih wonten dhawuh sinuwun. 82. Jalawalikrama : Ngertenana yen anggonku nglamar dina iki wis

cetha ditolak. Natkala sliramu sesasi kepung-kur dak utus sowan ana ngersane Sang Prabu Sumalidewa kaya ngapa….

83. Bramangkara : Inggih kang abdi kautus wangsul rumiyin dha-teng Negari Sunggela Manik, ngrantos gusti kula ayu Dewi Sumaliwati anggenipun siram jamas sesuci. Awit badhe nampi lamaran sa-king gusti kula Prabu Jalawalikrama.

84. Jalawalikrama : Ning nyatane dina iki aku dibalekna, kaya-kaya Prabu Sumalidewa ora keduga ndeleng Prabu Jalawalikrama.

85. Bramangkara : Lajeng kersanipun sinuwun. 86. Jalawalikrama : Iki mau Prabu Sumalidewa dak wenehi wektu

sethithik kanggo mikir, yen nganti lingsire sre-ngenge ora antuk keputusan, jebol cepurine Negara Purwacarita. Mula Bramangkara, en-tenana ana sak ngisore wit gurdha iki, jajal mengko kaya ngapa keputusane Prabu Suma-lidewa.

87. Bramangkara : Lajeng penjenengan dalem sinuwun. 88. Jalawalikrama : Ingsun bakal mesanggrah ana ing pinggire

alun-alun Purwacarita, mengko yen wis nampa keputusan enggal aturna marang ingsun.

89. Bramangkara : Mekaten sinuwun. 90. Jalawalikrama : Ya. 91. Bramangkara : Inggih, menawi mekaten keparenga kang abdi

Page 366: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

354

nyuwun pamit saha nyuwun tambahing pa-ngestu.

92. Jalawalikrama : Aja kaya bocah, tak pangestoni sing ngati-ati Patih Bramangkara.

93. Bramangkara : Sendika, mangestokaken dhawuh sinuwun. Gangsa mungel Ayak Kempul Kerep laras Slendro pathet Wolu. Pa-tih Bramangkara kabedhol atur sembah nuli lumampah mangiwa. Prabu Jalawalikrama kabedhol kaentas manginggil (mabur) lumam-pah manengen. Sigeg kayon, tanda gantos papan, madyaning alun-alun Purwacarita. Patih Mangkupraja medal saking tengen kanthi as-ta walangkerik, papagan lan patih Bramangkara saking kiwa kanthi tangan walangkerik, ringgit sami tancep ing siti inggil tengen lan ki-wa, patih Bramangkara nuli capeng. Mujeni lan Mundu medal saking kiwa nuli tancep paseban kiwa katata sak wingkingipun patih Bra-mangkara. Gendhing suwuk kalajengaken bendhengan. Bendhengan . . . . . . . . . . . . . . 2 2 2 2 2 2 2 2 2 6 1 2 2 2 6 16 6 Yana indrajit mara gelis, Pramudhita rimbagana . . . . . . . . . 1 2 2 2 21 1 1 1 5 5 5 5 5 5 5 5 2 32 2 Nitih kreta manik maya, Ngayatana jemparing trimargana 2 3 5 5 5 5 1 65 5 1 Sigra lumepasing jemparing, O Ginem. 94. Bramangkara : Lha dalah, ora pangling aku, yen ta iki Patih

Purwacarita Rekyana Patih Mangkupraja. 95. Bramangkara : Ya…. sliramu ora pangling karo aku. Kosok

baline aku ya ora lali karo sliramu natkala slira-mu sowan ana ngarsane bendaraku Prabu Su-malidewa. Sliramu iki rak Patih Bramangkara.?

96. Bramangkara : Bener, bener apa kang dadi kandhamu. 97. Mangkupraja : Bramangkara ana paran. 98. Bramangkara : Ora ngonone. Sliramu anjog saka paseban

mrepegi aku sajak ana wigati. 99. Mangkupraja : Ngembun dhawuhe bendaraku Prabu Sumali-

dewa. Nadyan dikaya ngapa bendaraku Dewi Sumaliwati ora bakal kersa yen ta kagarwa de-ning Prabu Jalawalikrama. Sapisan isih durung

Page 367: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

355

kersa kawengku dening priya, angka kapin-dhone bendaraku isih seneng ndherek kang rama lan ibu sasat ora kena ginggang saram-but. Mula aturna marang bendaramu kang lagi mesanggrah, aturana kondur marang Negara Sunggela Manik.

100. Bramangkara : Dadi cethane lamaran iki ora ketrima. 101. Mangkupraja : Ora ketrima..?? 102. Bramangkara : We......lha dalah. Panakawan !! lamarane ben-

daramu cetha ditolak. 103. Mujeni : Nuwun sewu ndara, menawi kepareng kula su-

mela atur. 104. Bramangkara : Matur apa..?? 105. Mujeni : Tiyang nglamar niku sami kaliyan tiyang nja-

luk, nun…. 106. Bramangkara : Heh….. 107. Mujeni : Tiyang nglamar iku sami kaliyan tiyang njaluk. 108. Bramangkara : Wong nglamar padha karo wong njaluk. Tege-

se..... 109. Mujeni : Tiyaang nyuwun utawi tiyang njaluk punika yen

diparingi nggih sae, dipun tolak mboten napa-napa lak ngoten-a nun… lha reh dene niki di-pun tolak, mangga nun….bendara kula Prabu Jalawalikrama mangga dipun aturi kondur ke-mawon. Wong gak gelem niku mboten kenging dipun peksa, wong mboten tresna kok, nek di-peksa….. dadia bojo nggih mboten enten ru-kun-rukune. Gegeeeran mawon, ngoteen…

110. Bramangkara : Nanging bendaramu wis percaya karo patih Bramangkara. Bisa ora bisa Sumaliwati kudu boyong marang Sunggela Manik.

111. Mujeni : Lha… yen meksa dipun tolak..? 112. Bramangkara : Piiira jembare Negara Purwacarita, sepira ke-

kuwatane para wadya balane. Ora kathik nganggo kesuwen bakal silem kabrastha Ne-gara Purwacarita.

113. Mujeni : Lha… wadya balane eenten niku. 114. Bramangkara : Kadar piira, iki Patih Mangkupraja iki, oh….Tak

anggep ora ana sak pethite kuku ireng kadig-dayane karo Patih Bramangkara. Rika lak eruh dhewe, aku lak digdaaaya-a.

115. Mundhu : Jar-na ae cak, wis jarna dipenggak-a gak ge-lem, wong kono wong pengkuh kok, wong ngo-no iku dijak ngidul meksa menggok ngalor.

116. Mujeni : Iya… 117. Mundhu : Wis jar-na ae.

Page 368: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

356

118. Mujeni : Nanging ndara kula niki yo’ napa mawon nggih bendara. Enten cilakane engkin kula niki ndhe-rek susah. Pancene punika namung tiyang se-tunggal, lha… bendara kula Jalawalikrama tak-sih mesanggrah. Kinaroyok wadya bala se-menten kathahipun, nuwun sewu nun….. ka-thah apese timbang jayane, kathah kalahe tim-bang menange. Mumpung dereng kalah mang-ga ngalah mawon, wong ngalah niku luhur we-kasane.

119. Bramangkara : (Patih Bramangkara, kabedhol nuli tancep ma-lih marep mangiwa sak ngajengipun mujeni). Cetha panakawan iku nyepelekna aku, iya…. iya !! kepinteren koen (ngaplok). Bramangkara kroyoken aja siji loro, sewu bareng maju gak bakal mundur. Mbok anggep apa aku iki he…. Mbok anggep apa (ngaplok).

120. Mundhu : Sawangane bodho ning goblog rika iku cak. Iku ngono jragan, bodho…. Jragan iku malah bombongen cik nyah-nyoh ngono lho. Wong jragan di blesna. Heh… yo’ apa ndara iku kon-dhang, aja mapak wong siji loro wong aku iki tau eruh ditawur wong satus gak mundur kok.

121. Bramangkara : Sliramu eruh ki’. 122. Mundhu : Aku saksine, goblog…. 123. Mujeni : Wadhuuh… iya ta ndhu. 124. Mundhu : Lho iiiya, aja mapak Patih Mangkupraja. Wa-

dya bala endi ki mau……. 125. Mujeni : Purwacarita. 126. Mundhu : Iya... dewa ae gak diwedeni kok. 127. Bramangkara : Iki tau ngerteni. 128. Mundhu : Aku ngono tau ngerteni, ngono lho. Dene iki

mengko mungsuh ndara Patih Mangkupraja ngantek kalah, gedhene ciri ngantek tugel gu-lune, matek dikubur lak ya uuuuwis-a (dika-plok). Titenana, aku ngomong ngene iki titena-na. Ngene lho ngomong iku, lak nggih ngoten nggih ndara patih.

129. Bramangkara : Kurang ajar…. malah ngapesna aku (plok). 130. Mundhu : Ngono lho ngomong iku, ditempiling imbuh. 131. Mujeni : Wak…apa ndhu, olehmu ngomong koen iku. 132. Bramangkara : Patih Mangkupraja. 133. Mangkupraja : Ana paran. 134. Bramangkara : Tak jaluk Sumaliwati. 135. Mangkupraja : Ana syarate. 136. Bramangkara : Apa syarate.

Page 369: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

357

137. Mangkupraja : Iso nglangkahi bangkene Mangkupraja, iso mboyong Sumaliwati.

138. Bramangkara : Wa.. lha dalah Bendhengan . . . . . . . . . . . . . 2 2 2 2 2 2 2 2 6 1 2 2 2 6 16 6 Dhadha muntab lir kinetab, Netra kocak ngondar- an-dir . . . . . . . . . 2 2 2 2 21 1 1 1 5 5 5 5 5 5 5 2 Idepnya mangala cakra Mrebabak wadana pindha 32 2 2 2 2 2 2 kembang wora-wari bang 2 3 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 1 65 5 5 5 5 Mrebabak abang ponang wadana pindha kembang wora-wari bang Bendehngan, sinaretan patih Bramangkara kawalik manengen nuli tancep. Gangsa mungel gadhingan kalajengaken ginem. Ginem. 139. Bramangkara : Kaya sacengkang kandele kulitmu, kaya bisa

nyletik tanpa suthang mabur tanpa elar, mang-ka durung karuwan yen bisa nggraji angin. Lha dalah Mangkupraja.

140. Mangkupraja : Ana paran. 141. Bramangkara : Piira jembare Negara Purwacarita, yen dina iki

Sumaliwati ora mbok ulungna marang benda-raku Jalawalikrama waaa…. suwe mijet woh-ing ranti aku numpes bangsa Purwacarita sak abang cindhile.

142. Mangkupraja : Kakehan ucap tampanana tanganku iki (nem-piling).

143. Bramangkara : Mara tangan keparat…. Dhuh…heem, mundu-ra kik, mundura…

Gangsa mungel Ayak Kempul Kerep laras Slendro pathet Wolu. Mujeni lan Mundu kaentas mundur mangiwa. Ringgit sami perang antawisipun patih Bramangkara mengsah patih Mangkupraja. Sawetawis perang, patih Bramangkara kalah, kawedalaken saking tengen kaentha dawah, ringgit gumregah tangi, tancep siti inggil kiwa

Page 370: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

358

marep manengen, asta walang kerik. Gendhing suwuk lajeng ada-ada/bendhengan. Bendhengan . . . . . . . . . 2 2 2 2 2 21 1 1 5 5 5 5 2 32 2 Yana netra cak su na ya, restinya maluncana 6 6 6 6 6 6 6 65 5 5 5 5 Karna-karni wategnya dadya sawiji Ginem. 144. Bramangkara : Lha…dalah. Nyata-nyata digdaya warangka

Negara Purwacarita. Cocog karo unine, cocog karo sumbare. Lena pangendhaku jinempala pilinganku, waaadhuuh… kaya ketiban wesi gligen rasane. Dibuwang tiba sak pembalang Bramangkara. Lha dalah…sa ha ha he Mang-kupraja……. Digdaya sliramu.

145. Mangkupraja : Hayo iki sing mbok karepna, iki sing mbok jaluk. Sura mrata jaya mrata sudira kang wani mati. Bacutna anggonmu ngayoni yudane Pa-tih Mangkupraja. Sunteken kasudiranmu wa-teg-en aji jaya kawijayanmu. Ora enggal ming-gat saka Negara Purwacarita, ora wurung ba-kal minger cagake gulumu.

146. Bramangkara : Bagus !! ya… ya…. (Gadhingan). 147. Mangkupraja : Wis lumrah wong menang sumbar petak minta

lawan, wong kalah bandhane kebanting. Aja dikira aku banjur tinggal glanggang colong pla-yu, woo…dudu wong-wongane. Isih jembar dhadhaku, isih malang bauku, Bramangkara suthik mundur yen durung kasembadan apa kang dadi sedyane. Patih Mangkupra-joooa……Swarga ginuga mangkraka kaya ge-lap, beberen kanuraganmu. Elinga manungsa urip nduweni sifat lali klawan apes, tekane lali-mu tibane apesmu, lena pangendhamu, sisip sembirmu, tuna dungkap katurangganmu, ke-na dak candhak dak sebetake bumi, pegat nyawamu.

Page 371: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

359

Gangsa mungel Ayak Kempul Kerep laras Slendro pathet Wolu. Bramangkara kaentas manengen. Ringgit sami papagan, adhep-adhepan. Gendhing sirep terus ginem. Ginem. 148. Bramangkara : Pisan tak sepura, pindho kalamerta, ping telu

rat pengadilan. Tekane adhil lena pangendha-mu, oo…. kelakon dadi bebangke ragamu, si-namber dhandhang layonmu.

149. Mangkupraja : Wani wanenana, yen ora wani enggal ming-gata saka Purwacarita, mundhak nyepet-nye-peti mripat wandamu.

150. Bramangkara : Lha….dalah….. Gangsa mungel Ayak Kempul Kerep laras Slendro pathet Wolu, perang sawetawis nanging patih Bramangkara kasoran. Gendhing suwuk lajeng bendhengan kasambed pocapan. Patih Bramangkara kawedalaken saking tengen mangiwa kumleyang ing gegana marambah-rambah. Bendhengan . . . . . . . . . . . . . . . . .

3 5 5 5 5 2 32 2 5 3 21 1 1 1 1 Yana reg-reg andhem-ana, Wong sa tri ya gumuling . . . . . . . . . . 3 3 32 2 1 1 1 1 1 5 65 5 Wus katingal saklangkung nggennya bramantya . . . . . . . . Umpk : 2 2 35 2 5 6 1 6 2 1 6 Jahning u jan ja lena ing ngayu da - - - 2 - 3 5 - 5 6 5 2 5 1 6 5 Koor: yo a yo go tong ro yong nyam but gawe Pocapan kairing gadhingan. Patih Bramangkara taksih kumleyang.

Pocapan Wau ta mangkana rekyana Patih Bramangkara pancabakah kaliyan Patih Mangkupraja. Sasat maju kebanting mundur kebanting, maju kajempala, mundur ya kajempala kabuncang sasat ora ngambah ing

Page 372: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

360

bumi, surak wadya bala Purwacarita. Woo… sasat sinebit talingane Patih Bramangkara. Ora kuwat ngengkrek hardane nafsu sakala mundur saka palagan. Ora mundur kalah, emut ngembun dhawuh saking bendara Prabu Jalawalikrama. Ora ditekati sarana amung la-ra yen perlu nganti pecahe dhadha wutahing getih kang pungkasan. Den rapal aji jaya kawijayane, den beber kanuragane, silem keba-tinane cukul kramate. Tandang Patih Bramangkara sajak sajagat pi-lih tandhinge. Gangsa mungel Alap-alapan laras Slendro pathet Wolu, sinaretan patih Bramangkara dawah saking gegana, Patih Bramangkara bang-kit majeng perang malih. Ringgit sami adepan. Gendhing kasirep la-jeng tantangan. Ginem. 151. Bramangkara : Pisan maneh kalah karo Patih Mangkupraja

tak guroni sak anak rabimu. 152. Mangkupraja : Ayo….ketogen karosanmu Bramangkara, su-

we mijet wohing ranti aku bakal nguntabna nyawamu.

153. Bramangkara : Keparat…!!! Gendhing wudhar lajeng perang malih, kalajengaken prang gada. Patih Bramangkara kasoran, kawedalaken saking tengen dawah te-ngah jagadan, ringgit marep manengen tancep paseban kiwa meng-kurep. Mujeni lan Mundu medal saking kiwa manengen, Mujeni tan-cep paseban tengen marep mangiwa sak ngajengipun patih, Mundu tancep paseban kiwa marep manengen sak wingkingipun patih. Gen-dhing suwuk. Lajeng ginem. Ginem. 154. Bramangkara : Pak Mujeni, oo…., mati aku kik… 155. Mujeni : Wau mpun kula aturi, ndara mboten dahar atur

kula, saapa Bramangkara, aja mapak siji wa-dya bala Purwacarita, lek perlu sewu bareng maju kroyoken Braamangkara. Sakniki yok’ napa.

156. Bramangkara : Iya kik ……, Patih Mangkupraja nyata sekti pu-nakawaaan…

157. Mujeni : Pramila tiyang niku aja sok tebah jaja sapa sira sapa ingsun, ngoten… eling wonten jaya won-ten apes, sakti jaya digdayane ndara Patih

Page 373: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

361

Bramangkara titi mangsa mesthi kepanggih apes, trus sakniki ya’ napa niki nun.

158. Bramangkara : Adhuh kik gak kuat, nadyan aku dikrocok ben-daramu aku ndhadha yen aku pasrah gak kuat lumawan wadya bala Purwacarita.

159. Mujeni : Ndara, ndara Jalawalikrama kados pundi nuu-un, keng abdi sampun karoban lawan, ndaroo-oa kalindhih ing jurit….

Swantenipun prabu jala walikrama saking jawi. Ginem. 160. Jalawalikrama : Addduh patih….. wah cilaka Gangsa mungel Krucilan laras Slendro pathet Wolu praptanipun pra-bu Jalawalikrama saking tengen, ringgit tancep siti inggil tengen ma-rep mangiwa kanti tangan walangkerik. Gendhing sirep lajeng ginem. Ginem. 161. Jalawalikrama : We lha dalah, Bramangkara. Katon adus getih

babak bundhas. Iki mau kena apa punakawan. 162. Mujeni : Inggih ndara nedahaken darmanipun wrangka

praja dhateng bendara, tandhing kaliyan wadya bala Purwacarita, Patih Mangkupraja.

163. Jalawalikrama : We lha dalah, keparat, keparat…… sliramu kalah karo wadya Purwacarita aku kang bakal males laramu tiiih…...

164. Bramangkara : Wadhuh sinuwuun, pejah sinuwun…… Gendhing wudhar, Jalawalikrama ngusadani patih, patih tumuli tangi atur sembah lajeng tancep paseban kiwa marep manengen, gending suwuk lajeng ginem. Ginem. 165. Jalawalikrama : Estungkara manik jagad raja dewaku, yen

mangkene cetha bangsa Purwacarita niyat nyenyamah prabu Jalawalikrama. Patihku ora melu-melu ora dosa ora perkara malah dipra-wasa iki mau lumawan sapa kik…..

Page 374: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

362

166. Mujeni : Sampun kula aturaken ing ngajeng punika wau ingkang mrawasa wrangka Negari Purwacarita Patih Mangkupraja.

167. Jalawalikrama : Dudu Prabu Sumalidewa. 168. Mujeni : Sanes nun. 169. Jalawalikrama : Yoh…. Mundura kik, undurna bendaramu Pa-

tih Bramangkara ana sak njabane palagan. Ja-lawalikrama dhewe kang bakal magut ing pala-gan, tak ukure sepira kadigdayane wadya bala Purwacarita.

170. Mujeni : Nun ingkang ngatos-atos sinuwun Gangsa mungel Ayak Kempul Kerep laras Slendro pahet Wolu. Jala-walikrama kabedhol lumampah manengen majeng palagan. Patih Bramangkara kaentas lumampah mangiwa kaderekaken Mujeni lan Mindu. Jalawalikrama kawedalaken saking kiwa papagan lan patih Mangkupraja saking tengen. Ringgit sami tancep ing siti inggil kanti asta walangkerik tanda wani. Gendhing suwuk lajeng bendhengan nuli ginem. Bendhengan . . . . . . . . . . . . . . . . . 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 6 1 3 2 2 6 16 6 Yana andhik dukane sang rajapati, Ranangga-na mangsa sa-ran . . . . . . . . . . 1 2 2 2 2 21 1 1 1 5 5 5 5 5 5 35 32 2 2 Mangliweran mangendha gelap, pra prajurit wus ma-gut ing la ga 6 6 6 6 6 6 6 6 65 5 5 5 yana pra pra-jurit wus magut ing laga Ginem. 171. Jalawalikrama : Estungkara manik jagad raja dewaku, we lha

dalah. Patih Mangkupraja. 172. Mangkupraja : Nuwun sewu tak jabel basaku, Prabu Jalawali-

krama ana paran. 173. Jalawalikrama : Nggege pati bosen urip wani mrawasa abdiku

Patih Bramangkara. Sasat ngilani dhadhane Jalawalikrama, sasat nyebit talingane Jalawali-krama. Yen ora enggal minggat saka ngarepe Prabu Jalawalikrama klakon tugel gulumu.

174. Mangkupraja : Ora enggal sumingkir saka Negara Purwacari-ta dadi Bathang kwandamu.

Page 375: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

363

175. Jalawalikrama : Woo…. tampanana tangane Jalawalikrama. 176. Mangkupraja : Jajal sepira kadigdayanmu. Gangsa mungel Ayak Kempul Kerep laras Slendro pathet Wolu. Rin-ggit sami perang sawetawis. Patih Mangkupraja kasoran, kabalang-aken manengen. Jalawalikrama nututi manengen. Patih Mangkupra-ja medal saking kiwa kaentha dawah, dipun papag raden Sumalinta-na saking tengen. Ringgit sami tancep ing siti inggil kiwa lan tengen. Gendhing suwuk lajeng bendhengan. Bendhengan . . . . . . . . . . . . . . . . 2 2 2 2 2 2 2 2 2 6 1 2 2 2 2 2 6 16 6 Yana samba mbangun asmara, Bau kiwa pangrapeting waja . . . . . . . . . 2 2 2 2 2 1 23 1 Kang tengen panggunggung mungsuh 5 5 5 5 5 5 5 2 32 2 Playunya kadya mimis kencana 6 6 6 6 6 6 6 65 5 5 5 5 Yana playunya kadya mimis kencana Ginem. 177. Sumalintana : Paman Patih Mangkupraja. 178. Mangkupraja : Raden, ketiwasan raden, keng paman kelin-

dhih ing jurit lumawan Nalendra Sunggela Ma-nik, Prabu Jalawalikrama. Oo…., digdaya ra-den, mila pates minangka bandhanipun ngla-mar keng raka Ni Dewi Sumaliwati.

179. Sumalintana : Paman kula aturi lerem sawetawis, keng putra ingkang badhe mapag yudanipun Prabu Jala-walikrama.

180. Mangkupraja : Raden menawi mekaten keparengipun su-mangga, namung ingkang kula suwun sa-klangkung ingkang ngatos-atos, sinten nyume-rapi mbok menawi raden ingkang saget mbengkas damel.

181. Sumalintana : Nyuwun tambahing pangestu paman. 182. Mangkupraja : Inggih ingkang ngatos-atos raden.

Page 376: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

364

Gangsa mungel Ayak Kempul Kerep Laras Slendro Pathet Wolu. Su-malintana kabedhol kumampah kangiwa, Mangkupraja kaentas ma-nengen. Sumalintana medal saking tengen kapapag Jalawalikrama saking kiwa, Ringgit sami tancep ing siti inggil kiwa lan tengen. Gen-dhing suwuk lajeng ginem. Ginem. 183. Jalawalikrama : We lha dalah iki ana satriya bagus, nitik lagak

lageyane ora pantes yen ta punggawa utawa wadya Purwacarita. He raden, sejatine sliramu iki sapa.. ?

184. Sumalintana : Prabu Jalawalikrama, tambuh klawan aku, pu-tra Purwacarita atmajane kanjeng rama Prabu Sumalidewa, Raden Sumalintana kekasihku.

185. Jalawalikrama : Raden Sumalintana anak ratu Purwacarita. Apane Sumaliwati iki.

186. Sumalintana : Aku adhine kakang mbok Sumaliwati. 187. Jalawalikrama : We lha dalah…., adhiku ipe sliramu, aku calon

kakangmu. Mbakyumu rum-rumen supaya ge-lem dak boyong marang Sunggela Manik.

188. Sumalintana : Gelema kakang mbok Sumaliwati, aku kang suthik nyawang sliramu. awit apa Sliramu iki nalendra leletheking jagat.

189. Jalawalikrama : Elllho…. Karepmu apa ? 190. Sumalintana : Ora enggal minggat saka Negara Purwacarita

klakon tak tugel gulumu. 191. Jalawalikrama : We…. lha dalah, ora kena dijak pripean iki. Su-

malintana, ora kok ulungne Dewi Sumaliwati klakon tak gawe sungsang bawana balik Praja Purwacarita.

192. Sumalintana : Mati dening aku Gangsa mungel Ayak Kempul Kerep laras Slendro pathet Wolu. Ringgit sami perang, Jalawalikrama kasoran, kawedalaken saking te-ngen kaentha dawah, tancep paseban tengah ringgit mengkurep ma-rep mangiwa. Gendhing suwuk lajeng bendhengan. Bendhengan . . . . . . . . . . . . . . . . 3 5 5 5 5 2 32 2 3 21 1 1 1 1 Yana peteng paningalnya. O balawur-lawur . . . . . . . . . . . . . 2 3 3 3 32 2 2 2 1 12 1 5 65 5 5 5

Page 377: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

365

Pindha pecat ponang yitma, Lolos ponang bebayunya . . . . . . . . 2 2 35 2 5 6 1 6 2 1 6 Umpak : Jahning Ujan Ja lena ing ngayuda Pocapan kairing gadhingan

Pocapan Jinempala dening Raden Sumalintana ambruk ing bantala, kaya lena purwa madya wasana sumrepet panone kaya ketiban wesi gligenan yen ta rinasakaken. Nanging wong Prabu Jalawalikrama, setungga-ling nalendra ingkang kenging winastanan jalma digdaya, lebur tanpa dadi kuwandanira yen taksih gedhe tekade ora ana caritane mundur saka payudan, salirane kaya katiban tirta saka swarga bandhang, nglilir nggennya kapidara soroh amuk kaya bantheng ketrajang pelor tandange. Gangsa mungel Alap-alapan laras Slendro pathet Wolu, ringgit gu-mregah tangi, Jalawalikrama majeng perang malih. Ringgit sami adep-adepan nuli perang. Sumalintana kasoran kabalangaken ma-nengen, jalawlikrama hanututi. Sumalintana medal saking kiwa kaen-tha dawah. Badhe majeng mangiwa dipun candhet patih Mangkupra-ja, ingkang medal saking tengen. Ringgit sami tancep ing siti inggil kiwa lan tengen. Gendhing suwuk lajeng ginem. Ginem. 193. Sumalintana : Paman Mangkupraja,… 194. Mangkupraja : Raden sampun ndadosaken catune penggalih,

dene raden kula candhet sampun ngantos nglajengaken pancabakah tandhing kaliyan Prabu Jalawalikrama.

195. Sumalintana : Kenging menapa paman, kula tasih sanggup. 196. Mangkupraja : Raden, kula tingali saking sak njawining pala-

gan raden sampun kaprawasa dening Jalawa-likrama. Kados-kados mboten wonten ingkang saget nandhingi prabu Jalawalikrama raden.

197. Sumalintana : Lajeng prayoginipun kados pundi paman. 198. Mangkupraja : Kados pundi kemawon bab menika kedah di-

pun aturaken dhateng ingkang rama, mangke kados pundi rekadayanipun ingkang rama.

199. Sumalintana : Inggih menawi mekaten mangga sami dipun aturaken dhateng ngarsanipun kanjeng dewaji.

Page 378: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

366

200. Mangkupraja : Mangga raden kula dherekaken. 201. Sumalintana : Duh kanjeng dewaji ketiwasan….. Negari kan-

tun saingkupe payung sarebahing landheyan, rama prabuuu….

Gangsa mungel Krucilan laras Slendro pathet Wolu. Ringgit bedho-lan sedaya lumampah manengen marak sowan prabu Sumalidewa. Sigeg kayon gantos keraton purwacarita. Prabu Sumalidewa kawe-dalaken saking tengen kanti asta walangkerik nuli tancep siti inggil tengen. Sumalintana lan Bramangkara sami medal saking kiwa, atur sembah nuli tancep paseban kiwa. Gending suwuk lajeng ginem. Ginem. 202. Sumalidewa : Sumalintana. 203. Sumalintana : Wonten dhawuh kanjeng dewaji. 204. Sumalidewa : Sliramu ora usah kathik nganggo matur kaha-

nan ing alun-alun palagan perang. Pun rama wis nyumurupi ya ngger. Mundure para wadya bala apadene pamanira Mangkupraja, klebu sliramu uga, kapracondhang kalah prebawa uga kalah samubarange klawan Nalendra Sunggela Manik.

205. Sumalintana : Lajeng kados pundi rama, menapa kelampa-han kakangmbok Sumaliwati badhe dipun pa-ringaken dhateng Nalendra angkara.

206. Sumalidewa : Mendah panandhange mbok ayumu sumalin-tana, yen nganti kagarwa dening nalendra ing-kang watak dursila.

207. Sumalintana : Nuwun inggih rama, lajeng keparengipun kan-jeng rama kados pundi ?

208. Sumalidewa : Ngene ya ngger, sawatara Prabu Jalawalikra-ma mesanggrah ana alun-alun Purwacarita, lha sliramu aja wedi kangelan. Manungsa wa-jib mbudidaya, Gusti ingkang paring rejeki.

209. Sumalintana : Nuwun inggih rama. 210. Sumalidewa : Goleka sraya, goleka jago, sapa wae. Ora

preduli tedhaking uwong ningrat ora ndeleng iku wong sudra idhep-idhep pasang patemba-ya, sok sapa bisa ngundurake Nalendra Sung-gela Manik, siji ganjarane negara, angka loro ganjarane mbok ayumu Sumaliwati.

211. Sumalintana : Mekaten rama, lajeng mbenjang menapa ing- ikang putra lengser saking Negari Purwacarita.

Page 379: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

367

212. Sumalidewa : Mbesuk dadak ngenteni apa ngger, elinga ne-gara wus ancik-ancik ana tepining bebaya. Yen bisa enggala antuk jago kang bisa mbras-tha pepetenging negara.

213. Sumalintana : Nuwun inggih ngestokaken dhawuh rama 214. Mangkupraja : Nuwun menapa ingkang abdi dipun kepareng-

aken ndherekaken Raden Sumalintana. 215. Sumalidewa : Patih, sira aja melu. Cukup ajaken perang un-

dur-undur Prabu Jalawalikrama. Tegese, yen Prabu Jalawalikrama maju ing palagan, undur-na para wadyabala, supaya bisoa ngolor wektu kanggo ngenteni jago kang den upadi dening bendaramu Sumalintana.

216. Mangkupraja : Menawi mekaten ngestokaken dhawuh sinu-wun.

217. Sumalidewa : Wis ya ngger, mangkata dina iki dak sangoni puja lan puji umiring lakumu muga enggal ke-temu jago kang bisa ngilangi klilip Negara Pur-wacarita.

218. Sumalintana : Ngestokaken dhawuh, nyuwun pamit kanjeng rama.

219. Sumalidewa : Sing ngati-ati ngger, belanana mbakayumu Sumaliwati aja nganti kawengku dening nalen-dra kang angkara.

Gangsa mungel Ayak Kempul Kerep laras Sendro pathet Wolu, ring-git bedholan. Sumalintanan kabedhol atur sembah lumampah mangi-wa, Sumalidewa kaentas manengen, Mangkupraja kabedhol atur sembah kaentas mangiwa. Sigeg kayon tanda wonten njawi keraton. Gendhing suwuk lajeng pocapan kairing gadhingan. Jroning pocapan sareng nglampahaken Sumalintana saking tengen mangiwa maram-bah-rambah.

Pocapan Candrane wong lumampah adoh rupa candra. Rupa barang kang katon, candra barang kang wis dadi. Roning medi, ron gegodhongan, ning neng ing jroning raos, sasi pinolah nagita rawa ? bumi buda, bu-mi lemah buda suwung, tanah kang durung tinanduran bumi buda arane hawane ketingal swasana pandulu, loro-lorone tingal, mripat loro ndulu papan adoh nadyan katon loro yen den mataken amung ketingal sajuga. Mantheng pandulune Raden Sumalintana. Manthe-nge saka pandulu saonjotan nilar Negari Purwacarita kancik ana jro-ning minangsraya.

Page 380: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

368

Gangsa mungel Ayak Kkempul Kerep laras Slendro pathet Wolu. Su-malintana lumampah saking tengen mangiwa. Sigeg kayon, katan-cepaken ing tengah miring nengen, gendhing suwuk lajeng sendhon. Sendon 1 1 1 1 1 1 1 61 53 56 Mandhaping tengahing ratri, o, o 2 2 2 2 2 2 2 325 5 5 5 5 5 Candra lan kartika wus sumebar ing tawang 3-21 1 1 1 1 1 1 2 2 2 2 2 616 6 Su mu nar anyunari, Anyunari bawa – na 2 2 2 2 2 1 3-21 1 Swasana sidhem prema nem 2 2 2 2 2 2 2 12 Jagad tan ana ngali sik 1 1 1 1 1 1 1 121 6-5 1 Kang kapyarsa amung ku ki la, O…

Pocapan Nengna ingkang lagya ngupadi sraya putra Purwacarita Raden Su-malintana nilaraken praja, dinten-dinten ingkang ngayam alas ngiba-rat munggah gunung tumurun ing trebis enggala kepanggih jago ing-kang saget ngicali klilip negari. Kawuwusa ingkang oncat saking Ne-gari Durjanapura yaiku Putra Nalendra Durjanapura Sang Prabu Ber-janggalawa kapetang taksih putra wayah Nalendra Pancawati Sri Ba-thara Rama duk nalika samana. Ingkang kekasih Raden Berjangga-pati kadherekaken wulucumbu tigang perkawis Semar, Bagong mi-wah Besut. Sanget anggenipun kepi marang kang raka Raden Kus-wa, ingkang sawetawis katilar mindra saking Negari Durjanapura. Berjanggapati anggenipun ngupadi ingkang raka menonang-mena-nung ibarat ora ngerti keblat wonten ing telenging minangsraya, ka-dya tiyang bingung candrane. Gangsa mungel gendhing Dhudha Bingung laras Slendro pathet Wo-lu. Ringgit raden Berjanggapati kawedalaken saking tengen nuli tan-cep ing siti inggil tengen.punakawan Semar, Bagong lan Besut ka-

Page 381: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

369

wedalaken saking kiwa, atur sembah nuli tancep paseban kiwa. Gen-ding kasirep lajeng janturan.

Pocapan Hanenggih punika ta ingkang kinarya gempalaning kandha gelising tiyang carita, nyariyosaken ingkang oncat saking Kraton Durjanapu-ra. Hanenggih ta punika atmajanipun Sang Prabu Berjanggalawa, Raden Berjanggapati kekasihe. Satriya bagus ibarat tanpa cacad pantes yen ta dadya putra Nalendra Durjanapura, pantes yen ta pu-tra wayah Sri Bathara Rama. Yen angendika arum manis wicarane andarbeni rasa tresna mring sapadha-padha, mula ora mokal yen ta Semar dhahat tresnane kaliyan sang bendara Raden Berjanggapati. Kadherekaken Semar Bujagati, Bagong, lan Besut. Yen ta Semar ora bisa mbudidaya mrih bendara enggal paring dhawuh kaya-kaya ora pantes awit Bathara Ismaya. Sem: peteng mar: padhang. Gawe pepadhange swasana peteng, asung padhange wardaya ingkang bendara. Kabyantu Bagong, Ba: be’ Gong: Gedhe. Gedhe tekade akeh akale sugih budidayane. Besut minangka panakawan ora mo-kal yen ta Berjanggapati tansah kagadhingan dewa manjalma, ana kang mastani dewa kamanungsan. Dangu nggennya mendel kewala Semar sigra angrumiyini matur wonten ngarsanipun bendara: ee . . . ya’ apa nak bendaramu iki. . . .Bagong (Bg): kono ma. . . . aturana ma . . ., Semar (Smr) : ee . . iya le . . . Gendhing wudhar lajeng suwuk Semar ura-ura . . . . . 5 5 61-65 1 2 5 5-656516152 3 5-36 Mang ke ru miyin, nda ra ku la 6 1 2 2 2 2 2 2 2 2 1 1 1 3 21 1 1 Ndara kula berjanggapati, kembang biru munggwing pager 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 5-232 2 2 Mboten langkung yen enten lepate kang abdi 5 6 1 1 1 1 1 1 321 6-5 Mugia kersa paring panga pu - ra Ginem. 220. Besut : Wah. . . . untung makdhe sik eling ya pak. . . .

Page 382: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

370

221. Bagong : Lha iya. . . ya ma, masiya saiki akeh garapan, ning sing klasik aja nganti lali. ya ma. . . .

222. Semar : ee . . . iya nak. 223. Bagong : rika isa nembang . . . 224. Semar : iya . . tapi gak oleh akeh-akeh . . . . Lajeng tetembangan sak cekapipun Ginem. 225. Semar : E . . . ae . .ae, den . . mboten ketang sapada

nggih niku wau ingkang kula aturaken. Mugi saget nujuprana. . .

226. Bagong : Ma. . nujuprana iku apa ma. . . . 227. Semar : Iso gawe bungah rasane bendara le, ha wong

tuwa iku iso’e asung pitutur utawa asung pe-mut marang bendara, yaiku dilewatna tembang nak, supaya gampang ditampa le. .

228. Bagong : Kira-kira mandi pa gak ma, tetembangane. 229. Semar : Mandi le, wong tak barengi karo mantra kok . . 230. Bagong : Mantra apa ma. 231. Semar : Lho . . .wong tuwa ki sugih mantra le, lha nek

bendaramu ngene ae, tak rapalna aji sewu eneng . . .

232. Bagong : Terus . . . 233. Semar : Meeeneng nak . . . 234. Bagong : Rak tambah meneng ma. . . koen iku. 235. Semar : Den . . . . 236. Berjanggapati : Semar, oo. . . wis sepuh nanging bisa gawe

pajaring rasaku Semar,o. . . nyata-nyata dewa kamanungsan. Bisa gawe jampining rasa kang lagi susah. Iki mau tembang apa.

237. Semar : Gendhing Jawatimuran tembange Angleng Su-rabaya. Den, niku wau menggahe dirasakaken ngemu pitedah, ngemu tuntunan. Ha wong tu-wa niku siyen yen nggulawenthah dhateng sing nem-nem niku mboten dituturi kados ti-yang sakniki, ngaten . . .sageta mboten salah tampa dipun tembangi.

238. Berjanggapati : Ngono ya . . 239. Semar : Inggih . . 240. Berjanggapati : O….kok ya pinter, ya… ya Semar gedhe pana-

rimaku. Minangka bebungah anggonmu nem-bang iki mau, ana dhuwit sethithik kanggo sli-ramu.

Page 383: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

371

241. Semar : Ah… ampun athik repot-repot ta den, kula niki mboten kathik ngoten-ngoten niku. Suka rila legawa awit ndara niki momongan kula nga-ten….. nek mboten kula, siiinten den ingkang badhe ngaturi panglejare penggalih.

242. Berjanggapati : Ora…….. ora akeh kok semar. 243. Semar : Ah….. mpun kathik ngoten-ngoten ta den. . . 244. Bagong : Ma, koen iku…… gemremet tanganmu iki, gak

gelem tak wakili… 245. Semar : Menenga ta goblog… !! arek kok, cek-e pantes

ketoke gak arep tapi arep ngono lho, bodho… enggih, mboten den dipun asta kemawon.

246. Berjanggapati : Suka rila legawa aku paring bebungah marang kakang semar, enyoh…

247. Semar : Pinten….. 248. Berjanggapati : Satus ewu… 249. Semar : Kirangan lek ngoten...nggih matur nuwun, ee-

tak rewangi ngono ae satus ewu nak, mulane kabisan iku lek diudi rejeki le….

250. Bagong : O… dadine ma… 251. Semar : Iya nak… mulane anakmu kok sekolahna saiki,

asile yo’opo…. piiinter le, nembang pinter, nari yo pinter . .

252. Besut : Wak...ancene bapak iku anu makdhe...bapak iku kuna samukawis, dadine kula kawit alit di-pun sekolahaken linambaran pangertosan, ku-la punika wah sampun mumpuni sanget.

253. Semar : O…. sokur nak, sokur duwe putu pinter Lajeng gantosan Besut ingkang nembang, kaparingan arta kaliyan sang bendara. Bagong lajeng ugi tumut nembang, nyuwun arta sam-pun telas, kalajengaken ginem. Ginem. 254. Berjanggapati : Wa semar, yektine anggonku oncat saka Dur-

janapura ora ana kang dak ulati amung kakang Kuswa. Kakang Kuswa iki menyang endi Se-mar, kok ya tegel tanpa pamit karo adhine. Mula dina iki ayo diupadi. Ora bakal bali ma-rang Durjanapura lamun durung ketemu ka-kang Kuswa.

255. Semar : Ee…. ndara, nyata-nyata luhur budine. Kang raka niku benten kaliyan ndika lho gus, kang raka punika kok inggih tebih kaliyan ndara.

Page 384: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

372

Yen ndara niki pun…. Mboten wonten benteni-pun kaliyan keng rama ugi keng eyang. Ae…. nek keng raka niku kok kados mboten cocog lek dados putra Durjanapura. Watake, lagak lagon lageyane, kalih wong tuwa nggih mboten wonten sopane, niku siyen ya’ napa anggone nggulawenthah.

256. Berjanggapati : Ala dikaya ngapa wong sedulur, siti reka toya reka salira panatasing tunggal. Semar, sapa iso medhot iline banyu prasasat isa medhot sedulur, ewa diewa dak ulati, lara bareng ngra-sakna mukti bareng ngawibawa.

257. Semar : Ngaten den…. 258. Berjanggapati : Iya wa semar, mula ayo dherekna lakuku aja

nganti kedadak kadaluwarsa, daya-daya ndang kepanggih kakang Kuswa.

259. Semar : Wa… yen ngaten suwawi ndara, kula dherek-aken den . . .

Ringgit kabedhol setunggal-setunggal wiwit berjanggapati, semar besut lan bagong, kalampahaken mangiwa. Satelasing ringgit nuli bendhengan/ada-ada terus pocapan, sinambi nglampahaken kayon mangiwa marambah-rambah. Bendhengan . . . . . . . . . . . . . . 5 5 5 5 5 5 5 5 5 2 3 2 2 2 2 2 3-21 Punta sayuta, njegidheg budheng awor alang-alang, o . . . . . . . . . . 3 3 3 32 2 5 6 1 12 1 65 5 5 5 Sisik treng gi-ling, kebo sapi sak pirang-pirang . . . . . 2 2 35 2 Umpak: Jahning u - jan . . . (Kalajengaken Waranggana) Balungan : - - - 2 - 3 5 - 5 6 5 2 - 1 6 5

Pocapan Gya lumaksana Raden Berjanggapati, nilaraken papan rame manjing telenging minangsraya mbrasak alas ri bebondhotan. Candrane wong manjing jroning wana akeh kekayon kebak tanpa sela. Werna-werna arane kayu. Giro-giro kayu Sawo, Gelaran kayu Suren, Kepet

Page 385: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

373

Alang-alang. Ing kono ana kayu Tinggalmanik, pange pucuk teles bongkot garing den pencoki Manyura lan manyuri. Manyura manuk lanang manyuri manuk wadon. Padha andon tresna wonten ing ndhuwuring pang. Pang dienciki pucuk membat bongkot, dienciki bongkot membat pucuk, dienciki tengah jeploke pang nibani bala reksasa saka Negara Sungela Manik. Watak bala buta, ketiban ka-yon Tunggal manik sakala gero-gero swarane. Ana godhong sinaut. Godhong tiba kaguwel-guwel solah bawane reksasa yen ta lagi kela-ran, sajak andhig dukanira tandha sasmita yen ana bebaya. Gangsa mungel Ayak Kempul Kerep laras Slendro pathet Wolu , ka-yon geter katancepaken paseban tengen. Raseksa kawedalaken sa-king kiwa lumampah beksa katutup kayon kiwa (kaentha medal sa-king alas) sawetawis gegiro kaentas manengen. Kayon tancep pase-ban kiwa. Berjanggapati saking tengen papagan kaliyan bala rasek-sa saking kiwa, ringgit sami tancep ing siti inggil kiwa lan tengen. Se-mar lan Bagong medal saking tengen nuli tancep paseban tengen sak wingkingipun Berjanggapati. Gendhing suwuk nuli bendhengan. Bendhengan . . . . . . . . . . . . 2 2 2 2 2 2 2 2 6 1 2-1616 6 6 6 Yana prajengga-prajenggi, genthanya marongos . . . . . . . . . . . . . . 2 2 2 2 2 2 2 21 1 1 1 1 1 Gero-gero swaranya kadya banaspati 5 5 5 5 5 5 5 2 32 2 2 2 Sira metua saka guwa per jagalan 6 6 6 6 6 6 65 5 5 5 1 5 yana kalung usus deleweran, o . . a . . Ginem. 260. Renggutmuka : Mandheg-mandheg satriyoooa mandheg. Ana

satriya bagus lagak lagon lageyane kaya sifate temanten anyar. Sapa jeneng ngendi omah ha . . .satriyooa . . . sapa jeneng ngendi omah . . . oh, ho ho ditakoni ora enggal mangsuli kaya dene wedi kelangan mut-mutanmu inten. Ora enggal ngucap apa njaluk dadi mangsane para bala reksasa, satriyoooooooaa . . . .

Page 386: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

374

261. Berjanggapati : Wa Semar, ana pringga bayane marga. 262. Semar : Heh . . . atos-atos mawon gus, Bagooong . .

.akeh duuupa nak. 263. Bagong : Wong . . . buta kok dupa . . .koen iku . . 264. Semar : Iya . . . heeeeh sing ati-ati le . . . 265. Berjanggapati : Buta-buta anggonmu ngucap tandha yen mu-

rang tata, cocog karo aranmu buta sebut sing ora tata, nilarna trapsila cocog karo katurang-gamu, cocog karo wandamu, ngridhu lakune wong kang lagi lumaku. Sapa jenengmu buta..

266. Renggutmuka : Eh, he he, durung diwangsuli malah wis na-koni, karepmu apa gus

267. Berjanggapati : Lumrah wong pinanggih ana papan lebu. Tina-konan males nakoni ibarat ana salah panari-mane aja nganti sira mengko pasulayan karo aku, mati tanpa aran.

268. Renggutmuka : Iyo....tambuh karo aku dianggep aku buta ala-san. Aja dianggep aku buta klambrangan gus, yektine abdine bendaraku Jalawalikrama saka Negara Sunggela Manik. Ditya Renggutmuka aranku.

269. Bagong : Wak . . . sampek grebegen aku ma 270. Semar : Apa’a le . . . 271. Bagong : Gak melok ngomong ning melok ngeden hare

ma... 272. Semar : Iya nak, ancene buta ngomong ya ngono iku 273. Bagong : He . . . koen iku gak iso ngomong sing enak-a,

ambek mecicil-mecicil hare mripate harene . . . 274. Renggutmuka : Opo’o . . . 275. Bagong : Ngomong sing genah kaya aku gak iso-a, ta

buta 276. Renggutmuka : Kongkon genah . . . . . . . . . ngene-a kang 277. Bagong : Iyo . . . 278. Renggutmuka : Buta gak pantes len kon ngomong genah

,kang… 279. Bagong : Kegenahen goblog . .nggereng kaya mau lho .

. . aa . .koen sapa . . . . lak ngono-a 280. Renggutmuka : Gorokanku wis gatel kang . . . 281. Bagong : Wak . . . .arek apa, sing siji iki sapa 282. Yaksa 2 : Kala Njadil jenengku 283. Bagong : Iki . . . .kenemenen iki 284. Yaksa 2 : Waa . .wa. . .(nggereng) 285. Bagong : Aja athik nggereng. Aku lek krungu wong

nggereng dhadhaku seseg goblog (guyon buta 1, 2 nggereng dibekeb bagong. Semar tumut nggereng)

Page 387: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

375

286. Renggutmuka : Satriya balik sapa kekasihmu saka ngendi pi-nangkamu.

287. Berjanggapati : Putra Durjanapura Raden Berjanggapati ke-kasihku.

288. Renggutmuka : Berjangapati… Aja liwat dalan kene iki rerek-sanku. Alas Krenting Krendhawahaya ora bisa kambah sakliyane wadya bala Sunggela Ma-nik. Balik . . !!

289. Berjanggapati : Aja dadi sandhungane lakuku. Aku njaluk da-lan.

290. Renggutmuka : Gelem balik, ora ya balik. 291. Berjanggapati : Yen aku ora gelem balik. 292. Renggutmuka : Waah…. klakon tadhah kala mangsa dadi ge-

gadhuhane para bala reksasa, abdine Prabu Jalawalikrama.

293. Berjanggapati : Oleh bacut ora oleh bacut, yen ta Berjangga-pati bacut aja-a mbok palangi buta siji, ngiba-rate sakwadya balamu kabeh saka Sunggela Manik ngadhang lakuku rawe-rawe rantas ma-lang-malang putung.

294. Renggutmuka : Lhaa dalah, gawe karepe dhewe. (kairing ga-dhingan) Berjanggapati, sliramu ora enggal minggat saka jroning Alas Krenting Krendha-wahaya, wurung lumaku, dadi bathang ragamu ha…

Gangsa mungel Ayak Kempul Kerep laras Slendro pathet Wolu. Perang raden Berjanggapati mengsah denawa. Dereng ngantos purna Berjanggapati kageret dening Semar saking kiwa manengen. Ringgit tancep, Berjanggapati tancep siti inggil tengen Semar tancep paseban kiwa. Gending suwuk lajeng bendhengan. Bendhengan . . . . . . . . . . 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 Angkawijaya sekar tinulis, . . . . . 6 1 2 2 2 6 16 6 6 6 Wong mertapa la li mring putranya . . . . . . . 2 2 2 21 1 1 5 5 2 32 2 Mbenjang ganjarannya pinanggih wingking 2 3 5 5 1 65 5 5 5 Ganjarannya pinanggih wingkin

Page 388: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

376

Ginem. 295. Berjanggapati : Aku kok mbok undurna semar. . .. 296. Semar : Ee…mboten mundur wedi, mboten mundur ka-

lah gus, ning ngalah sawetawis. Ngalah kang-ge nggayuh kamenangan ndara.

297. Berjanggapati : Kok ngono. 298. Semar : Inggih, mboten cukup namung dipun doli sara-

na atosing balung kandele kulit kencenge otot, e . . niki buta sapirang-pirang ndara, nggih mila nyukupana yen mboten ngangge piranti gus.

299. Berjanggapati : Lha piratine apa. 300. Semar : Ngasta pusaka. 301. Berjanggapati : Kebeneran wa semar, kok ora nggawa pusa-

ka. Cilike duwung gedhene warastra. 302. Semar : Wah. . . lha niki cilaka gus lek mboten ngasta

pusaka .Goong. 303. Bagong : Apa ma . . (swanten saking njawi kelir). 304. Semar : Ngethoka pring apus naak . . . 305. Bagong : Apa ma ?? 306. Semar : Pring apus lee . . 307. Bagong : Gawe apa ma. 308. Semar : Wis menenga ae tah !! kethokna kono, engko

lak eruh dhewe-a. 309. Bagong : Oo . . yoh, kangggo apa se, ma. 310. Semar : Kanggo piandel nak . . .. 311. Bagong : Pring apus sak dhapur apa situk ngono ae ma. 312. Semar : Ameka situk naak, sigaren dadi loro, nek wis

dadi loro sigaren maneh prapaten le.. 313. Bagong : Oo...ya ya, ha . . iki ma, iki wis tak prapat ka-

repmu kaya ngapa. 314. Semar : Iki minangka pusakane bendaramu le, nadyan

pring apus ibarate, nek aku sing muni iki pusa-ka, ya pusaka. Elinga semar iku sapa.

315. Bagong : Dewa manjalma. 316. Semar : Tegese. 317. Bagong : Dewa kamanungsan. 318. Semar : Ha iya nak. Elek-elek wong aku iki dewa ka-

manungsan Sang Hyang Puguh kok, lek ora bisa mageri bendaraku, kanggo apa aku ndhe-rekna dohe Negara Durjanapura nganti tekan kene.

319. Bagong : Oo . . ya, ya ma Bagong medal saking kiwa sinambi mbeta panah, kaaturaken Ber-janggapati, Bbagong tancep paseban kiwa sak wingkingipun Semar.

Page 389: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

377

Ginem. 320. Semar : Ngga gus, dipun asta. Ha niki kanggo srana

ndara ngentasi damel. 321. Berjanggapati : Mundura Semar. 322. Semar : Nggih, ati-ati gus. Bagooong ngamping benda-

ramu le. 323. Bagong : O ya ma. Raden, mangga dipun ginakaken

kangge ngilangi klilipe dedalan. Oo Pocapan kairing gadhingan, sinambi mbedhol Semar kaentas mane-ngen, Bagong kaentas manengen. Berjanggapati ngasta panah tan-cep siti inggil tengeh .

Pocapan Tinampi ponang jemparing dening Raden Berjanggapati. Sanadyan wujude amung pring apus ning ing rehdene ingkang yasa Sang Hyang Puguh, Semar Bujagati, lelandhepe dadi pitung penyukur. Dhasar Berjanggapati limpad dhateng olah kridhane warastra lungit dhateng pamenthange gendewa. Tinanting kaembat ponang gende-wa lumepas ponang warastra yasane Semar. Kaya thathit saking bantere warastra. Natap dhadhane, bala denawa pating blesah pa-ting slayah kaya glonggong kaicak gajah. Gangsa mungel Alap-alapan laras Slendro pathet Wolu. Berjangga-pati kabedhol gending sirep, mbeksa nedya manah. Saksampunipun manah nuli kaentas mangiwa. Nglampahaken panah kebat kalih rambahan. Raseksa samya gegiro lan kiprah, lena , panah kawedal-aken saking tengen nembus dadane buta saknalika pejah kaentas mangiwa geglundhungan. Berjanggapati medal saking tengen tan-cep siti inggil tengen, Semar lan Bagong medal saking tengen tan-cep paseban kiwa marep manengen. Ginem. 324. Berjanggapati : Badranaya. 325. Semar : Kula ndara. 326. Berjanggapati : Gedhe panarimaku dene kakang semar sa-

byantu marang aku. 327. Semar : Sak saget-saget kula gus, abot anggen kula

nampi jejibahan kangge kayuwananing momo-ngan kula. Eee....mumpung dereng surup sre-ngenge, mangga mbacutaken lampah madosi keng raka.

Page 390: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

378

328. Berjanggapati : Semar, ora bakal bali marang Durjanapura yen durung pinanggih kakang Kuswa. Aja kepara adoh kakang, sirnaning bala buta tandha yen ana pepadhang mrih bisane ketemu klawan sedulurku tuwa.

329. Semar : Ha....lek ngoten ampun kedhisikan surupe sre-ngenge. Suwawi gus, heeh.....kula dherek-aken.

Gangsa mungel Ayak Kempul Kerep pancer telu (3) laras Slendro pathet Wolu. Ringgit sami kabedhol kalampahaken mangiwa. Kayon tengen kabedhol, sigeg kayon tanda lintu papan panggenan. Kayon kalampahaken mangiwa ngatos gendhing suwuk, lajeng bendhengan walik pathet sanga. Bendhengan . . . . . . . . . . . . . . . 3 3 3 3 3 3 3 23 2 2 2 2 2 6 16 6 6 Juning meru nggaru laya, ulatana pundi kuthanya . . . . . 3 35 2 2 6 6 6 3 53 3 3 3 Kidul wetan, tlatahnya mangendralaya 6 1 2 2 2 56 5 2 32 2 2 2 Sumyak- sumyuke wong ngudang ngelmu rasa . . . . . . 1 2 3 2 2 6 16 6 6 6 2…. Sumyuke wong ngudang ngelmu rasa, Oo Pocapan kairing gadhingan

Pocapan Angengalaken nggennya lumaksana Sang Bagus Berjanggapati. Se-dyaning manah amung sajuga ngupadi ingkang raka Raden Kuswa-nalendra. Estu dadi lara lapa saka antepe tekad giliging niyat. Kabi-kak dening Gusti kang akarya jagad datan ngantos medal saking jro-ning wana, pinangih ingkang raka Raden Kuswanalendra. Mungel gendhing Ayak Kempul Kerep laras Slendro pathet Sanga. Raden Kuswanalendra medal saking tengen tancep siti inggil tengen. Raden Berjanggapati medal saking sisih kiwa kaderekan Semar da-

Page 391: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

379

lah Bagong, nuli atur sembah tancep paseban kiwa. Gendhing su-wuk lajeng bendhengan. Bedhengan . . . . . . . . . .

3 3 3 3 3 3 3 32 2 Yana samba bangun as ma ra 6 6 6 6 6 6 3 53 3 Bau kiwa pangrebat wa ja . . . . . . . . . . .

1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 16 6 6 6 Yana samba playunya kadya mimis kencana Ginem. 330. Kuswanalendra : Berjanggapati rupane. 331. Berjanggapati : Nuwun inggih kakangmas. 332. Kuswanalendra. : Ora ngonone, sliramu ana papan kene iki

arep menyang endi. 333. Berjanggapati : dhuh kakang, tebih saking Negari Durjana-

pura ngantos dumugi ing telenging wana, yektosipun kang rayi ngupadi kakangmas. Kok mboten mawi cecala kakang Kuswa ba-dhe tindak pundi.

334. Kuswanalendra : Kok takon mangkono dhasarmu apa ?? 335. Berjanggapati : Naminipun sedherek, ingkang rayi estu tres-

na kaliyan kakang Kuswa minangka sedhe-rek ingkang sepuh kangmas, mbok menawi wonten kalepyanipun ingkang rayi amung kakang Kuswa ingkang paring pemut, lamun kula lepat kakang Kuswa kajibah ngleres-aken minangka gantosipun ingkang rama prabu.

336. Kuswanalendra : Berjanggapati. 337. Berjanggapati : Wonten dhawuh. 338. Kuswanalendra : Aku iki arep ngulandara melarna nalar.

Mangka wong ngumbara iku durung tamtu mbesuk kapan bali.

339. Berjanggapati : Keparenga kula ndherek kakangmas. 340. Kuswanalendra : Aja. . . ., aja ya dhi, balia !!. 341. Berjanggapati : Mboten kangmas, kula ndherek 342. Kuswanalendra : Yen pun kakang lara.

Page 392: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

380

343. Berjanggapati : Ibarat lara bareng lara, mukti bareng ngawi-bawa.

344. Kuswanalendra : Awas lho ya, sliramu melok aku, aku ora ngajak. Ning yen sliramu ana ing ngendi wae kathik nganggo sambat-sambat, aja ta-kon dosa, ora wurung tak jempala.

345. Berjanggapati : Dipun prawasa kula ndherek. 346. Semar : Heeh . . . ya’ apa nak, putune Bethara Rama

rong perkara, sing siji andhape kaya ngene sijine kok kaya ngana tekone.

347. Bagong : Pancen ibarate endhog ma, endhog ika nek durung netes ya padha potene ma, yen wis netes ya kaya ngene iki, delengen ta . .ndara Berjanggapati iki wis cocog, wis pantes mi-nangka putrane ndara Berjanggalawa putune bathara Rama. Nek sing situk ika…. Penya-aakit ma…

348. Semar : Heeeh..koen iku aja ngono le, elek-elek iku ya momonganmu Gong..

349. Kuswanalendra : Semar, bendaramu melu aku. Rika balia me-nyang Durjanapura.

350. Semar : Eee…. kula niki kajibah momong ndika gus, nek ngantos enten napa-napane kula mang-ke kapaiben, kadukanan kaliyan ingkang ra-ma, ee….. teng pundi mawon ndara kekalih tindak kula ndherek.

351. Kuswanalendra : Aku iki ora lunga plesir golek papan kanggo ngenggar-enggar awak, ora… ning aku iki ngulandara.

352. Semar : Nggih kersane ndara, kula ndherek mawon awit didhawuhi ndara Berjanggalawa, teng pundi mawon ndara-ndara tindak kula kedah ngamping den…..

353. Kuswanalendra : Ya..............tak lilani, ning mbesuk yen ana ngendi ae kathik sambat, gak eruh jawane.

354. Semar : Enggih kersane. Goong… ancene abot nak kuwajiban iku.

355. Bagong : O… iya ma. 356. Kuswanalendra : Bagong ya melu….?? 357. Bagong : Enggih den ah….. C-S-e hare, gak melok yo’

apa. 358. Kuswanalendra : Kathik mbesuk ana papan adoh njaluk bali

marang Durjanapura aku ora bisa ngeterna Mangundiwangsa.

Page 393: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

381

359. Bagong : Nggih kersane, wong wis teken kontrak ndherekne ndara, lara yo’’ napa nggih kula tutaken mawon.

360. Kuswanalendra : Lha… yen ngono set singset tali agel. Ucapmu kabeh tak bundheli ana rasaku. Pumpung isih yah mene ayo tut-na lakuku, mbuh menyang ngendi gegayuhanku iki mbesuk.

361. Berjanggapati : Suwawi kula dherekaken. Gangsa mungel Ayak Kempul Kerep laras Slendro pathet Sanga. Ringgit sami bebidalan saking tengen lumampah mangiwa. Gen-dhing suwuk lajeng pocapan sinaretan lampahe kayon, kairing gadhi-ngan.

Pocapan Laju nggennya lumaksana putra Durjanapura Raden Kuswanalendra miwah ingkang rayi Raden Berjanggapati, kadherekaken Semar mi-wah Bagong. Nuruti krenteging rasa ing tekad ora bakal bali marang Durjanapura selagine durung katog nggennya ngulandara. Dereng dangu nggennya lumampah, ing marga catur kapanggih putra Pur-wacarita Raden Sumalintana. Gangsa mungel Ayak laras Slendro pathet Sanga. Kuswanalendra medal saking tengen nuli tancep siti inggil tengen. Sumalintana medal saking kiwa, nuli tancep siti inggil kiwa. Berjanggapati dalah punakawan medal saking tengen nuli tancep paseban tengen. Gendhing suwuk lajeng bendhengan/ada-ada. Bendhengan . . . . . . . . . . 3 3 3 3 3 3 3 32 2 Ya na pal guna - pal-gu-na-di, 6 6 6 6 6 6 3 53 3 3 3 Ni ti ha na kreta sang gun –dha- na-di . . . . . . . . 1 1 1 1 1 1 1 16 6 6 6 6 Menthang gendewa le pa sa na jem pa ring

Page 394: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

382

Ginem. 362. Kuswanalendra : O....lha dalah. Durung adoh nggonku maku,

iki sapa iki. Satriya sabarak karo aku. Yen ndeleng panganggo sing mbok agem kaya dudu patrape wong sudra sliramu.

363. Sumalintana : Nuwun sewu raden, yen raden tambuh karo aku, aku putra saka Negara Purwacarita at-majane kanjeng rama Prabu Sumalidewa, aku Raden Sumalintana.

364. Kuswanalendra : Oo… putra Purwacarita, Sumalintana keka-sihmu.

365. Sumalintana : Iya raden, muga kersoa nepungna dhiri sapa raden taruna, sarta saka ngendi pinang-kamu.

366. Kuswanalendra : Aku Putra Durjanapura, putrane kanjeng ra-ma Prabu Berjanggalawa, Raden Kuswa-nalendra aranku.

367. Sumalintana : Sing mburi sapa. 368. Kuswanalendra : Adhiku, Raden Berjanggapati. 369. Sumalintana : Berjanggapati, tepungna aku Raden Suma-

lintana. 370. Berjanggapati : Inggih raden, kula pun Berjanggapati. Dene

ngantos keraya-raya pinanggih kula kaliyan kakang Kuswa wonten madyaning wana pu-nika, badhe mengku karsa punapa……

371. Sumalintana : Iya raden sakarone, malah tiwas kebeneran mbok menawa iki bakal bisa gawe pepadha-nge Negara Purwacarita. Ngene Kuswa, yek-tine Nengaraku ing dina iki katempuh ing sa-tru jaya parangmuka Nalendra Gung saka Negara Sunggela Manik, Prabu Jalawalikra-ma. Negaraku arep niyat di enggo sungsang bawana balik. Para wadya bala akeh sing padha kapracondhang siji ae ora ana kang bisa ngasorake.

372. Kuswanalendra : Alon dhisik, negaramu dijarah rayah dening Prabu Jalawalikrama iku nalare yo’apa….

373. Sumalintana : Jalawalikrama ngersakake sedulurku tuwa kakangmbok Sumaliwati. Nanging kangmbok durung gelem winengku dening priya. Niyate rinoyok rosa rinebut wani ndadekna panca-kara ing antarane wadya Purwacarita klawan Sunggela Manik. Ning wadyabala Purwacari-ta kabeh padha kasoring jurit kalindih ing pe-rang.

Page 395: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

383

374. Kuswanalendra : Lha sliramu ‘ki putra nalendra. tekadmu endi dene negaramu dijarah rayah dening wong manca negara kok meneng ae, wong nom-noman sik bagus, sik gagah ngene kok cik bodhone sliramu iki. Apa lila negaramu di-icak-icak wong manca negara.Tekadmu endi Sumalintana…!

375. Bagong : Lho ya’ apa cik slorone arek iku ma… kan-dhanana ma, ya’ apa wong putra ratu hare, dituding-tuding ngono.

376. Semar : Wis deloken ae nak..deloken ae, cacak ya’ -apa mengko dadine.

377. Sumalintana : Ngene raden, wis ora kurang-kurang ang-gonku mbebela. Nanging wruhana Jalawali-krama ngluwihi manungsa lumrah kadigda-yane. Sasat dewa ngejawantah, wadya bala wis kapracondhang saka palagan, rama pra-bu ngutus supaya aku ngupadi sraya.

378. Kuswanalendra : Golek sraya, tegese golek sanjata pitulu-ngan.

379. Sumalintana : Iya bener raden, mula tiwas kebeneran aku ketemu raden sakarone ana kene, aku njaluk sanjata pitulungan marang raden sakloron, undurna nalendra saka Sunggela Manik.

380. Kuswanalendra : Aku mbok jaluki tulung….?? 381. Sumalintana : Iya. 382. Kuswanalendra : Wong nyambut gawe iku ana ongkose. Ong-

kose apa Sumalintana… 383. Bagong : Kandhanana ma, ndara Rama biyen iku lek

nulungi uwong, rame ing gawe sepi ing pa-mrih ma…

384. Semar : Gak kenek le…ndaramu Kuswa nek wis ngo-no iku..wis deloken ae naak, dielingna gak kenek, seje karo bendaramu Berjanggapati..

385. Berjanggapati : Kangmas…., mangga dipun aturi sanjata pi-tulungan, ampun taken bab ganjaran, ka-kang …..

386. Kuswanalendra : Heh.. nek gak melok, balik-a…. balik !!! ngri-dhu-ridhuni laku ae. Aku nyirnakna raja ang-kara Ratu Sunggela Manik iku, tekad-e nek gak menang ya kalah, yen kalah tartamtu mati. Yen ora oleh ganjaran ya’ apa heh..ora entuk bebungah… luwung nganggur apa’a.

387. Bagong : Ngono kok urip arek iki….. ah, ya’ apa. 388. Semar : Menenga ae nak, koen ngko ditaboki lho le,

wong tuwa ditaboki arek enom ndang, ngre-

Page 396: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

384

sulaaa… 389. Kuswanalendra : Kaya ngapa Sumalintana… 390. Sumalintana : Raden wruhana, malah dhawuhe kanjeng ra-

ma, sok sapa ae ingkang bisa ngundurna Nalendra Sunggela Manik, ganjarane siji ba-kal winisudha jumeneng nata ing Praja Pur-wacarita. Angka loro bakal den dhaupna kla-wan kakang mbok Dewi Sumaliwati.

391. Kuswanalendra : Lha...lak ngono-a, lek ngono tak tanggung. Kari bandha nonton, bandha keplok, dele-ngen kaya ngapa kridhane Raden Kuswana-lendra mateni Prabu Jalawalikrama. Piiira kadare Prabu Jalawalikrama, wong ratu ang-kara. Aku putune Bethara Rama sing tautate nyirnakna ratu Ngalengkadiraja Prabu Dasa-muka, nek aku nganti ora bisa nyirnakne ra-tu angkara, ora ana gunane aku kondhang putune Bathara Rama. Mundura.....Tuduhna sepira gedhe cilike Prabu Jalawalikrama.

392. Sumalintana : Yen mangkono raden, aja ndadak kedalu-warsa ayo dak kanthi menyang alun-alun Purwacarita, papagen kridhane Jalawalikra-ma.

393. Kuswanalendra : Ohh…., kari bandha nonton, delengen kaya ngapa anggonku mrawasa, mocok gulune Jalawalikrama.

Gangsa mungel Ayak Kkempul Kerep laras Slendro pathet Sanga. Ringgit sami bebidalan saking tengen mangiwa. Kayon kalampah-aken mangiwa manengen rambah kaping sepindah, tanda beda pa-pan panggenan. Kuswanalendra medal saking tengen kapapak Jala-walikrama saking kiwa. Ringgit sami tancep ing siti inggil kanthi as-tha walang kerik. Adep-adepan, gendhing suwuk, lajeng bendhe-ngan. Bendhengan . . . . . . . . . . 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 Dasamuka neran kapineran . . . . . . . . . . . . . . 1 2 3 3 1 21 1 1 1 1 1 3-2 Rikmanya kadya to ya kabendhana, O

Page 397: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

385

6 6 6 6 56 53 3 3 Sambata mring ba pa i - ra . . . . . . . 1 1 1 1 1 1 16 6 6 6 6 6 6 6 Yana sambata mring ba-pa-i-ra citrabaya Ginem. 394. Jalawalikrama : Lha.. dalah, sumbar petak ana madyane pa-

lagan, sapa iki ?? 395. Kuswanalendra : Tambuh klawan aku, putra Durjanapura,

Kuswanalendra ya Raden Kuswa aranku. 396. Jalawalikrama : Lha dalah, Raden Kuswa. 397. Kuswanalendra : Iya.. apa sliramu Nalendra Sunggela Manik

Prabu Jalawalikrama. 398. Jalawalikrama : Dhasar kepara nyata, nek wis ngerti klawan

aku karepmu apa Kuswa.. 399. Kuswanalendra : Manuta tak kethok gulumu, tak aturne nger-

sa dalem Prabu Sumalidewa. 400. Jalawalikrama : Elho…. cethane sliramu iki srayane Ratu

Purwacarita. 401. Kuswanalendra : Dhasar kepara nyata, aku jagone wong Pur-

wacarita. Ora enggal ninggalne Negara Pur-wacarita padha karo gak ana gawe tolek ga-we, ora isa nata gawe kepara dadi gawe, mati sing mbok karepna, lara sing mbok ga-yuh.

402. Jalawalikrama : Lha dalah bocah iki, kaya sak cengkang kan-dele kulitmu (Gadhingan), kaya isa nggraji angin sumbarmu, wani nandhingi Jalawali-krama padha karo nyidham trebela Kuswa….

403. Kuswanalendra : Tandhingana Putrane Berjanggalawa. Gangsa mungel Ayak laras Slendro pathet Sanga. Ringgit sami perang, Jalawalikrama kasoran, ringgit tancep siti inggil kiwa. Gendhing suwuk, lajeng bendhengan, sak telase bendhengan Jalawlikrama ngudarasa. Bendhengan . . . . . . . . . . . . . . 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 32 2 Yana andhik dukanira, sang raja pa ti

Page 398: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

386

6 6 6 6 6 3 53 3 Taranggana mangsa sa ran . . . . . . . . . . 1 2 3 3 3 12 62 1 Umpak : jahning ujan o ra na na Bal : - - - 3 - 5 6 - 6 1 6 3 - 2 1 6 Ngudarasa. 404. Jalawalikrama : Aduh, aduh mati aku, eh hemm… aduh, su-

mrepet panonku, uh.. ha hak oo…. lha da-lah…. ora kena dieman keparat !!!

Gangsa mungel Alap-alapan laras Slendro pathet Sanga. Jalawali-krama majeng perang malih. Ringgit adep-adepan gending kasirep lajeng tantangan. Ginem. 405. Jalawalikrama : Dina iki sambata marang wong tuwamu sa-

kloron, mbesuk ditakoni dewamu aja kathik mukir aku sing ngoncatna nyawamu.

406. Kuswanalendra : Oo....Putra Durjanapura kalah karo wong angkara, dak kira ora adil dewa iki.

407. Jalawalikrama : Yen kaya mangkono jajalen...ayo jajalen. Lajeng perang malih, Raden Kuswanalendra kawon katungka Ber-janggapati. Kuswa tancep ing siti inggil tengen, Berjanggapati tancep ing paseban kiwa. Kaderekaken punakawan. Gending suwuk nuli gi-nem. Ginem. 408. Kuswanalendra : Berjanggapati, pun kakang tengah-tengahing

bandayuda karo Prabu Jalawalikrama mbok prepegi arep apa.

409. Berjanggapati : Dhuh kangmas, kakang Kuswa sampun ka-lindhih ing jurit kaliyan Prabu Jalawalikrama, duh kangmas ingkang rayi mugia dipun ke-parengaken sabiyantu lumawan Prabu Jala-walikrama, kangmas….

Page 399: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

387

410. Kuswanalendra : Mbiyantu aku...iya...mbok anggep aku iki bo-cah cilik, kalah trus keplayu ngono… aku ngono sik wani.

411. Semar : Den…kersane empun direwangi, kersa-ne..mangga bandha nontok mawon.

412. Bagong : Nggih den la napa ngreken. Turu-turu na-pa’a. Arek ngoten niku bah digepuki uwong bah ora. Lha nek kono iku kalah iku ma, ati-ku iku surak hare…aku nde lok thok ae gak keduga iku…

413. Kuswanalendra : Gong….. 414. Bagong : Nun….. 415. Kuswanalendra : Ngomong apa. 416. Bagong : Ee…..ningali ndara niki wau kok digdaya. 417. Kuswanalendra : Waah.koen iku kok mencla-mencle Gong

omongmu, Gong...umpama aku mengko unggul ing jurit, Sumaliwati bakal dadi jodho-ku. Cethane dadi garwaku.

418. Berjanggapati : Kangmas, kula sabiyantu punika mboten kok lajeng mangke yen kula mangke mimpang, Sumaliwati miwah Negari Purwacarita kula ingkang gadhah. Ning sadaya kala wau ba-dhe kula aturaken kakang Kuswa minangka tandha tresna kula dhateng sedherek sepuh.

419. Kuswanalendra : Oo… lek awakmu menang, ganjarane….. 420. Berjanggapati : Nggih katur panjenengan 421. Kuswanalendra : Kanggo aku……. 422. Berjanggapati : Inggih kakangmas… 423. Kuswanalendra : Ya embuh lek ngono….. ya, ya. Nanging yen

nganti ora bisa ngalahna Prabu Jalawalikra-ma aja takon dosamu. Pedhote gulumu toto-hane. Kaya ngapa……

424. Berjanggapati : Inggih purun. 425. Kuswanalendra : Gelem !!! 426. Berjanggapati : Purun kakangmas. 427. Semar : Wah… kok cik luhure le… budine bendara-

mu Berjanggapati. Lek kalah iku lak ya dipa-teni.

428. Bagong : Lha ndara Berjanggapati iku gak oleh gawe tolek gawe kok maa…wak..nganggur-ngang-gur jebolana jenggotku apa’a, tak elem-Timbang mbiyantu dulure wong kaya ngono.

429. Kuswanalendra : Maguta ana palagan perang, aja ndadak ke-daluwarsa aku njaluk bukti sirahe Jalawali-krama aturna ana ngarepe pun kakang.

430. Berjanggapati : Nyuwun tambahing pangestu.

Page 400: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

388

431. Kuswanalendra : Sing ngati-ati aja kaya bocah yayi… Gangsa mungel Ayak Kempul Kerep laras Slendro pathet Sanga. Ringgit kaentas mangiwa kawiwitan saking berjanggapati, Semar, Bagong, lajeng Kuswanalengra. Berjanggapati majeng saking tengen papagan lan Jalawalikrama. Ringgit sami tancep ing siti inggil. Gen-dhing suwuk lajeng bendhengan Bendhengan . . . . . . . . . . . 3 3 3 3 3 3 3 32 2 2 6 3 53 3 Angkawijaya sekar ti – nu lis, Wong mer ta pa . . . . . . . . . . . 1 2 3 35 3 1 21 1 1 Wong mer ta pa la li pu – tranya umpak : 5 3 2 1 Ginem. 432. Berjanggapati : Apa iki kang jejuluk Prabu Jalawalikrama 433. Jalawalikrama : Dhasar kepara nyata, iki sapa iki ? 434. Berjanggapati : Adhine kakang Kuswa, aku Raden Berjang-

gapati. 435. Jalawalikrama : Dulure Kuswa…. Karepmu apa ? 436. Berjanggapati : Nyambung watang putunge dulurku tuwa

kang katone wus kalindhih ing prang luma-wan sliramu. Saiki adhine kang bakal saguh ngisas cagake kupingmu.

437. Jalawalikrama : Ellho,...ha...ha...ha…. Berjanggapatoooiii… Berjanggapati. Mesisan gawe, ayo ketogen karosanmu.

438. Berjanggapati : Sura mrata jaya mrata, sudira kang wani mati (GADHINGAN), Jalawalikrama, aja du-meh cilik Berjanggapati dhuwur sliramu aku ora ngandhani, dhuwur Jalawalikrama aku ora ngrangsang, kanthi tengara pedhote gu-lumu minangka tandha yen ta bakal den te-kakna jaman rat pengadilane Jalawalikrama.

439. Jalawalikrama : Waaah..Ora kena dieman untapne nyawa-mu...

440. Berjanggapati : Tak ladeni….. Gangsa mungel Ayak Kempul Kkerep laras Slendro pathet Sanga, ringgit sami perang sawetawis. Lena Jalawalirama kaicak dening Berjanggapati. Gendhing suwuk (gong 1,) Berjanggapati nuli sumbar.

Page 401: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

389

Ginem. 441. Berjanggapati : Hayo Jalawalikrama iki sing mbok jaluk, iki

sing mbok karepna. Sambata ibu pertiwi, aku kang bakal mocok cagake talinganmu.

442. Jalawalikrama : Adduuh… ya Berjanggapati, yen pancen sli-ramu bisa nggawe patiku mara enggal seng-kakna. Kepara aku tumekeng pralaya tinim-bang ora bisa sandhing karo calon garwaku Dewi Sumaliwati.

443. Berjanggapati : Yen ta kaya mangkono gedhekna tekadmu arep sowan marang pangayunan tak gelisna anggonku nguntapna nyawamu. O….

Pocapan kairing gadhingan

Pocapan Raden Berjanggapati sigra ngayat pusaka. Duwung kaliga saking po-nang warangka. Dhasar putra Durjanapura, ponang pusakane katon meloh pamor pating galebyar pating kalepyur cahyane. Sedyane ar-sa nugel ponang jangga, janggane Prabu Jalawalikrama. Ora krasa Berjanggapati anggone ngicak ponang walikat. Dangune dangu wali-kat mawa riwe gumrobyos saking ragane Jalawalikrama, luuunyu sa-nalika ponang walikat. Jalawalikrama kraos yen radi ginggang pangi-caking Berjanggapati. Berjanggapati den jongkrokaken kajengkang, Jalawalikrama mlesat ing dirgantara. Gangsa mungel Alap-alapan laras Slendro pathet Sanga. Nedya ka-tigas janggane Jalawalikrama, sak nalika Jalawalikrama gumregah uwal saking astane Berjanggapati, mlesat ing dirgantara. Berjangga-pati kaget katungka Kuswanalendra saking tengen tancep siti inggil tengen, Berjanggapati marep mangiwa atur sembah tancep paseban kiwa, Semar lan Bagong medak saking kiwa tancep paseban kiwa. Gendhing suwuk lajeng bendhengan. Bendhengan . . . . . . . . . . . . . 3 3 3 3 3 3 3 3 32 2 2 2 Yana andhik dukane sang ra ja pa ti 6 6 6 6 6 3 53 3 Taranggana mangsa sa ran . . . . . . . . . .

Page 402: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

390

1 2 3 3 3 3 1 21 1 Mangli-wer-an mangendha ge lap Ginem. 444. Kuswanalendra : Berjanggapati. 445. Berjanggapati : Wonten dhawuh kangmas. 446. Kuswanalendra : Jalawalikrama ana ngendi. 447. Berjanggapati : Kala wau sampun saget kula pikut. 448. Kuswanalendra : Oo....sokur dhi....sokur. Wis mbok pikut ban-

jur... 449. Berjanggapati : Kula icak walikatipun mboten saget ebah.

Badhe kula tamani duwung kangmas…. Ku-la dipun jongkrokaken lajeng piyambakipun mlesat wonten dirgantara.

450. Kuswanalendra : Saiki…. 451. Berjanggapati : Duka kangmas, wong ngambah gegana sir-

na saking madyane palagan perang. 452. Kuswanalendra : Kok cik bodhomu, wong kari ngethok gulune

gok gak enthos iku lho.. wong kari ngethok gulune, Jalawalikrama wis ora isa budi, wong kari mateni kok gak isa. Kok cik bodhone. Kaya ngapa ngene iki, lak ya isin aku ora isa nggawe patine Jalawalirama.

453. Semar : Ngeten lho guus, wong pancene mpun mbo-ten saget, lek ngoten Sumaliwati niku sanes jodhomu ndika ngoten...sak nik mangga ni-laraken Purwacarita, sanjange ndara badhe ngulandara, ha… mangga.

454. Kuswanalendra : Ora..!! aku bakal ngakoni yen wis bisa ma-teni Jalawalikrama. Aku tak sowan ana nger-sane Prabu Sumalidewa. Nyatane Jalawali-krama wis gak ana, saora-orane wis wedi ka-ro adhiku Berjanggapati. Wis gak apa-apa tak uripi sliramu. Awit ala-a sliramu wis bisa ngalahna Prabu Jalawalikrama, bombong ra-saku yayi. Perkara iki mengko, nadyan aku ora bisa mateni Jalawalikrama aku ngaku-ngaku isa mateni lak ya uuwis-a…

455. Semar : Oo.. goroh niku mboten sae den…, heee … mboten watake putra Durjanapura

456. Kuswanalendra : Wis menenga… menenga !!!! 457. Bagong : Menenga ma…. menenga ma, jarna ae wis.

Koen iku nglarang aku jarna ae malah nge-cuwis ae koen iku…..

Page 403: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

391

458. Kuswanalendra : Wis… Semar, entenana njaba, hayo Ber-jangga pati dherekna pun kakang munggah marang paseban Negara Purwacarita matur yen Jalawalikrama wus tumekeng pati, dak pateni. Aja awakmu lho ya…..aja awakmu sing ngaku ngalahna Jalawalikrama, ning pun kakang..

459. Berjanggapati : Inggih kangmas suwawi kula dherekaken 460. Kuswanalendra : Ayo dhi…waaah iki bakal isa mboyong putri

Purwacarita, bakal buuungah penggalihe kanjeng rama Berjangalawa

Gangsa mungel Ayak Kempul Kerep laras Slendro pathet Sanga. Jejer candakan kaputren Purwacarita, Dewi Sumaliwati medal saking tengen nuli tancep siti inggil tengen, kaadhep emban ingkang tancep ing paseban kiwa. Gendhing suwuk lajeng bendhengan. Bendhengan . . . . . . . . . . . . . . 2 3 3 3 3 3 3 3 2 35 2 2 2 Ya na ngli li ra wrandhane, sang dwi ja maya 6 6 6 6 6 3 53 3 Singsetana gelung kondhe . . . . . . . . . . . . 1 2 3 3 3 3 1 21 1 1 1 Wong a yu a ja ci dra ing semaya Ginem. 461. Sumaliwati : Biyung emban. 462. Emban : Wonten dhawuh ndara ayu. 463. Sumaliwati : Sapa wonge sing ora susah lho biyung, ing

ngatase aku arep kapundhut garwa nalendra angkara saka Negara Sunggela Manik. Bi-yuuung tak enthengna patiku timbang aku le-ladi marang nalendra kang watak dursila asoring budi.

464. Emban : Ndara ayu ampun ngantos cekak ing nalar. Mboten kersa nggih mboten kersa. Tiyang mboten purun punika mboten saget kapeksa, kusumaning ayuu….

Page 404: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

392

465. Sumaliwati : Ya bener, nanging biyung, nek aku ora ge-lem Negara Purwacarita arep dijarah rayah dening Prabu Jalawalikrama.

466. Emban : Nggih…. nanging pun kuwatos, menawi ben-dara ayu mboten kersa dipun boyong dha-teng Negari Sunggela Manik inggih sampun ndara ayu, kula nggih ndherek prihatin. Mu-gi-mugi Gusti ingkang Maha Agung enggal paring jodho dhumateng bendara kula ayu ingkang saget paring pangayoman kalih ben-dara ayu, gusti kula Dewi Sumaliwati.

467. Sumaliwati : Ngono ya biyung. 468. Emban : Inggih ndara……….. Oo….. Kalajengaken pocapan kairing gadhingan, sinaretan ngedalaken Ja-lawalikrama saking nginggil kiwa (kaentha ngungak-ungak) saking dirgantara.

Pocapan Eca nggennya sami rerembagan putri Purwacarita kusumaning ayu Ni Dewi Sumaliwati. Datan kraos anggennya samya rerembagan den tingali saking gegana dening Prabu Jalawalikrama, ing raos semune ngudarasa Jalawalikrama: “Oo…. Iki Dewi Sumaliwati, wah… nyata ayu temenan memba widadari ngejawantah. Wah….. yen ta kaya mangkene apa gunane aku pancabakah karo wadya bala Purwacari-ta apadene srayane Prabu Sumalidewa”. Niyub saka dirgantara Su-maliwati den candhak wani, kabeta mabur ing gegana. Gangsa mungel Alap-alapan laras Slendro pathet Sanga. Dewi Su-maliwati kadhusta prabu Jalawalikrama kabeta mabur. Gendhing su-wuk lajeng emban tancep paseban tengah marep mangiwa, nguda-rasa. Ngudarasa. 469. Emban : Duuhh…. ketiwasan ora wurungan bakal

nampa pidana saka bendaraku Sumalidewa. Sinuwun..ketiwasan sinuwuunn…

Gangsa mungel Ayak Kempul Kerep laras Slendro pathet Sanga. Emban kabedhol kaentas manengen marak sowan prabu Sumalide-wa. Sigeg kayon, jejer candakan kraton Purwacarita. Prabu Sumali-

Page 405: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

393

dewa medal saking tengen tancep siti inggil tengen, kaseba Sumalin-tana tancep paseban tengen, Kuswanalendra lan Berjanggapati tan-cep paseban kiwa. Gendhing suwuk lajeng bendhengan. Bendhengan . . . . . . . . . . . . . 1 2 3 3 3 3 3 32 2 2 2 2 Sri Rama ya amuwus, a - glis lesmana 6 6 6 3 53 3 Ngembanana dhawuh . . . . . . . . . 1 2 3 3 3 1 21 1 2 Teja tawang teja kuwung, O Ginem. 470. Sumalidewa : Sumalintana, iki sapa iki. 471. Sumalintana : Inggih Dewaji, punika Putra Durjanapura ing-

kang saget ngentasi damel, ngicali kliliping Purwacarita rama.

472. Sumalidewa : Lha dalah…. apa iya. 473. Sumalintana : Mangga dipun dangu piyambak rama. 474. Sumalidewa : Sliramu sapa raden… 475. Kuswanalendra : Nuwun ingih paman, kula putranipun kanjeng

rama Prabu Berjanggalawa ing Durjanapura, Raden Kuswa…nami kula paman prabu.

476. Sumalidewa : Lha sing mburi……. 477. Kuswanalendra : Punika adhi kula Berjanggapati.. 478. Berjanggapati : Kula ngaturaken sembah pangabekti paman

prabu…. 479. Sumalidewa : Ya..tak tampa. Dhasar wayahe Prabu Ra-

mawijaya ora mokal yen bagus-bagus. Kus-wa, miturut ature Sumalintana sliramu ing-kang bisa gawe patine Prabu Jalawalikrama.

480. Kuswanalendra : Oo..inggih paman, menawi mboten wonten kula dados naaapa Negari Purwacarita puni-ka. Nggih tujunipun kok wonten kula, mboten ngangge ndadak kedaluwarsa Jalawalikrama kula icak walikatipun mboten saget budi kula kisas jangganipun pejah sanalika. Ning peja-hipun mboten nilar bebangke, mekrat sakra-ga-raganipun.

481. Sumalidewa : Dadi tanpa wangke…. 482. Kuswanalendra : Nuwun inggih paman….

Page 406: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

394

483. Sumalidewa : Ya wis dak tampa…Ooh dadi mantuku ngger, Sumalintana wis dadi bejamu duwe kadang ipe tedhaking andanawarih, tedha-king wong hambeg utama. Ya, ya ngger Kus-wa, mbesuk kursi gadhing Purwacarita iki bakal dadi darbekmu. Oo

Kasambet pocapan

Pocapan Praptanipun mbok emban jelih-jelih wonten ngarsanpun Sang Prabu Sumalidewa. “sinuwuun ketiwasan sinuwuuuunnn” Gangsa mungel Ayak Kempul Kerep laras Slendro pathet Sanga. Emban medal saking kiwa, atur sembah nuli tancep paseban kiwa sak ngajengipun Kuswanalendra. Gendhing suwuk lajeng ginem. Ginem. 484. Sumalidewa : Emban ana apa kok jelih-jelih sowan ana

ngarsaku. Matura… 485. Emban : Wonten kabar tiwas sinuwuun 486. Sumalidewa : Kabar tiwas sing kaya ngapa ? 487. Emban : Ndadosaken kawuningan sinuwun, keng pu-

tra bendara kula Dewi Sumaliwati dipun cidra dening duratmaka sinuwuun…

488. Sumalidewa : Kaya ngapa….. dicidra duratmaka ?? apa sli-ramu weruh sapa malinge.

489. Emban : Nuwun inggih sinuwun, kula mboten pang-ling punika Nalendra Sunggela Manik Prabu Jalawalikrama.

490. Sumalidewa : He…!!! aja angger sliramu ngucap, aja ang-ger matur. Jalawalikrama iki wis mati dipra-wasa putra Durjanapura Raden Kuswa.

491. Emban : Mboten sinuwun, kula sumerap piyambak kusumaning ayu kabekta mabur wonten ing dirgantara dening Prabu Jalawalikrama.

492. Sumalidewa : Mundura emban !(Emban kaentas mangiwa) Kuswa…. Majua.

493. Kuswanalendra : Dhawuh paman. 494. Sumalidewa : Jalawalikrama iki wis kok pateni temen apa

tah lelamisan angonmu ngucap, he..Mbok

Page 407: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

395

pateni temen apa isih urip…. Lho lha kok ora matur, kok ora ngucap, Kuswa !!!

495. Kuswanalendra : Inggih paman yektosipun duka pejah duka gesang, nalika badhe kula pejahi mabur wonten ing dirgantara.

496. Sumalidewa : We lha dalah, dewa… dewa, ndadak turune Bethara Rama kok kaya ngene, esuk dele sore tempe ucapmu lelamisan. Aku iki ratu Kuswa,.......sinuyudan dening para kawula, para wadya balaku, ndadak kok sepelekna. Nyatane Jalawalikrama isih urip..........ora pantes dadi putune Bethara Rama. Ora nda-dak kesuwen malah sepet mripatku, yen ta ora bisa nemokna anakku Sumaliwati tak wadulna wong tuwamu, pidana apa kang ba-kal kok tampa. Minggata saka ngarepku…..

497. Kuswanalendra : Waduh….. mati aku.. Gangsa mungel Ayak Kempul Kerep laras Slendro pathet Sanga. Kuswa katundhung daya daya lumajar, Kuswa kabedhol lumampah mangiwa. Gendhing suwuk lajeng ginem. Ginem. 498. Sumalidewa : Ana apa Berjanggapati ? 499. Berjanggapati : Paman prabu, sampun kakang Kuswa ing-

kang kadukanan, kula mawon ingkang sagah dados gantosipun, paman prabu, kula ing-kang sagah madosi kakang mbok Sumaliwati

500. Sumalidewa : Oo.. lha dalah. Iki pantes dadi putra wayah Bethara Rama. Ya.. rada kasar ya ngger keng paman iki mau, sapa ora enggal nepsu, wong jare wis mati kok malah nyidra anakku Si Sumaliwati.

501. Berjanggapati : Kula sagah, mangsulaken kakangmbok Su-maliwati wonten ngarsanipun paman prabu.

502. Sumalidewa : Yen kaya mangkono aja ndadak kedaluwar-sa dak ranti ana ing Purwacarita ya ngger.

503. Berjanggapati : Nyuwun tambahing pangestu paman. 504. Sumalidewa : Yo, tak pengestoni aja kaya bocah, kebaka

ing rasa pengati-ati Berjangapati. Gangsa mungel Ayak Kempul Kerep laras Slendro pathet Sanga, ringgit bedholan. Berjanggapati kabedhol atur sembah kaentas ma-

Page 408: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

396

ngiwa, Sumalidewa kaentas manengen, Sumalintana kabedhol ma-rep manengen atur sembah nuli lumampah mangiwa. Adegan can-dakan Kuswa medal saking tengen tancep siti inggil tengen lan Ber-janggapati medal saing tengen nuli sembahan tancep ing paseban k-iwa, kaderekaken punakawan. Gendhing suwuk lajeng ginem. Ginem. 505. Kuswanalendra : Kakang Kuswa badhe tindak pundi… ? 506. Berjanggapati : Dhuh dhi… isinku ora kurang-kurang, di-

unek-unekna karo Prabu Sumalidewa. Ber-janggapati, banjur kaya apa yayi ?

507. Semar : Heee……, salah ndika dhewe gus, mula ti-yang niku kepara blaka kemawon, ngakune bisa ning ora bisa, lha akhire kaya ngeten niki, sing tuwa-tuwa melu kecandhak….

508. Kuswanalendra : Semar, aja ndadak kakehan ucap, yen ora gelem ndherekna aku enggal minggata, minggata !!!

509. Semar : Lho….. nggih, nggih. nggih niki sing kula ja-luk, nggih omongan niki sing kula enteni. Gong...gak cocog iki nak, gak trep lek awake dhewe ndherekna barisane wong ngene-ngene iki le,

510. Bagong : Lha terus ya’ apa ma, 511. Semar : Wis, ayo nyingkir nak, sajake….., aku iki

wiwit jaman Wisnu nganti seprene iki gak tau le, nganti disentak ndara. …

512. Berjanggapati : Semar, sing sabar Semar….. 513. Semar : Wo…., mboten saget den…, mboten saget.

Pun sementen mawon kula ndherekna ndara kula kekalih, pun…, sak laku-laku kula kalih anak kula Bagong. Ayo nak didoleki le, heeee…, Wisnu iki ana ngendi nak, Wisnu iki lee…, manunggal manitis ana ngendi. Ayo le……

Gangsa mungel Ayak Kempul Kerep laras Slendro pathet Sanga. Semar lan Bagong medal mangiwa tanpa pamit. Gendhing suwuk lajeng ginem. Ginem. 514. Kuswanalendra : Gak ditutna Semar gak apa-apa, wis mbuh

menyang endi lakune pun kakang, yen ta si

Page 409: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

397

adhi melu ya tutna lakune pun kakang, nuruti krentege rasa.

515. Berjanggapati : Kula mboten saget nilaraken kakangmas, minggaha arga badhe kula dherekaken, tu-muruna trebis inggih kula amping kangmas,

516. Kuswanalendra : Aja ndadak kedaluwarsa dhi, tutna lakuku mbuh mbesuk kaya ngapa purnane lakuku iki.

Gangsa mungel Ayak Kempul Kerep laras Slendro pathet Sanga. Kuswanalendra dalah Berjanggapati kabedhol lumampah mangiwa. Sigeg kayon, tancep ing paseban tengah radi miring mangiwa. Gen-dhing suwuk lajeng sendhon. Sendon 2 2 2 2 2 2 2 2 12 65 61 Lingsire ra tri wus ke tingal, o , o 3 3 3 3 3 3 3 5 36 6 Kang kapiyarsa amung ku ki la 532 2 2 2 2 2 3 3 3 3 3 3 1-21 1 Bi narung swarane, jalma kang ngupadi wa rih 6 1 2 2 2 2 2 3 2 2 2 2 232 16 Binarung swarane, jalma kang ngupadi wa – rih Satelase sendon kasambet pocapan.

Pocapan Datan kacariyos ingkang jumangkah ninggalaken Negari Purwacari-ta. Nengna kang winuwus ingkang wonten dhempok pertapan Je-nang Gangsa, ana ingkang ngarani ing Dhempok Panglebur Gang-sa. Nenggih sinten ta ingkang madhepok mangasrama wonten ing Jenang Gangsa nenggih punika Begawan Kumba-Kinumba. Kaseba ingkang putra sekawan perkawis, nenggih Wangsatanu, Wangsajal-ma, Kalakirna lan Butawreka. Gedhe perbawane pertapan Jenang Gangsa mawa cahya kaya-kaya den ayomi teja bengkok. Gangsa mungel gendhing Luwung laras Slendro pathet Sanga. Jejer pertapan Jenang Gangsa. Sak sampunipun gending mungel, kayon kabedhol lumampah manengen nuli tancep paseban tengen sisih

Page 410: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

398

pinggir. Ringgit begawan Kumbakinumba medal saking sisih tengen sesarengan dawah gong, nuli tancep siti inggil tengen. Saking sisih kiwa medal raden Wangsatanu, atur sembah nuli tancep paseban ki-wa. Raden Wangsajalma medal saking kiwa, atur sembah nuli tan-cep paseban kiwa sak wingkingipun Raden Wangsatanu. Raden Ka-lakirna (Resaseputra) medal saking sisih kiwa, atur sembah nuli tan-cep paseban tengen sak ngajengipun begawan Kumbakinumba. Gendhing sirep lajeng janturan.

Janturan Pertapaan Leburgangsa Nenggih ta punika ingkang mapan wonten dhempok Jenang Gang-sa. Yen ta den leluri nyata punika putranipun Sang Kumbakarna. Ing kalenggahan mangke sampun mapan lenggah sang hambeg pendhi-ta, Begawan Kumba-Kinumba. Nadyan ta wujude reksasa sagiri suta agengira, nanging ora beda klawan ingkang rama Kumbakarna, wa-tak luhur ing budi estu anggenipun nggayuh kasampurnan jati mben-jang sageta manitis dhateng jalma lumrah ingkang watak utama. Ka-adhep ingkang putra sekawan perkawis, ingkang pambajeng punika sang Wangsatanu. Sawingkingipun Wangsatanu inggih punika sang Wangsajalma miwah Kalakirna. Kalakirna benten lan sedherek-se-dherekipun mawa cacad kebak memala, bekonyoken udunen kore-ngen sasat ora ana wutuhe ragane. Nggennya sapejagong den adhep ingkang putra ndadosaken bingahing penggalih sang wiku Be-gawan Kumba Kinumba. Sigra andangu keng putra dene kok benten kalayan adat sabenipun anggenipun anggubel dhateng piyambak-ipun. Mangkana pandangunipun dhateng ingkang putra sekawan perkawis : “He he…. anak-anakku ngger, Wangsatanu, Wangsajal-ma, Kalakirna. Kono-kono ngger kepenakna anggonmu marak so-wan ana ngarsaku…….. Gendhing udhar nuli suwuk, kalajengaken sendon. Sak telase sen-don nuli ginem. Sendon 1 1 1 1 1 1 61 32 Yana mandhap ing ngarsa, o 3 3 3 321 1 1 1 1 1 2-13 Bibrignya lir kala kasiku, O 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 1-6 3-21 Kolangkeyan anak-anak nir bi ta, O

Page 411: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

399

612 12 6 6 6 65 3 A lon nggennya a muwus Ginem. 517. Kumbakinumba : Anak-anakku ngger, Wangsatanu, Wangsa-

jalma, Kalakirna. 518. Wangsatanu : Waa… bapakku ana paran. 519. Kumbakinumba : Seje karo adat kang uwis anggonmu sowan

sadurunge tak dangu apa wigatimu anggon-mu nggubel karo kang bapa, ngaturna apa’a nuduhna darma karo wong tuwa.

520. Wangsatanu : Waa… lilanana aku atur bekti ana ngarepe bapakku.

521. Kumbakinumba : Yaa, ya nak dak tampa, muga pengestuku sumrambaha marang sliramu Wangsatanu.

522. Wangsatanu : Waa…. muga amimbuhi kayuwananku ba-pakku.

523. Wangsajalma : Bapak…. aku ngaturna sungkem. 524. Kalakirna : Aku ya ngaturake sungkem bapak. 525. Kumbakinumba : Wiiiss…. kabeh dak tampa. Saiki mara gage

aturna karepmu Wangsatanu. 526. Wangsatanu : Waaa...dina iki aku lilanana ninggalna pa-

dhepokan. Gegayuhanku kepengin maham-beg kaya bapakku Begawan Kumba-Kinum-ba, kepinginanku dadi pendhita kang pinun-jul.

527. Kumbakinumba : Wis saiki sawatara tapa-a mundur ya ngger, aja leren-leren anggonmu tapa mundur yen ora ketemu gunung kang bisa gendhingan, gunung kang bisa giro kaya dene girone ga-melan. Ing kono sliramu mertapa-a, manga-srama-a madega dadi brahmana.

528. Wangsatanu : Waaa… kapan anggonku mangkat bapakku. 529. Kumbakinumba : Mbesuk dadak ngenteni apa, angger yen

kenceng tekadmu, dina iki dak lilani, budhala muga dadi pendhita kang utama ya ngger…..

530. Wangsatanu : Yaa bapak, pengestumu dak jaluk. Oo…. Pocapan kairing gadhingan

Pocapan Wangsatanu sigra nuhoni dhawuhipun kang bapa, mertapa mundur ora leren-leren lamun mbesuk ora ketemu gunung kang bisa gegen-dhingan. Mula kacarita yen mbenjang wonten pendhita Gunung Gen-

Page 412: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

400

dhing Begawan Wangsatanu, yaiku sajatine putra Jenang Gangsa anggenipun nuhoni dhawuhipun ingkang rama Gangsa mungel Ayak Kempul Kerep laras Slendro pathet Sanga. Wangsatanu kabedol medal paseban. Gendhing suwuk lajeng gi-nem. Ginem. 531. Kumbakinumba : Lha sliramu arep apa Wangsajalma. 532. Wangsajalma : Wah bapak, aku mbok lilanana kepingin ju-

meneng nalendra. Aku kepingin dadi ratu, bapak....

533. Kumbakinumba : Wah iya. Yen pancen kaya ngono ngger, pa-dha karo kakangmu Wangsatanu tapa-a mundur. Mbesuk sliramu kena leren yen wis kesandhung candhi kang digawe saka bata. Ing kono sliramu bisa yasa negara.

534. Wangsajalma : Ngono bapak… yen kaya ngono aku njaluk pangestu.

535. Kumbakinumba : Tak lilani ngger sing ati-ati. Oo……

Pocapan Kacarita yen ing mbenjang Wangsajalma kepanggih candhi bata, pi-yambakipun jumeneng nalendra wonten papan ngriku jejuluk Prabu Jathasura dene negarinipun dipun wastani Negari Mbatamerah. Si-gra pamit bidhal ngayahi tapa. Gangsa mungel Ayak Kempul Kerep laras Slendro pathet Sanga. Wangsajalma kabedol medal paseban. Gendhing suwuk lajeng ginem. Ginem. 536. Kumbakinumba : Kalakirna. 537. Kalakirna : Apa bapa. 538. Kumbakinumba : Kari awakmu nak. Wis awakmu aja nang

endi-endi, kancanana pun bapa ya nak… 539. Kalakirna : Oo… nggak bapa, aku ya gak iso mapan

ana Jenang Gangsa terus, delengen ta aku iki kaya ngapa, titah apa aku iki. Urip sepisan kok wis elek, bekonyoken, udunen, kore-

Page 413: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

401

ngen. Penyakit kok tumplek blek neng awak-ku ki ya’ apa iki.

540. Kumbakinumba : Lho lek wis ngono iku trimoen ae, wong pe-paringe dewa.

541. Kalakirna : Lha iyo, lek dewa sing nakdirna aku kaya ngene iki aku gak trima. Aku njaluk adile dewa, bapak……

542. Kumbakinumba : Lho…. Njaluk adile dewa sing kaya ngapa.. 543. Kalakirna : Lha dewa iki ngripta aku lantaran bapak lan

biyung kok dadi kaya mangkene iki. Mangka dulur-dulurku gagah-gagah, prakosa, lha kok aku ndadak wis cilik dhewe…. kathik penya-kit kok cik krasane neng awakku iki. Ba-pak…, lilanana aku tak njaluk adile dewa munggah neng Kahyangan.

544. Kumbakinumba : Lho…, aja lancang ngger…, Suralaya iku mawa teges Sura; wani Laya: pati. Sok sa-pa-a makluk ing ngarcapada kang wani munggah marang Suralaya yen ora oleh pali-lahe dewa bakal ngalamat dina naraka pati.

545. Kalakirna : Wis mesisan mati tinimbang urip kaya nge-ne. Ya bapak, idenana ya bapak, ucapmu sepisan “tak ideni lee” lak ngono-a. Wah…., bakal amimbuhi kayuwanane anakmu Kala-kirna, bapak …

546. Kumbakinumba : Yoh ta Kalakirna, yen ta adreng panyuwun-mu ngger, wong tuwa ora bisa apa-apa amung bisa njurung pamuji muga iso kasem-badan karepmu, muga enggal ilang penyakit-mu, gegayuhanmu kang utama bisa enggal kasembadan ya Kalakirna..

547. Kalakirna : Aku njaluk pamit ya bapak… 548. Kumbakinumba : Oo…., iya ngger sing ngati-ati Kalakirna…. Gangsa mungel Ayak Kempul Kerep laras Slendro pathet Sanga. Kalakirna kabedhol lumampah mangiwa. Begawan Kumbakinumba kabedhol lumampah manengen. Kayon kalampahaken, gendhing su-wuk lajeng pocapan kairing gadhingan.

Pocapan Saka giliging tekat gedhene niyat Kalakirna kepingin enggal waluya ragane kang kebak penyakit. Mangka sedyane Kalakirna kejawi ndang ilanga memala kang mapan ana ragane yektine ana kang den ulati inggih punika panjalmane Bethari Mindarada ingkang duk natka-

Page 414: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

402

la jamane Nagara Rogastina garwanipun Subalinata. Pramila saka adrenging tyas den sengkakaken nggennya lumaksana, sakedhap netra sampun ngancik Setra Gandamayit.

Pocapan Kang kinarya sambeting carita nenggih Pasetran Gandamayit, saju-ganing papan minangka setranipun para jin setan peri prayangan engklek-engklek balung atandak ililu banaspati, jrangkong warudo-yong, gembil lan janggitan. Ora mokal lamunta papan ingkang gawat kaliwat angker kepati-pati bebasan sato mara sato mati jalma mara jalma keplayu. Ingkang kinarya tetungguling para peri prayangan, nenggih Bathari Durga ya Bathari Premoni, pramila ageng pangari-bawanipun, wenang rusak datan wenang rinusak, wenang gawe da-tan wenang ginawe, mapan maksih garwane sang Hyang Jagad Giri-pati. Lenggah wonten ing bale wewangunan sinebo para bajobarat, detya kala Jaramaya, Jarameya, Padumeya, Jurumeya hanjrah ngantos dumugi imba-imbaning pasewakan. Dereng watawis dangu kasaru sowane kalakirna ingkang sampun pikantuk aji cenda, mang-kana Bathari Durga sigra ngrukmeng driya mangudasmaraning driya. Gangsa mungel Ayak Kempul Kerep laras Slendro pathet Sanga. Kayon kalampahaken mangiwa dalah manengen kawalik lajeng tan-cep paseban tengen, tanda menawi papan kahyangan. Kalakirna ka-lampahaken saking kiwa manengen sarambahan. Gendhing suwuk sesarengan lampahe Kalakirna, lajeng pocapan. Ginem. 549. Durag : Yektine ulun wus angerteni dene jeneng kita

kalakirna wus antuk kanugrahan wujud aji cenda, ingkang saka iku muga jeneng kita bisa hanjaga sarta ngrumpaka marang aji cenda kang awujud buta bajang.

550. Kalakirna : Kawula nuwun inggih pukulun, kula tansah ngestokaken dawuh paduka pukulun.

551. Durga : Banjur samengko apa kang kita sedya sakte-ruse.

552. Kalakirna : Ingkang kula sedya, nedya sowan ngersani-pun pukulun Bathara Guru, mila kepareng kula nyuwun idi pangestu paduka pukulun.

553. Durga : Kalakirna iya, tak pangestoni muga kasem-badan apa kang kita sedya.

Page 415: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

403

Pocapan Ing Repat Kepanasan mendel ing dalem sawetawis Kalakirna. Ka-gyat para dewa kena perbawane kang lagya minggah wonten Jung-gring Saloka. Sakala Hyang Narada ngetapaken para kadang dewa durandara pating cledher pating peprek kaya Dali nyempar banyu solah bawane para dewa anggenipun niti pirsa jroning Selamatang-kep miwah Repatkepanasan. Gangsa mungel Ayak Kempul Kerep laras Slendro pathet Sanga. Betara narada medal saking tengen nuli tancep siti inggil tengen. Be-tara brama medal saking kiwa, atur sembah nuli tancep paseban ki-wa. Gendhing suwuk lajeng bendhengan. Bendhengan . . . . . . . . . . . . 3 3 3 3 3 3 3 3 3 35 2 6 6 6 3 53 3 Yana dewa dewaning, tumuruna mring kutha laweyan . . . . . . . . . . . . 1 2 3 3 3 3 3 3 1 21 1 Nyeksenana tangkepe pra pendhawa Ginem. 554. Narada : Aa…, bapa, bapa. Kethekle bongkla-bangkle

waru dhoyong disangga uwong, pak-pak pong, pak-pak pong. Aa Brama..

555. Brama : Wonten dhawuh kanjeng wa. 556. Narada : Waah…., rupane iki ana titah kang sumeng-

ka pangawak bajra. Apa tandhane ngger de-lengen, cagak wesi oklak-aklik lawang Sela-matangkep kebyag ambal kaping pitu dalem sedinane. Ombake ndhut Maniloka ngambra-wara nganti sundhul ngawiyat tandha yan ta iki mbesuk bakal ana titah kang arep gawe ontran-ontran ana Kahyangan Suralaya. Mu-la ngger Brama, aja ndadak kedaluwarsa mara gage ayo diungak Repatkepanasan iki ana apa, ngono dhawuhe wong atuwa kita. Yen nganti ana titah kang bakal gawe on-tran-ontran kudu dibalekaken yen ora gelem waah…, kudu dikum ana endhut Maniloka binanjut ana Kawah Candradimuka.

Page 416: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

404

557. Brama : Menawi mekaten ingkang dados dhawuhipun kanjeng wa pukulun, ingkang putra namung ndherek keparengipun kanjeng wa Narada.

558. Narada : Wadyabala Durandara sithik-akeh padha ngawat-awatana saka dirgantara, cukup pun wa karo jeneng kita kang nitipriksa kang ana Repatkepanasan.

559. Brama : Suwawi kula dherekaken kanjeng wa… Gangsa mungel Ayak Kempul Kerep laras Slendro pathet Sanga. Batara Narada lan Batara Brama bidhal lumampah mangiwa. Narada lan. Brama papagan lan Kalakirna. Batara Narada tancep siti inggil tengen, Kalakirna atur sembah, nuli tancep paseban kiwa, lan Batara Brama medal saking tengen nuli tanceb paseban tengen. Gendhing suwuk lajeng ginem. Ginem. 560. Narada : Bapa, bapa, Brama…., ha iki apa kang nda-

dekna kocaking Kahyangan, gonjang-ganji-nge Suralaya. Aa…., alon dhisik ngger titah ulun, jeneng kita iki titah lumrah kok bisa mengkang klawan Selamatangkep mapan ana Repatkepanasan. Jeneng kita iki sapa ngger….

561. Kalakirna : Inggih pukulun kula ingkang sowan, kula pun Kalakirna.

562. Narada : Kalakirna…. 563. Kalakirna : Ingih pukulun, sembah kula katur pukulun. 564. Narada : Ha…, ulun tampa ngger Kalakirna. Rembug

cukup, karep kita apa kok ndadak cumantha-ka wani munggah marang Selamatangkep tanpa nganggo palilah ulun.

565. Kalakirna : Inggih pukulun, yektosipun kula niki sepisan, penjenengan pukulun sampun pirsa yen kula menika dospundi nggih…, menungsa ing-kang tanpa rasa jalma nggih kula niki, kebak penyakit, bekonyoken, nggih korengen, nggih udunen mboten karu-karuan… niki yo’ napa pukulun wong asale saking dewa niku, dewa ingkang nyipta kula, ingkang ngripta kula, lha sakniki kula nyuwun waluya, niku kang sapisan pukulun. Angka kaping kalih wonten ingkang kula kajengaken ingkang langkung dene utami pukulun.

Page 417: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

405

566. Narada : Waa…., bapa, bapa, ingkang luwih utama apa ngger Kalakirna.

567. Kalakirna : Kula punika kepingin gadhah bojo widadari pukulun.

568. Narada : Lo…, lo.. iki kaya ngapa wong kaya ngene wandane kok arep nyuwun omah-omah karo widadari, ingkang kita karepna sapa.

569. Kalakirna : Inggih punika Sri Widawati… 570. Narada : Woo…., mumpung durung balia, balia... Ma-

lah murang tata titah iki. Sri Widawati iku garwane Bathara Wisnu, ora kena !!. Ing ata-se titah kok ngarepna widadari. Kudu bali…

571. Kalakirna : Mboten pukulun, yen mboten dipun kepare-ngaken nggih kula peksa, pun kula niyati, ku-la tekati, matiya kula niki malah nglenggana, damel napa urip nggih mung ngeten mawon.

572. Narada : Waah, ora kena dieman. Brama…. 573. Brama : Wonten dhawuh. 574. Narada : Mangsa borong ngger… Batara Narada ninggalaken Batara Brama lan Kalakirna sinaretan bendhengan. Batara Brama kabedhol nuli tancep siti inggil tengen asta walangkerik wani. Sak telase bedhengan nuli ginem. Bendhengan . . . . . . . . . . . . . 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 35 2 Yana mrebabak abang, ponang wadana . . . . . . . . . 6 6 6 6 6 3 53 3 1 2 3 1 21 1 1 1 Netra kocak ngondar-an dir, Idepnya mangala cakra Ginem. 575. Brama : Titah murang tata. Ora enggal sumingkir sa-

ka Repatkepanasan bali marang Nayomer-capada, ora wurung bakal lebur kuwandamu, ulun banjut marang Endhut Maniloka.

576. Kalakirna : Tak jabel basaku…., wis nekat kok masiya dipenggak dewa oleh gak oleh tak jaluk Si-Sri…, rabi elek ngingoni, rabi ayu ngingoni, enak rabi ayu pisan, ayo… Sri Widowati athik gak kok ulungna ngko athik gak tak iwa-iwa dewa iki.

Page 418: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

406

577. Brama : Lha dalah…., ucape tansaya ndadra padha karo ula marani gepuk ngemping lara nggen-jah pati, tak kum ana Endhute Maniloka ora wurung dadi intipe neraka jahanam.

578. Kalakirna : Waaah….., amit nuwun sewu dewa tak wa-neni (ngantem)

Gangsa mungel Ayak Kempul Kerep laras Slendro pathet Sanga. Perang Brama kasoran. Sigeg Batara Narada medal saking tengen nuli tancep. Gendhing suwuk lajeng ginem. Ginem. 579. Narada : Waa…., bapa-bapa, wah, wah…., nyata pilih

tandhinge nadyan ala, yooh, yoh. Sareh sa-wetara wong sing dikarepna Sri Widowati. Wisnu… kaya ngapa garwamu dikarepna de-ning Kalakirna. Kaya ngapa rasane atimu Wisnuuu…..

Gangsa mungel Ayak kempul Kerep laras Slendro pathet Sanga. Na-rada kabedhol lumampah manengen. Sigeg kayon, tanda gantos pa-pan nenggih khayangan Nilawindu. Batara Wisnu medal saking te-ngen kapapak Batara Narada saking kiwa, Batara Narada tancep siti inggil kiwa, Wisnu atur sembah nuli tancep paseban tengen. Gen-dhing suwuk lajeng bendhengan, nuli ginem. Bendhengan . . . . . . . . . 3 3 3 3 3 3 3 3 3 6 6 6 3 53 3 Sang Hyang mayang dewa tumurun, Mring kutha laweyan . . . . . . . . . . . . 1 2 3 3 3 3 3 3 1 21 1 Nyeksenana tangkepe pra pendhawa Ginem. 580. Narada : Aa…, bapa, bapa. Bethara Wisnu apadene

ngger jeneng kita Basuki. 581. Wisnu : Wonten dhawuh kanjeng wa. 582. Basuki : Wonten dhawuh wa. 583. Narada : Yooh, wruhana praptane pun wa ana ing Ni-

lawindu kene iki saka daya-daya engal pi-

Page 419: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

407

nanggih jeneng kita sakloron. Repatkepana-san ana manungsa, titah Nayomarcapada arep nembing Suralaya, apa maneh kang aran Kalakirna arep njaluk widadari, arep nglamar widadari.

584. Wisnu : Ingkang dipun kajengaken widadari sinten wa....

585. Narada : Garwamu Sri Widawati ngger. Ha.., Wisnu, Sri Widowati bakal rinoyok rosa rinebut wani karo Kalakirna.

586. Wisnu : Kurang ajar. Kula ingkang badhe ngundur-aken pun Kalakirna.

587. Narada : Woo, sing ati-ati ngger… Gangsa mungel Ayak Kempul Kerep laras Slendro pathet Sanga. Wisnu kepanggih Kalakirna. Wisnu tancep siti inggil tengen, Kalakir-na tancep siti inggil kiwa. Gendhing suwuk lajeng ginem. Ginem. 588. Wisnu : Apa sliramu kang aran Kalakirna. 589. Kalakirna : Yaa, iki dewa sapa iki… 590. Wisnu : Macan Engyang Suralaya, Bathara Wisnu. 591. Kalakirna : Sing mburi… 592. Basuki : Aku Bathara Basuki. 593. Kalakirna : Woo…, Wisnu karo Basuki. Ana apa Nu… 594. Wisnu : Apa bener sliramu arep nglamar widadari

Dewi Sri Widowati. 595. Kalakirna : Wah iyo Nu…., jarene Sri Widowati iku yah-

mana-yahmene tansah dadi rebutan. Ha sakiki karepku dewa iki welasa karo aku. Ke-jaba ngilangi penyakitku mbok aku lilanana duwe bojo widadari.

596. Wisnu : Sri Widawati iku Bojoku, Garwane Bathara Wisnu…..

597. Kalakirna : Wa…., lilakna Nu…, bojomu aku sing nduwe Nu ya….

598. Wisnu : Kurangajar…., Kalakirna… 599. Kalakirna : Ana paran. 600. Wisnu : Iso methik sekar Nilawindu Dewi Widawati

yen wis bedhah dhadhane Bethara Wisnu. 601. Kalakirna : Lek ngono tak leboni sayembaramu. 602. Wisnu : Suwe mijet wohing ranti aku nggawe patimu. 603. Kalakirna : Yooh…, tak ayoni budimu. 604. Wisnu : Kakang ngatos-atos kakang.

Page 420: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

408

605. Basuki : Wisnu…, tak jampangi saka kadohan. 606. Wisnu : Tekamu ana kahyangan padha ae karo

nyungsung tekane wahaya, nggelisna mar-gane antakamu.

607. Kalakirna : Oleh gak oleh tak jaluk Dewi Sri…. 608. Wisnu : Klakon minger gulumu. Gangsa mungel Ayak Kempul Kerep laras Slendro pathet Sang. Bandayuda Kalakirna mengsah Wisnu, Kalakirna kasoran, lajeng tancep siti inggil kiwa, marep manengen. Gendhing suwuk lajeng gi-nem. Ginem. 609. Kalakirna : Wadhuh kalah karo Wisnu aku, pancen ma-

can engyang suralaya. Nanging apa kelakon aku mbalik dalan. Wisnu….., pisan tak sepu-ra, pindho kalamerta ping telu rat pengadil-an, ayo…, rangsangen maneh Kalakirna…..

Pocapan Oo…, saking nepsune Bethara Wisnu ora kuwawa ngengkrek harda-ne nafsu, arsa ngrangsang Kalakirna. Ngicaki ayang-ayange Kalakir-na sanalika ambyuk kaya den lolosi bebayune…… Gangsa mungel Alap-apan laras Slendro pathet Sanga. Wisnu medal saking tengen nedya ngrangsang Kalakirna, wonten sak ngajenge Kalakirna, Wisnu dawah kantaka. Gendhing suwuk lajeng ginem. Ginem. 610. Kalakirna : Hayo rasakna koen. 611. Wisnu : Kok kalah karo sliramu aku. 612. Kalakirna : Wadhuh Wisnu…, lha sliramu ik iwis Macan

Engyang, kok ampyak awur-awur. Se.. pan-dengen aku iki sapa Wisnu…… Oo…

Pocapan kairing gadhingan

Page 421: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

409

Pocapan Den pandeng klawan Bathara Wisnu, rambat-rambat pring sedhapur ginggange ponang raga, nggih punika Sang Hyang Darmajaka ing-kang mijil saking anggane Kalakirna. Gangsa mungel Ayak Kempul Kerep laras Slendro pathet Sanga Sang Hyang Darmajaka mijil saking anggane Kalakirna, tancep sak ngajengipun Kalakirna. Gendhing suwuk lajeng ginem. Ginem. 613. Darmajaka : Wisnu…, wis weruh karo pun engyang. 614. Wisnu : Engyang Sang Hyang Darmajaka. 615. Darmajaka : Iya… pun eyang manunggal sajiwa kalawan

Kalakirna, mula jeneng kita Wisnu aja kaget bab iki minangka gegambaran ing mbesuk sapa sayektine Kalakirna iki…

616. Wisnu : Mekaten eyang. 617. Darmajaka : Iya…, mula saiki aturna marang wong atuwa

kita apa karepe Kalakirna dimen den sumu-rupi dening Bathara Guru…

618. Wisnu : Nggih menawi mekaten badhe kula estok-aken eyang.

619. Darmajaka : Eling dieling, yen mbesuk ana nalendra dha-rah putih iku pun eyang ya ngger…

Sang Hyang Darmajaka wangsul dateng anggane Kalakirna. Kalajengaken ginem. Ginem. 620. Kalakirna : Wis aku enggal adhepna marang wong tu-

wamu, gak, gak, gak tak jaluk gak….., aku iku sejatine ndoleki sing dadi krenteging ra-saku jaman ana crita Negara Rogastina. Ha.. iku ndoleki gandhengane uripku, ngono…

621. Wisnu : Menawi mekaten mangga eyang kula dhe-rekaken marak wonten ngarsane kanjeng ra-ma pukulun.

622. Kalakirna : Ayo…, adhepna marang ngersane Bathara Guru aku.

Page 422: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

410

Gangsa mungel Ayak Kempul Kerep laras Slendro pathet Sanga. Ringgit sami bedholan lumampah manengen marak sowan dhateng Bethara Guru. Sigeg kayon gantos ing khayangan Suralaya. Batara Guru kawedalaken saking tengen nuli tancep siti inggil tengen. Kala-kirna medal saking kiwa, atur sembah nuli tancep paseban kiwa. Gendhing suwuk lajeng bendhengan, nuli ginem. Bendhengan . . . . . . 3 3 3 3 3 3 Sang Hyang mayang dewa . . . . . 3 3 32 2 6 6 6 6 6 3 53 3 tumuruna titi sonya tengah wengi . . . . . . . . . . . . 1 2 3 3 3 3 3 3 1 21 1 nyeksenana tangkepe pra pandhawa Ginem. 623. Batara Guru : Kalakirna.. 624. Kalakirna : Wonten dhawuh pukulun, sampun nyumuru-

pi nami kula. 625. Batara Guru : Miturut ature Kakang Narada jeneng kita

arep nyuwun Bethari Sri. 626. Kalakirna : Pukulun sampun mangertos raos kula. 627. Batara Guru : Iya Kalakirna, ulun mangerteni mungguh se-

jatine karep kita iki apa. Sepisan kepingin ilange penyakit kang mbok sandhang. Bab iku jeneng kita kudu nrima Kalakirna, kaping pira jeneng kita gawe pepati duk natkala ja-man Subali, wong utama mbok prawasa awit jeneng kita nuruti karepe murid kita nalika samana Nalendra Ngalengkadiraja Dasamu-ka. Arjunawijaya iku ora dosa perkara, ham-bege nalendra kang utama malah mbok pra-wasa nuruti wadulane muridmu si Dasamu-ka. Eling….

628. Kalakirna : Inggih pukulun. 629. Batara Guru : Mula jeneng kita saiki kepingin waluya temah

jati, jati temah nirmala saka memala kang ki-ta sandhang, lan bali ketemu maneh karo si-sihanmu Dewi Widawati, jeneng kita kudu utang sepisan maneh….

630. Kalakirna : Utang…..?? utang napa pukulun.

Page 423: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

411

631. Batara Guru : Utang pati. 632. Kalakirna : Wadhuh…., utang mati…., utang mati kados

pundi pukulun…. 633. Batara Guru : Wruhana, Bethari Mindarada saiki sumusup

ana anggane putri Purwacarita Ni Dewi Su-maliwati, kang dinane iki kadhusta dening Nalendra Sunggela Manik Prabu Jalawalikra-ma. Yen jeneng kita wis bisa ngrebut Dewi Sumaliwati saka tangane Jalawalikrama yek-ti bakal kasembadan apa kang kita gayuh.

634. Kalakirna : Lha…, menawi mekaten kula nyuwun pamit badhe madosi Dewi Sumaliwati.

635. Batara Guru : Iya dak pangestoni Gangsa mungel Ayak Kempul Kerep laras Slendro pathet Sanga. Bedholan, Kalakirna atur sembah nuli lumampah mangiwa. Batara Guru kabedhol lumampah manengen. Sigeg kayon sak rambahan. Kalakirna saking tengen nuli tancep siti inggil tengen. Gendhing su-wuk lajeng bendhengan walik pathet serang, kalajengaken ginem. Bendhengan . . . . . . . . . 3 3 3 3 3 1 21 1 Bang-bang wetan wus ke ti ngal . . . . 3 2 1 5 6 1 65 5 Sumunaring mendhung pethak …… umpak . . . . 3 5 6 6 6 6 3 61 1 1 1 Yen cinandra kadya ngresepna driya 1 2 3 1 653 3 3 3 Bang bang wetan wus katingal …… umpak Ginem. 636. Kalakirna : Durung adoh anggonku lumaku, iki kok ke-

prungu swarane wong nangis…, lha nduk alas gung liwang-liwung ngene kok ana swa-rane wong wedok nangis melas asih. Jajal se...tak lelurine, iki swarane jim apa menung-sa iki….

Gangsa mungel Ayak Kempul Kerep laras Slendro pathet Serang. Kalakirna kalampahaken mangiwa. Jalawalikrama kawedalaken sa-

Page 424: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

412

king kiwa sinaretan katutup kayon, tancep paseban kiwa radi mlu-mah (kaentha turu), kayon kaentas. Kalakirna medal saking tengen, tancep siti inggil tengen. Gendhing suwuk lajeng bendhengan, nuli ginem. Ginem. 637. Kalakirna : Wah iki ana wong kepegelen, keturon iki. 638. Sumaliwati : Tobaat…, tulungana aku, sapa gelem nulu-

ngi aku…… 639. Kalakirna : Wooo…, ana kene iki swara tangis iki, mu-

lane kok nglayung-nglayung olehe nangis, waah… dilebokna kancing gelung ngene, ya’ apa karepe ratu iki. Gak enak rasaku, mesthi maling iki….

Gangsa mungel Ayak laras Slendro pathet Serang. Sumaliwati di-pun dal-aken saking kancing gelung, lajeng tancep siti inggil kiwa sak ngajengipun Jalawalikrama ingkang nembe sare. Gendhing su-wuk lajeng ginem. Ginem. 640. Sumaliwati : Ndika sinten kisanak… 641. Kalakirna : Wah…, iki…, Kalakirna jenengku ndhuk.

Awakmu iki sapa. 642. Sumaliwati : Aku Dewi Sumaliwati. 643. Kalakirna : Wah iiiki lek ngono sing tak goleki, iya gak

pangling aku, thekku biyen iki. Sumaliwati, sliramu kok ana jroning kancing gelung iku mau critane ya’ apa.

644. Sumaliwati : Aku dicolong karo Nalendra Sunggela Manik Prabu Jalawalikrama, aku tulungana ya Ka-lakirna…

645. Kalakirna : Aku gelem nulungi, tapi opahe apa ndhuk.... 646. Sumaliwati : Karepmu njaluk apa.. 647. Kalakirna : Ah… jane aku gak pangling karo sliramu.

Apa gak eling nalika jaman semana, sliramu ki dadi bojoku lho ndhuk….

648. Sumaliwati : Iya sejatine aku ora pangling. Eling jaman semana….

649. Kalakirna : Lho…, wis tenger-tengeran rek…cocog iki wis. Ha nek ngono Kalakirna bisa angreksa marang garwane biyen. Mula dina iki sek-senana, Bethara Guru ya mesthi nyekseni

Page 425: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

413

yen Kalakirna iku sejatine ya Reksa Saputra. Hangreksa marang garwane. Wis temen mantep dadi bojoku….

650. Sumaliwati : Aku pasrah jiwa raga marang kakang Kala-kirna ya kakang Reksa Saputra.

651. Kalakirna : Mundura…. Pocapan kairing gadhingan, sinambi ngentas sumaliwati lumampah manengen.

Pocapan Wauta mangkana, wulucumbu ingkang cukul wonten poking jempo-lane sikil den glintir, jinabut kaget Jalawalikrama Gangsa mungel Alap-alapan laras slendro pathet serang. Kalakirna hanjabut wulu cumbu. Jalawalikrama cekekal tangi semu duka yayah sinipi. Kalakirna tancep malih, Jalawalikrama tancep siti inggil kiwa, ringgit adep-adepan. Gendhing suwuk lajeng ginem. Ginem. 652. Jalawalikrama : Lha dalah, dadak ana wong sing bisa ngona-

ngi aku ndhelik ana jroning Guwa Winangun. Sapa iki….

653. Kalakirna : Aku Kalakirna ya Reksa Saputra…. Lha je-nengmu sapa…

654. Jalawalikrama : Lha dalah, Reksaseputra, aku Nalendra Sunggela Manik Prabu Jalawalikrama.

655. Kalakirna : Jalawalikrama, karepmu apa. 656. Jalawalikrama : Tak jaluk Dewi Sumaliwati. 657. Kalakirna : Gak iiisa, wong garwaku...Nek arep njaluk

Sumaliwati langkahana bangkene Reksa Sa-putra ya Kalakirna…

658. Jalawalikrama : Keparat..!!! Gangsa mungel Alap-alapan laras Slendro pathet Serang. Perang Jalawalikrama kasoran, dipun idak. Gendhing suwuk lajeng pocapan.

Pocapan Nalendra Sunggela Manik kaprawasa dening Reksa Saputra ya Ka-lakirna, dhawah ing siti den candhak dening Reksa Saputra sinaut

Page 426: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

414

gulune, kagigit pedhoting gurung njrebabah ndhepani bantala den te-kakna jaman rat pengadhilan, kombul ponang sukma. Gangsa mungel Alap-alapan laras Slendro pathet Serang. Ringgit perang malih, lena Jalawalikrama dipun gigit dening Kalakirna pejah saknalika. Jalawalikrama tancep paseban kiwa mlumah (kaentha pe-jah) Kalakirna tancep siti inggil tengen. Medal sesarengan saking anggane Jalawalikrama lan Kalakirna (Jalawalikrama=Sugriwa, Kala-kirna=Subali). Sugriwa lan Subali kaentha sami nggegana. Gendhing suwuk lajeng ginem. Ginem. 659. Sugriwa : Oh… ya, ya. Apa kakang pangling karo aku. 660. Subali : Aku ora pangling karo rika nadyan aku wus

manunggal klawan ragane Reksa Saputra ya Kalakirna.

661. Sugriwa : Saiki aku mbok prawasa, titenana mbesuk kakang, aku bakal males marang kakang Su-bali. Titi mangsa yen mbesuk ana bocah nom-noman sing wani karo maratuwane ya iku aku kakang…wis kariya slamet kakang....

Gangsa mungel Alap-alapan laras Slendro pathet Serang. Sugriwa kalampahaken mangiwa, Subali wangsul dateng anggane Kalakirna. Jalawalikrama ingkang awujud bangke kaentas mangiwa sinaretan katutup kayon. Sumaliwati medal saking tengen nuli tancep siti inggil kiwa marep manengen. Gendhing suwuk lajeng ginem. Ginem. 662. Kalakirna : Wis kelakon sirna Prabu Jalawalikrama. 663. Sumaliwati : Menawi mekaten mangga kula dherekaken

marak sowan ing ngarsa rama Prabu Suma-lidewa.

664. Kalakirna : Yen kaya mangkono ayo dak tutne lakumu wong ayu….

Gangsa mungel Ayak Slendro pathet Serang. Ringgit sami kalam-pahaken mangiwa bidhal dhateng Purwacarita. Sigeg kayon gantos papan. Kalakirna kawedalaken saking tengen papakan lan Kuswana-lendra, Kalakirna tancep siti inggil tengen, Kuswa tancep siti inggil ki-wa, Sumaliwati medal saking tengen nuli tancep siti inggil tengen sak

Page 427: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

415

wingkingipun Kalakirna. Gendhing suwuk lajeng bendhengan nuli gi-nem. Bendhengan . . . . . . . . . . 3 3 3 3 3 3 1 21 1 Sumunaring sang dewangkara . . . . 3 2 1 5 5 5 5 6 1 65 5 Anyoroti mega lan gunung gunung . . 3 5 6 6 6 6 3 61 1 Binarung ocehing ku ki la . 1 2 3 3 3 3 3 1 653 3 Yen kapyarsa gawe nges-ing dri ya Ginem. 665. Kuswanalendra : Iki sapa ana buta elek wani mapag lakuku. 666. Kalakirna : Aku Reksa Saputra, biyen nalika neng perta-

pan aran Kalakirna, lha sliramu iki sapa. 667. Kuswanalendra : Aku Putra Durjanapura Kuswanalendra aran-

ku, lha sing mbok gandheng iku sapa. 668. Kalakirna : Iki putri Purwacarita Dewi Sumaliwati kang

dicolong dening duratmaka. 669. Kuswanalendra : Woo, yen ta kaya mangkono gedhe panari-

maku dene sliramu bisa nemokna calon garwaku kang dicolong dening duratmaka.

670. Kalakirna : Koen iku ngaku-ngaku kebagusen-a, toh nyawa olehku mbelani Sumaliwati.

671. Kuswanalendra : Oleh tak Jaluk gak oleh tak jaluk wong iku calon garwaku. Apa klakon tak kendhaleni rangah sliramu.

672. Kalakirna : Waaa…. Nemu perkara maneh awak iki, iya ta yen pancene mangkono, wong jenenge Sri Utamane Kakung, Sri wadon utama te-men kakung wong lanang, pira bara wong la-nang kepingin rabi ayu lek ora kepingin an-cik-ancik pucuking braja kudu wani caring grabean. Kalahna dhisik Kalakirna bakal tak ulungna Dewi Sumaliwati.

673. Kuswanalendra : Wooo, lha dalah. buta elek kakehan ucap, ora kok pasrahna marang Kuswanalendra klakon minger cagake kupingmu.

Page 428: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

416

674. Kalakirna : Lek koen menang karo aku buncimu apa le.. Gangsa mungel Alap-alapan Slendro pathet Serang. Ringgit sami perang. Sumaliwati kalampahaken menengen. Kuswanalendra pe-rang sawetawis nanging kawon. Kuswa kasawataken mangiwa, re-saseputra hanututi. Kuswa kumleyang mangiwa. Gendhing suwuk la-jeng pocapan

Pocapan Kaprawasa Putra Durjanapura Raden Kuswanalendra. Dhawah sa-pembalang arsa magut ing payudan malih katampi Reksa Saputra. Den petak kaya gegodhongan katut ilining samirana, kumleyang dhawah wonten tepis wirining Negari Durjanapura. Gangsa mungel Alap-alapan Slendro pathet Serang. Kuswanalendra kumleyang dawah katungka Resaseputra, kacandak, kabanting nuli kapetak dhawah kabuncang, kumleyang. Kalakirna nuli tancep siti inggil tengen, sumaliwati medal saking tengen tancep siti inggil kiwa. Gendhing suwuk lajeng ginem. Ginem. 675. Sumaliwati : Mangga kangmas dipun lajengaken angge-

nipun badhe marak sowan dhateng kanjeng rama prabu.

676. Kalakirna : Iya yayi, jane aku seneng ana ing tepis wi-rining Guwa Winangun kene iki. Mbesuk ba-kal tak nggoni madhepok, tak jenengne Per-tapan Guwa Wara Winangun.

677. Sumaliwati : Nuwun inggih kangmas kula badhe dherek penjenengan.

678. Kalakirna : Yen kaya mangkono ayo bebarengan nga-dhep marang ngarsane ramamu.

679. Sumaliwati : Sumangga kangmas kula dherekaken Gangsa mungel Ayak Slendro pathet Serang. Ringgit sami kabedhol lumampah manengen. Sigeg kayon, gantos papan nenggih kraton Purwacarita. Sumalidewa kawedalaken saking tengen nuli tancep siti inggil tengen, Sumaliwati medal saking kiwa, atur sembah nuli tan-cep paseban kiwa, Kalakirna medal saking kiwa, atur sembah nuli tancep paseban kiwa sak wingkingipun Sumaliwati. Gendhing suwuk lajeng ginem.

Page 429: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

417

Ginem 680. Sumalidewa : Sumaliwati.. 681. Sumaliwati : Wonten dhawuh kanjeng rama. 682. Sumalidewa : Apa iki garwamu. 683. Sumaliwati : Nuwun inggih punika bojo kula rama. 684. Sumalidewa : Wis.. jodho ibarat pati ya ngger, nadyan di-

kaya ngapa iki kang nulungi sliramu, biso ke-temu klawan pun rama maneh. Lha jenenge sapa ngger…..

685. Sumaliwati : Kangmas Reksa Saputra. 686. Sumalidewa : Ngger Reksa Saputra, cundhuk klawan apa

kang dadi dhawuhku biyen, sliramu bakal dak wisudha jumeneng nata ing Negara Pur-wacarita kene. Kaya ngapa nggeer…..

687. Resaseputra : Oo… pangapunten kanjeng rama, kok je-neng nampik mapan mboten, ning adrenging manah kula punika kepingin mahambeg brahmana madeg pendhita. Lha bojo kula ni-ki keparenga kula boyong dhateng papan ku-la wonten ing Guwa Wara Winagun rama, dene dhampar keprabon kaparingna dhateng adhi kula pun Sumalintana kemawon.

688. Sumalidewa : Ya… dak lilani, nanging aja enggal-enggal bali marang Pertapan Guwa Wara Wina-ngun, lerema saka sawetara ana Negara Purwacarita kene, ora ketang mung kembul bojana supaya sineksenan dening para war-ga ing Purwacarita.

689. Resaseputra : Ingih ngestokaken dhawuh rama. 690. Sumalidewa : Jejodhoanmu bocah sakloron dak barengi

memuji mring gusti muga niskala nir ing sambikala, jaya-jaya salaminya…….

T A N C E P K A Y O N

Page 430: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

418

PENUTUP

Wayang telah merupakan suatu kesenian klasik adiluhung, karena mengandung isi yang tinggi nilai falsafahnya serta sifat-sifat rohaniah dan relegius di samping bentuk seni klasik tradisional dal-am kegiatan yang ada hubungannya dengan suatu upacara keper-cayaan. Kini wayang dapat berfungsi ganda. Selain untuk pergelar-an yang bersifat hiburan dan upacara kepercayaan, wayang telah di-gunakan pula sebagai sarana dakwah sesuai dengan wayang yang dipentaskan. Setelah berhasil melintasi jalan sejarah dengan kodratnya yang bebas, kreatif serta dapat menyesuaikan diri dengan peruba-han zaman, wayang telah menjadi milik bangsa Indonesia, sebagai seni budaya klasik tradisional yang perlu dibina dan perlu dilestari-kan oleh generasi penerusnya. Generasi muda kita, hendaknya sedi-ni mungkin ditanamkan nilai-nilai budaya yang terkandung dalam wayang, baik yang berupa nilai falsafah dalam cerita, maupun nilai seni rupa dalam bentuk wayang itu sendiri. Juga nilai sastra yang terdapat dalam pergelarannya yang tidak dapat kita abaikan begitu saja. Semakin tahu tentang sesuatu, maka kita akan semakin menyadari betapa banyak hal yang belum kita ketahui. Keinginan untuk mengetahui merupakan pendorong untuk melangkah maju. Penggalian yang belum di ketahui tentang dunia pekeliran janganlah berhenti di tengah jalan, karena dengan dimikian kita akan semakin jauh dari kesenian tradisional yang adi luhung ini. Semoga buku ini bermanfaat bagi semua yang ingin tahu hal ihwal pedalangan maupun pewayangan, sebagai seni budaya klasik tradisional Indonesia.

Page 431: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

419

DAFTAR PUSTAKA

Bambang Sugia, Ki. 2004 Naskah Pakeliran Jawatimuran, Lakon Resa Seputra, Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 9 Surabaya.

Edi Sedyawati. 1981. Pertumbuhan Seni Pertunjukan. Jakarta. Sinar

Harapan Pengetahuan Pedalangan 1. Jakarta: Depdikbud. Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah. Proyek Pengadaan Buku Pendidikan Menengah Kejuruan. 1983.

Gamelan B. Jakarta: Depdikbud. Direktorat Jendral Pendidikan

Dasar dan Menengah. Proyek Pengadaan Buku Pendidikan Menengah Kejuruan. 1983.

Haryanto.S.1989. Pratiwimba Adhiluhung. Jakarta: DJAMBATAN. Hastanta Sri. 1995. Serba-Serbi Karawitan, Makalah Seminar

Karawitan Hastanto Sri. 2006, Pathet Warisan Tradisi yang Terlupakan,

Pengukuhan Guru Besar dalam bidang Etnomusikolgi ISI Surakarta.

Mulyono, Sri, Ir. 1982 Wayang, Asal-usul, Filsafat dan Masa

Depannya, Gunung Agung, Jakarta. Panenggak Widodo, Marwoto, Ki.1984 Tuntunan Ketrampilan Tatah

Sungging Wayang Kulit, Citra Jaya, Surabaya. Pengetahuan Karawitan Daerah Surakarta. Jakarta: Depdikbud.

Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah. Proyek Pengadaan Buku Pendidikan Menengah Kejuruan. 1983.

Pengetahuan Karawitan Daerah Yogyakarta. Jakarta: Depdikbud.

Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah. Proyek Pengadaan Buku Pendidikan Menengah Kejuruan. 1983.

Page 432: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

420

Pengetahuan Karawitan Jawa Timur. Jakarta: Depdikbud. Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah. Proyek Pengadaan Buku Pendidikan Menengah Kejuruan. 1983.

RA, Djumiran, dkk.1995/1996 Lagon Vokal Dalang Jawatimuran,

Dinas P & K Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur. Sastroamidjojo, Seno, Dr.1964 Renungan tentang Pertunjukan

Wayang Kulit, Kinta, Jakarta. Sumarno, Poniran., & Rasona, Atot.1983 Pengetahuan

Pedalangan Jilid 2, Departemen P & K, Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan, Proyek Pengadaan Buku Pendidikan Menengah Kejuruan, Jakarta.

Soetarno. 2004. Wayang Kulit : Perubahan Makna Ritual dan

Hiburan, STSI Press, Surakarta. Surwedi, Ki. 2007. Layang Kandha Kelir, Lakon Ramayana,

Penerbit, Bagaskara Jogyakarta dan FORLADAJA Surwedi, Ki. 2007. Layang Kandha Kelir, Lakon Mahabarata,

Penerbit, Bagaskara Jogyakarta dan FORLADAJA Sutrisno, R.1983/1984. Sekilas Dunia Wayang dan Sejarahnya,

Proyek Pengembangan IKI, Sub Proyek ASKI Surakarta.

Victoria M. Clara van Groenendael. 1987. Dalang di Balik Wayang.

Jakarta. Pustaka Utama Grafiti.

Page 433: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

421

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Wayang Cina, Muangthai, Kamboja Gambar 1.2 Wayang Beber Pacitan (Adegan dalam cerita

Joko Kembang Kuning) Gambar 1.3 Wayang gaya Cirebon, dalam cerita Ramayana Gambar 1.4 Batara Bayu (Wayang Jawa Timuran) Gambar 1.5 Harjuna Sasrabahu (Jawa Timuran) Gambar 1.6 Dewi Sembadra Gambar 1.7 Batara Kala Gambar 1.8 Bagong dan Semar menghadap Berjanggapati Gambar 1.9 Wayang Golek Pakuan (Adegan Jan Pieterszoon Coen dan Prabu

Siliwangi) Gambar 1.10 Wayang Golek Cirebon atau Wayang Cepak Gambar 1.11 Wayang Kulit Betawi atau Wayang Tambun Gambar 1.12 Batara Guru (Wayang Ukur) Gambar 1.13 Wayang Candi Gambar 1. 14 Yudayaka (Wayang Madya) Gambar 1. 15 Wayang Gedog (Prabu Bromosekti, Raden Gunungsari,

Ronggolawe, Prabu Klono Madukusumo) Gambar 1.16 Wayang Klitik (Adegan Raden Damarwulan

beserta abdi punakawan Sabdapalon dan Nayagenggong)

Gambar 1.17 Wayang Kulit Menak (Prabu Lamdahur, Prabu Nusirwan, Dewi Muninggar, Wong Agung Jayengrono dan Umar Moyo)

Gambar 1.18 Wayang Golek Menak dari Kebumen (Umarmoyo)

Gambar 1.19 Wayang Sasak Gambar 1.19 Arjuna (Wayang Bali) Gambar 1.20 Sugriwa (Wayang Bali) Gambar 1.21 (Wayang Dupara) Harya Panangsang Gambar 1.22 Wayang Jawa (Jaka Tingkir) Gambar 1.23 Wayang Suluh (Bung Karno, Bung Hatta,

Schermerhorn serta orang-orang belanda lainya)

Gambar 1.24 Wayang Wahyu Gambar 1.25 Bima (Wayang Pancasila) Gambar 1.26 Wayang Sadat (Sunan Ampel dan Raden

Patah) Gambar 1.27 Wayang Diponegaran

Page 434: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

422

Gambar 1.28 Makutha (Mahkota) Gambar 1.29 Topong Gambar 1.30 Batara Narada dengan mengunakan Serban Gambar 2.1 Serban Pendeta Gambar 2.2 Kopyah Panakawan Gambar 2.3 Kopyah Mekena tanpa jamang Gambar 2.4 Kopyah berjamang sembuliyan dan

menggunakan garuda mungkur. Gambar 2.5 Gelung Supit Urang Polos Gambar 2.6 Gelung supit urang dengan garuda mungkur. Gambar 2.7 Gelung supit urang sanggan. Gambar 2.8 Gelung keling pada wayang putri Gambar 2.9 Gelung keling tanpa jamang, pada wayang putra Gambar 2.10 Sanggul Keling menggunakan jamang dan

garuda mungkur Gambar 2.11 Sanggul gembel menggunakan jamang dan

garuda mungkur Gambar 2.12 Sanggul bundel dengan garuda mungkur Gambar 2.13 Sanggul ukel pada wayang putri Gambar 2.14 Mahkota (makutha) dengan jamang bersusun

tiga Gambar 2.15 Jamang bersusun tiga dengan garuda mungkur Gambar 2.16 Bentuk jamang dengan ragam hias tanaman

rambat Gambar 2.17 Kelat bahu Nagamangsa Gambar 2.18 Kelatbahu Candrakirana Gambar 2.19 Kelat bahu Calumpringan Gambar 2.20 Sumping Surengpati Gambar 2.21 Sumping Waderan Gambar 2.22 Sumping Sekar Kluwih Gambar 2.23 Sumping Pudak Sinumpet Gambar 2.24 Kalung makara/kebo mengah Gambar 2.25 Ulur-ulur Naga karangrang Gambar 2.26 Kalung Saputangan Gambar 2.27 Kalung Selendang Gambar 2.28 Sembuliyan Tunggal Gambar 2.29 Sembuliyan Rangkap Gambar 2.30 Lipatan Kain (suwelan) Gambar 3.1 Sabuk Kain (kemben) Gambar 3.2 Sabuk Sembung Gambar 3.3 Sabuk Stagen Gambar 3.4 Tatahan Manggaran Gambar 3.5 Wayang Bokongan tepi kain halus Gambar 3.6 WayangBokongan dengan sembuliyan Gambar 3. 7 Wayang Bokong Miring Gambar 3.8 Uncal Kencana

Page 435: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

423

Gambar 3.9 Uncal Wastra Gambar 3.10 Uncal Wastra dan Uncal Kencana Gambar 3.11 Kayon sebagai lambang api Gambar 3.12 Kayon Sebagai lambang dunia Gambar 3.13 Posisi kayon sebelum pertunjukan dimulai Gambar 3.14 Posisi Kayon sebelum pertunjukan dimulai (Kayon Jawa Timuran) Gambar 3.15 Raden Kertawirya Gambar 3.16 Begawan Suwaja Gambar 3.17 Sumantri Gambar 3.18 Sukasrana Gambar 3.19 Matswapati (Raja Wirata) Gambar 3.20 Jejer Negara Wiratha (Rajamala, Kencakarupa,

Rupakenca, Matswapati, Seta) Gambar 3.21 Dewi Utari Gambar 3.22 Basudewa (Raja Mandura) Gambar 3.23 Narayana Gambar 3.24 Kakrasana dan Baladewa Gambar 3.25 Batara Narada Gambar 3.26 Semar Gambar 3.27 Batara Guru Gambar 3.28 Batara Brama Gambar 3.29 Batara Wisnu Gambar 3.30 Sriwidowati Gambar 4.1 Dasamuka Gambar 4.2 Begawan Sarwa dan Dewi Sukesi Gambar 4.3 Kumbakarna Gambar 4.4 Sarpakenaka dan Wibisana Gambar 4.5 Begawan Suwaja Gambar 4.6 Kuswanalendra Gambar 4.7 Sakri Gambar 4.8 Bagong dan Semar Gambar 4.9 Berjanggapati Gambar 4.10 Sentanudewa Gambar 4.11 Dewabrata Gambar 4.12 Abiyasa Gambar 4.13 Tancepan dua tokoh Gambar 4.14 Bagian Paseban dan Siti Inggil Gambar 4.15 Tancepan Paseban dan Siti Inggil Gambar 4.16 Cepengan Ngepok 1 Gambar 4.17 Cepengan Ngepok 2 Gambar 4.18 Jenis Cepengan Gambar 4.19 Berbagai bentuk gunungan Gambar 4.20 Macam-macam Senjata Keris Gambar 4.21 Macam-macam Gada Gambar 4.22 Macam-macam Panah

Page 436: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

424

Gambar 4.23 Keprak dan Cantholan Keprak Gambar 4.24 Cempala Asta dan Cempala Suku Gambar 4.25 Panggung Dalang Gambar 4.26 Penataan (setting) panggung wayang, dalang

dan gamelan gaya Jawatimuran Gambar 4.27 Penataan (setting) panggung wayang, dalang

dan gamelan gaya Surakarta Gambar 4.28 Panggung Wayang dan bagian-bagiannya Gambar 4.29 Panggung wayang dengan bentuk dan warna

lain Gambar 4.30 Rebab Gambar 5.1 Kendang Jawa Timuran Gambar 5.2 Gender penerus (lanang) Gambar 5.3 Bonang Babok Gambar 5.4 Slenthem Gambar 5.5 Demung Gambar 5.6 Saron Penerus (Peking) Gambar 5.7 Saron Gambar 5.8 Kenong Gambar 5.9 Gong Sak Plagri dan Gong Suwukan Gambar 5.10 Gambang Gambar 5.11 Siter Gambar 5.12 Suling

Page 437: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

425

Durmasana Durnandaka Durpramata Durprasadarsa Dursaha Dursaya Dursatwa Dursara Dursasana Dewi Dursilawati Durta Durwega Duryuda Duryudana Dusprajaya Dwiloncana Ekaboma Ekatana Gardapati Gardapura Habaya Hagnyadresa Halayuda Hanudara Jalasaha Jalasantaka Jalasuma Jarasanda Kartamarma Kenyakadaya Kratana Kundayasin Mahabahu Nagadata Patiweya Pratipa Rudrakarman Senani Somakirta Srutayuda

DAFTAR NAMA-NAMA KURAWA

Adityaketu Agrasara Agrayayin Anuwenda Aparajita Balaki Balawardana Bimasulawa Bimawega Bogadenta Bomawikata Bwirajasa Carucitra Citrbana Citraboma Citraga Citraksa Citraksi Citrakundala Citrawarman Danurdara Dirgabahu Dirgalasara Dirgama Dirgaroma Dredasetra Dredawarma Dredayuda Dredakesti Durbahu Durdara Durdarsa Durgempa Durkarana Durkaruna Durkunda Durmada Durmagati Durmanaba Durmuka

Page 438: SMK-MAK kelas10 smk pedalangan supriyono

426

Sulocana Suwarcas Trigarba Udadara Ugayuda Ugrasrawa Ugraweya Upanandaka Upacitra Wahkawaca

Watawega Wikataboma Windandini Wingwingsata Wirabahu Wisalaksa Wiyudarus Yutadirga Yutatirta Yuyutsu