Skripsi PGSD - Perbedaan Antara Pembelajaran Konvensional Dibanding Quantum Learning Ditinjau Dari...
-
Upload
biyankafauzy -
Category
Documents
-
view
35 -
download
7
Transcript of Skripsi PGSD - Perbedaan Antara Pembelajaran Konvensional Dibanding Quantum Learning Ditinjau Dari...
PERBEDAAN ANTARA PEMBELAJARAN KONVENSIONAL
DIBANDING QUANTUM LEARNING DITINJAU DARI
TINGKAT INTELEGENSI SISWA TERHADAP PRESTASI
BELAJAR IPA SISWA KELAS V SD SE-KECAMATAN
PETANAHAN
Oleh
Nama : Tatmimatun Ni’mah
NIM : X7211123
Kelas : C
Semester : V
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2011/2012
HALAMAN JUDUL.................................................................................................i
KATA PENGANTAR.............................................................................................ii
DAFTAR ISI...........................................................................................................iii
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah..........................................................................1
B. Identifikasi Masalah.................................................................................4
C. Batasan Masalah......................................................................................4
D. Rumusan Masalah....................................................................................4
E. Tujuan Penelitian.....................................................................................5
F. Manfaat Penelitian...................................................................................5
BAB II. LANDASAN TEORI
A. Diskripsi Teori.........................................................................................7
B. Kerangka Berpikir..................................................................................38
C. Hipotesis................................................................................................38
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian................................................................40
B. Populasi, Sampel dan Pengambilan Sampel..........................................41
C. Rancangan Penelitian.............................................................................42
D. Teknik Pengumpulan Data.....................................................................43
E. Teknik Analisis Data..............................................................................49
F. Teknik Analisis Data..............................................................................53
DAFTAR PUSTAKA
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan merupakan hal yang sangat penting dalam usaha mencapai
manusia yang berguna dan berkembang yang dapat menjawab tantangan jaman
melalui pengetahuan dan keterampilan yang cukup memadai dalam mengelola
suatu institusi pendidikan secara profesional. Pendidikan juga merupakan
investasi jangka panjang yang memerlukan usaha dan dana yang cukup besar, hal
ini diakui oleh semua orang atau suatu bangsa demi kelangsungan masa depannya.
Demikian halnya dengan Indonesia menaruh harapan besar terhadap
pendidik dalam perkembangan masa depan bangsa ini, karena dari sanalah tunas
muda harapan bangsa sebagai generasi penerus dibentuk. Meski diakui bahwa
pendidikan adalah investasi besar jangka panjang yang harus ditata, disiapkan,
dan diberikan sarana maupun prasarananya dalam arti modal material yang cukup
besar, tetapi sampai saat ini Indonesia masih berkutat pada permasalahan klasik
dalam hal ini yaitu kualitas pendidikan.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik yang menjadi manusia beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.
Mutu pendidikan di Indonesia harus selalu ditingkatkan. Salah satu usaha
untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia adalah dengan memperbaiki
proses belajar mengajar. Misalnya dengan berbagai metode,pendekatan, dan
model-model pembelajaran yang bervariasi.
Dalam proses belajar mengajar di SD terdapat berbagai macam mata
pelajaran. Salah satunya adalah mata pelajaran IPA yang identik dengan
1
2
percobaan-percobaan. IPA merupakan Ilmu pengetahuan yang perlu
dikembangkan. IPA merupakan konsep pembelajaran alam dan mempunyai
hubungan yang sangat luas terkait dengan kehidupan manusia. Pembelajaran IPA
sangat berperan dalam proses pendidikan dan juga perkembangan Teknologi,
karena IPA memiliki upaya untuk membangkitkan minat manusia serta
kemampuan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta
pemahaman tentang alam semesta yang mempunyai banyak fakta yang belum
terungkap dan masih bersifat rahasia sehingga hasil penemuannya dapat
dikembangkan menjadi ilmu pengetahuan alam yang baru dan dapat diterapkan
dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, IPA memiliki peran yang sangat
penting. Kemajuan IPTEK yang begitu pesat sangat mempengaruhi
perkembangan dalam dunia pendidikan terutama pendidikan IPA di Indonesia dan
negara-negara maju.
Kenyataan yang terjadi, mata plajaran IPA tidak begitu diminati dan
kurang diperhatikan. Selama ini sebagian besar siswa menganggap bahwa IPA
dirasa cukup sulit. Hal ini disebabkan pembelajaran yang dilakukan guru kurang
bermakna Apalagi melihat kurangnya pendidik yang menerapkan konsep IPA.
Permasalahan ini terlihat pada cara pembelajaran IPA serta kurikulum yang
diberlakukan sesuai atau malah mempersulit pihak sekolah dan siswa didik,
masalah yang dihadapi oleh pendidikan IPA sendiri berupa materi atau kurikulum,
guru, fasilitas, peralatan siswa dan komunikasi antara siswa dan guru.
Kenyataan di lapangan, dalam pembelajaran sebagian besar guru masih
menggunakan pendekatan ekspositori, pembelajaran dikuasai oleh guru, misal
dengan ceramah dan latihan soal sehingga menjadikan suatu pembelajaran yang
membosankan karena siswa bersikap pasif. Pembelajaran juga kurang bermakna
bagi siswa, yang menyebabkan prestasi belajar IPA buruk atau menurun.
Untuk itu guru perlu memperhatikan metode, pendekataan, dan model-
model pembelajaran yang digunakan ketika mengajar karena akan berpengaruh
terhadap prestasi belajar siswa. Dalam pembelajarn IPA yang cenderung lebih
banyak kegiatan di luar kelas dan banyak kegiatan praktikum dan pengamatan,
agar pembelajaran lebih bermakna guru dapat memilih dan menggunakan model-
3
model pembelajaran yang bervariasi. Salah satunya adalah model pembelajaran
Quantum yang terkenal dengan QL ( Quantum Learning ). Pembelajaran quantum
merupakan pembelajaran yang menekankan pada proses belajar yang induktif
(berdasarkan fakta yang nyata) yang kegiatan pembelajarannya secara langsung
dapat dialami oleh siswa, sehingga siswa diharapkan dapat membangun makna
atau kesan pengetahuan dalam ingatannya. Dengan model pembelajaran yang
bervariasi tersebut, prestasi siswa khususnya dalam pembelajaran IPA dapat
dicapai secara maksimal.
Selain pembelajarn yang bervariasi, tingkat intelegensi siswa pun menjadi
salah satu faktor penting agar prestasi belajar dapat diraih secara maksimal.
Menurut Wangmuba, Inteligensi merupakan suatu konsep mengenai kemampuan
umum individu dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Dalam
kemampuan yang umum ini, terdapat kemampuan-kemampuan yang amat
spesifik. Kemampuan-kemampuan yang spesifik ini memberikan pada siswa suatu
kondisi yang memungkinkan tercapainya pengetahuan, kecakapan, atau
ketrampilan tertentu setelah melalui suatu latihan. Intelegensi yang dimiliki oleh
setiap siswa berbeda-beda. Ada siswa yang memiliki intelegensi tinggi, namun
tidak sedikit pula siswa yang intelegensinya cukup atau bahkan bisa dikatakan
rendah. Untuk itu sebagai pendidik harus mampu membantu siswa untuk
meningkatkan prestasinya khususnya dalam mata pelajaran IPA dengan
menggunakan berbagai macam model-model pembelajaran yang nyaman dan
menyenangkan bagi siswa dengan memperhatikan kondisi intelegensi yang
dimiliki oleh masing-masing siswa.
Berdasarkan uraian di atas kiranya perlu diadakan penelitian sebagai upaya
untuk meningkatkan prestasi pembelajaran IPA. Mengingat banyaknya masalah
dan materi yang disajikan serta keterbatasan sebagai peneliti, maka peneliti
membatasi berbagai masalah di atas dan mengambil judul “ Perbedaan Model
Pembelajaran Konvensional dibanding Quantum Lerning Ditinjau dari Tingkat
Intelegensi Siswa Terhadap Prestasi Belajar IPA Siswa Kelas V SD Sekecamatan
Petanahan “.
4
B. Identifikasi Masalah
Adapun masalah yang dapat diidentifikasi berdasarkan latar belakang
adalah sebagai berikut:
1. Penelitian prestasi belajar siswa dalam pembelajaran IPA masih cukup rendah
bila dibandingkan dengan mata pelajaran lain
2. Pemikiran siswa bahwa pembelajaran IPA selama ini dirasa cukup
membosankan
3. Tingkat intelegensi antara siswa yang satu dengan siswa yang lain berbeda
dan terlihat jauh
4. Bimbingan orang tua terhadap anaknya masih sangat kurang terutama dalam
masalah pendidikan.
C. Batasan Masalah
Mengingat banyaknya keterbatasan peneliti antara lain waktu penelitian,
dana operasional, dan kompetensi diri peneliti, maka penelitian ini dibatasi hanya
masalah tentang : model pembelajaran konvensional, model pembelajaran
Quantum, tingkat intelegensi siswa, serta prestasi belajar IPA siswa kelas V SD
se-kecamatan Petanahan.
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan batasan masalah tersebut, dapat dirumuskan masalah sebagai
berikut:
1. Apakah ada perbedaan model pembelajaran konvensioanal dengan model
pembelajaran quantum terhadap prestasi belajar IPA siswa kelas V SD se-
kecamatan Petanahan ?
2. Apakah ada perbedaan tingkat intelegensi siswa ditinjau dari tingkat
intelegensi rendah terhadap prestasi belajar IPA siswa kelas V SD se-
kecamatan Petanahan ?
3. Apakah ada interaksi antara model pembelajaran dengan tingkat intelegensi
siswa terhadap prestasi belajar IPA siswa kelas V SD se-kecamatan
Petanahan ?
5
E. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui apakah ada perbedaan model pembelajaran konvensional
dengan model pembelajaran Quantum terhadap prestasi belajar IPA siswa
kelas V SD se-kecamatan Petanahan ?
2. Untuk mengetahui apakah ada perbedaan tigkat intelegensi siswa ditinjau
dari tingkat intelegensi rendah terhadap prestasi belajar IPA siswa kelas V SD
se-kecamatan Petaahan ?
3. Untuk mengetahui apakah ada interaksi antara model pembelajaran dengan
tingkat intelegensi siswa terhadapprestasi belajar IPA siswa kelas V SD se-
kecamatan Petanahan ?
F. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoretis
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan wacana bagi mahasiswa
calon pendidik dan pendidik/guru untuk dapat memperluas wawasan
kaitannya dengan penggunaan model-model pembelajaran seperti model
pembelajaran konvensional dan Quantum terhadap pembelajaran IPA siswa
SDN se-Kecamatan Petanahan Kabupaten Kebumen.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Guru
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan masukan
bagi guru-guru, khususnya guru mata pelajaran IPA dalam
mendayagunakan model- model pembelajaran yang bervariasi khususnya
model pembelajaran Quantum sebagai upaya untuk meningkatkan prestasi
belajar siswa secara optimal. Selain itu perbedaan tingkat intelegensi siswa
juga dapat dijadikan pengetahuan dan pengalaman bagi guru untuk
meningkatkan prestasi belajar siswa.
b. Bagi Pelaksana Pendidikan
Penelitian ini diharapkan dapat membuka cakrawala keilmuwan dan
dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam peningkatan mutu
6
pendidikan kaitannya dengan penggunaan model-model pembelajaran
yang bervariasi khususnya model pembelajaran Quantum pada mata
pelajaran IPA. Tingkat intelegensi yang dimiliki oleh masing-masing
siswa berbeda, sehingga pelaksana pendidikan dapat mengambil langkah
secara tepat dalam usahanya untuk meningkatkan prestasi belajar siswa
khususnya pada mata pelajaran IPA.
c. Bagi Peneliti
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengalaman yang sangat
berharga dalam meningkatkan pemahaman tentang model-model
pembelajaran khususnya model konvensional dan model quantum serta
penerapannya terhadap tingkat intelegensi siswa yang berbeda-beda
sehingga prestasi belajar siswa dapat meningkat secara optimal.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
1. Prestasi Belajar IPA Siswa Kelas V SD
a. Karakteristik Siswa Kelas V SD
Karakteristik utama siswa kelas V sekolah dasar yaitu mereka
menampilkan perbedaan-perbedaan individual dalam banyak segi di
antaranya:
1) perbedaan dalam intelegensi,
2) kemampuan dalam kognitif dan bahasa,
3) perkembangan kepribadian, dan
4) perkembangan fisik anak.
Menurut Erikson perkembangn psikososial pada anak kelas V SD
adalah anak mulai memasuki dunia pengetahuan dan dunia kerja yang
luas. Peristiwa penting pada tahap ini anak mulai masuk sekolah, mulai
dihadapan dengan teknologi masyarakat di samping itu proses belajar
mereka tidak hanya terjadi di sekolah.
Sedangkan menurut Thornberg (1984) anak sekolah dasar
merupakan individu yang sedang berkembang, barangkali tidak perlu lagi
diragukan keberaniannya. Setiap anak sekolah dasar sedang berada dalam
perubahan fisik maupun mental mengarah yang lebih baik. Tingkah laku
mereka dalam menghadapi lingkungan sosial maupun non sosial
meningkat. Anak kelas lima memiliki kemampuan tenggang rasa dan kerja
sama yang lebih tinggi, bahkan ada di antara mereka yang menampakkan
tingkah laku mendekati tingkah laku anak remaja permulaan.
Nasution(1992)dalam http://xpresiriau.com/artikel-tulisan-
pendidikan/ karakteristik-siswa-sekolah-dasar mengatakan bahwa siswa
kelas V sekolah dasar mempunyai sifat khas sebagai berikut:
1) Adanya minat terhadap kehidupan praktis sehari-hari yang kongkrit,
7
8
2) amat relistik, ingin tahu dan ingin belajar,
3) menjelang masa ini telah ada minat terhadap hal-hal dan mata
pelajaran khusus, oleh ahli yang mengikuti teori faktor ditaksirkan
sebagai mulai menonjolnya faktor-faktor,
4) pada umumnya anak menghadapi tugas-tugasnya dengan bebas dan
berusaha menyelesaikan sendiri,
5) pada masa ini anak memandang nilai (nilai rapor) sebagai ukuran yang
tepat mengenai prestasi sekolah, anak pada masa ini gemar
membentuk kelompok sebaya, untuk bermain bersama-sama.
Sedangkan menurut Piaget dalam tahapan perkembangan intelektual
yang dialui anak, siswa kelas V sekolah dasar berada pada tahap
operasional kongkrit, pada tahap ini anak mengembangkan pemikiran
logis, masih sangat terikat pada fakta-fakta peseptual, artinya anak mampu
berfikir logis, tetapi masih terbatas pada objek-objek kongkrit, dan
melakukan konservasi.
Anak kelas V SD berusia antara 8-9 tahun. Pada usia ini anak berada
pada fase operasional konkrit. Anak aktif bergerak dan mempunyai
perhatian yang besar pada lingkungan. Pada usia 8 tahun rasa ingin
tahunya berkembang pesat, mereka selalu ingin tahu apa saja yang
dijumpainya dan apa yang terjadi di sekitarnya. Selanjutnya Bredekamp
juga mengatakan bahwa anak usia muda berkembangsecara holistik,
dimana satu aspek perkembangan mempengaruhi aspek lainnya.
(Bredekamp,1987 (dalam Padmono,1999: 75)
b. IPA ( Ilmu Pengetahuan Alam )
Kata “IPA” merupakan singkatan kata “Ilmu Pengetahuan Alam”.
Kata tersebut merupakan terjemahan dari kata bahasa inggris yaitu
“Natural Science” secara singkat sering disebut science. Natural artinya
alamiah, berhubungan dengan alam atau bersangkut paut dengan alam.
Science artinya ilmu pengetahuan. Jadi, Ilmu Pengetahuan Alam atau
9
science itu secara harfiah dapat disebut sebagai ilmu tetang alam. Ilmu
yang mempelajari peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam.
IPA berasal dari kata sains yang berarti alam. Ilmu pengetahuan
alam atau sains (science) diambil dari kata latin Scientia yang arti
harfiahnya adalah pengetahuan, tetapi kemudian berkembang menjadi
khusus Ilmu Pengetahuan Alam atau Sains. Sund dan Trowbribge
merumuskan bahwa Sains merupakan kumpulan pengetahuan dan proses.
Sedangkan Kuslan Stone menyebutkan bahwa Sains adalah kumpulan
pengetahuan dan cara-cara untuk mendapatkan dan mempergunakan
pengetahuan itu.
Webster menyatakan Ilmu Pengetahuan Alam adalah pengetahuan
tentang alam dan gejala-gejalanya. Menurut Purnells, Ilmu Pengetahuan
Alam adalah pegetahuan manusia yang luas yang didapatkan dengan cara
observasi dan eksperimen yang sistematik, serta dijelaskan dengan bantuan
aturan-aturan, hukum-hukum, prinsip-prinsip, teori-teori dan hipotesis-
hipotesis. Ada juga yang mendefinisikan, bahwa Ilmu Pengetahuan Alam
adalah apa yang dilakukan oleh para ahli IPA.
Konsep IPA dipengaruhi ileh pengalaman. Konsep IPA merupakan
suatu ide yang mempersatukan fakta-fakta yang ada hubungannya. Fakta
dalam IPA adalah pernyataan-pernyataan tentang benda-benda yang benar-
benar ada atau peristiwa-peristiwa yang betul-betul terjadi dan sudah
dikonfirmasi secara obyektif.
Sains merupakan produk dan proses yang tidak dapat dipisahkan.
“Real Science is both product and process, inseparably Joint” (Agus. S.
2003: 11). Ilmu alam mempelajari aspek-aspek fisik & nonmanusia
tentang Bumi dan alam sekitarnya. Ilmu-ilmu alam membentuk landasan
bagi ilmu terapan, yang keduanya dibedakan dari ilmu sosial, humaniora,
teologi, dan seni. Sains menurut Suyoso (1998:23) merupakan
“pengetahuan hasil kegiatan manusia yang bersifat aktif dan dinamis tiada
henti-hentinya serta diperoleh melalui metode tertentu yaitu teratur,
sistematis, berobjek, bermetode dan berlaku secara universal”.
10
Menurut Abdullah (1998:18), IPA merupakan “pengetahuan teoritis
yang diperoleh atau disusun dengan cara yang khas atau khusus, yaitu
dengan melakukan observasi, eksperimentasi, penyimpulan, penyusunan
teori, eksperimentasi, observasi dan demikian seterusnya kait mengkait
antara cara yang satu dengan cara yang lain”. Dari pendapat di atas maka
dapat disimpulkan bahwa IPA merupakan pengetahuan dari hasil kegiatan
manusia yang diperoleh dengan menggunakan langkah-langkah ilmiah
yang berupa metode ilmiah dan dididapatkan dari hasil eksperimen atau
observasi yang bersifat umum sehingga akan terus di sempurnakan. Dalam
pembelajaran IPA mencakup semua materi yang terkait dengan objek alam
serta persoalannya. Ruang lingkup IPA yaitu makhluk hidup, energi dan
perubahannya, bumi dan alam semesta serta proses materi dan sifatnya.
IPA menjadi suatu bidang ilmu yang memiliki tujuan agar setiap siswa
memiliki kepribadian yang baik dan dapat menerapkan sikap ilmiah serta
dapat mengembangkan potensi yang ada di alam untuk dijadikan sebagai
sumber ilmu dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
c. Prestasi Belajar
1.) Prestasi
Prestasi adalah hasil yang telah dicapai seseorang dalam
melakukan kegiatan. Gagne (1985:40) menyatakan bahwa prestasi
belajar dibedakan menjadi lima aspek, yaitu : kemampuan intelektual,
strategi kognitif, informasi verbal, sikap dan keterampilan. Menurut
Bloom dalam Suharsimi Arikunto (1990:110) bahwa hasil belajar
dibedakan menjadi tiga aspek yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik.
Prestasi merupakan kecakapan atau hasil kongkrit yang dapat
dicapai pada saat atau periode tertentu. Berdasarkan pendapat tersebut,
prestasi dalam penelitian ini adalah hasil yang telah dicapai siswa
dalam proses pembelajaran.
Prestasi yaitu hasil yang telah dicapai dari yang dilakukan atau
dikerjakan. prestasi dapat diartikan hasil yang diperoleh karena
11
adanya aktivitas belajar yang telah dilakukan. Kemampuan intelektual
siswa sangat menentukan keberhasilan siswa dalam memperoleh
prestasi.
2.) Belajar
Belajar merupakan kegiatan esensial dalam pengajaran, juga
terkait dengan berbagai faktor yang dapat memberikan perubahan
pada siswa. Faktor siswa, guru serta faktor lingkungan secara
menyeluruh merupakan faktor-faktor yang berpengaruh. Menurut T.
Raka Joni (1981) bahwa belajar adalah perubahan tingkah laku yang
disebabkan oleh matangnya seseorang atau perubahan yang bersifat
temporer. Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa belajar adalah
usaha sadar yang dilakukan indVidu dan menyebabkan adanya
perubahan tingkah laku sebagai responden terhadap lingkungan, baik
langsung ataupun tidak langsung.
Belajar adalah suatu perubahan perilaku, akibat interaksi
dengan lingkungannya" (Ali Muhammad, 204 : 14). Perubahan
perilaku dalam proses belajar terjadi akibat dari interaksi dengan
lingkungan. Interaksi biasanya berlangsung secara sengaja. Dengan
demikian belajar dikatakan berhasil apabila terjadi perubahan dalam
diri individu. Sebaliknya apabila terjadi perubahan dalam diri individu
maka belajar tidak dikatakan berhasil.
Ada beberapa pendapat para ahli tentang definisi tentang belajar.
Cronbach, Harold Spears dan Geoch dalam Sardiman A.M (2005:20)
sebagai berikut :
a) Cronbach memberikan definisi :
“Learning is shown by a change in behavior as a result of
experience”.
“Belajar adalah memperlihatkan perubahan dalam perilaku sebagai
hasil dari pengalaman”.
b) Harold Spears memberikan batasan:
12
“Learning is to observe, to read, to initiate, to try something
themselves, to listen, to follow direction”.
Belajar adalah mengamati, membaca, berinisiasi, mencoba sesuatu
sendiri, mendengarkan, mengikuti petunjuk/arahan.
c) Geoch, mengatakan :
“Learning is a change in performance as a result of practice”.
Belajar adalah perubahan dalam penampilan sebagai hasil praktek.
Dari ketiga definisi diatas dapat disimpulkan bahwa belajar itu
senantiasa merupakan perubahan tingkah laku atau penampilan,
dengan serangkaian kegiatan misalnya dengan membaca, mengamati,
mendengarkan, meniru dan lain sebagainya. Juga belajar itu akan
lebih baik kalau si subyek belajar itu mengalami atau melakukannya,
jadi tidak bersifat verbalistik. Belajar sebagai kegiatan individu
sebenarnya merupakan rangsangan-rangsangan individu yang dikirim
kepadanya oleh lingkungan. Dengan demikian terjadinya kegiatan
belajar yang dilakukan oleh seorang idnividu dapat dijelaskan dengan
rumus antara individu dan lingkungan.
Fontana seperti yang dikutip oleh Udin S. Winataputra (1995:2)
dikemukakan bahwa learning (belajar) mengandung pengertian proses
perubahan yang relative tetap dalam perilaku individu sebagai hasil
dari pengalaman. Pengertian belajar juga dikemukakan oleh Slameto
(2003:2) yakni belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan
seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru
secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam
interaksi dengan lingkungannya.
Selaras dengan pendapat-pendapat di atas, Thursan Hakim
(2000:1) mengemukakan bahwa belajar adalah suatu proses perubahan
di dalam kepribadian manusia, dan perubahan tersebut ditampakkan
dalam bentuk peningkatan kualitas dan kuantitas tingkah laku seperti
peningkatan kecakapan, pengetahuan, sikap, kebiasaan, pemahaman,
13
keterampilan, daya pikir, dll. Hal ini berarti bahwa peningkatan
kualitas dan kuantitas tingkah laku seseorang diperlihatkan dalam
bentuk bertambahnya kualitas dan kuantitas kemampuan seseorang
dalam berbagai bidang. Dalam proses belajar, apabila seseorang tidak
mendapatkan suatu peningkatan kualitas dan kuantitas kemampuan,
maka orang tersebut sebenarnya belum mengalami proses belajar atau
dengan kata lain ia mengalami kegagalan di dalam proses belajar.
Belajar yang efektif dapat membantu siswa untuk meningkatkan
kemampuan yang diharapkan sesuai dengan tujuan instruksional yang
ingin dicapai. Untuk meningkatkan prestasi belajar yang baik perlu
diperhatikan kondisi internal dan eksternal. Kondisi internal dalah
kondisi atau situasi yang ada dalam diri siswa, seperti kesehatan,
keterampilan, kemapuan dan sebaginya. Kondisi eksternal adalah
kondisi yang ada di luar diri pribadi manusia, misalnya ruang belajar
yang bersih, sarana dan prasaran belajar yang memadai.
Nana Sudjana (1989: 5) berpendapat: “Belajar adalah suatu
proses yang ditandai dengan adanya perubahan pada diri seseorang.
Perubahan sebagai hasil dari proses belajar dapat ditunjukkan dalam
berbagai bentuk seperti perubahan pengetahuan, sikap dan tingkah
laku, keterampilan, kecakapan, kebiasaan, serta perubahan aspek-
aspek lain yang ada pada individu yang belajar”.
Anita E. Woolfolk (dalam Conny R. Semiawan, 1998: 245)
menegaskan bahwa belajar terjadi ketika pengalaman menyebabkan
suatu perubahan pengetahuan dan perilaku yang relatif permanen pada
individu.
William Burton (dalam Oemar Hamalik, 2009: 28)
mengemukakan bahwa a good learning situation consist of a rich and
varied on in interaction with a rich, varied and propocation
environment.
Skinner (dalam Margaret, 1994: 115) berpandangan bahwa
belajar adalah suatu perilaku. Pada saat orang belajar, maka
14
responsnya menjadi lebih baik. Sebaliknya, bila ia tidak belajar maka
responsnya menurun. Dalam belajar ditemukan adanya hal berikut:
a) kesempatan terjadinya peristiwa yang menimbulkan respons
pebelajar,
b) respons si pebelajar, dan
c) konsekuensi yang bersifat menguatkan respons tersebut.
Pemerkuat terjadi pada stimulus yang menguatkan konsekuensi
tersebut.
Menurut Gagne (dalam Margaret, 1994: 182) belajar adalah
kegiatan yang kompleks. Hasil belajar merupakan kapabilitas. Setelah
belajar orang memiliki keterampilan, pengetahuan, sikap dan nilai.
Timbulnya kapabilitas tersebut adalah dari stimulus yang berasal dari
lingkungan dan proses kognitif yang dilakukan oleh pelajar. Dengan
demikian belajar adalah seperangkat proses kognitif yang mengubah
sifat stimulus lingkungan, melewati pengolahan informasi dan
menjadi kapabilitas baru.
Jean Piaget (dalam Margaret, 1994: 301) berpendapat bahwa
pengetahuan dibentuk oleh individu. Sebab individu melakukan
interaksi terus menerus dengan lingkungan. Lingkungan tersebut
mengalami perubahan. Dengan adanya interaksi dengan lingkungan,
maka fungsi intelek semakin berkembang.
Dari beberapa pendapat tentang belajar dapat disimpulkan
bahwa belajar adalah suatu proses yang diperoleh dari pengalaman
melalui interaksi dengan lingkungan sehingga dihasilkan perubahan
tingkah laku.
Prinsip-prinsip belajar
Prinsip-prinsip belajar dikemukakan oleh Dimyati dan Mudjiono
( 2006: 42) pada dasarnya meliputi (1) perhatian dan motivasi, (2)
keaktifan, (3) keterlibatan langsung atau pengalaman, (4)
15
pengulangan, (5) tantangan, (6) balikan dan penguatan, (7) perbedaan
individual.
Sedangkan Toeti Soekamto dan Udin Saripudin Winataputra
(1996 : 9) mengemukakan prinsip-prinsip belajar yang pada dasarnya
meliputi (1) siswa harus bertindak secara aktif, (2) belajar sesuai
dengan tingkat kemampuan siswa, (3) memperoleh penguatan
langsung pada proses pembelajaran, (4) penguasaan materi, (5)
memberi tanggung jawab dan kepercayaan pada siswa.
Berdasarkan pendapat di atas, peneliti simpulkan bahwa prinsip-
prinsip belajar adalah (1) keaktifan siswa, (2) perhatian dan motivasi,
(3) penguasaan materi, (4) keterlibatan langsung atau pengalaman, (5)
penguasaan materi, (6) pengulangan, (7) tantangan, (8) balikan dan
penguatan langsung, (9) perbedaan individual.
3.) Prestasi belajar
Prestasi belajar adalah penguasaan pengetahuan yang
dikembangkan oleh mata pelajaran. Lazimnya ditunjukkan dengan
nilai tes atau angka nilai yang diberikan oleh siswa. (tim penyusun
kamus besar bahasa Indonesia.)
Pengertian prestasi belajar menurut Purwanto yaitu hasil yang
dicapai oleh seseorang dalam usaha belajar sebagaimana yang
dinyatakan dalam raport. Selanjutnya Winkel (1996:162) mengatakan
bahwa “prestasi belajar adalah suatu bukti keberhasilan belajar atau
kemampuan seseorang siswa dalam melakukan kegiatan belajarnya
sesuai dengan bobot yang dicapainya.”
Sedangkan menurut S. Nasution (1996:17) prestasi belajar
adalah: “Kesempurnaan yang dicapai seseorang dalam berfikir,
merasa dan berbuat. Prestasi belajar dikatakan sempurna apabila
memenuhi tiga aspek yakni: kognitif, affektif dan psikomotor,
sebaliknya dikatakan prestasi kurang memuaskan jika seseorang
belum mampu memenuhi target dalam ketiga kriteria tersebut.”
Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat dijelaskan bahwa prestasi
16
belajar merupakan tingkat kemanusiaan yang dimiliki siswa dalam
menerima, menolak dan menilai informasi-informasi yang diperoleh
dalam proses belajar mengajar.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Prestasi Belajar
Untuk mencapai prestasi belajar siswa sebagaimana yang
diharapkan, maka perlu diperhatikan beberapa faktor yang
mempengaruhi prestasi belajar antara lain; faktor yang terdapat dalam
diri siswa (faktor intern), dan faktor yang terdiri dari luar siswa (faktor
ekstern). Faktor-faktor yang berasal dari dalam diri anak bersifat
biologis sedangkan faktor yang berasal dari luar diri anak antara lain
adalah faktor keluarga, sekolah, masyarakat dan sebagainya.
a) Faktor Intern
Faktor intern adalah faktor yang timbul dari dalam diri individu itu
sendiri, adapun yang dapat digolongkan ke dalam faktor intern
yaitu kecedersan/intelegensi, bakat, minat dan motivasi.
Kecerdasan/intelegensi
Kecerdasan adalah kemampuan belajar disertai kecakapan
untuk menyesuaikan diri dengan keadaan yang dihadapinya.
Kemampuan ini sangat ditentukan oleh tinggi rendahnya
intelegensi yang normal selalu menunjukkan kecakapan sesuai
dengan tingkat perkembangan sebaya. Adakalany
perkembangan ini ditandai oleh kemajuan-kemajuan yang
berbeda antara satu anak dengan anak yang lainnya, sehingga
seseorang anak pada usia tertentu sudah memiliki tingkat
kecerdasan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kawan
sebayanya. Oleh karena itu jelas bahwa faktor intelegensi
merupakan suatu hal yang tidak diabaikan dalam kegiatan
belajar mengajar.
Menurut Kartono (1995:1) kecerdasan merupakan “salah satu
aspek yang penting, dan sangat menentukan berhasil tidaknya
studi seseorang. Kalau seorang murid mempunyai tingkat
17
kecerdasan normal atau di atas normal maka secara potensi ia
dapat mencapai prestasi yang tinggi.”
Slamet (1995:56) mengatakan bahwa “tingkat intelegensi yang
tinggi akan lebih berhasil daripada yang mempunyai tingkat
intelegensi yang rendah.”
Muhibbin (1999:135) berpendapat bahwa intelegensi adalah
“semakin tinggi kemampuan intelegensi seseorang siswa maka
semakin besar peluangnya untuk meraih sukses. Sebaliknya,
semakin rendah kemampuan intelegensi seseorang siswa maka
semakin kecil peluangnya untuk meraih sukses.”
Dari pendapat di atas jelaslah bahwa intelegensi yang baik atau
kecerdasan yang tinggi merupakan faktor yang sangat penting
bagi seorang anak dalam usaha belajar.
Bakat
Bakat adalah kemampuan tertentu yang telah dimiliki
seseorang sebagai kecakapan pembawaan. Ungkapan ini sesuai
dengan apa yang dikemukakan oleh Ngalim Purwanto
(1986:28) bahwa “bakat dalam hal ini lebih dekat
pengertiannya dengan kata aptitude yang berarti kecakapan,
yaitu mengenai kesanggupan-kesanggupan tertentu.”
Kartono (1995:2) menyatakan bahwa “bakat adalah potensi
atau kemampuan kalau diberikan kesempatan untuk
dikembangkan melalui belajar akan menjadi kecakapan yang
nyata.” Menurut Syah Muhibbin (1999:136) mengatakan
“bakat diartikan sebagai kemampuan indivedu untuk
melakukan tugas tanpa banyak bergantung pada upaya
pendidikan dan latihan.”
Dari pendapat di atas jelaslah bahwa tumbuhnya keahlian
tertentu pada seseorang sangat ditentukan oleh bakat yang
dimilikinya sehubungan dengan bakat ini dapat mempunyai
18
tinggi rendahnya prestasi belajar bidang-bidang studi tertentu.
Dalam proses belajar terutama belajat keterampilan, bakat
memegang peranan penting dalam mencapai suatu hasil akan
prestasi yang baik. Apalagi seorang guru atau orang tua
memaksa anaknya untuk melakukan sesuatu yang tidak sesuai
dengan bakatnya maka akan merusak keinginan anak tersebut.
Minat
Minat adalah kecenderungan yang tetap untuk memperhatikan
dan mengenai beberapa kegiatan. Kegiatan yang dimiliki
seseorang diperhatikan terus menerus yang disertai dengan
rasa sayang. Menurut Winkel (1996:24) minat adalah
“kecenderungan yang menetap dalam subjek untuk merasa
tertarik pada bidang/hal tertentu dan merasa senang
berkecimpung dalam bidang itu.” Selanjutnya Slameto
(1995:57) mengemukakan bahwa minat adalah
“kecenderungan yang tetap untuk memperhatikan dan
mengenang beberapa kegiatan, kegiatan yang diminati
seseorang, diperhatikan terus yang disertai dengan rasa
sayang.”
Kemudian Sardiman (1992:76) mengemukakan minat adalah
“suatu kondisi yang terjadi apabila seseorang melihat ciri-ciri
atai arti sementara situasi yang dihubungkan dengan
keinginan-keinginan atau kebutuhan-kebutuhannya sendiri.”
Berdasarkan pendapat di atas, jelaslah bahwa minat besar
pengaruhnya terhadap belajar atau kegiatan. Bahkan pelajaran
yang menarik minat siswa lebih mudah dipelajari dan disimpan
karena minat menambah kegiatan belajar. Untuk menambah
minat seorang siswa di dalam menerima pelajaran di sekolah
siswa diharapkan dapat mengembangkan minat untuk
melakukannya sendiri. Minat belajar yang telah dimiliki siswa
19
merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi hasil
belajarnya. Apabila seseorang mempunyai minat yang tinggi
terhadap sesuatu hal maka akan terus berusaha untuk
melakukan sehingga apa yang diinginkannya dapat tercapai
sesuai dengan keinginannya.
Motivasi
Motivasi dalam belajar adalah faktor yang penting karena hal
tersebut merupakan keadaan yang mendorong keadaan siswa
untuk melakukan belajar. Persoalan mengenai motivasi dalam
belajar adalah bagaimana cara mengatur agar motivasi dapat
ditingkatkan. Demikian pula dalam kegiatan belajar mengajar
sorang anak didik akan berhasil jika mempunyai motivasi
untuk belajar.
Nasution (1995:73) mengatakan motivasi adalah “segala daya
yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu.”
Sedangkan Sardiman (1992:77) mengatakan bahwa “motivasi
adalah menggerakkan siswa untuk melakukan sesuatu atau
ingin melakukan sesuatu.”
Dalam perkembangannya motivasi dapat dibedakan menjadi
dua macam yaitu (a) motivasi instrinsik dan (b) motivasi
ekstrinsik. Motivasi instrinsik dimaksudkan dengan motivasi
yang bersumber dari dalam diri seseorang yang atas dasarnya
kesadaran sendiri untuk melakukan sesuatu pekerjaan belajar.
Sedangkan motivasi ekstrinsik dimaksudkan dengan motivasi
yang datangnya dari luar diri seseorang siswa yang
menyebabkan siswa tersebut melakukan kegiatan belajar.
Dalam memberikan motivasi seorang guru harus berusaha
dengan segala kemampuan yang ada untuk mengarahkan
perhatian siswa kepada sasaran tertentu. Dengan adanya
dorongan ini dalam diri siswa akan timbul inisiatif dengan
20
alasan mengapa ia menekuni pelajaran. Untuk membangkitkan
motivasi kepada mereka, supaya dapat melakukan kegiatan
belajar dengan kehendak sendiri dan belajar secara aktif.
b) Faktor Ekstern
Faktor ekstern adalah faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
prestasi belajar yang sifatnya di luar diri siswa, yaitu beberapa
pengalaman-pengalaman, keadaan keluarga, lingkungan sekitarnya
dan sebagainya.
Pengaruh lingkungan ini pada umumnya bersifat positif dan tidak
memberikan paksaan kepada individu. Menurut Slameto (1995:60)
faktor ekstern yang dapat mempengaruhi belajar adalah “keadaan
keluarga, keadaan sekolah dan lingkungan masyarakat.”
Keadaan Keluarga
Keluarga merupakan lingkungan terkecil dalam masyarakat
tempat seseorang dilahirkan dan dibesarkan. Sebagaimana yang
dijelaskan oleh Slameto bahwa: “Keluarga adalah lembaga
pendidikan pertama dan utama. Keluarga yanng sehat besar
artinya untuk pendidikan kecil, tetapi bersifat menentukan
dalam ukuran besar yaitu pendidikan bangsa, negara dan dunia.”
Adanya rasa aman dalam keluarga sangat penting dalam
keberhasilan seseorang dalam belajar. Rasa aman itu membuat
seseorang akan terdorong untuk belajar secara aktif, karena rasa
aman merupakan salah satu kekuatan pendorong dari luar yang
menambah motivasi untuk belajar.
Dalam hal ini Hasbullah (1994:46) mengatakan: “Keluarga
merupakan lingkungan pendidikan yang pertama, karena dalam
keluarga inilah anak pertama-tama mendapatkan pendidikan dan
bimbingan, sedangkan tugas utama dalam keluarga bagi
pendidikan anak ialah sebagai peletak dasar bagi pendidikan
akhlak dan pandangan hidup keagamaan.”
21
Oleh karena itu orang tua hendaknya menyadari bahwa
pendidikan dimulai dari keluarga. Sedangkan sekolah
merupakan pendidikan lanjutan. Peralihan pendidikan informal
ke lembaga-lembaga formal memerlukan kerjasama yang baik
antara orang tua dan guru sebagai pendidik dalam usaha
meningkatkan hasil belajar anak. Jalan kerjasama yang perlu
ditingkatkan, dimana orang tua harus menaruh perhatian yang
serius tentang cara belajar anak di rumah. Perhatian orang tua
dapat memberikan dorongan dan motivasi sehingga anak dapat
belajar dengan tekun. Karena anak memerlukan waktu, tempat
dan keadaan yang baik untuk belajar.
Keadaan Sekolah
Sekolah merupakan lembaga pendidikan formal pertama yang
sangat penting dalam menentukan keberhasilan belajar siswa,
karena itu lingkungan sekolah yang baik dapat mendorong untuk
belajar yang lebih giat. Keadaan sekolah ini meliputi cara
penyajian pelajaran, hubungan guru dengan siswa, alat-alat
pelajaran dan kurikulum. Hubungan antara guru dan siswa
kurang baik akan mempengaruhi hasil-hasil belajarnya.
Menurut Kartono (1995:6) mengemukakan “guru dituntut untuk
menguasai bahan pelajaran yang akan diajarkan, dan memiliki
tingkah laku yang tepat dalam mengajar.” Oleh sebab itu, guru
harus dituntut untuk menguasai bahan pelajaran yang disajikan,
dan memiliki metode yang tepat dalam mengajar.
Lingkungan Masyarakat
Di samping orang tua, lingkungan juga merupakan salah satu
faktor yang tidak sedikit pengaruhnya terhadap hasil belajar
siswa dalm proses pelaksanaan pendidikan. Karena lingkungan
alam sekitar sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan
pribadi anak, sebab dalam kehidupan sehari-hari anak akan lebih
banyak bergaul dengan lingkungan dimana anak itu berada.
22
Dalam hal ini Kartono (1995:5) berpendapat:
Lingkungan masyarakat dapat menimbulkan kesukaran belajar
anak, terutama anak-anak yang sebayanya. Apabila anak-anak
yang sebaya merupakan anak-anak yang rajin belajar, maka
anak akan terangsang untuk mengikuti jejak mereka. Sebaliknya
bila anak-anak di sekitarnya merupakan kumpulan anak-anak
nakal yang berkeliaran tiada menentukan anakpun dapat
terpengaruh pula.
Dengan demikian dapat dikatakan lingkungan membentuk
kepribadian anak, karena dalam pergaulan sehari-hari seorang anak
akan selalu menyesuaikan dirinya dengan kebiasaan-kebiasaan
lingkungannya. Oleh karena itu, apabila seorang siswa bertempat
tinggal di suatu lingkungan temannya yang rajin belajar maka
kemungkinan besar hal tersebut akan membawa pengaruh pada
dirinya, sehingga ia akan turut belajar sebagaimana temannya.
2. Model Pembelajaran
a. Pembelajaran Konvensional
Pembelajaran konvensional yang dimaksud secara umum adalah
pembelajaran dengan menggunakan metode yang biasa dilakukan oleh
guru yaitu memberi materi melalui ceramah, latihan soal kemudian
pemberian tugas. Ceramah merupakan salah satu cara penyampaian
informasi dengan lisan dari seseorang kepada sejumlah pendengar di suatu
ruangan. Kegiatan berpusat pada penceramah dan komunikasi searah dari
pembaca kepada pendengar. Penceramah mendominasi seluruh kegiatan,
sedang pendengar hanya memperhatikan dan membuat catatan seperlunya.
Gambaran pembelajaran matematika dengan pendekatan ceramah
adalah sebagai berikut: Guru mendominasi kegiatan pembelajaran
penurunan rumus atau pembuktian dalil dilakukan sendiri oleh guru,
contoh-contoh soal diberikan dan dikerjakan pula sendiri oleh guru.
23
Langkah-langkah guru diikuti dengan teliti oleh peserta didik. Mereka
meniru cara kerja dan cara penyelesaian yang dilakukan oleh guru.
Kelemahan dari pembelajaran konvensional antara lain:
1) pelajaran berjalan membosankan, peserta didik hanya aktif membuat
catatan
2) Kepadatan konsep-konsep yang diajarkan dapat berakibat peserta
didik tidak mampu menguasai bahan yang diajarkan.
3) Pengetahuan yang diperoleh melalui ceramah lebih cepat terlupakan.
4) Ceramah menyebabkan belajar peserta didik menjadi benar menghafal
yang tidak menimbulkan pengertian.
Model pembelajaran konvensional didalamnya meliputi berbagai
metode yang berpusat pada guru. Metode-metode tersebut meliputi
ceramah, tanya jawab, dan diskusi. Metode Ceramah Metode ceramah
adalah penuturan bahan pelajaran secara lisan. Metode ini senantiasa bagus
bila pengunaannya betul-betul disiapkan dengan baik, didukung alat dan
media serta memperhatikan batas-batas kemungkinan penggunannya.
Metode ceramah merupakan metode yang sampai saat ini sering
digunakan oleh setiap guru atau instruktur. Hal ini selain disebabkan oleh
beberapa pertimbangan tertentu, juga adanya faktor kebiasaan baik dari
guru atau pun siswa. Guru biasanya belum merasa puas manakala dalam
proses pengelolaan pembelajaran tidak melakukan ceramah. Demikian
juga dengan siswa, mereka akan belajar manakala ada guru yang
memberikan materi pelajaran melalui ceramah, sehingga ada guru yang
berceramah berarti ada proses belajar dan tidak ada guru berarti tidak ada
belajar.
Metode ceramah merupakan cara yang digunakan untuk
mengimplementasikan strategi pembelajaran ekspositori. Ada beberapa
kelebihan sebagai alasan mengapa ceramah sering digunakan. Metode
yang murah dan mudah untuk dilakukan. Dapat menyajikan materi
pelajaran yang luas. Artinya, materi pelajaran yang banyak dapat
dirangkum atau dijelaskan pokok-pokoknya oleh guru dalam waktu yang
24
singkat. Dapat memberikan pokok-pokok materi yang perlu ditonjolkan.
Guru dapat mengontrol keadaan kelas, oleh karena sepenuhnya kelas
merupakan tanggung jawab guru yang memberikan ceramah. Organisasi
kelas dengan menggunakan ceramah dapat diatur menjadi lebih sederhana.
Sebagaimana dikatakan oleh Philip R. Wallace tentang Pendekatan
konservatif, pendekatan konvensional memandang bahwa proses
pembelajaran yang dilakukan sebagai mana umumnya guru mengajarkan
materi kepada siswanya. Guru mentransfer ilmu pengetahuan kepada
siswa, sedangkan siswa lebih banyak sebagai penerima.
Menurut Ujang Sukandi (2003: mendeskripsikan bahwa Pendekatan
konvensional ditandai dengan guru mengajar lebih banyak mengajarkan
tentang konsep-konsep bukan kompetensi, tujuannya adalah siswa
mengetahui sesuatu bukan mampu untuk melakukan sesuatu, dan pada saat
proses pembelajaran siswa lebih banyak mendengarkan. Di sini terlihat
bahwa pendekatan konvensional yang dimaksud adalah proses
pembelajaran yang lebih banyak didominasi gurunya sebagai “pen-
transfer” ilmu, sementara siswa lebih pasif sebagai “penerima” ilmu.
Institute of Computer Technology (2006:10) menyebutnya dengan
istilah “Pengajaran tradisional”. Dijelaskannya bahwa pengajaran
tradisional yang berpusat pada guru adalah perilaku pengajaran yang
paling umum yang diterapkan di sekolah-sekolah di seluruh dunia.
Pengajaran model ini dipandang efektif, terutama untuk:
1) Berbagi informasi yang tidak mudah ditemukan di tempat lain.
2) Menyampaikan informasi dengan cepat.
3) Membangkitkan minat akan informasi.
4) Mengajari siswa yang cara belajar terbaiknya dengan mendengarkan.
Namun demikian pendekatan pembelajaran tersebut mempunyai
beberapa kelemahan sebagai berikut:
1) Tidak semua siswa memiliki cara belajar terbaik dengan
mendengarkan.
25
2) Sering terjadi kesulitan untuk menjaga agar siswa tetap tertarik
dengan apa yang dipelajari.
3) Pendekatan tersebut cenderung tidak memerlukan pemikiran yang
kritis.
4) Pendekatan tersebut mengasumsikan bahwa cara belajar siswa itu
sama dan tidak bersifat pribadi.
Dalam proses pembelajaran bahasa misalnya, dalam pendekatan
konvensional mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: (a) lebih berpusat
guru; (b) fokus pembelajaran lebih pada struktur dan format bahasanya
(ilmu bahasa); (c) Guru berbicara, siswa mendengarkan; (d) para siswa
melakukan kegiatan sendiri; (e) Guru selalu memonitor dan mengoreksi
tiap-tiap ucapan siswa; (f) guru menjawab pertanyaan para siswa tentang
(ilmu) bahasa; (g) guru yang menentukan topik atau tema pembelajaran;
(h) guru menilai hasil belajar siswa; dan (i) kelas tenang.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka pendekatan konvensional
dapat dimaknai sebagai pendekatan pembelajaran yang lebih banyak
berpusat pada guru, komunikasi lebih banyak satu arah dari guru ke siswa,
metode pembelajaran lebih banyak menggunakan ceramah dan
demonstrasi, dan materi pembelajaran lebih pada penguasaan konsep-
konsep bukan kompetensi.
b. Quantum Learning
Istilah Quantum secara harafiah berarti “ kuantitas sesuatu “ mekanis
yang berkenaan dengan gerak. Quantum learning merupakan seperagkat
metode dan falsafah belajar. De porter dan Hernacki ( 1999)
mendefinisikan quantum learning sebagai interaksi-interaksi yang
mengubah energi menjadi cahaya. Agus Nggermanto mengatakan bahwa
quantum learning menjelaskan bagaimana cara belajar efektif sehingga
mendapatkan hasil yang sama dengan kecepatan cahaya. Metode membaca
quantum, mencatat quantum, menghafal quantum dan pemanfaatan kondisi
26
gelombang otak adalah sebagian quantum learning mencapai kecepatan
cahaya.
Quantum learning berakar dari upaya Dr. Georgi Lozanof, seorang
pendididk berkebangsaan bulgaria yang bereksperimen dengan apa yang
disebutnya sebagai sugestology. Prinsipnya adalah bahwa sugesti dapat
dan pasti mempengaruhi hasil situasi belajar, dan hasil koreksi apapun
memberikan koreksi positif ataupun negatif. Beberapa teknik yang
digunakan untuk memberikan sugesti positif adallah mendudukkan siswa
secara nyaman, memasang musik latar di dalam kelas, meningkatkan
partisipasi individu, menggunakan poster-poster untuk memberi kesan
besar sambil menonjolkan informasi, dan menyediakan guru-guru yang
terlatih baik dalam seni pengajaran sugestif.
Quantum Learning mencakup aspek-aspek penting dalam program
neurolinguistik yaitu penelitian tentang bagaimana suatu otak dapat
mengatur informasi. Program ini meneliti hubungan antara bahasa dan
perilaku dan dapat digunakan untuk jalinan pengertian antara siswa dan
guru. Para pendidik dengan pengetahuan tersebut dapat mengetahui
bagaimana menggunakan bahasa yang positif untuk meningkatkan
tindakan positif.
Quantum learning adalah adalah seperangkat metode dan falsafah
belajar yang terbukti efektif untuk semua umur. Quantum learning
menggabungkan sugestiologi, teknologi pemercepatan belajar , dan
keyakinan. Quantum Learning mempunyai konsep-konsep kunci dari
berbagai teori dan strategi belajar, antara lain :
1) Teori otak kanan / kiri
2) Teori otak triune
3) Pilihan modalitas (visual, audio, kinestetik).
4) Teori kecerdasan ganda
5) Pendidikan holistik (menyeluruh )
6) Belajar berdasarkan pengalaman
7) Belajar dengan simbol
27
8) Simulasi/ permainan
Karakteristik Pembelajaran quantum
Beberapa karakteristik umum yang tampak membentuk sosok
pembelajaran kuantum sebagai berikut:
Pembelajaran kuantum berpangkal pada psikologi kognitif, bukan
fisika kuantum meskipun serba sedikit istilah dan konsep kuantum dipakai.
Oleh karena itu, pandangan tentang pembelajaran, belajar, dan pembelajar
diturunkan, ditransformasikan, dan dikembangkan dari berbagai teori
psikologi kognitif; bukan teori fisika kuantum. Dapat dikatakan di sini
bahwa pembelajaran kuantum tidak berkaitan erat dengan fisika kuantum –
kecuali analogi beberapa konsep kuantum. Hal ini membuatnya lebih
bersifat kognitif daripada fisis.
Pembelajaran kuantum lebih bersifat humanistis, bukan positivistis-
empiris, “hewan-istis”, dan atau nativistis. Manusia selaku pembelajar
menjadi pusat perhatiannya. Potensi diri, kemampuan pikiran, daya
motivasi, dan sebagainya dari pembelajar diyakini dapat berkembang
secara maksimal atau optimal. Hadiah dan hukuman dipandang tidak ada
karena semua usaha yang dilakukan manusia patut dihargai. Kesalahan
dipandang sebagai gejala manusiawi. Ini semua menunjukkan bahwa
keseluruhan yang ada pada manusia dilihat dalam perspektif humanistis.
Pembelajaran kuantum lebih bersifat konstruktivis(tis), bukan
positivistis-empiris, behavioristis, dan atau maturasionistis. Karena itu,
menurut hemat penulis, nuansa konstruktivisme dalam pembelajaran
kuantum relatif kuat. Malah dapat dikatakan di sini bahwa pembelajaran
kuantum merupakan salah satu cerminan filsafat konstruktivisme kognitif,
bukan konstruktivisme sosial. Meskipun demikian, berbeda dengan
konstruktivisme kognitif lainnya yang kurang begitu mengedepankan atau
mengutamakan lingkungan, pembelajaran kuantum justru menekankan
pentingnya peranan lingkungan dalam mewujudkan pembelajaran yang
efektif dan optimal dan memudahkan keberhasilan tujuan pembelajaran.
28
Pembelajaran kuantum berupaya memadukan [mengintegrasikan],
menyinergikan, dan mengolaborasikan faktor potensi-diri manusia selaku
pembelajar dengan lingkungan [fisik dan mental] sebagai konteks
pembelajaran. Atau lebih tepat dikatakan di sini bahwa pembelajaran
kuantum tidak memisahkan dan tidak membedakan antara res cogitans dan
res extenza, antara apa yang di dalam dan apa yang di luar. Dalam
pandangan pembelajaran kuantum, lingkungan fisikal-mental dan
kemampuan pikiran atau diri manusia sama-sama pentingnya dan saling
mendukung. Karena itu, baik lingkungan maupun kemampuan pikiran atau
potensi diri manusia harus diperlakukan sama dan memperoleh stimulan
yang seimbang agar pembelajaran berhasil baik.
Pembelajaran kuantum memusatkan perhatian pada interaksi yang
bermutu dan bermakna, bukan sekadar transaksi makna. Dapat dikatakan
bahwa interaksi telah menjadi kata kunci dan konsep sentral dalam
pembelajaran kuantum. Karena itu, pembelajaran kuantum memberikan
tekanan pada pentingnya interaksi, frekuensi dan akumulasi interaksi yang
bermutu dan bermakna. Di sini proses pembelajaran dipandang sebagai
penciptaan interaksi-interaksi bermutu dan bermakna yang dapat
mengubah energi kemampuan pikiran dan bakat alamiah pembelajar
menjadi cahaya-cahaya yang bermanfaat bagi keberhasilan pembelajar.
Interaksi yang tidak mampu mengubah energi menjadi cahaya harus
dihindari, kalau perlu dibuang jauh dalam proses pembelajaran. Dalam
kaitan inilah komunikasi menjadi sangat penting dalam pembelajaran
kuantum.
Pembelajaran kuantum sangat menekankan pada pemercepatan
pembelajaran dengan taraf keberhasilan tinggi. Di sini pemercepatan
pembelajaran diandaikan sebagai lompatan kuantum. Pendeknya, menurut
pembelajaran kuantum, proses pembelajaran harus berlangsung cepat
dengan keberhasilan tinggi. Untuk itu, segala hambatan dan halangan yang
dapat melambatkan proses pembelajaran harus disingkirkan, dihilangkan,
atau dieliminasi. Di sini pelbagai kiat, cara, dan teknik dapat
29
dipergunakan, misalnya pencahayaan, iringan musik, suasana yang
menyegarkan, lingkungan yang nyaman, penataan tempat duduk yang
rileks, dan sebagainya. Jadi, segala sesuatu yang menghalangi
pemercepatan pembelajaran harus dihilangkan pada satu sisi dan pada sisi
lain segala sesuatu yang mendukung pemercepatan pembelajaran harus
diciptakan dan dikelola sebaik-baiknya.
Pembelajaran kuantum sangat menekankan kealamiahan dan
kewajaran proses pembelajaran, bukan keartifisialan atau keadaan yang
dibuat-buat. Kealamiahan dan kewajaran menimbulkan suasana nyaman,
segar, sehat, rileks, santai, dan menyenangkan, sedang keartifisialan dan
kepura-puraan menimbulkan suasana tegang, kaku, dan membosankan.
Karena itu, pembelajaran harus dirancang, disajikan, dikelola, dan
difasilitasi sedemikian rupa sehingga dapat diciptakan atau diwujudkan
proses pembelajaran yang alamiah dan wajar. Di sinilah para perancang
dan pelaksana pembelajaran harus bekerja secara proaktif dan suportif
untuk menciptakan kealamiahan dan kewajaran proses pembelajaran.
Pembelajaran kuantum sangat menekankan kebermaknaan dan
kebermutuan proses pembelajaran. Proses pembelajaran yang tidak
bermakna dan tidak bermutu membuahkan kegagalan, dalam arti tujuan
pembelajaran tidak tercapai. Sebab itu, segala upaya yang memungkinkan
terwujudnya kebermaknaan dan kebermutuan pembelajaran harus
dilakukan oleh pengajar atau fasilitator. Dalam hubungan inilah perlu
dihadirkan pengalaman yang dapat dimengerti dan berarti bagi pembelajar,
terutama pengalaman pembelajar perlu diakomodasi secara memadai.
Pengalaman yang asing bagi pembelajar tidak perlu dihadirkan karena hal
ini hanya membuahkan kehampaan proses pembelajaran. Untuk itu, dapat
dilakukan upaya membawa dunia pembelajar ke dalam dunia pengajar
pada satu pihak dan pada pihak lain mengantarkan dunia pengajar ke
dalam dunia pembelajar. Hal ini perlu dilakukan secara seimbang.
Pembelajaran kuantum memiliki model yang memadukan konteks
dan isi pembelajaran. Konteks pembelajaran meliputi suasana yang
30
memberdayakan, landasan yang kukuh, lingkungan yang menggairahkan
atau mendukung, dan rancangan belajar yang dinamis. Isi pembelajaran
meliputi penyajian yang prima, pemfasilitasan yang lentur, keterampilan
belajar-untuk-belajar, dan keterampilan hidup. Konteks dan isi ini tidak
terpisahkan, saling mendukung, bagaikan sebuah orkestra yang
memainkan simfoni. Pemisahan keduanya hanya akan membuahkan
kegagalan pembelajaran. Kepaduan dan kesesuaian keduanya secara
fungsional akan membuahkan keberhasilan pembelajaran yang tinggi;
ibaratnya permainan simfoni yang sempurna yang dimainkan dalam
sebuah orkestra
Pembelajaran kuantum memusatkan perhatian pada pembentukan
keterampilan akademis, keterampilan [dalam] hidup, dan prestasi fisikal
atau material. Ketiganya harus diperhatikan, diperlakukan, dan dikelola
secara seimbang dan relatif sama dalam proses pembelajaran; tidak bisa
hanya salah satu di antaranya. Dikatakan demikian karena pembelajaran
yang berhasil bukan hanya terbentuknya keterampilan akademis dan
prestasi fisikal pembelajar, namun lebih penting lagi adalah terbentuknya
keterampilan hidup pembelajar. Untuk itu, kurikulum harus disusun
sedemikian rupa sehingga dapat terwujud kombinasi harmonis antara
keterampilan akademis, keterampilan hidup, dan prestasi fisikal.
Pembelajaran kuantum menempatkan nilai dan keyakinan sebagai
bagian penting proses pembelajaran. Tanpa nilai dan keyakinan tertentu,
proses pembelajaran kurang bermakna. Untuk itu, pembelajar harus
memiliki nilai dan keyakinan tertentu yang positif dalam proses
pembelajaran. Di samping itu, proses pembelajaran hendaknya
menanamkan nilai dan keyakinan positif dalam diri pembelajar. Nilai dan
keyakinan negatif akan membuahkan kegagalan proses pembelajaran.
Misalnya, pembelajar perlu memiliki keyakinan bahwa kesalahan atau
kegagalan merupakan tanda telah belajar; kesalahan atau kegagalan bukan
tanda bodoh atau akhir segalanya. Dalam proses pembelajaran
dikembangkan nilai dan keyakinan bahwa hukuman dan hadiah
31
(punishment dan reward) tidak diperlukan karena setiap usaha harus diakui
dan dihargai. Nilai dan keyakinan positif seperti ini perlu terus-menerus
dikembangkan dan dimantapkan. Makin kuat dan mantap nilai dan
keyakinan positif yang dimiliki oleh pembelajar, kemungkinan berhasil
dalam pembelajaran akan makin tinggi. Dikatakan demikian sebab “Nilai-
nilai ini menjadi kacamata yang dengannya kita memandang dunia. Kita
mengevaluasi, menetapkan prioritas, menilai, dan bertingkah laku
berdasarkan cara kita memandang kehidupan melalui kacamata ini”,
ungkap DePorter dalam Quantum Business (2000:54).
Pembelajaran kuantum mengutamakan keberagaman dan kebebasan,
bukan keseragaman dan ketertiban. Keberagaman dan kebebasan dapat
dikatakan sebagai kata kunci selain interaksi. Karena itu, dalam
pembelajaran kuantum berkembang ucapan: Selamat datang keberagaman
dan kebebasan, selamat tinggal keseragaman dan ketertiban!. Di sinilah
perlunya diakui keragaman gaya belajar siswa atau pembelajar,
dikembangkannya aktivitas-aktivitas pembelajar yang beragam, dan
digunakannya bermacam-macam kiat dan metode pembelajaran. Pada sisi
lain perlu disingkirkan penyeragaman gaya belajar pembelajar, aktivitas
pembelajaran di kelas, dan penggunaan kiat dan metode pembelajaran.
Pembelajaran kuantum mengintegrasikan totalitas tubuh dan pikiran
dalam proses pembelajaran. Aktivitas total antara tubuh dan pikiran
membuat pembelajaran bisa berlangsung lebih nyaman dan hasilnya lebih
optimal.
Kunci Keunggulan pembelajaran Quatum
Ada 8 kunci keunggulan yang ditumbuhkan melalui pembelajaran
quantum, antara lain :
1) Integritas : bersikap jujur, tulus, dan menyeluruh menyelaraskan
nilai-nilai dengan perilaku
2) Kegagalan awal kessuksesan : memahami bahwa kegagalan adalh
pemberian informasi yang dibutuhkan untuk sukses. Kegagalan itu tak
32
ada.yang ada hanyalah hasil dan umpan balik. Semuanya dapat
bermanfaat jika tahu cara menemukan hikmahnya.
3) Berbicara dengan niat baik : berbicara dengan niat positif dan
bertanggungjawab untuk komuikasi yag jujur dan lurus, menghindari
gosip dan komunikasi yang berbahaya.
4) Pola pikir kekinian : memusatkan perhatian pada saat sekarang ini dan
memanfaatka waktu sebaik-baiknya, mengerjakan setiap tugas sebaik
miungkin.
5) Komitmen : memenuhi janji dan kewajiban melaksanakan visi,
melakukan apa yang diperlukan untuk menyelesaikan pekerjaan
6) Tanggung jawab : bertanggung jawab atas semua tindakan.
7) Sikap luwes atau fleksibel : bersikap terbuka terhadap perubahan atau
pendekatan baru yang dapat membantu untuk memperoleh hasil yang
diinginkan.
8) Keseimbangan : menjaga keselarasan pikiran,tubuh, dan jiwa.
Menyisihkan waktu membangun dan memelihara ketiga hal tersebut.
Asas Pembelajaran Quantum
Segala hal yang dilakukan dalam rangka pembelajaran quantum
bahwa setiap interaksi dengan peserta didik, setiap rancangan kurikulum,
dan setiap strategi pembelajarandibangun di atas prinsip “bawalah dunia
siswa ke dalam dunia kita, dan antarkan dunia kita ke dunia siswa”.
Semakin jauh guru memasuki dunia peserta didik, semakin jauh pula
pengaruh yang dapat diberikan.
Prinsip utama pembelajaran Quantum
1) Segalanya berbicara : segala sesuatu di lingkungan kelas hinngga
bahasa tubuh guru dari kertas yang dibagikan sampai rancangan
pelajaran semuanya mengirim pesan tentanng belajar
2) Segalanya bertujuan : semua yang terjadi dalam penggubahan
mempunyai tujuan
33
3) Berangkat dari pengalaman ; proses belajar paling baik terjadi ketika
peserta didik telah mengalamai informasi sebelum memperoleh label
unt7uk sesuatu yang dipelajari
4) Hargai setiap usaha : belajar mengandung resiko. Belajar brarti
melangkah keluar dari pengalaman. Pada saat ini peserta dididk
mengambil langkah ini patut mendapat pengakuan atas kecaklapan
dan pengakuan dirinya.
5) Rayakan setiap keberhasilan : perayaan memberikan umpan balik
tentang kemajuan belajar dan mengimngatkan asosiasi emosi positif.
Kerangka Rancangan Pembelajaran Quantum
Dikenal dengan gubahan “ TANDUR “.
T = Tumbuhkan minat dengan mengatakan “apakah manfaat bagiku ?,
dan manfaatkan kehidupan peserta didik
A = Alami. Ciptakan atau datangkan pengalaman umum yang dapat
dimengerti semua peserta didik.
N = Namai. Sediakan kata kunci, konsep, model, rumus,strategi sebuah
masukan
D = Demonstrasikan. Sediakan kesempatan bagi peserta didik untuk
menunjukkan bahwa mereka tahu.
U = Ulangi. Tunjukkan pada peserta didik cara-cara mengulang materi
dan menegaskan “aku tahu bahwa aku memang tahu”
R = Rayakan. Pengakuan untuk suatu penyelesaian, partisipasi dan
pemerolehan pengetahuan dan ketrampilan.
Interaksi Guru Peserta Didik
Untuk menjaga agar peserta didik tetap pada jalur dan tetap berminat
belajar, digunakan KEG ( Know what you want ). Maksudnya ketahuilah
apa yang anda inginkan. Hal ini dapat berupa hasil ( outcome ) yang
berdasarkan alasan kognitif atau yang berdasarkan ketrampilan. Pahami
apa rupa, bunyi, dan rasa hasil itu. Explain what you want, maksudnya
34
setelah dipahami hasil tersebut, jelaskanlah. Get want you want,dapatkan
hasil itu..
Belajar Cara Belajar
Apapun mata pelajaran yang dipelajari, peserta didik lebih cepat dan
lebih efektif jika menguasai lima ketrampilan penting antara lain :
1) Cara mencatat
2) Cara mempersiapkan tes
3) Cara membaca cepat
4) Cara mengingat
Menggubah Kondisi Terbaik untuk Belajar
Peserta didik perlu belajar berkonsentrasi. Peserta didik dalam
keadaan konsetrasi terfokus akan belajar lebih cepat dan lebih mudah.
Keadaan konsentrasi tersebut adalah kombinasi antara pikiran, perasaan,
dan postur. Dengan mengajarkan dua teknik belajar yang disebut SLANT
dan keadaan Alfa, guru dapat memberi alat kepada peserta didikuntuk
mengakses keadaan terbaik.
SLANT = Sit up ( duduk tegap ), Learn forward ( condong ke
depan), Ask question ( bertanya ), Nod your head ( anggukkan kepala ),
Talk your teacher ( bicara dengan guru ).
Alfa, manusia memancarkan empat keadaan kegiatan gelombang
otak yaitu beta ( sadar dan aktif ), alfa ( sadar dan santai ), teta ( hampir
tidur atau bermimpi ), dan delta ( tidur nyanyak tanpa mimpi ).
3. Tingkat Intelegensi Siswa
Cerdas adalah sempurna perkembangan akal budinya (untuk berpikir
dan mengerti )
Kecerdasan adalah kesempurnaan perkembangan akal budi ( seperti
kepandaian dan ketajaman berpikir)
Tingkat Kecerdasan (IQ) Siswa
Kecerdasan ialah istilah umum yang digunakan untuk menjelaskan
sifat pikiran yang mencakup sejumlah kemampuan, seperti kemampuan
35
menalar, merencanakan, memecahkan masalah, berpikir abstrak, memahami
gagasan, menggunakan bahasa, dan belajar. Kecerdasan erat kaitannya
dengan kemampuan kognitif yang dimiliki oleh individu. Kecerdasan dapat
diukur dengan menggunakan alat psikometri yang biasa disebut sebagai tes
IQ. Ada juga pendapat yang menyatakan bahwa IQ merupakan usia mental
yang dimiliki manusia berdasarkan perbandingan usia kronologis.
Terdapat beberapa cara untuk mendefinisikan kecerdasan. Dalam
beberapa kasus, kecerdasan bisa termasuk kreativitas, kepribadian, watak,
pengetahuan, atau kebijaksanaan. Namun, beberapa psikolog tak
memasukkan hal-hal tadi dalam kerangka definisi kecerdasan. Kecerdasan
biasanya merujuk pada kemampuan atau kapasitas mental dalam berpikir,
namun belum terdapat definisi yang memuaskan mengenai kecerdasa.
Stenberg& Slater (1982) mendefinisikannya sebagai tindakan atau pemikiran
yang bertujuan dan adaptif.
Kecerdasan dapat dibagi dua yaitu kecerdasan umum biasa disebut
sebagai faktor-g maupun kecerdasan spesifik. Akan tetapi pada dasarnya
kecerdasan dapat dipilah-pilah. Berikut ini pembagian spesifikasi kecerdasan
menurut L.L. Thurstone:
a. Pemahaman dan kemampuan verbal
b. Angka dan hitungan
c. Kemampuan visual
d. Daya ingat
e. Penalaran
f. Kecepatan perseptual
Skala Wechsler yang umum dipergunakan untuk mendapatkan taraf
kecerdasan membagi kecerdasan menjadi dua kelompok besar yaitu
kemampuan kecerdasan verbal (VIQ) dan kemampuan kecerdasan tampilan
(PIQ).
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kecerdasan, yaitu:
a. Biologis
36
b. Lingkungan
c. Budaya
d. Bahasa
e. Masalah etika
Menurut David Wechsler , inteligensi adalah kemampuan untuk
bertindak secara terarah, berpikir secara rasional, dan menghadapi
lingkungannya secara efektif. secara garis besar dapat disimpulkan bahwa
inteligensi adalah suatu kemampuan mental yang melibatkan proses berpikir
secara rasional. Oleh karena itu, inteligensi tidak dapat diamati secara
langsung, melainkan harus disimpulkan dari berbagai tindakan nyata yang
merupakan manifestasi dari proses berpikir rasional itu.
Intelegensi menurut “Claparde dan Stern” adalah kemampuan untuk
menyesuaikan diri secara mental terhadap situasi dan kondisi baru. Berbagai
macam tes telah dilakukan oleh para ahli untuk mengetahui tingkat
intelegensi seseorang. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi tingkat
intelegensi seseorang. Oleh karena itu banyak hal atau faktor yang harus kita
perhatikan supaya intelegensi yang kita miliki bisa meningkat.
(http://fadliyanur.blogspot.com/2008/02/intelegensi.html).K. Buhler
mengatakan bahwa intelegensi adalah perbuatan yang disertai dengan
pemahaman atau pengertian.
David Wechster (1986) definisinya mengenai intelegensi mula-mula
sebagai kapasitas untuk mengerti ungkapan dan kemauan akal budi untuk
mengatasi tantangan-tantangannya. Namun di lain kesempatan ia mengatakan
bahwa intelegensi adalah kemampuan untuk bertindak secara terarah, berfikir
secara rasional dan menghadapi lingkungannya secara efektif. William Stern
mengemukakan batasan sebagai berikut: intelegensi ialah kesanggupan untuk
menyesuaikan diri kepada kebutuhan baru, dengan menggunakan alat-alat
berfikir yang sesuai dengan tujuannya. William Stern berpendapat bahwa
intelegensi sebagian besar tergantung dengan dasar dan turunan, pendidikan
atau lingkungan tidak begitu berpengaruh kepada intelegensi seseorang.
37
Setiap siswa mempunyai tingkat intelegensi yang berbeda-beda. Hal ini
dipengaruhi oleh beberapa faktor anatara lain faktor bawaan atau faktor
keturunan dan faktor lingkungan. IQ atau tingkatan dari Intelligence Quotient,
adalah skor yang diperoleh dari sebuah alat tes kecerdasan. Dengan demikian,
IQ hanya memberikan sedikit indikasi mengenai taraf kecerdasan seseorang
dan tidak menggambarkan kecerdasan seseorang secara keseluruhan.
Woodworth dan Marquis (1955,p.54) mengemukakan penggolongan
manusia atas dasar IQ nya antara lain :
a. Di atas 140 luar biasa, genius.
b. 120-139 cerdas sekali, very superuor
c. 110-119 cerdas, superior
d. 90-109 sedang, avarage
e. 80-89 bodoh, dull avarage
f. 70-79 anak pada batas, border line
g. 50-69 debil, moron
h. 30-49 ambisil, embicille
i. Di bawah 30 idiot
Dari uraian diatas dapat di simpulkan bahwa tingkat kecerdasan adalah
kemampuan menalar, merencanakan, memecahkan masalah, berpikir abstrak,
memahami gagasan, menggunakan bahasa, dan belajar seseorang dalam
menyerap materi yang di pelajari.
Tingkat kecerdasan yaitu merupakan tinggi rendahnya kemampuan
siswa dalam berpikir dan mudah mengerrti dalam kegiatan pembelajaran.
a. Tingkat intelegensi rendah
Tingkat intelegensi mempengaruhi prestasi belajar siswa. Prestasi belajar
siswa yang memiliki tingkat intelegensi rendah akan terhambat.
Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti lingkungan keluarga,
teman sebaya, keturunan dan lain-lain. Anak yang mempunyai IQ 80-89
digolongkan anak yang berintelegensi rendah.
38
b. Tingkat intelegensi tinggi
Anak dikatakan mempunyai intelegensi tinggi apabila IQ nya 110 ke atas.
Prestasi belajr anak yang berintelegensi tinggi akan jauh berbeda dengan
anak yang memiliki intelegensi rendah. Cara anak dalam menerima materi
pembelajaran pun berbeda dengan anak yang berintelegensi rendah. Ia
akan lebih mudah menangkap dan mencerna materi yang diajarkan oleh
guru. Prestasi belajar yang diraih akan lebih baik bila dibandingkan
dengan anak yang berintelegensi rendah.
B. Kerangka Berpikir
1. a. Perbedaan prestasi belajar dipengaruhi oleh model pembelajaran.
b. Model pembelajaran quantum memberikan prestasi belajar lebih baik
daripada model pembelajaran konvensional
2 a. Perbedaan prestasi belajar ditinjau dari tingkat intelegensi siswa
b. Tingkat intelegensi tinggi menghasilkan prestasi belajar lebih baik
a. Interaksi model pembelajaran dengan tingkat intelegensi siswa
terhadap prestasi belajar IPA
b. Kelompok model pembelajaran quantum dan tingkat intelegensi tinggi
memperoleh prestasi belajar tinggi dibanding kelompok lain.
C. Hipotesis
Menurut Moh. Nazir (1999: 182), “hipotesis merupakan jawaban
sementara terhadap masalah penelitian yang kebenarannya harus diuji secara
empiris sehingga hipotesis merupakan pernyataan yang diterima secara sementara
sebagai suatu kebenaran sebagaimana adanya, pada saat fenomena dikenal dan
merupakan dasar kerja”.
Berdasarkan landasan teori maupun kerangka pemikiran yang telah di-
kemukakan dalam penelitian ini, maka diajukan hipotesis penelitian sebagai
berikut:
a. Ada perbedaan prestasi belajar dipengaruhi oleh model pembelajaran
b. Model pembelajaran quantum memberikan prestasi belajar lebih baik
39
dari pada model pembelajaran konvensional
a. Ada perbedaan prestasi belajar ditinjau dari tingkat intelegensi siswa
b. Tingkat intelegensi tinggi menghasilkan prestasi belajar lebih baik
a. Ada interaksi model pembelajaran dengan tingkat intelegensi siswa
terhadap prestasi belajar IPA
b. Kelompok model pembelajaran quantum dan tingkat intelegensi tinggi
memperoleh prestasi belajar tinggi dibanding kelompok lain
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
1. Tempat Penelitian
Penelitian ini direncanakan dilaksanakan di Sekolah Dasar Negeri di
kecamatan Petanahan, kabupaten Kebumen. Dalam penelitian ini melibakan
beberapa sekolah yang berada di wilayah kerja UPT Dikpora Unit Kecamatan
Petanahan Kabupaten Kebumen.
2. Waktu Penelitian
Untuk melakukan penelitian ini, peneliti merencanakan jadwal
penelitian. Hal ini dilakukan agar penelitian dapat berlagsung secara
sistematis, efisien, dan efektif. Penelitian ini direncanakan selama lima bulan
yaitu dari bulan Januari sampai dengan bulan Mei yang dimulai dengan
pengajuan judul sampai dengan penyelesaian penulisan laporan penelitian
pada bulan Juni 2011. Langkah-langkahnya adalah sebagai berikut: (1)
Persiapan penelitian. Kegiatan ini meliputi pengajuan judul, penyusunan
proposal, persetujuan proposal, permohonan perijinan penelitian, membuat
instrumen; (2) Pelaksanaan penelitian di lapangan. Kegiatan ini meliputi
memperbanyak instrumen, mengadakan try-out atau uji coba, memperbaiki
instrumen, menetapkan subyek penelitian dan pengisian instrumen lalu
menganalisis data, membuktikan hipotesis serta mengambil kesimpulan; (3)
Penyelesaian penulisan laporan penelitian.
Untuk memperjelas pembagian waktu dalam penelitian, maka peneliti
membuat jadwal penelitian sebagai berikut:
40
41
Tabel Jadwal Penelitian
No Nama Kegiatan2011
Jan Feb Mar Apr Mei
1. Persiapan Penelitian
a. Pengajuan judul
b. Penyusunan proposal dan
perijinan
c. Membuat instrument
2. Pelaksanaan Penelitian
a. Memperbanyak instrument
b. Mengadakan uji coba dan
memperbaiki instrument
c. Menetapkan subyek penelitian
dan pengisian instrument
d. Menganalisis data, membuktikan
hipotesis serta menarik
kesimpulan
3. Penyelesaian penyusunan hasil
penelitian Bab I sampai Bab V
B. Populasi, Sampel, dan Pengambilan Sampel
1. Populasi
Menurut Sugiyono (2008: 80) populasi merupakan wilayah
generalisasi yang terdiri atas: obyek/subyek yang mempunyai kualitas dan
karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajarai dan
kemudian ditarik kesimpulannya.
Populasi adalah keseluruhan subyek penelitian” (Suharsimi Arikunto,
2003: 102). Populasi pada penelitian ini diambil dari seluruh siswa kelas V
SD UPT Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Unit Kecamatan Petanahan,
jumlah populasi ini sebesar 930 dari 33 SD.
2. Sampel
42
“Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti” (Suharsimi
Arikunto, 2002: 104). Sampel dalam penelitian ini adalah 5 sekolah. Hal ini
didasarkan pada pendapat Arikunto yang menyatakan bahwa “ jika jumlah
subjeknya besar dapat diambil antara 10% - 15%, ” (Suharsimi Arikunto,
2002:107). Peneliti mengambil sampel penelitian sebesar 15% dari populasi,
15% dari 33 SD adalah 4,95 dibulatkan menjadi 5 SD.
3. Pengambilan Sampel
Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini
adalah random sampling dengan cara undian. Random sampling yaitu
pengambilan sampel secara random tidak pandang bulu, semua individu
dalam populasi baik secara sendiri maupun bersama-sama diberi
kesempatan yang sama untuk dipilih menjadi anggota sampel. Sampel
yang diambil dalam penelitian ini adalah 5 SD. 2 SD menggunakan model
pembelajaran konvensional, dan 3 SD menggunakan model pembelajaran
Quantum.
Tahap pertama ialah menentukan SD yang dijadikan sampel melalui
sistem acak, yang kemudian dilanjutkan dengan menentukan sampel yang
berjumlah 5 SD yang terpilih melalui sistem acak pula yang terdiri atas SD
yang pembelajarannya menggunakan model konvensional dan SD yang
menggunakan model pembelajaran Quantum.
C. Rancangan Penelitian
Peneliti mengambil anava dua jalur untuk menguji hipotesis perbandingan
lebih dari dua sampel dan setiap sampel terdiri atas dua jenis atau lebih secara
bersama-sama, dengan rancangan penelitian sebagai berikut:
Mdl Pembelajaran
Tingkat intelegensi
Model pembelajaran Konvensional
Model pembelajaran
Quantum
Jumlah
Rendah
Tinggi
Jumlah
D. Tehnik Pengumpulan Data
43
Pengumpulan data dilakukan untuk memperoleh informasi yang
dibutuhkan dalam rangka mencapai tujuan penelitian. Teknik pengumpulan data
yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik tes dan teknik dokumentasi.
Instrumennya berupa lembar soal tes, yaitu tes untuk mengukur prestasi siswa,
dan tes intelegensi untuk mengukur tingkat intelegensi.
1. Tes
Kerlingger (2006: 788) menyatakan bahwa tes (uji) adalah prosedur
sistematis ketika individu yang diuji dihadapkan pada sehimpunan rangsang
(stimulus) buatan untuk ditanggapinya, dan tanggapan tanggapan itu
memungkinkan penguji memberikan angka atau sehimpunan angka bagi
pihak yang diuji, dan angka atau angka-angk itu dapat menjadi sumber
inferensi tentang pemilikan pihak yang diuji terhadap sifat apapun yang
diukur dengan tes itu.
Padmono (2002: 7) mengemukakan tes adalah suatu cara untuk
mengadakan pengukuran berupa tugas atau serangkaian kegiatan yang harus
dilakukan subjek sehingga menghasilkan informasi tentang performan atau
penampilan perilaku tertentu yang dapat dibandingkan dengan skor standar
atau dengan kelompoknya.
Menurut Harun Rasyid dan Mansur (2008: 11) tes merupakan
sejumlah pertanyaan yang membutuhkan jawaban, atau sejumlah pernyataan
yang harus diberikan tanggapan dengan tujuan mengukur tingkat kemampuan
seseorang atau mengungkap aspek tertentu dari orang yang dikenai tes.
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa tes merupakan
suatu cara yang dilakukan seseorang untuk mencari informasi dengan
memberikan beberapa pertanyaan/pernyataan sehingga tes akan menjawab
kemampuan individu dibanding dengan individu lain.
Tes disisni digunakan untuk mengukur prestasi siswa. Tes ini
diberikan setelah peneliti melakukan pembelajaran pada sample. Selanjutnya
hasil belajar ini akan dianalisis. Uji analisis yang digunakan dalam
penyusunan instrumen tes adalah sebagai berikut:
44
a. Validitas
Validitas didefinisikan sebagai ukuran seberapa cermat suatu tes
melakukan fungsi ukurnya (2008: 133). Sugiyono (2010: 173) menyatakan
bahwa valid berarti instrumen tersebut dapat digunakan untuk mengukur
apa yang seharusnya diukur. Lebih lanjut, Nana Syaodih Sukmadinata
(2010: 228) berpendapat bahwa validitas instrumen menunjukkan bahwa
hasil suatu pengukuran menggambarkan segi atau aspek yang diukur.
Untuk mengetahui valid atau tidaknya dari masing-masing butir
soal tes matematika dapat digunakan rumus korelasi momen produk
(product moment) atau metode pearson (dalam Suharsimi Arikunto, 2002:
72) dengan rumus :
xyr
=
2222 YYNXXN
YXXYN
Kriteria keputusan : jika hitungr tabelr maka status instrumen adalah valid
b. Reliabilitas
Harun Rasyid dan Mansur (2008: 146) menyatakan bahwa sifat
reliabel (keterandalan) dari sebuah alat ukur berkenaan dengan
kemampuan alat ukur tersebut memberikan hasil yang konsisten dan stabil.
Suharsimi Arikunto (dalam Padmono, 2002: 197) juga berpendapat bahwa
reliabilitas berkenaan dengan kepercayaan. Suatu tes dikatakan memiliki
tingkat kepercayaan tinggi (eliabilitas tinggi) jika tes tersebut dapat
memberikan hasil yang tetap (andal). Instrumen yang reliabel adalah
instrumen yang bila digunakan beberapa kali untuk mengukur obyek yang
sama akan menghasilkan data yang sama (Sugiyono, 2010: 173).
Untuk mengetahui reliabilitas tes prestasi belajar IPA (jika jumlah
butir soal ganjil) digunakan rumus K-R 20 (dalam Suharsimi Arikunto,
45
1993: 154) yaitu:
11r =
1k
k
t
t
v
pqv
Keterangan:
k = banyaknya butir
tv = varians total
p = proporsi subjek yang menjawab soal dengan benar
q = proporsi subjek yang mendapat skor 0 (q=1-p)
Jika jumlah butir pertanyaan genap digunakan rumus Flanagan
(Suharsimi Arikunto, 1993: 150)
11r = 2
tV
VV 211
Keterangan:
11r = reliabilitas instrumen
1V = varians belahan pertama (varians skor butir-butir ganjil)
2V = varians belahan kedua (varians skor butir-butir genap)
tV = varians skor total
Kriteria keputusan: jika hitungr tabelr maka status instrumen adalah
reliabel
c. Tingkat Kesukaran
Taraf kesukaran menunjukkan kemampuan butir soal untuk
menyaring banyaknya peserta tes yang dapat mengerjakan dengan benar.
Semakin banyak subjek yang menjawab soal dengan benar, maka taraf
kesukaran soal tersebut tinggi. Jika taraf kesukarannya tinggi maka soal
tersebut tergolong mudah.
Seperti dituliskan Padmono (2002: 214) taraf kesukaran (P) dapat
DK=w L+wH
nL+nH
X 100 %
46
dicari dengan rumus sebagai berikut:
Keterangan:
DK = derajat kesukaran
WL = jumlah subjek kelompok bawah (27%) yang menjawab salah
pada butir soal tersebut
WH = jumlah subjek kelompok atas (27%) yang menjawab salah pada
soal tersebut
nL = jumlah subjek pada kelompok bawah
nH = jumlah pada kelompok atas
Kriteria pengujian:
Soal dikatakan mudah jika derajat kesukarannya < 25%.
Soal dikatakan sedang jika derajat kesukarannya berkisar antara 25%-75%.
Soal dikatakan sulit jika derajat kesukarannya > 75%.
2. Dokumentasi
Menurut Arikunto (1998:236) metode dokumentasi yaitu mencari data
mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkrip, buku, surat
kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, lengger, agenda, dan sebagainya.
Dalam penelitian ini metode dokumentasi digunakan untuk
mendapatkan data tentang daftar nama, jumlah siswa yang menjadi populasi
serta untuk penentuan sampel, mendapatkan data prestasi belajar IPA pada
semester I tahun 2010/2011.
3. Instrumen Tes
a. Instrumen prestasi belajar IPA
Penyusunan instrumen soal tes didasarkan materi IPA semester II
sesuai dengan materi yang ada dalam kurikulum KTSP. Dalam pembuatan
47
instrument di dasarkan pada silabus yang berlaku di UPT Kecamatan
Petanahan yang didasarkan pada standar kompetensi, kompetensi dasar
dan indikator yang dibuat.
Langkah – langkah penyusunan instrumen tes adalah sebagai berikut :
1) Menyusun definisi konseptual
a) Ilmu Pengetahuan Alam ( IPA)
Sund dan Trowbribge merumuskan bahwa Sains merupakan
kumpulan pengetahuan dan proses. Sedangkan Kuslan Stone
menyebutkan bahwa Sains adalah kumpulan pengetahuan dan
cara-cara untuk mendapatkan dan mempergunakan pengetahuan
itu.
Webster menyatakan Ilmu Pengetahuan Alam adalah
pengetahuan tentang alam dan gejala-gejalanya. Menurut
Purnells, Ilmu Pengetahuan Alam adalah pegetahuan manusia
yang luas yang didapatkan dengan cara observasi dan eksperimen
yang sistematik, serta dijelaskan dengan bantuan aturan-aturan,
hukum-hukum, prinsip-prinsip, teori-teori dan hipotesis-hipotesis.
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa Ilmu
Pengetahuan Alam adalah kumpulan pengetahuan manuasia yang
luas dan untuk memperoleh pengetahuan itu memerlukan
beberapa cara seperti observasi, eksperimen dan lain-lain.
b) Prestasi Belajar
Prestasi adalah hasil yang telah dicapai seseorang dalam
melakukan kegiatan. Gagne (1985:40) menyatakan bahwa
prestasi belajar dibedakan menjadi lima aspek, yaitu :
kemampuan intelektual, strategi kognitif, informasi verbal, sikap
dan keterampilan. Menurut Bloom dalam Suharsimi Arikunto
(1990:110) bahwa hasil belajar dibedakan menjadi tiga aspek
yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik.
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan prestasi
belajar adalah hasil yang telah dicapai oleh seseorang yang
48
meliputi kognitif,afektif, dan psikomotor, setelah siswa
melakukan suatu pembelajaran.
2) Menyusun definisi operasional
Prestasi belajar IPA diukur menggunakan teknik tes dengan
memberikan soal pilihan ganda.
3) Membuat tabel spesifikasi dalam rangka penyusunan tes prestasi
belajar IPA
a) Kalibrasi instrumen kemampuan menyelesaikan soal IPA. Proses
pengembangan instrumen keterampilan membaca dimulai dengan
menyusun butir instrumen sebanyak 20 butir pertanyaan dengan
empat pilihan jawaban (option).
b) Melaksanakan uji coba instrumen hasil belajar IPA.
Uji coba instrumen dilakukan dengan mengambil sampel uji coba
sebanyak 5 SD di Kecamatan Petanahan.
b. Instrumen Tingkat Intelegensi Siswa
Tes intelegensi adalah tes kemampuan intelektual, mengukur taraf
kemampuan berfikir, terutama berkaitan dengan potensi untuk mencapi
taraf prestasi tertentu dalam belajar di sekolah (Mental ability Test;
Intelegence Test; Academic Ability Test; Scholastic Aptitude Test). Jenis
data yang dapat diambil dari tes ini adalah kemampuan intelektual atau
kemampuan akademik. Untuk instrument tingkat intelegensi memiliki
sebuah definisi konsep dan juga definisi operasional yang nantinya
dijadikan sebagai indikator yang dijadikan dasar sebagai penyusunan
instrument.
Langkah-langkah penyusunan tes adalah sebagai berikut :
1. Menyusun definisi konseptual
Tingkat intelegesi adalah tingkatan kemampuan individu untuk
bertindak secara terarah, berpikir secara rasional, dan menghadapi
lingkungannya secara efektif. Tingkat intelegensi merupakan
kemampuan untuk menyesuaikan diri secara mental terhadap situasi
49
dan kondisi baru. intelegensi adalah kesanggupan untuk menyesuaikan
diri kepada kebutuhan baru, dengan menggunakan alat-alat berfikir
yang sesuai dengan tujuannya. Dari pengertian-pengertian tersebut
dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud tingkat intelegensi adalah
tingkatan seseorang untuk menyesuaikan diri terhadap kondisi atau
lingkungan baru dengan bertindak secara terarah dan berpikir secara
rasional.
2. Menyusun definisi operasional
Tingkat intelegensi siswa dapat diukur dengan tes yaitu tes
intelegensi dengan menggunakan berbagai macam model, misalnya
menggunakan gambar-gambar, symbol-symbol, angka-angka dan
sebagainya.
3. Membuat tabel spesifikasi dalam rangka penyusuan tes tingkat intelegensi
siswa
E. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data merupakan suatu cara yang digunakan untuk
mengolah data hasil penelitian. Sebelum pengujian hipotesis maka ada
persyaratan yang harus dipenuhi yaitu uji normalitas, dan uji homogenitas.
1. Uji Prasyarat
a. Uji Normalitas
Uji normalitas digunakan untuk mengetahui normal atau tidak data
yang dianalisis. Normalitas sampel akan diuji menggunakan uji statistik
Chi-Kuadrat ( χ2) dengan rumus
χ2=∑i=1
k
(Oi−EiEi )
2
Keterangan:
χ2= harga Chi-Kuadrat
Oi = frekuensi observasi pada kelas interval ke-iEi = frekuensi harapan pada kelas interval ke-i(Sudjana, 2002: 273)
50
b. Uji Homogenitas
Uji homogenitas digunakan untuk mengetahui apakah korelasi antara
variabel bebas dan variabel terikat bersifat homogen atau tidak. Uji
homogenitas yang digunakan adalah menggunakan uji varians terbesar
dibanding varians terkecil menggunakan tabel F yaitu:
Fhitung=var iansterbesarvar iansterkecil
Kriteria Pengujian:
Jika Fhitung ≥ F tabel , tidak homogen
Jika Fhitung ≤ F tabel , homogen
2. Uji Analisis Data
Dalam penelitian ini menggunakan uji analisis anava dua jalur dengan
perhitungan sebagai berikut:
AI A2 Total
X1 X12 X2 X22
B1
∑B1
B2
∑B2
Total
Keterangan :
1. A1 = Model pembelajaran konvensional
2. A2 = model pembelajaran quantum
3. B1 = Tingkat intelegensi rendah
4. B2 = Tingkat intelegensi tinggi
51
5. 1. Menghitung Jumlah Kuadrat Total (JKT ) dengan rumus
JKT=∑ XT
2−(∑ XT )2
N
2. Menghitung Jumlah Kuadrat Antar Grup A (JK A ) dengan rumus:
JK A=(∑ (∑ X A )2
nA)− (∑ XT )2
N
3. Menghitung Jumlah Kuadrat Antar Group B (JK B) dengan rumus:
JKB=(∑ (∑ XB )2
nB)− (∑ XT )2
N
4. Menghitung Jumlah Kuadrat Antar Group A dan B (JK AB ) dengan
rumus:
JK AB=(∑ (∑ X AB A)n AB
)−( (∑ XT )2
N )5. Menghitung Jumlah Kuadrat Dalam (Residu) antar Group (JK p )
dengan
rumus:
JKP=JKT−JK A−JK B−JK AB
6. Mencari derajat kebebasan (dbA , dbB ,db AB, dbD, dbT ) dengan rumus:
db A (baris) = b-1
dbB (kolom) = k-1
db AB (interaksi) = (dbA ) . (dbB )
dbD (residu) = N-(b.k)
dbT (total) = N-1
7. Menghitung Kuadrat Rerata antar Group (KRA , KRB , KRAB , KRD ) dengan rumus:
52
KRA=JK A
db A
KRB=JK B
dbB
KRAB=JK AB
db AB
KRD=JK D
dbD
8. Mencari F hitung (F A ; FB; F AB ) masing-masing gruop dengan rumus:
F A=KRA
KRD
FB=KRB
KRD
F AB=KR AB
KRD
9. Mencari F
tabel( F A , FB ,F AB ) masing-masing dengan rumus:
FA ( tabel )=F
A ( α ) ( dbA .dbD )
FB ( tabel )=FB ( α ) ( dbB . dbD )
F AB ( tabel )=F AB ( α ) ( dbAB . dbD )
10. Buatlah Tabel Ringkasan Anava Dua Jalur
Sumber
Variasi
Jumlah
kuadrat
Derajat
kebebasan
Rerata
kuadrat
Hitung Tabel Keputus
an
53
11. Kriteria Pengujian, jika Fhitung≥F tabel maka tolak Ho, berarti
signifikan.
F. Hipotesis Statistik
1. a.
b.
2. a.
b.
3. a.
b.
H0=μ1=μ2
Ho=μ1≠μ2
Ho=μ1≠μ2
H1=μ1>μ2
Ho=μ1=μ2
H1=μ1>μ2
Ho=μ1=μ2
H1=μ1≠μ2
Ho=μ1=μ2=μ3=μ4
H1>μ1>μ2>μ3>μ4