Skripsi Nurul Suryani (54453)
-
Upload
dina-septiani -
Category
Documents
-
view
287 -
download
0
Transcript of Skripsi Nurul Suryani (54453)
BAB IPENDAHULUAN
A. Latar belakang
Setiap siswa memiliki tingkat intelegensi yang berbeda-beda, ada yang
memiliki intelegensi rendah (di bawah rata-rata), normal, bahkan tinggi (di
atas rata-rata).
Siswa yang menunjukkan prestasi belajar yang rendah biasanya
diasumsikan sebagai siswa yang memiliki tingkat intelegensi yang rendah
pula. Intelegensi memiliki hubungan yang erat dengan prestasi belajar siswa
sehingga digunakan sebagai alat untuk meramalkan kemampuan yang dimiliki
siswa. Oleh karena itu, tingkat intelegensi dianggap sebagai penyebab utama
rendahnya prestasi belajar seorang siswa. Ketika seorang siswa memiliki
potensi intelegensi yang tinggi maka ia tidak akan mengalami kesulitan dalam
mencapai prestasi di sekolah, namun pada kenyataannya sangat sedikit siswa
yang menunjukkan prestasi belajar yang sama persis dengan kapasitas yang
dimilikinya.
Barret dan Depinet (dalam Sunawan, 2003: 16) menjelaskan bahwa “anak
yang lebih tinggi skor inteligensinya mendapatkan nilai akademis yang lebih
tinggi, lebih menikmati sekolah, lebih mampu mengikuti pelajaran, dan dalam
kehidupan selanjutnya cenderung mendapatkan keberhasilan”.
Oleh karena itu siswa ber-IQ tinggi seharusnya mempunyai prestasi yang
tinggi sesuai dengan potensinya.
Permasalahan pendidikan ini masih sering muncul, banyaknya anak
berbakat yang berprestasi kurang tidak diketahui dengan pasti, tetapi angka-
1
2
angka yang diperoleh dari survey dan penelitian cukup mengejutkan. Di
Amerika Serikat diperkirakan jumlah mereka berkisar antara 15 sampai 50
persen (Marland, 1972), di Inggris sekitar 25 persen ( Pringle, dikutip
Whitmore, 1980). Studi Yaumil Achir (1990) di dua SMA di Jakarta
menunjukkan bahwa 39 persen dan siswa berbakat yang diidentifikasi
berdasarkan tes intelegensi dan tes kreativitas termasuk underachievement.
Dalam makalah ini akan dibahas konsep dan karakteristik anak berbakat
berprestasi kurang, serta bagaimana mengenali mereka. Sehubungan dengan
sebab-sebab mengapa anak berbakat menjadi underachiever akan ditinjau latar
belakang pribadi underachiever , serta latar belakang lingkungan rumah dan
sekolah mereka.
B. Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui fenomena yang terjadi pada siswa underachiever.
2. Mengetahui dan memahami konsep dan karakteristik underachiever.
3. Mengetahui dan memahami identifikasi ciri-ciri dari underachiever.
4. Mengetahui dan memahami faktor-faktor yang menyebabkan
underachiever.
5. Mengetahui dan memahami latar belakang dari underachievement dari
berbagai lingkungan.
6. Mengetahui dan memahami cara guru BK mengatasi
underachievement.
3
C. Ruang Lingkup
Adapun ruang lingkup penulisan makalah ini yaitu fenomena yang terjadi
pada siswa underachiever, konsep dan karakteristik underachiever, identifikasi
ciri-ciri dari underachiever, faktor-faktor yang menyebabkan underachiever,
latar belakang dari underachievement dari berbagai lingkungan, cara guru BK
mengatasi underachievement.
4
BAB IIHAKEKAT SISWA UNDERACHIEVER
A. Fenomena yang terjadi pada Underachiever
1. Nilai-nilai Ari di sekolah menunjukkan prestasi di bawah rata-rata,
meskipun taraf intelegensinya cukup tinggi. Tampaknya ia sama sekali
tidak bermotivasi untuk berprestasi. Namun, ia mempunyai banyak minat
dan hobi, dan dalam diskusi kelas sering memaparkan gagasan yang
orisinal.dalam kegiatan di luar kelas dengan teman sebaya ia tampil
sebagai pemimpin. Sebetulnya, ia memiliki dasar pengetahuan yang cukup
luas, tetapi ia kurang tekun dan rajin dalam membuat tugas-tugas di dalam
kelas dan pekerjaan rumah. Ia ingin memasuk perguruan tinggi, tetapi
melihat keadaannya sekarang, walaupun memiliki potensi intelektual dan
kreatif yang tinggi, sulit diharapkan bahwa ia dapat diterima.
2. Adi adalah siswa salah satu sekolah unggulan di Jakarta yang
mengikuti tes Minat dan Bakat di LPTUI. Selama ini prestasi Adi di
sekolah hanya mendapat nilai maksimal 70, itupun pada satu pelajaran
saja, yaitu komputer. Namun demikian, hasil tes minat dan bakat
menunjukkan bahwa Adi memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Orangtua
Adi sangat heran, lantas menghubungi LPTUI untuk meminta waktu
konseling dengan psikolog.
Saat menemui psikolog, ayah Adi menjelaskan dengan berapi-api
bahwa Adi yang saat ini baru naik kelas tiga SMP tak pernah terlihat
belajar di rumah. Sehari-hari ia hanya membaca komik dan menonton
4
5
televisi, sehingga ayah Adi menjadi sangat cerewet pada anak bungsunya
itu.
Kedua kakaknya yang berusia terpaut cukup jauh dengan Adi, satu
sudah lulus sarjana dan yang satu lagi duduk di bangku kuliah di Fakultas
Kedokteran sebuah universitas di Bandung. Ayah Adi ingin agar Adi juga
memiliki prestasi seperti kakak-kakaknya.
Sementara itu, ibu Adi merasa tak bisa terus menerus mendampingi
Adi belajar. Adi sendiri merasa kalau di rumah ia memang sudah tak ingin
belajar, karena merasa sudah seharian belajar di sekolah, mulai pukul 7.15
hingga 15.00 petang. Belum lagi dilanjutkan les, dan baru sampai di rumah
pukul delapan malam.
Sejak kelas tiga SMP, Adi sudah sangat jarang mengerjakan hobinya
bermain bola, karena ia sudah diarahkan untuk memusatkan perhatian pada
Ujian Nasional (UN) di akhir tahun. Orangtua Adi sangat cemas melihat
perilaku belajar anak bungsunya itu. Mereka berharap Adi rajin dan tekun
belajar, dan lulus UN.
Apa yang terjadi pada Adi dan Ari? Kecerdasan umumnya di atas rata-
rata, tapi mengapa prestasi sekolahnya tidak sesuai? Kasus seperti Adi dikenal
dengan sebutan underachiever. Yaitu orang-orang yang memiliki potensi
tinggi, tapi prestasi yang mereka tampilkan berada di bawah potensi yang
dimiliki. Contoh kasus seperti ini dapat terjadi jika anak berbakat tidak
didukung oleh lingkungan rumah dan/ lingkungan sekolah. Lingkungan yang
paling sering menimbulkan masalah bagi anak-anak ini. Menurut Davis dan
6
Rimm (dalam Munandar, 1999:270) ialah lingkungan yang ekstrem “terlalu
membatasi” (otoriter) atau “terlalu permisif”. Konselor perlu menemukenali
anak-anak ini sebagai kreatif dan member system dukungan yang memupuk
produktivitas prestasi mereka.
Untuk mengetahui lebih lanjut penyebab underachiever yang dialami oleh
Ari dan Adi, akan dibahas pada pembagian selanjutnya.
B. Konsep dan Karakteristik Underachiever
1. Konsep
Menurut C. Burlingh Wellington dan Jean Wellington (dalam suradi, 1994:
29) siswa berprestasi kurang (underachiever) adalah “keadaan seseorang atau
siswa yang memiliki tingkat potensi intelektual yang tergolong di atas normal,
tetapi prestasi belajarnya tergolong rendah” . sedangkan menurut Davis dan Rimm
(dalam Munandar, 1999:139) menyatakan bahwa “Siswa berprestasi kurang
(underachiever) ialah jika ada ketidak sesuaian antara prestasi sekolah anak dan
indeks kemampuannya sebagaimana nyata dari tes intelegensi, prestasi atau
kreativitas, atau dari data observasi, di mana tingkat prestasi sekolah nyata lebih
rendah daripada tingkat kemampuannnya”. Selaras dengan hal itu menurut
LeoNora M. Cohen dan Erica Frydenberg (dalam Sihadi, 2000:69) menyatakan
bahwa Underachievement adalah prestasi yang ditampilkan secara signifikan di
bawah potensi prestasi akademiknya.
Munculnya siswa berprestasi kurang (underachiever) ternyata tidak lepas dari
beberapa faktor penyebab seperti yang diungkapkan oleh Hawadi (2004: 70)
7
bahwa “munculnya berprestasi kurang (underachiever) biasanya disebabkan oleh
beberapa faktor yaitu sekolah, rumah, budaya dan pribadi”.
Sementara Menurut Prayitno dan Amti (1990:280) ialah “underachiever
identik dengan keterlambatan akademik yang berarti bahwa ‘keadaan siswa yang
diperkirakan memiliki inteligensi yang cukup tinggi, tetapi tidak dapat
memanfaatkannya secara optimal’ ”.
Definisi Renzulli ( dalam Munandar, 1999: 6) tentang keberbakatan yang
diadposi di Indonesia, menyatakan bahwa keberbakatan mempersyaratkan
ketekaitan antara tiga tanda ciri-ciri, yaitu kemampuan umum atau kecerdasan,
kreativitas, dan pengikatan diri terhadap tugas atau motivasi intrinsik.
Sementara (Davis and Rimm, 1989: 225) mengungkapkan bahwa
“Underachievement, yakni (1) berprestasi kurang (underachievement) dilihat
sebagai suatu perilaku yang dapat berubah sepanjang waktu dan (2) berprestasi
kurang ( underachievement) adalah sesuatu yang berkenaan dengan isi dan situasi
yang spesifik”.
Siswa Underachiever digambarkan oleh Hurlock dan Rimm(dalam Sulistiana,
2009) “sebagai siswa yang prestasi akademikya berada di bawah kemampuan
akademik”. Didasari oleh kesulitan untuk menemukan istilah teknis yang baku
dalam bahasa Indonesia maka Moh. Surya (dalam Sulistiana, 2009 : 26)
mengidentifikasikan istilah underachiever dengan istilah siswa berprestasi kurang.
Untuk memperoleh pengertian yang lebih jelas tentang siswa berprestasi kurang
tersebut Moh. Surya (1983: 73) mengemukakan bahwa “siswa yang tergolong
berprestasi kurang adalah yang memiliki potensi tergolong tinggi tetapi prestasi
8
belajarnya tergolong rendah atau di bawah dari seharusnya dapat dicapai”. Jadi
prestasinya masih kurang dari yang diharapkan dapat tercapai sesuai dengan
potensinya.
Berdasarkan pendapat para ahli tersebut, dapat kita simpulkan bahwa siswa
underachiever adalah siswa yang memiliki tingkat intelegensi yang tinggi, namun
tingkat prestasi akademiknya tidak sesuai dengan kapasitas kemampuan yang
dimilikinya. Siswa underachiever memiliki kesenjangan antara skor tes intelegensi
dengan skor hasil nilai belajar siswa di sekolah yang diukur dengan tingkatan
kelas dan hasil evaluasi yang dilakukan oleh guru.
2. Karakteristik Underachiever
Siswa underachiever dikatakan tidak berprestasi sesuai dengan
kemampuannya karena sebenarnya mereka bisa mencapai prestasi yang baik jika
sedang dalam meadaan penuh semangat berprestasi. (Hurlock, 1978; Rimm,
1986) menambahkan Namun ketika motivasinya hilang, prestasi belajar yang
diraihnya kembali buruk.
Menurut Clark (dalam Tol’ah 2009:17) mengatakan ada beberapa
karakteristik yang ditunjukan siswa berprestasi kurang (underachiever) , yaitu
sebagai berikut:
1. Menunjukan prestasi yang berlawanan dengan harapan atau potensi yang dimilikinya.
2. Merasa tidak senang dengan sekolah atau gurunya dan cenderung bergabung dengan teman yang juga memiliki sikap negatif terhadap sekolah.
3. Kurang termotivasi untuk belajar, tidak mengerjakan tugas, sering mengantuk ketika belajar dan tidak tuntas dalam mengerjakan tugas.
4. Kurang mampu melakukan penyesuaian intelektual.
9
5. Merasa kurang bersemangat, kurang tegas dan sering ribut di kelas.
6. Memiliki disiplin yang rendah, sering telat sekolah, enggan mengerjakan tugas, sering ribut, dan mudah terpengaruh.7. Tidak memiliki hobi atau minat terhadap kegiatan untuk mengisi waktu luang
Kaufman (Trevallion, 2008 ) mengemukakan Siswa underachiever
sering mengatakan bahwa pelajaran di sekolah tidak relevan atau tidak
penting karena itu mereka biasanya lebih tertarik kegiatan selain kegiatan
sekolah. Rimm (1986:2) menyatakan :
“buruknya keahlian dalam mengerjakan tugas-tugas sekolah, kebiasaan belajar yang buruk, memiliki masalah penerimaan oleh teman sebaya, konsentrasi yang buruk dalam aktivitas sekolah, tidak bisa mengatur diri baik dirumah maupun di sekolah, mudah bosan, ‘meninggalkan’ kegiatan kelas, memiliki kemampuan berbahasa yang baik tetapi buruk dalam menulis, mudah terdistraksi dan tidak sabaran, sibuk dengan pikirannya sendiri, kurang jujur, sering mengkritik diri sendiri, mempunyai hubungan pertemanan yang kurang baik, suka bercanda dikelas (membuat keributan), dan berperilaku yang tidak biasa”.
Beberapa penelitian yang membandingkan siswa achiever dan
underachiever ditemukan oleh Durr dan Coller (dalam Sulistiana, 2009:25)
bahwa siswa underachiever cenderung menarik diri dari pergaulan, tidak
mandiri, merasa tidak mempunyai kebiasaan bertindak, tidak ada rasa
memiliki, dan merasa tidak berarti, Sedangkan siswa achiever
menunjukkan kepercayaan diri, merasa bebas membuat pilihan sendiri,
bisa mengahadapi kesulitan dan mengatasinya dengan baik. Rimm dan
10
Whitmore (dalam Munandar,2002; 338) mengungkapkan karekteristik
siswa Underachiever adalah sebagai berikut:
a. Karakteristik Primer: Rasa Harga Diri Rendah
( Preckle & Vock, 2006; Trevallion, 2008 dalam psi-
pendidikan.usu.ac.id) menjelaskan bahwa “Karakteristik utama yang
duhubungkan dengan siswa underachiever adalah rendahnya self-
esteem”. Rosenberg sebagaimana dikutip oleh R.B Burns (1993:69)
mendefinisikan self esteem (harga diri) sebagai suatu sikap positif atau
negative terhadap suatu objek, yaitu diri.
Salah satu faktor terpenting yang menentukan siswa berhasil di
sekolah adalah self-esteem (harga diri). Sebagaimana yang
dikemukakan Harri Clemes dan Reynold Bean (alih bahasa Anton
2001:8) bahwa anak-anak yang sangat cerdas namun self-esteem
(harga diri) rendah, bisa mendapatkan hasil belajar yang buruk di
sekolah. Sementara anak dengan kecerdasan rata-rata dengan self-
esteem (harga diri) rendah cenderung mendapat sedikit kepuasan di
sekolah, mereka cenderung kehilangan motivasi dan minat, dan
cenderung terlalu bnayak menghabiskan energy pada hal-hal yang
mempengaruhi perasaannya mengenai diri sendiri, hubungan dengan
orang lain, problem, rasa takut, kecemasan dan hanya sedikit minat
untuk tugas sekolah.
(Rimm,1985;Whitmore, 1980) Karakter yang paling sering di
temukan secara konsisten pada anak berbakat prestasi kurang ialah rasa
11
harga diri yang rendah. Mereka tidak percaya bahwa mereka mampu
melakukan apa yang diharapkan orang tua dan guru mereka; mereka
dapat menutupi rendahya rasa harga diri mereka dengan perilaku
berani dan menentang, atau dengan mekanisme pertahanan diri untuk
melindungi diri. Misalnya menyalahkan sekolah atau guru yang
mengajar, atau dengan menyatakan “tidak peduli” atau “tidak berusaha
dengan sungguh-sungguh” jika prestasi mereka kurang memuaskan.
Bertalian dengan rasa harga diri yang rendah adalah rasa kurang dapat
mengendalikan pribadi mereka sendiri. Jika gagal pada suatu tugas,
mereka menjelaskannya karena kemapuan mereka yang kurang, jika
mereka berhasil, mereka menjelaskannya Karena beruntung. Melihat
keberhasilan karena usaha, ia akan meningkatkan usaha berikutnya,
sedangkan melihat keberhasilan karena tugasnya mudah atau karena
beruntung, tidak meningkatkan usaha selanjutnya.
b. Karakteristik Sekunder: Perilaku Menghindari
Karakteristik sekunder yang biasanya mereka perlihatkan perilaku
menghindar. Mereka sering mengatakan bahwa pelajaran di sekolah
tidak relevan atau tidak penting karena itu mereka biasanya lebih
tertarik kegiatan selain kegiatan sekolah. Kaufman (dalam Trevallion,
2008) menyatakan bahwa karakteristik ini tampil dalam dua arah yaitu
agresif atau menghindar. Mereka juga akan memperlihatkan
ketergantungan seperti tergantung pada orang lain untuk
menyelesaikan tugasnya.
12
Rasa harga diri yang rendah mengakibatkan perilaku yang
menghindari non-produktif, baik di sekolah maupun di rumah.
Misalnya anak berbakat berprestasi kurang menghindari upaya
berprestasi dengan menyatakan bahwa tidak ada gunanya untuk
belajar. Selanjutnya, mereka dapat mengatakan bahwa jika mereka
betul memang berminat untuk belajar, mereka dapat berprestasi baik.
Dengan perilaku menghindari semacam ini mereka melindungi diri
sendiri dari pengakuan bahwa mereka tidak mempunyai kepercayaan
diri atau mereka tidak mampu. Menentang otoritas merupakan cara
lain untuk melindungi diri. Menyalahkan sekolah membantu anak
berbakat berprestasi kurang menghindari tanggung jawab untuk
berprestasi. Memperkirakan akan mencapai nilai rendah juga
merupakan mekanisme pertahanan yang digunakan anak berbakat
berprestasi kurang. Dengan menduga akan mendapat nilai rendah
mereka mengurangi resiko kegagalan.
Perfectionism meskipun tampaknya bertentangan, tetapi dapat juga
digunakan sebagai mekanisme pertahanan. Anak memberi alasan
untuk prestasinya yang kurang adalah karena ia menentukan sasaran
belajar mereka lebih tinggi daripada siswa lain, dengan sendirinya
mereka tidak selalu dapat mencapainya. Sebaliknya, anak yang
berprestasi menentukan sasaran yang realistis dan dapat dicapai, dan
kegagalan digunakan secara konstruktif untuk menunjukkan
kelemahan yang perlu mendapat perhatian.
13
c. Karakteristik Tersier
Karena anak berprestasi kurang meghindari usaha dan prestasi
untuk melindungi rasa harga diri mereka yang rentan, maka timbul
karakteristik tersier seperti kebiasaan belajar buruk, masalah
penerimaan oleh teman sebaya, daya konsentrasi kurang, dan masalah
disiplin di rumah dan di sekolah.
Karakteristik tersier siswa underachiever antara lain buruknya
keahlian dalam tugas-tugas sekolah, kebiasaan belajar yang buruk,
memiliki masalah penerimaan oleh teman sebaya, konsentrasi yang
buruk dalam aktivitas sekolah, tidak bisa mengatur diri baik dirumah
maupun di sekolah, mudah bosan, “meninggalkan” kegiatan kelas,
memiliki kemampuan berbahasa oral yang baik, tapi buruk dalam
menulis, mudah terdistraksi dan tidak sabaran, sibuk dengan
pikirannya sendiri, kurang jujur, sering mengkritik diri sendiri,
mempunyai hubungan pertemanan yang kurang baik, suka bercanda di
kelas (membuat kekeributan), ramah terhadap orang yang lebih tua,
dan berperilaku tidak biasa.
Untuk mengatasi prestasi rendah dari anak berbakat, pendidik
harus menangani ketiga tingkat karakteristik secara terbalik. Mula-
mula karakteristik tersier yang nyata perlu dikoreksi, demikian pula
karakteristik sekunder perilaku menghindari tugas akademik. Namun,
tujuan yang paling penting ialah membantu anak berbakat berprestasi
kurang menangani masalah intinya, yaitu rasa harga diri yang rendah.
14
C. Identifikasi Ciri-ciri Underachiever
Penelitian tentang anak berbakat berprestasi kurang menemukan ciri-ciri
yang khas dari anak-anak ini. Whitmore (dalam Munandar, 2002: 242)
meringkas ciri-ciri yang paling penting yang dapat digunakan untuk
mengidentifikasi anak underachiever,
Amatilah anak selama sekurang-kurangnya dua minggu untuk menentukan
apakah ia memiliki ciri-ciri berikut. Jika siswa menunjukkan lebih dari
sepuluh ciri-ciri dalam daftar, kemungkinan besar ia termasuk anak berbakat
berprestasi kurang , dan memerlukan evaluasi yang lebih lanjut, misalnya
dengan tes intelegensi individual, tes bakat dan minat, dan tes kepribadian.
Tabel Daftar Identifikasi Ciri-ciri Underachiever
1. Nilai rendah pada tes prestasi
2. Mencapai nilai rata-rata atau di bawah rata-rata kelas dalam keterampilan dasar:
membaca, menulis, berhitung.
3. Pekerjaan sehari-hari tidak lengkap atau buruk
4. Memahami dan mengingat konsep-konsep dengan baik jika berminat
5. Kesenjangan antara tingkat kualitatif pekerjaan lisan dan tulisan (secara lisan
lebih baik)
6. Pengetahuan factual sangat luas
7. Daya imajinasi kuat
8. Selalu tidak puas dengan pekerjaannya, juga seni
9. Kecenderungan ke perfeksionisme dan mengkritik diri sendiri menghindari
15
kegiatan baru seperti untuk menghindari kinerja yang tidak sempurna
10. Menunjukkan prakarsa dalam mengerjakan proyek di rumah yang dipilih sendiri
11. Mempunyai minat luas dan mungkin keahlian khusus dalam suatu bidang
penelitian dan riset
12. Rasa harga diri rendah nyata dalam kecenderungan untuk menarik diri atau
menjadi agresif di dalam kelas
13. Tidak berfungsi konstruktif dalam kelompok
14. Menunjukkan kepekaan dalam persepsi terhadap diri sendiri, orang lain, dan
terhadap hidup pada umumnya
15. Menetapkan tujuan yang tidak realistis untuk diri sendiri; terlalu tinggi atau
terlalu rendah
16. Tidak menyukai pelajaran praktis dan hafalan
17. Tidak mampu memusatkan perhatian dan berkonsentrasi pada tugas-tugas
18. Mempunyai sikap acuh atau negatif terhadap sekolah.
19. Menolak upaya guru untuk memotivasi atau mendisiplinkan perilaku di dalam
kelas.
20. Mengalami kesulitan dalam berhubungan dengan teman sebaya; kurang dapat
mempertahankan persahabatan
Sumber : J. Whitmore. Giftedness, conflict, and underachievement.
(Boston: Allyian & Bacon, 1980).
Sementara menurut Menurut Clark (dalam Tol’ah 1992: 471)
mengungkapakn ada beberapa karakteristik yang ditunjukkan siswa
berprestasi kurang (underachiever) , yaitu sebagai berikut:
1) Menunjukan prestasi yang berlawanan dengan harapan atau potensi yang dimilikinya,
2) Merasa tidak senang dengan sekolah atau gurunya dan cenderung bergabung dengan teman yang juga memiliki sikap negatif terhadap sekolah,
3) Kurang termotivasi untuk belajar, tidak mengerjakan tugas, sering mengantuk ketika belajar dan tidak tuntas dalam mengerjakan tugas,
4) Kurang mampu melakukan penyesuaian intelektual,
16
5) Merasa kurang bersemangat, kurang tegas dan sering ribut di kelas.
6) Memiliki disiplin yang rendah, sering telat sekolah, enggan mengerjakan tugas, sering ribut, dan mudah terpengaruh,
7) Tidak memiliki hobi atau minat terhadap kegiatan untuk mengisi waktu luang.
Muhammad Surya (1979 : 116) mengemukakan bahwa “untuk mengidentifikasi siswa underachiever terlebih dahulu ditetapkan karakteristik potensi dan prestasi”.1. Untuk potensi pada umumnya berdasarkan hasil tes
intelegensi dengan menggunakan skor2. Karakteristik prestasi dinyatakan dalam bentuk
tingkatan (grade). Untuk prestasi secara keseluruhan dinyatakan dalam bentuk nilai pukul rata-rata dalam bentuk nilai komposit dari setiap bidang studi yang dipandang mewakili prastasi.
Langkah-langkah untuk menentukan siswa underachiever adalah sebagai berikut:
1. Menggolongkan siswa-siswa yang berpotensi tinggi berdasarkan hasil tes intelegensi
2. Menganalisa prestasi belajar untuk mengetahui siswa underachiever.
D. Faktor-faktor Underachiever
Butter-Por(dalam Esofita,2011: 33) menyatakan bahwa
“underachievement bukan disebabkan karena ketidakmampuan untuk
melakukan sesuatu dengan lebih baik, tetapi karena pilihan-pilihan yang
dilakukan”.
Menurut McClelland, Yewchuk, dan Mulcahy dalam (Esofita, 2011:33)
yang menyatakan bahwa Ada dua faktor utama yang mempengaruhi performa
underachiever, yaitu (a) faktor emosi dan motivasi, dan (b) faktor yang
berhubungan dengan strategi belajar.
17
Mc Clelland dan rekannya percaya bahwa ketika faktor- faktor pada dua
set tersebut berkombinasi dan saling berinteraksi, bisa menjadi konsekuensi
yang paling kuat untuk mencegah siswa menjadi underachiever.
Natawidjaya (dalam Husein,1999:1) mengemukakan:
“terdapat dua faktor yang dapat mempengaruhi prestasi belajar siswa yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal dalam belajar adalah faktor-faktor yang ada pada individu yang mencakup intelegensi atau kecerdasan, kepribadian, bakat, motivasi, metode belajar, serta sikap dan kebiasaan belajar. Sedangkan faktor eksternal yang mempengaruhi prestasi yang didapat individu yaitu lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat”.
“underachievement bukan disebabkan karena ketidakmampuan untuk melakukan
sesuatu dengan lebih baik, tetapi karena pilihan-pilihan yang dilakukan”
sskMenurut
Faktor Emosi dan Motivasi
Beberapa hal termasuk faktor ini adalah oxfordbrooks.ac.uk (dalam Esofita,
2011:33) :
a. Tidak menyadari potensinya, sehingga mereka kurang
memahami dirinya dan orang lain. (Buteler-Por, 1987)
b. Mempunyai harapan / target yang terlalu rendah (montage
mery, 1996), sehingga membuat mereka tidak mempunyai
tujuan dan nilai yang jelas (Butter-Por, 1987)
c. Mempunyai self-esteem yang rendah, dan menjadi peka
terhadap penilaian orang lain (Butter-Por, 1987)
18
d. Pernah mengalami high incident of emotional difficulties
(Pringle, 1970), dan membuat mereka depresi / cemas (Butter-
Por, 1987)
1. Faktor dalam diri individu
Menurut Gustian (dalam Esofita,2011: 38) ada bebrapa faktor yang
menyebabkan siswa menjadi underachiever, antara lain sebagai berikut:
a.Persepsi diriTidak tercapainya prestasi sekolah yang lebih baik juga sangat ditentukan oleh karakteristik siswa. Salah satunya adalah penilaian siswa terhadap kemampuan yang dimilikinya. Penilaian siswa terhadap kemampuannya berpengaruh banyak terhadap pencapaian prestasi sekolah. Siswa yang merasa dirinya mampu akan berusaha untuk mendapatkan prestasi sekolah yang baik sesuai dengan penilalian terhadap kemampuan yang dimilikinya. Sebaliknya, siswa yang menilai dirinya sebagai orang yang tidak mampu atau anak yang bodoh akan menganggap nilai-nilai kurang yang didapatkannya sebagai hal yang sepatutnya dia dapatkan.
b. Hasrat berprestasi Faktor lain yang menentukan prestasi yang akan dicapainya adalah faktor keinginan untuk berprestasi (need for achievement) itu sendiri. Ada siswa yang memiliki dorongan dari dalam dirinya sendiri untuk berprestasi, tetapi ada pula yang kurang memiliki dorongan tersebut. Keinginan untuk berprestasi adalah hasil dari pengalaman-pegalaman siswa dalam mengerjakan sesuatu. Siswa yang sering gagal dalam mengerjakan sesuatu akan mengalami frustasi dan tidak mengharapkan hasil yang baik dan tindakan-tindakan yang dilakukannya.
c. Lokus controlBagaimana siswa menilai prestasi yang dimiliknya dapat menyebabkan tercapainya prestasi yang tinggi. Siswa dapat menilai bahwa penyebab terjadinya prestasi tersebut karena faktor usaha yang dilakukannya atau karena faktor-faktor diluar yang tidak dapat dikontrolnya.Siswa yang menilai bahwa bahwa penyebab terjadinya prestasi karena faktor usaha termasuk siswa yang memiliki lokus control (locus of control) internal, dan jika sebaliknya memiliki lokus control eksternal. Siswa yang memiliki lokus control internal akan menilai bahwa angka 4 yang didapatkannya adalah karena ia kurang belajar, sedangkan mereka yang
19
memiliki lokus control eksternal akan mengatakan guru yang sentiment pada dirinya.
d. Pola belajarPola belajar siswa sangat mempengaruhi pencapaian prestasi siswa.ada siswa yang terbiasa belajar secara teratur walaupun besok harinya tidak ada tes atau ujian, tetapi ada pula siswa yang hanya belajar jika ada ujian.
E. Latar Belakang Underachievement dari berbagai Lingkungan
Anak tidak dilahirkan sebagai underachiever. Berprestasi di bawah taraf
kemampuan adalah perilaku yang dipelajari, oleh karena itu dapat juga
dihindari. Underachievement dapat dipelajari baik di rumah maupun di
sekolah atau di dalam masyarakat.
Munandar (1999) menyatakan Faktor penyebab siswa berprestasi kurang
(underachiever) dibedakan menjadi dua latar belakang keluarga dan latar
belakang keluarga dan latar belakang sekolah.
Mengenal faktor-faktor yang menyebabkan, mendukung, dan memperkuat
perilaku anak berbakat berprestasi kurang membantu memahami dinamika
underachievement dan cara mengatasinya.
1. Latar Belakang Keluarga
Jika latar belakang keluarga anak berbakat berprestasi kurang
dibandingkan dengan keluarga anak berbakat berprestasi, akan nyata
beberapa karakteristik. Beberapa dari karakteristik ini sulit diubah, seperti
keluarga dengan moral yang rendah, atau keluarga yang terpecah,
misalnya karena perceraian atau kematian, sepaham dengan hal itu
Rimm(dalam Semiawan, 1997:212) mengungkapkan “lingkungan rumah
yang menjadikan anak underachievement karena disadari atau tidak
20
diasadari, tidak ada contoh mendidik yang baik dari awal seperti belajar
mandiri maupun keterlekatan pada karier atau anggapan bahwa sekolah itu
berharga”. Dari pernyataan tersebut terdapat langkah-langkah agar dapat
dapat diubah dengan mudah oleh orang tua yang peduli dan memahami
dinamika underachievement, seperti perlindungan yang berlebih oleh
orang tua, sikap otoriter, sikap membiarkan atau membolehkan secara
berlebih, dan ketidakajegan sikap kedua orang tua.
Hal tersebut didukung oleh hasil penelitian Yaumil Achir (dalam
Sihadi, 2000:71) yang menjelaskan bahwa adanya perbedaan komitmen
terhadap tugas antara anak berbakat yang berprestasi dan anak berbakat
yang berprestasi kurang, disini orang tua mampu mengarahkan antara
bakat anak dan tugas yang dijalankan anak sesuai dengan bakatnya
sehingga bukan hanya bakat anak saja berkembang, tetapi didorong juga
oleh prestasi yang baik.
Bagi guru akan dapat membantu jika memahami pola “keluarga
bermasalah”, karena dengan demikian guru dapat berkomunikasi lebih
efektif dengan orang tua. Juga sering terjadi bahwa anak memanipulasi
pola keluarga, dan memanipulasi ini diteruskan di dalam kelas. Dengan
memahami pola keluarga anak berprestasi kurang, guru dapat menghindari
memanipulasi oleh siswa.
a. Identifikasi dan model
Studi Terman dan Oden (dikutip Rimm,1985 dalam Munandar,
1999:244) menunjukkan bahwa kebanyakan anak berbakat berprestasi
21
kurang adalah anak laki-laki ini ialah bahwa mereka tidak
mengidentifikasi diri dengan ayah mereka. Rimm (1984, dalam
Munandar, 1999:244) juga menemukan bahwa anak berprestasi kurang
sering tidak mengidentifikasikan dirinya dengan orang tua dari jenis
kelamin yang sama. Yang menarik ialah bahwa beberapa
beridentifikasi dengan orang tua dari jenis kelamin yang sama jika
orang tua itu juga merupakan seseorang yang berprestasi kurang dari
perspektif anak, atau memberi kesan kepada anak bahwa belajar dan
berprestasi itu tidak penting.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa model orang tua yang dipilih
anak untuk imitasi dan identifikasi sebagian besar tergantung dari
kombinasi antara tiga perubah, sebagaimana diamati oleh anak, yaitu :
1) nurturance, 2) power, dan 3) kesamaan anatar orang tua dan anak.
Anak cenderung untuk mengidentifikasi diri dengan orang tua yang
sangat nurturant. Antara orang tua dan anak ada hubungan kasih
sayang dan hangat. Jika orang tua itu tidak menekankan perstasi, maka
anak akan dapat mengadopsi tingkah yang sama.
Jika salah satu orang tua lebih berkuasa dari perspektif anak, tetapi
tidak menghargai pendidikan atau prestasi sekolah, kemungkinan besar
anak tidak akan berprestasi baik di sekolah.
Perubahan ketiga yang mempengaruhi yaitu kesamaan yang dilihat
anak antara dirinya dengan salah satu orang tua. Kesamaan ini
merupakan dasar yang kuat untuk identifikasi dengan peran jenis
22
kelamin. Beberapa peneliti mendapatkan bahwa jika ayah lama tidak
dirumah, maka anak laki-laki cenderung underachiever. Sikap anak
perempuan terhadap karier sangat dipengaruhi secara positif oleh ibu
yang bekerja dan berhasil, dengan pengertian bahwa sikap keluarga
positif terhadap bekerjanya ibu dan bahwa ibu tidak mengalami
konflik peran.
Secara keseluruhan dapat disimpulkan pentingnya identifikasi
dengan model orang tua yang baik sebagai faktor keluarga yang
menunjang prestasi tinggi.
b. Identifikasi berbalik (Counter-Identification)
Counter-identification terjadi jika orang tualah yang
mengidentifikasikan dirinya dengan anak.sebagai contoh ialah orang
tua yang sangat memerhatikan, mengikuti, dan ikut merasakan segala
upaya, keberhasilan dan kegagalan anak. Hal ini dapat berpengaruh
positif terhadap prestasi anak, tetapi dapat juga mempunyai dampak
negative, yaitu jika anak menjadi tergantung pada dorongan orang tua
untuk membuat dan menyelesaikan pekerjaan sekolahnya.
Kemungkinan lain dari identifikasi berbalik ialah bahwa orang tua
memberikan kekuasaan berlebih kepada anak berbakat merek,
sehingga anak menjadi manipulative agresif. Anak berbakat yang
tampak begitu cerdas menggunakan kosakata dan penalaran orang
dewasa dan orang tua berinteraksi dengan mereka seperti orang
23
dewasa. Anak belajar memanipulasi orang tua dan guru dengan
mengatakan bahwa pekerjaan yang harus dilakukan “membosankan”
atau “tidak penting”, bahwa mereka dapat menjawab secara lisan
sehingga tidak perlu menyelesaikan pekerjaan secara tertulis. Guru
perlu memahami dinamika pola perilaku memanipulatif ini dalam
membina siswa berbakat di sekolah.
2. Latar belakang Sekolah
Beberapa kondisi pribadi dan sekolah dapat menimbulkan masalah
bagi anak berbakat yang merupakan awal dari pola perilaku berprestasi di
bawah taraf kemampuan.
a. Iklim sekolah
Whitmore (1980, dalam Munandar, 1999:246) menggambarkan
lingkungan kelas yang menyebabkan terjadinya underachievement,
yaitu kurangnya menghargai anak sebagai individu, iklim yang sangat
kompetitif, penekanan terhadap evaluasi eksternal, kekakuan, perhatian
yang berlebih terhadap kesalahan dan kegagalan, dan kurikulum yang
tidak menunjang keberbakatan.
1) Kelas yang tidak fleksibel
Anak berbakat intelektual belajar lebih cepat dan lebih mudah
memadukan informasi. Anak berbakat kreatif mempunyai cara
pemikiran yang berbeda dan sering mengajukan pertanyaan.
Guru yang kaku berpegangan secara ketat pada jadwal yang
24
telah disusun dan tidak memberi kesempatan kepada mereka
yang berbeda dalam kecepatan dan gaya belajar. Anak berbakat
mengamati bahwa jika menyelesaikan tugas dengan cepat akan
diberikan tugas-tugas lain yang tidak menantang tetapi sekedar
untuk menyibukkan anak. Anak menjadi bosan dan
menganggap tugas tambahan sebagai hukum untuk bekerja
cepat. Agar tidak diberi tugas lain ia bekerja lebih lamabat
sehingga selesai bersama-sama dengan anak yang lain. Namun,
karena pikirannya tetap aktif, ia mencari kesibukan lain, seperti
diam-diam membaca buku lain yang menarik, melamun, atau
menganggu tata tertib kelas. Ia kurang memperhatikan tugas-
tugas belajar regular, yang baginya membosankan, sehingga
prestasinya menurun.
2) Kelas yang kompetitif
Pengumuman nilai siswa, perbandingan hasil tes siswa dan
ranking siswa secara terus menerus sangat mendorong
persaingan dalam kelas. Anak yang berprestasi baik mungkin
saja lebih termotivasi untuk berprestasi dalam lingkugan kelas
yang sangat kompetitif. Namun, terlalu banyak penekanan pada
ganjaran ekstrinsik dapat mengurangi motivasi intrinsik untuk
belajar dan berkreasi.
Siswa yang berprestasi kurang akan menganggap bahwa setiap
hari mereka tidak dapat memenuhi standar keunggulan dalam
25
kelas. Guru hanya menghargai prestasi dan karena anak-anak
ini tidak percaya bahwa mereka mampu memperoleh
penghargaan guru, maka mereka mencari cara-cara lain di
dalam kelas untuk mendapatkan penghargaan atau bersikap
defensive untuk mempertahankan diri.
b. Harapan negatif
Harapan guru mempunyai dampak terhadap konsep diri dan
prestasi sekolah siswa. Masalahnya ialah bahwa bagi anak, guru dan
keberhasilan di sekolah merupakan sumber umpan balik utama
mengenai kemampuan, kompetensi, dan makna seseorang. Jika guru
mempunyai harapan rendah atau negative terhadap siswa, biasanya
anak itu akan berprestasi kurang, termasuk anak berbakat.
Tidak semua anak berbakat merespons denga prestasi yang kurang
terhadap sikap dan harapan negative dari guru. Beberapa melihat sikap
guru ini sebagai tantangan untuk berusaha lebih keras. Namun, anak
berbakat berprestasi kurang yang konsep dirinya rendah, pada
umumnya melihat harapan guru yang negatif sebagai konfirmasi
bahwa ia memang tidak mampu.
c. Kurikulum yang tidak menantang
Anak berbakat dengan kebutuhan intelektual dan kreatif sangat
rentan terhadap kurikulum yang tidak menantang. Mereka biasanya
senang mempertanyakan, mendiskusikan, mengkritik, dan dapat
26
belajar melampaui tingkatan dari kebanyakan siswa di dalam kelas.
Jika kurikulum kurang member tantangan, maka siswa berbakat akan
mencari rangsangan di luar kurikulum. Tidak jarang siwa yang
berbakat berprestasi kurang di sekolah dapat mencapai keunggulan
dalam kegiatan yang tidak berhubungan dengan sekolah.
BAB IIIUPAYA MENGATASI SISWA UNDERACHIEVER
Bekerja di bawah kemampuan seseorang mempunyai dampak terhadap
keberhasilan dalam pendidikan dan kemungkinan besar juga terdapat
keberhasilan dalam karier, oleh karena itu masalah ini diperlukan mendapat
perhatian khusus.
Menurut Rimm (dalam Munandar, 1999: 247) menyatakan “ mengatasi
underachievement memerlukan strategi kerja sama antara sekolah dan
keluarga dalam menerapkan lima langkah yang penting” yaitu :
1. Penilaian kemampuan, keterampilan dan kemungkinan penguatan dari
rumah dan sekolah,
2. Modifikasi dari penguatan dirumah dan sekolah,
3. Mengubah harapan dari orang yang penting/berarti,
4. Model identifikasi yang ditingkatkan, serta
5. Memperbaiki keterampilan yang kurang.
A. Peran Orang tua dalam Mengatasi siswa Underachiever
27
Peran orang tua dalam mengahadapi anaknya yang megalami
underachiever adalah sebagai berikut:
1. Ciptakan gaya hidup sehat dengan membangun harmoni antara kondisi
fisik, mental, dan emosional. Misalnya dengan memberi nutrisi yang
baik, latihan atau olahraga, serta pengelolaan stres.
2. Cari bantuan konseling untuk anak dan seluruh keluarga jika perlu.
Jika seluruh keluarga ikut terlibat konseling, diharapkan perubahan
dapat lebih cepat terjadi karena dukungan dari seluruh keluarga.
Perubahan perilaku bukan hanya dari anak tetapi juga perubahan
perlakuan anggota keluarga yang lain terhadap anak.
3. Cari guru pembimbing untuk membantu anak mengatasi kelemahan
dalam pelajaran-pelajaran tertentu.
4. Komunikasikan harapan yang tinggi terhadap anak dengan rasa cinta,
penuh pujian, kebanggaan dan respek.
5. Adakan pertemuan keluarga untuk menetapkan target jangka pendek
dan jangka panjang dan membuat aturan-aturannya, serta buatlah
semacam “kontrak” (kesepakatan bersama).
6. Jadikan keluarga sebagai sistem pendukung dan unit pemecahan
masalah yang bermanfaat bagi anak, dipandu orangtua yang
menjalankan peran pemimpin tapi berbasis cinta.
7. Menekankan kerja keras sebagai kunci sukses, dengan usaha
individual, motivasi dari dalam diri, komitmen dan kepercayaan diri
sebagai resep keberhasilan.
26
28
8. Rancang waktu-waktu beraktivitas di sekitar rumah selama 25 – 35
jam per minggu (misalnya membaca, melakukan hobi, olahraga, dan
lain-lain) dan mengeksplorasi lingkungan bersama-sama sebagai
sumber belajar.
9. Cobalah untuk tertarik pada aktivitas anak di sekolah dan di rumah.
Dorong anak untuk menceritakan aktivitas mereka.
10. Jangan membandingkan antar saudara, pandang setiap anak sebagai
individu yang memiliki keunikan, kualitas dan kemampuan.
11. Bantu anak mengelola waktu dan menetapkan prioritas.
12. Dorong anak untuk memiliki minat di luar sekolah. Ketika hasil
belajarnya buruk, jangan cepat-cepat menuding kegiatan luar sekolah
sebagai sumber masalah dan menghukum anak untuk tidak boleh lagi
berkegiatan.
13. Bantu anak mendapatkan mentor/pembimbing yang dapat menjadi
model menyangkut suatu karier atau kualitas personal yang diinginkan.
Misalnya, bukakan jalinan interaksi dengan paman yang bisa menjadi
model peran, atau Anda sendiri yang berusaha untuk dapat menjadi
model bagi anak.
14. Batasi waktu menonton TV dengan membuat kesepakatan-kesepakatan
yang realistis.
15. Konsisten dan tenang menghadapi naik turunnya prestasi anak,
fokuskan pada masalah, jangan bertindak emosional.
B. Peran Guru dan Konselor dalam Mengatasi siswa Underachiever
29
Berikut ini beberapa hal yang dapat dilakukan guru dan konselor adalah
sebagai berikut.
1. Diagnotik Penanganan
a. Kebutuhan, Potensi, Minat, Bakat, dan Masalah Anak
Underachiever dalam Kegiatan Pembelajaran
Kebutuhan anak underachiever antara lain: anak diberikan
kebebasan untuk mengeksplor bakat dan minatnya sesuai dengan
kemampuan dirinya. Orangtua hanya memberikan pengarahan, jangan
menuntut anak jika di luar kemampuannya. Apapun prestasi anak,
orangtua harus percaya kepada anak (bahwa ia mampu dan telah
berusaha maksimal), menghargainya (bahwa ia telah berusaha, terlepas
ia berhasil atau gagal. Jangan sekali-kali berkata kasar atau
melecehkan. Anak juga diberikan motivasi, ditanggapi keluhannya,
misalnya ketika ia meragukan kemampuannya, kita bisa memberinya
motivasi: "Insya Allah kamu bisa". Tekankan bahwa yang paling
penting adalah berusaha semaksimal mungkin, gagal itu merupakan
hal yang bukan tidak diperbolehkan tetapi pantang untuk berputus asa.
Potensi/minat anak underachiever antaralain: anak yang kreatif,
memiliki kompetensi yang tinggi, dan memiliki kemampuan matematis
yang sangat tinggi.
30
Bakat anak underachiever antara lain: menjadi seorang penulis, melihat dari ciri-
ciri anak underachiever yang cenderung pendiam, jadi dia bisa mengungkapkan
apa yang dia rasakan lewat tulisan. Selain itu anak underachiever berbakat untuk
pekerjaan yang berada dibalik layar. Anak underachiever bisa menjadi apapun
yang orangtua mereka inginkan.
b. Mengidentifikasi Gejala-Gejala Anak Underachiever Dalam Kegiatan
Pembelajaran
Gejala-gejala anak underachiever dalam kegiatan pembelajaran yang
sering dijumpai adalah: Emosional, anak underachiever lebih sering tersinggung
jika ada perkataan yang menurutnya kurang sesuai dengan dirinya. Ia lebih suka
menyendiri, pendiam dan bersifat acuh tak acuh terhadap teman-temannya. Raut
wajahnya menunjukkan ketidakceriaan karena ia merasa tertekan. Entah karena
masalah keluarga ataupun prestasi akademik. Anak merasa rendah diri. Perasaan
tidak berharga menurunkan motivasi anak. Anak merasa tidak berdaya
berhadapan dengan lingkungannya. Ia merasa tidak berharga, tidak bisa belajar
apa-apa bahkan tidak berani menginginkan sesuatu. Ia hanya berani menginginkan
target di bawah potensi sesungguhnya yang ia miliki. Ia juga takut ketahuan
bahwa ia tidak mampu atau tak berguna. Maka ia lebih suka menarik diri daripada
menempuh risiko gagal dalam mencoba kemampuannya.
Konflik nilai juga bisa membuat anak rendah diri, misalnya anak yang
kreatif, eksentrik, easygoing, merasa dirinya unik, bisa-bisa merasa bersalah dan
tidak berguna dihadapan orangtuanya yang rapi, konservatif dan hanya
31
menghargai prestasi akademik. Akhirnya anak menyalahkan dirinya sendiri lalu
mencari teman di luar rumah dan mencari kepuasan dari aktifitas yang justru tidak
diharapkan orangtuanya.
c. Pertumbuhan dan perkembangan anak underachiever di lingkungan
sekolah
Langkah –langkah yang dilkukan oleh guru dalam melatih
pertumbuhan dan perkembangan anak pada underachiever adalah
sebagai berikut:
1) Guru senantiasa memonitor perkembangan prestasi anak.
2) Guru ikut menyadari adanya masalah underachievers ini,
dan guru melakukan usaha untuk mengarahkan,
memberikan motivasi, dan memberikan perhatian,
3) Pastikan anak bisa mengikuti kelas bimbingan konseling
individual/kelompok jika diperlukan,
4) Guru perlu kreatif, menggunakan media ataupun metode
pembelajaran yang menarik, merancang pembelajaran yang
menantang, bermakna secara personal, dan rewarding untuk
anak yang disesuaikan dengan permasalahan spesifik anak.
Karena upaya ini merupakan suatu hal yang patut dan
berharga dibangun untuk mengoptimalkan prestasi anak,
baik secara akademik maupun non akademik sesuai bakat
dan minat anak,
32
5) Sekolah menyediakan berbagai fasilitas sesuai kebutuhan
anak, misalnya anak suka olah raga maka disediakan
berbagai permainan olahraga,
6) Disediakan buku-buku bacaan, karena anak underachiever
kurang bisa bergaul dengan teman-temannya, maka buku-
buku yang ada di sekolah bisa membantu dalam proses
pertumbuhan dan perkembangannya,
7) Arena bermain yang sesuai dengan minat anak,
8) Untuk meningkatkan kreativitas anak diberikan kegiatan
kreatif, seperti main musik, menyanyi, olah raga, menari,
dan sebagainya. Guru dan orang tua harus menghargai
bakat dan minat anak. Segala yang ingin diketahui anak
jangan diabaikan dan dibebaskan mengembangkan
kreativitasnya.
d. Bimbingan kelompok bagi anak underachiever
1) Diberikan tugas kelompok untuk memecahkan suatu
masalah, guru memonitor, membimbing siswa untuk
menyelesaikan masalah tersebut.
2) Di sini siswa underachiever bisa berkelompok dengan
teman-temannya, guru memantau kegiatan siswa supaya
tidak ada keinginan anak underachiever untuk menyendiri
atau meninggalkan kelompoknya.
33
3) Percobaan, anak diberikan bimbingan melalui percobaan
untuk melakukan suatu penelitian, jadi siswa ada kegiatan,
bisa aktif, tidak melamun sesuai gejala anak underachiever,
4) Bimbingan narkoba, anak underachiever yang merasa
tertekan menginginkan untuk lari dari tekanan, di rumah ia
merupakan anak yang pasif dan penurut terhadap perintah
orangtua, namun di luar dia justru melakukan hal yang
tidak dikehendaki orangtua. Untuk itu diperlukan
bimbingan narkoba untuk mengantisipasi terjadinya hal
yang tidak diinginkan,
5) Bimbingan kenakalan remaja, bimbingan kenakalan remaja
juga perlu diberikan karena tidak hanya dari faktor keluarga
saja melainkan dari pengaruh pergaulan teman anak bisa
menjadi lupa diri.
e. Melengkapi Rencana-rencana yang Telah Dirumuskan Anak
Underachiever
Untuk menghilangkan rasa jenuh siswa, rasa tertekan siswa, guru
dan siswa perlu membuat rencana untuk merefresh pikiran siswa
antaralain dengan: Karyawisata berbasis penelitian, untuk
mengenalkan anak terhadap alam, pembelajaran yang konkret,
karyawisata di sini bertujuan untuk mengakrabkan siswa
underachiever dengan anak-anak lain.
34
Selain itu, perlu diadakan perombakan strategi pembelajaran
disesuaikan dengan bakat dan minat siswa. Guru perlu bekerjasama
dengan siswa mengenai strategi pembelajaran yang bagaimana yang
disukai siswa, memotivasi untuk giat belajar, tidak membosankan dan
penuh rasa kekeluargaan
Perlu sesekali sekolah mengadakan kegiatan jalan santai atau
kegiatan bakti lingkungan, untuk melatih siswa bersosialisasi dengan
masyarakat.
f. Melaksanakan Pengajaran Sesuai dengan Kebutuhan Anak
Underachiever
Pengajaran dapat dilakukan dengan memunculkan rasa
keingintahuan anak dan mengajukan pertanyaan yang memancing rasa
keingintahuan siswa kemudian bersama-sama mencari jawaban,
sehingga belajar kegiatan itu terasa menyenangkan. Lontarkan saja
pertenyaan pada diri sendiri, dan biarkan anak ikut mendengarkan dan
terangsang rasa ingin tahunya, mengapa dan bagaimana cara kerja
sesuatu (yoyo yang sedang dimainkan anak, juicer di dapur, hujan
turun dari langit dan sebagainya).
Biasakan secara bersama mencari jawaban dari buku. Jadi secara
tidak langsung anak mendapatkan bekal bagaimana caranya belajar
aktif dan menyenangi kegiatan belajar. Motivasi belajar akan bangkit
35
dan terpelihara dalam dirinya karena anak merasakan sendiri
manfaatnya.
g. Mengumpulkan Data dan Informasi Tentang Anak Underachiever
dalam Kegiatan Belajar
Menurut (Syamsudin, 2005: 312- 313) menyatakan “Data dan
informasi yang perlu dikumpulkan dapat berupa apa saja mengenai
siswa underachiever, misalnya tentang kesulitan belajar”. Untuk
mengetahui siswa yang mengalami kesulitan belajar adalah dengan
mendeteksi hasil dan proses belajarnya dapat ditempuh dengan
langkah-langkah sebagai berikut.
Sementara dalam proses pengumpulan data (Syah, 2006:108)
mengungkapkan bahwa “Menghimpun semua siswa yang angka nilai
prestasinya dibawah nilai batas lulus tersebut, Mengadakan prioritas
layanan kepada mereka yang diduga paling berat kesulitnnya atau
paling banyak membuat kesalahan, seyogyanya dibuat membuat
ranking” .
Data dan informasi yang diperoleh guru bimbingan dan konseling
melalui diagnostik kesulitan belajar tadi perlu dianalisis sedemikian
rupa, sehingga jenis kesulitan khusus yang dialami siswa yang
berpresatasi rendah itu dapat diketahui secara pasti.
36
h. Melaksanakan kontak dengan masyarakat, terutama dengan orang
tua/wali anak, antara lain dengan mengadakan kunjungan rumah
(homevisit)
Komunikasi antara orang tua dan guru yang merupakan komponen
penting untuk mengatasi/mengurangi Underachiever. Oleh karena itu .
(Semiawan, 1997: 215) menjelaskan bahwa
“Komunikasi dapat dengan membicarakan perkembangan belajar siswa, dalam hal ini tidak boleh saling menyalahkan, melainkan harus mencakup diskusi tentang yang dinilai, dan kemajuan belajar yang dievaluasi baik formal maupun informal dengan memperhatikan pernyataan ketergantungan atau penguasaan siswa”.
Komunikasi ini harus jelas, jangan sampai komunikasi itu tidak
dipahami orang tua sehingga jatuh kembali dalam pola masalah.
i. Melaksanakan konseling terbatas mengingat hubungan yang baik
dapat terjalin dengan mudah antara guru dan siswa
Peserta didik underachiever, di pandang sebagai siswa yang
mengalami kesulitan belajar di sekolah, karena secara potensial mereka
memiliki kemungkinan untuk memperoleh prestai belajar yang tinggi.
Keadaan ini biasanya di latar belakangi oleh aspek-aspek motivasi,
minat, sikap, kebiasaan belajar, dan sebagainya.
(Tohirin, 2007: 3) mengungkapkan bahwa “Tidak semua individu
mampu mengatasi masalahnya sendiri. Dalam keadaan seperti itu ia
perlu mendapatkan bimbingan (bantuan) dari orang lain”.
37
Dengan adanya layanan Bimbingan Koseling diharapkan dapat
mengatasi segala bentuk permasalahan yang dihadapi oleh siswa atau
paling tidak dapat mengarahkan penyesuaian yang salah menuju
penyesuaian yang benar baik secara internal maupun eksternal yang
dialami siswa.
Karena diperkuat oleh kesimpulan (Tohirin, 2007: 3) yakni Tidak
semua individu mampu mengatasi masalahnya sendiri. Dalam keadaan
seperti itu ia perlu mendapatkan bimbingan (bantuan) dari orang lain.
j. Memberikan pelayanan rujukan, yaitu melimpahkan anak kepada
orangtua yang lebih kompeten untuk mendapatkan bantuan yang
tepat
Untuk menetapkan usaha bantuan harus berdasarkan hasil analisis
diagnostik bidang kecakapan ini dapat dikategorikan menjadi tiga
macam (Syah, 2006: 176) mengungkapkan bahwa
1) Bidang kecakapan bermasalah yang dapat ditangani oleh
guru sendiri,
2) Bidang kecakapan bermasalah yang dapat ditangani oleh
guru dengan bantuan orang tua,
3) Bidang kecakapan bermasalah yang tidak dapat ditangani
oleh guru maupun orang tua.
Selanjutnya, untuk memperluas wawasan pengetahuan mengenai
alternatif-alternatif kiat pemecahan masalah kesulitan belajar siswa,
38
guru sangat dianjurkan mempelajari buku-buku khusus mengenai
bimbingan dan konseling. Selain itu (Syah, 2006: 178) “guru juga
dianjurkan untuk mempertimbangkan penggunaan model-model
mengajar yang dianggap sesuai sebagai alternatif lain atau pendukung
cara memecahkan masalah kesulitan belajar” .
2. Langkah Pelaksanaan Bantuan atau Bimbingan
a. Asesmen Kemampuan Anak dan Kemungkinan Penguatan
Langkah pertama untuk mengatasi prestasi kurang dari anak
berbakat meliputi kerja sama antara psikolog sekolah atau guru BP,
guru, dan orang tua. Psikolog, guru BP, atau pengelola program anak
berbakat sebaiknya a) mampu melakukan pengukuran/pengetesan, b)
memahami berbagai gaya dan masalah belajar dan motivasi, c)
menguasai teori belajar perilaku, dan d) mengenal karakteristik khusus
dari anak berbakat dan kreatif.
Untuk mengetahui kemampuan anak sesungguhnya, sebaiknya
pertama-tama memberikan tes inteligensi individual. Pada anak yang
kurang bermotivasi, tes inteligensi kelompok mungkin tidak
mencerminkan potensi intelektual sesungguhnya. Juga, pada beberapa
tes inteligensi kelompok sulit untuk mencapai skor di atas 125, hal ini
tentu merupakan masalah anak berbakat intelektual. Psikolog dapat
memberikan Wescheler Intelligence Scale for Children (WISC) yang
sudah diadaptasi untuk penggunaan di Indonesia, atau tes inteligensi
39
Stanford-Binet, kedua-duanya harus diberikan oleh seorang psikolog.
Selama pengetesan, pemeriksa harus waspada terhadap karakteristik
khusus pada anak yang berkaitan cengan tugas seperti gejala
ketegangan, perhatian, ketekunan, keuletan dalam mengerjakan tugas,
respon terhadap frustasi, cara pemecahan masalah, dan respons
terhadap dorongan dari pemeriksa. Ciri-ciri ini mencerminkan
perilaku anak dalam belajar dan bekerja di rumah dan di sekolah.
Pengetesan inteligensi perlu dilanjutkan dengan tes prestasi individual
yang menunjukkan kekuatan dan kelemahan dalam keterampilan dasar,
trutama membaca dan matematika.
Tes kreativitas dan inventori sebaiknya juga diberikan oleh
psikolog. Di samping skor berpikir kreatif diperoleh gambaran
mengenai ciri-ciri afektif ( sikap) yang berkaitan dengan kreativitas,
seperti kemandirian, kepercayaan diri, dan pengambilan resiko, untuk
lebih memahami terjadinya underachievement.
Wawancara dengan orang tua membantu menemukenali pola
berprestasi kurang yang nyata di rumah dan di sekolah. Sebaiknya
kedua orang tua di wawancara, tetapi jika hanya satu orang yang dapat
hadir, perlu dipertanyakan mengenai hubungan orang tua yang tak
hadir itu dengan anak. Analisis kemampuan anak dan sejauh mana
lingkungan rumah dan sekolah memperkuat pola berprestasi kurang,
penting untuk langkah kedua dari program mengatasi
underachievement.
40
b. Modifikasi Penguatan di Rumah dan Sekolah
Berdasarkan analisis perilaku anak dan wawancara orang tua pada
langkah pertama dapat ditemukenali keadaan di rumah dan sekolah
yang menyebabkan anak berprestasi kurang. Perilaku anak perlu
diubah dengan menentukan tujuan jangka panjang dan beberapa
sasaran jangka pendek yang menjamin anak mengalami keberhasilan
langsung, meskipun kecil baik di rumah maupun di sekolah.
Pengalaman keberhasilan ini perlu diperkuat dengan penghargaan atau
hadiah.
Ada beberapa pertimbangan dalam memberikan hadiah kepada
anak. Pertama, hadiah itu harus berarti dan bermakna bagi anak.
Hadiah itu harus sesuai dengan sistem nilai dan kemungkinan dari
pemberi.hadiah yang efektif dan sesuai dengan sistem nilai orang tua
dan kemungkinan diberikan oleh guru adalah misalnya, waktu bebas.
Hadiah dapat ditingkatkan jika perlu, dengan mengingat bahwa jika
pendidik telah memberikan hadiah yang besar, hadiah kecil tidak akan
efektif lagi. Yang penting adalah member hadiah yang telah disetujui
kedua pihak, dan memberikannya secara teratur langsung serelah tugas
diselesaikan dengan berhasil.
c. Mengubah Harapan Orang yang Penting
Harapan orang tua, guru, dan teman sebaya sulit diubah. Hasil tes
inteligensi yang tinggi sangat efektif untuk mengubah harapan. Guru
dapat meyakinkan remaja dan orang tua bahwa anak memiliki bakat
41
matematika, hal ini nyata dari cepatnya memahami konsep matematika
dan kecakapannya dalam memecahkan masalah. Psikolog berdasarkan
tes bakat dan prestasi dapat meyakinkan guru tentang kekuatan-
kekuatan anak, misalnya dalam kosakata atau dalam keterampilan
memecahkan masalah.
Bagi anak berprestasi kurang sangat penting bahwa orang tua dan
guru dengan jujur dapat mengatakan bahwa mereka percaya akan
kemampuan anak untuk berprestasi. Harapan dari orang tua yang
berarti bagi anak sangat penting untuk mengubah harapan diri anak
dari seorang yang kurang berprestasi menjadi prestasi tinggi.
Penelitian jangka pajang dengan siswa kelas empat, lima, dan enam
yang cerdas tetapi berprestasi kurang, Rimm (dalam Munandar, 1999:
249) menunjukkan bahwa harapan positif dari orang tua dan guru
mempunyai dampak jangka panjang yang nyata dari prestasi di sekolah
menengah.
Kadang-kadang, mengubah lingkungan sekolah anak merupakan
cara yang efektif. Sebelum melakukan hal ini, kita harus yakin bahwa
perubahan lingkungan sekolah akan bermakna. Jika anak berbakat luar
biasa dihambat dalam lingkungan sekolah yang hanya menentukan
tujuan dan harapan yang rata-rata, sering anak dapat mengubah pola
prestasinya jika ditempatkan di dalam lingkungan yang menghargai
dan mengharapkan prestasi tinggi. Namun, bagi kebanyakan anak lebih
realistis untuk mencoba mengubah harapan di dalam sekolah.
42
d. Identifikasi Model
Menentukan model identifikasi bagi anak berprestasi kurang sangat
penting melebihi upaya treatment lainnya. Anak berbakat berprestasi
kurang, memerlukan tokoh yang berhasil dan berprestasi sebagai
model. Tokoh ini dapat menjadi model untuk lebih dari satu anak,
misalnya dalam peran sebagai konselor, tutor, mentor, guru, orang tua,
kakak, psikolog, pemimpin pramuka, Pembina sanggar, dan lain-
lainnya. Sebaiknya model itu memiliki karakteristik sebagai berikut:
1. Kepedulian yang sungguh-sungguh terhadap anak.
2. Jenis kelamin yang sama.
3. Kesamaan dengan anak. Misalnya dalam agama, minat,
talenta, latar belakang ekonomi, pengalaman masalah khusus,
dan sifat-sifat lain yang sama sehingga memudahkan
identifikasi.
4. Keterbukaan. Kesediaan model untuk berbagi pengalamannya,
kesulitan yang pernah dialami, dan cara mengatasinya sehingga
mencapai prestasi tinggi sehingga memotivasi anak untuk
berprestasi.
5. Kesediaan untuk member waktu. Agar efektif dan positif,
model harus dapat menyediakan waktu, apaka itu waktu kerja
atau waktu senggang. Jika anak dapat melihat model ketika
bekerja, melihat sifat dan sikap model dalam menghadapi
tantangan, menang dan kalah dalam kompetensi, gaya
43
penalaran, kepemimpinan, anak akan belajar bersikap dan
keterampilan yang perlu untuk berhasil.
6. Rasa kepuasan. Model menunjukkan kepada anak bahwa
prestasi yang dihasilkan memberi kepuasan pribadi. Prestasi
menuntut pengorbanan dan penundaan kepuasan yang segera.
e. Mengoreksi Keterampilan yang Kurang
Anak berbakat berprestasi kurang sebagai akaibat tidak
memperhatikan di dalam kelas dan kebiasaan belajar yang buruk
menunjukkan kekurangan keterampilan yang perlu dikoreksi. Namun,
karena ia berbakat ia dapat mengatasinya dengan cukup cepat dengan
bantuan tutor dari luar (bukan orang tua). Memperbaiki kekurangan-
kekurangan akademis ini perlu dilakukan dengan tepat sehingga anak
dapat belajar mandiri, anak tidak dapat memanipulasi tutor, dan anak
melihat hubungan antara usaha dan prestasi.
Whitmore (dalam Munandar, 1999: 250) menyarankan strategi
remedial untuk memperbaiki prestasi akademis siswa dalam bidang
dimana ia mengalami kesulitan belajar, mengalami kegagalan, dan
tidak menjadi bermotivasi untuk melakukan tugas-tugas belajar.
Bantuan di luar rumah dan sekolah
Jika anak disamping berprestasi kurang, juga terlibat dalam
masalah lain seperti drug, alcohol, kriminalitas, atau depresi yang
44
serius, ia memerlukan bantuan psikolog atau psikoterapis. Alternative
lain ialah menempatkan remaja tersebut dalam sekolah berasrama
dengan kesempatan pendidikan dan terapi psikologi dalam lingkungan
yang dikendalikan dan dimana ia dapat mengikuti terapi individual dan
terapi kelompok termasuk teknik modifikasi perilaku untuk mengatasi
masalah pribadi dan underachievement.
f. Komunikasi.
Komunikasi antara orang tua dan guru yang merupakan komponen
penting untuk meremidi prestasi belajar kurang. Komunikasi ini tidak
boleh saling menyalahkan, melainkan harus mencakup diskusi tentang
yang dinilai, dan kemajuan belajar yang dievaluasi baik formal
maupun informal dengan memperhatikan pernyataan ketergantungan
atau penguasaan anak. (Semiawan, 1997: 215) mengungkapkan
“Komunikasi ini harus jelas, jangan sampai komunikasi itu tidak
dipahami orang tua sehingga jatuh kembali dalam pola masalah”.
45
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Underachievement ialah tidak sesuainya antara skor intelegensi dengan
skor hasil nilai belajar siswa di sekolah, artinya terjadi kesenjangan antara
bakat yang dimiliki siswa dengan hasil prestasi yang tidak sejalan.
Underachievement terjadi karena faktor internal yang mencakup emosi
dan motivasi, persepsi diri, hasrat berprestasi, lokus control( siswa menilai
dirinya sendiri), dan pola belajar sementara faktor eksternal yang meliputi
keluarga (keluarga dengan moral yang rendah, atau keluarga yang terpecah,
misalnya karena perceraian atau kematian, perlindungan yang berlebih oleh
orang tua, sikap otoriter, sikap membiarkan atau membolehkan secara
berlebih, dan ketidakajegan sikap kedua orang tua), dan dari lingkungan
sekolah mencakup (kelas yang tidak fleksibel, kelas yang kompetetif,
kurikulum yang tidak menantang, guru lebih memperhatikan anak yang
unggul, sarana dan prasarana yang kurang memadai, dan tidak adanya
reinforcement dari sekolah terhadap bakat anak).
Dan cara mengatasi siswa underachievement adalah dengan kerja sama
yang baik anatara orang tua dan guru, dari pihak orang tua dengan melakukan
ciptakan gaya hidup sehat, komunikasi yang tinggi dengan menciptakan (rasa
46
cinta, penuh pujian, dan respek), keluarga sebagai pendukung dan unit
pemecahan masalah yang bermanfaat bagi anak. Sementara dari pihak sekolah
dapat melakukan asesmen kemampuan anak dan kemungkinan penguatan,
modifikasi penguatan di rumah dan sekolah, mengubah harapan orang yang
penting, identifikasi model, mengoreksi keterampilan yang kurang,
komunikasi yang lebih efektif terhadap siswa.
B. Saran
Siswa yang berbakat diharapkan dapat memiliki prestasi yang unggul agar
anatar bakat dan prestasi dapat berjalan dengan optimal. Dengan adanya siswa
underachiever ini kita sebagai pihak yang sangat mempengaruhi terhadap
perkembangan seluruh aspek individu agar mampu memberikan reinforcement
yang penuh terhadap siswa baik lingkungan rumah maupun sekolah karena
banyak konsep yang ditawarkan dalam upaya memberikan layanan bagi anak
underachiever, salah satu diantaranya yang dipandang efektif adalah dengan
mengupayankan iklim yang kondusif baik dalam keluarga amupun di sekolah.
Guna menciptakan iklim yang kondusif tersebut dibutuhkan ketulusan,
kepekaan, dan empati yang kuat dari orang tua dan guru dalam mengorganisir
program layanan agar siswa mampu menepis gangguan perilakunya dan
akhirnya mampu mengembangkan potensinya seoptimal mungkin
47
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Abin Syamsuddin. 2003. Psikologi Pendidikan. Bandung : PT Remaja Rosda
Karya
Conny Semiawan. 1997. Perspektif Pendidikan Anak Berbakat. Jakarta : PT
Grasindo
Desra Esofita. 2011. Motivasi Belajar Siswa Underachiever pada Mata Pelajaran
Matematika di Kelas XI SMA Adabiah Padang. Skripsi. Tidak diterbitkan.
BK FIP UNP
Dewang Sulistiana. 2009. Program Bimbingan Bagi Siswa Underachiever.
Skripsi. Tidak diterbitkan. Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan
UPI Bandung.
Hamzah B. Uno dan Masri Kudrat. 2009. Mengelola Kecerdasan dalam
Pembelajaran. Jakarta : PT Bumi Aksara
Muhibbin Syah. 2006. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung:
Remaja Rosda Karya
Oxfordbrooks.ac.uk. (2006). Underachievement: What do We Mean by
Underachievement?
Prayitno dan Erman Amti. 2004. Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling.
Jakarta : PT Rineka Cipta
Reni Akbar H, Sihadi. 2001. Akselerasi A-Z Informasi Pemcapaian Program
Belajar dan Anak Berbakat Intelektual. Jakarta : PT Grasindo
48
Surya.M. 1979. Pengaruh faktor-faktor Non-intelektual terhadap Gejala
Berprestasi Kurang. Disertasi. Tidak diterbitkan . FPS IKIP Bandung
Tohirin. 2007. Bimbingan dan Konseling di Sekolah dan Madrasah. Jakarta : PT
Raja Grafindo Persada
Utami Munandar. 1999. Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat. Jakarta : PT
Rineka Cipta
Winkel, W.S. 1991. Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan. Jakarta :
Gramedia