Skripsi Kiki

91
SKRIPSI JUDUL HUBUNGAN ANTARA POSISI DEFEKASI DENGAN DURASI DEFEKASI PADA ANAK USIA 5-10 TAHUN Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Sarjana Kedokteran KIKI STEFANUS JIOE 030.11.157 PROGRAM PENDIDIKAN SARJANA KEDOKTERAN FAKULTAS KEDOKTERAN i

description

skripsi pencernaan

Transcript of Skripsi Kiki

SKRIPSI

JUDUL

HUBUNGAN ANTARA POSISI DEFEKASI DENGAN DURASI DEFEKASI PADA ANAK USIA 5-10 TAHUN

Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

Mencapai Derajat Sarjana Kedokteran

KIKI STEFANUS JIOE

030.11.157

PROGRAM PENDIDIKAN SARJANA KEDOKTERAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS TRISAKTI

JAKARTA, FEBRUARI 2015

Bidang Ilmu : Komunitas

SKRIPSI

JUDUL

HUBUNGAN ANTARA POSISI DEFEKASI DENGAN DURASI DEFEKASI PADA ANAK USIA 5-10 TAHUN

Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

Mencapai Derajat Sarjana Kedokteran

KIKI STEFANUS JIOE

030.11.157

PROGRAM PENDIDIKAN SARJANA KEDOKTERAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS TRISAKTI

JAKARTA, FEBRUARI 2015

Pernyataan Keaslian Penelitian

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama: Kiki Stefanus Jioe

NIM: 030.2011.157

Program Studi: Sarjana kedokteran

Alamat Korespondensi: Jalan futsal, blok F nomor 3. Bandung

Telepon/Mobile: 022-87241021 / 087885616090

E-mail: [email protected]

Judul skripsi: Hubungan antara posisi defekasi dengan durasi defekasi pada anak usia 5-10 tahun

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini adalah benar-benar merupakan hasil karya ilmiah saya sendiri. Skripsi ini belum pernah diajukan sebagai suatu karya ilmiah untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang sepengetahuan saya tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan skripsi ini merupakan hasil karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut sesuai dengan SK Permendiknas No. 17 tahun 2010 tentang pencegahan dan penanggulangan plagiat di perguruan tinggi.

Demikian pernyataan ini dibuat dengan sebenarnya, agar dapat dimanfaatkan sebagaimana mestinya.

Jakarta,....................... 20......

Kiki Stefanus Jioe

030.2011.157

PERSETUJUAN

Skripsi

Judul:

HUBUNGAN ANTARA POSISI DEFEKASI DENGAN DURASI DEFEKASI PADA ANAK USIA 5-10 TAHUN

KIKI STEFANUS JIOE

030.11.157

Telah disetujui untuk diuji di hadapan

Tim Penguji Skripsi

Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti

Pada Hari , Tanggal /2015

Pembimbing

dr. Tubagus Ferdi Fadillah, Sp.A, M.Kes

PENGESAHAN SKRIPSI

Judul:

HUBUNGAN ANTARA POSISI DEFEKASI DENGAN DURASI DEFEKASI PADA ANAK USIA 5-10 TAHUN

Nama mahasiswa: KIKI STEFANUS JIOE

NIM: 030.11.157

Telah diuji dan disahkan di hadapan Dewan Penguji Skripsi

Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti

Pada Hari Senin Tanggal 3 Februari 2015

Ketua Tim Penguji

Nama:

NIK:

Anggota Penguji I

Nama:

NIK:

Anggota Penguji II

Nama:

NIK:

Jakarta,

Dekan FK Trisakti

Dr. Suriptiastuti, DAP & E, MS

NIK: 1094

UCAPAN TERIMA KASIH

Segala puji dan syukur hanya kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul : Hubungan Antara Posisi Defekasi dengan Durasi Defekasi Pada Anak Usia 5-10 Tahun. Skripsi ini disusun untuk memenuhi dan melengkapi persyaratan dalam penyelesaian program studi pendidikan Sarjana Strata-1 (S1) di Fakultas Kedokteran Umum Universitas Trisakti Jakarta.

Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan rasa terimakasih sebesar-besarnya terutama kepada:

1. Keluarga tercinta, Ayah dr. Luis Thomas Jioe, Mama dr. Natalia Sentosa, terimakasih atas segala doa, cinta kasih, perhatian, kesabaran, dukungan, saran, waktu dan tenaga yang berharga yang telah dicurahkan tiada henti. Dr. Tb. Ferdi Fadilah, M.Kes, Sp.A selaku pembimbing utama skripsi yang telah meluangkan banyak waktu, tenaga, dan pikirannya yang sangat berharga untuk memberikan bimbingan, dalam penyusunan skripsi ini hingga selesai.

2. Panti asuhan Pondok Yatim dan Dhuafa Yayasan Amal Soleh Sejahtera yang telah banyak membantu sehingga penelitian ini dapat selesai

3. Sahabat yang setia dalam suka dan duka di kampus, Cleine Michaela terima kasih untuk dukungan, semangat dan cinta kasih yang begitu berharga

4. Sahabat-sahabat tercinta, Jolly Huang, Jeffrey Chandra, Hadi Tjong, Jason Jus, Kiara Nurmathias, Kristiana Natalian, Lalu Viska Suhendra, Khaula Luthfiyah dan Larasati Adita Chaerunnisa atas perhatian, dukungan dan masukannya yang berharga

5. Pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu per-satu yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.

Akhir kata, semoga skripsi ini bermanfaat bagi dokter umum, mahasiswa, dan masyarakat luas.

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan yang Maha Esa atas berkat dan kemurahannya peneliti dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Hubungan Antara Posisi Defekasi dengan Durasi Defekasi. Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah memenuhi persyaratan untuk menyelesaikan studi tingkat S-1 Sarjana Kedokteran di Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti.

Gangguan pencernaan berupa konstipasi telah menjadi masalah yang tidak memandang usia, suku bangsa ataupun jenis kelamin. Prevalensi terjadinya konstipasi semakin meningkat seiring perubahan gaya hidup manusia di zaman ini dan telah menghabiskan begitu banyak biaya dan sumber daya kesehatan, sehingga patut menjadi perhatian para tenaga medis maupun masyarakat awam. Pada anak usia sekolah prevalensi konstipasi juga cukup tinggi karena berbagai alasan seperti makanan sampai kebiasaan anak. Salah satu pendekatan pencegahan konstipasi pada penelitian ini adalah dengan mempercepat durasi defekasi dengan mengembalikan posisi defekasi pada posisi alaminya yaitu jongkok.

Berdasarkan hal tersebut, peneliti bermaksud melakukan penelitian mengenai hubungan antara posisi defekasi dengan durasi defekasi pada anak usia 5-10 tahun. Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat kepada masyarakat luas dan terlebih pada lembaga pendidikan primer agar dapat lebih mengetahui tentang kesehatan pencernaan.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penelitian yang dilakukan. Oleh karena itu peneliti meminta maaf sebesarnya dan sangat mengharapkan kritik dan saran.

Penulis

Kiki Stefanus Jioe

030.11.157

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDULi

PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIANii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBINGiii

LEMBAR PENGESAHANiv

UCAPAN TERIMAKASIHv

KATA PENGANTARvi

DAFTAR ISIvii

DAFTAR TABELx

DAFTAR GAMBARxi

DAFTAR LAMPIRANxii

ABSTRAK BAHASA INDONESIAxiii

ABSTRAK BAHASA INGGRISxiv

BAB 1: PENDAHULUAN1

1.1Latar belakang1

1.2Perumusan masalah3

1.3Tujuan penelitian3

1.4Hipotesa penelitian3

1.5Manfaat penelitian....3

BAB II: TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Pustaka.....................................................................................4

2.1.1 Anatomi dan histologi pencernaan..............................................4

2.1.2 Proses dan tahapan defekasi........................................................4

2.1.3 Mekanisme kontraksi otot polos..................................................5

2.1.4 Klasifikasi dan kriteria konstipasi...............................................6

2.1.5 Komplikasi dari konstipasi........................................................7

2.1.6 Pemeriksaan konstipasi.............................................................8

2.1.7 Tatalaksana konstipasi...............................................................9

2.1.8 Pencegahan konstipasi...............................................................11

2.1.9 Posisi defekasi sebagai pencegahan konstipasi.........................12

2.1.10 Kesimpulan sehubungan dengan penelitian..............................14

2.2 Kerangka teori.......................................................................................15

2.3 Ringkasan pustaka.................................................................................16

BAB III: KERANGKA KONSEP & DEFINISI OPERASIONAL..............18

3.1 Kerangka konsep...................................................................................18

3.2 Definisi operasional...............................................................................19

3.2.1 Variabel bebas............................................................................19

3.2.2 Variabel terikat...........................................................................20

BAB IV: METODE..............................................................................................21

4.1 Desain penelitian...................................................................................21

4.2 Lokasi dan waktu penelitian..................................................................21

4.2.1 Lokasi penelitian.......................................................................21

4.2.2 Waktu penelitian........................................................................21

4.3 Populasi dan Sampel Penelitian.............................................................21

4.3.1 Populasi penelitian.....................................................................21

4.3.2 Sampel penelitian......................................................................21

4.3.3 Penghitungan sampel.................................................................22

4.4 Bahan dan instrumen penelitian............................................................23

4.5 Analisis data...........................................................................................23

4.5.1 Analisis univariat.......................................................................23

4.5.2 Analisis bivariat..........................................................................24

4.6 Alur kerja penelitian..............................................................................24

4.7 Etika penelitian......................................................................................25

4.8 Penjadwalan penelitian..........................................................................26

BAB V: HASIL PENELITIAN.........................................................................27

5.1Proses pengambilan data.......................................................................27

5.2Hasil analisis univariat...........................................................................27

5.3Hasil analisis bivariat.............................................................................29

BAB VI: PEMBAHASAN..................................................................................31

6.1Pembahasan analisa univariat................................................................31

6.2Pembahasan analisa bivariat..................................................................33

BAB VII: KESIMPULAN DAN SARAN........................................................35

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................36

LAMPIRAN....................................................................................................40

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1Ringkasan pustaka16

Tabel 3.1Variabel bebas19

Tabel 3.2Variabel terikat20

Tabel 4.1Jadwal penelitian26

Tabel 5.1Karkteristik subjek.........................................................................28

Tabel 5.2Nilai mean variabel tergantung......................................................28

Tabel 5.3Variabel bebas dan nilai p..............................................................30

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1Ilustrasi perbedaan posisi otot puborektalis saat jongkok dengan saat duduk13

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1Kaji etik penelitian40

Lampiran 2Informed consent dan formulir persetujuan41

Lampiran 3Pembiayaan penelitian43

Lampiran 4Hasil data responden44

Lampiran 5Hasil analisa SPSS46

Lampiran 6Pernyataan kontribusi kepengarangan48

iii

ABSTRAK

HUBUNGAN ANTARA POSISI DEFEKASI DENGAN DURASI DEFEKASI PADA ANAK USIA 5-10 TAHUN

Latar belakang

Konstipasi fungsional banyak terjadi pada anak-anak usia sekolah. Untuk itu usaha pencegahan terhadap konstipasi fungsional sangat perlu dilakukan Salah satu pendekatan untuk mencegah konstipasi yang masih jarang ada penelitiannya adalah perubahan posisi defekasi dari duduk menjadi jongkok. Sebelumnya telah ada penelitian yang dilakukan mengenai hal ini pada orang dewasa muda hingga usia lanjut, akan tetapi belum pernah dilakukan penelitian pada anak-anak. Maka peneliti merasa perlu untuk melakukan penelitian dengan tujuan mengetahui hubungan antara posisi defekasi dengan durasi defekasi pada anak-anak.

Metode

Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan studi observasional yang mengikutsertakan 29 anak di panti asuhan yang terletak di Jakarta Barat. Data yang dikumpulkan meliputi usia, jenis kelamin, posisi defekasi dan durasi defekasi untuk menemukan hubungan antara usia, jenis kelamin dan posisi defekasi dengan durasi defekasi. Pengukuran durasi defekasi dilakukan dua kali untuk setiap subjek masing-masing satu kali pada posisi duduk dan jongkok. Uji yang digunakan adalah uji-T independen dengan tingkat kemaknaan kurang dari 0,05

Hasil

Ditemukan hubungan yang bermakna antara posisi defekasi dengan durasi defekasi (p=0,000). Namun tidak ditemukan hubungan bermakna antara usia dengan durasi defekasi(p=0,484) dan jenis kelamin dengan durasi defekasi(p=0,204)

Kesimpulan

Ada hubungan antara posisi defekasi dengan durasi defekasi dan tidak menunjukan adanya hubungan antara usia dan jenis kelamin dengan durasi defekasi.

Kata Kunci: Konstipasi, durasi, defekasi, posisi

ABSTRACT

THE RELATIONSHIP BETWEEN DEFECATION POSTURE AND DEFECATION DURATION IN 5-10 YEARS OLD CHILDREN

Background

Functional constipation has a high prevalence in school-age children, thus the prevention of functional constipation effort is necessary. One approach to prevent constipation which is still not well known is the change in the position of defecation from sitting to squatting. Previous research has done on this in the young adult to old age , but no research on children has been done. So, researcher feel the need to do a research in order to know the relationship between the position of the duration of defecation defecation in children .

Method

This research is an analytic observational study involving 29 children in the orphanage , located in western Jakarta. The collected data consists of age, gender, defecation position and defecation duration Measurements of defecation duration performed twice for each subject each one in a sitting position and squatting position. The method used is T-Test Independent with a significance level less than 0.05

Result

Data were analyzed by independent t-test. Found a strong relationship between the position of defecation defecation duration ( p = 0.000 ), but no relationship between defecation duration and age (p=0,484) and between defecation duration and gender (p=0,204)

Conclusion

This study shows a relationship between defecation position and duration but no relationship between age; gender and defecation duration

Key word: Constipation, duration, defecation, position

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Konstipasi pada anak merupakan masalah klinis yang perlu mendapat perhatian. Alasan dari pernyataan di atas adalah tingginya kejadian konstipasi pada anak, pada suatu artikel ilmiah yang ditulis Sian dikatakan bahwa 5-30% anak menderita konstipasi fungsional.(1) Prevalensi yang cukup tinggi tersebut kemungkinan disebabkan perubahan gaya hidup anak, karena menurut suatu studi yang dilakukan oleh Misra dkk, konstipasi sering terjadi pada anak yang memiliki Indeks Massa Tubuh (IMT) di atas nilai ideal,(2) hal ini juga dipertegas oleh studi yang dilakukan oleh Skelton dkk (3) yang menyimpulkan bahwa terdapat peningkatan persentase anak yang menderita obesitas di Amerika Serikat. Konstipasi, terutama pada anak tidak hanya menimbulkan efek yang terjadi langsung saat buang air besar tapi juga dapat menimbulkan masalah di kemudian hari. Salah satu contoh masalah yang akan timbul di kemudian hari adalah terjadinya Inflammatory Bowel Syndrome (IBS) saat usia anak sudah lebih dari delapan belas tahun.(4) Selain itu konstipasi juga dapat menimbulkan trauma psikis pada anak karena terjadinya pengalaman buang air besar yang menyakitkan, sehingga anak tidak mau buang air besar lalu feses bertambah keras dan konstipasi semakin parah.(5)

Konstipasi juga dapat menyebabkan terjadinya inkontinensia fekal dan flatulence yang dapat merusak kepercayaan diri anak. Menurut Pada usia 5-12 tahun, terjadi suatu fase yang dinamakan industry vs inferiority di mana anak yang gagal dalam fase ini akan menjadi anak yang kurang motivasi dalam melakukan apapun, sesuai dengan tingkat perkembangan psikososial menurut Erikson.(6) Untuk mencegah dampak jangka panjang maupun pendek akibat konstipasi pada anak, perlu ada perubahan pada gaya hidup.

Gaya hidup yang dapat mencegah konstipasi yang cukup berpengaruh adalah diet tinggi serat seperti sereal gandum, buah-buahan dan sayur-sayuran.(7) Sebuah penelitian di Amerika oleh Schmier(8) mengatakan bahwa dengan perubahan kebiasaan dari kebiasaan diet rendah serat ke tinggi serat dapat memotong biaya berobat akibat konstipasi sebesar 12 milyar dolar per tahun. Sebuah analisis literatur juga mengatakan bahwa ada hubungan antara gaya hidup yang aktif dengan menurunnya kejadian konstipasi.(9) Salah satu gaya hidup yang masih sedikit diteliti adalah posisi defekasi yang kita tahu terdiri dari posisi jongkok (squatting) dan duduk (sitting). Pernah yang dilakukan oleh Sikirov pada subyek berusia 17 sampai 66 tahun menyimpulkan defekasi dengan posisi jongkok memakan durasi defekasi yang lebih singkat dan usaha yang lebih ringan dibandingkan dengan defekasi dengan posisi duduk.(10) Durasi defekasi yang cepat dan defekasi yang tuntas akan mencegah terjadinya konstipasi karena feses yang terlalu lama berada di usus mengalami penyerapan air berlebihan sehingga menyebabkan feses menjadi keras sehingga rasa tidak nyaman saat defekasi membuat anak enggan untuk melakukan defekasi lalu menahan defekasi, menurut sebuah review oleh Cohn(11) kebiasaan menahan defekasi ini dapat memperburuk keadaan karena makin mengerasnya feses. Feses yang keras ini dapat menyebabkan konstipasi yang dapat berdampak buruk pada anak baik jangka panjang maupun pendek.

Berdasarkan beberapa penelitian dan analisis di atas maka dilakukanlah penelitian ini sebagai alat edukasi untuk para orang tua atau pengasuh anak untuk memberikan alternatif gaya hidup yang mudah dilakukan dan dapat membantu mencegah terjadinya konstipasi pada anak di Indonesia.

1.2 Perumusan masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut:

Apakah ada hubungan antara posisi defekasi dengan durasi defekasi pada anak usia 5-10 tahun?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan umum: Mensosialisasikan posisi defekasi yang lebih sehat.

Tujuan khusus: Mengetahui adanya hubungan antara posisi defekasi dengan durasi defekasi.

2.2 Hipotesis Penelitian

1. Ada hubungan antara durasi defekasi dengan posisi defekasi pada anak usia 5-10 tahun.

2. Ada hubungan antara durasi defekasi dengan usia.

3. Ada hubungan antara durasi defekasi dengan jenis kelamin.

2.3 Manfaat Penelitian

a. Bagi peneliti: Untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar sarjana kedokteran.

b.Bagi ilmu pengetahuan: Memberikan pengetahuan alternatif mengenai cara pencegahan konstipasi secara sederhana.

c.Bagi profesi: Merupakan sumber referensi untuk penelitian berikutnya yang berhubungan dengan saluran pencernaan dan kesehatan anak.

d.Bagi masyarakat: Peningkatan kualitas kesehatan dengan mencegah terjadinya konstipasi pada anak.

e.Bagi populasi penelitian: Mengetahui perbedaan antara durasi defekasi antara posisi duduk dan jongkok.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Tinjauan Pustaka

2.1.1Anatomi dan histologi saluran pencernaan

Sistem pencernaan manusia dimulai dari rongga mulut hingga rektum yang merupakan akhir dari usus. Usus manusia pada dasarnya terbagi menjadi dua bagian berdasarkan fungsi dan histologinya masing-masing. Dua bagian yang dimaksud adalah usus kecil dan usus besar. Usus kecil dibagi lagi menjadi duodenum, jejunum dan ileum. Usus besar terdiri atas: sekum, apendiks, kolon ascenden, kolon transversum, dan kolon desenden.(12) Lumen usus terdiri dari empat lapisan jika ditinjau secara histologis. Empat lapisan usus yang pertama dan yang paling dekat dengan lumen adalah lapisan mukosa yang terdiri dari sel epitel, sel goblet dan terdapat juga pembuluh darah. Lapisan yang kedua adalah lapisan sub-mukosa. Lapisan yang ketiga adalah lapisan otot yang dibagi lagi menjadi dua bagian yaitu otot sirkuler dan longitudinal, otot longitudinal berfungsi untuk menekan feses menuju ke usus bagian distal. Lapisan yang paling luar disebut lapisan adventisia, terdiri dari jaringan ikat serosa dan peritoneum.(13)

2.1.2 Proses dan tahapan defekasi

Dalam proses defekasi, semua lapisan otot pada usus mempunyai peran untuk berkontraksi dan membawa feses masuk ke dalam rektum, walaupun yang secara langsung memasukan feses ke dalam rektum hanyalah kolon, hal ini ditunjukan dengan beberapa fase dari defekasi. Fase pertama dari defekasi disebut fase basal di mana terjadi aktivitas dari sistem saraf motorik dari kolon yang menyebabkan kolon berkontraksi dan menekan feses ke dalam rektum. Kejadian ini mempunyai dua dampak. Dampak yang pertama adalah terjadinya penekanan pada dinding rektum sehingga terjadi stimulasi atau perangsangan pada reseptor mekanik pada dinding rektum sehingga timbul rasa ingin defekasi. Dampak yang kedua adalah terinisiasinya suatu proses bernama Rectoanal Inhibition Reflex (RAIR) di mana terjadi penghambatan stimulus saraf pada otot spinchter internal dari anus, sehingga otot spinchter internal anus berelaksasi sehingga feses bisa ditekan terus mendekati bagian paling ujung saluran pencernaan. Fase yang kedua disebut fase pre-expulsive, pada fase ini semua feses sudah masuk ke dalam saluran pencernaan paling ujung, dan ada keinginan yang sangat besar untuk defekasi. Fase yang ketiga adalah fase expulsive di mana terjadi tekanan intra rektal yang lebih besar daripada tekanan dari spinchter anus externus sehingga kotoran bisa keluar, tentu saja pada manusia ada banyak pertimbangan sebelum defekasi, salah satu contoh adalah pertimbangan tempat dan posisi, maka peran dari spinchter anus externus adalah menghambat fase expulsive ini bila ada pertimbangan untuk tidak defekasi. Fase yang terakhir adalah fase terminasi, pada fase ini RAIR akan berhenti dan otot spinchter interna dari anus kembali berkontraksi.(14)

2.1.3 Mekanisme kontraksi otot polos

Kegiatan usus mendorong feses sebenarnya merupakan suatu proses yang kompleks, tapi pada dasarnya adalah mekanisme dari kontraksi otot polos. Di antara dua sel otot polos pada kolon terdapat sel interstisial penghubung yaitu Interstitial Cell of Cajal (ICC), keduanya dihubungkan oleh tight gap junction. Mekanisme kontraksi otot polos memiliki kunci pada pengisian ion kalsium pada organel retikulum endoplasma milik ICC. Ion kalsium yang masuk ke dalam retikulum endoplasma milik ICC adalah ion kalsium yang berasal dari sitoplasma maupun dari cairan ekstraselular. Selanjutnya ion kalsium akan mensensitisasi sebuah kanal yang banyak diekspresikan pada organel retikulum endoplasma, yang berfungsi untuk mengeluarkan ion kalsium ke sitoplasma, kanal ini juga bisa disebut sebagai pacemaker dari kontraksi otot polos. Tujuan dari pengeluaran ion kalsium ini ada dua, tujuan pertama adalah untuk menginisiasi suatu proses yang disebut STIC (Spontaneus Transient Inward Current). Tujuan yang kedua adalah untuk mensensitisasi kanal lainnya yang juga diekspresikan pada retikulum endoplasma, yang akhirnya juga akan menginisiasi STIC, mekanisme ini disebut Calcium induced Calcium Release (CICR) . Ion kalsium yang dikeluarkan ke sitoplasma, selain menginisiasi STIC ada juga yang didaur ulang untuk masuk lagi ke dalam retikulum endoplasma. Setelah STIC terjadi, tahap selanjutnya adalah Spontaneus Transient Depolarization atau STD. Depolarisasi yang terjadi tidak hanya memiliki efek pada berkontraksinya otot polos tapi juga membuka kanal VOC untuk memasukan kalsium dari daerah ekstraselular. Tujuan dari pemasukan ion kalsium ekstraselular adalah untuk mempercepat lagi proses CICR agar mempercepat terjadinya kontraksi. Setelah depolarisasi terjadi ion kalsium sitoplasma akan masuk dengan cara difusi pasif melalui junction antara ICC dan sel otot polos. Setelah potensial aksi terpenuhi maka selanjutnya akan terjadi kontraksi. Aktivitas kanal pacemaker diatur oleh Neurotransmitter seperti asetilkolin dan noreepinefrin sebagai stimulan ditambah zat NO sebagai inhibitor. Norepinefrin dan asetilkolin menstimulasi pacemaker melalui ekspresi protein InsP3, sedangkan NO bekerja sebagai inhibitor dengan menghambat kerja dari InsP3 melalui proses cGMP.(15)

2.1.4 Klasifikasi dan kriteria konstipasi

Proses defekasi yang telah dijelaskan di atas dapat terganggu, salah penyebabnya adalah konstipasi. Konstipasi secara sederhana dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu konstipasi fungsional dan organik. Konstipasi fungsional dapat didefinisikan sebagai konstipasi tanpa ditemukan adanya kelainan organik dengan enam kriteria sebagai berikut: Frekuensi defekasi kurang dari dua kali atau kurang setiap minggunya; Paling tidak terdapat satu kali episode inkontinensia fekal dalam satu minggu; Riwayat adanya sakit saat pergerakan usus dan peristaltik usus yang meningkat; Adanya feses besar yang tertinggal di rektum; Riwayat adanya defekasi dengan feses besar sampai menutupi diameter toilet; Riwayat menahan buang air besar dengan sengaja.(16) Konstipasi organik adalah konstipasi yang disertai kelainan organ. Banyak kemungkinan yang bisa menyebabka mn konstipasi organik, masalah bisa datang dari lumen usus contohnya adalah tumor, divertikulitis, peradangan mukosa usus. Masalah juga bisa datang dari saraf yang menginervasi lapisan muskular pada usus contohnya adalah penyakit Hirschprung. Menurut data epidemiologi suatu studi, konstipasi fungsional pada anak mencapai angka 36% (17), faktor yang berkontribusi dalam terjadinya konstipasi fungsional pada anak bukanlah masalah pada organ tetapi lebih kepada masalah psikososial seperti latihan buang air yang terlalu keras dari orang tua, stresor sosial pada anak atau bisa juga karena pengalaman defekasi yang menyakitkan akibat penyakit organik yang lalu.(18) Seluruh faktor di atas akan menyebabkan anak menjadi enggan untuk melakukan defekasi, sehingga terjadilah gejala dari slow transit constipation, di mana terjadi penyerapan air yang berlebihan pada feses yang menjadi keras. Ini merupakan awal dari sebuah lingkaran setan, karena feses anak yang keras akan menimbulkan keengganan anak untuk melakukan defekasi.

2.1.5 Komplikasi dari konstipasi

Akibat dari terjadinya lingkaran setan yang telah dijelaskan di atas adalah komplikasi-komplikasi yang bisa mempengaruhi masa depan sang anak. Menurut sebuah penelitian di amerika ada dua komplikasi jangka panjang yang dapat terjadi yaitu Inflammatory Bowel Syndrome (IBS) dan konstipasi. Pada penelitian tersebut, terjadinya komplikasi IBS pada dewasa muda yang masa kecilnya mengalami konstipasi fungsional menunjukan angka yang cukup tinggi yaitu 55%, di mana terdapat perbedaan sekitar 30% jika dibandingkan dengan kelompok kontrol yaitu dewasa muda yang pada masa kecilnya tidak mengalami konstipasi fungsional.(4) Terjadinya konstipasi sebagai komplikasi, menurut penelitian Khan dkk (4) menunjukan perbedaan yang tidak signifikan antara kelompok kasus dan kontrol, yaitu kelompok kontrol sebesar 23,5% dan kelompok kasus sebanyak 25%. Namun menurut penelitian Marloes dkk (19) konstipasi terjadi saat usia dewasa pada 25% orang yang saat masa kecilnya menderita konstipasi fungsional. Menurut kriteria Rome III mengenai IBS, harus mencakup dua poin berikut: Adanya rasa tidak nyaman pada daerah abdomen, bisa juga rasa sakit yang mempunyai karakter sebagai berikut yang minimal dipenuhi dua dari tiga karakter berikut: membaik dengan defekasi, onset gejala berhubungan atau merubah frekuensi defekasi, onset gejala berhubungan dengan atau merubah bentuk dari feses; Tidak ditemukan adanya kelainan yang berkenaan dengan inflamasi, anatomi, neoplasma dan metabolic yang menjelaskan mengenai gejala yang dialami oleh subjek yang bersangkutan. Perlu diperhatikan bahwa jika melihat kriteria di atas, pada IBS tidak terdapat kelainan organik, berbeda dengan IBD yang menunjukan inflamasi atau ulserasi pada mukosa kolon. Alasan mengapa hal ini perlu diperhatikan adalah agar para klinisi lebih waspada dan tidak mengabaikan jika terjadi gejala rasa nyeri dan tidak nyaman pada daerah abdomen tanpa ditemukan adanya kelainan organik.(20)

2.1.6 Pemeriksaan konstipasi

Untuk mencegah terjadinya komplikasi tersebut maka ada 3 hal yang harus diperhatikan yaitu penilaian, penatalaksanaan dan pencegahan pada anak yang mengalami konstipasi. Penilaian yang baik pada dasarnya meliputi anamnesis yang teliti, pemeriksaan fisik, laboratorium dan penunjang jika diperlukan. Anamnesis yang teliti meliputi onset terjadinya konstipasi, konsistensi tinja, gejala mengejan keras saat defekasi, riwayat gizi anak terutama asupan cairan dan makanan yang kaya akan serat, obat-obatan yang diminum.(21) Perlu juga ditanyakan mengenai gejala-gejala yang sering terjadi pada konstipasi pada anak meliputi: tidak konsistennya frekuensi defekasi sehari; rasa nyeri abdomen saat defekasi; inkontinensia fekal; adanya manuver untuk menahan feses yang akan keluar; darah pada feses; gejala enuresis. Pemeriksaan fisik yang baik pada konstipasi anak meliputi anthropometri atau status gizi lainnya karena ada penelitian yang mengatakan bahwa ada asosiasi konstipasi pada anak dengan obesitas, palpasi abdomen untuk mencari adanya distensi abdomen, auskultasi untuk mendengar bunyi bising usus, adanya perubahan pada bising usus baik tidak ada, kurang atau berlebihan bisa menandakan terjadinya obstruksi saluran cerna, inspeksi daerah perianal juga diperlukan. Pemeriksaan yang invasif dan dapat menimbulkan trauma seperti pemeriksaan colok dubur tidak dianjurkan. Juga pemeriksaan dengan radiasi seperti x-ray abdomen tidak dianjurkan karena ada sel-sel yang belum sepenuhnya berdiferensiasi pada anak.(21) Namun pemeriksaan lab seperti TSH; FT4; FT3 dan kadar kalsium pada darah diperlukan untuk menyingkirkan kemungkinan adanya hipotiroidisme dan hipokalsemia.

2.1.7 Tatalaksana konstipasi

Jika tidak ditemukan kelainan organik maupun metabolik maka penatalaksanaan yang baik pada umumnya tidak mendahulukan tatalaksana secara farmakologis, tetapi dengan cara edukasi dan modifikasi lifestyle. Modifikasi lifestyle yang bisa dilakukan sebagai intervensi primer menurut Casey (13) adalah diet tinggi serat seperti buah-buahan dan sayuran dan hidrasi yang adekuat. Menurut Nelhans(22), selain hidrasi dan diet tinggi serat, edukasi dari orang tua tentang kebiasaan defekasi sehari-hari seperti jadwal defekasi juga penting. Dukungan dari keluarga juga dapat mempengaruhi prognosis dari penyakit konstipasi anak. Perlu dieduasikan pada orang tua anak bahwa konstipasi pada anak merupakan hal yang sering terjadi dan bukan merupakan suatu hal yang harus dianggap memalukan (22) agar orang tua tidak merasa malu akan penyakit anaknya dan pada akhirnya salah pada penanganan penyakit anaknya, juga perlu ditekankan bahwa jarang sekali adanya masalah organik atau penyakit penyerta pada kasus konstipasi anak agar orang tua tidak panik. Selain orang tua, lingkungan anak pun harus masuk dalam pertimbangan untuk diedukasi, misalnya sekolah anak, jangan sampai anak dipermalukan di sekolah jika terjadi inkontinensia akibat terjadinya konstipasi.

Tatalaksana farmakologis diperlukan karena tatalaksana non-farmakologis terkadang tidak cukup membantu, tatalaksana farmakologis meliputi: terapi disimpaksi; terapi laksatif atau maintenance. Terapi disimpaksi terdiri dari 2 kata yaitu dis yang berarti lawan atau ketidaksetujuan dan impaksi berasal dari kata impact yang berarti akibat, jika digabungkan kedua kata tersebut arti dari disimpaksi adalah perlawanan kepada akibat yang ditimbulkan oleh feses yang menyumbat rektum . Tujuan terapi disimpaksi adalah untuk mengeluarkan feses yang sudah mengeras di kolon, namun setelah itu tetap perlu pemeriksaan untuk mencari kelainan organik atau fungsional yang mendasari. Menurut Stovel, dkk (23) obat lini pertama yang cocok untuk anak dengan impaksi fekal akut adalah larutan Poliethilen Glikol oral dengan alasan tidak menimbulkan kelainan elektrolit dan tidak menyebabkan gangguan fungsi ginjal. Beberapa studi mengenai efektifitas dan keamanan dari larutan PEG juga dikaji oleh Kinservik dkk (24) di mana pada kajian tersebut dibahas lima studi dan hasilnya menunjukan bahwa PEG 3350 tidak mengakibatkan gangguan elektrolit, lebih lanjut lagi pada kajian tersebut dikatakan pemberian PEG 3350 oral mempunyai kelebihan tersendiri karena PEG 3350 oral bisa diterima oleh anak dari segi rasa dari kelima studi yang dikaji. Dari kelima studi tersebut disebutkan pula dosis PEG 3350 yang efektif yaitu berkisar antara 0,5-1 g/kg/hari, 0,84g/kg/hari, 0,3g/kg/hari selama 14 hari dan 1-1,5 g/kg/hari selama 3 hari. Kekurangan dari obat PEG oral ini adalah harganya yang mahal selain itu menurut penelitian Pace dkk (25) terapi disimpaksi hanya diperlukan pada kasus konstipasi disertai dengan adanya Mega Rectum (MR) yang dikonfirmasi dengan pemeriksaan USG pelvis. Selain melalui oral, terapi disimpaksi juga dapat dilakukan melalui lubang anus atau dengan sediaan suppositoria. Suppositoria gliseril dan bisakodil biasanya digunakan pada anak-anak tapi tidak boleh diberikan terus menerus sampai lebih dari satu minggu karena terapi suppositoria mempunyai efek traumatik pada anak.

Tujuan dari terapi maintenance adalah mencegah terjadinya gejala pada anak dan mempertahankan ritme peristaltik usus sesudah disimpaksi. Menurut kriteria National Institute for Health and Clinical Excellence (NICE) dosis yang dipakai adalah setengah dari dosis yang digunakan saat disimpaksi, dengan obat lini pertama yang sama yaitu PEG oral. Perbaikan penyakit dapat memakan waktu bulanan sampai tahunan dan jika terjadi perbaikan, laksatif tidak boleh dihentikan secara mendadak namun secara tappering off. Obat lain yang dapat digunakan adalah laktulosa, namun obat ini akan meningkatkan rasa kembung pada perut karena pembentukan gas yang meningkat akibat fermentasi bakteri. Magnesium Hidroksida mempunyai keefektifan yang sama dengan PEG 3350 tetapi mempunyai kekurangan dari segi rasa yang tidak enak sehingga dapat mengurangi kepatuhan minum obat.

2.1.8 Pencegahan konstipasi

Kunci dari usaha yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya konstipasi pada anak adalah diet tinggi serat, hidrasi yang adekuat, menjaga berat badan ideal anak dan aktivitas fisik yang cukup. Untuk melaksanakan kebiasaan diet tinggi serat maka perlu diketahui jenis makanan yang mengandung tinggi serat. Buah-buahan seperti raspberry; apel dan pir, makanan dari bahan gandum seperti oatmeal; roti gandum, sereal yang cocok untuk sarapan anak-anak seperti cornflakes, kacang-kacangan dan sayur seperti kacang polong; brokoli dan lobak. Mengenai asupan cairan, telah dilakukan sebuah kajian ilmiah oleh Popkin dkk (26) yang menyatakan bahwa asupan cairan terutama untuk anak perempuan usia 4-8 tahun adalah 1,7 liter/hri dan untuk anak perempuan berusia 9-13 tahun asupan yang dianjurkan adalah 2,1 liter/hari. Untuk anak laki-laki berusia 4-8 tahun asupan cairan yang dianjurkan adalah 1,7 liter/hari dan untuk anak laki-laki berusia 9-13 tahun asupan cairan yang dianjurkan adalah 2,4 liter/hari. Hal yang perlu diingat adalah asupan cairan tidak hanya datang dari air tapi dari berbagai macam minuman, makanan berkuah, bumbu masakan dan lainnya, dengan mengikuti anjuran asupan cairan dalam sehari ini akan mencegah terjadinya konstipasi. Menjaga berat badan ideal anak pun perlu dilakukan, sebuah penelitian di Amerika Serikat oleh Misra dkk(2) menyebutkan anak yang BMI nya tergolong overweight lebih banyak mengalami konstipasi kronik dibanding anak yang BMI nya normal, ditambah lagi anak yang overweight lebih banyak yang mengalami kegagalan dalam terapi konstipasi kronik. Aktivitas fisik yang cukup dapat mencegah terjadinya konstipasi, sementara gaya hidup santai mempunyai asosiasi dengan konstipasi, menurut sebuah penelitian di Cina oleh Huang dkk (27).

2.1.9 Perubahan posisi defekasi sebagai pencegahan konstipasi

Pencegahan dari konstipasi yang jarang dipromosikan adalah posisi seseorang saat melakukan defekasi. Kita mengenal ada dua posisi dalam melakukan defekasi yaitu duduk dan jongkok (squatting). Penelitian yang dilakukan oleh Sikirov (10) yang mengikutkan 28 subjek beragam usia dari 17 hingga 66 tahun, menunjukan bahwa defekasi dengan posisi jongkok lebih baik daripada posisi duduk. Tiga posisi defekasi digunakan sebagai standard penelitian yaitu duduk pada toilet dengan tinggi standar (41cm- 42cm); duduk pada toilet yang lebih pendek (31cm-32cm) dan jongkok. Durasi defekasi dihitung sebanyak enam kali masing-masing pada setiap posisi. Faktor perancu pada penelitian tersebut telah berusaha disingkirkan, karena setiap subjek yang mengalami kelainan defekasi diminta untuk menunda dulu penelitian dan subjek tidak diperkenankan untuk mengganti kebiasaan makanan. Saat melakukan defekasi, subjek diberikan stopwatch digital, di mana waktu mulai dihitung saat pertama kali mengejan, kemudian diminta untuk mengehentikan penghitungan waktu saat rektum sudah terasa kosong. Selain durasi pengosongan usus, penelitian tersebut juga membagikan kuesioner kepada respondennya, mengenai kesulitan dalam defekasi. Hasil penelitian menunjukan bahwa durasi defekasi pada posisi jongkok lebih singkat dibandingkan dengan dua posisi duduk pembanding. Hasil kuesioner pun menunjukan bahwa pada posisi jongkok rasa puas dalam defekasi secara subjektif pun menunjukan hasil yang lebih positif.

Otot puborektalis adalah otot yang merupakan bagian dari puboviseralis. Otot puborektalis mempunyai tebal kira-kira 5,6 mm dan panjang kira-kira 2,8 cm. Posisi dari otot puborektal adalah mengelilingi rektum seperti pada gambar 2.1, dengan bagian anterior berhubungan dengan tulang simfisis pubis. Otot puborektalis akan berkontraksi sebagai respon saat ada peningkatan tekanan intra-abdominal.(28) Dengan kontraksi tersebut maka sudut antara anus dan rektum akan berubah sehingga menghambat keluarnya feses dan mencegah inkontinensia. Pada gambar 2.1 diperlihatkan bahwa pada posisi jongkok otot puborektalis tidak berkontraksi sehingga sudut antara anus dan rektum menjadi lebih besar dan feses lebih mudah keluar.

Gambar 2.1

Ilustrasi perbedaan posisi otot puborektalis saat jongkok dengan saat duduk

Sumber: http://www.medscape.org/viewarticle/544467_4(29)

2.1.10Kesimpulan sehubungan dengan penelitian

Sebagai kesimpulan yang berhubungan dengan penelitian, jika pengosongan usus lebih baik dalam posisi jongkok, maka kemungkinan adanya feses yang tertinggal di dalam rektum menjadi lebih kecil, maka tidak akan terjadi penyerapan air yang berlebihan yang akhirnya akan menyebabkan feses menjadi keras.

45

2.2Kerangka teori

(LifestyleGangguan metabolik Gangguan organikPerubahan konsistensi fesesPerubahan durasi defekasiPosisi defekasiPerubahan posisi otot puborectalisKonstipasi)

2.2 Ringkasan Pustaka

Tabel 2.1

Ringksan pustaka

No

Peneliti

Lokasi Penelitian

Desain

Subjek

Variabel

Lama

Hasil

1

Dov Sikirov

Israel

Kohort

Jumlah Subjek: 28 (14 pria; 14 wanita)

Usia subjek: 17-66 tahun

Variabel bebas: 3 Posisi defekasi (duduk, duduk dengan penyanggah kaki, jongkok)

Variabel terikat:

-Durasi defekasi

-Sensasi defekasi

Waktu defekasi yang diperlukan pada posisi jongkok lebih singkat dibandingkan pada posisi duduk. Rata-rata durasi defekasi pada posisi jongkok adalah 51 detik, sedangkan pada posisi duduk adalah 130 detik. Perbedaan statistikal durasi defekasi dan sensasi subjektif tingkat kesulitan defekasi antara 2 kelompok cukup signifikan dengan P