Skripsi Jadi
-
Upload
nurafni-oktavia -
Category
Documents
-
view
38 -
download
0
description
Transcript of Skripsi Jadi
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Belum terlepas dari masalah yang di hadapi pasca terjadinya krisis
ekonomi yang terjadi pada tahun 1997-1998 tepatnya pada periode bulan Juli-
Agustus 1997, dimana keadaan perekonomian porak-poranda. Pasar keuan-
gan, pasar modal, dan pasar barang dan jasa mengalami goncangan yang san-
gat parah, kini Indonesia telah dihadapkan kembali dengan krisis keuangan
global. Berbeda masalah dengan krisis yang terjadi pada 1997-1998, yang
dipicu faktor domestik, seperti ketergantungan konglomerat yang luar biasa
pada utang luar negeri, tingginya proporsi utang jangka pendek valas, dan bu-
ruknya corporate govermance, ada anggapan krisis sekarang ini sepenuhnya
bersumber dari faktor eksternal dan memiliki dimensi yang luas dengan krisis
yang terjadi pada tahun 1997-1998. Sebagaimana di ketahui bahwa krisis
keuangan yang bermula dari Amerika Serikat ini telah menimbulkan dampak
negatif bagi perekonomian dunia, tidak hanya terhadap sektor keuangan, sek-
tor riil dan komoditas juga terkena dampaknya. Tingginya harga komoditas
pertanian, pertambangan, dan energi telah menimbulkan kesulitan, terutama
bagi negara berkembang termasuk Indonesia. dengan kata lain dampak krisis
keuangan global adalah semakin tingginya tingkat inflasi.(www.google.com)
Tak dapat dipungkiri Inflasi merupakan masalah ekonomi diseluruh
negara. Menurut pengalaman di berbagai negara yang mengalami inflasi
1
adalah terlalu banyaknya jumlah uang beredar, kenaikan upah, krisis energi,
defisit anggaran, dan masih banyak penyebab dari terjadinya inflasi. Salah
satu penyakit dalam perekonomian yang dialami oleh negara berkembang
adalah upanya menjaga kestabilan makro ekonomi secara luas, khususnya
dalam menjaga inflasi. Inflasi timbul dari sisi permintaan, sebagian lagi be-
rasal dari sisi penawaran. Secara teoritis, pengertian inflasi merujuk pada pe-
rubahan tingkat harga (barang dan jasa) umum yang terjadi secara terus
menerus akibat adanya kenaikan permintaan agregat atau penurunan pe-
nawaran agregat. Untuk itu inflasi harus segera dapat diatasi, karena inflasi
yang buruk akan mengurangi investasi diikuti dengan berkurangnya kegiatan
ekonomi, dan menambah pengangguran, sehingga memperlambat pertum-
buhan ekonomi. (Riset ekonomi dan kebijakan moneter Bank Indonesia)
Masih tingginya tekanan inflasi di Indonesia sampai Agustus 2008
terutama berasal dari permintaan agregat yang tumbuh cepat. Sementara itu,
tekanan dari kenaikan harga energi, pangan dan komoditas di pasar dunia,
mulai mereda, meski harus tetap diwaspadai. Menyikapi hal tersebut, Bank In-
donesia memandang perlu untuk menjaga dan mengamankan agar permintaan
agregat tetap tumbuh dalam jalur yang aman bagi pencapaian sasaran inflasi
dan kestabilan ekonomi pada umumnya dalam jangka menengah.
Dari penelitian yang dilaksanakan oleh biro kebijakan moneter Bank
Indonesia, indikator terkini dalam perekonomian menunjukkan bahwa per-
mintaan agregat tumbuh dengan cepat yang didorong oleh ekspor dan kon-
sumsi masyarakat. Investasi juga diperkirakan tumbuh di atas rata-rata his-
2
torisnya. Kuatnya permintaan domestik tersebut mendorong pertumbuhan im-
por yang tinggi, terutama untuk kebutuhan bahan baku dan barang modal.
Dalam jangka menengah panjang, pertumbuhan impor tersebut diharapkan da-
pat berdampak positif bagi pertumbuhan ekonomi negeri. Di sisi lain,
perekonomian Indonesia juga dihadapkan pada risiko perekonomian global
yang masih tinggi. Hal ini tercermin pada kondisi pasar keuangan global yang
belum stabil, pertumbuhan ekonomi dunia yang melambat, serta masih adanya
ketidakpastian perkembangan harga komoditas. Berbagai perkembangan
global dan domestik tersebut akan sangat mempengaruhi prospek pertum-
buhan ekonomi dan inflasi Indonesia tahun 2008 dan 2009.
Di tengah konstelasi perkembangan perekonomian yang terjadi, inflasi
tetap menjadi perhatian utama Bank Indonesia terutama inflasi indeks harga
konsumen (IHK). Dalam menempuh kebijakannya, Bank Indonesia men-
garahkan upayanya pada langkah-langkah menjaga inflasi. Dari penelitian
yang sama yang dilakukan biro kebijakan moneter Bank Indonesia, pada
Agustus 2008, inflasi IHK tercatat 0,51% (mtm), jauh menurun dari bulan se-
belumnya yang mencapai 1,37% (mtm) sehingga realisasi inflasi IHK tahunan
menjadi sebesar 11,85% (yoy). Dengan perkembangan tersebut, inflasi IHK
Januari-Agustus 2008 mencapai 9,40%, jauh lebih tinggi dibandingkan den-
gan periode yang sama tahun sebelumnya yang sebesar 3,58%.
Keadaan ini tidak jauh berbeda dengan yang terjadi di Sulawesi Ten-
gah, dimana perkembangan harga-harga barang dan jasa di Sulawesi Tengah
yang tercermin dari perkembangan IHK Kota Palu sebagai barometer kabu-
3
paten/kota selama kurun waktu tahun 2008 relatif cukup tinggi dibandingan
perkembangan harga pada tahun 2007. Hal ini tercermin dari laju inflasi yang
mencapai 10,40% (yoy) atau telah menembus angka dua digit dari tahun se-
belumnya . Angka inflasi ini lebih besar jika dibandingkan inflasi tahun 2007
yang tercatat sebesar 8,13% (yoy). Besaran inflasi sebesar 10,40% (yoy) me-
nunjukan bahwa secara umum terjadi kenaikan harga barang dan jasa di Kota
Palu pada tahun 2008 sebesar 10,40% dibandingkan kondisi harga yang ter-
jadi pada tahun 2007.
Berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi, masih tingginya in-
flasi IHK terutama didorong oleh faktor nonfundamental terkait masih
tingginya inflasi pada kelompok harga makanan yang bergejolak (volatile
food) karena keadaan musiman terutama untuk komoditas lokal dan faktor
permintaan barang dan jasa berkenaan dengan perayaan hari-hari besar. Di sisi
lain, inflasi harga barang yang ditentukan pemerintah (administered prices)
seperti kebijakan pemerintah menaikan harga BBM khususnya untuk rumah
tangga pada bulan april 2008 membuat angka inflasi melonjak tinggi pada bu-
lan Mei dan Juni 2008. Disamping itu, adanya krisis global yang berimbas
pada perekonomian Indonesia membuat laju inflasi melonjak tinggi.
Pemerintah melalui Undang-Undang No.14 tahun 1999, Negara Re-
publik Indonesia memberikan tugas kepada Bank Indonesia untuk mencapai
dan mempertahankan nilai rupiah. Secara spesifik tugas utama tersebut diny-
atakan dalam bentuk pencapaian sasaran inflasi yang rendah dan stabil, yang
4
berdasarkan UU No.4/2004 ditetapkan oleh pemerintah dengan berkonsultasi
dengan Bank Indonesia.
Sesuai tugas yang diberikan pemerintah kepada Bank Indonesia
melalui UU No.14 maka Bank Indonesia mempunyai beberapa kebijakan dan
instrument kebijakan dalam melaksanakan tugas tersebut sesuai dengan apa
yang telah ditugaskan, Bank Indonesia melakukan serangkaian kebijakan
moneter yang berkesinambungan, terarah dan terkontrol yang tidak lain mem-
punyai tujuan akhir mengendalikan laju inflasi agar tetap stabil.
Nilai tukar rupiah merupakan salah satu sasaran kebijkan moneter
adalah salah satu makna dari kestabilan laju inflasi sebagai tujuan Bank In-
donesia. menurut Mandala Miranda S.Goeltom (2004) kestabilan nilai rupiah
yang dimaksud dalam tujuan Bank Indonesia tersebut adalah kestabilan nilai
rupiah terhadap barang dan jasa yang diukur dengan atau tercermin perkem-
bangan laju inflasi serta kestabilan terhadap mata uang negara lain yang
diukur atau tercermin dari perkembangan nilai tukar rupiah terhadap mata
uang negara lain.
Penelitian yang dilakukan biro kebijakan moneter menyimpulkan
bahwa, nilai tukar rupiah selama Agustus 2008 secara rata-rata masih terapre-
siasi, meski di akhir periode bergerak melemah dengan skala terbatas. Nilai
tukar rupiah sempat tertekan oleh isu eksternal yaitu kekhawatiran dampak
perlambatan ekonomi global dan fluktuasi harga komoditas terhadap keta-
hanan ekonomi. Bank Indonesia melakukan upaya stabilisasi nilai tukar guna
menghindari volatilitas yang berlebihan di pasar valuta asing. Perkembangan
5
nilai tukar rupiah selama Agustus 2008 merupakan pekembangan nilai tukar
yang stabil dalam menekan laju inflasi karena semakin terapresiasi nilai mata
uang suatu negara terhadap mata uang negara lain maka kestabilan laju inflasi
suatu negara semakin membaik
Pada sisi lainnya pergerakan laju inflasi dapat disebabkan karena
adanya kenaikan jumlah uang beredar. Menurut Purbaya Yudhi Sadewa
dalam Kompas 2004 laju pertumbuhan uang yang terlalu cepat dapat mem-
berikan dampak yang kurang baik bagi perekonomian, karena suatu pertum-
buhan uang yang terlalu cepat pada akhirnya akan menimbulkan tekanan in-
flasi yang tak mudah untuk dikendalikan. Dari laporan perekonomian Bank
Indonesia tahun 2008, menyimpulkan bahwa sepanjang tahun 2008 uang kar-
tal tumbuh rata-rata sebesar 27,3%, atau meningkat jauh lebih tinggi dari peri-
ode yang sama tahun sebelumnya (18,1%). Akselerasi kartal berlangsung se-
jak awal tahun dan mencapai puncaknya pada September 2008. Kondisi terse-
but terjadi terkait dengan masih kuatnya pertumbuhan ekonomi terutama dari
sisi konsumsi masyarakat, yang juga didukung oleh lebih tingginya realisasi
Bantuan Langsung Tunai (BLT) dari Pemerintah pada tahun 2008. Tingginya
permintaan uang kartal juga didukung oleh tingginya penyaluran kredit per-
bankan yang sepanjang tahun 2008 tumbuh di atas 30%, atau meningkat jauh
lebih tinggi dari pertumbuhan pada periode yang sama tahun sebelumnya.
Bank Indonesia melalui serangkaian kebijakan moneter menggunakan salah
satu instrumen kebijakan yaitu operasi pasar terbuka (OPT) dengan
6
melakukan jual beli surat-surat berharga jangka pendek dalam rangka men-
gatur jumlah uang beredar atau suku bunga jangka pendek.
Berdasarkan pemaparan latar belakang diatas, maka penulis ingin
membuat satu penelitian secara ilmiah dengan mengangkat judul “ Analisis
Pengaruh Jumlah Uang Beredar dan Nilai Tukar Terhadap Inflasi Di Su-
lawesi Tengah Periode Tahun 2006-2008”
1.2 Permasalahan
Berdasarkan urain latar belakang diatas, maka yang menjadi per-
masalahan utama yang akan diangkat oleh penulis yaitu :
1. Apakah jumlah uang beredar berpengaruh terhadap inflasi di Sulawesi
Tengah periode 2006-2008.
2. Apakah nilai tukar berpengaruh terhadap inflasi di Sulawesi Tengah pe-
riode 2006-2008.
1.2.1 Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1.2.2 Tujuan Penelitian
Yang menjadi tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui :
1. Pengaruh jumlah uang beredar terhadap inflasi di Sulawesi Tengah pe-
riode 2006-2008.
2. Pengaruh nilai tukar terhadap inflasi di Sulawesi Tengah periode
2006-2008.
1.2.3 Kegunaan Penelitian
Yang menjadi kegunaan dalam penelitian ini adalah :
7
1 Sebagai bahan informasi dan diharapakan dapat menjadi bahan per-
timbangan bagi para pengambil kebijakan dalam mengendalikan in-
flasi yang ditinjau dari segi aspek jumlah uang beredar dan nilai tukar.
2 Sebagai bahan referensi tambahan bagi peneliti-peneliti selanjutnya
yang tertarik dengan permasalahan yang sama dengan penelitian ini.
BAB II
LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
2.1 Penelitian Sebelumnya
8
1. Determinan Inflasi Indonesia (Direktorat riset ekonomi dan kebi-
jakan moneter 2005, Akhis R. Hutabarat )
Dari peneletian yang diakukan direktorat riset ekonomi dan ke-
bijakan moneter tahun 2005 oleh Akhis R. Hutabarat, determinan
utama inflasi adalah ekspektasi inflasi yang terkait dengan pola pem-
bentukan ekspektasi inflasi yang masih didominasi oleh inflasi masa
lalu (ekspektasi adaptif). Perilaku ini menimbulkan persistensi inflasi
karena riwayat inflasi Indonesia yang banyak dipicu oleh inflasi cost-
push atau supply shocks yang signifikan dan sering terjadi, seperti ke-
jutan harga minyak, kenaikan harga BBM, devaluasi dan fluktuasi
berlebihan nilai tukar Rupiah. Karakteristik inflasi tersebut tidak men-
galami perbaikan pada pasca krisis, baik secara time series, distribusi
lintas komoditi pembentuk inflasi, maupun perbandingan dengan ne-
gara lain.
Persistensi inflasi tersebut juga dipengaruhi oleh besarnya
tekanan kenaikan harga barang administered khususnya harga BBM
dan listrik, depresiasi nilai tukar, dan kenaikan upah minimum yang
bersifat over-inflation indexation. Dalam kondisi tersebut maka pada
dasarnya inflasi hanya dapat turun jika terjadi favorable supply shocks
atau karena pengetatan moneter yang mentolerir dampak resesi
ekonomi.
2. Bunga, inflasi dan arah kebijakan moneter (September 2007. Oleh
M. Ikhsan Modjo)
9
Dari penelitian yang dilakukan oleh, M. Ikhsan Modjo tentang
bunga, inflasi dan arah kebijakan moneter, menyimpulkan bahwa
dalam skala mikro, ada banyak indikasi yang menunjukkan pen-
ingkatan permintaan barang-barang modal dari masyarakat. Misalnya,
terungkap bahwa terdapat lonjakan permintaan barang modal lebih
dari 100 persen hingga pertengahan 2007. Peningkatan investasi dan
bertambahnya belanja kapital itu tentu harus difasilitasi pemerintah
dan BI, melalui penurunan suku bunga.
Namun, di sisi lain, perkembangan terakhir harga-harga
agaknya tidak mengizinkan penurunan suku bunga. Di berbagai daerah
masih terdapat tren kuat peningkatan inflasi. Di hampir semua daerah,
harga bahan-bahan pokok sudah melambung, bahkan melampaui
tingkat peningkatan tahun-tahun sebelumnya. Sebagai contoh, harga
minyak goreng dan telur telah melesat lebih dari 10 persen, dan
bahkan sampai hilang dari pasar.
3. Perilaku uang dalam kemampuannya untuk memprediksi perger-
akan inflasi ke depan. (2002. Oleh Anglingkusumo).
Dari berbagai definisi uang,hanya uang kartal ( kertas dan
logam ) yang secara konsisten mempunyai daya prediksi yang kuat
terhadap inflasi. Transmisinya bekerja baik secara langsung dari uang
ke inflasi maupun melalui pengaruh uang kartal terhadap pergerakan
nilai tukar dan kemudian ke inflasi. Bukti empiris ini menunjukkan
10
besarnya komitmenBank Indonesia dalam pengendalian sasaran op-
erasional uang primer dalam kebijakan moneternya
4. Pengaruh jumlah uang beredar dan suku bunga SBI terhadap in-
deks harga konsumen di Indonesia tahun 2002-2007 (2009. Oleh
Ridwan)
Tipe penelitian yang digunakan adalah tipe penelitian assosi-
atif. Dengan mengunakan alat analisis regresi berganda dan asumsi
klasik. Dari pengujian secara parsial dengan menggunakan model
pendekatan regresi linier berganda jumlah unag beredar dan suku
bunga SBI untuk 1 bulan terhadap indeks harga konsumen, pada pen-
gujian secara serempak diperoleh variabel jumlah uang beredar dan
suku bunga yang dieliti mempengaruhi secara serempak terhadap in-
deks harga konsumen. Dari pengujian secara parsial diperoleh hasil
bahwa jumlah uang beredar berpengaruh negatif secara signifikan,
dan suku bunga SBI berpengaruh positif secara signifikan terhadap in-
deks harga konsumen di Indonesia tahun 2002-2007.
2.2 Landasan Teori
2.2.1 Inflasi
2.2.1.1 Defenisi inflasi
11
Inflasi adalah kecenderungan dari harga-harga untuk meningkat se-
cara umum dan terus menerus. Kenaikan terjadi tidak hanya pada satu atau
dua barang dan jasa saja, tetapi meluas pada harga-harga barang dan jasa yang
lain. Kenaikan harga ini akan cenderung terjadi secara tajam dan berlangsung
terus menerus dalam jangka waktu yang relatif lama. Bersamaan dengan ke-
naikan harga tersebut, nilai mata uang juga turun secara tajam, sebanding den-
gan kenaikan harga yang terjadi.
Kondisi yang merupakan lawan dari inflsi adalah deflasi, yaitu kondisi
ketika harga-harga barang dan jasa terus menurun dengan tajam. Penurunan
ini sebenarnya dimaksudkan untuk menggairahkan produksi, industri, kesem-
patan kerja, dan meningkatkan nilai uang. Akan tetapi, penurunan yang terus
menerus dan tak terkendali justru akan menyebabkan uang menjadi tidak
berharga. Baik inflasi maupun deflasi dapat mengganggu stabilitas perekono-
mian suatu negara.
Indikator yang umum digunakan untuk menggambarkan pergerakan
harga adalah Indeks Harga Konsumen (IHK). IHK mencakup barang dan jasa
yang dijual secara eceran dan dikonsumsi oleh sebagian besar masyarakat.
Perubahan IHK dari waktu ke waktu menunjukan pergerakan harga dari paket
barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat dilakukan atas dasar survey
bulanan di 45 kota, dipasar tradisional dan modern terhadap 283-397 jenis
barang dan jasa disetiap kota yang secara keseluruhan terdiri dari 742
komoditas.
12
Selain inflasi IHK, inflasi masih mmpunyai beberapa cara pengukuran
antara lain adalah Inflasi Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB) dan Inflasi
Pendapatan Domestik Bruto (IPDB) deflator. Namun demikian indikator yang
paling sering digunakan dalam pengukuran inflasi adalah IHK karena IHK
mencerminkan perubahan harga barang dan jasa kebutuhan masyarakat luas.
Dalam kehidupan nyata, inflasi IHK merupakan inflasi yang secara langsung
mempengaruhi keputusan bisnis dan konsumen.
2.2.1.3 Teori pembentukan inflasi
Pembahasan inflasi Indonesia mengacu pada teori ekonomi Neo-
Keynesian, sebagai bagian dari apa yang disebut oleh Robert Gordon “The
Triangle Model”. Dengan pendekatan ini, inflasi Indonesia dijelaskan oleh
inflasi permintaan, inflasi penawaran, dan ekspektasi inflasi.
Pendekatan model pembentukan inflasi ini dikenal juga dengan
“Expectation-Augmented Philips Curve”. Inflasi permintaan direfleksikan
sebagai pergerakan sepanjang kurva Philip sedangkan inflasi penawaran
direfleksikan sebagai pergeseran kurva Philip sehingga mengubah trade-off
antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi atau tingkat pengangguran.
2.2.1.4 Faktor pembentuk inflasi
Inflasi dapat timbul karena tiga hal, yaitu adanya tekanan dari sisi sup-
play (cost push), tekanan dari sisi permintaan (demand pull), dan dari sisi ek-
spektasi inflasi. Faktor-faktor terjadinya cost push inflation dapat disebabkan
oleh depresiasi (melemahnya) nilai tukar, dampak inflasi yang terjadi diluar
negeri terutama di negara-negara mitra dagang, peningkatan harga-harga ko-
13
moditi yang diatur pemerintah (administered price), serta adanya gangguan
tiba-tiba pada sisi penawaran (negative supply shocks) akibat bencana alam
yang terjadi di suatu daerah dan atau terganggunya distribusi barang. Faktor
terjadinya demand pull inflation adalah tingginya permintaan barang dan jasa
dibandingkan dengan kapasitas ketersediaanya (penawaran). Secara makro
ekonomi, kondisi ini di gambarkan oleh output riil yang melebihi output
potensialnya atau permintaan total (agregate demand) lebih besar dari pada
kapasitas perekonomian yang akhirnya menimbulakan output gap. Gap inilah
yang pada akhirnya memicu kenaikan harga barang, sesuai dengan hukum
ekonomi jika permintaan melebihi penawaran, maka harga akan naik.
Sementara itu, faktor ekspektasi inflasi dipengaruhi oleh prilaku
masyarakat dan pelaku ekonomi apakah lebih cenderung bersifat adaptif atau
forward looking. Untuk negara-negara berkembang, para pelaku ekonomi bi-
asanya masih bersifat adaptif, yang artinya akan segera melakukan penyesua-
ian sesaat jika memasuki bulan-bulan ketika permintaan barang akan
meningkat, seperti menjelang hari-hari besar keagamaan atau hari libur seko-
lah. Penyesuaian harga pada tipe masyarakat atau pelaku ekonomi seperti di-
atas biasanya juga akan dilakukan pada pengumuman kenaikan gaji atau upah
minimum regional. Biasanya pada kondisi-kondisi di atas itulah inflasi akan
melonjak. Pada masyarakat atau pelaku ekonomi dengan prilaku forward
looking, inflasi relatif tidak begitu fluktuatif.
Selain itu tekanan inflasi juga dapat dibedakan menjadi domestik pres-
sures (tekanan dari dalam negeri) dan external pressures (tekanan dari luar
14
negeri). Tekanan yang berasal dari dalam negeri merupakan segala sesuatu
yang terjadi didalam negeri yang mempengaruhi harga barang, dapat diaki-
batkan gangguan dari sisi penawaran dan permintaan dalam negeri yang akan
berpengaruh pada pembentukan harga barang dipasar atau kebijakan yang di-
ambil oleh instansi diluar bank sentral, misalnya kebijakan pengetatan
anggaran belanja pemerintah dengan melakukan penghapusan subsidi pemer-
intah, kenaikan pajak, atau kenaikan harga barang oleh pemerintah yang
berimbas pada kenaikan harga barang-barang yang lain. Tekanan dari luar
negeri dapat berupa inflasi dinegara lain yang akan berpengaruh pada ekspor,
impor atau neraca pembayaran antar negara, kenaikan harga barang impor
yang juga akan menyebabakan kenaikan harga produk dengan bahan baku im-
por, serta kenaikan nilai tukar mata uang asing yang secara otomatis akan
berpengaruh pada kinerja neraca pembayaran.
2.2.1.5 Efek inflasi
Inflasi dapat mempengaruhi distribusi pendapatan, alokasi faktor pro-
duksi serta produk nasional. Efek terhadap distribusi pendapatan disebut den-
gan : equity effect, sedang efek teradap alokasi factor produksi, dan produk
nasional masing-masing disebut dengan efficiency dan output effects.
1. Efek terhadap pendapatan (equity effect)
Efek terhadap pendapatan sifatnya tidak merata, ada yang dirugikan
tetapi ada pula yang diuntungkan dengan adanya inflasi.. Seseorang yang
memperolaeh pendapatan tetap akan dirugikan oleh adanya inflasi. Misalnya,
seorang yang memperoleh pendapatan tetap Rp 500.000,00/tahun sedang laju
15
inflasi sebesar 10% akan menderita kerugian penurunan pendapatan riil sebe-
sar laju inflasi tersebut, yakni Rp 50.000,00. Sebaliknya, pihak-pihak yang
mendapat keuntungan dengan adanya inflasi adalah mereka yang memperoleh
kenaikan pendapatan dengan persentase yang lebih besar dari laju inflasi,
atau mereka yang mempunyai kekayaan bukan uang dimana nilainya naik
dengan persentase lebih besar daripada laju inflasi.
2. Efek terhadap efisiensi (efficiency effects)
Inflasi dapat pula mengubah pola alokasi faktor-faktor produksi. Pe-
rubahan ini dapat terjadi melalui kenaikan permintaan akan berbagai macam
barang yang kemudian dapat mendorong terjadinya perubahan dalam pro-
duksi beberapa barang tertentu. Dengan adanya inflasi permintaan akan be-
berapa barang tertentu mengalami kenaikan yang lebih besar dari barang lain,
yang kemudian mendorong kenaikan produksi barang tersebut. Kenaikan pro-
duksi barang ini pada gilirannya akan merubah pola alokasi faktor produksi
itu lebih efisien dalam keadaan tidak ada inflasi. Namun kebanyakan ahli
ekonomi berpendapat bahwa inflasi dapat mengakibatkan alokasi faktor pro-
duksi menjadi tidak efisein.
3. Efek terhadap output (output effects)
Inflasi mungkin dapat menyebabkan terjadinya kenaikan produksi.
Alasannya dalam keadaan inflasi biasanya kenaikan harga-haraga barang
mendahului kenaikan upah sehingga keuntungan pengusaha naik. Kenaikan
keuntungan ini akan mendorong kenaiakan produksi. Namun apabila laju in-
flasi itu cukup tinggi (hyper inflasi) dapat mempunyai akibat sebaliknya,
16
yakni penurunan output. Daam keadaan inflasi yang tinggi, nilai uang riil tu-
run dengan drastis, masyarakat cenderung tidak menyukai uang kas, transaksi
mengarah kebarter, yang biasanya diikuti dengan turunnya produksi barang.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan langsung an-
tara inflasi dengan output, tetapi bisa juga dibarengi dengan penurunan out-
put.
2.2.1.6 Jenis-jenis inflasi
Inflasi dapat dibedakan dari penyebab terjadinya. Berikut adalah jenis-
jenis inflasi berdasarkan faktor penyebabnya.
1. Inflasi inti
Yaitu inflasi yang dipengaruhi oleh faktor fundamental perekonomian
suatu negara, yaitu interaksi permintaan-penawaran, lingkungan eksternal (ni-
lai tukar, harga komoditi internasional, inflasi mitra dagang), serta ekspektasi
inflasi dari pedagang dan konsumen. Inflasi inti pada dasarnya merupakan su-
atu tingkat inflasi IHK setelah mengeluarkan bahan makanan dengan harga
yang sangat berfluktuasi (volatile foods), dan barang-barang dengan harga di-
tentukan pemerintah (administered goods).
2. Inflasi non inti
Inflasi non inti adalah inflasi diluar inflasi inti, yang dipengaruhi oleh
selain faktor fundamental, yang terdiri dari hal-hal berikut.
(1). Inflasi volatile food
Inflasi inti adalah inflasi yang dipengaruhi oleh goncangan
(shock), yang biasanya terjadi pada gagal panen akibat gangguan alam
17
dan penyakit, yang berpengaruh tehadap harga. Pada masa panen,
harga akan cenderung rendah, tetapi pada masa tanam atau musim ke-
marau atau pada saat terjadi gagal panen, harga akan melonjak tinggi.
Karena umur tanam komoditas biasanya pendek, maka volatilitas
harga menjadi sangat tinggi.
(2). Inflasi administered prices
Inflasi yang dipengaruhi goncangan (shock) akibat kebijakan
harga oleh pemerintah, seperti penetapan harga BBM, harga gas, tarif
listrik dan tarif angkutan. Adanya kenaikan harga pada suatu barang
akibat kebijakan pemerintah akan berimbas pada kenaikan barang-
barang yang lain, dan pada akhirnya akan menimbulkan inflasi.
(3). Inflasi IHK
Inflasi IHK merupakan inflasi yang dihitung dengan keselu-
ruhan indeks harga konsumen, baik inti maupun non inti. Inflasi IHK
dikenal juga sebagai headline inflation yang sama artinya dengan in-
flasi inti dengan memasukan unsur harga barang yang volatile dan
adminestered price. Inflasi IHK dapat lebih tinggi atau lebih rendah
dibandingkan dengan inflasi inti, tergantung dari inflasi volatile food
dan inflasi administered price. Di Indonesia, perhitungan IHK di-
lakukan dengan mempertimbangkan sekitar beberapa ratus komoditas
pokok. (Seri kebanksentralan Bank Indonesia, sistem dan kebijakan
ITF di Indonesia ).
2.2.2 Jumlah Uang Beredar
18
2.2.2.1 Pengertian jumlah uang beredar
Yang dimaksud dengan jumlah uang beredar adalah nilai keseluruhan
uang yang berada ditangan masyarakat. Adapun jumlah uang beredar yang
kita kenal terdiri dari :
1. Uang beredar dalam arti sempit (M1), yaitu uang beredar yang terdiri
dari uang kartal (uang kertas dan uang logam) yang berada diluar sistem
moneter ditambah simpanan giro milik masyarakat pada bank umum (uang
giral)
M1 = C + D
Di mana : M1 = Jumlah uang beredar dalam arti sempit
C = Uang kartal = Uang kertas + Uang logam
D = Uang giral atau cek
2. Uang beredar dalam arti luas (M2), yaitu uang beredar yang
merupakan penjumlahan dari M1, Uang Kuasi, dan surat berharga selain
saham yang dapat diperjualbelikan dengan sisa jangka waktu sampai 1 tahun.
M2 = M1 + TD
Di mana : M2 = Jumlah uang beredar dalm arti luas
TD = Deposito berjangka (time deposit)
Namun secara teknis, yang dihitung sebagai jumlah uang beredar
adalah uang yang benar-benar berada di tangan masyarakat. Uang yang berada
ditangan bank (bank umum dan bank sentral), serta uang kertas dan logam
(uang kartal) milik pemerintah tidak dihitung sebagai uang beredar.
19
Perkembangan jumlah uang beredar mencerminkan atau seiring
dengan perkembangan ekonomi. Biasanya bila perekonomian bertumbuh dan
berkembang, jumlah uang beredar juga bertambah, sedang komposisinya
berubah. Bila perekonomian makin maju, porsi penggunaan uang kartal
(kertas dan logam) makin sedikit, digantikan dengan uang giral atau near
money. Berlebihnya jumlah uang beredar dalam perekonomian suatu negara
akan dapat memberikan tekanan pada naiknya harga-harga (Inflasi).adapun
uang yang kita kenal dalam perekonomian Negara Indonesia adalah sebagai
berikut :
Uang dalam ekonomi
a. Uang Kartal
Uang kartal terdiri dari uang kertas dan uang logam. Uang kartal
adalah alat bayar yang sah dan wajib diterima oleh masyarakat dalam
melakukan transaksi jual beli sehari-hari. Menurut Undang-undang Bank
Sentral No. 13 tahun 1968 pasal 26 ayat 1, Bank Indonesia mempunyai hak
tunggal untuk mengeluarkan uang logam dan kertas. Hak tunggal untuk
mengeluarkan uang yang dimiliki Bank Indonesia tersebut disebut hak oktroi.
b. Uang Giral
Uang giral tercipta akibat semakin mendesaknya kebutuhan
masyarakat akan adanya sebuah alat tukar yang lebih mudah, praktis dan
aman. Di Indonesia, bank yang berhak menciptakan uang giral adalah bank
umum selain Bank Indonesia. Menurut UU No. 7 tentang Perbankan tahun
1992, definisi uang giral adalah tagihan yang ada di bank umum, yang dapat
20
digunakan sewaktu-waktu sebagai alat pembayaran. Bentuk uang giral dapat
berupa cek, giro, atau telegrafic transfer. Uang giral bukan merupakan alat
pembayaran yang sah. Artinya, masyarakat boleh menolak dibayar dengan
uang giral.
c. Uang Kuasi
Uang kuasi adalah surat-surat berharga yang dapat dijadikan sebagai
alat pembayaran. Biasanya uang kuasi ini terdiri atas deposito berjangka dan
tabungan serta rekening valuta asing milik swasta domestik.
2.2.2.2 Teori permintaan uang
Dalam pendekatan moneter, yang mendasarkan pada pengembangan
konsep teori kuantitas uang, jumlah uang beradar (Money Supply) memegang
peranan penting dalam perekonomian suatu Negara.
Pengaturan jumlah uang beredar dalm pelaksanaannya tidaklah mudah
karena preferensi masyarakat terhadap uang sewaktu-waktu dapat berubah
sehingga jumlah uang beredar pada suatu waktu tertentu dapat menjadi terlalu
besar apabila permintaan masyarakat akan uang menurun dan sebaliknya akan
teralu kecil apabila permintaan meningkat. Baik kelebihan ataupun
kekurangan uang sebagai gejolak permintaan masyarakat akan uang, dapat
memberi dampak yang luas terhadap perekonomian.
Menurut Keynes, motif permintaan masyarakat akan uang adalah
untuk keperluan transaksi, berjaga-jaga, dan spekulasi.
Permintaan uang untuk transaksi
21
Permintaan uang untuk transaksi dalam teori Keynes adalah sama
dengan permintaan uang dalam teori klasik. Masyarakat memegang uang
dalam rangka mempermudah kgiatan transaksi sehari-hari. dalam teori klasik.
Masyarakat memegang uang dalam rangka mempermudah kgiatan transaksi
sehari-hari. Permintaan uang untuk transaksi berhubungan positif dengan
tingkat pendapatan; bila pendapatan meningkat, maka kebutuhan uang untuk
transaksi meningkat.
Permintaan uang untuk berjaga-jaga
Permintaan uang untuk berjaga-jaga dapat diartikan sebagai persiapan
untuk menghadapi hal-hal yang tidak di inginkan dan atau tidak terduga,
misalnya sakit atau mengalami kecelakaan. Permintaan uang untuk berjaga-
jaga berhubungan positif dengan tingkat pendapatan; jika pendapatan
meningkat, permintaan uang untuk berjaga-jaga juga meningkat.
Permintaan uang untuk spekulasi
Sebagai konsekuensi dari fungsinya sebagai penyimpan nilai, uang
dapat digunakan sebagai alat untuk mendapatkan keuntungan. Keynes
mengembangkan teori ini berdasarkan asumsi bahwa uang adalah salah satu
dari dua asset finansial yang dimiliki masyarakat. Aset yang lainnya adalah
obligasi, yaitu surat utang yang disertai janji memberikan pendapatan bunga.
Jenis obligasi yang di maksudkan Keynes adalah obligasi yang jatuh
temponya tidak terbatas dan tidak memiliki resiko gagal ditagih.
Keuntungan dari memegang uang adalah likuiditasnya yang
sempurna; kapanpun dibutuhkan, pada saat itu juga dapat digunkan untuk
22
bertransaksi. Tetapi biaya dari memegang uang adalah hilangnya kesempatan
memperoleh bunga, disbanding bila menyimpannya dalam bentuk obligasi
2.2.2.3 Teori nilai uang
Teori nilai uang membahas masalah-masalah keuangan yang berkaitan
dengan nilai uang. Nilai uang menjadi perhatian para ekonom, karena tinggi
atau rendahnya nilai uang sangat berpengaruh terhadap kegiatan ekonomi. Hal
ini terbukti dengan banyaknya teori uang yang disampaikan oleh beberapa
ahli. Teori uang terdiri atas dua teori, yaitu teori uang statis dan teori uang
dinamis.
1. Teori uang statis
Teori Uang Statis atau disebut juga "teori kualitatif statis" bertujuan
untuk menjawab pertanyaan: apakah sebenarnya uang? Dan mengapa uang itu
ada harganya? Mengapa uang itu sampai beredar? Teori ini disebut statis
karena tidak mempersoalkan perubahan nilai yang diakibatkan oleh
perkembangan ekonomi. Adapun termasuk teori uang statis adalah:
Teori Metalisme (Intrinsik) oleh KMAPP
Uang bersifat seperti barang, nilainya tidak dibuat-buat, melainkan
sama dengan nilai logam yang dijadikan uang itu, contoh: uang emas
dan uang perak.
Teori Konvensi (Perjanjian) oleh Devanzati dan Montanari
Teori ini menyatakan bahwa uang dibentuk atas dasar pemufakatan
masyarakat untuk mempermudah pertukaran.
Teori Nominalisme
23
Uang diterima berdasarkan nilai daya belinya.
Teori Negara
Asal mula uang karena negara, apabila negara menetapkan apa yang
menjadi alat tukar dan alat bayar maka timbullah uang. Jadi uang
bernilai karena adanya kepastian dari negara berupa undang-undang
pembayaran yang disahkan.
2. Teori uang dinamis
Teori ini mempersoalkan sebab terjadinya perubahan dalam nilai uang.
Teori dinamis antara lain:
Teori Kuantitas dari David Ricardo
Teori ini menyatakan bahwa kuat atau lemahnya nilai uang sangat
tergantung pada jumlah uang yang beredar. Apabila jumlah uang
berubah menjadi dua kali lipat, maka nilai uang akan menurun
menjadi setengah dari semula, dan juga sebaliknya.
Teori Kuantitas dari Irving Fisher
Teori yang telah dikemukakan David Ricardo disempurnakan lagi
oleh Irving Fisher dengan memasukan unsur kecepatan peredaran
uang, barang dan jasa sebagai faktor yang mempengaruhi nilai uang.
Teori Persediaan Kas
Teori ini dilihat dari jumlah uang yang tidak dibelikan barang-barang.
Teori Ongkos Produksi
Teori ini menyatakan nilai uang dalam peredaran yang berasal dari
logam dan uang itu dapat dipandang sebagai barang.
24
2.2.2 Nilai Tukar
2.2.3.1 Pengertian nilai tukar
Nilai tukar mata uang atau yang sering disebut dengan kurs adalah
harga satu unit mata uang asing dalam mata uang domestik atau dapat juga
dikatakan harga mata uang domestik terhadap mata uang asing. Sebagai con-
toh nilai tukar (NT) Rupiah terhadap Dollar Amerika (USD) adalah harga
satu unit dolar Amerika (USD) dalam rupiah (Rp), atau dapat juga sebaliknya
diartikan harga satu rupiah terhadap satu USD.
Apabila nilai tukar di definisikan sebagai nilai rupiah dalam valuta as-
ing maka, apabila NT meningkat berarti rupiah mengalami depresiasi, sedan-
gkan apabila NT menurun maka rupiah mengalami apresiasi. Sementara un-
tuk suatu negara yang menetapkan sistem nilai tukar tetap, perubahan nilai
tukar dilakukan secara resmi oleh pemerintah. Kebijakan suatu negara secara
resmi menaikan nilai mata uangnya terhadap mata uang asing disebut revalu-
asi, sementara kebijakan menurunkan nilai mata uang terhadap mata uang as-
ing disebut devaluasi.
Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai pengertian
tersebut diberikan contoh sebagai berikut. Misalnya, nilai tukar satu dollar
Amerika (USD) terhadap mata uang rupiah sebesar Rp.8500,00 apabila nilai
tukar satu USD berubah menjadi Rp.9000,00 maka nilai tukar rupiah men-
galami penurunan atau depresiasi. Sebaliknya apabila nilai tukar 1 USD
berubah menjadi sebesar Rp.8000, maka nilai tukar rupiah mengalami apresi-
asi.
25
2.2.3.2 Teori Purchasing Power Parity (PP)
Dalam membahas atau menganalisa pasar valuta asing, teori purchas-
ing power parity merupakan salah satu teori yang menjadi salah satu acuan
dalam membahas atau menganlisa pasar valuta asing. Teori ini dikemukakan
oleh ahli ekonomi dari Swedia bernama Gustav Bassel. Dasar teorinya
bahwa, perbandingan nilai satu mata uang dengan mata uang lain ditentukan
oleh tenaga beli uang tersebut (terhadap barang dan jasa) di masing-masing
negara.(Nopirin. 1987:182)
Pada pokoknya ada dua versi teori purchasing power parity, yakni in-
terpertasi absolute dan relatif. Menurut interpetasi absolut purchasing power
parity, perbandingan nilai satu mata uang dengan mata uang lain (kurs) diten-
tukan oleh tingkat harga di masing-masing negara sebagai contoh, harga 1 kg
gandum di Amerika Serikat adalah $ 1 dan di Indonesia Rp 1.000,00, maka
kurs dollar dan rupiah adalah $ 1 = Rp 1.000,00. Jadi, kurs didasarkan pada
perbandingan purchasing powernya adalah Rp 1.000,00. Apabila terjadi pe-
rubahan harga yang berbeda di kedua negara, maka kurs tersebut harusl men-
galami perubahan pula. Misalnya, kalau harga-harga di Indonesia naik tiga
kali dan di Amerika Serikat hanya naik dua kali atau $ 2 = Rp 3.000,00, maka
kurs dollar dan rupiah menjadi $ 1 = Rp 1.500,00. Kurs purchasing power
yang didasarkan pada perubahan harga inilah yang sering disebut kurs pur-
chasing power dalam arti relatif.
2.2.3.3 Sistem nilai tukar
26
Pemilihan sistem nilai tukar pada dasarnya didasarkan pada beberapa
pertimbangan, diantaranya : tingkat keterbukaan perekonomian suatu negara
terhadap perekonomian dunia dan tingkat kemandirian kebijakan ekonomi
suatu negara dan aktivitas perekonomian suatu negara. Pada dasarnya sistem
penentuan nilai tukar dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) jenis( Camarazza dan
Aziz, 1997 )yaitu :
a. Sistem kurs tetap ( fixed exchange rate )
Dalam sistem ini, nilai tukar suatu valuta terhadap valuta yang lain
ditentukan/ "dipatok" oleh Bank Sentral. Nilai tukar suatu valuta di pasar
valuta asing sama dengan nilai tukar yang ditentukan oleh Bank Sentral.
Sehingga untuk menjaga agar nilainya tetap, maka Bank Sentral melakukan
intervensi ( membeli/ menjual valuta ) di pasar valuta asing. Hal yang perlu
diperhatikan adalah kecukupan cadangan devisa yang dimiliki.
b. Sistem mengambang terkendali ( managed floating exchange rate )
Nilai tukar valuta dalam sistem ini ditentukan oleh pasar valuta dan
band intervention yang ditetapkan oleh Bank Sentral. Artinya, nilai tukar
ditentukan oleh pasar ( supply dan demand valuta ) tetapi pergerakannya
dibatasi oleh rentang intervensi yang ditetapkan oleh Bank Sentral. Sehingga
Bank Sentral harus menjaga supaya nilai tukar berada pada rentang intervensi,
apabila nilai tukar bergerak melebihi rentang intervensi yang ditentukan,
maka Bank Sentral akan melakukan intervensi dengan menambah supply
valuta sehingga nilainya dapat bergerak kembali dalam rentang intervensi.
27
Sebaliknya bila nilai tukar berada di bawah rentang intervensi, maka Bank
Sentral akan menambah demand valuta.
c. Sistem kurs bebas ( free exchange rate )
Istilah lain yang digunakan adalah floating exchange rate, yaitu nilai
tukar valuta asing ditentukan oleh pasar berdasarkan kekuatan tarik menarik
antara supply dan demand valuta asing. Pada sistem ini Bank Sentral tidak
melakukan campur tangan dalam mempengaruhi nilai tukar (pada
kenyataannya sangat sulit ). Ada dua pengertian dalam floating exchange
rate, yaitu : (1) clean float : nilai tukar sepenuhnya dibiarkan bebas tanpa
campur tangan dari Bank Sentral, (2) dirty float : pemerintah ikut serta (relatif
kecil ) dalam pasar valuta asing, misalnya dengan mengurangi distorsi.
2.3 Kerangka Pikir
Pengendalian inflasi didasarkan pada pertimbangan bahwa inflasi yang
tinggi dan tidak stabil memberikan dampak negatif kepada kondisi sosial
ekonomi masyarakat. Inflasi yang tinggi akan berpengaruh pada tingkat
kemiskinan, karena pada tingkat inflasi yang tinggi pendapatan riil
masyarakat akan terus turun sehingga standar hidup dari masyarakat turun
pada akhirnya meningkat jumlah masyarakat miskin. Inflasi yang tidak stabil
juga akan menciptakan ketidakpastian bagi pelaku ekonomi dalam mengambil
keputusan untuk melakukan konsumsi, investasi dan produksi, yang pada
akhirnya akan menurunkan pertumbuhan ekonomi. Tingkat inflasi domestik
yang lebih tinggi dibanding dengan tingkat inflasi dinegara yang lain juga
akan menjadikan tingkat bunga domestik riil menjadi tidak kompetitif se-
28
hingga tidak dapat memberikan tekanan pada nilai rupiah sehingga rupiah
akan terdepresiasi terhadap mata uang asing, terutama terhadap dolar sebagai
mata uang utama dalam perdagangan internasional.
Hubungan nilai tukar dan inflasi dapat dijelaskan melalui beberapa
transmisi yaitu, dapat melalui transmisi langsung dan transmisi tidak lang-
sung. Pada transmisi langsung, depresiasi nilai tukar yang sangat tinggi pada
saat terjadi krisis nilai tukar mengakibatkan harga-harga barang impor
meningkat tajam. Barang-barang impor dapat berupa barang yang langsung
dikonsumsi dan barang yang diproses lebih lanjut, seperti bahan baku dan
barang modal. Kenaikan harga barang konsumsi yang berasal dari impor se-
cara langsung meningkatkan harga barang tersebut.sementara peningkatan
harga bahan baku atau barang modal akan meningkatkan harga barang-barang
industri yang menggunakan bahan baku impor secara tidak langsung. Selan-
jutnya, kenaikan harga-harga yang tinggi akan mengurangi permintaan ter-
hadap barang impor atau barang industri yang menggunakan bahan baku im-
por. Dalam hal ini tidak terdapat barang substitusi di dalam negeri, maka
kegiatan ekonomi akan menurun tajam.
Sedangkan hubungan suku bunga SBI dan inflasi dapat dilihat atau
ditinjau dari segi fungsi dari diterbitkannya Sertifkat Bank Indonesia (SBI)
yaitu mengendalikan jumlah uang beredar dan mendorong terjadinya perge-
seran dana secara berkala atau secara bersiklus sehingga akan mempengaruhi
suku bunga jangka pendek dan perkembangan penawaran uang. Tinggi ren-
dahnya tingkat suku bunga SBI dapat menentukan tingkat suku bunga per-
29
bankan, dengan kata lain suku bunga SBI merupakan patokan bank-bank
umum dalam mementukan tingkat suku bunga, baik suku bunga pinjaman
atau tabungan. Apabila tingkat suku bunga tabungan tinggi maka, masyarakat
cenderung akan menyimpan uangnya di bank sehingga jumlah uang beredar
berkurang dan apabila jumlah uang beredar berkurang maka tingkat in-
flasipun akan menurun atau melemah begitupun sebaliknya. Karena salah satu
penyebab terjadinya inflasi adalah tingginya jumlah uang beredar.
Dari penjelasan singkat diatas, maka dapat ditarik kesimpulan yang
sekaligus menjadi kerangka pemikiran penulis untuk melakukan penelitian se-
cara ilmiah mengenai pengaruh nilai tukar dan tingkat suku bunga SBI ter-
hadap inflasi di Sulawesi Tengah dengan periode tahun 2006-2008. Secara
teoritis kerangka pikir dalam penulisan ini, dapat dilihat pada gambar 1 di ha-
laman 31.
2.4 Hipotesis
Hipotesis adalah sebuah taksiran atau referensi yang dirumuskan serta
diterima sementara yang dapat menerangkan fakta-fakta yang diamati atau
kondisi yang diamati, dan digunakan sebagai petunjuk untuk langkah-langkah
penelitian selanjutnya, Good dan Scartes (1954) dan M.Nasir (2005)
Bardasarkan latar belakang, rumusan masalah dan tinjauan pustaka
serta defenisi dari hipotesis itu sendiri, maka peneliti menarik kesimpulan
bahwa hipotesis dalam penelitian ini sebagai berikut :
30
Variabel jumlah uang beredar mempunyai pengaruh positif terhadap
tingkat Inflasi di Sulawesi Tengah periode 2006-2008.
Variabel Nilai tukar rupiah terhadap Dollar mempunyai pengaruh
positif terhadap tingkat Inflasi di Sulawesi Tengah periode 2006-
2008.
31
Bank Indonesia
Gambar 1 : Kerangka Pikir Penelitian
Keterangan :
= Variabel tidak di teliti
= Variabel di teliti
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Tipe Penelitian
Penelitian ini menggunakan tipe penelitian asosiatif. Penelitian
asosiatif (hubungan) merupakan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui
Kebijakan Moneter
Jumlah UangBeredar
Nilai Tukar
Suku Bunga SBI
Inflasi
32
hubungan dua variabel atau lebih. Adapun bentuk hubungan dalam penelitian
ini adalah hubungan kausal (sebab-Akibat) bentuk penelitian sebab-akibat
dimaksudkan untuk melihat keterkaitan antar variabel. Studi hubungan sebab-
akibat dilakukan dengan maksud melihat: tingkat pengaruh, dan signifikansi
pengaruh variabel bebas terhadap variabel tak bebas. Varibel-variabel yang
akan digunakan di antaranya adalah: Jumlah Uang Beredar, Nilai Tukar
(Kurs) Nilai Rupiah terhadap Dolar, dan Inflasi Indeks Harga Konsumen
(IHK)
3.2 Objek Penelitian
Objek penelitian dalam penulisan ini secara makro membahas tentang
perekonomian Sulawesi Tengah, namum lebih memfokuskan pada pengaruh
Jumlah Uang Beredar dan Nilai Tukar terhadap Perkembangan Inflasi IHK di
Sulawesi Tengah periode Tahun 2006-2008.
3.3 Jenis dan Sumber Data
3.3.1 Jenis data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Yaitu data
yang dikumpulkan oleh lembaga pengumpul data ( Badan Pusat Statistik dan Lem-
baga-lembaga lainnya ).
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari daftar pustaka, laporan
hasil-hasil penelitian lapangan yang dilakukan instansi dinas atau data yang
sudah di publikasikan oleh instansi yang berwenang yang terdiri dari:
a. Data perkembangan jumlah uang beredar
b. Data tingkat nilai tukar (kurs) rupiah terhadap dolar.
33
c. Data tingkat inflasi IHK Sulawesi Tengah
3.3.2 Sumber data
Seluruh data yang digunakan dalam penelitian ini, bersumber dari:
a Bank Indonesia Cabang Palu
b. Badan Pusat Statistik Propinsi Sulawesi Tengah
c. Bacaan dan literatur lain yang mendukung
3.4 Tehnik Pengumpulan Data
Tehnik atau cara yang dilakukan dalam pengumpulan data adalah
mencari dan membaca buku-buku atau dokumen-dokumen yang relevan
dengan judul penelitian. Karena data yang digunakan atau data yang
diperlukan dalam penelitian ini adalah data sekunder maka tehnik
pengumpulannya langsung mengambil dari sumber terkait, yang selanjutnya
disusun dalam bentuk tabulasi.
3.5 Metode Analisis
Metode analisis dalam penelitian ini adalah metode analisis kuantitaf.
Yaitu metode dengan menggunakan formulasi statistik, dengan menggunakan
peralatan regresi linear berganda. Dimana untuk mengetahui hubungan serta
besarnya pengaruh antara jumlah uang beredar dan nilai tukar terhadap inflasi
IHK di Sulawesi Tengah, digunakan persamaan sebagai berikut :
Y = a + b1 X+ b2 X2+ ε
34
Dimana:
Y = Variabel tak bebas ( dependen Variabel )
a = Konstanta ( intercept )
X = Variabel bebas ( Independen Variebel )
b = Besaran yang akan diduga
ε = Kesalahan pengganggu ( error )
Dan jika formulasi regresi linear sederhana diatas diterapkan dalam
penelitian ini, maka:
Y = Inflasi
A = Konstanta
b1 = Koefisien Regresi Jumlah Uang Beredar
b = Koefisien Regresi Nilai Tukar (Kurs)
X1 = Nilai Tukar
X = Jumlah Uang Beredar
ε = Kesalahan pengganggu ( error )
Kemudian untuk menguji hipotesis yang telah disusun yaitu diduga
Jumlah uang beredar dan nilai tukar berpengaruh secara signifikan terhadap
tingkat inflasi di Sulawesi Tengah tahun 2006-2008 digunakan uji F secara
serempak yang pengujian hipotesisnya adalah sebagai berikut:
Ho : bi = 0. Hi ≠ 0
Adapun kaidah pengambilan keputusan dilakukan alat uji F adalah
sebagai berikut:
35
a. Jika F – hitung > F – tabel pada tingkat keprcayaan 95% (α = 0,05)
maka terbukti faktor independen (X) yang diamati berpengaruh nyata
terhadap faktor dependen (y), ( Ho ditolak, Hi diterima ).
b. Jika F – hitung < F – tabel pada tingkat kepercayaan 95% (α = 0,05)
maka terbukti faktor independent (X) yang diamati tidak berpengaruh
nyata terhadap faktor dependen (y), ( Ho diterima, Hi ditolak )
Untuk menguji keberartian dari variabel bebas akan kontribusinya
terhadap perubahan variabel terikat, di gunakan uji statistic (t/t-test). Adapun
bentuk hipotesisnya adalah sebagai berikut:
Ho : bi = 0 ≠ 0
Dengan ketentuan sebagai berikut :
a. Jika t – hitung > t – tabel pada tingkat kepercayaan 95% (α = 0,05)
maka terbukti bahwa secara parsial tingkat suku bunga SBI dan nilai
tukar berpengaruh terhadap tingkat inflasi IHK di Sulawesi Tengah
( Ho ditolak, Hi diterima )
b. Jika t – hitung < t – tabel pada tingkat kepercayaan 95% (α = 0,05)
maka terbukti bahwa secara parsial tingkat suku bunga SBI dan nilai
tukar tidak berpengaruh terhadap tingkat inflasi IHK di Sulawesi
Tengah ( Ho diterima, Hi ditolak )
3.6 Uji Asumsi Klasik
Untuk mengetahui normalisasi hasil penelitian, maka digunakan uji
asumsi klasik terhadap 3 (tiga) gejala yang dinilai oleh penulis sering mem-
berikan dampak negative terhadap keakuratan hasil-hasil penelitian yang
36
diperoleh di lapangan yang diolah melalui bantuan alat analisis statistic re-
gresi linear berganda. Ketiga gejala tersebut diantaranya, adalah gejala Multi-
kolinearitas, Heterokedastisitas dan Autokorelasi.
a. Multikolinearitas
Untuk mendeteksi adanya multikolinearitas dapat dilihat dari
besar VIF (Variabel Inflation Factor) dan tolerance, serta besaran ko-
relasi anatara variabel independent. Jika Nilai VIF dibawah angka 10
dan angka tolerance mendekati 10 maka dapat disimpulkan tidak ter-
jadi multikolinearitas.
Didalam penelitian ini, dalam tabel Collinearity Statistic 3.1
menunjukan bahwa tidak terjadi multikolinearitas, sebab berdasarkan
hasil pengolahan diketahui nilai VIF yang diperoleh dari koefisien re-
gresi nilai tukar dan jumlah uang beredar terhadap inflasi yaitu sebesar
1,279 < 10 dan angka tolerance mendekati angka 10.
Tabel 3.1
Collinearity Statistic
VariabelCollinearity Statistic
Tolerance VIF
Nilai tukar
Jumlah Uang Beredar
0,782 1,279
0,782 1,279
Sumber : Diolah dari lampiran 2
37
b. Heterokedastisitas
Heterokedastisitas menunjukan timbulnya gejala kesehatan
atau kesalahan varians gangguan yang menyebabkan tidak samanya
untuk setiap pengamatan atas seluruh nilai variabel independent. Ge-
jala heterokedastisitas dideteksi dengan menggunakan uji hetero-
dastisitas. Gunawan mengungkapkan bahwa uji heterosadtisitas dapat
digunakan korelasi Rank Spearman, dengan cara mengkorelasikan se-
tiap variabel independen dengan varian ganguan (residual). Hasil pen-
gujian heterodastisitas dengan menggunakan korelasi rank spearman
dapat dilihat pada tabel 3.2.
Dari tabel 3.2 dapat diketahui besarnya korelasi antara variabel
independen dengan residual. Apabila nilai Sig. (2 tailed) < 0,005 maka
korelasi antara variabel independent dengan nilai residual dikatakan
signifikan. Sebaliknya apabila nilai Sig (2 tailed) > 0,005 maka kore-
lasi antara variabel independent dengan nilai residual dikatakan tidak
signifikan atau tidak terdapat gejala heterodastisitas. Dari hasil uji het-
erodastisitas dengan menggunakan korelasi Rank Spearman, menun-
jukan bahwa variabel nilai tukar dan jumlah uang beredar tidak mem-
punyai korelasi signifikan terhadap nilai residual. Dengan demikian
heterodastisitas dalam penelitian ini atas data yang akan diolah tidak
terjadi.
Tabel 3.2
Hasil Uji Heterodastisitas
38
Sumber : Diolah dari lampiran 2
c. Autokorelasi
Autokorelasi merupakan suatu gejala dimana ditemukan kore-
lasi antara semua urutan pengamatan dari waktu kewaktu. Untuk
mendeteksi adanya gejala autokorelasi didalam suatu penelitian, maka
dapat digunakan bantuan statistik “d” Durbin-Watson (DW). Pengu-
jian ini dilakukan dengan membandingkan nilai DW yang dihitung
dengan nilai kritis statistik d.
Gunawan dalam skripsi Ridwan (2009:32) menyatakan ada be-
berapa kriteria pengambilan keputusan yang dapat digunakan untuk
menilai ada tidaknya gejala autokorelasi terhadap hasil-hasil penelitian
yang dideteksi dengan menggunakan bantuan statistik “d” Durbin-
Watson yang di hitung dengan nilai kritis statistik d.
1. Jika nilai d < dl atau d < (4 - dl), maka hipotesis nol ditolak,
menunjukan adanya autokorelasi positif dan negative.
2. Jika d terletak diantara dU dan (4 – dU), maka hipotesis nol
diterima , menunjukan tidak ditemukan autokorelasi.
No Variabel Independen Korelasi
1
2
Nilai Tukar
Sig. (2 tailed)
Jumlah uang beredar
Sig. (2 tailed)
- 0,186
0,278
0,095
0,582
39
3. Jika d terletak diantara dL dan dU atau antara (4 – dU) dan (4
– dL) maka untuk nilai-nilai ini tidak dapat disimpulkan ada
tidaknya autokorelasi.
Untuk mendeteksi gejala autokorelasi dengan menggunakan uji
Durbin – Watson (DW). Uji ini menghasilkan nilai DW hitung (d) dan
nilai DW tabel (dl dan du). Berdasarkan hasil analisis menunjukan ni-
lai DW adalah masing-masing sebesar.1,38 dan 1,51 Nilai d < dl maka
terjadi masalah autokorelasi positif.
3.7 Defenisi operasional variabel
1. Inflasi
Inflasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah inflasi In-
deks Harga Konsumen (IHK) . Angka IHK diperoleh dengan menghi-
tung harga-harga barang dan jasa utama yang dikonsumsi masyarakat
dalam suatu periode tertentu yang dilakukan atas dasar survey bulanan
dalam jangka waktu 2006-2008, dihitung dalam satuan persen.
2. Jumlah uang beredar
Jumlah uang beredar yang dimaksud dalam penelitian ini
adalah perkembangan per-bulan jumlah uang beredar dalam arti sem-
pit (M1) di Indonesia dalam jangka waktu 2006-2008, dihitung dalam
satuan persen
3. Nilai tukar (Kurs)
40
Nilai Tukar yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
perkembangan per-bulan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika
Serikat dalam jangka waktu 2006-2008, dihitung dalam satuan persen.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian
4.1.1 Kondisi perkembangan perekonomian Sulawesi Tengah pada tahun 2006
samapai dengan 2008
Krisis yang susul-menyusul tanpa jeda di sejumlah negara berkembang
akhir-akhir ini, memunculkan kesan dunia sudah menjadi langganan krisis.
41
Kondisi perekonomian global yang rapuh dengan sistem finansialnya yang
tidak berfungsi baik, menempatkan negara-negara berkembang pada posisi
yang kian rentan untuk terseret ke dalam krisis seperti krisis keuangan global
yang belum lama terjadi. Krisis yang terjadi banyak menimbulkan persoalan-
persoalan krusial yang melibas dan melintasi dimensi kemanusiaan. Jutaan
masyarakat miskin seolah nasibnya digantungkan pada gonjang-ganjing
global, seperti naiknya harga BBM dan masalah ketahanan pangan. Kenaikan
harga BBM pada level US$ 120/barel yang merupakan level tertinggi
sepanjang sejarah disatu sisi, dan disisi lain kita menyaksikan kenyataan
antrian masyarakat atas kebutuhan minyak tanah, serta lemahnya daya beli
masyarakat atas kebutuhan dasarnya merupakan kenyataan yang harus
dihadapi saat ini.
Selain faktor-faktor global yang harus diantisipasi, sistem dan konsep
pembangunan negara juga perlu diperbaiki. Apa yang dialami Indonesia pada
tahun 1997, krisis multidimensi yang tidak terbendung merupakan
konsekuensi logis dari penerapan sistem pertumbuhan ekonomi yang
dijalankan. Keadaan ini mau tidak mau akan selalu memunculkan sentimen
regional, kritik dan keresahan sosial akan selalu menantang perbaikan-
perbaikan kedepan. Akan tetapi, reformasi yang didengungkan sampai saat ini
belum juga memberikan perbaikan yang signifikan terhadap masalah bangsa.
Justru malah mengembalikan dan melanggengkan pada persoalan-persoalan
klasik seperti diatas
42
Ketidakmampuan pemerintah dalam menjaga kestabilan politik dan
keamanan serta dalam menjaga kestabilan harga-harga dalam negeri
menyebabkan harga-harga barang dan jasa senantiasa meningkat terus. Tidak
jauh berbeda dengan beberapa daerah di Indonesia, inflasi di Sulawesi Tengah
mengalami fluktuasi yang sangat signifikan yang tak lain adalah efek dari
terjadinya krisis yang mengahantam Indonesia dimana pada tahun 2008,
inflasi yang terjadi di Sulawesi Tengah mencapai angka 10,40 persen jauh
lebih tinggi atau menembus angka dua digit dibandingkan inflasi tahun 2007
dan 2006. Namun secara umum kondisi harga ditahun 2008 relatif cukup
terkendali. Keadaan ini tidak jauh berbeda dengan keadaan nilai tukar, dimana
pada tahun 2006-2008 keadaan nilai tukar mengalami fluktuasi yang cukup
signifikan, namun relatif stabil dimana hal ini terutama disebabkan oleh
kinerja transaksi berjalan yang masih mencatat surplus serta kebijakan makro
yang berhati-hati. Tetapi, sejak pertengahan September 2008, krisis keuangan
memberikan tekanan pada rupiah dimana pada tiga bulan terakhir tahun 2008
rupiah terdepresiasi hingga mencapai Rp.12.100/US$ pada bulan November.
Lain halnya dengan inflasi dan nilai tukar yang berfluktuasi dari tahun
ketahun, jumlah uang beredar dari tahun ketahun mengalami peningkatan
(pertumbuhan), yaitu pada tahun 2006 sebesar 361.073 milliar rupiah terus
mengalami peningkatan dari tahun ketahun dengan rata-rata peningkatan
sebesar 429.431 milliar rupiah yang pada akhirnya menjadi 466.379 milliar
rupiah ditahun 2008. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya kegiatan
perekonomian pasca krisis di dunia usaha yang ditandai dengan
43
kecenderungan peningkatan investasi dari tahun ketahun selama 2006-2008
dan meningkatnya kepercayaan masyarakat terhadap dunia perbankan.
Untuk lebih jelasnya disajikan data inflasi di Sulawesi Tengah, jumlah
uang beredar dan nilai tukar di Indonesia sebagai indikator ekonomi tahun
2006-2008 dalam tabel 4.1 berikut :
Tabel 4.1.
Data Inflasi Sulawesi Tengah, jumlah uang beredar dan nilai tukar
di Indonesia tahun 2006-2008
Tahun Inflasi
Jumlah Uang
Beredar
(Milliar)
Nilai Tukar
(Rupiah)
2006 8,69 361.073 9.006
2007 8,13 460.842 9.398
2008 10,40 466.379 10.950
Sumber : Diolah dari lampiran 1
4.1.1.1 Perkembangan inflasi Sulawesi Tengah
Perkembangan inflasi yang tercermin dari perkembangan IHK Kota
Palu sebagai barometer kabupaten/kota selama kurun waktu 2006 relatif
cukup terkendali. Keadaan ini ditandai dengan inflasi sebesar 8.69 %.
Kenaikan tingkat inflasi ini terjadi karena kenaikan harga yang terjadi secara
umum selama tahun 2006 di karenakan faktor pasokan dipasar yang
cenderung berfluktuasi karena keadaan musiman terutama untuk komoditas
44
lokal. Pada musim-musim penghujan komoditas lokal relatif melimpah
sehingga harganya cenderung turun sedangkan pada musim kemarau pasokan
berkurang sehingga harganya cenderung merangkak naik. Selain itu faktor
permintaan barang dan jasa berkenaan dengan hari-hari besar juga
menyebabkan terjadinya gejolak harga secara umum.
Inflasi sebesar 8.13% yang terjadi ditahun 2007 masih satu digit dan
relatif lebih kecil jika di bandingkan tahun 2006 yang tercatat sebesar 8,69%.
Kedaan inflasi di tahun 2007 lebih terkendali dibandingkan tahun sebelumnya
dikarenakan kedaan stok untuk komoditas bahan pokok dan bahan strategis
lainnya di seluruh Kabupaten/Kota di Sulawesi Tengah cukup tersedia
dipasaran. Walaupun ada komoditas yang pada bulan-bulan tertentu sangat
kurang, hal ini disebabkan karena tingginya permintaan mayarakat terutama
pada saat hari-hari besar dan tahun baru.
Berbeda dengan tahun 2006 dan 2007 yang secara umum diakibatkan
oleh faktor pasokan pasar yang berfluktuasi terutama untuk komoditas lokal,
inflasi yang mencapai 10,40% di tahun 2008 yang telah menembus angka dua
digit dibandingkan tahun sebelumnya, dikarenakan adanya kebijakan
pemerintah yang menaikan harga BBM khususnya untuk rumah tangga,
Sehinga pada bulan April 2008 membuat angka inflasi melonjak tinggi. Di
samping itu adanya krisis global yang berimbas pada perekonomian Indonesia
membuat laju inflasi terkoreksi hingga dua digit. Namum secara umum
kondisi harga di tahun 2008 relatif cukup terkendali.
4.1.1.2 Perkembangan jumlah uang beredar
45
Perkembangan jumlah uang beredar dari tahun ketahun secara umum
mengalami peningkatan. Hal ini bertujuan untuk menjaga berjalannya atau
efektifnya kegiatan perekonomian. Hal ini terbukti jumlah uang beredar yang
semula 361.073 milliar rupih pada tahun 2006 mengalami peningkatan
sebesar 105.306 milliar rupiah, sehingga jumlah uang beredar pada tahun
2008 mencapai 466.379 milliar rupiah.
Kebutuhan uang kartal untuk kegiatan transaksi selama tahun 2006 se-
cara rata-rata tumbuh sebesar 14,6%. Selain didorong oleh ekonomi yang
masih tumbuh positif selama tahun 2006, peningkatan kebutuhan uang kartal
yang diedarkan juga dipengaruhi oleh kebijakan fiskal berupa percepatan real-
isasi anggaran, penyaluran bantuan langsung tunai (BLT), dan kenaikan gaji
PNS serta bertambahnya keperlun masyarakat di akhir tahun yang banyak di-
warnai oleh hari-hari besar keagamaan. Meningkatnya kegiatan perekonomian
nasional mendorong peningkatan jumlah uang beredar. Pada tahun 2007 men-
galami peningkatan sebesar 99.769 milliar rupiah atau 27,6% dari tahun 2006.
Peningkatan jumlah uang beredar terkait dengan respon Bank Indonesia untuk
memenuhi tambahan permintaan uang akibat faktor musiman, seiring dengan
bertambahnya keperluan masyarakat di akhir tahun seperti menjelang bulan
puasa dan hari raya Idul Fitri. Kondisi ini terus berlanjut dengan perayaan hari
besar agama lainnya yaitu natal dan tahun baru. Jumlah uang beredar pada
tahun 2008 meningkat sebesar 6000 milliar rupiah atau sebesar 1,3% dari
tahun 2007. Peningkatan ini dipengaruhi berbagai fakor internal, seperti kon-
disi politik dengan diselenggarakannya pilkada diberbagai daerah serta persia-
46
pan pemilu 2009. Hal lainnya adalah kenaikan harga bahan bakar minyak
(BBM), penyaluran bantuan langsung tunai (BLT), dan sikap antisipatif
masyarakat sebagai persiapan akan kenaikan harga dan optimalisasi kas pada
manajemen perbankan. Sepanjang tahun 2008 uang kartal tumbuh rata-
ratasebesar 27,3%, atau meningkat jauh lebih tinggi dari periode yang sama
tahun sebelumnya (18,1%). Akselerasi kartal berlangsung sejak awal tahun
dan mencapai puncaknya pada September 2008. Kondisi tersebut terjadi
terkait dengan masih kuatnya pertumbuhan ekonomi terutama dari sisi kon-
sumsi masyarakat, yang juga didukung oleh lebih tingginya realisasi Bantuan
Langsung Tunai (BLT) dari Pemerintah pada tahun 2008. Tingginya per-
mintaan uang kartal juga didukung oleh tingginya penyaluran kredit per-
bankan yang sepanjang tahun 2008 tumbuh di atas 30%, atau meningkat jauh
lebih tinggi dari pertumbuhan pada periode yang sama tahun sebelumnya. Na-
mun pada akhir tahun 2008 tekanan pada perekonomian Indonesia sebagai ak-
ibat dari adanya krisis finasial, jumlah uang beredar mengalami perlambatan
yang mendorong turunnya jumlah uang beredar. Di akhir tahun 2008, jumlah
uang beredar mengalami dua kali penurunan pada bulan Oktober dan Novem-
ber. Pada bulan Oktober jumlah uang beredar menurun sebesar 20.375 milliar
rupiah atau 4,14% dari bulan sebelumnya.
4.1.1.3 Perkembangan nilai tukar
Nilai tukar rupiah pada tahun 2006 secara umum cenderung menguat
dengan volatilitas yang menurun. Nilai tukar rupiah terhadap dollar menguat
9,3% dari Rp.9.831 per dollar pada akhir tahun tahun 2005 menjadi Rp. 9.006
47
per dollar pada akhir tahun 2006. secara rata-rata rupiah juga menguat sebesar
6,0% dari Rp.9.713 per dollar menjadi Rp.9.167 per dollar. Perkembangan
nilai tukar rupiah selama tahun 2006 jauh lebih stabil di bandingkan tahun
sebelumnya, tercermin dari tingkat volatilias yang menurun dari 4,2% pada
tahun 2005 menjadi 3,9%. Terpeliharanya kestabilan nilai tukar rupiah selama
tahun 2006 ditopang kondisi ekonomi global yang secara umum lebih
kondusif dan membaiknya fundamental makroekonomi yang didukung
kebijakan moneter yang konsisten dalam mencapai sasaran inflasi serta
kebijakan fiskal yang berhati-hati.
Di tahun 2007 Secara umum keadaan nilai tukar rupiah mengalami
peningkatan di bandingkan tahun sebelumnya. Secara rata-rata peningkatan
nilai tukar rupiah selama tahun 2007 mencapai Rp.9.166. melemahnya nilai
tukar rupiah tersebut di sebabkan oleh faktor internal dan eksternal. Faktor
internal yang menjadi penyebab utama melemahnya rupiah ini adalah turunya
cadangan devisa nasional yang digunakan untuk meredam gejolak rupiah dan
juga pembayaran utang yang jatuh tempo, serta kegiatan investasi didalam
negeri yang stagnan. Sementara itu disisi eksternal, melemahnya nilai tukar
karena pengaruh dari krisis subprime mortage di bursa saham AS mengenai
kredit macet kepemilikan rumah mewah, selain itu juga disebabkan harga
minyak dunia yang terus merangkak naik hingga menembus angka lebih dari
US$ 100/barel.
Berbeda dengan tahun 2006-2007, Dinamika nilai tukar rupiah selama
tahun 2008 sangat dipengaruhi oleh perkembangan krisis keuangan global,
48
gejolak harga komoditas, dan perlambatan ekonomi dunia yang memicu mem-
buruknya persepsi investor dan ekspektasi pelaku pasar. Kondisi ini diper-
parah dengan naiknya harga minyak sehingga memicu investor untuk mengal-
ihkan aset ke investasi yang dipandang lebih tidak berisiko. Gejolak eksternal
tersebut menyebabkan perkembangan nilai tukar rupiah selama tahun 2008
sangat berfluktuasi. Namun demikian, kebijakan ekonomi makro yang konsis-
ten dan berhati-hati disertai langkah stabilisasi nilai tukar, secara umum dapat
meredam terjadinya tekanan yang berlebihan. Meski diterpa oleh berbagai
gejolak, nilai tukar rupiah secara umum bergerak relatif stabil sampai perten-
gahan September 2008. Namun demikian, dampak krisis keuangan global
yang semakin luas memicu pelepasan aset oleh investor dalam jumlah yang
signifikan sehingga menimbulkan tekanan yang kuat terhadap nilai tukar ru-
piah. Nilai tukar selama tahun 2008 menunjukkan volatilitas yang lebih tinggi
dibandingkan dengan tahun sebelumnya dan cenderung terdepresiasi. Secara
rata rata nilai tukar rupiah melemah 5,4% dari Rp9.140 per dolar AS pada
tahun 2007 menjadi Rp9.666 per dolar AS pada tahun 2008. Di akhir tahun
2008, rupiah berada di level Rp10.950 per dolar AS atau melemah 13.8%
(point-topoint) dari akhir tahun sebelumnya Rp9.398 per dolar AS. Sementara
itu, volatilitas nilai tukar rupiah juga meningkat cukup tajam dari 1,44% pada
tahun 2007 menjadi 4,67% pada tahun 2008.
4.2 Pembahasan
4.2.1 Hasil regresi
49
Untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini maka alat analisis
yang digunakan adalah model regresi berganda. Permasalahan tersebut adalah
apakah nilai tukar dan jumlah uang bereadar berpengaruh terhadap inflasi di
Sulawesi Tengah periode 2006-2008.
Permasalahan tersebut diuji dengan uji F dan uji t, hasil regresi
berganda dibgi dalam 3 bagian yaitu, Pertama pengaruh nili tukar dan jumlah
uang beredar terhadap inflasi. Kedua, pengaruh nilai tukar terhadap inflasi,
dan yang ketiga pengaruh jumlah uang beredar terhadap inflasi di Sulawesi
Tengah tahun 2006-2008. Adapun hasil regresi masing-masing dapat dilihat
pada lampiran.
4.2.2 Pengaruh nilai tukar dan jumlah uang beredar terhadap inflasi di Su-
lawesi Tengah.
Dari pengolahan data yang ditunjukan pada lampiran, berikut diper-
oleh hasil yang dapat ditunjukan pada tabel 4.2.
Tabel 4.2
Hasil regresi berganda pengaruh nilai tukar dan jumlah uang beredar
terhadap inflasi di Sulawesi Tengah tahun 2006-2008
50
Sumber : Diolah dari lampiran 2
Pengaruh nilai tukar dan jumlah uang beredar terhadap inflasi di Su-
lawesi Tengah tahun 2006-2008, dapat dilihat dari persamaan regresi berikut :
Y = 5,355 – 0,370 X 1 + 0,270 X2 + 1,218
Dari persamaan diatas, terlihat bahwa untuk nilai konstanta (a) sebesar
5,355 menunjukan angka positif, yang berarti bahwa jika nilai tukar dan jum-
lah uang beredar tidak diperhitungkan atau dianggap nol maka inflasi di Su-
lawesi Tengah sebesar 5,355. Nilai koefisien regresi nilai tukar dan jumlah
uang beredar ( b1 dan b2) terhadap inflasi mempunyai arti sebagai berikut:
No Indikator Hasil Regresi
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Konstanta (a)
Koefisien regresi (b1)
Koefisien regresi (b2)
Koefisien korelasi (r)
Koefisien determinanasi ( r² )
Koefisien determiasi yang disesuaikan
f hitung
f tabel
α
ε
5,355
- 0,370
0,270
0,341
0,116
0,63
2,171
3,28
0,05
1,218
51
Jika nilai tukar rupiah terdepresiasi terhadap dollar sebesar satu satuan
rupiah maka akan menurunkan atau menekan tingkat inflasi di Sulawesi Ten-
gah sebesar -0,370 persen, sementara variabel lain (jumlah uang beredar) di-
anggap konstan. Dan
Jika jumlah uang beredar mengalami peningkatan sebesar 1 milliar
rupiah akan meningkatkan inflasi di di Sulawesi Tengah sebesar 0,270 persen,
sementara variabel lain (nilai tukar) dianggap konstan.
Hal ini menunjukan bahwa kebijakan moneter melalui pengendalian
nilai tukar mempunyai pengaruh lebih besar terhadap inflasi di Sulawesi Ten-
gah jika dibandingkan dengan kebijakan moneter melalui pengendalian jum-
lah uang beredar.
Berdasarkan persamaan diatas, semakin terdepresiasi nilai tukar rupiah
terhadap mata uang asing maka inflasi akan turun. Hal ini disebabkan penu-
runan impor barang modal untuk kebutuhan investasi dan penurunan impor
bahan baku untuk produksi. Dan semakin tinggi jumlah uang beredar maka in-
flasi akan semakin tinggi. Hal ini disebabkan naiknya harga minyak mentah,
mengingat sistem penetapan harga bahan bakar untuk industri telah mengikuti
perkembangan harga minyak mentah sejak tahun 2002 dan terjadinya krisis
keuangan global pada tahun yang diteliti. dan keadaan pasar di Indonesia pada
umumnya, bahwa yang menjadi determinan utama inflasi adalah ekspektasi
inflasi yang terkait dengan pola pembentukan ekspektasi inflasi yang masih
didominasi oleh inflasi masa lalu (ekspektasi adaptif). Perilaku ini menim-
bulkan persistensi inflasi karena riwayat inflasi Indonesia yang banyak dipicu
52
oleh inflasi cost-push atau supply shocks yang signifikan dan sering terjadi,
seperti kejutan harga minyak, kenaikan harga BBM, devaluasi dan fluktuasi
berlebihan nilai tukar Rupiah.
Besarnya hubungan variabel independen secara keseluruhan ditun-
jukan oleh nilai koefisien r yaitu sebesar 0,341. nilai tersebut dapat diartikan
bahwa keeratan hubungan antara nilai tukar dan jumlah uang beredar adalah
0,341 persen terhadap inflasi di Sulawesi Tengah . sedangkan sisanya sebesar
0,659 persen mempunyai hubungan dengan variabel lain. Koefisien determi-
nasi adalah sebesar 0,116. Karena persamaan regresi menggunkan lebih dari
dua variabel independent, maka koefisien yang digunakan untuk menjelaskan
persamaan regresi adalah determinasi yang disesuaikan yaitu sebesar 0.063
atau 6,3 persen perubahan variasi inflasi di Sulawesi Tengah bisa dijelaskan
oleh perubahan atau variasi dari nilai tkar dan jumlah uang beredar. Sedan-
gkan 93,7 persen oleh variabel lain yang tidak dimasukan dalam model ini (e).
Dalam penelitin ini diduga bahwa nilai tukar dan jumlah uang beredar
mempunyai pengaruh positif terhadap tingkat Inflasi di Sulawesi Tengah peri-
ode 2006-2008.
Pada pengujian terhadap koefisien regresi diperoleh hasil bahwa
Hipotesis awal (Ho) diterima dan hipotesis alternative (Hi) ditolak (Ho diter-
ima, Hi ditolak). Dari hasil pengujian diperoleh f hitung 2.171 > dari f tabel
3,28 pada tingkat kepercayaan 95%(α = 0.05), ini berarti bahwa variabel nilai
tukar dan jumlah uang beredar yang diteliti mempengaruhi secara serempak
terhadap inflasi di Sulawesi Tengah.
53
Dalam penelitian diduga variabel yang paling berpengaruh secara par-
sial atau dominan terhadap inflasi di Sulawesi Tengah tahun 2006-2008
adalah sebagai berikut:
1. Nilai tukar (X1)
Dari pengolahan data yang ditunjukan pada lampiran, berikut diper-
oleh hasil yang dapat ditunjukan pada tabel 4.3.
Tabel 4.3
Hasil regresi nilai tukar
Sumber diolah dari lampiran 2
Pada pengujian secara parsial tingkat signifikan terhadap koefisien
regresi nilai tukar yaitu sebesar -0,124 dengan koefisien korelasinya -0,186
dan nilai signifikansinya sebesar 0,054. diperoleh hasil bahwa menerima
hipotesis alternative (Ho dan menolak hipotesis awal (Hi), hal ini ditunjukan
oleh nilai t-hitung sebesar -1,997 > t-tabel sebesar -2,042 pada tingkat
No Indikator Hasil Regresi
1
2
3
4
5
6
7
Konstanta (a)
Koefisien Regresi (b1)
Koefisien Korelasi
t hitung b1
t tabel
Signifikan
α
5,355
-0,370
-0,186
-1,997
-2,042
0,054
0,05
54
kepercayaan 95% (α = 0,05) dan ditunjukan bahwa nilai tukar berpengaruh
negatif secara tidak signifikan terhadap inflasi di Sulawesi Tengah tahun
2006-2008.
2. Jumlah uang beredar (X2)
Dari pengolahan data yang ditunjukan pada lampiran berikut
diperoleh hasil yang dapat di tunjukan pada tabel 4.4.
Tabel 4.4
Hasil regresi jumlah uang beredar
Sumber : Diolah dari lampiran 2
Pada pengujian secara parsial dengan koefisien regresi jumlah uang
beredar sebesar 0,270. Diperoleh hasil bahwa menerima hipotesis awal (Ho)
dan menolak hipotesis alternatif (Hi), hal ini ditunjukan oleh nilai t-hitung
sebesar 1,457 < t-tabel sebesar 2,042 pada tingkat kepercayaan 95% (α =
No Indikator Hasil Regresi
1
2
3
4
5
6
7
Konstanta (a)
Koefisien regresi (b2)
Koefisien korelasi
t hitung b1
t tabel
Signifikan
α
5,355
0,270
0,95
1,457
2,042
0,155
0,05
55
0,05) dan ditunjukan oleh nilai signifikan yang lebih besar dari 0,05. Hal ini
menunjukan bahwa jumah uang beredar berpengaruh positif tidak secara
signifikan terhadap inflasi di Sulawesi Tengah.
4.2.3 Analisis Ekonomi
Dalam kebijakan moneter melalui pendekatan kuantitas, Bank
Indonesia sebagai bank sentral Indonesia menggunakan jumlah uang beredar
dan kurs nilai tukar sebagai sasaran operasional. Dalam menjaga kestabilan
harga yang dicerminkan oleh indeks harga konsumen, bank sentral akan
mengendalikan jumlah uang beredar dan nilai tukar. Sebagai ilustrasi dapat di
kemukakan bahwa apabila jumlah uang beredar melebihi dari apa yang
diinginkan dan diminta oleh masyarakat, masyarakat cenderung
membelanjakan uangnya dengan meningkatkan konsumsi barang-barang dan
jasa-jasa sehingga akan mendorong terjadinya kenaikan harga. Dan apabila
nilai tukar terdepresiasi maka biaya dana dan biaya modal akan meningkat
sehingga keinginan untuk melakukan investasi, impor maupun ekspor
menjadi lebih rendah dan pada gilirannya akan mengurangi permintaan
agregat dan akhirnya dapat menjaga kestabilan harga.
Kebijakan yang diambil oleh otoritas moneter selama tahun 2006-2008
adalah untuk menjaga kestabilan harga yang dicerminkan melalui indeks
harga konsumen dengan menggunkan indikator jumlah uang beredar dan
nilai tukar sesuai dengan UU No.3 tahun 2004 dalam pelaksanaannya,
kebijaksanaan moneter tersebut kurang efektif dalam mempengaruhi inflasi
yang diukur dengan perkembangan indeks harga konsumen di Sulawesi
56
Tengah karena kebijakan tersebut hanya memeberikan sentimen negatif
terhadap pasar. Hal ini disebabkan pengaruh kebijakan moneter terhadap
perekonomian tidak dapat terjadi begitu saja dengan segera, tetapi
membutuhkan kesenjangan waktu (time lag). Mengingat bahawa kebijakan
moneter bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri, tetapi terdapat interdepedensi
terhadap berbagai variabel dalam perekonomian. Di satu sisi, kebijakan
moneter banyak dipengaruhi oleh berbagai faktor dalam perekonomian, disisi
lain, kebijakan moeneter secara langsung juga mempengaruhi kondisi
moneter dan keuangan yang pada gilirannya akan membawa pengaruh
terhadap kondisi sektor riil atau sektor nyata. Implementasi kebijakan
moneter tidak dapat dilakukan secara terpisah dari kebijakan makro lainnya,
seperti kebijakan fiskal, kebijakan perdagangan, kebijakan perindustrian,
kebijakan pertambangan, kebijakan tenaga kerja, kebijakan pertanian dan
kebijakan lainnya. Seperti halnya keadaan inflasi di Sulawesi Tengah yang
diukur dengan indeks harga konsumen, faktor lain di luar kebijakan moneter
melalui jalur tingkat jumlah uang beredar dan nilai tukar, yang menjadi
penyebab meningkatkan inflasi adalah lonjakan harga minyak mentah dipasar
internasional dan naiknya permintaan agregat menjelang perayaan-perayaan
hari besar keagamaan seperti hari raya Idul Fitri, Idhul Adha, dan Natal serta
perayaan-perayaan menjelang akhir tahun serta keadaan iklim di Sulawesi
Tengah. .
57
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Kebijakan moneter yang dilakukan oleh Bank Sental Indonesia melalui
beberapa instrument kebijakannya, pada dasarnya bertujuan untuk
58
mengendalikan inflasi. Tinggi rendahnya tingkat inflasi dalam suatu daerah
atau Negara merupakan suatu bentuk dalam mengukur keadaan perekonomian
Negara atau daerah tersebut. Berdasarkan hasil penelitian dan perhitungan
pada Bab IV maka dikemukakan kesimpulan beberapa hal :
Pertama, pengendalian inflasi di Sulawesi Tengah yang tercermin dari
perkembangan indeks harga konsumen dengan nilai tukar sebagai faktor yang
mempengaruhi, secara simultan berpengaruh negatif secara tidak nyata atau
tidak signifikan terhadap perkembangan inflasi di Sulawesi Tengah selama
periode tahun 2006-2008
Kedua, pengendalian inflasi di Sulawesi Tengah yang tercermin dari
perkembangan indeks harga konsumen dengan jumlah uang beredar sebagai
faktor yang mempengaruhi, secara simultan berpengaruh positif secara tidak
nyata atau tidak signifikan terhadap perkembangan inflasi di Sulawesi Tengah
selama periode tahun 206-2008.
Kedua kesimpulan diatas, mengindikasikan bahwa inflasi di Sulawesi
Tengah tidak tergantung atau kecil hubungannya dengan pekembangan nilai
tukar dan jumlah uang beredar. Hal ini disebabkan karena keadaan inflasi di
Sulawesi Tengah cenderung volatile food atau inflasi yang dipengaruhi oleh
goncangan (shock), seperti terjadi pada gagal panen akibat gangguan alam
dan penyakit, yang berpengaruh tehadap harga, dan Inflasi administered
prices adalah Inflasi yang dipengaruhi goncangan (shock) akibat kebijakan
harga oleh pemerintah, seperti penetapan harga BBM, harga gas, tarif listrik
dan tarif angkutan. Adanya kenaikan harga pada suatu barang akibat kebi-
59
jakan pemerintah akan berimbas pada kenaikan barang-barang yang lain, dan
pada akhirnya akan menimbulkan inflasi.
5.2 Saran-saran
Berdasarkan kesimpulan diatas, maka diarankan :
1. Kebijakan moneter yang diambila oleh Bank Indonesia sebagai bank
sentral Indonesia sebaiknya dapat meningkatkan kepercyaan masyarakat
terhadap dunia perbankan melalui intrumen kebijakan moneter yaitu im-
bauan moral sehingga kebijakan moneter dapat memberikan sentiment
positif terhadap ekonomi mikro dan makro.
2. Sebelum otoritas moneter mengambil kebijakan atau mengeuarkan ke-
bijakan sebaiknya terlebih dahulu mendesain kebijakan tersebut dengan
melihat keadaan pasar, keadaan masyarakat suatu Negara pada umum-
nya dan suatu daerah pada khususnya, dan membandingkan kebijakan
yang diambil oleh negara-negara lain. Sehingga kebijakan yang diambil
oleh otoritas moneter akan lebih kuat dan baik.
3. Agar kebijakan moneter lebih efektif, sebaikanya pemerintah mengam-
bangkan system perbankan dan keuangan yang lebih sehat dengan
memperbaiki UU tentang bank sentral sehingga butir-butir dalam UU
tersebut menjadi lebih jelas. Hal ini, diharapkan pada akhirnya dapat
menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap dunia perbankan.
60
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-buku
Pohan, Aulia, 2008. Kerangka Kebijakan Moneter dan Implementasinya di Indonesia.
Rajawali Pers. Jakarta
Dajan, Anto, 1975. Pengantar Metode Statistik Jilid I. LP3ES, Jakarta
Pohan, Aulia, 2008. Potret Kebijakan Moneter Indonesia. Rajawali Pers. Jakarta
61
Rahardja, Prathama dan Mandala Manurung, 2001, Teori Ekonomi Makro, Suatu
Pengantar. FE-UI, Jakarta.
Sukirno, Sadono, 1997. Pengantar Teori Mikroekonomi. Edisi Kedua, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta.
Todaro, Michael , 2000. Pembangunan Ekonomi Dunia Ketiga, Edisi Ketujuh,
Erlangga Yogyakarta dan Pratama.
Hadiwigeno, Soetatwo dan Faried Wijaya, 1980. Lembaga – lembaga Keuangan dan
Bank. BPFE UGM, Yogyakarta
Simorangkir, 1979. Dasar – dasar dan Mekanisme Perbankan. Yagrat, Jakarta
Fred N. Kerlinger, 1985. Asas – asas Penelitian Behavioral. Gajah Mada University
Press. Yogyakarta
Nasir, Moh, 1998. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia, Jakarta
Tambunan, Tulus, 2002. Perekonomian Indonesia. FE UI, Jakarta
Puspita Sari, L,N, 2009. Skripsi Analisis Fluktuasi Nilai Tukar Rupiah Terhadap
Dollar Amerika di Indonesia, Periode 1995-2008. UNTAD.
Muh, Fadila, 2004. Skripsi Analisis Pengaruh Tingkat Suku Bunga
TerhadapPenyaluran Kredit di Sulawesi Tengah.
Riduwan dan Sunarto, 2009, Pengantar Statistika. Alfabeta, Bandung
Supranti, J, 1989. Statistik. Erlangga, Jakarta
Ridwan, 2009. Skripsi Pengaruh Jumlah Uang Beredar dan Suku Bunga SBI
Terhadap Indeks Harga Konsumen Di Indonesia, Tahun 2002-2007. UNTAD.
B. Dokumen :
62
Http://www.bi.go.id
Bank Indonesia, Laporan Perekonomian Indonesia
Bank Indonesia, Statistik Perbankan Indonesia
BPS, Statistik 50 Tahun Indonesia Merdeka
Jurnal Ekubang. 2007, STEKPI. Jakarta
63
64
Tabel Data Nilai Tukar, Jumlah Uang Beredar Indonesia, dan
Inflasi (Indeks Harga Konsumen) Sulawesi Tengah
Berdasarkan Data Bulanan Tahun 2006-2008
Tahun Bulan Nilai Tukar Jumlah Uang BeredarInflasi
(Indeks harga Kon-sumen)
1 3 4 5
2006 1 9395 281412 0,58
2 9195 277265 1,16
3 9071 277293 0,78
65
4 8800 282400 1,71
5 9262 304663 -0,71
6 9405 313145 1,92
7 9073 311822 3,65
8 9103 329372 -1,18
9 9230 333905 -1,17
10 9112 346414 -0,06
11 9167 342645 -0,22
12 9006 361073 2,032007 1 9105 344840 2,09
2 9135 346573 -1,7
3 9127 341833 0,24
4 9084 351259 0,96
5 8840 352629 -0,3
6 9052 381376 1,21
7 9225 397823 0,66
8 9402 402035 0,09
9 9150 411281 0,84
10 9102 414996 0,89
11 9375 424435 -0,36
12 9398 460842 3,3
1 3 4 5
2008 1 9249 420298 1,56
2 9070 411327 0,24
3 9210 419746 -0,31
4 9227 427028 0,06
5 9320 438544 1,87
6 9225 466708 2,44
7 9098 458379 2,65
66
8 9155 452445 1,08
9 9435 491729 1,
10 11150 471354 0,03
11 12100 475053 -0,95
12 10950 466379 0,3
67
Regression
Descriptive Statistics
Mean Std. Deviation N
Inflasi .7383 1.25872 36
Nili Tukar 9.3612E3 656.45728 36
Jumlah Uang Beredar 3.8306E5 64439.68328 36
68
Correlations
Inflasi Nili Tukar
Jumlah Uang
Beredar
Pearson Correlation Inflasi 1.000 -.244 .097
Nili Tukar -.244 1.000 .467
Jumlah Uang Beredar .097 .467 1.000
Sig. (1-tailed) Inflasi . .076 .287
Nili Tukar .076 . .002
Jumlah Uang Beredar .287 .002 .
N Inflasi 36 36 36
Nili Tukar 36 36 36
Jumlah Uang Beredar 36 36 36
Variables Entered/Removedb
Model
Variables
Entered
Variables
Removed Method
1 Jumlah Uang
Beredar, Nili
Tukara
. Enter
a. All requested variables entered.
b. Dependent Variable: Inflasi
Model Summaryb
Mod
el R
R
Square
Adjusted
R Square
Std. Error
of the
Estimate
Change Statistics
Durbin-
Watson
R Square
Change
F
Change df1 df2
Sig. F
Change
1 .341a .116 .063 1.21861 .116 2.171 2 33 .130 1.888
a. Predictors: (Constant), Jumlah Uang
Beredar, Nili Tukar
69
Model Summaryb
Mod
el R
R
Square
Adjusted
R Square
Std. Error
of the
Estimate
Change Statistics
Durbin-
Watson
R Square
Change
F
Change df1 df2
Sig. F
Change
1 .341a .116 .063 1.21861 .116 2.171 2 33 .130 1.888
b. Dependent Variable: Inflasi
ANOVAb
Model Sum of Squares Df Mean Square F Sig.
1 Regression 6.448 2 3.224 2.171 .130a
Residual 49.005 33 1.485
Total 55.453 35
a. Predictors: (Constant), Jumlah Uang Beredar, Nili Tukar
b. Dependent Variable: Inflasi
Coefficientsa
Model
Unstandardized Coefficients
Standardized
Coefficients
t Sig.B Std. Error Beta
1 (Constant) 5.355 2.949 1.816 .078
Nili Tukar .000 .000 -.370 -1.997 .054
Jumlah Uang Beredar 5.267E-6 .000 .270 1.457 .155
a. Dependent Variable: Inflasi
70
Residuals Statisticsa
Minimum Maximum Mean Std. Deviation N
Predicted Value -.7182 1.3216 .7383 .42921 36
Std. Predicted Value -3.394 1.359 .000 1.000 36
Standard Error of Predicted
Value.213 .891 .327 .133 36
Adjusted Predicted Value -.4516 1.2668 .7288 .41603 36
Residual -2.40644 3.08266 .00000 1.18328 36
Std. Residual -1.975 2.530 .000 .971 36
Stud. Residual -2.013 2.613 .004 1.002 36
Deleted Residual -2.49935 3.28963 .00957 1.26092 36
Stud. Deleted Residual -2.116 2.890 .010 1.036 36
Mahal. Distance .094 17.752 1.944 3.154 36
Cook's Distance .000 .153 .022 .031 36
Centered Leverage Value .003 .507 .056 .090 36
a. Dependent Variable: Inflasi
71
72
73
74
75
Correlations
Descriptive Statistics
Mean Std. Deviation N
Nili Tukar 9.3612E3 656.45728 36
Jumlah Uang Beredar 3.8306E5 64439.68328 36
Inflasi .7383 1.25872 36
Correlations
Nili Tukar
Jumlah Uang
Beredar Inflasi
Nili Tukar Pearson Correlation 1 .467** -.244
Sig. (2-tailed) .004 .152
N 36 36 36
Jumlah Uang Beredar Pearson Correlation .467** 1 .097
Sig. (2-tailed) .004 .573
N 36 36 36
Inflasi Pearson Correlation -.244 .097 1
Sig. (2-tailed) .152 .573
N 36 36 36
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
76
Nonparametric Correlations
Correlations
Nili Tukar
Jumlah Uang
Beredar Inflasi
Spearman's rho Nili Tukar Correlation Coefficient 1.000 .432** -.186
Sig. (2-tailed) . .008 .278
N 36 36 36
Jumlah Uang Beredar Correlation Coefficient .432** 1.000 .095
Sig. (2-tailed) .008 . .582
N 36 36 36
Inflasi Correlation Coefficient -.186 .095 1.000
Sig. (2-tailed) .278 .582 .
N 36 36 36
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
77