SISWO MULYARTONO

download SISWO MULYARTONO

of 90

Transcript of SISWO MULYARTONO

  • 8/18/2019 SISWO MULYARTONO

    1/90

    KEKERASAN ANTI-AHMADIYAH DI CIKEUSIK,

    PANDEGLANG: PENDEKATAN MOBILISASI

    Skripsi

    Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) 

    Oleh :

    Siswo Mulyartono

    107033203232

    PROGRAM STUDI ILMU POLITIK

    FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

    UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

    JAKARTA

    2014

  • 8/18/2019 SISWO MULYARTONO

    2/90

    PERSETUJUAN

    PEMBIMBING

    SKRIPSI

    Dengan

    ini,

    Pembimbing Skripsi

    menyatakan bahwa mahasiswa:

    Nama

    NIM

    Program Studi

    :

    Siswo

    Mulyartono

    :107033203232

    : Ilmu Politik

    Telah menyelesaikan

    penulisan

    skripsi

    dengan

    judul:

    KEKERASAN ANTI-AHMADIYAH

    DI

    CIKEUSIK,

    PANDEGLANG:

    PENDEKATAN MOBILISASI

    dan telah memenuhi

    persyaratan

    untuk

    diuji.

    Jakarta, 30 Desember 2013

    Mengetahui,

    Ketua Program

    Studi

    Menyetujui

    Pembimbing

    NIP. 19651212

    t99203 I

    004

    NIP.

    19651212199203 I 004

  • 8/18/2019 SISWO MULYARTONO

    3/90

    l.

    2.

    3.

    PERNYATAAN

    BEBAS

    PLAGIARISME

    Skripsi

    yang

    berjudul:

    KEKERASAN

    ANTI

    AHMADIYAH

    DI

    CIKEUSIK,

    PANDEGLANG:

    PENDEKATAN

    MOBILISASI

    Merupakan

    karya

    asli

    saya

    yang diajukan

    untuk

    memenuhi

    salah

    satu

    persyaratan

    memperoleh

    gelar

    Strata

    1

    di

    Universitas

    Islam

    Negeri

    (UIN)

    Syari

    f

    Hidayatull

    ah Jakarta.

    Semua

    sumber

    yang saya

    gunakan

    dalam

    penulisan

    ini

    telah

    saya

    cantumkan

    sesuai

    dengan

    ketentuan

    yang berlaku

    di

    Universitas

    Islam

    Negrr

    (UIN)

    Syarif

    Hidayatullah

    Jakarta.

    Jika

    di

    kemudian

    hari

    terbukti

    bahwa

    karya

    saya

    ini

    bukan

    hasil

    karya

    asli

    saya

    atau

    merupakan

    hasil

    jiplakan

    dari

    karya

    orang

    lain,

    maka

    saya

    bersedia

    menerima

    sanksi

    yang

    berlaku

    di

    Universitas

    Islam Negeri

    (UIN)

    Syarif Hidayatullah

    Jakarta.

    Jakarta,

    30

    Desember

    2013

    Siswo

    Mulyartono

  • 8/18/2019 SISWO MULYARTONO

    4/90

    PENGESAIIAN

    PANITIA UJIAN SKRIPSI

    SKRIPSI

    KEKERASAN

    ANTI.AHMADryAH

    DI

    CIKEUSIK,

    PANDEGLANG:

    PENDEKATAN

    MOBILISASI

    Oleh

    Siswo

    Mulyartono

    r07033203232

    Telah

    di

    pertahankan

    dalam sidang

    ujian

    skripsi di Fakultas

    Ilmu

    Sosial dan

    Ilmu

    Politik

    Universitas

    Islam Negeri Syarif

    Hidayatullah

    Jakarla

    pada

    tanggal

    l7

    Januari 2014.

    Skripsi

    ini

    telah

    di terima

    sebagai

    salah satu syarat

    memperoleh

    gelar

    Sarjana Sosial

    (S.

    Sos)

    pada

    Program Studi

    Ilmu Politik.

    Ketua,

    NIP.

    19730927 200501

    I 003

    Penguji

    II,

    fra.

    hv.-*

    ;

    Dr.

    Sirojudin Aly

    NIP.

    19540605

    200112

    l 001

    Diterima

    dan

    dinyatakan memenuhi syarat kelulusan

    pada

    tanggal l7

    Januai 2014

    Ketua Program Studi

    FISIP

    UIN

    Jakarta

    Sekretaris,

    212

    t99203 I

    004

    NIP. 196

    3

    200103

    I

    002

    212

    199203

  • 8/18/2019 SISWO MULYARTONO

    5/90

    i

    ABSTRAKSI

    Skripsi ini memusatkan perhatian peristiwa kekerasan anti Ahmadiyah diCikeusik, Pandeglang, pada 06 Februari 2011. Tujuan penelitian ini adalah untuk

    menggambarkan secara mendalam mobilisasi anti-Ahmadiyah dan mencari faktor

    yang menyebabkan mobilisasi anti-Ahmadiyah bisa memperoleh dukungan dan

    melibatkan massa dalam jumlah ribuan. Penelitian ini menggunakan metode studi

    kasus dengan menggunakan teknik analisis deskriptif dan interpretatif. Penelitian

    ini dilakukan melalui wawancara dan studi pustaka. Kerang teori yang digunakan

    dalam penelitian ini adalah skema mobilisasi Bert Klandersmans: penciptaan potensi mobilisasi, pemanfaatan jaringan, motivasi untuk berpartisipasi dan

     penyingkiran penghambat partisipasi.

    Penelitian menemukan bahwa sejak Ahmadiyah di Cikeusik mulaimelakukan aktifitas keagamaan, penciptaan potensi mobilisasi sudah dilakukan

    oleh para anti-Ahmadiyah untuk membubarkan Ahmadiyah di Cikeusik. Usaha

     penciptaan mobilisasi digunakan untuk mencari dukungan pembubaran.

    Dukungan untuk membubarkan Ahmadiyah di Cikeusik semakin kuat ketika

     jaringan-jaringan seperti kiai, santri, dan jawara digunakan untuk memobilisasi

    massa anti-Ahmadiyah. Tetapi dukungan saja tidak cukup untuk membubarkan

    Ahmadiyah di Cikeusik. Mobilisator anti-Ahmadiyah harus menyediakan insentif

    kolektif dan selektif serta menyingkirkan penghalang partisipasi supaya dukungan

     bisa direalisasikan dalam bentuk keterlibatan pembubaran. Dengan memfokuskan

    variabel penciptaan potensi mobilisasi, jaringan, motivasi tindakan dan

     penyingkiran penghalang partisipasi, penelitian ini menemukan tiga faktor yangmemfasilitasi mobilisasi anti-Ahmadiyah bisa terjadi dan memperoleh dukungan

    massa dalam jumlah ribuan. Faktor-faktor itu adalah jaringan, kepemimpinan

    gerakan, dan kegagalan polisi dalam menangani konflik anti-Ahmadiyah.

  • 8/18/2019 SISWO MULYARTONO

    6/90

    ii

    KATA PENGANTAR

    Penulis melakukan penelitian ini ketika peristiwa kekerasan anti-Ahmadiyah

    di Cikeusik, Pandeglang telah berlalu selama dua tahun. Tentu saja waktu dua

    tahun belum terlalu lama, memungkin penulis bisa mencari informasi dan bahan

     penulisan secara mudah. Tetapi rentang waktu peristiwa yang belum lama itu juga

    menjadi penghambat dalam memperoleh data di lapangan.

    Ketika penulis mengunjungi Desa Umbulan Cikeusik untuk mengumpulkan

    data, ada penolakan dari beberapa informan yang akan diwawancarai. Sebab,

    mereka takut ketika disuruh mengingat kembali persitiwa Cikeusik. Beruntung,

     penulis menjumpai beberapa informan yang mau diwawancarai meski tidak

    diizinkan untuk direkam dan tidak boleh disebutkan nama aslinya jika mau

    dijadikan rujukan. Oleh karena itu, dalam penulisan kutipan wawancara di bab

     pembahasan, ada beberapa informan yang menggunakan inisial.

    Penulis juga merasa beruntung ketika diizinkan Pengadilan Negeri Serang

    untuk mengcopy dokumen Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Kepolisian dan hasil

     persidangan peristiwa Cikeusik. Dari dokumen-dokumen itu penulis memperoleh

     banyak data tentang persitiwa Cikeusik.

    Penulis semakin merasa mudah menyelesaikan penelitian ini ketika

    menemukan bahan tambahan dari teman-teman Jama’at  Ahmadiyah,

    memungkinkan penulis bisa memasukkan informasi dari pihak Ahmadiyah.

  • 8/18/2019 SISWO MULYARTONO

    7/90

    iii

    Akhirnya, penulis harus mengucapkan syukur kepada Allah SWT yang telah

    memudahkan segala urusan terkait penulisan skripsi ini.

    Penulis juga berkewajiban untuk mengucapkan terima kasih kepada pihak-

     pihak yang sudah membantu penyusunan skripsi ini, diantaranya:

    1.  Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Syarif

    Hidayatullah Jakarta, Bapak Prof. Dr. Bahtiar Effendy, MA, beserta

    seluruh staf jajarannya.

    2.  Bapak Dr. Ali Munhanief selaku Kepala Program Studi Ilmu Politik.

    Terima kasih Pak Ali sudah mau menjadi pembimbing skripsi ini di tengah

    kesibukannya yang sangat padat.

    3. 

    Bapak M. Zaki Mubarak selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Politik.

    4. 

    Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Ilmu Politik yang tanpa mengenal

    keluh dan kesah dalam menghadapi mahasiswa yang penuh masalah.

    5.  Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Paramadina yang telah

    melibatkan penulis dalam  penelitian “Pemolisian Konflik Agama.” Tanpa

     bantuan PUSAD skripsi ini mustahil bisa selesai. Sebagian besar data yang

    ada di skripsi ini diambil dari tulisan penulis di penelitian PUSAD.

    Semoga saja Januari bisa diterbitkan.

    6.  Kak Ihsan Ali Fauzi (Direktur PUSAD Paramadina) yang rela meluangkan

    waktunya untuk berdiskusi dengan anak-anak muda. Kak Ihsan adalah

    guru sekaligus teman bahkan orangtua bagi penulis. Semoga Allah

    membalas semua kebaikan Kak Ihsan.

  • 8/18/2019 SISWO MULYARTONO

    8/90

    iv

    7. 

    Bang Samsu Rizal Panggabean yang selalu menumbuhkan ide-ide segar

     bagi penulis.

    8.  Teman-teman di PUSAD Paramadina: Pak Taufiq, Aya, Imelda, Bom-

    Bom, dan Uki.

    9.  Buya Khaeril Azhar (Penulis Jakarta Post) yang selalu mengganggu

     penulisan skripsi ini.

    10. Teman-teman di Forum Muda Paramadina: Ayu Melisa, Irsyad Rapshady,

    dan Kak Husni Mubarak. Penulis banyak belajar dari mereka.

    11. 

    Teman-teman di Forum Mahasiswa Ciputat (FORMACI): Erwin, Dodi

    Iskandar, Rafsanjani, Roy, Rizal, Didi Manakara, Maulana, Cendy, Abda,

    Ripai Tobri, Yusuf Albana, Nana Saehuna, Ali Imron, Hodari, Naza,

    Sukron Hadi, Ismail, Adis, Mila, Lilis, Ira, Rangga dan Indra. Selama di

    dunia ini masih ada mahasiswa yang rajin baca buku, selama itu pula

    FORMACI akan tetap ada.

    12.  Teman-teman di Ilmu Politik: Betet, M Yan, Cak Ipul, Adi Ridwan Syam,

     Neneng, Siti, Kentung, Deni, Lupi, Iceng, Zamiral, Aisyah, dan lainnya.

    13. Kedua orang tua penulis: Bapak Suripto dan Ibu Roisah yang dengan sabar

    menunggu anaknya bisa wisuda. Terima kasih juga untuk Siska

    Ayuningtyas (adik) dan Sri Purwaningsih (kakak).

    14.  Para Ahmadi yang syahid di Cikeusik. Skripsi ini penulis persembahkan

    untuk kalian.

    Pamulang, 25 Desember 2013

  • 8/18/2019 SISWO MULYARTONO

    9/90

    v

    Penulis

    DAFTAR ISI

    ABSTRAK  ................................................................................................... i 

    KATA PENGANTAR  ................................................................................. ii

    DAFTAR ISI ................................................................................................ v 

    DAFTAR TABEL.............................................................................. ......... vi 

    DAFTAR BAGAN ....................................................................................... vii 

    BAB I PENDAHULUAN

    A.  Pernyataan Masalah ................................................................ 1

    B.  Pertanyaan Penelitian ............................................................. 10

    C.  Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................... 11

    D.  Tinjauan Pustaka..................................................................... 12

    E.  Metode Penelitian ................................................................... 14

    F. 

    SistematikaPenulisan .............................................................. 16

    BAB II KERANGKA TEORI

    A.  Kekerasan ............................................................................... 18

    B. 

    Mobilisasi ............................................................................... 20

    BAB III DINAMIKA KONFLIK ANTI-AHMADIYAH

    A.  Demografi Kabupaten Pandeglang ......................................... 28

    B.  Sejarah Ahmadiyah Cikeusik, Pandeglang ............................. 31

    C.  Dinamika Konflik ................................................................... 32

    BAB IV KEKERASAN DAN MOBILISASI ANTI-AHMADIYAH

    A.  Kekerasan Anti-Ahmadiyah.......................................... ......... 46

    B.  Menciptakan Potensi Mobilisasi Anti-Ahmadiyah ................. 49

    C.  Jaringan Perekrutan Anti-Ahmadiyah .................................... 51

    D. 

    Memotivasi untuk Berpartisipasi ............................................ 58

    E.  Penyingkiran Penghalang Mobilisasi.............................. ....... 62

    BAB V PENUTUP

    Kesimpulan ................................................................................... 64

    DAFTAR PUSTAKA............................................................................ ...... viii

  • 8/18/2019 SISWO MULYARTONO

    10/90

    vi

    DAFTAR TABEL

    Tabel I.A.1. Kekerasan Anti Ahmadiyah di Indonesia (2008-2011) ........... 9

  • 8/18/2019 SISWO MULYARTONO

    11/90

  • 8/18/2019 SISWO MULYARTONO

    12/90

    1

    Bab I

    PENDAHULUAN

    A.  Pernyataan Masalah

    Sejarah Jema’at Ahmadiyah Indonesia (JAI) adalah sejarah konflik

    sektarian di dalam perkembangan Islam di Indonesia. Pada awal

     perkembangannya hingga saat ini, keberadaan JAI sebagai organisasi masyarakat

    dan aliran Islam masih ditentang oleh sebagian umat Islam Indonesia. Penolakan

    terhadap JAI dilakukan dengan sangat keras, misalnya teror maupun kekerasan.

    Tetapi, tidak jarang penolakan berlangsung secara damai, melalui dialog atau

    debat terbuka. Konflik Ahmadiyah di Indonesia tidak hanya melibatkan penganut

    Ahmadiyah dan non-Ahmadiyah, tetapi juga pemerintahan setempat.

    Sejarah perkembangan JAI bisa dilihat jauh sebelum masa kemerdekaan.

    Pada awalnya, sekitar Desember 1922, dua pemuda lulusan sekolah Sumatera

    Thawalib memutuskan untuk menuntut ilmu ke India. Dua pemuda itu adalah

    Abubakar Ayyub dan Ahmad Nuruddin. Sebenarnya mereka berencana

    melanjutkan sekolah ke Mesir. Tetapi karena sudah banyak orang mencari ilmu ke

    Mesir, sumber Islam dari tempat lain perlu dicari. Sumber lain itu adalah India

    yang dianggap memiliki tokoh-tokoh dan perguruan Islam berkualitas. Atas saran

    Zainuddin Labai El Yunisiah dan Syekh Ibrahim Musa Parabek, dua pemuda itu

  • 8/18/2019 SISWO MULYARTONO

    13/90

    2

     belajar ke India. Belakangan, pelajar lain, Zaini Dahlan menyusul ke India dan

     bergabung dengan mereka.1

     

    Para pemuda itu akhirnya mulai mengenal ajaran Ahmadiyah ketika

    menetap di Lahore. Karena tertarik dengan ajaran Ahmadiyah, mereka

    memutuskan untuk melakukan ziarah ke makam pendiri Ahmadiyah yaitu Mirza

    Ghulam Ahmad di Qodian. Selain itu, tujuan mereke ke Qodian adalah untuk

    mempelajari dan mendalami ajaran Ahmadiyah. Mereka juga sempat bertemu

    dengan Hazrat Khalifah II, Mirza Basyiruddin Mahmud dan melakukan bai’at

    sebagai tanda telah menjadi anggota Ahmadiyah.2 

    Tidak lama kemudian, mereka meminta Khalifah II untuk berkunjung ke

    Indonesia. Tetapi permintaan ini belum bisa dipenuhi dan diganti dengan

     pengiriman Maulana Rahmat Ali ke Indonesia untuk menyebarkan ajaran

    Ahmadiyah.3 Maulana Rahmat Ali adalah tokoh penting dalam sejarah awal JAI.

    Melalui dia, JAI pada masa awal perkembangannya, bisa mendirikan Pengurus

    Besar (PB) dan beberapa cabang di Indonesia.

    Pada 2 Oktober 1925, Maulana Rahmat Ali tiba di Tapaktuan. Di tempat itu,

    dia berhasil mengajak beberapa masyarakat untuk masuk ke Ahmadiyah. Karena

    sedang terjadi konfrontasi antara Islam dengan pemerintahan kolonial Belanda,

    maka Maulana Rahmat Ali disuruh Gubernur Aceh untuk meninggalkan

    Tapaktuan. Sepeninggalan Maulana Rahmat Ali, Ahmadiyah di Tapaktuan bisa

    1  Murtolo, “Sejarah Singkat Perkembangan Jema’at Ahmadiyah di Indonesia selama 50

    Tahun, Sinar Islam 15(Januari 1976): 11.2

     Murtolo, “Sejarah Singkat,” 12. 3 Murtolo, “Sejarah Singkat,” 12. 

  • 8/18/2019 SISWO MULYARTONO

    14/90

    3

    melakukan kegiatan keagamaannya. Tetapi, akhirnya mereka dilarang melakukan

    salat Jumat di tempat sendiri dan harus salat bersama-sama di masjid umum. Raja

     juga melarang para Ahmadi untuk berkumpul.4 

    Pada 1926, Maulana Rahmat Ali tiba di Padang. Pada tahun itu, Kegiatan

    dia di Padang sempat membuat gempar masyarakat setempat. Tahar Sutan Marajo

    mendirikan Komite Mencari Hak (KMH) untuk mempertemukan mubalig

    Ahmadiyah dengan ulama Minangkabau. Tujuannya untuk melakukan debat

    antara pihak Ahmadiyah dan non-Ahmadiyah. Acara debat hanya diikuti para

    murid ulama Minangkabau dan mubalig Ahmadiyah. Akhirnya, KMH

    membubarkan diri dan Jema’at Ahmadiyah resmi didirikan di Padang.5 

    Perkembangan Ahmadiyah di Padang semakin kuat ketika pada 1929,

    Ahmad Nuruddin dan Zaini Dahlan kembali ke Padang setelah belajar di Qodian.

    Jumlah anggota Ahmadiyah di Padang semakin banyak, kira-kira delapan puluh

    orang. Dalam melakukan kegiatan keagamaan, seperti salat berjamaah, mereka

    menyewa rumah. Belakangan, mereka diberi musala oleh Demang Sutan Rajad

    untuk digunakan sebagai tempat ibadat anggota Ahmadiyah. Tetapi, musala itu

    akhirnya disegel, membuat para Ahmadi kembali mengadakan kegiatan

    keagamaannya di rumah sewaan.6 

    Penyebaran Ahmadiyah tidak berhenti di Sumatera. Pada 1931, Maulana

    Rahmat Ali memutuskan untuk pergi ke Jawa, tepatnya Jakarta. Keputusan ini

    4 Murtolo, “Sejarah Singkat,” 13. 

    5

     Murtolo, “Sejarah Singkat,” 13-14.6 Murtolo, “Sejarah Singkat,” 15.

  • 8/18/2019 SISWO MULYARTONO

    15/90

    4

    merupakan sejarah penting dalam perkembangan Ahmadiyah di Indonesia. selain

    melakukan dakwah di kota-kota besar yang ada di Jawa, Maulana Rahmat Ali

    membentuk Pengurus Besar (PB) Ahmadiyah. Pembentukan pengurus besar

     berawal dari konferensi pada tahun 1935 di Jakarta yang dihadiri tokoh-tokoh

    Ahmadiyah Indonesia. Konferensi memutuskan untuk membentuk struktur PB

    dan menamai organisasi Ahmadiyah Indonesia yang disebarkan oleh Maulana

    Rahmat Ali sebagai Ahmadiyah Qodian Departemen Indonesia (AQDI).7 

    Dalam rangka penyempurnaan, PB berusaha menyesuaikan organisasi

    AQDI dengan organisasi Pusat Ahmadiyah di Qodian. Oleh karena itu, pada 12

    dan 13 Juni 1937 diadakan konferensi di Masjid Hidayat, Jalan Balikpapan

    Jakarta. Konferensi tidak hanya menghasilkan Anggaran Dasar dan Anggaran

    Rumah Tangga (AD/ART) Ahmadiyah, tetapi nama AQDI diganti dengan AADI

    (Anjuman Ahmadiyah Departemen Indonesia). Pada Desember 1949 di Jakarta,

    AADI mengadakan muktamar untuk menetapkan AD/ART terbaru dan mengganti

    nama AADI menjadi JAI (Jema’at Ahmadiyah Indonesia).8  Nama JAI masih

    digunakan sampai sekarang.

    Penyebaran Ahmadiyah di Jawa bukan tanpa resistensi dari ulama setempat.

    Pada awal-awal kegiatan dakwah di Jawa, Maulana Rahmat Ali beberapa kali

    melakukan debat dengan anggota Persis (Persatuan Islam). Debat berlangsung

    secara terbuka dan damai, bahkan beberapa peserta debat dari pihak non-

    Ahmadiyah memutuskan untuk masuk ke Ahmadiyah. Ketika Maulan Rahmat Ali

    7

     Ikandar Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia (Yogyakarta: LKiS, 2005), 195.8 Ikandar Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah, 195-196.

  • 8/18/2019 SISWO MULYARTONO

    16/90

    5

    mengintensifkan dakwah di Jawa, cabang-cabang Ahmadiyah hampir tersebar di

    kota-kota besar yang ada di Jawa Barat (Garut, Tasikmalaya, Singaparna,

    Bandung, Sukabumi, Cianjur, Manislor, Cimahi, dan Ciamis), Jawa Tengah

    (Purwokerto, Yogyakarta, Kebumen, Banjarnegara, semarang, Salatiga,

    Magelang), dan Jawa Timur (Surabaya).9 

    Perkembangan Ahmadiyah di Jawa Tengah dan Jawa Timur relatif aman

    dibandingkan Jawa Barat. Di Jawa Barat sering terjadi debat antara mubalig

    Ahmadiyah dengan ulama setempat. Para anggota Ahmadiyah juga mengalami

    kekerasan, bahkan beberapa dibunuh oleh DI/TII (Darul Islam dan Tentara

    Indonesia). Kekerasan tersebut bukan disebabkan oleh perbedaan keyakinan,

    tetapi lebih bermuatan politik. Warga Ahmadiyah di Jawa Barat menolak untuk

     bergabung dengan DI/TII untuk memberontak ke pemerintahan Indonesia.10 Jawa

    Barat merupakan basis kekuatan DI/TII. Tidak jarang DI/TII melakukan teror dan

    kekerasan terhadap warga yang menolak mendukung DI/TII.11 

    Pada tahun 1952, Ahmadiyah mulai melakukan dakwah di Indonesia bagian

    timur. Tetapi hanya beberapa wilayah saja yang disentuh oleh mubalig

    Ahmadiyah, yakni Ujung Pandang, Lombok, dan Sulawesi Utara. Resistensi

    terjadi hanya di wilayah Lombok. Seorang Ahmadi di Lombok, Junaidi dihadang

    9 Murtolo, “Sejarah Singkat,” 17-34.

    10 Murtolo, “Sejarah Singkat,” 28. 

    11

      Solahudin,  NII sampai JI: Salafi Jihadisme di Indonesia  (Jakarta: Komunitas Bambu,2011), 53-77.

  • 8/18/2019 SISWO MULYARTONO

    17/90

    6

    di tengah jalan oleh beberapa orang. Mereka memukuli dan menikamnya beberapa

    kali.12

     

    Jaminan perlindungan hukum bagi kegiatan Ahmadiyah di Indonesia

    akhirnya diakui ketika pada 31 Maret 1953, berdasarkan SK Menteri Kehakiman

     No. JA 5/23/13, Ahmadiyah mendapat status badan hukum. Pengakuan itu

    diperkuat dengan pernyataan Departemen Agama Republik Indonesia tertanggal

    11 Maret 1968 tentang hak hidup seluruh organisasi agama di Indonesia bagi yang

    telah disahkan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangganya secara resmi

    oleh Menteri Kehakiman sebagai badan hukum.13 Belakangan, Ahmadiyah juga

    sudah diakui sebagai organisasi kemasyarakatan melalui surat Direktorat

    Hubungan Kelembagaan Politik No. 75/D.I./VI/2003.

    Pada masa awal pemerintahan Orde Baru, yaitu sekitar 1970an, keberadaan

    Ahmadiyah relatif aman. Tetapi kondisi mulai berubah ketika pada 1980 Majelis

    Ulama Indonesia (MUI) menyatakan bahwa Ahmadiyah Qodian, merujuk kepada

    JAI, merupakan aliran di luar Islam, sesat dan menyesatkan. Aliran Ahmadiyah

    Qodian di beberapa negara juga mulai dilarang untuk dikembangkan, misalnya di

    Malaysia, Brunei Darussalam, Pakistan, dan Kerajaan Arab Saudi. Ahamdiyah

    Qodian juga dilarang oleh Organisasi Islam Internasional, yakni Rabithah Alam

    Islami.14 

    12 Murtolo, “Sejarah Singkat,” 35. 

    13 Ikandar Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah, 291-292.

    14

      M Atho Mudzhar,  Kebijakan Pemerintah dalam Penanganan Masalah Ahmadiyah di Indonesia (Yogyakarta: tidak terbit, 11 November 2008), 2. 

  • 8/18/2019 SISWO MULYARTONO

    18/90

    7

    Munculnya fatwa MUI pada 1980 telah membuat sikap penolakan terhadap

    JAI menguat kembali. Para anti-Ahmadiyah sering menjadikan fatwa sebagai

    dasar legitimasi untuk tindakan kekerasan dan intoleransi terhadap JAI. Fatwa

    MUI merupakan salah satu pemicu tindak kekerasan dan intoleransi di

    masyarakat.15 Ketika MUI mengeluarkan fatwa, persekuasi Ahmadiyah terjadi di

     beberapa tempat, misalnya di Sulawesi Selatan (1981), Kalimantan Barat,

    Surabaya, Parong, Bogor (1981), Riau, Palembang, Sumatera Barat, Timor Timur

    dan Jakarta (1990). Persekuasi telah mengakibatkan bangunan penduduk, musala,

    dan masjid milik JAI rusak.16 

    Demokratisasi pasca-Orde Baru tidak serta merta mengakhiri polemik

    seputar Ahmadiyah. Hak dan kebebasan dalam politik hadir mengikuti gelombang

    reformasi. Tetapi untuk jaminan kebebasan berkeyakinan dan beragama masih

    menjadi perkara yang rumit bagi Indonesia, terutama pada masa Pemerintahan

    Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Sepanjang periode pemerintahan SBY, yaitu

    tahun 2004 sampai 2013, persekusi terhadap JAI terjadi di hampir semua provinsi

    Indonesia. Persekusi bisa berlangsung satu hingga dua kali, tiga sampai lima kali,

    dan lebih dari enam kali dalam setahun (lihat gambar I.A.1).

    Sejak 2005, sumber utama mobilisasi kekerasan Islamis terhadap

    Ahmadiyah maupun terhadap kelompok lain adalah koalisi vigilante-vigilante

    15 Luthfi Assyaukani, “Fatwa and Violence in Indonesia,”  Journal of Religion and Society 

    11 (2009).16 M Atho Mudzhar, Kebijakan Pemerintah.2.

  • 8/18/2019 SISWO MULYARTONO

    19/90

    8

    radikal yang bertindak tanpa peduli hukum.17  Maraknya persekusi terhadap

    Ahmadiyah juga tidak bisa dilepaskan dari sikap pemerintah dalam menangani

    konflik Ahmadiyah. Pemerintah SBY lebih banyak mendengar kata MUI

    dibanding konstitusi. Akibatnya, MUI semakin percaya diri dalam melarang

    keberadaan JAI.

    Gambar I.A.1 Persebaran Anti-Ahmadiyah di Indonesia (2004-2013)

    Sumber: Human Rights Working Group (HRWG)

    17

     Julie Chernov Hwang,  Peaceful Islamist Mobilization in the Muslim World  (New York:Palgrafe Macmillan, 2009), 96. 

  • 8/18/2019 SISWO MULYARTONO

    20/90

  • 8/18/2019 SISWO MULYARTONO

    21/90

    10

     jumlah ribuan. Akibatnya, tiga Jema’at  Ahmadiyah dibunuh secara sadis, lima

    anggota lainnya mengalami luka berat, perusakan rumah dan pembakaran

    kendaraan milik JAI.20  Selain itu, buntut dari peristiwa ini adalah pemerintahan

    daerah di Banten dan tempat lain mengeluarkan peraturan daerah berisi

     pelarangan terhadap JAI.21 

    Peristiwa Cikeusik merupakan peristiwa pertama dalam sejarah konflik

    sektarian di Indonesia yang mengakibatkan jatuhnya nyawa dan melibatkan massa

    dalam jumlah ribuan untuk menyerang JAI. Oleh karena itu, penulis menyadari

     bahwa penting untuk meneliti secara mendalam tentang proses mobilisasi anti-

    Ahmadiyah di Cikeusik Pandeglang Banten dengan menggunakan teori

    mobilisasi. Selanjutnya penelitian ini akan diberi judul: Kekerasan Anti-

    Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang: Pendekatan Mobilisasi.

    B.  Pertanyaan Penelitian

    Fokus utama penelitian ini adalah proses mobilisasi anti-Ahmadiyah

    sebelum kekerasan terjadi pada 6 Februari 2011. Ada beberapa pertanyaan utama

    yang akan dijawab dalam penelitian ini:

    1. 

    Bagaimana proses mobilisasi kekerasan anti-Ahmadiyah Cikeusik,

    Pandeglang berlangsung?

    20 Tim Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KONTRAS),  NEGARA

    TAK KUNJUNG TERUSIK: Laporan Hak Asasi Manusia Peristiwa penyerangan Jamaah

     Ahmadiyah Cikeusik 6 Februari 2011 (Jakarta: KONTRAS, 2011). 16.21 CRCS, Laporan Kehidupan Beragama 2011, 32-33.

  • 8/18/2019 SISWO MULYARTONO

    22/90

    11

    2. 

    Faktor-faktor apa saja yang memengaruhi mobilisasi kekerasan anti-

    Ahmadiyah bisa memperoleh dukungan dan melibatkan ribuan massa?

    C.  Tujuan dan Manfaat Penelitian

    Penelitian tentang konflik dan kekerasan terhadap masyarakat secara umum

    dan JAI secara khusus, dengan menggunakan pendekatan mobilisasi masih sangat

     jarang. Oleh karena itu, tujuan utama penelitian ini:

    1. 

    Untuk menggambarkan secara mendalam proses mobilisasi kekerasan

    terhadap Jema’at Ahmadiyah di Cikeusik Pandeglang Banten.

    2. 

    Menjelaskan bagaimana mobilisasi kekerasan anti-Ahmadiyah

    memperoleh dukungan dan melibatkan masyarakat.

    3.  Menemukan faktor-faktor utama yang memengaruhi mobilisasi

    kekerasan anti-Ahmadiyah bisa terjadi.

    Ada dua manfaat utama dalam melakukan penelitian ini.  Pertama,

    manfaat teoritis. Meskipun objek penelitian ini sangat terbatas yaitu hanya satu

    kasus, penulis percaya bahwa hasilnya bisa memperkaya khasanah ilmu politik

    khususnya bidang sosiologi politik.

    Penelitian ini juga bisa dijadikan titik awal untuk melangkah lebih jauh

    dalam menjelaskan kasus kekerasan anti-Ahmadiyah secara umum dengan

    memperluas penelitian secara komparatif. Melalui penelitian ini, penulis mencoba

    menguji teori mobilisasi, sejauh mana validitas teori ini bisa diterapkan kepada

    kasus kekerasan anti-Ahmadiyah Cikeusik, Pandeglang.

  • 8/18/2019 SISWO MULYARTONO

    23/90

    12

     Kedua, manfaat praktis. Dengan melakukan penelitian ini, penulis berharap

     bisa memberikan informasi kepada siapa saja yang ingin mengetahui proses

    mobilisasi kekerasan anti-Ahmadiyah di Cikeusik Pandeglang Banten. Selain itu,

     penulis percaya bahwa hasil penelitian ini memiliki kontribusi konstruktif bagi

     pemerintah pusat dan daerah dalam menangani konflik seputar Ahmadiyah di

    Indonesia.

    D.  Tinjauan Pustaka

    Usaha teoritis untuk menjelaskan peritiwa Cikeusik dengan menggunakan

     pendekatan mobilisasi belum pernah dilakukan. Kebanyakan dalam bentuk

     pelaporan peristiwa. Laporan KONTRAS, Setara Institute, dan CRCS lebih

     banyak mengulas kronologi kejadian.22 

    Selain mengulas kronologi kejadian, laporan-laporan itu lebih menyorot

     peran negara dalam menjaga kebebasan beragama. Laporan-laporan itu

    menemukan bahwa negara telah gagal melindungi hak dan kekebasan beragama

     bagi JAI di Cikeusik Pandeglang Banten.

    Proses mobilisasi yang terkait bagaimana para pelaku berinteraksi satu sama

    lain, dan bagaimana mereka mampu memanfaatkan peluang dan sumberdaya yang

    ada, tidak diulas secara mendalam di laporan-laporan itu. Faktor-faktor yang

    memungkinkan mobilisasi kekerasan terjadi tidak dipaparkan secara jelas.

    22  Lihat Tim KONTRAS,  NEGARA TAK KUNJUNG TERUSIK , 5-24. Lihat juga Setara

    Institute,  POLITIK DISKRIMINASI REZIM SUSILO BAMBANG YUDHOYONO: Kondisi

     Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia 2011  (Jakarta: Pustaka Masyarakat Setara,Januari 2011), 105-122. Lihat juga CRCS, Laporan Kehidupan Beragama 2011, 61-67.

  • 8/18/2019 SISWO MULYARTONO

    24/90

    13

    Wawan H Purwanto mengulas peristiwa Cikeusik pada aspek sesudah

     peristiwa dan implikasinya terhadap ketahanan nasional dan hubungan luar negeri

    Indonesia. Temuan utamanya adalah bahwa peristiwa Cikeusik bisa mengganggu

    stabilitas ketahanan nasional dan hubungan luar negeri Indonesia. Sebab

    Indonesia dipandang sebagai negara demokratis yang berpenduduk mayoritas

    muslim dan sebagai negara yang menjalin hubungan ekonomi dan perjanjian

    tentang perlindungan Hak Asasi Manusi di kancah Internasional.23 Studi ini tidak

    mengulas banyak soal proses mobilisasi anti-Ahmadiyah di Cikesuik Pandeglang

    Banten.

    Skripsi Mawahibur Rahman dalam “Kronologi Tragedi Ciekeusik Februari

    2011: Sebelum dan Saat Kejadian (Menggali Kisah Sebenarnya Menurut

    Penuturan Para Korban Utama Tragedi Cikeusik),” mengulas secara detail tentang

    kronologi kejadian. Dengan menggunakan hasil wawancara dari para Ahmadi

    yang ada di tempat kejadian, dia menyimpulkan bahwa peristiwa Cikeusik adalah

     bagian konspirasi pemerintah untuk melumpuhkan JAI.24  Tulisan Mawahibur

    tidak mengulas bagaimana para anti-Ahmadiyah merekrut dan mengumpulkan

    massa untuk membubarkan Ahmadiyah di Cikeusik Pandeglang Banten.

    Dari karya-karya tentang kekerasan anti-Ahmadiyah di atas, perhatian

    terhadap mobilisasi anti-Ahmadiyah belum mendapatkan perhatian yang

    memadai. Penelitian ini ingin mengisi kekosongan itu dengan memusatkan pada

    aspek mobilisasi para anti Ahmadiyah di Cikeusik Pandeglang Banten.

    23 Wawan H Purwanto, Tragedi Cikeusik: Pembelajaran dari Kasus Ahmadiyah   (Jakarta:

    CMB Press, 2011).24

     Mawahibur Rahman, Kronologi Tragedi Cikeusik Februari 2011: Sebelum dan Saat

     Kejadian (Menggali Kisah Sebenarnya Menurut Penuturan Para Korban Utama TragediCikeusik) (Bogor: Jamiah Ahmadiyah Indonesia, 2013).

  • 8/18/2019 SISWO MULYARTONO

    25/90

    14

    E.  Metode Penelitian

    Ada beberapa cara dalam melakukan riset ilmu sosial, diantaranya adalah

    studi kasus, eksperimen, survey, telaah sejarah, dan analisis terhadap dokumen-

    dokumen yang berisi informasi-informasi. Masing-masing memiliki kelebihan dan

    kekurangan, bergantung pada tiga kondisi: (a) bentuk pertanyaan riset, (b) luas

    kontrol yang dimiliki peneliti atas peristiwa yang akan diteliti, (c) kadar fokusnya

    terhadap peristiwa kontemporer sebagai kebalikan dari cerita historis.25  Terkait

    hal itu, penulis menggunakan metode studi kasus untuk menemukan penjelasan

    empiris secara mendalam tentang mobilisasi kekerasan anti-Ahmadiyah di

    Cikeusik, Pandeglang. 

    Studi kasus merupakan strategi riset yang bersandarkan pada investigasi

    empiris secara mendalam terhadap satu atau sejumlah kecil fenomena untuk

    mengeksplorasi konfigurasi dari tiap kasus. Selain itu, studi kasus juga digunakan

    untuk menjelaskan ciri-ciri dari sebuah sekumpulan fenomena yang sangat besar

    atau sama melalui pengembangan dan evaluasi penjelasan teoritis.26 Metode studi

    kasus memungkinkan peneliti untuk menangkap ciri peristiwa kehidupan nyata,

    misalnya lingkaran kehidupan individu, proses menegerial dan organisasi,

     perubahan tetangga, hubungan internasional, dan perkembangan industri, secara

    holistik dan mendalam.27 

    25  Robert K Yin, Case study research: design and methodhs  (United Kingdom: Sage

    Publications, 2003), 1.26

     Charles Ragin,  Fuzzy Set Social Science (Chicago: University of Chicago Press, 2000),

    68-87. 27 Yin, Case study research, 2.

  • 8/18/2019 SISWO MULYARTONO

    26/90

    15

    Berdasarkan bentuk dan tujuan penelitian studi kasus, riset dengan

    menggunakan bentuk ini bisa dibedakan menjadi empat jenis: (a) deskriptif, (b)

    interpretatif, (c) pengujian hipotesis, (d) evaluasi teori.28  Penulis akan

    menggunakan jenis studi kasus yang bersifat deskriptif dan interpretatif. Dengan

    deskriptif, penulis mencoba menggambarkan kasus yang diteliti secara sistematis.

    Melalui interpretatif, penulis menggunakan kerangka teori mobilisasi untuk

    menjelaskan kekerasan anti-Ahmadiyah di Cikeusik Banten.

    Untuk mencapai tujuan penelitian, deskriptif-interpretatif, penulis akan

    menggunakan dua teknik pengumpulan data.  Pertama, riset kepustakaan yang

    meliputi penelusuran kumpulan dokumen hasil laporan kepolisian dan

     persidangan kasus penyerangan Jema’at  Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang,

     peraturan daerah, buku-buku, dokumen/arsip resmi pihak-pihak yang terlibat

    konflik Jemaat Ahmadiyah, kliping koran, jurnal, majalah, dan berbagai sumber

    lainya yang relevan dengan masalah penelitian.

     Kedua, wawancara secara mendalam dengan informan terpilih sesuai

     pedoman wawancara. Pertanyaan terbuka dan tidak berstruktur akan digunakan

    dalam penelitian ini. Dalam pemilihan informan, peneliti berupaya secara selektif

    dan teliti.

    29

      Langkah ini digunakan sebagai upaya untuk memperoleh informasi

    28  Pascal Venesson, “Case studies and process tracing: theories and practices”, dalam

     Approaches and Methodologies in the Social Sciences: A Pluralist Perspective, disunting oleh

    Donatella Della Porta dan Michael Keating (New York: Cambridge University Press, 2008), 227-

    228.29

     Ada empat kriteria utama dalam pemilihan informan: (a) Informan harus dekat dengan

     budaya dan kedudukannya sangat signifikan dengan peristiwa yang diteliti, (b) Individu-individu

    yang terlibat dalam peristiwa yang diteliti, (c) Orang yang memiliki waktu dengan peneliti, (d)

    Individu yang memiliki informasi banyak tentang objek yang diteliti. Lihat W. Laurance Neuman,Social Research: Qualitative and Quantitative Approaches (New York: Pearson, 2008), 299. 

  • 8/18/2019 SISWO MULYARTONO

    27/90

    16

    yang lengkap dan akurat sehingga dapat menggambarkan dan menjelaskan kasus

     penelitian secara sistematis.

    Informan yang dinilai representatif dan memahami masalah yang

     berhubungan langsung dengan kekerasan anti-Jemaat Ahmadiyah di Cikeusik,

    Pandeglang akan digunakan sebagai sampel penelitian. Penulis akan membagi

    informan ke dalam empat kelompok. Pertama, warga non-Ahmadiyah di sekitar

    tempat kejadian atau warga sekitar. Kelompok ini dibagi menjadi dua yaitu saksi

    dan warga non-Ahmadiyah yang terlibat dalam mobilisasi anti-Ahmadiyah.

     Kedua, pengurus atau korban selamat dari Jamaah Ahmadiyah di Cikeusik

    Banten.

     Ketiga, salah satu pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI) dari Kabupaten

    Pandeglang sampai Kecamatan Cikeusik Pandeglang Banten. Keempat , salah satu

     pejabat pemerintahan dari tingkat kabupaten sampai kelurahan yang menangani

    konflik Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang.

    F.  Sistematika Penulisan 

    Penelitian ini akan dibagi menjadi lima bab. Bab I membahas pernyataan

    masalah, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan

    literatur, dan metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini. Seluruh

    kerangka teori, konsep-konsep dan definisi operasional yang digunakan dalam

     penelitian ini akan dibahas dalam Bab II.

    Pembahasan selanjutnya, Bab III, penulis akan fokus pada dinamika konflik

    Ahmadiyah di Cikeusik Pandeglang Banten. Sebelum memasuki pembahasan

  • 8/18/2019 SISWO MULYARTONO

    28/90

    17

    dinamika konflik, penulis akan mengenalkan profil demografi Pandeglang dan

    Cikeusik. Selanjutnya, pembahasan sejarah Jema’at  Ahmadiyah di Cikeusik,

    Pandeglang.

    Proses mobilisasi kekerasan anti-Ahmadiyah akan dibahas dan dianalisis

    dalam bab IV. Bab ini merupakan inti dari persoalan yang diangkat dalam

     penelitian. Dengan teori mobilisasi, penulis akan menggambarkan dan

    menjelaskan proses bagaimana kekerasan anti-Ahmadiyah berlangsung dan

    faktor-faktor apa saja yang memungkinkan mobilisasi anti-Ahmadiyah di

    Cikeusik, Pandeglang bisa terjadi. Temuan-temuan utama dari bab IV juga akan

    diulas kembali secara singkat di bagian kesimpulan dari penelitian ini yaitu bab V.

  • 8/18/2019 SISWO MULYARTONO

    29/90

    18

    BAB II

    KERANGKA TEORI

    A.  Kekerasan

    Para sarjana ilmu sosial mendefiniskan kekerasan secara berbeda-beda

     bahkan saling bersaing. Dari definisi yang berbeda-beda itu, setidaknya bisa

    dikategorikan menjadi tiga definisi.  Pertama, secara sempit, kekerasan bisa

    diartikan sebagai penggunaan kekuatan fisik yang dilarang oleh aturan normatif

    yang sah. Kedua, secara intermediate, kekerasan merupakan penggunaan kekuatan

    fisik apa pun.  Ketiga, secara luas, kekerasan berarti semua perampasan

    (pencabutan) hak asasi manusia.1 

    Dari tiga definis itu, kekerasan nampak berhubungan dengan penggunaan

    kekuatan fisik. Mary Jackman memberikan penambahan cakupan dari kekerasan.

    Menurut dia, kekerasan bisa diartikan sebagai tindakan yang mengakibatkan

    orang terluka. Tindakan kekerasan bisa berbentuk verbal, tertulis, atau serangan

    fisik dan jenis lukanya bisa berbentuk kerugian material dan sosial, tekanan

     psikologis, atau kerusakan fisik.2  Penulis akan menggunakan definisi ini dalam

    menjelaskan kekerasan anti-Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang.

    Kekerasan anti-Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang bisa dikategorikan

    sebagai bentuk kekerasan kolektif. Disebut kolektif karena melibatkan banyak

    orang. Kekerasan kolektif merupakan penggunaan kekuatan oleh, setidaknya, dua

    1 Charles Tilly, From Mobilization to Revolution (New York: Random House, 1978), 174.

    2 Mary Jackman, “License to kill: violence and legitimacy in expropriative social relations,” 

    dalam John T. Jost dan Brenda Major, edt, The Psychology of Legitimacy: Emerging Perspectives

    on Ideology, Justice, and Intergroup Relations  (New York: Cambridge University Press, 2001),443. 

  • 8/18/2019 SISWO MULYARTONO

    30/90

    19

    warga sipil (non-state actor ) untuk menyerang orang atau harta benda  yang

    tujuannya untuk menciptakan klaim sosial atau politik.3

     

    Kekerasan anti-Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang juga dikategorikan

    sebagai bentuk gerakan sosial. Michael Usseem mengartikan gerakan sosial

    sebagai tindakan kolektif terorganisir yang dimaksudkan untuk mengadakan

     perubahan sosial. Sedangkan Charles Tilly mendefinisikan gerakan sosial sebagai

    upaya-upaya mengadakan perubahan lewat interaksi yang mengandung

     perseteruan dan berkelanjutan di antara warga negara dan negara.4 

    Berbeda dengan dua definisi itu, McCarthy dan Zald menerjemahkan

    gerakan sosial sebagai upaya terorganisir yang mencerminkan preferensi

    kelompok masyarakat untuk mengadakan perubahan di dalam elemen struktur

    masyarakat yang bernilai secara sosial.5 Della Porta dan Mario Diani melangkah

    lebih jauh dengan mengatakan bahwa gerakan sosial adalah bentuk aktivisme

    yang khas dalam masyarakat sipil. Bentuk aktivisme yang khas mereka artikan

    sebagai aksi kolektif yang mencerminkan dimensi konfliktual terhadap lawan

    sosial dan politik tertentu, terjadi dalam konteks jejaring lintas kelembagaan yang

    3  Charles Tilly, The Politics of Collective Violence  (Cambridge: Cambridge University

    Press, 2003), 21.4 Fauzi, Ihsan Ali, “Sintesis Saling Menguntungkan: Hilangnya „Orang Luar‟ dan „Orang

    Dalam,‟  dalam Gerakan Sosial Islam: Teori Pendekatan, dan Studi Kasus  (terj), disunting oleh

    Quintan Wictorowicz (Yogyakarta: Gading Publishing dan Yayasan Wakaf Paramadina, 2012),

    11.5

     Mayer N Zald & John D Mc Carthy, Social Movement in an Organizational Society (NewJersey: Transaction Publishers, 2003), 40.

  • 8/18/2019 SISWO MULYARTONO

    31/90

    20

    mana aktor-aktor yang terlibat diikat oleh rasa solidaritas dan identitas kolektif

    yang kuat melebihi ikatan koalisi dan kampanye bersama.6

     

    Ada dua pendekatan utama yang sering digunakan untuk menjelaskan

    kekerasan kolektif yang terjadi di Indonesia: penjelasan berdasarkan motif dan

    kesempatan. Penjelasan yang berorientasi pada motif melihat kekerasan sebagai

    (a) usaha untuk mempromosikan atau mempertahankan gagasan, tradisi dan nilai

    kelompoknya; (b) untuk memperoleh keuntungan material; (c) ekspresi dari

    kekecewaan atau kemarahan.7 

    Penjelasan yang berdasarkan kesempatan mengatakan bahwa motif

    merupakan faktor penting dalam kekerasan tetapi kekerasan tidak bisa terjadi jika

    tidak ada kondisi struktural yang memfasilitasinya. Kondisi struktural itu bisa

     berbentuk demokratisasi atau desentralisasi pemerintahan, misalnya.8 

    Belakangan, penjelasan kekerasan di Indonesia mulai menggunakan teori

    yang dikembangkan oleh teoritisi gerakan sosial.9  Penulis akan menggunakan

     pendekatan mobilisasi yang dikembangkan oleh salah satu teoritisi gerakan sosial

    yaitu Bert Klandersmans.

    B. 

    Mobilisasi

    6 Donatella Della Porta and Mario Diani, Social Movements and Introduction, edisi kedua

    (USA:Blackwell Publishing, 2006), 33-62.7  Contoh studi kekerasan yang berorientasi pada motif adalah Horowitz. Lihat, Donald

    Horowitz, The Deadly Ethnic Rio, (Los Angelos: University of California Press, 2001).8  Contoh pendekatan kesempatan ada pada studi Bertrand. Lihat, Jacques Bertrand,

     Nationalism and Ethnic Conflict in Indonesia (Cambridge: Cambridge University Press, 2004).9 Salah satu riset tentang kekerasan di Indonesia yang menggunakan teori gerakan sosial

    adalah Dave McRae. Lihat, Dave McRae, A Few Poorly Organised Men Interreligious Violence in Poso, Indonesia (Belanda: Brill, 2013). 

  • 8/18/2019 SISWO MULYARTONO

    32/90

    21

    Secara konvensional, mobilisasi diartikan sebagai proses yang

    memungkinkan sebuah individu atau kelompok untuk terlibat di dalam kehidupan

     publik.10 Teoritisi konflik dan gerakan sosial, Anthony Oberschall, mengartikan

    mobilisasi sebagai proses pengumpulan sumberdaya seperti keanggotaan individu

    dalam kelompok untuk bersatu dan berkomitmen supaya memperoleh tujuan

     bersama, mempertahankan kepentingan kelompok, dan menantang keberadaan

    struktur dominasi.11 

    Mobilisasi juga bisa diartikan sebagai proses pembentukan struktur gerakan,

     baik untuk menyiapkan maupun melakukan tindakan protes yang ditujukan

    kepada aktor atau publik di luar gerakan. Mobilisasi membutuhkan sumberdaya

    seperti individu, uang, pengetahuan, wacana, dan sarana-sarana teknis lainnya

    untuk memproses dan mendistribusikan informasi dan memengaruhi individu.12 

    Mobilisasi terdiri dari dua jenis: mobilisasi konsensus dan mobilisasi aksi.

    Mobilisasi konsensus merupakan usaha pembangkitan dukungan sikap atau proses

    yang harus dilalui sebuah organisasi gerakan sosial untuk mencoba mendapatkan

    dukungan bagi pandangannya. Mobilisasi aksi merupakan usaha pembangkitkan

    dukungan perilaku atau usaha untuk partisipasi individu.13 

    Mobilisasi konsensus menyiratkan usaha memperjuangkan pikiran orang,

    sedangkan mobilisasi aksi berarti usaha memperjuangkan sumberdaya mereka

    10 Charles Tilly, From Mobilization to Revolution, 42.

    11  Anthony Oberschall, “Theories of Social Conflict,”  Annual Review of Sociology  4

    (1978): 291-315.12

      Dieter Rucht, The Organizational Structure of New Social Movements in a Political

    Context, dalam Doug McAdam, John D. McCarthy, dan Mayer N. Zald, Comparative Perspectives

    on Social Movements (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 153.13

     Bert Klandermans, “Mobilization and Participation: Social-Psychological Expansions ofResource Mobilization Theory,” American Socialogical Review 49 (1984): 583-600. 

  • 8/18/2019 SISWO MULYARTONO

    33/90

    22

    seperti uang, waktu, keterampilan, kepakaran mereka. Hal itu berkaitan dengan

     peralihan dari sebagai simpatisan menjadi partisipan aktif. Mobilisasi konsensus

    yang sukses akan menumbuhkan sejumlah pendukung potensial, orang-orang

    yang bersimpati kepada gerakan, yang bersedia mendukung dengan cara tertentu

    dan tidak harus berarti siap untuk berpartisipasi di dalam segala bentuk aksi

    kolektif. Mobilisasi aksi yang sukses mampu mengubah sebagian besar simpatisan

    menjadi partisipan dalam kegiatan gerakan-gerakan tertentu.14 

    Ada empat langkah menuju mobilisasi. Dari sudut pandang organisatoris,

    empat langkah menuju mobilisasi dukungan terhadap gerakan adalah menciptakan

     potensi mobilisasi, membentuk dan mengaktifkan jaringan perekrutan,

    menstimulasi motivasi berpartisipasi dan menyingkirkan penghalang partisipasi.15 

    Dari sudut pandang individu, ikut berpartisipasi dalam suatu gerakan sosial

    melibatkan empat langkah yang saling berhubungan, yaitu orang pertama-tama

    menjadi bagian dari potensi mobilisasi, kemudian menjadi target mobilisasi;

     berikutnya, dia menjadi termotivasi untuk berpartisipasi, dan, pada langkah

    terakhir, menyingkirkan penghalang berpartisipasi.16 

    Untuk menciptakan potensi mobilisasi, suatu gerakan harus mendapatkan

    simpati dari beberapa segmen populasi. Istilah potensi mobilisasi merujuk pada

     para anggota masyarakat, yang secara potensial dapat dimobilisasi dengan suatu

    cara tertentu oleh gerakan sosial. Termasuk di dalamnya adalah semua orang yang

    mempunyai sikap positif terhadap gerakan; tidak terbatas pada kelompok-

     14

     Bert Klandermans, The Social Psychology of Protest  (USA: Blackwell Publishers, 1997),

    7.15

     Klandermans, The Social Psychology of Protest , 23.16 Klandermans, The Social Psychology of Protest , 23.

  • 8/18/2019 SISWO MULYARTONO

    34/90

    23

    kelompok yang kepentingannya dipertahankan atau diwakili oleh gerakan. Bahkan

    orang-orang yang tidak mendapatkan manfaat langsung dari gerakan sosial pun

    dapat bersimpati kepada organisasi tersebut sehingga bisa menjadi calon potensial

    untuk dimobilisasi.17 

    Gambar II.B.1 Langkah-langkah menuju partisipasi

    Potensi mobilisasi gerakan juga menetapkan sampai sebatas mana

    kampanye mobilisasi dapat berhasil. Hanya orang-orang yang telah

    mengembangkan kerangka aksi kolektif vis a vis  penyebab gerakan yang

    17 Klandermans, The Social Psychology of Protest , 23. 

    Bersimpati

    terhadap

    gerakan

    Tidak

    menjadi

    target

    mobilisasi

    Menjadi

    target

    mobilisasi

    Tidak

    termotivasi

    untuk berpartisipa

    si

    Termotivas

    i untuk

     berpartisipa

    si

    Tidak

     berpartisipasi

    Berpartisipasi

    Tidak

     bersimpati

    terhadap

    gerakan

  • 8/18/2019 SISWO MULYARTONO

    35/90

    24

    membentuk potensi mobilisasi. Seseorang yang belum mengembangkan kerangka

    semacam itu tidak akan merasa perlu untuk berpartisipasi dalam gerakan,

    meskipun kesediannya sangat diharapkan.18  Kerangka aksi kolektif merupakan

    seperangkat keyakinan kolektif yang memungkinkan suatu pemikiran tercipta

     bahwa partisipasi di dalam aksi kolektif tampak berarti.19 

    Seberapa pun besar potensi mobilisasi sebuah gerakan, bila gerakan tersebut

    kurang memiliki jaringan perekrutan untuk aksi, maka gerakan tidak akan mampu

    mengaktifkan potensinya.20  Jaringan-jaringan, biasanya terdiri dari orang-orang

    yang homogen dan berpikiran sama, merupakan sumber utama para calon

     perekrutan.21  Partisipasi seringkali bukan karena kekuatan gagasan atau bahkan

    sikap individu, melainkan akibat keberakaran mereka dalam jaringan-jaringan.22 

    Individu-individu yang menduduki posisi di dalam jaringan perekrutan

    adalah objek sekaligus subjek mobilisasi. Disebut objek karena mereka sendiri

     perlu dimobilisasi agar mau ikut bekerja di dalam kampanye mobilisai. Disebut

    subjek karena setelah termobilisasi mereka akan menjadi aktif memobilisasi orang

    lain.23 

    18 Klandermans, The Social Psychology of Protest , 24. 

    19 Klandermans, The Social Psychology of Protest , 17

    20 Klandermans, The Social Psychology of Protest , 24.

    21  Snow, Zurcher, dan Ekland-Olson, “Social Networks and Social Movements: A

    Microstructural Approach to Differential Recruitment.”  American Sociological Review 45 (1980):

    791.22

      McAdam, “Culture and Social Movements,” Dalam Enriquez Larafta, Hank Johnston,

    dan Joseph Gusfield (ed.),  New Social Movements: From Ideology to Identity  (Philadelphia:

    Temple University Press, 1994), 36-3723 Klandermans, The Social Psychology of Protest , 24. 

  • 8/18/2019 SISWO MULYARTONO

    36/90

    25

    Untuk menstimulasi motivasi berpartisipasi, suatu gerakan harus

    memengaruhi terhadap kerugian dan keuntungan partisipasi yang dirasakan.

    Motivasi menunjukan kesediaan untuk berpartisipasi, tetapi kesedian saja tidak

    mencukupi untuk berpartisipasi. Kesedian itu hanya akan berubah menjadi

     partisipasi sejauh niat itu dapat dilaksanakan. Organisasi gerakan sosial di tahap

    akhir harus menerapkan salah satu atau kedua strategi berikut, yaitu (a)

    mempertahankan atau menguatkan motivasi dan (b) menyingkirkan penghalang.24 

    Kesediaan untuk berpartisipasi di dalam aksi kolektif merupakan fungsi dari

    dua macam insentif, yaitu insentif kolektif dan selektif. Insentif kolektif

    dihubungkan dengan pencapaian tujuan kolektif. Semua insentif kolektif bersifat

    inklusif, yakni, begitu tujuan yang dimaksud terealisasi, maka setiap orang

    mendapatkan keuntungan, termasuk orang-orang yang tidak pernah memberikan

    kontribusi terhadap terealisasinya tujuan itu. Sebaliknya, insentif selektif hanya

    memengaruhi orang-orang yang berpartisipasi dalam suatu aksi kolektif.25 

    Insentif selektif terbagi menjadi dua kategori, sosial atau non-sosial. Insentif

    sosial melibatkan reaksi orang lain yang signifikan, misalnya pasangan hidup

    teman, atau kolega, terhadap partisipasi individu yang bersangkutan; sedangkan

    insentif non-sosial menyangkut hal-hal, seperti jumlah uang dan waktu yang

    dihabiskan oleh yang bersangkutan, bagaimana partisipasinya akan memengaruhi

     pekerjaannya, dan resiko fisik yang mungkin diterimanya (misalnya dipukuli).26 

    24 Klandermans, The Social Psychology of Protest , 25.

    25 Klandermans, The Social Psychology of Protest , 26-27.

     26 Klandermans, The Social Psychology of Protest , 26-27. 

  • 8/18/2019 SISWO MULYARTONO

    37/90

    26

    Gambar II.B.2 Motivasi untuk berpartisipasi

    Menilai tujuan

    aksi

    Harapan bahwa

    tujuan aksi akan

    tercapai*

    Keuntungan Kolektif

    Insentif-insentifselektif: sosial dan

    non sosial

    Partisipasi

    * Harapan bahwa tujuan aksi akan tercapai:

    - harapan tentang perilaku orang lain

    - harapan bahwa tujuan aksi akan tercapai bila banyak orang ikut

     berpartisipasi

    - harapan bahwa partisipasinya akan meningkatkan kemungkinan

    sukses

  • 8/18/2019 SISWO MULYARTONO

    38/90

    27

    BAB III

    DINAMIKA KONFLIK ANTI AHMADIYAH

    Pandeglang, kabupaten yang dikenal dengan “Seribu Kiyai dan Sejuta

    Santri,”  mendadak ramai dibicarakan, baik oleh media lokal, nasional, maupun

    internasional. Sebab, di salah satu desa Kecamatan Cikeusik Pandeglang Banten

    yang letaknya sangat jauh dari keramaian kota, terjadi kekerasan sektarian yang

    melibatkan puluhan warga Ahmadiyah dan ribuan non-Ahmadiyah.

    Bagi sebagaian orang, persekusi anti-Ahmadiyah mungkin hal yang biasa

    terjadi karena, seperti digambarkan dalam bab satu, terjadi di hampir semua

     provinsi Indonesia. Tetapi konflik anti Ahmadiyah di Cikeusik adalah konflik

    yang sangat berbeda dengan tempat lain. Berbeda dalam artian melibatkan banyak

    orang dan mengakibatkan nyawa orang melayang.

    Dalam sejarah konflik sektarian di Indonesia, peristiwa Cikeusik adalah

    yang pertama kali konflik sektarian menimbulkan kematian. Bagaimana dan

    mengapa konflik anti-Ahmadiyah bereskalasi menjadi kekerasan hingga

    menimbulkan kematian? Untuk menjawab pertanyaan ini, penulis akan mengulas

    dinamika konflik sebelum kekerasan terjadi. Tujuannya untuk menggambarkan

    konflik anti-Ahmadiyah bereskalasi menjadi kekerasan. Sebagian dari bab ini dan

    selanjutnya bab empat akan mencoba menjawab pertanyaan tersebut dan terkait

    mobilisasi anti-Ahmadiyah. Sebelum memasuki pembahasan itu, penulis akan

  • 8/18/2019 SISWO MULYARTONO

    39/90

    28

    memaparkan demografi Kabupaten pandeglang dan kemunculan Ahmadiyah di

    Cikeusik, Pandeglang.

    A.  Demografi Kabupaten Pandeglang

    Kabupaten Pandeglang terletak di sebelah barat daya Provinsi Banten.

    Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Serang di sebelah Utara, Kabupaten

    Lebak di sebelah Timur, Samudera Hindia di sebelah Selatan, dan Selat Sunda di

    sebelah Barat. Luas wilayah Kabupaten Pandeglang adalah 274.689,91 Ha atau

    2.747 Km2 dan terbagi ke dalam 35 kecamatan, 322 desa dan 13 kelurahan.1 

    Pada tahun 2010 jumlah penduduk Kabupaten Pandeglang berdasarkan

    sensus penduduk pada Mei 2010 adalah 1.149.610 orang.Dilihat dari segi agama,

     jumlah penduduk yang memeluk agama Islam sebanyak 1.154.375, Protestan

    2.344, Katolik 258, Budha 2.353, dan Hindu 1.552 warga. Dari data tersebut, jelas

     bahwa kaum Muslim mendominasi Pandeglang. Hal ini juga tampak dari jumlah

    rumah ibadah yang ada di sana, yang terdiri dari: masjid, 1.730; musala/langgar,

    2.246; tiga gereja Protestan; dan satu vihara.2 

    Berdasarkan data BPS Kabupaten Pandeglang, jumlah penduduk 15 tahun

    ke atas yang bekerja berjumlah 384.657 jiwa. Lapangan pekerjaan utama

     penduduk adalah pertanian, perkebunan, kehutanan, perburuan dan perikanan;

    1  Kabupaten Pandeglang, Gambaran Umum, tersedia di

    http://www.pandeglangkab.go.id/profil.php?prof=NA==: Internet; diakses pada 5 April 2013.2 Tim Kementrian Agama Provinsi Banten.  Rencana Strategis Kementrian Agama Kantor

    Wilayah Provinsi Banten Tahun 2010-2014. Banten: Kementrian Agama Provinsi Banten, tersediadi http://banten.kemenag.go.id/: Internet; diunduh pada 5 April 2013.

  • 8/18/2019 SISWO MULYARTONO

    40/90

    29

    industri; perdagangan, rumah makan dan jasa akomodasi; dan jasa

    kemasyarakatan, sosial dan perorangan.3

     

    Tidak ada data pasti mengenai berapa jumlah penganut Ahmadiyah di

    Kabupaten Pandeglang. Tetapi ada dua kecamatan di Kabupaten Pandeglang yang

    sering dikaitkan dengan JAI, yaitu Kecamatan Cisata dan Cikeusik. Sampai saat

    ini kurang lebih ada empat kepala keluarga yang menganut Ahmadiyah di Cisata.

    Sedangkan di Cikeusik, Jamaah Ahmadiyah ada dua puluh lima anggota dan

    semuanya sudah pindah akibat insiden kekerasan pada 6 Februari 2011.4 

    Kecamatan Cikeusik berbatasan dengan Kabupaten Lebak di bagian Timur,

    Kecamatan Angsana dan Munjul di bagian Utara, dan Kecamatan Cibaliung dan

    Cibatu di bagian Barat. Di bagian Selatan, Kecamatan Cikeusik berbatasan

    dengan laut Jawa. Kecamatan Cikeusik terdiri dari empat belas desa. Salah

    satunya adalah Desa Umbulan, lokasi kekerasan anti-Ahmadiyah.5 

    Hampir mayoritas penduduk di Kecamatan Cikeusik berprofesi sebagai

     petani. Sekitar tahun 1950an banyak penduduk dari Cirebon Jawa Barat

    menempati wilayah Kecamatan Cikeusik. Perpindahan ini mengakibatkan

     penduduk Cikeusik, saat ini merupakan percampuran antara penduduk lokal

    (sunda Banten) dan Cirebon. Dari segi keagamaan, mayoritas penduduk memeluk

    agama Islam. Hampir di setiap desa yang ada di Kecamatan Cikeusik memiliki

    3 Kabupaten Pandeglang. Gambaran Umum.

    4 Wawancara dengan Yusuf Baihaki, Bendahara MUI Kabupaten Pandeglang dan anggota

    FKUB Pandeglang di Pandeglang, 11 Februari 2013.5

      Wawancara dengan Yayan Sofyan, Sekretaris Kecamatan Cikeusik, Pandeglang diCikeusik, 14 Februari 2013.

  • 8/18/2019 SISWO MULYARTONO

    41/90

    30

     pondok pesantren. Masing-masing desa kurang lebih memiliki sepuluh pondok

     pesantren.6

     

    Pondok pesentren yang ada di Cikeusik secara khusus dan Pandeglang

    secara umum, memiliki jumlah santri, paling sedikit sekitar dua puluhan.

    Hubungan satu pondok pesantren dengan pondok pesantren lainnya relatif

    harmonis dan saling bekerja sama. Mereka saling mengundang untuk mengisi

    acara keagamaan seperti Maulid Nabi Muhammad SAW. Hubungan tersebut

    terbentuk karena adanya ikatan kekeluargaan antara satu kiai dengan kiai lain

    yang sama-sama memiliki pondok pesantren tetapi beda wilayah. Selain itu,

    karena adanya hubungan guru-murid, misalnya pengasuh pondok pesantren A

     pernah mengaji di pondok pesantren B.7 

    Kedudukan kiai di Pandeglang secara umum dan Cikeusik secara khusus,

    sangat dihormati masyarakat. Kiai dianggap memiliki kekuatan supranatural yang

     bisa memberikan ilmu kekebalan dan kelancaran dalam urusan perdagangan. Oleh

    karena itu, kegiatan pengajian-pengajian mingguan di Pandeglang selalu ramai.

    Tujuan mengikuti pengajian tidak hanya untuk belajar agama, tetapi sekaligus

    mencari barokah dari kiai.8 

    Kelas sosial lain yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat

    Pandeglang adalah jawara. Jawara ditakuti oleh masyarakat umum karena

    dianggap memiliki ilmu kebal. Meski demikian, kedudukan jawara berada di

    6 Wawancara dengan Yayan Sofyan.

    7  Wawancara dengan R, warga Desa Umbulan Kecamatan Cikeusik di Umbulan, 28

    Februari 2013.8 Wawancara dengan R.

  • 8/18/2019 SISWO MULYARTONO

    42/90

    31

     bawah para kiai atau pemuka agama. Sebab, para jawara menimba ilmu agama

    dan kekebalan ke kiai-kiai setempat. Para kiai dan jawara juga memiliki pengaruh

     besar terhadap pemerintahan setempat. Pengaruh ini disebabkan karena para kiayi

    dan jawara sering memobilisasi masyarakat untuk mendukung calon tertentu

    dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) maupun kepala desa (Pilkades).9 

    B.  Sejarah Ahmadiyah Cikeusik Pandeglang Banten

    Keberadaan Ahmadiyah di Cikeusik tidak bisa dilepaskan dari JAI Cabang

    Kabupaten Rangkasbitung Banten yang berdiri pada Juli 1958. Dari cabang ini

     berdiri juga cabang-cabang lain seperti di Cilegon dan Serang. Basiumawajiaya

    menjadi tokoh penting dalam pendirian cabang-cabang itu dan persebaran

    Ahmadiyah di Banten.10 

    Sekitar tahun 1989, roda perjalanan dakwah Ahmadiyah di Banten dipegang

    oleh Khairudin Barus. Dari Khaerudin Barus, dakwah di wilayah Banten semakin

    sistematis. Melalui Komite Tabligh Banten (KTB), lembaga dakwah yang

    diinisiasi oleh Khaerudin Barus, setiap cabang Ahmadiyah yang ada di Banten

    memiliki wilayah pentablighan yang harus dikelola. Salah satu daerah yang

    disasar KTB adalah Cikeusik yang merupakan binaan dari Jema’at Kebayoran.

    Pada tahun 1990-an Khaerudin Barus beserta anggota Jemaat Kebayoran

    melakukan kegiatan dakwah di Cikeusik.11 

    9 Wawancara dengan R.

    10  Mawahibur Rahman,  Kronologi Tragedi Cikeusik Februari 2011: Sebelum dan Saat

     Kejadian (Menggali Kisah Sebenarnya Menurut Penuturan Para Korban Utama Tragedi

    Cikeusik) (Bogor: Jamiah Ahmadiyah Indonesia, 2013) , 8-9.11 Mawahibur Rahman, Kronologi Tragedi Cikeusik, 10-17.

  • 8/18/2019 SISWO MULYARTONO

    43/90

    32

    Salah satu warga Desa Umbulan Kecamatan Cikeusik menuturkan

     pengalaman dia ketika diajak Khaerudin Barus untuk masuk ke Jamaah

    Ahmadiyah:

    “Sekitar tahun 1991, Khaerudin Barus mengajak saya dan warga lainnya

    untuk berkunjung ke Parung, Pusat Jamaah Ahmadiyah, dengan

    menggunakan bus. Salah satu rombongan itu adalah Matori, orang tua

    Suparman yang merupakan ketua Ahmadiyah Cikeusik. Sebagian warga

    yang ikut mungkin sudah tahu dan sebagian yang lain, termasuk saya, tidak

    tahu tujuan ke Parung untuk apa. Ketika sudah di Parung kami semua

    dikenalkan tentang ajaran Ahmadiyah. Sebagian warga yang ikut mungkinsudah tahu tentang Ahmadiyah dan sebagian yang lain belum tahu, termasuk

    saya. Saya sendiri mengenal Khaerudin Barus sebagai tukang tanah yang

    kaya, bukan sebagai pendakwah dari Ahmadiyah. Setelah dikenalkan

    tentang Ahmadiyah kita diajak masuk ke Ahmadiyah dengan cara baiat.

    Sebagian warga mau dibaiat dan masuk Ahmadiyah, sebagian yang lain

     belum siap, termasuk saya dan Matori.”12 

    Pada 1992, Suparman masuk menjadi jemaah. Awalnya, dia menentang.

    Dia, yang nyantri di Madrasah Aliyah Mathlaul Anwar, sempat berdebat dengan

    Khaerudin. Namun, belakangan, Suparman tertarik dengan Ahmadiyah dan

    dibaiat sebagai anggota.Setelah masuk, dia memutuskan untuk belajar di Kampus

    Mubarak, Bogor. Belakangan, dia dan Khaerudin menyebarkan Ahmadiyah di

    Cikeusik.13 

    C.  Dinamika Konflik

    Kehadiran Ahmadiyah bukan tanpa penolakan dari para pemuka agama

    setempat. Sekitar 1992, beberapa ulama dan aparat desa menuduh Suparman

    menggangu keamanan dan melaporkannya ke Koramil (Komando Rayon Militer)

    12

     Wawancara dengan R.13 Mawahibur Rahman, Kronologi Tragedi Cikeusik, 18-19.

  • 8/18/2019 SISWO MULYARTONO

    44/90

    33

    Cikeusik. Akibatnya, Suparman diminta menghentikan aktivitas dakwah. Tapi

    Suparman mengabaikan permintaan tersebut. Bahkan dia sempat beberapa kali

     berdebat soal agama dengan Koramil Cikeusik.

    Menurut satu versi, pada suatu malam, lima tentara Koramil mendatangi

    rumah Suparman. Mereka memintanya menghentikan dakwah. Karena

    tetapmenolak, akhirnya pihak Koramilmemukuli Suparman di depan pos ronda

    dekat jembatan Cibaliung.  14 Karena peristiwa ini, Khaerudin memutuskan untuk

    menghentikan sementara kegiatan dakwah. Dia mengajak Suparman pindah ke

    Jakarta dan menitipkannya ke Kampus Mubarok, Bogor. Pada 1994, dia

    membawa Suparman berdakwah di Filipina.15 Sejak itu, sebagian warga Cikeusik

    yang sudah masuk Ahmadiyah keluar dan sebagian yang lain tetap menjadi

    anggota Ahmadiyah, tanpa mengajak orang lain.16 

    Pada 2005, Suparman kembali ke Indonesia, tapi tidak ke Cikeusik. Dari

    2005 hingga 2009, dia aktif di Cabang Ahmadiyah Balikpapan, Jakarta Pusat.

    Meski aktif di Jakarta, dia sering datang ke Cikeusik mengunjungi orangtuanya.

    Baru belakangan, Agustus 2009, dia resmi diangkat sebagai mubalig untuk

    wilayah Cikeusik dan sekitarnya.17  Menurut AS, Suparman mulai menempati

    rumah di Penduey, Umbulan, Cikeusik, pada April 2010. Rumah itu digunakan

    sebagai pusat kegiatan Ahmadiyah atau sering disebut“rumah missi”.18 

    14 Mawahibur Rahman, Kronologi Tragedi Cikeusik, 20-21.

    15 Mawahibur Rahman, Kronologi Tragedi Cikeusik, 22.

    16 Wawancara dengan R.

    17

     Mawahibur Rahman, Kronologi Tragedi Cikeusik, 22.18 Wawancara dengan AS, anggota Ahmadiyah Cikeusik di Parung, Bogor, 11 Mei 2013. 

  • 8/18/2019 SISWO MULYARTONO

    45/90

    34

    Ketika Suparman mengaktifkan kembaliJAI di Cikeusik, penolakan pun

    muncul. Penolakan mengencang ketika dia menempati rumah missi:

    Aktivitas Suparman di rumah itu membuat ulama setempat marah.

    Untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, saya beberapa kali

    mendatangi rumah Suparman dan memintanya untuk melakukan

    ibadah bersama dengan warga lainnya. Saya sering mengingatkan

    Suparman agar jangan melakukan salat Jumat di tempat itu. Kalau di

    luar salat Jumat, silahkan saja. Ketika saya berkata seperti itu, yang

    ada hanya berdebat. Suparman jago berdebat soal agama.19 

    Para ulama semakin marah ketika beredar isu bahwa Suparman akan

    membangun tempat kegiatan Ahmadiyahterbesar di Indonesia. Suparman juga

    diduga mengajak warga untuk masuk ke Ahmadiyah dengan imbalan materi. Ini

    menguatirkan para ulama, karena sebagian warga Cikeusik tergolong miskin.20 

    Terkait ini, salah satu anggota Ahmadiyah Cikeusik menolaknya sebagai tidak

     benar. Dia juga membantah isu bahwa AhmadiyahCikeusik tertutup.Menurutnya,

    mereka bergaul dengan warga setempat,ikut terlibat dalam kegiatan masyarakat

    seperti kerja bakti.21 

    Usaha menyelesaikan konflik Ahmadiyah Cikeusik dilakukan oleh kepala

    desa setempat. Tetapi, alih-alih memfasilitasi secara netral antara pihak

    Ahmadiyah dan anti-Ahmadiyah, kepala desa justru memperkeruh konflik.

    Sebab,dia meminta Suparman untuk membubarkan Ahmadiyah dan ikut

    memprovokasi warga untuk tujuan yang sama.

    19 Wawancara dengan A, Sekretaris DesaUmbulan di Umbulan, 14 Februari 2013.

    20

     Wawancara dengan R.21 Wawancara dengan AS. 

  • 8/18/2019 SISWO MULYARTONO

    46/90

    35

    Pada Agustus 2010, Suparman dipanggil secara pribadi oleh Kades

    Umbulan. Suparman datang ditemani Atep Suratep. Pertemuan berlangsung

    selama satu jam, tetapi tidak menghasilkan apa-apa. Dalam pertemuan tersebut,

    Suparman menjelaskan, dia mubalig Ahmadiyah dan Atep Suratep sekretarisnya.

    Kades sempat meminta Suparman untuk keluar dari Ahmadiyah. Tetapi saran itu

    ditolak.22 

    Merasa secara personal gagal menekan Suparman, Kades akhirnya

    melibatkan unsur pemerintahan setempat untuk membubarkan Ahmadiyah. Upaya

    ini dimulai pada September 2010, ketika Kades memanggil Suparman secara

    resmi ke kantor desa. Pertemuan dihadiri Suparman, Kades dan beberapa pejabat

    Desa Cikeusik. Kades kembali menyarankan agar Suparman keluar dari

    Ahmadiyah. Namun Suparman tetap menolak.

    Pada bulan yang sama, pihak kelurahan melaporkan persoalan ini

    kekecamatan Cikeusik. Pihak kecamatan menindaklanjutinya dengan memanggil

    Suparman dan Atep ke kantor kecamatan.23  Beberapa kali Suparman bertemu

    dengan pihak kecamatan. Inti pertemuan itu adalah meminta Suparman keluar dari

    Ahmadiyah. Suparman pun kembali menolak permintaan itu.

    Menurut Sekdes, alasan Suparman menolak permintaan itu adalah karena

    JAI diakui secara sah oleh pemerintah atau memiliki badan hukum. Bahkan

    Suparman pernah menunjukan bukti itu di forum pertemuan. Suparman juga

    22 Berita Acara Pemeriksaan (BAP), Saksi Johar atas Perkara Pidana Pengroyokan dan

    atau Penghasutan (Serang: Polda Banten, 22 Februari 2011), 6.23 Berita Acara Pemeriksaan (BAP), Saksi Johar , 6.

  • 8/18/2019 SISWO MULYARTONO

    47/90

    36

     percaya bahwa Ahmadiyah tidak “sesat” dan “menyesatkan” seperti tuduhan MUI

    dan ulama setempat. Suparman sering berdebat dengan MUI dan ulama setempat

    untuk membuktikan bahwa Ahmadiyah adalah bagian Islam dan tidak sesat.24 

    Sekitar Oktober 2010, pihak kecamatan memutuskan untuk menghubungi

    Bakorpakem (Badan Kordinasi Pengawas Aliran dan Kepercayaan Masyarakat)

    Pandeglang. Selanjutnya, pihak Bakorpakem melakukan pertemuan di kantor

    kecamatan Cikeusik dengan Suparman. Pertemuan juga dihadiri Kades, sekretaris

    kecamatan, MUI Pandeglang dan Cikeusik, dan para ulama di wilayah Cikeusik.

    Seperti pertemuan sebelumnya, Suparman diminta keluar dari Ahmadiyah, dan

    Suparman tetap menolak.25 

    Upaya menekan JAI Cikeusik juga dilakukan unsur-unsur lain. Di Sekolah

    Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (STISIP) Banten Raya, Pandeglang, sejumlah

    mahasiswa yang berasal dari Cikeusik melakukan aksi menuntut agar Atep

    Suratep, yang kebetulan anggota civitas akademika, dikeluarkan dari kampus. Jika

    tuntutan ini tidak dipenuhi, mereka sendiri yang akan keluar.26 

    Sekitar November 2010, Kiai Muhamad beserta 15 rekannya melakukan

    demonstrasi anti-Ahmadiyah atas nama Gerakan Muslim Cikeusik (GMC) di

    Mapolsek Cikeusik. Usaha ini berawal dari usulan Majelis Ta’lim Kampung

    24 Wawancara dengan A.

    25

     Berita Acara Pemeriksaan (BAP), Saksi Johar , 6.26 Wawancara dengan ABD, warga Cikeusik di Cikeusik, 14 Februari 2013. 

  • 8/18/2019 SISWO MULYARTONO

    48/90

    37

    Cikareo, Desa Cikawaris.27 Bahkan pada bulan itu, ada selebaran dari GMC yang

     berisi tuduhan “kesesatan” Ahmadiyah.

    Pertemuan antara Suparman dan pihak anti-Ahmadiyah kembali diadakan

     pada 18 November 2011. Karena situasi Cikeusik tidak kondusif, pertemuan

    dilakukan di Kejaksaan Negeri (Kejari) Pandeglang. Suparman, Atep dan

     beberapa anggota Ahmadiyah lainnya (Deden Sudjana, Hasan Basri, Dade

    Sulaiman dan sebagainya) datang ke kantor kejari, namun hanya Suparman dan

    Atep yang diperbolehkan masuk ke ruangan pertemuan. Dalam pertemuan

    tersebut, Suparman diminta menandatangani surat pernyataan berisi: (a)

    menghentikan segala aktifitas Jamaah Ahmadiyah Cikeusik; (b) berbaur dengan

    masyarakat; (c) membubarkan diri. Suparman pun menolak tuntutan itu dan

    membuat pernyataan sendiri yang berisi: (a) siap menaati SKB (Surat Keputusan

    Bersama) Tiga Menteri tahun 2008; dan (b) siap berbaur dengan masyarakat

    dalam bidang sosial. Pernyataan yang dibuat Suparman akhirnya disepakati dalam

     pertemuan itu.28 

    Meskipun sudah dibuat keputusan, pihak-pihak yang menginginkan

    Suparman keluar dari Ahmadiyah, seperti Kades Umbulan dan MUI Cikeusik,

    tidak puas dengan hasiltersebut. Bagi mereka isi kesepakatan tetap saja

    membolehkan keberadaan Ahmadiyah di Cikeusik. Mereka ingin Ahmadiyah

    27 Berita Acara Pemeriksaan (BAP) I, Saksi Hasanudin atas Perkara Pidana Pengroyokan

    dan atau Penghasutan  (Serang: Polda Banten, 07 Februari 2011), 1-5. Lihat juga Berita Acara

    Pemeriksaan (BAP), Saksi Usep Sugandi atas Perkara Pidana Pengroyokan dan atau

     Penghasutan (Serang: Polda Banten, 11 Februari 2011), 1-4.28

      Berita Acara Pemeriksaan (BAP), Saksi Suparman atas Perkara Pidana Penghasutan (Serang: Polda Banten, 24 Februari 2011), 5.

  • 8/18/2019 SISWO MULYARTONO

    49/90

    38

    dibubarkan dan Suparman dan pengikutnya bertobat. Jika Suparman tetap tidak

    mau bertobat, dia harus pergi dari Cikeusik.29

      Akhirnya, mereka merencanakan

     pembubaran Ahmadiyah tanpa melibatkan, secara resmi, unsur pemerintahan.

    Pada 30 januari 2011, Kanit Polsek Cikeusik sudah mengetahui bahwa ada

    rencana pembubaran Ahmadiyah Cikeusik. Dari informasi itu, dia membuat

    laporan ke Polsek Cikeusik dan Polres Pandeglang.30 Pada 1 Januari 2011, Kanit

    Reskrim Polsek Cikeusik, Hasanudin, juga memperoleh kabar bahwa pada 6

    Februari 2011 akan diadakan pembubaran Ahmadiyah di Cikeusik. 31  Kapolsek

    Cikeusik juga mengetahui itu melalui informasi anggota pulbaket Polsek

    Cikeusik. Pada 2 Januari 2011, Kapolsek mengumpulkan para kanit untuk

    melakukan pendalaman dan memerintahkan Babinkantibmas menghimbau

    masyarakat supaya tidak bertindak anarkis.32 

    Akhirnya pihak Ahmadiyah Cikeusik juga mengetahui rencana pembubaran

    Ahmadiyah. Pada 2 Februari 2011, Atep Suratep mengetahui rencana pembubaran

    itu dan melaporkan kepada polisi, TNI (Tentara Nasional Indonesia), dan Kesbang

    setempat. Pada 4 Februari 2011, Atep juga memberitahu hal ini kepada Hasan

    Basri (Mubalig Ahmadiyah wilayah Banten) dan Dade Sulaiman (Ketua

    29  Wawancara dengan AM, Ketua MUI Kecamatan Cikeusik di Umbulan, 27 Februari

    2013.30

     Wawancara dengan US, Kanit Intel Polsek Cikeusik di Cikeusik, 16 Februari 2013.31

     Berita Acara Pemeriksaan (BAP), Saksi Hasanudin (Serang: Polda Banten, 07 Februari

    2011), 3.32

     Berita Acara Pemeriksaan (BAP), Saksi Mad Supur atas Perkara Pidana Penghasutan (Serang: Polda Banten, 14 Februari 2011), 2-5.

  • 8/18/2019 SISWO MULYARTONO

    50/90

    39

    Administrasi Jamaah Ahmadiyah Rangkas Bitung dan Cikeusik).33 Pada hari yang

    sama, Atep Suratep juga memberitahu kepada Suparman.34

     

    Pada 5 Februari 2011, Jam 03.00, Kapolsek dan Danramil Cikeusik

    mendatangi rumah Suparman untuk memberikan surat panggilan ke Mapolsek

    Cikeusik terkait status keimigrasian istri Suparman, Haina Toang Aquino. Karena

    alasan itu, Suparman beserta istri dan satu anaknya, juga Atep Suratep berada di

    Mapolsek Cikeusik hingga jam 10.00 dan akhirnya mereka dipindahkan ke

    Mapolres Pandeglang. Pada waktu yang sama, Suparman sempat memberitahu

    kepada Mulyadi dan Tarno soal isu pembubaran dan menyuruh mereka untuk

    mengungsikan barang-barang berharga.35 

    Malam harinya, jam 20.00, seorang Ahmadi mengabarkan kepada Deden

    Sudjana bahwa Suparman sedang berada di Mapolres Pandeglang . Dia juga

    mendapatkan kabar bahwa rumah missi dalam keadaan kosong. Atas informasi

    itu, dia memutuskan untuk pergi ke Cikeusik dan menengok Suparman. Pada jam

    22.00, dia menghubungi dua Ahmadi, Danang dan Maulana, untuk menemani ke

    Cikeusik. Tidak lama kemudian, Ahmadi dari Jakarta, Roni Pasaroni, Bebi, Arif

    Rahman Hakim, Warsono, dan Irwan ikut bersama Deden Sudjana. Ahmadi

    lainnya yang berasal dari Bogor (Candra, Masihudin, Ferdias) dan Serang 36 (Arif

    Rahman Ahmadi, Alfi, Yus Asaf, Afif, Yudi) juga ikut. Dengan demikian

    33  Berita Acara Pemeriksaan (BAP), Saksi Atep Suratep.  (Serang: Polda Banten, 24

    Februari 2011). 6.34

     Berita Acara Pemeriksaan (BAP), Saksi Suparman, 4.35

     Berita Acara Pemeriksaan (BAP), Saksi Suparman, 4.36 Mawahibur Rahman, Kronologi Tragedi Cikeusik , 31-32.

  • 8/18/2019 SISWO MULYARTONO

    51/90

    40

    rombongan Ahmadi yang menuju ke Cikeusik berjumlah tujuh belas orang.

    Mereka semua datang ke Cikeusik dengan menggunakan dua mobil.

    Pada 6 Februari 2011, jam 03.00, Kapolres Pandeglang memimpin apel di

    Mapolres Pandeglang terkait pengamanan pembubaran. Sekitar jam 04.00, tiga

     puluh tiga anggota Satuan Sabhara Polres Pandeglang (terdiri dari: dua puluh

    enam anggota Dalmas, Kasat Sabhara, Kanit Turjawali, PS. Kanit I Dalmas, PS.

    Kasubnit I Dalmas, dua pengendara mobil Dalmas, dan satu pengendara mobil

    kasat) diterjunkan ke rumah Suparman.37Sekitar jam 07.00, salah satu anggota

    Reskrim, Suprapto, jalan menuju rumah Suparman.38  Pada saat yang sama,

    Kapolsek Cikeusik melakukan pengarahan kepada delapan belas anggotanya yang

    akan diterjunkan ke rumah Suparman.39  Intinya, Kapolsek menghimbau

    seandainya masih ada Jamaah Ahmadiyah Cikeusik di rumah Suparman agar

    dievakuasi.

    Minggu, 6 Februari 2011, sekitar Jam 07.00, rombongan Deden Sudjana

    tiba di rumah Suparman. Tiga Ahmadi yang sebelumnya sudah ada di rumah

    Suparman menyambut mereka. Akhirnya, mereka semua berkumpul di ruang

    tamu. Deden Sudjana sempat memperkenalkan diri kepada tuan rumah dengan

    mengatakan bahwa kedatangan rombongan atas perintah Amir Nasional, tetapi

     jangan sampai terdengar oleh mereka. Dia juga mengatakan bahwa rumah

    37  Kepala Kepolisian Resort Pandeglang,  Lampiran Sprin Kapolres Pandeglang No:

    Sprin/286/II/2011 (Pandeglang: 4 Februari 2011).38

      Berita Acara Pemeriksaan (BAP), Saksi Suprapto  (Serang: Polda Banten, 14 Februari

    2011), 3.39

     Berita Acara Pemeriksaan (BAP), Saksi Mad Supur  (Serang: Polda Banten, 14 Februari2011), 5.

  • 8/18/2019 SISWO MULYARTONO

    52/90

    41

    Suparman adalah aset Jamaah Ahmadiyah yang harus dipertahankan dengan

    caranya terserah masing-masing. Selain itu, Deden Sudjana mengatakan dirinya

    akan berada di posisi paling depan. Sedangkan yang lain memposisikan diri sesuai

    ketrampilannya masing-masing. Deden Sudjana juga sempat menghimbau kepada

    Ahmadi yang ada di tempat itu agar tidak keluar jika tidak terjadi apa-apa.40 

    Kedatangan rombongan di atas diketahui beberapa warga setempat. Tentang

    hal ini, salah seorang warga bercerita:

    “Hari minggu pagi, sekitar pukul 07.00, saya lihat ada dua mobil di

    rumah Suparman. Saya merasa aneh dan takut karena pada hari itu

    ada pembubaran Ahmadiyah dan Suparman sudah diamankan di

    kantor polisi, tetapi ada tamu di rumah Suparman. Takut terjadi hal-

    hal yang tidak diinginkan, misalnya perkelahian, saya mengungsikan

    anggota keluarga saya. Saya sempat bertemu Suprapto, Babinmas

    Desa Umbulan, Kecamatan Cikeusik. Sayamengatakan kepada

     beliau bahwa ada tamu di rumah Suparman dengan menggunakan

    dua kendaraan mobil.”41 

    Atas dasar pemberitahuan itu, Suprapto mencari Kades Umbulan, Johar.

    Mereka lalu mendatangi rumah Suparman dan meminta rombongan Ahmadiyah

    meninggalkan rumah karena ada rencana pembubaran. Tapi saran ini tidak

    dituruti.42 Tidak lama kemudian, sekitar pukul 09.30, Kanit Reskrim mendatangi

    rombongan di rumah Suparman. Berikut ini transkripsi dialog pertemuan Kanit

    Reskrim (KR) yaitu Hasan, Deden Sudjana (DS) dan Ahmadi lainnya (AL), yang

    40  Berita Acara Pemeriksaan (BAP), Saksi Arif Rahman Ahmadi atas Perkara Pidana

     Penghasutan (Serang: Polda Banten, 8 Maret 2011), 6.41

     Wawancara dengan R.42

      Berita Acara Pemeriksaan (BAP), Saksi Suprapto atas Perkara Pidana Penghasutan (Serang: Polda Banten, 14 Februari 2011), 3.

  • 8/18/2019 SISWO MULYARTONO

    53/90

    42

     berhasil diperoleh dari skripsi Mawahibur Rahman43  dan sebagiannya

    didokumentasikan dalam video yang beredar luas:

    KR : Intinya  sih gini....Kita hanya mengantisipasi karena gosipnya

    ada beberapa rombongan yang mau mampir kesini. Saran dari saya

     sih...ya saya  sih  berharap tidak terjadi, jangankan korban jiwa,

    materipun jangan sampai.

    DS: Saya kebetulan ketua kamnas (Keamanan Nasional)

    Ahmadiyah, ingin meninjau lokasi di sini, yang saya dengar rumah

    ini ingin diobrak-abrik oleh orang-orang yang ingin merusak tatanan

    negara. Organisasi berkedok agama yang  gak   jelas maksudnya apa.Kalau Ahmadiyah bapak tahu-lah, kapan  sih  kita pernah bikin

    ribut.... Kalau mereka bapak bisa lihat, teriak Allahu Akbar nimpuk ,

    teriak Allahu akbar bakar.

    KR : Berbicara Allah, berbicara Allah tetapi tetap anarkis.

    DS: Jadi saya sebagai ketua keamanan, datang kesini ingin meninjau

    keadaan di sini, karena kami mendengar di sinipara Ahmadi sudah

    dizolimi, ada konspirasi dari ormas-ormas berkedok agama seperti

    itu dan beberapa aparat desa. Apa sih masalahnya...? Kenapa mereka

    harus membenci Ahmadiyah. Ya kalau mereka  gak   suka dialog

    lah.... Jangan membakar, memaki, mengusir, melempar. Ini negara

    hukum. Mari kita tegakkan hukum sama. Lagipula ada SKB Tiga

    Menteri, keadaan masalah agama itu masalah pemerintah pusat,

     bukan pemerintah daerah. Seperti lurah ikut-ikut, Muspika ikut-ikut.

    Gak  boleh dong.... Ibaratnya Pak Parman (Suparman) mau diterkam

    harimau, bukan Pak Parman yang ditembak, harimaunya yang

    diusir.

    KR : Kalau bicara Muspika...ada pengajian hari minggu, kita sudah

    menghalau meraka. Bahkan mereka GMC mendoktrin, memberitarget kepada Muspika agar satu bulan harus bubar (jema’at),

     padahal tidak bisa begitu.... Akhirnya kita rapat dengan pihak Pak

    Parman, dengan pihak desa, sampai kecamatan, sampai empat kali

    kalo gak  salah. Sampai kita laporkan ke Muspida, bahkan Muspida

    sudah pada turun kesini. Kita tidak memihak, tidak pro Ahmadiyah,

    tidak pro GMC. Kita kamtibmas dan harkamtibmas kita kan sebagai

     polisi. Jangan sampai dengan seperti ini, seolah-olah ada

     pertumpahan darah dsb. Intinya  sih  yang diinginkan GMC,

    Ahmadiyah tolong berbaur dengan kami, yang paling mencolok

    43 Mawahibur Rahman, Kronologi Tragedi Cikeusik,43-46. 

  • 8/18/2019 SISWO MULYARTONO

    54/90

    43

    adalah keluarga Pak Suparman tidak mau sembahyang Jumah

     berjamaah di masjid. Kalau luar hari Jumat silakan-silakan saja.

    DS: Gini Pak kalau kita bicara akidah....

    KS: Betul....

    DS: Islam ini udah jelas ada beberapa puluh golongan di dunia ini

    kan.... Jadi kalau masalah akidah, marilah kita dialog, masalah tafsir

    kan  saling berbeda. Seperti Syiah dan Sunni saling bom-boman

    masjid. Kita kan sedih, sesama Islam. Masjid itu dibom,

    keesokannya masjid ini dibom.Malu kita kan Pak, masa Indonesia

    mau seperti itu.

    KR : Itu yang ditumpangi kan orang yang tidak bertanggungjawab.

    DS: Oleh karena itu saya berterimakasih kalau bapak bisa berdiri di

    semua golongan. Karena kita capek melihat orang anarkis.

    KR : Kita juga tidak tahu mana yang paling bener .

    DS: Jadi kedatangan kami kesini adalah untuk meninjau, sama

    sekali tidak ada niat balas dendam. Tapi kalau mereka mulai

    memukul, tidak mungkin kita diam aja. Masa kita dipukulin, mobil

    kita dibakar, kita diam saja?

    KR :44  Gini Pak, saya sudah monitor dari Cibaliung dan Cigeulis.

    Ada segelintir orang naik kendaraan roda dua dan roda empat,

    makanya kami mendahului agar tidak kedahuluan oleh mereka.

    Kami dari Polres termasuk Dalmas telah merapat kesini. Tapi

     perkiraan kalau mereka melihat orang kita yang banyak mereka

    tidak jadi. Tapi namanya antisipasi, kita tidak tahu.... Ya, kalau yang

    datang segelintir orang, kalau yang datang meratus atau meribu?

    Kita juga namanya manusia, kalau bisa ya bertahan, kalau tidak ya

    apa boleh buat. Ya, misalnya, kalau saya mah, sampai kapanpuntidak akan berangkat dari sini, tahu-tahu kepala kita terlempar. Ya

    namanya manusia yang baiknya sedikit, yang jahatnya banyak.

    Makanya kita lihat situasi, kalau kira -kira membahayakan lebih

     baik menghindar, intinya sih itu saja.

    DS: Kalau misalnya Bapak tidak mampu, lepaskan saja Pak. Biarkan

     bentrokan saja. Biar seru Pak, ya nggak ? Habis mau bagaimana,

    masa kita diam saja? … Jadi kalau memang kira-kira … 

    44  Mulai bagian ini dan selanjutnya, dialog bisa juga dilihat di video“Dialog Polisi dan

    Jama’at  Ahmadiyah Sebelum Tragedi Cikeusik ,”  tersedia dihttp://www.youtube.com/watch?v=Ojex2RC1kY8; Internet: diakses 12 November 2012.

  • 8/18/2019 SISWO MULYARTONO

    55/90

    44

    AL: Kami siap Pak, tiap hari kami....

    KR : Saya sangat tidak mengharapkan untuk seperti itu.

    DS: Kalau misalkan kira-kira Bapak bilang wah  kepolisian tidak

    sanggup, lepasin aja Pak, lepasin aja, paling juga banjir darah, seru

    ‘ kan, ya nggak Pak?

    Kekhawatiran para Ahmadi terhadap keamanan rumah Suparman bukan

    tanpa alasan. Selain kurang percaya kepada polisi, ini juga tumbuh karena

    maraknya perusakan terhadap aset Ahamdiyah di tempat-tempat lain dan aparat

    keamanan diam saja.Para Ahmadi yang datang ke Cikeusik tidak mau aset jamaah

    dirusak seperti di tempat lain.45 

    Selanjutnya, Kanit Reskrim keluar dari rumah Suparman dan melakukan

    kordinasi dengan Kapolsek, Kasat Intel dan Kasat Samapta.46 Mengetahui bahwa

    usaha Kanit Reskrim gagal, maka Kapolsek dan Kasat Sabhara mendatangi Deden

    Sudjana.47 Polisi yang ada di tempat juga mulai berjaga-jaga. Mereka berjaga di

    sekitar depan pelataran rumah Suparman dan jembatan sungai Cibaliung. Dua

    mobil Dalmas juga bersiaga di depan rumah Suparman sebelum salah satu mobil

    dipindahkan ke jembatan Cibaliung.48 

    Dari pemaparan bab ini bisa disimpulkan bahwa konflik anti-Ahmadiyah

    Cikeusik Pandeglang Banten telah berlangsung sejak lama, yakni awal masuknya

    Ahmadiyah di Cikeusik. Namun ada discontinuitas konflik ketika Suparman dan

    45  Wawancara dengan WR, Mubalig Ahmadiyah Cilegon di Cilegon, 22 Desember 2013.

    46 Berita Acara Pemeriksaan (BAP), Saksi Mad Supur,3.

    47 Berita Acara Pemeriksaan (BAP), Saksi Syahpudin atas Perkara Pidana Penghasutan,

    (Serang: Polda Banten, 14 Februari 2011). 2.48

      “Anti-Ahmadiyah: Violence in Cikeusik ,” tersedia dihttp://www.youtube.com/watch?v=iLb9VSI9BCw; Internet: diakses 12 November 2012. 

  • 8/18/2019 SISWO MULYARTONO

    56/90

    45

    Khaerudin Barus menghentikan aktivitas dakwahnya. Konflik berlanjut ketika

    Suparman mulai mengaktifkan kembali Jama’at  Ahmadiyah di Cikeusik,

    Pandeglang.

    Konflik anti-Ahmadiyah semakin rumit ketika kedua belah pihak, baik

    warga Ahmadiyah dan penentangnya, melibatkan pihak-pihak di luar Cikeusik

    dalam menyelesaikan konflik. Di bab selanjutnya akan dijelaskan bagaimana para

     penentang Ahmadiyah di Cikeusik melibatkan ribuan masa dalam membubarkan

    Ahmadiyah Cikeusik Pandeglang Banten.

  • 8/18/2019 SISWO MULYARTONO

    57/90

    46

    BAB IV

    KEKERASAN DAN MOBILISASI ANTI-AHMADIYAH

    A.  Kekerasan Anti-Ahmadiyah

    Sekitar pukul 10.00, ratusan massa anti-Ahmadiyah sudah memadati Masjid

    Cangkore dan pertigaan Umbulan. Massa menjadi ribuan ketika massa yang

    dibawa K.H Ujang Muhamad Arif sampai di Masjid Cangkore.Tidak lama

    kemudian ada instruksi yang mengatakan, “Ayo