SISTEM SRI PADA BUDIDAYA PADI GUNA MENGHEMAT AIR IRIGASI

38
SISTEM SRI PADA BUDIDAYA PADI GUNA MENGHEMAT AIR IRIGASI ANAK AGUNG GEDE SUGIARTA PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2018

Transcript of SISTEM SRI PADA BUDIDAYA PADI GUNA MENGHEMAT AIR IRIGASI

Page 1: SISTEM SRI PADA BUDIDAYA PADI GUNA MENGHEMAT AIR IRIGASI

SISTEM SRI PADA BUDIDAYA PADI

GUNA MENGHEMAT AIR IRIGASI

ANAK AGUNG GEDE SUGIARTA

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2018

Page 2: SISTEM SRI PADA BUDIDAYA PADI GUNA MENGHEMAT AIR IRIGASI

ii

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji dan syukur kehadapan Ida Sanghyang Widi Wasa/

Tuhan Yang Maha Esa Penelitian SISTEM SRI PADA BUDIDAYA PADI GUNA

MENGHEMAT AIR IRIGASI ini dapat diselesaikan untuk membantu kelancaran

pengkayaan penelitian. Hasil tulisan penelitian ini masih jauh dari sempurna dan akan

terus ditambah dan disempurnakan lagi, oleh karenanya perlu berbagai masukkan.

Penelitian ini diharapkan dapat membantu pembaca dengan baik untuk

peningkatan manfaat dan keilmuan.

Penelitian ini pastilah masih banyak kekurangannya dan akan terus dibenahi

mengikuti perkembangan ilmu dan teknologi di bidang pertanian, penulis dengan rendah

hati mengundang saran dan perbaikan atas tulisan ini demi kepentingan bersama.

Denpasar, 20 Januari 2018

Penulis

Page 3: SISTEM SRI PADA BUDIDAYA PADI GUNA MENGHEMAT AIR IRIGASI

iii

SISTEM SRI PADA BUDIDAYA PADI GUNA

MENGHEMAT AIR IRIGASI

ANAK AGUNG GEDE SUGIARTA

ABSTRACT

There were evidences that some reports on paddy rice cultivation studies were

able to increase both an efficient of irrigation water use, and opportunities to increase

the productivity of the rice plant nowdays. This practice called the system of rice

intensification (SRI) that has been well developed at Madagascar. Currently, this method

has been on going implemented in Asian, involving in Indonesia. Its principles were an

aerobic condition at the root zone by minimum water supply, planting younger seedling

in wide spacing 25 cm x 25 cm or more, and apply of compost, beside mineral fertilizer.

Indicated by the report study that paddy SRI was able to increase of 10-40 %

irrigation water use efficiency. Where as, the productivity of paddy SRI, also increase of

25-45 %.

ABSTRAK

Terdapat bukti-bukti hasil penelitian yang menunjukkan bahwa pemakaian air

irigasi pada tanaman padi dapat dihemat, sekaligus berpeluang ditingkatkannya

produktivitas padi. Praktek budidaya padi demikian dinamakan system of rice

intensification-SRI, yang telah berkembang baik di Madagascar. Saat ini, Padi SRI

sedang giat-giatnya diuji coba di Asia termasuk di Indonesia. Prinsip-prinsip budidaya

padi SRI adalah membuat kondisi aerob di wilayah perakaran tanaman melalui

pemberian air macak-macak, tanam bibit umur muda, jarak tanam lebih lebar 25 cm x 25

cm atau lebih, serta penambahan bahan organik selain pupuk mineral.

Laporan-laporan hasil penelitian padi SRI secara lebih meyakinkan menunjukkan

bahwa penghematan terhadap pemakaian air irigasi dicapai antara 10-40 %. Sedangkan

terhadap hasil padi SRI terdapat variasi peningkatan antara 25-45 %.

Page 4: SISTEM SRI PADA BUDIDAYA PADI GUNA MENGHEMAT AIR IRIGASI

iv

DAFTAR ISI

Hal

Halaman Judul ................................................................................................................ i

Abstract .............................................................................................................................. ii

Abstrak ............................................................................................................................... ii

DAFTAR ISI .................................................................................................................... iii

DAFTAR TABEL ............................................................................................................. iv

DAFTAR GAMBAR ........................................................................................................ iv

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ................................................................................................ ................... 1

1.2 Rumusan Masalah ........................................................................................... ................... 4

1.3 Tujuan ............................................................................................................. ................... 4

BAB II KAJIAN PUSTAKA ..................................................................................... ................... 4

2.1 Konsep Dasar Pembangunan Berkelanjutan ................................................... ................... 4

2.2 Budidaya Padi Sistem Perakaran Anaerobik (cara konvensional) ................... ................... 6

2.3 Budidaya Padi Sistem Perakaran Aerobik (SRI) ............................................. ................... 7

2.4 Hubungan antara Status Air Tanah dengan Pertumbuhan

Tanaman ......................................................................................................... ...................

8

BAB III KERANGKA BERPIKIR, HIPOTESIS PENELITIAN DAN

METODE PENELITIAN …….………………………………………

51

BAB IV HASIL DAN PEMBAHSAN ........................................................................ 10

4.1 Dimensi Ekonomi ........................................................................................... 10

4.2 Dimensi Kehidupan Sosial .............................................................................. 13

4.3 Dimensi Lingkungan ....................................................................................... 13

BAB V SIMPULAN DAN SARAN ......................................................................... 13

5.1. Simpulan ......................................................................................................... 13

5.2. Saran ................................................................................................................ 14

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 14

Page 5: SISTEM SRI PADA BUDIDAYA PADI GUNA MENGHEMAT AIR IRIGASI

v

DAFTAR TABEL

Tabel1. Hasil rata-rata dan maksimum budidaya padi SRI

dibandingkan dengan padi konvensional di beberapa

negara Asia ...................................................................... 7

Tabel 2. Pertumbuhan dan hasil padi yang diperlakukan secara

aerob dan anaerob pada daerah perakarannya ................ 11

Tabel 3. Pertumbuhan dan hasil padi yang diperlakukan secara

aerob dan anaerob pada daerah perakarannya ................. 11

Page 6: SISTEM SRI PADA BUDIDAYA PADI GUNA MENGHEMAT AIR IRIGASI

vi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Diagram Alir Pengaruh Sistem Perakaran Aerobik

terhadap Pertumbuhan Akar, Bagian Vegetatif dan

Reproduktif Tanaman ...................................................... 10

Page 7: SISTEM SRI PADA BUDIDAYA PADI GUNA MENGHEMAT AIR IRIGASI

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Budidaya tanaman padi melalui praktek budidaya tanaman yang sama dengan

tanaman pada umumnya adalah hal yang wajar. Pendapat demikian pertama

diungkap oleh Pendeta Hendri De Laulanie yang telah mempraktekkan budidaya padi

intensif (system of rice intensification-SRI) di Madagaskar selama 30-an tahun.

Prinsip budidaya padi SRI adalah melalui pengelolaan media tumbuh yang subur

untuk pertumbuhan perakaran, pemberian air yang cukup dan penanaman bibit

tunggal umur muda (Uphoff, 2007). Dalam pandangan tersebut, terdapat harapan

bahwa produktivitas tanaman dapat ditingkatkan sekaligus pemakaian air irigasi dapat

dihemat.

Dalam perspektif pembangunan pertanian berkelanjutan, terdapat tiga pilar

keberlanjutan sebagai tujuan pembangunannya yaitu: (i) pilar keberlanjutan usaha

ekonomi, (ii) keberlanjutan kehidupan sosial dan (iii) keberlanjutan ekologi alam

(Munangsihe, 1993 dalam Suryana, 2005). Oleh karena itu, apabila dihubungkan

antara praktek budidaya padi SRI dengan pembangunan pertanian berkelanjutan,

terlihat kesesuaian tujuannya, berturut-turut upaya menghemat pemakaian air irigasi

sebagai pilar keberlanjutan ekologi, peningkatan produktivitas sebagai pilar

keberlanjutan ekonomi, dan tumbuhnya kelompok tani yang mempraktekkan

budidaya padi SRI merupakan pilar keberlanjutan kehidupan sosial. Dengan prospek

keberlanjutan tersebut, belakangan, kajian-kajian dan praktek budidaya padi SRI

berkembang ke Asia sampai Amerika Selatan (Satyanarayana et al., 2006; Uphoff,

2007; Thakur, 2010).

Disadari bahwa belakangan ini kondisi sumberdaya air semakin terbatas,

beberapa alasan dikemukakan diantaranya adalah perubahan prilaku iklim, terjadinya

anomali iklim seperti peristiwa El Nino yaitu iklim kering yang lebih kering dari

normalnya (Boer, 2003), serta perubahan kondisi wilayah tangkapan air. Di pihak

lain, keberlanjutan program pembangunan, menuntut adanya dukungan persediaan

Page 8: SISTEM SRI PADA BUDIDAYA PADI GUNA MENGHEMAT AIR IRIGASI

2

sumberdaya air yang semakin meningkat. Oleh karena itu, semua pihak yaitu sektor-

sektor pengguna air termasuk masyarakat petani dihadapkan pada permasalahan

ketersediaan sumberdaya air yang semakin terbatas. Atas dasar permasalahan

demikian, maka konsep pengembangan pertanian ke depan tidak cukup lagi hanya

menekankan pada peningkatan produksi, tetapi juga sekaligus menyangkut upaya

pengaturan dan pemakaian air yang hemat.

Budidaya padi konvensional yang cara pemberian air irigasinya masih

mengandalkan genangan air di petakan sawah, belakangan ini mendapat perhatian

dan telah dilakukan berbagai kajian dalam rangka meningkatkan produktivitas

sumberdaya air. Asumsi bahwa praktek budidadaya padi yang baik adalah dengan

membuat kondisi lahan yang jenuh air dan bahkan memberikan genangan air

beberapa cm di atasnya mulai dikaji ulang (De Datta, 1981 dalam Satyanarayana et

al., 2006). Sorotan bahwa padi merupakan tanaman air atau paling tidak berasosiasi

dengan lingkungan air mulai dipertanyakan.

Prinsip umum kebutuhan air tanaman padi adalah untuk memenuhi proses

evapotranspirasi (Et). Kemudian, di lapangan agar kondisi tanah tetap jenuh

ditambahkan kebutuhan untuk proses perkolasi (P). Proses evapotranspirasi

ditentukan oleh kondisi iklim dan fase pertumbuhan dan perkolasi ditentukan oleh

tekstur tanah (Hansen et al., 1986). Oleh karena itu, untuk menjaga kebutuhan air

tanaman padi di petakan sawah, maka dalam prakteknya, petakan diberi genangan air

antara 5-10 cm mengikuti perkembangan tinggi tanaman. Artinya, selama masa

pertumbuhan tanaman, kondisi tanah sekitar perakaran (rhizosfer) dalam keadaan

anaeraobik, karena pori-pori tanah mikro maupun makro jenuh dengan air. Dalam

kondisi demikian, tanaman pada umumnya tidak mampu beradaptasi untuk tumbuh

dan berkembang secara baik. Akan tetapi, tanaman padi masih mampu tumbuh dan

berproduksi cukup baik oleh karena struktur morfologi batang dan akarnya memiliki

jaringan aerenchim yang berfungsi mengalirkan oksigen udara ke dalam jaringan

akar.

Page 9: SISTEM SRI PADA BUDIDAYA PADI GUNA MENGHEMAT AIR IRIGASI

3

Sebaliknya, prinsip padi SRI justru mengkritisi kondisi daerah perakaran yang

bersifat anaerobik ini, yang justru ditengarai sebagai kondisi lingkungan tumbuh yang

kurang optimal sehingga pertumbuhan dan proses produksi tanaman padi belum

maksimal. Kondisi perakaran padi SRI dibuat dalam keadaan aerobik dengan cara

memberikan air secukupnya dalam kondisi macak-macak dan dikeringkan seterusnya,

sampai terjadi keretakan tanah, dimana kondisi demikian pertukaran gas oksigen di

daerah perakaran (rhizosfer) menjadi intensif. Pertumbuhan akar tanaman menjadi

lebih baik untuk dapat mendukung pertumbuhan bagian atasnya. Kondisi demikian

diyakini mampu memberikan pertumbuhan dan produksi padi lebih maksimal.

Dalam teori fisiologi tumbuhan, terdapat hubungan antara air-tanah-tanaman

dan udara sebagai satu kesatuan yang berkesinambungan (soil-water-plant-

atmosphere as a continuum) (Hanks dan Ashcroft, 1980). Artinya, terjadi aliran air

dari daerah perakaran sampai ke permukaan daun dan dilepaskan dalam bentuk uap

ke udara. Pengendali atau tenaga yang menggerakkan aliran air tersebut adalah

temperatur udara. Akan tetapi, kondisi demikian terjadi dengan asumsi cukup

tersedia kandungan air tanah. Kandungan air tanah yang tersedia bagi tanaman

adalah pada kondisi kapasitas lapang, yaitu batas antara tanah jenuh air sampai titik

layu (pF 2,4)-(pF 4,2) (Syarief, 1989). Kandungan air tanah di bawah titik layu, akar

tanaman tidak mampu menyerap karena molekul air terikat oleh matrik tanah.

Akibatnya, terjadi gangguan proses fisiologis tanaman yang ditandai oleh

menutupnya vacuola daun, kelayuan, gangguan fotosintesis serta gangguan

pertumbuhan dan kematian tanaman (Taylor et al., 1983).

Sebaliknya pada tanah jenuh air, terjadi perkolasi atau kehilangan air akibat

tenaga gravitasi. Air yang hilang ini juga tidak dapat dimanfaatkan oleh akar

tanaman karena keberadaannya di luar jangkauan persebaran akar. Oleh karena itu,

pemberian air irigasi secukupnya merupakan prinsip pada praktek budidaya padi SRI.

Page 10: SISTEM SRI PADA BUDIDAYA PADI GUNA MENGHEMAT AIR IRIGASI

4

1.2 Rumusan Masalah

Tinjauan terhadap hubungan antara budidaya padi SRI dengan pembangunan

pertanian berkelanjutan yang memiliki tiga pilar keberlanjutan, maka dapat

dirumuskan masalahnya melalui tinjauan setiap pilarnya, yaitu: 1) dapatkah budidaya

padi SRI memakai air irigasi lebih hemat dibandingkan dengan budidaya padi

konvensional dalam kerangka keberlanjutan ekologis; 2) dapatkah budidaya padi SRI

produktivitasnya lebih tinggi dibandingkan dengan budidaya padi konvensional

dalam kerangka keberlanjutan ekonomi; dan 3) dapatkah budidaya padi SRI diterima

masyarakat dalam kerangka keberlanjutan kehidupan sosial.

1.3 Tujuan

1. Memberi informasi mengenai jumlah air irigasi yang dapat dihemat pada

budidaya padi SRI;

2. Memberi informasi mengenai peningkatan produksi pada budidaya padi SRI;

dan

3. Memberi informasi tentang tumbuhnya kelompok-kelompok tani yang

mempraktekkan budidaya padi SRI.

Page 11: SISTEM SRI PADA BUDIDAYA PADI GUNA MENGHEMAT AIR IRIGASI

5

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Dijelaskan bahwa konsep dasar pembangunan pertanian berkelanjutan diadopsi

dari konsep pembangunan berkelanjutan pada sektor pertanian (Suryana, 2005).

Pada paper yang disusunnya, lebih lanjut juga diinformasikan tentang pilar-pilar

keberlanjutan yang menjadi tujuan dalam pembangunan berkelanjutan. Terdapat tiga

pilar keberlanjutan yang menjadi dasar tujuan pembangunan pertanian berkelanjutan,

yaitu (i) pilar keberlanjutan usaha ekonomi, (ii) keberlanjutan kehidupan sosial dan

(iii) keberlanjutan ekologi alam (Munangsihe, 1993 dalam Suryana, 2005).

2.1.1 Keberlanjutan usaha ekonomi

Keberlanjutan dimensi ekonomi mencakup aliran pendapatan maksimum yang

diperoleh dari upaya pengelolaan aset produktif yang menjadi basis dalam perolehan

pendapatan tersebut. Indikator dimensi ekonomi ini adalah tingkat efisiensi dan daya

saing, besaran pertumbuhan nilai tambah, dan stabilitas ekonomi. Dimensi ekonomi

menekankan aspek pemenuhan kebutuhan material manusia sekarang dan generasi

mendatang.

2.1.2 Keberlanjutan kehidupan sosial

Keberlanjutan dimensi kehidupan sosial adalah orientasi kerakyatan, berkaitan

dengan kebutuhan kesejahteraan sosial yang dicerminkan oleh kehidupan yang

harmonis (termasuk tercegahnya konflik sosial), preservasi keragaman budaya dan

modal sosio-budaya, termasuk perlindungan terhadap suku minoritas. Oleh karena

itu, pengentasan kemiskinan, pemerataan kesempatan berusaha dan pendapatan,

partisipasi sosial politik dan stabilitas sosial budaya menjadi indikator penting yang

perlu dipertimbangkan dalam pelaksanaan pembangunan.

Page 12: SISTEM SRI PADA BUDIDAYA PADI GUNA MENGHEMAT AIR IRIGASI

6

2.1.3 Keberlanjutan ekologi alam

Keberlanjutan ekologi alam menekankan kebutuhan akan stabilitas ekosistem

alam yang mencakup sistem kehidupan biologis dan materi alam. Dalam hal ini

termasuk terpeliharanya keragaman hayati dan daya lentur biologis (sumberdaya

genetik), sumberdaya air, tanah, dan agroklimat, serta kesehatan dan kenyamanan

lingkungan. Ketiga dimensi tersebut saling mempengaruhi sehingga ketiganya harus

diperhatikan secara seimbang. Sistem sosial yang stabil dan sehat serta sumberdaya

alam dan lingkungan merupakan basis untuk kegiatan ekonomi.

2.2 Budidaya Padi Sistem Perakaran Anaerobik (cara konvensional)

Secara prinsip, tahapan penanaman budidaya padi cara konvensional dan SRI

adalah sama. Demikian pula varietas yang digunakan pada umumnya sesuai dengan

anjuran seperti yang dilepas oleh Departemen Pertanian, seperti Ciherang atau IR 64

atau yang lainnya (Badan Litbang Pertanian, 2007). Apabila kedua cara tanam

tersebut dibandingkan, terdapat modifikasi dari cara tanam padi SRI dibandingkan

dengan cara konvensional. Modifikasi dilakukan berturut-turut terhadap umur pindah

bibit, jumlah bibit yang ditanam, jenis pupuk, dan cara pemberian air irigasi.

Tahapan penanaman padi secara garis besar dimulai dengan pengolahan

tanah, persemaian, pemupukan dan penanaman, pengairan, penyiangan gulma,

pengendalian hama dan penyakit dan terakhir adalah pemanenan. Prinsip-prinsip

budidayanya berturut-turut adalah sebagai berikut:

1) Tanah diolah sampai mencapai pelumpuran sempurna (Andi dkk., 2008 ).

2) Benih disemai sampai berumur 21-25 hari, sebelum dipindah ke lapangan (Andi

dkk., 2008)

3) Jumlah bibit antara 3-5 batang per lubang (Andi dkk., 2008).

4) Pupuk dasar diberikan 100 kg/ha masing-masing untuk urea, SP 36 dan KCl.

Pupuk susulan pertama diberikan urea 100 kg/ha pada umur 2 minggu setelah tanam,

Page 13: SISTEM SRI PADA BUDIDAYA PADI GUNA MENGHEMAT AIR IRIGASI

7

dan pupuk susulan kedua diberikan urea dan KCl masing-masing 100 kg/ha pada

umur 5 minggu setelah tanam (Andi dkk., 2008).

5) Pemberian air dilakukan dengan penggenangan, berturut-turut 3-5 cm sampai

tanaman berumur 30 hari, tinggi genangan ditingkatkan menjadi 5-10 cm mengikuti

tinggi tanaman di lapangan. Pengeringan dilakukan menjelang penyiangan dan

pemupukan susulan, serta memasuki fase pemasakan (Tomar dan O’Toole, 1979

dalam Pasandaran, 1985).

6) Pengendalian hama dan penyakit dengan pestisida mengikuti kondisi lapangan.

7) panen dilakukan setelah daun-daun tanaman menguning, gabah telah mengeras

pada kadar air sekitar 25 %.

Hasil-hasil penelitian budidaya padi di Bali, belakangan ini menunjukkan

hasil panen gabah berkisar antara 6-7 ton/ha gabah kering giling (GKG) (Badan

Litbang Pertanian., 2007).

2.3 Budidaya Padi Sistem Perakaran Aerobik (SRI)

Prinsip-prinsip budidaya padi SRI yang telah dirumuskan oleh para peneliti

berturut-turut adalah: tanam bibit umur muda 12-15 hari setelah sebar, satu bibit per

lubang pada jarak 25 cm x 25 cm atau lebih. Pengairan dikelola secara macak-macak

yang diselingi dengan pengeringan untuk menciptakan suasana aerob pada daerah

perakaran. Pengendalian gulma dianjurkan menggunakan alat weeder yang sekaligus

dapat menggemburkan tanah. Dianjurkan menambahkan pupuk kompos, selain pupuk

mineral dengan maksud untuk menambah kandungan hara tanah, meningkatkan

aktivitas mikroba tanah, dan mempertahankan kelembaban tanah (Satyanarayana et

al., 2006; Uphoff, 2007; Thakur, 2010 ).

Beberapa hasil uji coba budidaya padi SRI di beberapa negara Asia, ditampilkan

pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil rata-rata dan maksimum budidaya padi SRI dibandingkan dengan

padi konvensional di beberapa negara Asia (Uphoff, 2007)

Page 14: SISTEM SRI PADA BUDIDAYA PADI GUNA MENGHEMAT AIR IRIGASI

8

Negara Rata-rata hasil padi SRI Rata-rata hasil padi

konvensional

( ton/ha) (ton/ha)

Bangladesh 7,08 (8,69) 5,61 (6,71)

Cambodia 4,10 (12,0) 2,70 (6,0)

China 12,40 (15,8) 10,90 (11,8)

India 9,67 (15,0) 7,13 (10,3)

Indonesia 7,40 (8,4) 5,00 (6,7)

Keterangan: Angka dalam kurung menunjukkan hasil panen maksimum

yang pernah dicapai.

Hasil penelitian padi SRI yang dilaporkan oleh Tim Peneliti UGM (2005)

disimpulkan bahwa produktivitas padi dapat ditingkatkan lebih dari 25 %, dari rata-

rata hasil padi 6,20 ton/ha menjadi 7,90 ton ha. Sebaliknya, pemakaian air irigasi

dapat dihemat antara 30-40 % dari kebutuhan biasanya. Keunggulan lainnya dari

budidaya padi SRI ini adalah dapat mengurangi kebutuhan benih. Namun demikian,

diakui implementasi ke petani masih membutuhkan waktu karena terdapat perbedaan

cara tanam dari biasanya.

Hasil penelitian yang sama juga dilaporkan oleh Tim Peneliti IPB (Anas,

2008), ditunjukkan bahwa hasil padi dapat ditingkatkan dari rata-rata 6,20 menjadi

7,50 ton/gabah GKG. Selanjutnya, hasil perhitungan nilai efisiensi manfaat air

(EMA) meningkat dari 0,90 menjadi 1,27 kg GKG per meter kubik air. Manfaat dari

hasil penelitian ini adalah dapat ditingkatkannya luas tanam padi khususnya pada

musim kemarau, dimana suplai air dalam kondisi terbatas.

2.4 Hubungan antara status air tanah dengan pertumbuhan

tanaman

Ketersediaan air tanah untuk pertumbuhan tanaman secara umum berada pada

tingkat kapasitas lapang sampai tingkat titik layu. Lebih rendah dari tingkat titik layu

ini pertumbuhan terganggu (Hanks dan Ashcroft, 1980; Sarief, 1989). Lebih lanjut

dijelaskan bahwa status kandungan air tanah tergantung dari tekstur tanah yang

Page 15: SISTEM SRI PADA BUDIDAYA PADI GUNA MENGHEMAT AIR IRIGASI

9

berhubungan dengan persebaran pori-pori mikro tanah yang berfungsi memegang

molekul air.

Tekstur tanah yang berbeda mengandung jumlah air yang berbeda pada kondisi

kapasitas lapang, dimana semakin ringan tekstur tanah (tekstur berpasir) kandungan

air tersedia bagi tanaman semakin rendah, oleh karena proporsi pori-pori makro tanah

meningkat. Molekul air tidak mampu dipegang oleh pori-pori makro tanah, biasanya

ditempati oleh molekul gas seperti O2, CO2 dan gas lainnya. Batas paling tinggi

status energi kandungan air tanah pada kondisi kapasitas lapang adalah pF 2,4 (Hanks

dan Ashcroft, 1980; Sarief, 1989).

Penjelasan tentang pengaruh-pengaruh kekurangan air terhadap fisiologis dan

morfologis tanaman telah banyak dilaporkan. Tanaman yang mengalami kekurangan

air, secara fisiologis mengalami gangguan pada terhambatnya pertukaran gas CO2

akibatnya aktivitas fotosintesis menurun. Perkembangan selanjutnya, terjadi relokasi

senyawa protein daun untuk pembentukan senyawa asam absisat yang berakibat pada

pengguguran daun. Tampilan morfologis tanaman ditandai dengan ukuran tanaman

mengecil, pertumbuhan terhambat dan hasil merosot (Taylor et al., 1983).

2.6.5 Penyerapan air dan hara oleh sistem perakaran

Kekurangan air sering merupakan faktor pembatas pertumbuhan tanaman di

sawah dataran tinggi dan sawah tadah hujan (rainfed). Jika air dipasok secara merata

ke semua profil tanah, lapisan yang dangkal merupakan lapis yang pertama

mengalami kekurangan. Kemudian serapan air meningkat dengan kedalaman yang

lebih besar. Laju serapan air dari volume tanah tertentu sebanding terhadap panjang

akar total efektif jika kondisi lainnya dipertahankan konstan. Laju serapan air yang

tinggi mengakibatkan penurunan potensial air tanah dalam lapis dangkal yang cepat.

Bila laju serapan juga berbanding dengan potensial air tanah jika yang lainnya sama,

serapan air dari lapis dangkal akan menurun. Pada waktu ini, lebih banyak air tersedia

ke akar dalam profil tanah lebih dalam, dan kemudian , lebih banyak air akan diserap

Page 16: SISTEM SRI PADA BUDIDAYA PADI GUNA MENGHEMAT AIR IRIGASI

10

dari lapis ini. Model matematis yang diajukan oleh Gardner (1960), akar dianggap

sebagai silinder panjang tak terbatas dengan diameter seragam dan sifat-sifat

menyerap air. Untuk akurasi, panjang akar dikoreksi dengan rambut-rambut akar dan

derajad suberisasi. Panjang akar total berkaitan dengan kapasitas tanaman menyerap

hara. Pada jagung yang ditanam di larutan kultur, laju serapan P sebanding dengan

panjang akar total. Maka kapasitas tanaman menyerap air dan hara berkait erat

dengan panjang total sistem perakaran.

2.6.6 Pengukuran panjang akar dan kerapatan akar

Pengukuran panjang akar total, bahkan dalam cuplikan kecil, sukar dan

membosankan sebab akar dapat mencapai panjang lebih besar bahkan dalam volume

tanah kecil. Pada tahun 1966, Newman menemukan teknik mengukur panjang akar

total. Metode Newman menggunakan kisi-kisi (grid) dimana akar disebarkan secara

acak. Dianggap kisi dengan luas total 14 x 14 cm2 dan dengan jarak teratur 14/11 cm

antar garis. Diharapkan bahwa lebih panjang akar yang tersebar pada kisi, lebih

banyak titik-titik potong yang akan membentuk dengan garis-garis lurus. Maka,

jumlah titik potong (intersep) dapat digunakan menduga panjang akar.

Mengetahui jumlah intersep, panjang akar total diberikan sebagai berikut.:

H

NAR

2

dimana R = panjang total akar,

N = jumlah titik potong antara akar dan garis lurus,

A = luas persegi atau bujur sangkar

H = panjang total garis lurus

Jika terdapat 11 garis horizontal dan 11 garis tegak lurus, maka persamaannya

menjadi:

))(11141114(2

)(141414.3 2

cm

cmNR

)()(44

96.43cmNcm

N

Page 17: SISTEM SRI PADA BUDIDAYA PADI GUNA MENGHEMAT AIR IRIGASI

11

Dengan kata lain, jumlah intersep memberikan pendugaan panjang akar total dalam

cm. Metode ini juga digunakan untuk menduga panjang sembarang bentuk garis tak

teratur. Panjang akar per unit volume tanah disebut kerapatan akar (root

density)

)(cmdikoleksiakartempattanahVolume

(cm) total akar Panjangakar Kerapatan

3

Maka kerapatan akar mempunyai dimensi cm-2. Digunakan sebagai ukuran

pertumbuhan akar di lapangan dimana tanaman tumbuh. Kerapatan akar tanaman padi

berkisar dari kurang dari 1 cm-2 dalam horison tanah dalam sampai lebih dari 30 cm-2

sekitar pangkal tanaman.

2.6.7 Ciri akar dikaitkan dengan resistensi terhadap kekeringan

Sistem perakaran padi dapat dipelajari dengan menggunakan beberapa teknik :

1) kotak akar (root box), 2) core sampling di lapangan, dan 3) monolith. Kekeringan

terjadi bila terdapat ketidak seimbangan antara serapan air dengan transpirasi,

pertumbuhan akar lebih besar dapat membantu tanaman lebih baik dibawah kondisi

pasokan air terbatas. Nisbah akar-tajuk dari varietas padi dapat dipelajari dengan

teknik root box. Kisaran nisbah antara 0.05-0.3 saat heading, dan rerata sekitar 0.1.

Dibawah kondisi kekeringan, tanah mulai mengering dari permukaan tanah tetapi

horison lebih dalam mungkin tetap basah dan dapat memasok air ke akar tanaman.

Sebagai konsekuensinya, bagian akar yang dalam dapat lebih berguna dibandingkan

bagian akar yang dangkal bila resistensi kekeringan suatu varietas diuji. Berdasarkan

alasan ini, nisbah akar-tajuk yang besar dianggap sebagai ukuran lebih baik terhadap

resistensi kekeringan di lapangan. Nisbah akar-tajuk dalam didefinisikan sebagai

bobot dalam miligram dari akar yang lebih dalam lebih dari 30 cm/gram tajuk.

Kisarannya mulai dari kurang dari 10 sampai 80 mg/g. Bila varietas padi sawah

berakar dangkal dan varietas gogo berakar dalam ditanam di sawah, tidak banyak

perbedaan antara kerapatan akar sampai 30 cm dekat permukaan tanah. Perbedaan

Page 18: SISTEM SRI PADA BUDIDAYA PADI GUNA MENGHEMAT AIR IRIGASI

12

yang lebih besar dalam horison dibawah 30 cm. Ini memberikan alasan penggunaan

nisbah akar-tajuk dalam teknik root box.

Tabel 3. Sebaran kerapatan akar vertikal 7 varietas padi yang ditanam pada sawah

upland, IRRI, 1977.a

Kedalaman (cm)

Varietas 0-10 10-

20

20-

30

30-

40

40-

50

50-

60

60-

70

70-

80

Lowland

IR20

IR2035-117-3

IR442-2-58

Upland

OS4

Moroberekan

Salumpikit

20A

14.4

22.7

16.8

12.6

11.8

16.2

19.8

2.8

5.8

7.1

1.4

2.3

5.5

2.6

0.9

0.8

1.2

0.8

0.9

1.9

0.9

0.4

0.1

0.3

0.9

0.8

1.4

0.8

0.1

0.1

0.1

0.8

0.6

0.8

0.9

0.5

0.8

0.6

0.9

0.5

0.4

0.3

0.6

0.2

0.2

0.1

0.4

aIRRI (1978).

Di sawah, akar padi tumbuh dan mengembang (extend) secara vertikal dan

lateral. IR20, berakar dangkal, anakan banyak, mempunyai kerapatan akar tinggi

sekitar pangkal tanaman tetapi pertumbuhan akar baik secara vertikal dan lateral

terbatas. Sebaliknya, OS4, berakar dalam, anakan sedikit, mempunyai sebaran akar

lateral beruang baik dan akar menembus lebih dalam dari IR20 (Tabel 3). Sejumlah

perbedaan mungkin bagian yang menjelaskan perbedaan resistensi kekeringan

diantara dua varietas.

2.7 Malai (Panicle)

2.7.1 Morfologi

Unsur utama malai adalah kaki malai (base), sumbu (axis), cabang primer dan

cabang sekunder, tangkai bulir (pedicel), rudimentary glumes, dan gabah. Sumbu

malai menjulur (extend) dari pangkal malai (kaki malai) sampai ujung (apex). Malai

mempunyai 8-10 buku pada interval 2 – 4 cm dari cabang primer yang berkembang.

Pada gilirannya, cabang sekunder berkembang dari cabang primer. Tangkai bulir

Page 19: SISTEM SRI PADA BUDIDAYA PADI GUNA MENGHEMAT AIR IRIGASI

13

berkembang dari buku-buku cabang primer dan sekunder, pada ujungnya terdapat

gabah. Biasanya hanya satu cabang primer berasal dari kaki malai tetapi dibawah

kondisi yang menguntungkan seperti cuaca bersinar atau tanah yang subur, dua atau

tiga cabang primer dapat muncul pada kaki malai. Malai kembar dua atau kembar tiga

cabang primer pada kaki malai yang dinyatakan dengan malai betina (female

panicle). Malai betina merupakan contoh (an instance) internodia yang memendek

antara cabang primer pada sumbu malai. Pasokan N yang cukup (ample) pada

diferensiasi buku leher dapat menghasilkan persentase malai betina yang tinggi. Maka

pembentukan malai betina menunjukkan kondisi pertumbuhan yang baik pada

diferensiasi buku leher. Bila malai diuji pada penuaan, banyak organ sisa (vestigial)

ditemukan: gabah, cabang primer, cabang sekunder, bracts, dan titik tumbuh. Organ-

organ ini mengalami degenerasi antara diferensiasi gabah dan akhir pembelahan

reduksi sedang diferensiasi terjadi selama periode terdahulu (preceding), diferensiasi

buku leher ke diferensiasi malai. Kondisi lingkungan pada setiap periode mempunyai

pengaruh amat besar (profound) terhadap diferensiasi organ dan degenerasi. Jumlah

gabah yang diamati pada masa tua berbeda antara yang berdiferensiasi dan yang

degenerasi.

2.7.2 Bagan perkembangan malai sebelum heading

Inisiasi primordia malai mulai 30 hari sebelum heading ; berhubungan dengan

waktu saat daun ke-4 pada ujung mulai memanjang. Perkembangan malai dan

pertumbuhan dimulai dengan diferensiasi buku leher dan akhir saat tepungsari

(pollen) masak penuh. Total lamanya perkembangan malai beragam dengan varietas

dan cuaca dan berkisar dari 27-46 hari. Lamanya perkembangan malai lebih pendek

pada varietas umur genjah dibanding varietas umur dalam. Dibawah kondisi cuaca

normal dan untuk varietas dengan umur medium, biarpun total lama perkembangan

malai 33 hari.

Page 20: SISTEM SRI PADA BUDIDAYA PADI GUNA MENGHEMAT AIR IRIGASI

14

Tabel 4. Lama tiap tahap perkembangan untuk malai atau gabah.a

Tahap perkembanganb Lama (hari)

1953c 1954d

Tahap diferensiasi buku leher

Peningkatan tahap bracts

Lama diferensiasi bracts

Tahap diferensiasi awal dari cabang rachis primer

Tahap diferensiasi menengah dari cabang rachis primer

Tahap diferensiasi akhir dari cabang rachis primer

Lama tahap diferensiasi awal dari cabang rachis primer

Tahap diferensiasi awal dari cabang rachis sekunder

Tahap diferensiasi akhir dari cabang rachis sekunder

Lama tahap diferensiasi awal dari cabang rachis

sekunder

Tahap permulaan (initial) diferensiasi gabah

Tahap awal diferensiasi gabah

Tahap medium diferensiasi gabah

Tahap akhir diferensiasi gabah

Lama tahap diferensiasi gabah

Tahap diferensiasi sel induk tepung sari

Reduksi tahap pembelahan

Tahap awal pembentukan extine

Tahap pembentukan extine

Tahap awal pematangan tepung sari

Tahap pematangan tepung sari

Total

2.0

1.0

3.0

1.5

2.0

2.2

5.7

1.2

2.0

3.2

1.0

3.0

1.0

4.0

9.0

2.5

2.0

1.2

3.3

2.0

5.5

37.4

2.0

1.0

3.0

1.0

2.0

1.0

4.0

1.0

1.5

2.5

1.0

3.0

1.2

3.2

8.4

1.8

1.8

1.6

2.5

2.0

5.0

32.6

aMatsushima (1970). bGabah yang paling ujung yang digunakan. cCuaca tak lazim. dCuaca normal.

Hasil dari Tabel 4. diperoleh dari kajian padi Japonica. Karena (since) perbedaan

dasar antara japonica dan indica dan pola suhu selama perkembangan malai adalah

sama pada kedua daerah tropis dan iklim sedang. Saat malai muda telah tumbuh

sepanjang ± 1 mm, dapat dilihat dengan mata telanjang (naked eye) atau

menggunakan kaca pembesar. Seorang agronomis untuk menyatakan tahap ini

sebagai primordia malai (panicle initiation) untuk melakukan pemupukan nitrogen

(top dressing). Lama waktu dari primordia malai ke heading sekitar 23 – 25 hari baik

di kedua daerah iklim sedang maupun di tropika.

2.7.3 Cara menentukan tahap perkembangan malai sedang tumbuh

Page 21: SISTEM SRI PADA BUDIDAYA PADI GUNA MENGHEMAT AIR IRIGASI

15

Untuk kajian yang teliti tahap perkembangan malai, sampel diambil dan diuji

dibawah mikroskop. Metode berikut memberikan cara sederhana dimana tahap

perkembangan dapat diidentifikasikan (Matsushima, 1970) :

a. Indeks jumlah daun (Leaf number index). Jika jumlah daun berkembang pada

buluh utama adalah konstan, jumlah daun dapat diambil sebagai pengukur umur

fisiologi tanaman. Ini implikasinya terhadap varietas tak peka fotoperiod dan

terhadap tanaman varietas padi yang sama yang ditanam dibawah kondisi

lingkungan sama.

100berkembang yang daun jumlah total

tertentu waktu pada berkembang yang daun jumlahdaun jumlah Indeks

Bilamana varietas berbeda dapat mempunyai jumlah total daun pada buluh utama

yang berbeda, jumlah daun per se tak dapat digunakan sebagai pengukur fisiologi

tanaman yang dapat diandalkan (reliable) untuk semua varietas. Indeks jumlah

daun mengkoreksi sejumlah varietas. Misalnya, bila varietas dengan 14 daun dan

18 daun telah berkembang 6 daun pada buluh utamanya, indeks jumlah daunnya

adalah berturut-turut 43 dan 33. Indeks jumlah daun terkait dengan tahap

perkembangan malai tumbuh. Hubungan ini dapat dipegang hanya untuk malai

terminal dan untuk varietas 16 daun. Diferensiasi buku leher terjadi jika indeks

jumlah daun sekitar 77, atau jika tanaman telah berkembang 12.3 daun. Tahap

diferensiasi malai datang (muncul) pada indeks jumlah daun sekitar 90, atau saat

tanaman mempunyai 14.4 daun.

Bila suatu varietas mempunyai lebih atau kurang dari 16 daun pada buluh

utamanya, indeks jumlah daunnya harus dikoreksi dari penyimpangan dari 16

sehingga Tabel 5. dapat digunakan untuk varietas sembarang daun. Faktor koreksi

dihitung sebagai :

10

daun jumlah total16daun) jumlah indeks(100(CF)koreksi Faktor

Perhitungan indeks jumlah daun terkoreksi maka menjadi:

Indeks jumlah daun terkoreksi = indeks jumlah daun + CF

Page 22: SISTEM SRI PADA BUDIDAYA PADI GUNA MENGHEMAT AIR IRIGASI

16

Tabel 5. Tahap perkembangan dan ciri morfologi.a

Tahap perkembangan

Ciri morfologi

Indek

jumlah

daun

Keluar daun ke-

n dihitung dari

ujung

Panjang

malai

1. Tahap diferensiasi buku leher

2. Tahap diferensiasi branch

a. Tahap diferensiasi cabang primer

b. Tahap diferensiasi cabang sekunder

3. Tahap diferensiasi malai

a. Tahap awal

b. Tahap medium

c. Tahap akhir (lambat)

4. Tahap diferensiasi sel induk tepung

sari

5. Tahap pembelahan reduksi sel induk

tepung sari

6. Tahap pembentukan extine

7. Tahap pemasakan tepung sari

76-78

80-83

85-86

87

88-90

92

95

97

100

100

Daun ke-4

Daun ke-3

Daun ke-2

Daun bendera

0.5-0.9 mm

1.0-1.5 mm

1.5-3.5 mm

3.5-15.0

mm

1.5-5.0 mm

5.0-20.0

mm

Panjang

penuh

Panjang

penuh aDimodifikasi dari Matsushima (1970).

Teladan:

Total jumlah daun pada buluh utama: 14

Umur tanaman: 12.6 tahap daun

Indeks jumlah daun: 12.6/14 = 90

210

1416)90100()CF(

koreksi Faktor

Indeks jumlah daun terkoreksi = jumlah daun + CF

= 90 + 2 = 92

Indeks jumlah daun dapat diubah ke dalam jumlah daun yang dihitung dari daun

bendera seperti ditunjukkan pada Tabel 5.

Page 23: SISTEM SRI PADA BUDIDAYA PADI GUNA MENGHEMAT AIR IRIGASI

17

b. Panjang malai muda. Malai muda dapat dilihat dengan mata telanjang untuk

pertama kalinya pada tahap awal diferensiasi cabang rachis sekunder. Panjang

malai pada waktu ini ± 0.5-0.9 mm. Tabel 5 menunjukkan hubungan antara

panjang malai dan tahap perkembangan. Malai yang telah tumbuh 1.0 mm telah

memasuki tahap diferensiasi malai. Malai muda biasanya diuji dengan cara

berikut. Dimulai pada ± 30 hari sebelum penentuan pendugaan heading, beberapa

anakan besar dari 2 atau 3 rumpun berukuran sama dipotong dari pangkal

tanaman setiap tiga hari. Bilamana seludang daun yang membungkus buluh

sangat kuat, dengan menggunakan jarum jahit untuk mengupas seludang satu

demi satu. Daun bendera ditemukan sebagai kerucut (cone) putih kecil, dapat

dikuliti (stripped) dengan ujung jarum. Di dalamnya terdapat malai muda. Pada

tahap malai 1 mm (inisiasi malai), malai muda mempunyai rambut dan dengan

mudah dibedakan dari daun. Kaca pembesar membuat pengujian lebih mudah.

Perbedaan antara inisiasi primordia malai dengan tahap inisiasi malai secara

agronomi adalah 7-10 hari.

c. Jarak antara telinga daun bendera dan daun penultimate. Jarak antara telinga

daun bendera dan telinga daun penultimate (daun ke-2) memberikan cara

bermanfaat untuk mengindentifikasi tahap pembelahan reduksi, salah satu tahap

paling rentan (vulnerable) terhadap cekaman lingkungan. Bila telinga daun

bendera telah muncul dari seludang daun dari daun penultimate (daun ke-2) dan

terletak diatas telinga daun penultimate, jarak diberi tanda plus (+). Jika telinga

daun bendera terletak sama tingginya dengan daun penultimate jaraknya diberi

tanda nol (0). Dan jika telinga daun bendera masih di dalam seludang daun

penultimate, jarak diberi tanda minus (-). Sebagian besar tahap pembelahan

reduksi aktif dimulai saat jarak antara telinga adalah –3 cm dan berakhir saat

jaraknya + 10 cm. Dengan kata lain, bila telinga daun bendera muncul dari

seludang daun penultimate, malai mengalami periode pembelahan reduksi paling

aktif.

Page 24: SISTEM SRI PADA BUDIDAYA PADI GUNA MENGHEMAT AIR IRIGASI

18

2.8 Keluar Malai (Heading) dan Keluar Bunga (Antesis)

2.8.1 Morfologi gabah (spikelet)

Gabah dihasilkan pada pedicel, batang (stalk) pendek yang merupakan

perpanjangan (extension) sumbu malai dan cabang primer atau sekunder. Terdapat

dua glume rudimenter pendek pada bagian akhir atas pedicel. Pasangan lemma steril

dan rachilla terletak diantara glume rudimenter dan bulir gabah. Bunga tertutup

dibungkus dalam lemma dan palea, yang keduanya berbulu atau tak berbulu. Bunga

terdiri dari pistil, stamen, dan lodicules. Komponen pistil adalah stigma, styles, dan

ovary. Stigma merupakan plumose, pada dimana butir-butir tepung sari dilepaskan.

Ovary tebal, lembut dan menghasilkan dua styles. Terdapat 6 stamen yang

berkembang baik, tersusun anther dan filamen. Dua kecil, oval, tebal, dan tubuh

berdaging, yang disebut lodicules, terletak pada pangkal ovary. Lodicules menjadi

digelembungkan oleh air dan membantu memisahkan lemma dan palea pada

pembungaan.

2.8.2 Keluar malai (heading)

Setelah daun bendera muncul sekitar 18 hari sebelum heading, malai tumbuh

cepat dan bergerak keatas dalam seludang daun bendera seperti internodia yang

memanjang. sekitar 6 hari sebelum heading, seludang daun bendera menebal-suatu

pertanda bahwa malai terbungkus, 6 hari tersebut disebut tahap booting (bunting).

Pemanjangan internodia kedua dari ujung atas (top) selesai dalam 1 atau 2 hari

sebelum heading. Maka internodia paling ujung memanjang cepat dan mendorong

keatas malai. Konsekuensinya, keluarnya malai dari seludang daun bendera.

Heading berarti keluarnya (exsertion) malai. Secara umum keluarnya malai cepat

dan sempurna pada padi japonica, tetapi lambat dan tak sempurna pada padi indica.

Suhu rendah memperburuk (aggravate) keluarnya malai jelek. Dalam suatu tanaman,

beberapa anakan biasanya heading lebih awal dari tajuk utamanya. Penentuan

heading yang berbeda tidak hanya dalam tanaman tetapi juga diantara tanaman dalam

Page 25: SISTEM SRI PADA BUDIDAYA PADI GUNA MENGHEMAT AIR IRIGASI

19

sawah yang sama. Biasanya butuh 10-14 hari untuk semua tanaman di sawah

menyelesaikan heading. Untuk waktu yang baik (convenience), penentuan heading

didefinisikan sebagai waktu 50% malai telah keluar (exserted).

2.8.3 Pembungaan (flowering)

Anthesis menyatakan serangkaian kejadian antara membuka dan menutup

gabah, paling lambat 1-2.5 jam. Pada awal anthesis, bagian ujung lemma dan palea

mulai membuka, filaments memanjang, dan anther mulai menembus dari lemma dan

palea. Sehingga gabah membuka lebih lebar,ujung stigma dapat menjadi kelihatan.

Filamen memanjang lebih jauh membawa anther keluar lemma dan palea. Gabah

kemudian menutup meninggalkan anther diluar. Degenerasi anther biasanya terjadi

dekat sebelum atau saat lemma dan palea membuka, konsekuensinya banyak butiran

tepung sari jatuh ke stigma. Untuk alasan ini padi sebagai tanaman menyerbuk sendiri

(self-pollinated). Bila filament memanjang jauh, anther terletak dekat diatas atau

jatuh diatas bibir lemma dan palea, dan butiran tepung sari dilepaskan ke udara.

Butiran tepung sari dapat tertiup angin menuju stigma malai lain. Bilamana serbuk

sendiri lebih dahulu (precede) serbuk silang, persentase yang terakhir biasanya

kurang dari 1. Butiran tepung sari dapat hidup (viable) hanya selama 5 menit setelah

berkecambah dari anther dimana stigma dapat dibuahi (serbuki) selama 3-7 hari.

Butiran tepung sari lebih peka terhadap suhu tinggi dibandingkan stigma. Bila

diperlakukan dengan air panas pada 43°C selama 7 menit, akan kehilangan

viabilitasnya. Stigma tetap aktif dibawah kondisi yang sama. Perbedaan tanggap

terhadap suhu tinggi digunakan untuk kastrasi (emasculation) dalam hibridisasi. Bila

bagian dari malai telah menembus, anthesis akan terjadi, dimulai dengan gabah pada

ujung cabang malai atas. Kemudian penentuan anthesis akan sama dengan penentuan

heading. Penentuan anthesis gabah tunggal beragam dengan posisi gabah dalam malai

yang sama. Gabah pada cabang atas mempunyai anthesis lebih awal dari cabang

bawah; dalam suatu cabang gabah pada ujung berbunga pertama kali. Butuh 7-10 hari

untuk semua gabah dalam malai yang sama untuk menyelesaikan anthesis; sebagian

besar gabah menyelesaikan anthesis dalam 5 hari. Dalam sawah yang sama butuh 10-

Page 26: SISTEM SRI PADA BUDIDAYA PADI GUNA MENGHEMAT AIR IRIGASI

20

14 hari untuk menyelesaikan heading sebab penembusan malai beragam dalam

anakan pada tanaman yang sama dan diantara tanaman dalam sawah yang sama. Oleh

karena itu, butuh 15-20 hari untuk semua malai tanaman menyelesaikan anthesis.

Waktu hari saat anthesis terjadi beragam dengan kondisi cuaca. Dibawah cuaca

normal di tropika sebagian besar varietas padi (O. sativa) mulai anthesis sekitar 08.00

dan berakhir jam 13.00. Bila suhu rendah, anthesis dimulai akhir pagi hari dan

berlanjut akhir siang hari. Pada musim hujan, penyerbukan dapat terjadi tanpa

membukanya lemma dan palea. Terdapat perbedaan jelas anthesis antara O. sativa

dengan O. glaberrimus. Misalnya, pada jam 09.00, ± 60% gabah O. glaberrimus

berbunga tetapi < 5% O. sativa yang telah anthesis (galur IR dan Speed 70). Tabung

tepung sari mulai memanjang setelah berkecambah. Pembuahan secara normal selesai

5-6 jam setelah anthesis; kemudian ovary yang dibuahi berkembang menjadi beras

coklat (brown rice).

2.8.4 Pemasakan (ripening) dan senesen

Periode pemasakan dicirikan oleh pertumbuhan bulir-meningkatnya bobot dan

ukuran, perubahan warna bulir, dan senesen daun. Pada tahap awal pemasakan, bulir

hijau; berubah (turn) kuning manakala menua. Tekstur bulir berubah dari susu,

tingkat setengah cair (semifluid) ke padat yang keras. Berdasar sejumlah perubahan

periode pemasakan dipilahkan menjadi tahap: masak susu (milk), masak adonan

(dough), masak kuning (yellow ripe), dan tahap tua (maturity). Sebelum heading,

sejumlah besar (considerable) pati dan gula mengumpul dalam buluh dan seludang

daun. Karbohidrat yang terakumulasi ini dianngkut ke bulir selama pemasakan.

Senesen daun dimulai dari daun sebelah bawah dan meluas ke atas sebagai menuanya

tanaman. Senesen daun lebih cepat pada padi indica daripada japonica dan di daerah

panas dibanding daerah dingin. Di daerah dingin daun tetap hijau bahka saat tua.

Hubungan antara laju senesen daun dan pengisian adalah rumit (kompleks). Dalam

beberapa kasus, senesen daun lebih cepat akibat dari translokasi karbohidariat dan

protein dari daun ke bulir yang lebih cepat, yang kemudian dikaitkan dengan

Page 27: SISTEM SRI PADA BUDIDAYA PADI GUNA MENGHEMAT AIR IRIGASI

21

pengisian bulir lebih cepat. Dalam kasus lain, senesen daun lebih cepat menunjukkan

cuaca atau kondisi tanah yang tak menguntungkan.

2.9 Teknik Budidaya

2.9.1 Budidaya Padi dengan Cara Konvensional

Secara prinsip, tahapan penanaman budidaya padi cara konvensional dan SRI

adalah sama. Demikian pula varietas yang digunakan pada umumnya sesuai dengan

anjuran seperti yang dilepas oleh Departemen Pertanian, seperti Ciherang atau IR 64

atau yang lainnya (Badan Litbang Pertanian, 2007). Apabila kedua cara tanam

tersebut dibandingkan, terdapat modifikasi dari cara tanam padi SRI dibandingkan

dengan cara konvensional. Modifikasi dilakukan berturut-turut terhadap umur pindah

bibit, jumlah bibit yang ditanam, jenis pupuk, dan cara pemberian air irigasi.

Tahapan penanaman padi secara garis besar dimulai dengan pengolahan

tanah, persemaian, pemupukan dan penanaman, pengairan, penyiangan gulma,

pengendalian hama dan penyakit dan terakhir adalah pemanenan. Prinsip-prinsip

budidayanya berturut-turut adalah sebagai berikut:

1) Tanah diolah sampai mencapai pelumpuran sempurna (Andi dkk., 2008 ).

2) Benih disemai sampai berumur 21-25 hari, sebelum dipindah ke lapangan (Andi

dkk., 2008)

3) Jumlah bibit antara 3-5 batang per lubang (Andi dkk., 2008).

4) Pupuk dasar diberikan 100 kg/ha masing-masing untuk urea, SP 36 dan KCl.

Pupuk susulan pertama diberikan urea 100 kg/ha pada umur 2 minggu setelah tanam,

dan pupuk susulan kedua diberikan urea dan KCl masing-masing 100 kg/ha pada

umur 5 minggu setelah tanam (Andi dkk., 2008).

5) Pemberian air dilakukan dengan penggenangan, berturut-turut 3-5 cm sampai

tanaman berumur 30 hari, tinggi genangan ditingkatkan menjadi 5-10 cm mengikuti

tinggi tanaman di lapangan. Pengeringan dilakukan menjelang penyiangan dan

Page 28: SISTEM SRI PADA BUDIDAYA PADI GUNA MENGHEMAT AIR IRIGASI

22

pemupukan susulan, serta memasuki fase pemasakan (Tomar dan O’Toole, 1979

dalam Pasandaran, 1985).

6) Pengendalian hama dan penyakit dengan pestisida mengikuti kondisi lapangan.

7) panen dilakukan setelah daun-daun tanaman menguning, gabah telah mengeras

pada kadar air sekitar 25 %.

Hasil-hasil penelitian budidaya padi di Bali, belakangan ini menunjukkan

hasil panen gabah berkisar antara 6-7 ton/ha gabah kering giling (GKG) (Badan

Litbang Pertanian., 2007).

2.9.2 Budidaya Padi dengan SRI

Upaya dalam meningkatkan pendapatan petani yang dilakukan adalah

teknologi penataan tanaman padi melalui Metode SRI (System of Rice

Intensification). Metode SRI merupakan teknologi pertanian berkelanjutan yang

menguntungkan petani karena memberikan hasil produksi yang lebih tinggi. Sistem

SRI terjadi penghematan penggunaan air sampai dengan 50% dan kebutuhan input

pupuk dan pestisida kimia juga lebih sedikit disbanding dengan cara konvensional.

Metode SRI juga memberikan keuntungan bagi lingkungan hidup melalui perbaikan

mutu tanah sebagai dampak pemakaian pupuk kimia (Ahmadi, 2006).

Metode SRI mempergunakan jarak tanam yang lebih lebar untuk penyerapan

unsure hara oleh akar tanaman, disamping itu sinar matahari yang masuk dan diserap

oleh tanaman juga lebih banyak sehingga pertumbuhan tanaman akan menjadi lebih

baik. Tidak hanya itu saja, dengan pengaturan jarak tanam yang lebih renggang,

serangan hama dan penyakit menjadi berkurang.

Untuk pemakaian bibit pada Metode SRI, jumlah bibit yang dipergunakan

akan dikurangi 5-10 kali lipat dibandingkan dengan cara tanam yang konvensional

dan umur bibit yang digunakan lebih muda sehingga hasil yang diperoleh baik jumlah

tangkai produktif, jumlah bulir padi per malai, dan berat butir meningkat tajam (lihat

Tabel 1). Petani Madagaskar telah membuktikan bahwa dengan Metode SRI mampu

meningkatkan hasil panen sebanyak 6 – 10 ton per hektar, sedangkan di beberapa

wilayah di Indonesia seperti Indramayu dan Ciamis (Jawa Barat) tercatat dengan

Page 29: SISTEM SRI PADA BUDIDAYA PADI GUNA MENGHEMAT AIR IRIGASI

23

Metode SRI telah dapat meningkatkan hasil dari 5,6 ton/ha menjadi 9,5 ton/ha

(Ahmadi, 2006).

Prinsip-prinsip budidaya padi SRI yang telah dirumuskan oleh para peneliti

berturut-turut adalah: tanam bibit umur muda 12-15 hari setelah sebar, satu bibit per

lubang pada jarak 25 cm x 25 cm atau lebih. Pengairan dikelola secara macak-macak

yang diselingi dengan pengeringan untuk menciptakan suasana aerob pada daerah

perakaran. Pengendalian gulma dianjurkan menggunakan alat weeder yang sekaligus

dapat menggemburkan tanah. Dianjurkan menambahkan pupuk kompos, selain pupuk

mineral dengan maksud untuk menambah kandungan hara tanah, meningkatkan

aktivitas mikroba tanah, dan mempertahankan kelembaban tanah (Satyanarayana et

al., 2006; Uphoff, 2007; Thakur, 2010 ).

Hasil penelitian padi SRI yang dilaporkan oleh Tim Peneliti UGM (2005)

disimpulkan bahwa produktivitas padi dapat ditingkatkan lebih dari 25 %, dari rata-

rata hasil padi 6,20 ton/ha menjadi 7,90 ton ha. Sebaliknya, pemakaian air irigasi

dapat dihemat antara 30-40 % dari kebutuhan biasanya. Keunggulan lainnya dari

budidaya padi SRI ini adalah dapat mengurangi kebutuhan benih. Namun demikian,

diakui implementasi ke petani masih membutuhkan waktu karena terdapat perbedaan

cara tanam dari biasanya.

Page 30: SISTEM SRI PADA BUDIDAYA PADI GUNA MENGHEMAT AIR IRIGASI

24

III Metodelogi Penelitian

Pemberian air irigasi macak-macak dan membiarkannya kering hingga tanah

pecah-pecah, berarti memberikan kesempatan pertukaran gas oksigen terjadi di dalam

tanah, khususnya daerah perakaran.. Tujuannya adalah untuk menyediakan kondisi

lingkungan akar tanaman menjadi lebih sehat, dengan indikator bobot akar lebih

tinggi serta persebarannya lebih luas. Jadi penekanannya adalah menyediakan

lingkungan perakaran yang subur. Dengan pertumbuhan perakaran yang lebih

intensif, diharapkan dapat mendukung pertumbuhan bagian atasnya. Indikatornya

adalah jumlah anakan dan malai per rumpun lebih tinggi.

Pertumbuhan akar tanaman yang lebih bagus, mendukung pertumbuhan

tanaman bagian atas juga menjadi lebih bagus misalnya pertumbuhan bagian vegetatif

dan reproduktif tanaman. Pada akhirnya, hasil panen tanaman menjadi lebih tinggi.

Indikatornya adalah bobot total bahan kering oven dan bobot gabah kering oven lebih

tinggi. Diagram alir budidaya padi sistem perakaran aerobik dapat dilihat pada

Gambar 1.

Gambar 1. Diagram Alir Pengaruh Sistem Perakaran Aerobik terhadap Pertumbuhan

Akar, Bagian Vegetatif dan Reproduktif Tanaman

Penelitian dilaksanakan melalui kajian pustaka, laporan-laporan penelitian

yang telah dipublikasikan, serta sumber-sumber informasi dari media elektronik.

Informasi atau data empiris hasil penelitian yang didapat ditinjau dan diulas melalui

kajian teoritis. Hasil dari penelitian ini adalah berupa penjelasan deskriptif serta

Irigasi macak-macak

Perakaran aerobik Pertumbuhan baik Irigasi tergenang

Perakaran anaerobik Pertumbuhan kurang

Page 31: SISTEM SRI PADA BUDIDAYA PADI GUNA MENGHEMAT AIR IRIGASI

25

simpulan yang didapat merupakan dugaan sementara atau hipotesis yang

kebenarannya perlu diuji kembali di lapangan.

Page 32: SISTEM SRI PADA BUDIDAYA PADI GUNA MENGHEMAT AIR IRIGASI

26

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Pembahasan tentang tiga dimensi mengkaitkan upaya menghemat pemakaian

air irigasi pada budidaya padi dalam perspektif pembangunan pertanian berkelanjutan

menggunakan beberapa data yang dipublikasi. Dimensi yang dibahas berturut-turut

mencakup dimensi ekonomi, sosial, dan lingkungan.

4.1 Dimensi Ekonomi

Data yang ditampilkan merupakan hasil penelitian yang dikerjakan Tim

Peneliti Fakultas Pertanian Universitas Udayana. Data pertumbuhan dan hasil padi

masing-masing perlakuan ditampilkan pada Tabel 2.

Penelitian yang dilaksanakan dengan tujuan untuk memperbaiki lingkungan

perakaran tanaman dengan cara memberikan air macak-macak yang diselingi dengan

pengeringan, secara umum belum menunjukkan perbedaan yang jelas dibandingkan

dengan anaerob. Hampir semua variabel pertumbuhan dan hasil padi berbeda tidak

nyata dengan budidaya anaerob, kecuali jumlah anakan maksimum (Tabel 2).

Tabel 2. Pertumbuhan dan hasil padi yang diperlakukan secara aerob dan anaerob

pada daerah perakarannya (Santosa dkk., 2010).

Variabel tanaman unit Perlakuan aerob Perlakuan anaerob

Tinggi maksimum cm 88,95 a 98,50 a

Anakan maksimum batang 26,25 a 17,50 b

Gabah berisi % 88,03 a 86,87 a

Bobot 1000 butir gabah g 38,48 a 37,33 a

Indeks batang-akar 3,08 a 3,90 a

Indeks panen 0,42 a 0,41 a

Hasil panen kw/ha GKG 10,99 a 10,27 a

Keterangan: Hasil analisis statistika menunjukkan nilai berbeda tidak nyata,

kecuali terhadap jumlah anakan maksimum per rumpun dengan uji BNT pada α 0,05.

Page 33: SISTEM SRI PADA BUDIDAYA PADI GUNA MENGHEMAT AIR IRIGASI

27

Data yang lebih meyakinkan diperoleh Tim Peneliti Fakultas Pertanian

Universitas Bengkulu (Tabel 3).

Tabel 3. Pertumbuhan dan hasil padi yang diperlakukan secara aerob dan anaerob

pada daerah perakarannya (Sumardi dkk., 2007).

Variabel tanaman unit Perlakuan aerob Perlakuan anaerob

Tinggi maksimum cm 95,16 a 91,76 b

Anakan maksimum batang 48,92 a 47,61 b

Anakan produktif % 86,29 a 79,64 b

Bobot akar kering oven g 19,29 a 15,27 b Bobot jerami kering oven g 89,04 a 72,70 b

Produktivitas air (lt per kg gabah) 589,11 b 825,38 a

EPA % 19,58 a 10,91 b

Keterangan: Hasil analisis statistika menunjukkan nilai berbeda nyata dengan

uji BNT pada α 0,05.

Berdasarkan perbandingan data pada Tabel 2 dan 3, dapat dijelaskan bahwa

upaya meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman padi belum dapat dicapai.

Namun demikian, respons peningkatan jumlah anakan per rumpun dan respons

pertumbuhan akar telah terjadi, meskipun terhadap hasil panen belum terjadi (Tabel,

2). Sebaliknya, data pada Tabel 3 menunjukkan respons pertumbuhan tanaman yang

cukup tegas. Namun demikian, informasi terhadap hasil panen tidak ditampilkan.

Terlepas dari perbedaan hasil penelitian yang didapat, pertanyaan terhadap

bagaimana cara penentuan pemberian air kembali atau apa yang dipakai sebagai

standar untuk memberikan air kembali pada pemberian air macak-macak belum

terjelaskan. Artinya, dibutuhkan suatu model penelitian awal yang mampu

memberikan jawaban tentang proses penurunan tingkat kelembaban tanah serta

statusnya dalam kaitan dengan pertumbuhan tanaman. Set penelitian tambahan lain

dibutuhkan untuk mempelajari bagaimana respons pertumbuhan anakan tanaman

dalam hubungannya dengan kelembaban tanah. Untuk kebutuhan pelaksanaan

Page 34: SISTEM SRI PADA BUDIDAYA PADI GUNA MENGHEMAT AIR IRIGASI

28

penelitian demikian dibutuhkan seperangkat peralatan untuk membantu pengukuran

variabel yang akurat.

Berdasarkan data yang ditampilkan pada Tabel 3, dapat dilihat bahwa

pertumbuhan padi dapat diperbaiki melalui pemberian air macak-macak yang

diselingi pengeringan. Selain itu, kebutuhan air untuk menghasilkan satu kg gabah

dapat ditekan dari 825,38 liter menjadi 589,11 liter atau efisiensi pemakaian air dapat

ditingkatkan. Walaupun data yang ditampilkan kurang meyakinkan, tetapi terdapat

informasi yang memperlihatkan bahwa produktivitas budidaya padi SRI lebih tinggi

dibandingkan padi konvensional. Hasil panen padi SRI di Sumatera Barat tahun

2008, mencapai 9 ton/ha GKP, lebih tinggi 44,44 % dari padi konvensional 5 ton/ha

(Fawzia, 2008). Selanjutnya, dalam analisis usahatani padi SRI, diperoleh nilai R/C

sebesar 1,77 dengan pendapatan perhektar Rp. 9,25 juta. Berdasarkan perkembangan

variasi hasil uji coba lapangan budidaya padi SRI, terdapat indikasi adanya

tamabahan produktivitas dan meningkat secara ekonomi.

4.2 Dimensi kehidupan sosial

Diterimanya budidaya padi SRI di berbagai daerah dapat dilihat dari

munculnya kelompok-kelompok tani yang menerapkan budidaya padi hemat air. Di

Jawa Barat terdapat Kelompok Tani Lestari dan Sinar Mukti di Kabupaten Tasik

Malaya. Pengalaman di Bali, keberhasilan uji coba padi SRI sampai saat ini belum

mampu menarik minat para petani seperti di daerah lainnya. Terdapat beberapa

kendala yang masih perlu diperbaiki diantaranya tanam bibit umur muda yang kurang

ergonomis, membutuhkan alat tanam (seeder), pertumbuhan gulma yang intensif

terutama pada umur padi kurang dari sebulan, membutuhkan alat weeder. Selain itu,

peningkatan alokasi waktu dalam pemeliharaan padi menjadi kendala bagi sebagian

petani yang bekerja paruh waktu di luar sektor pertanian. Meskipun demikian, dalam

jangka panjang melalui perbaikan metode pemeliharaan tanaman dengan mekanisasi

diduga akan dapat diterima oleh petani.

Page 35: SISTEM SRI PADA BUDIDAYA PADI GUNA MENGHEMAT AIR IRIGASI

29

4.3 Dimensi lingkungan

Dimensi lingkungan pada budidaya padi SRI, khususnya dalam menghemat

pemakaian air irigasi secara nyata mampu ditingkatkan dalam kisaran 10-40 %.

Selain itu, dengan diterapkannya konsep pemupukan berimbang, pemupukan organik,

dan pengendalian hama terpadu (PHT) adalah konsep yang berusaha memperbaiki

kondisi lingkungan pertumbuhan tanaman padi.

Page 36: SISTEM SRI PADA BUDIDAYA PADI GUNA MENGHEMAT AIR IRIGASI

30

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

1. Sistem SRI pada budidaya tanaman padi melalui pemberian air macak-macak

yang diselingi pengeringan dapat meningkatkan efisiensi pemakaian air antara

10-40 %.

2. Terdapat kelompok-kelompok tani yang mau menerapkan budidaya padi SRI

seperti di Jawa Barat.

3. Produktivitas padi SRI dapat ditingkatkan sebesar 44,44 %, dari 5 menjadi 9

ton/ha, hal ini dapat dilihat dari nilai ekonomi, R/C ratio dicapai sebesar 1,77 %

dan pendapatan sebesar Rp. 9,25 juta.

5.2 Saran

1. Sistem SRI perlu diterapkan pada budidaya tanaman padi untuk mempelajari

hubungan antara kelembaban tanah dengan tanaman, dibutuhkan

serangkaian penelitian yang membutuhkan alat-alat ukur laboratorium yang

memadai seperti hygrometer.

2. Manfaat dari hasil penelitian Sistem SRI, dapat digunakan dalam

perencanaan pola tanam dan tata tanam bagi wilayah irigasi yang

mempunyai bangunan penampungan air atau waduk.

Page 37: SISTEM SRI PADA BUDIDAYA PADI GUNA MENGHEMAT AIR IRIGASI

31

DAFTAR PUSTAKA

Anas, I. 2008. Status SRI in Indonesia. http://sri-india.110mb.com

/documents/3rd_symposium_ppts/INDONESIA.pdf.

Andi, Y.F., M.D. Mario, R.H. Anasiru, A. Zubair dan Y. Antu. 2008. Petunjuk

Teknis Budidaya Padi Hibrida. Departemen Pertanian.Balai Pengkajian

Teknologi Pertanian Gorontalo. www.gorontalo.litbang.deptan.go.id.

Badan Litbang Pertanian, 2007. Varietas unggul padi sawah.1943-2007. Informasi

Ringkas Teknologi padi. www.litbang.deptan.go.id.

Boer, R.2003. Fenomena Enso dan Hubungannya dengan Keragaman Hujan di

Indonesia. Materi Pelatihan Agroklimatologi. Tidak dipublikasi.

Hanks, R.J. and G.L. Ashcroft. 1980. Applied Soil Physics. Soil Water and

Temperature Applications. New York: Springer-Verlag.

Hansen, V.E, O.W. Israelsen and G.E. Stringham.1986. Dasar-dasar dan Praktek

Irigasi. Edisi IV. Jakarta: Erlangga.

Pasandaran, E.1985. Irigasi. Perencanaan dan Pengelolaan.PT. Gramedia Jakarta.

Pasandaran, E. 2006. Alternatif kebijakan pengendalian konversi lahan sawah

beririgasi di Indonesia.Jurnal Litbang Pertanian.25 (4):123-129.

Reijntjes, C., B. Haverkort and A.W. Bayer. 1999. Pertanian Masa Depan.

Pengantar untuk Pertanian Berkelanjutan dengan Input Luar

Rendah.Yogyakarta: Kanisius.

Santosa, IGN., G.M. Adnyana, IKK. Dinata dan IGA. Gunadi. 2010. Dampak Alih

Fungsi Lahan Sawah terhadap Pemanfaatan Sumberdaya Air untuk

Menunjang Ketahanan Pangan. Bumi Lestari. Jurnal Lingkungan Hidup.

10(2): 208-214.

Satyanarayana, A., T.M. Thiyagarajan and N. Uphoff. 2006.Opportunities for water

saving with higher yield from the system of rice intensification.

Irrig.Sci.(2007)25:99-119.

Sumardi, Kasli, M. Kasim, A. Syarif dan N. Akhir. 2007. Respon padi sawah pada

budidaya secara aerobik dan pemberian bahan organik. Jurnal Akta Agrosia.

10(1): 65-71.

Page 38: SISTEM SRI PADA BUDIDAYA PADI GUNA MENGHEMAT AIR IRIGASI

32

Syarief, S.1989. Fisika-Kimia Tanah Pertanian. Bandung: Pustaka Buana.

Taylor, H.M., W.R. Jordan and T.R. Sinclair. 1983. Limitation to Efficient Water Use

in Crop Production. Wisconsin: ASA.

Thakur, A.K. 2010. Critiquing SRI criticsm: beyond sceptism with empiricsm.

Current Science. 98 (10):1294-1299.

UGM, 2005. UGM Kembangkan SRI sebagai Budidaya Padi Hemat Air, Benih dan

Pupuk yang Ramah Lingkungan.

http://www.ugm.ac.id/index.php?page=rilis&artikel=1619

Uphoff, N.2007. Agroecological Alternatives: Capitalising on Existing Genetic

Potentials. Journal of Development Studies.43 (1): 218-236.