SISTEM PRESIDENSIAL DAN DINAMIKA HUBUNGAN EKSEKUTIF ...
Transcript of SISTEM PRESIDENSIAL DAN DINAMIKA HUBUNGAN EKSEKUTIF ...
SISTEM PRESIDENSIAL DAN
DINAMIKA HUBUNGAN EKSEKUTIF-LEGISLATIF
Studi Perbandingan Sistem Pemerintahan di Indonesia
di Era Reformasi dan Turki Pasca Referendum 2017
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Disusun oleh:
Mohammad Naufal Eprillian Salsabil
NIM: 11151120000063
PROGRAM STUDI ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019
i
SISTEM PRESIDENSIAL DAN
DINAMIKA HUBUNGAN EKSEKUTIF-LEGISLATIF
Studi Perbandingan Sistem Pemerintahan di Indonesia di Era
Reformasi dan Turki Pasca Referendum 2017
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh:
Mohammad Naufal Eprillian Salsabil
11151120000063
Pembimbing,
Dr. Ali Munhanif, M.A
NIP : 196512121992031004
PROGRAM STUDI ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019
ii
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME
Skripsi yang berjudul :
SISTEM PRESIDENSIAL DAN
DINAMIKA HUBUNGAN EKSEKUTIF-LEGISLATIF
Studi Perbandingan Sistem Pemerintahan di Indonesia di Era
Reformasi dan Turki Pasca Referendum 2017
1. Merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penelitian ini sudah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan hasil karya asli
saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya kemudian
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 23 September 2019
Mohammad Naufal Eprillian Salsabil
iii
PERSETUJUAN PEMBIMBING SRIPSI
Dengan ini, pembimbing skripsi menyatakan bahwa mahasiswa:
Nama : Mohammad Naufal Eprillian Salsabil
NIM : 11151120000063
Program Studi : Ilmu Politik
Telah menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul:
SISTEM PRESIDENSIAL DAN DINAMIKA HUBUNGAN EKSEKUTIF-
LEGISLATIF STUDI PERBANDINGAN SISTEM PEMERINTAHAN DI
ERA REFORMASI DAN TURKI PASCA REFERENDUM 2017
dan telah diujikan dalam sidang skripsi
Jakarta, 14 Oktober 2019
Mengetahui Mengetahui
Ketua Program Studi Pembimbing
Dr. Iding Rasyidin, M.Si Dr. Ali Munhanif, M.A
NIP. 197010132005011003 NIP. 196512121992031004
iv
LEMBAR PENGESAHAN TIM PENGUJI SKRIPSI
SKRIPSI
SISTEM PRESIDENSIAL DAN
DINAMIKA HUBUNGAN EKSEKUTIF-LEGISLATIF
Studi Perbandingan Sistem Pemerintahan di Indonesia di Era
Reformasi dan Turki Pasca Referendum 2017
Oleh
Mohammad Naufal Eprillian Salsabil
11151120000063
Telah dipertahankan dalam sidang ujian skripsi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal
14 Oktober 2019 Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh
gelar Sarjana Sosial (S.Sos) pada Program Studi Ilmu Politik.
Ketua, Sekretaris,
Dr. Iding Rasyidin, M.Si Suryani, M.Si
NIP. 197010132005011003 NIP. 197704242007102003
Penguji I Penguji II
Dr. Sirojuddin Aly, M.A. Dr. Shobahussurur, M.Ag
NIP: 195406052001121001 NIP. 196411301998031001
Diterima dan dinyatakan memenuhi syarat kelulusan pada tanggal 14 Oktober 2019.
Ketua Program Studi
FISIP UIN Jakarta
Dr. Iding Rasyidin, M.Si
NIP. 197010132005011003
v
ABSTRAK
MOHAMMAD NAUFAL EPRILLIAN SALSABIL
SISTEM PRESIDENSIAL DAN DINAMIKA HUBUNGAN EKSEKUTIF-
LEGISLATIF Studi Perbandingan Sistem Pemerintahan Indonesia di Era
Reformasi dan Turki Pasca Referendum 2017
Skripsi ini membahas mengenai perbandingan politik: sistem
presidensial antara Indonesia dengan Turki. Indonesia dan Turki memiliki
sejarah yang panjang mengenai bentuk pemerintahan. Indonesia yang pada
masa lalu berada di bawah pemerintahan kolonial beberapa negara Eropa
mulai dari Portugal, Belanda, Inggris dan yang terakhir adalah Jepang.
Setelah Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, Indonesia menerapkan
pemerintahan sistem presidensial hingga pada 17 Agustus 1950 Indonesia
merubah sistem pemerintahan menjadi parlementer dan kembali lagi menjadi
sistem presidensial setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 hingga saat ini. Turki
juga memiliki sejarah panjang mengenai bentuk pemerintahan mulai dari
berdiri pada 1923 yang menggunakan sistem pemerintahan parlementer lalu
berganti menjadi sistem parlementer pada 2017. Tujuan dari penelitian ini
adalah untuk mengetahui bagaimana proses sistem presidensial di Indonesia
pada era Reformasi dan Turki pasca Referendum Konstitusi 2017.
Penelitian ini menggunakan teori sistem presidensial, perbandingan
politik, kekuasaan dan hubungan eksekutif dengan legislatif, dan partai
politik dalam sistem presidensial. Penelitian ini menggunakan metode
pendekatan kualitatif untuk dapat meneliti lebih dalam dan lebih terarah
mengenai perbandingan sistem presidensial di Indonesia dan Turki.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa praktik sistem presidensial
di Indonesia dan Turki berbeda. Praktik sistem presidensial di Indonesia
masih dipengaruhi oleh kekuatan partai politik dalam dua kasus. Sedangkan
di Turki, praktik sistem presidensial dipengaruhi oleh kekuatan eksekutif dan
kesolidan partai koalisi.
Kata Kunci: Indonesia, Turki, Sistem Presidensial, Perbandingan.
vi
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi yang berjudul: “Sistem Presidensial Dan Dinamika Hubungan Eksekutif-
Legislatif Studi Perbandingan Sistem Pemerintahan Indonesia di Era Reformasi
dan Turki Pasca Referendum 2017”. Selama penyusunan skripsi ini, penulis
mengalami berbagai kesulitan dan hambatan, namun berkat dukungan dan
doa dari mereka yang terlibat dalam penulisan skripsi ini. Alhamdulillah
skripsi ini dapat diselesaikan. Dan karenanya, pada kesempatan kali ini
penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada beberapa orang yang telah
berjasa dalam penyusunan skripsi ini, yakni:
1. Ibu Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, M.A selaku Rektor
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Dr. Ali Munhanif, M.A selaku Dekan dan Dosen Pembimbing
Skripsi saya yang telah membimbing, mengarahkan dan meluangkan
waktunya selama proses penyusunan skripsi.
3. Bapak Dr. Ahmad Bakir Ihsan, M.Si selaku Wakil Dekan Bidang
Akademik dan dosen seminar proposal skripsi Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Bapak Dr. Agus Nugraha, M.A selaku dosen Pembimbing Akademik yang
telah membantu dan mengarahkan saya dalam pengerjaan skripsi.
vii
5. Bapak dan Ibu seluruh dosen Jurusan Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial
dan Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Kedua orang tua saya Bapak Dede Apih Hurni dan Ibu Yunita Permata
Ikawati dan adik-adik saya Siti Nadhifah Eprillia Salsabila dan
Mohammad Haudialwan Zakiya.
7. Kedua nenek saya Mbah Ika Mudrikah dan Nien Tjitjih Sukaesih yang
sudah mendukung pembuatan skripsi.
8. Bapak Rudy Alfonso yang sudah bersedia meluangkan waktunya untuk
diwawancara sebagai narasumber.
9. Seluruh teman-teman kelas Polbe yang sudah belajar bersama selama
empat tahun.
10. Bapak Acang, Bapak Nursiwan, Bapak Ridwan, Bapak Wakit, Ibu Farida
dan Ibu Sariyati.
Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua orang
yang terlibat membantu dalam proses pengerjaan skripsi. Tanpa bantuan
mereka yang terlibat, tentu tidak akan mudah mengerjakan skripsi ini.
Jakarta, 2019
Mohammad Naufal Eprillian Salsabil
Nim : 11151120000063
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR JUDUL .......................................................................................... i
LEMBAR PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ............................... ii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ............................. iii
PENGESAHAN TIM PENGUJI SKRIPSI ................................................. iv
ABSTRAK ...................................................................................................... v
KATA PENGANTAR .................................................................................... vi
DAFTAR ISI ................................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah................................................................. 1
B. Pertanyaan Penelitian ...................................................... 10
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................ 10
1. Tujuan Penelitian ...................................................... 10
2. Manfaat Penelitian..................................................... 11
D. Tinjauan Pustaka ........................................................... 11
E. Metode Penelitian ........................................................... 16
1. Pendekatan Penelitian ................................................ 16
2. Teknik Pengumpulan Data ......................................... 17
3. Teknik Analisis Data ................................................. 17
F. Sistematika Penulisan .................................................... 18
ix
BAB II KERANGKA TEORETIS
A. Teori Sistem Presidensial ............................................... 20
B. Perbandingan Politik dan Pemerintahan.......................... 26
C. Hubungan Eksekutif dan Legislatif ................................. 30
D. Partai Politik Dalam Presidensialisme ............................ 33
BAB III PERJALANAN SISTEM PRESIDENSIAL DI INDONESIA
DAN TURKI
A. Sistem Presidensial di Indonesia ..................................... 39
1. Era Orde Lama .......................................................... 39
2. Era Orde Baru ........................................................... 50
3. Era Reformasi ........................................................... 53
B. Sistem Presidensial di Turki ........................................... 59
1. Era Mustafa Kemal Ataturk ....................................... 59
2. Era Multi Partai ......................................................... 61
BAB IV ANALISA PERBANDINGAN SISTEM PRESIDENSIA-
LISME DI INDONESIA DAN TURKI
A. Sistem Presidensial di Indonesia ..................................... 71
1. Kekuasaan Presiden Indonesia ................................... 71
2. Kekuasaan Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia................................................................... 73
3. Penunjukkan Para Menteri di Era Kabinet Kerja
2014-2019 ................................................................. 75
x
4. Hubungan Presiden dengan DPR RI ........................... 78
B. Sistem Presidensial di Turki ............................................ 85
1. Kekuasaan Presiden Turki ......................................... 85
2. Kekuasaan Parlemen Turki ........................................ 86
3. Pemilihan Menteri oleh Presiden................................ 88
4. Hubungan Presiden dengan Majelis Agung Nasional
Turki ......................................................................... 89
C. Perbandingan: Persamaan dan Perbedaan Pelaksanaan
Sistem Presidensial di Indonesia dengan Turki ................ 95
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan.............................................................................. 98
B. Saran ........................................................................................ 101
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 102
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah
Dalam ilmu politik, konsep mendasar tentang negara didefinisikan sebagai
suatu organisasi yang bekerja di dalam sebuah wilayah yang memiliki kekuasaan
tertinggi resmi dan dipatuhi oleh rakyatnya.1 Negara merupakan salah satu
lembaga utama yang mengatur dan mengelola sistem perpolitikan sebuah bangsa.
Dalam pengertian ini, negara menjadi alat dari masyarakat yang memiliki
kekuasaan untuk mengatur hubungan-hubungan antar-manusia dalam masyarakat
dan juga mengatur tanda-tanda kekuasaan dalam masyarakat. Negara juga
memiliki fungsi menetapkan aturan-aturan dan batasan di mana kewenangan atau
kekuasaan dapat diterapkan di dalam dunia nyata baik oleh perseorangan,
kelompok, golongan, ataupun oleh penguasa negara itu sendiri.2 Harold Laski,
seperti yang dikutip dalam buku Miriam Budiardjo, menyatakan bahwa negara
adalah
Suatu masyarakat yang diintegrasikan karena memiliki wewenang yang bersifat
memaksa dan yang secara sah lebih berkuasa daripada individu atau kelompok
yang merupakan bagian dari masyarakat. Masyarakat adalah suatu kelompok
manusia yang hidup dan bekerja sama untuk dapat memenuhi terkabulnya
keinginan mereka bersama. Masyarakat merupakan negara kalau cara hidup yang
harus ditaati baik oleh individu maupun asosiasi-asosisasi ditentukan oleh suatu
wewenang yang bersifat memaksa dan mengikat.3
1Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia, 2008), h. 17.
2Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h. 47-48.
3Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h. 48.
2
Dalam usahanya mengatur kewenangan dan kekuasaan dalam suatu negara
inilah sebuah konsep yang disebut pemerintah muncul.4 Kata pemerintah dan
pemerintahan terdapat perbedaan makna, pemerintah lebih terkait tentang
pembuatan dan pelaksanaan keputusan yang sudah dibuat, sedangkan
pemerintahan lebih terkait dengan segala aktivitas yang dilakukan oleh orang-
orang yang berkuasa di negara tersebut untuk mencapai tujuan dari negara
tersebut. Dalam pengertian ini, secara sempit fungsi dari adanya suatu pemerintah
berarti terkait dengan aktor di lembaga eksekutif yakni kepala pemerintahan
beserta jajaran para menteri di dalam kabinet, tetapi secara umum berarti seluruh
aparat atau jajaran di dalam pemerintahan baik eksekutif, legislatif, yudikatif
melaksanakan tugasnya di bidangnya masing-masing.5 Dengan berpedoman pada
pengertian yang luas itulah sistem pemerintahan pada sebuah negara mempunyai
arti penting, yakni suatu tatanan utuh yang terdiri dari beberapa komponen
pemerintahan yang saling berkaitan dan saling memengaruhi dalam tugas dan
fungsi untuk memerintah.6
Salah satu sistem pemerintahan yang dikenal dalam politik modern adalah
sistem pemerintahan presidensial. Negara Indonesia dan Turki, dengan sejarah
perjalanan dan dinamika yang berbeda-beda, menerapkan sistem pemerintahan
4Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: PT Grasindo, 2010), h. 214. Kata
pemerintah secara etimologi berasal dari Bahasa Yunani “kubernan” yang berarti nahkoda kapal.
Maksud dari kata nahkoda kapal disini adalah melihat ke depan yang mana dalam menentukan
kebijakan yang diambil untuk mencapai tujuan masyarakat-negara, selalu merencanakan tahap-
tahap kebijakan untuk menghadapi masa depan negara, serta mempunyai tujuan yang telah
direncanakan. 5Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, h. 216.
6Teuku Saiful Bahri Johan, Hukum Tata Negara dan Administrasi Negara dalam Tataran
Reformasi Ketatanegaraan Indonesia, (Yogyakarta: Deepublish), h. 249.
3
presidensial. Skripsi ini hendak mengkaji dan menganalisis dinamika dari
penerapan sistem presidensial di Indonesia dan Turki.
Peneliti melakukan perbandingan antara Indonesia dan Turki karena kedua
negara ini adalah dua negara yang pernah menerapkan dua sistem pemerintahan
yang berbeda yakni sistem parlementer dan sistem presidensial. Indonesia
menerapkan sistem presidensial pertama kali pada 18 Agustus 1945 sampai 17
Agustus 1950. Setelah itu, Indonesia menerapkan sistem parlementer sejak 1950
hingga Dekrit Presiden 1959. Sistem parlementer gagal dalam membentuk
konstitusi baru sehingga Indonesia kembali ke UUD 1945 dan kembali
menerapkan sistem presidensial dan bertahan hingga saat ini.7 Begitu juga di
Turki yang mana pertama kali menerapkan sistem parlementer sejak berdiri pada
29 Oktober 1923 hingga referendum konstitusi 2017. Sejak 2017, sistem
presidensial diterapkan di Turki. Sistem presidensial lebih efektif karena proses
pembuatan kebijakan yang tidak bertele-tele di parlemen yang selama ini
dianggap memperhambat kinerja pemerintah.
Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus
1945, sistem presidensial segera dianut dan dicantumkan dalam UUD 1945. Salah
satu alasannya adalah kesadaran para tokoh pergerakan yang tergabung dalam
BPUPKI mengadopsi sistem pemerintahan yang sudah berjalan lama pada Hindia-
Belanda. Tidak lama setelah itu, Kabinet Presidensial terbentuk. Pada 18 Agustus
PPKI menggelar sidang pertama pada 18 Agustus 1945 yang mana isinya adalah
mengesahkan UUD 1945, memilih dan mengangkat Soekarno sebagai Presiden
7 Paizon Hakiki, “Sistem Pemerintahan Pada Masa Demokrasi Liberal Tahun 1949-
1959”, Jurnal Online Mahasiswa Vol 1, No.1, 2014.
4
dan Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden, dan untuk sementara tugas
pemerintah dibantu oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) sebelum MPR
dan DPR terbentuk.
Undang-Undang Dasar 1945 dalam Pasal 1 ayat 1 yang berbunyi bahwa
Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik.8 Namun
pada tanggal 14 November 1945, perdana menteri menjalankan fungsinya sebagai
kepala pemerintahan dan presiden hanya sebagai kepala negara. Kabinet Sjahrir I
menjadi kabinet pertama dan Sutan Sjahrir menjadi perdana menteri. Lalu
dilanjutkan dengan Amir Sjarifuddin dan Mohammad Hatta. Setelah Konferensi
Meja Bundar pada 27 Desember 1949, Indonesia berubah menjadi Republik
Indonesia Serikat (RIS) dan UUD 1945 diganti dengan UUDS 1950. Dalam
rentang 1950-1959 Indonesia menjadi era Demokrasi Liberal yang mana perdana
menteri bertanggung jawab kepada parlemen, banyaknya partai politik. Di era ini
terdapat 7 kali pergantian kepala pemerintahan. Di era ini juga banyak terjadi
pemberontakan di daerah seperti PRRI, Permesta, DI/TII. Pada 5 Juli 1959
Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit yang berisikan bahwa, sistem kenegaraan
dan pemerintahan RI kembali ke UUD 1945 dan pembubaran Konstituante.
Setelah 1959 Indonesia memasuki era Demokrasi Terpimpin di mana
Presiden Soekarno memperkuat wewenang eksekutif. Peran partai politik dalam
membentuk koalisi antara partai pro pemerintah dan oposisi menemui kegagalan.
Era Demokrasi Parlementer ini cenderung tidak demokratis karena dua partai
politik yakni Partai Masyumi dan PSI dibubarkan oleh pemerintah karena
8 Pasal 1 ayat 1 UUD 1945.
5
dianggap terlibat dalam pemberontakan PRRI.9 Pada era ini Partai Komunis
Indonesia (PKI) dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) sama-sama berusaha
mendekati Presiden Soekarno supaya dapat berpengaruh di pemerintahan.
Presiden Soekarno dalam era Demokrasi Terpimpin mengangkat dirinya sendiri
menjadi presiden seumur hidup dan ini mengakibatkan tidak adanya check and
balances antara eksekutif dengan legislatif.10
Sistem presidensialisme semakin dipraktikkan secara lebih kuat pada masa
Orde Baru. Presiden Soeharto, yang menerima mandat memerintah pada 1966,
tidak lama setelah menerima Surat Perintah 11 Maret 1966, memperkuat sistem
presidensial yang hampir mirip dengan era Demokrasi Terpimpin era Soekarno.
Hubungan antara eksekutif dengan legislatif begitu kuat yang mana legislatif diisi
oleh mayoritas dari partai pendukung pemerintah yakni Golongan Karya (Golkar)
dan fraksi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Jika pada era
Presiden Soekarno terdapat konflik-konflik baik dari luar maupun dalam negeri, di
era Presiden Soeharto cenderung stabil bahkan nyaris tidak ada krisis politik
karena adanya peran tentara dalam menjaga stabilitas dan keamanan, dalam
bentuk Dwi Fungsi ABRI.11
Di era Orde Baru ini, presiden dipilih oleh MPR.
Memasuki era Reformasi pada 1998 yang diawali dengan pengunduran
diri Presiden Soeharto dan B.J Habibie naik menjadi presiden memunculkan
harapan agar tidak terjadi lagi otoriterianisme. Reformasi politik pada era Presiden
Habibie menjadwalkan pemilu yang demokratis di tahun 1999. Pemilu tahun 1999
9Sarah Nuraini Siregar, Sistem Presidensial Indonesia dari Soekarno ke Jokowi, (Jakarta:
AIPI, 2018), 2018, h. 56. 10
Sarah Nuraini Siregar, Sistem Presidensial Indonesia dari Soekarno ke Jokowi, h. 85. 11
Sarah Nuraini Siregar, Sistem Presidensial Indonesia dari Soekarno ke Jokowi, h. 157.
6
diikuti oleh 48 partai politik berkembang dari era Orde Baru yang hanya ada 3
partai politik. Lahirnya undang-undang partai politik, pemilu, dan kedudukan
MPR, DPR, DPD yang disahkan pada tahun 1999.12
Pada era Presiden
Abdurrahman Wahid reformasi dalam politik mengalami berbagai perubahan
salah satunya adalah mengurangi peran perwira TNI di dalam perpolitikan. Era
Presiden Abdurrahman Wahid menginisiasi perdamaian konflik antara Indonesia
dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Aceh dan Organisasi Papua Merdeka
(OPM). Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam mendapat status otonomi khusus
dan berhak menjalankan syariat Islam di wilayah tersebut.13
Hubungan antara
eksekutif dengan legislatif di era ini memburuk salah satu alasannya adalah
Presiden sering mengganti anggota menteri Kabinet Persatuan Nasional tanpa
alasan yang jelas, membubarkan Departemen Sosial dan Departemen Penerangan,
Pencabutan TAP MPRS Nomor XXV Tahun 1966 tentang pelarangan PKI dan
pelarangan penyebaran ajaran komunisme.14
Pada tahun 2001, Presiden
Abdurrahman Wahid dimakzulkan oleh legislatif yakni MPR.15
Pada era Presiden Megawati Soekarnoputri, check and balances lembaga
eksekutif dan legislatif mengalami peningkatan dan peran DPR kembali menguat.
Kebijakan yang dikeluarkan oleh Presiden Megawati kerap terganjal oleh DPR
yang menggunakan hak interpelasi beberapa contoh kebijakan diantaranya adalah
kasus lepasnya dua pulau yakni Sipadan dan Ligitan, kunjungan presiden ke
Timor Leste sebagai negara merdeka. Di era Susilo Bambang Yudhoyono pada
12
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia, 2008), h. 134. 13
Sarah Nuraini Siregar, Sistem Presidensial Indonesia dari Soekarno ke Jokowi, (Jakarta:
AIPI, 2018), h. 262. 14
Sarah Nuraini Siregar, Sistem Presidensial Indonesia dari Soekarno ke Jokowi, h. 315. 15
Sarah Nuraini Siregar, Sistem Presidensial Indonesia dari Soekarno ke Jokowi, h. 318.
7
periode 2004-2014 cenderung lebih demokratis karena pemilihan umum pada
tahun 2004 merupakan pemilu secara langsung dipilih oleh rakyat baik eksekutif
maupun legislatif. Era Presiden SBY juga cenderung mampu meminimalisir
konflik-konflik komunal yang sebelumnya konflik-konflik tersebut merebak ke
masyarakat. Selain itu MPR dan DPR bekerja tanpa adanya konflik dengan
eksekutif.
Perjalanan panjang Indonesia dalam menerapkan sistem presidensialime
sedikit banyak berbeda dari Republik Turki. Seperti halnya Indonesia, Turki
memiliki sejarah yang panjang dalam sistem pemerintahan. Namun demikian,
pilihan untuk menganut sistem presidensial diambil setelah terjadinya berbagai
krisis yang muncul dalam pemerintahan parlementer. Pada mulanya, Turki
merupakan wilayah ibu kota dari Kesultanan Turki Usmani yang menganut sistem
pemerintahan khilafah, di mana Sultan Turki Usmani menjadi pemimpin tertinggi.
Berdiri pada 1299, kekhilafahan Turki mencapai puncak kejayaan setelah Sultan
Muhammad Al Fatih merebut kota Konstantinopel pada tanggal 29 Mei 1453.
Setelah itu Turki Usmani mampu menguasai beberapa wilayah di sebagian Eropa,
Afrika, semenanjung Arab. Turki Usmani mengalami kemunduran pada awal abad
ke-20 karena permasalahan internal dan eksternal dan pada akhirnya pada tanggal
3 Maret 1924, kekhilafahan Turki Usmani benar-benar hilang dan digantikan oleh
Republik Turki yang dideklarasikan oleh Mustafa Kemal Ataturk pada tanggal 29
Oktober 1923.
Republik Turki mengadopsi sistem pemerintahan yang ada di negara
Barat. Kepala negara dipimpin oleh seorang presiden dan kepala pemerintah
8
dipimpin oleh perdana menteri. Dibawah Mustafa Kemal Ataturk, Turki
menerapkan nilai-nilai yang berorientasi Barat dalam semua aspek kehidupan
termasuk politik.16
Turki mengadopsi sistem demokrasi, sekuler, republik
konstitusional. Republik Turki setelah wafatnya Mustafa Kemal Ataturk pada
tahun 10 November 1938 dan memasuki era multi partai 1946, Republik Turki
mengalami banyak pergolakan di dalam pemerintahan terutama karena intervensi
dari pihak militer.
Pihak militer beralasan bahwa pemerintahan sipil terlalu lemah dan gagal
dalam mengatasi permasalahan-permasalahan instabilitas seperti politik, sosial,
ekonomi.17
Selanjutnya pihak militer melancarkan aksi kudeta di tahun 1960,
1971, 1980, 1997, dan yang terbaru adalah percobaan kudeta yang gagal pada
tanggal 15 Juli 2016. Kudeta 1980 merupakan kudeta yang memiliki dampak yang
signifikan dimana hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat Turki dikontrol
ketat oleh militer dibawah pimpinan Jenderal Kenan Evren. Semua partai-partai
politik dibubarkan, parlemen dibubarkan, aset-aset masyarakat disita. Tidak hanya
itu, lebih dari 650.000 orang ditangkap, 230.000 orang diadili, para akademisi
seperti guru, hakim, dosen dipensiunkan oleh pihak militer.18
Karena banyaknya intervensi dari pihak militer, pada awal abad ke-21
ketika Adalet ve Kalkinma Partisi (AKP) atau Partai Keadilan dan Pembangunan
berkuasa semenjak memenangkan pemilu di tahun 2002 muncul banyak opini
untuk melakukan perubahan pada sistem pemerintahan Turki. Di tahun 2005,
16
Muhammad Iqbal, Amin Husein Nasution, “Pemikiran Politik Islam dari Masa Klasik
hingga Indonesia Kontemporer”, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 111. 17
Alfan Alfian, “Militer dan Politik di Turki”, (Jakarta: Penerbit Penjuru Ilmu, 2018), h. 2. 18
Trias Kuncahyono, Turki: Revolusi Tak Pernah Berhenti, (Jakarta: PT. Gramedia,
2018), h. 170.
9
Menteri Kehakiman Cemil Cicek mengusulkan untuk melakukan perubahan dan
ide ini didukung oleh Perdana Menteri Recep Tayyip Erdogan.
Pada 2016 setelah percobaan kudeta yang gagal oleh sekelompok militer,
Recep Tayyip Erdogan dan Partai AKP semakin yakin untuk mengadakan
referendum untuk dapat mengubah sistem pemerintahan yang presidensial dari
sebelumnya yang berbentuk parlementer. Pada awal tahun 2017, rencana untuk
mengadakan referendum disetujui oleh mayoritas parlemen. Berikut ini adalah
poin-poin utama di dalam referendum konstitusional 2017 :
1. Memberikan kekuasaan lebih luas kepada presiden
2. Presiden dapat berkuasa hingga dua periode
3. Presiden menjadi kepala negara sekaligus kepala pemerintahan
4. Presiden dan tiga perlima anggota parlemen bisa menentukan pemilu untuk
digelar dalam jangka waktu yang tidak ditentukan.19
Referendum konstitusional akhirnya digelar pada tanggal 16 April 2017.
Hasil referendum yang diiniasikan oleh Recep Tayyip Erdogan secara mayoritas
masyarakat Turki yang mana berarti menghendaki perubahan bentuk
pemerintahan dari parlementer menjadi presidensial. Sejak itu, Turki resmi
menjadi negara dengan sistem pemerintahan presidensial.
Berdasarkan pemaparan di atas, penulis tertarik untuk melakukan
penelitian yakni membandingkan sistem presidensial di Indonesia dan Turki
karena kedua negara memiliki sejarah panjang untuk dapat menjadi negara dengan
sistem pemerintahan presidensial.
19
"Teks lengkap dari proposal amandemen konstitusi 18-poin",
https://en.wikipedia.org/wiki/2017_Turkish_constitutional_referendum. Diakses pada tanggal 31
Oktober 2018
10
B. Pertanyaan Penelitian
Setelah penjelasan dari rumusan masalah diatas, untuk lebih memfokuskan
penelitian ini, maka dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut :
1. Bagaimana praktik sistem presidensial Indonesia di era Presiden Joko
Widodo?
2. Bagaimana praktik sistem presidensial Turki di era Presiden Recep Tayyip
Erdogan?
3. Adakah persamaan dan perbedaan yang muncul dalam praktik sistem
presidensial di kedua negara tersebut?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui perbedaan dan persamaan sistem presidensial di
Indonesia dengan Turki
b. Untuk mengetahui model sistem presidensial di Indonesia di era
Reformasi.
c. Untuk mengetahui model sistem presidensial di Turki pasca
referendum konstitusi 2017.
d. Untuk mengetahui perbandingan antara sistem presidensial di
Indonesia dan Turki.
11
2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Akademis
1) Bagi prodi ilmu politik, penelitian ini dapat mengembangkan
ilmu politik khususnya mengenai perbandingan sistem
pemerintahan antara Indonesia dengan Turki.
2) Menjadi kajian baru khsusnya dalam penelitian sistem
pemerintahan antara Indonesia dengan Turki yang saat ini
berubah menjadi sistem presidensial.
b. Manfaat Praktis
1) Bagi peneliti, penelitian ini mempunyai manfaat yakni menjadi
pengalaman yang luar biasa dalam melakukan tugas akhir yang
memerlukan proses yang panjang.
2) Bagi mahasiswa atau non mahasiswa, ini akan menjadi sesuatu
yang baru sebagai informasi mengenai perbandingan sistem
pemerintahan antara Indonesia dengan Turki.
D. Tinjauan Pustaka
Sebelum melakukan penelitian, penulis melakukan tinjauan pustaka untuk
memastikan urgensi dan signifikansi dari penelitian yang penulis lakukan. Berikut
ini adalah tinjauan pustaka yang saya dapatkan untuk perbandingan sistem
pemerintahan.
Pertama, skripsi yang ditulis oleh Ahmad Syukron Jazuly, Program
Perbandingan Mazhab UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang berjudul “Sistem
12
Presidensial (Komparasi Sistem Pemerintahan Indonesia Pasca Amandemen
UUD 1945 dan Sistem Pemerintahan Republik Islam Iran)” membahas mengenai
perbandingan sistem pemerintahan di Indonesia dengan Republik Islam Iran.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif yakni dengan studi
pustaka dari buku, jurnal, situs internet, dan dokumen. Disini fokusnya adalah
sistem pemerintahan Indonesia setelah amandemen UUD 1945 atau lebih tepatnya
di era Reformasi dan Iran setelah revolusi di tahun 1979. Hasil dari penelitian ini
adalah bahwa peneliti menemukan persamaan antara Indonesia dengan Iran
contohnya adalah kekuasaan eksekutif sama-sama berada pada presiden dan wakil
presiden dan dipilih oleh rakyat secara langsung, legislatif juga dipilih rakyat
secara langsung. Perbedaan antara Indonesia dengan Iran adalah kekuasaan
Mahkamah Agung Iran berada di bawah legislatif, sedangkan di Indonesia
Mahkamah Agung termasuk di dalam yudikatif. Sedangkan penelitian yang
penulis buat adalah perbandingan sistem presidensial antara Indonesia dengan
Turki.20
Kedua, Penelitian yang dilakukan oleh Marthin Simangunsong yang
berjudul “Sistem Pemerintahan Presidensial di Indonesia dengan Amerika Serikat
(Suatu Kajian Perbandingan)” membahas mengenai perbandingan sistem
presidensial di Indonesia dengan Amerika Serikat. Metode penelitian yang dipakai
adalah metode kualitatif yakni dengan metode kepustakaan dan studi dokumen.
Disini juga dibahas mengenai analisis perbandingan antara sistem presidensial di
Indonesia dengan Amerika Serikat. Hasil dari penelitian ini adalah bahwa terdapat
20
Ahmad Syukron Jazuly,“Sistem Presidensial (Komparasi Sistem Pemerintahan
Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945 dan Sistem Pemerintahan Republik Islam Iran)” (Skripsi
S1 Fakultas Syari’ah, Universitas Sunan Kalijaga, 2008).
13
persamaan sistem presidensial antara Indonesia dengan Amerika Serikat salah satu
contohnya adalah kepala negara dan kepala pemerintahan dipegang oleh presiden,
para menteri bertanggung jawab kepada presiden. Perbedaan sistem presidensial
antara Indonesia dengan Amerika Serikat adalah kalau di Amerika Serikat para
menteri sebelum diangkat harus mendapat saran dari anggota senat, sedangkan di
Indonesia tidak perlu saran dari DPR. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh
penulis adalah membandingkan sistem presidensial antara Indonesia dengan
Turki.21
Ketiga, buku yang berjudul “Sistem Presidensial Indonesia dari Soekarno
ke Jokowi” membahas mengenai bentuk sistem presidensial Indonesia sejak 17
Agustus 1945 hingga kini. Buku ini mengulas tradisi-tradisi presidensialisme
mulai dari era Presiden Soekarno, Soeharto, B.J. Habibie, Abdurrahman Wahid,
Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, dan Joko Widodo. Sistem
presidensial era Presiden Soekarno lahir dari pasal 1 ayat 1 UUD 1945 dan KNIP
berperan penting dalam beberapa hal seperti mengawasi kinerja presiden, memilih
anggota DPR, memberi usulan kepada presiden mengenai kebijakan yang dibuat.
Memasuki era Demokrasi Parlementer yang terbentuk berdasarkan Konferensi
Meja Bundar (KMB) pada 27 Desember 1949, Indonesia berubah dari sistem
presidensial menjadi parlementer dan UUD 1945 diganti dengan UUDS 1950.
Dalam rentang 1950-1959, Indonesia mengalami ketidakstabilan politik karena
mosi tidak percaya kepada perdana menteri. Demokrasi Terpimpin dalam rentang
1959-1966 posisi eksekutif sangatlah kuat dibanding legislatif. Era Presiden
21
Marthin Simangunsong, “Sistem Pemerintahan Presidensial di Indonesia dengan
Amerika Serikat (Suatu Kajian Perbandingan)” (Medan: Universitas HKBP Nommensen, 2007).
14
Soeharto tidak jauh beda dengan era Demokrasi Terpimpin karena posisi eksekutif
sangat dominan dibanding legislatif. Era Reformasi diawali oleh B.J. Habibie,
Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, dan
Joko Widodo, sistem presidensial Indonesia mulai menunjukkan hubungan antar
lembaga yang seimbang dengan prinsip check and balances, pemilu yang
demokratis.22
Keempat, jurnal yang ditulis oleh Samkamaria Magister Ilmu Administrasi
Publik Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas
Padjajaran Bandung yang berjudul “Perbandingan Administrasi Publik
(Perbandingan Sistem Pemerintahan Indonesia dengan Inggris)” membahas
mengenai perbedaan hal yang mendasar antara sistem pemerintahan di Indonesia
dengan Inggris. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
kualitatif berupa studi kepustakaan dari buku-buku. Hasil dari jurnal ini adalah
bahwa terdapat perbedaan sistem pemerintahan antara Indonesia dengan Inggris
contohnya adalah jika di Inggris tidak ada konstitusi tertulis, sedangkan Indonesia
memiliki UUD 1945, kepala negara Inggris adalah raja atau ratu dan kepala
pemerintahan dipegang oleh perdana menteri. Indonesia kepala pemerintahan dan
negara dipegang oleh presiden dan wakil presiden. Adapun, penelitian yang
dilakukan adalah membandingkan sistem presidensial antara Indonesia dengan
Turki.23
22
Sarah Nuraini Siregar, Sistem Presidensial Indonesia dari Soekarno ke Jokowi, (Jakarta:
AIPI), 2018. 23
Samkamaria, “Perbandingan Administrasi Publik (Perbandingan Sistem Pemerintahan
Indonesia dengan Inggris)”, Jurnal Perbandingan Publik Vol 4, No 1, Januari-Mei 2016.
15
Kelima, jurnal yang ditulis oleh Moros Adidi Yogia yang berjudul
“Indonesia dan Jepang dalam Perspektif Perbandingan Politik” membahas
bagaimana perbandingan sistem politik dari aspek supra struktur hingga infra
struktur politik pemerintahan antara Indonesia dengan Jepang. Metode yang
digunakan adalah metode kualitatif studi kepustakaan yakni dengan mengambil
sumber dari buku-buku. Hasil yang ditulis di jurnal ini adalah bahwa birokrasi
yang ada di Jepang lebih baik dibandingkan dengan Indonesia karena birokrasi di
Jepang mengandalkan profesionalisme dan penguasaan teknis yang baik,
sedangkan di Indonesia birokrasi cenderung mudah goyah dan diintervensi oleh
kalangan-kalangan tertentu. 24
Keenam, disertasi yang berjudul “Studi Perbandingan: Pemenang Pemilu
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di Indonesia 1999-2009 dan Adalet ve Kalkinma
Partisi (AKP) di Turki 2002-2007” yang ditulis oleh Sitaresmi S. Soekanto,
Program Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia membahas perbandingan
dua partai yang memiliki ideologi yang sama dalam kontestasi pemilu di
Indonesia dan Turki. Penelitian ini mencari faktor-faktor keberhasilan PKS dan
AKP dalam setiap pemilu yang diikuti. Penelitian ini menggunakan teori
komparasi partai politik dengan metode kualitatif. Penelitian ini menggunakan
beberapa teori lain seperti teori organisasi, teori basis massa, teororganisasi, dan
teori kepemimpinan. Hasil dari penelitian ini adalah bahwa suara PKS dalam
pemilu hanya sedikit mengalami kenaikan dalam rentang 1999-2009 karena
ketidakcocokan di dalam ideologi PKS untuk dapat berubah dari organisasi
24
Moris Adidi Yogia, “Indonesia dan Jepang dalam Perspektif Perbandingan Politik”.
Jurnal Perbandingan Politik, Vol 2, No 1, 2009, (Pekanbaru: Universitas Islam Riau).
16
dakwah kampus menjadi sebuah partai politik dan selain itu faktor sosial, budaya
di Indonesia yang kurang mendukung. Partai AKP dalam setiap kontestasi pemilu
selalu menjadi pemenang karena tipe kepemimpinan yang kharismatik, sistem
rekrutmen yang bagus dan faktor lainnya seperti sosial, budaya yang
mendukung.25
Berdasarkan dari beberapa tinjauan pustaka yang diperoleh, ada perbedaan
antara tinjauan pustaka dengan penelitian yang penulis lakukan baik dari aspek
objek penelitian yang meliputi wilayah perbandingan maupun spesifikasi dari
objeknya. Misalnya disertasi Sitaresmi S. Soekanto yang membahas perbandingan
antar dua partai politik antara Indonesia (PKS) dengan Turki (AKP). Sementara
perbedaan dengan penelitian lainnya terkait perbedaan wilayah atau negara
pembanding.
E. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Metode penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode
kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang tidak menggunakan model
matematika atau menghitung, statistik, dan komputer dan menggunakan makna
yang bersifat deskriptif.26
25
Sitaresmi S. Soekanto, “Studi Perbandingan: Pemenang Pemilu Partai Keadilan
Sejahtera (PKS) di Indonesia 1999-2009 dan Adalet ve Kalkinma Partisi (AKP) di Turki 2002-
2007” (Depok: Universitas Indonesia, 2012). 26
Lawrence Neuman, Metode Penelitian Sosial: Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif,
(Jakarta: PT Indeks), 2013, h 225.
17
2. Teknik Pengumpulan Data
a. Data Primer adalah data yang diperoleh oleh peneliti secara langsung
tanpa perantara. Teknik wawancara adalah salah satu hal yang terdapat di
dalam proses pengumpulan data dengan cara yakni si penulis bertemu
langsung dengan narasumber.27
Peneliti membaca buku amandemen UUD
1945 yang isinya terdapat perubahan pasal mengenai batas-batas
kekuasaan eksekutif, kewenangan legislatif sistem presidensial Indonesia
di era Reformasi. Isi dari referendum konstitusi 2017 yang sebagian besar
mengenai sistem presidensial Turki juga menjadi sumber bacaan utama
dalam penelitian ini.
b. Data sekunder adalah data yang didapat secara tidak langsung atau dari
yang sudah pernah dilakukan sebelumnya.28
Studi pustaka melalui
beberapa sumber seperti buku, berita di internet, jurnal, dan dokumen
pustaka yang lainnya. Teknik pengambilan data dari studi pustaka
menjadi mayoritas dari isi penelitian dan juga ada sedikit sumber yang
diambil dari luar studi kepustakaan. Pelaksanaan penelitian dilakukan di
wilayah Propinsi DKI Jakarta.
3. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis deskriptif.
Deskriptif adalah sebuah teknik analisis yang mendeskripsikan situasi objek
27
Ulfah Mawaddatul Qudus, Gerakan Politik dan Otonomi Khusus (Studi Perbandingan
Gerakan Suku Kurdi Memperjuangkan Otonomi Khusus di Irak dan Turki), (Skripsi S1 Fakultas
Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018) h.15. 28
Denayu Swami Vevekananda, Perilaku Politik dan Kekuasaan Politik (Studi
Perpindahan Partai Politik Basuki Tjahaja Purnama dalam Perpolitikan di Indonesia), (Skripsi
S1 Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017).
18
penelitian dalam bentuk rangkaian kalimat atau kata-kata dan tanpa adanya
hitungan angka.29
Dengan menggunakan teknik analisis deskriptif ini penulis
berharap dapat melihat persamaan dan perbedaan sistem presidensial antara
Indonesia dengan Turki berdasarkan teori perbandingan dan teori sistem
presidensial.
F. Sistematika Penulisan
Pemaparan hasil penelitian yang baik terbaca dari adanya keterkaitan antara
satu bagian dengan bagian yang lainnya. Topik penelitian dibagi ke dalam beberapa
bab dan berikut ini adalah sistematika penulisan dari penelitian yang ditulis :
Bab I, pemaparan mulai dari latar belakang, pertanyaan penelitian,
manfaat dan tujuan, tinjauan pustaka, kerangka teori, metode penelitian, dan
sistematika penulisan mengenai perbandingan sistem presidensial antara Indonesia
dengan Turki.
Bab II, peneliti menulis tentang kerangka teori yang digunakan dalam
melakukan penelitian. Teori yang digunakan adalah teori perbandingan politik
yakni membandingkan sistem presidensial Indonesia dengan Turki dan teori
sistem presidensial antara Indonesia dengan Turki.
Bab III, peneliti memaparkan perkembangan sistem presidensial yang ada
di Indonesia dan di Turki dalam perspektif historis. Pertama, membahas mengenai
perkembangan sistem presidensial di Indonesia kemudian membahas
perkembangan sistem presidensial di Turki.
29
Lexi J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2006), hlm. 6.
19
Bab IV, peneliti melakukan analisis mengenai perbandingan yakni
persamaan dan perbedaan sistem pemerintahan antara Indonesia di era Reformasi
dengan Turki pasca referendum 2017.
Bab V, peneliti menulis tentang kesimpulan berdasarkan hasil temuan dan
pemaparan data di bab-bab sebelumnya dan memberikan saran.
20
BAB II
KERANGKA TEORETIS
Dalam bab ini, penulis hendak menjelaskan kerangka teoritis yang
digunakan untuk memberi perspektif terhadap fenomena praktik system
presidensial di Turki dan Indonesia. Sejumlah teori telah digunakan para
ilmuwan politik untuk mencermati masalah sistem pemerintahan. Dalam
konteks ini, penulis mengambil tiga kerangka teoritis yang lazim digunakan
dalam ilmu politik, khususnya dalam penelitian tentang tantang sis tem
pemerintahan presidensial: teori sistem presidensial, perbandingan
pemerintahan, kekuasaan dan hubungan antara eksekutif dengan legislatif,
dan partai politik dalam sistem presidensialisme.
A. Teori Sistem Presidensial
Skripsi ini memfokuskan diri pada studi tentang sistem
pemerintahan, yaitu hubungan antar dua lembaga tinggi negara eksekutif
dan legislatif.30
Sistem pemerintahan merupakan sebuah susunan lembaga-
lembaga negara yang tertata secara sistematis dan semua lembaga saling
terkait antar satu sama lain untuk mencapai tujuan tertentu. Dengan
pengertian ini, sistem pemerintahan mencakup sebuah kajian bagaimana
semua lembaga negara berfungsi dan bekerja dengan memperhatikan tingkat
30
Ahmad Yani, “Sistem Pemerintahan Indonesia: Pendekatan Teori dan Praktek
Konstitusi Undang-Undang Dasar 1945”, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 15 No. 12 Juli 2018, h.
59.
21
kewenangan dan pertanggungjawaban antar lembaga negara antara satu
dengan lainnya.31
Dalam sejarah pemerintahan di dunia, dikenal dua bentuk sistem
pemerintahan, yakni sistem monarki atau kerajaan dan sistem republik.
Sistem republik yang biasanya dilekatkan pada sistem pemerintahan yang
muncul pada zaman modern, diterapkan melalui mekanisme yang
bermacam-macam. Pertama sistem pemerintahan parlementer, yang ditandai
dengan kenyataan di mana sebuah negara pemerintahannya dipimpin oleh
seorang perdana menteri. Biasanya negara dengan sistem parlementer ini
fungsi kepala negara seperti raja, presiden hanya berstatus patro untuk
kepentngan seremonial saja. Kedua, adalah negara-negara dengan sistem
presidensial, di mana kepala negara dan kepala pemerintahan dipegang
penuh oleh seorang presiden.
Beberapa pendapat para ahli mengenai istilah sistem presidensial di
antaranya adalah Alan R. Ball menyebut sistem presidensial sebagai
“presidential type of government” atau pemerintahan dengan tipe
presidensial. Lalu C.F. Strong menyebut sistem presidensial sebagai “ the
non parliamentary” atau “fixed executive” atau jabatan pasti non
parlementer. Menurut R. Kranenburg menyebut sistem presidensial sebagai
“separation of power” atau pemerintahan dengan pembagian kekuasaan.32
31
Muliadi Anangkota, “Klasifikasi Sistem Pemerintahan Perspektif Pemerintahan Modern
Kekinian”, Cosmogov:Jurnal Ilmu Pemerintahan, Vol.3 No.2. h. 150. 32
Dede Mariana, Neneng Yani Yuningsih, Caroline Paskarina, Perbandingan
Pemerintahan, (Jakarta: Universitas Terbuka, 2007), h. 19.
22
Sistem presidensial adalah sebuah sistem pemerintahan yang mana
eksekutif yang biasanya dijabat oleh presiden menjadi pusat kekuasaan
suatu negara. Lembaga eksekutif adalah lembaga yang menjalankan
undang-undang, sedangkan lembaga legislatif adalah lembaga yang
membuat undang-undang.33
Badan eksekutif di dalam sistem presidensial
tidak bergantung pada lembaga legislatif atau parlemen. Terdapat beberapa
ciri dari sistem pemerintahan presidensial diantaranya adalah presiden
menjabat sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan, lembaga
eksekutif tidak bertanggung jawab kepada lembaga legislatif, kabinet dan
para menteri dibuat dan ditunjuk langsung oleh presiden dan bertanggung
jawab kepada presiden dan lembaga eksekutif dan lembaga legislatif dalam
posisi yang setara dan sama-sama kuat.
Karakteristik sistem presidensial yang utama adalah bahwa basis
legitimasi presiden berasal dari rakyat. Proses pemilihan langsung terhadap
eksekutif yakni presiden dan wakil presiden dengan masa jabatan yang tetap
menjadi bukti kalau pemerintahan sistem presidensial bertanggung jawab
kepada rakyat. Menurut Giovanni Sartori, sistem presidensial mempunyai
tiga ciri-ciri. Pertama, presiden atau kepala pemerintahan dipilih oleh
rakyat secara langsung melalui pemilihan umum untuk masa satu periode.
Kedua, parlemen atau legislatif tidak dapat memakzulkan presiden. Ketiga,
33
Syofyan Hadi, “Fungsi Legislasi dalam Sistem Pemerintahan Presidensil”. Jurnal Ilmu
Hukum. Vol. 9, No. 18, Februari 2013, h. 78.
23
presiden memimpin langsung pemerintahan yang dibentuk oleh presiden itu
sendiri.34
Terdapat perbedaan antara pemerintahan sistem presidensial dengan
sistem parlementer terletak pada hubungan antara eksekutif dengan
legislatif. Jika dalam sistem presidensial ekesekutif atau presiden bebas
membentuk kabinet tanpa ada campur tangan dengan legislatif, sedangkan
dalam sistem parlementer anggota kabinet dipilih berdasarkan suara
terbanyak oleh anggota parlemen. Jika dalam sistem presidensial kepala
pemerintahan tidak bertanggung jawab kepada legislatif, sedangkan sistem
parlementer kepala pemerintahan atau biasanya dipimpin oleh perdana
menteri bertanggung jawab kepada parlemen. Presiden dalam sistem
presidensial tidak dapat membubarkan legislatif atau parlemen, sedangkan
sistem parlementer perdana menteri dapat membubarkan parlemen.
Penyelenggaraan pemilu dalam sistem presidensial presiden tidak bisa
secara tiba-tiba mengumumkan untuk mengadakan pemilu, sedangkan
sistem parlementer perdana menteri dapat mengumumkan untuk
mengadakan pemilu untuk kebutuhan pemerintahannya.35
Tidak ada sistem pemerintahan yang sempurna. Hal itu termasuk
sistem presidensial yang terdapat kelebihan dan kekurangan dalam
pelaksanaannya. Kelebihan dari sistem presidensial salah satunya adalah
pemerintahan yang dijalankan oleh eksekutif cukup stabil dan sesuai dengan
34
Yusuf Wibisono, “Anomali Praktik Sistem Pemerintahan Presidensial dan Multipartai di
Awal Pemerintahan Jokowi Tahun 2014”. Jurnal Ilmu dan Budaya. Vol. 40, No. 55, Maret 2017. 35
Sunarso, Perbandingan Sistem Pemerintahan, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2012), h.
2-3.
24
batas waktu yang telah ditetapkan oleh undang-undang, dan dalam sistem
presidensial tidak ada fokus kekuasaan karena lembaga tinggi negara
memiliki kewenangan masing-masing dan saling mengontrol satu sama
lain.36
Sedangkan, kelemahan dari sistem presidensial salah satunya adalah
kebijakan yang dibuat oleh eksekutif bersifat “bargaining position” atau
posisi tawar menawar antara pihak legislatif dan eksekutif dan pada
akhirnya terjadi kebijakan yang merugikan orang banyak dan hanya
menguntungkan kepentingan tertentu.37
Konsep yang diterapkan dalam sistem presidensial adalah konsep
Trias Politika. Trias Politika dicetuskan oleh Montesquieu yang sebelumnya
mengembangkan teori pembagian kekuasaan ala John Locke yang mana
kekuasaan terbagi menjadi tiga yakni eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Sistem presidensial dalam konsep Trias Politika adalah bahwa masing-
masing pilar dalam tiga lembaga tadi diharuskan untuk membina hubungan
antara eksekutif (presiden) dengan legislatif (parlemen). Keharusan itu
berlaku juga dalam hal saling melakukan pengawasan dan berkeseimbangan
(check and balances).38
Kebanyakan negara yang menerapkan prinsip ini
pasti tercantum dalam konstitusi negara yang bersangkutan.
Ciri-ciri lain dari sistem presidensial adalah pemilihan dalam sistem
pemerintahan presidensial baik itu calon presiden atau calon anggota
36
Pultoni, Sistem Pemerintahan Parlementer dan Presidensil: Studi Perbandingan dan
Pelaksanaannya di Indonesia, (Jakarta: Universitas Pembangunan Nasional Veteran), h. 17. 37
Muliadi Anangkota, “Klasifikasi Sistem Pemerintahan Perspektif Pemerintahan Modern
Kekinian”, Cosmogov:Jurnal Ilmu Pemerintahan, Vol. 3 No. 2. h. 148. 38
Sulardi, “Rekonstruksi Sistem Pemerintahan Presidensil Berdasar Undang-Undang
Dasar 1945 Menuju Sistem Pemerintahan Presidensil Murni”, Jurnal Konstitusi, Vol. 9 No. 3. h.
519.
25
legislatif dipilih secara demokratis yakni dipilih langsung oleh rakyat
melalui pemilihan umum. Selain itu, secara personal antara presiden dengan
anggota parlemen tidak ada tumpang tindih. Legislatif adalah yang
menyusun undang-undang dan eksekutif adalah pelaksana undang-undang
yang telah disusun oleh legislatif.
Ada beberapa aspek pola dalam sistem presidensial diantaranya
adalah pola rekrutmen dan pola pengawasan dan pertanggungjawaban.
Berikut penjelasan dari masing-masing keduanya :
1. Pola Rekrutmen di dalam sistem presidensial terdapat beberapa poin
penting diantaranya adalah :
a. Tidak ada tumpang tindih secara personal antara lembaga eksekutif
dengan legislatif.
b. Anggota parlemen atau legislatif dipilih secara langsung oleh rakyat
melalui pemilihan umum.
c. Eksekutif dan legislatif dipilih langsung oleh rakyat melalui
pemilihan umum.
2. Pola pengawasan dan pertanggungjawaban: pola ini juga salah satu
bagian penting dalam pemerintahan sistem presidensial. Berikut ini
adalah beberapa bentuk pola dalam pengawasan dan
pertanggungjawaban :
a. Prinsip check and balances antara lembaga eksekutif dengan
legislatif.
26
b. Lembaga legislatif membuat undang-undang dan kemudian undang-
undang dijalankan oleh eksekutif.
c. Eksekutif dapat menggunakan hak veto terhadap legislatif jika
eksekutif tidak setuju dengan undang-undang tersebut.39
B. Perbandingan Politik dan Pemerintahan
Karena skripsi ini berupaya melakukan kajian perbandingan praktik
pemerintahan di Indonesia dan Turki, maka teori perbandingan atau
komparatif politik merupakan kerangka teoritis kedua yang penulis
gunakan. Membandingkan merupakan sifat dan kebiasaan asli manusia dari
zaman dahulu hingga sekarang. Melakukan perbandingan pasti ada
kesamaan dan perbedaan antara diri kita dengan yang lain.40
Pengertian
umum dari metode perbandingan adalah melakukan perbandingan secara
sistematis satu negara dengan negara yang lain yang bertujuan untuk
mendapatkan gambaran umum dari perbedaan dan persamaan yang
berhubungan dengan fenomena yang sedang diteliti.41
Metode perbandingan terus dikembangkan oleh sarjana ilmu politik
untuk menemukan parameter yang melekat dalam kehidupan sosial manusia
baik dalam bidang bahasa, agama, budaya, ekonomi, sosial, maupun
39
Cora Elly Novianti, “Demokrasi dan Sistem Pemerintahan”, Jurnal Konstitusi, Vol.10,
No.2, Juni 2013. 40
Todd Landman, Issue and Methods in Comparative Politics: An Introduction, (New
York: Routledge), 2008, h. 4. 41
Ulfah Mawaddatul Qudus, Gerakan Politik dan Otonomi Khusus (Studi Perbandingan
Gerakan Suku Kurdi Memperjuangkan Otonomi Khusus di Irak dan Turki), (Skripsi S1 Fakultas
Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018), h. 18.
27
politik.42
Perbandingan politik adalah bagian dari metode perbandingan
sosial yang membahas mengenai berbagai negara di belahan dunia supaya
dapat menemukan persamaan dan perbedaan sistem politik antara satu
negara dengan negara yang lainnya.43
Metode perbandingan politik sangat
berkaitan dengan sistem politik dan sistem pemerintahan antar dua negara
dan juga fokus terhadap sejarah politik negara yang menjadi model
perbandingan.
Secara sosiologis, terdapat tiga dimensi masyarakat dalam perlu
diamati untuk melihat dinamika hubungan antara penguasa dan rakyaknya:
yakni dimensi politik, dimensi pemerintahan, dan dimensi kebijakan. Proses
politik yang didalamnya dilaksanakan oleh aktor politik adalah individu
atau kelompok yang terorganisir dalam partai politik, gerakan sosial dan
kelompok kepentingan dan saling berinteraksi untuk dapat memecahkan
permasalahan penting seperti permasalahan sosial, politik. Dimensi
pemerintahan adalah kerangka yang tersedia dari peraturan formal dan
informal yang juga disebut dengan lembaga yang bertugas untuk
mengarahkan perilaku para aktor politik. Dalam suatu pemerintahan,
terdapat juga yang biasa disebut dengan kebijakan. Kebijakan adalah sebuah
keputusan politik yang dibuat untuk kepentingan orang banyak atau
masyarakat dan kemudian diimplementasikan dalam bentuk undang-undang
42
Todd Landman, Issue and Methods in Comparative Politics: An Introduction, (New
York: Routledge), 2008, h. 4. 43
Ulfah Mawaddatul Qudus, Gerakan Politik dan Otonomi Khusus (Studi Perbandingan
Gerakan Suku Kurdi Memperjuangkan Otonomi Khusus di Irak dan Turki), (Skripsi S1 Fakultas
Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018) h.18.
28
dan diterapkan di dalam masyarakat.44
Dengan demikian, yang dimaksud
dalam perbandingan di sini adalah membandingkan satu negara dengan
negara lainnya, dalam kasus-kasus dan unit kajian yang telah ditentukan.
Pemerintah dalam bahasa Inggris disebut “government”, dalam
bahasa Perancis disebut “gouvernement” dan dalam bahasa Latin disebut
“gubernacalum”. Pemerintahan dapat diartikan sebagai kegiatan
penyelenggaraan negara dan mampu memberikan pelayanan dan
perlindungan bagi seluruh masyarakat, melakukan pengaturan,
memanfaatkan segala sumber daya yang ada, menjalin hubungan baik di
dalam negeri dan luar negeri. Pemerintahan adalah sebuah ilmu yang
mempelajari bagaimana dapat menjalankan wewenang kekuasaan dan dapat
mengatur sebuah sistem yang berada di dalam sebuah institusi dan
menjalankannya dengan baik dan berjalan dengan semestinya.45
Dilihat dari segi konsep, pemerintahan sejak dahulu sudah menjadi
konsep manusia yang sudah ada sejak manusia itu sendiri ada di dunia ini.
Seiring berjalannya waktu, pemerintah berubah menjadi sebuah organisasi
yang memiliki dasar dan kekuatan hukum. Dilihat dari struktur negara,
pemerintah adalah kepala dari masyarakat yang mempunyai wewenang
dalam menjalankan kegiatan bernegara. Struktur dan pembagian kekuasaan
dalam pemerintah sudah tercantum dalam aturan atau konstitusi pada saat
44
Skolastika L.K, “Pendekatan Perbandingan Politik Sebagai Teori dan Metode”, Tugas
Teori Perbandingan Politik. 45
Dede Mariana, Neneng Yani Yuningsih, Caroline Paskarina, Perbandingan
Pemerintahan, (Jakarta: Universitas Terbuka, 2007), h. 10.
29
negara baru terbentuk supaya tidak ada penyalahgunaan kekuasaan (abuse
of power).
Pemerintah didirikan supaya seluruh lapisan masyarakat dapat
menjalani kehidupannya dengan wajar. Menurut David Apter pemerintah
adalah sebagai sebuah kumpulan khusus dari para individu yang telah
berkomitmen untuk bertanggung jawab ketika sedang menjabat dalam
pemerintah. Bersikap tanggung jawab dalam membuat keputusan di dalam
pemerintah adalah salah satu kegiatan penting dalam pemerintah.46
Pada
hakekatnya, pemerintah tidak bekerja untuk kepentingan diri sendiri tetapi
bekerja untuk masyarakat dan menciptakan suasana yang mana seluruh
lapisan masyarakat dapat mengembangkan potensi sumber daya yang
dimiliki dan demi masa depan negara yang lebih baik.
Perbandingan pemerintahan adalah menyejajarkan unsur-unsur dalam
pemerintahan dan mengidentifikasi perbedaan dan persamaan antara kedua
negara. Perbandingan pemerintahan pada awalnya lebih mengacu kepada
negara-negara Eropa dan fokusnya adalah pada lembaga eksekutif,
legislatif, dan yudikatif, partai politik, dan kelompok-kelompok penekan
(pressure group). Seiring berjalannya waktu, para peneliti dari jurusan ilmu
politik mulai mengembangkan studi perbandingan pemerintahan diluar
Eropa seperti Amerika, Afrika, Asia.
Terdapat dua bentuk pemerintahan perwakilan utama yakni
presidensial dan parlementer. Baik sistem presidensial maupun parlementer
46
Dede Mariana, Neneng Yani Yuningsih, Caroline Paskarina, Perbandingan
Pemerintahan, h. 12.
30
semuanya dilandasi dengan nilai-nilai atau prinsip yang terbentuk dalam
kerangka kerja yakni konstitusi. Konstitusi adalah landasan dasar dalam
sistem pemerintahan di setiap negara. Hukum dasar atau konstitusi
menggambarkan konsep kerja organisasi dan filosofis dan membagi fungsi
masing-masing lembaga. Konstitusi adalah hal yang mutlak di setiap negara
untuk dijadikan sebagai patokan hukum dan juga konstitusi adalah sebagai
terwujudnya legitimasi. Salah satu ciri yang paling penting dalam konstitusi
adalah tentang pembagian kekuasaan di negara tersebut.47
C. Hubungan Eksekutif dan Legislatif
Proses interaksi antara eksekutif dengan legislatif mempunyai
beberapa tahapan yang akan memberikan dampak bagi mekanisme terhadap
keterlanjutan lembaga negara lainnya. Hubungan antara eksekutif dengan
legislatif akan berpengaruh dengan penyelenggaraan pemerintahan di
daerah. Terdapat tiga bentuk hubungan antara eksekutif dengan legislatif.
Pertama, bentuk komunikasi saling tukar menukar informasi. Kedua,
bentuk kerjasama atas beberapa program dan permasalahan. Ketiga,
memberikan penjelasan atau klarifikasi terkait dengan permasalahan yang
dibahas antara eksekutif dengan legislatif.48
Jika hubungan antara eksekutif dengan legislatif berjalan dengan
seimbang, maka pemimpin eksekutif atau presiden akan menjadi pusat
47
Dede Mariana, Neneng Yani Yuningsih, Caroline Paskarina, Perbandingan
Pemerintahan, h. 100. 48
Dwi Arum Setiyawati, “Pola Hubungan Eksekutif Dengan Legislatif dalam Proses
Pembuatan Peraturan Daerah (Studi pada Perda Pajak Hiburan Tahun 2011 Kabupaten
Lampung Selatan)” (Skripsi S1 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Lampung,
2012).
31
perhatian. Kekuasaan eksekutif atau presiden menjadi penentu akan
hubungan antara eksekutif dengan legislatif , baik hubungannya baik seperti
bekerja sama untuk kepentingan orang banyak atau buruk dan menjadi
rivalitas antara eksekutif dengan legislatif.
Pengaruh eksekutif terhadap legislatif menurut Mainwaring dan
Shugart terdapat dua jenis kuasa kepresidenan yakni secara konstitusional
dan secara partisan. Kuasa konstitusional pada presiden yakni presiden bisa
menggunakan wewenangnya seperti hak veto, dekrit. Kuasa partisan pada
presiden yakni presiden mendapat bantuan dukungan dari partai koalisi di
legislatif. Kuasa partisan terdapat dua fragmentasi yakni sistem kepartaian
dan sikap solidaritas. Kuasa partisan juga menjadi penentu hubungan antara
eksekutif dengan legislatif. Jika jumlah partai politik semakin banyak,
kemungkinan satu partai politik dapat meraih mayoritas kursi di parlemen
kecil. Sikap solidaritas juga berpengaruh terhadap hubungan antara
eksekutif dengan legislatif karena semakin solidnya partai politik, maka
semakin solid juga anggota partai politik untuk satu suara.49
Jika eksekutif mempunyai kekuatan untuk memengaruhi legislatif,
maka legislatif juga dapat melakukan hal yang serupa. Model legislatif
menurut Cox dan Morgenstern dalam sistem presidensial adalah faktor
49
Djayadi Hanan, Menakar Presidensialisme Multipartai di Indonesia: Upaya Mencari
Format Demokrasi yang Stabil dan Dinamis dalam Konteks Indonesia, (Bandung: Mizan, 2014),
h. 46.
32
penting yang menjadi penentu hubungan antara eksekutif dengan legislatif.
Model legislatif terbagi dalam tiga macam yakni:50
1. Originatif: melantik dan memberhentikan eksekutif.
2. Proaktif: membuat dan meloloskan usulan yang berasal dari legislatif itu
sendiri.
3. Reaktif: menggunakan hak veto terhadap usulan yang diajukan oleh
eksekutif.
Ciri-ciri di atas tersebut kebanyakan digunakan dalam negara-negara
yang mengadopsi sistem pemerintahan parlementer di negara-negara Eropa.
Menurut Figuerido dan Limongi, hal yang utama dalam hubungan eksekutif
dengan legislatif adalah kekuasaan legislatif presiden dan pengorganisasian
lembaga legislatif. Maksud kekuasaan legislatif presiden adalah bahwa
presiden dapat mendesak legislatif untuk dapat bekerja sama dan tidak
berkonflik meskipun eksekutif hanya minoritas di legislatif.
Institusi juga berpengaruh dalam proses hubungan antara eksekutif
dengan legislatif. Thelen dan Steinmo mendefinisikan institusi sebagai
aturan yang formal, prosedur kepatuhan, dan prosedur operasi standar yang
menstrukturkan hubungan antar individu di berbagai unit pemerintahan dan
bidang ekonomi pun juga termasuk dalam institusi. Kekuasaan
konstitusional presiden dalam sistem presidensial akan selalu sejajar dengan
kekuasaan legislatif dan begitu juga dalam proses terlahirnya sebuah
undang-undang dalam sistem presidensial. Hubungan antara eksekutif
50
Djayadi Hanan, Menakar Presidensialisme Multipartai di Indonesia: Upaya Mencari
Format Demokrasi yang Stabil dan Dinamis dalam Konteks Indonesia, h.50.
33
dengan legislatif bersifat check and balances dan hasil dari proses
dimasing-masing institusi lalu kemudian dikirim ke masing-masing pihak
terkait.
Institusi dalam proses kerjanya menurut Hall ada dua tahap, pertama
organisasi pengambil kebijakan berusaha untuk mempengaruhi kekuasaan
yang dipegang oleh sekelompok orang dalam menentukan hasil kebijakan
yang telah dibuat. Kedua, posisi kelompok dalam upaya mempengaruhi para
tokoh yang mempunyai kepentingan. Dalam pemerintahan, posisi seperti ini
mirip dengan pembahasan undang-undang antara presiden dengan parlemen.
D. Partai Politik Dalam Sistem Presidensial
Sebagai institusi yang menjadi alat untuk menjamin partisipasi
masyarakat, partai politik merupakan salah satu pilar penting dalam
kehidupan berdemokrasi. Karenanya, partai politik berperan menjadi
fasilitas atau sarana bagi masyarakat untuk dapat ikut dan berpartisipasi
dalam perpolitikan negara. Menurut Carl Friedrich, partai adalah sebuah
kelompok yang dibuat oleh manusia secara terorganisir dengan stabil dan
mencapai tujuan untuk mengambil dan mempertahankan kekuasaan dan
pemerintahannya. Menurut Soltau partai politik adalah sebuah organisasi
yang membentuk sebagai kesatuan politik dan menggunakan kekuasaannya
untuk membuat kebijakan yang bersifat umum yang dibuat oleh para
penguasa negara tersebut.51
Lalu menurut Sigmund Neumann berpendapat
bahwa partai politik adalah sebuah organisasi yang didirikan oleh para
51
Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: PT Grasindo, 2010), h. 148.
34
aktivis politik yang memiliki tujuan untuk merebut pemerintahan serta
merebut hati masyarakat dengan bersaing dengan kelompok yang
mempunyai perbedaan pandangan.52
Secara historis, organisasi berbentuk partai politik muncul sejak era
demokrasi di mana kedaulatan rakyat benar-benar mulai menggantikan
monarki absolut. Dalam kaitan ini, partai politik berfungsi sebagai
mekanisme kelembagaan untuk meraih kekuasaan dan bagaimana rakyat
mempertahankan kekuasaan tersebut. Berlandaskan ideologi dan
kepentingan politik tertentu, partai politik berusaha sekuat mungkin
melaksanakan visi misi dengan cara membenuk pemerintahan. Dalam
paham demokrasi, cara agar dapat meraih dan mempertahankan kekuasaan
tadi, sebuah partai harus mengikuti mekanisme yang terdapat dalam aturan
main demokrasi, yaitu pemilihan umum (pemilu).
Keberadaan partai politik dalam suatu negara demokratis menandai
berjalannya sebuah sitem demokrasi, karena dalam kerangka itulah sebuah
prinsip kebebasan dan kemerdekaan berorganisasi berjalan sesuai dengan
aturan main demokratis. Melalui organisasi kepartaian kita bisa meyakini
bahwa rakyat memiliki kedaulatan untuk terlibat dalam penyelenggaraan
kekuasaan.53
Partai politik jika sudah berhasil mendapatkan kekuasaan,
maka partai politik dapat menggunakan posisinya sebagai pembuat
keputusan. Sedangkan, partai politik yang tidak mampu meraih
52
Abd. Rahman Bawazi, “Dinamika Partai Politik dalam Sistem Presidensil di Indonesia”.
Jurnal Agama dan Hak Azazi Manusia”. Vol. 6, No. 2, Mei 2017, h. 140. 53
Yusuf Wibisono, “Anomali Praktik Sistem Pemerintahan Presidensial dan Multipartai di
Awal Pemerintahan Jokowi Tahun 2014”. Jurnal Ilmu dan Budaya. Vol. 40, No. 55, Maret 2017.
35
kemenangan, maka partai politik tersebut menjadi oposisi atau pengontrol
terhadap partai politik yang mayoritas di legislatif atau parlemen.
Keberadaan partai politik di dalam sistem politik, tentunya partai politik
akan terikat dengan aturan sistem kepartaian di negara yang bersangkutan.
Menurut Maurice Devanger, di dalam sistem pemerintahan
demokratis terdapat tiga jenis sistem kepartaian. Pertama, sistem partai
tunggal lahir karena kekhawatiran dengan keanekaragaman dan konflik
horizontal yang akan menyebabkan negara tersebut tidak stabil. Sistem
tunggal ini mengharamkan adanya oposisi, dan partai tunggal berkuasa
menjadi pemimpin untuk kepentingan masyarakat secara menyeluruh.
Kedua, sistem dua partai berarti terdapat partai penguasa atau partai
pemenang pemilu dan partai oposisi yang kalah pada pemilu. Sistem
kepartaian ini sewaktu-waktu bisa berubah bisa jadi partai penguasa
menjadi oposisi dan juga sebaliknya partai oposisi jadi penguasa dari hasil
pemilu. Lalu yang terakhir adalah sistem kepartaian multi partai yang mana
berarti jumlah partai politik yang berpartisipasi lebih dari dua. Sistem multi
partai banyak digunakan di negara yang terdapat keanekaragaman baik itu
suku, agama, ras. Sistem multi partai dalam pemilu biasanya tidak ada yang
meraih mayoritas suara sehingga harus berkoalisi supaya bisa memenuhi
jumlah kursi minimum.54
Pada sistem presidensial, partai politik memiliki peran yang cukup
penting. Pemimpin eksekutif atau presiden di dalam sistem presidensial
54
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia, 2008), h. 415-
420.
36
memang tidak bertanggung jawab kepada legislatif atau parlemen, tapi tentu
saja presiden membutuhkan parlemen untuk dapat menjalankan program-
program yang telah disusun oleh presiden. Program-program kerja presiden
bisa terhambat jika koalisi dalam pemerintahannya tidak dapat mayoritas di
parlemen. Presiden membutuhkan dukungan dari legislatif terutama di
dalam negara yang multipartai.
Di sinilah kalkulasi rasional dari partai-partai dalam sistem
presidensial muncul. Karena kepastian untuk memenangkan pemilu itu
begitu kecil, membentuk koalisi dalam pemerintahan adalah jalan terbaik
bagi partai untuk dapat memuluskan langkah-langkah setiap kebijakan
presiden. Pembentukan koalisi diawali dengan mengikuti pemilihan umum
baik pemilihan presiden maupun legislatif. Sebelum mengikuti pemilihan
umum, semua partai politik menentukan sikapnya masing-masing untuk ikut
dan bergabung dengan partai politik lainnya dan membentuk sebuah koalisi.
Setelah pemilihan umum baik eksekutif maupun legislatif selesai digelar
dan hasil pemilihan umum tersebut akan menentukan posisi para partai
politik tersebut bisa jadi menjadi koalisi pemerintah atau koalisi oposisi.55
Membangun koalisi dalam sistem presidensial multi partai tentunya
bukan hal yang mudah. Setiap partai politik yang ada di pemerintahan
mempunyai tujuan, komitmen, idealisme tersembunyi didalamnya demi
mencapai kepentingan partai politik itu sendiri. Selain itu, menurut Scott
Mainwaring perpecahan di dalam koalisi kerap terjadi di dalam sistem
55
Djayadi Hanan, Menakar Presidensialisme Multipartai di Indonesia: Upaya Mencari
Format Demokrasi yang Stabil dan Dinamis dalam Konteks Indonesia, (Bandung: Mizan, 2014),
h. 69.
37
presidensial karena para pemimpin partai politik dalam koalisi harus tetap
berhubungan baik dengan presiden karena jika sampai ada kesalahan dalam
pemerintahan, maka identitas partai tersebut akan menjadi tercoreng karena
kesalahan yang dibuat.56
Koalisi partai politik dalam sistem presidensial bisa menjadi ganjalan
bagi presiden terutama dalam koalisi pemerintahan. Anggota kabinet
dibentuk dan ditunjuk oleh presiden melalui hak prerogatifnya. Hak
prerogatif menurut Bagir Manan adalah hak yang dimiliki oleh seorang
presiden yang berasal dari konstitusi.57
Namun, pada kenyataannya hak
prerogatif tidak dapat terlaksana sepenuhnya dari presiden itu sendiri, peran
partai politik yang berkoalisi yang mengintervensi presiden dalam
pemilihan para menteri membuat kabinet pemerintahan diisi oleh orang-
orang yang memiliki kepentingan baik itu partai maupun pribadi.58
Semua jenis sistem pemerintahan yang ada di dunia ini tidak
sepenuhnya berjalan mulus atau sempurna begitu juga dengan sistem
presidensial. Suatu pemerintahan dalam sistem presidensial agar dapat
berjalan dengan stabil yakni harus mampu menguasai parlemen yakni
dengan meraih mayoritas kursi. Selain itu, parlemen adalah perwakilan dari
partai politik dan hal yang pasti terjadi di dalam parlemen adalah manuver
dan intervensi di dalam aktivitas parlemen. Aktivitas partai politik yang
56
Firman Hanan, “Relasi Eksekutif-Legislatif dalam Presidensialisme Multipartai di
Indonesia”, Jurnal Wacana Politik, Vol. 2, No. 2, Oktober 2017, h. 100. 57
Hendra Wahyu Prabandani, “Batas Konstitusional Kekuasaan Konstitusional Presiden”.
Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 12, No. 03, Oktober 2015, h. 270. 58
M. Yasin al-Arif, “Anomali Sistem Pemerintahan Presidensial Pasca Amandemen UUD
1945”. Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM, Vol. 22, No.2, April 2015, h. 243.
38
terjadi di parlemen tentu akan berpengaruh terhadap relasi antara presiden
dengan parlemen. Hubungan yang harmonis antara presiden dengan
parlemen adalah hal yang penting supaya pemerintahan tetap stabil dan
tidak ada aksi saling ingin berkuasa melebihi kewenangannya masing-
masing.59
59
Fazrin Basalamah, “Pengaruh Partai Politik dalam Sistem Pemerintahan (Presidensial)
Menurut Pasal 6A UUD 1945”. JurnalLex Administratum, Vol. 6, No. 2, April-Juni 2018, h. 79-
80.
39
BAB III
PERJALANAN SISTEM PRESIDENSIAL DI INDONESIA
DAN TURKI
Dalam bab ini hendak dijelaskan sejarah panjang dinamika perjalanan
sistem pemerintahan yang berada di Indonesia dan Turki. Bab ini akan fokus
pada dinamika bagaimana sistem sistem presidensial terbentuk dan
berkembang di Indonesia dan Turki, sesuai dengan tantangan-tantangan
politik dan dinamika kepartaian di kedua negara itu. Dalam konteks ini, baik
Turki dan Indonesia sama-sama pernah mempunyai pengalaman politik di
mana sistem sistem presidensial diganti dangan sistem parlementer. Hal ini
tidak berjalan panjang, tetapi menunjukkan bukti bahwa kuatnya politik
kepartaian di suatua negara bisa jadi menjadi ancaman pada sistem
presidensial. Dalam arti demikian, sistem politik dan pemerintahan di Turki
dan Indonesia memiliki sejarah panjang dalam membentuk sistem
pemerintahan yang ideal yang diterapkan di kedua negara dewasa ini.
A. Sistem Presidensial di Indonesia
1. Era Orde Lama
Perdebatan mengenai sistem pemerintahan yang tepat bagi Indonesia
sudah muncul sebelum kemerdekaan. Perdebatan ini dimulai di dalam
lembaga Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI) yang berdiri pada 29 April 1945. Badan ini diketuai oleh Ir.
Radjiman Widyodiningrat. Lembaga ini banyak membicarakan berbagai
40
permasalahan mengenai Indonesia setelah merdeka seperti dasar negara,
bentuk negara dll. Pada awalnya, adalah Dr. Soepomo yang mengusulkan
bahwa Indonesia tidak mengadopsi sistem demokrasi ala Barat karena
demokrasi di mayoritas negara Barat cenderung melahirkan sikap
individualisme. Pada 14 Juli 1945, dalam rapat BPUPKI ditetapkan bahwa
sistem presidensial dan sistem parlementer sama-sama memiliki kelemahan
dan tidak cocok diterapkan di Indonesia.60
Pada 18 Agustus 1945, satu hari setelah proklamasi kemerdekaan,
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) menggelar sidang pertama
pasca kemerdekaan dan melahirkan beberapa hal yang krusial salah satunya
adalah Undang-Undang Dasar 1945 resmi disahkan. Pembentukan UUD 1945
diwarnai dengan banyak perdebatan di antara banyak kalangan. Seperti Ir.
Soekarno, Moh. Hatta, Moh. Yamin, dan Dr. Soepomo. Hal-hal yang
diperdebatkan di dalam perancangan UUD 1945 di antaranya adalah
mengenai dasar negara yang berdasarkan teori individu, teori kelas.
Perdebatan mengenai pembukaan di dalam UUD 1945 di mana kelompok
nasionalis dan kelompok Islam berdebat mengenai tujuh kata yang dianggap
hanya untuk kepentingan umat muslim pada sila pertama Pancasila.61
Pada hari yang sama, Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta dilantik
menjadi presiden dan wakil presiden Republik Indonesia secara aklamasi dan
Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dibentuk untuk membantu tugas
60
Sofian Effendi, “Mencari Sistem Pemerintahan Negara”, makalah Pidato Dies UGM, 23
November 2006, hlm. 6. 61
Sarah Nuraini Siregar, Sistem Presidensial Indonesia dari Soekarno ke Jokowi, (Jakarta:
AIPI), 2018, hlm. 31.
41
presiden dan wakil presiden atau eksekutif sebelum Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terbentuk. Pada sidang
kedua PPKI yang digelar pada tanggal 19 Agustus 1945 melahirkan beberapa
keputusan penting diantaranya terbentuknya 12 kementerian dan 4 Menteri
Negara, pembentukan 8 provinsi yang setiap provinsi dipimpin oleh
gubernur. Di hari yang sama, lahir kabinet yang bernama Kabinet
Presidensial karena Indonesia setelah merdeka mulai menerapkan sistem
presidensial di mana presiden menjadi kepala negara sekaligus kepala
pemerintahan.
Kabinet Presidensial yang dibentuk pada 19 Agustus 1945 hanya
bertahan sampai pada tanggal 14 November 1945. Ini terjadi karena Soetan
Sjahrir diangkat menjadi perdana menteri dan otomatis pada saat itu sistem
pemerintahan berubah dari presidensial menjadi parlementer. Pengangkatan
Soetan Sjahrir sebagai perdana menteri didasari dengan dikeluarkannya
Maklumat Pemerintah pada hari yang sama. Sejak 14 November 1945 hingga
20 Desember 1949 telah terjadi beberapa kali pergantian kabinet mulai dari
Sjahrir I, II, III, Kabinet Amir Sjarifuddin I, II, Kabinet Hatta I, II, dan
sampai lahirnya Republik Indonesia Serikat (RIS) yang dipimpin oleh Moh
Hatta.62
Pada periode 1945-1949, kondisi Indonesia masih belum sepenuhnya
bebas dari pengaruh asing terutama Belanda yang tidak mengakui kedaulatan
Republik Indonesia terus mengintervensi Indonesia. Belanda yang
62
Rosdalina Bukido, “Kajian Terhadap Sistem Pemerintahan dan Prakteknya Menurut
Undang-Undang Dasar Tahun 1945”, Jurnal Ilmiah Al-Syir’ah Vol 10, No.1, 2012, 8-9.
42
menggunakan cara kekerasan dengan melalui perang mendapat kecaman
internasional terutama dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Belanda
pada akhirnya bersedia mengikuti beberapa perjanjian untuk menentukan
nasib mereka di Indonesia. Perjanjian Linggarjati menjadi perundingan
pertama antara Indonesia dengan Belanda. Republik Indonesia Serikat (RIS)
lahir pada saat pemerintah Indonesia dan Belanda berunding di dalam
Perjanjian Linggarjati di Cirebon pada 11-13 November 1946 yang pada saat
itu delegasi Indonesia dipimpin oleh Soetan Sjahrir, sedangkan delegasi dari
pihak Belanda dipimpin oleh H. J. Van Mook dan perjanjian ini
ditandatangani pada 25 Maret 1947. Republik Indonesia Serikat (RIS) lahir
setelah mendapat kedaulatan dari Belanda dalam Konferensi Meja Bundar
(KMB) di Den Haag pada 27 Desember 1949.63
Indonesia mulai memasuki era Demokrasi Parlementer pasca bubarnya
Republik Indonesia Serikat (RIS) pada tanggal 17 Agustus 1950 dan kembali
ke Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Era Demokrasi Parlementer
berlandaskan pada Undang-Undang Dasar 1950 (UUDS 1950).64
Jika pada
masa sistem Presidensial presiden adalah pemegang kepala negara dan kepala
pemerintahan, tetapi di era Demokrasi Parlementer presiden hanya sebatas
seremonial atau hanya sebagai kepala negara, sedangkan perdana menteri
menjalankan tugasnya sebagai kepala pemerintahan atau sebagai eksekutif
dan bertanggung jawab kepada DPR atau legislatif.
63
George McTurnan Kahin, Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia, (Surakarta: UNS
Press), 1995, hlm. 570. 64
Paizon Hakiki, “Sistem Pemerintahan Pada Masa Demokrasi Liberal Tahun 1949-
1959”, Jurnal Online Mahasiswa Vol 1, No.1, 2014.
43
Mohammad Natsir didaulat menjadi Perdana Menteri Indonesia
pertama oleh Presiden Soekarno setelah pemerintahan RIS bubar pada
tanggal 6 September 1950. Mohammad Natsir yang merupakan ketua Partai
Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) menguasai kursi parlemen
dengan 49 kursi. Koalisi Kabinet Natsir meliputi Persatuan Indonesia Raya
(PIR), Partai Indonesia Raya (Parindra), Partai Sosialis Indonesia (PSI),
Partai Katolik, Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII), dan Partai Kristen.
Koalisi Kabinet Natsir juga mendapatkan dukungan dari anggota parlemen
non-partai sebanyak 24 orang. Selain itu, Kabinet Natsir juga mendapat
dukungan dari kalangan militer yang mempunyai hubungan baik dengan
Partai Masyumi.
Koalisi partai oposisi dipimpin oleh Partai Nasional Indonesia (PNI)
dengan perolehan kursi sebanyak 41 kursi parlemen yang didukung oleh
Partai Komunis Indonesia (PKI) dan partai-partai beraliran pendukung Stalin
dengan perolehan kursi 29 kursi. Parlemen juga diisi oleh partai politik yang
tidak memihak ke pihak manapun atau netral seperti Partai Buruh, dan
Barisan Tani Indonesia.65
Program-program dalam pemerintahan Mohammad Natsir untuk
mencapai Indonesia yang lebih baik diantarannya adalah mempersiapkan
menyelenggarakan pemilu untuk Dewan Konstituante, konsolidasi di dalam
pemerintahan, menyempurnakan organisasi angkatan perang,
mengembangkan dan memperkuat sistem ekonomi kerakyatan,
65
George McTurnan Kahin, Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia, (Surakarta: UNS
Press), 1995, hlm. 593.
44
menyelesaikan dan memperjuangkan Irian Barat untuk dapat bergabung ke
Indonesia.
Kabinet Natsir hanya mampu bertahan kurang dari setahun karena
pada tanggal 22 Januari 1951 mayoritas anggota parlemen menyatakan mosi
tidak percaya terhadap pemerintahan Natsir dan pada 20 Maret 1951,
Mohammad Natsir memberikan mandatnya kepada presiden. Pemerintahan
dilanjutkan oleh Soekiman Wirjosandjojo dan membentuk kabinet yang
bernama Kabinet Soekiman. Soekiman merupakan tokoh sayap dari Partai
Masyumi yang pada masa Kabinet Natsir mengkritik Mohammad Natsir
karena pemerintahan Mohammad Natsir yang berupaya untuk mengeluarkan
PNI dari kabinet.66
Kabinet Soekiman memiliki kesamaan dengan Kabinet Natsir dalam
program kerja pemerintah, yakni memperjuangkan Irian Barat berintegrasi ke
Indonesia. Jika di masa Kabinet Natsir, Perdana Menteri memiliki hubungan
yang baik dengan militer, lain halnya dengan pemerintahan Soekiman yang
tidak dapat menjaga hubungan baik dengan militer. Ini dilihat dari tindakan
yang diambil oleh pemerintahan Soekiman dalam menghadapi
pemberontakan yang terjadi di Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan.
Kabinet Soekiman pada akhirnya harus berhenti pada 3 April 1952.
Wilopo naik menjadi perdana menteri sekaligus menjadi perdana
menteri pertama yang berasal dari Partai Nasional Indonesia (PNI), setelah
dua perdana menteri sebelumnya berasal dari Partai Masyumi. Sama seperti
66
Robert E. Lucius, “A House Divided: The Decline and Fall of Masyumi (1950-1956)”,
(Tesis Naval Postgraduate School, US Navy, 2003).
45
pemerintahan sebelumnya, program-program kerja yang dianggap penting
adalah mengenai Irian Barat dan kestabilan politik nasional. Sama dengan
pemerintahan sebelumnya, hubungan pemerintah dengan militer terutama
Angkatan Darat tidak begitu harmonis.
Konflik pemerintah dengan Angkatan Darat dikenal dengan peristiwa
17 Oktober 1952. Konflik ini muncul karena Dewan Perwakilan Rakyat
Sementara (DPRS) terus menunda pelaksanaan pemilu. Selain itu, tindakan
pemerintah yang berupaya mengintervensi militer mendapat kecaman dari
parlemen. Permasalahan tanah perkebunan milik asing di Tanjung Morawa
juga menjadi permasalahan di dalam pemerintahan Wilopo. Pihak oposisi dan
pihak anti kabinet lainnya menggelar mosi tidak percaya kepada Kabinet
Wilopo dan pada 2 Juni 1953, Wilopo menyerahkan mandatnya kepada
Presiden Soekarno.67
Ali Sastroamidjojo naik menjadi perdana menteri yang berasal dari
PNI. Kabinet Ali Sastroamidjojo diisi oleh orang-orang yang ahli pada
bidangnya atau disebut juga dengan istilah zaken kabinet. Program kerja yang
disusun dalam pemerintahan Kabinet Ali adalah menyelenggarakan pemilu
segera, mengakhiri konflik politik, pembebasan Irian Barat. Pemerintahan Ali
Sastroamidjojo menghadapi permasalahan dari daerah yakni ketika Aceh
yang pada saat itu dikuasai oleh Daud Beureueh menuntut status Aceh untuk
ditingkatkan menjadi provinsi sendiri terpisah dari Sumatera Utara.
67
Paizon Hakiki, “Sistem Pemerintahan Pada Masa Demokrasi Liberal Tahun 1949-
1959”, Jurnal Online Mahasiswa Vol 1, No.1, 2014.
46
Permasalahan dengan militer terutama dengan Angkatan Darat masih
terus berlanjut dari pemerintahan sebelumnya. Tentara Nasional Indonesia
terpecah sejah peristiwa 17 Oktober 1952 antara kelompok yang pro dengan
demonstrasi dengan kelompok yang kontra dengan demonstrasi tersebut.
Mayor Jenderal T.B Simatupang yang pada saat itu menjabat sebagai Kepala
Staf Angkatan Perang (KSAP) dipecat karena mendukung gerakan
demonstrasi tersebut. Penunjukan Iwa Kusumasumantri sebagai menteri
pertahanan membuat hubungan antara pemerintah dengan Angkatan Darat
semakin memburuk terutama ketika Iwa Kusumasumantri mengangkat
Kolonel Zulkifli Lubis sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) tanpa
konsultasi dengan pimpinan KSAD sebelumnya Kolonel Bambang Sugeng.68
Akhirnya Kabinet Ali Sastroamidjojo tidak dapat bertahan lama dan
Ali Sastroamidjojo mengembalikan mandatnya ke Presiden pada 24 Juli
1955. Ada satu kesuksesan yang dicapai dalam pemerintahan Ali
Sastroamidjojo yakni mampu menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika
pada 18-25 April di Bandung. Jabatan perdana menteri kemudian dipegang
oleh Burhanuddin Harahap pada tanggal 12 Agustus 1955 yang merupakan
tokoh dari kalangan PNI. Tak lama setelah dilantik menjadi perdana menteri
atau tepatnya pada tanggal 29 September 1955, pemilu untuk pertama kalinya
sejak merdeka digelar. Pemilu pertama memilih anggota DPR dan pemilu
kedua untuk memilih anggota konstituante pada 15 Desember 1955. Hasil
pemilu 1955 sangat krusial dan mengubah komposisi jumlah anggota partai
68
Herbert Feith, The Decline of Constitusional Democracy in Indonesia, (Jakarta:
Equinox, 2007), hlm. 396.
47
politik di parlemen dan berpengaruh terhadap pemerintahan Burhanuddin
Harahap yang pada akhirnya mengembalikan mandatnya ke Presiden
Soekarno pada 3 Maret 1956.69
Ali Sastroamidjojo kembali naik menjadi perdana menteri untuk yang
kedua kalinya pada 20 Maret 1956. Kabinet Ali Sastroamidjojo II untuk
pertama kalinya berkoalisi antara PNI, Masyumi, dan Nahdhlatul Ulama
(NU). Tetapi koalisi di dalam pemerintahan Ali Sastroamidjojo II tidak
bertahan lama karena Masyumi menuntut Ali Sastroamidjojo untuk
menyerahkan mandatnya karena daerah bergejolak. Akhirnya Masyumi
memutuskan untuk menarik seluruh menterinya dari kabinet Ali
Sastroamidjojo dan ini berpengaruh besar terhadap posisi Ali Sastroamidjojo
sebagai perdana menteri dan krisis pemerintahan ini berakhir ketika Ali
Sastroamidjojo menyerahkan mandatnya kepada Presiden Soekarno pada 14
Maret 1957.
Instabilitas yang terus terjadi di dalam pemerintahan membuat
Presiden Soekarno memutuskan untuk membentuk kabinet sendiri pada 9
April 1957 yakni Kabinet Karya dan Ir. Djuanda Kartawidjaja ditunjuk
memimpin kabinet. Program kerja yang disusun di dalam Kabinet Karya ini
disebut dengan Pancakarya atau 5 program kerja yakni : (1) Membentuk
dewan nasional; (2) Normalisasi keadaan negara; (3) Melancarkan
pembatalan isi KMB; (4) Memperjuangkan integrasi Irian Barat; (5)
Mempercepat pembangunan nasional.
69
Singgih Bambang Permadi, “Proses Pemilihan Umum 1955 di Indonesia” (Skripsi S1
Program Studi Pendidikan Sejarah, Universitas Negeri Yogyakarta, 2014).
48
Pelaksanaan Pancakarya dalam pemerintahan Ir. Djuanda sulit
dilaksanakan karena masih terjadi pergolakan di daerah seperti yang terjadi
di Sumatera Barat lahir gerakan Pemerintahan Revolusioner Republik
Indonesia (PRRI) dibawah pimpinan Letnan Kolonel Ahmad Husein, lalu
gerakan Perdjuangan Rakyat Semesta (Permesta) di Sulawesi Utara dibawah
pimpinan Letnan Kolonel Ventje Sumual. Gerakan-gerakan separatis di
daerah muncul karena pemerintah pusat tidak mampu melaksanakan
pembangunan di daerah dan cenderung terpusat. Bahkan Presiden Soekarno
juga menjadi sasaran percobaan pembunuhan di Cikini, Jakarta pada 30
November 1957.
Pemerintahan Djuanda menorehkan sebuah prestasi internasional
yakni mengubah batas perairan Indonesia yang mana di era pemerintahan
Hindia Belanda hanya dihitung 3 mil dari garis pantai dan semua laut-laut
antar pulau resmi milik Indonesia dan bukan lagi perairan bebas.70
Pada
akhirnya, kegagalan pemerintah untuk menciptakan undang-undang dalam
sistem parlementer dalam rentang tahun 1950-1959 berhenti setelah Presiden
Soekarno memutuskan untuk mengeluarkan Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959.
Isi dari Dekrit Presiden tersebut adalah :
a. Pembubaran Konstituante.
b. Kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 dan UUDS 1950 tidak berlaku
lagi.
70
“Deklarasi Djuanda I isi, hasil, sejarah, dan pengaruhnya terhadap Indonesia”,
https://setkab.go.id/deklarasi-djuanda-dan-visi-mochtar-kusumaatmadja/. Diakses pada tanggal 13
Maret 2019.
49
c. Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan Dewan
Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS) akan segera dibentuk.71
Setelah dikeluarkannya Dekrit Presiden, Presiden Soekarno mulai
menjalankan pemerintahan yang disebut dengan Demokrasi Terpimpin. Era
Demokrasi Terpimpin menjadi akhir dari sistem Demokrasi Liberal yang
cenderung tidak stabil karena sering bergantinya kepala pemerintahan dan
hubungan dengan legislatif yang terus memburuk dan tidak cocok diterapkan
di Indonesia. UUD 1945 mulai kembali digunakan sebagai rujukan dasar
pemerintahan mulai Juni 1959. Komponen pemerintahan era Demokrasi
terdiri badan eksekutif yakni presiden, wakil presiden dan para menteri yang
ditunjuk dan diberhentikan oleh presiden. Presiden dan wakil presiden dipilih
oleh MPRS sehingga presiden dan wakil presiden disebut mandataris MPRS
atau bertanggung jawab kepada MPR.
Pada era Demokrasi Terpimpin, peran eksekutif sangatlah dominan
dan peran lembaga legislatif dan yudikatif seperti Mahkamah Agung
berstatus menteri, tidak ada wakil presiden dan era ini nyaris prinsip check
and balances tidak berfungsi. Demokrasi Terpimpin ala Presiden Soekarno
pada pelaksanaannya banyak terjadi penyelewengan dari Undang-Undang
Dasar 1945. Beberapa contoh penyelewengan di era Demokrasi Terpimpin
diantaranya adalah pada tahun 1960 Presiden sebagai eksekutif membubarkan
Dewan Perwakilan Rakyat hasil pemilu, pimpinan DPR diangkat menjadi
menteri, sekaligus menjadi pembantu presiden, presiden diangkat menjadi
71
“Isi Dekrit Presiden 5 Juli 1959”, https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/muspres/dekrit-
presiden-5-juli-1959/. Diakses pada tanggal 13 Maret 2019.
50
presiden seumur hidup berdasarakan TAP MPRS No. III/1963, dan presiden
diberi wewenang untuk dapat mencampuri lembaga yudikatif.72
Era Demokrasi Terpimpin ini pada akhirnya mengalami kemunduran
seiring dengan kondisi negara yang tidak stabil dan berbagai macam
peristiwa seperti Gerakan 30 September 1965, Tri Tuntutan Rakyat (Tritura),
Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) menjadi akhir dari kepemimpinan
Presiden Soekarno.
Jika dilihat dari pelaksanaan sistem pemerintahan pada era Soekarno
sejak Indonesia merdeka pada 1945 hingga era Demokrasi Terpimpin pada
tahun 1966, sistem pemerintahan tidak dapat berjalan dengan semestinya
karena gejolak dan ketidakstabilan politik yang terus terjadi dan juga sifat
Presiden Soekarno yang cenderung tidak demokratis membuat keadaan
negara dan pemerintah semakin tidak menentu.
2. Era Orde Baru
Era Orde Baru (Orba) adalah era Presiden Soeharto menjadi Presiden
Republik Indonesia. Soeharto dilantik pada 27 Maret 1968 berdasarkan TAP
MPRS No. XXXXIV Tahun 1968 setelah sebelumnya hanya menjadi Pejabat
Presiden dari 12 Maret 1967 – 27 Maret 1968. Era Orde Baru perlahan mulai
melakukan perubahan-perubahan yang sebelumnya pernah terjadi di era
Presiden Soekarno. Mulai dari kebijakan lembaga eksekutif seperti menteri
yang sebelumnya dapat rangkap jabatan menjadi anggota legislatif atau
anggota DPR kini dilarang, jumlah menteri dalam satu kabinet dibatasi hanya
72
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia, 2008), h. 130.
51
menjadi 24 orang ditambah 3 pejabat setingkat menteri dan para menteri diisi
oleh orang-orang profesional sesuai bidangnya.
Bidang legislatif juga mengalami perubahan pada periode 1966-1971
seperti jumlah anggota legislatif atau DPR dari sebelumnya 283 berkurang
menjadi 242 kursi. Anggota parlemen dari PKI, ataupun anggota parlemen
yang dicurigai berafiliasi dengan PKI dipecat. 242 anggota parlemen terdiri
dari 102 anggota berasal dari partai politik, 140 berasal dari Golongan Karya
(Golkar) yang didalamnya terdapat anggota ABRI.
Pada tanggal 3 Juli 1971 pemerintah berhasil menyelenggarakan
pemilu untuk pertama kalinya di era Presiden Soeharto setelah pemilu
terakhir dilaksanakan pada tahun 1955. Ada beberapa perubahan dalam
legislatif salah satunya adalah jumlah anggota DPR-RI bertambah menjadi
460 yang diantaranya 100 anggota diangkat dan 360 anggota dipilih melalui
pemilu. Setelah itu, partai-partai politik yang mengikuti pemilu 1971
dileburkan dan hanya menjadi 3 partai politik. Golongan Karya (Golkar),
Partai Demokrasi Indonesia yang terdiri dari gabungan beberapa partai
politik seperti PNI, Partai Murba, IPKI, Parkindo, Partai Katolik. Partai
Persatuan Pembangunan (PPP) terdiri dari gabungan Partai Nahdlatul Ulama
(NU), Partai Syarekat Islam Indonesia (PSII), Persatuan Tarbiyah Islamiyah,
Parmusi.73
Partai-partai politik di era Orde Baru diwajibkan untuk
berideologi atau berasas tunggal yakni Pancasila.
73
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h. 338.
52
Hubungan antara eksekutif dan legislatif pada masa Orde Baru bisa
dikatakan tidak seimbang karena kekuasaan Presiden Soeharto sangat
mendominasi dalam setiap pengambilan kebijakan. Anggota legislatif
MPR/DPR sebagian besar ditunjuk langsung oleh eksekutif atau disini
Presiden Soeharto dan setiap undang-undang yang dirancang harus mendapat
persetujuan dari presiden. Keanggotaan MPR yang terdiri dari 500 anggota
DPR hasil pemilu dan 20% militer, dan sisanya adalah utusan golongan dan
daerah yang semuanya dipilih oleh Presiden. Presiden bertanggung jawab
kepada MPR dan ini disebut dengan mandataris MPR.74
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) juga terlibat di
dalam lembaga legislatif. Anggota ABRI terlibat di dalam politik karena
dianggap mampu menjaga stabilitas politik nasional. ABRI di era Orde Baru
berperan yang disebut dengan Dwifungsi. Para perwira ABRI ditempatkan di
berbagai jabatan sipil seperti gubernur, bupati, walikota, duta besar. Jumlah
anggota ABRI pada tahun 1967 berjumlah 43 kursi, di tahun 1969 naik
menjadi 75 kursi, dan di tahun 1985 naik menjadi 100 kursi dari 500 anggota
DPR.75
Eksekutif atau presiden juga memiliki kewenangan untuk dapat
menentukan keanggotaan MPR berdasarkan pasal 1 ayat 4 huruf c UU No. 16
Tahun 1969 jo UU No.2 Tahun 1985. Posisi eksekutif dan legislatif sejajar
sama-sama sebagai lembaga tinggi negara berdasarkan TAP MPR No.
III/MPR/1978. Pemilu legislatif dalam era Orde Baru selalu digelar setiap
74
Josef M. Monteiro, “Perpaduan Presidensial dan Parlementer dalam Sistem
Pemerintahan RI”. Jurnal Hukum PRIORIS, Vol 5, No. 3, 2016, h. 213. 75
Sarah Nuraini Siregar, Sistem Presidensial Indonesia dari Soekarno ke Jokowi, (Jakarta:
AIPI), 2018, h. 168.
53
lima tahun sekali dan dalam rentang 1977-1997 selalu dimenangkan oleh
Golongan Karya (Golkar).76
Tujuan era Orde Baru adalah menjaga stabilitas dalam berbagai bidang
seperti ekonomi, politik, sosial. Orde Baru yang pada awalnya adalah anti
tesis dengan era pemerintahan sebelumnya tetapi pelaksanaan sistem
presidensial era Orde Baru bisa dikatakan mirip dengan pelaksanaan sistem
presidensial era Demokrasi Terpimpin 1959-1966. Salah satu kemiripan
antara era Orde baru dengan era Demokrasi Terpimpin adalah eksekutif
mendominasi pemerintahan dan lembaga legislatif tidak dapat berbuat
banyak. Perbedaan era Presiden Soeharto dengan era Presiden Soekarno
terletak pada kestabilan kondisi negara. Jika di era Soekarno perpolitikan,
keamanan, perekenomian tidak stabil, sedangkan era Presiden Soeharto
semua aspek cenderung stabil tetapi pemerintahan yang cenderung otoriter
dan tidak demokratis. Era Orde Baru berakhir pada 21 Mei 1998 ketika
Presiden Soeharto memutuskan untuk berhenti sebagai Presiden Republik
Indonesia setelah terjadi krisis moneter 1997-1998 dan kerusuhan besar yang
terjadi di Jakarta.
3. Era Reformasi
Pengunduran Presiden Soeharto menjadi awal era reformasi dalam
berbagai dimensi politik nasional. Presiden B.J. Habibie naik yang
menggantikan Soeharto berdasarkan Pasal 8 ayat 1 UUD 1945. Presiden
Habibie melakukan beberapa perubahan atau reformasi yang menuju
76
Sarah Nuraini Siregar, Sistem Presidensial Indonesia dari Soekarno ke Jokowi, h. 169.
54
demokratis. Beberapa UU produk era Orde Baru diganti dengan UU yang
lebih demokratis seperti UU No. 2 tahun 1999 tentang partai politik, UU No.
3 tahun 1999 tentang Pemilihan Umum, UU No. 4 tahun 1999 tentang
kedudukan MPR/DPR. TAP MPR yang dikeluarkan dan berkaitan dengan
kehidupan politik nasional pada masa pemerintahan B.J. Habibie diantaranya
adalah sebagai berikut:77
a. Tap MPR No. XI/MPR/1998 tentang penyelenggaraan negara yang bersih
dan bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme.
b. Tap MPR No. XIII/MPR/1998 tentang pembatasan masa jabatan presiden
dan wakil presiden Republik Indonesia.
c. Tap MPR No. III/V/MPR/1998 tentang Pemilihan umum.
Hubungan antara eksekutif dan legislatif pada masa pemerintahan B.J.
Habibie mulai membaik dan prinsip check and balances mulai berjalan di era
Presiden Habibie. Hubungan baik antara eksekutif dan legislatif
memunculkan beberapa undang-undang demokratis seperti Undang-Undang
Partai Politik, Undang-Undang Pemilihan Umum, Undang-Undang susunan
kedudukan MPR/DPR. Fungsi legislasi dan fungsi pengawasan badan
legislatif dapat berjalan sesuai dengan undang-undang. Pemilihan umum
legislatif secara demokratis digelar pada 7 Juni 1999 dengan diikuti oleh 48
partai politik dimana sebelumnya hanya terdapat 3 partai politik di era Orde
Baru.
77
Junior Hendri Wijaya, Iman Amanda Permatasari, “Capaian Masa Pemerintahan
Presiden B.J. Habibie dan Megawati di Indonesia”. Jurnal Cakrawala, Vol. 12, No. 2, 2
Desember 2018, h. 203.
55
Tetapi, hubungan baik antara eksekutif dan legislatif tidak
berlangsung lama karena Presiden Habibie dianggap tidak mampu
melanjutkan agenda-agenda reformasi seperti salah satunya adalah
pengusutan kasus pelanggaran HAM. Pemeberian opsi referendum kepada
Provinsi Timor Timur juga menjadi konflik antara eksekutif dengan
legislatif. Laporan pertanggungjawaban Presiden B.J. Habibie akhirnya
ditolak MPR pada rapat paripurna pada Oktober 1999 dan B.J. Habibie
memutuskan untuk mengundurkan diri dari pencalonan presiden.78
Pemilu 1999 adalah pemilu yang pertama kali digelar di era
Reformasi. Pemilu 1999 diikuti oleh 48 partai politik dan hasil pemilu 1999
dimenangkan oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dengan
meraih sebanyak 153 kursi legislatif disusul oleh Partai Golkar yang meraih
120 kursi legislatif, PPP dengan 58 kursi, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)
dengan 51 kursi, dan Partai Amanat Nasional (PAN) dengan 34 kursi. PDIP
pimpinan Megawati tidak dapat meraih kursi mayoritas dan partai-partai
Islam seperti PAN, PBB, PK, PKB membentuk poros yang disebut dengan
Poros Tengah yang dibentuk oleh Amien Rais dan menunjuk K.H
Abdurrahman Wahid sebagai Presiden RI dan Megawati Soekarno Putri
sebagai Wakil Presiden.79
Presiden Abdurrahman Wahid membentuk kabinet yang bernama
Kabinet Persatuan Nasional. Kabinet ini berisikan koalisi-koalisi dari
beberapa partai politik yang mendukung Abdurrahman Wahid seperti PKB,
78
Sarah Nuraini Siregar, Sistem Presidensial Indonesia dari Soekarno ke Jokowi, (Jakarta:
AIPI), 2018, h. 309. 79
Sarah Nuraini Siregar, Sistem Presidensial Indonesia dari Soekarno ke Jokowi, h. 259.
56
PDIP, Golkar, PPP, PAN, PK, PBB. Hubungan antara Presiden dengan para
menterinya mulai memburuk ketika Hamzah Haz mengundurkan diri sebagai
Menko Taskin. Wiranto juga dipaksa mundur oleh Gus Dur karena dianggap
menghalangi proses reformasi di tubuh militer. Jusuf Kalla, Susilo Bambang
Yudhoyono dipecat karena tidak sejalan dengan Gus Dur.
Hubungan antara Gus Dur dengan legislatif pada awalnya berjalan
tanpa hambatan karena koalisinya menguasai parlemen tetapi hubungan
antara Gus Dur dengan DPR mulai memburuk ketika presiden Gus Dur
mengambil keputusan tanpa adanya komunikasi dengan legislatif salah
satunya seperti kasus pergantian Kapolri Jenderal Polisi Suryo Bimantoro
dengan Wakapolri Komisaris Jenderal Chairuddin Ismail tanpa adanya
persetujuan dari DPR.
Hubungan buruk antara Gus Dur dengan para menteri, legislatif
membuat situasi politik nasional memanas dan bahkan DPR mengusulkan ke
MPR untuk memakzulkan Presiden Gus Dur karena Gus Dur mengancam
akan membubarkan MPR/DPR melalui dekrit. Akhirnya, Gus Dur
diberhentikan dari jabatannya sebagai presiden melalui Sidang Istimewa
MPR (SI MPR) dan kemudian dituangkan dalam Tap MPR No. II/MPR/2001.
Setelah Gus Dur diberhentikan, Megawati Soekarnoputri naik menjadi
presiden dan menunjuk Hamzah Haz sebagai wakil presiden. Presiden
Megawati membentuk kabinet yang bernama Kabinet Gotong Royong yang
para menterinya diisi oleh koalisi PDIP, Golkar, PAN, PKB, dan PPP.
Megawati Soekarnoputri menjadi presiden perempuan pertama dalam sejarah
57
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Era Presiden Megawati
berhasil mendirikan lembaga anti korupsi yang bernama Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 2002 dan
mempersiapkan pemilu yang demokratis yang mana untuk pertama kalinya
presiden dan wakil presiden dipilih langsung oleh rakyat di tahun 2004.80
Kondisi keamanan nasional tidak stabil setelah Soeharto turun. Ini
dibuktikan dengan banyaknya rangkaian serangan bom dan konflik seperti
Konflik Ambon, Konflik Poso yang melanda Indonesia dan menjadi sorotan
internasional terutama Peristiwa Bom Bali pada 12 Oktober 2002 yang mana
jumlah korban meninggal mencapai 202 orang dan mayoritas yang menjadi
korban adalah warga negara Australia.81
Hal ini membuat Presiden Megawati
mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu)
Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Hubungan antara Presiden Megawati dengan DPR mulai membaik
dibandingkan era sebelumnya. Meskipun demikian, ada beberapa kebijakan
presiden yang menjadi perdebatan antara presiden dengan DPR seperti
permasalahan penjualan salah satu aset Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
yakni PT. Indosat. Permasalahan lepasnya dua pulau yakni Pulau Sipadan dan
Ligitan membuat DPR menggunakan hak interpelasi untuk menggugat
pemerintah. Pemerintahan Megawati berusaha membangun komunikasi yang
80
Junior Hendri Wijaya, Iman Amanda Permatasari, “Capaian Masa Pemerintahan
Presiden B.J. Habibie dan Megawati di Indonesia”. Jurnal Cakrawala, Vol. 12, No. 2, 2
Desember 2018, h. 205. 81
https://www.liputan6.com/global/read/3665175/12-10-2002-jejak-kelam-tragedi-bom-
bali-i, diakses pada tanggal 14 Mei 2019.
58
baik antara eksekutif dengan legislatif dengan sering mengadakan rapat
bergantian antara Istana Negara dengan Gedung DPR.
Pemilu 2004 menjadi ajang bagi Megawati untuk kembali
mencalonkan diri menjadi presiden dan kali ini dia berpasangan dengan K.H.
Hasyim Muzadi. Pilpres 2004 pada akhirnya dimenangkan oleh pasangan
Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla setelah pemilu dilakukan dua
putaran. Pada pemilu 2009, SBY kembali memenangkan pemilu dan pada
kali ini dia didampingi oleh Boediono. Pemerintahan SBY-JK membentuk
kabinet yang bernama Kabinet Indonesia Bersatu. Kabinet ini diisi oleh
partai-partai koalisi seperti Partai Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera
(PKS), PAN, PKB. Periode kedua SBY diisi oleh koalisi yang sama pada
periode sebelumnya.
Pemerintahan SBY di bidang politik mampu menyelesaikan konflik
Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang berada di Aceh yang di era sebelumnya
penyelesaian konflik dilakukan secara milliter dan di era ini penyelesaian
melalui mediasi yang digelar di Finlandia pada tahun 2005. Kebijakan
desentralisasi semakin dimantapkan yang mana sebelumnya semua urusan
berada di pemerintah pusat kecuali 5 yakni, pertahanan, hubungan luar
negeri, keamanan, agama, dan keuangan.
Hubungan antara presiden dengan DPR pada pemerintahan SBY
berjalan stabil meskipun ada beberapa kali gesekan diantaranya adalah DPR
beberapa kali menggunakan hak angket dan hak interpelasi atas kebijakan-
kebijakan yang dibuat oleh pemerintah seperti persoalan harga Bahan Bakar
59
Minyak (BBM), impor beras. Presiden SBY sering melakukan lobi-lobi
politik ke DPR supaya kebijakan yang dibuatnya tidak mendapat ganjalan
dari DPR dan bahkan hampir seluruh kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh
presiden selalu mendapat dukungan dari DPR. Pemerintahan Presiden SBY
bisa dikatakan lebih seimbang antara eksekutif dengan legislatif dan prinsip
check and balances berjalan dengan semestinya.
B. Sistem Presidensial di Turki
1. Era Mustafa Kemal Ataturk
Setelah Perang Dunia I berakhir pada 1919, kondisi perpolitikan di
dalam Turki Utsmani tidak stabil dan dengan kondisi ini dimanfaatkan oleh
kelompok Mustafa Kemal Pasa dengan mendirikan Turkiye Buyuk Millet
Meclisi (TBMM) atau Majelis Agung Nasional Turki di Ankara pada 23
April 1920. Mustafa Kemal Pasa mengusulkan bahwa sistem kekhilafahan
harus dipisahkan dari politik. Namun, konsep ini ditolak dan mengakibatkan
konflik internal Turki Utsmani semakin parah hingga pada akhirnya Dewan
Perwakilan Nasional menunjuk Mustafa Kemal Pasa sebagai ketua dewan dan
diharapkan mampu meredakan situasi politik yang memanas.
Setelah dilantik menjadi ketua parlemen, Mustafa Kemal Pasa
mengumumkan gagasannya yakni membubarkan kekhilafahan dan diganti
dengan republik dan gagasan ini mendapat penolakan dari pihak Sultan
Abdulmajid II. Mustafa Kemal berpendapat bahwa yang menentang sistem
republik akan dianggap sebagai pengkhianat bangsa dan negara. Perjanjian
60
Laussane yang ditandatangani pada 24 Juli 1923 membuat Turki diakui
sebagai negara berdaulat oleh internasional.82
Republik Turki berdiri pada 29 Oktober 1923 oleh Mustafa Kemal
Pasa atau Kemal Ataturk sekaligus menjadi presiden Republik Turki pertama.
Kekhilafahan Turki Utsmani resmi dihapus pada 3 Maret 1924 dan Dinasti
Utsmaniyah termasuk khalifah terakhir Sultan Abdulmajid II diusir dari
Turki. Sistem pemerintahan Republik Turki adalah sistem parlementer.
Sistem parlementer ini mengadopsi dari negara-negara Eropa. Perpolitikan
pada masa Mustafa Kemal Ataturk didominasi oleh satu partai politik yakni
Partai Rakyat Republik (Cumhuriyet Halk Partisi). Partai ini menjadi mesin
politik Mustafa Kemal Ataturk dalam menjalankan pemerintahnnya. Peran
partai oposisi di era ini nyaris tidak ada, meskipun ada partai oposisi yakni
Partai Republik Merdeka (PRM) tetapi hanya meraih 30 kursi parlemen.
Pada era ini, tugas presiden hanya sebatas seremonial,sedangkan
perdana menteri menjalankan pemerintahan Hubungan antara eksekutif
dengan legislatif pada era Mustafa Kemal Ataturk bisa dikatakan tidak
seimbang karena semua berdasarkan mengikuti keinginan Mustafa Kemal
Ataturk. Beberapa contohnya adalah pada tahun 1931 kongres menetapkan
bahwa Turki adalah negara dengan satu partai, yakni Partai Rakyat Republik,
pemberian gelar “Ataturk” atau Bapak Turki oleh parlemen pada tahun
1934.83
Parlemen Turki menjadi pusat kekuasaan untuk Mustafa Kemal
82
Solikhun, “Negara Turki pada Masa Kepemimpinan Mustafa Kemal Ataturk Tahun
(1923-1950)”. Jurnal Ilmiah, 2013, (Depok: Universitas Indonesia). 83
Alfan Alfian, “Militer dan Politik di Turki ”, (Jakarta: Penerbit Penjuru Ilmu, 2018), h.
31.
61
Ataturk dalam melaksanakan reformasi-reformasi yang dijalankannya dan ini
tercantum dalam Konstitusi 1924. Enam prinsip Kemal Ataturk atau yang
kemudian menjadi prinsip-prinsip negara Republik Turki dan diresmikan di
dalam konstitusi yakni republikanisme (cumhuriyetcilik), populisme
(halkcilik), sekularisme (laiklik), revolusionisme (devrimcilik), dan
nasionalisme (milliyetcilik).84
2. Era Multi Partai
Setelah Mustafa Kemal Ataturk wafat pada 10 November 1938,
pemerintahan Turki dilanjutkan oleh Ismet Inonu yang naik menjadi
presiden. Ismet Inonu memulai beberapa langkah perubahan yang lebih
demokratis khususnya dalam politik salah satunya adalah membolehkan
berdirinya partai politik dan mulai berlaku era multi partai pada tahun 1945.
Partai Demokrat (Demokrat Parti) adalah partai oposisi yang baru dan
langsung membuat kejutan yakni mampu mengalahkan Partai Rakyat
Republik (CHP) pada pemilu 1950 dengan meraih 408 kursi parlemen dan
Partai Rakyat Republik hanya meraih 69 kursi parlemen. Hasil pemilu 1950
merupakan era pemerintahan Turki dengan partai yang baru setelah Partai
Rakyat Republik (CHP) berkuasa sejak merdeka pada 1923. Partai Demokrat
(DP) dipimpin oleh bekas anggota Partai Rakyat Republik yakni Adnan
Menderes dan Celal Bayar. Celal Bayar menjadi Presiden Turki sementara
Adnan Menderes menjadi Perdana Menteri Turki.
84
Alfan Alfian, “Militer dan Politik di Turki ”, h. 42.
62
Pemerintahan Turki dibawah Adnan Menderes mengalami perubahan
di berbagai bidang seperti ekonomi, politik. Ekonomi Turki di bawah
pemerintahan Adnan Menderes tumbuh rata-rata sekitar 9%. Adnan Menderes
lebih moderat karena haluan politiknya yang dekat dengan Barat dan negara-
negara mayoritas beragama Islam. Hubungan pemerintahan Adnan Menderes
dengan umat Islam di Turki sangat erat dan ini dibuktikan dengan beberapa
kebijakan yang dibuatnya seperti mengubah kembali Adzan dari Berbahasa
Turki ke Bahasa Arab, membuka kembali sekolah agama, masjid-masjid yang
ditutup di era Partai Rakyat Republik (CHP) kembali dibuka.85
Pemerintahan Adnan Menderes berubah menjadi lebih otoriter karena
kebijakan-kebijakan seperti pembatasan, pengekangan pers, anti dengan
kritik. Hubungan antara pemerintah dengan partai oposisi memburuk karena
suara-suara kritis dari pihak oposisi dibungkam. Setelah 10 tahun memimpin
Turki, Adnan Menderes akhirnya dikudeta oleh militer pada 27 Mei 1960
karena pihak militer tidak puas dengan pemerintahan Adnan Menderes yang
secara ekonomi dan politik tidak stabil. Tidak hanya itu, hubungan erat
antara Adnan Menderes dengan Islam juga faktor ketidaksukaan militer
terhadapnya.86
Cemal Gursel naik menjadi Presiden Turki setelah mengkudeta
pemerintahan Adnan Menderes dan mengadakan referendum untuk
melakukan perubahan pada konstitusi Turki pada tahun 1961. Hasilnya
85
Trias Kuncahyono, Turki: Revolusi Tak Pernah Berhenti, (Jakarta: PT. Gramedia,
2018), h. 148. 86
Atika Gumilar, “Kepentingan Turki Terhadap Pengungsi Suriah Studi Kasus Tahun
2011-2015” “(Skripsi S1 Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta, 2016).
63
mayoritas rakyat Turki menyetujui perubahan konstitusi. Konstitusi 1961
berisi mengenai pemerintahan yang lebih demokratis Poin terpenting dari
konstitusi 1961 adalah terbentuknya parlemen dua kamar atau bicameral
yang terdiri dari Majelis Nasional yang terdiri dari 450 orang dan Senat yang
dipilih secara langsung dan terdiri dari 150 orang.
Militer masih mengintervensi perpolitikan Turki dari tahun 1960-
1965. Pemilu digelar pada 1961 dan hasilnya Partai Rakyat Republik (CHP)
pimpinan Ismet Inonu kembali meraih mayoritas kursi parlemen dan Suat
Hayri Urguplu terpilih menjadi perdana menteri. Pemilu kembali digelar pada
tahun 1965 dan pada kali Partai Keadilan (Adalet Parti) yang dipimpin oleh
Suleyman Demirel berhasil meraih mayoritas kursi parlemen dengan meraih
240 kursi.87
Pemerintahan Suleyman Demirel menghadapi banyak persoalan
seperti krisis ekonomi, krisis politik. Aksi demonstrasi besar-besaran oleh
lapisan masyarakat akibat krisis ekonomi berkepanjangan kian tak
terbendung. Menanggapi aksi demonstrasi yang semakin besar, Perdana
Menteri Suleyman Demirel meminta pihak militer untuk turun tangan
menghadapi aksi demonstrasi tersebut. Pihak militer tidak terlalu suka
dengan pemerintahan Suleyman Demirel. Pada akhirnya pihak militer
mengambil tindakan untuk mengatasi situasi negara yang kacau yakni
melakukan kudeta terhadap pemerintahan Suleyman Demirel pada 12 Maret
1971. Setelah melancarkan kudeta, pihak militer membuat aturan yang lebih
87
Trias Kuncahyono, Turki: Revolusi Tak Pernah Berhenti, (Jakarta: PT. Gramedia,
2018), h. 161.
64
represif yakni melarang kegiatan-kegiatan yang bersifat demokratis seperti
melarang seminar, rapat, melarang mendirikan organisasi-organisasi.
Ketidakstabilan pemerintahan Turki akibat intervensi pihak militer
kembali berlanjut pada tahun 1980. Jenderal Kenan Evren memimpin aksi
kudeta ini dengan alasan untuk menciptakan stabilitas dalam bidang
ekonomi, menstabilkan situasi di masyarakat yang sudah terpolarisasi,
menegakkan demokrasi kepada pemerintahan sipil yang berlandaskan
Kemalisme. Kudeta 1980, pihak militer melakukan beberapa tindakan yang
lebih represif yakni membubarkan parlemen, membubarkan partai-partai
poliik termasuk Partai Rakyat Republik (CHP) ikut dibubarkan, menangkap
ratusan ribu warga, pemberedelan seluruh pers.
Dalam periode ini, kondisi keamanan Turki masih tidak stabil karena
kemunculan suatu kelompok yang bernama Partiya Karkeran Kurdistan
(Partai Pekerja Kurdistan /PKK) yang mana tujuan dari kelompok ini adalah
untuk dapat memperjuangkan hak-hak dan menuntut kemerdekaan suku
Kurdi di Kurdistan. Kelompok ini pada awalnya melakukan teror terhadap
pemerintahan Turki dan pada akhirnya kelompok ini dilabeli oleh pemerintah
Turki sebagai kelompok teroris karena terus melancarkan aksi-aksi teror
terhadap masyarakat dan pemerintahan Turki.88
Militer Turki berkuasa sejak 1980 sampai tahun 1983, dan di tahun
1983 pihak militer memutuskan untuk mengadakan kembali pemilu. Pemilu
1983 dimenangi oleh Turgut Ozal dari Partai Ibu Pertiwi (Anavatan
88
Ulfah Mawaddatul Qudus, Gerakan Politik dan Otonomi Khusus (Studi Perbandingan
Gerakan Suku Kurdi Memperjuangkan Otonomi Khusus di Irak dan Turki), (Skripsi S1 Fakultas
Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018), h. 43.
65
Partisi/ANAP) yang mampu meraih 211 kursi parlemen. Turgut Ozal yang
berasal dari kalangan insinyur listrik membuat beberapa kebijakan yang
berbeda dari pemerintahan sebelumnya yang disusun bersama kabinetnya
yakni kebijakan swastanisasi. Kebijakan swastinasasi yang dibuat Turgut
Ozal disetujui oleh parlemen. Pemerintahan Turgut Ozal untuk memajukan
sektor swasta berhasil. Pada pemilu berikutnya, Partai Ibu Pertiwi (ANAP)
mengalami penurunan suara tetapi partainya masih menguasai parlemen.89
Tahun 1990-an, kebangkitan kelompok-kelompok Islam semakin
bergeliat dan ini dibuktikan ketika sebuah partai politik yang diisi oleh
kalangan konservatif yakni Partai Kesejahteraan (Refah Partisi) mampu
memenangi pemilu pada tahun 1995 dengan meraih 158 kursi parlemen.
Kemenangan partai ini tidak meraih mayoritas kursi parlemen sehingga harus
berkoalisi supaya dapat membentuk pemerintahan. Partai ini berkoalisi
dengan Partai Ibu Pertiwi (ANAP) dan Partai Jalan Kebenaran (Dogru Yol
Partisi). Necmettin Erbakan selaku ketua Partai Kesejahteraan terpilih
menjadi perdana menteri.
Perubahan sikap politik ditunjukkan oleh Erbakan yakni berusaha
meningkatkan hubungan Turki dengan negara-negara Arab dan berjuang
memasukkan nilai-nilai Islam di dalam perpolitikan Turki.90
Kebijakan-
kebijakan pemerintahan Erbakan yang dinilai terlalu menonjolkan identitas
agama di dalam politik membuat pihak militer merasa prinsip sekularisme
terancam dan tidak mendukung pemerintahan Erbakan. Akhirnya, pada 28
89
Trias Kuncahyono, Turki: Revolusi Tak Pernah Berhenti, h. 170. 90
Arya Sandhiyudha, “Ijtihad Islamisme Turki ala Erbakan”, Jurnal Politik, Vol. 2, No. 1,
Agustus 2016.
66
Februari 1997 pihak militer memaksa Necemettin Erbakan untuk
mengundurkan diri sebagai perdana menteri dan baru pada 18 Juni 1997
Necmettin Erbakan melepas jabatannya. Tidak hanya itu, Partai
Kesejahteraan (Refah Partisi) juga dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi
Turki pada tahun 1998 dan Necmettin Erbakan dihukum dilarang berpolitik
selama lima tahun kedepan.91
Memasuki abad ke-21, perpolitikan Turki mengalami perubahan dan
pada pemilu 2002, secara mengejutkan Partai Keadilan dan Pembangunan
(Adalet ve Kalkinma Partisi/AKP) yang baru berdiri pada 14 Agusutus 2001
mampu meraih suara mayoritas parlemen dengan meraih 363 kursi dari total
550 kursi mengalahkan Partai Rakyat Republik (CHP) yang hanya meraih
178 kursi.92
Recep Tayyip Erdogan sebagai ketua partai terpilih menjadi
perdana menteri. Tetapi, karena dia masih menjalani hukuman berpolitik,
Recep Tayyip Erdogan dibatalkan menjadi perdana menteri dan Presiden
Turki Ahmet Necdet Sezer menunjuk Abdullah Gul untuk
menggantikannya.93
Pada tahun 2003, Recep Tayyip Erdogan baru resmi
menjadi perdana menteri setelah memenangi pemilu sela di Siirt.
Langkah pertama yang dilakukan pemerintahan Recep Tayyip Erdogan
adalah memperbaiki ekonomi Turki yang sedang mengalami krisis sejak
tahun 2001. Ekonomi Turki dalam rentang 2003-2007 berada pada kisaran 6-
91
Trias Kuncahyono, Turki: Revolusi Tak Pernah Berhenti, (Jakarta: PT. Gramedia,
2018), h. 176. 92
Ahmad Junaidi, “Kebijakan Politik Recep Tayyip Erdogan dan Islamisme Turki
Kontemporer”, Jurnal Agama dan Hak Asasi Manusia Vol. 6, No.1, November 2016. 93
“Presiden Turki mengangkat Abdullah Gul Sebagai Perdana Menteri Turki”,
https://www.voaindonesia.com/a/a-32-a-2002-11-16-7-1-85290567/49525.html. Diakses pada
tanggal 8 April 2019.
67
7%, inflasi berhasil dikendalikan hingga mencapai angka 3,7%. Dalam
kebijakan luar negeri, pemerintahan Recep Tayyip Erdogan tetap menjalin
erat dengan negara-negara Barat dan memperkuat hubungan dengan negara-
negara mayoritas muslim. Kebijakan ini berbeda dengan pemerintahan
Necmettin Erbakan yang terang-terangan anti dengan negara Barat.94
Hubungan antara pemerintah dengan parlemen pada era Recep Tayyip
Erdogan cukup bagus meskipun ada kebijakan yang ditolak parlemen salah
satu kebijakan yang ditolak oleh parlemen adalah RUU Zina. Pada tahun
2004, parlemen menolak RUU zina yang diajukan oleh partai AKP karena
partai-partai oposisi menolak undang-undang tersebut karena undang-undang
tersebut berpotensi melanggar hak asasi manusia.95
Kebanyakan kebijakan-
kebijakan yang dibuat pemerintahan Recep Tayyip Erdogan disetujui oleh
parlemen karena Partai AKP dalam setiap kali mengikuti pemilu selalu
meraih kursi mayoritas di parlemen dan tentu ini memudahkan pemerintah
dalam setiap mengambil kebijakan. Pada tahun 2005, Menteri Kehakiman
Cemil Cicek membuat usulan untuk mengganti sistem pemerintahan Turki
dari sistem parlementer ke sistem presidensial dan usulan ini didukung oleh
Perdana Menteri Turki Recep Tayyip Erdogan.
Pada tahun 2007, Turki menggelar referendum konstitusi yang
dinisiasi oleh Recep Tayyip Erdogan. Poin-poin utama dalam referendum
konstitusi ini adalah jabatan presiden yang selama ini hanya sekedar
94
Alfan Alfian, “Militer dan Politik di Turki ”, (Jakarta: Penerbit Penjuru Ilmu, 2018), h.
90. 95
“Turki Batalkan RUU Zina,
https://www.hidayatullah.com/berita/internasional/read/2004/09/15/2651/turki-batalkan-ruu-
zina.html. Diakses pada tanggal 9 April 2019.
68
seremonial diubah menjadi presiden dapat dipilih langsung oleh rakyat, masa
jabatan presiden dikurangi dari 7 tahun menjadi 5 tahun, presiden dapat
mencalonkan kembali setelah menjabat di periode pertama. Dan hasilnya
mayoritas masyarakat Turki mendukung perubahan konstitusi yang dinisiasi
oleh Recep Tayyip Erdogan dan Partai AKP. Setelah referendum konstitusi
2007, wacana untuk mengganti sistem pemerintahan mulai menjadi
pembicaraan di kalangan para politisi Turki.
Pada tahun 2010, Recep Tayyip Erdogan kembali menginisiasi untuk
menggelar referendum konstitusi setelah yang pertama di tahun 2007.
Referendum kali ini membahas lebih banyak persoalan dibandingkan
referendum konstitusi di tahun 2007. Poin-poin yang diangkat dalam
perubahan konstitusi tahun 2010 ini adalah permasalahan ekonomi dan hak
sosial, kebebasan individu, reformasi yudisial, dan perlindungan bagi anggota
militer yang terlibat pada kudeta 1980. Hasilnya mayoritas masyarakat Turki
mendukung perubahan konstitusi dengan perolahan persentase 58,88%
berbanding yang menolak 42,12% yang dinisiasi oleh Recep Tayyip Erdogan
dan Partai AKP.96
Usulan mengenai pergantian sistem pemerintahan melalui referendum
terus bergulir hingga Recep Tayyip Erdogan naik menjadi Presiden Turki
pada tahun 2014 dan di tahun 2016 Recep Tayyip Erdogan ingin secepatnya
realisasi perubahan sistem pemerintahan dari parlementer ke presidensial
karena dengan sistem presidensial struktur pemerintahan dapat lebih
96
Alfan Alfian, Militer dan Politik di Turki, (Jakarta: 2018), hal. 78.
69
ramping.97
Percobaan kudeta pada 15 Juli 2016 membuat pemerintah semakin
gencar untuk melakukan perubahan sistem pemerintahan.
Selain itu, pergantian sistem pemerintahan dari sistem parlementer ke
presidensial diharapkan menjadi lebih efektif karena proses pembuatan
kebijakan yang tidak bertele-tele di parlemen yang selama ini dianggap
memperhambat kinerja pemerintah. Selain isu pergantian sistem
pemerintahan, isu yang tak kalah penting di Turki adalah mengenai isu
keamanan nasional yang menjadi sorotan. Ancaman terorisme yang kerap
melanda Turki juga menjadi isu yang terus menjadi perbincangan baik di
kalangan masyarakat maupun para pejabat pemerintahan.
Pada bulan Januari 2017, Partai AKP dan Partai Pergerakan Nasionalis
(Milliyetci Hareket Partisi) berkoalisi untuk dapat menggelar referendum.
Parlemen Turki mengadakan pemungutan suara untuk dapat mengamandemen
beberapa pasal yang akan diimplementasikan dalam referendum. Hasilnya
338 anggota parlemen menyetujui perubahan beberapa pasal yang akan
diimpelementasikan dalam referendum sedangkan 142 anggota menolak.98
Setelah diresmikan oleh parlemen, referendum dapat digelar pada
musim semi pada tanggal 16 April 2017. Beberapa perubahan pasal-pasal
mengenai perubahan sistem pemerintahan yang digunakan dalam referendum
97
“Erdogan Ingin Turki Berubah Menjadi Sistem Presidensial", diakses pada tanggal 10
April 2019. https://www.suara.com/news/2016/01/02/025645/erdogan-ingin-turki-berubah-
gunakan-sistem-presidensial 98
“Perubahan Konstitusi Turki”,
https://www.trt.net.tr/melayu/turki/2017/01/16/perubahan-konstitusi-turki-651779, diakses pada
tanggal 10 April 2019.
70
konstitusi 2017:99
eksekutif yakni presiden dan wakil presiden dipilih
langsung oleh rakyat melalui pemilu setiap lima tahun sekali, kekuasaan
eksekutif yakni presiden lebih luas dan jabatan perdana menteri yang
sebelumnya menjadi kepala pemerintahan dihapus, presiden menjadi kepala
negara sekaligus pemerintahan dan para menteri akan dipilih langsung oleh
presiden.
Referendum akhirnya digelar pada tanggal 16 April 2017. Hasil
referendum menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat Turki setuju dengan
pergantian sistem pemerintahan yang baru. Pada tahun 2018, Presiden Recep
Tayyip Erdogan memutuskan untuk menggelar pemilu lebih cepat dengan
alasan ingin menyempurnakan pelaksanaan sistem presidensial yang telah
resmi berjalan sejak 2017. Pemilu yang diikuti oleh 5 calon dimenangkan
oleh Koalisi Rakyat (Cumhur Ittifaki) antara Partai AKP dan MHP Recep
Tayyip Erdogan mengalahkan rival utamanya yakni Muharrem Ince dari
Koalisi Bangsa (Millet Ittifaki) antara Partai CHP, Partai Bagus (IYI Parti),
Partai Kebahagiaan (Saadet Partisi).100
99
“Referendum Akan Tentukan Kekuasaan Erdogan di Turki”,
https://www.bbc.com/indonesia/dunia-39612428, diakses pada tanggal 11 April 2019. 100
“Erdogan memenangi pilpres Turki”, https://www.bbc.com/indonesia/dunia-44596943,
diakses pada tanggal 11 April 2019.
71
BAB IV
ANALISIS PERBANDINGAN SISTEM PRESIDENSIAL
DI INDONESIA DAN TURKI
Pada bab ini, penulis menjabarkan tantangan dan dinamika bagaimana
proses sistem presidensial yang berada di Indonesia di era Reformasi setelah
1998 khususnya pada era Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo. Bab ini
henda memfokuskan analisisnya pada hubungan kekuasaan eksekutif dan
legislatif, khususnya dalam hal penunjukkan anggota kabinet oleh Presiden
Jokowi dan bagaimana proses revisi undang-undang terorisme. Begitu juga
proses sistem presidensial di Turki pada era pemerintahan Presiden Recep
Tayyip Erdogan mulai dari kekuasaan eksekutif dan legislatif, kasus
penunjukkan menteri oleh presiden dan proses revisi undang-undang
terorisme.
A. Sistem Presidensial di Indonesia
1. Kekuasaan Presiden Indonesia
Selain menganut sistem republik demokratis, Indonesia juga
merupakan berbentuk kesatuan.101
Dengan berpedoman pada Pancasila
sebagai ideologi dasar negara,102
Indonesia menerapkan sistem pemerintahan
presidensial yang mana seorang presiden sebagai pimpinan eksekutif yang
bertindak sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Presiden
Republik Indonesia adalah lembaga negara yang memiliki kekuasaan diatur
101
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 Ayat 1. 102
Sucipto Suntoro, Rangkuman Pengetahuan Umum Lengkap, (Solo: Beringin 55, 2004),
h. 6.
72
dalam Undang-Undang Dasar 1945. UUD 1945 menjadi konstitusi
pemerintahan Republik Indonesia yang berlaku sejak 18 Agustus 1945 dan
disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Undang-
Undang Dasar 1945 mengalami amandemen sebanyak empat kali sejak
dimulainya era Reformasi pada tahun 1998. Amandemen pertama UUD 1945
mengenai kekuasaan eksekutif atau presiden dilakukan oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tanggal 14-21 Oktober 1999. Presiden
Republik Indonesia dalam tugasnya sehari-hari dibantu oleh wakil presiden
dan para menteri. Masa jabatan Presiden Republik Indonesia adalah 5 tahun
dan dapat dipilih kembali melalui pemilihan umum (pemilu) untuk satu kali
masa jabatan atau presiden dapat berkuasa hingga 2 periode.
Dalam UUD 1945, kekuasaan presiden disebutkan sebagai pimpinan
tertingi lembaga ekskutif. Begitu juga, UUD 1945 membagi jenis kekuasaan
presiden menjadi dua, yakni presiden sebagai kepala negara dan sebagai
kepala pemerintahan. Perubahan penting terjadi sejak era reformasi pada
1998. Hal ini terlihat dalam amandeman UUD 1945 yang menyatakan bahwa,
Presiden sebagai kepala negara adalah secara filosofis bahwa presiden
memegang seluruh kekuasaan negara. Pasal-pasal yang mengatur presiden
sebagai kepala negara di antaranya adalah pasal 10 yang mengatur tentang
bahwa presiden adalah pemegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Darat,
Angkatan Laut, dan Udara. Pasal 13 ayat 1 mengenai presiden mengangkat
duta dan konsul.
73
Berdasarkan hal tersebut di atas, posisi Presiden sebagai kepala
pemerintahan berarti presiden mempunyai kekuasaan untuk menjalankan
undang-undang. Presiden juga mempunyai kewajiban merealisasikan tujuan
negara yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.103
Presiden sebagai
kepala pemerintahan juga diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 di
antaranya adalah Pasal 4 mengenai Presiden Indonesia memegang kekuasaan
pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar, Pasal 5 mengenai presiden
berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR, Pasal 17
mengenai presiden mengangkat dan memberhentikan menteri.104
2. Kekuasaan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-RI) adalah lembaga negara yang
berfungsi sebagai pembuat undang-undang atau lembaga legislatif. Definisi
ini diatur dalam UUD 1945 Pasal 20 ayat 1.105
DPR RI adalah sebuah
lembaga negara yang memiliki fungsi sebagai penyalur pendapat dan aspirasi
masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan setiap hari.106
Cikal bakal
lahirnya DPR RI sudah ada sejak era pemerintahan kolonial Belanda yang
103
Sudirman, “Kedudukan Presiden dalam Sistem Pemerintahan Presidensial (Telaah
Terhadap Kedudukan dan Hubungan Presiden dengan Lembaga Negara yang Lain dalam
Undang-Undang Dasar NKRI Tahun 1945)”, (Malang; Universitas Brawijaya, 2004). 104
Undang-Undang Dasar 1945. 105
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 20 Ayat 1. 106
Dandhy Adiguna, “Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
23-26/PUU-VIII/2010 Tentang Pelaksanaan Hak Menyatakan Pendapat” (Skripsi Fakultas
Hukum, Universitas Lampung, 2011).
74
pada saat itu bernama Volksraad pada tahun 1916. Setelah Republik
Indonesia merdeka pada tahun 17 Agustus 1945, lembaga legislatif dibentuk
pada awalnya bernama Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) berdiri pada
tanggal 29 Agustus 1945 dan setelah itu berganti nama menjadi Dewan
Perwakilan Rakyat hingga saat ini.107
DPR RI menjalankan tugasnya berlandaskan Undang-Undang Dasar
1945 dan beberapa pasal yang mengatur tentang DPR RI adalah dari pasal 19
sampai pasal 22. Kewenangan DPR RI sejak 1998 mengalami perubahan
seiring dengan diamandemennya UUD 1945. DPR RI memiliki fungsi yang
diatur dalam Pasal 20A ayat 1 di antaranya adalah fungsi legislasi, fungsi
anggaran, dan fungsi pengawasan. Fungsi legislasi adalah fungsi DPR RI
yang berkaitan dengan pembentukan, pembahasan, penyempurnaan
rancangan undang-undang bersama dengan eksekutif atau presiden. Fungsi
anggaran dengan demikiran sebuah fungsi yang dimiliki DPR RI untuk
membentuk rancangan undang-undang mengenai persetujuan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang diajukan oleh presiden.
Sedangkan fungsi pengawasan berarti bahwa DPR RI mengawasi setiap
kebijakan yang dibuat oleh presiden.108
DPR RI adalah DPR RI diisi oleh anggota-anggota DPR RI yang
tergabung dalam partai politik. Anggota DPR RI menurut UUD 1945 Pasal
19 ayat 1 dipilih melalui pemilu legislatif dengan masa jabatan 5 tahun dan
107
http://www.dpr.go.id/tentang/sejarah-dpr “Sejarah DPR RI”, diakses pada tanggal 4
Juli 2019. 108
http://www.dpr.go.id/tentang/tugas-wewenang “Tugas dan Wewenang DPR RI”,
diakses pada tanggal 3 Juli 2019.
75
sesudah itu dapat ikut kembali mencalonkan diri pada masa bakti berikutnya.
Jumlah anggota DPR RI adalah 560 orang dari 77 daerah pemilihan (dapil).109
Ambang batas parlemen (parliamentary threshold) untuk dapat menentukan
perolehan kursi di DPR RI adalah 4% berdasarkan Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2017.
3. Penunjukkan Para Menteri di Era Kabinet Kerja 2014-2019
Pemilu 2014 diikuti oleh dua pasangan kandidat yakni Prabowo
Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Terdapat dua koalisi
yakni Koalisi Merah Putih (KMP) pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa
dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Koalisi Merah Putih (KMP) pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa diisi
oleh beberapa partai seperti Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai
Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Golongan
Karya (Golkar) dan Partai Amanat Nasional (PAN). Koalisi Indonesia Hebat
(KIH) pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla diisi oleh beberapa partai seperti
Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDI-P), Partai Kebangkitan Bangsa
(PKB), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai Nasional Demokrat
(Nasdem).110
Pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla berhasil meraih kemenangan pada
pemilihan presiden (pilpres) 2014 setelah mengalahkan pasangan Prabowo
109
http://www.dpr.go.id/tentang/tugas-wewenang “Tugas dan Wewenang DPR RI”,
diakses pada tanggal 3 Juli 2019. 110
Gia Noor Syah Putra, “Sikap Politik Koalisi Merah Putih Terhadap Kebijakan Politik
Pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla”, (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2015).
76
Subianto-Hatta Rajasa dengan meraih 53,15% suara.111
Putusan Mahkamah
Konstitusi (MK) yang menolak semua gugatan yang diajukan oleh pasangan
Prabowo Subianto-Hatta Rajasa semakin mempertegas kemenangan Joko
Widodo.112
Pasca pilpres 2014 berakhir, isu mengenai kursi jabatan menteri
ramai menjadi pembicaraan di kalangan Koalisi Indonesia Hebat (KIH).
partai partai pendukung seperti PDI-P, PKB, Nasdem menyodorkan nama-
nama calon menteri dari partainya masing-masing.113
Beberapa waktu
sebelum pelantikan presiden, Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
memutuskan untuk keluar dari Koalisi Merah Putih (KMP) dan bergabung
bersama koalisi pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla.114
Setelah Presiden Joko Widodo resmi dilantik oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada 20 Oktober 2014, Presiden Joko
Widodo mulai sibuk memilih calon para menteri yang akan bergabung
dengan pemerintahannya. Akhirnya pada 26 Oktober 2014, Presiden Joko
Widodo mengumumkan nama kabinetnya yakni Kabinet Kerja dan sekaligus
mengumumkan nama-nama yang menjadi menteri Kabinet Kerja. Kabinet
Kerja diisi oleh 15 orang dari partai koalisi, dan 19 orang diisi oleh non
111
Hasil Resmi Pilres 2014,
https://nasional.kompas.com/read/2014/07/22/20574751/Ini.Hasil.Resmi.Rekapitulasi.Suara.Pilpre
s.2014?page=all, diakses pada tanggal 8 Agustus 2019. 112
MK tolak seluruh gugatan Prabowo-Hatta, https://nasional.tempo.co/read/601368/mk-
tolak-seluruh-gugatan-prabowo, diakses pada tanggal 1 Agustus 2019. 113
Nama-nama calon menteri mulai beredar, https://nasional.tempo.co/read/595361/calon-
menteri-kabinet-jokowi-jk-mulai-beredar/full&view=ok, diakses pada tanggal 9 Agustus 2019. 114
PPP resmi bergabung dengan koalisi pemerintah,
https://nasional.okezone.com/read/2014/10/18/337/1054000/ppp-resmi-gabung-koalisi-jokowi-jk,
diakses pada tanggal 8 Agustus 2019.
77
partai atau kalangan profesional.115
Joko Widodo dalam memilih menteri
ternyata tidak dapat sepenuhnya menggunakan hak prerogatifnya karena Joko
Widodo bukan sebagai ketua partai dan mempertimbangkan kepentingan
dukungan kebijakannya di parlemen. Porsi menteri untuk partai politik
sebenarnya cukup banyak sehingga capaian dari beberapa kementerian tidak
memuaskan atau jauh dari target.116
Setelah kabinet resmi dibentuk, terjadi perubahan sikap di dalam
Partai Golkar. Partai Golkar yang berada di koalisi Prabowo Subianto-Hatta
Rajasa mengalami dualisme kepemimpinan yakni Musyawarah Nasional
(Munas) Bali versi Aburizal Bakrie dan Munas Nasional (Munas) Ancol versi
Agung Laksono. Pada akhirnya kubu Aburizal Bakrie dan Agung Laksono
sepakat untuk bergabung ke koalisi pemerintah.117
Terkait dengan sikap
Partai Golkar yang memutuskan bergabung ke pemerintah, sikap Partai
Golkar adalah selalu berada di dalam pemerintah dan belum pernah menjadi
oposisi. Faktor yang membuat Partai Golkar untuk bergabung ke koalisi Joko
Widodo adalah konflik dualisme antara kubu Aburizal Bakrie dengan Agung
Laksono. Setelah pengurus baru Golkar, secara tidak langsung Joko Widodo
mampu mendekati dan merangkul Golkar. Bahkan, Partai Golkar adalah
partai politik pertama dalam koalisi pemerintah yang secara resmi
115
Komposisi Kabinet Kerja,
https://nasional.kompas.com/read/2014/10/26/18101431/Ini.15.Menteri.Jokowi.yang.Berasal.dari.
Partai.Politik, diakses pada tanggal 9 Agustus 2019. 116
Wawancara Pribadi dengan Rudy Alfonso, Ketua DPP bidang Hukum dan HAM Partai
Golkar, pada 15 Agustus 2019. 117
Aburizal Bakrie dan Agung Laksono sepakat untuk bergabung ke pemerintah,
https://nasional.kompas.com/read/2015/11/01/20452241/Agung.Laksono.Saya.dan.Pak.Ical.Sepak
at.Dukung.Pemerintah.Jokowi, diakses pada tanggal 12 Agustus 2019.
78
mendukung Presiden Joko Widodo untuk maju kembali pada periode
selanjutnya.118
4. Hubungan Presiden dengan DPR RI
Indonesia sejak merdeka pada 1945 telah mengalami beberapa kali
mengalami perubahan kepemimpinan dari era Orde Lama, Orde Baru, dan
sekarang era Reformasi. Setiap era kepemimpinan presiden Indonesia
tentunya selalu melahirkan undang-undang. Proses lahirnya sebuah undang-
undang di Indonesia adalah berasal dari kekuasaan eksekutif atau presiden
dan dibahas di badan legislatif atau Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Era
Reformasi sejak 1998, hubungan antara Presiden RI dengan DPR RI
mengalami perubahan seiring dengan diamandemennya UUD 1945. Beberapa
pasal dalam UUD 1945 yang mengatur hubungan antara eksekutif dengan
legislatif di antaranya adalah Pasal 5 ayat 1 yang mengatur tentang Presiden
RI dapat mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR RI, Pasal 20
ayat 2 mengatur rancangan undang-undang dibahas dan disetujui oleh
Presiden RI dan DPR RI, Pasal 22 ayat 2 Peraturan Pemerintah harus
mendapat persetujuan dari DPR RI.119
Pada era Reformasi yang demokratis, hubungan antara Presiden
dengan DPR RI sama-sama kuat dan saling bersinergi. Sebelum era
Reformasi, kekuasaan eksekutif melampaui kekuasaan legislatif dan prinsip
check and balances yang selalu jadi acuan negara yang demokratis tidak dapa
118
Wawancara Pribadi dengan Rudy Alfonso, Ketua DPP bidang Hukum dan HAM Partai
Golkar, pada 15 Agustus 2019. 119
Undang-Undang Dasar 1945.
79
berjalan dengan baik. Era Reformasi dalam pemerintahan sistem presidensial
adalah bagaimana hubungan antara eksekutif dengan legislatif saling
mengoreksi dan mengawasi satu sama lain. Presiden RI dan DPR RI adalah
dua lembaga negara yang memiliki tanggung jawab yang sama untuk dapat
mensukseskan program-program kerja pemerintah yang dibahas bersama.120
Sejak era Reformasi 1998, hubungan antara Presiden dengan DPR RI
mengalami pasang surut ini karena sifat presiden dan kekuatan partai politik
di DPR RI. Mulai dari Presiden B.J. Habibie, Abdurrahman Wahid,
Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, dan Joko Widodo.
Selain itu, DPR RI juga terus mengalami perubahan partai politik yang
menjadi mayoritas parlemen. Sejak era Reformasi 1998, setiap kali pemilihan
umum (pemilu) digelar, partai pemenang di DPR RI selalu berganti -ganti
mulai dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan di tahun 1999, Partai
Golongan Karya 2004, Partai Demokrat 2009, dan PDIP di tahun 2014.
Pembentukan sebuah rancangan undang-undang menjadi undang-undang juga
menjadi salah satu proses sistem presidensial berjalan di Indonesia. Proses
terbentuknya sebuah undang-undang pada era Reformasi ini tidak semudah
yang terjadi di era Orde Baru karena kekuatan eksekutif atau Presiden RI
pada saat itu sangat kuat sehingga dapat mengontrol DPR RI.121
Salah satu undang-undang yang terus menjadi isu hangat di Indonesia
pada era Reformasi ini adalah undang-undang terorisme. Latar belakang
lahirnya undang-undang terorisme di Indonesia adalah maraknya aksi
120
Sarah Nuraini Siregar, Sistem Presidensial Indonesia dari Soekarno ke Jokowi,
(Jakarta: AIPI), 2018, h. 301-302. 121
Sarah Nuraini Siregar, Sistem Presidensial Indonesia dari Soekarno ke Jokowi, h. 114.
80
terorisme dan aksi teror terparah adalah Bom Bali pada 12 Oktober 2002
yang menelan korban sebanyak 202 jiwa dan kebanyakan korban berasal dari
Australia.122
Setelah kejadian Bom Bali tersebut, Presiden Megawati
Soekarnoputri langsung membuat tindakan cepat yakni menandatangani
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun
2002 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme dan Perppu Nomor 2
Tahun 2002.123
Setelah dijadikan Perppu, pada tahun 2003 disahkan oleh
DPR RI menjadi undang-undang No. 15 Tahun 2003 dan undang-undang No.
16 Tahun 2003.124
Undang-undang terorisme yang sudah berlaku sejak tahun 2003
ternyata belum cukup efektif untuk dapat meredakan aksi teror bom yang
masih terjadi di Indonesia. Beberapa aksi teror bom yang memakan banyak
korban jiwa terus melanda Indonesia dan beberapa kasus teror bom yang
memakan korban jiwa serta menjadi sorotan di antaranya adalah teror bom
Hotel J.W Marriott di tahun 2009, bom Polres Poso, dan bom di Jl. M.H
Thamrin pada 2016. Serangkaian serangan teror bom ini membuat pemerintah
meminta kepada DPR RI untuk segera melakukan revisi terhadap undang-
undang No.15 Tahun 2003.125
Pemerintah melalui Menteri Hukum dan Hak
Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly meminta DPR RI untuk
122
Bom Bali I, https://www.liputan6.com/global/read/3665175/12-10-2002-jejak-kelam-
tragedi-bom-bali-i,, diakses pada tanggal 9 Juli 2019. 123
Ahmad Mukri Aji, “Pemberantasan Tindak Terorisme di Indonesia”. Jurnal Cita
Hukum, Vol 1, No. 1 Juni 2013, h. 58. 124
Perjalanan menuju UU terorisme,
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5b0531a3c651d/sekelumit-kisah-perjalanan-uu-anti-
terorisme/, diakses pada tanggal 10 Juli 2019. 125
Pemerintah memutuskan untuk revisi UU terorisme,
https://setkab.go.id/2016/01/page/6/, diakses pada tanggal 29 Juli 2019.
81
melakukan revisi karena dalam undang-undang tersebut aparat tidak dapat
menangkap seseorang yang terduga akan melakukan aksi teror.126
Revisi undang-undang No.15 Tahun 2003 dilakukan di pemerintahan
Joko Widodo-Jusuf Kalla. DPR RI periode 2014-2019 terbagi atas dua koalisi
yakni Koalisi Indonesia Hebat yang berada di pemerintahan yang terdiri dari
gabungan beberapa partai politik seperti Partai Demokrasi Indonesia-
Perjuangan (PDI-P), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Persatuan
Pembangunan (PPP), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai Nasional
Demokrat (Nasdem), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Golongan Karya
(Golkar) adalah partai-partai yang baru bergabung pada koalisi pemerintahan
pada tahun 2015 dan 2016.127
Koalisi Merah Putih adalah koalisi yang berisi
partai-partai oposisi seperti Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai
Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Bulan Bintang (PBB). Koalisi pemerintahan
di DPR RI menguasai 386 kursi dan PDI-P sebagai peraih kursi terbanyak
dengan 109 kursi, sedangkan Koalisi Merah Putih di pihak oposisi meraih
kursi sebanyak 174 kursi dan Partai Gerindra peraih terbanyak dengan 73
kursi.128
Pada tanggal 21 Januari 2016, revisi UU terorisme masuk dalam
Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas. Pada tanggal 25 Januari
126
Tujuan pemerintah untuk revisi UU terorisme, https://nasional.kontan.co.id/news/ini-
tujuan-pemerintah-ingin-revisi-uu-terorisme, diakses pada tanggal 15 Juli 2019. 127
Golkar resmi keluar dari KMP,
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20160516233755-32-131163/golkar-resmi-keluar-dari-
koalisi-merah-putih, diakses pada tanggal 18 Juli 2019. 128
Gia Noor Syah Putra, “Sikap Politik Koalisi Merah Putih Terhadap Kebijakan Politik
Pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla”, (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2015).
82
2016 DPR RI kemudian membentuk Panitia Khusus (Pansus) dari Komisi III
DPR RI dan diketuai oleh Muhammad Syafii yang berasal dari partai oposisi
yakni Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra). Kemudian, DPR RI
melayangkan sikap protes terhadap pemerintah karena telah memasukkan
pasal yang dianggap melanggar hak asasi manusia yakni mengenai masa
penangkapan terduga teroris yang melebihi masa waktu dari 7 hari menjadi
30 hari. Bahkan yang melakukan aksi protes tersebut adalah Arsul Sani yang
berasal dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Akbar Faizal dari
Partai Nasional Demokrat (Nasdem).
“Ini loncatan yang sangat besar. Ini bukan dalam konteks tawar-
menawar. Kalau waktu 7 hari dirasa nggak cukup mencari bukti. Apakah 14
hari nggak cukup?" kata Arsul Sani.“129
Ini berarti bahwa tidak semua partai politik koalisi pemerintah selalu
setuju dengan keputusan eksekutif atau presiden dalam membahas rancangan
undang-undang. Ini terbukti dari revisi undang-undang terorisme yang
berjalan dengan alot dan bahkan mendapat tantangan dari partai koalisi
pemerintahan Joko Widodo Jusuf Kalla di DPR RI. Pada tanggal 25 Juli
2016, DPR RI mengadakan rapat bersama dengan Kemenkumham untuk
membahas revisi pasal yang diprotes oleh DPR RI. Pada tanggal 14
Desember 2016, Pemerintah dan DPR RI mencapai kata sepakat dalam revisi
UU ini dalam tiga hal yakni pencegahan, penindakan, dan penanganan korban
129
DPR protes terhadap pemerintah terkait pasal-pasal yang dinilai melanggar hak asasi
manusia. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20170406073024-32-205317/kontroversi-pasal-
guantanamo-di-ruu-terorisme, diakses pada tanggal 17 Juli 2019.
83
terorisme.130
Revisi UU terorisme pada awalnya diharapkan akan segera
rampung pada Desember 2017, namun proses revisi UU terorisme ini cukup
berlangsung lama dan alot karena masih ada perdebatan baik di pihak
pemerintah maupun DPR RI.131
Perdebatan yang berada di DPR RI antara partai koalisi pemerintah
dengan partai oposisi adalah mengenai definisi dari terorisme.132
Sepuluh
fraksi yang berada di DPR RI terbelah dalam dua definisi terorisme tersebut.
Hanya dua fraksi dari partai koalisi pemerintah yakni PDI-P dan PKB
memilih definisi nomor 1, delapan partai lainnya termasuk partai koalisi
pemerintahan dan partai oposisi memilih definisi nomor 2. Ada dua definisi
terorisme yang diajukan oleh DPR RI dalam rapat pansus ke pemerintah
terkait revisi UU No. 15/2003 tentang Pemeberantasan Tindak Pidana
Terorisme yakni133
:
a. Terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman
kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas,
yang dapat menimbulkan korban, yang bersifat massal, dan atau
menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang
strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional.
130
DPR dan Pemerintah capai kata sepakat dalam revisi UU terorisme.
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt58493e36b2931/revisi-uu-geser-model-penanganan-
terorisme/, diakses pada tanggal 19 Juli 2019. 131
Revisi UU terorisme akan kembali molor”,
https://nasional.kompas.com/read/2017/02/24/17381941/pembahasan.ruu.anti-
terorisme.diprediksi.kembali.molor. Diakses pada tanggal 23 Juli 2019. 132
Perdebatan dalam revisi UU terorisme, https://tirto.id/4-poin-dalam-uu-terorisme-baru-
yang-berpotensi-jadi-masalah-cLcW, diakses pada tanggal 23 Juli 2019. 133
Fraksi-fraksi di DPR RI terbelah dalam definisi terorisme,
http://www.dpr.go.id/berita/detail/id/20862/t/Sepuluh+Fraksi+Terbelah+Sikapi+Definisi+Teroris
me, diakses pada tanggal 24 Juli 2019.
84
b. Terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman
kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas,
yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal dan atau
menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang
strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional
dengan motif ideologi, atau politik, atau gangguan keamanan negara.
Serangan teroris kembali terjadi pada tanggal 14 Mei 2018 yang
mengguncang tiga gereja di Kota Surabaya yang memakan korban sebanyak
28 orang meninggal dunia dan 57 lainnya mengalami luka-luka.134
Hal ini
kemudian membuat Presiden Joko Widodo meminta kepada DPR RI untuk
segera mengesahkan revisi UU terorisme. Tetapi DPR RI justru malah
menganggap bahwa pemerintah yang menunda untuk mengesahkan revisi UU
terorisme. Ketua DPR RI Bambang Soesatyo menganggap bahwa ada satu hal
yang mengganjal sehingga belum disahkannya revisi UU terorisme yakni
mengenai definisi terorisme. Kemudian, Presiden Joko Widodo mengancam
akan memgeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
(Perppu) jika revisi UU terorisme tak kunjung disahkan oleh DPR RI. 135
Pada akhirnya Partai-partai koalisi pemerintahan sudah setuju untuk
segera mempercepat revisi UU terorisme, tetapi partai koalisi pemerintahan
masih berusaha melobi partai-partai oposisi seperti Gerindra, PKS, dan
Demokrat agar segera menyetujui revisi UU terorisme. Kemudian pada 24
134
Jumlah Korban dalam serangan teror bom Surabaya,
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180514194201-12-298164/korban-tewas-teror-bom-
surabaya-28-orang-57-luka, diakses pada tanggal 23 Juli 2019. 135
Jokowi ancam DPR, https://news.detik.com/berita/4019265/jokowi-jika-juni-dpr-tak-
sahkan-ruu-terorisme-saya-keluarkan-perppu, diakses pada tanggal 23 Juli 2019.
85
Mei 2018 DPR RI melanjutkan pembahasan revisi UU terorisme dengan
pemerintah dengan menggelar rapat kerja bersama. Perdebatan mengenai
definisi terorisme pada akhirnya disepakati oleh pemerintah dan DPR
dimasukkan ke dalam frasa politik, ideologi, dan keamanan. Pada tanggal 25
Mei 2018 revisi UU terorisme akhirnya disahkan dalam sidang paripurna dan
menjadi undang-undang setelah proses yang cukup panjang dan penuh
perdebatan memakan waktu selama dua tahun lebih.
B. Sistem Presidensial di Turki
1. Kekuasaan Presiden Turki
Turki adalah sebuah negara yang secara geogragfis unik karena
terletak di antara dua benua yakni Asia dan Eropa. Turki pada dahulunya
adalah kekhilafahan Usmaniyah yang berkuasa dalam rentang 1299-1923 dan
kemudian menjadi Republik Turki yang berbentuk kesatuan dan republik
sejak berdiri pada 29 Oktober 1923 hingga saat ini dan ini tercantum dalam
pasal 1 konstitusi Turki.136
Republik Turki adalah negara yang menerapkan
sistem pemerintahan presidensial yang mana seorang presiden atau eksekutif
memegang kekuasaan sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan.
Presiden Republik Turki adalah lembaga negara yang memiliki kekuasaan
diatur dalam konstitusi (Anayasa). Konstitusi Turki telah beberapa kali
mengalami amandemen konstitusi atau perubahan sejak berdiri pada 29
Oktober 1923 hingga yang terbaru adalah amandemen konstitusi tahun 2017.
136
Profil negara Turki, https://www.britannica.com/place/Turkey, diakses pada tanggal 25
Juli 2019.
86
Sebelum referendum 2017, jabatan Presiden Republik Turki hanya
sebagai kepala negara dan sekarang Presiden Republik Turki
(Cumhurbaskani) adalah kepala negara sekaligus kepala pemerintahan.
Kewajiban dan kekuasaan Presiden Republik Turki dalam konstitusi diatur
dalam konstitusi undang-undang pasal 8, 101, 103, dan 104. Pasal 8 mengatur
bagaimana kekuasaan dan fungsi eksekutif harus dijalankan dan dijalankan
oleh Presiden Republik sesuai dengan Konstitusi dan undang-undang. Masa
jabatan Presiden Turki adalah lima tahun dan dapat dipilih kembali melalui
pemilihan umum (pemilu) untuk satu kali masa jabatan atau presiden dapat
berkuasa hingga 2 periode yang diatur dalam pasal 101. Pasal 103 adalah
presiden terpilih harus mengambil untuk dapat dilantik menjadi Presiden
Republik Turki. Beberapa kekuasaan Presiden Turki yang diatur dalam
undang-undang pasal 104 di antaranya adalah presiden dapat mengangkat dan
memberhentikan menteri, menjadi pemimpin tertinggi militer, menentukan
kebijakan keamanan nasional dan mengambil tindakan yang diperlukan,
memberikan grasi, amnesti, presiden dapat mengajukan amandemen
konstitusi jika memang diperlukan.137
2. Kekuasaan Parlemen Turki
Majelis Agung Nasional Turki (Turkiye Buyuk Millet Meclisi) adalah
lembaga legislatif Republik Turki yang berfungsi sebagai lembaga pembuat
undang-undang. Lembaga negara ini berdiri sebelum lahirnya Republik Turki
137
Kekuasaan, dan kewenangan Presiden Republik Turki,
https://www.tccb.gov.tr/en/presidency/power/, diakses pada tanggal 25 Juli 2019.
87
yakni pada 19 Maret 1920 oleh Mustafa Kemal Pasya di Ankara. Cikal bakal
lahirnya parlemen di Turki sudah ada ketika masih Kekhilafahan Turki
Usmani yakni pada 1 September 1876. Fungsi parlemen pada saat itu adalah
membahas undang-undang dan membahas anggaran tetapi harus mendapat
izin dari penguasa atau dapat dikatakan penguasa dapat mengontrol
parlemen. Setelah berdiri pada 29 Oktober 1923, parlemen berfungsi sebagai
lembaga pembuat undang-undang dan prinsip check and balances diterapkan.
Parlemen Turki menjalankan tugas dan kekuasaannya berdasarkan
konstitusi undang-undang pasal 87. Kekuasaan parlemen di antaranya adalah
membahas rancangan undang-undang, memberlakukan undang-undang,
mengadopsi RUU anggaran, mengamandemen konstitusi, menyetujui keadaan
bahaya negara, mengawasi kinerja pemerintah atau eksekutif. Anggota
parlemen atau Majelis Agung Nasional Turki dipilih melalui pemilihan
umum yang digelar setiap 5 tahun sekali dan pemilihan umum diatur dalam
undang-undang pasal 67. Jumlah anggota Majelis Agung Nasional Turki
sebanyak 600 orang yang berasal dari 81 provinsi di Republik Turki.138
Ambang batas partai politik dapat perwakilan di parlemen (parliamentary
threshold) adalah 10%. Ambang batas parlemen ini sudah ada sejak era
Mustafa Kemal Ataturk dan bertahan hingga sekarang. Jika partai politik
tidak mencapai ambang batas yang telah ditetapkan, partai politik tetap
berhak mengikuti pemilu meskipun tidak dapat perwakilan.139
138
Kekuasaan dan Kewenangan Majelis Agung Nasional Turki,
https://global.tbmm.gov.tr/index.php/EN/yd/icerik/25, diakses pada tanggal 26 Juli 2019. 139
Alfan Alfian, “Militer dan Politik di Turki ”, (Jakarta: Penerbit Penjuru Ilmu, 2018), h.
79.
88
3. Pemilihan Menteri oleh Presiden
Pemilihan umum (pemilu) pada 24 Juni 2018 dimenangkan oleh Recep
Tayyip Erdogan dan Koalisi Aliansi Rakyat (Cumhur Ittifaki) antara Partai
Keadilan dan Pembangunan (AKP) dan Partai Pergerakan Nasionalis (MHP).
Setelah pemilu selesai, presiden terpilih Recep Tayyip Erdogan sudah
memberi sinyal mengenai kabinet baru yang sebagian akan diisi oleh
kalangan non-partai dan bahkan mungkin dari anggota parlemen.140
Pemerintahan baru dibawah Presiden Recep Tayyip Erdogan resmi berdiri
pada 9 Juli 2018 dan pada 10 Juli 2018, kabinet baru diumumkan oleh
Presiden terpilih Recep Tayyip Erdogan. Ada 16 kementerian yang
diumumkan dan Fuat Oktay dipilih sebagai Wakil Presiden Turki. Meskipun
Partai AKP berkoalisi dengan Partai MHP, nyatanya tidak ada satu pun
politisi dari Partai MHP yang menjadi menteri pilihan Presiden Recep
Tayyip Erdogan. Kabinet hanya diisi oleh politisi Partai AKP dan orang-
orang profesional non-partai.141
Sosok Recep Tayyip Erdogan adalah orang
yang sangat kuat dengan pendiriannya dan ini terbukti dia benar-benar bisa
memilih para menteri tanpa adanya komunikasi dengan mitra koalisinya. Hak
prerogatif yang terdapat di dalam sistem presidensial benar-benar dia
gunakan tanpa adanya intervensi dari pihak manapaun dan bahkan dari mitra
140
Kandidat menteri pilihan Presiden Recep Tayyip Erdogan,
http://www.hurriyetdailynews.com/turkeys-new-cabinet-may-include-ministers-from-parliament-
erdogan-134279, diakses pada tanggal 2 Agustus 2019. 141
“Recep Tayyip Erdogan umumkan kabinet baru”, https://www.aa.com.tr/id/headline-
hari/presiden-erdogan-umumkan-16-menteri-kabinet-baru-turki/1199933, diakses pada tanggal 2
Agustus 2019.
89
koalisinya sendiri yakni Partai MHP. Pengaruh partai politik terhadap
presiden dalam menentukan calon menteri tidak berpengaruh.
Enam belas lembaga kementerian yang sudah diumumkan oleh
Presiden Recep Tayyip Erdogan, ada satu nama yang menjadi perhatian
publik yakni Berat Albayrak. Berat Albayrak ditunjuk oleh Presiden Recep
Tayyip Erdogan sebagai menteri keuangan Turki yang baru. Berat Albayrak
adalah politisi dari Partai AKP yang juga sekaligus adalah menantu dari
Presiden Recep Tayyip Erdogan. Berat Albayrak menikahi putri dari Presiden
Recep Tayyip Erdogan yakni Esra Erdogan pada 2004. Latar belakang
pendidikan Berat Albayrak sendiri di dalam bidang ekonomi yakni lulusan
Fakultas Bisnis di Univeritas Pace, New York. Karirnya hanya seorang
pengusaha yang memegang sebuah perusahaan yakni Perusahaan Calik. Berat
Albayrak juga pernah ditunjuk sebagai Menteri Energi pada masa
pemerintahan Perdana Menteri Ahmet Davutoglu dan Binali Yildirim.142
4. Hubungan Presiden dengan Majelis Agung Nasional Turki
Sejak Republik Turki berdiri pada 29 Oktober 1923 hingga 16 April
2017 atau sebelum referendum konstitusi, jabatan Presiden Turki hanya
sekedar seremonial dan tidak memiliki fungsi sebagai kepala pemerintahan
karena kepala pemerintahan dipegang oleh perdana menteri. Republik Turki
selama hampir 95 tahun menerapkan sistem parlementer. Sistem
pemerintahan parlementer diganti karena dianggap tidak stabil di dalam
142
Biografi dari Berat Albayrak, https://www.tccb.gov.tr/en/cabinet/minister-of-treasury-
and-finance, diakses pada tanggal 6 Agustus 2019.
90
pemerintahan dan ini terbukti Turki sering mengalami pergantian perdana
menteri atau kepala pemerintahan dan ketika ada keputusan penting yang
harus segera diambil, maka terlebih dahulu harus dirundingkan di parlemen
dan terkadang perundingan di parlemen bisa sukses atau buntu sehingga
negara tidak dapat bertindak langsung. Ini adalah beberapa alasan mengapa
sistem pemerintahan parlementer diganti menjadi sistem presidensial.143
Salah satu permasalahan yang dihadapi oleh Turki pada saat ini adalah
masalah keamanan nasional yakni mengatasi gelombang teror yang masih
melanda Turki. Turki memang sudah memiliki undang-undang anti teror
sejak lama tetapi penanganan melawan aksi teror belum cukup efektif.
Kelompok teror yang kerap melancarkan aksi teror di Turki di antaranya
adalah Islamic State of Iraq and Syria (ISIS), Partai Pekerja Kurdistan
(PKK), dan Fethullah Terorist Organization (FETO). Aksi percobaan kudeta
yang gagal pada 15 Juli 2016 yang diperkirakan memakan korban sebanyak
350 orang meninggal dunia dan 2.185 lainnya luka-luka memaksa Presiden
Turki Recep Tayyip Erdogan mengumumkan status keadaan darurat pada 19
Juli 2016.144
Status keadaan darurat sejak Juli 2016 terus beberapa kali
diperpanjang dan disetujui oleh parlemen hingga setelah pemilihan umum
143
Serdar Gulener, “Constitusional Framework of Executive Presidency In Turkey”,
(Istanbul: SETA, 2017), h. 11-12. 144
Acep Muhlis, “Dampak Upaya Kudeta Militer Terhadap Lembaga Fethullah Gulen di
Jakarta”, (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2017), h. 51.
91
(pemilu) pada 24 Juni 2018 dan status keadaan darurat pada akhirnya dicabut
pada 19 Juli 2018.145
Setelah status keadaan darurat dicabut, pemerintah Turki memutuskan
untuk melakukan revisi terhadap undang-undang anti teror. Revisi terhadap
undang-undang anti teror ini dilakukan di era sistem pemerintahan yang baru
yakni sistem presidensial yang secara resmi mulai berlaku setelah pemilihan
umum 2018. Sebelum pemilihan umum digelar, terdapat dua koalisi partai-
partai yang mengikuti pemilihan umum yakni Koalisi Aliansi Rakyat
(Cumhur Ittifaki) yang terdiri dari Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP)
dan Partai Pergerakan Nasionalis (MHP) dan Partai Rakyat Republik (CHP)
berkoalisi dengan Partai IYI membentuk sebuah koalisi yang bernama
Koalisi Nasional (Millet Ittifaki).146
Hasil pemilihan umum eksekutif dengan
legislatif dimenangkan oleh Recep Tayyip Erdogan sebagai presiden dengan
meraih 52,59% dan Koalisi Aliansi Rakyat meraih 344 kursi dengan rincian
Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) sebagai peraih kursi terbanyak di
Majelis Nasional Agung Turki dengan 293 kursi dan Partai Pergerakan
Nasionalis (MHP) yang meraih 49 kursi. Koalisi Nasional sebagai oposisi
meraih kursi sebanyak 189 kursi dengan rincian Partai Rakyat Republik
145
“Turki akhiri status Keadaan Darurat”, https://www.france24.com/en/20180719-two-
years-after-failed-coup-turkey-ends-state-emergency-erdogan-purges, diakses pada tanggal 27 Juli
2019. 146
Kilic Bugra Kanat, Jackson Hannon, Meghan Backer, “Turkey’s Elections 2018”,
(Istanbul: SETA, 2018), h. 11.
92
(CHP) meraih 146 kursi dan Partai IYI meraih 43 kursi dan partai di luar
kedua koalisi yakni Partai Rakyat Demokrasi Kurdi (HDP).147
Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) selaku partai pemenang dan
pengusung Presiden Recep Tayyip Erdogan dalam pemilu 2018 memutuskan
untuk mengajukan revisi terhadap undang-undang anti teror ke parlemen
setelah status keadaan darurat dicabut. Partai Keadilan dan Pembangunan
(AKP) hanya mampu meraih 293 kursi dan untuk mayoritas parlemen harus
300 kursi dari total keseluruhan 600 kursi. Karena berkoalisi dengan Partai
Pergerakan Nasionalis (MHP) maka Partai AKP dapat mengajukan revisi UU
tersebut ke parlemen.148
Partai AKP mengajukan revisi terhadap undang-
undang terorisme ini pada 16 Juli 2018 dan pihak pemerintah diwakili oleh
Menteri Kehakiman Abdulhamit Gul. Revisi undang-undang terorisme ini
membahas beberapa hal yang akan dimasukkan ke dalam revisi undang-
undang terorisme seperti pihak berwenang dapat mengatur seseorang untuk
dapat keluar masuk Turki selama 15 demi alasan keamanan, pihak berwenang
dapat menangkap seorang tersangka tanpa dakwaan selama 48 jam atau
hingga empat hari dalam kasus pelanggaran ganda, waktu untuk aksi
penyampaian pendapat di ruang publik hanya boleh sampai dan setiap acara
yang digelar di dalam ruangan boleh dilakukan sampai tengah malam.149
147
“Recep Tayyip Erdogan dan koalisinya memenangkan pemilu 2018”,
https://www.bbc.com/news/world-europe-44596072, diakses pada tanggal 28 Juli 2019. 148
Partai AKP mengajukan revisi undang-undang terorisme, http://www.voa-
islam.com/read/world-news/2018/07/18/59148/turki-ajukan-undang-undang-anti-teror-baru-
setelah-erdogan-memenangkan-pemilu/#sthash.vW44CZty.uPvXVkRS.dpbs, diakses pada tanggal
29 Juli 2019. 149
Isi perubahan dari revisi undang-undang terorisme,
https://www.trtworld.com/turkey/turkish-parliament-ratifies-anti-terror-law-19153, diakses pada
tanggal 29 Juli 2019.
93
Ada 29 pasal yang diajukan oleh koalisi partai pemerintah yakni
Koalisi Aliansi Rakyat dan dibahas di parlemen. Revisi UU terorisme di
parlemen dalam prosesnya berlangsung sengit dan perdebatan terutama dari
partai-partai oposisi. Anggota parlemen dari Koalisi Nasional seperti dari
Partai Rakyat Republik (CHP) dan Partai IYI mengkritik isi dari revisi UU
terorisme tersebut. Anggota Partai Rakyat Republik (CHP) Bulent Tezcan
seperti yang dikutip di dalam Hurriyet news menyampaikan kritiknya
terhadap revisi UU terorisme ini :
“RUU ini jelas merupakan pelanggaran terhadap konstitusi. RUU ini secara
permanen akan membuat keadaan darurat dengan mengorbankan
ketidakadilan dan pelanggaran hukum. RUU terorisme ini harus ditolak
karena Turki nantinya tidak akan pernah bisa menciptakan hubungan yang
baik dengan dunia kontemporer”.150
Ada juga kritik dari anggota parlemen Partai IYI Feridun Bahsi
mengenai revisi RUU terorisme ini yang menganggap bahwa revisi UU
terorisme ini berpotensi melanggar hak asasi manusia. Selain koalisi oposisi
yang menolak, Partai Rakyat Demokrasi Kurdi (HDP) juga ikut menolak
revisi UU terorisme. Salah satu anggota parlemen dari Partai Rakyat
Demokrasi Kurdi (HDP) Ahmet Sik melontarkan kritik keras bahwa revisi
150
Debat revisi UU terorisme di parlemen, http://www.hurriyetdailynews.com/parliament-
starts-discussing-anti-terror-bill-amid-opposition-criticism-134919, diakses pada tanggal 30 Juli
2019.
94
UU terorisme adalah salah satu cara pemerintah untuk membungkam
kebenaran.151
Tetapi partai-partai koalisi pemerintah menganggap bahwa revisi UU
terorisme ini bukan untuk memperpanjang keadaan darurat tetapi demi
keamanan nasional jangka panjang dan hal ini disampaikan oleh salah satu
anggota parlemen dari Partai AKP Bulent Turan152
:
“RUU ini ditulis untuk memberikan keamanan berkelanjutan bagi rakyat
Turki. Tidak benar menyebutnya perpanjangan aturan darurat.”
Setelah melalui banyak perdebatan di parlemen, pada tanggal 25 Juli
2019 diadakan pemungutan suara atau voting untuk menentukan revisi UU
terorisme apakah diterima atau tidak. Hasil dari pemungutan suara tersebut
adalah 284 suara mendukung, 95 suara menolak, dan 1 suara abstain dari
total 600 anggota parlemen. Setelah resmi menjadi undang-undang,
ditandatangani oleh Presiden Recep Tayyip Erdogan.
Hubungan antara eksekutif dengan legislatif di Republik Turki
berjalan tanpa hambatan dan ini dibuktikan ketika revisi undang-undang
terorisme dapat disahkan meskipun terjadi perdebatan. Hubungan baik antara
presiden dengan legislatif dikarenakan Presiden Recep Tayyip Erdogan dapat
mengendalikan parlemen yang dikuasai oleh partainya sendiri yakni Partai
AKP.
151
Para politisi dari kalangan oposisi mengkritik revisi UU terorisme,
https://www.reuters.com/article/us-turkey-security/turkish-parliament-to-vote-on-security-law-to-
replace-emergency-rule-idUSKBN1KF0P9, diakses pada tanggal 30 Juli 2019. 152
Argumen para anggota parlemen mengenai revisi UU terorisme,
http://www.hurriyetdailynews.com/parliament-starts-discussing-anti-terror-bill-amid-opposition-
criticism-134919, diakses pada tanggal 30 Juli 2019.
95
C. Perbandingan: Persamaan dan Perbedaan Pelaksanaan Sistem
Presidensial di Indonesia dengan Turki.
Pelaksanaan sistem presidensial di Indonesia pasca era Orde Baru
sejak tahun 1998 mulai menunjukkan adanya prinsip keseimbangan atau
check and balances antar lembaga tinggi negara. Hubungan antara eksekutif
dengan legislatif berfungsi dengan semestinya. Begitu juga dengan
pelaksanaan sistem presidensial di Republik Turki yang juga menerapkan
prinsip keseimbangan check and balances antar lembaga tinggi negara.
Terdapat persamaan dan perbedaan pelaksanaan sistem presidensial antara
Indonesia dengan Turki mengenai revisi undang-undang terorisme di kedua
negara. Persamaan pelaksanaan sistem presidensial yang berada di Indonesia
dengan Turki adalah sama-sama sukses dalam meloloskan program kerja
pemerintah melalui proses hubungan antara eksekutif dengan legislatif.
Kekuatan partai politik koalisi pemerintah yang mayoritas di legislatif
menjadi faktor penentu suksesnya revisi undang-undang terorisme di
Indonesia dan Turki.
Perbedaan di antara Indonesia dengan Turki dalam pelaksanaan sistem
presidensial mengenai revisi undang-undang terorisme adalah proses dan
waktu pembahasan antara eksekutif dengan legislatif. Pembahasan revisi
undang-undang terorisme di Indonesia berlangsung alot dan penuh dengan
perdebatan sengit. Kekuatan mayoritas koalisi pemerintah di DPR RI ternyata
tidak menjadi jaminan bahwa program pemerintah akan langsung cepat
disahkan oleh legislatif. Partai koalisi pemerintah di DPR pun juga ikut
96
menjadi faktor lamanya proses revisi undang-undang terorisme karena
sempat tidak setuju terhadap eksekutif. Proses revisi undang-undang
terorisme di Turki berlangsung dengan cepat dan tanpa hambatan karena
solidaritas partai koalisi pemerintah di parlemen. Jika di Indonesia cara
legislatif untuk mensahkan revisi undang-undang terorisme dengan mengajak
seluruh partai politik baik koalisi pemerintah maupun koalisi oposisi untuk
satu suara, sedangkan di Turki cara parlemen untuk mengesahkan revisi
undang-undang terorisme yakni dengan cara pemungutan suara atau voting.
Jika di Indonesia yang mengajukan revisi undang-undang adalah eksekutif, di
Turki yang mengajukan untuk merevisi undang-undang adalah partai
mayoritas di parlemen. Sistem presidensial yang berada di Turki dalam kasus
hubungan antara eksekutif dengan legislatif adalah proaktif.
Persamaan di antara Indonesia dengan Turki dalam pemilihan menteri
oleh eksekutif atau presiden adalah porsi menteri yang ditunjuk oleh presiden
terdapat dua komponen yakni ada yang berasal dari partai politik dan dari
non partai politik atau kalangan profesional. Perbedaan antara Indonesia
dengan Turki dalam pemilihan menteri oleh adalah di Indonesia khsususnya
di era Presiden Joko Widodo adalah bahwa presiden tidak dapat
menggunakan hak prerogatifnya secara penuh dalam memilih menteri karena
adanya kepentingan dari partai-partai koalisi dan untuk kepentingan eksekutif
di legislatif. Sedangkan di Turki, presiden benar-benar dapat menggunakan
hak prerogatifnya secara penuh dalam memilih menteri dan bahkan sangat
mengejutkan karena tidak ada satu pun menteri yang ditunjuk oleh presiden
97
dari mitra koalisi Partai AKP yakni Partai MHP dan bahkan Presiden Turki
berani menunjuk menantunya sendiri sebagai menteri.
Tabel
Persamaan dan Perbedaan Praktik Sistem Presidensial
di Indonesia dan Turki
No Negara Persamaan Perbedaan
1 Indonesia Kasus pemilihan menteri
Komposisi menteri sama-
sama dari partai dan non-
partai
Presiden Indonesia tidak
dapat menggunakan hak
prerogatif sepenuhnya.
2 Turki Komposisi menteri sama-
sama dari partai dan non-
partai
Presiden Turki dapat
menggunakan hak
prerogatif sepenuhnya
No Negara Persamaan Perbedaan
1 Indonesia Kasus revisi UU Terorisme
Sama-sama meloloskan
program pemerintah
Kekuatan mayoritas partai
politik di parlemen
menjadi faktor kesuksesan.
Waktu pembahasan di
legislatif di Indonesia
berlangsung lama.
2 Turki Sama-sama meloloskan
program pemerintah
Kekuatan mayoritas partai
politik di parlemen
menjadi faktor kesuksesan.
Waktu pembahasan di
Turki berlangsung cepat
Indonesia mengajak
seluruh fraksi untuk satu
suara
Turki menggunakan
voting
98
BAB V
PENUTUP
Pada bab yang kelima ini, penulis menjelaskan kesimpulan dan saran
dari penelitian mengenai perbandingan sistem presidensial di Indonesia
dengan Turki.
A. Kesimpulan
Sistem pemerintahan di Indonesia sejak merdeka pada 1945
mengalami beberapa perubahan mulai dari era Presiden Soekarno yang
menerapkan sistem presidensial pada 1945 hingga 1949 meskipun di
dalamnya terdapat perdana menteri. Pada rentang 1950-1959 Indonesia
menerapkan sistem parlementer yang mana sistem ini tidak sukses karena
banyak pergantian pemerintahan dan tidak stabil. Kemudian kembali ke
sistem presidensial setelah Dekrit Presiden 1959 akan tetapi di era ini
eksekutif atau disini adalah bahwa posisi Presiden Soekarno sangat kuat dan
nyaris tidak ada kontrol dari legislatif dan bahkan Presiden Soekarno
mengangkat dirinya sendiri sebagai presiden seumur hidup. Pada era Presiden
Soeharto, kekuatan eksekutif benar-benar sangat kuat dapat mengontrol
legislatif sehingga semua program pemerintah mudah disahkan. Pada era
Reformasi sejak 1998, hubungan antara eksekutif dengan legislatif mulai
seimbang dan prinsip check and balances berjalan dengan semestinya mulai
dari era Presiden Habibie yang berhubungan baik dengan DPR RI meskipun
pada akhirnya pertanggungjawabannya ditolak, kemudian di era Presiden
99
Abdurrahman Wahid yang mana hubungan antara Presiden dengan DPR RI
memanas dan bahkan presiden Gus Dur mengancam akan membubarkan DPR
RI hingga pada akhirnya Presiden Gus Dur diberhentikan oleh legislatif. Era
Presiden Megawati hubungan antara eksekutif dengan legislatif kembali
membaik dimana prinsip check and balances berjalan dan hubungan baik ini
berlanjut pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Pelaksanaan dan proses sistem presidensial yang berada di Indonesia
dengan Turki khususnya dalam masalah penunjukkan menteri dan hubungan
antara eksekutif dengan legislatif dalam kasus revisi undang-undang
terorisme berbeda. Sistem presidensial di Indonesia pada era Reformasi
khususnya di era Presiden Jokowi membuktikan bahwa pengaruh kekuatan
partai politik dalam proses sistem presidensial sangat besar. Sistem
presidensial yang identik dengan kekuasaan besar presiden atau hak
prerogatif ternyata di Indonesia tidak dapat dilakukan sepenuhnya karena
presiden membutuhkan dukungan partai politik untuk dapat memuluskan
program pemerintah. Kekuatan partai politik di legislatif juga sangat
berpengaruh terhadap proses pembentukan undang-undang dan bahkan
meskipun koalisi sudah mayoritas di legislatif, nyatanya untuk mengesahkan
sebuah undang-undang membutuhkan waktu yang tidak sebentar karena
adanya perdebatan di antara eksekutif dengan legislatif.
Turki sejak menjadi negara berbentuk republik pada 1923 adalah
negara yang menerapkan sistem parlementer dan partai tunggal hingga tahun
1938. Setelah itu sistem multi partai mulai diterapkan. Hubungan antara
100
eksekutif dengan legislatif pada era sistem parlementer tidak selalu stabil dan
bahkan jika terjadi ketidakstabilan pemerintahan dan, militer langsung turun
tangan dan mengkudeta pemerintahan. Pada era Perdana Menteri Recep
Tayyip Erdogan, muncul usul agar merubah sistem pemerintahan menjadi
sistem presidensial. Usulan untuk merubah sistem pemerintahan baru bisa
terlaksana pada April 2017 ketika referendum konstitusi digelar dan
mayoritas rakyat Turki mendukung untuk merubah sistem pemerintahan.
Sedangkan di Turki, pelaksanaan dan proses sistem presidensial
khususnya dalam masalah penunjukkan menteri dan hubungan antara
eksekutif dengan legislatif berlangsung dengan cepat dan tanpa hambatan.
Kekuatan eksekutif dalam memilih menteri atau menggunakan hak
prerogatifnya benar-benar digunakan secara penuh oleh presiden dan ini
terbukti Presiden Recep Tayyip Erdogan dapat menunjuk menteri tanpa
tersandera dengan kepentingan koalisinya dan presiden bahkan dapat
menunjuk menantunya menjadi menteri. Proses revisi undang-undang
terorisme di legislatif berlangsung dengan mudah dan tanpa hambatan karena
mayoritas parlemen solid dalam mengesahkan undang-undang meskipun ada
perdebatan antara koalisi pemerintah dengan oposisi dan kekuatan mayoritas
partai politik dalam mengesahkan undang-undang adalah faktor yang utama
dalam kasus ini.
101
B. Saran
Berdasarkan dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh penulis,
skripsi ini masih ada kekurangan dan tentunya ada saran dari penulis untuk
mahasiswa dan akademisi yakni melanjutkan penelitian mengenai sistem
presidensial di Indonesia dengan Turki dengan perspektif yang berbeda.
102
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Alfian, Alfan. Militer dan Politik di Turki (Dinamika Politik Pasca-AKP hingga
Gagalnya Kudeta). Jakarta: Penerbit Penjuru Ilmu, 2018.
Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.
Feith, Herbert. The Decline of Constitusional Democracy in Indonesia. Jakarta:
Equinox, 2007.
Dasar, Undang-Undang 1945.
Gulener, Serdar. Constitusional Framework of Executive Presidency In Turkey.
Istanbul: SETA, 2017.
Hanan, Djayadi. Menakar Presidensialisme Multipartai di Indonesia: Upaya
Mencari Format Demokrasi yang Stabil dan Dinamis dalam Konteks
Indonesia. Bandung: Mizan, 2014.
Iqbal, M, dan Nasution Amin H. Pemikiran Politik Islam Dari Masa Klasik
Hingga Indonesia Kontemporer. Edisi ke-2. Jakarta, 2013.
Johan, Teuku Saiful Bahri. Hukum Tata Negara Dan Administrasi Negara Dalam
Tataran Reformasi Ketatanegaraan Indonesia. Yogyakarta, 2018.
Kahin, George McTurnan. Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia. Surakarta:
UNS Press. 1995.
Kanat, Kilic Bugra, Jackson Hannon, Meghan Backer. Turkey’s Elections 2018.
Istanbul, 2018.
Kuncahyono, Trias. Turki : Revolusi Tak Pernah Henti. Jakarta: PT Gramedia,
2018.
Landman, Todd. Issue and Methods in Comparative Politics: An Introduction.
New York: Routledge, 2008.
L.K. Skolastika. “Pendekatan Perbandingan Politik Sebagai Teori dan Metode”,
Tugas Teori Perbandingan Politik.
Mariana, Dede, Neneng Yani Yuningsih, Caroline Paskarina. Perbandingan
Pemerintahan. Jakarta, 2007.
Moleong, Lexi J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.
2006.
103
Munthe, Cesar Antonio, Rustam Setting. Undang-Undang Dasar 1945.
Neuman, Lawrence. Metode Penelitian Sosial : Pendekatan Kualitatif dan
Kuantitatif. Jakarta: PT Indeks. 2013.
Siregar, Sarah Nuraini. Sistem Presidensial Indonesia dari Soekarno ke Jokowi.
Jakarta, 2018.
Sunarso. Perbandingan Sistem Pemerintahan. Jogjakarta: PT Ombak, 2012.
Suntoro, Sucipto. Rangkuman Pengetahuan Umum Lengkap. Solo, 2005.
Surbakti, Ramlan. Memahami Ilmu Politik. Jakarta, 2010.
Disertasi
Soekanto, Sitaresmi S. “Studi Perbandingan: Pemenang Pemilu Partai Keadilan
Sejahtera (PKS) di Indonesia 1999-2009 dan Adalet ve Kalkinma Partisi
(AKP) di Turki 2002-2007”. Disertasi Program Pascasarjana Ilmu Politik
Universitas Indonesia, 2012.
Internet
“Aburizal Bakrie dan Agung Laksono sepakat untuk bergabung ke pemerintah”,
https://nasional.kompas.com/read/2015/11/01/20452241/Agung.Laksono.
Saya.dan.Pak.Ical.Sepakat.Dukung.Pemerintah.Jokowi, diakses pada
tanggal 12 Agustus 2019.
“Argumen para anggota parlemen mengenai revisi uu terorisme,
http://www.hurriyetdailynews.com/parliament-starts-discussing-anti-
terror-bill-amid-opposition-criticism-134919, diakses pada tanggal 30
Juli 2019.
“Biografi dari Berat Albayrak”, https://www.tccb.gov.tr/en/cabinet/minister-of-
treasury-and-finance, diakses pada tanggal 6 Agustus 2019.
“Bom Bali I”, https://www.liputan6.com/global/read/3665175/12-10-2002-jejak-
kelam-tragedi-bom-bali-i,, diakses pada tanggal 9 Juli 2019.
“Debat revisi uu terorisme di parlemen”,
http://www.hurriyetdailynews.com/parliament-starts-discussing-anti-
terror-bill-amid-opposition-criticism-134919, diakses pada tanggal 30
Juli 2019.
“DPR dan Pemerintah capai kata sepakat dalam revisi uu terorisme”.
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt58493e36b2931/revisi-uu-
geser-model-penanganan-terorisme/, diakses pada tanggal 19 Juli 2019.
104
“DPR protes terhadap pemerintah terkait pasal-pasal yang dinilai melanggar hak
asasi manusia”,
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20170406073024-32-
205317/kontroversi-pasal-guantanamo-di-ruu-terorisme, diakses pada
tanggal 17 Juli 2019.
“Fraksi-fraksi di DPR RI terbelah dalam definisi terorisme”,
http://www.dpr.go.id/berita/detail/id/20862/t/Sepuluh+Fraksi+Terbelah+
Sikapi+Definisi+Terorisme, diakses pada tanggal 24 Juli 2019.
“Golkar resmi keluar dari KMP”,
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20160516233755-32-
131163/golkar-resmi-keluar-dari-koalisi-merah-putih, diakses pada
tanggal 18 Juli 2019.
“Hasil resmi Pilpres 2014”,
https://nasional.kompas.com/read/2014/07/22/20574751/Ini.Hasil.Resmi.
Rekapitulasi.Suara.Pilpres.2014?page=all, diakses pada tanggal 8
Agustus 2019.
“Isi perubahan dari revisi undang-undang terorisme,
https://www.trtworld.com/turkey/turkish-parliament-ratifies-anti-terror-
law-19153, diakses pada tanggal 29 Juli 2019.
“Jumlah Korban dalam serangan teror bom Surabaya”,
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180514194201-12-
298164/korban-tewas-teror-bom-surabaya-28-orang-57-luka, diakses
pada tanggal 23 Juli 2019.
“Jokowi ancam DPR”, https://news.detik.com/berita/4019265/jokowi-jika-juni-
dpr-tak-sahkan-ruu-terorisme-saya-keluarkan-perppu, diakses pada
tanggal 23 Juli 2019.
“Kandidat menteri pilihan Presiden Recep Tayyip Erdogan”,
http://www.hurriyetdailynews.com/turkeys-new-cabinet-may-include-
ministers-from-parliament-erdogan-134279, diakses pada tanggal 2
Agustus 2019.
“Kekuasaan dan Kewenangan Majelis Agung Nasional Turki”,
https://global.tbmm.gov.tr/index.php/EN/yd/icerik/25, diakses pada
tanggal 26 Juli 2019.
“Kekuasaan, dan kewenangan Presiden Republik Turki”,
https://www.tccb.gov.tr/en/presidency/power/, diakses pada tanggal 25
Juli 2019.
105
“Komposisi Kabinet Kerja”,
https://nasional.kompas.com/read/2014/10/26/18101431/Ini.15.Menteri.J
okowi.yang.Berasal.dari.Partai.Politik
“MK tolak gugatan Prabowo Hatta”, https://nasional.tempo.co/read/601368/mk-
tolak-seluruh-gugatan-prabowo, diakses pada tanggal 1 Agustus 2019.
“Nama-nama calon menteri mulai beredar”,
https://nasional.tempo.co/read/595361/calon-menteri-kabinet-jokowi-jk-
mulai-beredar/full&view=ok, diakses pada tanggal 9 Agustus 2019.
“Para politisi dari kalangan oposisi mengkritik revisi uu terorisme”,
https://www.reuters.com/article/us-turkey-security/turkish-parliament-to-
vote-on-security-law-to-replace-emergency-rule-idUSKBN1KF0P9,
diakses pada tanggal 30 Juli 2019.
“Partai AKP mengajukan revisi undang-undang terorisme”, http://www.voa-
islam.com/read/world-news/2018/07/18/59148/turki-ajukan-undang-
undang-anti-teror-baru-setelah-erdogan-memenangkan-
pemilu/#sthash.vW44CZty.uPvXVkRS.dpbs, diakses pada tanggal 29
Juli 2019.
“Pemerintah memutuskan untuk revisi uu terorisme,
https://setkab.go.id/2016/01/page/6/, diakses pada tanggal 29 Juli 2019.
“Perdebatan dalam revisi uu terorisme”, https://tirto.id/4-poin-dalam-uu-
terorisme-baru-yang-berpotensi-jadi-masalah-cLcW, diakses pada
tanggal 23 Juli 2019.
“Perjalanan UU Terorisme,
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5b0531a3c651d/sekelumit-
kisah-perjalanan-uu-anti-terorisme/, diakses pada tanggal 10 Juli 2019.
“PPP resmi bergabung dengan koalisi pemerintah”,
https://nasional.okezone.com/read/2014/10/18/337/1054000/ppp-resmi-
gabung-koalisi-jokowi-jk, diakses pada tanggal 8 Agustus 2019.
“Profil negara Turki”, https://www.britannica.com/place/Turkey, diakses pada
tanggal 25 Juli 2019.
“Recep Tayyip Erdogan dan koalisinya memenangkan pemilu 2018,
https://www.bbc.com/news/world-europe-44596072, diakses pada
tanggal 28 Juli 2019.
“Recep Tayyip Erdogan umumkan kabinet baru,
https://www.aa.com.tr/id/headline-hari/presiden-erdogan-umumkan-16-
menteri-kabinet-baru-turki/1199933”, diakses pada tanggal 2 Agustus
2019.
106
“Revisi uu terorisme akan kembali molor”,
https://nasional.kompas.com/read/2017/02/24/17381941/pembahasan.ruu
.anti-terorisme.diprediksi.kembali.molor, diakses pada tanggal 23 Juli
2019.
“Sejarah dari DPR RI”, http://www.dpr.go.id/tentang/sejarah-dpr, diakses pada
tanggal 3 Juli 2019.
"Teks lengkap dari proposal amandemen konstitusi 18-poin",
https://en.wikipedia.org/wiki/2017_Turkish_constitutional_referendum.
“Tugas dan Wewenang dari DPR RI”, http://www.dpr.go.id/tentang/tugas-
wewenang. Diakses pada tanggal 4 Juli 2019.
“Tujuan pemerintah untuk revisi uu terorisme”,
https://nasional.kontan.co.id/news/ini-tujuan-pemerintah-ingin-revisi-uu-
terorisme, diakses pada tanggal 15 Juli 2019.
“Turki akhiri status Keadaan Darurat”, https://www.france24.com/en/20180719-
two-years-after-failed-coup-turkey-ends-state-emergency-erdogan-
purges, diakses pada tanggal 27 Juli 2019.
Jurnal
Aji, Ahmad Mukri. 2013. “Pemberantasan Tindak Terorisme di Indonesia”.
Jurnal Cita Hukum, Vol 1, No. 1.
Anangkota, Muliadi. 2017. “Klasifikasi Sistem Pemerintahan Perspektif
Pemerintahan Modern Kekinian”. Vol.3, No.2.
Basalamah, Fazrin. 2018. “Pengaruh Partai Politik dalam Sistem Pemerintahan
(Presidensial) Menurut Pasal 6A UUD 1945”. Jurnal Lex Administratum
Vol. 6 No. 2.
Bawazi, Abd. Rahman. 2017. “Dinamika Partai Politik dalam Sistem Presidensil
di Indonesia”. Jurnal Agama dan Hak Azazi Manusia”. Vol. 6, No. 2.
Bukido, Rosdalina. 2012. “Kajian Terhadap Sistem Pemerintahan dan Prakteknya
Menurut Undang-Undang Dasar Tahun 1945”. Jurnal Ilmiah Al-Syir’ah
Vol 10, No.1.
Hadi, Sofyan. 2013. “Fungsi Legislasi dalam Sistem Pemerintahan Presidensil”.
Jurnal Ilmu Hukum Vol. 9, No. 18.
Hakiki, Paizon. 2014. “Sistem Pemerintahan Pada Masa Demokrasi Liberal Tahun
1949-1959”. Jurnal Online Mahasiswa Vol 1, No.1”
Hanan, Firman. 2017. “Relasi Eksekutif-Legislatif dalam Presidensialisme
Multipartai di Indonesia”. Jurnal Wacana Politik Vol. 2, No. 2.
107
Junaidi, Ahmad. “Kebijakan Politik Recep Tayyip Erdogan dan Islamisme Turki
Kontemporer”, Jurnal Agama dan Hak Asasi Manusia Vol. 6, No.1.
Monteiro, Josef M. 2016. “Perpaduan Presidensial dan Parlementer dalam Sistem
Pemerintahan RI”. Jurnal Hukum PRIORIS, Vol 5, No. 3.
Novianti, Cora Elly. 2013. “Demokrasi dan Sistem Pemerintahan”. Jurnal
Konstitusi Vol. 10 No. 2
Prabandani, Hendra Wahyu. 2015. “Batas Konstitusional Kekuasaan
Konstitusional Presiden”. Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 12, No. 03.
Samkamaria. 2016. Perbandingan Administrasi Publik (Perbandingan Sistem
Pemerintahan Indonesia dengan Inggris).
Sandhiyudha, Arya. 2016. “Ijtihad Islamisme Turki ala Erbakan”, Jurnal Politik,
Vol. 2, No. 1.
Solikhun. 2013. “Negara Turki pada Masa Kepemimpinan Mustafa Kemal
Ataturk Tahun (1923-1950)”. Jurnal Ilmiah.
Sudirman. 2004. Kedudukan Presiden dalam Sistem Pemerintahan Presidensial
(Telaah Terhadap Kedudukan dan Hubungan Presiden dengan Lembaga
Negara yang Lain dalam Undang-Undang Dasar NKRI Tahun 1945)”.
Jurnal Hukum.
Sulardi. 2012. “Rekonstruksi Sistem Pemerintahan Presidensil Berdasar Undang-
Undang Dasar 1945 Menuju Sistem Pemerintahan Presidensil Murni”.
Jurnal Konstitusi Vol. 9 No. 3.
Wibisono, Yusuf. 2017. “Anomali Praktik Sistem Pemerintahan Presidensial dan
Multipartai di Awal Pemerintahan Jokowi Tahun 2014”. Jurnal Ilmu dan
Budaya. Vol. 40 No. 55.
Wijaya, Junior Hendri, Iman Amanda Permatasari. “Capaian Masa Pemerintahan
Presiden B.J. Habibie dan Megawati di Indonesia. Jurnal Cakrawala,
Vol. 12, No. 2.
Yasin al-Arif, M. 2015. “Anomali Sistem Pemerintahan Presidensial Pasca
Amandemen UUD 1945”. Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM Vol. 22,
No. 2.
Yogia, Moris Adidi. (2009). Indonesia dan Jepang dalam Perspektif
Perbandingan Politik. Universitas Islam Riau.
108
Penelitian
Marthin Simangunsong. Penelitian : “Sistem Pemerintahan Presidensial di
Indonesia dengan Amerika Serikat (Suatu Kajian Perbandingan)”.
Penelitian Universitas HKBP Nommensen, 2007.
Skripsi
Adhiguna, Dandhy. Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 23-26/PUU-VIII/2010 Tentang Pelaksanaan Hak Menyatakan
Pendapat. Skripsi Fakultas Hukum, Universitas Lampung, 2011.
Gumilar, Atika. Kepentingan Turki Terhadap Pengungsi Suriah Studi Kasus
Tahun 2011-2015. Skripsi S1 Fakultas Ilmu Sosial dan Politik,
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 2016.
Jazuly, Ahmad Syukron. Sistem Presidensial (Komparasi Sistem Pemerintahan
Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945 dan Sistem Pemerintahan
Republik Islam Iran). Skripsi Program Perbandingan Mazhab Universitas
Islam Negari Sunan Kalijaga, 2008.
Muhlis, Acep. Dampak Upaya Kudeta Militer Terhadap Lembaga Fethullah
Gulen di Jakarta. Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017.
Qudus, Ulfah Mawaddatul. Gerakan Politik dan Otonomi Khusus (Studi
Perbandingan Gerakan Suku Kurdi Memperjuangkan Otonomi Khusus di
Irak dan Turki). Skripsi Program Ilmu Politik Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah. 2018.
Permadi, Bambang Singgih. Proses Pemilihan Umum 1955 di Indonesia. Skripsi S1
Program Studi Pendidikan Sejarah, Universitas Negeri Yogyakarta, 2014.
Putra, Gia Syah Noor. Sikap Politik Koalisi Merah Putih Terhadap Kebijakan
Politik Pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Skripsi S1 Fakultas
Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
Yogyakarta, 2015.
Setiyawati, Dwi Arum. Pola Hubungan Eksekutif Dengan Legislatif dalam Proses
Pembuatan Peraturan Daerah (Studi pada Perda Pajak Hiburan Tahun
2011 Kabupaten Lampung Selatan). Skripsi Program Ilmu Politik
Universitas Lampung. 2012.
Vevekanda, Denayu Swami. Perilaku Politik dan Kekuasaan Politik (Studi
Perpindahan Partai Politik Basuki Tjahaja Purnama dalam Perpolitikan
di Indonesia). Skripsi Program Ilmu Politik Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah. 2017.
109
Tesis
Lucius, Robert E. A House Divided: The Decline and Fall of Masyumi (1950-
1956). Tesis Naval Postgraduate School, US Navy. 2003.
Wawancara
Wawancara Pribadi dengan Rudy Alfonso, Ketua DPP bidang Hukum dan HAM
Partai Golkar, pada 15 Agustus 2019.