Sistem Ketatanegaraan RI
-
Upload
reski-trimayuda -
Category
Documents
-
view
65 -
download
4
description
Transcript of Sistem Ketatanegaraan RI
Ketatanegaraan Indonesia Sebelum & Sesudah Amandemen UUD 1945
Negara adalah suatu organisasi yang meliputi wilayah, sejumlah rakyat, dan mempunyai
kekuasaan berdaulat. Setiap negara memiliki sistem politik (political system) yaitu pola
mekanisme atau pelaksanaan kekuasaan. Sedang kekuasaan adalah hak dan kewenangan serta
tanggung jawab untuk mengelola tugas tertentu. Pengelolaan suatu negara inilah yang disebut
dengan sistem ketatanegaraan.
Sistem ketatanegaraan dipelajari di dalam ilmu politik. Menurut Miriam Budiardjo
(1972), politik adalah bermacam-macam kegiatan dalam suatu negara yang menyangkut
proses menentukan tujuan-tujuan dari negara itu dan melaksanakan tujuan-tujuan tersebut.
Untuk itu, di suatu negara terdapat kebijakan-kebijakan umum (public polocies) yang
menyangkut pengaturan dan pembagian atau alokasi kekuasaan dan sumber-sumber yang
ada.
Di Indonesia pengaturan sistem ketatanegaraan diatur dalam Undang-Undang Dasar
1945, Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan
Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan Daerah. Sedangkan kewenangan kekuasaan
berada di tingkat nasional sampai kelompok masyarakat terendah yang meliputi MPR, DPR,
Presiden dan Wakil Presiden, Menteri, MA, MK, BPK, DPA, Gubernur, Bupati/ Walikota,
sampai tingkat RT.
Lembaga-lembaga yang berkuasa ini berfungsi sebagai perwakilan dari suara dan
tangan rakyat, sebab Indonesia menganut sistem demokrasi. Dalam sistem demokrasi,
pemilik kekuasaan tertinggi dalam negara adalah rakyat. Kekuasaan bahkan diidealkan
penyelenggaraannya bersama-sama dengan rakyat.
Pada kurun waktu tahun 1999-2002, Undang-Undang Dasar 1945 telah mengalami
empat kali perubahan (amandemen). Perubahan (amandemen) Undang-Undang Dasar 1945
ini, telah membawa implikasi terhadap sistem ketatanegaraan Indonesia. Dengan berubahnya
sistem ketatanegaraan Indonesia, maka berubah pula susunan lembaga-lembaga negara yang
ada.
Berikut ini akan dijelaskan sistem ketatanegaraan Indonesia sebelum dan sesudah
Amandemen UUD 1945.
· Sebelum Amandenen UUD 1945
Sebelum diamandemen, UUD 1945 mengatur kedudukan lembaga tertinggi dan
lembaga tinggi negara, serta hubungan antar lembaga-lembaga tersebut. Undang-Undang
Dasar merupakan hukum tertinggi, kemudian kedaulatan rakyat diberikan seluruhnya kepada
MPR (Lembaga Tertinggi). MPR mendistribusikan kekuasaannya (distribution of power)
kepada 5 Lembaga Tinggi yang sejajar kedudukannya, yaitu Mahkamah Agung (MA),
Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Pertimbangan Agung (DPA) dan Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK).
Adapun kedudukan dan hubungan antar lembaga tertinggi dan lembaga-lembaga
tinggi negara menurut UUD 1945 sebelum diamandemen, dapat diuraikan sebagai berikut:
· Pembukaan UUD 1945
Bahwa sesungguhnya Kemerdekaaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka
penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan
peri-keadilan.
Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang
berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia kedepan pintu gerbang
kemerdekaan Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur,
supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka Rakyat Indonesia menyatakan dengan ini
kemerdekaannya.
Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka
disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar
Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang
berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusian
yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan
sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia.
Pembukaan UUD 1945 tidak dapat dirubah karena di dalam Pembukaan UUD 1945
terdapat tujuan negara dan pancasila yang menjadi dasar negara Indonesia. Jika Pembukaan
UUD 1945 ini dirubah, maka secara otomatis tujuan dan dasar negara pun ikut berubah.
· MPR
Sebelum perubahan UUD 1945, kedudukan MPR berdasarkan UUD 1945 merupakan
lembaga tertinggi negara dan sebagai pemegang dan pelaksana sepenuhnya kedaulatan
rakyat. MPR diberi kekuasaan tak terbatas (Super Power). karena “kekuasaan ada di tangan
rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR” dan MPR adalah “penjelmaan dari seluruh
rakyat Indonesia” yang berwenang menetapkan UUD, GBHN, mengangkat presiden dan
wakil presiden.
· MA
Mahkamah Agung (disingkat MA) adalah lembaga tinggi negara dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman bersama-sama
dengan Mahkamah Konstitusi dan bebas dari pengaruh cabang-cabang kekuasaan lainnya.
Mahkamah Agung membawahi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha
negara.
· BPK
Badan Pemeriksa Keuangan (disingkat BPK) adalah lembaga tinggi negara dalam
sistem ketatanegaraan Indonesia yang memiliki wewenang memeriksa pengelolaan dan
tanggung jawab keuangan negara. Menurut UUD 1945, BPK merupakan lembaga yang bebas
dan mandiri.
Anggota BPK dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan
pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah, dan diresmikan oleh Presiden.
Pasal 23 ayat (5) UUD Tahun 1945 menetapkan bahwa untuk memeriksa tanggung
jawab tentang Keuangan Negara diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan yang
peraturannya ditetapkan dengan Undang-Undang. Hasil pemeriksaan itu disampaikan
kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
· DPR
Tugas dan wewenang DPR sebelum amandemen UUD 1945 adalah memberikan
persetujuan atas RUU [pasal 20 (1)], mengajukan rancangan Undang-Undang [pasal 21 (1)],
Memberikan persetujuan atas PERPU [pasal 22 (2)], dan Memberikan persetujuan atas
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara [pasal 23 (1)].
UUD 1945 tidak menyebutkan dengan jelas bahwa DPR memiliki fungsi legislasi,
fungsi anggaran dan pengawasan.
· Presiden
ü Presiden memegang posisi sentral dan dominan sebagai mandataris MPR, meskipun
kedudukannya tidak “neben” akan tetapi “untergeordnet”.
ü Presiden menjalankan kekuasaan pemerintahan negara tertinggi (consentration of power and
responsiblity upon the president).
ü Presiden selain memegang kekuasaan eksekutif (executive power), juga memegang kekuasaan
legislative (legislative power) dan kekuasaan yudikatif (judicative power).
ü Presiden mempunyai hak prerogatif yang sangat besar.
ü Tidak ada aturan mengenai batasan periode seseorang dapat menjabat sebagai presiden serta
mekanisme pemberhentian presiden dalam masa jabatannya.
· Sesudah Amandemen UUD 1945
Salah satu tuntutan Reformasi 1998 adalah dilakukannya perubahan (amandemen)
terhadap UUD 1945. Latar belakang tuntutan perubahan UUD 1945 antara lain karena pada
masa Orde Baru, kekuasaan tertinggi di tangan MPR (dan pada kenyataannya bukan di
tangan rakyat), kekuasaan yang sangat besar pada Presiden, adanya pasal-pasal yang terlalu
“luwes” (sehingga dapat menimbulkan mulitafsir), serta kenyataan rumusan UUD 1945
tentang semangat penyelenggara negara yang belum cukup didukung ketentuan konstitusi.
Tujuan perubahan UUD 1945 waktu itu adalah menyempurnakan aturan dasar seperti
tatanan negara, kedaulatan rakyat, HAM, pembagian kekuasaan, eksistensi negara demokrasi
dan negara hukum, serta hal-hal lain yang sesuai dengan perkembangan aspirasi dan
kebutuhan bangsa. Perubahan UUD 1945 dengan kesepakatan diantaranya tidak mengubah
Pembukaan UUD 1945, tetap mempertahankan susunan kenegaraan (staat structuur) kesatuan
atau selanjutnya lebih dikenal sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), serta
mempertegas sistem pemerintahan presidensiil.
Sistem ketatanegaraan Indonesia sesudah Amandemen UUD 1945, dapat dijelaskan
sebagai berikut: Undang-Undang Dasar merupakan hukum tertinggi dimana kedaulatan
berada di tangan rakyat dan dijalankan sepenuhnya menurut UUD. UUD memberikan
pembagian kekuasaan (separation of power) kepada 6 lembaga negara dengan kedudukan
yang sama dan sejajar, yaitu Presiden, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK), Mahkamah Agung (MA), dan Mahkamah Konstitusi (MK).
a. MPR
· Lembaga tinggi negara sejajar kedudukannya dengan lembaga tinggi
negara
lainnya seperti Presiden, DPR, DPD, MA, MK, BPK.
· Menghilangkan supremasi kewenangannya.
· Menghilangkan kewenangannya menetapkan GBHN.
· Menghilangkan kewenangannya mengangkat Presiden
· Tetap berwenang menetapkan dan mengubah UUD.
· Susunan keanggotaanya berubah, yaitu terdiri dari anggota Dewan
Perwakilan
Rakyat dan angota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih secara langsung
melalui pemilu.
b. DPR
· Posisi dan kewenangannya diperkuat.
· Mempunyai kekuasan membentuk UU (sebelumnya ada di tangan presiden, sedangkan
DPR hanya memberikan persetujuan saja) sementara pemerintah berhak mengajukan RUU.
· Proses dan mekanisme membentuk UU antara DPR dan Pemerintah.
· Mempertegas fungsi DPR, yaitu: fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan
sebagai mekanisme kontrol antar lembaga negara.
c. DPD
· Lembaga negara baru sebagai langkah akomodasi bagi keterwakilan kepentingan daerah
dalam badan perwakilan tingkat nasional setelah ditiadakannya utusan daerah dan utusan
golongan yang diangkat sebagai anggota MPR.
· Keberadaanya dimaksudkan untuk memperkuat kesatuan Negara Republik Indonesia.
· Dipilih secara langsung oleh masyarakat di daerah melalui pemilu.
· Mempunyai kewenangan mengajukan dan ikut membahas RUU yang berkaitan dengan
otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, RUU lain yang berkait dengan kepentingan
daerah.
d. BPK
· Anggota BPK dipilih DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD.
· Berwenang mengawasi dan memeriksa pengelolaan keuangan negara (APBN) dan daerah
(APBD) serta menyampaikan hasil pemeriksaan kepada DPR dan DPD dan ditindaklanjuti
oleh aparat penegak hukum.
· Berkedudukan di ibukota negara dan memiliki perwakilan di setiap provinsi.
· Mengintegrasi peran BPKP sebagai instansi pengawas internal departemen yang
bersangkutan ke dalam BPK.
e. Presiden
· Membatasi beberapa kekuasaan presiden dengan memperbaiki tata cara pemilihan dan
pemberhentian presiden dalam masa jabatannya serta memperkuat sistem pemerintahan
presidensial.
· Kekuasaan legislatif sepenuhnya diserahkan kepada DPR.
· Membatasi masa jabatan presiden maksimum menjadi dua periode saja.
· Kewenangan pengangkatan duta dan menerima duta harus memperhatikan pertimbangan
DPR.
· Kewenangan pemberian grasi, amnesti dan abolisi harus memperhatikan pertimbangan
DPR.
· Memperbaiki syarat dan mekanisme pengangkatan calon presiden dan wakil presiden
menjadi dipilih secara langsung oleh rakyat melui pemilu, juga mengenai pemberhentian
jabatan presiden dalam masa jabatannya.
f. Mahkamah Agung
· Lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman, yaitu kekuasaan yang
menyelenggarakan peradilan untuk menegakkan hukum dan keadilan [Pasal 24 ayat (1)].
· Berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peaturan perundang-undangan di
bawah Undang-undang dan wewenang lain yang diberikan Undang-undang.
· Di bawahnya terdapat badan-badan peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum,
lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan militer dan lingkungan Peradilan Tata
Usaha Negara (PTUN).
· Badan-badan lain yang yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur
dalam Undang-undang seperti : Kejaksaan, Kepolisian, Advokat/Pengacara dan lain-lain.
g. Mahkamah Konstitusi
· Keberadaanya dimaksudkan sebagai penjaga kemurnian konstitusi (the guardian of the
constitution).
· Mempunyai kewenangan: Menguji UU terhadap UUD, Memutus sengketa kewenangan
antar lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, memutus sengketa hasil pemilu
dan memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh presiden
dan atau wakil presiden menurut UUD.
· Hakim Konstitusi terdiri dari 9 orang yang diajukan masing-masing oleh Mahkamah
Agung, DPR dan pemerintah dan ditetapkan oleh Presiden, sehingga mencerminkan
perwakilan dari 3 cabang kekuasaan negara yaitu yudikatif, legislatif, dan eksekutif
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa :
1. Setelah amandemen UUD 1945 banyak perubahan terjadi, baik dalam struktur
ketatanegaraan maupun perundang-undangan di Indonesia.
2. Tata urutan perundang-undangan Indonesia adalah UUD 1945, UU/ Perpu, PP, Peraturan
Presiden dan Perda.
3. Lembaga-lembaga Negara menurut sistem ketatanegaraan Indonesia meliputi: MPR,
Presiden, DPR, DPD, MA, MK, BPK, dan Komisi Yudisial. Lembaga pemerintahan yang
bersifat khusus meliputi BI, Kejagung, TNI, dan Polri. Lembaga khusus yang bersifat
independen misalnya KPU, KPK, Komnas HAM, dan lain-lain.
Refrensi
http://abdulhafi.wordpress.com/2008/11/22/sistem-ketatanegaraan-indonesia-dan-
pembelajarannya-di-sd/
http://senyumpelangi.wordpress.com/2009/09/17/lembaga-negara-sebelum-dan-
sesudah-amandemen-yang-ke-4/
http://nizzarrahman.blogspot.com/2009/10/sebelum-dan-sesudah-amandemen-
dewan.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Badan_Pemeriksa_Keuangan
http://id.wikipedia.org/wiki/Mahkamah_Agung_Indonesia
http://intanispratiwi.blogspot.com/2012/06/ketatanegaraan-indonesia-sebelum.html
KONSTITUSI RIS
A. Latar Belakang Terbentuknya Negara Republik Indonesia Serikat
Setelah Indonesia merdeka tanggal 17 Agustus 1945 Belanda masih merasa mempunyai
kekuasaan atas Hindia Belanda yaitu Negara bekas jajahan masih dibawah kekuasaan
Kerajaan Belanda , dengan alasan :
a. Ketentuan Hukum Internasional
Menurut Hukum Internasional suatu wilayah yang diduduki sebelum statusnya tidak berubah,
ini berarti bahwa Hindia-Belanda yang diduduki oleh Bala Tentara Jepang masih merupakan
bagian dari Kerajaan Belanda, oleh karena itu setelah Jepang menyerah, maka kekuasaan di
Hindia-Belanda adalah Kerajaan Belanda sebagai pemilik/ penguasa semula.
b. Perjanjian Postdan
Yaitu pernjajian diadakan menjelang berakhirnya Perang Dunia II yang diadakan oleh Negara
Sekutu dengan phak Jepang, Italia dan Jerman, perjanjian ini menetapkan bahwa setelah
Perang Dunia II selesai, maka wilayah yang diduduki oleh ketiga Negara ini akan
dikembalikan kepada penguasa semula.
Atas dasar perjanjian di atas, maka Belanda merasa memiliki kedaulatan atas Hindia-Belanda
secara De Jure. Akibat adanya pandangan ini yang kemudian menimbulkan konflik senjata
antara Tentara Rakyat Indonesia (TRI) dengan NICA pada tanggal 10 Nopember 1946 di
Surabaya (Bewa Ragawino, 2007: 82-82). Untuk mengakhiri konflik ini, maka diadakan
perundingan antara Indonesia dengan Belanda pada tangga 25 Maret 1947 di Linggarjati
(Perundingan Linggajati) yang antara lain menetapkan :
1. Belanda mengakui RI berkuasa secara de facto atas Jawa, Madura dan Sumatra, di
wilayah-wilayah lain yang berkuasa adalah Belanda.
2. Belanda dan Indonesia akan bekerja sama membentuk RIS.
3. Belanda dan Indonesia akan membentuk Uni Indonesia Belanda.
Hasil perundingan ini sesungguhnya merugikan bangsa Indonesia karena kedaulatan wilayah
Indonesia semakin sempit. Selain itu, timbul penafsiran yang berbeda antara Belanda
Indonesa mengenai soal Kedaulatan Indonesia-Belanda, yaitu :
1. Sebelum RIS terbentuk yang berdaulat menurut Belanda adalah Belanda, sehingga
hubungan luar negeri/ Internasional hanya boleh dilakukan oleh Belanda.
2. Menurut Indonesia sebelum RIS terbentuk yang berdaulat adalah Indonesia, terutama
Pulau Jawa, Madura dan Sumatra sehingga hubungan luar negeri juga boleh dilakukan oleh
Indonesia.
3. Belanda meminta dibuat Polisi bersama, tetapi Indonesia menolak.
Dalam diktat Bewa Ragawino (2007: 83), akibat adanya penafsiran ini terjadi Clash I (Agresi
Militer I) pada tanggal 21 Juli 1947 dan Clash II (Agresi Militer II) tanggal 19 Desember
1948. Menurut Indonesia, Belanda menyerbu dan melanggar wilayah Negara Republik
Indonesia yang telah diakuinya sendiri sehingga hal tersebut diistilahkan dengan agresi.
Sedangkan menurut Belanda terjadinya agresi militer Belanda adalah dalam rangka
penertiban wilayah Kedaulatan Belanda. Bentrok senjata Indonesia-Belanda ini kemudian
dilerai oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan melakukan genjatan senjata serta dibuat
suatu perundingan baru di atas Kapal Renville tahun 1948 (Perjanjian Renville) yang
menetapkan :
1. Belanda dianggap berdaulat penuh di seluruh Indonesia sampai terbentuk RIS.
2. RIS mempunyai kedudukan sejajar dengan Belanda.
3. RI hanya merupakan bagian RIS
Tindak lanjut dari Perjanjian Renville ini, maka pihak PBB merencanakan pengadaan
Konferensi antara Negara Republik Indonesia dan Belanda guna membahas mengenai
Republik Indonesia Serikat. Konferensi ini dinamakan Konferensi Meja Bundar (KMB) yang
mana diadakan mulai tanggal 23 Agustus 1949 di S’Gravenhage (Den Haag). Terdapat tiga
pihak yang terlibat dalam konferensi ini, yaitu: Negara Republik Indonesia, BFO
(Byeenkomst voor Federal Overleg) dan Belanda, serta sebuah komisi PBB untuk Indonesia.
Pada tanggal 2 Nopember 1949, KMB menghasilkan beberapa kesepakatan, yaitu meliputi:
1. Didirikannya Negara Republik Indonesia Serikat
2. Penyerahan (baca: pengakuan) kedaulatan oleh Pemerintah Kerajaan Belanda kepada
Pemerintah Negara RIS yang terdiri dari tiga persetujuan induk, yaitu:
a. Piagam Pengakuan Kedaulatan oleh Pemerintah Kerajaan Belanda kepada Pemerintah
Negara RIS
b. Statut UNI
c. Persetujuan Perpindahan
3. Didirikannya UNI antara Negara RIS dengan kerajaan Belanda.
Dalam Piagam Pengakuan Kedaulatan ditentukan bahwa hal itu akan dilakukan pada tanggal
27 Desember 1949 (Soehino, 1992: 44-54).
Sementara Konferensi Meja Bundar berlangsung, delegasi dari Negara Republik Indonesia
dan Delegasi dari negara-negara BFO telah mebuat Rancangan Undang-Undang Dasar
(RUUD) untuk Negara Republik Indonesia Serikat yang akan dibentuk nanti. RUUD tersebut
kenudian disahkan oleh Pemerintah Negara Indonesia dan Komite Nasional Indonesia Pusat,
dan disahkan pula oleh Pemerintah dan Badan Perwakilan Rakyat dari negara-negara BFO.
Pengesahan itu tertera dalam Piagam Penandatanganan Konstitusi Republik Indonesia Serikat
pada tanggal 14 Desember 1949, dan mulai berlaku pada hari pengakuan kedaulatan oleh
Pemerintah Kerajaan Belanda kepada pemerintah negara Republik Indonesia Serikat, yaitu
pada tanggal 27 Desember 1949 (Soehino, 1992: 54).
Jadi, pada tanggal 27 Desember 1949 berdirilah negara Republik Indonesia Serikat yang
meliputi seluruh wilayah Indonesia, yaitu bekas wilayah Hindia Belanda dahulu dan Negara
Republik Indonesia (berstatus sebagai negara bagian) (Soehino, 1992: 54).
B. Sistem dan Perkembangan Ketatanegaraan Pemerintahan Republik Indonesia Sesuai
Muatan Konstitusi RIS
1. Sifat Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949
Konstitusi Republik Indonesia Serikat (KRIS) 1949 meskipun namanya tidak memakai kata
“Sementara”, namun Konstitusi RIS 1949 ini dimaksudkan masih bersifat sementara
(Soehino, 1992: 62). Hal ini dapat diketahui dari ketentuan Konstitusi RIS pada pasal 186
yang berbunyi “Konstituante (Sidang Pembuat Konstitusi) bersama-sama dengan pemerintah
selekas-lekasnya menetapkan konstitusi Republik Indonesia Serikat yang akan menggantikan
konstitusi sementara ini ”.
Sifat kesementaraannya ini, kiranya disebabkan karena Pembentuk UUD merasa dirinya
belum representative untuk menetapkan sebuah UUD, selain daripada itu disadari pula
bahwa pembuatan UUD ini (Konstitusi RIS) dilakukan dengan tergesa-gesa sekedar dapat
memenuhi kebutuhan sehubungan akan dibentuknya Negara Federal. Itulah sebabnya, maka
menurut Konstitusi RIS itu sendiri, di kemudian hari akan dibentuk suatu badan Konstituante
yang bersama-sama Pemerintah untuk menetapkan UUD yang baru sebagai UUD tetap yang
lebih representative (Joeniarto, 1990: 65-66).
Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949 itu ternyata hanya berlaku kurang lebih 8 bulan
saja, dari tanggal 27 Desember 1949 sampai tanggal 17 Agustus 1950. Selama 8 bulan
berlakunya konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949 itu, bahwa konstitusi Republik
Indonesia Serikat ditetapkan oleh konstituante bersama-sama pemerintah tidaklah pernah
terwujud. Sekalipun ada ketentuan, bahwa konstituante bersama pemerintah seleks-lekasnya
menetapkan konstitusi Republik Indonesia Serikat, namun sejarah ketatanegaraan Indonesia
membuktikan, bahwa pengertian selekas-lekasnya itu tidak mencakup masa waktu yang
kurang dari 8 bulan (Simorangkir, 1983: 63).
2. Daerah Negara Republik Indonesia Serikat
Berdasarkan Konstitusi RIS pada bagian II mengenai Daerah Negara, ketentuan pasal 2,
dinyatakan bahwa Republik Indonesia Serikat meliputi seluruh daerah Indonesia, yaitu
daerah bersama:
a. Negara Republik Indonesia, dengan daerah menurut status quo seperti tersebut dalam
Perjanjian Renville tanggal 17 Januari tahun 1948;
Negara Indonesia Timur;
Negara Pasundan, termasuk Distrik Federal Jakarta;
Negara Jawa Timur;
Negara Madura;
Negara Sumatera Timur, dengan pengertian bahwa status quo Asahan Selatan dan
Labuhanbatu berhubungan dengan Negara Sumatera Timur tetap berlaku;
Negara Sumatera Selatan.
b. Satuan-satuan kenegaraan yang tegak sendiri:
Jawa Tengah;
Bangka;
Belitung;
Riau;
Kalimantan Barat (daerah istimewa)
Dayak Besar;
Daerah Banjar;
Kalimantan Tenggara; dan
Kalimantan Timur.
a dan b ialah daerah-daerah bagian yang dengan kemerdekaan menetukan nasib sendiri
bersatu dalam ikatan federasi Republik Indonesia Serikat, berdasarkan yang ditetapkan dalam
konstitusi ini, dan lagi,
c. Daerah-daerah Indonesia selebihnya yang bukan daerah-daerah bagian
Dengan berdirinya negara Republik Indonesia Serikat berdasarkan Konstitusi RIS tahun 1949
itu, wilayah Republik Indonesia sendiri masih tetap ada di samping negara federal Republik
Indonesia Serikat. Karena sesuai dengan pasal 2 Konstitusi RIS, Republik Indonesia diakui
sebagai salah satu negara bagian dalam wilayah Republik Indonesia Serikat, yaitu mencakup
wilayah yang disebut dalam Persetujuan Renville. Dalam wilayah federal, berlaku Konstitusi
RIS, tetapi dalam wilayah Republik Indonesia sebagai salah satu negara bagian tetap berlaku
UUD 1945 (Jimly Asshiddiqie, 2010: 37-38).
3. Bentuk Negara Republik Indonesia Serikat
Dalam muatan Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949 maka dapat diketahui bahwa
bentuk negaranya adalah Federal. Hal ini dapat dilihat dalam Mukaddimah Konstitusi
Republik Indonesia Serikat dalam alinea III yang mengemukakan antara lain: “Maka demi ini
kami menyusun kemerdekaan kami itu dalam suatu Piagam negara yang berbentuk republik
federasi, berdasarkan….”
Selain itu, dalam ketentuan pasal 1 ayat (1) Konstitusi RIS berbunyi, “Republik Indonesia
Serikat yang merdeka dan berdaulat ialah suatu negara hukum yang demokrasi dan berbentuk
Federasi”.
Hal tersebut menegaskan bahwa Republik Indonesia Serikat memiliki bentuk negara federal.
4. Alat Perlengkapan Negara
Ketentuan pada Bab III tentang Perlengkapan Republik Indonesia Serikat dalam ketentuan
umum mengatur mengenai siapa-siapa yang menjadi alat perlengkapan negara Republik
Indonesia Serikat. Ketentuan tersebut berbunyi: alat perlengkapan federal Republik Indonesia
Serikat ialah:
a. Presiden
b. Menteri-menteri
c. Senat
d. Dewan Perwakilan Rakyat
e. Mahkamah Agung Indonesia
f. Dewan Pengawas Keuangan
Presiden dan menteri-menteri bersama-sama merupakan pemerintah (pasal 68 ayat (2));
Pemerintah dipilih oleh orang-orang yang dikuasakan oleh pemerintah daerah-daerah bagian
(pasal 69 ayat (2)); pemerintah ini bertugas untuk melakukan penyeleggaraan pemerintahan
federal (pasal 117 ayat (2)); dan bertanggungjawab atas seluruh kebijaksanaan pemerintah
(pasal 118 ayat (2)).
Senat ialah wakil dari setiap negara bagian (pasal 80 ayat 1); setiap negara bagian diwakili
oleh dua orang senat (pasal 80 ayat 2); dan tugas senat adalah setiap anggota senat
mengeluarkan satu suara dalam Senat (ketika permusyawaratan) (pasal 80 ayat 3). Anggota-
anggota senat ditunjuk oleh pemerintah daerah-daerah bagian (pasal 81 ayat 1).
Dewan Perwakilan Rakyat dipilih berdasarkan aturan-aturan yang ada (pasal 111); anggota
DPR terdiri atas 150 anggota untuk mewakili seluruh bangsa Indonesia (pasal 98). DPR
memiliki hak interpelasi dan hak menanya (pasal 120) dan juga hak menyelidiki (pasal 121),
hak ini dilakukan ketika meminta pertanggungjawaban kepada pemerintah.
Mahkamah Agung berfungsi pada bidang peradilan, sedang untuk susunan dan kekuasaannya
diatur dalam UU (pasal 113). MA diangkat oleh Presiden dengan mendengarkan Senat (pasal
114 ayat 1).
Susunan dan kekuasaan Dewan Pengawas Keuangan diatur dalam UU (pasal 115). Dewan
Pengawas Keuangan diangkat oleh Presiden dengan mendengarkan Senat (pasal 116 ayat 1).
5. Sistem Pemerintahan Republik Indonesia Serikat
Dalam pasal 1 ayat (2) dijelaskan bahwa kekuasaan kedaulatan Republik Indonesia Serikat
dilakukan oleh pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat dan Senat.
Tugas penyelenggaraan pemerintah federal dijalankan oleh Pemerintah. Dalam ketentuan
pasal 117 (2) dinyatakan bahwa Pemerintah menyelenggarakan kesejahteraan Indonesia dan
teristimewa mengurus supaya konstitusi, UU Federal, dan peraturan-peraturan lain yang
berlaku untuk Republik Indonesia Serikat.
Asas dasar atas kekuasaan penguasa diatur dalam ketentuan pasal 34 Konstitusi RIS yang
berbunyi, “Kemauan Rakyat adalah dasar kekuasaan penguasa; kemauan itu dinyatakan
dalam pemilihan berkala yang jujur dan dilakukan menurut hak pilih yang sedapat mungkin
bersifat umum dan berkesamaan, serta dengan pemungutan suara yang rahasia ataupun
menurut cara yang juga menjamin kebebasan mengeluarkan suara”.
Menurut pasal-pasal Konstitusi RIS 1949 sistem pemerintahan negara yang dianut adalah
sistem pemerintahan Kabinet Parlementer. Dalam sistem ini, Kabinet bertanggung jawab
kepada Dewan Perwakilan Rakyat, dan apabila pertanggungjawaban itu tidak dapat diterima
oleh Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dapat membubarkan Kabinet,
atau Menteri yang bersangkutan yang kebijaksanaannya tidak dapat diterima oleh Dewan
Perwakilan Rakyat. Sebaliknya, apabila Pemerintah tidak dapat menerima kebijaksanaan
Dewan Perwakilan Rakyat dan menganggap Dewan Perwakilan Rakyat tidak representative,
Pemerintah dapat membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat; dan pembubaran ini diikuti
dengan pembentukan Dewan Perwakilan Rakyat yang baru (Soehino, 1992: 66).
Ketentuan pasal 118 Konstitusi RIS berbunyi, “(1) Presiden tidak bisa diganggu gugat; (2)
Menteri-menteri bertanggungjawab atas seluruh kebijaksanaan pemerintah, baik bersama-
sama untuk seluruhnya, maupun masing-masing untuk bagiannya sendiri-sendiri dalam hal
itu”. Dari ketentuan tersebut, Republik Indonesia Serikat dikatakan memiliki sistem
pemerintahan parlementer karena yuridis formal yang ada mengatur bahwa Kabinet
bertanggungjawab atas DPR. Hal tersebut sesuai dengan ciri sistem pemerintahan
parlementer.
Namun, ketika pasal 122 Konstitusi RIS ditelaah, maka akan ditemukan penyimpangan dari
sistem pemerintahan parlementer. Ketentuan pasal 122 Konstitusi RIS berbunyi, “Dewan
Perwakilan Rakyat yang ditunjuk menurut pasal 109 dan 110 tidak dapat memaksa Kabinet
dan masing-masing Menteri meletakkan jabatannya”. Muatan dari ketentuan tersebut berbeda
dengan cirri-ciri sistem pemerintahan parlementer. Sudah disebutkan di atas bahwa cirri
sistem parlementer adalah apabila pertanggungjawaban Menteri tidak dapat diterima oleh
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dapat membubarkan Kabinet, atau
Menteri yang bersangkutan yang kebijaksanaannya tidak dapat diterima oleh Dewan
Perwakilan Rakyat. Jadi, di dalam penyelenggaraan ketatanegaraan RIS, ketika Kabinet tidak
mampu mempertanggungjawabkan segala kebijakan yang telah dilakukannya maka pihak
DPR tidak dapat berbuat apa-apa.
6. Hubungan Negara dengan Rakyat
Di dalam suatu negara, dalam penyelenggaraan pemerintah negara tentu terjadi interaksi
antara peguasa (pemerintah) dengan yang diperintah (Rakyat). dalam interaksi tersebut maka
akan terjadi adanya hak dan kewajiban antara keduanya. Terkait hal tersebut, Konstitusi RIS
mengatur pula hubungan antara negara (pemerintah) dengan rakyat. di dalam Konstitusi RIS,
rakyat dijamin hak dan kebebasan dasar manusia. Hal tersebut dapat dilihat dalam Konstitusi
RIS bagian V mengenai hak-hak dan kebebasan – kebebasan dasar manusia, yang
diantaranya:
a. Hak hidup pasal 7 ayat 1
b. Hak merdeka meliputi hak politik (pasal 22), hak hukum (pasal 7 ayat 2-3), hak sipil
(pasal 19, pasal 20)
c. Hak memiliki pasal 25, meliputi hak tentang pekerjaan (pasal 27 ayat 1) dan hak
mendapatkan penghidupan yang layak (pasal 27 ayat 2)
Sedangkan rakyat Indonesia memiliki kewajiban yang tertera dalam pasal 31 yaitu “setiap
orang yang berada di daerah negara harus patuh kepada UU termasuk aturan-aturan hukum
yang tak tertulis, dan kepada penguasa-penguasa yang sah dan yang bertindak sah”.
Kewajiban dari pemerintah tertera pada ketentuan pasal 117 (2) dinyatakan bahwa
Pemerintah menyelenggarakan kesejahteraan Indonesia dan teristimewa mengurus supaya
konstitusi, UU Federal, dan peraturan-peraturan lain yang berlaku untuk Republik Indonesia
Serikat.
Dari muatan Konstitusi RIS tersebut maka dapat dilihat bagaimana hubungan antara
pemerintah dengan rakyat secara yuridis formal selam RIS berlangsung.
C. Faktor-Faktor Penyebab Runtuhnya Negara Republik Indonesia Serikat
Sejak terbentuknya Negara Republik Indonesia Serikat di bawah kekuasaan Konstitusi RIS
1949 pada tanggal 27 Desember 1949, perjuangan bangsa Indonesia menentang susunan
negara yang federalistik semakin kuat, rakyat Indonesia menghendaki susunan negara yang
unitaris (kesatuan). Bentuk dari penentangan tersebut dilakukan rakyat Indonesia dengan
menyampaikan tuntutan-tuntutan dan hal tersebut terjadi di berbagai daerah. Karena faktor
kesamaan pemikiran ini, beberapa daerah bagian menggabungkan diri dengan negara
Republik Indonesia. Hal ini dibenarkan dalam UU Darurat No. 11 Tahun 1950 tentang Tata
Cara Perubahan Susunan Kenegaraan dari Wilayah Negara Republik Indonesia Serikat; LN
No. 16 Tahun 1950 mulai berlaku 9 Maret 1950. UU Darurat tersebut sebagi pelaksanaan dari
ketentuan pasal 44 konstitusi RIS. “Perubahan daerah sesuatu daerah bagian, begitu pula
masuk ke dalam atau menggabungkan diri kepada suatu daerah bagian yang telah ada, hanya
boleh dilakukan oleh sesuatu daerah-sungguhpun sendiri bukan daerah bagian- menurut
aturan-aturan yang ditetapkan dengan UU federal, dengan menjunjung asas-asas seperti
tersebut dalam pasal 43, dan sekedar hal itu mengenai masuk atau menggabungkan diri,
dengan persetujuan daerah bagian yang bersangkutan” (Soehino, 1992: 73).
Akibat dari adanya penggabungan ini, maka negara Republik Indonesia Serikat terdiri dari
tiga negara bagian yaitu meliputi negara Republik Indonesia, negara Indonesia Timur dan
negara Sumatera Timur. Atas kejadian ini maka kewibawaan pemerintahan negara federal
menjadi berkurang dan sebagai solusinya maka diadakan permusyawaratan antara pemerintah
negara Republik Indonesia Serikat dengan Pemerintah Negara Republik Indonesia
(meawakili negara Republik Indonesia, negara Indonesia Timur dan negara Sumatera Timur).
Dari permusyawaratn tersebut dihasilkan keputusan bersama yaitu persetujuan 19 Mei 1950
yang pada pokoknya disetujui dalam waktu yang sesingkat-singkatnya untuk bersama-sama
melaksanakan negara kesatuan dan untuk itu diperlukan sebuah undang-undang dasar
Sementara dari kesatuan ini, yaitu dengan cara mengubah konstitusi RIS sedemikian rupa
sehingga essentialia UUD 1945 yaitu antara lain pasal 27, pasal 29, pasal 33 ditambah
bagian-bagian yang baik dari konstitusi Republik Indonesia Serikat termasuk didalamnya
(Joeniarto, 1990: 71-72).
DAFTAR PUSTAKA
Asshiddiqie, Jimly. 2010. Konstitusi dan Konstistusionalisme Indonesia. Jakarta: Sinar
Grafika.
Joeniarto. 1990. Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia. Yogyakarta: Bumi Aksara
Konstitusi Republik Indonesia Serikat Tahun 1950
Ragawino. Bewa. 2007. Diktat Hukum Tata Negara. Bandung: —-
Simorangkir, J.C.T. 1984. Penetapan Undang-Undang Dasar Dilihat dari Segi Hukum Tata
Negara. Jakarta: Gunung Agung.
Soehino. 1992. Hukum Tata Negara: Sejarah Ketatanegaraan Indonesia. Yogyakarta: Liberty.
http://khoiriyaningsih.wordpress.com/sejarah-ketatanegaraan-ri/konstitusi-ris/
Ketatanegaraan Indonesia menurut UUDS 1950 dan UUD 1945 Setelah Amandemen
Konstitusi bisanya digunakan paling tidak dalam dua pengertian, pertama, kata ini digunakan
dalam penggambaran seluruh sistem ketatanegaraan suatu negara, kumpulan peraturan-
peraturan yang mendasari dan mengatur atau mengarahkan pemerintahan. Kumpulan
peraturan tersebut bisa berasal dari peraturan yang legal atau non legal. Di hampir semua
negara di dunia, sistem ketatanegaraan berisi campuran dari peraturan legal dan non legal
yang biasa disarikan dan disebut dengan Konstitusi.Kedua, konstitusi dengan pengertian yang
lebih sempit, tidak berisi kumpulan peraturan legal non legal, namun lebih spesifik dan
merupakan hasil seleksi dari pengertian konstitusi pertama. Pengertian kedua inilah yang
kerap dugunakan pada konstitusi di berbagai negara di dunia.
Indonesia sendiri pernah menggunakan beberapa konstitusi sejak masa kemerdekaan1945
silam. Konstitusi yang pertama dan menjadi dasar yakni Undang-Undang Dasar 1945 atau
sebagian kalangan menyebutnya dengan Undang-undang Proklamasi. Selanjutnya terdapat
Konstitusi Republik Indonesia Serikat, dimana konstitusi ini mendasari adanya perubahan
pada bentuk negara yang semula negara kesatuan menjadi negara federal empat tahun tahun
setelah kemerdekaan 1945, namun, perubahan bentuk negara diara tidak cocok dengan
hakekat perjuangan bangsa indinesia yang sejak awal menghendaki adanya persatuan dari
penjuru ke penjuru Indonesia, hal inilah yang menbuat Konstitusi RIS hanya bertahan selama
satu tahun, dimana pada tahun 1950 dibentuk Undang-Undang Dasar Sementara dengan
tujuan merubah sistem negara federal kembali ke negara kesatuan dan menyongsong adanya
konstitusi baru dengan membentuk badan konstituante. Rupanya setelah lebih dari satu windu
dioperasikan, UUDS 1950 dengan badan Konstituantenya tidak mampu membentuk
konstitusi yang baru, hingga muncul dekrit presiden guna mengembalikan UUD 1945 sebagai
Konstitusi saat itu.
Selama lebih dari empat dekade setelah ditetapkan kembali, UUD 1945 dirasa mesih perlu
penggenapan dari sudut substansi, meskipun pada awalnya muncul polemik terkait dengan
sifat sakralnya suatu konstitusi, namun dengan rasionalisasi yang kuat UUD 1945 berhasil
mengalami perubahan periode 1999 hingga tahun 2004. Empat perubahan yang disebut
amandemen konstitusi ini merupakan buah dari pembenahan atas subtansi konstitusi-
konstitusi sebelumnya. Sehubungan dengan itu penting disadari bahwa sistem ketatanegaraan
Indonesia setelah Perubahan Keempat UUD 1945 itu telah mengalami perubahan-perubahan
yang sangat mendasar. Perubahan-perubahan itu juga mempengaruhi struktur dan mekanisme
struktural organ-organ negara Republik Indonesia yang tidak dapat lagi dijelaskan menurut
cara berpikir lama.
Banyak pokok-pokok pikiran baru yang diadopsikan ke dalam kerangka UUD 1945 itu.
Empat diantaranya adalah (a) penegasan dianutnya citademokrasi dan nomokrasi secara
sekaligus dan saling melengkapi secara komplamenter; (b) pemisahan kekuasaan dan prinsip
“checks and balances’ (c) pemurnian sistem pemerintah presidential; dan (d) pengeuatan cita
persatuan dan keragaman dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam tulisan
ini penulis bermaksud membandingkan beberapa permasalah sistem ketatanegaraan dari dua
konstitusi berbeda yang pernah digunakan di Indonesia, kedua konstitusi tersebut ialah
UUDS 1950 dengan UUD 1945 setelah amandemen. Objek perbandingan dalam tulisan ini
yaknilembaga-lembaga negara, sistim pemerintahan, sistim kabinet, konsep Hak Asasi
Manusia, dan konsep perubahan UUD. Hal yang menarik dari kedua konstitusi tersebut ialah
adanya kesatuan pandang mengenai negara kesatuan yang hingga kini ditetapkan di Indonesia
namun dengan sistem pemerintahan yang berbeda, UUDS 1950 dapat dikatakan sebagai
pengawal bagi eksisnya konstitusi yang ada saat ini yakni UUD 1945.
2.1 Lembaga Negara
Struktur Ketatanegaraan RI Sebelum Amandemen UUD 1945 (UUDS 1950):
Undang-Undang Dasar merupakan hukum tertinggi, kemudian kedaulatan rakyat diberikan
seluruhnya kepada MPR (Lembaga Tertinggi). MPR mendistribusikan kekuasaannya
(distribution of power) kepada 5 Lembaga Tinggi yang sejajar kedudukannya, yaitu
Mahkamah Agung (MA), Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Pertimbangan
Agung (DPA) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BAPEKA) .
MPR
Sebagai Lembaga Tertinggi Negara diberi kekuasaan tak terbatas (super power) karena
“kekuasaan ada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR” dan MPR adalah
“penjelmaan dari seluruh rakyat Indonesia” yang berwenang menetapkan UUD, GBHN,
mengangkat presiden dan wakil presiden. Susunan keanggotaannya terdiri dari anggota DPR
dan utusan daerah serta utusan golongan yang diangkat. Lembaga Negara yang paling
mungkin menandingi MPR adalah Presiden, yaitu dengan memanfaatkan kekuatan partai
politik yang paling banyak menduduki kursi di MPR.
PRESIDEN
Presiden memegang posisi sentral dan dominan sebagai mandataris MPR, meskipun
kedudukannya tidak “neben” akan tetapi “untergeordnet”. Presiden menjalankan kekuasaan
pemerintahan negara tertinggi (consentration of power and responsiblity upon the president).
Presiden selain memegang kekuasaan eksekutif (executive power), juga memegang
kekuasaan legislative (legislative power) dan kekuasaan yudikatif (judicative power).
Presiden mempunyai hak prerogatif yang sangat besar dan tidak ada aturan mengenai batasan
periode seseorang dapat menjabat sebagai presiden serta mekanisme pemberhentian presiden
dalam masa jabatannya.
DPR
Tugas DPR pada masa itu adalah, memberikan persetujuan atas RUU yang diusulkan
presiden, memberikan persetujuan atas PERPU, memberikan persetujuan atas Anggaran,
meminta MPR untuk mengadakan sidang istimewa guna meminta pertanggungjawaban
presiden.
DPA DAN BPK
Di samping itu, UUDS 1950 tidak banyak mengintrodusir lembaga-lembaga negara lain
seperti DPA dan BPK dengan memberikan kewenangan yang sangat minim.
Struktur Ketatanegaraan RI “Setelah” Amandemen UUD 1945:
Undang-Undang Dasar merupakan hukum tertinggi dimana kedaulatan berada di tangan
rakyat dan dijalankan sepenuhnya menurut UUD. UUD memberikan pembagian kekuasaan
(separation of power) kepada 6 Lembaga Negara dengan kedudukan yang sama dan sejajar,
yaitu Presiden, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR),
Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Mahkamah Agung
(MA), dan Mahkamah Konstitusi (MK).
Perubahan dalam amandemen antara lain, mempertegas prinsip negara berdasarkan atas
hukum {Pasal 1 ayat (3)} dengan menempatkan kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan
yang merdeka, penghormatan kepada hak asasi manusia serta kekuasaan yang dijalankan atas
prinsip due process of law. Mengatur mekanisme pengangkatan dan pemberhentian para
pejabat negara, seperti Hakim.
Sistem konstitusional berdasarkan perimbangan kekuasaan (check and balances) yaitu setiap
kekuasaan dibatasi oleh Undang-undang berdasarkan fungsi masing-masing. Setiap lembaga
negara sejajar kedudukannya di bawah UUD 1945 dengan menata kembali lembaga-lembaga
negara yang ada serta membentuk beberapa lembaga negara baru agar sesuai dengan sistem
konstitusional dan prinsip negara berdasarkan hukum. Penyempurnaan pada sisi kedudukan
dan kewenangan maing-masing lembaga negara disesuaikan dengan perkembangan negara
demokrasi modern.
MPR
Lembaga tinggi negara sejajar kedudukannya dengan lembaga tinggi negara lainnya seperti
Presiden, DPR, DPD, MA, MK, BPK. Menghilangkan supremasi kewenangannya.
Menghilangkan kewenangannya menetapkan GBHN. Menghilangkan kewenangannya
mengangkat Presiden (karena presiden dipilih secara langsung melalui pemilu). Tetap
berwenang menetapkan dan mengubah UUD. Susunan keanggotaanya berubah, yaitu terdiri
dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan angota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih
secara langsung melalui pemilu.
DPR
Posisi dan kewenangannya diperkuat. Mempunyai kekuasan membentuk UU (sebelumnya
ada di tangan presiden, sedangkan DPR hanya memberikan persetujuan saja) sementara
pemerintah berhak mengajukan RUU. Proses dan mekanisme membentuk UU antara DPR
dan Pemerintah. Mempertegas fungsi DPR, yaitu: fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan
fungsi pengawasan sebagai mekanisme kontrol antar lembaga negara.
DPD
Lembaga negara baru sebagai langkah akomodasi bagi keterwakilan kepentingan daerah
dalam badan perwakilan tingkat nasional setelah ditiadakannya utusan daerah dan utusan
golongan yang diangkat sebagai anggota MPR. Keberadaanya dimaksudkan untuk
memperkuat kesatuan Negara Republik Indonesia. Dipilih secara langsung oleh masyarakat
di daerah melalui pemilu. Mempunyai kewenangan mengajukan dan ikut membahas RUU
yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, RUU lain yang berkait
dengan kepentingan daerah.
BPK
Anggota BPK dipilih DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD. Berwenang
mengawasi dan memeriksa pengelolaan keuangan negara (APBN) dan daerah (APBD) serta
menyampaikan hasil pemeriksaan kepada DPR dan DPD dan ditindaklanjuti oleh aparat
penegak hukum. Berkedudukan di ibukota negara dan memiliki perwakilan di setiap provinsi.
Mengintegrasi peran BPKP sebagai instansi pengawas internal departemen yang
bersangkutan ke dalam BPK.
PRESIDEN
Membatasi beberapa kekuasaan presiden dengan memperbaiki tata cara pemilihan dan
pemberhentian presiden dalam masa jabatannya serta memperkuat sistem pemerintahan
presidensial. Kekuasaan legislatif sepenuhnya diserahkan kepada DPR. Membatasi masa
jabatan presiden maksimum menjadi dua periode saja. Kewenangan pengangkatan duta dan
menerima duta harus memperhatikan pertimbangan DPR. Kewenangan pemberian grasi,
amnesti dan abolisi harus memperhatikan pertimbangan DPR. Memperbaiki syarat dan
mekanisme pengangkatan calon presiden dan wakil presiden menjadi dipilih secara langsung
oleh rakyat melui pemilu, juga mengenai pemberhentian jabatan presiden dalam masa
jabatannya.
MAHKAMAH AGUNG
Lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman, yaitu kekuasaan yang
menyelenggarakan peradilan untuk menegakkan hukum dan keadilan [Pasal 24 ayat (1)].
Berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peaturan perundang-undangan di bawah
Undang-undang dan wewenang lain yang diberikan Undang-undang. Di bawahnya terdapat
badan-badan peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama,
lingkungan Peradilan militer dan lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Badan-
badan lain yang yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam
Undang-undang seperti : Kejaksaan, Kepolisian, Advokat/Pengacara dan lain-lain.
MAHKAMAH KONSTITUSI
Keberadaanya dimaksudkan sebagai penjaga kemurnian konstitusi (the guardian of the
constitution). Mempunyai kewenangan: Menguji UU terhadap UUD, Memutus sengketa
kewenangan antar lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, memutus sengketa
hasil pemilu dan memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh
presiden dan atau wakil presiden menurut UUD. Hakim Konstitusi terdiri dari 9 orang yang
diajukan masing-masing oleh Mahkamah Agung, DPR dan pemerintah dan ditetapkan oleh
Presiden, sehingga mencerminkan perwakilan dari 3 cabang kekuasaan negara yaitu
yudikatif, legislatif, dan eksekutif.
KOMISI YUDISIAL
Selain kedua badan kekuasaan kehakiman tersebut ada lagi satu lembaga baru yang
kewenangannya ditentukan dalam UUD, yaitu komisi Yudisial. Dewasa ini, banyak negara
terutama negara-negara yang sudah maju mengembangkan lembaga komisi Yudisial (judicial
commisions) semacam ini dalam lingkungan peradilan dan lembaga-lembaga penegak hukum
lainnya maupun di lingkungan organ-organ pemerintahan pada umumnya. Meskipun lembaga
baru ini tidak menjalankan kekuasaan kehakiman, tetapi keberadaannya diatur dalam UUD
1945 Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman, karena itu, keberadaannya tidak dapat
dipisahkan dari kekuasaan kehakiman.
2.2 Sistim Pemerintahan & Sistim Kabinet
Sistem Parlementer pada UUDS 1950
Negara Indonesia merupakan negara yang berpenduduk terbesar keempat di dunia.
Komposisi penduduknya sangat beragam, baik dari suku bangsa, etnisitas, anutan agama,
maupun dari segi-segi lainnya dengan wilayah yang sangat luas. Kompleksitas dan
keragaman itu sangat menentukan peta konfigurasi kekuatan-kekuatan politik dalam
masyarakat, sehingga tidak dapat dihindari keharusan berkembangnya sistem multi-partai
dalam sistem demokrasi yang hendak dibangun. Agar peta konfigurasi kekuatan-kekuatan
politik dalam masyarakat tersebut dapat disalurkan dengan sebaik-baiknya menurut prosedur
demokrasi (procedural democracy), berkembang keinginan agar sistem pemerintahan yang
dibangun adalah sistem Parlementer ataupun setidak-tidaknya varian dari sistem
pemerintahan parlementer dengan konsep negara serikat atau federal.
UUDS 1950 sejatinya merupakan hasil koreksi atas konstitusi sebelumnya yakni Konstitusi
RIS yang mengedepankan konsep negara federal . Perubahan dari Konstitusi RIS ke UUDS
1950 merupakan hasil kehendak rakyat dimana keseluruhan konsep federal dianggap tidak
mengena dengan kondisi masyarakat Indonesia. Kehendak rakyat ialah mengganti konsep
negara federal dengan konsep negara kesatuan namun tetap menggunakan sistem
pemerintahan kabinet Parlementer. Sistem parlementer atau sistem pertanggungjawaban
dewan menteri kepada Parlemen menempatkan presiden sebagai Kepala Negara dan bukan
Kepala Pemerintahan. Hal ini disebut dengan tegas pada pasal 45 UUDS 1950.
Pertanggungjawaban atas seluruh kebijaksanaan pemerintahan sesuai dengan pasal 83 (2)
UUDS 1950 diletakkan pada pundak menteri-menteri baik secara bersama-sama atau masing-
masing.
Dari hal tersebut dapat dilihat bahwa Kabinet (Dewan Menteri) dapat dijatuhkan oleh
Parlemen (DPR), yakni bilamana parlemen menganggap cukup alasan dari tidak diterimanya
kebijakan-kebijakan pemerintah yang dijalankan oleh kabinet tersebut. Namun, sebagai
imbangan dari pertanggungjawaban Menteri, DPR pun dapat dibubarkan apabila Dewan
Menteri mengganggap DPR tidaklah representatif dengan pengajuan kepada Presiden, hal ini
sesuai dengan pasal 84 UUDS 1950 dimana pembubaran tersebut membawa konsekuensi
adanya pemilihan anggota DPR ulang.
Sistem Presidensil pada UUD 1945
Namun, terlepas dari kenyataan bahwa sistem parlementer pernah gagal dipraktekkan dalam
sejarah Indonesia modern di masa lalu, dan karena itu membuatnya kurang populer di mata
masyarakat, realitas kompleksitas keragaman kehidupan bangsa Indonesia seperti tersebut
diatas, justru membutuhkan sistem pemerintahan yang kuat dan stabil. Jika kelemahan sistem
presidensiil yang diterapkan dibawah Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandemen yang
cenderung sangat “executive heavy” sudah dapat diatasi melalui pembaharuan mekanisme
ketatanegaraan yang diwujudkan dalam Undang-Undang Dasar setelah amandemen, maka
ekses-ekses atau efek samping dalam prakek penyelenggaraan sistem pemerintahan
Presidensiil seperti selama ini terjadi tidak perlu dikhawatirkan lagi. Keuntungan sistem
presidensiil justru lebih menjamin stabilitas pemerintahan. Sistem ini juga dapat dipraktekkan
dengan tetap menerapkan sistem multi-partai yang dapat mengakomodasikan peta konfigurasi
kekuatan politik dalam masyarakat yang dilengkapi pangaturan konstitusional untuk
mengurangi dampak negatif atau kelemahan bawaan dari sistem presidensiil tersebut.
Ketentuan mengenai cita-cita negara hukum ini secara tegas dirumuskan dalam pasal 1 ayat
(3) UUD 1945, yang menyatakan: ‘Negara Indonesia adalah Negara Hukum’, sebelum ini,
rumusan naskah asli UUD 1945 tidak mencantumkan ketentuan mengenai negara hukum ini,
kecuali hanya dalam penjelasan UUD 1945 yang menggunakan istilah ‘rechtsstaat’. Rumusan
eksplisit bahwa Indonesia adalah negara hukum baru terdapat dalam Konstitusi Republik
Indonesia Serikat tahun 1949 dan Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950. Untuk
mengatasi kekuarangan itulah maka dalam perubahan ketiga UUD 1945, ide negara hukum
(rechtstaat atau the rule of law) itu diadopsikan secara tegas ke dalam rumusan pasal UUD,
yaitu pasal 1 ayat (3) tersebut diatas. Sementara itu, ketentuan mengenai prinsip kedaulatan
rakyat terdapat dalam pembukaan dan juga pada pasal 1 ayat (2). Cita-cita kedaulatan
tergambar dalam pembukaan UUD 1945, terutama dalam rumusan alinea IV tentang dasar
negara yang kemudian dikenal dengan sebutan Pancasila. Dalam alinea ini, cita-cita
kerakyatan dirumuskan secara jelas sebagai “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”. Sedangkan dalam rumusan pasal 1 ayat
(2), semangat kerakyatan itu ditegaskan dalam ketentuan yang menegaskan bahwa
“kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.
2.3 Konsep Hak Asasi Manusia
Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan
manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa dan merupakan anugerah-Nya yang
wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap
orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia (Pasal 1 angka 1
UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan
HAM). Definisi dan pengaturan HAM dalam Undang-undang tersebut nampaknya dianggap
relevan dan dimasukkan kedalam rancangan amandemen UUD 1945. Dalam Undang-undang
ini pengaturan mengenai Hak Asasi Manusia ditentukan dengan berpedoman pada Deklarasi
Hak Asasi Manusia PBB, konvensi PBB tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi
terhadap wanita, konvensi PBB tentang hak-hak anak dan berbagai instrumen internasional
lain yang mengatur tentang Hak Asasi Manusia. Materi Undang-undang ini disesuaikan juga
dengan kebutuhan masyarakat dan pembangunan hukum nasional yang berdasarkan
Pancasila, UUD 45 dan TAP MPR RI Nomor XVII/MPR/1998. Dengan landasan tersebut,
maka para perancang amandemen dengan yakin mengoreksi segala kurangan mengenai HAM
yang ada pada konstitusi sebelumnya, dan apabila dibandingan dengan UUDS 1950
meskipun menurut Soepomo hak-hak dan kebebasan dasar serta asas-asas Konstitusi RIS dan
yang sesuai dengan Universal Declaration of Human Rights (UDHR) serta sesuai hak-hak
dan kebebasan yang dimuat dalam Lampiran Statuta Uni Indonesia-Belanda, dimuat dalam
UUDS 1950. Namun, yang menarik ialah pada pasal 18 dan Pasal 43 tidak menegaskan
apakah kebebasan agama termasuk kebebasan bertukar agama seperti Pasal 18 Konstitusi
RIS. Menurut Supoemo pula rumusan “Setiap orang berhak atas kebebasan agama,
keinsyafan batin dan pikiran”, cukup sempurna dalam menunjuk pengakuan kemerdakaan
beragama dan kebebasan orang untuk bertukar agama. Rumusan demikian untuk
menghilangkan kesan seolah-olah menganjurkan untuk perubahan agama, dan rumusan ini
cukup menjamin kemerdakaan perubahan agama, tidak membatasi mengembangkan agama,
dan mendidik anak-anak dalam keyakinan orang tuanya. Hak berdemonstrasi dan hak mogok
seperti diatur dalam Pasal 21 UUDS 1950 dalam Konstitusi yang pernah berlaku dan UDHR-
pun tidak dimuat. Kekurangan-kekurangan tersebut dilengkapkan kemudian pada
amandemen pasal 28 UUD 1945 hingga menjadi 10 sub (28A-28J).
2.4 Konsep Perubahan UUD
Dalam teori konstitusi dikenal adanya perubahan konstitusi, biasanya hal tersebut termakhtub
dalam pasal-pasal akhir suatu konstitusi. Undang-undang dasar yang fleksibel biasanya dapat
diubah secara relatif lebih mudah dengan tatacara pembuatan atau pengubahan layaknya
undang-undang biasa. Dikaitkan dengan hal tersebut, UUD 1945 dikenal dengan Undang-
Undang Dasar yang kaku, sebab untuk mengubahnya tidak dapat dilakukan dengan cara
pengubahan undang-undang biasa. Hasil amandemen UUD 1945 tetap menempatkan
lembaga negara yakni Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai pengampu weweanag
mengubah Undang-Undang Dasar (Pasal 37 UUD 1945), namun hal yang dikhususkan untuk
tidak dapat dilakukan perubahan yakni bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Perbedaan mengenai tata cara perubahan dalam UUDS 1950 yakni pada UUDS 1950,
semangat yang dibawa memang semangat untuk merubah konstitusi dengan dibentuknya
badan khusus untuk merumuskan konstitusi RI yang baru, namun hingga sembilan tahun
berjalan, lembaga tersebut tidaklah dapat membenuk konstitusi baru sehingga kembali pada
UUD 1945 melalui dekrit presiden 1959. Meskipun UUD 1945 sebelum amandemen pun
sifatnya sementara hingga ada konstitusi yang tetap dari hasil badan konstituante, namun
dengan lambatnya kinerja konstituante, membuat UUD 1945 tetap digunakan dengan
beberapa perubahan, namun semangat yang dibawa ialah kesan kaku atau sulit untuk
merubah suatu konstitusi. {gambar: bp.blogspot.com}
Pustaka
Mahfud, Muhammad, 2001, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Jakarta, Rineka
Cipta.
Wheare, KC, 2003, Konstitusi-Konstitusi Modern, Jakarta, Pustaka Eureka.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar 1945 Sebelum Amandemen
Undang-Undang Dasar 1945 Setelah Amandemen
Undang-Undang Dasar Sementara 1950
http://akubukanmanusiapurba.blogspot.com/2011/06/ketatanegaraan-indonesia-menurut-
uuds.html