Sistem Hukum

28
Pembangunan sistem hukum Indonesia menurut Lawrence M.Friedman BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Di dunia ini terdapat bermacam-macam sistem hukum yang berlaku di berbagai negara dan tiap-tiap negara memiliki sistem hukum yang berbeda pula. Sistem-sistem hukum tersebut yaitu : Sistem Hukum Eropa Kontinental, Sistem Hukum Anglo-Saxon, Sistem Hukum Adat, dan Sistem Hukum Agama. Indonesia adalah negara yang menganut sistem hukum campuran dengan sistem hukum utama yaitu sistem hukum Eropa Kontinental. Selain sistem hukum Eropa Kontinental, di Indonesia juga berlaku sistem hukum adat dan sistem hukum agama, khususnya hukum (syariah) Islam. Sistem Hukum Indonesia merupakan hal yang telah menjadi wacana berkelanjutan, yang tidak hanya melibatkan ahli dan pemerhati hukum, tetapi juga telah menarik ke dalamnya berbagai kalangan untuk ikut menyampaikan pendapat. Ini merupakan sesuatu

description

hukum

Transcript of Sistem Hukum

Page 1: Sistem Hukum

Pembangunan sistem hukum Indonesia menurut Lawrence M.Friedman

BAB I

PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang Masalah             Di dunia ini terdapat bermacam-macam sistem hukum yang berlaku di berbagai negara

dan tiap-tiap negara memiliki sistem hukum yang berbeda pula. Sistem-sistem hukum tersebut

yaitu : Sistem Hukum Eropa Kontinental, Sistem Hukum Anglo-Saxon, Sistem Hukum Adat,

dan Sistem Hukum Agama.

Indonesia adalah negara yang menganut sistem hukum campuran dengan sistem hukum

utama yaitu sistem hukum Eropa Kontinental. Selain sistem hukum Eropa Kontinental, di

Indonesia juga berlaku sistem hukum adat dan sistem hukum agama, khususnya hukum (syariah)

Islam.

Sistem Hukum Indonesia merupakan hal yang telah menjadi wacana berkelanjutan, yang

tidak hanya melibatkan ahli dan pemerhati hukum, tetapi juga telah menarik ke dalamnya

berbagai kalangan untuk ikut menyampaikan pendapat. Ini merupakan sesuatu yang dapat

dimengerti mengingat dalam kenyataannya hampir tidak ada celah kehidupan yang tidak

‘diintervensi’ norma hukum.

Slogan-slogan Ubi Sociates Ibi Ius, Fiat Jutitia Ruat Caelum, dan lain-lainya

menegaskan bahwa dalam masyarakat yang paling sederhana sekalipun keberadaan norma

hukum sebagai suatu pranata sosial secara nyata telah menjadi qonditio sine quanon bagi

keberlangsungan masyarakat tersebut sebagai suatu entitas. Namun demikian, apakah itu berarti

hukum yang ada di suatu masyarakat telah menjadi sesuatu yang sistemik, dengan kata lain

apakah hukum yang ada pada masyarakat tersebut telah terbangun menjadi sistem hukum? Untuk

Page 2: Sistem Hukum

menjawab pertanyaan ini tentu harus dipastikan dulu apa yang dimaksud sebagai sistem hukum,

untuk dapat dijadikan tolok ukur, karena mungkin saja yang terdapat pada suatu masyarakat

adalah aturan-aturan hukum yang berserakan, yang tidak saling berhubungan, atau kalaupun

berhubungan tidak saling mendukung, justru saling melemahkan.

Ada pendapat bahwa hukum Indonesia, dengan segala keterbatasannya, telah terbangun

menjadi suatu sistem. Norma hukum Indonesia, ada yang telah lebih teruji lebih dari seabad,

melewati berbagai dinamika masyarakat dan sampai saat ini masih berlaku. Sejak pendidikan

hukum dilakukan secara formal di Indonesia, sistem hukum Indonesia telah menjadi bahan

kajian. Hampir tidak ada yang menyerukan agar dilakukan ‘revolusi’ dalam hukum, yang banyak

diserukan adalah reformasi dalam bidang-bidang hukum tertentu. Dengan demikian krisis hukum

yang sering disebut-sebut, boleh jadi bukan krisis dalam sistem hukum secara keseluruhan, tetapi

krisis dalam penegakan hukum.

Beberapa ahli telah memberikan pendapat mengenai sistem hukum Indonesia, di

antaranya Lawrence M. Friedman, Gustav Radbruch, Soerjono Soekanto. Namun, dalam

kesempatan kali ini penulis lebih memfokuskan pada sistem hukum menurut Lawrence

M.Friedman.

1.2.Perumusan MasalahAdapun rumusan masalah yang berhubungan dengan pembangunan sistem hukum Indonesia,

yaitu :

  Apa pengertian sistem hukum itu ?

  Mengapa Bangsa Indonesia menggunakan sistem hukum campuran ?

Page 3: Sistem Hukum

  Bagaimana sistem hukum Indonesia menurut Lawrence M.Friedman ?

1.3.Tujuan Penulisan Tujuan dari penulisan makalah ini adalah memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pengantar Ilmu

Hukum, selain itu ada beberapa tujuan lain yang membuat penulis membuat makalah ini, yaitu :

  Mengetahui apa yang dimaksud dengan sistem hukum itu.

  Mengetahui alasan Bangsa Indonesia menggunakan sistem hukum campuran.

  Mengetahui lebih mendalam mengenai sistem hukum menurut pendapat Lawrence M.Friedman.

BAB II

PEMBANGUNAN SISTEM HUKUM DI INDONESIA

2.1.Pengertian Sistem HukumSistem Hukum berasal dari dua kata yaitu ‘sistem’ dan ‘hukum’. Yang keduanya dapat

berdiri sendiri dan memiliki arti tersendiri. Sistem berasal dari bahasa Latin systema dan bahasa

Yunani systema pula, sistem dapat berarti sebagai keseluruhan atau kombinasi keseluruhan.

Sedangkan hukum tidak dapat diartikan secara pasti seperti halnya ilmu eksak, karena

dalam ilmu hukum, hukum itu sangat komleks dan terdapat berbagai sudut pandang serta

berbeda-beda pula masalah yang akan dikaji. Sehingga, setiap ahli memberikan pengertian-

pengertian yang berbeda mengenai pengertian hukum sendiri. Berikut diantaranya :

Hukum adalah semua aturan yang mengandung pertimbangan kesusilaan, ditujukan kepada tingkah laku manusia dalam masyarakat, dan menjadi pedoman bagi penguasa negara dalam melaksanakan tugasnya.( Prof. Mr. E.M. Meyers)           

            Hukum adalah himpunan peratuan ( perintah dan larangan ) yang mengurus tata tertib suatu masyarakat dan karena itu harus ditaati oleh masyarakat itu.( Drs. E. Utrecht, S.H)

Page 4: Sistem Hukum

                                

            Hukum merupakan kumpulan peraturan yang terdiri dari norma dan sanksi, dengan tujuan mewujudkan ketertiban dalam pergaulan manusia.     (S.M. Amin, S.H)

           

            Hukum adalah peratuan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat, yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, dan yang pelanggaran terhadapnya mengakibatkan diambilnya tindakan, yaitu hukuman terentu.  ( J.C.T. Simorangkir, S.H. dan Woerjono Sastropranoto, S.H)

Dari berbagai pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa hukum merupakan peraturan

yang bersifat memaksa dan mengikat seseorang agar tercipta kehidupan yang serasi dan selaras

dengan norma yang berlaku di masyarakat.

            Sehingga, sistem hukum dapat diartikan sebagai sekumpulan peraturan yang bersifat

memaksa demi terciptanya kehidupan yang serasi dan selaras dengan norma.

2.2. Bangsa Indonesia Menggunakan Sistem Hukum CampuranSeperti yang dikatakan pada bagian pendahuluan bahwa Bangsa Indonesia menggunakan

sistem hukum campuran antara Eropa Kontinental, Hukum Adat, Hukum Agama khususnya

Hukum Syariah Islam, serta tidak mengesampingkan sistem hukum Anglo-Saxon.

Saat pertama mendengar istilah Hukum Eropa Kontinental yang ada dipikiran kita pasti

adalah negara-negara yang terletak di Benua Eropa. Namun, ternyata meski berada dalam Benua

Asia, Bangsa Indonesia juga menganut sistem hukum Eropa Kontinental sebagai salah satu

sistem hukumnya.

Hal tersebut terjadi dikarenakan Bangsa Indonesia mengalami penjajahan oleh Belanda

selama 350 tahun yang tidak lain Belanda merupakan salah satu pendukung utama sistem hukum

Eropa Kontinental. Dan selama masa penjajahan tersebut Belanda menerapkan asas konkordansi,

yang berarti sistem hukum Hindia-Belanda (Indonesia) berjalan selaras dengan sistem hukum

Belanda. Sehingga, secara mutatis mutandis sistem hukum Eropa Kontinental telah diterapkan

kepada Bangsa Indonesia.

Page 5: Sistem Hukum

Walaupun dominan menggunakan sistem hukum Eropa Kontinental, Belanda juga

melaksanakan sistem hukum adat (adatrechtpolitiek) kepada masyarakat golongan pribumi asli.

Sehingga, pada masa penjajahan Belanda di Indonesia terjadi pluralisme hukum. Yang dalam

perkembangannya lebih banyak ditinggalkan karena pengaruh hukum kolonial yang cenderung

kuat.

 Setelah kemerdekaan, pengaruh Sistem Eropah Kontinental tampak dalam semangat

untuk melakukan kodifikasi dan unifikasi. Meskipun Hukum Adat tetap diakui, tetapi pandangan

yang lebih mengemuka adalah dalam pembangunan hukum maupun optimalisasi fungsi hukum

sebagai sarana untuk melakukan rekayasa sosial dilakukan melalui peraturan perundang-

undangan.

2.3.Pembangunan Sistem Hukum Indonesia Menurut Lawrence M.FriedmanSistem hukum di Indonesia dewasa ini adalah sistem hukum yang unik, sistem hukum

yang dibangun dari proses penemuan, pengembangan, adaptasi, bahkan kompromi dari beberapa

sistem yang telah ada. Sistem hukum Indonesia tidak hanya mengedepankan ciri-ciri lokal, tetapi

juga mengakomodasi prinsip-prinsip umum yang dianut oleh masyarakat internasional.

Namun, pada masa-masa seperti sekarang ini banyak kalangan yang memberikan

penilaian yang kurang baik terhadap sistem hukum Indonesia.

Bobroknya sistem hukum di Indonesia, diibaratkan orang sakit akibat merokok. Jika dianalogikan, orang sakit karena merokok justru tidak pernah mau mengakui jika sakitnya karena rokok. “Kalau perokok, datang ke dokter, akan selalu bilang, saya sakit. Tapi pasti tidak mau mengaku karena rokok, karena ingin tetap merokok,” kata Guru Besar Luar Biasa UI, Mardjono Reksodiputra dalam diskusi hukum di kantor Komisi Hukum Nasional (KHN), Jalan Diponegoro 64, Menteng, Jakarta Pusat, Senin, (7/5/2010). Analogi tersebut sebagai perumpamaan kepada institusi polisi, jaksa dan hakim yang tidak pernah mengakui institusinya salah. Setiap kali ada kasus, mereka selalu menunjuk itu ulah oknum. “Harusnya mereka mengakui supaya tidak mengulangi. Jangan seperti perokok yang tidak mau mengaku merokok,” (detiknews, 2010)

Page 6: Sistem Hukum

            Untuk mengetahui lebih mendalam lagi, kita perlu mempelajari apa yang menjadi unsur-

unsur pokok sistem hukum itu. Para ahli memiliki pendapat sendiri-sendiri mengenai sistem

hukum. Namun, pada kesempatan kali ini penulis lebih terfokus pada sistem hukum menurut

Lawrence M.Friedman.

            Sistem hukum (legal system) adalah satu kesatuan hukum yang tersusun dari tiga unsur, yaitu: (1) Struktur; (2) Substansi; (3) Kultur Hukum (Lawrence M. Friedman, The Legal System: A Social Science Perspective, New York: Russell Sage Foundation, 1975).

Berdasarkan pendapat tersebut, jika kita berbicara tentang sistem hukum, maka ketiga

unsur tersebut secara bersama-sama atau secara sendiri-sendiri, tidak mungkin kita

kesampingkan. Struktur adalah keseluruhan institusi penegakan hukum, beserta aparatnya. Jadi

mencakupi: kepolisian dengan para polisinya; kejaksaan dengan para jaksanya; kantor-kantor

pengacara dengan para pengacaranya, dan pengadilan dengan para hakimnya. Substansi adalah

keseluruhan asas-hukum, norma hukum dan aturan hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak

tertulis, termasuk putusan pengadilan. Kultur hukum adalah kebiasaan-kebiasaan, opini-opini,

cara berpikir dan cara bertindak, baik dari para penegak hukum maupun dari warga masyarakat.

Oleh karena itu untuk menuju terciptanya supremasi hukum tentunya memerlukan suatu

kerja keras dari seluruh elemen yang ada di Negara kita. Upaya untuk menciptakan supremasi

hukum bukan hanya hak lembaga-lembaga Negara kita dengan pembagian kekuasaannya yang

bercirikan prinsip check and balances dalam pelaksanaan pemerintahannya, tetapi juga

merupakan hak dari setiap warga Negara untuk berpartisipasi dalam usaha terciptanya supremasi

hukum di Negara kita. Pentingnya budaya hukum untuk mendukung adanya sistem hukum,

sebagaimana Friedman mengatakan, bahwa Substansi dan Aparatur saja tidak cukup untuk

berjalannya sistem hukum. Dimana Lawrence M Friedman menekankan kepada pentingnya

Budaya Hukum (Legal Culture).

Page 7: Sistem Hukum

Karena, menurut Friedman sistem hukum diumpamakan sebagai suatu pabrik , jika

Substansi itu adalah produk yang dihasilkan, dan Aparatur adalah mesin yang menghasilkan

produk, sedangkan Budaya Hukum adalah manusia yang tahu kapan mematikan dan

menghidupkan mesin, dan yang tahu memproduksi barang apa yang dikehendakinya.

Kita ambil contoh mengapa aparatur hukum ada bahkan banyak yang tidak taat hukum?

Jika kita mencari sebabnya, maka kita memasuki masalah budaya hukum (legal culture), begitu

juga, ruang lingkup budaya hukum, apabila kita ingin mengetahui ,tidak sedikit orang yang tak

bersalah menjadi bulan-bulanan aparat hukum.

Pada  sektor pembentukan hukum, seringkali kita menemukan suatu substansi aturan

hukum baik berupa Undang-undang, Peraturan pemerintah, Perpres, hingga Perda yang tidak

mencerminkan aspirasi masyarakat luas, bahkan justru secara substantif dirasa merugikan

kepentingan masyarakat luas pada umumnya.     

Dalam sektor penegakan hukum, sudah tak terhitung putusan pengadilan yang dinilai justru

mencederai rasa keadilan masyarakat. Dunia hukum Indonesia terus mendapat sorotan yang

hampir semuanya bernada minor, hal ini tidak terlepas dari ketidakpercayaan publik terhadap

sistem hukum kita baik ditinjau dari struktur (institusi), substansi serta budaya (culture)

hukumnya. Banyak pihak berpendapat bahwa hukum kita hanya untuk mereka yang memiliki

uang, kekuasaan atau jabatan maupun kekuatan politik sehingga dengan itu mereka bisa membeli

hukum kita, dimana hal tersebut bisa mengurangi bahkan menghilangkan terciptanya supremasi

hukum di Indonesia.

BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Page 8: Sistem Hukum

Sistem hukum dapat diartikan sebagai sekumpulan peraturan yang bersifat memaksa demi

terciptanya kehidupan yang serasi dan selaras dengan norma.

Bangsa Indonesia menggunakan sistem hukum campuran antara Eropa Kontinental,

Hukum Adat, Hukum Agama khususnya Hukum Syariah Islam, serta tidak mengesampingkan

sistem hukum Anglo-Saxon.

Sistem hukum di Indonesia dewasa ini adalah sistem hukum yang unik, sistem hukum

yang dibangun dari proses penemuan, pengembangan, adaptasi, bahkan kompromi dari beberapa

sistem yang telah ada. Sistem hukum Indonesia tidak hanya mengedepankan ciri-ciri lokal, tetapi

juga mengakomodasi prinsip-prinsip umum yang dianut oleh masyarakat internasional.

            Menurut Lawrence M. Friedman sistem hukum (legal system) adalah satu kesatuan

hukum yang tersusun dari tiga unsur, yaitu: (1) Struktur; (2) Substansi; (3) Kultur Hukum (The

Legal System: A Social Science Perspective, New York: Russell Sage Foundation, 1975).

Di mana ketiganya masing-masing memiliki makna tersendiri. Struktur adalah

keseluruhan institusi penegakan hukum, beserta aparatnya. Jadi mencakupi: kepolisian dengan

para polisinya; kejaksaan dengan para jaksanya; kantor-kantor pengacara dengan para

pengacaranya, dan pengadilan dengan para hakimnya. Substansi adalah keseluruhan asas-

hukum, norma hukum dan aturan hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, termasuk

putusan pengadilan. Kultur hukum adalah kebiasaan-kebiasaan, opini-opini, cara berpikir dan

cara bertindak, baik dari para penegak hukum maupun dari warga masyarakat.

Oleh karena itu untuk menuju terciptanya supremasi hukum tentunya memerlukan suatu kerja

keras dari seluruh elemen yang ada di Negara kita. 

Page 9: Sistem Hukum

Lawrence M. Friedman

       Oleh:Nur Agung Sugiarto

       Lawrence M. Friedman Menurut Lawrence .M. Friedman mengungkapkan tiga komponen dari sistem hukum. Ketiga

komponen dimaksud adalah: (1) struktur, (2) substansi, dan (3) kultur atau budaya.

Pertama sistem hukum mempunyai struktur, yaitu kerangka bentuk yang permanen dari sistem

hukum yang menjaga proses tetap berada di dalam batas-batasnya. Struktur terdiri atas: jumlah

serta ukuran pengadilan, jurisdiksinya (jenis perkara yang diperiksa serta hukum acara yang

digunakan), termasuk di dalam struktur ini juga mengenai penataan badan legislatif.

Kedua substansi, yaitu aturan, norma, dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem

itu. Termasuk ke  dalam pengertian substansi ini juga ”produk” yang dihasilkan oleh orang yang

berada di dalam sistem hukum itu keputusan yang mereka keluarkan, aturan baru yang mereka

susun.

Ketiga adalah kultur atau budaya hukum, yaitu sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum

kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya.

Budaya hukum ini pun dimaknai sebagai suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang

menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari, atau disalahgunakan.  Selanjutnya

Friedman merumuskan budaya hukum sebagai sikap-sikap dan nilai-nilai yang ada hubungan

dengan hukum dan sistem hukum, berikut sikap-sikap dan nilai-nilai yang memberikan pengaruh

baik positif maupun negatif kepada tingkah laku yang berkaitan dengan hukum. Demikian juga

kesenangan atau ketidak senangan untuk berperkara adalah bagian dari budaya hukum. Oleh

karena itu, apa yang disebut dengan budaya hukum itu tidak lain dari keseluruhan faktor yang

menentukan bagaimana sistem hukum memperoleh tempatnya yang logis dalam kerangka

budaya milik masyarakat umum. Maka secara singkat dapat dikatakan bahwa yang disebut

budaya hukum adalah keseluruhan sikap dari warga masyarakat dan sistem nilai yang ada dalam

masyarakat yang akan menentukan bagaimana seharusnya hukum itu berlaku dalam masyarakat

yang bersangkutan.

Page 10: Sistem Hukum

Analisis dan Solusi Masalah Korupsi di Indonesia dalam perspektif teori Sistem Hukum Lawrence Friedman07 Jun

HUKUM PIDANA KHUSUS

“Analisis dan Solusi Masalah Korupsi di Indonesia dalam perspektif teori Sistem Hukum Lawrence Friedman”

Dosen Pengampu: Muh. Abdul Kholiq ,SH., M.Hum.

 

SANDRA SAPUTRA

( 09 410 341 )

Fakultas Hukum

Universitas Islam Indonesia

Yogyakarta

2011

 

 

DAFTAR ISI

 

Halaman Judul………………………………………………………….i

Kata Pengantar…………………………………………………………………………….ii

Daftar Isi………………………………………………………………....iii

Pendahuluan……………………………………………………………         

Pembahasan………………………………………………………………..

Penutup…..……………………………………………………………..

 

Page 11: Sistem Hukum

KATA PENGANTAR

Assalamu`alaikum Wr.Wb

 

Puji syukur ke hadirat Allah SWT karena atas ijin-Nya jua maka saya dapat menyelesaikan penulisan makalah yang berjudul “ MENGANALISIS dan MENCARI SOLUSI MASALAH KORUPSI di INDONESIA menurut Teori LAURENCE FRIEDMAN

Maksud dari pembuatan makalah ini selain memenuhi tugas mata kuliah Hukum Pidana Khusus adalah memberi informasi kepada pembaca mengenai Analisis dan Solusi Masalah Korupsi di Indonesia.

 

Terimakasih kepada dosen pengampu mata kuliah Hukum Pidana Khusus Muh. Abdul Kholiq ,SH., M.Hum. atas kritik dan saran sehingga makalah ini sesuai dengan yang diharapkan. Tak lepas pula ucapan terimakasih saya pada teman satu kelas saya atas pendapatnya dan segala bantuanya.

 

Wassalamu`alaikum Wr.Wb 

PENDAHULUAN

Hukum adalah suatu sistem, yaitu sistem norma-norma. Hukum pidana merupakan bagian dari sistem hukum atau sistem norma-norma, Sebagai sebuah sistem, hukum pidana memiliki sifat umum dari suatu sistem yaitu menyeluruh (wholes), memiliki beberapa elemen (elements), semua elemen saling terkait(relations) dan kemudian membentuk struktur (structure).[2]Lawrence M. Friedman menyebutkan sistem hukum dalam arti luas dengan tiga elemen yaitu struktural (structure), substansi(substance) dan budaya hukum (legal culture). Ketiga elemen tersebut saling mempunyai korelasi erat. Lawrence M. Friedman lebih lanjut mendeskripsikan ketiga elemen sistem hukum tersebut diumpamakan sebuah mesin dimana budaya hukum sebagai bahan bakar yang menentukan hidup dan matinya mesin tersebut. Konsekuensi aspek ini maka budaya hukum begitu urgen sifatnya. Oleh karena itu, tanpa budaya hukum, sistem hukum menjadi tidak berdaya, seperti seekor ikan mati yang terkapar di dalam keranjang, bukan seperti seekor ikan hidup yang berenang di lautan.

n  Komponen  Sistem Hukum

1. Substansi Hukum :

Norma-norma hukum (peraturan, keputusan) yang

Page 12: Sistem Hukum

dihasilkan dari produk hukum

2. Struktur Hukum :

Kelembagaan yang diciptakan sistem hukum yang

memungkinkan pelayanan dan penegakan hukum

3. Budaya Hukum :

Ide-ide, sikap, harapan, pendapat, dan nilai-nilai yang

berhubungan dengan hukum (bisa positip / negatip).

 

PEMBAHASAN

Substansi hukum

Substansi hukum (legal substance) dapat dikatakan sebagai salah satu faktor yang memberi kontribusi besar mengguritanya praktik korupsi. Hal itu terjadi karena substansi hukum direkayasa untuk memudahkan melakukan korupsi. Tidak hanya itu, substansi hukum juga dirancang sedemikian rupa sehingga memudahkan mereka yang tersangkut korupsi mengelak dari jeratan hukum. Cara paling sederhana, membuat norma hukum yang tidak jelas atau kabur.

Substansi hukum yang kabur itu tidak hanya memudahkan melakukan korupsi, tetapi juga memberikan kesempatan yang luas kepada penegak hukum untuk ”menggorengnya” sesuai kepentingan masing- masing. Bagi penegak hukum yang bekerja demi kepentingan penegakan hukum, aturan yang tidak jelas dapat digunakan untuk menjerat pelaku korupsi yang memanfaatkan aturan hukum yang tidak jelas itu. Sementara bagi penegak hukum yang ingin meraih keuntungan finansial, substansi hukum yang demikian akan diperdagangkan dengan mereka yang tersangkut kasus korupsi.

Berkaca dari kasus suap dengan Artalyta dan kejadian yang menimpa Glenn Yusuf, jaksa Urip benar-benar ”menggoreng” kasus BLBI untuk menuai keuntungan finansial. Meski belum tentu tindakan itu dilakukan jaksa Urip untuk kepentingan diri sendiri. Namun dapat dipastikan, keberanian jaksa Urip muncul karena ia tahu persis kelemahan substansi hukum dalam perkara BLBI.

Salah satu substansi hukum yang potensial dan sering diperdagangkan penegak hukum adalah adanya peluang untuk menghentikan penyidikan perkara (SP3). Mencermati kasus BLBI, penghentian sejumlah perkara dilakukan karena alasan tidak cukup bukti. Setelah kasus suap jaksa Urip dan Artalyta terungkap ke permukaan, alasan tidak cukup bukti sulit diterima sebagai penghentian kasus BLBI.

Page 13: Sistem Hukum

Dari penjelasan itu, terkuaknya penyimpangan yang dilakukan penegak hukum dalam pemberantasan korupsi dipicu oleh kelemahan substansi hukum. Kelemahan itu dimanfaatkan secara bersama-sama oleh koruptor dan penegak hukum untuk membangun relasi simbiosis mutualisme. Karena itu, amat jarang pelaku korupsi dijatuhi pidana maksimal. Sampai sejauh ini, mungkin hanya sepak terjang KPK yang mampu sedikit mengkhawatirkan koruptor.

Langkah progresif

Untuk keluar dari jerat korupsi yang menggurita, harus dimulai langkah-langkah progresif berupa pembenahan substansi hukum, shock therapy bagi penegak hukum dan pelaku tindak pidana korupsi.

Untuk substansi hukum, diperlukan political will untuk mereformasi semua aturan yang memudahkan terjadinya tindak pidana korupsi. Melihat aturan hukum yang ada, tidak mungkin menghambat laju praktik korupsi yang telah menghancurkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan negara. Bagaimanapun, menunda reformasi substansi hukum sama dengan mempercepat negeri ini masuk jurang kehancuran.

Sementara itu, penegak hukum yang memperdagangkan perkara korupsi harus diberi shock-therapy dengan menjatuhkan hukuman maksimal. Untuk itu, dengan tingkat perbuatan yang begitu memalukan, orang seperti jaksa Urip harus dihukum pidana maksimal. Memberikan hukuman ringan kepada penegak hukum yang memperdagangkan kasus korupsi tentu tidak akan memberi efek jera.

Khusus untuk pelaku korupsi, usulan memberi tanda ”EK” (eks koruptor) di KTP atau dengan mengucilkan dalam pergaulan masyarakat masih jauh dari cukup. Langkah progresif lain yang harus dilakukan, misalnya, bagi yang sedang dalam proses hukum, dalam setiap penampakan ke publik (seperti hadir dalam persidangan) harus memakai pakaian tahanan. Selain itu, bagi yang sudah dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman tidak lagi diberi fasilitas pengurangan hukuman. Mereka harus menjalankan hukuman penuh sesuai putusan pengadilan.

Saya percaya, tanpa langkah progresif, negeri ini tidak akan pernah keluar dari jeratan korupsi. Bagian dari sejarah negeri ini menceritakan kepada kita, VOC hancur karena korupsi. Apakah kita sedang membiarkan sejarah itu berulang?

1. STRUKTUR HUKUM

Komponen yang disebut dengan struktur adalah kelembagaan diciptakan oleh sistem hukum seperti pengadilan negeri, pengadilan administrasi, yang mampunyai fungsi untuk mendukung bekerjanya sistem hukum itu sendiri. Komponen tersebut memungkinnya adanya pelayanan dan pelaksanaan hukum secara teratur. Kondisi sekarang ini terjadi penurunan kewibawaan dan kepercayaan masyarakat dan dunia internasional terhadap badan peradilan. Keadaan badan peradilan yang demikian tidak dapat dibiarkan berlangsung secara terus menerus perlu dilakukan upaya progresif dan renponsif untuk menanggulangi hal tersebut.

Page 14: Sistem Hukum

Penurunan kepercayaan dan kewibawaan peradilan dikarenakan lemahnya kepemimpinan manajemen perkara, lemahnya pengawasan internal, rendahnya kredibilitas hakim, rendahnya integritas dan profesionalitas hakim. Seperti diketahui bersama bahwa belum lama ini Artalyta Suryani (Ayin) divonis lima tahun penjara oleh pengadilan yang memeriksanya terkait dengan kasus suap, menurut penulis hal tersebut tidak sebanding dengan kejahatan dan kerugian yang dialami negara, sebelum itu juga terdapat permasalahan di lingkungan Mahkamah Agung yaitu kasus suap Probosutedjo, namun kasus tersebut sangat sulit dibuktikan bahkan tidak dapat menjerat ketua MA Bagir Manan, ataupun putusan bebas Akbar Tandjung, dan kemungkinan juga perkara yang diperiksa diluar kemampuan hakim yang dikeranakan kompleksitas perkaradan juga terdapat kelemahan (Weakness) lembaga kehakiman adalah manajemen pengelolaan modal tenaga intelektual belum berjalan baik termasuk rekrutmen dan juga promosi hakim yaitu belum adanya penyaringan tenaga hakim yang cerdas jujur dan beraniUntuk mengatasi hal tersebut haruslah terdapat suatu reformasi lembaga peradilan yang melibatkan beberapa aspek yaitu perubahan administrasi hakim dan pembenahan kualitas hakim.

Penting melakukan reformasi yang mendasar terhadap sistem peradilan, tidak saja menyangkut penataan kelembagaan (institutional reform) ataupun menyangkut mekanismeaturan yang bersifat instrumental (instrumental atau procedural reform), tetapi juga menyangkut personalitas dan budaya kerja aparat peradilan serta perilaku hukum masyarakat yang cenderung kurang optimal.

Faktor lain yang yang perlu diperlihatkan dalam upaya pembangunan penegakan hukum yang akuntabel adalah proses rekrutmen personel penegak hukum yang dalam hal ini adalah hakim. Penegakan hukum yang akuntabel juga menyangkut the scientific investigation of legal problem, maka dari itu diperlukan penegak hukum yang memiliki insting yuridis yang tajam dalam segala kebutuhan masalah hukum dan menyelesaikannya secara cepat, tepat, adil dalam rangka mewujudkan peradilan yang murah, cepat dan tentunya adil. Sehingga tidak menimbulkan justice denied. Bisa juga proses penyelesaian kasus hukum secara berkualitas menuntut adanya pendidikan berkelanjutan Continuing Legal Education (CLE) bagi para penegak hukum.

Dalam menyelesaikan kasus korupsi sebagai extra ordinary crime bukanlah mudah bila mengacu ataupun menggunakan sistem hukum yang ada sekarang ini, dan pemeriksaan harus dilakukan dengan menggunakan dengan cara yang tidak biasa ataupun dengan kebijakan integral baik itu penal maupun non penal dengan memperhatikan faktor kriminogen terbentuknya suatu kejahatan misalnya keberanian hakim untuk menggunakan asas pembuktian terbalik dan asas peradilan in absentia karena sistem peradilan yang sekarang ini ataupun hukum positif sekarang kurang dapat menjerat dan mengatasi persoalan yang akan dihadapi sehingga dibutuhkan suatu pemikiran progresif yaitu dengan memperhatikan faktor-faktor non yuridis dalam penegakan hukum.

Penegakan hukum Progresif menjadi prioritas alternatif yang wajib digunakan dalam penanggulangan kasus seperti kasus korupsi. Karena penaggulangan seperti sekarang ini adalah bersifat sistemik dan cenderung statis serta monoton sehingga Indonesia akan menjadi surga bagi pelaku kejahatan. Dalam penegakan hukum yang progresif memerlukan adanya penegak hukum yang mempunya integritas tinggi berserta moral yang baik. Hakim Amerika mengatakan” berikan aku penegak hukum yang baik dan dengan Undang-Undang yang buruk niscaya keadilan

Page 15: Sistem Hukum

akan tercapai”, lebih dari itu juga dituntut adanya ideologi penegak keadilan yang berorientasi nilai keadilan.

 

 

BUDAYA HUKUM(LEGAL CULTURE)

 

Hukum bukan sekedar alat yang dapat dimanfaatkan untuk tujuan tertentu, tetapi merupakan perangkat tradisi, obyek pertukaran nilai yang tidak netral dari pengaruh sosial dan budaya

Hukum harus dilihat sebagai suatu sistem yang utuh. Pengertian Sistem :

a. Berorientasi pada satu tujuan

b. Lebih dari sekedar jumlah dari bagian-bagian

c. Berinteraksi dengan sistem lain yang lebih besar

d. Bekerjanya bagian-bagian menciptakan sesuatu

yang berharga.

Secara Sosiologis : hukum sebagai sistem nilai yang merupakan sub sistem dari sistem sosial (T. Parsons)

Budaya : Berfungsi sebagai kerangka normatif dalam kehidupan manusia à menentukan perilaku Budaya berfungsi sebagai sitem perilaku Budaya hukum sangat mempengaruhi efektifitas berlaku dan keberhasilan penegakan hukum Hukum merupakan konkretisasi nilai-nilai sosial yang terbentuk dari kebudayaan Kegagalan hukum modern seringkali karena tidak compatible dengan budaya hukum masyarakat

(Misal : UU PemDes 9/1975). Budaya Hukum :

a. Internal Legal Culture : kultur yang dimiliki oleh    struktur hukum

b. External Legal Culture : kultur hukum masyarakat pada umumnya

Mengubah kultur hukum yang berkarakter individual-liberal menjadi kolektivtas-sosial-religius disadari bukan pekerjaan mudah dan ringan untuk bisa diselesaikan dalam waktu singkat. Mengubah kultur hukum senantiasa harus paham tentang nilai-nilai, tradisi, kebiasaan, dan segala sikap dominan yang umumnya berlaku dalam segala aspek kehidupan. Kompleksitas kehidupan dan derasnya nilai-nilai Barat yang merasuk lewat arus globalisasi menjadikan nilai-

Page 16: Sistem Hukum

nilai domestik tergerus dan termarginalkan, bahkan hilang dari sanubari terdalam warga negara dan bangsa.

Tiada cara yang lebih efektif untuk penyadaran masalah penanaman nilai-nilai kolektivitas-sosial-religius itu kecuali dengan pendidikan budi pekerti, karakter, agama, dan nasionalisme. Agenda akademik dan pedagogik sudah tentu amat penting untuk masa depan dalam rangka pencegahan terhadap meluasnya wabah korupsi pada generasi penerus. Tetapi, untuk situasi yang telah telanjur berantakan saat ini, tentu dibutuhkan agenda aksi yang tegas dan nyata (affirmative action). KPK telah mengawali, memberi contoh sekaligus menunjukkan komitmennya dalam pemberantasan korupsi secara tegas dan nyata. Belum lama ini, para tokoh lintas agama, para tokoh lembaga swadaya masyarakat (LSM), forum rektor, dan berbagai elemen masyarakat telah bergeliat memberikan dukungan dan merapatkan barisan untuk bersama-sama memerangi korupsi kolektif.

Retorika politik di berbagai media dengan berkilah dan pernyataan berputarputar, selain terkesan defensif, juga tidak menyelesaikan masalah, justru semakin memicu kemarahan massa. Kalau memang, para politisi, advokat, jajaran kepolisian, dan kejaksaan tidak sanggup ikut serta dalam barisan perang antikorupsi, lebih baik minggir atau mundur untuk memberi jalan lapang bagi kelancaran dan kesuksesan pemberantasan korupsi.

Jangan menghalang- halangi dan jangan menjadi duri dalam daging bangsa sendiri. Awas, menghalang-halangi bisa dipersepsikan sebagai bagian dari mafioso dan akan digilas pula oleh tank-tank antikorupsi.(*)

 

Dilihat dari awal mula kejadiannya, semua jenis kejahatan (termasuk korupsi) selalu dimulai dari pelanggaran hukum di bidang keuangan yang kuantitasnya kecil dan kualitasnya rendah. Virus-virus kejahatan demikian itu akan segera menjadi besar dan mewabah apabila didukung oleh situasi lingkungan yang serbamiskin (terutama miskin iman), permisif, dan kontrol hukum yang lemah.Kultur hukum kita akhir-akhir ini cenderung kuat menunjukkan ada situasi yang serba negatif itu. Berlakulah pepatah Jawa ”kriwikan dadi grojogan”, artinya dari kejahatan kecil per individu dengan cepat menjadi kejahatan besar (kolektif).

Kini, korupsi itu sudah merupakan kejahatan kolektif. Bahasa hukum menyebutnya sebagai extraordinary crime. Korupsi bukan lagi merupakan kejahatan biasa dan bersifat per individu, melainkan telah menjelma sebagai kejahatan luar biasa yang bersifat kolektif. Syed Hussein Naser (1968) menyebut perkembangan korupsi yang sedemikian meluas itu sebagai widespread, deeply rooted. Apabila perkembangan itu tidak bisa dihentikan dengan pemberantasan secara tuntas, dipastikan tinggal selangkah lagi sampai pada kehancuran masyarakat, bangsa, dan negara.

 

 

Page 17: Sistem Hukum

 

 

KESIMPULANKita sudah tentu sangat khawatir dan risau dengan kegagalan pemberantasan korupsi selama ini.

Dari aspek hukum terlihat sekali bahwa metode konvensional pemberantasan korupsi dengan bertumpu kepada teks-teks dan prosedur yang tertulis dalam perundang- undangan (hukum positif) ternyata sangat mudah dipatahkan oleh mafioso untuk meloloskan diri dari jeratan

hukum. Pengalaman pedih seperti itu mestinya cukup memberikan pelajaran bagi kita, khususnya para aparat penegak hukum untuk segera menemukan metode lain yang juga

tergolong extraordinary.

Sudah tentu, metodenya pun harus tergolong luar biasa. Ini baru ada korespondensi dan benar menurut logika hukum. Metode penegakan hukum yang kita pilih harus lebih unggul dan bisa mengatasi perkembangan korupsi itu sendiri. Jangan sampai aparat penegak hukum terbirit-birit jauh tertinggal dari gesit dan lincahnya lari para koruptor. Kita wajib menemukan metode baru yang antisipatif sekaligus represif terhadap perkembangan korupsi. Penegakan hukum dalam rangka pemberantasan korupsi harus dilakukan dengan sikap kritis, kreatif, dan inovatif. Sikap kritis diperlukan tertuju kepada doktrin-doktrin hukum individual-liberal yang masih kuat mengakar pada hukum pidana. Dari sikap kritis itu diharapkan muncul keberanian untuk melakukan dekonstruksi ke arah doktrin baru yang berkarakter kolektivitas-sosial-religius.

Kita wajib mencegahnya. Inovasi hukum dan penegakan hukum menjadi penting dilakukan. Secara ringkas dan padat, Satjipto Rahardjo (alm) merangkum sikap kritis, kreatif, dan inovatif dalam penegakan hukum (termasuk pemberantasan korupsi) dengan satu kata yaitu ”progresif”. Dalam alur pikir dan semangat yang ”progresif” itulah, kita perlu memberikan dukungan penuh kepada KPK yang telah melangkah dengan penahanan terhadap 19 dari 26 tersangka korupsi kolektif (para anggota DPR periode 1999-2004).

PRINSIP PENEGAKKAN HUKUM

Di lihat dari perspektif kebijakan hukum pidana (penal policy), sasaran dari hukum pidana tidak hanya mengatur perbuatan masyarakat pada umumnya, tetapi juga mengatur perbuatan dalam arti kewenangan aparat penegak hukum. Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah menciptakan sistem pengawasan dan pertanggungjawaban dalam menunjang terciptanya sistem peradilan pidana terpadu (integrated crimanal justice system), maka pelaksanaannya diperlukan sinkronisasi peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai tugas dan wewenang antar komponen sistem dalam sistem peradilan pidana. Landasan asas atau prinsip yang melandasi KUHAP, diartikan sebagai dasar patokan hukum dalam penegakan hukum pidana. Asas-asas atau prinsip hukum ini merupakan pedoman bagi institusi aparat penegak hukum dalam menerapkan pasal-pasal KUHAP. Bukan saja hanya kepada aparat penegak hukum asas atau prinsip hukum dimaksud menjadi patokan dan landasan, tetapi juga bagi setiap anggota masyarakat yang terlibat dan berkepentingan atas pelaksanaan tindakan yang menyangkut penerapan KUHAP. Menyimpang dari prinsip-prinsip hukum

Page 18: Sistem Hukum

tersebut, berarti orang tersebut telah sengaja mengabaikan hakekat kemurnian yang dicita-citakan KUHAP. Salah satu prinsip penting dalam KUHAP adalah prinsip diferensiasi fungsional, yaitu penegasan pembagian tugas, fungsi dan wewenang antara masing-masing aparat penegak hukum secara institusional. Pemisahan ini dapat diketahui dari ketentuan Pasal 1 angka 1-5 KUHAP dan Pasal 4-12 KUHAP untuk tugas penyidikan ; dan Pasal 1 angka 6-7 dan Pasal 13-15 KUHAP untuk tugas penuntut umum. Dengan demikian didapat gambaran bahwa untuk kewenangan penyidikan dan kewenangan penuntutan akan dilakukan oleh dua institusi atau lembaga yang berbeda. Berkaitan dengan prinsip diferensiasi fungsional, menurut Yahya Harahap, KUHAP meletakan suatu asas ”penjernihan” (clarification) dan ”modifikasi” (modification) fungsi dan wewenang antara setiap institusi penegak hukum. Penjernihan fungsi dan wewenang ini diatur sedemikian rupa, sehingga tetap terbina saling korelasi dan koordinasi dalam proses penegakan hukum yang saling berkaitan dan berkelanjutan antara satu institusi dengan institusi yang lain, mulai dari tahap penyidikan oleh kepolisian sampai kepada pelaksanaan putusan pengadilan oleh kejaksaan, selalu terjalin hubungan fungsi yang berkelanjutan, yang akan menciptakan suatu mekanisme pengawasan diantara sesama penegak hukum dalam suatu rangkaian Integrated Criminal Justice System.Sistem peradilan pidana pada hakekatnya merupakan suatu proses penegakan hukum pidana. Oleh karena itu, berhubungan erat sekali dengan perundang-undangan pidana itu sendiri, baik hukum pidana substantif maupun hukum acara pidana, karena perundang-undangan pidana itu pada dasarnya merupakan penegakan hukum pidana ”in abstracto” yang akan diwujudkan dalam penegakan hukum ”in concreto”. Berkaitan dengan sistem hukum, Lawrence M. Friedman mengemukakan teorinya bahwa dalam sebuah sistem hukum terdapat tiga komponen penting yang saling mempengaruhi, yaitu : struktur (structure), substansi (substance), dan budaya hukum (legal culture). Struktur menyangkut aparat penegak hukum, kemudian substansi meliputi perangkat perundang-undangan, dan budaya hukum merupakan hukum yang hidup yang dianut dalam suatu masyarakat. Struktur dari sistem hukum terdiri dari unsur berikut ini : jumlah dan ukuran pengadilan, yuridiksinya (termasuk kompetensi mengadili), dan tata cara untuk naik banding dari pengadilan satu ke pengadilan lainnya (berbicara mengenai hirarki pengadilan di Indonesia). Struktur juga menyangkut bagaimana badan legislatif ditata, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh Presiden, prosedur apa yang diikuti oleh kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan sebagainya. Jadi struktur hukum (legal structure) terdiri dari lembaga hukum yang ada dimaksudkan untuk menjalankan perangkat hukum yang ada. Yang dimaksud dengan substansi adalah aturan, norma dan pola prilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu. Jadi substansi hukum menyangkut peraturan perundang-undangan yang berlaku yang memiliki kekuatan yang mengikat dan menjadi pedoman bagi aparat penegak hukum sehingga menghasilkan suatu produk, mencakup keputusan yang mereka keluarkan, aturan baru yang mereka susun.Beranjak dari konsep sistem hukum yang dikemukakan oleh Friedman , maka dalam sebuah Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) juga mengandung ketiga unsur tersebut. Sistem dapat berjalan dengan baik untuk mencapai tujuan jika semua unsur saling mendukung dan melengkapi. Adanya kelemahan pada satu subsistem akan berdampak negatif pada bekerjanya sistem secara keseluruhan. Sebagai sebuah sistem, sistem peradilan pidana bekerja dalam satu unit kerja atau bagian yang

Page 19: Sistem Hukum

menyatu. Oleh karena itu sistem peradilan pidana memerlukan kombinasi yang serasi antar subsistem untuk mencapai satu tujuan. Muladi menyebutkan, perlu adanya sinkronisasi struktural (structural sycronization), sinkronasi substansial (substantial sycronization), dan sinkronisasi kultural (cultural syncronization). Sinkronisasi dalam sistem peradilan pidana ini akan lebih memudahkan semua subsistem-subsistem menjalankan fungsinya dan juga bekerjanya sistem secara sehat untuk mencapai tujuan.Hal ini tidak berarti sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system) antar lembaga penegak hukum harus menjadi satu fungsi di bawah “satu atap”, akan tetapi masing-masing fungsi tetap dibawah koordinasi sendiri-sendiri yang independen dengan kerjasama yang aktif dalam persepsi yang sama dilihat dari fungsi dan wewenang masing-masing lembaga tersebut. Keterpaduan antara subsistem dalam penegakan hukum menjadi penentu efektifvitas suatu peraturan. Sistem hukum dapat berjalan dengan baik untuk mencapai tujuan jika semua unsur saling mendukung dan melengkapi. Berkaitan dengan hal tersebut, ada anggapan yang menyatakan bahwa kesadaran hukum merupakan proses psikis yang terdapat dalam diri manusia yang mungkin timbul dan mungkin pula tidak timbul. Oleh karena itu, semakin tinggi taraf kesadaran hukum seseorang, akan semakin tinggi pula tingkat ketaatan dan kepatuhannya kepada hukum, dan sebaliknya semakin rendah tingkat kesadaran hukum seseorang maka ia akan banyak melakukan pelanggaran terhadap ketentuan hukum, sehingga tidak mengherankan kalau ada yang merumuskan kesadaran hukum itu sebagai suatu keseluruhan yang mencakup pengetahuan tentang hukum, penghayatan fungsi hukum, dan ketaatan kepada hukum.

Sumber: http://id.shvoong.com/law-and-politics/constitutional-law/2027068-prinsip-penegakkan-hukum/#ixzz1rRU6U8oM