Kajian Faktor Lingkungan Fisik Pinus merkusii Jungh et de ...
SISTEM AGROFORESTRI PINUS (Pinus merkusii) DAN JAHE ( L ...repository.ub.ac.id/6296/1/LILIS...
Transcript of SISTEM AGROFORESTRI PINUS (Pinus merkusii) DAN JAHE ( L ...repository.ub.ac.id/6296/1/LILIS...
SISTEM AGROFORESTRI PINUS (Pinus merkusii) DAN JAHE (Zingiber officinale L.) DENGAN TUMPANGSARI
TANAMAN PERKEBUNAN DAN SAYURAN
Oleh :
LILIS IRJAYANTI YOOM
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS PERTANIAN MALANG
2017
SISTEM AGROFORESTRI PINUS (Pinusmerkusii) DAN JAHE (Zingiber officinale L.) DENGAN TUMPANGSARI TANAMAN PERKEBUNAN DAN
SAYURAN
Oleh :
Lilis Irjayanti Yoom
105040206111002
MINAT BUDIDAYA PERTANIAN PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana Pertanian Strata Satu (S-1)
UNIVERSITAS BRAWIJAYA FAKULTAS PERTANIAN
JURUSAN BUDIDAYA PERTANIAN MALANG
2017
SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi yang berjudul
“Sistem Agroforestri Pinus (Pinus merkusii) dan Jahe (Zinggiber officinale L.)
dengan Tumpangsari Tanaman Sayuran dan Perkebunan” merupakan hasil penelitian
saya sendiri, dengan bimbingan komisi pembimbing. Skripsi ini tidak pernah
diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi manapun
dan tidak terdapat karya atau pendapat yang ditulis atau diterbitkan orang lain,
kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya dalam daftar pustaka.
Malang, Agustus 2017
Lilis Irjayanti Yoom
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kota Timika, Papua pada tanggal 09 September 1992.
Penulis merupakan anak ketiga dari empat bersaudara dengan Ayah bernama Robert
Yoom (Alm) dan Ibu bernama Sudarmi. Penulis menempuh pendidikan di TK Advent
Timika Kemudian penulis melanjutkan pendidikan di SD Advent Timika. Kemudian
penulis melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 2 Mimika Timur mulai tahun 2006
hingga 2008. Selanjutnya pendidikan di SMA Advent Timika, 2008 hingga 2010.
Pada tahun 2010 penulis diterima di Program Studi Agroekoteknologi Fakultas
Pertanian Universitas Brawijaya melalui Jalur Daerah (SPKD).
Semasa kuliah di Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, penulis sempat
aktif menjadi panitia pada acara Jurusan Budidaya Pertanian yaitu Budidaya
Pertanian Interaktif pada tahun 2012. Penulis mengikuti Magang Kerja di
BALITKABI Jayapura, Papua pada tahun2013.
Skripsi ini kupersembahkan untuk
Kedua Orang tua tercinta serta Kakak dan Adik tersayang
RINGKASAN
Lilis Irjayanti Yoom. 105040206111002. Sistem Agroforestri Pinus (Pinus merkusii) dan Jahe (Zingiber officinale L.) dengan Tumpangsari Tanaman Perkebunan dan Sayuran. Di bawah bimbingan Dr. Ir. Agus Suryanto, MS. sebagai pembimbing utama.
Penanaman jahe di di bawah tegakan pohon yang didominasi pinus dapat
dilakukan dengan beberapa pola tanam tumpangsari sebagai upaya optimalisasi daya guna lahan. Umur jahe sampai panen yang cukup lama (8-10 bulan) memungkinkan penanaman jahe ditumpangsarikan dengan tanaman semusim seperti sayuran yang berumur 2-3 bulan, sehingga dapat menambah pendapatan petani. Beberapa jenis tanaman yang banyak diusahakan di bawah tegakan pinus antara lain kopi, talas dan berbagai jenis sayuran seperti cabe, wortel, sawi, kubis, dan cauliflower (bunga kol). Tujuan penelitian ini adalah mempelajari hubungan antara faktor lingkungan tumbuh (intensitas radiasi matahari, suhu uadara, suhu tanah dan kelembaban udara) dengan hasil tanaman jahe yang ditanam di bawah tegakan pinus pada berbagai sistem tumpangsari.
Lokasi penelitian adalah di kawasan hutan pendidikan dan penelitian Universitas Brawijaya (UB Forest), yang terletak di kaki lereng Gunung Arjuna pada koordinat 7049’300’’ – 7051’363’’ LS dan 112034’378’’ – 112036’526’’ BT, Kecamatan Karangploso, Kabupaten Malang pada ketinggian 1000 m dpl.Penelitian dilaksanakan selama ±1 minggu yaitu pada minggu terakhir bulan Juli - Agustus 2017. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah hygrometer, soil PH meter, lux meter,timbangan, oven, cangkul dan peralatan tulis. Sedangkan bahan yang dgunakan dalam penelitian ini merupakan rimpang jahe gajah (Zingiber officinale L.) dari hasil panen. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode observasi langsung di lapang yang bersifat deskriptif, yaitu melakukan analisa dan interpretasi suhu udara rata-rata, maksimum dan minimum (ºC), suhu tanah (ºC), kelembaban nisbi udara (RH) (%) dan intensitas radiasi matahari (Lux meter) pada penelitian pola tanam jahe secara tumpangsari yang biasa dilakukan oleh petani di kawasan UB Forest di bawah tegakan pohon pinus. Rancangan penelitian yang digunakan ialah Rancangan Acak Kelompok (RAK) sederhana dengan 4 perlakuan, masing-masing perlakuan diulang 4 kali. Adapun perlakuan pola tanam yang digunakan pada penelitian ini ialah sebagai berikut:Pola tanam I: Pinus + jahe, Pola tanam II: Pinus + kopi + jahe, Pola tanam III: Pinus + talas + jahe, Pola tanam IV: Pinus + sayuran + jahe. Data pengamatan yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan uji BNT (Beda Nyata Terkecil) pada taraf 5%.
Agroforestri pinus (Pinus merkusii) dan Jahe (Zingiber officinale L.) dengan tumpangsari tanaman sayuran dan perkebunan menunjukan tidak berpengaruh nyata terhadap variabel panen yaitu jumlah rimpang per rumpun tanaman dan bobot kering rimpang per m2. Dan pada bobot basah rimpang per m2 menunjukan pengaruh nyata terhadap perlakuan tanaman jahe (Zingiber officinale L.) dibawah tegakan pinus (Pinus merkusii) terhadap tumpangsari tanaman sayuran dan perkebunan.
SUMMARY
Lilis Irjayanti Yoom. 105040206111002. Pine Agroforestry System (Pinus merkusii) and Ginger (Zingiber officinalis L.) with Intercropping Plantation and Vegetable Crops. Under the guidance of Dr. Ir. Agus Suryanto, MS. as the main supervisor
The planting of ginger under the pine-dominated stands can be done with several
intercropping cropping patterns as an effort to optimize the land use. Ginger age until the harvest is long enough (8-10 months) allows planting ginger intercropping with seasonal crops such as vegetables 2-3 months old, so as to increase farmers' income. Some types of plants are cultivated under pine stands such as coffee, taro and various types of vegetables such as chillies, carrots, cabbage, cabbage, and cauliflower (cauliflower). These types of commodities can be agronomically planted intercropping with ginger, but in combining intercropping plants should consider the existence of competition, especially in terms of receiving sunlight and nutrients. The purpose of this study was to study the relationship between environmental factors of growth (intensity of solar radiation, temperature uadara, soil temperature and air humidity) with ginger plant yields planted under pine stands on various intercropping systems.
The research location is in UB Forest education and research area (UB Forest), located at the foot of the slopes of Mount Arjuna at coordinates 7049'300 '' - 7051'363 '' LS and 112034'378 '' - 112036'526 '' BT , District Karangploso, Malang Regency at an altitude of 1000 m above sea level. The research was conducted for ± 1 week that is in the last week of July - August 2017. The tool used in this research is hygrometer, soil PH meter, lux meter, scales, oven, hoe and stationery. While the material used in this study is the ginger rhizome of the elephant (Zingiber officinaleL.) from the harvest. The method used in this research is a direct observation method in the field which is descriptive, ie conducting analysis and interpretation of average, maximum and minimum air temperature (ºC), soil temperature (ºC), air relative humidity (RH) (%) and The intensity of solar radiation (Lux meter) in the study of cropping pattern of ginger intercropping is commonly done by farmers in the UB Forest area under pine trees. The research design used was simple Randomized Block Design (RAK) with 4 treatments, each treatment was repeated 4 times. The planting pattern used in this research is as follows: Planting pattern I: Pinus + ginger, Planting pattern II: Pinus + Coffee + ginger, Cropping pattern III: Pinus + talas + ginger, Cropping pattern IV: Pinus + vegetables + ginger . The observed data were analyzed by using BNT test (Beda Real Smallest) at 5% level. Based on the result of the research, Pine agroforestry (Pinus merkusii) and Ginger (Zingiber oficinale L.) with intercropping of vegetable and plantation crops showed no significant effect on harvest variables, namely the number of rhizomes per plant and dry weight of rhizome per m2. And on the wet weight of rhizome per m2 showed a real effect on the treatment of ginger plants (Zingiber officinale L.) under pine stand (Pinus merkusii) against intercropping of vegetable crops and plantations.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan atas Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi penelitian
dengan judul “SISTEM AGROFORESTRI PINUS (Pinus merkusii) DAN JAHE
(Zingiber officinalis. L) DENGAN TUMPANGSARI TANAMAN
PERKEBUNAN DAN SAYURAN”. Penelitian ini merupakan kewajiban bagi setiap
mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya dalam rangka menyelesaikan
studi di program strata satu (S-1).
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1. Dr. Ir. Agus Suryanto, MS.sebagai dosen pembimbing utama atas pengarahan dan
bimbingan yang diberikan.
2. Dr. Ir. Nurul Aini, MS. Sebagai Ketua Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas
Pertanian Universitas Brawijaya yang telah memberikan izin dan bimbingan untuk
melaksanakan skripsi.
3. Nur Azizah, SP., MS. atas pengarahan dan kepercayaan untuk mengikuti proyek
penelitian tentang “Sistem Agroforestri Pinus (Pinus merkusii) dan Jahe (Zingiber
officinale L.) dengan Tumpangsari Tanaman Sayuran dan Perkebunan”.
4. Dr. Ir. Sitawati, MS. Sebagai dosen penguji pembahas.
5. Dewi Ratih R.D, SP., MP yang telah senantiasa mengajarkan, memberi arahan
serta motivasi kepada penulis.
6. Kedua orang tua penulis, Alm. Robert Yoom dan Ibu Sudarmi atas kasih sayang,
motivasi dan dukungan yang tiada henti baik moril maupun materil,serta doa yang
telah memberikan kekuatan lahir batin.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi penelitian ini masih
terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, saran yang membangun sangat penulis
harapkan demi perbaikan Skripsi ini.
Malang, Agustus2017
Penulis
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN…………………………................................. i RINGKASAN………………………….......................................................... ii SUMMARY…………………………............................................................. iii KATA PENGANTAR…………………………............................................ iv RIWAYAT HIDUP………………………………………............................. v DAFTAR ISI………………………………………....................................... vi DAFTAR TABEL ……………………………………….............................. vii DAFTAR GAMBAR...................................................................................... viii I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ................................................................................. 1 1.2 Tujuan Penelitian ............................................................................... 2 1.3 Hipotesis .......................................................................................... 2 II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Persyaratan Tumbuh Tanaman Jahe ................................................... 3 2.2 Pengaruh Faktor Lingkungan Pada Produksi dan Kualitas Jahe .......... 4 2.3 Pertumbuhan Tanaman Jahe Pada Pola Tanam Dengan Sistem
Agroforestry ...................................................................................... 6 2.4 SuhuUdara.................................……………………………………... 8
2.5 Kelembapan ...................................................................................... 8 2.6 RadiasiMatahari ................................................................................ 9 . 2.7 Suhu Tanah ....................................................................................... 9 III. METODE PELAKSANAAN
3.1 Waktu dan Tempat ............................................................................ 11 3.2 Alat dan bahan ................................................................................... 11 3.3Perlakuan dan rancangan percobaan....................................................... 11 3.4 Pengamatan Percobaan ...................................................................... 11 3.5 Pelaksanaan Percobaan ...................................................................... 12 3.6 Analisis Data ..................................................................................... 13
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil ..................................................................................................... 13 4.1.1 Data Lingkungan Mikro ............................................................... 13 4.1.2 Jumlah Rimpang Per Rumpun Tanaman ..................................... 17 4.2 Pembahasan ......................................................................................... 35 V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan.............………………………………………………….. 20 5.2 Saran........................…………………………………………………. 20
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………… 21
LAMPIRAN………………………………………………………....……… 22
DAFTAR TABEL
No Teks Hal
1. Tabel 1. Rerata Jumlah Rimpang Per Tanaman Jahe (g/tan).......................... 17
2. Tabel 2. Rerata Bobot Basah Rimpang Jahe (g/tan)........................................18
3. Tabel 3. Rerata Bobot Kering Rimpang Jahe (g/tan)........................................19
DAFTAR GAMBAR
No Teks Hal
1. Gambar 1. Suhu Maksimum dan Suhu Minimum pada Sistem Agroforestri
Pinus (Pinus merkusii) dan Jahe (Zingiber officinalis L.) dengan Tumpangsari
Tanaman Perkebunan dan
Sayuran............................................................................................................13
2. Gambar 2. Kelembapan (RH) (Max %) pada Sistem Agroforestri Pinus
(Pinus merkusii) dan Jahe (Zingiber officinalis L.) dengan Tumpangsari
Tanaman Perkebunan dan
Sayuran...................................................................................................... .....14
3. Gambar 3. Intensitas Radiasi Matahari pada Sistem Agroforestri Pinus (Pinus
merkusii) dan Jahe (Zingiber officinalis L.) dengan Tumpangsari Tanaman
Perkebunan dan
Sayuran........................................................................................................... 15
4. Gambar 4. Suhu Tanah pada Sistem Agroforestri Pinus (Pinus merkusii) dan
Jahe (Zingiber officinalis L.) dengan Tumpangsari Tanaman Perkebunan dan
Sayuran............................................................................................................16
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Jahe (Zingiber officinale L.) sebagai salah satu tanaman temu-temuan banyak
digunakan sebagai bumbu, bahan obat tradisional, manisan, atau minuman penyegar,
dan sebagai bahan komoditas ekspor nonmigas andalan. Pasokan jahe dari Indonesia
ke negara pengimpor jahe dalam beberapa tahun terakhir ini cukup meningkat. Akan
tetapi, peningkatan permintaan akan jahe belum dapat diimbangi dengan peningkatan
produksi jahe. Jahe Indonesia diekspor ke beberapa negara tujuan antara lain Jepang,
Emirat Arab, Malaysia dalam bentuk jahe segar, jahe kering dan olahan (Paimin dan
Murhananto, 1999).
Kementerian Pertanian (2008) melaporkan bahwa lebih dari 40 produk obat
tradisional menggunakan jahe sebagai bahan baku, sehingga jahe menjadi salah satu
tanaman yang dibutuhkan dalam jumlah besar untuk industri kecil obat tradisional
(IKOT) maupun industri obat tradisional (IOT). Hasil survei Balai Penelitian
Tanaman Obat dan Aromatik Kementerian Pertanian (2008) di beberapa IKOT dan
IOT di tujuh provinsi utama pengembangan industri obat tradisional menunjukkan
bahwa volume kebutuhan jahe untuk industri mencapai lebih dari 47.000 ton tiap
tahun, belum termasuk kebutuhan industri obat tradisional di luar pulau Jawa
(Siagian, 2014). Oleh karena itu, produksi jahe diharapkan terus meningkat dan stabil
untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Salah satu upaya peningkatan produksi jahe
ialah perluasan area budidaya jahe di bawah tegakan pohon dalam sistem agroforestri.
Model pengembangan agroforestri ini mempunyai prospek yang cukup baik
dalam kontribusinya terhadap peningkatan pendapatan petani disamping untuk
menjaga keamanan dan kelestarian hutan bersama masyarakat atau petani sekitar
hutan (Mayrowani dan Ashari, 2011; Triwanto, 2011). Hal ini dikarenakan wilayah
UB Forest cukup luas (544 ha) dan didominasi oleh jenis tanah Andisol yaitu tanah
yang relatif subur karena berasal dari bahan induk abu vulkanik. Kondisi tersebut
sesuai dengan syarat tumbuh jahe yang menghendaki jenis tanah Latosol, Aluvial,
atau Andosol dengan tekstur tanah lempung, lempung berpasir sampai liat berpasir,
2
subur, gembur, banyak mengandung bahan organik, pH tanah 6,8-7,4, curah hujan
2.500 - 4.000 mm per tahun dan intensitas cahaya matahari 70-100 % atau agak
ternaungi sampai terbuka dan (Sukarman dan Melati, 2011).
Penanaman jahe di di bawah tegakan pohon yang didominasi pinus dapat
dilakukan dengan beberapa pola tanam tumpangsari sebagai upaya optimalisasi daya
guna lahan. Umur jahe sampai panen yang cukup lama (8-10 bulan) memungkinkan
penanaman jahe ditumpangsarikan dengan tanaman semusim seperti sayuran yang
berumur 2-3 bulan, sehingga dapat menambah pendapatan petani. Beberapa jenis
tanaman yang banyak diusahakan di bawah tegakan pinus antara lain kopi, talas dan
berbagai jenis sayuran seperti cabe, wortel, sawi, kubis, dan cauliflower (bunga kol).
Jenis-jenis komoditas tersebut secara agronomis dapat ditanam secara tumpangsari
dengan jahe, namun dalam mengkombinasikan tanaman tumpangsari harus
mempertimbangkan adanya kompetisi terutama dalam hal penerimaan cahaya
matahari dan unsur hara.
1.2 Tujuan
Mempelajari hubungan antara faktor lingkungan tumbuh (intensitas radiasi
matahari, suhu udara, suhu tanah dan kelembapan udara) dengan hasil tanaman jahe
yang ditanam di bawah tegakan pinus pada berbagai sistem tumpangsari.
1.3 Hipotesis
Semakin kurang pencahayaan akan semakin menurunkan produksi tanaman
jahe (Zingiber officinale L.).
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tanaman Jahe
Jahe ialah tanaman dari famili Zingiberaceae yang dimanfaatkan rimpangnya
sebagai bahan baku biofarmaka. Tanaman ini tumbuh di hampir seluruh wilayah
Indonesia karena sifatnya yang toleran terhadap berbagai kondisi lingkungan. Namun
demikian, untuk mendapatkan produksi rimpang yang tinggi, jahe harus ditanam pada
kondisi lingkungan yang optimal untuk pertumbuhannya.
Faktor iklim dan tanah adalah faktor lingkungan yang paling berpengaruh
pada produktivas dan mutu rimpang. Beberapa faktor iklim yang menjadi syarat
tumbuh jahe adalah intensitas cahaya matahari, suhu, dan curah hujan. Sukarman dan
Melati (2011) menjelaskan bahwa agar didapatkan pertumbuhan dan hasil yang
optimal, budidaya jahe sebaiknya dilakukan di lahan dengan tipe iklim A, B, dan C
(Schmidt dan Ferguson), ketinggian tempat 300 - 900 dpl, temperatur rata-rata 25-
30ºC, jumlah bulan basah 7-9 bulan dengancurah hujan 2.500 - 4.000 mm per tahun
dan intensitas cahaya matahari 70-100 % atau agak ternaungi sampai terbuka.
Jahe adalah tanaman yang toleran terhadap naungan. Tanaman ini dapat
menjalankan siklus hidupnya secara normal meskipun tanpa mendapat intensitas cahaya
penuh (Hasanah, 1993). Menurut Rostiana et al. (2005), tanaman jahe mampu tumbuh
di bawah naungan hingga 30% dengan konsekuensi produktivitasnya tidak maksimal.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jahe merah dapat tumbuh baik dengan intensitas
naungan 25-50% dan jahe emprit tumbuh baik dengan intensitas naungan 50%
(Inoriah et al., 2002), sedangkan pada jahe gajah, pemberian naungan hingga 75%
memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan tanaman jahe gajah yang tidak dinaungi
(Pamuji dan Saleh, 2010).
Selain iklim, faktor tanah juga berperan penting dalam menentukan
produktivitas jahe. Tekstur tanah dan drainase sangat mempengaruhi pembentukan
rimpang. Rostiana, Effendi dan Barmawie (2007) menjelaskan bahwa tekstur tanah
yang cocok untuk jahe adalah lempung sampai lempung liat berpasir. Pembentukan
rimpang akan terhambat pada tanah dengan kadar liat tinggi dan drainase kurang
baik. Jenis tanah yang cocok Latosol, Aluvial, dan Andosol dengan tekstur tanah
4
lempung, lempung berpasir sampai liat berpasir, subur, gembur, banyak mengandung
bahan organik, pH tanah 6,8-7,4 (Sukarman dan Melati, 2011).
Dalam hal kesuburan tanah, jahe membutuhkan berbagai macam unsur hara
baik makro maupun mikro untuk pertumbuhannya. Djazuli dan Sukarman (2007)
melaporkan agroekologi dengan ketinggian 500 m dpl dengan kandungan hara makro
khususnya NPK yang tinggi menghasilkan produksi rimpang yang lebih tingggi
dibandingkan produksi jahe di agroekologi ketinggian 800 m dpl. dengan tingkat
kesuburan lahan yang lebih rendah.
2.2 Pengaruh Faktor Lingkungan Pada Produksi dan Kualitas Jahe
Produktivitas jahe dipengaruhi oleh banyak faktor lingkungan tumbuh
tanaman, diantaranya adalah stres air, intensitas cahaya, konsentrasi CO2 dan
salinitas. Sebelum berpengaruh terhadap produktivitas, stres air, intensitas cahaya,
konsentrasi CO2 dan salinitas lahan akan mempengaruhi perubahan karekter fisiologi
dan morfologi tanaman terlebih dahulu. Lebih kurang 80% dari seluruh bagian
tanaman hidup adalah air, sehingga apabila tanaman kekurangan air maka akan
terjadi penurunan aktivitas biosintesa dan perubahan karakter fisiologis dan
morfologis tanaman.
Cahaya matahari mempunyai fungsi yang sangat penting pada aktivitas
fotosintesa, apabila terjadi penurunan aktivitas fotosintesa maka akan terjadi
perubahan karakteristik fisiologis dan morfologis tanaman, dampak berikutnya adalah
penurunan produktivitas tanaman. Karbon dioksida merupakan bahan utama pada
aktifitas fotosintesa. Apabila keberadaan CO2 di udara berkurang maka akan
mengurangi aktifitas fotosintesa, dan terjadilah perubahan karakter fisiologis maupun
morfologi tanaman jahe yang dampaknya adalah penurunan produktivitas tanaman.
Tanaman jahe pada umumnya kurang toleran tarhadap salinitas, sehingga
apabila ditanam dalam lahan salin akan terjadi penurunan produktivitas. Namun
dengan penerapan teknologi budidaya kondisi salin dapat diperbaiki (Rahardjo,
2011).
5
Air merupakan bagian yang terpenting di dalam tanaman, lebih kurang 80%
dari tanaman merupakan air. Air merupakan medium zat-zat lain yang diangkut dari
satu sel ke sel lain di dalam tanaman. Tanaman yang kekurangan air terlihat daunnya
layu, apabila tanaman kemudian mendapat air dan tanaman segar kembali, maka
kondisi ini disebut layu sementara. Apabila kerurangan air terus berlanjut maka
berikutnya akan terjadi layu permanen, tanaman akan mati walaupun diberi air.
Pengaruh stres air pada tanaman jahe dapat menurunkan jumlah klorofil dan kadar
prolin (Bhosale dan Shinde 2011).
Intensitas cahaya berpengaruh terhadap aktivitas pertumbuhan, perubahan
morfologi dan karakter fisiologis, aktivitas metabolisme metabolit primer dan
sekunder. Intensitas cahaya berpengaruh nyata terhadap akumulasi biomas, dengan
meningkatnya intensitas cahaya akumulasi biomas jahe meningkat secara nyata.
Akumulasi biomas jahe tertinggi diperoleh apabila ditanam di bawah intensitas
cahaya sebesar 800 µmol m-2s-1. Intensitas cahaya 790 µmol m-2s-1 dapat
meningkatkan pertumbuhan dan akumulasi biomas tanaman jahe, karena
meningkatnya asam salisilat pada tanaman. Asam salisilat dapat meningkatkan
pertumbuhan tanaman.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada asam salisilat (100 ppm) dapat
meningkatkan tinggi tanaman, luas daun, laju pertumbuhan tanaman dan total
produksi bahan kering pada tanaman jagung (Nagasubramaniam et al., 2007). Selain
berpengaruh terhadap biosintesa metabolit primer seperti karbohidrat, intensitas
cahaya juga mempengaruhi biosintesa metabolit sekunder disebut juga bioaktif.
Molekul-molekul bioaktif jahe diantaranya adalah 6-gingerol, flavonoid dan
asam fenolat. Intensitas cahaya juga mempengaruhi kandungan flavonoid dan fenol,
pada tingkat intensitas cahaya rendah (310 μmol m−2s−1) flavonoid dan penol di daun
maupun di rimpang lebih tinggi dibandingkan dengan intensitas cahaya penuh.
Budidaya jahe untuk menghasilkan metabolit sekundar yang tinggi, maka jahe
ditanam di bawah naungan, dan sebaliknya apabila ingin mendapatkan produksi
rimpang tinggi jahe tanpa mengindahkan bahan bioaktf maka jahe ditanam di tempat
6
yang mendapat penyinaran matahari penuhpeningkatan dan pemeliharaan kesehatan
(Ghasemzadeh et al., 2010).
Peningkatan konsentrasi CO2 berpengaruh negatif terhadap lingkungan,
namun mempunyai arti positif bagi pertumbuhan tanaman. Menurut hasil penelitian
Ghasemzadeh dan Jaafar (2011), semakin tinggi konsentrasi CO2 yang diberikan ke
tanaman jahe mampu meningkatan laju fotosintesa, konduktansi stomata, efisiensi
penggunaan air, total akumulasi biomas tanaman dan batang, daun serta rimpang.
Produktivitas tanaman jahe dapat meningkat dengan meningkatnya konsentrasi CO2
yang diberikan. Laju fotosintesa berkorelasi positif terhadap efisiensi penggunaan
air, akumulasi biomas, total karbohidrat terlarut, pati, total fenol dan total falvonoid,
namun berkorelasi negatif terhadap konduktansi stomata walaupun tidak nyata.
Peningkatan laju fotosintesa meningkatkan efisiensi penggunaan air, akumulasi
biomas, total karbohidrat terlarut, pati, total penol dan total flavonoid.
Jahe pada dasarnya sensitif terhadap lahan salin sehingga produksinya
menurun apabila ditanam pada lahan yang bersifat salin (Ahmad et al. 2009). Hal ini
terjadi karena tanaman mengalami toksisitas natrium berlebihan pada daerah
perakaran tanaman. Tanaman jahe kurang mempunyai kemampuan untuk
memindahkan ion natrium ke vakuola sel, sehingga menimbulkan keracunan natrium
di sel tanaman. Ion natrium di dalam sitoplasma menghambat aktivitas enzim
menyebabkan kematian sel tanaman akibat kerusakan dinding sel.
Meningkatnya kadar garam pada air pengairan brepengaruh terhadap
penurunan akumukasi bahan kering tanaman dan produksi rmpang jahe. Semakin
tinggi kadar garam air pengairan semakin besar penurunan akumulasi bobot kering
dan hasil rimpang jahe. Pengaruh salinitas terhadap tanaman yang kurang toleran
mengakibatkan penurunan kandungan protein daun (Ashraf dan Waheed, 1993;
Parida dan Das, 2005). Tanaman yang toleran terhadap salinitas seperti barley, bunga
matahari, dan millet pada kondisi salin kandungan protein daun tetap tinggi tidak
terjadi penurunan (Amini dan Ehsanpour, 2005).
7
2.3 Pertumbuhan Tanaman Jahe Pada Pola Tanam Dengan Sistem
Agroforestry
Jahe dapat ditanam dengan sistem monokultur maupun polikultur. Sistem
polikultur dilakukan dengan mengatur jarak tanam yaitu mengatur jumlah baris dalam
guludan/bedengan jahe dan menyisipkan satu atau dua baris tanaman tumpangsari
(jagung, kacang tanah, kedele, cabai merah) di antara jahe. Pola tanam jahe lebih
ditujukan untuk meningkatkan produktivitas lahan serta mengurangi risiko kegagalan
panen. Selain itu, jahe juga dapat dijadikan tanaman sisipan di antara tegakan pohon
kelapa atau tanaman kehutanan seperti sengon, jati dll. dengan tingkat naungan +
30% (Rostiana, et al. 2007).
Berdasarkan besarnya permintaan akan kebutuhan tanaman obat dan
keterbatasan lahan pertanian untuk dijadikan areal pengembangan budidaya tanaman
obat maka diperlukan intensifikasi lahan dengan menerapkan pola agroforestri.
Agroforestri adalah suatu sistem pengelolaan lahan secara intensif dengan
mengkombinasikan tanaman kehutanan dan tanaman pertanian dengan maksud agar
diperoleh hasil yang maksimal dari kegiatan pengelolaan hutan tersebut dengan tidak
mengesampingkan aspek konservasi lahan serta budidaya praktis masyarakat lokal
(Anggraeni dan Wibowo, 2007). Pengembangan tanaman obat di sektor kehutanan
dapat dilakukan melalui pola agroforestri dengan memanfaatkan lahan di bawah
tegakan. Model pengembangan agroforestri mempunyai prospek yang cukup baik
dalam kontribusinya terhadap peningkatan pendapatan petani disamping untuk
menjaga keamanan dan kelestarian hutan bersama masyarakat atau petani sekitar
hutan (Mayrowani dan Ashari, 2011; Triwanto, 2011).
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan dan produksi
jahe yang ditanam pada sistem agroforestri di bawah tegakan pohon cukup baik dan
mampu menambah penghasilan petani. Hasil penelitian Gunawan dan Rohandi
(2014) yang menguji 3 jenis tanaman jahe yaitu jahe putih kecil (JPK), jahe putih
besar (JPB) dan jahe merah (JM) yang ditanam pada tiga kelas umur yaitu tegakan
pinus kelas umur I (50-58%), II (68–77%), dan MR (87-92%), menunjukkan bahwa
persentasi tumbuh terbaik diperoleh pada jenis jahe merah, sedangkan persentase
8
tumbuh terbaik untuk perlakuan naungan diperoleh pada intensitas cahaya 50-58%
(kelas umur I).
Persentase tumbuh pada masing-masing kelas umur memperlihatkan bahwa
pada kelas umur I persentase tumbuhnya paling tinggi (81,48%) disusul kelas umur II
(80,28%) dan kelas umur MR (75,30%). Sedangkan berdasarkan jenis jahe,
persentase tumbuh paling tinggi adalah jenis jahe merah (96,30%) dan paling rendah
jenis jahe putih (61,73%). Sementara itu, persentase jahe putih kecil berada diantara
keduanya (79,01%). Pertumbuhan tinggi tanaman jahe pada masing-masing naungan
memperlihatkan bahwa intensitas cahaya 87-92% (MR) mempunyai pertumbuhan
paling tinggi dibandingkan tingkat naungan lainnya. Hal ini disebabkan pada kelas
umur MR intensitas cahayanya paling tinggi.
Wahyuni et al. (2013) yang menjelaskan bahwa pemberian naungan
berpengaruh nyata terhadap partumbuhan dan berat rimpang dari tanaman jahe
merah. Taiz dan Zeiger (1991) menyatakan distribusi spektrum cahaya matahari yang
diterima oleh daun di permukaan tajuk lebih besar dibanding dengan daun di bawah
naungan. Pada kondisi ternaungi cahaya yang dapat dimanfaatkan untuk proses
fotosintesis sangat sedikit. Sementara itu, Cruz (1997) menyatakan naungan dapat
mengurangi enzim fotosintetik yang berfungsi sebagai katalisator dalam fiksasi CO2
dan menurunkan titik kompensasi cahaya. Lambers et al. (1998), naungan
mengurangi radiasi sinar utama yang aktif pada fotosintesis sehingga berakibat
menurunnya asimilasi neto. Oleh sebab itu, cahaya sangat berperan dan berpengaruh
terhadap pertumbuhan tanaman jahe di lapangan.
Jahe yang ditanam di tempat ternaungi memiliki daun yang membesar, tetapi
rimpang yang dihasilkan akan mengecil. Mengecilnya daun tersebut merupakan
respon morfologis tanaman jahe terhadap terbatasnya intensitas cahaya (Emmyzar,
1997). Menurut Djukri (2006), perubahan ukuran luas daun serta kadar klorofil a dan
b akibat pengaruh naungan tanaman, erat kaitannya dengan perubahan bobot basah
umbi dan bobot kering umbi. Peningkatan kadar klorofil b yang lebih tinggi dari pada
klorofil a merupakan upaya tanaman mengefisiensikan penangkapan energi cahaya
untuk fotosintesis, namun belum mampu mengatasi penurunan hasil (bobot basah dan
9
bobot kering umbi). Oleh sebab itu, apabila tanaman jahe ini akan dikembangkan di
bawah tegakan, sebaiknya dilakukan pengaturan penanaman untuk mengoptimalkan
penerimaan cahaya.
Sudiarto (1978) menjelaskan bahwa tanaman jahe akan lebih baik jika
mendapatkan banyak sinar matahari, sehingga jika penanaman dilakukan dengan pola
agroforestri maka harus memperhatikan tata letak jahe agar tidak ternaungi.
2.4 Suhu Udara
Suhu merupakan salah satu unsur iklim yang mempunyai peranan penting
dalam kehidupan organisme di permukaan bumi. Setiap jenis organisme mempunyai
kebutuhan suhu yang berbeda–beda. Batas kebutuhan suhu dikenal dengan suhu
kardinal, yaitu kisaran yang diperlukan oleh setiap jenis organisme untuk mampu
bertahan hidup. Suhu kardinal ini berada pada kisaran suhu minimum sampai suhu
maksimumnya masing –masing. Suhu minimum adalah suhu terendah bagi suatu
organisme untuk dapat bertahan hidup meskipun aktivitasnya nol, sedangkan suhu
maksimum adalah suhu batas tertinggi, dimana organisme mampu bertahan hidup
walaupun aktivitasnya nol (Ariffin, 2003).
Menurut Fandeli (2004), Konsentrasi penduduk di bagian wilayah kota
tertentu ditambah dengan adanya industri dan perdagangan serta transportasi kota
yang padat menyebabkan terjadinya thermal pollution yang kemudian membentuk
pulau panas atau heatisland. Beberapa pulau panas biasanya dapat ditemukan dalam
suatu kota. Pulau –pulau panas terjadi karena adanya emisi panas yang direfleksikan
dari permukaan bumi ke atmosfer.
Mengenai proses terjadinya gejala pulau panas, Grey dan Deneke (1986)
dalam Fandeli (2004) menjelaskan bahwa, sinar matahari yang sampai ke permukaan
bumi mengalami proses refleksi, transmisi, dan absorbsi. Pulau panas pada umumnya
terdapat pada bagian wilayah kota yang tidak bervegetasi, karena pada wilayah yang
tidak bervegetasi, ketiga proses tersebut saling bersinergi dalam meningkatkan suhu
udara.
10
2.5 Kelembaban
Kelembaban udara merupakan situasi kandungan uap air yang ada di udara
pada waktu dan tempat tertentu. Keberadaan uap di udara mempunyai peranan sangat
penting karena akan sangat menentukan kemungkinan proses pembentukan awan
maupun hujan. Selain itu uap air akan berperan melindungi permukaan bumi terhadap
besarnya pengaruh radiasi infra merah yang dipancarkan oleh matahari maupun
sumber lain.
Air merupakan komponen lingkungan yang sangat penting di permukaan
bumi. Didalam air mempunyai terdiri dari 3 fase, yaitu fase gas dalam bentuk uap
air, fase cair, fase padat atau kristal. Kelembaban udara merupakan komponen cuaca
yang mempunyai peranan sangat penting bagi stabilitas kehidupan organisme dibumi
maupun unsur–unsur cuaca yang lain. Kelembaban udara diartikan sebagai
kandungan uap air di atmosfer dalam kurun waktu tertentu. Semakin tinggi
kelembaban udara maka jumlah uap air yang ada di udara semakin banyak (Ariffin,
2003).
2.6 Radiasi Matahari
Matahari merupakan sumber energi bagi segala aktifitas organisme hidup
dipermukaan bumi. Lebih dari 99% dari energy yang dipergunakan untuk berbagai
aktifitas di permukaan bumi berasal dari matahari dan sisanya berasal dari aktifitas
vulkanik, proses penghancuran sisa–sisa organisme yang mati, proses fermentasi
serta pembakaran fosil –fosil yang tersimpan dalam tanah, seperti minyak bumi, batu
bara, mineral. Pada dasarnya setiap permukaan bai permukaan tanah, air vegetasi
maupun udara/awan yang menerima radiasi matahari akan mengalami tiga kejadian
diantaranya, sebagian di absorbsi atau diserap oleh permukaan, sebagian lagi
direfleksikan (dipadukan) dan sisanya ditransmisikan ke bagian yang lebih bawah
(Ariffin, 2003).
11
2.7 Suhu Tanah
Suhu tanah merupakan suatu konsep yang bersifat luas, karena dapat
digunakan untuk menggolongkan sifat-sifat panas dari suatu sistem. Selain itu, suhu
tanah merupakan faktor penting dalam menentukan proses-proses físika yang terjadi
di dalam tanah, serta pertukaran energi dan massa dengan atmosfer, termasuk proses
evaporasi dan aerasi. Suhu tanah juga mempengaruhi proses biologi seperti
perkecambahan biji, pertumbuhan benih dan perkembangannya, perkembangan akar,
maupun aktivitas mikrobia di dalam tanah
Suhu tanah merupakan suatu konsep yang bersifat luas, karena dapat
digunakan untuk menggolongkan sifat-sifat panas dari suatu sistem. Selain itu, suhu
tanah merupakan faktor penting dalam menentukan proses-proses físika yang terjadi
di dalam tanah, serta pertukaran energi dan massa dengan atmosfer, termasuk proses
evaporasi dan aerasi. Suhu tanah juga mempengaruhi proses biologi seperti
perkecambahan biji, pertumbuhan benih dan perkembangannya, perkembangan akar,
maupun aktivitas mikrobia di dalam tanah.
Suhu tanah beragam menurut pola harian atau musiman. Di kedalaman 3 m,
suhu agak konstan. Fluktuasi suhu terbesar berada di antara udara dan tanah, daripada
di atas atau di bawah tanah. Di bawah 15 cm, variasi suhu tanah harian sangat kecil,
namun bila terdapat bahan organik di atas permukaan tanah, dapat mengurangi
fluktuasi suhu tanah.
Penggunaan mulsa dan berbagai macam naungan dapat mengurangi jumlah
radiasi matahari yang diserap tanah, hilangnya energi dari tanah akibat radiasi, dan
hilangnya air melalui evaporasi. Mulsa bahan organik yang berwarna terang dapat (1)
memantulkan sebagian radiasi matahari; (2) memperlambat hilangnya panas oleh
radiasi; (3) menaikkan infiltrasi air; dan (4) mengurangi evaporasi dari permukaan
tanah. Hal ini membuktikan, bahwa mulsa yang berwarna terang dapat mengurangi
suhu tanah, sedangkan mulsa plastik berwarna gelap dapat (1) mengabsorpsi sebagian
besar radiasi matahari; (2) mengurangi hilangnya panas dari tanah; dan (3)
mengurangi evaporasi dari permukaan tanah.
3. BAHAN DAN METODE
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan selama ±1 minggu yaitu pada minggu terakhir
bulan Juli - Agustus 2017. Lokasi penelitian adalah di kawasan hutan pendidikan
dan penelitian Universitas Brawijaya (UB Forest), yang terletak di kaki lereng
Gunung Arjuna pada koordinat 7049’300’’ – 7051’363’’ LS dan 112034’378’’ –
112036’526’’ BT, Kecamatan Karangploso, Kabupaten Malang pada ketinggian
1000 m dpl. Lahan penanaman jahe yang dipilih termasuk dalam kawasan
produksi di bawah tegakan pinus kelas umur (KU) VII.
3.2 Bahan dan Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah hygrometer, soil PH
meter, lux meter, timbangan, oven, cangkul dan peralatan tulis. Sedangkan bahan
yang dgunakan dalam penelitian ini merupakan rimpang jahe gajah (Zingiber
officinale.L) dari hasil panen.
3.3 Perlakuan dan Rancangan Percobaan
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode obsesrvasi
langsung di lapang yang bersifat deskriptif, yaitu melakukan analisa dan
interpretasi suhu udara rata-rata, maksimum dan minimum (ºC), suhu tanah (ºC),
kelembaban nisbi udara (RH) (%) dan intensitas radiasi matahari (Lux meter)
pada penelitian pola tanam jahe secara tumpangsari yang biasa dilakukan oleh
petani di kawasan UB Forest di bawah tegakan pohon pinus. Rancangan
penelitian yang digunakan ialah Rancangan Acak Kelompok (RAK) sederhana
dengan 4 perlakuan, masing-masing perlakuan diulang 4 kali. Adapun perlakuan
pola tanam yang digunakan pada penelitian ini ialah sebagai berikut:
A. Pola tanam I : Pinus + jahe
B. Pola tanam II : Pinus + kopi + jahe
C. Pola tanam III : Pinus + talas + jahe
D. Pola tanam IV : Pinus + sayuran + jahe
13
3.4 Pengamatan
Pada penelitian ini dilakukan pengamatan lingkungan dan panen.
Pengamatan lingkungan yaitu : suhu udara rata-rata, maksimum dan minimum
(ºC), suhu tanah (ºC), kelembaban nisbi udara (RH) (%) dan intensitas radiasi
matahari (Lux meter). Pengamatan dilakukan pada jam 09.00, setiap hari selama 7
hari dengan pola tanam.
Pengamatan panen dilakukan pada umur 10 BST (bulan setelah tanam)
dengan kriteria panen adalah seluruh bagian tanaman yang berada di atas
permukaan tanah (daun dan batang) telah mengering dan sebagian rimpang
muncul ke atas permukaan tanah. Panen dilaksanakan ketika musim kemarau
dengan cara membongkar seluruh rimpang menggunakan garpu atau cangkul,
kemudian tanah yang menempel dibersihkan.
3.5 Pelaksanaan
1. Pemilihan Lokasi Penelitian
Kawasan UB forest terdiri atas kawasan lindung dan kawasan produksi.
Penelitian ini dilakukan pada kawasan produksi di bawah tegakan pohon pinus
KU VII seluas ± 2500 m2, dengan kontur lahan berlereng dengan kemiringan
±30º. Lokasi ini dipilih karena tanah subur dan gembur, pernah ditanami jahe, dan
terdapat beberapa jenis komoditas pertanian sehingga dapat digunakan untuk
menguji pola tumpang sari jahe dengan beberapa jenis tanaman yang biasa
diusahakan oleh petani setempat. Pada beberapa bagian di lokasi ini ditanami
tanaman kopi yang masih berumur sekitar 2-3 tahun dan pada sisi yang lain biasa
digunakan petani untuk menanam berbagai jenis tanaman semusim seperti talas
dan sayuran. Selain itu, intersepsi cahaya matahari masih dapat masuk hingga
bagian bawah tajuk tanaman.
2. Pengamatan
1. Pengamatan Lingkungan
Pengamatan dilakukan selama ±1 minggu pada jam 09.00, setiap hari
selama 7 hari pada perlakuan A, B,C dan D dengan variabel lingkungan yang
diamati meliputi:
14
1. Suhu udara rata-rata, maksimum dan minimum (ºC) menggunakan alat
hygrometer
2. Kelembapan nisbi udara (RH) (%) menggunakan alat hygrometer
3. Suhu tanah menggunakan alat soil PH meter
4. Intensitas radiasi matahari menggunakan alat Lux meter
2. Pengamatan Panen
Pengamatan panen dilakukan pada umur 10 BST (bulan setelah panen)
dengan kriteria panen adalah seluruh bagian tanaman yang berada di atas
permukaan tanah (daun dan batang) telah mengering dan sebagian rimpang
muncul ke atas permukaan tanah. Panen dilaksanakan ketika musim kemarau
dengan cara membongkar seluruh rimpang menggunakan garpu atau cangkul,
kemudian tanah yang menempel dibersihkan. Setiap perlakuan diambil 3 sampel.
Variabel panen yang diamati meliputi:
1. Jumlah rimpang per rumpun tanaman
2. Bobot basah rimpang total per rumpun tanaman (g tan-1)
3. Bobot kering rimpang per rumpun tanaman (g tan-1)
3.6 Analisis Data
Setelah diperoleh data primer, selanjutnya dilakukan analisa dan
interpretasi data suhu udara rata-rata, maksimum dan minimum (ºC), suhu tanah
(ºC), kelembaban nisbi udara (RH) (%) dan intensitas radiasi matahari (Lux
meter). Data dimasukkan kedalam Microsoft excel untuk dianalisis sehingga
didapatkan nilai rata-rata dari perlakuan yang diamati. Untuk membandingkan
variabel yang diukur antar perlakuan dilakukan dengan analisa sidik ragam
(Anova) yang dilanjutkan dengan uji T (BNT) pada taraf 5%.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil
4.1.1 Lingkungan Mikro
a. Suhu Maksimum (OC ) dan Suhu Minimum (OC )
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa suhu maksimum pada sistem
agroferstri pinus (Pinus merkusii) dan Jahe (Zingiber officinale L.) dengan
tumpangsari tanaman perkebunan dan sayuran berkisar antara 22,210C sampai
22,800C. Suhu maksimum pada perlakuan Pinus+Jahe adalah 22,330C; suhu
maksimum pada perlakuan Pinus+Kopi+Jahe adalah 22,670C; perlakuan
Pinus+Talas+Jahe adalah 22,800C dan perlakuan Pinus+Sayuran+Jahe adalah
22,210C.
Hasil pengamatan suhu minimum pada sistem agroferstri pinus (Pinus
merkusii) dan Jahe (Zingiber officinale L.) dengan tumpangsari tanaman
perkebunan dan sayuran berkisar anatara 19,860C sampai 20,660C. Suhu
minimum pada perlakuan Pinus+Jahe adalah 20,660C; perlakuan
Pinus+Kopi+Jahe adalah 19,860C; perlakuan Pinus+Talas+Jahe adalah 20,100C
dan perlakuan Pinus+Sayuran+Jahe adalah 19,860C.
Gambar 1. Suhu Maksimum dan Suhu Minimum pada Sistem Agroforestri Pinus
(Pinus merkusii) dan Jahe (Zingiber officinale L.) dengan Tumpangsari
Tanaman Perkebunan dan Sayuran.
22.3322.67 22.80
22.21
20.66
19.86 20.10 19.94
18.00
19.00
20.00
21.00
22.00
23.00
24.00
Pinus + Jahe Pinus + Kopi + Jahe Pinus + Talas +
Jahe
Pinus + Sayuran +
Jahe
Suhu(
˚C)
Pelakuan
Suhu (Max ˚C) Suhu (Min ˚C)
16
b. Kelembapan Maksimum (RH max%) dan Kelembaban Minimum (RH
min%)
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa kelembaban maksimum pada
sistem agroferstri pinus (Pinus merkusii) dan Jahe (Zingiber officinale L.) dengan
tumpangsari tanaman perkebunan dan sayuran berkisar antara 77,00% sampai
74,29%. Kelembaban pada perlakuan Pinus+Sayuran+Jahe adalah 74,29% lebih
tinggi dibandingkan dengan perlakuan Pinus+Kopi+Jahe adalah 75,43%;
perlakuan Pinus+Jahe adalah 74,43% dan perlakuan Pinus+Talas+Jahe adalah
74,29%.
Hasil pengamatan kelembaban minimum pada sistem agroferstri pinus
(Pinus merkusii) dan Jahe (Zingiber officinale L.) dengan tumpangsari tanaman
perkebunan dan sayuran menunjukan kelembaban lebih tinggi pada perlakuan
Pinus+Sayuran+Jahe yaitu 75,26% dibandingkan dengan perlakuan pinus+jahe
adalah 74,43%; Pinus+Talas+Jahe adalah 71,17% dan perlakuan
Pinus+Kopi+Jahe adalah 75,43%.
Gambar 2. Kelembaban (RH) (Max %) pada Sistem Agroforestri Pinus (Pinus
merkusii) dan Jahe (Zingiber officinale L.) dengan Tumpangsari
Tanaman Perkebunan dan Sayuran.
74.43
75.43
74.29
77.00
74.43
71.17
72.94
75.26
68.00
69.00
70.00
71.00
72.00
73.00
74.00
75.00
76.00
77.00
78.00
Pinus + Jahe Pinus + Kopi +
Jahe
Pinus + Talas +
Jahe
Pinus + Sayuran +
Jahe
Kel
embap
an (
RH
) (%
)
Perlakuan
Kelembapan (RH) (Max%) Kelembapan (RH) (Min%)
17
c. Intensitas Radiasi Matahari (Lux Meter)
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa intensitas radiasi matahari pada
perlakuan Pinus+Sayuran+Jahe lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan
pinus+jahe; perlakuan Pinus+Kopi+Jahe dan perlakuan Pinus+Talas+Jahe. Pada
perlakuan Pinus+Kopi+Jahe adalah 19985,71 lux lebih tinggi dibandingkan
dengan perlakuan Pinus+Jahe adalah 19591,43 lux; perlakuan Pinus+Talas+Jahe
adalah 16855,71 lux dan perlakuan Pinus+Sayuran+Jahe adalah 7791,43 lux.
Gambar 3. Intensitas Radiasi Matahari pada Sistem Agroforestri Pinus (Pinus
merkusii) dan Jahe (Zingiber officinale L.) dengan Tumpangsari
Tanaman Perkebunan dan Sayuran.
d. Suhu Tanah (OC )
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa suhu tanah pada sistem agroferstri
pinus (Pinus merkusii) dan Jahe (Zingiber officinale L.) dengan tumpangsari
tanaman perkebunan dan sayuran berkisar antara 18,140C sampai 18,570C. Suhu
tanah pada perlakuan Pinus+Jahe adalah 18,570C; perlakuan Pinus+Kopi+Jahe
adalah 18,430C; perlakuan Pinus+Jalas+jahe adalah 18,430C dan perlakuan
Pinus+Sayuran+Jahe adalah 18,140C.
19591.43 19985.7118655.71
7791.43
0.00
5000.00
10000.00
15000.00
20000.00
25000.00
Pinus + Jahe Pinus + Kopi +
Jahe
Pinus + Talas +
Jahe
Pinus + Sayuran +
Jahe
Inte
nsi
tas
Rad
iasi
Mat
ahar
i(L
ux)
Perlakuan
Pinus + Jahe Pinus + Kopi + Jahe Pinus + Talas + Jahe Pinus + Sayuran + Jahe
18
.
Gambar 4. Suhu Tanah pada Sistem Agroforestri Pinus (Pinus merkusii) dan Jahe
(Zingiber officinale L.) dengan Tumpangsari Tanaman Perkebunan dan
Sayuran.
4.1.2 Komponen Hasil
a. Jumlah Rimpang Per Rumpun Tanaman
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa sistem tumpangsari pinus dan
jahe tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah rimpang jahe gajah (Zingiber
officinale L.) per tanaman (Lampiran 7). Rerata jumlah rimpang per rumpun
tanaman disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Rerata Jumlah Rimpang Per Tanaman Jahe
Perlakuan Jumlah Rimpang Per Tanaman (g/tan)
Pinus + Jahe 1,1
Pinus + Kopi + Jahe 1,0
Pinus + Talas + Jahe 1,3
Pinus + Sayuran + Jahe 1,5
BNT 5% tn
Keterangan: Bobot Basah Pinus+Jahe: 1.1, Pinus+Kopi+Jahe: 1.0, Pinus+Talas+Jahe: 1.3, Pinus+Sayuran+ Jahe: 1.5; tn = tidak nyata berdasarkan uji BNT pada taraf p = 5 %.
b. Bobot Basah Rimpang
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa komponen bobot basah rimpang
(g/tan) berpengaruh nyata terhadap sistem tumpangsari jahe dengan tanaman
sayuran dan perkebunan di bawah tegakan pinus (Lampiran 8). Hasil analisis
ragam pada bobot basah rimpang (g/m2) menunjukan tidak berpengaruh nyata
18.57
18.43 18.43
18.14
17.90
18.00
18.10
18.20
18.30
18.40
18.50
18.60
18.70
Pinus + Jahe Pinus + Kopi + Jahe Pinus + Talas + Jahe Pinus + Sayuran +Jahe
Suh
u T
anah
(˚C
)
Perlakuan
Pinus + Jahe Pinus + Kopi + Jahe Pinus + Talas + Jahe Pinus + Sayuran + Jahe
19
terhadap sistem tumpangsari jahe dengan tanaman sayuran dan perkebunan di
bawah tegakan pinus (Lampiran 9). Rerata bobot basah disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Rerata Bobot Basah Rimpang Jahe
Perlakuan Bobot Basah Rimpang Bobot Basah Rimpang
(g/tan) (g/m²)
Pinus + Jahe 79,19 a 871,10
Pinus + Kopi + Jahe 89,90 a 719,20
Pinus + Talas + Jahe 158,34 b 633,40
Pinus + Sayuran + Jahe 94,04 a 470,20
BNT 5% 56,03 tn Keterangan: Bobot Basah Rimpang Perlakuan Pinus+Jahe: 79.2, Pinus+Kopi+Jahe: 89.9, Pinus+ Talas+Jahe:
158.3, Pinus+Sayura+ Jahe: 94,0; uji BNT pada taraf 5 % = 56,03. Bobot Basah Rimpang gram per m2 Perlakuan Pinus+Jahe: 871,10; Pinus+Kopi+Jahe: 719,20; Pinus+Talas+Jahe: 633,40; Pinu+ Sayuran+Jahe:
470,20; tn = tidak nyata berdasarkan uji BNT pada taraf p = 5 %.
c. Bobot Kering Rimpang
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pada komponen panen bobot
kering rimpang (g/tan) tidak berpengaruh nyata terhadap lingkungan mikro
dibawah tegakan pinus dengan tumpangsari tanaman perkebunan dan sayuran
tinggi (Lampiran 10). Hasil analisis ragam pada bobot kering rimpang (g/m2)
menunjukan berpengaruh nyata terhadap sistem tumpangsari jahe dengan tanaman
sayuran dan perkebunan di bawah tegakan pinus (Lampiran 11). Rerata bobot
kering disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Rerata Bobot Kering Rimpang Jahe (g/tan)
Perlakuan Bobot Kering Rimpang Bobot Kering Rimpang
(g/tan) (g/m²)
Pinus + Jahe 15,60 172,00 b
Pinus + Kopi + Jahe 15,90 127,30 b
Pinus + Talas + Jahe 17,10 68,30 a
Pinus + Sayuran + Jahe 14,20 71,10 ab
BNT 5% tn 47,69 Keterangan: Bobot Kering Rimpang (g/tan) Perlakuan Pinus+ jahe: 15.60; Pinus+Kopi+Jahe: 15.90;
Pinus+Talas+ Jahe: 17.70; Pinus+Sayuran+Jahe : 14.20; tn = tidak nyata berdasarkan uji BNT pada taraf p =5
%. Bobot Kering Rimpang Tanaman (g/m2) Perlakuan Pinus+Jahe: 172,00b; Pinus+Kopi+Jahe: 127,30b;
Pinus+Talas+Jahe: 68,30a; Pinu+ Sayuran+Jahe: 71,10ab; uji BNT pada taraf 5% = 47,69
4.2 Pembahasan
Pengaruh perlakuan tanaman jahe (Zingiber officinale L.) dibawah tegakan
pinus (Pinus merkusii) terhadap tumpangsari tanaman sayuran dan perkebunan
menunjukkan pengaruh yang tidak nyata terhadap variabel panen yaitu jumlah
rimpang per rumpun tanaman dan bobot kering rimpang per m2. Pada bobot basah
20
rimpang per m2 menunjukan pengaruh nyata terhadap perlakuan sistem
agroforestri pinus (Pinus merkusi) dan jahe (Zingiber officinale L.) dengan
tumpangsari tanaman sayuran dan perkebunan.
Hal ini disebabkan karena lingkungan mikro untuk pertumbuhan tanaman
jahe yang sama. Lingkungan mikro pada UB Forest memiliki kondisi intensitas
radiasi matahari berkisar antara 7791,43 lux sampai 19985,71 lux, suhu
maksimum berkisar antara 22,210C sampai 22,800C, suhu minimum berkisar
anatara 19,860C sampai 20,660C, kelembapan udara berkisar antara 77,00%
sampai 74,29% dan suhu tanah berkisar anatar 18,14 sampai 18,57. Menurut
Sukarman dan Melati (2011) menjelaskan bahwa agar didapatkan pertumbuhan
dan hasil yang optimal, budidaya jahe sebaiknya dilakukan di lahan dengan tipe
iklim A, B, dan C (Schmidt dan Ferguson), ketinggian tempat 300 - 900 dpl,
temperatur rata-rata 25-30ºC, jumlah bulan basah 7-9 bulan dengancurah hujan
2.500 - 4.000 mm per tahun dan intensitas cahaya matahari 70-100 % atau agak
ternaungi sampai terbuka.
Cahaya matahari mempunyai fungsi yang sangat penting pada aktivitas
fotosintesa, apabila terjadi penurunan aktivitas fotosintesa maka akan terjadi
perubahan karakteristik fisiologis dan morfologis tanaman, dampak berikutnya
adalah penurunan produktivitas tanaman. Menurunnya intensitas cahaya dapat
berpengaruh pada bobot kering tanaman. Hal ini sesuai dengan pendapat Harjadi
(1991), besarnya cahaya yang tertangkap pada proses fotosintesis menunjukkan
biomassa, sedangkan besarnya biomassa dalam jaringan tanaman mencerminkan
bobot kering. Akumulasi biomas jahe tertinggi diperoleh apabila ditanam di
bawah intensitas cahaya sebesar 800 µmol m-2s-1. Intensitas cahaya 790 µmol m-
2s-1 dapat meningkatkan pertumbuhan dan akumulasi biomas tanaman jahe, karena
meningkatnya asam salisilat pada tanaman. Asam salisilat dapat meningkatkan
pertumbuhan tanaman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada asam salisilat
(100 ppm) dapat meningkatkan tinggi tanaman, luas daun, laju pertumbuhan
tanaman dan total produksi bahan kering pada tanaman jagung
(Nagasubramaniam et al., 2007).
Taiz dan Zeiger (1991) menyatakan distribusi spektrum cahaya matahari
yang diterima oleh daun di permukaan tajuk lebih besar dibanding dengan daun di
21
bawah naungan. Pada kondisi ternaungi cahaya yang dapat dimanfaatkan untuk
proses fotosintesis sangat sedikit. Sementara itu, Cruz (1997) menyatakan
naungan dapat mengurangi enzim fotosintetik yang berfungsi sebagai katalisator
dalam fiksasi CO2 dan menurunkan titik kompensasi cahaya. Lambers et al.
(1998), naungan mengurangi radiasi sinar utama yang aktif pada fotosintesis
sehingga berakibat menurunnya asimilasi neto. Oleh sebab itu, cahaya sangat
berperan dan berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman jahe di lapangan.
Menurut Rostiana et al. (2005), tanaman jahe mampu tumbuh di bawah naungan
hingga 30% dengan konsekuensi produktivitasnya tidak maksimal.
Kelembapan udara mempengaruhi laju transpirasi. Jika kelembapan udara
rendah, transpirasi akan meningkat. Hal ini memacu rimpang untuk menyerap
lebih banyak air dan mineral dari dalam tanah. Meningkatnya penyerapan nutrisi
oleh rimpang akan meningkatkan pertumbuhan tanaman. Semakin tinggi
kelembaban udara maka jumlah uap air yang ada di udara semakin banyak
(Ariffin, 2003).
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
1. Suhu maksimum dan minimum serta suhu tanah pada semua perlakuan
agroforestri pinus relatif tetap yaitu untuk suhu maksimum berkisar 22,210C
sampai 22,80OC dan suhu minimum berkisara 19,860C sampai 20,660C serta
untuk suhu tanah berkisar 18,40C sampai 18,57OC.
2. Agroforestri pinus+sayuran+jahe mempunyai kelembapan maksimum yang
relatif tinggi yaitu 77% dan kelembapan minimum 75,26% sebaliknya
mempunyai intensitas cahaya yang paling rendah yaitu 779143 lux
3. Agroforestri pinus (Pinus merkusii) dan Jahe (Zingiber oficinale L.) dengan
tumpangsari tanaman sayuran dan perkebunan menunjukan tidak berpengaruh
nyata terhadap variabel panen yaitu jumlah rimpang per rumpun tanaman dan
bobot kering rimpang per m2. Dan pada bobot basah rimpang per m2 menunjukan
pengaruh nyata terhadap perlakuan tanaman jahe (Zingiber officinale L.)
dibawah tegakan pinus (Pinus merkusii) terhadap tumpangsari tanaman sayuran
dan perkebunan.
5.2 Saran
Pengamatan intensitas radiasi matahari (Lux meter) dan Suhu ( oC )
sebaiknya diamati diatas tajuk tanaman jahe (Zingiber officinale L.)
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, R., M. Azeem dan N. Ahmed. 2009. Productivity of ginger (Zingiber
officinale) by amendment of vermicompost an biogas slurry in salin soil. Pak.
J. Bot. 41: 3107-3116.
Amini, F. dan A.A. Ehsanpour. 2005. Soluble proteins, proline, carbohydrates and
Na+/K+ changes as components of horticultural potting media for growing
marigold and vegetable seedlings. Comp. Sci. Util. 8: 215-253.
Anggraeni, I. dan A.Wibowo. 2007. Pengaruh Pola Tanam Wanatani Terhadap
Timbulnya Penyakit dan Produktivitas Tanaman Tumpangsari. Bulletin Info
Hutan Tanaman, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman.
Jakarta.
Arifin, H. 2013. Manual Pelatihan - Teknik Penanaman dan Pemeliharaan Beberapa
Jenis Tanaman. Volume 3 Technical Report - Manual Pelatihan: Hal. 94.
Ashraf, M. dan A. Waheed. 1993. Responses of some local/exotic accessions of lentil
(Lens culinaris Medic.) to salt stress. J. Agron. Soil Sci. 170: 103-112.
Bhosale, K.S. dan B.P. Shinde. 2011. Influence of Arbuscular Mycorrhizal Fungi on
Proline and Chlorophyll Content in Zingiber officinale Rosc Grown Under
Water Stress. Indian Journal of Fundamental and Applied Life Sciences
(Online) (An Online: http://www.cibtech.org/jls). 1: 172-176.
Cruz P. 1997. Effect of Shade on the Growth and Mineral Nutrition of C4 Perennial
Grass Under Field Conditions. Plant and Soil. 188:227-237.
Djukri. 2006. Karakter Tanaman dan Produksi Umbi Talas sebagai Tanaman Sela di
Bawah Tegakan Karet. Biodiversitas. 7 (3): 256-259.
Djazuli, M. dan Sukarman. 2007. The effect of growth environment on growth and
productivity of ginger. Proseding Seminar Nasional XIII. PERSADA. p.96-
99. Bogor 9 Agustus 2007. Institut Pertanian Bogor.
Emmyzar dan Rosman R. 1997. Faktor-Faktor Lingkungan Yang Berpengaruh Pada
Benih Jahe. Prosiding Forum Konsultasi Perbenihan Tanaman Rempah dan
Obat. Bogor.
Ghasemzadeh, A. dan H.Z.E. Jaafar. 2011. Effect of CO2 Enrichment on Synthesis of
Some Primary and Secondary Metabolites in Ginger (Zingiber officinale
Roscoe). Int. J. Mol. Sci. 12: 1101-1114.
Ghasemzadeh, A.; Jaafar, H.Z.E.; Rahmat, A.; Wahab, P.E.M.; Halim, M.R.A. 2010.
Effect of Different Light Intensities on Total Phenolics and Flavonoids
Synthesis and Anti-oxidant Activities in Young Ginger Varieties (Zingiber
officinale Roscoe). Int. J. Mol. Sci. 11:3885–3897.
24
Gunawan dan Rohandi. 2014. Pengaruh intensitas cahaya dan jenis jahe terhadap
pertumbuhan jahe di bawah tegakan pinus. Prosiding seminar nasional:
Peranan dan strategi kebijakan pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu
(HHBK) dalam meningkatkan daya guna kawasan (hutan). Universitas
Gadjah Mada. Yogyakarta. p:274-280.
Hasanah, M. 1993. Pemanfaatan lahan di bawah tanaman karet produktif dengan
beberapa tanaman industri lainnya. Laporan Tahunan Balai Penelitian Obat
dan Rempah. Bogor.
Inoriah, E., Fahrurrozi dan E. Fatwa. 2002. Respon jahe terhadap berbagai intensitas
cahaya. Prosiding Tanaman Rempah dan Obat. Seminar Nasional BKS PTN
Barat. Medan.
Kementerian Pertanian. 2008. Budidaya Organik Tanaman Jahe. Bogor: Balai
Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. Kementerian Pertanian
Lambers, H., F.S. Chapin, and T.L. Pons. 1998. Plant Physiologycal Ecology. New
York: Springer Verlag Inc.
Manju, V. dan N. Nalini. 2005. Chemopreventive efficacy of ginger, a naturally
occurring anticarcinogen during the initiation, post initiation stages of 1, 2
dimethyl hydrazine-induced colon cancer. Clin Chim Acta. 358: 60-67
Mayrowani, H. dan Ashari, 2011. Pengembangan agroforestry untuk mendukung
ketahanan pangan dan pemberdayaan masyarakat sekitar hutan. Forum
Penelitian Agro Ekonomi. 29 (2): 83-98.
Masuda, T., A. Jitoe dan T.J. Mabry. 1995. Isolation and structure determination of
cassumunarins A, B, C: new anti-inflammatory antioxidants from a tropical
ginger, Zingible cassumunar. J Am Oil Chem Soc. 72: 1053-1057.
Nagasubramaniam, A., G. Pathmanabhan dan V. Mallika. 2007. Studies on
improving production potential of baby corn with foliar spray of plant growth
regulators. Ann. Rev. Plant Physiol. Plant Mol. Biol. 21:154–157
Pamuji, S. dan B. Saleh. 2010. Pengaruh Intensitas Naungan Buatan dan Dosis Pupuk
K terhadap Pertumbuhan dan Hasil Jahe Gajah. Akta Agrosia. 13 (1): 62 –
69.
Paimin, F, B dan Murhananto., 2000. Budidaya, Pengolahan, Perdagangan Jahe.
Penebar Swadaya, Jakarta.
Paridaa, A.K. dan A.B. Das. 2005. Salt tolerance and salinity effects on plants: a
review. Ecotox. Environ. Safety. 60: 324-349.
Rahardjo, M. 2011. Pengaruh stres air, intensitas cahaya, konsentrasi karbon
dioksida dan salinitas terhadap parameter fisiologis dan morfologis tanaman
jahe (Zingiber officinale Rosc.). dalam Bunga rampai: Jahe (Zingiber
officinale Rosc.) Status teknologi hasil penelitian jahe. Balai Penelitian
Tanaman Obat dan Aromatik. Pusat Penelitian dan Pengembangan
25
Perkebunan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kementerian
Pertanian Indonesia. p. 36-48.
Rostiana, O., N. Bermawie dan M. Rahardjo. 2005. Standar Prosedur Operasional
Budidaya Jahe, Kencur, Temulawak, Kunyit, Sambiloto dan Pegagan. Sirkuler
No. 11, 2005. Balittro. p. 1-12.
Rostiana, O., D.S. Effendi dan N.Bermawie. 2007. Booklet Teknologi Unggulan:
Jahe. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. pp. 21.
Siagian, V., J. 2014. Outlook Komoditi Jahe. Pusat Data dan Sistem Informasi
Pertanian Sekretariat Jenderal - Kementerian Pertanian.
Sudiarto. 1978. Budidaya Tanaman Jahe (Zingiber officinale Rosc.) di Indonesia dan
Penelitian Beberapa Aspek Budidayanya. Lembaga Penelitian Tanaman
Industri. Bogor. pp.17.
Stoilova, I, A. Krastanov, A. Stoyanova, P. Denev dan S. Gargova. 2007. Antioxidant
activity of a ginger extract (Zingiber officinale). Food Chemistry.102: 764–
770.
Sukarman dan Melati. 2011. Produksi benih jahe (Zingiber officinale Rosc.) sehat.
dalam Bunga rampai: Jahe (Zingiber officinale Rosc.) Status teknologi hasil
penelitian jahe. Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Kementerian Pertanian Indonesia. p.20-30.
Surh, Y.J., E. Loe dan J.M. Lee.1998. Chemopreventive properties of some pungent
ingredients present in red pepper and ginger. Mutat Res. 402:259-267.
Taiz L and Zeiger E. 1991. Plant Physiology. Tokyo. The Benyamin/Cumming
Publishing Company Inc. p: 219-247.
Triwanto, J. 2011. Model pengembangan agroforestry pada lahan marginal dalam
upaya peningkatan pendapatan masyarakat sekitar hutan. Humanity. 7 (1): 23–
27.
Wahyuni, L., A. Barus, Syukri. 2013. Respon Pertumbuhan Jahe Merah (Zingiber
officinale rosc.) Terhadap Pemberian Naungan dan Beberapa Teknik
Bertanam. Jurnal Online Agroekoteknologi. 1(4).