Sirosis Hepatis
-
Upload
alvin-halim-senaboe -
Category
Documents
-
view
244 -
download
0
description
Transcript of Sirosis Hepatis
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1. Anatomi Hepar
Hepar adalah merupakan organ dalam tubuh yang paling besar. Hepar memiliki
tekstur lunak dan lentur. Hepar terletak di kuadran kanan atas abdomen tepat di bawah
diafragma yang memisahkan hepar dari pleura, paru, pericardium dan jantung. Sebagian
besar hepar terletak di dalam arcus costalis dekstra, namun ada bagian hepar yang
membentang hingga ke bawah hemidiafragma sinistra. Seluruh hepar dilapisi oleh kapsula
fibrosa.1,2,3,4
Hepar terbagi atas dua lobus mayor, lobus sinistra dan lobus ekstra, serta dua lobus
minor, kaudatus dan lobus kuadratus. Kendati demikian,penelitian menunjukkan bahwa lobus
kaudatus dan kuadratus merupakan bagian fungsional dari lobus sinistra. Hal ini terlihat dari
adanya hubungan pada arteri, vena dan duktus hepatikus pada lobus sinistra, lobus kaudatus
dan lobus kuaratus. Pada bagian anterior, lobus kanan dan lobus kiri dipisahkan oleh
ligamentum falciforme. Pada bagian inferiornya, terdapat lobus kaudatus yang berada di
dekat vena kava inferior. Lobus kuadratus terlihat lebih jelas pada bagian posterior di sekitar
kandung empedu.1,2,3,4
Gambar 1. Bagian Anterior dan Posterior Hepar
Sumber : Martini, Timmons dan Tallitsch. 2008. Van De Graaff: Human Anatomy sixth ed.
Pearson Education.
12
13
Permukaan atas hepar cembung melengkung di bawah kubah diafragma. Bagian
posterior hepar dikenal sebagai facies visceralis membentuk cetakan organ viscera yang
berada di sekitar hepar seperti gaster, duodenum, flexura coli dekstra, glandula suprarenalis
dekstra, ren dekstra dan vesica biliaris sehingga bentuknya tidak beraturan. Pada bagian ini
juga terdapat hilus hepatis atau porta hepatis yang terletak diantara lobus kaudatus dan
kuadratus yang berisi arteri hepatika, vena porta hepatis, duktus hepatikus dan serabut saraf.
Bagian tepi porta hepatis berhubungan dengan ujung bebas omentum minus.1,2,3,4
Pada hepar terdapat beberapa ligamentum. Pada bagian anterior terdapat ligamentum
falciforme yang menghubungkan hepar dengan dinding abdomen anterior dan diafragma.
Ligamentum falciforme yang merupakan lipatan ganda peritoneum ini kemudian
berhubungan dengan di ligamentum teres bagian inferior. Ligamentum teres dimulai dari
umbilikus lalu berjalan ke dalam fisura yang terdapat pada facies visceralis dan bergabung
dengan ramus sinister vena porta hepatis dari arah inferior. Bagian superior ligamentum
falciforme akan membelah dua membentuk ligamentum coronarium sinistra dan ligamentum
coronarium dekstra. Pada facies visceralis terdapat ligamentum venosum Arantii yang
merupakan sisa duktus venosus akan berjalan ke arah superior dan kemudian bergabung
dengan vena kava inferior. Ligamentum teres merupakan sisa dari vena umbilikalis,
sedangkan ligamentum venosum Arantii merupakan sisa dari duktus venosus pada fetus yang
mengalami penutupan sewaktu bayi lahir dan menjadi pita fibrosa.1,2,3,4
Hepar merupakan kesatuan sistem organ abdominal yang unik. Pada hepar terdapat
suplai darah ganda yaitu darah yang berasal dari arteri hepatika dan darah yang berasal dari
vena porta. Sistem vena porta pada keadaan fisiologis mengalirkan darah dari usus, limpa,
lambung, pankreas, dan kandung empedu. Vena porta menerima darah dari hampir seluruh
saluran pencernaan. Secara anatomi, vena porta terbentuk atas penyatuan vena mesenterika
superior dan vena splenika. Darah terdeoksigenasi dari usus halus mengalir melewati vena
mesenterika superior bersamaan dengan darah yang mengalir dari kaput pankreas, kolon
asenden, dan sebagian dari kolon transversus. Vena splenika mengalirkan darah dari limpa
dan pankreas akan bergabung dengan vena mesenterika inferior yang membawa darah dari
kolon transversus dan desendens serta dari dua pertiga superior rektum.1,2,3,4
14
Gambar 2. Sistem Porta
Sumber : Martini, Timmons dan Tallitsch. 2008. Van De Graaff: Human Anatomy sixth ed.
Pearson Education.
Darah yang kaya nutrisi namun miskin oksigen akan mengalir dari vena porta hepatis
menuju ke sinusoid. Di dalam sinusoid, darah dari vena porta bercampur dengan darah yang
kaya oksgen dari arteri hepatika. Hepatosit kemudian akan mengambil oksigen dan nutrisi
yang diperlukan dari darah yang mengalir melalui sinusoid untuk menjalankan fungsinya.
Produk dari hepatosit akan dilepaskan ke dalam sinusoid atau melalui bile canaliculi. Darah
yang mengalir melalui sinusoid kemudian keluar dari hepar melalui vena sentral menuju ke
vena hepatika dan kemudian vena kava inferior.1,2,3,4
Hepar terdiri atas lobulus – lobulus hepar yang berbentuk hexagonal. Pada setiap
sudut lobulus hepar terdapat kanalis hepatis yang berisi arteri hepatika, vena porta hepatis,
dan duktus hepatikus yang dikenal sebagai trias porta. Pada bagian tengah lobulus, terdapat
vena sentral yang kemudian bergabung membentuk vena hepatika dan keluar dari hepar pada
facies visceralis untuk bergabung dengan vena cava. Korda hepatis yang berisi satu lapis
hepatosit tersusun mengelilingi vena sentral. Ruang antar korda hepatis disebut sebagai
sinusoid. Dinding sinusoid dibentuk oleh 2 macam sel epitel pipih yang disebut sebagai sel
endotel dan sel fagosit yang dikenal sebagai sel Kupffer.1,2,3,4
15
Gambar 3. Lobulus Hepar
Sumber : Martini, Timmons dan Tallitsch. 2008. Van De Graaff: Human Anatomy sixth ed.
Pearson Education.
Hepar atau khususnya hepatosit memiliki 6 fungsi utama. Adapun fungsi hepatosit
adalah sebagai berikut5 :
a. Produksi getah empedu
Setiap hari hepar memproduksi 600-1000 mL getah empedu. Getah empedu berfungsi
untuk menetralisir asam lambung dan mengemulsifikasi lemak pada proses pencernaan.
Getah empedu juga mengandung produk ekskretorik seperti bilirubin yang merupakan hasil
degradasi hemoglobin.
b. Metabolisme
Hepar memainkan peranan penting di dalam metabolisme. Hepar merupakan tempat
dimana dapat mengkonversikan berbagai bentuk zat melalui berbagai macam proses. Sebagai
contoh, saat seseorang memiliki pola diet yang tinggi protein, namun sangat rendah lemak
16
dan karbohidrat, hepar dapat memecah asam amino dan kemudian membentuk glukosa dan
lemak untuk mencukupi kebutuhan tubuh. Hepar merupakan tempat terjadinya hidroksilasi
vitamin D sehinga vitamin D dapat menjadi bentuk aktif.
c. Tempat penyimpanan cadangan energi
Hepatosit dapat membantu mengontrol kadar gula darah. Hepatosit dapat mendeteksi
peningkatan kadar gula di dalam darah yang melalui sinusoid. Hepatosit akan mengambil
kelebihan gula di dalam darah dan menyimpannya di dalam sel dalam bentuk glikogen untuk
kemudian disekresikan kembali bila diperlukan. Hepatosit juga dapat menyimpan lemak,
vitamin A, B12, D, E dan K.
d. Detoksifikasi
Hepar merupakan pertahanan tubuh yang utama terhadap berbagai zat toksik. Hepar
dapat mengubah konfigurasi dari zat toksik sehingga menjadi kurang toksik atau mudah
diekskresikan. Sebagai contoh, amonia yang terbentuk dari metabolisme asam amino.
Amonia merupakan zat yang toksik bagi tubuh dan tidak dapat diekskresikan oleh ginjal
Amonia akan diubah menjadi urea oleh hepar. Urea merupakan zat yang lebih tidak toksik
dan daoat diekskresikan oleh ginjal melalui urin. Zat kimia lain seperti obat dan alkohol juga
dimetabolisme di dalam hepar.
e. Fagositosis
Fungsi fagositosis di hepar dilaksanakan oleh sel Kupffer yang akan memfagosit sel
darah merah dan sel darah putih yang sudah tua, bakteri dan debris yang masuk ke dalam
sirkulasi.
f. Sintesis komponen darah.
Hepar memproduksi berbagai komponen darah seperti albumin, fibrinogen, heparin,
dan faktor pembekuan darah.
3.2. Sirosis Hepatis
3.2.1. Definisi
Sirosis hepatis adalah keadaan patologis yang menggambarkan stadium akhir fibrosis
hepatis yang berlangsung progresif yang ditandai dengan distorsi dari arsitektur hepar dan
pembentukan nodulus regeneratif. Sirosis hepatis merupakan end stage dari mekanisme
penyakit hati kronik yang secara patologi mengarah pada proses nekroinflamasi dan
fibrogenesis.6,7
Sirosis hepatis ditandai oleh tiga karakteristik patologi berikut7 :
17
Terbentuknya septa - septa fibrotik yang menggantikan lobulus hepar.
Terbentuknya nodul-nodul parenkim yang terbentuk oleh proliferasi hepatosit dengan
ukuran bervariasi yaitu mulai diameter <3 mm (mikronodul) hingga beberapa
sentimeter (makronodul).
Perubahan arsitektur hepar secara keseluruhan.
Berdasarkan morfologi, sirosis hepatis dapat dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu7 :
1. Mikronodular : ditandai dengan terbentuknya septa tebal teratur dan nodul kecil
berukuran <3 mm merata di seluruh lobul.
2. Makronodular : ditandai dengan terbentuknya septa dengan ketebalan bervariasi dan
mengandung nodul > 3 mm.
3. Campuran : memperlihatkan kombinasi gambaran mikro dan makronodular.
Secara fungsional, sirosis hepatis dibagi menjadi 2, yaitu7 :
1. Sirosis hepatis kompensata
Sering disebut dengan fase laten sirosis hepatis. Pada stadium kompensata ini belum
terlihat gejala-gejala yang nyata.
2. Sirosis hepatis dekompensata
Dikenal dengan fase aktif sirosis hepatis, dan stadium ini biasanya gejala-gejala sudah
jelas, misalnya : ascites, hematemesis, melena.
3.2.2. Epidemiologi
Angka kejadian sirosis hepatis terus meningkat setiap tahunnya. Di Amerika Serikat,
angka kejadian sirosis hepatis tercatat sebesar 360 kasus per 100.000 penduduk. Sirosis saat
ini masih menjadi salah satu penyebab kematian tersering di Amerika Serikat dengan angka
kematian sekitar 9,7 per 100.000 jiwa. Sirosis hepatis juga merupakan faktor resiko yang
besar untuk terjadinya carcinoma hepar. Berdasarkan penelitian Mokdad et al., angka
kematian pasien sirosis di 187 negara meningkat sekitar dari 676.000 kasus pada 1980
menjadi sekitar 1 juta kasus pada tahun 2010. Penderita sirosis hepatis lebih banyak dijumpai
pada laki-laki jika dibandingkan wanita dengan rasio sekitar 1,6-2,1:1, dengan umur rata-rata
terbanyak antara golongan umur 30-60 tahun, dengan puncaknya sekitar umur 40-49 tahun.8,9
Di negara barat, etiologi sirosis hepatis yang paling sering adalah akibat alkohol,
sedangkan di Indonesia terutama disebabkan oleh infeksi virus hepatitis B dan C. Penelitian
menunjukkan bahwa sekitar 40-50% kasus sirosis hepatis di Indonesia disebabkan oleh
18
hepatitis B, sedangkan 30-40% kasus sirosis hepatis disebabkan oleh hepatitis C. Alkohol
sebagai penyebab sirosis hepatis di Indonesia belum banyak diteliti dan diperkirakan
memiliki frekuensi yang kecil.10
Indonesia termasuk dalam kategori dengan tren mortalitas meningkat untuk sirosis
hepatis. Menurut laporan rumah sakit umum pemerintah di Indonesia, rata-rata prevalensi
sirosis hepatis adalah 3,5% seluruh pasien yang dirawat di bangsal Penyakit Dalam, atau rata-
rata 47,4% dari seluruh pasien penyakit hati yang dirawat. Berdasarkan penelitian
diperkirakan jumlah kematian pada pasien sirosis hepatis mencapai angka 49 ribu jiwa
pertahun. Untuk setiap 100.000 penduduknya diperkirakan angka kematian mencapai 21-26
jiwa.10
3.2.3. Etiologi
Beberapa penyebab yang mungkin dari sirosis hepatis adalah sebagai berikut6,10 :
a. Hepatitis
Dari seluruh pasien yang terinfeksi hepatitis C, sekitar 80% akan mengalami hepatitis
kronis. Pada infeksi virus hepatitis B, hanya sekitar 5% yang akan berkembang menjadi
hepatitis kronis. Sekitar 20-30% penderita hepatitis kronis akan mengalami sirosis dalam
waktu 20-30 tahun. Hepatitis sendiri merupakan penyebab sirosis tersering di Indonesia.
Sekitar 40-50% kasus sirosis hepatis di Indonesia disebabkan oleh hepatitis B, sedangkan 30-
40% kasus sirosis hepatis disebabkan oleh hepatitis C. Angka kejadian hepatitis virus di
seluruh dunia tidak dapat dipastikan, namun diperkirakan sekitar 170 juta orang terinfeksi
oleh hepatitis C dan sekitar 300-400 juta orang terinfeksi hepatitis B. Hepatitis C lebih sering
dijumpai di Afrika (sekitar 15% penduduk Mesir diperkirakan terinfeksi hepatitis C),
sedangkan hepatitis B lebih sering ditemukan di Asia Tenggara dan negara sub Sahara.
Sirosis hepatis akibat hepatitis kronis ditandai dengan adanya nodul campuran disertai
infiltrat inflamatorik di sekitar area porta dan cedera atau inflamasi pada lobulus atau tingkat
hepatoseluler.
b. Alkohol
Hampir seluruh orang di negara barat mengkonsumsi alkohol. Sekitar 30% dari
individu-individu yang mengkonsumsi paling sedikit 8 sampai 16 ounces alkohol setiap hari
19
atau yang mengkonsumsi alkohol untuk 15 tahun atau lebih akan mengalami sirosis hepatis.
Mengkonsumsi alkohol secara berlebihan dapat mengakibatkan terjadinya penyakit hati
kronis seperti fatty liver dan hepatitis alkoholik. Penggunaan alkohol secara berlebihan akan
mengakibatkan kerusakan hati. Pada pengguna alkohol jangka panjang, penelitian
menunjukkan fibrosis dapat terjadi tanpa melalui proses inflamasi dan nekrosis, baik itu
fibrosis sentrilobuler, periseluler ataupun periportal. Saat fibrosis mencapai derajat tertentu,
akan terjadi gangguan arsitektur hati secara keseleruhan dan terbentuk nodul regeneratif di
hepar. Nodul yang terbentuk umumnya berupa mikronodul. Dengan penghentian penggunaan
alkohol, dapat terbentuk makronodul sehingga menghasilkan sirosis dengan nodul campuran.
c. Sirosis bilier
Sirosis bilier merupakan sirosis yang terjadiakibat adanya pengrusakan hepatosit oleh
getah empedu. Kelainan yang terjadi dapat bersifat intrahepatik dan ekstrahepatik. Beberapa
penyakit yang dapat menyebabkan sirosis bilier adalah sirosis bilier primer, kolangitis
autoimun, sklerosis kolangitis dan duktopenia idiopati. Sirosis yang ditimbulkan ditandai
dengan adanya deposit cholate, perubahan xanthomatous pada hepatositm dan fibrosis bilier
yang terkadang disertai gambaran inflamasi porta dan lobuler yang bersifat kronik. Untuk
membedakannya dapat dilakukan pemeriksaan antibodi dan cholangiografi.
d. Lain – lain
Sampai saat ini, masih sering dijumpai kasus sirosis yang tidak diketahui
penyebabnya. Hal ini disebabkan ada banyak penyebab yang mungkin terjadi. Beberapa
penyebab sirosis yang tidak lazim adalah autoimun, reaksi obat (paracetamol, metrotreksat),
infestasi parasit (scistosomiasis) dan penyakit genetik.
3.2.4. Patofisiologi
Terdapat tiga mekanisme utama yang mendasari terjadinya sirosis. Pertama adalah
proses kematian sel-sel hati oleh berbagai sebab yang telah disebutkan. Lalu dengan adanya
20
kematian sel-sel hati, terjadilah regenerasi sel-sel hati sebagai respon fisiologis dari penjamu.
Setelah proses regenerasi, hati merespon dengan reaksi fibrosis, namun reaksi fibrosis yang
terjadi terlampau berlebihan dan progresif sehingga menimbulkan perubahan struktur yang
berakibat pada manifestasi gangguan vaskular dan perubahan fungsi hati.7
Hati secara normal mengandung kolagen interstitium tipe I, II, dan IV di saluran
porta, sekitar vena sentralis, dan beberapa di parenkim. Pada sirosis, kolagen tipe I dan II
serta komponen lain matriks ekstrasel mengendap di semua bagian lobulus dan sel-sel endotel
sinusoid. Akibatnya terjadi oklusi pada pembuluh darah yang terletak di rongga-rongga
sinusoid. Hal ini berdampak pada aliran darah yang melewati sinusoid menjadi memiliki
tekanan tinggi karena resistensi meningkat akibat oklusi material fibrotik yang terjadi di
sinusoid. Selain itu, pertukaran zat-zat terlarut dan perpindahan protein (albumin, lipoprotein
dan faktor pembekuan) antara hepatosit dan plasma menjadi sangat terganggu.7
Terdapat kelebihan kolagen pada fibrosis hati yang bersumber dari aktivasi sel
Stellata. Sel Kupffer juga berperan dalam aktivasi sel-sel Stellata ini. Sel Stellata membesar
dan mengalami perubahan fungsi. Secara fisiologis, sel Stellata berfungsi untuk menyimpan
vitamin A dan lemak. Pada pasien sirosis sel ini berfungsi untuk mengaktifkan reseptor
proliferasi sel dan sitokin-sitokin fibrogenik seperti platelet-derived growth factor (PDGF)
dan memungkinkan pertumbuhan β1 (TGF-β1) yang merupakan mediator fibrogenik poten.7
Peningkatan resistensi vaskuler pada hipertensi porta dapat terjadi karena efek
mekanis seperti di atas. Selain itu, peningkatan resistensi vaskuler juga dapat terjadi karena
mediator-mediator yang diaktifkan oleh sel Stellata. Pada sel ini akan ada ekspresi dari jalur
de novo berupa protein alfa actin otot polos. Di bawah pengaruh mediator seperti endotelin,
nitric oxide, dan prostaglandin, terjadilah peningkatan kontraksi yang berperan dalam
peningkatan resistensi aliran darah. Perubahan resistensi tekanan darah dan struktur
fungsional hati pada sirosis akan menimbulkan banyak manifestasi klinis terkait fungsi
vaskular dan fungsi sel-sel hati itu sendiri.7
21
Gambar 4. Proses Fibrosis pada Sirosis Hepatis
Sumber : Kumar, V, et al.. 2007. Robbins Basic Pathology Ed. 8. New York: Elsevier Inc.
3.2.5. Manifestasi Klinik
Sirosis merupakan penyakit kronis yang dapat berlangsung selama bertahun-tahun
tanpa disertai gejala klinis. Perubahan patologis yang terjadi berlangsung lambat sehingga
akhirnya timbul gejala yang menyadarkan adanya penyakit ini. Pada fase laten terjadi
penurunan fungsi hati secara bertahap. Gejala sirosis fase laten bersifat nonspesifik seperti
malaise, dispepsia, anoreksia, penurunan berat badan, nyeri tumpul pada epigastrium atau
kuadran kanan atas. Manifestasi yang terjadi pada fase dekompensata secara garis besar
dibagi berdasarkan manifestasi akibat gagal hepatoselular dan manifestasi akibat hipertensi
portal.11
a. Manifestasi Gagal Hepatoselular
Ikterus terjadi pada sedikitnya 60% penderita sirosis dan biasanya bersifat minimal.
Ikterus terjadi akibat hiperbilirubinemia. Penderita dapat menjadi ikterus selama masa
dekompensasi disertai dengan gangguan reversibel fungsi hati. Ikterus intermiten merupakan
gambaran yang khas pada sirosis biliaris dan terjadi bila timbul peradangan aktif pada hepar
dan saluran empedu.11
22
Gangguan endokrin dapat terjadi pada pasien sirosis. Secara fisiologis, hormon-
hormon korteks adrenal, testis, dan ovarium dimetabolisme dan diinaktifkan oleh hati.
Namun, pada pasien sirosis hepatis, mekanisme fisiologis tersebut tidak terjadi sehingga
terdapat kelebihan hormon-hormon tersebut di dalam sirkulasi. Diduga terjadi peningkatan
estrogen karena mekanisme tersebut sehingga muncul manifestasi angioma, atrofi testis,
ginekomastia, alopesia dada dan aksila, serta eritema palmaris. Sementara itu, peningkatan
hormon MSH (melanocyte stimulating hormone) berperan untuk merangsang melanosit yang
meningkatkan pigmentasi kulit pada penderita sirosis hepatis.11
Gangguan hematologik dapat terjadi pada pasien sirosis. Secara normal hati
membentuk faktor-faktor pembekuan darah. Pada saat terjadi kerusakan hati, faktor-faktor
pembekuan darah berkurang sehingga terjadi manifestasi perdarahan pada pasien sirosis
hepatis. Hati merupakan kompleks Reticuloendothelial System (RES) selain limpa. Penderita
sirosis dapat mengalami anemia, leukopenia, dan trombositopenia akibat adanya peningkatan
penghancuran komponen sel darah tersebut pada hati, dan juga limpa (hipersplenisme).
Anemia dapat terjadi akibat defisiensi folat, vitamin B12 dan besi serta sekunder akibat
pendarahan dan peningkatan hemolisis. Leukopenia mengakibatkan pasien sirosis hepatis
lebih mudah mengalami penyakit infeksi.11
Edema perifer dapat terjadi akibat hipoalbuminemia dan retensi garam dan air. Sel
hati yang rusak tidak mampu mencukupi produksi albumin. Selain itu, kegagalan sel hati
untuk menginaktifkan aldosteron dan ADH merupakan penyebab retensi natrium dan air.
Fetor hepatikum adalah napas bau apek manis pada penderita sirosis karena hati gagal dalam
memetabolisme metionin. Fetor hepatikum sering menjadi tanda bahaya akan terjadinya
ensefalopati hepatikum. Ensefalopati hepatikum adalah kerusakaan pada otak yang terjadi
akibat kegagalan hati dalam memetabolisme ammonia. Ensefalopati hepatikum dapat
mengakibatkan perubahan mood, tingkah laku, penurunan kesadaran, koma dan kematian.11
b. Manifestasi Hipertensi Porta
Hipertensi porta adalah peningkatan tekanan porta yang menetap sehingga gradien
tekanan vena hepatik >5 mmHg. Hal ini terjadi karena peningkatan resistensi aliran darah
yang melalui hepar serta peningkatan aliran pada arteri splanikus akibat vasodilatasi pada
daerah tersebut. Normalnya darah dari hati berasal dari vena porta, lalu menuju ke vena
hepatika dan akan dikembalikan ke jantung melalui vena kava. Pada pasien sirosis terjadi
oklusi akibat pengerasan hepar sehingga terjadi penurunan aliran darah keluar dari hepar.
23
Akibatnya, terjadi peningkatan beban secara berlebihan pada sistem porta. Hal ini
dikompensasi dengan perangsangan timbulnya aliran kolateral.11
Aliran kolateral akan dibentuk ke aliran pembuluh darah di daerah penting seperti
esofagus, fundus gaster, dan rektum. Aliran kolateral ke vena lienalis akan mengakibatkan
terjadinya splenomegali. Pada esofagus manifestasinya berupa varises esofagus. Sirklulasi
kolateral yang melibatkan dinding abdomen dapat mengakibatkan dilatasi vena-vena sekitar
umbilikus membentuk venektasi dan kaput medusae. Pada rektum, dapat terjadi hemoroid
interna.11
Gambar 5. Manifestasi Klinik Sirosis Hepatis
Sumber : Kumar, V, et al.. 2007. Robbins Basic Pathology Ed. 8. New York: Elsevier Inc.
24
Pada penderita sirosis hepatis biasanya dijumpai anemia normostik normokronik yang
terjadi akibat pendarahan saluran cerna yang baru terjadi maupun akibat peningkatan
destruksi sel darah di spleen. Anemia dapat berkembang menjadi defisiensi besi bila
kehilangan darah terus terjadi sehingga dijumpai anemia hipokromik mikrositer. Anemia
dalam bentuk makrositer sering ditemukan pada penyakit hati kronik dan dapat disebabkan
kekurangan asam folat dan vitamin B12. Keadaan anemia ini dapat disertai dengan
leukopenia dan trombositopenia akibat pendarahan maupun akibat peningkatan destruksi sel
darah.6,7
Pemeriksaan kimia darah akan menunjukkan hipoalbuminemia sedangkan kadar
globulin biasanya normal atau sedikit menurun. Keadaan ini dikenal sebagai inverted albumin
globulin dimana normalnya kadar albumin lebih tinggi dibandingkan globulin dengan
perbandingan 2:1 atau lebih. Penurunan kadar albumin ini terjadi karena albumin terutama di
sintesis di hepar, sedangkan globulin lebih dominan di sintesis di RES ekstrahepatik.6,7
Pemeriksaan faal hati menunjukkan adanya peningkatan enzim-enzim hati.
Peningkatan enzim ini terjadi akibat adanya destruksi sel-sel hepar yang terus berlangsung
karena sirosis merupakan penyakit kronik yang progresif. Destruksi sel hepar mengakibatkan
enzim-enzim intrahepatik dilepaskan ke dalam aliran darah sehingga terjadi peningkatan
enzim hepar di dalam darah. Bilirubin, terutama bilirubin indirek, akan meningkat karena ada
kelainan prehepatik atau intrahepatik berupa peningkatan destruksi RBC di lien dan hepar
disertai penurunan metabolisme bilirubin oleh hepar. Pemeriksaan feses akan menunjukkan
adanya darah di dalam feses bila terdapat pendarahan di saluran cerna.6,7
3.2.6. Komplikasi dan Penatalaksanaan
Penatalaksanaan sirosis hepatis biasanya tidak memuaskan sebab tidak ada obat yang
dapat menghentikan atau memperbaik proses fibrosis. Penatalaksanaan awal ditujukan untuk
memperbaiki keadaan umum pasien meliputi istirahat, rehidrasi bila terjadi dehidrasi, dan
oksigenasi bila pasien sesak. Terapi ditujukan untuk mencegah dan mengatasi berbagai
komplikasi yang telah terjadi.
25
Beberapa komplikasi yang sering terjadi pada pasien sirosis hepatis adalah sebagai
berikut6 :
Pendarahan saluran cerna
Pendarahan saluran cerna dapat berasal dari varises esofagus yang pecah. Sifat
perdarahan yang ditimbulkan adalah muntah darah atau hematemesis yang biasanya
mendadak dengan disertai rasa nyeri di epigastrium. Darah yang keluar berwarna kehitam-
hitaman karena sudah tercampur dengan asam lambung. Perdarahan pada penderita Sirosis
Hepatis tidak hanya disebabkan oleh pecahnya varises esophagus saja. Hanya 62%
pendarahan pada kasus sirosis hepatis disebabkan oleh pecahnya varises esofagii. Sebesar
18% pendarahan karena ulkus peptikum dan 5% karena erosi lambung.6
Pembuluh vena esofagus terletak subepitelial dan submukosa sehingga membentuk
pleksus-pleksus di tempat tersebut. Di bagian distal esofagus atau tepat di atas gaster
merupakan tempat pembuluh darah terbanyak dan superfisial sehingga risiko pecahnya
varises esofagus akan lebih tinggi di lokasi tersebut.12
Sekitar 5-15% pasien sirosis hepatis akan mengalami kasus baru varices esofagus
setiap tahunnya. Sekitar sepertiga pasien dengan varices esofagus akan mengalami
pendarahan saluran cerna akibat ruptur varices esofagus. Angka mortalitas pada pasien sirosis
yang mengalami perdarahan varises mencapai 20% pada enam minggu. Pasien sirosis hepatis
dengan HVPG (Hepatic Venous Pressure Gradient) lebih dari 20mmHg lebih berpotensi
untuk mengalami perdarahan varises esofagus atau akan mengalami kegagalan dengan
pengobatan lini pertama untuk mengontrol perdarahan. Setelah tercapai hemostasis pun, pada
48 jam pertama pasien sirosis dengan varises memiliki risko tinggi untuk terjadi perdarahan
ulang hingga 6 minggu selanjutnya.6
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pecahnya varises esofagus adalah ukurannya,
terdapat tanda red wale, dan derajat keparahan gagal hati. Berdasarkan hukum Laplace’s
semakin besar diameter varises, semakin besar pula tegangan dinding pembuluh darah. Hal
ini berarti semakin besar diameter varises esofagus, maka makin besar pula kemungkinan
varises untuk pecah dan menimbulkan perdarahan. Tanda red wale sebagai faktor risiko
pecahnya esofagus adalah titik hemokistik yang berada pada permukaan varises dan
menggambarkan rapuhnya varises esofagus tersebut. Tanda ini sering dipakai untuk
meramalkan pecahnya varises esofagus.6
Diagnosis varises esofagus ditegakan dengan pemeriksaan endoskopi. Berdasarkan
hasil pemeriksaan endoskopi, varises esofagus dapat diklasifikasikan berdasarkan ukuran
26
varises yang sekaligus diklasifikasikan berdasarkan lokasinya. Klasifikasi varises esofagus
adalah sebagai berikut12 :
F1: Varises berukuran kecil dan lurus
F2 : Varises berukuran sedang, berkelok-kelok, dan menempati kurang dari sepertiga
lumen
F3: Varises berukuran besar, berkelok-kelok, dan menempati lebih dari sepertiga
lumen.
Klasifikasi varises esofagus yang baru berdasarkan hasil endoskopi, yaitu sebagai
berikut12 :
Grade Tampilan Klinik
Grade I Lurus, vena berwarna merah muda dan masih berbatas dengan mukosa,
diameter <2mm
Grade II Berkelok-kelok, vena kebiruan dan mulai mengisi lumen esofagus, diameter
2-3mm
Grade III Berbentuk nodul, varises berkelok-kelok dan kebiruan, mengisi hampir
setengah lumen esofagus, diameter 3-4mm
Grade IV Berbentuk seperti anggur, pembuluh darah hampir menutup lumen, ada
angiektasis dan cherry red spot
Penatalaksanaan pendarahan varises esofagus terbagi menjadi dua kategori, yaitu
pencegahan primer dan pencegahan rebleeding. Pencegahan primer dilakukan dengan
melakukan endoskopi secara berkala pada pasien sirosis hepatis. Skrining dilakukan
setidaknya dalam 12 bulan setelah terdiagnosis pada pasien dengan sirosis kompensata atau 3
bulan pada sirosis dekompensata. Saat teridentifikasi ada varises esofagus, profilaksis dapat
dilakukan dengan pemberian beta blocker non spesifik atau dengan melakukan ligasi pada
varises.9
Pada pasien dengan episode pendarahan yang akut, penatalaksanaan awal ditujukan
untuk mengembalikan kehilangan darah dengan pemberian cairan atau transfusi darah bila
ada indikasi. Endoskopi direkomendasikan untuk dilakukan dalam 24 jam disertai pemberian
antibiotik profilaksis. Ligasi pada varises untuk mencegah rebleeding. Baloon tamponade
(Sengstaken-Blakenmore tube atau Minnesota tube) dapat digunakan pada pasien yang tidak
dapat menjalani tindakan endoskopi atau memerlukan kontrol pendarahan sebelum
endoskopi.9
27
Bila pendarahan berasal dari lambung, ligasi melalui endoskopi biasanya sulit dicapai.
Tatalaksana yang lazim dilakukan adalah Transjugular Intrahepatic Portosystemic Shunt
(TIPS). TIPS dapat pula dikerjakan pada pasien yang gagal menjalani kontrol melalui
endoskopi atau medikasi. Transeksi esofagus merupakan sebuah prosedur yang dapat
dilakukan namun tidak pernah dikerjakan lagi karena biasanya memiliki outcome yang
buruk.9
Ascites
Asites juga merupakan salah satu manifestasi akibat kombinasi efek hipertensi porta
dan hipoalbuminemia. Ascites didefinisikan sebagai akumulasi cairan secara berlebihan di
dalam rongga peritoneum. Hipertensi porta dan vasodilatasi arteri splanikus mengakibatkan
peningkatan produksi limfe splanikus. Ascites diperberat dengan retensi cairan akibat adanya
metabolisme aldosteron yang mengarah pada hiperaldosteronisme. Ascites berkembang
secara bertahap dan sering kali disertai dengan edema perifer. Perkembangan ascites dapat
berlangsung lambat. Pasien sering kali datang dalam keadaan perut yang sangat terdistensi
dengan volume cairan ascites berkisar 1-2 L. Ascites masif dapat mengakibatkan gangguan
fungsi sistem pernapasan sehingga pasien sesak napas. Sesak napas mungkin juga disebabkan
oleh efusi pleura. Pasien dengan ascites biasanya disertai dengan malnutrisi dan wasting pada
otot-otot tubuhnya.5,7,12
Ascites dapat ditatalaksana dengan melakukan diet rendah garam. Konsumsi natrium
dibatasi <2 g/hari. Diet yang direkomendasikan bagi penderita sirosis adalah buah-buahan
segar dan makanan yang disiapkan secara khusus dengan pembatasan penggunaan garam.
Penderita disarankan untuk tidak mengkonsumsi makanan kalengan, asinan atau fastfood
karena jumlah garam yang terkandung di dalam makanan yang disajikan biasanya melebihi
batas yang diperbolehkan bagi penderita sirosis.9
Medikamentosa yang dapat digunakan untuk mengontrol ascites adalah spironolakton
100-200 mg/hari. Dosis spironolakton dapat ditingkatkan hingga 400-600 mg/hari. Bila
ascites tidak dapat dikontrol dengan spironolakton, dapat ditambahkan furosemid 20-40
mg/hari dan dapat ditingkatkan hingga 120-160 mg/hari. Ascites yang tidak dapat dikontrol
dengan diet yang adekuat dan medikamentosa dikenal sebagai ascites refraktori. Ascites
refraktori dapat ditatalaksana dengan paracentesis atau TIPS. TIPS, walaupun dapat
meringankan gejala, tidak dapat memperbaiki harapan hidup dan dapat menungkatkan resiko
ensefalopati hepatik. Prognosis pada pasien sirosis hepatis dengan ascites <50% dalam 2
tahun.9
Ensefalopati hepatik
28
Ensefalopati hepatikum atau koma hepatikum merupakan kumpulan gejala
neuropsikiatri pada penyakit hati akut dan kronik berat. Terdapat beragam manifestasi
berkaitan dengan sindrom neuropsikiatri ini seperti terdapat kekacauan mental, perubahan
perilaku, gangguan intelektual, penuruan kesadaran, tremor otot, dan asteriksis atau flapping
tremor yang kesemuanya tidak berkaitan dengan kelainan otak organik.6
Faktor risiko atau faktor-faktor yang dapat mempercepat terjadinya ensefalopati
hepatikum adalah keadaan perdarahan saluran cerna, asupan protein berlebihan, obat diuretik,
parasentesis, hipokalemia, infeksi akut, pembedahan, azotemia, dan pemberian obat-obatan
seperti morfin dan sedatif. Faktor-faktor risiko tersebut berkaitan dengan faktor ekskresi dan
masukan amonia.6
Ensefalopati hepatik dapat diartikan sebagai suatu bentuk intoksikasi otak akibat
kelebihan material-material dari usus yang tidak disintesis oleh hati, seperti amonia. Kondisi
ini dapat terjadi bila terdapat kerusakan sel hati yang luas. Akumulasi metabolit yang tidak
melewati hati ini dapat bersifat toksik dan kemudian beredar dalam darah lalu melewati
sawar otak. Amonia merupakan salah satu metabolit yang diyakini berperan dalam
patogenesis sindrom neuropskiatri yang terjadi pada ensefalopati hepatikum.6
Amonia merupakan hasil produksi koloni bakteri usus dengan aktivitas enzim urease.
Enzim urease akan memecah urea menjadi amonia dan karbon dioksida. Amonia juga dapat
dihasilkan oleh usus halus dan usus besar melalui glutaminase usus yang memetabolisme
glutamin menjadi glutamat dan amonia. Amonia secara fisiologis juga dapat dihasilkan oleh
ginjal dan otot. Amonia tersebut akan dimetabolisme menjadi urea dan glutamin di hati.
Ginjal dan otot mengekskresikan amonia dalam bentuk ion amonium dan urea. Pada pasien
sirosis, amonia kembali ke darah dan masuk ke dalam sirkulasi sistemik dan tertimbun di
otak sehingga menimbulkan manifestasi neuropsikiatri.6
Stadium ensefalopati hepatik diklasifikasikan berdasarkan manifestasi yang terjadi.
Berikut ini adalah stadium ensefalopatik sesuai dengan kriteria West Haven12 :
Derajat Kognitif dan Perilaku Fungsi Neuromuskular
0 Asimtomatik Tidak ada
1 Gangguan tidur, penurunan konsentrasi,
depresi, ansietas, dan iritabilitas
Suara monoton, tremor, penurunan
kemampuan menulis, apraksia
2 Letargi, disorientasi, penurunan memori Ataksia, disartrhia, asteriksis
3 Somnolen, kebingungan, amnesia, Nistagmus, kekakuan otot, hipereflek
29
gangguan emosi atau hiporeflek
4 Koma Pupil dilatasi, refleks patologis positif
Penatalaksanaan pada ensefalopati hepatik pada prinsipnya dilakukan untuk mengatasi
faktor presipitasi. Penatalaksanaan nonfarmakologis dilakukan dengan memberikan cairan
dan mengoreksi ketidakseimbangan elektrolit. Asupan protein harus dibatasi karena
pemecahan protein dapat menghasilkan amonia yang merupakan penyebab ensefalpati
hepatik. Laktulosa dapat diiberikan 3 kali perhari. Target pemberian laktulosa adalah adanya
2-3 BAB lembut per hari dan dosisnya bisa ditingkatkan sampai target yang diinginkan.
Tujuan dari pemberian terapi ini adalah mempersingkat waktu singgah makanan di dalam
usus sehingga produk nitrogenus yang dapat membentuk amonia dapat cepat diekskresikan
dari usus. Pemberian antibiotik dengan daya serap yang jelek di usus seperti kanamycin dapat
dilakukan untuk meminimalisasi kuman diusus.9
Peritonitis bakterialis spontan
Peritonitis bakterial spontan adalah infeksi bakteri spontan pada cairan asites tanpa
sumber intraabdomen. Pasien PBS yang yang dirawat inap dapat terjadi pada 30% pasien dan
memiliki angka kematian di rumah sakit sebesar 25%. Angka mortalitas akibat infeksi pada
pasien sirosis ini adalah sebesar 30% meninggal saat sebulan pertama setelah infeksi dan
30% dalam satu tahun pertama. Penurunan motilitas usus, pertumbuhan bakterial yang cepat,
dan peningkatan permeabilitas usus halus meningkatkan risiko terjadinya infeksi.6,10
Mekanisme utama terjadinya PBS yaitu disebabkan karena translokasi bakteri yaitu
bakteri atau produk bakteri (Endotoksin dan DNA) mampu menembus mukosa usus untuk
menginfeksi ke dalam kelenjar limfe mesenterika lalu masuk ke dalam aliran darah dan
cairan asites sehingga dapat memicu bakteremia dan infeksi di cairan asites. Organisme
tersering yang menyebabkan PBS adalah E. Colli dan bakteri usus lainnya. Bila terdapat PBS
yang disebabkan oleh 2 jenis bakteri, harus dicurigai terjadi perforasi saluran cerna.
Diagnosis PBS dapat ditegakkan bila terdapat gejala peritonitis dengan hitung neutrofil
absolut dari cairan ascites >250/μL. Pasien dengan pendarahan esofagus memiliki resiko PBS
yang lebih tinggi dan biasanya memerlukan antibiotik profilaksis.6
Terdapat tiga pertahanan fisiologis utama yang dapat mencegah translokasi bakteri
yaitu pertahanan melalui stabilitas flora normal, intergritas epitel intestinal, dan mekanisme
pertahanan imun host. Namun, pada pasien sirosis tahap lanjut terjadi gangguan pada
mekanisme-mekanisme tersebut. Motilitas usus secara signifikan menurun karena
30
hiperaktivasi sistem simpatik pada pasien sirosis yang secara tidak langsung dapat
meningkatkan pertumbuhan bakteri dan menggaggu kestabilan flora normal. Kelebihan
populasi bakteri ini dapat memicu translokasi bakteri. Selain itu, integritas epitel usus mulai
mengalami gangguan. Pada pasien sirosis tahap lanjut permeabilitas mukosa meningkat
sebagai efek langsung dari pelepasan mediator inflamasi akibat hipertensi porta. Terakhir
gangguan pada sistem imun pejamu turut berperan dalam translokasi bakteri.6
PBS ditatalaksana dengan pemberian antibiotik. Antibiotik yang paling sering
digunakan adalah sefalosporin generasi 2 seperti sefotaksim. Pemberian antibiotik sebagai
terapi PBS harus dalam dimulai 6 jam setelah terdiagnosis pada pasien rawsat inap atau 24
jam pada pasien rawat jalan. Profilaksis PBS diberikan pada pasien sirosis hepatis dengan
pendarahan saluran cerna dan yang memiliki riwayat PBS sebelumnya dengan penyuntikan
antibiotik satu kali setiap minggu.9
Sindrom hepatorenal
Sindrom Hepatorenal (SHR) adalah salah satu bentuk gagal ginjal fungsional tanpa
terdapat patologi ginjal. SHR terjadi pada sekitar 10% pasien dengan sirosis tahap lanjut atau
gagal hati akut. Mortalitas pasien gagal ginjal pada asien sirosis hepatis mencapai 67% atau
58% saat satu bulan setelah diagnosis dan 63% setelah 12 bulan diagnosis.6
Vasodilatasi arteri perifer merupakan mekanisme yang paling sering diungkapan
terkait dengan patofisiologi SHR. Sirosis hepatis dengan hipertensi porta membentuk
mekanisme vasodilatasi arteri splanikus. Vasodilatasi arteri ini terjadi akibat pelepasan
mediator Nitric Oxide. Tubuh akan melakukan kompensasi denganmeningkatkan curah
jantung melalui efek inotropik dan kronotropik positif. Namun, vasodilatasi yang terjadi terus
memburuk sehingga kompensasi dengan efek inotropik dan kronotropik positif tidak dapat
mengkompensasi lagi. Tubuh mengaktifkan sistem neurohormonal vasokonstriktor sistem
seperti RAAS (Renin Angiotensin Aldosteron System), sistem simpatis, dan hormon
antidiuretik. Sistem neurohormonal ini mengakibatkan retensi natrium dan air yang akan
berdampak pada asites. Selain itu akan terjadi vasokonstriksi arterial perifer termasuk di
ginjal, otak, otot, dan, ekstremitas. Namun, efek ini juga tidak mampu terkompensasi karena
vasodilatasi terus terjadi di sirkulasi splanik.6
Vasokonstriksi ginjal dapat berimbas pada penurunan laju filtasi di ginjal. Maka ginjal
melakukan mekanisme kompensasilagi dengan menghasilkan vasodilator lokal yaitu nitric
oxide. Namun, saat derajat keparahan hati makin berat, dapat terjadi pengurangan pengisian
pembuluh darah sehingga sistem vasodilator yang dilakukan ginjal menjadi gagal. Selain itu,
31
semakin lama mediator vasodilator di ginjal semakin berkurang dan terjadi peningkatan
vasokonstriktor intrarenal yang sangat hebat. Akhir konsekuensi dari semua mekanisme ini
adalah gagalnya fungsi ginjal yang disebut dengan sindrom hepatorenal.6
Penatalaksanaan sindrom hepatorenal dengan pemberian dopamin atau prostaglandin
untuk merangsang vasodilatasi pada ginjal. Preparat lain yang dapat diberikan adalah alfa
agonis dan albumin intravena. Prognosis pasien dengan sindrom hepatorenal jelek kecuali
dapat dilakukan reansplantasi hepar dalam waktu dekat.6
Carcinoma hepatoseluler (hepatoma)
Hepatoma merupakan tumor ganas yang berasal dari hepatosit. Hepatoma terutama
ditemukan pada orang yang mengidap sirosis hepatis makronoduler. Sekitar 60-80%
hepatoma timbul pada sirosis hepatis akibat infeksi HBV kronis, kemudian sedikit lebih
rendah pada sirosis pigmen, dan paling rendah pada sirosis alkoholik. Skrining hepatoma
sebaiknya dilakukan secara berkala setiap 6 atau 12 bulan pada pasien sirosis hepatis.6,9
Malnutrisi
Hati merupakan salah satu tempat utama metabolisme protein di dalam tubuh. Pasien
sirosis hepatis sering jatuh ke dalam keadaan katabolik. Protein otot akan banyak
dikatabolisme sehingga pasien dengan sirosis hepatik sering mengalami wasting pada otot.
Adanya keluhan mual, perut terasa cepat penuh dan muntah juga diketahui dapat menjadi
faktor resiko terjadinya malnutrisi akibat intake yang inadekuat.6
Kelainan hematologi
Koagulopati terjadi akibat defisiensi faktor pembekuan yang diproduksi di hati, dan
diperberat dengan trombositopenia yang terjadi akibat hipersplenisme. Pasien sirosis sering
mengalami gangguan absorbsi vitamin K akibat menurunnya fungsi hati dalam menghasilkan
getah empedu yang diperlukan untuk membantu absobsi vitamin K sehingga faktor
pembekuan yang dependen vitamin K menjadi inaktif. Pemberian vitamin K intravena atau
intramuskuler dapat memperbaiki keadaan ini.6,9
Anemia sering dijumpai pada pasien sirosis hepatis. Anemia pada pasien sirosis dapat
terjadi akibat hipersplenisme, pendarahan, defisiensi besi dan defisiensi folat. Gambaran
anemia makrositik lebih sering ditemukan pada pasien dengan penyakit hati kronik.6,9
3.2.7. Prognosis
32
Prognosis pada pasien dengan sirosis hepatis dapat dihitung dengan menggunakan
modifikasi skor Child Turcotte Pugh. Beberapa aspek yang dinilai pada skor Child Pugh
dapat dilihat pada tabel berikut13,14:
IndikatorSkor
1 2 3
Bilirubin Total (mg/dL) <2 2 - 3 >3
Albumin Serum (g/dL) >3,5 2,8 – 3,5 <2,8
Nutrisi Sempurna Baik Buruk
Ascites Tidak ada Sedang Masif
Ensefalopati hepatik Tidak ada Gr I - II Gr III - IV
Skoring tersebut kemudian dimodifikasi dengan menggantikan indikator nutrisi menjadi faal
pembekuan (INR). Adapun skor Child Pugh modifikasi adalah sebagai berikut13,14 :
IndikatorSkor
1 2 3
Bilirubin Total (mg/dL) <2 2 - 3 >3
Albumin Serum (g/dL) >3,5 2,8 – 3,5 <2,8
INR ≤1,70 1,71 – 2,20 >2,20
Ascites Tidak ada Sedang Masif
Ensefalopati hepatik Tidak ada Gr I - II Gr III - IV
Poin dari 5 indikator tersebut kemudian dijumlahkan. Penderita kemudian
dikelompokkan menjadi 3 kelas berdasarkan total poin dengan prognosis yang berbeda-beda
masing-masing kelasnya. Adapun klasifikasi dan prognosis pasien sirosis hepatis berdasarkan
kriteria Child Pugh adalah sebagai berikut13,14 :
Poin Kelas Prognosis 1 tahun Prognosis 2 tahun
5-6 A 100% 85%
7-9 B 81% 57%
10-15 C 45% 35%
Di samping kriteria Child Pugh, prognosis pasien sirosis hepatis dapat diperkirakan
dengan menggunakan Model for End Stage Liver Disease (MELD). MELD memperkirakan
33
prognoasis pasien dengan menggunakan kadar kreatinin, bilirubin dan nilai INR pasien.
Rumus MELD = (0.957 x ln(Serum kreatinin (mg/dl)) + 0.378 x ln(Serum Bilirubin (mg/dl))
+ 1.120 * ln(INR) + 0.643 ) * 10. Bila kreatinin, bilirubin, dan INR dibawah 1, nilainya
dibulatkan menjadi 1. Bila nilai kreatinin di atas 4 mg/dL, nilainya dibulatkan menjadi 4.
Nilai MELD bervariasi antara 6 – 40. Angka prognosis berdasarkan MELD score adalah
sebagai berikut13,14 :
Skor Angka Mortalitas 3 bulan
22 10%
29 30%
33 50%
38 80%
Terdapat beberapa modifikasi dari skor MELD. Salah satu modifikasi
memperhitungkan keadaan hiponatremia dan disebut sebagai MELD-Na. Penelitian
menunjukkan keadaan hiponatremia dapat menurunkan prognosis pasien dengan penyakit
hati stadium akhir. Skor MELD juga dapat digunakan memperhitungkan prioritas dan
prognosis pada pasien yang akan menjalani transplantasi hepar. Transplantasi hepar
direkomendasikan kepada penderita sirosis dengan skor MELD ≥15 atau sirosis
dekompesata.9,13,14