Sinusitis Maksilaris

25
BAB I PENDAHULUAN Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit dideskripsikan karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Ada empat pasang sinus paranasal, mulai dari yang terbesar yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus eitmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk rongga di dalam tulang. Semua sinus mempunyai muara (ostium) ke dalam rongga hidung. 1 Sinus yang dalam keadaan fisiologis adalah steril, apabila klirens sekretnya berkurang atau tersumbat, akan menimbulkan lingkungan yang baik untuk perkembangan organisme patogen. Apabila terjadi infeksi karena virus, bakteri ataupun jamur pada sinus yang berisi sekret ini, maka terjadilah sinusitis. 2, 3,4,5 Sinusitis adalah penyakit yang banyak ditemukan di seluruh dunia. 6 Sinusitis bakterial adalah diagnosis terbanyak kelima pada pasien dengan pemberian antibiotik. 2,3 Lima milyar dolar dihabiskan setiap tahunnya untuk pengobatan medis sinusitis, dan 60 milyar lainnya dihabiskan untuk pengobatan operatif sinusitis di Amerika Serikat. 7 Berdasarkan fakta tersebut diatas, sinusitis adalah penyakit yang penting untuk diketahui oleh seorang praktisi kesehatan. Dan sinusitis yang paling banyak ditemukan adalah sinusitis 1

Transcript of Sinusitis Maksilaris

BAB I PENDAHULUANSinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit dideskripsikan karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Ada empat pasang sinus paranasal, mulai dari yang terbesar yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus eitmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk rongga di dalam tulang. Semua sinus mempunyai muara (ostium) ke dalam rongga hidung.1 Sinus yang dalam keadaan fisiologis adalah steril, apabila klirens sekretnya berkurang atau tersumbat, akan menimbulkan lingkungan yang baik untuk perkembangan organisme patogen. Apabila terjadi infeksi karena virus, bakteri ataupun jamur pada sinus yang berisi sekret ini, maka terjadilah sinusitis.2,3,4,5

Sinusitis adalah penyakit yang banyak ditemukan di seluruh dunia.6 Sinusitis bakterial adalah diagnosis terbanyak kelima pada pasien dengan pemberian antibiotik.2,3 Lima milyar dolar dihabiskan setiap tahunnya untuk pengobatan medis sinusitis, dan 60 milyar lainnya dihabiskan untuk pengobatan operatif sinusitis di Amerika Serikat.7 Berdasarkan fakta tersebut diatas, sinusitis adalah penyakit yang penting untuk diketahui oleh seorang praktisi kesehatan. Dan sinusitis yang paling banyak ditemukan adalah sinusitis maksilaris.8 Oleh karena itu tema ini diangkat agar diagnosis, dan penanganan sinusitis maksilaris bisa dimengerti dengan lebih baik.

1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA2.1 Definisi Sinus paranasalis adalah rongga udara berlapis mukosa pada tulang kranium, yang berhubungan dengan rongga hidung dan meliputi sinus frontalis, sinus etmoidalis, sinus maksilaris, dan sinus sfenoidalis.9 Sedangkan sinusitis adalah kondisi inflamatorik yang melibatkan satu atau lebih dari keempat rongga berpasangan yang mengelilingi kavum nasi (sinus paranasalis).3 Menurut anatomi yang terkena, sinusitis dibagi atas sinusitis frontalis, sinusitis etmoidalis, sinusitis maksilaris, dan sinusitis sfenoidalis.4 Jadi, sinusitis maksilaris adalah suatu kondisi inflamatorik yang melibatkan sinus maksilaris.

2.2

Anatomi Manusia memiliki sekitar 12 rongga di sepanjang atap dan bagian lateral

kavum nasi. Sinus-sinus ini membentuk rongga di dalam beberapa tulang wajah, dan diberi nama sesuai dengan tulang tersebut, yaitu sinus maksilaris, sinus sfenoidalis, sinus frontalis, dan sinus etmoidalis (Gambar 2.1). Seluruh sinus dilapisi oleh epitel saluran pernafasan yang mengalami modifikasi, yang mampu menghasilkan mukus, dan bersilia. Sekret yang dihasilkan disalurkan ke dalam kavum nasi. Pada orang sehat, sinus terutama berisi udara.1

Gambar 2.1. Sinus Paranasalis. Sumber: Clinical Anesthesiology 6thedition (2006).

Secara klinis sinus paranasal dibagi menjadi dua kelompok yaitu bagian anterior dan posterior. Kelompok anterior bermuara di bawah konka media, pada 2

atau di dekat infundibulum, terdiri dari sinus frontal, sinus maksila, dan sel-sel anterior sinus etmoid. Kelompok posterior bermuara di berbagai tempat di atas konka media terdiri dari sel-sel posterior sinus etmoid dan sinus sphenoid. Garis perlekatan konka media pada dinding lateral hidung merupakan batas antara kedua kelompok. Proctor berpendapat bahwa salah satu fungsi penting sinus paranasal adalah sebagai sumber lendir yang segar dan tak terkontaminasi yang dialirkan ke mukosa hidung. Sinus maksilaris atau Antrum Highmore, merupakan satu-satunya sinus yang rutin ditemukan pada saat lahir.1 Sinus maksilaris terletak di dalam tulang maksilaris, dengan dinding inferior orbita sebagai batas superior, dinding lateral nasal sebagai batas medial, prosesus alveolaris maksila sebagai batas inferior, dan fossa canine sebagai batas anterior.8Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah: 1) dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi taring (C) dan gigi molar (M3), bahkan akar-akar gigi tersebut tumbuh ke dalam rongga sinus, hanya tertutup oleh mukosa saja. Gigi premolar kedua dan gigi molar kesatu dan dua tumbuhnya dekat dengan dasar sinus. Bahkan kadang-kadang tumbuh ke dalam rongga sinus, hanya tertutup oleh mukosa saja. Proses supuratif yang terjadi di sekitar gigi-gigi ini dapat menjalar ke mukosa sinus melalui pembuluh darah atau limfe, sedangkan pencabutan gigi ini dapat menimbulkan hubungan dengan rongga sinus yang akan mengakibatkan sinusitis. 2) sinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita. 3) Ostium sinus maksila lebih tinggi letaknya dari dasar sinus, sehingga drainase hanya tergantung dari gerak silia, dan drainase harus melalui infundibulum yang sempit. Infundibulum adalah bagian dari sinus etmoid anterior dan pembengkakan akibat radang atau alergi pada daerah ini dapat menghalangi drainase sinus maksila dan selanjutnya menyebabkan sinusitis.4

2.3

Epidemiologi Di Amerika Serikat, lebih dari 30 juta orang menderita sinusitis.6,7,8,10,11,12

Virus adalah penyebab sinusitis akut yang paling umum ditemukan.3,7 Namun, sinusitis bakterial adalah diagnosis terbanyak kelima pada pasien dengan pemberian antibiotik.2,3 Lima milyar dolar dihabiskan setiap tahunnya untuk

3

pengobatan medis sinusitis, dan 60 milyar lainnya dihabiskan untuk pengobatan operatif sinusitis di Amerika Serikat.7 Sinusitis adalah penyakit yang banyak ditemukan di seluruh dunia, terutama di tempat dengan polusi udara tinggi. Iklim yang lembab, dingin, dengan konsentrasi pollen yang tinggi terkait dengan prevalensi yang lebih tinggi dari sinusitis.6 Sinusitis maksilaris adalah sinusitis dengan insiden yang terbesar.8

2.4

Etiologi Berbagai faktor infeksius dan nonifeksius dapat memberikan kontribusi

dalam terjadinya obstruksi akut ostia sinus atau gangguan pengeluaran cairan oleh silia, yang akhirnya menyebabkan sinusitis. Penyebab nonifeksius antara lain adalah alergi, barotrauma, atau iritan kimia. Penyakit seperti tumor nasal atau tumor sinus (squamous cell carcinoma), dan juga penyakit granulomatus (Wegeners granulomatosis atau rhinoskleroma) juga dapat menyebabkan obstruksi ostia sinus, sedangkan kondisi yang menyebabkan perubahan kandungan sekret mukus (fibrosis kistik) dapat menyebabkan sinusitis dengan mengganggu pengeluaran mukus. Di rumah sakit, penggunaan pipa nasotrakeal adalah faktor resiko mayor untuk infeksi nosokomial di unit perawatan intensif.3 Infeksi sinusitis akut dapat disebabkan berbagai organisme, termasuk virus, bakteri, dan jamur.3,13 Virus yang sering ditemukan adalah rhinovirus, virus parainfluenza, dan virus influenza.3 Bakteri yang sering menyebabkan sinusitis adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, dan moraxella catarralis3,6,14,15,16,17,18 Bakteri anaerob juga terkadang ditemukan sebagai penyebab sinusitis maksilaris, terkait dengan infeksi pada gigi premolar.3,19 Sedangkan jamur juga ditemukan sebagai penyebab sinusitis pada pasien dengan gangguan sistem imun, yang menunjukkan infeksi invasif yang mengancam jiwa. Jamur yang menyebabkan infeksi antara lain adalah dari spesies Rhizopus, rhizomucor, Mucor, Absidia, Cunninghamella, Aspergillus, dan Fusarium.3,20,21,22

2.5

Patofisiologi Fungsi ventilasi dan drainase adalah penting dalam menjaga kondisi sinus

agar tetap normal. Hal ini berhubungan erat dengan keadaan KOM (Kompleks

4

ostiomeatal adalah bagian dari sinus etmoid anterior yang berupa celah pada dinding lateral hidung penderita). Apabila KOM terganggu dapat menyebabkan gangguan drainase dan ventilasi yang menurunkan kandungan oksigen, peningkatan PCO , menurunkan pH, mengurangi aliran darah mukosa.2

Pembengkakan mukosa juga dapat menyempitkan ostium dan menurunkan fungsi pembersihan mukosiliar. Dalam keadaan fisiologis, sinus adalah steril.2,3 Sinusitis dapat terjadi bila klirens silier sekret sinus berkurang atau ostia sinus menjadi tersumbat, yang menyebabkan retensi sekret, tekanan sinus negatif, dan berkurangnya tekanan parsial oksigen.2,3 Lingkungan ini cocok untuk pertumbuhan organisme patogen.2,3,4,5 Apabila terjadi infeksi karena virus, bakteri ataupun jamur pada sinus yang berisi sekret ini, maka terjadilah sinusitis.3 Pada perokok, sinusitis terjadi oleh karena kerusakan mukosilier pada mukosa sinus paranasal, akibat dari hawa panas rokok saat terjadi penghisapan dalam hidung. Setelah terjadi kerusakan oleh karena hawa panas dari rokok yang mengenai silia-silia pada mukosa paranasal, maka fungsi-fungsi dari silia-silia tersebut menjadi hilang, seharusnya silia-silia tersebut menjadi alat transport untuk mengeluarkan cairan mucus pada sinus-sinus menuju ke kompleks osteomeatal dan dikeluarkan melalui lubang hidung. Karena kerusakan pada siliasilia menyebabkan aliran mucus terganggu sehingga cairan tersebut tidak dapat dikeluarkan dan menjadi media yang baik untuk pertumbuhan kuman.

2.6

Manifestasi Klinis Manifestasi klinis sinusitis sangat bervariasi. Keluhan utama yang paling

sering ditemukan adalah tidak spesifik, dan dapat berupa sekret nasal purulen, kongesti nasal, rasa tertekan pada wajah, nyeri gigi, nyeri telinga, demam, nyeri kepala, batuk, rasa lelah, halitosis, atau berkurangnya penciuman. Gejala seperti ini sulit dibedakan dengan infeksi saluran nafas atas karena virus, sehingga durasi gejala menjadi penting dalam diagnosis. Pasien dengan gejala di atas selama lebih dari 7 hari mengarahkan diagnosis ke arah sinusitis.3,23 Kriteria diagnosis sinusitis dirangkum dalam tabel 1.23

5

Tabel 2.1. Kriteria diagnosis sinusitis (Sumber: Boies ET. 2001) Mayor Nyeri atau rasa tertekan pada wajah Sekret nasal purulen Demam Kongesti nasal Obstruksi nasal Hiposmia atau anosmia Minor Sakit kepala Batuk Rasa lelah Halitosis Nyeri gigi Nyeri atau rasa tertekan pada telinga

Diagnosis memerlukan dua kriteria mayor atau satu kriteria mayor dengan dua kriteria minor pada pasien dengan gejala lebih dari 7 hari.

2.7

Pemeriksaan Penunjang Terdapat beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan, yaitu:

1. Pemeriksaan transluminasi. Pada pemeriksaan transluminasi, sinus yang sakit akan tampak suram atau gelap.24 Hal ini lebih mudah diamati bila sinusitis terjadi pada satu sisi wajah, karena akan Nampak perbedaan antara sinus yang sehat dengan sinus yang sakit.24 2. Pencitraan Dengan foto kepala posisi Waters, PA, dan lateral, akan terlihat perselubungan atau penebalan mukosa saat air-fluid level pada sinus yang sakit.24 CT Scan adalah pemeriksaan pencitraan terbaik dalam kasus sinusitis.3 3. Kultur Karena pengobatan harus dilakukan dengan mengarah kepada organisme penyebab, maka kultur dianjurkan. Bahan kultur dapat diambil dari meatus medius, meatus superior, atau aspirasi sinus.3

2.8

Diagnosis Banding Diagnosis banding sinusitis adalah luas, karena tanda dan gejala sinusitis

tidak sensitif dan spesifik. Infeksi saluran nafas atas, polip nasal, penyalahgunaan kokain, rinitis alergika, rinitis vasomotor, dan rinitis medikamentosa dapat datang dengan gejala pilek dan kongesti nasal. Rhinorrhea cairan serebrospinal harus

6

dipertimbangkan pada pasien dengan riwayat cedera kepala. Pilek persisten unilateral dengan epistaksis dapat mengarah kepada neoplasma atau benda asing nasal. Tension headache, cluster headache, migren, dan sakit gigi adalah diagnosis alternative pada pasien dengan sefalgia atau nyeri wajah. Pasien dengan demam memerlukan perhatian khusus, karena demam dapat merupakan manifestasi sinusitis saja atau infeksi system saraf pusat yang berat, seperti meningitis atau abses intrakranial.23

2.9

Penatalaksanaan

Prinsip penatalaksanaan dari sinusitis adalah: mengembalikan fungsi silia mukosa, memperbaiki drainase, eradikasi bakteri, dan menghilangkan keluhan nyeri. Penatalaksanaan sinusitis dibagi atas: 1. Medikamentosa3 Pengobatan medikamentosa sinusitis biasanya diberikan dekongestan untuk mengurangi penyumbatan, antibiotik untuk mengendalikan infeksi bakteri dan obat pereda nyeri untuk mengurangi rasa nyeri, dibagi atas pengobatan pada orang dewasa dan pada anak-anak. a. Orang dewasa i. Terapi awal: - Amoxicillin 875 mg per oral 2 kali sehari selama 10 hari, atau - TMP-SMX 160 mg-800 mg per oral 2 kali sehari selama 10 hari ii. Pasien dengan paparan antibiotik dalam 30 hari terakhir - Amoxicillin 1000 mg per oral 2 kali sehari selama 10 hari, atau - Amoxicillin/Clavulanate 875 mg per oral 2 kali sehari selama 10 hari, atau - Levofloxacin 500 mg per oral sekali sehari selama 7 hari. iii. Pasien dengan gagal pengobatan - Amoxicillin 1500 mg dengan klavulanat 125 mg per oral 2 kali sehari selama 10 hari, atau - Amoxicillin 1500 mg per oral 2 kali sehari dengan Clindamycin 300 mg per oral 4 kali sehari selama 10 hari, atau - Levofloxacin 500 mg per oral sekali sehari selama 7 hari.

7

b. Anak-anak i. Terapi awal: Pengobatan oral selama 10 hari dengan: - Amoxicillin 45-90 mg/kg/hari terbagi dalam dua atau tiga dosis sehari, atau - Cefuroxime axetil 30 mg/kg/hari terbagi dalam dua dosis sehari, atau - Cefdinir 14 mg/kg/hari dalam satu dosis sehari. ii. Pasien dengan paparan antibiotik dalam 30 hari terakhir: Pengobatan oral selama 10 hari dengan: - Amoxicillin 90 mg/kg/hari (maksimal 2 gram) plus Clavulanate 6,4 mg/kg/hari, keduanya terbagi dalam dua dosis sehari, atau - Cefuroxime axetil 30 mg/kg/hari terbagi dalam dua dosis sehari, atau - Cefdinir 14 mg/kg/hari dalam satu dosis sehari. 2. Diatermi4 Diatermi gelombang pendek selama 10 hari dapat membantu penyembuhan sinusitis dengan memperbaiki vaskularisasi sinus. 3. Tindakan pembedahan Dilakukan bila pengobatan konservatif gagal, yaitu dengan mengangkat mukosa yang patologis dan membuat drainase dari sinus yang terkena. Tipe pembedahan radikal yang dilakukan adalah antrostomi intra nasal dan operasi Caldwell-Luc.24 Selain itu ada pembedahan non radikal yaitu dengan Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF), yang telah menjadi tindakan pembedahan utama untuk menangani sinus, yang prinsipnya dengan membuka dan membersihkan daerah ostio-meatal yang menjadi sumber penyumbatan dan infeksi hingga ventilasi dan drainase menjadi lancar kembali melalui ostium alami. Dengan demikian mukosa sinus akan kembali normal.4 Tingkat keberhasilan BSEF mencapai 90% dengan tanpa meninggalkan jaringan parut.

8

BAB III LAPORAN KASUS3.1 Identitas Pasien Nama Umur Jenis Kelamin Alamat Pekerjaan Agama Bangsa Pemeriksaan : Tn. AY : 42 Tahun : Laki-laki : Paru Cot : Wiraswasta : Islam : Indonesia : 23 Oktober 2012

3.2 Anamnesis Keluhan Utama: Hidung tersumbat, nyeri di bawah mata Riwayat Perjalanan Penyakit: Pasien mengeluh hidungnya tersumbat dan nyeri di bawah kelopak mata sejak kurang lebih 3 bulan sebelum memeriksakan diri ke rumah sakit. Pasien juga mengeluhkan sering bersin-bersin kalau cuaca dingin, nafas yang berbau busuk yang dirasakan sejak 1 bulan yang lalu. Kepala sakit saat sujud dan terkadang seperti ada lendir yang tertelan. Riwayat penyakit sebelumnya: Sebelumnya pasien sering menderita bersin, pilek dan hidung tersumbat Riwayat penyakit serupa dalam keluarga: Di keluarga pasien tidak ada yang menderita penyakit serupa Riwayat Sosial: Pasien adalah seorang perokok

3.3 Pemeriksaan Fisik Status present: TD : 100/80 mmHg T : 36,5C

9

RR : 22 x/menit

N : 80 x/menit

Status General Mata Thoraks : Konjungtiva Anemis (-/-), Sklera Ikterik (-/-) : Cor: BJ1 > BJ 2, murmur (-) Auskultasi: Ves +/+, Rh -/-, Wh -/Abdomen Extremitas Status THT: Telinga - Aurikula - Liang telinga - Membran tympani - Mastoid Hidung - Hidung luar - Cavum nasi - Septum - Discharge - Mukosa - Tumor - Konka inferior Tenggorok - Dispneu : - Cyanosis - Mukosa - Dinding belakang - Post nasal drip 3.4 Resume Penderita laki-laki, 42 tahun, Islam, dengan keluhan hidung tersumbat dan nyeri di bawah kelopak mata sejak kurang lebih 3 bulan sebelum memeriksakan negatif negatif merah muda merah muda positif - Stridor - Suara - Tonsil negatif normal T1/T1 tenang Kanan normal lapang intak normal Kanan normal sempit tidak ada deviasi negatif merah muda negatif udem mucopurulent merah muda negatif udem Kiri normal lapang intak normal Kiri normal sempit : distensi (-) Bising Usus (+) Normal : Hangat +/+

10

diri ke rumah sakit. Pasien juga mengeluhkan sering bersin-bersin kalau cuaca dingin, nafas yang berbau busuk yang dirasakan sejak 1 bulan yang lalu. Kepala sakit saat sujud dan terkadang seperti ada lendir yang tertelan. Riwayat sering bersin dan pilek hilang timbul sejak lama (+). Pada pemeriksaan fisik didapatkan status present dan status general dalam batas normal. Status THT : telinga tenang, cavum nasi kiri dan kanan sempit, discharge mucopurulent pada lubang hidung sebelah kiri, konka inferior udem pada kedua hidung. Pemeriksaan tenggorok didapatkan post nasal drip positif. Pemeriksaan Rontgen posisi Waters didapatkan kesan sinusitis maksilaris sinistra.

3.5 Diagnosa Kerja Sinusitis maksillaris sinistra

3.6 Pemeriksaan Penunjang Foto Waters (18 / 10 / 2012)

Tampak perselubungan pada sinus maxillaris sinistra Kesan: Sinusitis maksillaris sinistra

3.7 Penatalaksanaan Antrostomy sinistra

3.8 Prognosis Qou ad vitam: dubia ad bonam

11

Qou ad functionam: dubia ad bonam Qou ad sanactionam: dubia ad bonam

Laporan Antrostomy sinistra (31-10-2012): 1. Os di kamar operasi dengan infus terpasang 2. Dilakukan anestesi pada cavum nasi sinistra dengan tampon yang mengandung pantocain 2% + andrenalin 1:10 (diletakkan pada bagian bawah cavum nasi inferior dan regio ganglion shpenopalatina) selama 20 menit 3. Dibuat saluran ke arah sinus maxillaris sinistra dengan menggunakan trocard melalui bagian bawah konka inferior 4. Rongga sinus maxillaris dicuci dengan NaCl 0,9% + betadine sampai bersih (tampak pus keluar 25 cc) 5. Evaluasi perdarahan 6. Pasang tampon pada cavum nasi sinistra 7. KU pasien post antrostomy baik.

12

3.9 Follow up Tanggal 31-10-2012 VT: KU : baik Kes : cm TD :100/80 mmHg HR : 78 x/i RR : 22 x/i T : 36,5 CO

Terapi: IVFD RL 20 gtt/iInj. Ceftriaxon 1 gr/12 j Inj. Kalnex 500 mg/8 j Inj. Ketorolac 1 A/8 j Inj. Ranitidin 1 A/8 j Inj. Dexametason 1 A/12 j CTM 3x1

Tanggal 01-11-2012 VT: KU : baik Kes : cm TD :110/80 mmHg HR : 84 x/i RR : 22 x/i T : 36,5O C Terapi: Rencana PBJCiprofloxacin 2x500 mg Meloxicam 2x15 mg

13

BAB IV PEMBAHASANSinus maksilaris merupakan sinus yang paling besar dan juga paling sering mengalami infeksi atau peradangan. Pasien pada kasus ini didiagnosis dengan sinusitis maksilaris sinistra yang ditegakkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik serta didukung dengan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis didapatkan keluhan hidung tersumbat dan nyeri di bawah kelopak mata yang dirasakan penderita sejak 3 bulan sebelum memeriksakan diri ke Rumah Sakit. Pasien juga mengeluhkan sering bersin-bersin kalau cuaca dingin, nafas yang berbau busuk yang dirasakan sejak 1 bulan yang lalu. Kepala sakit saat sujud dan terkadang seperti ada lendir yang tertelan. Berdasarkan teori, pasien dengan sinusitis maksilaris biasanya mengeluh hidung tersumbat dan keluar cairan hidung yang sedikit kental, yang kadang-kadang disertai bau busuk dan bercampur darah. Selain itu penderita juga mengeluh nyeri terutama di bawah kelopak mata. Pada pemeriksaan fisik didapatkan cavum nasi kiri dan kanan sempit, discharge mucopurulent pada lubang hidung sebelah kiri, konka inferior udem pada kedua hidung serta post nasal drip yang positif pada pemeriksaan rinoskopi posterior. Salah satu penyebab sinusitis maksilaris selain infeksi adalah faktor non infeksi. Faktor non infeksi yang paling sering menyebabkan sinusitis adalah alergi. Serangan berulang pada mukosa hidung dapat menyebabkan mukosa hidung mengalami degenerasi, periplebitis, serta perilimfangitis sehingga mengganggu aliran balik cairan interstisial sehingga terjadi edema pada mukosa hidung yang menyebabkan gangguan drainase dan ventilasi sinus sehingga silia menjadi kurang aktif serta lendir yang diproduksi menjadi lebih kental. Keadaan ini merupakan media pertumbuhan kuman patogen yang sangat baik dan apabila sumbatan berlangsung terus menerus maka akan terjadi hipoksia dan menyebabkan infeksi bakteri anaerob. Pada pemeriksaan penunjang foto Rontgen dengan posisi Waters didapatkan gambaran perselubungan pada sinus maksilaris kiri. Akumulasi pus menyebabkan gambaran perselubungan atau air-fluid level yang khas pada sinusitis maksilaris. Penanganan yang dilakukan pada penderita ini pada intinya adalah untuk mengeluarkan sekret dari sinus dengan cara irigasi (Antrostomy). 14

DAFTAR PUSTAKA1. Higler PA. Nose: Applied Anatomy dan Physiology. In: Adams GL, Boies LR, Higler PA, editors. Boies Fundamentals of Otolaryngology. 6th ed. Philadelphia, PA: WB Saunders Company; 1989. p.173-90 2. Sobol SE, Schloss MD, Tewfik TL. Acute Sinusitis Medical Treatment. August 8, 2005. Available from: http://www.emedicine.com. Accessed September 20, 2012 3. Rubin MA, Gonzales R, Sande MA. Infections of the Upper Respiratory Tract. In: Kasper DL, Braunwald E, Fauci AS, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, editors. Harrisons Principle of Internal Medicine. 16thed. New York, NY: McGraw Hill; 2005. p. 185-93 4. Mangunkusumo E, Rifki N. Sinusitis. Dalam: Supardi EA, Iskandar N, editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala Leher. Ed 5. Jakarta: Balai Penerbitan FKUI; 2001. p.120-4 5. Higler PA. Paranasal Sinuses Diseases. In: Adams GL, Boies LR, Higler PA, editors. Boies Fundamentals of Otolaryngology. 6th ed. Philadelphia, PA: WB Saunders Company; 1989. p.240-62 6. Bajracharya H, Hinthorn D. Sinusitis. January 16, 2003. Available from: http://www.emedicine.com. Accessed September 20, 2012 7. Kennedy E. Chronic Sinusitis. November 28, 2005. Available from: http://www.emedicine.com. Accessed September 20, 2012 8. Patel AM, Vaughan WC. Chronic Maxillary Sinusitis Surgical Treatment. May 19, 2005. Available from: http://www.emedicine.com. Accessed September 20, 2012 9. Dorlands Pocket Medical Dictionary. Philadelphia, PA: WB Sunders Company; 1995. Paranasal Sinuses; p. 992 10. Sharma G. Sinusitis. June 22, 2005. Available from:

http://www.emedicine.com. Accessed September 20, 2012 11. Abdel Razek OA, Poe D. Chronic Sinusitis Medical Treatment. June 7, 2004. Available from: http://www.emedicine.com. Accessed September 20, 2012

15

12. Lee D, Krishna P. Acute Frontal Sinusitis Surgical Treatment. November 7, 2005. Available from: http://www.emedicine.com. Accessed September 20, 2012 13. American Academy Of Pediatrics Subcommittee on Management of Sinusitis and Committee on Quality Improvement. Clinical Practice Guideline: Management of Sinusitis. Pediatrics 2001 Sep; 108(3):798-808 14. Musher DM. Pneumococcal Infection. In: Kasper DL, Braunwald E, Fauci AS, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, editors. Harrisons Principle of Internal Medicine. 16thed. New York, NY: McGraw Hill; 2005. p. 806-14 15. Musher DM. Moraxella Catarrhalis and Other Moraxella Species.. In: Kasper DL, Braunwald E, Fauci AS, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, editors. Harrisons Principle of Internal Medicine. 16thed. New York, NY: McGraw Hill; 2005. p. 862-3 16. Murphy TF. Haemophilus infection. In: Kasper DL, Braunwald E, Fauci AS, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, editors. Harrisons Principle of Internal Medicine. 16thed. New York, NY: McGraw Hill; 2005. p. 185-93 17. Daum RS. Haemophilus Influenzae. In: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, editors. Nelson Textbook of Pediatrics. 17th ed. Philadelphia, PA: Saunders; 2004. p. 904-8 18. Pappas DE, Hendley JO. Sinusitis. In: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, editors. Nelson Textbook of Pediatrics. 17th ed. Philadelphia, PA: Saunders; 2004. p. 1391-3 19. Kasper DL. Infections Due To Mixed Anaerobic Organism. In: Kasper DL, Braunwald E, Fauci AS, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, editors. Harrisons Principle of Internal Medicine. 16thed. New York, NY: McGraw Hill; 2005. p. 940-6 20. Bennett JE. Aspergillosis. In: Kasper DL, Braunwald E, Fauci AS, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, editors. Harrisons Principle of Internal Medicine. 16thed. New York, NY: McGraw Hill; 2005. p. 1188-90 21. Aronoff SC. Aspergillus. In: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, editors. Nelson Textbook of Pediatrics. 17th ed. Philadelphia, PA: Saunders; 2004. p. 1016-8

16

22. McClay JE, Marple B. Allergic Fungal Sinusitis. March 30, 2006. Available from: http://www.emedicine.com. Accessed September 20, 2012 23. Boie ET. Sinusitis. In: Harwood-Nuss A, Wolfson AB, Linden CA, Shepherd SM, Stenklyft PH. The Clinical Practice of Emergency Medicine. 3rd ed. Philadelphia, PA: Lippincott Williams & Wilkins Publishers; 2001 24. Suardana W, et al. Rhinologi. Dalam: Suardana W, Bakta M, editor. Pedoman Diagnosis dan Terapi. Denpasar: Komite Medik RSUP Sanglah; 2000. 25. Anonymous. Anesthesia for Otorhinolaryngological Surgery. In: Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ, editors. Clinical Anesthesiology. 6thed. New York, NY: McGraw Hill; 2006. p. 837-47

17