Sindrom Stevens Johnsons
-
Upload
gladys-ailing -
Category
Documents
-
view
47 -
download
1
Transcript of Sindrom Stevens Johnsons
DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN
SINDROM STEVENS-JOHNSON
BAB I
PENDAHULUAN
Sindrom Stevens-Johnson pertama kali di publikasikan pada tahun 1922
oleh dua orang dokter, A.M Steven dan F.C. Johnson pada kasus dua orang
anak laki-laki dengan purulen konjungtivitis, stomatitis dan kelainan kulit
mukosa yang luas, parah, dan berkepanjangan yang akhirna dikenal sebagai
“eritema multiform mayor”. Sindrom Stevens-Johnson merupakan penyakit
dengan kelainan kulit mukokutenous yang serius. Penyebab pasti dari
sindrom ini belum diketahui pasti namun salah satu penyebab utama yang
banyak ditemukan ialah karena adanya alergi obat.
Sindrom Stevens-Johnson atau yang dikenal dengan singkatan SSJ.
adalah suatu kondisi medis darurat pada kulit yang dapat mengancam nyawa,
suatu sindrom yang mengenai kulit, selaput lendir (mukosa), dan mata, serta
ditandai dengan nekrosis kulit yang luas, dan pengelupasan epidermis.
Keadaan umum bervariasi dari ringan sampai berat, di mana efloresensinya
berupa eritema, vesikel atau bula, dan dapat disertai purpura. Sindrom
stevens-Johnson merupakan bentuk ringan dari Toxic Epidermal Necrolysis
(TEN). Gejala lain SSJ meliputi : demam tinggi , nyeri ringan hingga serius
pada kulit dan kecemasan. Penyakit ini dapat berkembang cepat tanpa terduga.
Awalnya lesi timbul tampak tidak berbahaya kemudian berkembang dengan
sangat cepat dalam waktu yang singkat , dan apabila lesi mendalam dan luas
penyembuhannya akan sangat sulit juga memerlukan waktu yang lama.
Sindrom Stevens- Johnson (SSJ) merupakan kasus jarang ditemukan.
Secara epidemiology penyakit ini paling sering menyerang wanita daripada
pria dengan ratio 5:1 dan terutama pada pasien dengan imun tubuh yang
kurang baik.
1
Penyebabnya SSJ belum di ketahui dengan pasti namun terdapat pada
beberapa kasus disebabkan oleh sensitasi sistem imun akibat agen luar di
antaranya ialah:
a. Obat-obatan (misalnya: antibiotik, obat anti-inflamasi non-steroid,
antikonvulsan, antijamur, antimikrobalainya seperti sulfonamide,
kuinolon, penisilin )yang merupakan salah satu penyebab utama kasus
SSJ.
b. Infeksi mikroorganism (bakteri, virus, jamur, dan parasit)
c. Faktor fisik ( sinar matahari, radiasi)
d. Makanan dan Lain-lain
Patomekanisme SSJ yaitu disebabkan karena reaksi imunitas seluler dan
humoralnya yang menyerang kulit dengan dekstrusi keratinosit. Pada alergi
obat akan terjadi aktivasi sel T, termasuk CD4 dan CD8. IL-5 meningkat serta
sitokin-sitokin lainnya. CD4 terdapat di dermis sedangkan CD8 di epidermis.
Keratinosit epidermis mengekspresikan ICAM-1, ICAM-2 dan MHC II.
Kerusakan jaringan yaitu pengelupasan epidermal disebabkan dekstrusi
keratinosit yang bertambah besar melalui apoptosis. Keratinosit apoptosis
merupakan ciri dari tahap awal SSJ. Sel-sel apoptosis semakin menjadi
nekrotik sehingga memicu respon inflamasi. SSJ dalam hitungan jam,
keratinosit apoptosis menyeluruh di kulit lesi, menjadi nekrotik; epidermis
kehilangan viabilitas, sehingga menciptakan gambaran histologis full-
thickness epidermis toxic(TEN).
Diperkirakan terdapat juga kerentanan genetik yang menyebabkan
timbulnya sensitivitas sistem imun akibat agen tertentu, misalkan HLA B-1502
pada orang China dan Taiwan yang menyebabkan mereka rentan terhadap
karbamazepin, dan HLA B-5801 terhadap sensitivitas pada allopurinol.
SSJ ditandai dengan <10% luas permukaan tubuh dengan epidermal
detachment , SSJ-TEN 10-30% dan TEN > 30% . Seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya, penyakit ini menyebabkan destruksi epidermis, maka fungsi
epidermis pun terganggu. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya penguapan
2
cairan berlebihan (seperti pada luka bakar), dan memudahkan terjadinya
infeksi sekunder pada kulit. Hal inilah yang menyebabkan mengapa penyakit
ini termasuk penyakit yang mengancam jiwa.
Diagnosis sebagian besar ditentukan oleh gambaran klinis dan riwayat
pasien. Diagnosis yang tepat dan benar disertai dengan penanganan cepat
sangat dibutuhkan pada kasus ini. Prognosis pada pasien SSJ dapat ditentukan
melalui nilai SCORTEN yang merupakan variable nilai perbandingan antara
SSJ dan NET serta mengevaluasi faktor risiko terjadinya kematian.
Gambar 1. Tabel penilaian SCORTEN
BAB II
DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN
3
I. 1 ANAMNESIS
Diagnosis sindrom stevens-johnson (SSJ) ditetapkan berdasarkan riwayat
pasien, gejala dan tanda pada pemeriksaan fisik pasien, serta pemeriksaan lab
dan pemeriksaan histopatologis. Adanya riwayat mengonsumsi obat,
mengalami infeksi, dan berbagai faktor pencetus lainnya. Biasanya terdapat
gejala non-spesifik seperti demam, nyeri kepala, rhinitis, batuk dan malaise
sebelum munculnya erupsi SSJ.
II. 2 PEMERIKSAAN FISIK & STATUS DERMATOLOGI
G ambar 2. Sindrom Stevens-Johnson
Berdasarkan pemeriksaan fisik, terdapat trias kelainan pada Sindrom
Stevens Johnson (SSJ) yaitu kerusakan kulit, keterlibatan membran mukosa,
serta kerusakan mata, dengan berbagai gambaran klinis, mulai dari yang ringan
hingga berat. Selain itu, ditemukan takikardi, demam, kesadaran menurun,
hipotensi, epistaksis, bahkan koma. Berikut trias kelainan SSJ berupa
1. Kelainan Kulit
Lesi didahului oleh eritema, makula purpura dengan bentuk yang tidak
teratur kemudian menjadi vesikel, bula. Vesikel dan bula kemudian
memecah menjadi erosi yang luas. Di samping itu juga terdapat purpura.
Lesi dikulit yang gampang pecah disebut Nikolsky sign, namun tanda ini
4
tidak spesifik terhadap Sindrom Stevens Johnson/ Toxic Epidermal
Necrolysis (TEN).
Gambar 3. Vesikel dan bula pada kulit
Berupa makula eritem dan pengelupasan epitel (A) dan vesikel/bula yang menghitam
menunjukkan nekrosis epidermis (B)
2. Kelainan membran mukosa (selaput lendir)
Lesi dimulai dengan eritema dan erosi kulit pada mukosa mulut (100%),
kemudian disusul oleh kelainan genital (50%), lubang hidung dan anus
jarang, masing-masing 8% dan 4%. Lesi di mulut dapat membuat pasien
sukar/tidak dapat menelan. Kelainannya berupa vesikel dan bula yang
cepat memecah hingga menjadi erosi dan ekskoriasi dan krusta
kehitaman.
Gambar 4. Lesi pada mulut dan mata
3. Kelainan mata
5
A B
Kelainan mata merupakan 80% diantara semua kasus, yang tersering
ialah konjungtivitis kataralis. Selain itu juga dapat berupa konjungtivitis
purulen, perdarahan, simblefaron, ulkus kornea, dan iridosiklitis.
Gambar 5. Kelainan pada mata
II. 3 PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Tidak terdapat pemeriksaan laboratorium spesifik untuk mendiagnosis
Sindrom Stevens Johnson (SSJ). Pemeriksaan laboratorium penting untuk
mengevaluasi derajat keparahan dan penatalaksanaan harian selama dalam
perawatan. Pemeriksaan gas darah, protein darah, elektrolit , kadar urea, dan
glukosa dilakukan untuk membantu penatalaksanaan yang cepat dan tepat serta
menetapkan prognosis.
Pada beberapa kasus pemeriksaan darah rutin, menunjukkan leukositosis
non-spesifik, anemia, dan kadang trombositopenia. Peningkatan yang drastis
dari leukosit menunjukkan infeksi sekunder bakteri yang harus segera
ditangani dengan antibiotik.
II. 4 PEMERIKSAAN HISTOPATOLOGI
Pada pemeriksaan histopatologi Sindrom Stevens-Johnson dengan
melakukan skin biopsi, lesi awal menunjukkan adanya nekrosis keratinosit
yang ditandai dengan spongiosis, dan edema intraselular, dengan infiltrasi sel
limfosit, dan eosinofil. Pada lesi lanjut, terdapat clear zone (area bersih) yang
terletak di suprabasal yang memisahkan epidermis dengan dermis (detachment
6
epidermis), juga terdapat vesikel dan bula pada lapisan epidermis. Selain itu,
terdapat ekstravasasi eritrosit, serta edema pada stratum korneum.
Gambar 6. Histopatologi Sindrom Stevens-Johnson.
II. 5 DIAGNOSIS BANDING
Beberapa diagnosis banding diantaranya:
1. Toxic Epidermal Necrolysis (TEN)
Toxic Epidermal Necrolysis (TEN) merupakan salah satu penyakit
nekrosis epidermolisis seperti Sindrom Stevens-Johnson yang juga mengancam
kehidupan. Pada SSJ keterlibatan epidermis lebih kecil dari 10%, transisi SSJ-
TEN antara 10%-30%, sedangkan lesi dikatakan TEN jika >30% kerusakan
epidermis tubuh. Selain dari segi keterlibatan epidermis, penyakit ini juga
memiliki keadaan umum dan prognosis yang lebih buruk. Penyebab dan
mekanisme dari penyakit ini sama dengan SSJ,dengan kata lain TEN adalah
bentuk parah dari SSJ.
7
Gambar 7. Perbandingan luas lesi pada SSJ dan TEN
Gambar 8. lesi pada pasien TEN
2.Eritema Multiforme
Eritema Multiforme (EM) merupakan erupsi mendadak dan rekuren pada
kulit dan selaput lendir dengan efloresensi yang khas berbentuk iris. Pada
kasus yang berat disertai simtom konstitusi dan lesi viseral. Penyebab belum
diketahui pasti, namun dapat disebabkan oleh alergi obat seperti halnya pada
SSJ. Gejala khas yang membedakan dengan SSJ yaitu lesi bentuk iris (target
lesion) yang terdiri dari tiga bagian, yaitu bagian tengah berupa vesikel atau
eritema keunguan, dikelilingi oleh lingkaran konsentris yang pucat, dan
kemudian lingkaran yang merah.
8
Gambar 9. Pasien Eritema Multiforme
3.Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (S.S.S.S)
Penyakit ini disebut juga pemphigus neonatorum/ impetigo neonatorum/
Ritter’s disease disebabkan oleh infeksi Staphylococcus aureus yang
menyerang neonatus dan balita. Penyakit ini menyebabkan erosi/ pengelupasan
epidermis akibat toksin yang dikeluarkan oleh S.aureus sehingga terjadi
pemisahan antara dermis dan epidermis. Perbedaan penyakit ini dengan SSJ
yaitu pada penyakit ini tidak menyebabkan erosi pada mukosa. Prognosisnya
pun baik, tidak seperti SSJ yang berbahaya jika tidak segera ditangani dengan
baik.
9
Gambar 10. Pasien S.S.S.S.
II. 6 PENATALAKSANAAN
Umum :
1. Mengembalikan keseimbangan cairan dan elektrolit dengan
pemberian cairan intravena.
2. Memperhatikan keseimbangan hemodinamik dan sistem O2,CO2.
3. Pengobatan lesi dilakukan seperti pada penatalaksanaan luka bakar.
Khusus :
1. Sistemik :
Kortikosteroid dosis tinggi merupakan (live saving). Pemberian
dilakukan secara parenteral atau peroral, kemudian dosis
diturunkan perlahan. Pada kasus berat harus di rawat inap dan
diberi deksametason IV, dosis 6x5 mg, selama 2-3hari. Jika
keadaan umum membaik, obat dapat diganti dengan prednison
(dosis ekuivalen). Pada kasus ringan diberikan prednison 4x5
mg – 4x20 mg/hari, dosis diturunkan bertahap jika terjadi
perbaikan.
Pemberian antibiotik untuk pencegahan terjadinya infeksi dan
mengurangi angka kematian, misalnya pemberian Siklosporin
2X400mg IV, Klindamicin 2X600mg IV, seftriakson 1X2g IV
Penelitian menunjukkan kombinasi siklosporin sebagai
10
calcineurin inhibitor dengan kortikosteroid dosis tinggi, dapat
mempercepat reepitelisasi.
Thalidomide (anti TNF-α) dapat membantu penyembuhan dalam
beberapa kasus pasien.
High-dose Intravenous Immunoglobulin
Plampheresis/Hemodialisis
2. Topikal :
Vesikel dan bula yang belum pecah diberi bedak salisil 2%
Kelainan mulut yang berat diberikan kompres asam borat 3%
Pada kasus konjungtivitis diberi salap mata yang mengandung
antibiotik dan kortikosteroid.
11
BAB III
PENUTUP
Sebagai kesimpulan bahwa Sindrom Stevens-Johnson (SSJ) adalah
penyakit inflamasi sistemik autoimun yang menyerang keratinosit pada kulit
dan mukosa yang menyebabkan nekrosis, erosi, dan membentuk vesikel atau
bula yang mudah pecah. Penyebabnya belum di ketahui dengan pasti namun
terdapat pada beberapa kasus disebabkan oleh sensitasi sistem imun akibat
agen dari luar seperti obat-obatan, infeksi, sinar X, makanan dan lain-lain.
Diagnosis sebagian besar ditentukan oleh gambaran klinis dan riwayat pasien.
Gambaran klinis mulai dari yang ringan hingga berat. Berdasarkan
pemeriksaan fisik, terdapat trias kelainan pada Sindrom Stevens Johnson
(SSJ) yaitu kerusakan kulit, keterlibatan membran mukosa, serta kerusakan
mata,. Selain itu, ditemukan gejala-gejala lainnya seperti takikardi, demam,
kesadaran menurun, hipotensi, epistaksis, bahkan koma.
Pengobatan pada pasien SJS dapat dibagi menjadi dua yaitu secara umum
dan khusus. Secara umum meliputi pengembalikan keseimbangan cairan dan
elektrolit tubuh, keseimbangan hemodinamik dan sistem O2,CO2. Secara
khusus yaitu pengobatan sistemik dengan pemberian kortikosteroid,
antibiotik, anti TNF-α, Immunoglobulin, Plampheresis/Hemodialisis dan
topikal bedak salysil 2%, asam borat 3% untuk lesi mukosa. Diagnosis yang
tepat dengan penanganan cepat sangat dibutuhkan, yaitu memberikan life-
support disertai dengan pemberian sistemik kortikosteroid dosis tinggi yang
benar untuk menekan reaksi autoimunnya. Adapun pemberian siklosporin
sangat membantu dalam pencegahan dan pengobatan infeksi sekunder.
Komplikasi yang paling sering pada kasus ini ialah sepsis, infeksi paru dan
dapat menyebabkan multisistem organ failure . komplikasi akhir lainya pada
kelainan mata yaitu kronik inflamasi, entropion, fibrosis, symblepharon, dan
konjungtivitis. SSJ adalah penyakit dengan morbilitas tinggi, yang berpotensi
mengancam nyawa. Pada kasus ini nilai SCORTEN merupakan variable nilai
12
yang sekarang banyak digunakan untuk menentukan prognosis, menunjukan
perbandingan antara SSJ dan TEN(Toxic Epidermal Necrolysis) serta
mengevaluasi faktor risiko terjadinya kematian pada kasus ini.
Secara umum diagnosis yang tepat dan penatalaksanaan yang cepat
prognosis pun akan cukup memuaskan. Namun, bila terdapat purpura yang
luas dan leukopenia disertai dengan infeksi sekunder, prognosisnya akan
lebih buruk dan memerlukan penyembuhan dalam jangka waktu yang
panjang.
13
DAFTAR PUSTAKA
1. E FL, Christa P. Erythema Multiforme, Stevens–Johnson Syndrome and
Toxic Epidermal Necrolysis In: Bolognia JL, Jorizzo JL, Rapini RP, Callen
JP, Horn TD, Mancini AJ, et al., editors. DERMATOLOGY. 1. Second ed.
New York, USA: MOSBY ELSEVIER; 2008. p. 287-300.
2. Satyanand T, Sachin K, Amit K, Mohit S, Abhishek S. Stevens-Johnson
syndrome-A life threatening skin disorder. Journal of Chemical and
Phamaceutical Research. 2012:618-26.
3. Thomas H, E FL. Toxic epidermal necrolysis and Stevens-Johnson
syndrome Orphanet Journal of Rare Diseases 2010. 2010.
4. Adhi D, Mochtar H. Sindrom Stevens-Johnson. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. 6 ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2009. p. 163-5.
5. James WD, DME, Berger TG. Bullous drug eruption(Stevens-Johnson
syndrome and Toxic Epidermal Necrolysis. Andrews’ Disease Of The Skin
Clinical Dermatology. United States America: Saunders Elsevier. p. 114-
6;40.
6. Valeyrie-Allanore L, Jean-Claude R. Epidermal Necrolysis (Stevens-
Johnson Syndrome and Toxic Epidermal Necrolysis). In: LA G, SI K, BA G,
AS P, DJ L, K W, editors. Fitzpatrick’s Dermatology In General Medicine. 8
ed. New York: Mc Graw Hill; 2012. p. 642-54.
7. M. KJ, M. YM, H M, AL-AMIRY A. STEVEN JOHNSON
SYNDROME: THREE CASES REPORTED IN IRAQ International Journal
of Pharmacy and Pharmaceutical Sciences. 2012 23 June 2012 4(4):1-2.
8. O KA, Tomas D, John M, K WJ, Zhu JJ-g. Multifocal Stevens-Johnson
syndrome after concurrent phenytoin, and cranial and thoracic radiation
treatment, a case report. Radiation oncology BioMed Central. 2010:1-5.
14