SIMBOKRONIK KOMUNIKASI (BERTAHAN DAN KETERASINGAN …

13
63 Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume 22 No. 3 Tahun 2020 journal homepage: https://jmb.lipi.go.id/jmb ISSN 1410-4830 (print) | e-ISSN 2502-1966 (online) | © 2020 The Author(s). Published by LIPI Press. This is an open access article under the CC BY-NC-ND license (http://creativecommons.org/licenses/by-nc-nd/4.0/). DOI: 10.14203/jmb.v22i3.883 Naskah Masuk: November 2019 Revisi akhir: November 2020 Diterima: November 2020 SIMBOKRONIK KOMUNIKASI (BERTAHAN DAN KETERASINGAN INDIVIDU GAY DI JAKARTA) Michael Jibrael Rorong Program Studi Ilmu Komunikasi. Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora Universitas Putera Batam e-mail: [email protected]/[email protected] ABSTRACT The existence of gay is a part of human life, however it is not necessarily recognized by the society. Gay is one of the sexual orientations used in individuals who claim to be open and present in social life. The life of gay individuals is synonymous with isolation, in this case the life struggle of a gay individual in society requires struggle. Behind that struggle, a deep meaning of life is tucked, and generates symbochronic communication. This research looks at and questions the lives that gay individuals live as part of society through their life experiences. This study uses a qualitative research approach, by describing every meaning of life of gay individuals, using theory, methodology, and phenomenological traditions. This study uses an interpretative paradigm basis because the aspect emphasized more in this study is the research subject, by not presenting the subject, by not presenting the subject. As part of research ethics, this study views the reality of gay individuals from Maurice Ponty’s theoretical perspective, regarding the body. This research produces symbochronic communication created from the stereotypes of society. Key Word: Society, Gay, Symbochronic, Phenomenology, Qualitative. 1. PENDAHULUAN Penyimpangan pada aspek-aspek perjuangan individu gay telah diceritakan dalam berbagai perspektif. Hal itu sesuai dengan penelitian- penelitian terdahulu, seperti penelitian dari Rakhmahappin dan Prabowo (2014) tentang kecemasan sosial kaum homoseksual dan lesbian; Barb (2014) yang berjudul “Being True, Whole, and Strong: Phenomenology of Transgederism as a Valued Life Experience”; Praptiningsi (2016) tentang etnografi komunikasi komunitas gay; dan Stefan dkk. (2017) yang berjudul “Privileging the Bromance: A Critical Appraisal of Romantic and Bromantic Relationship” dengan bahasan tentang penyimpangan sosial dalam masyarakat. Masalah yang ada pada setiap kajian terda- hulu mengantarkan peneliti pada stereotipe yang terlihat pada istilah “sampah masyarakat” pada kalangan individu gay. Selain itu, ada pembentuk- an identitas diri dari psikologi individu sebagai bentuk pertahanan saat mengalami keterasingan sehingga menunjukkan simbokronik komunikasi. Istilah simbokronik komunikasi didefinisikan sebagai artefak-artefak komunikasi yang melekat pada diri individu. Artefak komunikasi bisa berupa komunikasi verbal dan nonverbal, serta simbol-simbol yang melekat pada diri individu yang menciptakan makna untuk orang lain, ter- masuk di dalamnya individu gay (Rorong, 2020). Fejes dan Balogh (2013) mengatakan bahwa gay merupakan suatu kondisi seksual ketika se- seorang menyukai orang dengan kategori yang sama. Gay merujuk pada pria yang menyukai sesama pria dan lesbian merujuk pada wanita hal ini berbeda dengan transgander dan bisek- sual. Kondisi tersebut bertolak belakang dengan masyarakat heteroseksual, yakni istilah yang menunjukkan orientasi seksual pria menyukai wanita dan sebaliknya. Heteroseksual adalah istilah yang menunjukan orientasi seksual pria menyukai wanita dan sebaliknya.

Transcript of SIMBOKRONIK KOMUNIKASI (BERTAHAN DAN KETERASINGAN …

Page 1: SIMBOKRONIK KOMUNIKASI (BERTAHAN DAN KETERASINGAN …

63

Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume 22 No. 3 Tahun 2020

journal homepage: https://jmb.lipi.go.id/jmb

ISSN 1410-4830 (print) | e-ISSN 2502-1966 (online) | © 2020 The Author(s). Published by LIPI Press. This is an open access article under the CC BY-NC-ND license (http://creativecommons.org/licenses/by-nc-nd/4.0/).

DOI: 10.14203/jmb.v22i3.883Naskah Masuk: November 2019 Revisi akhir: November 2020 Diterima: November 2020

SIMBOKRONIK KOMUNIKASI (BERTAHAN DAN KETERASINGAN INDIVIDU GAY

DI JAKARTA)

Michael Jibrael Rorong

Program Studi Ilmu Komunikasi.Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora

Universitas Putera Batame-mail: [email protected]/[email protected]

ABSTRACTThe existence of gay is a part of human life, however it is not necessarily recognized by the society. Gay is

one of the sexual orientations used in individuals who claim to be open and present in social life. The life of gay individuals is synonymous with isolation, in this case the life struggle of a gay individual in society requires struggle.Behind that struggle, a deep meaning of life is tucked, and generates symbochronic communication. This research looks at and questions the lives that gay individuals live as part of society through their life experiences. This study uses a qualitative research approach, by describing every meaning of life of gay individuals, using theory, methodology, and phenomenological traditions. This study uses an interpretative paradigm basis because the aspect emphasized more in this study is the research subject, by not presenting the subject, by not presenting the subject. As part of research ethics, this study views the reality of gay individuals from Maurice Ponty’s theoretical perspective, regarding the body. This research produces symbochronic communication created from the stereotypes of society.Key Word: Society, Gay, Symbochronic, Phenomenology, Qualitative.

1. PENDAHULUANPenyimpangan pada aspek-aspek perjuangan individu gay telah diceritakan dalam berbagai perspektif. Hal itu sesuai dengan penelitian-penelitian terdahulu, seperti penelitian dari Rakhmahappin dan Prabowo (2014) tentang kecemasan sosial kaum homoseksual dan lesbian; Barb (2014) yang berjudul “Being True, Whole, and Strong: Phenomenology of Transgederism as a Valued Life Experience”; Praptiningsi (2016) tentang etnografi komunikasi komunitas gay; dan Stefan dkk. (2017) yang berjudul “Privileging the Bromance: A Critical Appraisal of Romantic and Bromantic Relationship” dengan bahasan tentang penyimpangan sosial dalam masyarakat.

Masalah yang ada pada setiap kajian terda-hulu mengantarkan peneliti pada stereotipe yang terlihat pada istilah “sampah masyarakat” pada kalangan individu gay. Selain itu, ada pembentuk-an identitas diri dari psikologi individu sebagai bentuk pertahanan saat mengalami keterasingan

sehingga menunjukkan simbokronik komunikasi. Istilah simbokronik komunikasi didefinisikan sebagai artefak-artefak komunikasi yang melekat pada diri individu. Artefak komunikasi bisa berupa komunikasi verbal dan nonverbal, serta simbol-simbol yang melekat pada diri individu yang menciptakan makna untuk orang lain, ter-masuk di dalamnya individu gay (Rorong, 2020).

Fejes dan Balogh (2013) mengatakan bahwa gay merupakan suatu kondisi seksual ketika se-seorang menyukai orang dengan ka tegori yang sama. Gay merujuk pada pria yang menyukai sesama pria dan lesbian merujuk pada wanita hal ini berbeda dengan transgander dan bisek-sual. Kondisi tersebut bertolak belakang dengan masyarakat heteroseksual, yakni istilah yang menunjukkan orientasi seksual pria menyukai wanita dan sebaliknya. Heteroseksual adalah istilah yang menunjukan orientasi seksual pria menyukai wanita dan sebaliknya.

Page 2: SIMBOKRONIK KOMUNIKASI (BERTAHAN DAN KETERASINGAN …

64 Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume 22 No. 3 Tahun 2020, hlm. 63–75

Michael Jibrael Rorong

Kehidupan manusia memerlukan komuni-kasi, begitu pula dengan komunitas atau individu gay yang keberadaannya menjadi perbincangan dan memiliki problematika untuk mengaktualisa-sikan diri. Komunikasi kaum gay memiliki karak-teristik yang unik dan hanya dapat diketahui oleh lingkungan mereka (Bertens, 2013). Karakteristik gay menghasilkan ruang untuk eksistensi diri dan menghasilkan komunikasi (DeVito, 2013).

Komunikasi bukan hanya sekadar ilmu, tetapi juga praktik dalam kehidupan sehari-hari, seperti dalam kehidupan kaum gay. Komunikasi tidak hanya dipandang sebagai suatu objek, tetapi juga subjek (Rorong, 2016). Komunikasi sebagai suatu ilmu memiliki pandangan-pandangan yang khusus untuk membicarakan tentang kehidupan manusia. (Miller, 2005).

Persoalan-persoalan tentang eksistensi dan aktualisasi diri seorang gay dijumpai dan ditemui dengan banyak kasus pada negara-negara bagian barat, seperti Luxemberg (2015), Finlandia (2015), Slovenia (2015), Irlandia (2015), Meksiko (2015), dan Amerika Serikat (2015). Salah satu bentuk aktualisasi dan penerimaan masyarakat adalah melegalkan pernikahan sesama jenis (International Republika, 2016).

Littlejhon dan Foss (2011) menjabarkan fenomena sosial menjadi suatu realitas yang utuh sehingga kehadiran gay merupakan sesuatu yang harus dipandang dari sisi intelektual sebagai suatu realitas yang kompleks. Mayoritas orang dapat menemukan kaum gay pada dunia hiburan atau pekerjaan di salon, tetapi kaum gay kini dapat dijumpai pada kalangan profesi apapun, seperti pada pendidikan, kedokteran, perkantoran, dan profesi lainnya (Boyarin, Itzkovitz, Pellegrini, 2003).

Fenomena yang menarik dalam kehidupan kaum gay adalah mereka mengembangkanpola komunikasi yang dibangun antarsesama gay mau-pun antara kaum gay dan masyarakat. Komunikasi tersebut menjadi salah satu hal yang unik dalam pengalaman pribadi kaum gay. Mitchell (2012) menjelaskan bahwa pola komunikasi mampu membentuk fenomena sendiri di dalam masyara-kat sehingga fenomena dalam kehidupan individu gay dapat dilihat dan diamati. Pola komunikasi

yang menunjukkan citra diri sebagai kaum gay dapat dilihat dari cara mereka membangun in-teraksi, menunjukkan konsep dan identitas diri, serta memperlakukan masyarakat yang menolak mereka. Kaum gay melakukan pengaktualisasian diri sehingga menciptakan eksistensi.

Daya tarik dunia kaum minoritas diketahui dan ditelusuri melalui pengalaman hidup indi-vidu kaum gay sehingga dapat menampilkan informasi-informasi baru dari lingkungan gay.Hasil pengamatan menjelaskan pola dan bentuk komunikasi serta kehidupan kaum gay dalam tekanan sosial masyarakat sehingga menciptakan simbokronik komunikasi.

2. METODEParadigma merupakan suatu landasan untuk memulai suatu riset dengan menempatkan arah pemikiran atau suatu landasan keyakinan dalam suatu kajian (Sudikin, 2002). aradigma melan-dasi kajian ilmu komunikasi melalui beberapa paradigma, yaitu positivis, post-positivis, dan interpretif atau konstruktivis (Daymond & Hol-loway, 2008).

Ardial (2014) menuliskan bahwa paradigma mewakili beberapa pertanyaan filosofis yang berkaitan dengan penelitian, yaitu ontologis (ontology), pertanyaan mengenai sifat, atau watak realitas; epistemologis (epistemology), perta-nyaan mengenai bagaimana mengetahui sesuatu atau apa yang dianggap sebagai pengetahuan, dan bagaimana mengklaim pengetahuan itu; serta aksiologis (axiology), pertanyaan mengenai apa yang layak untuk kita ketahui serta peran dari nilai dalam suatu penelitian.

Miller (2005), West dan Turner (2014), Neu-man (2013), dan Littlejohn (2011) memberikan pernyataan yang hampir sama tentang metodologi yang mengambarkan proses penelitian. Hal ini berkaitan erat dengan pertanyaan mengenai cara menemukan apapun yang ingin diketahui peneliti (Guba & Lincoln, 2009).

Kajian fenomenologi melihat manusia sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pengalaman, proses pembelajaran, dan makna mendalam. Fenomena tersebut dapat dilihat dari

Page 3: SIMBOKRONIK KOMUNIKASI (BERTAHAN DAN KETERASINGAN …

Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume 22 No. 3 Tahun 2020, hlm. 63–75 65

Simbokronik Komunikasi (Bertahan dan Keterasingan Individu Gay di Jakarta)

pandangan masyarakat dan budaya kehadiran individu gay. Pandangan fenomenologi melihat dari sudut pandang subjek sebagai suatu instru-men terhadap fenomena tertentu. Dalam kajian ini, pandangan subjektif menjadi penting untuk melihat makna di balik pengalaman hidup indi-vidu gay. Pendekatan fenomenologis menjadi pisau bedah untuk melihat realitas individu gay karena ada makna yang tidak bisa dilihat dengan pendekatan-pendekatan yang lain. Hal tersebut karena pendekatan fenomenologis memiliki tekanan kajian yang difokuskan pada pengalaman hidup seseorang.

Drummond (1997) menyatakan bahwa paradigma interpretif dipilih karena fenomenologi mengarah pada aspek-aspek sosial termasuk di dalamnya kajian homoseksual. Penelitian full meaning fokus pada pencarian makna dalam pengalaman hidup seorang gay pada kehidupan berbudaya dan bermasyarakat, serta komunikasi yang dibentuk (Rorong, 2020). Pengalaman hidup menjadi dasar dari realitas transendental yang memiliki intensionalitas tinggi dalam kehidupan. Penelitian tersebut menggunakan pemikiran atau perspektif dari Merleau-Ponty yang mengkaji masalah-masalah tentang penglihatan yang me-narik. Fenomenologi persepsi menunjukkan pokok pemikiran dalam buku “Yang Kelihatan dan Yang Tak Kelihatan” (Ponty, 1968).

Istilah persepsi bagi Merleau-Ponty mempu-nyai arti lebih luas daripada sekadar dengan mata mengamati suatu objek (Ponty, 1968: 57). Istilah persepsi meliputi seluruh hubungan seseorang dengan dunia, khususnya pada taraf indrawi. Dengan demikian, persepsi secara langsung berkaitan dengan tema-tema lain yang sangat penting dalam filsafat modern, seperti dunia, makna, tubuh, dan intersubjektivitas (Bartens, 2013:138)

Merlau-Ponty melihat fenomenologi sebagai suatu yang unik karena melalui persepsi, manu-sia dapat memandang dan melihat objek serta subjek dari berbagai sudut pandang. Pandangan Ponty tentang persepsi dapat memahami realitas danpengalaman hidup karena melalui persepsi, seseorang dapat “hidup”. Itulah yang dimak-sudkan Ponty dengan persepsi hidup (Ponty,

1968). Persepsi hidup adalah sesuatu yang dapat dilakukan dengan belajar, berteori, dan mengem-bangkan pengetahuan pada tatanan persepsi awal dan tidak berubah. Oleh sebab itu, Ponty mengemukakan bahwa pengetahuan, intelektual, kecerdasan, pemikiran, dan pola pikir terbentuk karena pengalaman, bukan karena objek yang menghantarkan pada pemahaman fenomenologi tubuh (body) (Marshall, 2008: 55)

Merleau-Ponty melihat persepsi sebagai jalan masuk ke dalam kebenaran sehingga per-sepsi mempunyai prioritas terhadap rasio (Ponty, 1968). Berpersepsi atau mengamati sama dengan percaya pada dunia. Merleau-Ponty menyatakan bahwa persepsi menunjukkan seseorang berakar dalam dunia. Manusia dapat dilukiskan sebagai berada dalam dunia dan persepsi adalah relasi asli manusia dengan dunia (Ponty, 1962). Memang benar persepsi bisa keliru, sebagai contohnya saat seseorang menyangka melihat batu dari kejauhan, padahal yang dilihat adalah bayangan matahari. Persepsi pertama yang keliru tidak dikoreksi oleh sesuatu instansi yang lain, pemikiran misalnya, tetapi oleh persepsi itu sendiri (Staehler, 2017).

Menurut Merleau-Ponty, kata lain dari per-sepsi adalah mengambil bagian dalam ambiguitas eksistensi manusia. Persepsi Merleau-Ponty erat kaitannya dengan satu kajian penting yaitu tubuh (Bartens, 2013). Kaitan itu sangat mudah untuk dipahami sebab persepsi selalu melibatkan tubuh dan persepsi selalu berlangsung dalam dan me-lalui tubuh (Ponty, 1962). Konteks pembahasan tentang persepsi dalam pandangan Merleau-Ponty memberikan satu contoh pemahaman, yaitu tubuh yang mengetahui lebih banyak tentang dunia daripada manusia sendiri (Dreyfus & Wrathall, 2006).

Metode yang digunakan dalam riset ini secara khusus menggunakan ranah metode kualitatif. Cara kerja metode ini adalah melihat aspek pemaknaan untuk dapat memahami objek maupun subjek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan serta melihat dan membedah suatu realitas sosial (Ardial, 2014).

Metodologi memberikan arah selayaknya kompas untuk mengkaji dan menganalisis suatu penelitian (Creswell, 2016). Penelitian ini

Page 4: SIMBOKRONIK KOMUNIKASI (BERTAHAN DAN KETERASINGAN …

66 Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume 22 No. 3 Tahun 2020, hlm. 63–75

Michael Jibrael Rorong

menempatkan semua kajian pada tatanan tradisi, teori, dan metode fenomenologi. Dalam metode fenomenologi, kajian berfokus pada pengalaman hidup seorang gay dengan menempatkan pan-dangan subjektivitas yang tinggi. Pemahaman tersebut menghantarkan pada pandangan Hussel dengan metode-metode yang dikemukakannya. Subjektivitas yang tinggi memunculkan beberapa metode terutama metode fenomenologi dari Hus-serl yang bertujuan untuk mengetahui dunia dari sudut pandang orang yang mengalaminya. (Friesen dkk., 2012).

Fenomenologi sebagai metode penelitian memiliki sejumlah ciri yang meliputi pengung-kapan dasar filosofis, mengurung asumsi-asumsi, berfokus pada satu fenomena utama, menggarap narasumber, dan menerapkan analisis data feno-menologi secara tematik. (Daymon & Holloway, 2008).

Sesuai dengan etika penelitian, penulis tidak menampilkan gambar-gambar dari para nara-sumber karena terkait dengan kerahasiaan dan untuk melindungi privasi dari para narasumber. Walaupun pada kenyataannya para narasumber bersedia untuk diekspos, sebuah penelitian harus menghormati dan melindungi kerahasiaan narasumbernya.

Kerahasiaan dalam penelitian harus tetap dijaga demi menghormati kerahasiaan dari nara-sumber. Penelitian ini bukanlah sekadar laporan peristiwa yang dikumpulkan demi informasi yang dapat dipertanggungjawabkan bagi publik, Namun, penelitian ilmiah seharusnya menyem-bunyikan identitas informan, apalagi penelitian yang mengangkat masalah sensitif seperti teks, gambar dan video yang menunjukkan sebuah identitas.

3. TEMUAN DAN DISKUSIObjek kebendaan dapat menjadi suatu simbol pemaknaan karena seseorang seseorang dapat memahami orang lain hanya dengan melihat benda yang melekat pada diri seseorang (Endras-wara, 2006). Merujuk pada benda yang dihasilkan berdasarkan kecerdasan manusia, penelitian ini

melihat objek yang digunakan oleh para individu gay dalam kehidupan sehari-hari seperti pakaian dan aksesori.

1. Penampilan fisik Merujuk pada narasumber, penulis mengamati dari sisi penampilan fisik. Penampilan fisik di-identifikasi dari karakter para narasumber yang dapat dilihat secara kasatmata yang dikenal de-ngan perawakan.

Setiap individu selalu berpegang pada komu-nikasi yang mereka bangun untuk menciptakan intensionalitas yang tinggi. Dengan demikian, perlu dipahami bahwa setiap intensionalitas yang dibangun oleh individu gay ini cenderung mempertunjukkan aktivitas komunikasi melalui tindakan komunikasi. Tindakan komunikasi yang dilakukan oleh individu gay sangat erat kaitan-nya dengan tindakan komunikasi tubuh, hal ini terlihat dari setiap pergerakan individu gay ketika berkomunikasi. Aspek yang utama menyentuh intensionalitas mereka terhadap dunia gay adalah tubuh (Sarwono, 2009).

Tubuh yang dari awal berkomunikasi men-ciptakan tindakan komunikasi pada tataran non-verbal. Pada tatanan ini, tubuh mampu merasakan sensasi yang berbeda sehingga menghasilkan pengalaman yang berbeda pula. Komunikasi tubuh yang terlihat pada kondisi tersebut di-kategorisasikan ke dalam dua sensasi yaitu saat hubungan tubuh dengan dunia menyatu sehingga dapat menghasilkan pengalaman yang berbeda atas tubuh. Oleh karena itu, pengalaman atas tubuh dikategorisasikan sebagai berikut:

1. Tubuh sebagai subjek dapat dipahami dari intensionalitas individu gay yaitu kinecsic (aktivitas dari bahasa tubuh), paralanguange (vokalika), hapstic (sentuhan), pada tahap inilah tubuh menjadi subjek.

2. Tubuh sebagai objek dapat dipahami dari intensionalitas individu gay yaitu proxemics (ruang), simbokronik (objek yang melekat pada individu), penampilan fisik, pada tahap inilah tubuh menjadi objek.

Page 5: SIMBOKRONIK KOMUNIKASI (BERTAHAN DAN KETERASINGAN …

Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume 22 No. 3 Tahun 2020, hlm. 63–75 67

Simbokronik Komunikasi (Bertahan dan Keterasingan Individu Gay di Jakarta)

Kajian komunikasi yang penulis lakukan untuk mengamati para narasumber pada tatanan tubuh sebagai subjek dan objek dijabarkan se-bagai berikut:

1. Kinesics (Bahasa tubuh)Pengamatan dilakukan dengan terjun langsung ke lapangan, berkenalan dengan para individu gay, dan berusaha menjadi sahabat untuk individu-individu gay tersebut. Hasil pengamatan menun-jukkan bahwa informan cenderung menampilkan bahasa tubuh yang berlebihan, walapun beberapa di antaranya melakukan itu dengan datar atau biasa saja.

Bahasa tubuh adalah konsep dalam komu-nikasi nonverbal digunakan untuk melengkapi komunikasi verbal. Beberapa narasumber bergaya manly selalu menunjukkan ketertarikan setiap kali berkomunikasi dengan menunjukkan postur tubuh yang selalu tegap dan terkesan maskulin.

Narasumber gay yang manly memiliki tatapan yang tajam, penuh gairah, selalu meng-gunakan bahasa tubuh yang terkesan macho, dan maskulin. Cara mereka berbicara di ikuti dengan bahasa tubuh yang selalu ingin melindungi.

Ketika berkomunikasi, narasumber dan teman-temannya tetap menjaga posisi tubuh agar tetap terlihat tegap dengan sedikit memberi senyuman hangat pada kalimat terakhir.

Dalam setiap perjumpaan sesama individu yang telah dikenal, mereka selalu melakukan kebiasaan dengan memeluk satu sama lain serta saling mencium pipi sesama sahabat. Hal ini dapat dilakukan di tengah-tengah masyarakat.Bahasa tubuh yang ditampilkan oleh individu gay adalah bahasa tubuh yang natural, keluar dengan sendirinya, yang mencerminkan karakter mereka. Bahasa tubuh setiap individu gay berbeda.

Berdasarkan pengamatan, terdapat tembok yang membedakan antara bahasa tubuh gay manly dan gay sissy. Perbedaan ini memberikan ruang intensionalitas tersendiri dalam kehidupan gay untuk memahami kondisi dunia mereka.

Perbedaan yang terbentang jauh itu terletak pada gay sissy. Bahasa tubuh yang digunakan

oleh gay sissy cenderung berlebihan dan terkesan dibuat-buat untuk menarik perhatian sesama jenis.

Kenyataan yang penulis dapatkan setelah penulis mewawancarai salah satu naraumber penulis yaitu narasumber N-1 menyatakan bahwa:

“dalam mencari pasangan biasanya kita bro lebih tertarik dengan cowok yang maskulin daripada cowok yang kayak perempuan, masalahnya ya bro, kan kita cowok ya, suka dengan sesama cowok juga, tapi kalau dia kayak perempuan kita juga ilfeel tahu nggak, dari bahasa tubuh aja udah kayak perempuan, biasanya kita kurang tertarik sih yang kayak begitu-begitu, kalau be-gitu mending kita pacaran sama cewek aja bener nggak bro ?” 1

Pernyataan yang disampaikan oleh narasum-ber N-1 ini juga sama dengan pernyataan dari narasumber N-3:

“kalau gw bro lebih suka dengan cowok yang maskulin males banget tahu nggak kalau dapat pasangan yang ngondek, kayak cewek gitu, gw pernah nih bro pacaran dengan yang model gituu, bayangin ajh nih bro, ke mall bawa tas yang kayak cewek gituu, siapa yang ngk mau ilfeel tahu ngk, yang gitu-gitu bikin ilfil beneran dehhh”.2

Pernyataan yang disampaikan oleh kedua narasumber menandakan bahwa individu gay yang manly lebih menyukai pria yang manly juga. Pengamatan selama melakukan penelitian adalah, individu gay yang memiliki hubungan kekasih adalah individu gay yang benar-benar terlihat manly, jarang ditemukan individu gay yang memiliki hubungan kekasih gay manly dan gay sissy.

Pengamatan yang penulis lakukan pada individu gay sissy memiliki bahasa tubuh yang terlihat dipaksakan. Narasumber yang penulis wawancarai mengaku bahagia menjadi seorang gay dengan tampilan yang girly sehingga hal ini tidak mengherankan jika aspek kinesics mereka terkesan berlebihan. Bahasa tubuh yang dilaku-kan oleh individu gay sissy terlihat berlebihan itu karena mereka menganggap bahwa gay sissy akan disukai gay manly. Hal ini terlihat pada saat

1 Hasil wawancara N-1.2 Hasil wawancara N-3

Page 6: SIMBOKRONIK KOMUNIKASI (BERTAHAN DAN KETERASINGAN …

68 Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume 22 No. 3 Tahun 2020, hlm. 63–75

Michael Jibrael Rorong

penulis berkomunikasi dengan narasumber dan beberapa temannya. Ketika sedang berkomuni-kasi, bahasa tubuh seperti cara mereka minum, cara mereka membersihkan wajah dengan kertas minyak dan cara mereka tersenyum semua terli-hat seperti seorang wanita, terlihat anggun dan terkesan berlebihan untuk kategori seorang pria.

Gaya berjalan juga terlihat sangat gemulai, berlenggak-lenggok, dan terlihat ngondek3. Gaya berjalan ini sangat menandakan bahwa seorang pria itu adalah gay sissy, Pada dasarnya, seseorang akan mudah memahami apakah seorang ini gay atau bukan hanya dengan melihat bahasa tubuh dari orang tersebut.

Penulis mengambil beberapa gambar sebagai dokumentasi untuk menunjukkan bahasa tubuh yang digunakan. Semua narasumber bersedia un-tuk difoto bahkan tertarik untuk difoto candid hal, ini penulis lakukan untuk menambah kredibilitas dari penelitian ini.

Narasumber yang sangat tertarik untuk difoto menandakan ketertarikan mereka untuk diekspos. Hal ini merujuk pada eksistensi diri mereka yang telah coming out. Intensionalitas yang mereka lakukan pada kehidupan masyarakat diharapkan dapat menerima mereka sebagai satu kesatuan dalam kehidupan sosial tanpa diskriminasi dan perisakan (bullying).

2. Vokalika Vokalika tidak jauh berbeda dengan bahasa tubuh, beberapa narasumber memberikan tekanan-tekanan pada nada suara pada saat komunikasi, ada yang suka tertawa terbahak-bahak ada juga yang suka tertawa sinis sambil memberikan vokal yang kecil yang menggoda.

Vokalika terkesan menggoa dan manja serta pengucapannya beraturan seperti telah dilatih bertahun-tahun. Nada yang disampaikan selalu tepat, seperti pada saat narasumber tertawa dii-kuti dengan intonasi nada yang terkesan sangat teratur. Beberapa narasumber lainnya menjawab pertanyaan dengan sopan dan terkesan berhati-hati.

3 Ngondek adalah istilah yang digunakan oleh individu-individu gay dalam menandakan bahasa tubuh seorang individu gay yang terlihat seperti wanita.

Narasumber berupaya membangun kesan yang sopan dan santun ketika melakukan komu-nikasi. Selama berkomunikasi, para narasumber selalu berbicara dengan sangat sistematis, rinci, formal, elegan, dan sopan. Peneliti juga me-nemukan ada dua narasumber yang lancar dengan aksen mereka yaitu dialek Tionghoa dan dialek Manado.

Vokalika cenderung mempertunjukkan jati diri setiap narasumber, ada yang terlihat pelan dan ada juga yang telihat cepat, bergantung tingkat ketertarikan mereka ketika berbicara.

Peneliti mengamati ada beberapa sahabat dari narasumber yang bersuara sangat lantang dan memiliki intonasi yang keras diikuti dengan tingkah tawa yang meledak dan terbahak-bahak. Pertanyaan-pertanyaan peneliti dijawab dengan ceplas-ceplos apa adanya dan tanpa beban, hal ini terlihat karena para individu gay ini telah coming out.

Vokalika sangat tinggi akan makna, terkadang penulis mengalami kesulitan untuk mereduksi maksud dari setiap intonasi yang diberikan oleh individu gay .Hal ini dikarenakan vokalika yang tercipta di antara narasumber dan sahabat-sahabat mereka hampir terkesan sama, Oleh karena itu, penulis perlu mereduksi berkali-kali untuk meli-hat makna dibalik intonasi yang diberikan pada saat berkomunikasi.

3. Penampilan FisikPenampilan fisik pada individu gay merupakan hal yang paling penting dan tidak bisa dimungkiri dalam kehidupan individu gay, penampilan fisik adalah modal yang utama. Pengamatan penulis pada penelitian ini tentang penampilan fisik dapat memberikan gambaran dari kehidupan para narasumber.

Pengamatan yang penulis lakukan pada seba-gian besar narasumber menunjukkan bahwa gay berpenampilan menarik, macho, memiliki postur tubuh yang tegap atletis, wajah good-looking, me-miliki rahang yang kuat yang terkesan maskulin. Mereka memiliki tatapan yang tajam menggoda, berkulit putih bersih, bibir yang sensual, serta sorot mata yang teduh dan memiliki tingkat fash-

Page 7: SIMBOKRONIK KOMUNIKASI (BERTAHAN DAN KETERASINGAN …

Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume 22 No. 3 Tahun 2020, hlm. 63–75 69

Simbokronik Komunikasi (Bertahan dan Keterasingan Individu Gay di Jakarta)

ionable yang tinggi dibandingkan dengan pria heteroseksual pada umumnya.

Kehidupan keseharian dari individu-individu gay ini cenderunng menggunakan kemeja dengan memperlihatkan bentukan tubuh yang terkesan menggoda baik para pria maupun wanita, serta terkesan sangat rapi.

Kebanyakan dari individu gay ini menggu-nakan warna-warna yang cerah tetapi ada juga yang menggunakan warna netral untuk membuat kesan elegan, Beberapa narasumber saat dijumpai sering menggunakan kaus dengan bentuk V-Neck berwajah tampan rupawan, berhidung mancung serta memiliki mata yang indah, dan berwajah oriental. Dalam berkomunikasi, narasumber selalu memberikan senyuman yang ramah dan renyah.

4. Haptics (Sentuhan)Proses pengamatan yang peneliti lakukan dengan menjadi instrumen penelitian menemukan bahwa aspek sentuhan yang diberikan oleh para individu gay menunjukan sikap terbuka serta bersahabat dan sebagian lainnya bersikap formal untuk menjaga kewibawaannya.

Sentuhan menjadi salah satu aspek yang paling dasar dalam konteks pemikiran Ponty tentang tubuh karena ini mengambil pemaknaan dari sentuhan yang merujuk pada sensasi.

Proses penelitian menghadirkan beberapa fenomena yang muncul dengan sendirinya yaitu sensasi dari sentuhan, Beberapa dari narasumber saat dijumpai tidak melakukan kegiatan berjabat tangan sehingga peneliti beranggapan bahwa sentuhan bisa berarti salah pemahaman atau salah penafsiran.

Selama proses penelitian berlangsung, peneliti mengamati ada beberapa dari individu gay tersebut berlebihan dalam membangun suatu keakraban tidak hanya dengan peneliti namun juga dengan yang lain, Hal ini telihat dari be-berapa narasumber yang secara tiba-tiba memeluk dan menepuk penulis untuk membangun suatu keakraban.

Konektivitas yang dibangun oleh individu gay tersebut merujuk pada bagaimana individu

gay merasakan sensasi yang diberikan oleh sen-tuhan ini. Beberapa sentuhan yang diperlihatkan oleh para narasumber maupun individu yang penulis coba teliti tanpa memberitahukan bahwa peneliti melakukan penelitian mengisyaratkan bahwa sentuhan yang menghasilkan sensasi merupakan aspek yang paling penting.

Pengalaman individu gay terhadap sentuh-an yang menghasilkan sensasi merujuk pada bagaimana mereka melakukan kegiatan seksual. Penuturan yang disampaikan oleh narasumber N-1 yaitu:

“ketika sadar kalau gw gay hal yang paling me-nyenangkan itu adalah ketika gw bisa melakukan hubungan seksual, awalnya cuma sekedar mau saling kenal, chit-chat lama kelamaan ketika berjumpa mulai peluk-peluk dan sentuh-sentuh dan akhirnya gw merasa horny dan gw pun melakukan itu bro, bersama dengan pasangan yang baru gw kenal itu, itu terjadi kira-kira satu tahun bahwa sadar gw gay, tetapi sekarang masih juga sih sentuh menyentuh, karena biasanya kalau sesama gay itu ketika udah saling pegang-pegang biasanya sensasinya lebih cepat, dan itu nikmat sih, tetapi ya kembali lagi bro, karena ketika sensasi itu datang lo harus memilih mengikuti itu atau nggak, karena kalau seperti itu terus, biasanya kalau tidak aman lo kena penyakit lohh, dan biasanya itu risiko, nggak cuma gay sih yang hetro juga gitu kalau memang suka jajan di luar” (Hasil wawancara dengan N-1)

Pernyataan yang disampaikan oleh nara-sumber menandakan bahwa sensasi yang dira-sakan merupakan sensasi yang didasarkan pada kesadaran dari individu gay. Sentuhan memiliki pengaruh yang besar dalam membentuk sensasi yang kuat.

Perilaku yang dilakukan oleh narasumber N-1 ini merupakan perilaku yang jika tidak dia-tasi akan menjadi sebuah kebiasaan yang akan membawa pada kehancuran diri individu tersebut.

Perilaku-perilaku yang positif juga dapat tetap dilaksanakan di luar dari intensionalitas terhadap sensasi negatif tersebut. Kebiasaan-kebiasaaan positif yang terjadi di antara individu gay seperti saling berpelukan, berjabat tanggan, cipika dan cipiki merupakan sentuhan yang wajar dilakukan. Hal ini tidak terlepas dari kehidupan inidividu gay.

Page 8: SIMBOKRONIK KOMUNIKASI (BERTAHAN DAN KETERASINGAN …

70 Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume 22 No. 3 Tahun 2020, hlm. 63–75

Michael Jibrael Rorong

5. Proxemics (Ruang)Aspek proxemics mengisyaratkan jarak sosial yang menghadirkan dirinya dalam pengalaman hidup individu gay serta tingkat keakraban di antara proses komunikasi yang terjadi.

Pengamatan yang peneliti lakukan menun-jukkan hampir semua narasumber memiliki tingkat keakraban yang cukup tinggi, baik dengan sahabat sesama maupun dengan peneliti.

Keakraban tampak dari tidak adanya jarak baik dari kelas sosial, ekonomi, maupun tingkat pendidikan. Keakraban ini berbanding terbalik jika ada individu yang sudah termasuk dalam kategori status sosial gay, biasanya dalam status sosial ini para individu gay akan membuat jarak dari berbagai sisi atau status sosial. Akan tetapi, kasus ini sangat jarang terjadi dan bergantung kepada individu masing-masing.

Keakraban juga terlihat dari bagaimana cara narasumber memperlakukan peneliti dengan baik. Peneliti juga sering digoda oleh salah seorang in-dividu gay yang menjadi teman dari narasumber.

Keakraban dengan peneliti juga terlihat dari ketidakcanggungan narasumber saat duduk ber-sebelahan dan berhadapan dengan peneliti yang sebenarnya belum terlalu lama dikenal.

Memperoleh kedekatan dan akses untuk dapat berjumpa dengan para narasumber, melaku-kan penelitian, dan wawancara terhadap gay yang telah coming out bukanlah hal mudah. Peneliti tidak memiliki kenalan seorang gay dan tidak mengenal para narasumber.

6. Simbokronik (Objek yang melekat pada diri individu gay)Simbrokronik adalah satu istilah untuk me-nyatakan objek atau simbol-simbol yang melekat pada diri seseorang, lebih tepatnya simbokronik ini berdiri pada suatu aktivitas komunikasi individu baik bentuk dan pola komunikasi maupun objek yang melekat pada diri individu. Simbokronik menempatkan individu pada intensionalitasnya sendiri dengan kondisi yang sama. Oleh karena itu, simbokronik komunikasi mampu menunjuk-kan individu dengan pola komunikasi, aktivitas komunikasi, karakteristik, bahkan ketertarikan

yang sama. Simbokronik komunikasi bisa dilihat dengan artefak-artefak individu, dalam kajian ini dilihat pada individu gay.

Simbokronik komunikasi gay berupa simbol-simbol artefak yang digunakan oleh individu gay untuk mempertunjukan eksitensi dan aktualisasi diri serta bahasa yang digunakan sehingga ter-lihat identitas dari individu gay tersebut, Istilah ini dikategorisasikan dalam kajian komunikasi nonverbal dan verbal. Dengan demikian, simbo-kronik dapat digunakan dalam dua kajian yaitu komunikasi verbal yang berbicara tentang bahasa dan komunikasi nonverbal yang berbicara tentang simbol-simbol.

Simbokronik pada individu gay mengacu pada kompetensi komunikasi. Kompetensi ko-munikasi ini melibatkan segala sesuatu yang berhubungan dengan penggunaan bahasa dalam tiga dimensi komunikasi (aktivitas komunikasi, pola komunikasi, dan karakteristik komunikasi) yang terdapat pada pola keseharian komunikasi individu gay. Fenomenologi dalam kajiannya menempatkan semua dimensi dalam aspek in-tensionalitas yang tinggi, serta intersubjektivitas pada kalangan aktor, di mana tubuh sebagai subjek yang mampu menjadi instrumen atau alat untuk menjalankan simbokronik tersebut.

Simbokronik harus dilihat dari pengalaman individu gay terhadap keterasingan mereka dan cara mereka bertahan. Simbokronik melihat simbol-simbol yang melekat pada diri individu gay , dengan unsur-unsur tersebut.

Komunikasi verbal untuk menyatakan in-dividu gay adalah ”binan”. Kata ini merupakan simbokronik karena melekat pada diri individu gay untuk menyatakan bahwa orang tersebut adalah gay.

Kata ini digunakan oleh individu gay untuk menghormati orang-orang yang ada di sekeli lingnya jika mereka adalah orang yang awam karena kata ini hanya dipahami oleh kalangan gay saja. Kemampuan atau ketidakmampuan dalam memahami simbokronik (kompetensi atau in-kompetensi), akan mengakibatkan tidak tepatnya perilaku kompetensi yang dihasilkan, tidak ber-lakunya perilaku kompetensi, dan kedinamisan yang mengikuti perubahan dari individu gay

Page 9: SIMBOKRONIK KOMUNIKASI (BERTAHAN DAN KETERASINGAN …

Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume 22 No. 3 Tahun 2020, hlm. 63–75 71

Simbokronik Komunikasi (Bertahan dan Keterasingan Individu Gay di Jakarta)

yang menggunakan simbokronik seperti pada pernyataan narasumber N-5.

“kalau untuk bahasa banyak bro, seperti binan untuk gay, lekong (laki-laki gay maskulin), she-rina (serius), maho (manusia homo), pokoknya ada banyak nanti coba gw tulis yang gw tahu ya ni gw kasih ke lo, kata-kata itu cuma para gay yang tahu sihh”4

Kompetensi komunikasi dalam simbrokronik ini sama dengan kemampuan seseorang dalam berkomunikasi yang meliputi pengetahuan, keterampilan, dan sikap dalam mengelola pertu-karan pesan verbal dan nonverbal. Untuk melihat simbokronik terdapat tiga asumsi yaitu:

a. Memahami berbagai proses pada peristiwa komunikasi baik dalam konteks verbal dan nonverbal.

b. Kemampuan memperlihatkan perilaku verbal dan nonverbal secara tepat.

c. Berorientasi pada perilaku yang positif selama proses komunikasi.

Merujuk pada pemahaman simbrokronik, tindak komunikasi dalam penelitian ini diap-likasikan pada komunikasi verbal dan nonverbal. Komunikasi verbal terkait dengan bahasa khusus gay yang melekat pada diri individu gay tersebut, sedangkan pada komunikasi nonverbal meliputi kinesics, paralanguage, penampilan fisik, haptics, proxemic, chronimic, dan simbokronik.

Penulis menemukan bahwa selain simbol-simbol pada komunikasi nonverbal, pada individu-individu gay ini juga memiliki bahasa khusus saat berbicara dengan sesama individu gay yang disebut bahasa binan (bahasa gay). Bahasa binan di sini masuk dalam kajian verbal khususnya pada simbokronik fenomenologi karena bahasa ini menghadirkan pemahaman melalui pengalaman dengan memanfaatkan persepsi serta tubuh sebagai suatu instrumen untuk menyatakan suatu objek melekat pada diri seorang individu gay. Kata ini berfungsi sebagai pencipta suasana, informal, keakraban, persahabatan, dan romantisme.

4 Hasil wawancara dengan narasumber N-5, 17 Mei 2018

Penemuan penulis dalam mengamati inten-sionalitas dari individu gay pada saat mereka berkomunikasi satu dengan yang lain sebagai berikut:

a. simbokronik dalam penggunaan kata yaitu tambahan awalan “si”, penggunaan awalan ini yaitu dengan menambahkan kata “si” pada setiap kata yang digunakan dengan memenggal suku kata pertama dari suku kata belakang terlebih dahulu sehingga menghasilkan bunyi baru seperti lanang (laki-laki) dipangil lan + ang, kemudian pada kata depan diberi awalan “si” sehingga menjadi “silan”.

Kemudian dalam bahasa verbal simbokro-nik ada juga yang tambahan akhiran “ong”. Penggunaanya menyesuaikan dalam setiap penggunaan suku kata pada bahasa keseha-rian dengan bunyi “ong” dan setiap huruf vokal suku pertama menjadi “e” seperti, makan menjadi “mekong”, pergi menjadi “peong” dan sendiri menjadi “senong” serta laki menjadi “lekong”.

Tambahan juga terjadi dengan penggantian akhiran “es” atau “i”. Aturan yang berlaku pada tambahan ini sama dengan kaidah yang berlaku pada penggantian kata “ong”, kecu-ali perubahan suku kata terakhir disesuaikan dengan bunyi “es” atau “i’ seperti kata malam menjadi “malces” atau “meli”.

b. Simbokronik dalam pemaknaan kata pada komunikasi verbal, yaitu dengan memberi makna berbeda pada istilah kata umum, jenis kata pelesetan ini dibentuk dengan berbagai alasan yaitu dengan melihat kesamaan sifat atau karakter antara dua kata atau sama-sama memiliki kesamaan bunyi seperti : “jeruk” (pemeras), “bawang” (bau), “sandang” (sana), “cumi-cumi” (Berciuman).

Kata-kata yang digunakan oleh individu gay lahir dari pola intensionalitas dan intersub-jektivitas dari keseharian individu gay tersebut. Terdapat beberapa simbokronik yang penulis temukan dalam penggunaan komunikasi verbal yang melekat pada diri individu gay yaitu :

Page 10: SIMBOKRONIK KOMUNIKASI (BERTAHAN DAN KETERASINGAN …

72 Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume 22 No. 3 Tahun 2020, hlm. 63–75

Michael Jibrael Rorong

Tabel 1 Simbokronik komunikasi verbal individu gay.

ISTILAH SIMBO-KRONIK VERBAL

MAKNA

Akika/eike SayaBais HabisBaper Dibawah perasaan (sensitif)Bapuk Jelek/burukBegindang BegituBelalang BeliBelenjong BelanjaBispak Singkatan dari kata “bisa

dipakai”Boil MobilBokis BohongBonyok Singkatan dari bokap-nyo-

kap (orang tua)Bottom/boty Peran seksual gay yang

berperan sebagai perem-puan dalam hubungan intim sesama gay.

Bete/BT Singkatan dari boring total (Bed Tempered)

Cacamarica CariCapcus Cabut (pulang/pergi)Caur HancurChatting Berbicang-bincang atau

ngobrol dalam interaksi sesama gay

Ciamik BagusCincay LumayanCoz Karena (singkatan dari

bahasa Inggris because)Cucok CocokCumi CiumCurcol Curhat colonganDiana/doi Dia (laki-laki ataupun

perempuan)Ditempong Peran pasif dalam seks anal,

sebagai penerima penis yang dimasukkan melalui dubur yang bersangkutan

Ember Plesetan dari kata “memang begitu”

Endang EnakGazebo Gak jelas broGaptek Gagap teknologiGaring Tidak lucu

ISTILAH SIMBO-KRONIK VERBAL

MAKNA

Gegara Gara-garaGengges MengganguGilingan GilaHimalayang HilangHina-dina HinaJadul Zaman duluJali-jali Jalan-jalan Jarpul Jarang pulangJayus Lawakan atau tingkah laku

melucu, tetapi ternyata tidak lucu.

Join Sebutan pacar sesama jenisJomblo Single (tidak mempunyai

pasangan gay)Jutek JudesKampus Istilah gay untuk menyebut

tempat nongkrong atau tempat berkumpul para individu gay

Kawilarang KawinKecimpiringan Sikap genit/centil gay sisssyKeles MungkinKemindang Ke manaKemsi Makan siangKepelong KepalaKesandro Ke sanaKesindang Ke siniKepo Ingin tahu (want to know

everything)Kicep Diam mematungKongkow Nongkrong Krejong KerjaKucing Pemuas nafsu seks berbayar

bagi kaum gay.Kudet Kurang updateLambreta LambatLapangan Bola Laper Lebay BerlebihanLekong Laki-laki gay maskulin Mager Malas gerakMaharani MahalMaho Manusia homo Mekong/makarena Makan

Page 11: SIMBOKRONIK KOMUNIKASI (BERTAHAN DAN KETERASINGAN …

Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume 22 No. 3 Tahun 2020, hlm. 63–75 73

Simbokronik Komunikasi (Bertahan dan Keterasingan Individu Gay di Jakarta)

ISTILAH SIMBO-KRONIK VERBAL

MAKNA

Maluku MaluMarsyanda Masa oloh seriusMelela Terbuka / membuka diri

(coming out).Menel GenitMenempong Peran aktif dalam seks anal

dengan memasukkan penis ke dalam dubur pasangan.

Mursida MurahNeting Berpikir negatifNgeber Berkumpul bersama dengan

teman-teman sesama gay.Ngeluyur Jalan-jalan atau bermain

bersama dengan teman-teman sesama gay.

Ngesong Aktivitas seksual gay me-lalui oral

Ngondhek Gestur gemulai yang biasanya dilakukan oleh gay sissy.

Ngucing/nyebong Melakukan kegiatan sebagai “kucing” secara komersial bagi kaum gay dan biseksual.

Nongky Nongkrong, berkumpulParno ParanoidPecah Keren/hebohPenjahat kelamin Playboy di kalangan gayPere PerempuanPerez/rez Bohong, tidak tulus, palsuPewong Pasangan gay yang kemayuRambutan RambutSecara Karena Sekong Sakit Sepong Siapa Sherina SeriusSirkuit SedikitSongong SombongSoraya perucha Sakit perutSutralah SudahlahTajir Orang kayaTase BermesraanTempong Aktivitas seksual gay me-

lalui analTinta TidakTP Tebar pesona

ISTILAH SIMBO-KRONIK VERBAL

MAKNA

Transman Transgender laki-lakiTranswoman Transgander perempuanWokeh OkeWoles Santai

(Sumber diolah dari data peneliti)

Kata-kata simbrokronik di atas sering digu-nakan oleh para individu gay untuk menunjukkan aktualisasi diri mereka, Penggunaan kata-kata tersebut sering dilakukan individu gay untuk menandakan bentuk simbokronik.

Penulis mengetahui simbokronik verbal di atas dengan mengamati setiap kata yang diucapkan oleh narasumber ketika melakukan wawancara dan juga telaah dokumen yang di-berikan oleh narasumber penulis untuk dijadikan referensi dalam menemukan simbokronik verbal yang dilakukan oleh individu-individu gay terse-but.

Kata-kata di atas sangat familiar dan sering digunakan sebagai simbol komunikasi lisan se-bagai tindak tutur di antara sesama individu gay dalam lingkaran pertemanan. Simbokronik verbal yang digunakan ini dapat berubah sewaktu-waktu jadi kata-kata tersebut bukan sesuatu yang paten, tergantung penggunaan dan tergantung zaman.

Selain komunikasi verbal, individu-individu gay juga menggunakan simbokronik komunikasi nonverbal. Simbokronik nonverbal adalah simbokronik yang mempresentasikan komunikasi gay yang dapat diterapkan melalui cara berpenampilan atau cara berpakaian. Contoh yang paling sederhana yaitu zaman dahulu di luar negeri simbokronik penggunaan sapu tanggan warna warni menunjukkan bahwa orang yang bersangkutan adalah seorang gay.

Komunikasi yang dibangun oleh indi-vidu gay ini mengandalkan simbol-simbol yang mereka pertunjukkan dan disepakati bersama. Zaman dahulu simbol yang menunjukan bahwa seseorang gay adalah dengan memasang anting di telinga sebelah kanan, tetapi simbol tersebut lama kelamaan menghilang dan sudah tidak mempresentasikan indentitas seorang gay, Selain itu banyak juga pria heteroseksual yang meng-gunakan simbol tersebut, seperti pemain band,

Page 12: SIMBOKRONIK KOMUNIKASI (BERTAHAN DAN KETERASINGAN …

74 Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume 22 No. 3 Tahun 2020, hlm. 63–75

Michael Jibrael Rorong

penyanyi ataupun seniman, bahkan terkadang atlet maupun pekerja kreatif (misalkan mereka yang bekerja pada biro iklan atau konsultan)

4. PENUTUPPengalaman hdup dari individu gay cenderung menghantarkan mereka pada setiap aspek sim-bokronik yang tercipta dari pandangan masyara-kat terhadap diri mereka. Proses yang dilalui oleh setiap individu cenderung hadir karena pandang-an masyarakat akan “sampah masyarakat” yang membuat para individu gay tersebut membentuk simbokronik mereka sendiri dalam lingkungan masyarakat, bahkan menciptakan budaya mereka sendiri.

Hal ini tentunya menjadi menarik ketika proses adanya simbokronik ini dilatarbelakangi oleh stereotipe masyarakat akan kehadiran indi-vidu minoritas tersebut, kajian ini memaparkan aspek intensionalitas dari setiap individu, bukan berarti membenarkan tindakan dari setiap individu tersebut. Kajian ini menjadi acuan bagi pemegang kepentingan seperti tokoh-tokoh agama, tokoh masyarakat dan budaya, serta pemerintah untuk dapat duduk bersama untuk mencari solusi dalam mengatasi masalah-masalah penyimpangan sosial yang berdiri pada pandangan-pandangan radikal-isme yang merujuk pada hal-hal negatif.

5. REFERENSIArdial, H. (2014). Paradigma dan model penelitian

komunikasi. Jakarta: Askara. Barb J.B. (2014). Being true, whole, anstrong: A phe-

nomenology of transgenderism as a valued life experience. Journal of Gay & Lesbian Social Services, 26, 355–382.

Bertens, K. (2013). Sejarah filsafat kontemporer Prancis. Jakarta: Gramedia.

Boyarin, D., Itzkovitz, D., & Pellegrini, A. (2003). Queer theory and the Jewish question: Lesbian, gay and bisexsual studies. Columbia: Columbia University Press.

Brouwer, M.A.W. (1984). Psikologi fenomenologis. Jakarta. Kompas Gramedia.

Creswell, J.W., & Poth, N.C. (2016). Qualitative inquiry & research design: Choosing among five approaches (Fourth Edition). New York: Sage Publications.

Daymond,C., & Holloway,I. (2008). Metode-metode riset kualitatif dalam public relations & mar-keting communication. Yogyakarta: Bentang Pustaka.

Devito, A.J. (2013). The interpresonal communication book. New York: Person Education.

DeVito, J. (2013). The nonverbal communication book. Michigan: Harper & Row.

Dreyfus, H., & Wrathall, M. (2006). A companion to phenomenology and existentialism. AS: Blackwell Publishing.

Drummond, J. (1997). Ensyclopedia of phenomenol-ogy. Jerman: Springer.

Endraswara, S. (2006). Metode, teori, teknik peneli-tian kebudayaan: Ideologi, epistimologi, dan aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Widyatama.

Fejes, N., & Balogh, A. (2013). Queer visibility in post-socialist cultures. Inggris: Intellect Bristol.

Friesen, N. Henrikson, C., & Saevi, T. (2012). Her-meneutic Phenomenology in Education Method and Practice. Belanda: Sense Publishers.

Littlejhon, & Foss. (2011). Teori komunikasi. Jakarta: Salemba Humanika.

Marshall, T.P. (2011). A history of communications: Media and society from the evolution of speech to the internet. Cambridge: Cambridge Uni-versity Press.

Marshall, J.G. (2008). A guide to Merleau Ponty’s, phenomenology of perception. Milwaukee, Wisconsin: Marquette University Press.

Miller, C. (2005). Communication Theories, perspec-tive, processes, and contexts. 2th Ed. McGraw-Hill. Singapore.

Mitchell, D. (2012). Everyday phenomenology .Ing-gris: Cambridge Scholars Publishing.

Rorong, M.J. (2016). Peran komunikasi: Teori, teknologi informasi dan komunikasi, komuni-kasi bisnis. Yogyakarta: Deepublish.

Rorong, M.J. (2020). Fenomenologi. Yogyakarta: Deepublish.

Ponty, M. (1962). Phenomenology of perception. New York: Routledge.

Ponty, M. (1968). The visible and the invisible. AS: Nothwestern University Press.

Praptiningsih, N.A. (2016). Etnografi komuni-kasi komunitas gay “coming out”. (Disertasi, Fakultas Komunikasi, Universitas Padjajaran, Bandung).

Rakhmahappin, & Prabowo. (2014). Kecemasan sosial kaum homoseksual gay dan lesbian. Jurnal Ilmiah Psikologi Terapan, 2(2).

Sarwono, S.W. (2009). Pengantar psikologi umum. Jakarta: Rajawali Press.

Page 13: SIMBOKRONIK KOMUNIKASI (BERTAHAN DAN KETERASINGAN …

Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume 22 No. 3 Tahun 2020, hlm. 63–75 75

Simbokronik Komunikasi (Bertahan dan Keterasingan Individu Gay di Jakarta)

Staehler, T. (2017). Hegel, Husserl and the phenom-enology of historical worlds. London, New York: Rowman & Littlefield.

Stefan, R., White, A., & Anderson, E. (2017). Privi-leging the bromance: A critical appraisal of romantic and bromantic relationships. Man and Masculinities Journal, 22(3), 1-22.

Sudikin, B. (2002). Metode penelitian kualitatif perspektif mikro. Surabaya: Insan Cendekia.

West, R. & Turner, L. (2014). Pengantar teori komuni-kasi, analisis dan aplikasi. Salemba Humanika. Jakarta.