sikap kerja dalam perusahaan
-
Upload
ikha-mardiyah -
Category
Education
-
view
127 -
download
0
Transcript of sikap kerja dalam perusahaan
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Gibson (2003), menjelaskan sikap sebagai perasaan positif atau negatif atau
keadaan mental yang selalu disiapkan, dipelajari dan diatur melalui pengalaman yang
memberikan pengaruh khusus pada respon seseorang terhadap orang, obyek ataupun
keadaan. Sikap lebih merupakan determinan perilaku sebab, sikap berkaitan dengan
persepsi, kepribadian dan motivasi
Berdasarkan pendapat yang dikemukakan oleh para ahli dapat disimpulkan
pengertian sikap sebagai organisasi keyakinan-keyakinan yang mengandung aspek
kognitif, konatif dan afektif yang merupakan kesiapan mental psikologis untuk
mereaksi dan bertindak secara positif atau negatif terhadap objek tertentu. Sikap dapat
berubah dan dapat dipengaruhi, dapat dibina dalam berbagai bidang kehidupan. Sikap
negatif dapat dipengaruhi sehingga menjadi positif, yang tadinya tidak senang
menjadi senang, yang semula antipati menjadi bersimpati, dan sebagainya. Penjelasan
di atas relevan dengan pendapat Robbins (2007) yang menyatakan bahwa sikap
terbentuk dari tiga komponen (aspek) yaitu aspek evaluasi (komponen kognisi) dan
perasaan yang kuat (komponen afektif) yang akan membimbing pada suatu tingkah
laku (komponen kecenderungan untuk berbuat/konasi).
Keyakinan bahwa ”diskriminasi salah” merupakan sebuah pernyataan
evaluatif. Opini semacam ini adalah komponen kognitif (cognitive component), yang
menentukan tingkatan untuk bagian yang lebih penting dari sebuah sikap. Komponen
afektif-nya (affective component). Perasaan adalah segmen emosional atau perasaan
dari sebuah segmen emosional atau perasaan dari sebuah sikap, perasaan ini
selanjutnya menimbulkan hasil akhir perilaku. Komponen perilaku (behavioral
component) dari sebuah sikap merujuk pada suatu maksud untuk berperilaku dalam
cara tertentu terhadap seseorang atau sesuatu
1
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud sikap kerja?
2. Apa saja komponen sikap kerja?
3. Apa saja keadilan organisasi?
4. Apa yang dimaksud kepuasan kerja?
5. Apa yang dimaksud komitmen kerja?
C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui sikap kerja.
2. Untuk mengetahui komponen-komponen yang ada didalam sikap kerja
3. Untuk mengetahui apa saja keadilan yang ada didalam organisasi
4. Untuk mengetahui apa yang dmaksud kepuasan dalam sikap kerja
5. Untuk mengetahui apa yang dimaksud komitmen kerja.
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Sikap
Sikap (attitude) didefinisikan oleh Robbins (2007) sebagai pernyataan evaluatif, baik
yang menyenangkan maupun tidak menyenangkan terhadap objek, individu, atau peristiwa.
Hal ini mencerminkan bagaimana perasaan seseorang tentang sesuatu. Sementara Kreitner
dan Kinicki (2005) mendefinisikan sikap sebagai kecenderungan merespon sesuatu secara
konsisten untuk mendukung atau tidak mendukung dengan memperhatikan objek tertentu.
Setyobroto (2004) merangkum batasan sikap dari berbagai ahli psikologi sosial
diantaranya pendapat G.W. Alport, Guilford, Adiseshiah dan John Farry, serta Kerlinger
yaitu :
1) Sikap bukan pembawaan sejak lahir
2) Dapat berubah melalui pengalaman
3) Merupakan organisasi keyakinan-keyakinan
4) Merupakan kesiapan untuk bereaksi
5) Relatif bersifat tetap
6) Hanya cocok untuk situasi tertentu
7) Selalu berhubungan dengan subjek dan objek tertentu
8) Merupakan penilaian dari penafsiran terhadap sesuatu
9) Bervariasi dalam kualitas dan intensitas
10) Meliputi sejumlah kecil atau banyak item
11) Mengandung komponen kognitif, afektif dan komatif
3
Gibson (2003), menjelaskan sikap sebagai perasaan positif atau negatif atau keadaan
mental yang selalu disiapkan, dipelajari dan diatur melalui pengalaman yang memberikan
pengaruh khusus pada respon seseorang terhadap orang, obyek ataupun keadaan. Sikap lebih
merupakan determinan perilaku sebab, sikap berkaitan dengan persepsi, kepribadian dan
motivasi
Berdasarkan pendapat yang dikemukakan oleh para ahli dapat disimpulkan pengertian
sikap sebagai organisasi keyakinan-keyakinan yang mengandung aspek kognitif, konatif dan
afektif yang merupakan kesiapan mental psikologis untuk mereaksi dan bertindak secara
positif atau negatif terhadap objek tertentu. Sikap dapat berubah dan dapat dipengaruhi,
dapat dibina dalam berbagai bidang kehidupan. Sikap negatif dapat dipengaruhi sehingga
menjadi positif, yang tadinya tidak senang menjadi senang, yang semula antipati menjadi
bersimpati, dan sebagainya.
B. Komponen Sikap
Berkaitan dengan komponen sikap, Walgito (2001) mengemukakan bahwa: Sikap
mengandung tiga komponen yang membentuk struktur sikap. Ketiga komponen itu adalah
komponen kognitif, afektif dan konatif dengan uraian sebagai berikut:
1. Komponen kognitif (komponen perseptual), yaitu komponen yang berkaitan dengan
pengetahuan, pandangan, keyakinan, yaitu hal-hal yang berhubungan dengan
bagaimana orang mempersepsi terhadap obyek sikap.
2. Komponen afektif (komponen emosional), yaitu komponen yang berhubungan dengan
rasa senang atau tidak senang terhadap obyek sikap. Rasa senang merupakan hal yang
positif, sedangkan rasa tidak senang adalah hal negatif.
3. Komponen konatif (komponen perilaku, atau action component), yaitu komponen
yang berhubungan dengan kecenderungan bertindak atau berperilaku terhadap obyek
sikap
Penjelasan di atas relevan dengan pendapat Robbins (2007) yang menyatakan bahwa
sikap terbentuk dari tiga komponen (aspek) yaitu aspek evaluasi (komponen kognisi) dan
4
perasaan yang kuat (komponen afektif) yang akan membimbing pada suatu tingkah laku
(komponen kecenderungan untuk berbuat/konasi).
Keyakinan bahwa ”diskriminasi salah” merupakan sebuah pernyataan evaluatif. Opini
semacam ini adalah komponen kognitif (cognitive component), yang menentukan tingkatan
untuk bagian yang lebih penting dari sebuah sikap. Komponen afektif-nya (affective
component). Perasaan adalah segmen emosional atau perasaan dari sebuah segmen emosional
atau perasaan dari sebuah sikap, perasaan ini selanjutnya menimbulkan hasil akhir perilaku.
Komponen perilaku (behavioral component) dari sebuah sikap merujuk pada suatu maksud
untuk berperilaku dalam cara tertentu terhadap seseorang atau sesuatu.
Gambar yang ditampilkan berikut menunjukkan hubungan dari tiga komponen sikap.
Contoh yang diberikan oleh Robbins ini menggambarkan bagaimana sikap negatif seorang
karyawan terhadap pengawasnya.
5
Sumber : Komponen Sikap, Robbins dan Judge. 2007. Perilaku Organisasi. Jakarta : Salemba
Empat, hal. 94
C. Keadilan Organisasi
Menurut Folger dan Greenberg dalam Byrne et all (2003) pengertian keadilan
organisasi lebih merujuk pada bentuk evaluasi individu terhadap perlakuan organisasi
terhadap karyawannya dalam hal upaya yang fair untuk mendapatkan hasil, proses untuk
memperoleh hasil itu juga dilakukan secara fair atau tidak, serta bentuk-bentuk perlakuan
interpersonal terhadap masing-masing karyawannya (Yuwono, I dkk., 2005:126).
Seperti yang diungkapkan oleh Lind dan Tyler (1988) secara umum, keadilan
digambarkan sebagai situasi sosial ketika norma-norma tentang hak dan kelayakan dipenuhi.
Keraf (1996) juga mengungkapkan bahwa nilai dasar keadilan adalah martabat manusia
sehingga prinsip dasar keadilan adalah penghargaan atas martabat dan hak-hak yang melekat
padanya (Yuwono, I dkk., 2005:126).
Greenberg (1990) sendiri berpendapat bahwa keadilan organisasi mengacu pada
persepsi karyawan terhadap keadilan dalam organisasi (Yuwono, I dkk., 2005:127).
Deustch dan Tornblom mendefinisikan keadilan organisasi menjadi tiga tipe yaitu,
keadilan distributif, keadilan prosedural, dan keadilan interaksional. Pertama, keadilan
distributif adalah keadilan yang diterima seseorang sebagai hasil dari keputusan managemen
dalam hal pembagian alokasi sumber-sumber daya. Laventhal dan Thibault,&Walker
mendefinisikan keadilan prosedural sebagai keadilan yang dipersepsikan terhadap suatu
proses (prosedur) untuk membagi sumber daya atau alokasi (Yuwono, I dkk., 2005:126).
Menurut Biacs dan Bies&Moag dalam Byrne et all (2003) dan Cropanzano et all,
(2000) menyatakan keadilan interaksional sebagai keadilan tentang perlakuan interaksional
pembuat keputusan (decision maker). Terhadap bawahan atau karyawan ketika
mengimplementasikan prosedur pembagian sumber daya (Yuwono, I dkk., 2005:126).
1. Keadilan Distributif
Pengertian keadilan distributif meliputi tiga hal, yaitu (Yuwono, I dkk., 2005:130):
6
Terletak pada nilai
Keadilan hanya berlaku sesuai dengan nilai yang dianut. Prinsip pemerataan dikatakan adil
berdasarkan pada nilai apa yang dianut oleh pengambil kebijakan.
Terletak pada perumusan nilai-nilai menjadi sebuah peraturan
Meskipun satu prinsip keadilan distributif telah disepakati sehingga ketidakadilan pada
tingkat nilai menjadi tidak muncul, belum tentu keadilan distributif telah ditegakkan. Yang
terpenting pada konsep ini adalah bagaimana menterjemahkan nilai menjadi sebuah aturan
yang implementatif sehingga pada gilirannya nanti mampu menjadikan acuan dalam bentuk
perlakuan atau tindakan.
Terletak pada implementasi peraturan
Untuk menilai distribusi adil atau tidak, dapat dilihat dari tegaknya peraturan yang
diterapkan. Bila peraturan yang disepakati tidak dijalankan sama sekali atau dijalankan
sebagian, keadilan distributif tidak tercapai (Van den Bos, 1999). Pada taraf ini, aturan yang
dibuat harus diimplementasikan sesuai dengan tata kerja yang telah diputuskan. Aspek ini
cukup menentukan, karena pada akhirnya orang akan melihat adil atau tidak adil justru dari
pelaksanaan yang implementatif atas aturan yang telah dibuat. Meskipun nilai yang dianut
cukup fair dan aturannya cukup tegas dan kuat, namun dalam implementatifnya banyak
pelanggaran yang dibuat maka orang akan tetap memandang tidak adil.
2. Keadilan Prosedural
Dalam menerapkan keadilan prosedural terdapat beberapa aturan pokok yang harus
diperhatikan, yaitu (Yuwono, I dkk., 2005:127-128):
Konsistensi
Prosedur yang adil seharusnya konsisten dalam bentuk pemberian perlakuan. Konsistensi
perlakuan itu terhadap satu orang dengan orang yang lain, juga konsistensi dari satu waktu ke
waktu yang lain. Dalam hal ini setiap orang memiliki hak untuk diperlakukan secara sama
dalam satu prosedur yang sama.
7
Minimalisasi Bias
Untuk meminimalisasi bias perlu dikenali sumber biasnya, sering kali sumber bias yang
muncul yaitu demi kepentingan individu dan demi doktrin yang memihak. Oleh karenanya,
dalam upaya meminimalisasi bias baik kepentingan individu maupun keberpihakan haruslah
dihindari.
Informasi yang Akurat
Informasi yang dibutuhkan untuk menentukan agar penilaian dan perlakuan mengarah pada
keadilan maka informasi itu harus akurat. Informasi yang akurat adalah informasi yang
mendasarkan pada fakta. Kalaupun terpaksa opini sebagai dasar informasi, maka hal itu harus
disampaikan oleh orang yang benar-benar mengetahui permasalahan dan informasi yang
disampaikan harus lengkap.
Dapat diperbaiki
Upaya untuk memperbaiki kesalahan merupakan salah satu tujuan penting yang perlu
ditegakkan untuk menuju pada keadilan. Oleh karena itu, prosedur yang adil juga
mengandung aturan yang bertujuan untuk memperbaiki kesalahan yang ada ataupun
kesalahan yang mungkin akan muncul.
Representatif
Prosedur dikatakan adil jika sejak awal ada upaya untuk melibatkan semua pihak yang terkait
dengan perlakuan. Meskipun kadar keterlibatan yang dimaksudkan dapat disesuaikan dengan
sub-sub kelompok yang ada, secara prinsip harus ada penyertaan dari berbagai pihak
sehingga akses untuk melakukan control juga terbuka.
Etis
Prosedur yang adil harus berdasarkan pada standar etika dan moral. Artinya, meskipun
berbagai hal di atas telah dipenuhi untuk menuju pada keadilan, namun bila substansinya
tidak memenuhi standar etika dan moral, maka seluruh perlakuan organisasi tidak bisa
dikatakan adil
3. Keadilan Interaksional
8
Menurut Tyler (1989, 1994 dalam Yuwono, I dkk., 2005:133) menyebutkan ada tiga hal
penting yang patut diperhatikan dalam membahas keadilan interaksional, yaitu:
Penghargaan
Khususnya penghargaan kepada status seseorang, hal ini tercermin dalam bentuk perlakuan.
Lebih khusus lagi adalah bentuk perlakuan atau tindakan dari orang yang berkuasa
(pimpinan) terhadap anggota kelompoknya. Apabila makin baik kualitas perlakuan pimpinan
terhadap para anggota maka interaksinya dinilai makin adil oleh anggotanya (Donovan dkk,
1989).
Netralitas
Konsep ini berkembang karena butuh keterlibatan pihak ketiga manakala ada masalah
hubungan sosial antara satu pihak dengan pihak yang lain. Netralitas dalam keputusan atas
konflik kedua belah pihak dapat tercapai manakala dasar-dasar dalam pengambilan keputusan
lebih banyak menggunakan fakta dan bukan opini, apalagi fakta yang ditampilkan
mempunyai nilai objektivitas yang tinggi juga punya nilai validitas yang tinggi pula.
Kepercayaan
Hal ini yang banyak dikaji pada aspek keadilan interaksional. Kepercayaan (trust) sering
didefinisikan sebagai harapan pihak lain dalam melakukan hubungan sosial, yang di
dalamnya mencakup resiko yang berkaitan dengan harapan tersebut. Sztompka (1999 dalam
Yuwono, I dkk., 2005:133) menyebutkan kepercayaan sebagai suatu pertaruhan terhadap
hasil masa depan dengan menyerahkan kepada orang lain.
D .Kepuasan Kerja
Istilah kepuasan kerja (job satisfaction) dapat diefinisikan sebagai suatu perasaan positif yang
merupakan hasil dari sebuah evaluasi karakteristiknya (Robbins, 2007). Sedangkan Kreitner
dan Kinicki (2005) menyatakan bahwa kepuasan kerja sebagai efektivitas atau respons
emosional terhadap berbagai aspek pekerjaan. Definisi ini mengandung pengertian bahwa
kepuasan kerja bukanlah suatu konsep tunggal, sebaliknya seseorang dapat relatif puas
dengan suatu aspek dari pekerjaannya dan tidak puas dengan salah satu atau beberapa aspek
lainnya.
9
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja
(Levi,2002) lima aspek yang terdapat dalam kepuasan kerja, yaitu
1. Pekerjaan itu sendiri (Work It self),Setiap pekerjaan memerlukan suatu keterampilan
tertentu sesuai dengan bidang nya masing-masing. Sukar tidaknya suatu pekerjaan
serta perasaan seseorang bahwa keahliannya dibutuhkan dalam melakukan pekerjaan
tersebut, akan meningkatkan atau mengurangi kepuasan kerja.
2. Atasan(Supervision), atasan yang baik berarti mau menghargai pekerjaan
bawahannya. Bagi bawahan, atasan bisa dianggap sebagai figur ayah/ibu/teman dan
sekaligus atasannya.
3. Teman sekerja (Workers), Merupakan faktor yang berhubungan dengan hubungan
antara pegawai dengan atasannya dan dengan pegawai lain, baik yang sama maupun
yang berbeda jenis pekerjaannya.
4. Promosi(Promotion),Merupakan faktor yang berhubungan dengan ada tidaknya
kesempatan untuk memperoleh peningkatan karier selama bekerja.
5. Gaji/Upah(Pay), Merupakan faktor pemenuhan kebutuhan hidup pegawai yang
dianggap layak atau tidak.
Aspek-aspek lain yang terdapat dalam kepuasan kerja :
1. Kerja yang secara mental menantang,Kebanyakan Karyawan menyukai pekerjaan-
pekerjaan yang memberi mereka kesempatan untuk menggunakan keterampilan dan
kemampuan mereka dan menawarkan tugas, kebebasan dan umpan balik mengenai
betapa baik mereka mengerjakan. Karakteristik ini membuat kerja secara mental
menantang. Pekerjaan yang terlalu kurang menantang menciptakan kebosanan, tetapi
terlalu banyak menantang menciptakan frustasi dan perasaan gagal. Pada kondisi
tantangan yang sedang, kebanyakan karyawan akan mengalamai kesenangan dan
kepuasan.
2. Ganjaran yang pantas, Para karyawan menginginkan sistem upah dan kebijakan
promosi yang mereka persepsikan sebagai adil,dan segaris dengan pengharapan
mereka. Pemberian upah yang baik didasarkan pada tuntutan pekerjaan, tingkat
keterampilan individu, dan standar pengupahan komunitas, kemungkinan besar akan
dihasilkan kepuasan. tidak semua orang mengejar uang. Banyak orang bersedia
menerima baik uang yang lebih kecil untuk bekerja dalam lokasi yang lebih
10
diinginkan atau dalam pekerjaan yang kurang menuntut atau mempunyai keleluasaan
yang lebih besar dalam kerja yang mereka lakukan dan jam-jam kerja. Tetapi kunci
yang manakutkan upah dengan kepuasan bukanlah jumlah mutlak yang dibayarkan;
yang lebih penting adalah persepsi keadilan. Serupa pula karyawan berusaha
mendapatkan kebijakan dan praktik promosi yang lebih banyak, dan status sosial yang
ditingkatkan. Oleh karena itu individu-individu yang mempersepsikan bahwa
keputusan promosi dibuat dalam cara yang adil (fair and just) kemungkinan besar
akan mengalami kepuasan dari pekerjaan mereka.
3. Kondisi kerja yang mendukung,Karyawan peduli akan lingkungan kerja baik untuk
kenyamanan pribadi maupun untuk memudahkan mengerjakan tugas. Studi-studi
memperagakan bahwa karyawan lebih menyukai keadaan sekitar fisik yang tidak
berbahaya atau merepotkan. Temperatur (suhu), cahaya, kebisingan, dan faktor
lingkungan lain seharusnya tidak esktrem (terlalu banyak atau sedikit).
4. Rekan kerja yang mendukung, Orang-orang mendapatkan lebih daripada sekadar uang
atau prestasi yang berwujud dari dalam kerja. Bagi kebanyakan karyawan, kerja juga
mengisi kebutuhan akan sosial. Oleh karena itu bila mempunyai rekan sekerja yang
ramah dan menyenagkan dapat menciptakan kepuasan kerja yang meningkat. Tetapi
Perilaku atasan juga merupakan determinan utama dari kepuasan.
5. Kesesuaian kepribadian dengan pekerjaan, Pada hakikatnya orang yang tipe
kepribadiannya kongruen (sama dan sebangun) dengan pekerjaan yang mereka pilih
seharusnya mendapatkan bahwa mereka mempunyai bakat dan kemampuan yang
tepat untuk memenuhi tuntutan dari pekerjaan mereka. Dengan demikian akan lebih
besar kemungkinan untuk berhasil pada pekerjaan tersebut, dan karena sukses ini,
mempunyai kebolehjadian yang lebih besar untuk mencapai kepuasan yang tinggi dari
dalam kerja mereka.
E. Komitmen Kerja
Setiap orang yang bekerja di suatu perusahaan atau organisasi, harus mempunyai
komitmen dalam bekerja karena apabila suatu perusahaan karyawannya tidak mempunyai
suatu komitmen dalam bekerja, maka tujuan dari perusahaan atau organisasi tersebut tidak
akan tercapai. Namun terkadang suatu perusahaan atau organisasi kurang memperhatikan
komitmen yang ada terhadap karyawannya, sehingga berdampak pada penurunan kinerja
terhadap karyawan ataupun loyalitas karyawan menjadi berkurang.Komitmen pada setiap
11
karyawan sangat penting karena dengan suatu komitmen seorang karyawan dapat menjadi
lebih bertanggung jawab terhadap pekerjaannya dibanding dengan karyawan yang tidak
mempunyai komitmen. Biasanya karyawan yang memiliki suatu komitmen, akan bekerja
secara optimal sehingga dapat mencurahkan perhatian, pikiran, tenaga dan waktunya untuk
pekerjaanya, sehingga apa yang sudah dikerjakannya sesuai dengan yang diharapkan oleh
perusahaan.
Beberapa ahli mendefinisikan komitmen organisasional karyawan sebagai berikut:
Mathis and Jackson dalam Sopiah (2008:155) memberikan definisi “Organizational
Commitment is the degree to which employees believe in and accept organizational
goals and desire to remain with the organization (komitmen organisasional adalah
derajat yang mana karyawan percaya dan menerima tujuan-tujuan organisasi dan akan
tetap tinggal atau tidak akan meninggalkan organisasi)”.
Mowday dalam Sopiah (2008:155) menyebut komitmen kerja sebagai istilah lain dari
komitmen organisasional. Menurut dia, “komitmen organisasional merupakan
dimensi perilaku penting yang dapat digunakan untuk menilai kecenderungan
pegawai. Komitmen organisasional adalah identifikasi dan keterlibatan seseorang
yang relatif kuat terhadap organisasi. Komitmen organisasional adalah keinginan
anggota anggota organisasi untuk tetap mempertahankan keanggotaannya dalam
organisasi dan bersedia berusaha keras bagi pencapaian tujuan organisasi”.
Lincoln dalam Sopiah (2008:155), “komitmen organisasional mencakup kebanggaan
anggota, kesetiaan anggota dan kemauan anggota pada organisasi”.
Blau and Boal dalam Sopiah (2008:155) menyebutkan “komitmen organisasional
sebagai keberpihakan dan loyalitas karyawan terhadap organisasi dan tujuan
organisasi”.
Robbins dalam Sopiah (2008:155-156) mendefinisikan komitmen organisasional
sebagai “suatu sikap yang merefleksikan perasaan suka atau tidak suka dari karyawan
terhadap organisasi.
Dari beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa komitmen dalam organisasi
adalah sebuah kepercayaan dan penerimaan terhadap tujuan-tujuan dimana seseorang dapat
bertahan dengan kesetiaannya demi kepentingan organisasi sehingga terbentuk sebuah
loyalitas sehingga membuat seseorang dapat bertahan untuk memelihara keanggotaannya
dalam suatu organisasi.
12
Dalam sebuah perusahaan tentu karyawan dituntut untuk dapat memberikan kinerja
terbaik pada perusahaan sesuai dengan kompetensi yang dimilikinya.Tetapi kompetensi saja
tidak cukup agar karyawan dapat memberikan kinerja terbaiknya dalam pekerjaannya.Selain
kompetensi, komitmen kerja bagi karyawan, dosen, guru, pegawai ataupun pekerja juga
diperlukan agar mereka memberikan hasil terbaik bagi organisasi atau perusahaan.
Kompetensi tanpa komitmen sama dengan sebuah pistol berpeluru tetapi tidak bisa
ditembakkan.Seseorang yang tidak memiliki komitmen, sebenarnya ia ahli dalam bidangnya
(competent) namun ia bekerja dengan setengah hati. Karyawan yang memiliki suatu
komitmen, akan bekerja secara total, mencurahkan perhatian, pikiran, tenaga dan waktunya,
ia mengerjakan apa yang diharapkan oleh perusahaan.
Dari beberapa pengertian di atas jelas bahwa komitmen merupakan bagian yang terkait
dengan kinerja karyawan dalam hubungannya dengan pekerjaannya.Dalam sebuah komitmen
juga memiliki unsur atau komponen yang saling berhubungan.Ketika semua komponen
terpenuhi maka semakin besar komitmen karyawan dalam pekerjaannya. Menurut Meyer,
Allen & Smith dalam jurnal Proceeding PESAT Vol.2, komitmen organisasi terdiri dari 3
komponen yaitu:
1. Komitmen kerja afektif (affective occupational commitment)
Komitmen sebagai ketertarikan afektif/psikologis karyawan terhadap pekerjaannya.
Komitmen ini menyebabkan karyawan bertahan pada suatu pekerjaan karena mereka
menginginkannya.
2. Komitmen kerja kontinuans (continuance occupational commitment)
Mengarah pada perhitungan untung-rugi dalam diri karyawan sehubungan dengan
keinginannya untuk tetap mempertahankan atau meninggalkan pekerjaannya. Artinya,
komitmen kerja disini dianggap sebagai persepsi harga yang harus dibayar jika
karyawan meninggalkan pekerjaannya. Komitmen ini menyebabkan karyawan
bertahan pada suatu pekerjaan karena mereka membutuhkannya.
3. Komitmen kerja normatif (normative occupational commitment)
Komitmen sebagai kewajiban untuk bertahan dalam pekerjaannya. Komitmen ini
menyebabkan karyawan bertahan pada suatu pekerjaan karena mereka merasa wajib
untuk melakukannya serta didasari pada adanya keyakinan tentang apa yang benar
dan berkaitan dengan moral.
13
Tidak semua komponen di atas dimiliki oleh karyawan, tetapi lebih baik lagi jika ketiga
komponen tersebut dimiliki oleh karyawan.Sebagai contoh, ketika komponen affective
occupational commitment lebih dominan maka karyawan tersebut merasa lebih cocok dengan
bidang pekerjaannya, baik itu secara emosional maupun kesesuaian antara karakteristik
pekerjaan dengan dirinya.Ia merasa bahwa pekerjaannya sesuai dengan bidang
pendidikannya, hobinya, tujuannya, kebersamaan, kenyamanan dan lain-lain. Tetapi jika
karyawan tidak pernah diberikan pengembangan pengetahuan dan skill melalui seminar,
training dll.Maka dapat menimbulkan kurangnya komponen normative occupational
commitment dan dapat juga mempengaruhi kinerja dibandingkan dengan karyawan yang
memiliki tingkat komitmen yang setara.
14
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Sikap (attitude) didefinisikan oleh Robbins (2007) sebagai pernyataan evaluatif, baik
yang menyenangkan maupun tidak menyenangkan terhadap objek, individu, atau peristiwa.
Hal ini mencerminkan bagaimana perasaan seseorang tentang sesuatu. Sementara Kreitner
dan Kinicki (2005) mendefinisikan sikap sebagai kecenderungan merespon sesuatu secara
konsisten untuk mendukung atau tidak mendukung dengan memperhatikan objek tertentu.
Berkaitan dengan komponen sikap, Walgito (2001) mengemukakan bahwa: Sikap
mengandung tiga komponen yang membentuk struktur sikap. Ketiga komponen itu adalah
komponen kognitif, afektif dan konatif
Deustch dan Tornblom mendefinisikan keadilan organisasi menjadi tiga tipe yaitu,
keadilan distributif, keadilan prosedural, dan keadilan interaksional. Pertama, keadilan
distributif adalah keadilan yang diterima seseorang sebagai hasil dari keputusan managemen
dalam hal pembagian alokasi sumber-sumber daya. Laventhal dan Thibault,&Walker
mendefinisikan keadilan prosedural sebagai keadilan yang dipersepsikan terhadap suatu
proses (prosedur) untuk membagi sumber daya atau alokasi (Yuwono, I dkk., 2005:126).
Menurut Tyler (1989, 1994 dalam Yuwono, I dkk., 2005:133) menyebutkan ada tiga
hal penting yang patut diperhatikan dalam membahas keadilan interaksional, yaitu:
penghargaan,Netralitas,Kepercayaan.
Istilah kepuasan kerja (job satisfaction) dapat diefinisikan sebagai suatu perasaan
positif yang merupakan hasil dari sebuah evaluasi karakteristiknya (Robbins, 2007).
Sedangkan Kreitner dan Kinicki (2005) menyatakan bahwa kepuasan kerja sebagai
efektivitas atau respons emosional terhadap berbagai aspek pekerjaan. Definisi ini
mengandung pengertian bahwa kepuasan kerja bukanlah suatu konsep tunggal, sebaliknya
seseorang dapat relatif puas dengan suatu aspek dari pekerjaannya dan tidak puas dengan
salah satu atau beberapa aspek lainnya
15
Dari beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa komitmen dalam organisasi
adalah sebuah kepercayaan dan penerimaan terhadap tujuan-tujuan dimana seseorang dapat
bertahan dengan kesetiaannya demi kepentingan organisasi sehingga terbentuk sebuah
loyalitas sehingga membuat seseorang dapat bertahan untuk memelihara keanggotaannya
dalam suatu organisasi
16
DAFTAR PUSTAKA
https://teorionline.wordpress.com/2011/02/28/perbedaan-individu- sikap -bagian-1/
https://jungjera.wordpress.com/tag/keadilan-organisasi/
https://id.wikipedia.org/wiki/Kepuasan_Kerja
http://psychology.binus.ac.id/2015/09/21/hubungan-antara-kepuasan-dan-komitmen-kerja-
karyawan-dengan-intensi-turnover-pada-perusahaan/
17