SIARAN RELAY SRV SEBAGAI EMBRIO SISTEM STASIUN … hari wiryawan.pdf · 2002 tentang Penyiaran...
Transcript of SIARAN RELAY SRV SEBAGAI EMBRIO SISTEM STASIUN … hari wiryawan.pdf · 2002 tentang Penyiaran...
SIARAN RELAY SRV SEBAGAI EMBRIO SISTEM STASIUN
JARINGAN (SSJ) DI INDONESIA (1933-1942)
Hari Wiryawan1
Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Sahid Surakarta
Abstract
One of the crucial points in law enforcement of Indonesia Broadcasting
Act No. 32 of 2002 is regulation on Network Stations System (Sistem Stasiun
Jaringan-SSJ). This Broadcasting Act stipulates that broadcasting service in
Indonesia consist of local station and network stations system. This regulations
indirectly provide two (2) options only, namely broadcasting services that
became local station or network stations system. For becoming a local station, it
is enough to broadcast in the coverage area that has been determined in the
regulation of frequency allocation. The allocation is given to radio and television
stations to broadcast local only. For broadcasting services which want to expand
outreach over the broadcast coverage area that is set to be cooperating with other
broadcasting services in a partnership called Network Stations System.
SSJ/Network Station System is "working procedures governing the relay
broadcast regularly between broadcasting services, where the system consists of a
base or main station network to act as coordinator and member of the network
stations form a network system. The regulations of the SSJ/Network Station
System are in Broadcasting Act No. 32 of 2002 on Broadcasting is actually not
new in the world of broadcasting in Indonesia.
I did a search on the discourse of SSJ/Network Station System, showed
that the old bibliographies and documents gave suspicion that the SSJ/Network
Station System is not a discourse on paper or on a seminar forum only, but also it
has been worked practically in radio broadcasting services since the beginning of
the development of Indonesia broadcasting. Less than one year after the first
Indonesian radio station established in 1 April 1933 in Solo, that is Solosche
Radio Vereeniging (SRV), embrio of SSJ/Network Station System was born. SRV
was known as the pioneer of the indigenous-owned radio station
Based on this point of view, I try to assess in this paper regarding the
form or model of the embrio of SSJ/Network Station System and its development
in the early years of Indonesia. In this paper I do not intend to discuss the
problems faced in the implementation of Indonesia Broadcasting Act No. 32 of
2002 in terms of SSJ/Network Station System, but will attempt to identify the
shape or model of the SSJ/Network Station System used by Radio Ketimuran at
1 Direktur Lembaga Pers dan Penyiaran Surakarta (LPPS)
the beginning of its development, especially that practiced by SRV in the city of
Surakarta 1934-1942.
Key Words: Embrio SSJ/Network Station System, Solosche Radia Vereeniging,
Relay System
Pendahuluan
Salah satu titik krusial dalam penerapan Undang-undang No 32 tahun
2002 tentang Penyiaran adalah ketentuan tentang Sistem Stasiun Jaringan. UU
Penyiaran itu mengatur bahwa lembaga penyiaran di Indonesia terdiri dari
lembaga penyiaran lokal (stasiun lokal) dan lembaga penyiaran jaringan.2
Ketentuan ini secara tidak langsung hanya memberikan 2 (dua) pilihan kepada
lembaga penyiaran yaitu menjadi stasiun lokal atau stasiun jaringan.3
Untuk menjadi lembaga penyiaran lokal, sebuah stasiun cukup bersiaran
sesuai jangkaun siaran (coverage area) yang telah di tentukan dalam peraturan
alokasi frekuensi. Alokasi itu pada umumnya diberikan kepada stasiun radio atau
televisi hanya untuk siaran lokal.4 Bagi lembaga penyiaran yang ingin melebarkan
jangkuan siaran lebih dari coverage area yang telah diatur harus menjalin
kerjasama dengan lembaga penyiaran lain dalam sebuah kerjasama yang disebut
dengan Sistem Stasiun Jaringan (SSJ).5
SSJ adalah “tata kerja yang mengatur relay siaran secara tetap antar
lembaga penyiaran,6 dimana sistem itu terdiri dari stasiun induk jaringan yang
bertindak selaku koordinator dan stasiun anggota jaringan yang membentuk suatu
sistem jaringan kerja.7
2 Pasal 31 Undang-undang No 32 tahun 2002 tentang Penyiaran
3 Hal ini juga berarti bahwa dalam sistem penyiaran nasional di Indonesia tidak terdapat lembaga
penyiaran “nasional” yang dapat memiliki jangkauan siaran meliputi seluruh penduduk negeri ini. 4 Lihat misalnya Keputusan Menteri (KM) Perhubungan No 15/2003 ttg Rencana Induk (Master
Plan) Radio Penyelenggaraan Telekomunikasi Khusus untuk Keperluan Radio Siaran FM
(Frequency Modulation) dan KM No 76/2003 ttg Rencana Induk (Master Plan) Frekuensi Radio
Penyelenggaraan Telekomunikasi Khusus untuk Keperluan Televisi` Siaran Analog Pada Pita
Ultra High Frequency (UHF). Catatan: kedua KM telah direvisi. 5 Lihat Peraturan Menteri No 43/PER/M.KOMINFO/10/2009 tentang Penyelenggaraan Penyiaran
melalui Sistem Stasiun Jaringan oleh Lembaga Penyiaran Swasta Jasa Penyiaran Televisi. 6 Angka 3 psl 1 PP No 50 tahun 2005 ttg Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Swasta.
7 Ayat (1) Pasal 34 PP No 50/ 2005.
Ketentuan mengenai SSJ yang diatur dalam Undang-undang No 32 tahun
2002 tentang Penyiaran sebenarnya bukan hal yang baru dalam dunia penyiaran di
Indonesia. Penelusuran yang saya lakukan atas wacana SSJ, menunjukkan bahwa
kepustakaan dan dokumen-dokumen lama memberikan indikasi bahwa SSJ bukan
merupakan wacana di atas kertas atau di atas meja seminar belaka, melainkan
telah nyata dipraktikkan dalam penyiaran radio sejak awal perkembangan
penyiaran di Indonesia. Kurang dari satu tahun setelah stasiun radio milik bangsa
Indonesia yang pertama berdiri yaitu Solosche Radio Vereeniging (SRV) di Solo
1 April 1933, embrio SSJ telah lahir. SRV dan stasiun radio milik pribumi ini
dikenal dengan sebutan Radio Ketimuran.
Untuk itulah, saya mencoba mengkaji dalam artikel ini mengenai bentuk
atau model embrio SSJ pada awal penyiaran di Indonesia yang diterapkan di Kota
Surakarta. Dalam artikel ini saya tidak bermaksud membahas problem yang
dihadapi dalam penerapan Undang-Undang No 32 tahun 2002 tentang Penyiaran
dalam hal SSJ.
Perumusan Masalah
Perumusan permasalahan pada artikel ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah bentuk/model embrio Sistem Stasiun Jaringan (SSJ) di masa
awal penyiaran di Indonesia ?
2. Apa latar belakang dan tujuan Sistem Stasiun Jaringan (SSJ) pada masa itu
dan bagaimana memahami fenomena tersebut dari sisi sosial budaya dan
sosial politik ?
Pembatasan Masalah
Berdasarkan data awal yang saya peroleh mengenai perkembangan bentuk
atau model kerjasama relay, menunjukan bahwa SSJ pada masa Radio Ketimuran
atau masa perkembangan awal penyiaran di Indonesia telah berkembang pesat.
Mula-mula sistem relay di Kota Solo, kemudian berkembang menjadi kerjasama
antara dua-kota misalnya Solo-Jakarta, Solo-Semarang, dan Solo-Jogjakarta.
Model ini kemudian berkembang menjadi antara banyak-kota: Jakarta-Solo-
Bandung. Lalu berkemang lagi menjadi Jakarta-Solo-Bandung-Jogjakarta-
Semarang-Surabaya. Stasiun radio yang terlibat semula hanya SRV, kemudian
bertambah hingga sekitar 8 stasiun radio, termasuk stasiun milik Belanda
NIROM. Dalam artikel ini saya membatasi permasalahan pada sistem relay yang
dilakukan SRV di Kota Surakarta/ Solo sebagai embrio SSJ.
Tinjauan Pustaka:
a. Embrio SSJ
Dalam melihat sejarah penyiaran di Indonesia terdapat tiga kepustakaan
utama yaitu buku berjudul SRV Gedenkboek, (1936), artikel Sarsito
Mangunkusumo, (1939) yang berjudul “Sri Paduka Pangeran Adipati Ario
Mangkunagoro VII dan Siaran Radio Ketimuran” dan buku berjudul Sejarah
Radio di Indonesia, (1953) terbitan Kementerian Penerangan (Kemenpen) RI,
Djawatan Radio Republik Indonesia (RRI)8
Buku SRV Gedenkboek (1936) adalah buku peringatan tentang sejarah
lahirnya penyiaran SRV dan Radio Ketimuran, yang diterbitkan oleh pengurus
SRV. Buku ini menjelaskan apa yang telah dilakukan SRV selama 2 tahun, antara
lain siaran relay yang diberi julukan “kiriman dari..” atau “hadiah dari...” (Kedua
istilah ini akan dibahas di bawah).
Sedangkan artikel yang ditulis Sarsito, sedikit menyinggung munculnya
organisasi Perikatan Perkumpulan Radio Ketimuran (PPRK) sebuah asosiasi
Radio Ketimuran yang menyelenggarakan SSJ. Sementara dalam buku Kemenpen
RI disinggung lebih rinci tentang mekanisme kerjasama SSJ antara PPRK dengan
stasiun milik Pemerintah Hindia Belanda Netherlands Indicshe Radio Oemroep
Maschappij (NIROM).
Sumber lain yang relevan ditelusuri adalah sejumlah buletin radio yaitu
Pewarta SRV (Solosche Radio Vereeniging) Solo; Berita SRI (Siaran Radio
Indonesia), Solo; Pewarta VORO (Vereeniging Oostersche Radio Oemroep),
Jakarta; Berita VORL, (Vereeniging Oostersche Radio Luisteraars), Bandung,
8 Lihat pula Wiryawan, (2011)
Soeara Timoer (Buletin Perikatan Perkumpulan Radio Ketimuran-PPRK, Jakarta)
dan Soeara NIROM (Buletin NIROM Programma Ketimuran, Jakarta).
Dalam buletin tersebut akan ditemukan acara tertentu yang biasanya ada
penjelasan apakah acara tersebut merelay, direlay atau siaran dengan memutar
piringan hitam.
Untuk menulis artikel ini saya hanya menggunakan buletin Pewarta SRV,
dan Berita SRI. Buletin lain tidak sepenuhnya saya gunakan karena pertimbangan
relevansi dengan permasalahan yang saya tulis. Beberapa karya tulis saya, juga
saya gunakan berkaitan dengan masalah SSJ yang diterapkan oleh SRV. 9
b. Diversity of Owernership and Diversity of Content
Ketentuan tentang SSJ dalam Undang-Undang No 32 tahun 2002 tentang
Penyiaran seringkali dikaitkan dengan jargon “diveristy of ownership and
diversity of content” (DODC) (keragaman pemilik dan keragaman isi). Dengan
adanya SSJ diharapkan tumbuh keragaman pemilik lembaga penyiaran. Dengan
banyaknya pemilik stasiun radio/ TV maka diharapkan isi siaran juga akan makin
beragam.10
Perlunya keragaman pemilik dan keragaman isi siaran sebagai salah
satu alasan pembentukan SSJ dibahas oleh Judhariksawan (2010), Puji Rianto dkk
(2012), Amir Effendy Siregar (2014) dan tesis Lisa Mardiana (2010).11
Mardiana dalam tesis itu mewawancarai saya sebagai infoman. Saya
mengatakan:”...sistem stasiun berjaringan di Indonesia dirintis oleh lembaga
penyiaran yang bernama Solosche Radio Vereeniging (SRV) yang berdiri 1 April
1933...” (lampiran tesis).
9 Wiryawan, Hari (2006), “Sistem Jaringan Penyiaran Publik”, Makalah Seminar ttg “Perlunya
Kemitraan Antar Radio Siaran Publik Menuju Optimalisasi Pelayanan Siaran Seni Budaya”,
Gedung RRI Surakarta, 26 April; Wiryawan, Hari (2009), Sejarah Penyiaran Indonesia, 1933-
1942, KPID Jateng, Semarang; Wiryawan, Hari (2010), “Perlawanan Budaya: Kisah Solosche
Radio Vereeniging (SRV) Merintis Penyiaran di Indonesia,” Dialog Publik dalam “Deklarasi
Nasional Hari Penyiaran,” di Solo , 31 Maret-1 April 2010. 10
Saya belum menemukan siapa penemu dan yang mengenalkan jargon DODC. Jargon ini
diterima di Indonesia karena dianggap sesuai dengan kondisi Nusantara.
11
Judhariksawan (2010), Hukum Penyiaran, Rajawali Pers, Jakarta; Mardiana, Lisa (2010)
Implementasi Kebijakan Sistem Stasiun Jaringan dlm Industri Penyiaran Televisi di Kota
Semarang, Prog. Magister Ilmu Komunikasi, Pasca Sarjana Undip, Semarang; Puji Rianto dkk
(2012), Dominasi TV Swasta Tergerusnya Keberagaman Isi dan Kepemilikan, Promedia-Tifa,
Jakarta; Siregar, Amir Effendy (2014), Mengawal Demokratisasi Media: Menolak Konsentrasi,
Membangun Keberagaman, Kompas, Jakarta.
Kajian Mardiana (2010), Rianto (2012), Judhariksawan (2010) maupun
Siregar (2014) memiliki kesamaan pandangan bahwa salah satu problem
penyiaran di Indonesia adalah kondisi penyiaran yang terlalu tersentralisasi ke
Jakarta. Kondisi ini tidak sehat karena Indonessia negeri yang luas dan kaya
keragaman budaya. Desentralisasi penyiaran dengan mengambil model SSJ
dianggap sebagai jawaban yang paling tepat mengatasi masalah ini.
c. Pengertian SSJ: Model Kerjasama
SSJ adalah sebuah mekanisme kerjasama antara dua atau lebih lembaga
penyiaran sedemikian rupa sehingga salah satu pihak akan menyiarkan materi
acara dari pihak lain pada saat bersamaan. Terdapat beberapa model kerjasama
SSJ yang dirumuskan oleh para ahli penyiaran, khususnya dari pengalaman
Amerika Serikat, karena negeri itu cukup luas sehingga tumbuh subur pemikiran
tentang SSJ. Namun izinkan saya menggunakan model yang digunakan peraturan
perundang-undangan di Indonesia.12
Bila model ini di jabarkan dalam gambar
maka akan muncul model SSJ seperti tampak pada Diagram-1.
Diagram 1 Diagram 2
Bentuk/ Model Dasar SSJ Bentuk/ Model Embrio SSJ di SRV
Diagram 1: Dasar: PP 50/2005; Merah: Induk Jaringan sbg Koordinator.
Putih: Anggota jaringan. Diagram 2: Pola Siaran Mingguan SRV: Merah:
Studio Pusat SRV sbg Kordinator. Putih: Anggota jaringan yang melakukan
siaran langsung relay.
12
PP No 50/2005 ttg Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Swasta dan Permen
No:43/PER/M.KOMINFO/10/2009 ttg Penyelenggaraan Penyiaran melalui Sistem Stasiun
Jaringan oleh Lembaga Penyiaran Swasta Jasa Penyiaran Televisi.
INDUK JARINGAN
Anggota Jaringan Anggota
Jaringan
Anggota Jaringan
Anggota Jaringan
Anggo Jaringan
Anggota Jaringanta
Anggota Jaringan
STUDIO PUSAT
SRV
Keraton Kasunanan
Pura Mangkunegaran
Kepatihan Kasunanan
Istana bangsawan lainnya....
Gedung Chuan Min Kung Hui
Kepatihan Mangkunegaran
SRI/ Masjid Agung
Model pada Diagram-1 ini cukup sederhana dan bisa dijadikan patokan
sebagai model atau pola dasar SSJ. Varian model lain bisa lebih kompleks dan
rumit seperti yang diterapkan di Amerika Serikat yang diuraikan oleh Lisa
Mardiana (2010) maupun Primasanti (2009).13
Dengan model tersebut diatas akan
kita lihat nanti bagaimana bentuk embrio SSJ versi SRV. Namun sebelumnya
mari kita melihat wilayah tanah air dengan teknologi penyiaran.
Pembahasan
a. Luasnya Wilayah dan Keragaman Budaya Nusantara
Indonesia adalah salah satu negeri yang memiliki wilayah yang luas
terbentang dari Barat hingga Timur sepanjang 3.977 mil dari Samudera Hindia
hingga Samudera Pasifik dengan total luas negara 5.193.250 km² (mencakup
daratan dan lautan).14
Untuk menggambarkan luas wilayah Nusantara biasanya
dengan perbandingan peta Eropa: jika Sabang diletakkan di London, Inggris
maka Merauke akan berada di Istambul, Turki.
Kondisi geografis Indonesia yang luas dan berupa kepulauan ini
merupakan tantangan tersendiri bagi dunia penyiaran. Ini menjadi pekerjaan
rumah bagi para ahli teknologi penyiaran, baik secara geografis maupun secara
demografis.
Media penyiaran telah mencoba mengatasi tantangan yang ada di
Nusantara ini dengan berbagai cara, antara lain adalah meningkatkan kemampuan
teknologi khususnya daya atau power pemancar sebesar-besarnya agar bisa
menjangkau wilayah yang luas itu.
Hal ini pernah dilakukan oleh SRV. Setelah berdiri tanggal 1 April 1933,
SRV menggunakan pemancar yang bernama YOA2 dengan gemombang 52m.
Pemancar ini tidak begitu kuat dan hanya untuk memutar piringan hitam. Zender
atau pemancar ini digunakan sejak 1 April hingga Mei 1934. Pada Januari 1934
13
Mardiana, (2010), hal 25-36; Primasanti (2009), “Studi Eksplorasi Sistem Siaran Televisi
Berjaringan di Indonesia,” Jurnal Ilmiah Scriptura, vol 3 No 1 Januari 2009. 14
Ini menempatkan Indonesia negara terluas ke-7 setelah Rusia, Kanada, AS, China, Brasil dan
Australia
SRV telah memiliki pemancar baru yang lebih kuat disebutkan bahwa siaran 5
Januari 1934 itu dapat diterima di negeri Belanda.15
Dengan perhatian SRV kepada luasnya jangkuan siaran itu, justru
berakibat pada kurangnya tergarap wilayah terdekat di kota Solo dan sekitarnya.
Pemancar yang diarahkan untuk wilayah yang jauh berakibat wilayah terdekat
kurang terlayani dengan baik.
SRV kemudian mengadakan dua pemancar baru yang khusus ditujukan
untuk pendengar lokal Solo dan sekitarnya. Pemancar dengan golflengte
150m, ditujukan untuk melayani kota Solo dan sekitarnya yang diresmikan
1939. Sementara untuk Jawa Tengah dengan pemancar khusus dengan
kekuatan 1 KW golflengte 89m.16
Dilain pihak stasiun radio Belanda NIROM, berdiri 1934, membuat
jaringan pemancar yang bisa terhubung satu dengan yang lain yang membentuk
suatu rantai pemancar sehingga siaran dapat diterima di tempat yang jauh.17
Pada
awalnya NIROM hanya menggunakan 4 zender yaitu di Tanjung Priok, Surabaya,
Bandung dan Semarang. Lalu ditambahkan dengan menjadi 20 zender (1936) dan
akhirnya 28 zender (1939) tersebar di Nusantara dengan kekuatan 17Kw.18
Perkembangan NIROM amat pesat dan jauh lebih besar dari radio di negeri
asalnya di Eropa19
.
Cara lain untuk menjangkau wilayah siaran yang luas, yang telah
digunakan radio-radio Ketimuran pada awal perkembangan penyiaran di
Indonesia adalah melalui siaran bersama atau relay.
b. SSJ Sebagai Alternatif
1. Embrio SSJ
Di atas saya menyebutkan, SSJ adalah salah satu alternatif untuk
mengatasi kendala jarak geografis. SSJ yang dikembangkan oleh SRV dan Radio
15
Lihat SRV Gedenkboek, (1936). Saya belum menemukan data ttg daya dari kedua pemancar
tersebut. 16
Wiryawan, (2011), h.186 17
Model perluasan jangkauan siaran dengan membentuk rantai pemancar ini mirip dengan apa
yang dilakukan oleh stasiun-stasiun TV swasta “nasional” yang berpusat di Jakarta. 18
Bandingkan dengan zender SRV yang hanya 2-3 Kw. 19
Wiryawan, (2011) mengutip Lustrum Soeara NIROM, No 7, 1 April 1939.
Ketimuran lainnya pada akhirnya juga dapat menjangkau wilayah Nusantara.
Namun di sini saya hanya membahas embrio SSJ yang dilakukan dalam skala
kecil di kota Solo.
Pada awalnya, SSJ yang gunakan oleh SRV bukan untuk menjangkau
luasnya wilayah Indonesia, namun untuk menjangkau siaran di luar studio. Jarak
geografis menjadi kendala, meski jarak itu relatif dekat, kurang dari 10Km. Untuk
mengatasi jarak antara studio pusat dengan lokasi siaran, maka dibuatlah sistem
relay, dari lokasi siaran ke studio pusat.
Mungkin anda bertanya mengapa acara harus digelar di luar studio dan
apakah SRV belum punya studio? Saya ingin menjawab pertanyaan kedua lebih
dahulu: Setelah berdiri tahun 1933, SRV sudah memiliki studio sementara di
Kepatihan Mangkunegaran yang cukup luas. Tahun 1936, SRV memiliki gedung
studio baru pertama di Indonesia di Kestalan, Solo.
Untuk menjawab pertanyaan pertama, saya ingin mengajak anda untuk
menyelami peristiwa pada zaman itu dimana antusiasme masyarakat begitu tinggi
merespon hadirnya teknologi baru bernama radio. Mungkin suasananya seperti
hebohnya anak muda zaman sekarang dalam merespon maraknya media sosial
melalui jaringan internet.
Antusiasme yang tinggi untuk ikut berpartisipasi dalam siaran radio
ditanggapi dengan pintu terbuka oleh SRV. Masyarakat diperbolehkan bersiaran
di studio SRV.20
Salah satu warga yang ikut bersiaran adalah Gesang, yang kelak
sukses jadi penyanyi keroncong.
Namun tidak semua acara dapat digelar di studio yaitu pagelaran kesenian
Jawa dari para raja/ bangsawan pucuk pimpinan di kota Solo, acara siaran
langsung Sholat Jumat di Masjid Agung dan berbagai kegiatan etnis Tionghoa di
gedung Chuan Min Kung Hui, Solo.
20
Keterbukaan kepada partisipasi publik tidak hanya terjadi di SRV, tetapi juga di Radio
Ketimuran lainnya. Menarik untuk disimak bahwa salah satu prinsip dalam broadcasting law
dewasa ini adalah perlunya aturan akses publlik kepada media. Lihat Broadcasting Pluralism and
Media Diversity, Training Manual for African Regulators, Artikle19, London
(http://www.article19.0rg) dan Sajo, Andra and Monroe Price, Rights of Acces to the Media,
Kluwer Law International, London, Boston, The Hague, 1996.
Mengapa acara dari raja atau bangsawaan tinggi tidak bisa dilakukan di
studio? Karena acara itu adalah “hadiah” dari Raja Keraton Kasunanan Surakarta
Hadiningrat Susuhunan Pakubuwono X; Adipati Mangkunegaran Mangkunegoro
VII; Patih Kasunaan Surakarta Joyonegoro, Patih Mangkunegaran Sarwoko
Mangunkusumo, Pangeran Kusumoyudo (putra PBX), Pangeran Prabuwinoto
(adik PB X) dsb.
Para raja dan patih tersebut masing-masing memiliki perangkat instrumen
gamelan sendiri, masing-masing memiliki kelompok penabuh atau nayaga sendiri,
masing-masing juga memiliki istana mereka sendiri. Sebagai contoh: Susuhunan
Pakubuwono X memiliki perangkat gamelan bernama, “Kyai Sekati dan Nyai
Sekati”, memiliki penabuh gamelan sendiri, dan berada di istananya sendiri yaitu
Keraton Kasunanan. Begitu pula Mangkunegoro VII memiliki gamelan “Kyai
Kanyut Mesem”, memiliki penabuh gamelan sendiri dan memiliki istana sendiri.
Patih Kasunanan, Patih Mangkunegaran, para pangeran juga memiliki alat,
kelompok kesenian, dan istana sendiri meski dengan skala yang lebih kecil.
Jika mereka siaran sepekan sekali dan harus pergi ke studio, misalnya,
tentu sangat merepotkan, harus membawa perangkat gamelan dan krunya setiap
pekan ke studio SRV. Bagaimana jika para penabuh gamelan itu yang datang ke
studio SRV? Bukankah di studio ada perangkat gamelan?
Untuk menjawab hal ini, saya ingin mengajak anda kembali masuk
menyelami konteks sosial budaya pada masa itu, dimana raja, keraton dan isinya
termasuk instrumen gamelannya dianggap sakral oleh rakyat banyak. Mengenai
hakikat keraton dan hubungaanya dengan rakyat banyak peneliti membahasnya
antara lain dalam Mark R Woodward (1999) dan Soedarisman Poerwokoesoemo
(1985). Woodward menggambarkan bahwa keraton adalah tempat yang suci
dimana raja adalah pusatnya sebagaimana orang Islam menggambarkan Ka’bah
dan kota Mekah. Keraton adalah pusat keberkahan dan kesuciaan, dan raja adalah
perwujudan dari nilai-nilai keillahian.21
21
Woodward, Mark R, 1999, Islam Jawa, Kesalehan Normatif vs Kebatinan, LkiS, Yogyakarta, h.
293.
Oleh karena itu mendengarkan suara dari bunyi gamelan keraton baik
Kasunanan maupun Mangkunegaran adalah sesuatu yang istimewa, karena bunyi
dari gamelan keraton yang dianggap sakral. Sehingga menggunakan perangkat
sendiri dan kelompok penabuh sendiri di istana sendiri akan lebih memuaskan
kedua belah pihak baik sang pemberi “hadiah” acara yaitu raja dan sang penerima
hadiah yaitu pendengar radio, rakyat banyak. Keduanya merasa sangat puas jika
gamelan dan penabuhnya adalah dari kerajaan langsung. Bagi Mangkunegoro VII,
misalnya, mendengarkan gending “Kyai Kanyut Mesem” adalah sensasi
tersendiri, hal itu juga dirasakan masyarakat luas yang kini bisa mendengarkan
melalui radio di rumah.
Hubungan antara raja, rakyat dan keraton adalah “Tritunggal”. Raja adalah
untuk rakyat dan rakyat untuk raja. Karena keduanya adalah komponen kerajaan/
keraton. Rakyat dan raja saling membutuhkan.22
Saya teringat pendapat Jennifer Lindsay (1997) yang mengatakan bahwa
adanya teknologi radio yang mampu membawa kesenian istana kepada
masyarakat umum, identik dengan proses “demokratisasi” kesenian.
"...Mangkunegara's broadcasts of his palace musicians, for example, brought
"palace art" to any listeners with access to a receiver, at a time where other
princely houses— particularly in Yogyakarta—were also "democratizing" their
arts by making them available outside the palace,” kata Lindsay.23
Oleh karena itu jalan terbaik bagi pelaksanaan siaran itu adalah siaran live
dari lokasi istana-istana raja itu dengan cara relay. Tapi bagaimana cara
melakukan siaran relay itu?
Cara kerja siaran relay itu cukup sederhana yaitu24
bunyi gamelan dari
keraton Kasunanan atau pura Mangkunegaran ditangkap oleh mikrofon kemudian
22
Lihat Poerwokoesomo, Soedarisman, 1985, Kasultanan Yogyakarta, Suatu Tinjauan Kontrak
Politik (1877-1940), Gadjah Mada University Press, Yogyakaarta, h. 13 23
Lindsay, 1997, h.5 hanya menyebut nama Mangkunegoro VII dan Kesultanan Yogyakarta, tidak
menyebut Pakubuwono X. Dalam bidang penyiaran nama Mangkunegoro VII memang paling
dikenal. 24
Uraian pemancar mini dan cara bekerjanya adalah hasil wawancara dengan Stanley Harris
Novianto, anggota Organisasi Radio Amatir Indonesia (ORARI) YD2GBH, ahli pemancar radio
kuno gelombang pendek (shortwave), di Solo 1 Februari 2014. Novianto saat ini masih aktif
bersiaran dengan menggunakan radio gelombang pendek (shortwave- SW). Bukti siaranya sampai
masuk ke dalam “pemancar kecil” yang berisi satu osilator, buffer dan satu atau
dua driver. Pemancar kecil ini kemudian mengirim ke studio SRV melalui
gelombang frekuensi radio. Dari Studio SRV kemudian disiarakan ke udara bebas
(free to air), dengan menggunakan “Pemancar Besar”.
Kekuatan “pemancar kecil” dalam studio mini itu bisa menjangkau sekitar
15 atau 25 kilometer. Jangkauan ini lebih dari cukup untuk bisa diterima oleh
pesawat penerima (receiver) di studio pusat SRV di Kepatihan atau di Kestalan25
.
“Pemancar kecil” yang portabel ini ukuranya sebesar map kertas dan tebalnya satu
jengkal.
“Pemancar Kecil” ini serupa dengan pemacar yang sering digunakan
kalangan militer yang biasanya dibawa di atas punggung seperti membawa tas
ransel. Bobot “Pemancar Kecil” ini relatif ringan dan mudah dibawa kemana-
mana.26
Dengan demikian ada semacam “studio mini” di masing-masing lokasi
siaran langsung. Pembuatan “studio mini” ini juga relatif sederhana, hanya
membutuhkan power listrik, dan microfon.
Gambar 1.
Foto kiri: Contoh “Pemancar Kecil” (perhatikan ukuran lebar depan < ukuran obeng) yang
digunakan SRV untuk mengirim siaran dari “studio mini” ke “studio pusat SRV”. “Pemancar
Kecil” dalam foto ini hanya contoh, bukan peninggalan SRV. (Foto: Itong Widjanto). Foto
kanan: “Pemancar Besar” (dengan tinggi sekitar 150cm) digunakan SRV untuk siaran dari studio
pusat ke seluruh Nusantara bahkan dunia. Dua pemancar ini pernah digunakan RRI dalam Perang
di berbabagi belahan dunia dibuktikan dengan pengiriman QSL Card, sebuah kartu konfirmasi
penerimaan frekuensi dengan standar internasional. 25
Jarak antara keraton Kasunanan dengan studio pusat SRV sekitar 3-4km 26
Wawancara dengan Stanley Harris Novianto.
Kemerdekaan yang disebut “Radio Kambing”, 1948. Pemancar ini adalah peninggalan SRV. Foto
diambil di Gedung Monumen Pers Nasional Solo. (Foto: Mariatul Ikhrom, 2006)
Kembali saya ingin mengutip kalimat Jennifer Lindsay (1997) yang
memuji Mangkunegoro VII, bahwa siaran langsung telah membuat sesuatu yang
modern akrab dengan sesuatu yang lokal dan sesuatu yang lokal menjadi akrab
dengan kemoderenan. “Live broadcasting added another dimension, thouggh at
once localizing something modern and modernizing something local.
Mangkunagara VII’s brodacast of live gamelan musik was a totally modern act”.
2. “Kiriman dari...” dan “Hadiah dari...”
Di atas saya sudah menyinggung istilah “hadiah”, karena itu saya ingin
memperkenalkan beberapa istilah yang lazim dipergunakan pada waktu itu dalam
dunia penyiaran dimana istilah ini memiliki makna tertentu yang menjadi
kebiasaan untuk menandai atau menyebut bentuk siaran suatu acara. Istilah ini
tidak resmi, namun sering digunakan misalnya, “dari plaat-plaat gramaphone”
atau “opname dari plaat” istilah ini untuk menandakan bahwa acara tersebut
bukan siaran langsung. Musik yang diputar dari piringan hitam. Namun hal ini
tidak berarti bahwa jika tidak ada keterangan itu berarti merupakan siaran
langsung, sebab sebagian besar siaran di studio tidak diberi penjelasan. Sebagian
besar siaran yang bukan langsung tidak diberi keterangan apapun. Sekali lagi
istilah yang dipergunakan hanya kebiasaan bukan terminologi baku.
Sedangkan siaran langsung yang dilakukan di studio oleh kelompok musik
dari luar SRV biasanya diberi sebutan “sokongan”, atau “kiriman dari...” atau
“hadiah dari. .” Kata “sokongan” --jika tidak ada keterangan lain-- maka
menunjukan tiga makna. Pertama siaran itu dilakukan secara live. Kedua, yang
bersiaran adalah kelompok musik di luar SRV. Ketiga, kelompok musik itu adalah
dari kalangan rakyat biasa bukan dari raja atau bangsawan atas.
Bila kelompok yang bersiaran dari raja atau bangsawan tinggi akan
disebuat sebagai “hadiah”. Misalnya saja, pada tanggal 1 Februari 1934, SRV
kedatangan grup keroncong yang amat terkenal waktu itu bernama “Montecarlo”.
SRV menyebut acara itu sebagai “sokongan” dari Montecarlo.27
Tiga minggu
kemudian tepatnya 21 Februari 1934, sebuah orkes keroncong bernama “Blindent
Orkest” tiba di studio SRV untuk melangsungkan siaran, waktu itu masih di
studio sementara Kepatihan Mangkunegaran. Acara itu disebut “hadiah”, karena
orkest ini milik Sunan Pakubuwono X.28
Dengan demikian bila sebuah acara terdapat kata-kata “hadiah dari” maka
hal ini menunjukkan bersifat langsung dan dari raja/bangsawan tinggi. Jika
sebelum kata kata “hadiah dari” terdapat kata “dari” maka itu menunjukan lokasi
acara di luar studio. Misalnya, “Klenengan ‘dari’ Pura Mangkunegaran ‘hadiah
dari’ KGPAA Mangkunagoro VII”.
Pada tahun 1934, SRV melakukan sejumlah siaran langsung yang digelar
di luar studio SRV tapi masih di kota Solo. Acara itu disiarkan melalui “Pemancar
Kecil” yang diarahkan ke studio SRV. Dari studio SRV, dengan “Pemancar
Besar”, acara tadi disiarkan secara langsung ke udara. Acara tersebut antara lain
adalah Klenengan Wayang Kulit Purwo dari Prangwedanan, Mangkunegaran (28
Feebruari 1934), “hadiah” Mangkunegoro VII; Klenengan Bedayan dan Srimpen,
dari Keraton Kasunana Surakarta, “hadiah” dari Sunan Pakubuwono X;
Klenengan Gamelan Kyai Sekati dan Nyai Sekati, dari Masjid Agung Surakarta,
18 Juni 1934 dan Pidato Pakubuwono X dalam rangka Maulud Nabi Muhammad,
1934 dari Keraton Kasunanan Surakarta. Acara yang digelar tahun 1934 tersebut
lebih banyak bersifat insidental sebagai partisipasi SRV untuk perayaan Sekatan
atau Maulud Nabi Muhammad.29
Dengan berhasilnya siaran relay tahun 1934, SRV kemudian meneruskan
acara relay siaran langsung hingga tahun 1940-an. Selanjutnya acara dari Keraton
Kasunanan dan Mangkunegaran diatur dengan pola acara mingguan sebagai
berikut (lihat Tabel-1).
27
Ada yang menyebut Gesang adalah anggota Orkest Keroncong Montecarlo. 28
Acara Orkest Keroncong yang merupakan “hadiah” dari Pakubuwono X dilakukan di studio
SRV tidak di keraton karena instrumen musik lebih ringan mudah dibawah, juga karena instrumen
musik tidak dianggap sakral sehingga tidak harus dibunyikan dari keraton. 29
Pada saat itu stasiun radio SRI milik Keraton Kasunanan belum mengudara. SRI berdiri Oktober
1934.
Melihat jadwal pola siaran mingguan sebagaimana tertera dalam Tabel-1
yang diawali dengan siaran Sekaten tahun 1934 maka izinkanlah saya berpendapat
bahwa hal itu merupakan embrio dari model kerjasama siaran antar stasiun
radio/televisi yang kini dikenal dengan istilah Siaran Stasiun Jaringan (SSJ) di
Indonesia. Bila Tabel-1 saya buat bentuk atau model SSJ maka akan seperti dalam
Diagram-2, di atas.
Tabel-130
Jadwal Acara Relay SRV (Mingguan) Hari Jam Acara
Senen 10,00-17,30 Klenengan dari Kraton Soerakarta, hadiah dari Sri Padoeka
J.m.m lagi Bidjaksana Z.V.H Kandjeng Soesohoenan X di
Soerakarta
Selasa 9,00-12,00 Peladjaran wireng dari Poero M.N. hadiah dari Sri Padoeka
J.m.m Z.H.K.G.P.A.A Mangkoenagoro VII
Rebo 20,00-24,00 Klenengan dari Poero M.N. hadiah dari Sri Padoeka J.m.m.
Z.H.K.G.P.A.A Mangkoenagoro VII
Kemis 21.00-02.00 Samboengan dengan Societeit Chuan Min Kung Hui
Djoemahat 12,00-13,15 Disamboeng dengan S.R.I. 86 meter, ke Masdjid Besar
Soerakarta/ Disamboeng dengan Masdjid Besar Soerakarta
(Relay S.R.I.).
Saptoe 10,00-17,30 Klenengan dari Kraton Soerakarta, hadiah dari Sri Padoeka
J.m.m lagi Bidjaksana Z.V.H Kandjeng Soesohoenan X di
Soerakarta
Saptoe 21,00-24 Klenengan dari ...
Minggoe 20,00-2400 Klenengan dari astana Kepatihan Kasunanan Soerakarta hadiah
dari Padoeka KPAA Djojonagoro (dua minggu sekali).
Catatan: 1). Setiap hari Sabtu malam (21.00-24.00) adalah acara klenengan dari pendopo para
bangsawan secara bergilir lain misalnya Putera Pakubuwono X, Pangeran Kusumojudo; adik
Pakubuwono X, Pangeran Purbuwinoto dsb. 2) Siaran Sholat Jumat dilakukan dua kali seminggu.
3) Siaran dari gedung Chuan Min Kung Hui ada dalam jadwal Oktober 1938 dan berakhir
1940.3) Cara menulis dan cara mengeja istilah dalam tabel ini sama dengan aslinya, tidak saya
ubah.
====
3. Kerja sama SSJ SRV-SRI
Dalam Tabel-1 pada hari Jumat (Djoemahat) terdapat acara relay sholat
Jumat di masjid Agung. SRV menggandeng SRI untuk mengadakan kerjasama
30
Jadwal acara tersebut diatas adalah acara tetap yang dilakukan oleh SRV hingga tahun 1942,
atau sampai ditutupnya SRV oleh tentara Jepang. Acara ini pernah berhenti mulai Senen tanggal
24 Oktober 1938. Keempat acara itu kembali mengudara lagi. Acara “hadiah dari..Mangkunegoro
VII” kembali mengudara yaitu ”Pelajaran Wireng” hadir Selasa pagi 15 November 1938, dan
“Klenengan” Rebo, 16 November 1938. Sedangkan acara “hadiah dari ..Pakubuwono X” muncul
kembali mulai Sabtu 3 Desember 1938. Acara ini terus berlangsung sampai mangkatnya
Pakubuwono X tahun 1939. Acara klenengan masih terus dilanjutkan oleh penggantinya yaitu
Pakubuwono XI, namun hanya setiap hari Senin. Data yang kami gunakan adalah Pewarta SRV,
1937, 1938. 1939, 1940, 1942.
siaran langsung Sholat Jumat dari Masjid Agung Surakarta, pukul 12.00-12.30,
dimana SRV merelay dari SRI, bukan merelay langsung dari masjid Agung.
SRI menyebut nama siaranya dengan istilah “Samboengan dengan
Mesdjid Besar” sementara SRV menyebut “Disamboeng dengan S.R.I. 86 meter,
ke Masdjid Besar Soerakarta” atau “Disamboeng dengan Masdjid Besar
Soerakarta (Relay S.R.I.)”. Pada intinya hal itu menunjukkan bahwa yang
melakukan siaran langsung dari Masjid Agung adalah SRI, bukan SRV.
Sementara SRV merelay dari SRI, rata-rata dua minggu sekali.
4. Gedung Tionghoa
Dari Tabel-1 juga terdapat mata acara yang menyebutkan “Samboengan
dengan Societeit Chuan Min Kung Hui.” Namun saya belum mendapatkan data
rinci acara apa yang dilakukan dalam gedung tersebut. Beberapa acara justru
berisi wayang orang. Juga tidak dijelaskan apakah wayang tersebut adalah
Wayang Potehi (wayang Cina) atau wayang Jawa. Etnis Tionghoa memiliki peran
penting dalam berdirinya SRV dimana 3 dari 9 pengurus SRV pertama adalah
Tionghoa mereka adalah Lim Tik Liang, Tjan Ing Tjwan, dan Tjong Joe Hok.
c. Makna Sosial-Budaya dan Politik dalam Siaran Relay SRV
1. Rasionalisasi Budaya Waktu
Saya mengajak pembaca melihat kembali Tabel-1 dimana terlihat
Pakubuwono X dan Mangkunegoro VII menggelar acara siaran radio di SRV
dengan cara relay secara teratur. “Hadiah dari” Pakubuwono X disiarkan Senin
pagi dan Sabtu pagi. “Hadiah dari” Mangkunegoro VII disiarkan Selasa pagi dan
Rabu malam. Jadwal ini dilakukan secara konsisten dalam jangka waktu lama,
bertahun-tahun.
Jadwal ini menggunakan perhitungan tahun Masehi bukan tahun Jawa,
meskipun menggunakan kalender tujuh hari yang dipadukan dengan kalender lima
hari pasaran . Sehingga jadwal hari berbunyi misalnya Senin Pon, Selasa Wage,
Rabu Kliwon dst. Masyarakat Jawa memiliki kalender sendiri sejak zaman Sultan
Agung 1633 yang menggabungkan kalender Hijriah (Islam) daan tahun Syaka
(Hindu).31
Dalam tradisi masyarakat Jawa untuk melakukan banyak kegiatan harus
selalu memperhatikan waktu. Orang Jawa yang akan pindah rumah, menikah atau
bahkan akan bepergian jauh harus memperhatikan pasaran, tidak boleh
sembarangan waktu. Bagi masyarakat Jawa, waktu memiliki makna sakral.
Susuhunan Pakubuwono V (1820-1823) dalam karya agungnya Serat Centini
banyak mengajarkan tentang waktu yang disebut sebagai Ilmu Petung, Ngelmu
Pawukon, atau Ngelmu Pananggalan.32
Bagi kalangan bangsawan apalagi raja sangat lazim mengadakan upacara
peringatan kelahiran berdasarkan hari laahir, weton atau wiyosan, yang jatuh 35
hari sekali. Raja juga biasanya menggelar peringatan naik tahta dengan upacara
tingalan jumenengan, setahun sekali. Keduanya berdasarkan kalender Jawa.
(Hadisiswoyo, 2009).
Dalam jadwal siaran relay SRV seperti terlihat pada Tabel-1, kepercayaan
akan waktu penanggalan Jawa itu tidak tampak. Kedua raja di Surakarta dalam
siaran radio, khususnya dalam acara siaran relay menanggalkan tradisi
perhitungan waktu Jawa. Kedua penguasa kerajaan di Solo dalam hal jadwal
siaran bersikap rasional. Pakubuwono X dan Mangkunegoro VII menyajikan
kesenian untuk siaran radio berdasarkan jadwal waktu yang berbeda dengan
penafsiran Jawa dalam melihat waktu. Kedua raja dari dinasti Mataram itu
mengikuti paradigma sebuah budaya modern yang bernama radio.
Dalam komunikasi antar budaya biasanya akan muncul dua kendala, yaitu
etnosentrisme dan sterotyping (Tubb-Moss, 1999). Etnosentrisme adalah
anggapan bahwa budaya yang kita miliki adalah yang terbaik, budaya lain tidak
memiliki standar sebaik budaya kita. Kita sering mengukur baik dan buruk dengan
31 Moedjanto, 1987, Konsep Kekuasaan Jawa, Penerapannya oleh Raja-raja Mataram,
Kanisius,Ykt,h 168 32
Pukubuwono V, (2015) , Serat Centini, Kisah Pelarian Putra-Putri Sunan Giri Menjelajah
Nusa Jawa, dituturkan ulang oleh Agus Wahyudi, Cakrawala, Yogyakarta, 2015. Lihat pula Teguh
Santoso, “Konsep Waktu Masyarakat Kejawen: Kajian Linguistik Antropologi”, Universitas
Padjajaaran, (http://www.simpopdf.com).
dasar nilai budaya kita sendiri, tidak dengan budaya orang yang bersangkutan.
Sementara sterotyping adalah cara pandang yang mengeneralisasi budaya asing
atau budaya di luar budaya kita. Misalnya orang Cina dianggap suka main judi,
orang Arab pelit, orang Barat suka mabuk dsb.
Dalam kasus penggunaan kalender Masehi untuk menyusun jadwal siaran
radio, saya tidak melihat adanya gejala etnosentrisme dan sterotyping yang
menghinggapi SRV, maupun elemen yang terlibat dalam siaran SRV termasuk
Pakubuwono X dan Mangkunegoro VII.
Deddy Mulyana (2002) dengan mengutip Edward T. Hall mengatakan
bahwa konsep waktu dibagi menjadi dua: Monokronik dan Polikronik. Konsep
waktu Monokronik menilai bahwa waktu adalah sesuatu yang sangat berharga
sehingga harus diperlakukan secara ketat dan tepat. Para pengangut konsep ini
sangat disiplin dalam soal waktu misalnya selalu tepat waktu jika melakukan
sesuatu. Sementara penganut waktu Polikronik menilai bahwa menikmati waktu
adalah lebih penting dari waktu itu sendiri, sehingga ketepatan waktu tidak lebih
penting dari pada kegiatan mengisi waktu.
Bangsa-bangsa Timur termasuk Jawa cenderung menganut konsep waktu
Polikronik, sementara orang Barat cenderung menganut Monokronik. Namun
dalam kasus penggunaan jadwal relay siaran SRV, sebagaimana tertera dalam
Tabel-1 dua raja di Solo tidak menggunakan konsep Polikronik, melainkan
Monokronik. Mereka justru konsisten menggunakan jadwal siaran itu.
Jika saya boleh menilai fenomena di atas, jadwal siaran dalam sistem relay di
SRV sebagai proses “rasionalisasi” yang dipelopori oleh Pakubuwono X dan
Mangkunegoro VII. Keduanya bertindak secara rasional dalam siaran radio
Ketimuran dengan teknologi dan model siaran yang sekarang kita kenal sebagai
Sistem Stasiun Jaringan (SSJ).
Ada semacam “revolusi mental” yang dilakukan oleh dua kerajaan di Solo
dalam melihat konsep waktu. Kedua raja dan kerajaan di sini tidak terdapat tanda-
tanda etnosentrisme dan sterotyping. Selain itu para raja dalam melakukan siaran
“ritual modern” yaitu siaran relay di SRV juga telah mengubah pola pikir tentang
waktu dari Polikronik menjadi Monokronik.
2. Hubungan SRV-SRI
Dalam hal siaran relay sholat Jumat, mungkin anda bertanya: mengapa
SRV harus merelay sholat Jumat ke SRI? Mengapa SRV tidak langsung
melakukan siaran dari Masjid Agung? bukankah SRV punya alat yang canggih
berupa “Pemancar Kecil”?.
Masalah ini tentu bukan masalah teknis penyiaran belaka namun sudah
menyangkut etika politik dan etika beragama antara Mangkunegaran dan
Kasunanan. Hal ini menunjukkan kematangan kedua belah pihak dalam menjaga
hubungan kedua kerajaan itu dan menjaga warganya. Tidak patut kiranya di satu
wilayah ada dua siaraan sholat Jumat secara bersamaan.33
Mengapa SRV tidak merelay dari masjid Mangkunegaran? Sekali lagi ini
bukan masalah teknis penyiaran ini adalah etika politik dan etika beragama.
Masjid Agung dan SRI adalah bagian dari Keraton Kasunanan sebagai sebuah
kerajaan yang memiliki kedudukan lebih tinggi dari pada Mangkunegaran selaku
pemilik SRV.
SRV dan Mangkunegaran bisa menempatkan diri untuk tidak melakukan
sesuatu yang bisa menyinggung tradisi dan martabat dari Kasunanan Surakarta,
dalam soal relay siaran Sholat Jumat. Sebaliknya Kasunanan juga menghormati
dan mendukung keberadaan SRV dengan menyumbangkan acara klenengan
seminggu dua kali selama bertahun tahun. Dalam konsep kekuasaan Jawa, raja
adalah penguasa tunggal, ia harus berwibawa. Raja harus memiliki sifat agung
binatara, agung tak tertandingi. Munculnya dinasti Mangkunegaran secara
struktural sebenarnya telah menggerus prinsip kekuasaan raja bagi Pakubuwono.
Kehadiran SRV tidak memperkeruh suasana itu.
33
Dalam konteks ini, SRV dan SRI bisa terhindar dari persaingan yang tidak produktif dalam soal
siaran agama. Sekadar pembanding, pada awal perkembangan radio di Amerika Serikat dijumpai
adanya persaingan yang amat keras antara stasiun radio yang tumbuh pada tahun 1920-an. Begitu
kerasnya persaingan itu sehingga siaran kebaktian dari satu gereja bisa disiarkan secara langsung
oleh beberapa stasiun radio. Beberapa stasiun radio menyiarkan acara yang sama dan pada saat
yang sama itu saling memperkuat power sehingga dijuliki tower of bable . Lihat Hari Wiryawan
(2007), Dasar-dasar Hukum Media, yang mengutip Michael W Gamble & Terry Kwal Gamble,
Introducing Mass Communication (second edition) , McGraw Hill Publishing Company , New
York, 1989.
Dennis McQuail (1987) mengatakan bahwa terdapat banyak hubungan
informal antara media dan masyarakat yang berlangsung secara dua arah dan
diwarnai oleh hubungan timbal balik. Dalam hal ini banyak hal bisa terjadi,
misalnya upaya untuk mempengaruhi media, namun sebaliknya media juga
melihat peluang untuk memperoleh akses kepada sumber informasi.
Dalam kasus ini, bisa dilihat lemahnya “independensi SRV” yang berada
dalam pengaruh kekuasaan baik Mangkunegoro VII maupun Pakubuwono X.
Namun menurut McQuail, sebuah hubungan timbal balik antara media dan
masyarakat hasilnya pasti akan menempatkan media diposisi yang lebih dekat
dengan institusi sumber dan pusat kekuasaan dalam masyarakaat daripada dengan
khalayak.34
c. SRV dan Politik di Kota Solo
Dalam Tabel-1 dan Diagram-2 tampak bahwa terdapat sejumlah kalangan
yang melakukan siaran relay, yaitu kesenian budaya (Jawa), Siaran sholat Jumat
dari masjid Agung (Islam), dan siaran dari gedung Tionghoa (Cina).
Untuk memotret situasi politik di kota Surakarta menjelang Perang Dunia
II saya mengambil pendapat George D Larson (1990) yang antara lain
menggambarkan peran Pakubuwono X dan Mangkunegoro VII lengkap dengan
perseteruan, persaingan dan perang dingin diantara dua raja tersebut. Keduanya
berkuasa pada masa yang genting yaitu berkembang Sarekat Islam (SI) dan
gerakan komunis. Sementara artikel pendek Soejatno (1974) menguraikan tentang
fragmentasi masyarakat Jawa pada saat itu yang terdiri dari kaum santri, abangan
dan priyayi.
Kaum santri di Solo banyak yang bergabung dalam gerakan SI. Banyak
yang menyebut bahwa munculnya SI karena adanya persaingan dengan Cina dan
Pribumi dalam perdagangaan batik di Kota Solo. Pada awal Februari 1912, terjadi
berontakan Cina melawan Belanda di Batavia dan Surabaya. Kerusuhan itu juga
merembet ke Solo. Namun anehnya kerusuhan Cina di Solo berubah jadi
34
McQuail (1987), Mass Communication Theory, second Edition, Teori Komunikasi Massa, Suatu
Pengantar, edisi kedua, Penerbit Erlangga, Jakarta 1996, h. 55.
kerusuhan rasial antara Cina dan Pribumi yang dimotori oleh pendukung Ketua SI
Haji Samanhudi. Pramoedya Ananta Toer (Pram) (1985) mempunyai penilaian
lain soal ini. Menurut Pram, dari surat-surat rahasia pejabat Belanda terdapat
skenario besar untuk memutar balikan gerakan SI di Solo yang semula adalah
gerakan emansipasi menunutut keadilan ekonomi terhadap Belanda yang digagas
oleh Tirto Adhi Suryo dibelokkan menjadi gerakan anti Cina. Sementara
pemberontakan Cina melawan Belanda dibelokaan menjadi melawan Pribumi.35
Bila di kancah politik terdapat perseteruan yang digambarkan oleh para
penulis sebagai sesuatu yang menakutkan diantara elemen masyarakat di kota
Solo, namun dalam siaran radio di SRV pada pola siaran Mingguan sebagaimana
terdapat dalam Tabel-1 dan Diagram-2, tidak tampak persaingan apalagi
perseteruan antara Pakubuwono X dengan Mangunegoro VII. Tidak ada konflik
antara santri, abangan dan priyayi, antara Tionghoa dan Pribumi. Dalam jadwal
siaran yang kelak nantinya menjadi embrio sistem SSJ yang terlihat adalah
harmonisasi antara dua raja Pakubuwono X dan Mangkunegoro VII. Keduanyaa
menggelar siaran klenengan secara bergiliran setiap pekan, ya setiap pekan dalam
waktu yang cukup lama lebih dari lima tahun. Jika siaran langsung Sekaten
sebagai awalnya, 1934 hingga mangkatnya Pakubuwono X 1939, maka siaran itu
berlangsung sekitar lima tahun.
Siaran langsung dari Masjid Agung pada perayaan Sekaten Juni 1934 juga
terus berlangsung dengan bentuk baru siaran langsung sholat Jumat, hingga SRV
dibredel tahun 1942. Kaum abangan dan priyayi tidak ada yang memprotes siaran
langsung sholat Jumat. Kalangan santri juga tidak pernah mempermasalahkan
banyaknya siaran kesenian Jawa yang biasanya digemari kalangan abangan dan
priyayi.
Siaran dari gedung milik kaum Tionghoa juga tetap bisa berlangsung tanpa
ada keberatan dari kaum Pribumi. Bahkan adanya tiga orang pengurus SRV dari
kalangan Tionghoa, juga bukan masalah pada saat itu. Siaran relay SRV
35
Mengenai situasi politik di Solo, sebelum dan sesudah Perang Dunia II, lihat antaraa lain
Larson, Goerge (1990); Soejatno (1974). Mengenai hubungan SI dan Tionghoa lihat Toer,
Pramoedya Ananta (1985).
mengisaratkan bahwa seluruh komponen masyarakat bisa melakukan kerjasama
dalam payung siaran radio SRV.
Diversity of ownership -- SRV dan SRI -- and diversity of content --siaran
kebudayaan (Jawa), agama (Islam) dan etnis (Cina)-- adalah sesuatu yang nyata
dalam dunia penyiaran di Indonesia bukan angan-angan. Sayangnya itu semua
telah berlalu di masa lalu.
Penutup
Sistem Stasiun Jaringan (SSJ) adalah salah satu model teknik penyiaran
yang bisa digunakan untuk sebuah negara seperti Indonesia yang memiliki
wilayah yang luas dan keragaman sosial budaya yang tinggi. Undang-undang No
32 tahun 2002 telah mengamanatkan perlunya penerapan SSJ, sebuah model yang
ternyata juga telah dipraktikan oleh bangsa Indonesia dalam skala yang lebih kecil
di Kota Solo.
Penyiaran di tanah air saat ini telah menjelma menjadi sebuah perlumbaan
konglomerasi dengan ciri adu kekuatan berdasarkan kekuatan modal yang masif.
Penolakan atas gagasan SSJ pada dasarnya merupakan sikap yang ahistoris atas
penyiaran di tanah air.
Daftar Pustaka
Anshoriy CH, HM Nasruddin, (2008), Neo Patriotisme, Etika Kekuasaan dalam
Kebudayaan Jawa, Ykt: LKIS.
Damami, Muhammad, (2002), Makna Agama dalam Masyarakat Jawa,
Yogyakarta: LESFI.
Gamble, Michael W & Terry Kwal Gamble, (1989), Introducing Mass
Communication (second edition). New York: McGraw Hill Publishing
Company.
Hadisiswaya, AM, (2009), Keraton Undercover, Yogyakarta: Pinus Book
Publisher.
Judhariksawan, (2010), Hukum Penyiaran, Jakarta: Rajawali Pers.
Larson, George D, (1996), Masa Menjelang Revolusi Kraton dan Kehidupan
Politik di Surakarta 1912-1942.
Lindsay, Jennifer, (1997), Making Wave; Private Radio and Local Identities in
Indonesia, Cornell University: Southeast Asia Program Publication.
Mardiana, Lisa, (2010), Implementasi Kebijakan Sistem Stasiun Jaringan dalam
Industri Penyiaran Televisi di Kota Semarang. Semarang: Program
Magister Ilmu Komunikasi, Pasca Sarjana Undip.
Mulyana, Deddy, (2002) Ilmu Komunikasi, Suatu Pengantar, PT Remaja
Rosdakarya, Bandung.
Moedjanto, (1987), Konsep Kekuasaan Jawa. Yogyakarta: Kanisius.
Nasihin, (2012), Sarekat Islam Mencari Ideologi 1924-1945. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Rianto, Puji dkk, (2012), Dominasi TV Swasta (Nasional) Tergerusnya
Keberagaman Isi dan Kepemilikan. Jakarta: Promedia-Tifa.
Sajo, Andra and Monroe Price, (1996), Rights of Acces to the Media, Kluwer Law
International, London, Boston, The Hague.
Santoso, Teguh, “Konsep Waktu Masyarakat Jawa (Kejawen)”,
(www.academia.edu)
Soejatno, (1974), “Revolution and Social Tensions in Surakarta 1945-1950”.
Translated by Benedict Anderson, Jurnal Indonesia No 17, 1974, Cornel
University.
Toer, Pramoedya Ananta, (1985), Sang Pemula, Hasta Mitra, Jakarta.
Tubbs, Steward- Sylvia Moss, (1996), Human Communication Konteks-Konteks
Komunikasi, Buku Kedua, Remaja Rosdakarya dan McGraw-Hill,
Bandung-Singapore.
Wasino, (2014), Modernisasi di Jantung Budaya Jawa Mangkunegaran 1896-
1944, Jakarta: Kompas.
Wiryawan, Hari, (2006). “Sistem Jaringan Penyiaran Publik”, Makalah Seminar
ttg“Perlunya Kemitraan Antar Radio Siaran Publik Menuju Optimalisasi
Pelayanan Siaran Seni Budaya”, Surakarta, 26 April 2006.
_______________. (2006), “Memperingati 61 Tahun RRI: Mangkunagoro VII,
Bapak Penyiaran Nasional RI”, Harian Solopos, Selasa Pahing, 12
September 2006.
_______________. (2007), Dasar-dasar Hukum Media, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
_______________. (2009), Sejarah Penyiaran Indonesia 1933-194, Semarang:
KPID.
_______________. (2010), “Perlawanan Budaya: Kisah Solosche Radio
Vereeniging (SRV) Merintis Penyiaran di
Indonesia”, Dialog Publik pada Deklarasi Nasional Hari Penyiaran di
Solo, 31 Maret-1 April 2010.
_______________. (2011), Mangkunegoro VII & Awal Penyiaran Indonesia,
Solo: Lembaga Pers dan Penyiaran Surakarta (LPPS).
Woodward, Mark R, (1999), Islam Jawa, Yogyakarta: LKIS.
______________, SRV Gedenkboek, (1936), Koleksi Perpustakaan
Mangkunegaran, Rekso Pustoko, Surakarta.
______________, Sejarah Radio di Indonesia, (1953), Kementrian Penerangan:
Djawatan Radio Republik Indonesia.
______________, Broadcasting Pluralism and Media Diversity, Training Manual
for African Regulators, Artikle19, London (http://www.article19.0rg)
Pewarta SRV (Kumpulan buletin 1937, tidak lengkap)
Pewarta SRV (Kumpulan buletin 1938, lengkap).
Pewarta SRV (Kumpulan buletin 1939, tidak lengkap)
Pewarta SRV (Kumpulan buletin 1940- tidak lengkap)
Pewarta SRV (Kumpulan buletin 1942, lengkap)
Berita SRI (edisi April 1939, Juni 1939, Agustus 1940, September 1940, October
1940).
Undang-undang No 32 tahun 2002 tentang Penyiaran.
Peraturan Pemerintah No 50 tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran
Lembaga Penyiaran Swasta .
Peraturan Menteri No 43/PER/M.KOMINFO/10/2009 tentang Penyelenggaraan
Penyiaran melalui Sistem Stasiun Jaringan oleh Lembaga Penyiaran Swasta
Jasa Penyiaran Televisi.
Keputusan Menteri (KM) Perhubungan No 15 tahun 2003 tentang Rencana Induk
(Master Plan) Radio Penyelenggaraan Telekomunikasi Khusus untuk
Keperluan Radio Siaran FM (Frequency Modulation).
Keputusan Menteri (KM) Perhubungan No 76 tahun 2003 tentang Rencana Induk
(Master Plan) Frekuensi Radio Penyelenggaraan Telekomunikasi Khusus
untuk Keperluan Televisi` Siaran Analog Pada Pita Ultra High Frequency
(UHF).