SETTING KOTA MAGELANG … · Merapi, Gunung Merbabu, Gunung Prahu, Gunung Telomoyo, Gunung Sindoro,...

60
55 BAB IV SETTING KOTA MAGELANG Setting Kota Magelang terhadap lingkungan alam sekitar telah mempengaruhi pembentukan fisik kota dan perkembangan kota dari waktu ke waktu. Setting tersebut memiliki karakter dengan adanya Bukit Tidar dan Perbukitan Menoreh, serta dua sungai besar yang mengalir di Barat (Sungai Progo) dan Timur (Sungai Elo). Kota Magelang yang terletak di lembah serta dikelilingi oleh gunung-gunung tersebut telah mempengaruhi masyarakat dan dijadikan sebagai semacam a set of belief untuk membentuk ruang kota. Bab keempat ini akan menjelaskan tentang setting Kota Magelang yang akan membahas (1) letak geografis Kota Magelang; (2) kondisi alam Kota Magelang dan sekitarnya pada masa lalu; (3) Bukit Tidar dalam legenda dan asal usul nama Magelang dan (4) setting Kota Magelang. 4.1. Letak Geografis Kota Magelang Kota Magelang, Jawa Tengah terletak di ketinggian kurang lebih 375 dpl yang berada di cekungan sejumlah gunung dan deretan pegunungan. Gunung Merapi, Gunung Merbabu, Gunung Prahu, Gunung Telomoyo, Gunung Sindoro, Gunung Sumbing dan Gunung Andong merupakan 7 gunung besar yang mengelilingi Kota Magelang, sementara di sebelah Selatan kota terdapat Bukit Tidar dan di sebelah Barat terdapat Pegunungan Menoreh sebagai batas pandangan. Terdapat dua sungai besar mengalir sebagai pembatas administrasi Kota Magelang, yaitu Sungai Progo dan Sungai Elo, yang pada tahun 1871 dan 1915 digambarkan sebagai pembatas Distrik Magelang oleh pemerintah kolonial Belanda (Peta Karesidenan Kedu 1871 dan Peta Kabupaten Magelang 1915). Kedua sungai tersebut membentuk kontur sebagai daerah cekungan. Masyarakat dari Kota Magelang sejauh mata memandang bisa melihat gunung-gunung yang mengelilinginya serta perbukitan Menoreh yang menghiasi pemandangan. Sementara itu pada saat melihat pada kaki-kaki gunung, terhampar luas perkebunan dan sawah-sawah sebagai hiasan pandangan.

Transcript of SETTING KOTA MAGELANG … · Merapi, Gunung Merbabu, Gunung Prahu, Gunung Telomoyo, Gunung Sindoro,...

55

BAB IV

SETTING KOTA MAGELANG

Setting Kota Magelang terhadap lingkungan alam sekitar telah

mempengaruhi pembentukan fisik kota dan perkembangan kota dari waktu ke

waktu. Setting tersebut memiliki karakter dengan adanya Bukit Tidar dan

Perbukitan Menoreh, serta dua sungai besar yang mengalir di Barat (Sungai Progo)

dan Timur (Sungai Elo). Kota Magelang yang terletak di lembah serta dikelilingi

oleh gunung-gunung tersebut telah mempengaruhi masyarakat dan dijadikan

sebagai semacam a set of belief untuk membentuk ruang kota. Bab keempat ini

akan menjelaskan tentang setting Kota Magelang yang akan membahas (1) letak

geografis Kota Magelang; (2) kondisi alam Kota Magelang dan sekitarnya pada

masa lalu; (3) Bukit Tidar dalam legenda dan asal usul nama Magelang dan (4)

setting Kota Magelang.

4.1. Letak Geografis Kota Magelang

Kota Magelang, Jawa Tengah terletak di ketinggian kurang lebih 375 dpl

yang berada di cekungan sejumlah gunung dan deretan pegunungan. Gunung

Merapi, Gunung Merbabu, Gunung Prahu, Gunung Telomoyo, Gunung Sindoro,

Gunung Sumbing dan Gunung Andong merupakan 7 gunung besar yang

mengelilingi Kota Magelang, sementara di sebelah Selatan kota terdapat Bukit

Tidar dan di sebelah Barat terdapat Pegunungan Menoreh sebagai batas

pandangan. Terdapat dua sungai besar mengalir sebagai pembatas administrasi

Kota Magelang, yaitu Sungai Progo dan Sungai Elo, yang pada tahun 1871 dan

1915 digambarkan sebagai pembatas Distrik Magelang oleh pemerintah kolonial

Belanda (Peta Karesidenan Kedu 1871 dan Peta Kabupaten Magelang 1915).

Kedua sungai tersebut membentuk kontur sebagai daerah cekungan.

Masyarakat dari Kota Magelang sejauh mata memandang bisa melihat

gunung-gunung yang mengelilinginya serta perbukitan Menoreh yang menghiasi

pemandangan. Sementara itu pada saat melihat pada kaki-kaki gunung, terhampar

luas perkebunan dan sawah-sawah sebagai hiasan pandangan.

56

Gambar 4.1. Posisi Kota Magelang dengan tujuh gunungnya

(sumber : gambar ulang dari Kaart van De residentie Kadoe 1855)

Selain keindahan yang dibentuk alam, juga bisa dilihat budaya-budaya

yang berkembang di masyarakat. Apalagi hal ini didukung keberadaan Bukit Tidar

yang dikelilingi oleh gunung dan diyakini sebagai paku Pulau Jawa. Gunung dan

kaki gunung yang mengelilingi Kota Magelang terlihat dengan jelas khususnya

yang berada di sebelah Barat dan Timur.

Lembah Magelang seperti kedung/palung

Kota Magelang

Gunung-gunung yang mengelilingi Kota Magelang

telah membentuk keyakinan, a set of belief, pada

masyarakatnya untuk mengembangkan ruang kota.

Sungai Elo

Sungai Progo

Cekungan lembah

Magelang seperti

kedung/palung

Kota Magelang Sungai Elo Sungai Progo

Bukit Tidar

Gunung Gunung

57

Sungai Elo dan Progo telah mempengaruhi karakter Kota Magelang

sebagai kota linier karena berkembang mengikuti aliran sungai Utara – Selatan

(Utami, 2001). Kedua sungai yang mengalir menjadi salah satu bagian dari alam

yang telah membentuk Kota Magelang menjadi lembah yang sangat subur. Dua

sungai yang mengalir tersebut dengan didukung sungai-sungai kecil telah

membentuk masyarakat di sekitarnya pada periode Kerajaan Mataram Kuno

sebagai petani (Schrieke, 1957), apalagi didukung dengan kesuburan tanah yang

dibentuk oleh adanya gunung yang mengelilingi dataran Kedu. Sungai selain

sebagai sumber air, dalam beberapa periode waktu dijadikan sebagai jalur

transportasi. Selain pertanian yang berkembang di sekitar sungai, bidang-bidang

yang lain juga berkembang, misalnya perekonomian seiring dengan fungsi sungai

sebagai jalur transportasi dan pusat kegiatan (Casparis, 1950). Di satu sisi sungai

yang juga sebagai pembatas administrasi juga telah membentuk perbedaan tata

guna lahan yang didukung dengan perbedaan kontur yang terbentuk antara lembah

yang diapit sungai dengan dataran tingginya yang berada di sebelah Timur dan

Barat sungai atau lembah Kota Magelang.

Gambar 4.2 Pemandangan dari alun-alun ke arah Barat dan Timur

(foto : Utami, 2012)

58

Gambar 4.3 Bukit Tidar dari berbagai lokasi di Kota Magelang yang dipercaya

sebagai paku tanah pulau Jawa oleh masyarakat

(sumber : Google Earth Kota Magelang 2010; Foto : Utami, 2009,2011,2012)

Bukit Tidar

Bukit Tidar, terletak di

sebelah Selatan kota,

berada di daerah lembah

yang relatif datar yang

dikelilingi oleh gunung

Kota Magelang

S.Progo S.Elo

59

Gambar 4.4. Kondisi geografis Kota Magelang yang dibentuk alam

(foto : Utami, 2010)

Dua buah gunung yang sangat dominan, yaitu Gunung Merapi dan

Merbabu dengan di samping-sampingnya terdapat hiasan gunung-gunung lainnya

sebagai pandangan tak terbatas ke arah Timur. Pada saat yang bersamaan,

a b c

d

e

a

b c d e

a

b

c

Pemandangan dari Kampung Sanden Sungai Progo sebagai batas kota di

sebelah Barat Sungai Elo sebagai batas kota di

sebelah Timur

Tanah berkontur di Kampung Meteseh

Pemandangan dari Kampung Ringinanom

Kota Magelang, daerah lembah dari gunung

yang mengelilinginya, merupakan daerah

yang relatif berkontur dengan pemandangan

alam yang sangat indah

Kota Magelang

Sungai Progo

Gunung Gunung Bukit Tidar

Sungai Elo

e d

Kota Magelang

60

pemandangan alam yang terlihat jelas adalah desa-desa yang didominasi oleh lahan

pertanian dan perkebunan yang terletak di kaki Gunung Merbabu yang sudah ada

sejak periode Kerajaan Mataram. Sementara jika pandangan diarahkan ke sebelah

Barat akan terdapat keindahan panorama alam dengan adanya Gunung Sumbing

dan Gunung Sindoro serta deretan Perbukitan Menoreh. Pendatang dan

masyarakat mengunjungi Kota Magelang karena pemandangan alam yang indah

serta meyakininya sebagai daerah yang nyaman untuk tempat tinggal karena

kesuburan tanahnya.

Sementara pada Gambar 4.3 terlihat pemandangan Bukit Tidar dari

berbagai lokasi di Magelang sebagai salah satu landmark yang terletak di sebelah

Selatan Kota Magelang dan dipercaya sebagai paku tanah pulau Jawa. Bukit

Tidar3 sebagai bukit yang dikelilingi oleh beberapa gunung, diyakini sebagai bukit

yang suci (Sukimin, 1984), karena posisinya yang dikelilingi oleh gunung dengan

didukung tiga makam tokoh suci yang selalu dikunjungi peziarah. Tiga makam

yang terdapat di Bukit Tidar yaitu Kyai Semar, Kyai Subakir dan Kyai Sepanjang.

Pada masa kolonial Belanda dengan surat keputusan dari pemerintah

kotapraja, kondisi geografis yang sangat unik ini dijadikan dasar dalam

membentuk lambang kota dan secara resmi digunakan pada tanggal 22 Januari

1935 (Sjouke 1935; Pemerintah Magelang, 1936; Veen, 1965). Walaupun jika kita

lihat pada beberapa lambang kota yang dibuat pada masa pembentukan kotapraja

(gemeente) di Indonesia pada tahun 1905 (Lombard I, 2008), sebenarnya lambang

Kota Magelang sudah mulai diperkenalkan dengan beberapa perbedaan (lihat

Gambar 4.6)

3Helmy dan Sutarto, 2006 dan 2007 menuliskan Bukit Tidar sebagai gunung berapi, yang

diperkirakan pernah meletus jutaan tahun yang lalu.

61

Gambar 4.5. Lambang Kota Magelang dengan mengadopsi kondisi geografis

(sumber : Sjouke 1935, Vooruit 2 Tahun I November 1935, Pemerintah Magelang,

1936, Veen, 1965 dan koleksi KIT)

gunung

Bukit Tidar

Persimpangan

jalur

Lingkaran gunung

Bukit Tidar

Persimpangan

jalur

Gambar Lambang Kota Magelang

Nomor Surat Kota Magelang

Uraian arti lambang Kota Magelang

Lambang Kota Magelang tahun 1935

Surat Keputusan Lambang Kota Magelang

62

Kondisi geografis kota yang terlihat jelas pada penggambaran lambang kota

yaitu, ( Sjouke 1935; Vooruit 2 Tahun I November 1935; Pemerintah Magelang,

1936; Veen, 1965):

a. Sebuah penyangga terbalik dari perak berwarna biru laut, di dalamnya

terdapat sebuah cincin emas, dengan sebuah tiang kokoh menempatkan

paku sebagai pedang, ujung runcingnya berada di pembuka penyangga.

b. Di atas perisai diletakkan dengan sebuah mahkota emas berbentuk stupa

yang menggambarkan keberadaan Kota Magelang di dekat candi terkenal

yaitu Candi Borobudur.

c. Penyangga perak melambangkan bahwa posisi Kota Magelang sebagai

pertemuan jalan ke Semarang – Yogyakarta dan Purworejo yang dianggap

sebagai lokasi yang strategis.

d. Paku hitam melambangkan Gunung “Tidar” sebagai titik tengah pulau

Jawa, yang menurut orang Jawa dipakukan di Laut India.

e. Cincin emas yang mengelilingi paku melambangkan gunung-gunung yang

setiap saat dikagumi oleh orang-orang Kota Magelang dan yang

menyebabkan kota itu mempunyai iklim yang nyaman.

Saat ini pemerintah Kota Magelang masih menggunakan lambang-lambang

yang sudah ada sejak tahun 1900-an walaupun dengan beberapa perubahan,

pengurangan maupun penambahan yang disesuaikan dengan kondisi sosial, budaya

dan perkembangan politik serta pemikiran pemerintah dalam melihat Kota

Magelang (seperti terlihat pada Gambar 4.6 sebelah kanan) dengan penyesuaian

arti dan simbolnya. Arti lambang Kota Magelang pada saat ini adalah :

a. Padi dan kapas berarti kemakmuran, cukup sandang dan pangan.

b. Paku di atas simpang tiga yang berarti paku menggambarkan Gunung

Tidar sebagai pakuning Pulau Jawa.

c. Simpang tiga menggambarkan letaknya dipertemukan dari tiga

jurusan yaitu Semarang, Purworejo dan Yogyakarta.

63

d. Bintang besar ditengah-tengah berarti rakyat Magelang ber-Pancasila

atau rakyat Magelang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa.

e. Topi baja di atas buku berarti adanya pendidikan ABRI, Kota Militer

dan merupakan pusat pendidikan umum.

f. Warna dasar ada 5 yaitu Hijau, Merah Tua, Putih, Kuning Emas dan

Hitam yang berarti:

a. Hijau yaitu Lambang kesuburan dan kemakmuran.

b. Merah Tua yaitu Lambang keberanian/revolusioner.

c. Putih yaitu Lambang kesucian/kejujuran/kebersihan.

d. Kuning Emas yaitu Lambang keagungan/kebahagiaan.

e.Hitam yaitu Lambang keadilan, kuat/sentausa (langgeng).

g. Bambu runcing di atas dasar merah tua berarti keberanian dan

kekuatan rakyat, berdasarkan sejarah perjuangan rakyat dalam mengusir

Belanda, Inggris dan Gurkha dalam revolusi fisik yang diwarisinya dari

perjuangan Pangeran Diponegoro.

h. Padi berjumlah 17 butir berarti tanggal 17.

i. Kapas berjumlah 8 pucuk berarti bulan 8 atau Agustus.

j. Dua buah bambu runcing, yang satu beruas empat dan yang lain beruas

lima berarti tahun 1945.

Jika disejajarkan ketiga lambang kota yang ada pada tahun 1905, 1935 dan

lambang kota saat ini4, terlihat beberapa bagian lambang yang tetap namun juga

ada beberapa bagian yang hilang, bahkan ada beberapa bagian yang bertambah

untuk mendukung keberadaan fungsi kota dan kondisi negara. Beberapa

perubahan yang terjadi pada lambang Kota Magelang, yaitu :

a. Bagian yang tetap yaitu bentuk perisai dengan penyangga perak dan paku

yang ada ditengah, yang sampai saat ini tetap digunakan. Hal ini

menunjukkan bahwa masyarakat saat ini khususnya penguasa yang tetap

4 Pada cover buku pertanggungjawaban walikota tahun 1979 dan 1983 serta buku yang ditulis pada

tahun 1984 oleh Soekimin sudah mencantumkan logo yang digunakan saat ini. Selain itu

ditemukan juga dalam koleksi di Tropenmuseum, Belanda, penggunaan lambang Magelang pada

tahun 1950

64

mempertahankan keberadaan lambang tersebut menganggap Kota

Magelang sebagai kota yang terletak di persimpangan yang strategis dan

menyakini keberadaan Bukit Tidar sebagai paku tanah Pulau Jawa.

b. Perisai yang tetap dipakai sebagai lambang kota, tidak sepenuhnya sama,

karena pada lambang kota yang saat ini digunakan, warna perisai tidak

didominasi oleh warna biru dan digantikan oleh warna hijau, merah tua,

putih, kuning emas dan hitam yang dilengkapi dengan gambar padi, kapas,

dua bambu runcing, topi baja di atas buku serta bintang besar kuning yang

diletakkan menutupi sebagian dari gambar pakunya. Namun ada yang

hilang dari bagian lambang kota yaitu lingkaran emas yang terletak di atas

penyangga terbalik.

Jika dilihat dari perbedaan beberapa lambang kota tersebut terlihat ada

perubahan menyangkut keberadaan alam sebagai bagian dari kota, hal ini bisa

dijelaskan di bawah ini :

a. Perisai yang berwarna biru sebenarnya menunjukkan keberadaan lembah

atau Kota Magelang yang dikenal pada masa lalu dengan posisi

geografisnya “bertetek gunung berkalung samudera” yang sebenarnya

menggambarkan keberadaan Kota Magelang. Hal ini hilang dan digantikan

dengan simbol yang menggambarkan fungsi kota saat ini yaitu kota

pendidikan militer dan pusat pendidikan umum dengan dasar pancasila dan

keberadaan Kota Magelang pada masa perjuangan fisik

b. Lingkaran emas pada saat itu digunakan karena ingin menggambarkan

bahwa Kota Magelang dikelilingi oleh gunung yang menjadikan Kota

Magelang berkembang sangat pesat baik sebagai kota yang strategis

maupun kota yang mempunyai panorama yang indah sebagai kota

peristirahatan

c. Keberadaan bintang warna kuning yang menutupi sebagian paku yang

berada di tengah tiang penyangga terbalik, telah mengurangi keberadaan

Bukit Tidar sebagai paku tanah Pulau Jawa, walaupun keberadaan tersebut

masih tetap diyakini dengan tetap digunakannya gambar paku tersebut

65

Dari ketiga uraian di atas, terlihat adanya perubahan paradigma masyarakat

dalam meletakkan alam sebagai bagian dari Kota Magelang. Alam kurang

dianggap mempunyai hubungan erat dengan lingkungan binaan. Perubahan

penggunaan lambang kota akhirnya juga membawa dampak pada terjadinya

perubahan pengembangan kota yaitu menghilangkan aspek alam.

Gambar 4.6 Logo Kota Magelang tahun 1922 dan logo kota saat ini

( Sumber : Koleksi KITLV, Leiden, Belanda dan www.kotamagelang.co.id )

Bukit Tidar

Persimpangan

jalur

Bukit Tidar

Persimpangan

jalur

Lambang Kota Magelang tahun 1922

Lambang Kota Magelang saat

ini tanpa ada lingkaran emas

sebagai simbol gunung yang

mengelilingi

Lambang Kota Magelang saat ini

66

4.2 Kondisi Alam Kota Magelang dan Sekitarnya Pada Masa Lalu

4.2.1 Kondisi Dataran Kedu pada masa lalu

Nama Kedu berasal dari kata Kedung yang berarti tanah dalam yang

dibentuk oleh gunung-gunung dan dataran tinggi (Kussendracht, 1840; Aa, 1851;

Nessel, 1936; Danoesoegondo, 1936; Slooten, 1936).

Ada suatu hipotesa yang pernah dilontarkan oleh geolog Niewenkamp,

walaupun masih menjadi perdebatan, bahwa sebagian dataran Kedu Selatan pernah

menjadi danau yang terjadi karena aliran Sungai Progo dan Elo yang bertemu di

sekitar Candi Borobudur tersumbat oleh letusan gunung berapi. Tepian palung

merupakan rantai pegunungan dengan beberapa gunung berapi yang

mengelilinginya. Di batas Tenggara yang landai tak berbukit terentang jalur

komunikasi utama menuju Kota Yogyakarta yang membawahi sebagian daerah

Kedu. Palung besar Magelang-Temanggung dibentuk oleh Sungai Progo dan

Sungai Elo, dua sungai utama yang membelah dataran Kedu dari Utara ke Selatan.

Sementara itu puluhan anak sungai yang bersumber di berbagai gunung berapi dan

kedua sungai besar mengangkut endapan lahar dan abu vulkanik dari beberapa

gunung berapi yang menyuburkan lembah Kedu (Suroyo, 2000).

Jika dilihat pada Gambar 4.7 di atas dan mengacu pada kondisi abad ke 8

pada saat lembah Magelang sebagai bagian dari Kerajaan Mataram Kuno, maka

bisa dikatakan bahwa pada periode yang sama, lembah Magelang sebagai bagian

dari kehidupan masyarakat kerajaan yang sedang berkembang pesat. Apalagi hal

ini didukung pada saat Candi Borobudur dibangun (sebagai bungai Teratai di

tengah danau) beberapa wanua di lembah Magelang menjadi bagian terpenting

pada periode Kerajaan Mataram Kuno tersebut.

67

Gambar 4.7 Permukaan Daerah Borobudur dan sekitarnya pada masa lalu

(sumber : Helmy, 2008)

Lembah Magelang merupakan cekungan dari bentuk

gunung yang mengelilinginya dan sebagai bagian dari

dataran Kedu dengan kehidupan masyarakatnya

Magelang Magelang

Magelang

68

4.2.2 Kondisi Lembah Magelang pada masa lalu

Kondisi geografis mendukung Kota Magelang sebagai tempat yang layak

untuk tempat tinggal karena letaknya yang sangat strategis di antara beberapa

daerah suci pada saat itu. Pada prasasti Canggal (732 M) diceritakan tentang

“ ….. ada sebuah pulau yang mulia, bernama Jawa, tak ada

bandingannya, kaya padi dan emas, penuh dengan tempat pemujaan

suci, terutama tempat pemujaan lingga…..”.

Lokasi Prasasti Tuk Mas yang berada di sebelah Timur Sungai Elo serta

Prasasti Poh dan Mantyasih yang berada di sebelah Timur Sungai Progo

memperlihatkan adanya keterkaitan letak prasasti sebagai peninggalan pada masa

lalu dengan keberadaan tempat suci dan tempat tinggal masyarakat (Haryono, 1994

dan Darmosoetopo, 1998). Sementara pada Prasasti Poh (905 M) dan Mantyasih

(907 M) menceritakan tentang sebuah lembah yang bisa melihat indahnya Gunung

Sumbing, Sindoro dan Merbabu.

Pada masa kerajaan Mataram Baru, alam Kademangan Magelang menjadi

salah satu andalan bagi penguasa pada saat itu dan juga menjadi daya tarik

masyarakat lokal dan pendatangnya. Lokasi Kademangan Magelang di jalur

strategis dan posisi di lembah yang dikelilingi oleh gunung-gunung, dilewati jalur

perbukitan Menoreh dan adanya Bukit Tidar telah mendukung daerah ini sebagai

daerah peristirahatan yang sangat indah alamnya. Iklimnya yang sangat sejuk

karena agak jauh dari pantai juga sangat mendukung keberadaan tempat istirahat.

Bahkan pada saat itu daerah Magelang juga terkenal sebagai kebondalem3

Susuhunan dari Surakarta karena keindahan panorama alam dan kesuburannya.

Pada saat itu Kademangan Magelang dipimpin oleh seorang Demang (Pemerintah

Magelang, 1936; Lissa, 1936; Danoesoegondo, 1936).

3 Kebondalem adalah istilah yang digunakan masyarakat pada saat itu untuk menggambarkan kebun

miliknya Sunan Surakarta. Kebondalem meliputi kademangan Magelang yang masih merupakan

gabungan antara kota Magelang dan Kabupaten Magelang.

69

Gambar 4.8 Lukisan gunung di Sebelah Barat Kota Magelang

(Foto : Koleksi KITLV, Leiden, Belanda)

Gambar 4.8 menggambarkan tentang kondisi alam yang bisa dilihat dari

Kota Magelang ke arah Barat pada tahun 1833. Foto tersebut menceritakan dua

gunung, yaitu Gunung Sumbing dan Sindoro dan Perbukitan Menoreh yang bisa

dilihat dari rumah Residen Kedu. Gunung Sumbing dan khususnya perbukitan

Menoreh merupakan tempat perjuangan para pendukung Pangeran Diponegoro

pada masa perang Diponegoro (1825-1830). Terlihat dengan jelas kondisi Kota

Magelang dengan pemandangan yang dibentuk oleh gunung dan kaki gunung yang

dilengkapi dengan pedesaannya dan persawahan serta perkebunan.

Gambar 4.9. Gunung Sumbing dan Sungai Progo

(Foto : Koleksi KITLV, Leiden, Belanda, Leiden, Belanda)

70

Gambar 4.9 memperlihatkan keindahan Gunung Sumbing dan Sungai

Progo yang dilihat dari rumah salah seorang jenderal pada tahun 1880. Kondisi

yang digambarkan memperlihatkan bahwa dari Distrik Magelang mempunyai

pemandangan yang sangat indah, khususnya dari pendopo rumah residen.

(Kussendracht, 1840; Bleeker,1850; Pemerintah Magelang, 1936).

Gambar 4.10. Alun-alun kota dan rumah salah seorang jenderal dengan latar

belakang Gunung Sumbing, 1880

(Foto : Koleksi KITLV, Leiden, Belanda)

Gambar 4.11 Gunung Merapi dan Merbabu dari Rumah Sakit Militer, 1890

(Foto : Koleksi KITLV, Leiden, Belanda)

Pada Gambar 4.10 sebelah kiri menceritakan tentang alun-alun yang berada

di pusat kota dengan adanya dua pohon beringin dan dari alun-alun bisa melihat

indahnya Gunung Sumbing. Alun-alun yang berada di dekat dengan kadipaten

sebagai pusat kota mempunyai panorama yang sangat indah. Pada Gambar 4.10

sebelah kanan menceritakan indahnya Gunung Sumbing yang dilihat dari salah

satu rumah petinggi militer, OGH Heldring, pada tahun 1880. Sementara pada

71

Gambar 4.11 menceritakan Gunung Merapi dan Gunung Merbabu di sebelah

Timur yang bisa dilihat dari Rumah Sakit Militer.

Ir. R.C.A.F.J. Nessel van Lissa, walikota Magelang tahun 1935

menceritakan alam Magelang dengan judul asli “Uit het verleden van Magelang,

Van “vorstentuin” tot Java’s gezegendste Plek” - “ Masa lalu Magelang, dari

taman yang indah menjadi tempat yang paling diberkati di Jawa” (Lissa, 1936).

In ons mooi Midden Java neemt de residentie Kedoe een bijzondere

plaats in. Zooals in een juweel de juwelier den grootsten fraaisten

steen in het midden plaatst, zoo schonk moeder Natuur Kedoe een rijke

schakeering van haar fraaiste scheppingen. (Lissa, 1936).

(Di Jawa Tengah kami yang indah, Karesidenan Kedu mempunyai

tempat khusus. Sebagaimana dalam sebuah perhiasan, sang pedagang

permata akan menempatkan permata terelok dan terbesar di tengah-

tengah, demikian pula kehendak alam memberikan kepada Kedu

keanekaragaman ciptaannya yang terelok. (Lissa, 1936)

De Engelsche resident-commissioner John Crawfurd beschrijft in zijn

,,Report upon the District of Cadoe’’, (Jogjacarta 1812) de valley en

haar grenzen en zegt daarin o.m. (vertaald) : ,,Aan zijn ligging is het,

dat het een vruchtbaarheid van gronden en een heerlijkheid van

klimaat schijnt te danken te hebben, waarop geen ander deel van het

eiland aanspraak kan maken’’(Lissa, 1936).

(Komisioner- Residen Inggris John Crawfurd menggambarkan lembah

itu dan batas- batasnya dalam laporannya “Report upon the District of

Cadoe”, (Jogjacarta 1812), dan di dalamnya antara lain mengatakan

(diterjemahkan): “Tanahnya yang subur dan cuacanya yang enak

tampaknya berkat letaknya, tak ada bagian lain dari pulau itu yang

dapat menuntut hal yang sama. (Lissa, 1936)

Pemaparan di atas, menggambarkan bahwa pada masa lalu Kota Magelang

sebagai lembah dari gunung yang mengelilinginya merupakan daerah yang sangat

indah. Keberadaan gunung tersebut yang didukung adanya Bukit Tidar telah

mendorong masyarakatnya membentuk tempat-tempat untuk beristirahat dan

menikmati alam. Keindahan alam yang dibentuk oleh gunung yang mengelilingi

Kota Magelang dan ruang kotanya telah mengundang masyarakat untuk

membentuk daerah permukiman dan daerah peristirahatan.

72

4.3 Bukit Tidar dalam Legenda dan Asal Usul Nama Magelang

Bukit Tidar yang terletak di sebelah Selatan Kota Magelang dipercaya

secara turun temurun khususnya oleh masyarakat Kota Magelang sejak jaman

dahulu sebagai paku pulau Jawa4 (pakuning Jawa). Jika Bukit Tidar runtuh atau

dicabut, Pulau Jawa akan goyang dan hancur5. Hal ini didukung dengan beberapa

cerita tentang Bukit Tidar sebagai penyeimbang keberadaan gunung yang

mengelilinginya yang menurut beberapa sumber terjadi kurang lebih pada tahun 73

M dan dipercaya sebagai cikal bakal permukiman di Jawa khususnya Jawa Tengah

dan Yogyakarta (Kussendracht, 1841; Sjouke, 1935). Sementara penyebutan

Bukit Tidar sebagai paku Pulau Jawa banyak disebutkan dalam beberapa buku

yang diterbitkan pada masa kolonial Belanda, misalnya Kussendracht (1841)

menjelaskan Bukit Tidar sebagai bukit yang berbentuk kerucut dengan keyakinan

masyarakatnya sebagai pakunya Pulau Jawa dan menjadi penyeimbang posisi

Pulau Jawa.

Bukit Tidar sebagai paku (poros) pulau Jawa mengingatkan pada bagian

dalam Tantu Panggelaran tentang Gunung Meru yang dipindahkan ke Jawa,

seperti juga dengan Gunung Penanggungan pada abad 14, yang kesemua konsep

tersebut diceritakan sebagai usaha baru untuk menempatkan kembali “pusat” Pulau

Jawa pada posisi di tengah-tengah, melihat ekspansinya dengan memperhitungkan

ruang baru secara geografis (Lombard, 2008 : 99).

.... sebaiknya disebut pula tradisi yang menganggap Gunung Tidar,

sebuah bukit kecil didekat Kota Magelang (Jawa Tengah) sebagai

“poros” (paku) dari Pulau Jawa. Kami tidak menemukan disebutnya

“pusat” ini sebelum serat centini (awal abad ke-19), namun pengertian

itu mengingatkan kita akan bagian dalam Tantu Panggelaran mengenai

Gunung Meru yang dipindahkan ke Jawa, seperti juga peran Gunung

Panunggalan pada abad 14. Selama tidak ada kesaksian yang lebih tua,

kami cenderung melihat tradisi tentang Gunung Tidar itu sebagai usaha

baru untuk menempatkan kembali “pusat” Pulau Jawa pada posisi

tengah-tengah, melihat ekspansi baru Mataram yang pesat ..... “

(Lombard III , 2008 : 99)

4 Bukit Tidar sebagai paku pulau Jawa diceritakan juga pada Kussendracht, 1841: 198; Aa,

1851:434; Buddingh, 1859 : 177; Pemerintah Magelang, 1936 : 8; Veen, 1965:19; Soekimin, 1988) 5 Bukit Tidar sebagai pakunya pulau Jawa digambarkan dalam logo Kota Magelang sejak 1905

sampai sekarang.

73

Raffles (2008) menceritakan keberadaan 20.000 keluarga yang datang ke

Jawa, namun tidak secara rinci menjelaskan lokasinya. Bukit Tidar juga dikaitkan

dengan keberadaan dewa gunung yang meletakkan Bukit Tidar untuk mengikat

gunung-gunung yang selalu bergerak (Sjouke, 1935:11), bahkan pada saat itu juga

dipercaya oleh sebagian masyarakat bahwa di dalam Bukit Tidar terdapat sebuah

candi yang besar namun hal ini disangkal oleh banyak orang:

Een legende verhaalt daaromtrent, dat de God der bergen om het

drijvende eiland Java op zee vast te leggen, in het Oosten eenige

bergen liet vallen, waardoor het eiland echter naar die zijde overhelde.

Om dit te herstellen liet hij West-Java ook eenige bergen vallen, doch

het eiland wipte en bleef drijven. Toen nam hij den Tidar en spijkerde

daarmede Java op zee vast…..

Volgens andere overleveringen zou onder den Tidar een tempel

verborgen liggen, gelijkend op den Boroboedeor (Sjouke , 1935:11)

(Sebuah legenda mengenai hal itu menceritakan bahwa dewa gunung

menjatuhkan beberapa gunung di sebelah Timur, untuk mengikat pulau

Jawa yang terapung di laut, akibatnya pulau itu condong ke sisi itu.

Untuk memperbaikinya, ia juga menjatuhkan beberapa gunung di Jawa

Barat, tetapi pulau itu tetap bergoyang dan mengapung. Kemudian ia

mengambil Tidar dan memaku pulau Jawa ke laut dengan itu …

Menurut beberapa cerita turun- menurun, di bawah Tidar kemungkinan

terdapat sebuah candi, seperti Borobudur.)

Gambar 4.12 Bukit Tidar sebagai Paku Tanah Jawa

(sumber : legenda; Raffles, 2008; Lombard, 2008; Soekimin, 1988; Sjouke, 1935;

Kussendracht, 1841; Aa, 1851; Buddingh, 1851)

Bukit Tidar

Paku Tanah Jawa

Penyeimbang Jawa dengan

tumbal di Bukit Tidar

Penyeimbang Jawa dengan

kekuatan gaib Bukit Tidar

Pengembalian Pusat

Kekuasaan dengan

pengalihan ke Bukit Tidar

74

Satu cerita yang sangat menarik menjelaskan hubungan langsung antara

penyebaran agama Islam dengan keberadaan Wali Songo di Jawa. Kyai Subakir

oleh sebagian orang dipercaya datang ke Bukit Tidar pada masa awal abad

pertama, namun sebagian orang menjelaskan kedatangan Subakir sebagai salah

satu kyai yang menyebarkan agama Islam di Jawa dan termasuk dalam kelompok

Wali Songo awal. Kyai Subakir dipercaya mendirikan perguruan (pondok

pesantren) di Bukit Tidar dan sekitarnya dengan menaklukkan beberapa jin/setan

yang mengganggu di kawasan Kedu dan khususnya lembah Magelang (cerita turun

menurun dan wawancara dengan juru kunci Bukit Tidar, 2009). Keberadaan

Subakir dianggap sebagai penghilang setan atau jin yang berkumpul di Bukit

Tidar, dengan melakukan rukyah di Bukit Tidar. Rukyah ini menjadi salah satu

ritual yang rutin dilakukan di Bukit Tidar. Saat ini di Bukit Tidar dipercaya

terdapat tiga makam/makom yang salah satunya merupakan makam Kyai Subakir.

Sementara itu terdapat beragam cerita turun temurun lainnya yang

mengemukakan munculnya nama Magelang, antara lain yaitu:

a. Datangnya orang Keling di Jawa pada tahun 83 M yang mengenakan hiasan

gelang di hidung dengan melubangi cuping hidungnya dan dimasuki gelang

dan kebiasaan ini masih terus berlangsung pada saat mereka mendiami

tempat yang baru. Magelang berasal dari kata ma dan gelang, ma berasal

dari mawa = memakai, sehingga ma gelang = mawa gelang yang berarti

memakai gelang, perhiasan yang dipakai (Legenda masyarakat Magelang)

b. Kisah dikepungnya raja Jin Kyai Sepanjang oleh prajurit Mataram secara

Atepung Temu Gelang. Dalam kisah tersebut diceritakan bahwa raja Jin

Kyai Sepanjang yang menghuni Bukit Tidar (Babad Alas Kedu) sebagai

penguasa telah diserang dari berbagai arah oleh pasukan Mataram di bawah

perintah Panembahan Senopatih pada saat akan memperluas wilayah ke

Utara di sekitar Bukit Tidar. Pengepungan raja jin berhasil setelah

dilakukan pagar betis yang rapat dan karena melingar seperti gelang dalam

bahasa Jawa dikenal dengan atepung temu gelang (legenda masyarakat

Magelang)

75

c. Tinjauan geografis daerah Kedu yang berasal dari Ma + gelang , gelang

berarti perhiasan yang menunjukkan keindahan dari gunung-gunung yang

mengelilinginya (legenda masyarakat Magelang)

d. Tinjauan geografis Magelang yang dikelilingi oleh banyak gunung

sehingga terkesan “cemlorot/bercahaya” karena panoramanya yang indah

(Lissa, 1935; legenda)

e. Berasal dari salah satu kata yang disebut dalam prasasti Mantyasih, yaitu

wanua Glanggang, Galang dan Glam (Prasasti Mantyasih 907 M)

f. Adanya sekeluarga yang sedang mencari tempat tinggal dan tiba-tiba anak

perempuannya kehilangan gelang. Anaknya tersebut berteriak “ Ma,

gelang “. Sang ayah yang kemudian menemukan gelang di tanah yang

berkualitas baik dan memutuskan bermukim di lokasi tersebut (Sjouke,

1935; Veen, 1965)

g. Keberadaan anak-anak dewa Gunung Merbabu (Mage) dan Sumbing

(Liang) yang berebut batu bertuah yang diyakini terletak di lembah gunung

dan berakhir dengan hilangnya kedua anak dewa tersebut dan setelah

peristiwa tersebut muncul suara yang selalu menggema memanggil nama

mereka “ Mage ..... Liang.... “ (Huisman, 1964).

Bukit Tidar dianggap sebagai bukit penting dengan beberapa keyakinan,

yaitu :

a. kosmologis, dengan menganggap Bukit Tidar sebagai paku pulau Jawa

untuk menjaga keutuhan pulau Jawa

b. religius, dengan menganggap Bukit Tidar sebagai salah satu lokasi

bersejarah munculnya pemahaman keagamaan

c. spiritual, dengan menganggap makam yang terdapat di bukit merupakan

makam/makom orang-orang yang diyakini bisa memberi kekuatan

76

d. lingkungan6, dengan menganggap Bukit Tidar sebagai penahan air ataupun

sebagai penyimpan air, yang jika terjadi penggundulan hutan di ukit

tersebut akan terjadi banjir di sekitar Kota Magelang

Gambar 4.13 Bukit Tidar sebagai tempat yang disucikan digunakan sebagai

tempat ritual

(foto : Utami 2012)

Gambar 4.14 Bukit Tidar dengan pohon-pohonnya sebagai tempat penyimpan air

(foto : Utami 2012)

6 Pada saat ini dengan adanya wisata spiritual di Bukit Tidar, ada beberapa bangunan di atas bukit

Tidar dibangun telah mengurangi keseimbangan lingkungan Bukit Tidar. Beberapa konflik telah

terjadi diakibatkan penggunaan Bukit Tidar dengan pemahaman masing-masing dan dimanfaatkan

oleh investor dengan mendirikan bangunan di atas bukit.

Masyarakat

mendatangi

makam di Bukit

Tidar untuk

melakukan

beberapa ritual

77

4.4 Setting Kota Magelang

Setting yang mengacu pada perkembangan ruang kota Magelang, dapat

dibuat periodisasi yaitu :

1. Setting pada periode kerajaan

a. Periode Kerajaan Mataram Kuno, 732 – 927 M, setting lembah

Magelang dengan beberapa desa yang terbentuk di dalamnya

b. Periode Kehancuran Mataram Kuno, pasca 929 M, setting lembah

Magelang saat terjadinya perpindahan pusat kerajaan Mataram Kuno

c. Periode Kerajaan Demak, abad 14, setting lembah Magelang yang

digunakan sebagai gudang makanan karena kesuburannya serta lokasi

yang strategis

d. Periode Kerajaan Mataram Baru, abad 15, setting kebondalem Sunan

Surakarta di Kademangan Magelang sebagai gudang beras dan tempat

istirahat

2. Setting Kota pada periode kolonial

a. Periode Inggris, setting distrik Magelang pada saat pemerintah Inggris

membangun beberapa elemen dasar kota pada tahun 1810

b. Periode Belanda, setting ruang kota pada periode Belanda

mengembangkan Distrik Magelang sebagai kota militer, pemerintahan,

perkebunan dan peristirahatan

c. Periode Jepang, setting ruang kota pada periode pemerintahan Jepang

menggunakan Kota Magelang sebagai kota pertahanan

3. Setting periode Kota Magelang setelah Indonesia merdeka tahun 1945

a. Periode perjuangan fisik, tahun 1945 – 1950, setting ruang kota setelah

kemerdekaan dan saat terjadinya agresi militer II di Kota Magelang

b. Periode perbaikan fisik, tahun 1950 – 1980, setting ruang kota pada

masa pengembangan lebih mengacu pada kota taman

c. Periode kota jasa dan transit, tahun 1980-2000, setting ruang kota saat

mulai mengalami perubahan dalam menata ruang kota

d. Periode kota perekonomian, tahun 2000 – 2010, setting ruang kota

yang dibentuk karena pertimbangan perekonomian

78

4.4.1 Setting pada saat lembah Magelang sebagai bagian dari Kerajaan

Mataram Kuno sampai dengan Mataram Baru

4.4.1.1 Setting sebagai pembentuk ruang kegiatan kehidupan pada periode

Kerajaan Mataram Kuno

Kehidupan yang diwujudkan dalam ruang kegiatan terlihat pada Prasasti

Tuk Mas7 (Sarkar, 1969 : 195, Casparis, 1950 : 158-159), Prasasti Poh tahun 905

M dan prasasti Mantyasih tahun 907 M. Posisi Prasasti Tuk Mas yang berada di

atas bukit dan di tepi Sungai Elo, Prasasti Poh di atas bukit kecil dan di tepi Sungai

Progo serta Prasasti Mantyasih di daerah yang relatif datar dan di tepi Sungai

Progo memperlihatkan ruang yang terbentuk dipengaruhi gunung, bukit dan

sungai.

Gambar 4.15 memperlihatkan dua desa yang sudah terbentuk pada periode

Kerajaan Mataram Kuno, serta satu desa yang diperkirakan sudah ada sebelum

periode tersebut. Hal ini didukung oleh Darmosoetopo (1998: 76 dan 89) bahwa

pada periode Kerajaan Mataram Kuno telah terbentuk desa-desa sebagai ruang

kehidupan. Gunung dan sungai membentuk tanah yang subur yang kemudian

berkembang sebagai lahan pertanian dan hutan. Gunung, sungai dan hutan

menjadi bagian dari kehidupan masyarakat pada saat itu yang didukung dengan

kegiatan pertanian, perdagangan dan kesenian (Darmosoetopo : 80).

Gunung yang mengelilingi dataran Kedu, diyakini suci oleh masyarakat.

Dituliskan Chabra, 1965 dalam Degroot (Degroot, 2010) “as purifying as the

Ganges”. Mengacu pada isi pokok dari prasasti Tuk Mas mengenai mata air yang

airnya sangat jernih dan suci (subhasitatoya), kesucian ini bisa dikaitkan dengan

keberadaan sungai suci yang dibandingkan dengan kesucian Sungai Gangga

(Sarkar, 1969; Degroot,2010).

7 Ada dua angka tahun yang dijadikan perkiraan dibangunnya Prasasti Tuk Mas, yaitu tahun 500

dan 650 M.

79

Gambar 4.15 Ruang yang dibentuk oleh kesucian gunung yang mengelilinginya

(sumber : Utami 2012)

Tuk Mas

Terletak di daerah yang lebih tinggi dan

mempunyai tanah yang subur, sehingga

digunakan sebagai tempat untuk berdoa

dan sebagai tempat tinggal

Mantyasih

Tanah yang subur dan terletak di

sepanjang Sungai Progo yang

strategis

Tuk Mas Poh

Mantyasih

Mantyasih

& Poh Tuk Mas

Gunung-gunung

membentuk lembah

Kota Magelang sebagai

daerah yang subur dan

strategis karena terletak

di sepanjang sungai

S.Progo

S. Elo

80

Boechari, 1970 yang menjelaskan mata air yang lahir dari teratai putih

yang membawa kemurnian:

kvachit su chyam buruh anujata – kvachichila valuka nirgat eyam

kvachit prakirnna subha sita toya – samprasruta medhyakariva Ganga

yang berarti :

“Mata air ini lahir dari teratai putih yang membawa kemurnian. Dalam

beberapa bagian mengalir keluar dari batu dan pasir dan di satu tempat

lain menyebarkan air yang sejuk dan jernih mengalir di sepanjang,

demikian seperti halnya Sungai Gangga”.

Menurut Krom, wilayah tersebut sebagai tempat suci yang dipersembahkan

untuk memuja dewa atau sering disebut sebagai pentirtaan (Sarkar, 1969;

Casparis, 1975; Boechari, 1970 dan 1988; Degroot,2010). Pada lambang yang

tercetak di Prasasti Tuk Mas8 terlihat adanya sejumlah iconography symbols yang

dipahatkan pada batu prasasti, antara lain cakra, gada, purna kumbhas, trisula,

parasu. Simbol-simbol tersebut diartikan sebagai simbol dewa Siwa dan Visnu.

Sementara itu, prasasti tertua Prasasti Canggal 732 M yang berada di

Salam, di lereng Gunung Merapi di Sebelah Barat, sebagai peninggalan Kerajaan

Mataram Kuno menceritakan tentang keberadaan pulau Jawa dan kondisinya yang

terletak di dekat puncak gunung adalah. Prasasti Canggal atau yang juga disebut

Prasasti Gunung Pring menceritakan bahwa :

“There is a great island called Yava, abundantly supplied with ricegrains

and other seeds and rich in gold-mines. That (island) is acquired by the

immortals (by mantras) and other means; where is a wonderful place

dedicated to Sambhu, a heaven of heavens surrounded by Ganga and other

holy resorts and laid in a beautiful woodland habituated by elephants,

existing for the good of the world” (Sarkar, 1969 : 198)

Pada saat itu, Mataram Kuno9 terkenal sebagai kerajaan agraris dengan

didukung banyaknya gunung berapi dan deretan pegunungan. Salah satu gunung

tersebut adalah Gunung Merapi sebagai gunung berapi yang dijadikan sebagai

8 Tuk Mas jika diterjemahkan secara harafiah merupakan mata air emas dan bisa dimaknai sebagai

sumber mata air emas atau yang diagungkan atau disucikan. Sampai saat ini, daerah Tuk Mas

merupakan daerah sumber mata air oleh yang tidak akan habis airnya (wawancara, 2010). 9 Mataram Kuno mulai diperintah oleh Raja Sanjaya tahun 732 M sampai tahun 929 M yang diperintah oleh

Raja Wawa seperti yang tertulis pada prasasti Mantasih (907 M).

81

tempat suci karena letaknya yang paling tinggi dan Pegunungan Dieng dijadikan

pusat pemujaannya. Sementara itu daerah Kedu (Kdu) dijadikan daerah

permukiman dengan pertimbangan sebagai daerah datar dan dialiri sungai yang

disucikan serta didukung dengan dikelilingi gunung-gunung yang dianggap agung.

Tata permukiman masyarakat pada saat terbentuk dengan beberapa lapisan

masyarakat, lapisan agama dan pekerjaan.

Gambar 4.16 Permukiman yang terbentuk di lembah yang dikelilingi gunung

(sumber : Utami 2012)

Gambar 4.17 Tujuh gunung sebagai pembentuk kesucian pada alam dan wilayah

Lembah sebagai daerah

permukiman terbentuk karena

keyakinan pada gunung yang

mengelililingi

Dipercaya sebagai tempat Dewa

Bentukan dari kaki gunung

aliran air dr gunung Tujuh Gunung Sbg tempat Dewa

Sungai Elo

Bukit Tuk Mas

Lembah

SUCI

Bukit disucikan

untuk menyembah

dewa

Lembah disucikan

dan dijadikan

tempat tinggal

Sungai disucikan

sbg sumber

kehidupan

82

Wilayah Poh dan khususnya wilayah Mantyasih banyak disebutkan dalam

beberapa prasasti yang dianggap memberi arti penting membuktikan keberadaan

bagi daerah Meteseh dan Dumpoh (Mantyasih dan Poh) yaitu Prasasti Poh, Prasasti

Mantyasih, Prasasti Gilikan, Prasasti Teru I Tepusan, Prasasti Tulang Air, Prasasti

Panggumulan, Prasasti Poh (pohpauh), Prasasti Rukam, dan Prasasti Gilikan,

Kayuwungun dll. Pasar sudah berkembang sebagai tempat jual beli, walaupun

hanya di beberapa desa yang besar (Darmosoetopo, 1998). Desa Mantyasih dan

Poh kemungkinan dipilih sebagai permukiman karena posisinya di dekat sungai

yang dianggap suci10

. Beberapa desa atau yang disebut wanua pada periode

Kerajaan Mataram Kuno, banyak berfokus di pinggir sungai atau dilembah suatu

gunung. Ruang lainnya yang berkembang antara lain adalah tempat

bersembayang, ruang kesenian, daerah untuk menjaga keamanan

(Darmosoetopo,1998) serta lahan pertanian (Darmosoetopo, 1998; Casparis, 1950;

Schrieke, 1957).

Mengacu pada setting saat ini, dijelaskan bahwa Desa Mantyasih dan Poh

berkembang karena terinspirasi oleh alam dalam konteks yang bisa dijelaskan

sebagai berikut :

a. aspek kesucian, yang menjelaskan keberadaan gunung, sungai dan lembah

yang dianggap mempunyai kekuatan untuk melindungi kehidupan mereka

b. aspek kesuburan, yang menjelaskan tentang posisi lembah Magelang dan

dataran Kedu sebagai lembah yang subur yang mampu mendukung

kehidupan masyarakat khususnya terkait bahan makanan

c. aspek keamanan, yang menjelaskan bahwa lokasi lembah Magelang yang

berada di sepanjang Sungai Progo dan berada di lembah yang relatif datar

membentuk daerah yang tepat untuk mengontrol daerah-daerah sekitar baik

dari jalur darat maupun jalur air

d. aspek kenyamanan, yang menjelaskan karena lembah Magelang berada di

lokasi yang aman dan strategis lokasinya membentuk tempat bermukim

yang aman dan nyaman

10

Pada periode ini ada beberapa tempat yang dianggap suci, yaitu sungai, gunung dan bukit.

83

Gambar 4.18 Gunung, pembentuk kesucian dan kesuburan lembah Magelang

Indianisasi, istilah yang digunakan oleh orang Inggris karena adanya

pengaruh India pada Pulau Jawa, sangat berpengaruh pada pembentukan daerah-

daerah di sekitar lembah Magelang. Adanya penguasa alam dengan konsep makro

kosmos menjadi satu pertimbangan utama dalam pengembangan daerah-daerah,

baik daerah sebagai tempat tinggal dewa, tempat untuk memuja dewa serta tempat

tinggal masyarakat sebagai bagian dari kehidupan yang dibentuk oleh dewa yang

diyakininya. Gunung-gunung tersebut diyakini sangat istimewa karena posisinya

membentuk seperti lingkaran. Adanya gunung suci tersebut telah membentuk

lembah suci.

Pusat kegiatan kerajaan Mataram Kuno yang bergeser ke Timur, yaitu dari

daerah Jawa Tengah dan Yogyakarta ke Jawa Timur dipengaruhi oleh para

penguasanya, dengan mengacu pada perkembangan daerah lembah Magelang yang

berkembang pesat pada masa pemerintahan Raja Balitung.

4.4.1.2 Setting Lembah Magelang setelah runtuhnya Kerajaan Mataram

Kuno

Ruang-ruang yang sudah terbentuk hancur karena adanya bencana alam

yang diperkirakan tahun 929 dan 1006 M. Setelah melalui masa jayanya sekitar

dua abad, wilayah Magelang dan sekitarnya menurut teori Van Bammelen,

Tujuh Gunung

KESUCIAN KESUBURAN

Tempat ibadah

Tempat pemujaan Sawah Permukiman

84

menghilang akibat dari letusan Gunung Merapi tahun 1006 yang dibarengi juga

dengan hilangnya Kedu dan Mataram Hindhu (Mataram Kuno) dari panggung

sejarah. Letusan Gunung Merapi mengakibatkan gempa yang sangat besar dan

disertai hujan material vulkanik yang kesemuanya itu membentuk Gunung Gendol

dan Pegunungan Menoreh (Suroyo, 2000).

Pada periode ini masyarakat yang bermukim di Magelang dan sekitarnya

berpindah ke daerah Jawa Timur dan membentuk kerajaan baru. Sementara daerah

Magelang berubah menjadi hutan belantara. Beberapa alasan pindahnya istana

kerajaan antara lain (Moehkardi, 2008; Raffles, 2008, Lombard, 2008) :

a. pemberontakan yang dilakukan rakyat karena kerja paksa saat

pembangunan Candi Borobudur

b. depopulasi akibat adanya penyakit yang mematikan

c. serangan dari Kerajaan Sriwijaya

d. terjadi pendangkalan dermaga di Pergota dan berubahnya pemikiran bahwa

Gunung Panunggalan lebih bagus dijadikan pusat kerajaan dibandingkan

dengan Gunung Merapi

e. meletusnya Gunung Merapi yang diperkirakan terjadi pada abad 10

(pendapat ini masih menjadi pertentangan apakah dua kali Gunung Merapi

meletus sangat besar yang terjadi pada tahun 900-an dan 1006) sehingga

gunung Merapi sudah dianggap tidak suci

f. masyarakat pada saat itu mengalami kebosanan, kecapaian akibat adanya

pembangunan yang secara terus menerus dilakukan

Sampai saat ini penyebab kepindahan istana kerajaan dari Jawa Tengah ke

Jawa Timur masih menjadi perdebatan11

. Namun dari beberapa prasasti diyakini

akan adanya pemindahan kekuasaan kerajaan dari yang awalnya berpusat di Jawa

Tengah – Yogyakarta ke Jawa Timur. Jantung kekuasaan raja-raja Jawa berpindah

ke Timur selama enam abad lebih (Lombard, 2008).

11

Sampai saat ini tidak didapatkan kesimpulan atau kesepakatan dari para ahli sejarah tentang

perpindahan pusat kerajaan. Hal ini terkait dengan pendataan dan pencatatan peristiwa sejarah yang

belum ditemukan. Kesimpulan yang ada sampai saat ini masih berkisar dari analogi-analogi

peristiwa yang terjadi baik setelah tahun 929 maupun tahun 1006 M.

85

Gambar 4.19 Kehancuran ruang karena menurunnya kesucian terhadap gunung

(sumber : Utami 2012)

Ruang yang sudah tercipta hancur

karena letusan gunung berapi dan

bencana lainnya

Gunung meletus telah

menghancurkan ruang-

ruang yang terbentuk di

lembah Magelang

Gunung meletus

menghancurkan

ruang di sekitarnya

Masyarakat meninggalkan

lembah karena meyakini

bahwa lokasi yang dikelilingi

gunung sudah tidak mampu

member kehidupan

S.Elo S.Progo

S.Progo

S.Elo

86

Gambar 4.20 Hilangnya kesucian dan kesuburan pada gunung dan sungai

4.4.1.3 Setting lembah Magelang dengan gudang berasnya sebagai bagian dari

Kerajaan Demak

Tidak atau belum diketemukan data yang menjelaskan secara pasti ruang-

ruang yang terbentuk di lembah Magelang yang dikelilingi gunung setelah pusat

kerajaan berpindah ke Jawa Timur. Panggung sejarah Kedu diperkirakan runtuh

pasca kepindahan istana kerajaan (Suroyo, 2000). Lembah Magelang dan

sekitarnya yang sebelumnya permukiman berubah menjadi hutan belantara

kembali atau alas12

. Kedu diperkirakan berkembang kembali setelah berdirinya

kerajaan Islam di Demak dan Pajang (Aa, 1851; Kussendracht, 1840; Pemerintah

Magelang, 1936; Lissa, 1936; Suroyo, 2000).

Awal mula daerah Kedu dan Magelang kembali dikuasai pada era kerajaan

Pajang dan Mataram, antara lain dituliskan oleh Kussendracht (1840:191) :

Kedoe stond vroeger onder het beheer der vorsten van het

Padjangsche en Mataramsche rijk en werd eerst zeer laat en

brokswijze aan de Europeanen onderwerpen.

12

Yang dimaksud dengan alas adalah daerah permukiman yang tidak mempunyai akses keluar

karena dikepung oleh hutan belantara

Gunung

Meletus

Lembah Sungai Kaki Gunung

Permukiman Perkebunan Jalur Transportasi

Hutan Belantara

SUCI SUBUR STRATEGI

S

mengurangi mengurangi

87

Dulu Kedu berada di bawah kekuasaan raja- raja Pajang dan Mataram

dan sedikit demi sedikit tunduk pada orang- orang Eropa.

Sementara dalam buku yang ditulis oleh Pemerintah Magelang, 1936 : 13

tentang periode sebelum lembah Magelang dikuasai orang Eropa :

“waarschijnlijk heeft Kedoe een doel uitgemaakt van het rijk

Pengging; later moet het behoord hebben tot het rijk Demak, om in

1546 met Begelen aan den Sultanzoon Mas Timor Adipati te komen....”

“kemungkinan Kedu pernah menjadi bagian dari Kerajaan Pengging;

kemudian Kerajaan Demak, dan pada tahun 1546 bersama dengan

Begelen berada di bawah kekuasaan putera Sultan yang bernama Mas

Timor Adipati…”

Pada periode ini daerah Magelang dengan kesuburan tanahnya berkembang

sebagai lahan pertanian dan perkebunan serta berfungsi sebagai gudang beras atau

gudang makanan bagi kerajaan. Letaknya yang strategis karena berada di lembah

gunung juga menjadi pertimbangan perkembangan ruang. Alasan lainnya juga

karena daerah Magelang menjadi lokasi yang sangat menarik dengan gunung yang

mengelilingi dan aliran sungainya yang membentuk dataran Magelang menjadi

sebuah lekukan kedung (Pemerintah Magelang, 1936; Aa, 1851; Kussendracht,

1840; Lissa, 1936; Danoesoegondo, 1936; Slooten, 1936).

Gambar 4.21 Perubahan Cara Pandang pada masyarakat

KESUCIAN

(Pra Mata

KESUBURAN

Kesucian gunung telah

membentuk lembah

Magelang sebagai

tempat ibadah

GUNUNG

Mataram Kuno Demak – Mataram Baru

Kesuburan yang dibentuk

gunung telah membentuk

lembah Magelang

sebagai gudang beras

88

Gambar 4.22 Gunung berapi dalam pembentukan lahan yang subur

(sumber : Utami 2012)

Gudang beras terbentuk karena

keyakinan masyarakat akan

kesuburan tanah di lembah gunung

Gunung sebagai

pembentuk tanah subur Lembah diyakini sebagai

daerah yang subur untuk

gudang beras karena

masyarakat yakin gunung

berapi yang mengelilingi

sebagai pembentuk tanah

yang subur

tanah subur

tanah subur

Dipilih sebagai gudang beras

S.Elo S.Progo

S.Elo

S.Progo

S.Elo

S.Progo

89

4.4.1.4 Kebondalem sebagai ruang yang terbentuk dari kesuburan dan

keindahan alam.

Kedu berkembang sebagai daerah hinterland Mataram dan menjadi

gudang beras bagi kerajaan Mataram (Lissa, 1935) dan dikenal sebagai

kebondalem. Kademangan Magelang yang saat ini masuk dalam wilayah

administrasi Kota Magelang dikenal dengan kebon dalem, yaitu kebun milik Sri

Soesoehoenan dari Surakarta (Lissa, 1935:11, Danoesoegondo, 1936:4, Pemerintah

Magelang, 1936:13). Seperti periode sebelumnya, kesuburan telah membentuk

lahan perkebunan dan pertanian mampu dijadikan gudang makanan dan di satu sisi

kondisi ini mampu menjadi pemandangan yang tidak terbatas yang dibentuk oleh

kaki gunung, gunung dan sungai. Permukiman terbentuk di lembah dengan

didukung adanya rumah demang dan langgar yang berada di desa Magelang (dekat

alun-alun saat ini).

Gambar 4.23 Alam membentuk Kademangan Magelang sebagai tempat indah dan

subur

Gunung

Kaki Gunung

Sungai

Lembah

PANORAMA KESUBURAN STRATEGIS

Bukit

Kaki Gunung

Kaki Gunung

Lembah

Tempat

peristirahatan

Perkebunan

pertanian

Permukiman

90

Gambar 4.24 Gunung sebagai pembentuk ruang subur dan menikmati alam

(sumber : Utami 2012)

Kademangan dan kebondalem terbentuk karena keyakinan

masyrakat pada gunung sebagai pembentuk lahan subur dan

nyaman untuk tinggal

Gunung sebagai

pembentuk tanah subur

dan iklim yang sejuk

Kebondalem terbentuk

karena masyarakat

meyakini gunung sebagai

pembentuk kesuburan dan

pembentuk iklim yang sejuk

sebagai peristirahatan

Kebondalem

Kebondalem

Kebondalem terbentuk di

lembah yang dialiri sungai

dengan pandangan tak

terbatas pada gunung yang

mengelilinginya

tanahnya subur sehingga

dijadikan gudang beras

Kebun pala

Kebun bayem

Kebun karet

Kebun kemiri

S.Elo S.Progo

S.Elo

S.Progo

S.Elo

S.Progo

91

Gambar 4.25 Perubahan pemikiran pada pemilihan pusat kegiatan

Demang sebagai penguasa lokal memberi pengaruh pada perkembangan

Kota Magelang sebagai kota yang berada dalam pengaruh daerah kerajaan.

Adanya pertimbangan sebagai tempat peristirahatan menjadikan lembah Magelang

berkembang sebagai daerah kebun-kebun sebagai simbol dari daerah yang

dipenuhi oleh bahan makanan.

4.4.2 Setting Kota Magelang periode kolonial (1810 – 1945)

4.4.2.1 Setting pembentuk Ibu Kota Kadipaten Magelang (1810-1813)

Inggris datang di Kademangan Magelang dengan alasan kesuburan

tanahnya yang bisa dijadikan sebagai gudang beras seperti periode sebelumnya.

Oleh karena itu sejak tahun 181013

, Distrik Magelang (gabungan Kabupaten

Magelang dan Kota Magelang saat ini) dipilih oleh orang Inggris sebagai ibu kota

kadipaten14

, dengan bupati pertamanya bernama Mas Ngabehi Danoekromo

(Pemerintah Magelang, 1936; Danoesoegondo, 1936).

13

Terjadi penyerahan kekuasaan daerah Kedu termasuk dalam hal ini Magelang sebagai salah satu

gudang beras ke pemerintah Inggris (Raffles, 2008) 14

Terdapat dua versi : Kadipaten Magelang masuk dalam wilayah Kedu dibawah Residen

Pekalongan, Karesidenan Pekalongan (Aa Van der Aa, 1851, Buddingh, 1859, Nessel, 1935,

Danoesoegondo, 1936, Pemerintah Magelang, 1936); versi lain Kabupaten Magelang masuk dalam

wilayah Kedu dan berada di bawah Residen Yogyakarta, John Crawfurd (Suroyo:75)

Tuk Mas Meteseh & Poh Desa Magelang

Bukit & Sungai Sungai Lembah

Dewa Tempat Pemujaan

Raja Jalur Transportasi

Raja Istana Kerajaan

KESUCIAN FUNGSIONAL

92

Gambar 4.26 Gunung sebagai pembentuk ibu kota pemerintahan

(sumber : Utami 2012)

Tangsi Inggris terbentuk

karena pemandangan alam

dari gunung yang berada di

sebelah Barat kawasan

Kadipaten

Magelang

Kadipaten Magelang

dikembangkan sebagai ibu

kota pemerintahan karena

gunung yang mengelilinginya

mendukung sebagai gudang

beras karena tanahnya subur

dan membentuk lembah yang

strategis.

Kadipaten

Magelang

S.Elo

S.Progo

Strategis berada di lembah

gunung yang menghubungkan

beberapa kota lainnya

Pusat kota dibangun di tanah

yang datar dan berada di jalur

tengah kota yang strategis

strategis

S.Elo

S.Progo

93

Bupati meletakkan dasar pembuatan alun-alun, pembangunan rumah bupati

dan masjid yang baru. Selain ketiga elemen tersebut, pada periode ini

dikembangkan juga lahan yang berada di sebelah Barat kota sebagai tangsi militer

dengan mempertimbangkan kondisi alam Kota Magelang yang sangat indah.

4.4.2.2 Setting Distrik Magelang sebagai pembentuk kota militer, perkebunan

dan peristirahatan

4.4.2.2.1 Setting Distrik Magelang pembentuk ibu kota pemerintahan tahun

1813 – 1819. Posisi Distrik Magelang yang strategis yang didukung tanahnya

yang subur menjadi keyakinan pemerintah Belanda sebagai daerah yang dikuasai.

Pertimbangan tersebut menjadi dasar pada tahun 1813 Belanda mulai memerintah

Kadipaten Magelang dengan penunjukan kembali Bupati Danoekromo sebagai

bupati Magelang dan memberinya gelar Raden Tumenggung Danoeningrat

(Lissa15

, 1936; Danoesoegondo16

, 1936; Veen, 1965). Sejak Belanda datang dan

berkuasa, Kadipaten Magelang mulai berkembang dengan bertambahnya peranan

sebagai penghubung Semarang - Yogyakarta - Solo serta sebagai stabilitas daerah

sekitarnya untuk menangani perlawanan lokal. Kadipaten Magelang sebagai jalur

utama perhubungan Semarang sebagai gudang senjata dan Solo sebagai gudang

balatentara Belanda.

Lokasi di lembah yang dikelilingi gunung ternyata juga memberi inspirasi

tersendiri bagi pemerintah Belanda untuk mengembangkan distrik Magelang,

Kabupaten Magelang sebagai ibu kota karesidenan Kedu17

. Untuk mendukung

posisinya sebagai ibu kota karesidenan, pemerintah Belanda mengembangkan

lahan yang berada di sebelah Barat kota sebagai kompleks karesidenan yang

sebelumnya sebagai tangsi militer. Disebutkan Utami (2001) dan didukung oleh

Kussendracht (1841); Aa (1851) serta Buddingh (1859) bahwa kompleks

Karesidenan Magelang yang berada di sebelah Barat kota dikembangkan karena

15

Nessel van Lissa merupakan walikota yang memerintah Kotapraja Magelang pada tahun 1935 16

Danoesoegondo merupakan bupati yang memerintah Kabupaten Magelang pada tahun 1935 17

Pada tahun 1817, dibentuk karesidenan baru yaitu Karesidenan Kedu yang terdiri dari Kabupaten

Magelang dan Kabupaten Temanggung dan pada tahun 1818 dipilih Kabupaten Magelang sebagai

ibu kota karesidenan.

94

tempat tersebut merupakan tempat yang sangat tepat untuk menikmati keindahan

alam Kota Magelang. Selain pemandangan alam yang bisa dinikmati, dari

kompleks tersebut dapat sebagai daerah pengontrol keamanan karena pada saat itu

daerah pegunungan dijadikan sebagai daerah gerilya masyarakat melawan Belanda

(Utami, 2001) .

Gambar 4.27. Alun-Alun (1) , Masjid (3), Kadipaten (2) dan Kantor Karesidenan

Kedu (4) (sumber : gambar ulang dari analisa Utami, 2001)

Kussendracht (1841: 192 ) menuliskan pemandangan alam dan kehidupan

masyarakat yang terlihat dari kediaman residen Kedu pada saat itu :

“.... , waaronder het residentie-huis, dat, met eene fraaijen tuin aan

den oever eener bruisende rivier gelegen, een verrukkelijk schoon

uitzigt op het donkere gebergte der twee gebroeders en de

omliggende, terrasvormige, met kleine dorpjes bezaaide rijstvelden

heeft, .....”

“…, antara lain rumah residen, dengan taman indah yang terletak di

tepi sungai yang bergolak, sebuah pemandangan yang sangat indah

pada pegunungan gelap dua bersaudara dan sawah- sawah di

sekitarnya yang berbentuk teras, dengan desa- desa kecil,…”

1

2

3

4

Gunung Sumbing

Gunung Sindoro

Pegunungan Menoreh

Terasering bentukan

kontur kabupaten Magelang

Sungai Progo

Pemandangan dari kompleks karesidenan,

1883 (Koleksi KITLV, Leiden, Belanda)

95

Tulisan tersebut memperlihatkan residen sudah memperlihatkan budaya

bermukim dengan mempertimbangkan gunung yang mengelilingi lembah

Magelang khususnya yang berada di sebelah Barat kota. Aspek fungsional dan

keindahan menyatu dalam pertimbangan pemilihan suatu tempat yang penting.

Gambar 4.28. Inspirasi yang terbentuk pada pembangunan Kompleks Karesidenan

(sumber : modifikasi Utami, 2001 dan 2011)

Fungsi awal Kota Magelang yang tidak dipilih sebagai kota pemerintahan,

namun sebagai kota peristirahatan dan gudang beras menjadi pertimbangkan dalam

mengembangkan ruang kotanya (Utami,2001; Utami 2003).

Gambar 4.29. Perbukitan Menoreh sebagai pertimbangan pengembangan kota

(Sumber : data 2010)

Perbukitan Menoreh

Magelang

Permukiman

Gunung sebagai batas pandang

Kompleks karesidenan

Permukiman

Sungai

Sawah

Sawah

96

Gambar 4.30. Gunung sebagai pertimbangan mengembangkan kota pemerintahan

(sumber : modifikasi Utami, 2001 dan 2011)

Pusat kota terbentuk di daerah

datar yang bisa menikmati

keindahan alam dan strategis

jalurnya karena lembah yang

dibentuk gunung

Kompleks karesidenan

dikembangkan dengan

melihat gunung sebagai

pertimbangan utama terkait

keindahan dan pertahanan

Kadipaten

Magelang

Kadipaten

Magelang

G.Sumbing

G.Sindoro

G.Prahu G.Andong

G.Telomoyo

G.Merbabu

G.Merapi

S,Progo

S.Elo

Bukit Tidar

S.Progo S.Elo

97

4.4.2.2.2 Setting Distrik Magelang sebagai kota militer, kota perkebunan dan

kota peristirahatan tahun 1820 – 1905. Kondisi alam Kabupaten Magelang yang

dikelilingi oleh gunung telah dianggap menguntungkan dalam bidang politik dan

sosial budaya oleh pemerintah Belanda. Oleh karena itu Belanda semakin

memperkuat posisinya dengan menunjuk Kabupaten Magelang, khususnya Distrik

Magelang dengan beberapa fungsi lainnya. Distrik Magelang dikembangkan

sebagai daerah untuk penghubung kota-kota di sekitar Semarang, Yogyakarta dan

beberapa daerah hinterlandnya karena lokasinya yang berada di lembah yang

dikelilingi gunung dengan jalur lembah yang datar.

Dataran Kedu merupakan daerah yang sangat subur dengan kondisi tanah

vulkaniknya sehingga sangat cocok sebagai daerah perkebunan (Bleeker, 1850, Aa,

1851; Pemerintah Magelang, 1936) yang pada akhirnya nanti memacu

perkembangan di bidang transportasi dan bidang lainnya. Namun dengan kondisi

politik dan sosial budaya yang berkembang pada saat itu, berkembang perlawanan

terhadap Belanda yang didukung terjadinya kemerosotan kehidupan karena gunung

meletus18

(Suroyo, 2000). Keadaan ini menjadikan rakyat semakin kritis sehingga

tahun 1822 di bawah pimpinan Pangeran Diponegoro, putra Hamengku Buwono I

yang anti Belanda dengan dibantu pegawai keraton Surakarta Sinduratmojo,

pemberontakan dimulai di desa Bendo (distrik Probolinggo, saat ini Kecamatan

Muntilan), Kabupaten Magelang. Pada saat itu desa banyak tumbuh di sepanjang

perbatasan Kedu dan Yogyakarta (Buddingh, 1959). Ini menjadi salah satu awal

penyerangan terhadap Belanda yang dilakukan oleh masyarakat pribumi, yang

kemudian berkembang dengan adanya Perang Diponegoro (tahun 1825-1830) dan

berakhir dengan adanya pertemuan antara Pangeran Diponegoro dan Jendral de

Kock di salah satu ruangan di Kantor Karesidenan Magelang (Suroyo, 2000).

18

Pada tahun 1820 Residen Kedu FG Valck memerintahkan petani di Kedu untuk menanam kopi,

namun masyarakat tidak sepenuhnya menerima kondisi tersebut. Kondisi ini juga didukung pada

periode tersebut terjadi letusan Gunung Merapi yang mengakibatkan gagal panen.

98

Gambar 4.31. Gunung sebagai pertimbangan mengembangkan kota perkebunan

dan peristirahatan (sumber : analisa 2011)

Pusat kota terbentuk di daerah

datar yang bisa menikmati

keindahan alam dan strategis

jalurnya karena lembah yang

dibentuk gunung

Kompleks karesidenan

dikembangkan dengan

melihat gunung sebagai

pertimbangan utama terkait

keindahan dan pertahanan

Kadipaten

Magelang

Kadipaten

Magelang

G.Sumbing

G.Sindoro

G.Prahu G.Andong

G.Telomoyo

G.Merbabu

G.Merapi

S,Progo

S.Elo

Bukit Tidar

99

Distrik Magelang berkembang sangat pesat khususnya setelah Kabupaten

Magelang dikembangkan kompleks militer tahun 1828 sebagai pindahan dari Kota

Surakarta (Stuers, 1847) dengan alasan letak yang strategis sebagai daerah

pertahanan dan keamanan karena berada di daerah yang saat itu masih berupa

hutan (Majalah Vooruit, 1935). Setelah itu, pada tahun 1840, Magelang

berkembang sebagai kota peristirahatan, daerah ini berkembang sangat pesat.

Apalagi hal ini didukung dengan pengembangan daerah Kedu sebagai kota

perkebunan dengan Distrik Magelang sebagai kota perindustrian selain daerah

perkebunannya sendiri19

.

Gambar 4.32. Beberapa pemandangan alam yang bisa terlihat dari Distrik

Magelang pada periode tahun 1890 - 1900

(Foto : Koleksi KITLV, Leiden, Belanda )

4.4.2.2.3 Setting pembentuk kota peristirahatan tahun 1906 – 1942. Magelang

sebagai kota peristirahatan dan sebagai kota pendukung hasil produksi hasil

perkebunan dan pertanian daerah di sekitarnya semakin berkembang pada periode

tahun 1906 – 1942 dengan dinaikkannya status Distrik Magelang sebagai gemeente

(Kotapraja) Magelang pada tahun 1906.

Masyarakat Magelang dan pendatang membangun fasilitas-fasilitas

pendukung kota peristirahatan. Tanah yang subur, pemandangan yang indah selalu

menjadi pertimbangan bagi masyarakat pada saat itu, apalagi hal ini didukung

dengan kondisi iklim yang sangat nyaman yaitu 24.5° dan sering disamakan

dengan daerah Italia Selatan (Pemerintah Magelang, 1936).

19

Pada peta administrasi tahun 1870, terlihat beberapa pabrik telah didirikan di Distrik Magelang

sebagai kota perindustrian untuk mendukung hasil produksi daerah di sekitarnya

100

Kestrategisan posisi Kota Magelang yang tetap berbasis agrocolonial

menjadikan Kotapraja Magelang berkembang pesat. Fasilitas perkebunan dan

pabrik-pabrik banyak dibangun di Kota Magelang untuk mendukung lahan-lahan

produksi baik yang berada di dalam kota maupun yang berada di sekitar kota.

Kota Magelang tidak hanya sebagai lahan produksi namun juga sebagai tujuan

untuk pengolahan hasil produksi yang pada tahap selanjutnya akan bisa diekspor

ke daerah atau negara lainnya.

Kota Magelang dengan alamnya yang indah sebagai kota taman dan kota

yang strategis (Soekimin, 1984). Kawasan dibangun terinspirasi oleh alam

sekitarnya sebagai pendukung keberlangsungan perkebunan dan pertanian.

Masyarakat yang hidup dari bercocok tanam terlihat pada beberapa foto yang

menggambarkan kondisi sawah ataupun kegiatan-kegiatan yang terkait dengan

pertanian dan perkebunan.

Gambar 4.33 Kondisi Curah Hujan di Karesidenan Kedu sebagai bagian dari

Kebijakan Pengembangan Perkebunan di Karesidenan Kedu dan Kotapraja

Magelang sebagai daerah industri

(sumber : Magelang Vooruit, 1936)

101

Banyak tulisan-tulisan pada tahun 1935 – 1937 yang menyebutkan

Magelang dengan potensi alamnya. Ini menunjukkan di satu sisi Magelang

mempunyai potensi alam yang bisa dinikmati semua orang dengan panoramanya

dan di satu sisi sebagai promosi Kota Magelang pada saat itu. Pembangunan

fasilitas kota dan pengembangan kota yang terinspirasi oleh alam menjadikan

Magelang dikenal dengan Kota Taman atau Kota Kebun (Lissa, 1935,

Danoesoegondo, 1936, Pemerintah Magelang 1936, Soekimin 1984). Beberapa

artikel yang beredar saat itu antara lain adalah sebagai berikut :

a. Uit Het Verleden van Magelang. van “Verstentuin” Tot Java’s

Gezegendste Plek (Magelang Pada Masa Lalu. Dari Kebunraja Menjadi

Tempat Yang Paling Diberkati Di Jawa)

b. Uit Het Verleden van Kedoe. Kebondalem “De Tuin van Den Vorst” (Masa

Lalu Kedu. Kebondalem “Kebun Sang Raja”

c. Magelang De Bergstad van Midden Java Middelpunt van Den Tuin Van

Java (Magelang Kota Pegunungan Jawa Tengah Pusat Kebun Jawa)

d. Magelang De Berstad van Midden Java (Magelang Kota Pegunungan Jawa

Tengah)

e. De Tabak In Kedoe, Een Typische Bevolkingscultuur (Tembakau Kedu,

Budi Daya Rakyat Yang Istimewa)

f. Mooi Magelang. Middelpunt van Den Tuin Van Java (Magelang Yang

Indah. Pusat Kebun Jawa)

g. Magelang Als Centrum van Industrie (Magelang Sebagai Pusat Industri)

h. Vestigt U Te Magelang. Het Centrum van Den Tuin van Java (Menetaplah

Di Magelang. Pusat Kebun Jawa)

102

Gambar 4.34. Gunung sebagai pertimbangan mengembangkan kota peristirahatan

(sumber : analisa 2011)

Ruang-ruang kota terbentuk

karena gunung yang

mengelilingi diyakini bisa

mendukung pengembangan

sebagai kota peristirahatan

Kotapraja

Magelang

Kotapraja

Magelang

Gunung yang membentuk

lembah dan didukung dua

sungai mengalir sebagai

pertimbangan pembentukan

ruang

G.Sumbing

G.Sindoro

G.Prahu G.Andong

G.Telomoyo

G.Merbabu

G.Merapi

S,Progo

S.Elo

Bukit Tidar

103

Gambar 4.35 Alam sebagai setting pembentuk Kota Magelang

4.4.2.3 Setting pembentuk daerah pertahanan

Kondisi alam Kota Magelang telah menguntungkan bagi pemerintahan

Jepang dalam mempertahankan kekuasaannya di Kota Magelang sebagai kota

pertahanan. Ruang yang terbentuk di dalam Kota Magelang lebih berfokus pada

bidang politik dan pertahanan. Gunung sebagai batas pandang masyarakat pada

saat itu dan diyakini sebagai tempat yang tepat untuk melakukan pengontrolan

wilayah, dijadikan juga pertimbangan bagi pemerintah Jepang untuk mengatur

ruang-ruang yang sudah terbentuk. Walaupun selama kurun waktu tiga tahun,

pemerintah Jepang tidak banyak mengubah kondisi Kota Magelang, namun secara

keruangan pemerintah Jepang membentuk ruang-ruang geraknya berdasarkan

kondisi alam. Jepang mengontrol pergerakan lokal dan serangan dari sekutu

dengan cara menguasai Kota Magelang karena letaknya yang strategis dan berada

di lembah yang sangat ideal untuk membangun basis militer. Lembah yang penuh

dengan lapangan terbuka digunakan sebagai pusat latihan kemiliteran.

Magelang

BERKEMBANG

STRATEGIS

GUDANG BERAS LOKASI

DATAR

ALAM INDAH

Pusat Kegiatan

Ibu Kota Pemerintahan

Militer

Permukiman

Pabrik Hasil

Perkebunan

Peristirahatan Peristirahatan

104

Gambar 4.36. Gunung sebagai pertimbangan mengembangkan kota pertahanan

(sumber : analisa 2011)

Gunung yang membentuk

lembah dan didukung dua sungai

mengalir sebagai pertimbangan

pembentukan ruang

Gunung yang mengelilingi

lembah dijadikan

pertimbangan Kota

Magelang sebagai kota

pertahanan untuk kontrol

pergerakan

Kota

Magelang

Kota

Magelang

G.Sumbing

G.Sindoro

G.Prahu G.Andong

G.Telomoyo

G.Merbabu

G.Merapi

S,Progo

S.Elo

Bukit Tidar

105

Pada pemerintahan Jepang, masyarakat lebih banyak bertempat tinggal di

daerah pinggiran dan bahkan banyak yang lebih memilih tinggal di daerah kaki

pegunungan atau Kabupaten Magelang. Hal ini menjadi pemikiran pada

masyarakat bahwa posisi mengelilingi kota akan menguntungkan untuk

membentuk pergerakan. Analisis ini didukung pada saat terjadi pertempuran di

Magelang, pergerakan masyarakat Kota Magelang dan sekitarnya berawal dari

daerah Kabupaten Magelang dan mengepung serta melakukan perlawanan

bersama-sama.

4.4.3 Setting sebagai pembentuk kota perekonomian tahun 1945 - 2010

4.4.3.1 Setting sebagai pembentuk kota pertahanan periode perjuangan fisik

tahun 1945-1950

Terbentuknya ruang pertahanan yang terbagi dua kepentingan yaitu sebagai

daerah pengontrol dari pergerakan masyarakat banyak menggunakan pinggiran

lembah atau pinggir sungai dan kaki gunung serta di satu sisi sebagai daerah

pengontrol bagi sekutu untuk melihat pergerakan masyarakat dari lembah Kota

Magelang. Kondisi alam dilihat dari dua keyakinan yang berbeda dengan politik

yang berbeda. Batas pandang dari gunung dijadikan sebagai batas gerak. Hal ini

juga terjadi pada periode sebelumnya, yaitu pada periode pemerintahan Jepang.

Gambar 4.37 Peristiwa Pembumihangusan oleh masyarakat lokal dengan

pertimbangan kestrategisan Kota Magelang

Strategis Ibu Kota

Pemerintahan

Pusat

Kegiatan

Kota Militer

Basis Pertahanan

Peristiwa

Pembumihangusan

106

Gambar 4.38. Gunung membentuk ruang gerak pertahanan masyarakat

(sumber : analisa 2011)

Gunung yang mengelilingi

membentuk dua raung

kepentingan, sebagai daerah

pertahanan dan pengontrol

Gunung yang mengelilingi

lembah sangat

menguntungkan dalam

pengembangan ruang

Kota

Magelang

Kota

Magelang

Masyarakat

Belanda

Masyarakat

Sekutu

Masyarakat

Belanda

G.Sumbing

G.Sindoro

G.Prahu G.Andong

G.Telomoyo

G.Merbabu

G.Merapi

S,Progo

S.Elo

Bukit Tidar

107

4.4.3.2 Setting sebagai pembentuk kota taman tahun 1950-1980

Pembentukan ruang kota pada periode ini didukung dengan kebijakan

untuk mengembalikan karakter kota sebagai kota taman yang berbasis alam. Batas

pandang yang tidak terbatas pada arah gunung dan kaki gunung membentuk ruang-

ruang terbuka dan beberapa fasilitas kota yang mengacu pada pandangan tersebut.

Pembangunan yang bersifat linier karena pengaruh dua sungai yang mengalir

semakin memperkuat Kota Magelang sebagai kota lembah gunung yang

mengelilinginya.

Lembah yang dibentuk oleh gunung-gunung yang mengelilingi Kota

Magelang dijadikan alasan kuat untuk menjadi kota yang bisa digunakan oleh

masyarakatnya untuk menikmati alam sekitar. Selain itu, juga dipertimbangkan

sebagai kota yang strategis untuk mendukung kota-kota hinterland-nya dan juga

sebagai kota militer.

Gambar 4.39. Gunung membentuk lembah yang dikembangkan sebagai daerah

strategis untuk mendukung sebagai kota militer

(sumber : analisa 2011)

Jalur strategis yang

terbentuk dari gunung

yang mengelilinginya

108

Gambar 4.40. Gunung sebagai pembentuk kota taman tahun 1950-1980

(sumber : analisa 2011)

Gunung yang mengelilingi

menjadi dasar pembentukan

ruang-ruang kota

Gunung yang mengelilingi

lembah membentuk Kota

Magelang sebagai kota

taman berbasis alam

Kota

Magelang

Kota

Magelang

G.Sumbing

G.Sindoro

G.Prahu G.Andong

G.Telomoyo

G.Merbabu

G.Merapi

S,Progo

S.Elo

Bukit Tidar

109

Kota Magelang semakin berkembang sebagai kota militer dengan didukung

banyaknya kawasan di Kota Magelang yang dikembangkan sebagai daerah militer

dengan tetap menjadikan ruang terbuka sebagai bagian dari pendukung kondisi

alam yang ada. Lembah yang terbentuk juga telah mempengaruhi pemerintah kota

dalam mengembangkan kota secara linier dan memperkuat di bagian yang datar.

Perumahan berkembang terkonsentrasi pada bagian Barat dengan

pertimbangan dapat menikmati keindahan alam. Sementara di sebelah Timur kota

banyak dimanfaatkan sebagai daerah yang dikembangkan sebagai daerah industri

dengan dibangunnya beberapa fasilitas kota.

Ruang-ruang terbuka yang masih banyak tersedia dijadikan point of interest

sebagai kota taman yang berbasis alam. Kesuburan tanah lembah Magelang

dijadikan pertimbangan dalam mengembangkan lahan pertanian di beberapa

khususnya di daerah pinggiran. Hal ini juga didukung dengan keberadaan Bukit

Tidar sebagai salah satu hutan lindung yang dikembangkan sebagai daerah wisata

dan pendidikan militer. Walaupun di satu sisi Bukit Tidar sebagai salah satu

tempat wisata di Kota Magelang semakin berkembang sebagai daerah wisata

religious dengan didukung cerita yang beredar di masyarakat bahwa Bukit Tidar

sebagai pakunya Pulau Jawa dan sebagai daerah yang bisa dijadikan tempat untuk

berdoa.

4.4.3.3 Setting Kota Magelang menuju kota perekonomian tahun 1980-2000

Gunung yang mengelilingi Kota Magelang lambat laun mempunyai posisi

yang berbeda pada periode ini. Fungsi gunung sebagai batas pandang yang tidak

terbatas dan sebagai pembentuk kesuburan mulai ditinggalkan oleh masyarakatnya

seiring dengan perkembangan Kota Magelang sebagai daerah pendukung

perekonomian wilayah sekitar. Akibatnya kota membutuhkan ruang-ruang untuk

pembangunan pertokoan, pusat perbelanjaan, fasilitas pendidikan dan pusat

kegiatan lainnya. Gunung dilihat hanya dari aspek fisiknya saja, tanpa melihat

fungsinya. Kawasan militer semakin berkembang. Letak strategis Kota Magelang

110

dijadikan pertimbangkan dalam mengembangkan kota sebagai kota jasa dan kota

industri untuk mendukung daerah hinterland yang tetap berkembang sebagai

daerah penghasil perkebunan dan tanaman keras.

Namun demikian, di beberapa kawasan khususnya di bagian Barat kota

tetap dikembangkan sebagai kawasan wisata yang bisa menikmati keindahan alam

yang dibentuk oleh gunung dan sungai dari lembah. Pengembangan Taman Kyai

Langgeng yang diawali sebagai taman bunga menjadi salah satu bukti bahwa

kondisi alam tetap menjadi pertimbangan utama dalam desain, namun tidak

menyeluruh di semua ruang kota. Gunung dan pegunungan yang bisa dinikmati

dari Barat kota menjadi sangat menarik jika dilihat dari kawasan Taman Kyai

Langgeng dengan didukung kondisi berkontur serta adanya sungai mengalir.

Banyak tanaman dikembangkan di lokasi ini dan bisa tumbuh dengan baik.

Di satu sisi, Bukit Tidar yang dikelililingi oleh gunung tetap diyakini

masyarakat sebagai salah satu tempat yang memiliki kekuatan. Walaupun pada

periode ini juga dikembangkan Bukit Tidar sebagai salah satu hutan lindung yang

ada di Kota Magelang sebagai salah satu tempat wisata dan sebagai pendukung

berkembangnya fasilitas olah raga dan kegiatan militer. Kondisi geografis yang

telah membentuk Kota Magelang sebagai kota berhawa sejuk telah mendukung

pengembangan kota wisata walaupun perekonomian yang lebih dominan.

Potensi alam dalam pengembangan Kota Magelang juga dapat terlihat

dalam setting yang dikembangkan oleh pemerintah kota dengan membagi wilayah

dalam dua penzoningan. Penzoningan ini dipengaruhi oleh kondisi alam

(wawancara pegawai pemerintah, 2012). Daerah sebelah Barat kota oleh

pemerintah lebih dikembangkan sebagai perumahan dan wisata dengan

mempertimbangkan akses yang lebih kuat untuk menikmati keindahan alam dari

gunung-gunung dan pegunungan Menoreh. Daerah pertanian berkembang di

daerah pinggiran kota baik dan sempadan sungai, sementara di sebelah Timur

berkembang bangunan komersial.

111

Gambar 4.41. Gunung sebagai pembentuk ruang menuju kota perekonomian tahun

1980 – 2000 (sumber : analisa 2011)

Lembah dari gunung yang

mengelilingi Kota Magelang

diyakini bisa membentuk

sebagai kota jasa dan

perekonomian

Gunung yang mengelilingi

dimanfaatkan untuk

pengembangan tempat

wisata yang berfokus pada

pinggiran kota

Kota

Magelang

Kota

Magelang

Pembangunan tempat

wisata yang berfokus di

sebelah Barat kota

G.Sumbing

G.Sindoro

G.Prahu G.Andong

G.Telomoyo

G.Merbabu

G.Merapi

S,Progo

S.Elo

Bukit Tidar

112

4.4.3.4 Setting sebagai pembentuk kota perekonomian tahun 2000-2010

Setting yang terbentuk pada periode ini merupakan kelanjutan dari periode

sebelumnya dengan penekanan pada pengembangan aspek kestrategisan

pengembangan perekonomian. Akses yang mudah ke beberapa daerah hinterland

di Kabupaten Magelang telah mendukung Kota Magelang sebagai pusat

perekonomian dengan mendukung hasil produksi daerah hinterland-nya dan hasil

produksinya.

Wilayah di sebelah Barat semakin dikembangkan sebagai daerah

permukiman dan daerah di sebelah Timur dikembangkan sebagai kawasan

perekonomian. Akan tetapi hal ini juga mempengaruhi pengembangan kawasan

yang berada di sebelah Utara – Timur yang awalnya sebagai lahan pertanian

berubah menjadi kawasan terbangun dan pada masa yang akan datang akan

dikembangkan sebagai kawasan pendidikan. Di satu sisi potensi alam pada

periode ini sudah banyak ditinggalkan dengan pembongkaran beberapa kawasan

yang awalnya sebagai kawasan yang berbasis alam, menjadi kawasan komersial.

Beberapa ruang terbuka publik berubah menjadi ruang terbuka privat, walaupun

pengembangannya tetap berbasis kondisi alam Kota Magelang yang mempunyai

hawa yang sejuk dan nyaman.

Adanya dukungan pemerintah dalam mengembangkan Bukit Tidar sebagai

tempat wisata religius setidaknya memperkuat keyakinan masyarakat yang telah

terbentuk sebelumnya yaitu bukit yang dikelilingi oleh gunung dan berada di

lembah yang datar. Walaupun di satu sisi terjadi konflik dalam mengartikan

kesucian dari Bukit Tidar yang juga diyakini oleh masyarakat bahwa kesucian

yang dimiliki oleh Bukit Tidar adalah sebagai daerah resapan air. Keyakinan yang

berbeda ini telah mempengaruhi ruang yang berkembang.

113

Gambar 4.42. Gunung sebagai pembentuk kota perekonomian tahun 2000 - 2010

(sumber : analisa 2011)

Gunung yang mengelilingi

lembah dijadikan

pertimbangan sebagai

pembentuk kota strategis

Kota

Magelang

Kota

Magelang

Lembah yang dikelilingi

oleh gunung membentuk

sebagai kawasan yang

strategis untuk menikmati

alam

G.Sumbing

G.Sindoro

G.Prahu G.Andong

G.Telomoyo

G.Merbabu

G.Merapi

S,Progo

S.Elo

Bukit Tidar

114

Gambar 4.43 Bukit Tidar dalam konflik kesucian dari keyakinan

masyarakatnya

(foto : Utami, 2011)